rtepresentasiPolitili Perempuandiantara Dcmokrasi dan RefurmasiEkoncmil Sri Lesta.iWairyuningrcemPendahuluan Dalam kajian tentang transisi demokrasi yang berkembangbeberapadekade terakhir, reformasi ekonomi dan reformasi politik dernokratismerupakandua hal yang dinilai berkontribusiterhadaptransisidari rejim otoritarianmenujrrdernokrasidi sebuah negara. Persoalan peningkatan kehidupan pe:empuan di negara-negaraberffansisi ini kemudian seringkali secaradikotomis ditempatkan datam dua wilayah ini. Tidak heran jika kernudianada pertanyaan:manakahyang lebih penting bagi perempuan:reformasi ekonomi berbasispadapasarbebasatau reformasipolitik demokratis?Atau, secaralebih sederhana.lebrh penting kapitalisme atau demokrasi untuk perempuan? Michael D. Stroup (2008) mencoba menguji pertanyaan tersebut dengan mengukurbeberi.paindikator sepertikesehatan,pendidikan,pekerjaan,dan kesejahteraan perempuan beberapa negara di dunia. Dengan menggunakan indikator kebebasan ekgnomi dari FraserInstitute'sEconomir,FreedornIndex (EFI) di lebih dari 120 negara
ada konsensustentang definisi konsoli.lasi, uniumnya kelompok transitologis lebih tertarik menganalisissisternpolitik sepertiapa yang bisa,dikt nsoliiiasi dan apayang bisa, dilakukan untuk mendorongterjadinya konsolidasi. Fokirsnya terutama pada potensipotensi yang menghambatkonsolidasi, serta peran-peranstrategisyang bisa dilakukan oleh partaipolitik dan masyarakatsipil. Yangjuga terkait dalamhal ini adalahbagairnana hubunganinta:a refonnasi ekonomi dan proses serta refbrmasi politik.' Namun kdtik utama yang ditujukan paCastudi-siudi ini antara lain adalah fokusny'ayang terlalu besar pada proses dan keputusan-keputusanyaeg diarnbil di tingkatan elit, dan kt,rangnya analisis atas hasil (outcomes) yang muncul sebagai pengaruh institusi dan struktur (politik) yang ada. Kritik lain yang ditujukan bagi studi-studiini adalah hilangnya dimensi gender dalarn analisis-analisistentang demokratisasi, konsolidasi demokrasi dan reformasi politik, maupun reiormasi ekonomi. Tidak jarang isu-isu /arrg mcnlentuh persoalan dan masyarakatsipil juga abai terhadapaspekini. Belakangan, inklusivitas,representasi, 'perempuan da.ntransisidemokrasi' literatur dan studi-studirnulai dilakukanterhadapisu untuk mengkoreksi kebutaan gender (gender blindness) yang ter.iadi dalam analisisanalisismainstreampolitik (Way:len.1998;Alvarez,l99T;.tacq:iette,1914).Sebaliknya. .lalarn kajian-kajian dan literat'rr 'perempuandan transisi demokrasi' yar.g adr, fokus analisislebih seringdiarahkanprrdaoerangerakanperempuandan rnobiiisas;percnrouan. Sedikit sekali fokus yaiig diber:ikan untuk mengarahkan pada kondisi yarg memungkinkankonsolidasidari interaksi antaraperempuandan institusi ekonomi dan politik (Waylen, 1996). Ini tampak sekali dalam konteks Indonesia.Keban.vakanstricli tentang demokratisasidan konsolidasi dernokrasitidak terlalu menaruh perhatianpacia a.spekgender.Selain karena ihnu poirtik yang mainstreamsudah terinstittisiouaitsasi secaramapan baik dalarn hal pendekatanmaupun praksis,juga karena kajran gender berkembangpesat secaraeksklusif dari studi-studipolitik. Sementaraitu, kajian-kajian tentang peran perempuan dalam dernokrasi lebih banyak terpusat pada peran gerakeir perempuan,terutamadi level masyarakatsipil, sertaaktivitasmobilisasiperempuan. Beberapa p:ngalaman di banyak negara yang be:transisi menunjukkan bahrva perempuanmemiliki siginifikansi besardalam prcsesreformasiekonomi dan politik. Di negara-negarabekas komunis di Eropa Tengah dan Timur, transisi dan konsolidasi demokrasi masih menyisakansejumlah pertanyaantentang kesetaraandan keadilan bagi perempuan.Bukan saja perempuandihadapkan pada kemunculan nasionalisme sempit, tetapi juga dihadapkanpada persoalanglobalisasi dan liberalisasi. Transisi memunculkan bentuk demokrasi maskulin ataumasculine democracy (lihat misalnya Ruth Rosen, 1990 dan Zlllah Eisenstein, 1993) dimana system dan ke'ijakan yang dilahirkan tetap meninggalkan perempuandi lini terbelakangdari denrokrasi.Yang te{adi adalahtransisi dari rejim paternalistik kepada rejim baru yang bentuknya patriarkal. Di negara-negara ini, aksesperempu;l terhadapkebijakan politik terbukfi sangatterbatas.Beberapastudi yang dilakukan di kawasan ini menunjukkan, pada Pemilu demokratis yang pertama setelah keruntuhan komunisme, angka keterwakilan perempuan di parlemen menurun drastis dari sekitar 30%.menjadi rata-rata l0%o, dan bahkan di beberapanegara seperti 3 Kebanyak n kelompok transitolog memberi analisis serupaseperti yang dilakukan dalam oleh Guillermo O'Donnel C n Philip Schmitter dalam buku klasik mereka Transitionfrom Authoritarian Rule: Tentative Conclusion abaout Uncertain Democracies, 1986. Buku ini banyak menjadi rujukan dalam kajian-kajian tentang demokratisasidi negara-negarabertransisi di dunia.
Rumania, Ukraina dan Macedoniakurang dari 5% (Richard Matland, 2003). Beberapa ir'dikator kesejahteraanmemperlihatkan kc.rdisi perempuan yang semakin terpuruk karena pilihan-oilihan reformasi politik dari ekonomi yang tidak berpihak pada perempuan. Daiam hal kutenaga kerjaan, saat ini terJadi kecenderungansemakin men'runnya jumlah tenaga kerja perempuandi sektor publik seperti yang terjadi di Rusia. Tingginya angka perceraianmengakibatkanperempuanharus menjadi orang tua tunggal dan rnembatasiaksesnyaterhadappekerjaankarela negaratidak memberi bentuk dukungan atau subsidi terhadappengasuhananak dan keluarga seperti yang dilakukan di (lihat laporanILO, 2003)..Bidang-bidangyang di masalalu masasosialisme/kor,runisme didominasi oleh tenagakerja perempuanditurunkan nilainya dalam rnasyarakatsehingga terjadi ferninisasi bidang pekerjaan tertentu dan rendahnya gaji perempuan dibanding perempuanlebih tinggi daripadatnerekayang bekerja. laki-laki. Juralahpengangguran Refonnasi ekonomi juga membawa perubahanyaag tidak menguntungkanbagi perempuan.Bidang-bidangindustri yang dulunya didominasi p€rempuan,sepertitekstil, tidak lagi rnenjadi andalan bagi pemerintah saat ini. Banyak industri yang ditutup atau diprivatisasi. Di bawah kebrlakan liberalisasi pasar, pemilik modal umumnya lebih perempuandengansegala cenderungrnernilihtenagakerja laki-laki karenapertirnbarrgan baik da"i kondisi yang ada aka.nmenghambatproduktivitas.Dengan segalr keterbatasan untuk dapat terlibat perempuan harus benrpaya kcras ekstra sisi penciidikandan keahlian, dalarn sector ini. Barbara Einhorr-rmenganalogikannyasebagai Cinderc:lla goe,\ to mrtrket; han\,a saja ceritanya tidak happy entling sebagaimanadongeng kanak-kanak tentangtokoh Cinderella(Einhom, 1993). Potret buram di atas diperparah lagi dengan obyektivasi tubuh perempuan. Seksualitas dijadikan komoditas pasar, rnuiai dari pelacuran, p.-'rnografi, hingga perdaganganperempuan.Tidak heranjika perempuanrentan denganberbagaipenyakit kelamin, tennasuk AIDS. Tidak hanya itu, politisasi reproduksi dan tubuh perelnpuan juga terjadi di harnpir seluruhnegaraeks komunis. Di negara-negara bekas Yugoslavia, mengakibatkanperempuansebagaikorbanperkosaanmassal. konflik berkepanjangan juga terjadi Sementaraitu di Argentina,Chile, dan P:ru, beberapakecenderungan seperti disebutkandi atas.Namun gerakanperempuanmemiliki peran yang signifikan. Dengan memisahkandua rvilayah reformasi institusional,yakni ekonomi dan politik, Georina Way'lenmenunjukkan peran gerakanperempuandalam transisi merupakansalah satu faktor paling dominan dalam memberikan akibat atau impact terhadap outcome demokratisasi(Waylen, 1998).Dalam hal refonnasi politik kepadasistemelekloralyang kompetitif, sistem kepartaian yang terinsitusi memberikan peluang yang besar bagi aktivis perempuanuntuk melakukan tekanan-t^lianansecaraformal agar kebijakan yang sensitif gender dapat dilaksanakan. Dalam hal ekonomi, gerakan perempuan juga memiliki peran signifikan dalam memberikan pengaruh baik jangka pendek maupun jangka ^:i',rjang. Perempuan dalam Reformasi Ekonomi di Indonesia Apakah kapitalisme membebaskanatau menindasperempuan? Pertanyaan ini kerap kali muncul dalam berbagai wacana atau literatur feminisme. Mereka yang menjawab kapitalisme sebagai pembebasan,umumnya sangat optimis bahwa kapitalisme dan industrialisasi memberikan kesempatanpada perempuan untuk keluar dari wilayah domestiknya untuk terutama bekerja dan mendapat upah atas
kerjanya. ini yang kemudian menjadikan perempuanmenjadi lebih independendan tidak lagi terger'tungpada suami atau pesangannya.Disisi lain, kelompok pesirn: selalu rnenaruh curiga terhadap praktek-praktek capitalisme. Kapitalisme sebagaisebuahkerja menggantikan fungsi produksi rumah tangga atau keluarga nenjadi fungsi reproduksi sematadan tidak dihargai sebagaimanakerja di dunia kapital. Sistem ini kernudian yang memperkenalkan konsep breadwinner bagi laki-laki, yakni mereka yang bekerja dan menafkahi keluarga sementaraperempuan didefinisikan sebagaicare-giver. Perempuan, kalaupun pada akhirnya dibutuhkan untuk mengisi tenaga kerja, dibayar dengan sangat murah di bawah upah kerja laki-laki. Beban ganda kernudian dilakoni perempuaq yaki fungsinya sebagai caregiver di wilayah dornestik serta perannya yang lebih otonom di wilayah publik. Kelompok ortodoks boleh saja berpikir bahwa kemunculanperjuangan eman:ipasi hak-hak berhasil melumerkan patriarki karena memungkin perempuanjuga ikut bkerja dan rneniadi independen, tapi di saat yang lain patriarki melakukar penyesuaiandan mengoraganisirulang (atau 'reorganizing' dalam istilah Cyster Holter, 2003) Teniu saja, literatur-literatur paling awal tentang isu ini dibangun dalam sebuah konteks sangat spesifik di ;regara-negaruindustri yang saat ini sudah mapan. Kontesnya menjadi sangat berbeda dalarn konteks negara yang bertransisiataupun negara dunia 'Pembangunan kctiga.Di negara-negara ini, kapitalismehadir dalamkonteksglobalisasi. di negaraini merubahfungsi reproduksimelalui ekonomi non rnonetersepertimengganti fungsi pertanian dengan perusahaan tani, impor pangan murah, ataupun deforestasi. Tuntutan penyesuaianstruktural yang diajukan International Monetary Fund dan World Bank meinaksa negara untuk mengurangi perlindungan sosial negara kesejahieraan sekaligusmeningkatkankemiskinandan kelidak setaraan(Marchanddan Runyan,70A2; Stiglitz2002,Sparr,1994)). Di Indonesia,sepertijuga di negara iain di dunia ketiga, krisis ekononii vang melanda meuraksakebijakan penyesuaianstruktural atau structural adlu,stmentpolicv (SAP) dernikian untuk diberlakukan. Rasioanl dibalik kebijakan ini adalah bahrva persoalanekonomi yang umumnya dihadapi negara dunia ketiga seperti inflasi dan defisit, disebabkanoleh ketidak seimbanganstruktural. Dibutuhkan'penyeimbangan', 'distorsi' perlu sehingga dihilangkan dengan liberalisasiekonomi, membebaskanpasar ekonomi, mengurangiperan negaramelalui privatisasi,dan meminimalkan subsidi dan yang te4adi sejak reformasi dimulai sepuluh tahun deregulasi.Penyesuaian-penyesuaian lebih yang lalu di seklor ekonomi temyata menghasilkankesenjanganyangsernakinlebar antara masyarakatmenengahdan rniskin, meingkatnya kemiskinan, menurunnyastandar hidup masyarakatdi Indonesia. 'buta Kebijakan penyesuaiantersebut selama ini memperlihatkan karakteistik gender' atau gender blind'. Ekonomi reproduktif atau perempuan sebagaitenaga kerja yang tidak dibayar sama sekali tidak irpertimbangkan dalam kebijakan tersebut. Disamping itu, pengambil kebijakan yang tidak membedakanpembagian kerja seksual berasumsi adanya mobilitas pekerja, misalnya pekerjaan industrial yang umumnya dikerjakan oleh lakiJaki menjadi pekerjaan jasa yang umumnya dilakukan perempuan (Elson, 1995). Pemotongan jasa kesejahteraan memberikan dampak signifikan bagi perempuan sebagai penyedia dar konsumen jasa kesehatan dan sosial mengakibatkan hilangnya peke{aan dan kesejah eraan perempuan yang bekerja di bidang ini seperti guru, perempuan, yang merupakan mayoritas pekerja. Tidak hanya itu, dampak tingginya
tingrat penganggurandan kemiskinan mengakibatkan perempuandalam rumah tangga harus berpikir lebih keras untuk merrdapatkanstrategi can soiusi pertahananhidup. termasuk melakukan peke{aan di sertor non formal. Perempuankepala rumah tangga, atau janda, menjadi semakin miskin, dan anak perempuanterpaksa banyak yang harus putus sekolah. Yang terjadi berikutnya adalah tingginya tingkat trafficking tnanusia, umumnya perempuan, dan meningkatnya tingkat kekerasandan pelanggaranhak asasi perempuan dan anak. Kekerasan terhadap perempuan yang tercatat tahun 2402 adalah 5,163 kasus,meningkat dari sebelumnya3.169 pada tahun 2001. Tahun 200-l sebanyak 53% insiden kekerasanterhadapperempuanteqadi di lingkungan komunitas termasuk di daerah konflik di Aceh dan 460/otefadi di lingkungan keluarga (Kornnas Perempuan, 2004). Perempuan harus bertahan dengan bekerja di luar wilayah reproduksi, mengakibatkanbebangandakarena pada saatyang samaia juga harusmenjalankanperan genderyang terbangunsecarasosio kultural dalam pengasuhananak dan keluarga. Liberalisasi ekonomi lewat program-program reiormasi berbasis pasar bebas (baca:kapitalisrne), dalam konteks transisi di Indonesia, terbukti meruntuhkan tesis bahwa kapitalisme bisa memberdayakanperempuan dan membawa kesejahteraanbagi Derempuan. Perempuandan ReforrnasiPolitik di Indonesia Situasiperempuantidak lebih baik dalarnhal politik dan lronsolidasidemokrasidi Indonesia.Konsolidasijelas sekali tidak menyertakanperempuandi dalamnya,seperti ditunjukkan dengan dua hal: minirnnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusandan minimnya isu perempuandalamberbagaikeputusan dan kebijakanpolitik. l)alarn poin yang pertama,terjadi peningkatanyang tidak signifikan dalarn hal -iumlah keterrvakilanperempuan di DPR dari 9o/opada periode 1999-2004 menjadi i 1 090,'0pada periode 2004-2009. Ri":t Demos rnengindikasikanperkembangan,vang baik dalarnhal kualitaske{a, hak dan institusiy'angterkait dengankesetaraangenderdan partisipasi serta akses perempuanpada kehidupan publik.u Sementaraitu, untuk poin kedua dituniulikan dengan keenggananpartai-partai politik mengakomodir persoaian perempuandi dalam rebljakannya serta mengadopsikesetaraangender dalam program ataupun platfom partainya. Hingga saat ini, baru PKB yang secaraformal menyertakan ketentuanminimal 3002representasiperempuandi kepengurusannya. Ketika kita bicara dalam konteks konsolidasi demokrasi dan keterlibatan perempuan dalam transisi, maka tidak dapat disangkal bahwa partai politik memiliki peran yang signifikan. Dalam Pemilu, partai politik bukan hanya berperan sebagaiaktor tetapi sekaligus merupakan penjaga gawang yang paling utama dalam memutuskan pengisian pos-pos representasi.Hal ini karena partai politik memiliki peran kontrol terhadap valon-calon kandidat yang akan dinominasikan. Hubungan antara jumlah keterwakilan peremprrandi legislatif dan partai politik dalam konteks Pemilu menjadi sangatrelevan. Untuk melihat bagaimana partai politik dapat berperan meningkatkan keterwakilan perempuan ada empat aspek yang dapat dijadikan indikator sekaligus motivator. Yang pertama adalah keorganisasian partai politik dengan melihat pada struktur dan model pengambilankeputusan.Partai politik dengansentralitaspengambilan keputusan pada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) biasanya akan lebih mudah m rngontrol 'Demos:
di Indonesiq2003 fusetPutaranI mengenaiMasalah-masalah danPilihan-pilihanDemokratisasi
caloi-calon kandidat ),ang akan dinominasikan.Bagi Partai polrtik yang punya komitmen tinggi terhadap peningkatarr keterwakilan perempuan model seperti ini akan sangat efektif utk melaksanakanfungsi dan kornitmennya. Jika ternyata partai politik gagal menjalankan komitmennya, maka anggota dan pengurus yang lain dapat m;minta pertanggungjawabanlangsung pada DPP dan Ketua Umumnya. Di sisi lain, model jika partai politik tidak punya komitmen untuk sentralistis demikian akan sangat 141s1 keterwakilan perempuan.Inilah yang terjadi dalam partai-politik Ci Indonesia saat pada Pemilu-pemilu lalu, dimana DPP dapat dengan semena-menamengganti kandidat yang sudahpasti menangatau memindahkannyake daerahpemilihan lain secarasepihak. Sayangnya, wajah partai politik di Indonesia masih menunjukkan maskulinitasnya. Ini terlihat dalam klaim-klaim netral gender dalam kebijakan dan aktivitas politik. Politik, dalam hal ini, dianggap tidak bisa berpihak pada persoalan genderkarena prinsip kesamaan(bukan kesetaraan)antaralaki-laki dan perempuanyang dianggap menjadi nilai demoxrasi. Tidak heran resistensi menolak pengaplikasian affirmativa actiorr untuk perempuanyang dimunculkan kelompok masayrakatsipil sejak tahun 2000 ditolak, dan baru tahun ini akhirnya dipenuhi dalam revisi Undang-undang politik. Padahal, irnplikasi yang paling nyaia dari klaim-klaim netral gender adalah bahwaproduk polirik padaakhirnyamenjadi bias genderkarenatidak mampu mengenali a4anyakelompok-keiompokvang tidak terlibat dalam prosesdan pengambilankeputusan politik. Ini misalnyasaja tarnpakpada Pemilu 2004 lalu, dimana caleg perempuanyang memperoleh suara terbanyak terpaksa harus memberikan suaranya pada caleg dengan nomor urut diatasnya,yang umumnya adalahlaki-laki, karenarnekanismeintemal partai dalampenyusunan nomor unit cale-e.5 TiCak hanya persoalan internal partai rnenjadi penghambat, keterbatasan perempuanterhadapaksesfinansialjuga merupakanmasalahutamayang dihadapi para calon kanc:Jat perempuan (Azza Karam, 2003). Hal ini diakui banyak kandidat perernpuan,baik untuk legislatif maupun eksekutif. Seorangkandidat perempuanuntuk rvakil rvalikotadi Aceh mengakuibahrvadia diuntungkandenganaksesyang sangatbaik terhadap sumber finansial dari keluarganya.Ini berarti, pnlitik menjadi dunia yang terbatashanyauntuk perempuandenganaksesekonomi yang baik. Dalam konteks ini, Holter pernah berargumentasi bahwa tingginya tingkat partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik di negara-negara Nordik (Norwegia, Finlandia, Swedia, Denmark, dan islandia) tidak lepas dari terserapnya banyak tenaga kerja perempuan sehingga memungkinkan mereka menjadi independen secaraekonomi dan merasa berkepentinganuntuk terlibat dalam politik (Holter, 2003). Di Indonesia, belum ada studi yang coba menelusuri kondisi demikian sampai saat ini, tapi secaraumum bisa dikatakan bahwa kemampuan finansisal seorangkandidat sangat menentukan bisa tidaknya seseorangmasuk ke dalam daftar kandidat. Tidak banyak perempuan di lndonesia yang memiliki situasi demikian, d.:: mereka yang mendapat kesempatan demikian harus memikul tidak saja beban ganda tetapi beban triple antara peran merekadalam rumah tanggadan pengasuhan,ekonomi, dan politik. Keterwakilan Politik Perempuan: sebuah Harapan? Ketika kuota minimal untuk perempuan dilegalka r dalam revisi UU Politik 2008, banyakpihak menganggap ini sebagai sebuah kemeni ngan dalam wacana perempuan dan 5
Dalam Debbie Prabawati, paper 'Quo Vadis Perempuandalam Politik?", tidak diterbitkan.
demokratisasi Ci Indonesia. Tentu saja kuota adalah salah satu cara, disamping banyak lagi cara lain untuk memastikan konsolidasi demokrasi juga melibatkan porempuan secarasignifikan dalam demokrasi. Agaknya penyebutan hal ini sebagai sebuah kemenanganterlalu terburu-buru. Kuota merupakansebuahtitik start, bukan pencapaian.Kuota akan menghadapitantanganyang sama dengan banyak analisis yang menyimpulkan bahwa ekonomi kaprtalisme akarr membawakssetaraandan pemberdayaanbagi perempuan. Kuota sebagai sebuah mekanisme juga layaknya menjadi kajian bagi konsolidasi dernokrasiyang lebih bersifat menganalisissecarastructural dan kondisi bagi terjadinya perubahankea rah demokrasi yang lebih baik. Perubahanyang diharapkan, tidak haya dengan diimplementasikannyakuota, tetapi juga dengan meningkatnya jumlah efeldif keterwakilanperempuan,paling tidak mencakupempat hal (Lovenduski,200C),yakni. (1) perubahan institusional dan procedural yang lebih memungkinkan inklusivitas kepentingandan perwakilan kelompok minoritas, (2) pembahanimpact ata:odampak dan outcome dari prosesdemokrasi,(3) perubahanrepresentasi,yang memungkinkan adanya bentuk representasi politik yang lebih mencerminkan wajah demokrasi, dan (4) perubahandiskursus,terutamasekali di level structi;ral, cultural dan ideologis.