KARAKTERISTIK PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL FKUP/RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE TAHUN 2006 – 2010
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi gelar Sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
ESHA BRILLIAN PUTRI 130110070016
UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS KEDOKTERAN BANDUNG 2011
SURAT PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIARISME DAN/ATAU MENGGUNAKAN DATA FIKTIF DALAM PEMBUATAN/PENULISAN SKRIPSI/MINOR THESIS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa naskah skripsi/minor thesis dengan judul: Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen Ilmu Kesehatan THTKL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Tahun 2006-2010
Adalah murni merupakan laporan dari penelitian yang benar telah saya lakukan. 1) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan naskah pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 2) Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sangsi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini
Bandung, 13 Juni 2011 Yang membuat pernyataan,
( Esha Brillian Putri ) NPM. 130110070016
KARAKTERISTIK PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL FKUP/RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE TAHUN 2006 - 2010
SKRIPSI
ESHA BRILLIAN PUTRI 130110070016
Lembar ini untuk menyatakan bahwa kami telah menerima skripsi penulis di atas dan menyatakan bahwa skripsi ini sudah lengkap untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan lulus dari Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan revisi yang diperlukan menurut penguji dan pembimbing sudah dilaksanakan
Bandung, 13 Juni 2011 Pembimbing I
Yussy Afriani Dewi, dr., Sp.THT-KL, M.Kes
Pembimbing II
H. Achmad Bunyamin, dr., Sp.Rad (K)
Skripsi ini telah dipresentasikan oleh penulis pada sidang skripsi yang dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran pada hari Kamis, 9 Juni 2011 dan dihadiri oleh:
Penguji I
: Nursiah Nasution, dr.
Penguji II
: Suwarman, dr., Sp.An, M.Kes
Penguji III
: Nova Sylviana, dr., M.Kes, AIFO
Pembimbing I
: Yussy Afriani Dewi, dr., Sp.THT-KL, M.Kes
ABSTRAK
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan salah satu keganasan di kepala dan leher yang berasal dari epitel nasofaring. Penyebab utamanya adalah virus Epstein-Barr. Biasanya tumor ganas ini tumbuh di fossa Rossenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak. KNF merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Di dunia ditemukan lebih dari 500.000 kasus dengan tingkat mortalitas sebanyak 270.000 kasus per tahun, dan umumnya terjadi di negara berkembang. Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per 100.000 penduduk setiap tahun, dan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung KNF menempati urutan pertama pada tumor ganas kepala leher. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat karakteristik penderita KNF di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode tahun 2006-2010. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif retrospektif dengan pendekatan cross sectional. Sampel yang digunakan adalah penderita KNF yang berobat di poliklinik onkologi dan rawat inap Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode tahun 2006-2010. Terdapat sebanyak 493 penderita KNF dari tahun 2006-2010 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan jumlah pria lebih banyak yaitu 324 kasus (65,7%), kelompok umur yang terbanyak menderita KNF adalah 50-59 tahun (26,5%), sebanyak 52,5% pasiennya dengan pendidikan terakhir SD, keluhan utama yang tertinggi yaitu benjolan pada leher (72,8%), faktor risiko yang paling banyak ditemukan adalah konsumsi ikan asin (40,2%), kebanyakan pasien datang dengan stadium IV (54,2%) dan jenis histopatologi tertinggi adalah karsinoma tanpa diferensiasi sebanyak 71%. Kemudian sebagian besar pasien diberikan terapi kemoradiasi yaitu sebanyak 54,8%. Karakteristik yang ditemukan pada penderita KNF ini disebabkan oleh gejala dini yang tidak khas dan belum memadainya pelayanan kesehatan untuk mendeteksi dini penyakitnya. Disarankan untuk rumah sakit, puskesmas, serta institusi kesehatan yang terkait dapat memberikan penyuluhan tentang informasi yang berkaitan dengan KNF sehingga masyarakat dapat mengenal gejala dan tanda KNF, serta dibutuhkan kerjasama dari berbagai sektor terkait seperti Dinas Kesehatan, Pemda, LSM, Institusi Pendidikan Dokter atau Perawat, dan IDI untuk melakukan deteksi dini pada KNF.
Kata kunci : karsinoma nasofaring (KNF), karakteristik, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
v
ABSTRACT
Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) is one of the malignant tumor with a predisposition at both head and neck, derived from nasopharyngeal epithelium. The main etiology is the Epstein-Barr virus. This malignant tumor usually grows in Rosenmuller fossa then spread to the nose, throat, and cranial base. NPC is a malignant tumor of head and neck regions commonly found in Indonesia. It is found that more than 500.000 cases with 270.000 cases of mortality level for a year in the world, especially in developing countries. Prevalence of NPC in Indonesia is 3,9 for every 100.000 persons each year. NPC is in the first rank for the malignant tumor of head and neck regions in RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. The objective of this study is to recognize the characteristic of the NPC patient in RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung in the 2006-2010 period. This research was conducted with a descriptive retrospective method using a cross sectional approach. The sample used is the patients with NPC who was treated at oncology policlinic and being hospitalized at Ear,Nose, and Throat - Head and Neck Surgery Department in RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung in 2006-2010 period. There are 493 NPC patients in 2006-2010 period in RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, with 324 male patients or about 65,7% from the whole of NPC patients. Most of the NPC patients is from the 50-59 age group (26,5%), and most of them are not educated person (52,5%). Most NPC patients (72,8%) find a protruding tumor in their neck, and 40,2% NPC patients suffer this malignant has a habit of consuming salted fish. About 54,2% of them is at stadium IV, with 71% undifferentiated carcinoma at the highest histopathology finding. Then 54,8% of them is given a chemoradiation therapy. The characteristic found in NPC patients is caused by the unrecognize early symptoms and unsufficiently health service to detect this disease. Suggestion is that hospitals, clinics, and other health institutions to give health extensions about NPC information to raise people or society awareness with more promotion about NPC early symptoms. Moreover, a partnership program among all health sectors such as health agency, local government, health schools, and IDI is needed to conduct a NPC early detection.
Keywords : nasopharyngeal carcinoma (NPC), characteristic, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas berkat dan anugerah-Nya skripsi yang berjudul “Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Tahun 2006-2010” dapat diselesaikan untuk memenuhi tugas akhir program pendidikan sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Penulis mengambil topik mengenai karsinoma nasofaring karena gejala dini yang tidak khas dan belum memadainya pelayanan kesehatan untuk mendeteksi dini penyakitnya, sehingga kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut. Oleh karena itu diperlukan informasi mengenai karsinoma nasofaring agar masyarakat dapat mengenal gejala dan tanda-tanda karsinoma nasofaring. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu untuk dapat terwujudnya skripsi ini : 1. Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2. Yussy Afriani Dewi, dr., Sp.THT-KL, M.Kes. selaku pembimbing utama yang telah senantiasa memberikan perhatian, bimbingan, masukan, dan dukungan selama pembuatan skripsi sehingga penulis termotivasi untuk dapat memberikan usaha yang terbaik dalam penyusunan skripsi maupun dalam menempuh pendidikan.
vii
3. H. Achmad Bunyamin, dr., Sp.Rad (K) selaku pembimbing pendamping yang senantiasa memberikan perhatian, bimbingan, masukan, dan dukungan sehingga penulis dapat mempelajari banyak hal baru serta dapat memberikan usaha yang terbaik dalam penyusunan skripsi maupun dalam menempuh pendidikan. 4. Yulia Sofiatin, dr., Sp.PD selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran beserta anggota tim skripsi. 5. Direktur dan Kepala Bagian RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL dalam memberikan izin untuk penelitian. 6. Kedua orangtua penulis yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, perhatian, pengertian, semangat, dan bantuan moral maupun material, serta adik yang juga turut mendukung dan membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. 7. Teman-teman yang selalu membantu penulis dalam berbagai hal selama menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih untuk bantuannya secara langsung dan tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berharap semoga apa yang disajikan dalam skripsi ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dan semua pihak, terutama untuk Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
viii
Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan skripsi ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar di masa yang akan datang penulis dapat menjadi lebih baik lagi dan dapat terus menghasilkan karya yang dapat berguna bagi banyak orang. Semoga semua pihak yang telah membantu di dalam proses penyelesaian skripsi ini menerima limpahan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.
Bandung, 1 Mei 2011
Penulis
ix
DAFTAR ISI
JUDUL.....................................................................................................................i SURAT PERNYATAAN........................................................................................ii LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................iii LEMBAR PERNYATAAN SIDANG ...................................................................iv ABSTRAK...............................................................................................................v ABSTRACT..............................................................................................................vi KATA PENGANTAR...........................................................................................vii DAFTAR ISI............................................................................................................x DAFTAR GAMBAR............................................................................................xiii DAFTAR TABEL.................................................................................................xiv DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.....................................................................................1 1.2 Identifikasi Masalah.............................................................................4 1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................5 1.4 Kegunaan Penelitian............................................................................5 1.5 Metoda Penelitian................................................................................6 1.6 Lokasi dan Waktu................................................................................6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Nasofaring.............................................................................7 2.2 Histologi Nasofaring..........................................................................10
x
2.3 Karsinoma Nasofaring.......................................................................11 2.3.1 Insidensi...................................................................................11 2.3.2 Etiologi.....................................................................................12 2.3.2.1 Faktor Genetik.............................................................13 2.3.2.2 Faktor Lingkungan......................................................14 2.3.2.3 Virus Epstein-Barr.......................................................17 2.3.3 Patogenesis...............................................................................24 2.3.4 Histopatologi............................................................................25 2.3.5 Diagnosis..................................................................................27 2.3.5.1 Gejala Klinis................................................................28 2.3.5.2 Pemeriksaan Nasofaring..............................................31 2.3.5.3 Pemeriksaan Radiologi................................................33 2.3.5.4 Pemeriksaan Serologi..................................................34 2.3.5.5 Pemeriksaan Patologi (Biopsi)....................................36 2.3.6 Stadium Tumor........................................................................37 2.3.7 Penatalaksanaan.......................................................................38 2.3.7.1 Radioterapi..................................................................38 2.3.7.2 Kemoterapi..................................................................40 2.3.8 Deteksi Dini.............................................................................41 2.4 Kerangka Penelitian...........................................................................43 BAB III METODA PENELITIAN 3.1 Metoda dan Subyek Penelitian..........................................................44 3.2 Definisi Operasional Variabel...........................................................44
xi
3.3 Bahan Penelitian................................................................................46 3.4 Prosedur Penelitian............................................................................46 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah Penderita Karsinoma Nasofaring Tahun 2006-2010............47 4.2 Karakteristik Penderita KNF Berdasarkan Umur.............................48 4.3 Karakteristik Penderita KNF Berdasarkan Jenis Kelamin.................49 4.4 Karakteristik Penderita KNF Berdasarkan Tingkat Pendidikan........50 4.5 Karakteristik Penderita KNF Berdasarkan Keluhan Utama..............52 4.6 Karakteristik Penderita KNF Berdasarkan Faktor Risiko..................54 4.7 Karakteristik Penderita KNF Berdasarkan Stadium..........................55 4.8 Karakteristik Penderita KNF Berdasarkan Jenis Histopatologi.........57 4.9 Karakteristik Penderita KNF Berdasarkan Jenis Terapi....................58 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan........................................................................................60 5.2 Saran..................................................................................................61 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................62 LAMPIRAN
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi nasofaring.............................................................................7 Gambar 2.2 Potongan horizontal nasofaring pada tingkat sinus morgagni.............8 Gambar 2.3 Vaskularisasi dan inervasi kepala dan leher........................................9 Gambar 2.4 Kelenjar getah bening kepala dan leher.............................................10 Gambar 2.5 Patogenesis karsinoma nasofaring.....................................................25 Gambar 2.6 Karsinoma sel skuamosa berkeratin..................................................26 Gambar 2.7 Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin.........................................26 Gambar 2.8 Karsinoma tidak berdiferensiasi.........................................................27 Gambar 2.9 Nasofaringoskopi tumor.....................................................................32 Gambar 2.10 CT Scan karsinoma nasofaring........................................................33 Gambar 2.11 MRI karsinoma nasofaring...............................................................34 Gambar 2.12 Algoritma skrining karsinoma nasofaring........................................42 Gambar 2.13 Kerangka penelitian..........................................................................43
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Stadium karsinoma nasofaring menurut AJCC tahun 2002...................37 Tabel 4.1 Jumlah penderita karsinoma nasofaring per-tahun (2006-2010)...........47 Tabel 4.2 Distribusi pasien KNF berdasarkan umur..............................................48 Tabel 4.3 Distribusi pasien KNF berdasarkan jenis kelamin.................................50 Tabel 4.4 Distribusi pasien KNF berdasarkan pendidikan....................................51 Tabel 4.5 Distribusi pasien KNF berdasarkan keluhan utama...............................52 Tabel 4.6 Distribusi pasien KNF berdasarkan faktor risiko...................................54 Tabel 4.7 Distribusi pasien KNF berdasarkan stadium..........................................55 Tabel 4.8 Distribusi pasien KNF berdasarkan jenis histopatologi.........................57 Tabel 4.9 Distribusi pasien KNF berdasarkan jenis terapi.....................................59
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Izin Penelitian................... ............................................... 65
Lampiran 2
Data Pasien KNF di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode tahun
2006-2010........................................................................66
xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tumor kepala leher meliputi tumor yang tumbuh pada bagian atas klavikula kecuali otak dan medula spinalis. Tumor di daerah kepala dan leher digabungkan menjadi satu kategori tumor kepala leher karena mempunyai satu kesamaan etiologi, cara penyebarannya, metode pemeriksaan diagnostik, pengobatan, dan rehabilitasi. Dibandingkan pertumbuhan tumor ganas di tempat lain, tumor kepala leher tidak banyak dijumpai.1,2 Insidensi tumor kepala leher sangat bervariasi. Di dunia ditemukan lebih dari 500.000 kasus dengan tingkat mortalitas sebanyak 270.000 kasus per tahun, dan umumnya terjadi di negara berkembang.1,2 Di Eropa dan Amerika Serikat, tumor kepala leher merupakan salah satu keganasan yang jarang terjadi, dengan prevalensi 5-10% dari seluruh tumor, sedangkan di negara lain seperti India, prevalensinya mencapai 45%.3,4 Bagian Patologi Badan Registrasi Kanker Indonesia di bawah pengawasan Dirjen Kesehatan RI, mendapatkan tumor kepala leher di urutan ke empat dari sepuluh besar keganasan serta urutan ke dua dari sepuluh keganasan pada laki-laki.1 Hampir 60% tumor ganas kepala leher merupakan karsinoma nasofaring (KNF), diikuti oleh karsinoma sinonasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. KNF
2
menduduki urutan keempat dari seluruh keganasan setelah kanker mulut rahim, payudara, dan kulit.5 Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di berbagai penjuru dunia cukup bervariasi. Penelitian di 17 negara Eropa, ditemukan rata-rata 187 kasus baru setiap tahun, di Rio de Janeiro 16 kasus baru, di Nigeria 12 kasus baru, sedangkan di Israel hanya ditemukan 3 kasus baru setiap tahun. Kasus baru yang sangat banyak, ditemukan di Hongkong, yaitu 1146 kasus setiap tahun.6 Insidensi KNF yang paling tinggi adalah pada ras Mongoloid di Asia dan China Selatan, dengan frekuensi 100 kali dibanding frekuensi KNF pada ras Kaukasia. Prevalensi KNF di Provinsi Guangdong China Selatan adalah 39,84/100.000 penduduk.6,7,8 Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per 100.000 penduduk setiap tahun. Di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, Sumatera Utara, penderita KNF paling banyak ditemukan pada suku Batak yaitu 46,7% dari 30 kasus.6 Di RSUP H. Adam Malik Medan, ditemukan 113 penderita KNF pada tahun 2009.9 Dari seluruh penderita yang menjalani radioterapi di Poliklinik Radioterapi RSUD Dr. Soetomo selama periode tahun 1991-1997 tercatat 749 penderita KNF baru, dan angka ini menempati peringkat kedua setelah kanker leher rahim.10 Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta selama periode 1988-1992 didapatkan kasus KNF sebanyak 71,77% di antara 712 tumor ganas tubuh, dan kebanyakan penderita KNF tersebut datang pada stadium lanjut.11 Di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, KNF menempati urutan pertama dari seluruh tumor ganas di daerah kepala dan leher.12
3
KNF berasal dari epitel nasofaring. Penyebab utamanya adalah virus Epstein-Barr. Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa Rossenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak. Gejala utama biasanya terjadi pada leher, hidung, dan telinga.3,6,13 Sebagian besar penderita KNF berumur di atas 20 tahun, dengan umur paling banyak antara 50–70 tahun. Insidensinya meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan setelah umur 60 tahun. Sedangkan berdasaran jenis kelamin, ditemukan kecenderungan penderita KNF lebih banyak pada laki-laki. Dari beberapa penelitian, ditemukan perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 2 sampai 4 : 1.6 Gejala yang timbul pada KNF biasanya berhubungan dengan letak tumor, penyebaran, dan stadiumnya. Karena nasofaring terletak di daerah yang sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak dikenali sehingga penderita kebanyakan datang pada stadium lanjut. Kadang-kadang penderita datang dengan gejala KNF stadium dini, tetapi gejala yang dikeluhkan sangat umum seperti flu, rinitis atau sinusitis sehingga tidak terpikir oleh pemeriksa. Hal ini sangat disayangkan, karena “kesalahan” ini akan sangat merugikan. Oleh karena itu harus dilakukan berbagai upaya agar dapat menemukan penderita KNF sedini mungkin agar prognosis lebih baik.14,15 Kasus kanker di Indonesia termasuk karsinoma nasofaring dari tahun ke tahun semakin menunjukkan peningkatan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya usia harapan hidup dan perubahan pola hidup masyarakat kita, seperti kebiasaan menggunakan rokok dan alkohol yang merupakan salah satu
4
faktor risiko terjadinya tumor maupun kanker.16 Selain faktor risiko, informasi lain seperti faktor usia, riwayat pekerjaan, stadium tumor, dan jenis terapi juga perlu
diketahui
untuk
pencegahan
secara
dini,
pengenalan,
dan
penanggulangan kasus kanker pada masyarakat secara luas untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Melihat peningkatan kasus karsinoma nasofaring di Indonesia, serta gejala dini yang seringkali tidak dikenali dan menyebabkan penderita kebanyakan datang pada stadium lanjut, mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai karakteristik penderita karsinoma nasofaring yang dirawat atau berkunjung ke poliklinik onkologi di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, selama periode Januari 2006 sampai dengan Desember 2010.
1.2 Identifikasi Masalah a. Berapa jumlah penderita karsinoma nasofaring di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode 1 Januari 2006 – 31 Desember 2010? b. Bagaimana distribusi karsinoma nasofaring menurut umur, jenis kelamin, faktor risiko, pendidikan, stadium,
gambaran histopatologi, dan jenis
terapi di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ? c. Apa saja yang menjadi keluhan utama pada penderita karsinoma nasofaring tersebut?
5
1.3 Tujuan Penelitian a. Mengetahui jumlah penderita karsinoma nasofaring di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode 1 Januari 2006 – 31 Desember 2010 b. Mengetahui distribusi karsinoma nasofaring menurut umur, jenis kelamin, faktor risiko, pendidikan, stadium, gambaran histopatologi, dan jenis terapi di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung c. Mengetahui keluhan utama pada penderita karsinoma nasofaring tersebut
1.4 Kegunaan Penelitian a. Memberikan informasi mengenai deteksi dini, khususnya karsinoma nasofaring kepada masyarakat secara luas untuk peningkatan mutu pelayanan kesehatan. b. Dengan adanya informasi mengenai pengenalan dan penanggulangan karsinoma nasofaring, diharapkan dokter dapat melakukan deteksi dini adanya tumor pada nasofaring, sehingga dapat dilakukan penanganan lebih awal dan menurunkan tingkat mortalitas.
6
c. Melengkapi data yang sudah ada pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THTKL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, atau institusi lain guna penelitian lebih lanjut. d. Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam membuat suatu karya ilmiah. e. Penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk penelitian lebih lanjut.
1.5 Metoda Penelitian Metoda penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif dengan rancangan cross sectional. Data dikumpulkan dari rekam medik (data sekunder) penderita karsinoma nasofaring yang berobat di poliklinik dan rawat inap di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode Januari 2006 – Desember 2010.
1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, dan memerlukan waktu dari bulan Januari sampai dengan April 2011.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Nasofaring Nasofaring merupakan organ berbentuk kuboid yang terletak di belakang rongga hidung, superior dari soft palate dengan diameter anteroposterior 2-4 cm dan tinggi 4 cm. Nasofaring dibagi dalam beberapa regio, yaitu dinding anterior, posterosuperior, dan lateral. Pada bagian anterior, nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui bagian posterior dari koana dan di dinding lateral berisi muara tuba Eustachius dan fossa Rosenmuller (resesus faringeal) yang berbatasan dengan dinding posterolateral. Dinding posterolateral berisi jaringan adenoid yang di belakangnya berbatasan dengan fasia prevertebralis.4,17
Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring4
8
Fossa Rosenmuller merupakan area yang menjadi asal dari sebagian besar sel karsinoma nasofaring. Area ini berhubungan secara anatomis dengan beberapa organ penting yang menjadi tempat penyebaran tumor dan menentukan presentasi klinis serta prognosis. Area-area tersebut adalah17 : Anterior
: tuba Eustachius
Antero-lateral
: otot levator veli palatini
Posterior
: retropharyngeal space
Superior
: foramen laserum di bagian medial, apeks petrosus dan kanalis karotikus di bagian posterior, serta foramen ovale dan spinosum di bagian anterolateral
Lateral
: otot tensor veli palatini dan pharyngeal space
Inferior
: otot konstriktor superior
Gambar 2.2 Potongan horizontal nasofaring pada tingkat sinus morgagni17 (A:Pharyngobasilar Fascia, B:Buccopharyngeal Fascia, C:Alar Fascia, D:Prevertebral Fascia, S:Kanalis Karotikus; 1.Otot Pterigoid Lateral, 2.Otot Pterigoid Medial, 3.Otot Tensor Veli Palatini, 4.Otot Levator Veli Palatini, 5.Parapharyngeal Space, 6.Fossa Rossenmuller, 7.Stiloid Prosesus, 8.Rouviere Node, 9.Retropharyngeal Space)
9
Suplai darah nasofaring berasal dari cabang arteri karotis eksternal, sedangkan drainase vena adalah melalui pleksus faring ke vena jugular internal. Persarafan nasofaring berasal dari cabang saraf kranial V2, IX, dan X, serta saraf simpatik.4
Gambar 2.3 Vaskularisasi dan Inervasi Kepala dan Leher18 Nasofaring memiliki banyak jaringan limfatik dan saluran getah bening
sehingga
dapat
mempermudah
dan
mempercepat
terjadinya
metastasis. Kelenjar getah bening eselon pertama berada di ruang parafaring dan retrofaring, dimana terdapat kelenjar getah bening yang berpasangan, yang dinamakan Rouviere node. Drainase ke daerah jugular dapat melalui kelenjar getah bening parafaring atau melalui saluran langsung. Sedangkan di bagian segitiga posterior terdapat jalur langsung terpisah yang mengarah ke kelenjar getah bening di tulang belakang. Drainase lebih lanjut dapat terjadi
10
ke leher bagian kontralateral, ke bagian servikal, kemudian ke kelenjar getah bening di supraklavikula.4
Gambar 2.4 Kelenjar Getah Bening Kepala dan Leher18
2.2 Histologi Nasofaring Mukosa nasofaring pada saat lahir dilapisi oleh pseudostatified kolumnar epitelium, pada usia sekitar 10 tahun berubah menjadi stratified squamous epitelium. Pada dinding lateral nasofaring terdapat daerah yang merupakan tempat transisi pertemuan kedua jenis epitel ini, yaitu berisi epitel berbentuk kuboid atau globular yang nantinya berpotensi ke arah keganasan. Membran mukosa nasofaring juga berisi jaringan limfoid dan kelenjar air liur minor yang bisa menjadi asal dari sel keganasan di nasofaring.17
11
2.3 Karsinoma Nasofaring 2.3.1 Insidensi Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di berbagai penjuru dunia cukup bervariasi. Penelitian di 17 negara Eropa, ditemukan ratarata 187 kasus baru setiap tahun. Di Rio de Janeiro ditemukan 16 kasus baru dan di Nigeria 12 kasus baru setiap tahun, sedangkan di Israel hanya ditemukan 3 kasus baru setiap tahun. Kasus baru yang sangat banyak, ditemukan di Hongkong, yaitu 1146 kasus setiap tahun.6 Insidensi KNF yang paling tinggi ditemukan di daerah Cina Selatan, dengan frekuensi 100 kali dibanding frekuensi karsinoma nasofaring pada ras Kaukasia. Prevalensi karsinoma nasofaring di Provinsi Guangdong China Selatan adalah 39,84/100.000 penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan cukup banyak pula di Yunani, Afrika bagian utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska, diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam
musim
dingin
yang
menggunakan
bahan
pengawet
nitrosamin.6,7,8 Prevalensi KNF di Indonesia hampir merata di seluruh daerah yaitu 3,9 per 100.000 penduduk setiap tahun. Di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, Sumatera Utara, penderita KNF paling banyak
12
ditemukan pada suku Batak yaitu 46,7% dari 30 kasus.6 Di RSUP H. Adam Malik Medan, ditemukan 113 penderita KNF pada tahun 2009.9 Dari seluruh penderita yang menjalani radioterapi di Poliklinik Radioterapi RSUD Dr. Soetomo selama periode tahun 1991-1997 tercatat 749 penderita KNF baru, dan angka ini menempati peringkat kedua setelah kanker leher rahim.10 Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta selama periode 1988-1992 didapatkan kasus KNF sebanyak 71,77% di antara 712 tumor ganas tubuh, dan kebanyakan penderita KNF tersebut datang pada stadium lanjut.11 Sebagian besar penderita KNF berumur di atas 20 tahun yaitu antara 50–70 tahun, dan ditemukan paling banyak pada usia produktif yaitu antara 30-59 tahun (80%), dengan puncak antara 40–49 tahun. Insidensi KNF meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan setelah umur 60 tahun. Sedangkan berdasaran jenis kelamin, ditemukan kecenderungan penderita KNF lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan. Dari beberapa penelitian, ditemukan perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 2-4 : 1.6
2.3.2 Etiologi Penyebab pasti KNF masih belum diketahui, namun gabungan dari beberapa faktor intrinsik dan ektrinsik diyakini sebagai penyebab, yaitu faktor genetik, lingkungan, dan virus Epstein Barr (EBV).
13
2.3.2.1 Faktor Genetik Kerentanan
genetik
sebagai
faktor
predisposisi
KNF
didasarkan atas fakta banyaknya penderita dari bangsa atau ras China. Selain itu KNF juga banyak dijumpai pada ras mongoloid, termasuk bangsa-bangsa di Asia terutama Asia Tenggara yang masih tergolong rumpun Melayu. Insiden KNF di China maupun negara di Asia Tenggara lebih besar 10-50 kali dibandingkan negara lainnya. Adanya riwayat tumor ganas dalam keluarga merupakan salah satu faktor resiko KNF. Secara umum didapatkan sekitar 10% dari penderita KNF mempunyai keluarga yang menderita keganasan nasofaring atau organ lain, dan 5% diantaranya sama-sama menderita KNF dalam keluarganya.14,19 Hilangnya alel HLA kelas I atau kelas II (alelle HLA loss) pada gen HLA tertentu diperkirakan menyebabkan kegagalan interaksi HLA- peptide complex dengan limfosit T c/s (CD8+) atau limfosit T helper (CD4+). Hal ini disebabkan karena tidak dimunculkannya antigen virus/tumor pada epitop (antigenic determinant) sehingga keberadaan virus EB didalam sel inang (limfosit B dan sel epitel faring) atau sel kanker tidak dapat dikenali oleh sel imunokompeten. Adanya kelainan genetik ini akan sangat merugikan karena sel yang terinfeksi virus maupun sel kanker dapat terhindar dari penghancuran melalui mekanisme imunologik, berakibat pertumbuhan kanker yang terus berlangsung.14,19
14
2.3.2.2 Faktor Lingkungan Insidensi KNF yang tinggi di lokasi geografi tertentu mengindikasikan adanya faktor atau bahan kimia tertentu di lingkungan yang dapat menginduksi terjadinya KNF (environmental carcinogens) antara lain adat kebiasaan atau gaya hidup (life style related cancer), termasuk kebiasaan makan (diet habits). Karsinogen lingkungan bertindak sebagai kofaktor atau promotor timbulnya KNF.19 Penelitian in vitro membuktikan bahwa aktivasi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan perubahan sel normal menjadi sel kanker. Penelitian epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat antara meningkatnya kejadian KNF dengan konsumsi bahan makanan berupa ikan atau udang yang diawetkan dengan garam (diasinkan), seperti ikan asin (dry salted fish), pindang asin dan udang asin, atau yang dikeringkan dengan pengasapan. Penelitian pada penduduk ras Cina di Hongkong dan Malaysia ditemukan ikan asin terbukti sebagai faktor risiko yang sangat kuat terhadap kejadian KNF. Bubur ikan asin yang banyak di konsumsi penduduk di daerah Cina Selatan sejak kecil, dikenal sebagai “Cantonese salted fish” terbukti mengandung nitrosamin. Nitrosamin merupakan pro karsinogen dan promotor aktivasi EBV diketemukan dalam kadar yang tinggi pada ikan asin. Pro karsinogen merupakan karsinogen yang memerlukan perubahan metabolis agar menjadi karsinogen aktif (ultimate carcinogen),
15
sehingga dapat menimbulkan perubahan DNA, RNA, atau protein sel tubuh.14,17,20,21 Hubungan yang konsisten dan kuat antara kejadian KNF dengan konsumsi ikan asin dalam waktu yang panjang dan dimulai sejak usia dini di Hongkong pada sekitar 90 % kasus KNF. Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan (protein) dengan pemanasan sinar matahari terjadi reaksi biokimiawi berupa nitrosasi. Gugus nitrit dan nitrat yang terbentuk akan bereaksi dengan ekstrak ikan asin menjadi nitrosamin dan beberapa volatile nitrosamines antara lain senyawa Nnitrosodimethylamine (NDMA), N-nitrosodiethylamine (NDEA), Nnitrosodi-n-propylamine (NDPA), N-nitrosodi-butylamine (NDBA) dan N-nitrosomorpholine (NMOR). Disamping sebagai pemicu aktifnya virus EB (promotor, EBV inducer), beberapa senyawa ini terutama NDMA dan NDEA bersifat karsinogenik aktif (epigenetic carcinogen). Selain ikan asin, nitrosamin juga ditemukan pada ikan atau makanan yang diawetkan dengan nitrit atau nitrat sebagai bahan aditif, sayuran yang diawetkan dengan cara fermentasi atau diasinkan dan taoco di Cina Kadar NDMA diketemukan dalam jumlah yang lebih tinggi setelah ikan asin bereaksi dengan asam lambung dan nitrit. Hal ini menunjukkan bahwa nitrosamin dapat dibuat secara endogen pada proses pencernaan ikan asin di lambung. Selain nitrosamin, diduga ada substrat atau bahan kimiawi lain yang terdapat di ikan asin yang dapat
16
menyebabkan replikasi dan aktivasi virus EB yang secara laten berada dalam epitel nasofaring dan limfosit B.14,21 Kebiasaan makan termasuk minum jamu, merokok, dan minum alkohol serta kebersihan lingkungan yang buruk diduga dapat meningkatkan risiko terkena KNF. Sejumlah makanan dan tanaman obat, baik yang tradisional (jamu) ataupun yang berasal dari Cina (Chinese herbal medicine) dan minyak untuk hidung ternyata mengandung ester forbol dan N-butyric acid yang selain dapat bertindak sebagai EBV inducer, juga mutagenik. Semacam teh dari Cina dan Tunisia dapat merupakan bahan karsinogenik. Selain menyebabkan iritasi menahun pada tenggorok (nasofaringitis kronik), makanan panas atau pedas dan asap pembakaran hio diduga dapat mengaktifkan virus EB.14,22 Dilaporkan juga bahwa risiko terkena KNF pada perokok yang merokok lebih dari 20 batang sehari ternyata dua kali lipat lebih besar dari pada yang bukan perokok.22 Bahan karsinogenik di asap rokok yang diperkirakan berperan sebagai promotor terjadinya KNF yaitu 3,4- benzypyrene dan polycyclic aromatic hydrocarbon. Namun demikian, Roezin mengatakan bahwa meskipun kebiasaan merokok lebih sering dijumpai pada kelompok penderita KNF (49,38%) dibandingkan non KNF (32,10%) ternyata tidak menunjukkan kemaknaan secara statistik. Bahan lainnya yang diduga dapat mengaktifkan virus EB antara lain debu yang mengandung kromium,
17
nikel, arsen, asap dari pembakaran dupa, rumput, tembakau, candu, kemenyan, kayu atau minyak tanah serta obat nyamuk. Beberapa bumbu masak tertentu, makanan yang terlalu panas dan pedas juga dapat meningkatkan kejadian KNF. Bahan-bahan ini mungkin berperan dalam mempercepat timbulnya KNF bersama faktor predisposisi lainnya. Bahan karsinogen dapat mencapai nasofaring melalui inhalasi, per-oral, subkutan dan intra vena. Kelembaban tinggi yang disertai adanya asap (polusi udara) dalam jangka waktu yang lama akan memperbesar kemungkinan terjadinya KNF. Hal ini terutama didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar penderita KNF berasal dari golongan status ekonomi yang lebih rendah. Selain kondisi lingkungan yang buruk, terdapat beberapa bukti bahwa KNF berkaitan dengan kurangnya makan buah atau sayuran segar. Defisiensi nutrisi khususnya hipovitaminose-A berhubungan erat dengan kejadian KNF. Hal ini mungkin disebabkan karena difisiensi vitamin A, B, dan C menyebabkan terganggunya pertumbuhan epitel. Konsumsi vitamin C dan E dapat mencegah pembentukan nitrosamin dalam tubuh.14
2.3.2.3 Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr (EBV) termasuk famili virus herpes yang merupakan penyebab mononukleosis akut dan salah satu faktor etiologi pada KNF, karsinoma gaster serta limfoma akut.6
18
Bukti kuat adanya peran EBV sebagai penyebab KNF didasarkan atas laporan hasil penelitian epidemiologi maupun laboratorik terutama serologi, virologi, patologi, dan biologi molekuler dengan ditemukannya23 : 1. Antibodi dengan titer yang tinggi terhadap antigen EBV dalam serum 2. Antigen inti EBV (EBNA) di dalam sel tumor nasofaring 3. Genom EBV dalam bentuk plasmid di jaringan tumor nasofaring dan isolasi virus 4. DNA EBV pada jaringan kanker nasofaring 5. mRNA-EBV (EBERs) di sel kanker nasofaring Keganasan yang disertai meningkatnya titer antibodi terhadap virus EB hanya diketemukan pada KNF, dan tidak didapatkan pada keganasan di daerah kepala dan leher lainnya. Peningkatan titer antibodi terhadap virus EB hanya dijumpai pada KNF dengan jenis WHO tipe 3 dan 2, sedangkan pada jenis WHO tipe 1 tidak diketemukan peningkatan titer atau meningkat dalam titer yang sangat rendah.6 Penularan EBV lewat orofaring terjadi karena kontak oral yang intim, atau melalui saliva yang tertinggal pada peralatan makan. Kebiasaan makan secara tradisional dengan menggunakan sumpit untuk mengambil hidangan makanan diduga berkaitan dengan tingginya infeksi virus EB pada ras Cina. Karena mudah dan cepatnya terjadi
19
penularan maka hampir semua individu dibawah 25 tahun sudah terinfeksi virus EB.14 Infeksi primer alamiah dimulai pada masa anak-anak, biasanya gejala klinik ringan atau bahkan tanpa gejala. Di negara berkembang, hampir semua (99,9 %) anak umur 3 tahun telah terinfeksi virus EB. Infeksi virus EB diperkirakan mengenai 80-90% populasi di negara maju. Survei di Hongkong menunjukkan bahwa semua anak ras Cina sebelum umur 15 tahun telah mempunyai antibodi terhadap virus EB. Keadaan ini menunjukkan bahwa meskipun hanya memberikan gejala klinik ringan, virus EB yang memasuki tubuh manusia akan menetap seumur hidup (persisten). Hal ini mendukung pendapat bahwa EBV infected lymphocytes and pharyngeal epithelium banyak diketemukan pada orang normal.14 Patogenesis infeksi EBV dimulai dengan masuknya virus EB pada epitel faring yang kemudian di ikuti dengan replikasi virus. Proliferasi limfosit B yang pasif akibat provokasi virus EB diduga mendorong terjadinya translokasi gen c-myc dengan menghasilkan suatu klon sel-sel limfosit B yang neoplastik. Gangguan ekspresi protoonkogen karena terjadinya translokasi gen c-myc mengakibatkan turunnya ekspresi gen-gen MHC (mayor histocompatibility complex) kelas I yang diperlukan untuk mengenali antigen asing oleh limfosit T sitotoksik (CD8). Menurunnya kemampuan sT CD8 dalam mengenal dan menghancurkan sel kanker berakibat perkembangan sel kanker
20
yang seakan tanpa hambatan. EBV dalam siklus litik menghasilkan protein yang disebut BZLF1 yang dapat menghilangkan fungsi protein p53. Inaktivasi dari oncoprotein yang merupakan produk dari tumor suppressor gene (p53) menyebabkan hilangnya hambatan proliferasi sel yang berakibat proliferasi yang tak terkendali.14 Mekanisme karsinogenesis lainnya yaitu melalui insersi sebagian atau seluruh (hospes).
DNA virus EB pada kromosom sel inang
Penggabungan
DNA
ini
dalam
waktu
yang
lama
menimbulkan mutasi gen p53 sehingga sel bebas mengadakan replikasi DNA.14 Infeksi virus EB secara tersendiri tidak akan menimbulkan KNF. Virus EB baru akan menimbulkan perubahan pada sel inang (hospes) apabila di aktifkan oleh promotor. Walaupun untaian ganda DNA (double stranded DNA) dari virus EB pada penelitian in vitro terbukti dapat menyebabkan proliferasi dan transformasi morfologik dari limfosit B maupun epitel nasofaring, namun mekanisme virus EB dalam menyebabkan transformasi sel epitel nasofaring masih belum diketahui dengan jelas.14 Virus EB akan mengekspresikan berbagai macam antigen spesifik tergantung pada siklus hidupnya dalam sel inang. Pada fase infeksi laten, dibentuk protein inti (Epstein Barr nuclear antigen / EBNA) dan protein membran (latent membrane protein / LMP). Kedua antigen ini mempunyai pengaruh terhadap proliferasi dan replikasi
21
virus, menyebabkan sel yang terinfeksi menjadi imortal. Antigen pada fase replikasi dini disebut early antigen (EA) yang dibentuk sebelum sintesa DNA virus. Pada fase lanjut dibentuk antigen kapsul (viral capsid antigen / VCA) yang di-ekspresikan pada saat infeksi aktif.23 Masuknya virus EB dalam tubuh menyebabkan dibentuknya beberapa antibodi antara lain antibodi terhadap antigen kapsul (anti VCA) yang dapat digunakan sebagai petunjuk (petanda) infeksi virus EB. Selanjutnya genom EBV yang berada dalam sel inang yaitu limfosit B dan / atau sel epitel faring akan mengalami fusi (terminal repeat EBV genome) sehingga terbentuk episom berbentuk lingkaran, atau integrasi DNA EBV pada genom (kromosom) sel inang. Nukleus sel inang yang mengandung DNA virus EB (integrated EBV genome) akan memberi sinyal terbentuknya protein baru. Perubahan fase laten ke bentuk litik dimulai dengan adanya aktivasi protein ZEBRA yang di sandi oleh gen BZLF-1. Ekspresi protein ini mengawali sintesis berbagai protein lainnya. Sebanyak sekitar 85 gen EBV di transkripsi selama fase litik. Fase litik ditandai dengan berbagai ekspresi gen EBV antara lain protein transkripsi (BZLF-1), 6 protein inti (EBV associated nuclear antigen/EBNA 1-6) dan beberapa protein membran (latent membrane protein/LMP).
EBNA dan LMP yang di ekspresikan
dipermukaan limfosit B, disebut sebagai LYDMA (lymphocyte detected membrane antigen) merupakan kompleks antigen yang dapat dikenali oleh sel NK dan limfosit T cytotoxic / suppressor melalui HLA (MHC).
22
Sel limfosit B yang terinfeksi virus EB dapat dihancurkan (lisis) oleh sel NK dan limfosit T c/s melalui ikatan HLA - antigen restricted limfosit T c/s. Adanya EBNA menimbulkan reaksi tubuh dengan membentuk anti EBNA.23 Salah satu protein produk onkogen virus EB yang secara in vitro terbukti menyebabkan transformasi sel epitel faring maupun limfosit B menjadi bentuk yang imortal adalah EBV-nuclear antigen 1 (EBNA-1) dan latent membrane protein 1 dan 2 (EBV-LMP 1, 2). Beberapa
bukti
penelitian
menunjukkan
bahwa
untuk
dapat
menimbulkan terjadinya perubahan keganasan dan replikasi tanpa kontrol pada sel “host” (in vivo), virus EB harus mengalami aktivasi terlebih dahulu. Berdasarkan penelitian pada hewan, beberapa bahan diduga dapat bertindak sebagai mediator yang dapat mengaktifkan virus EB antara lain yaitu nitrosamine, benzopyrene, bensoanthracene dan beberapa hydrocarbon. Zat-zat ini terutama nitrosamin, banyak dijumpai pada bahan makanan yang di awetkan dengan cara di asinkan (misalnya ikan asin, sayur asin, soy beans salted) maupun dengan pengasapan misalnya smoked salmon. Beberapa pengobatan dengan menggunakan bahan dari tumbuh-tumbuhan (herbal) pada pengobatan tradisional yang berasal dari Cina (Chinese traditional medicine) diduga mengandung N - butyric acid yang juga dapat bertindak sebagai ko-faktor atau promotor terjadinya KNF melalui aktivasi virus EB.
23
Bahan yang di produksi oleh bakteri yang hidup di mukosa nasofaring juga berpengaruh terhadap replikasi dan reaktivasi virus EB.14,23 Keganasan di nasofaring yang dihubungkan dengan virus EB ini terutama jenis karsinoma anaplastik atau undifferentiated (WHO tipe 3) dan sebagian jenis karsinoma sel skuamosa non keratinisasi (WHO tipe 2). Karena tidak diketemukan DNA virus EB pada jaringan tumor, maka jenis karsinoma sel skuamosa (WHO tipe 1) diperkirakan tidak berkaitan dengan infeksi virus EB. Tidak adanya peningkatan titer antibodi atau peningkatan titer antibodi terhadap virus EB yang sangat sedikit, maka KNF jenis WHO tipe 1 diduga disebabkan karena mutasi genetik yang terjadi spontan atau karena induksi bahan kimiawi karsinogenik.14 Meskipun hubungan EBV dengan kejadian KNF sangat kuat, namun pada kenyataannya tidak semua individu yang terinfeksi EBV akan berkembang menjadi KNF. Keadaan ini menunjukkan bahwa EBV secara tersendiri masih belum dapat menginduksi transformasi maligna dari sel mukosa nasofaring normal. Transformasi sel baru terjadi bila EBV mengalami aktivasi terlebih dahulu, baru
kemudian dapat
mempengaruhi sel inang (host cell) sehingga menjadi maligna dan mengadakan replikasi tanpa kontrol. Aktivasi EBV terjadi oleh karena faktor pendukung lain.14
24
2.3.3 Patogenesis KNF terjadi akibat perubahan genetik yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik virus maupun faktor kimiawi. Keterlibatan faktor kerentanan genetik dan delesi pada kromosom 3p/9p berperan pada tahap awal perkembangan kanker. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan genetik dapat dirangsang oleh karsinogen kimia di lingkungan yang menyebabkan transformasi epitel normal ke lesi prakanker tingkat rendah, seperti NPIN I dan II. Penemuan berikutnya menunjukkan bahwa infeksi laten virus EB berperan dalam progresi lesi pra-kanker tingkat rendah ke tingkat tinggi yaitu NPIN III. Infeksi laten virus EB juga berperan penting dalam proses seleksi klonal dan perkembangan lebih lanjut.17 Ekspresi bcl-2 yang terdapat di dalam sel displastik dari lesi pra-kanker tingkat tinggi (NPIN III) berperan dalam menghambat proses apoptosis. Kemudian faktor lingkungan, perubahan genetik seperti aktivasi telomerase, inaktivasi gen p16/p15, delesi kromosom 11q dan 14q juga berperan dalam tahap awal perkembangan KNF.17 Peran LOH (Loss of Heterozygosity) pada kromosom 14q dan overekspresi dari gen c-myc, protein ras dan p53 berperan dalam progresi karsinoma yang invasif. Selain itu, mutasi gen p53 dan perubahan genetik lainnya juga berperan dalam proses metastasis.17
25
Gambar 2.5 Patogenesis Karsinoma Nasofaring17
2.3.4 Histopatologi Sejak tahun 1991, WHO membagi KNF ke dalam tiga tipe, yaitu24 : 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (keratinized squamous cell carcinoma). Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring. Sel-sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang, dan menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin didalam maupun diluar sel. 2. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratin (nonkeratinized squamous cell carcinoma). Tipe ini paling banyak variasinya, sebagian tumor dengan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel-sel yang lebih kearah diferensiasi baik. Seringkali menyerupai gambaran pada karsinoma sel transisional.
26
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (undifferentiated carcinoma). Kelompok disini mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen. Termasuk disini karsinoma anaplastik, limfoepitelioma, clear cell carcinoma dan varian sel spindel.
Gambar 2.6 Karsinoma Sel Skuamosa Berkeratin25
Gambar 2.7 Karsinoma Sel Skuamosa Tidak Berkeratin25
27
Gambar 2.8 Karsinoma tidak berdiferensiasi25
Di Amerika Utara, ditemukan pasien KNF dengan jenis histopatologi WHO tipe 1 sekitar 25%, WHO tipe 2 12%, dan WHO tipe 3 63%. Sedangkan di Cina Selatan ditemukan sekitar 3% WHO tipe 1, 2% WHO tipe 2, dan 95% WHO tipe 3. 24 WHO tipe 3 pada karsinoma nasofaring merupakan tipe histopatologi yang paling sering dan endemik, terutama di Asia Tenggara.6
2.3.5 Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan nasofaring, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan patologi.4,14,26
2.3.5.1 Gejala Klinis Gejala yang timbul pada KNF biasanya berhubungan dengan letak tumor, penyebaran, dan stadiumnya. Karena nasofaring terletak di
28
daerah yang sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak dikenali sehingga penderita kebanyakan datang dengan keluhan benjolan di leher akibat penyebaran tumor ke kelenjar getah bening regional. Biasanya keluhan pertama yang muncul adalah keluhan pada telinga atau hidung yang bersifat unilateral. Keluhan di telinga dapat berupa gejala oklusi tuba Eustachius sampai otitis media serosa dan perforasi membran timpani. Gejala pada hidung dapat berupa sumbatan hidung dengan atau tanpa ingus yang bercampur darah atau berupa epistaksis. Gangguan penciuman dan obstruksi biasanya menetap dan bertambah berat akibat massa tumor yang menutupi koana. Gejala lanjut yang paling sering dijumpai dan mendorong pasien untuk datang berobat adalah pembesaran kelenjar getah bening leher unilateral atau bilateral.17 Gejala lain yang dapat terjadi adalah kelumpuhan saraf intrakranial. Tumor dapat meluas kearah superior menuju ke intra kranial dan menjalar sepanjang fosa kranii media (penjalaran petrosfenoid). Biasanya tumor masuk rongga tengkorak melalui foramen laserum, menimbulkan kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak yaitu N. III, IV, V dan N VI. Paling sering terjadi gangguan N.VI (keluhan diplopia) yang disusul N.V (keluhan neuralgi trigeminal dan parestesi wajah). Peneliti luar negeri melaporkan saraf kranial yang tersering mengalami gangguan adalah N. V, kemudian disusul N. VI. Bila semua saraf grup anterior terkena gangguan maka timbul
29
kumpulan gejala yang disebut sebagai sindroma petrosfenoid yaitu neuralgia trigeminal dan oftalmoplegia unilateral, amaurosis dan nyeri kepala hebat karena penekanan tumor pada dura mater. Terkenanya N. III menimbulkan gejala ptosis dan klinis didapatkan fiksasi bolamata (oftalmoplegi) kecuali untuk pergerakan ke lateral karena kelumpuhan muskulus rektus internus superior dan inferior serta muskulus palpebrae inferior dan obliqus. Gangguan N.IV menimbulkan kelumpuhan muskulus obliqus inferior bolamata. Lesi saraf ini jarang merupakan kelainan yang berdiri sendiri tetapi lebih sering diikuti kelumpuhan N.III. Biasanya penekanan saraf-saraf ini terjadi didalam atau pada dinding lateral sinus kavernosus. Gangguan N.VI mengakibatkan kelumpuhan m. rektus bulbi lateral sehingga timbul keluhan penglihatan dobel dan mata tampak juling (strabismus konvergen). Keluhan lain akibat perluasan ke intra kranial berupa sakit kepala yang sering kali hebat. Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga hidung, sinus paranasal, fosa pterigopalatina dan dapat sampai apeks orbita. Tumor besar dapat mendesak palatum mole, menimbulkan gejala obstruksi jalan napas atas dan jalan makanan. Perluasan tumor kearah
postero-lateral
menuju
ke
ruang
parafaring dan
fosa
pterigopalatina yang kemudian masuk foramen jugulare (penjalaran retroparotidian). Disini yang terkena adalah grup posterior syaraf otak yaitu N. VII sampai dengan N. XII, serta nervus simpatikus servikalis yang berjalan menuju fasia orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X,
30
XI dan XII disebut sebagai sindroma retroparotidean, atau sindroma Jackson.17 Manifestasi kelumpuhan saraf tersebut adalah sebagai berikut17: N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior, dan gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah. N. X : hiper/hipo/anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring (gejala
regurgitasi, bindeng) disertai gangguan menelan,
respirasi dan salivasi. N. XI : hemiparesis palatum mole dan sulit mengangkat bahu karena kelumpuhan
atau
atrofi
otot
trapesius
dan
sternokleidomastoid. N. XII : gangguan menelan, hemiparalisis dan atrofi lidah unilateral. Gejala penekanan saraf-saraf ini dapat disertai gejala akibat kelumpuhan dari nervus simpatikus servikalis berupa penyempitan fisura palpebralis, enoftalmi dan miosis yang dikenal sebagai sindroma Horner. Nervus VII dan N.VIII jarang terkena karena letaknya tinggi dan berada dalam kanal tulang. Kelainan neurologik pada KNF ini berkisar antara 29-53%. Tumor di postero-lateral nasofaring dapat menginfiltrasi otototot mengunyah, terutama otot pterigoid internus yang berakibat trismus. Perluasan tumor kearah inferior menuju rongga mulut atau regio retrotonsil yang juga dapat berakibat sumbatan jalan makan dan napas.14.17
31
Gejala lain KNF adalah trismus yang disebabkan oleh infiltrasi tumor pada muskulus pterigoideus yang menyebabkan gangguan membuka mulut. Apabila tumor telah menginvasi otot levator velli palatini maka akan mengakibatkan paralisis palatum. Keadaan ini jarang terjadi, dan biasanya akibat gejala sisa radioterapi berupa fibrosis otot tersebut.17 Gejala metastasis jauh jarang terjadi, dan yang paling sering adalah metastasis ke paru-paru, tulang, dan hepar. Metastase ke otak terjadi melalui penjalaran secara hematogen, sedangkan penyebaran ke hipofisis dapat terjadi akibat perluasan langsung dari tumor primer. Metastasis KNF ke epidural medula spinalis dapat menyebabkan penekanan medula spinalis, dengan gejala sisa paraplegia dan inkontinensia.6
2.3.5.2 Pemeriksaan Nasofaring Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak langsung) dengan menggunakan kaca laring yang kecil, dan cara nasofaringoskopi langsung dengan alat endoskop/nasofaringoskop kaku (rigid nasopharyngoscope). Alat ini terdiri dari berbagai sudut pencahayaan, biasanya dihubungkan dengan sumber cahaya dan monitor TV. Penggunaan alat ini dapat melalui hidung (transnasal), atau mulut (trans-oral). Alat-alat tersebut dapat
32
digunakan untuk melihat keadaan massa di nasofaring, berupa massa yang eksofitik atau berupa penonjolan submukosa.14 Dengan pemeriksaan rinoskopi posterior sering ditemukan kesulitan karena yang dilihat hanya berupa gambaran atau bayangan yang ada di kaca. Pada kasus yang sulit, diperlukan pemeriksaan dengan teknik nasofaringoskopi, dan jika perlu digunakan anestesi lokal. Flexible fibrescope atau endoskop Hopkins kaku 00 dan 300 cukup baik dipakai untuk pemeriksaan nasofaring secara lebih rinci. Dengan alat ini dapat dideteksi seluruh permukaan rongga hidung dan nasofaring.6
Gambar 2.9 Nasofaringoskopi tumor14
33
2.3.5.3 Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan
radiologi
diperlukan
untuk
mendapatkan
informasi adanya tumor, perluasan, serta kekambuhan paska terapi. Pemeriksaan radiologi untuk karsinoma nasofaring terdiri dari foto polos tengkorak, CT scan, dan MRI.17,26,28 1. Foto polos tengkorak dilakukan untuk mengetahui adanya jaringan lunak di dinding posterior pada proyeksi lateral, melihat struktur tulang dan foramen pada proyeksi basis, serta mengetahui ekspansi tumor ke hidung dan sinus paranasal pada proyeksi antero-posterior dan Waters. 2. Tomografi Komputer (CT scan) mempunyai keuntungan dan nilai diagnosis tinggi yaitu kemampuan membedakan berbagai densitas di nasofaring dan dapat menilai perluasan tumor, penyebaran ke kelenjar limfa leher, destruksi tulang serta penyebaran ke intrakranial.
Gambar 2.10 CT Scan Karsinoma Nasofaring26
34
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging) merupakan pemeriksaan tambahan dari CT scan karena dapat membedakan antara jaringan lunak dan cairan misalnya retensi cairan akibat invasi ke sinus paranasal.
Gambar 2.11 MRI sagital menunjukkan tumor pada atap dan dinding posterior nasofaring3
2.3.5.4 Pemeriksaan Serologi Pemeriksaan serologi sangat menunjang diagnosis KNF. Virus Epstein-Barr yang diketahui sebagai etiologi KNF mengandung antigen virus, antara lain EBV- VCA, EA, LMA 1-6 dan EBNA 1-3. Pemeriksaan serologi dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang terbentuk yaitu IgA anti EBV-VCA, IgA anti EBV-EA, antibodi terhadap antigen membran, antibodi terhadap inti virus (Epstein Barr Nuclear Antigen/EBNA), antibodi terhadap EBV-Dnase dan antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Titer antibodi spesifik ini dapat ditemukan dengan pemeriksaan imunofluoresensi (IF), enzyme
35
linked immunosorbent assay (ELISA) dan radio-immuno assay. Dapat juga menggunakan teknik PCR pada material yang diperoleh dari aspirasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher. Virus Epstein Barr biasanya ditemukan pada undifferentiated carcinoma dan nonkeratinizing squamous cell carcinoma.
Pada
pasien KNF dapat dideteksi antibodi IgG yang ditemukan pada awal infeksi virus dan antibodi IgA yang ditemukan pada kapsid antigen virus. Ig A anti VCA adalah antibodi yang paling spesifik untuk diagnosis dini KNF dan dapat dipakai sebagai tumor marker. Antibodi ini dianggap positif bila titernya > 5. Kadang-kadang titernya meninggi sebelum gejala KNF timbul. Antibodi IgA terhadap viral capsid antigen EBV ternyata lebih spesifik dibandingkan dengan IgG. Pembentukan IgA anti EBVVCA terjadi setelah sintesis DNA virus, dengan demikian antibodi ini berkaitan dengan fase lanjut dari infeksi virus EB. Imunoglobulin A anti VCA ini akan tetap ada seumur hidup, titernya akan meningkat sesuai dengan stadium penyakitnya. Imunoglobulin A anti EBV-VCA ini dapat merupakan pertanda tumor (tumor marker) yang spesifik untuk deteksi KNF terutama pada stadium dini (nilai diagnostik), memantau hasil pengobatan dan memperkirakan kekambuhan (nilai prognostik).14 IgG anti EBV-EA terbentuk sebelum sintesis DNA virus yaitu pada fase dini siklus replikasi virus. Adanya kenaikan titer IgG anti EBV-EA sudah ditemukan sebelum metastasis secara klinik terjadi.
36
Titer IgG anti EBV-EA dianggap positif bila 1/80. Berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi, IgG anti EBV-EA dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe terbatas (EA-restricted) dan tipe menyebar (EA-diffuse). Penurunan titer IgG anti EBV-EA (D) didapatkan pada semua penderita KNF yang telah mendapatkan pengobatan dengan radiasi dan tidak pada penderita dengan kanker kepala dan leher lainnya. Bila titernya meningkat lagi harus dicurigai adanya kekambuhan atau metastasis. Dengan demikian pemeriksaan IgG anti EBV-EA lebih berguna untuk menentukan perjalanan penyakit dan prognosis KNF.14 2.3.5.5 Pemeriksaan Patologi (Biopsi) Diagnosis
pasti
KNF
ditegakkan
berdasarkan
hasil
pemeriksaan jaringan tumor di nasofaring (ditemukan sel-sel ganas) yang diperoleh dari jaringan hasil biopsi. Apabila penderita yang menunjukkan hasil pemeriksaan serologi yang positif, tetapi hasil biopsi negatif tetap tidak dapat dianggap menderita KNF. Ada beberapa cara melakukan biopsi, yaitu biopsi buta (blind biopsy), biopsi buta terpimpin (guided biposy), biopsi dengan nasofaringoskopi direkta, dan biopsi dengan fibernasolaringoskop.14
37
2.3.6 Stadium Tumor
Tabel 2.1 Klasifikasi stadium karsinoma nasofaring menurut American Joint Comittee on Cancer (AJCC) tahun 200229 T : Tumor primer Tx : Tumor primer tidak dapat ditemukan T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer Tis : Karsinoma in situ T1 : Tumor terbatas pada nasofaring T2 : Tumor meluas sampai jaringan lunak pada orofaring dan rongga hidung T2a : Tumor tanpa perluasan ke daerah parafaring T2b : Dengan perluasan ke daerah parafaring T3 : Tumor meluas ke struktur tulang sekitarnya dan atau ke sinus paranasal T4 : Tumor meluas ke daerah intrakranial atau terlibatnya saraf kranialis, fossa infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang mastikator N : Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan N0 : Tidak ada pembesaran KGB regional N1 : Metastasis unilateral KGB dengan ukuran ≤ 6 cm dalam ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikular N2 : Metastasis bilateral KGB dengan ukuran ≤ 6 cm dalam ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikular N3 : Metastasis KGB dengan ukuran > 6 cm atau terletak pada fosa supraklavikular N3a : Ukuran KGB > 6 cm N3b : menginvasi KGB fosa supraklavikular M : Metastasis jauh Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan M0 : Tidak ada metastasis jauh M1 : Terdapat metastasis jauh Stadium Stadium 0 : Tis – N0 – M0 Stadium I : T1 – N0 – M0 Stadium IIA : T2a – N0 – M0 Stadium IIB : T1 – N1 – M0; T2a – N1 – M0; T2b – N0,N1 – M0 Stadium III : T1 – N2 – M0; T2a,T2b – N2 – M0; T3 – N0,N1,N2 – M0 Stadium IVA : T4 – N0,N1,N2 – M0 Stadium IVB : Semua T – N3 – M0 Stadium IVC : Semua T – semua N – M1
38
2.3.7 Penatalaksanaan 2.3.7.1 Radioterapi Radioterapi merupakan pengobatan utama pada kKNF. Radioterapi juga efektif terhadap terapi paliatif pada kasus yang sudah metastasis jauh. Radioterapi pada penderita KNF tanpa metastasis merupakan terapi kuratif utama yang dapat diberikan dalam dua tipe yaitu radioterapi eksternal dan brakhiterapi.6 Radioterapi mematikan sel dengan cara merusak DNA dan mengakibatkan destruksi sel tumor. Disamping itu radioterapi memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis sel tumor. Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor. Radioterapi memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya. Disamping itu juga berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari massa tumor.6 Dosis radiasi yang dibutuhkan untuk eradikasi tumor tergantung dari besarnya tumor. Untuk KNF yang masih dini (T1 dan T2) diberikan radiasi dengan dosis sebesar 1,8-20 Gy per fraksi, 5 kali seminggu tanpa istirahat selama sekitar 6–7,5 minggu sampai mencapai dosis total 60-70 Gy. Sedangkan untuk KNF dengan ukuran tumor yang lebih besar (T3 dan T4) diberikan dosis total radiasi pada tumor primer di nasofaring yang lebih tinggi yaitu 70–75 Gy. Bila tidak didapatkan metastasis di KGB leher (N0) maka diberikan radiasi
39
profilaktik dengan dosis sekitar 40-50 Gy dalam empat atau empat setengah minggu, sedangkan bila ada pembesaran KGB di leher (metastasis regional) diberikan radiasi yang dosisnya sama dengan tumor primernya. Bila masih didapatkan residu tumor, diberikan radiasi tambahan (booster) dengan area diperkecil hanya pada tumornya saja sebesar 10-15 Gy sehingga mencapai dosis total sebesar 75-80 Gy. Selain radiasi eksterna, radiasi tambahan dapat diberikan dengan cara radiasi interna (brakhitherapi).14,17 Brakhiterapi adalah pemberian ion radiasi dosis tinggi terhadap jaringan dengan volume kecil. Pemberian brakhiterapi terhadap tumor primer KNF dapat dibagi berdasarkan beberapa indikasi. Indikasi tersebut adalah tumor persisten lokal setelah 4 bulan pemberian radioterapi primer sebagai terapi tambahan setelah radioterapi eksternal dan untuk tumor persisten regional dimana brakhiterapi diberikan pada penderita yang akan menjalani diseksi leher.6 Brakhiterapi dilakukan dengan menggunakan endotracheal tube. Pada awalnya brakhiterapi hanya diberikan pada tumor primer T1 atau T2 yang rekuren setalah pemberian radioterapi eksternal. Biasanya diberikan pada tumor yang hanya melibatkan nasofaring, para-nasofaring, dan atau fosa posterior nasal. Diberikan dosis 45–50 Gy kemudian diikuti dengan tambahan dosis 20 Gy.6
40
2.3.7.2 Kemoterapi Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus KNF yang rekuren atau yang telah mengalami metastasis. Mekanisme kerja kemoterapi adalah sebagai antimetabolit, mengganggu struktur dan fungsi DNA serta inhibitor mitosis. Antimetabolit bekerja dengan menghambat biosintesis purin atau pirimidin, sehingga dapat mengubah struktur DNA dan menahan replikasi sel.6, 17 Obat kemoterapi dapat bekerja menghambat pembelahan sel pada semua siklus sel (Cell Cycle non Specific) baik dalam siklus pertumbuhan sel maupun dalam keadaan istirahat, yaitu cisplatin, doxorubicin, dan bleomycin. Disamping itu ada juga obat kemoterapi yang hanya bekerja menghambat pembelahan sel pada siklus pertumbuhan tertentu (Cell Cycle phase specific), yaitu metrotrexate dan 5-fluorouracil (5-FU).6, 17 Kemoterapi dapat diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (kemoradioterapi) yang dimaksudkan untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Kemoradioterapi dapat mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi. Kemoradioterapi juga dapat mengontrol metatasis jauh dan mengontrol mikrometastasis. Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.6,17,30
41
2.3.8
Deteksi Dini Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, KNF disebabkan oleh multifaktor yaitu infeksi virus EB, pengaruh faktor lingkungan, ras (genetik), dan sebagainya. Pencegahan KNF harus ditujukan untuk menghindarkan, mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor tersebut. Salah satu hambatan utama dalam pencegahan adalah belum diketahuinya dengan pasti bagaimana, dalam keadaan apa dan sejauh mana faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam patogenesis KNF.14 Di Indonesia, beberapa faktor yang dapat diidentifikasi terutama berhubungan dengan faktor kebiasaan dan lingkungan terutama pada penduduk golongan sosial ekonomi rendah. Faktorfaktor tersebut misalnya makan ikan asin, pemakaian kecap, pemakaian kayu bakar, lampu minyak, dan asap obat nyamuk. Faktor lingkungan yang buruk, baik di rumah maupun di tempat kerja dengan ventilasi yang kurang akan menambah besarnya faktor risiko.14 Untuk menghindari, mengurangi, atau menghilangkan faktorfaktor risiko tersebut perlu diadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik oleh pemerintah maupun badan-badan swasta (LSM) yang bergerak dalam usaha penanggulangan kanker. Usaha yang tak kalah pentingnya yaitu upaya yang untuk meningkatkan status sosial ekonomi penduduk terutama penduduk pedesaan.14
42
Dengan ditemukan bukti-bukti yang kuat bahwa virus EB memegang peranan yang penting dalam patogenesis KNF maka saat ini telah mulai dilakukan berbagai penelitian untuk membuat vaksin terhadap virus EB. Apabila vaksin yang efektif telah ditemukan, maka vaksinasi dapat segera diberikan terutama pada golongan penduduk dengan risiko tinggi terkena KNF.14 Selain itu, mengingat letak nasofaring tidak mudah diperiksa, gejala dini sering tidak dikenali sehingga penderita kebanyakan datang pada stadium lanjut, perlu dilakukan skrining KNF untuk deteksi dini, sehingga dapat dilakukan penanganan lebih awal dan menurunkan tingkat mortalitas.17 Untuk mencapai tujuan ini perlu kerjasama dari berbagai sektor terkait seperti Dinas Kesehatan, Pemda, LSM, Institusi Pendidikan Dokter/Perawat, IDI dan profesi (Perhati-KL, IAPI). Selain itu dokter atau tenaga kesehatan pada lini pertama perlu meningkatkan pengetahuan mengenai KNF.14,15
Gambar 2.12 Algoritma Skrining Karsinoma Nasofaring31
43
2.4 Kerangka Penelitian
Faktor genetik, faktor lingkungan (makanan yang diawetkan,ikan asin,rokok,dll)
Kurangnya pengetahuan dokter umum dan tenaga kesehatan pada lini pertama
Keterlambatan deteksi dini
Peningkatan insidensi KNF
Informasi : 1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Faktor risiko 4. Keluhan utama 5. Tingkat pendidikan 6. Stadium 7. Tipe histopatologi 8. Jenis terapi
Gambar 2.13 Kerangka Penelitian
Kurangnya pengetahuan masyarakat, takut berobat ke dokter, sering berobat ke dukun
BAB III METODA PENELITIAN
3.1 Metoda dan Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan cara studi deskriptif dengan rancangan cross sectional. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dari rekam medik atau data sekunder penderita karsinoma nasofaring yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut : Kriteria inklusi : Seluruh pasien yang datang dan terdiagnosis menderita karsinoma nasofaring di poliklinik onkologi dan rawat inap
di
Departemen
Ilmu
Kesehatan
THT-KL
FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode tahun 2006-2010. Kriteria eksklusi : Seluruh pasien yang telah terdiagnosis menderita karsinoma nasofaring dan datang kembali untuk kontrol atau pengobatan.
3.2 Definisi Operasional Variabel Dari catatan rekam medik dilakukan pendataan sebagai berikut :
45
1. Nomor urut rekam medik Nomor urut pasien datang ke poliklinik atau rawat inap di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung 2. Umur Umur pasien ketika terdiagnosis menderita karsinoma nasofaring 3. Jenis kelamin Perempuan atau laki-laki 4. Pendidikan Pendidikan terakhir pasien ketika terdiagnosis menderita karsinoma nasofaring. 5. Keluhan utama Keluhan utama pasien ketika pertama kali terdiagnosis menderita karsinoma nasofaring. 6. Faktor risiko Faktor risiko pada pasien yang dapat memicu terjadinya karsinoma nasofaring, seperti faktor genetik atau faktor lingkungan seperti konsumsi ikan asin, merokok, atau asap arang di lingkungan tempat tinggal atau pekerjaannya. 7. Stadium Stadium berdasarkan AJCC 2002 ketika pertama kali terdiagnosis menderita karsinoma nasofaring.
46
8. Histopatologi Jenis histopatologi karsinoma nasofaring berdasarkan WHO 1991 ketika pertama kali dilakukan pemeriksaan biopsi. 9. Terapi Jenis terapi yang diberikan kepada pasien
3.3 Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah catatan rekam medis penderita karsinoma nasofaring yang berobat di poliklinik onkologi dan rawat inap di Departemen Ilmu Kesehatan THT – KL FKUP/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, selama periode Januari 2006 sampai Desember 2010.
3.4 Prosedur Penelitian Data yang diperoleh dikumpulkan dan dikelompokkan dalam tabel, kemudian dihitung frekuensi dan persentasi masing-masing karakteristik berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan, keluhan utama, faktor risiko, stadium,
gambaran
histopatologi,
dan
jenis
terapinya.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini diperoleh dari 493 pasien KNF yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun proses pengambilan data tersebut dilakukan di rekam medis poliklinik dan rawat inap RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode tahun 2006-2010 4.1 Jumlah Penderita Karsinoma Nasofaring Tahun 2006-2010 Berikut ini dapat diketahui jumlah penderita karsinoma nasofaring di poliklinik onkologi dan rawat inap Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode tahun 2006-2010.
Tabel 4.1 Jumlah penderita karsinoma nasofaring per-tahun (2006-2010) Tahun Jumlah % 2006 82 16.6 2007 242 49.1 2008 32 6.5 2009 65 13.2 2010 72 14.6 Total 493 100
Dari tabel 4.1 dapat diketahui bahwa jumlah penderita KNF antara tahun 2006-2010 yaitu sebanyak 493 orang. Jumlah penderita KNF pada tahun 2006 sebanyak 82 orang (16,6%), kemudian terjadi peningkatan yang sangat signifikan pada tahun 2007 yaitu mencapai 242 orang (49,1%). Pada tahun 2008 terjadi penurunan kembali jumlah penderita KNF yaitu 32 orang
48
(6,5%), dan meningkat kembali pada tahun 2009 yaitu sebanyak 65 orang (13,2%) dan pada tahun 2010 sebanyak 72 orang (14,6%).
4.2 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur Pada penelitian ini ditemukan umur termuda penderita KNF adalah 8 tahun, sedangkan umur tertua adalah 81 tahun. Kemudian dapat diketahui bahwa kelompok umur tertinggi penderita KNF adalah 50–59 tahun yaitu sebanyak 122 orang (24,7%), dan kelompok umur terendah yaitu >79 yaitu hanya ditemukan 1 orang (0,2%). Data umur yang tidak dicantumkan pada rekam medis sebanyak 6 orang (1,2%). Distribusi pasien KNF berdasarkan umur ditampilkan pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Distribusi pasien karsinoma nasofaring menurut umur Umur Jumlah % < 20 18 3.7 20 – 29 75 15.2 30 – 39 105 21.3 40 – 49 114 23.1 50 – 59 122 24.7 60 – 69 43 8.7 70 – 79 9 1.8 >79 1 0.2 Tidak ada data 6 1.2 Total 493 100
Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan di tempat lain. Pada penelitian di Amerika dan Eropa, di daerah endemik ditemukan peningkatan insidensi KNF pada umur 20 tahun dan puncaknya pada 40-50 tahun, sedangkan di daerah yang beresiko rendah
49
ditemukan peningkatan insidensi KNF pada umur 15 tahun dan puncaknya pada umur 50-60 tahun.3 Kemudian penelitian di Medan melaporkan bahwa sebagian besar penderita KNF berumur di atas 20 tahun, dengan umur paling banyak antara 50-70 tahun.6 Selain itu penelitian di Bandung juga melaporkan bahwa insidensi KNF mulai meningkat pada umur 20-24 tahun, mendatar (plateau) di antara umur 45-54 tahun kemudian menurun, dan KNF ditemukan pada usia produktif yaitu umur 30-59 tahun (sekitar 80%) dengan puncak antara 40-49 tahun.14 Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat bahwa jumlah penderita KNF meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada peningkatan setelah umur 60 tahun. Hal tersebut terjadi karena faktor risiko seperti kebiasaan merokok dan konsumsi ikan asin sejak usia dini, sehingga KNF dapat muncul ketika seseorang telah mencapai usia produktif, karena mulai dari paparan pertama bahan karsinogen sampai timbulnya kanker memerlukan waktu yang lama.
4.3 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Kelamin Proporsi tertinggi penderita KNF pada penelitian ini terjadi pada laki-laki yaitu sebanyak 324 orang (65,7%), sedangkan pada perempuan sebanyak 169 orang (34,3%), dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yaitu 2 : 1. Distribusi penderita KNF berdasarkan jenis kelamin ditampilkan pada tabel 4.3.
50
Tabel 4.3 Distribusi karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Jumlah % Laki-laki 324 65.7 Perempuan 169 34.3 Total 493 100
Hasil penelitian ini sesuai dengan literatur, bahwa secara umum ditemukan kasus KNF lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan. Di Afrika Utara ditemukan kecenderungan penderita KNF lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1, sedangkan penelitian di Medan didapatkan perbandingan penderita laki-laki dan perempuan yaitu 2-4 : 1.4,6 Selain itu penelitian di Selangor Malaysia mendapatkan insidensi KNF pada orang Cina sebesar 17,3 per 100.000 penduduk laki-laki dan 7,3 per 100.000 penduduk perempuan. Insidensi KNF yang relatif tinggi juga didapatkan pada orang Eskimo di Alaska yaitu 13,5 per 100.000 penduduk laki-laki dan 3,7 per 100.000 penduduk perempuan.14 Hal tersebut terjadi karena gaya hidup laki-laki berbeda dengan perempuan seperti kebiasaan merokok dimana jumlah perokok pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.4
4.4 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Tingkat Pendidikan Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan penderita KNF yang terbanyak adalah tingkat pendidikan rendah yaitu SD sebanyak 259 orang (52,5%). Kemudian diikuti oleh tingkat pendidikan SMP,
51
SMA, D3, dan STM. Distribusi pasien KNF berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Distribusi pasien karsinoma nasofaring menurut pendidikan Pendidikan Jumlah % SD 259 52.5 SMP 131 26.6 SMA 78 15.8 S1 21 4.2 D3 3 0.6 STM 1 0.2 Total 493 100
Hubungan antara tingkat pendidikan dan kejadian kanker secara tidak langsung juga berhubungan dengan tingkat intelektualitas dan status sosial ekonomi yang rendah. Pada pasien dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah biasanya tinggal atau bekerja pada lingkungan yang kurang baik, yaitu tempat yang terpapar bahan-bahan yang dapat mengaktifkan virus EpsteinBarr seperti debu yang mengandung kromium, nikel, arsen, asap dari pembakaran dupa, rumput, tembakau, candu, kemenyan, kayu atau minyak tanah, serta obat nyamuk. Selain itu juga pasien dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah tidak mengetahui bagaimana cara pencegahan dan deteksi dini pada suatu penyakit.14
52
4.5 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan Utama Keluhan utama yang paling banyak pada penelitian ini adalah benjolan pada leher yaitu sebanyak 359 orang (72,8%). Kemudian diikuti oleh hidung tersumbat, epistaksis, sesak napas, disfagia, keadaan umum lemah, dan keluhan utama terendah yaitu ptosis, penglihatan ganda, dan sakit kepala. Distribusi pasien KNF berdasarkan keluhan utama dapat dilihat pada tabel 4.5.
Tabel
4.5
Distribusi frekuensi penderita berdasarkan keluhan utama Keluhan Utama Jumlah Benjolan leher 359 Hidung tersumbat 81 Epistaksis 28 Disfagia 9 Sesak napas 8 Keadaan umum lemah 6 Penglihatan ganda 1 Ptosis 1 Sakit kepala 1 Total 493
karsinoma
nasofaring
% 72.8 16.4 5.7 1.8 1.6 1.0 0.2 0.2 0.2 100
Hasil penelitian ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa keluhan utama paling banyak adalah benjolan pada leher, karena leher merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari sel kanker di nasofaring. Gejala pada leher inilah yang seringkali mendorong penderita berobat ke dokter yaitu sebanyak 70-90%. Kemudian keluhan lain yang sering terjadi adalah keluhan pada hidung yaitu sebanyak 56-79%. Keluhan tersebut terjadi karena tumor meluas ke arah anterior menuju rongga hidung dan menimbulkan gejala seperti pilek yang lama (kronis), ingus kental dan berbau busuk, serta
53
epistaksis yang makin sering dan banyak disertai hidung tersumbat dan suara sengau. Kemudian gejala lain seperti sakit kepala, gejala pada mata, dan disfagia terjadi akibat perluasan tumor ke arah intrakranial melalui foramen laserum, dan menimbulkan kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak yaitu N. III-VI, serta pada grup posterior saraf otak yaitu N. VII-XII. Gangguan N.III dapat menimbulkan gejala ptosis dan klinis didapatkan fiksasi bola mata (oftalmoplegi) kecuali untuk pergerakan ke lateral karena kelumpuhan muskulus rektus internus superior dan inferior serta muskulus palpebrae inferior dan obliqus. Gangguan N.VI mengakibatkan kelumpuhan muskulus rektus bulbi lateral sehingga timbul keluhan penglihatan ganda dan mata tampak juling (strabismus konvergen). Kemudian apabila terjadi kelumpuhan pada N. IX-XII dapat menimbulkan gejala-gejala yang disebut sebagai sindroma retroparotidean atau sindroma Jackson. Manifestasi kelumpuhan saraf tersebut adalah sebagai berikut14,17 : N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior dan gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah. N. X
: hiper/hipo anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring (gejala regurgitasi,sengau) disertai gangguan menelan, respirasi dan salivasi.
N. XI
: hemiparesis palatum mole dan sulit mengangkat bahu karena kelumpuhan atau atrofi otot trapesius dan sternokleidomastoid.
N. XII
: gangguan menelan, hemiparalisis dan atrofi lidah unilateral.
54
Selain itu penelitian di Medan juga ditemukan bahwa gejala utama yang ditemukan paling banyak adalah benjolan pada leher 43%, keluhan pada hidung sebanyak 30%, dan keluhan pada telinga sebanyak 13%.6
4.6 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Faktor Risiko Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa faktor risiko tertinggi adalah konsumsi ikan asin yaitu sebanyak 198 orang (40,2%), diikuti oleh perokok, faktor genetik dan faktor risiko terendah adalah asap arang. Distribusi pasien KNF berdasarkan faktor risiko dapat dilihat pada tabel 4.6.
Tabel
4.6
Distribusi frekuensi penderita berdasarkan faktor risiko Faktor risiko Jumlah Ikan asin 198 Rokok 182 Genetik 9 Asap Arang 2 Tidak ada data 102 Total 493
karsinoma
nasofaring
% 40.2 36.9 1.8 0.4 20.7 100
Hasil penelitian ini sesuai dengan literatur, bahwa KNF dapat disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik seperti faktor genetik, lingkungan, dan virus Epstein Barr (EBV).6,17 Secara umum didapatkan sekitar 10% dari penderita KNF mempunyai keluarga yang menderita keganasan nasofaring atau organ lain, dan 5% diantaranya menderita KNF dalam keluarga. Selain itu penelitian epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat antara meningkatnya kejadian KNF dengan konsumsi ikan atau makanan yang
55
diawetkan dengan garam (diasinkan) seperti ikan asin, pindang asin, dan udang asin, atau yang dikeringkan dengan pengasapan. Penelitian pada penduduk ras Cina di Hongkong dan Malaysia mendapatkan bahwa ikan asin mengandung nitrosamin yang merupakan pro karsinogen dan promotor aktivasi EBV. Hubungan yang konsisten dan kuat antara kejadian KNF dengan konsumsi ikan asin dalam waktu yang panjang dan dimulai sejak usia dini dapat dilihat pada penelitian di Hongkong yaitu sekitar 90% kasus KNF (Odd’s ratio : 7,5). Kemudian kebiasaan merokok dan minum alkohol juga diduga dapat meningkatkan risiko terkena KNF. Dilaporkan bahwa risiko terkena KNF pada perokok yang merokok lebih dari 20 batang sehari ternyata dua kali lipat lebih besar daripada yang bukan perokok.14
4.7 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Stadium Sebanyak 267 orang (54,2%) terdiagnosis KNF pada stadium IV, kemudian diikuti oleh stadium III sebanyak 12,2%, stadium II sebanyak 11,4%, dan stadium penyakit terendah adalah stadium I yaitu sebanyak 2,2%. Adapun data stadium yang tidak dicantumkan pada rekam medis sebanyak 103 orang (20,9%), dikarenakan pasien-pasien tersebut tidak datang lagi untuk kontrol. Distribusi penderita KNF berdasarkan stadium dapat dilihat pada tabel 4.7.
Tabel
4.7
Distribusi frekuensi penderita berdasarkan stadium Stadium Jumlah I 7 II 56 III 60
karsinoma % 1.4 11.4 12.2
nasofaring
56
IV Tidak ada data Total
267 103 493
54.2 20.9 100
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di tempat lain. Penelitian di India menemukan penderita stadium IV sebanyak 58,9% dari 29 kasusnya. Kemudian penelitian di Jakarta mendapatkan stadium KNF paling banyak adalah stadium IV yaitu sebanyak 60%. Penelitian di Universitas Sumatera Utara ditemukan stadium KNF paling banyak adalah stadium IV yaitu 56 penderita (49,6%), stadium III ditemukan 39 penderita (34,5%), dan stadium I hanya ditemukan pada 1 penderita. Selain itu penelitian lain di Medan mendapatkan stadium IV sebanyak 26% dari 55 kasusnya, stadium III sebanyak 67% dan stadium II sebanyak 7%.6,9 Banyaknya penderita yang ditemukan pada stadium lanjut menunjukkan keterlambatan deteksi dini adanya tumor pada nasofaring. Hal tersebut dapat disebabkan oleh gejala dini yang tidak khas dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk datang ke dokter sampai keluhannya memburuk. Selain itu masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang penyakit kanker terutama KNF, lebih percaya berobat ke dukun atau non medis, takut berobat ke dokter, dan kurangnya pengetahuan dokter dan tenaga kesehatan pada lini pertama terhadap gejala dan tanda KNF.14
57
4.8 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Histopatologi Jenis histopatologi yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini adalah WHO tipe 3 yaitu karsinoma tidak berdiferensiasi sebanyak 350 orang (71,0%), kemudian diikuti oleh WHO tipe 1 (karsinoma sel skuamosa berkeratin) dan WHO tipe 2 (karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin). Pada penelitian ini juga ditemukan jenis histopatologi lain yaitu adenoskuamosa, karena tumor primer tidak dapat ditentukan apakah berasal dari tumor di nasofaring atau tumor di kavum nasi. Kemudian data jenis histopatologi yang tidak dicantumkan pada rekam medis sebanyak 106 orang (21,5%) karena pasien tidak datang lagi untuk kontrol atau pemeriksaan biopsi. Distribusi penderita KNF berdasarkan jenis histopatologi dapat dilihat pada tabel 4.8.
Tabel
4.8
Distribusi frekuensi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi Hasil PA Jumlah % Karsinoma tidak berdiferensiasi 350 71.0 Karsinoma skuamosa berkeratin 27 5.5 Karsinoma skuamosa tidak 4 0.8 berkeratin Adenoskuamosa 6 1.2 Tidak ada data 106 21.5 Total 493 100
Hasil penelitian ini tersebut sesuai dengan beberapa penelitian di Indonesia. Di Instalasi Patologi Anatomi RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 1992 didapatkan jenis WHO tipe 1,2, dan 3 masing-masing sebanyak 17,91%, 10,45%, dan 71,64%. Penelitian pasien KNF di Poliklinik THT-KL RSUD Dr.
58
Soetomo Surabaya tahun 2000 menemukan jenis WHO tipe 1,2, dan 3 sebesar 5,59%, 8,04%, dan 85,66%.14 Selain itu penelitian di Universitas Sumatera Utara mendapatkan sebagian besar penderita KNF mempunyai jenis histopatologi WHO tipe 3 sebanyak 47,8%, diikuti WHO tipe 2 sebanyak 41,6% dan WHO tipe 1 sebanyak 10,6%. Kemudian penelitian lain di Medan mendapatkan WHO tipe 3 paling banyak yaitu 53%, WHO tipe 1 sebanyak 29%, dan WHO tipe 2 sebanyak 29% dari 55 kasusnya.9 Faktor yang mempengaruhi dominasi jenis histopatologi masih belum dapat diketahui, dan untuk hal tersebut dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
4.9 Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis Terapi Sebagian besar pasien KNF pada penelitian ini diberikan kemoradiasi sebagai terapinya, yaitu sebanyak 270 orang (54,8 %), kemudian jenis terapi lainnya yaitu radioterapi dan kemoterapi. Adapun data jenis terapi yang tidak dicantumkan pada rekam medis sebanyak 119 orang (24,1%), karena pasien tidak datang kembali untuk pengobatan atau terapi, atau kemungkinan pasien meninggal. Pada penelitian ini, banyaknya kemoradiasi yang diberikan sebagai terapi kepada sebagian besar pasien KNF dikarenakan kebanyakan pasien yang datang pada stadium lanjut, yaitu stadium III atau IV. Distribusi penderita KNF berdasarkan jenis terapi dapat dilihat pada tabel 4.9.
59
Tabel
4.9
Distribusi frekuensi penderita karsinoma nasofaring berdasarkan jenis terapi Jenis Terapi Jumlah % Kemoterapi 9 1.8 Radioterapi 95 19.3 Kemoradiasi 270 54.8 Tidak ada data 120 24.1 Total 493 100
Radioterapi
KNF
yang
dikombinasi
dengan
kemoterapi
(kemoradiasi) dilaporkan respons rate dan survival rate yang lebih tinggi. Pada penelitian di Amerika (Sarraf, 1998) terhadap 147 pasien KNF stadium lanjut didapatkan sebanyak 69 pasien diberikan radioterapi saja, dan 78 pasien lainnya diberikan kemoradiasi. Three year progression free survival rate pada kelompok radioterapi didapatkan angka sebesar 24%, sedangkan kelompok kemoradiasi 69%. Jumlah penderita yang bertahan hidup 3 tahun untuk kelompok radioterapi sebesar 47%, sedangkan kelompok kemoradiasi sebesar 78%.14,30
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian terhadap kasus KNF selama periode tahun 2006-2010 dengan data yang didapatkan di bagian rekam medik poliklinik dan rawat inap RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Jumlah penderita KNF yang berobat ke poliklinik onkologi dan rawat inap di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode tahun 2006-2010 adalah sebanyak 493 orang. 2. Berdasarkan jenis kelamin didapatkan laki-laki lebih banyak daripada perempuan, yaitu laki-laki sebanyak 324 orang (65,7%), sedangkan pada perempuan sebanyak 169 orang (34,3%), dengan angka kejadian tertinggi pada kelompok umur 50–59 tahun yaitu sebanyak 122 orang (24,7%). 3. Tingkat pendidikan terbanyak pada penderita KNF adalah SD yaitu sebanyak 259 orang (52,5%). 4. Keluhan utama yang sering dialami oleh pasien KNF adalah keluhan pada leher, keluhan pada hidung, disfagia, keluhan pada mata, sakit kepala, dan keadaan umum yang lemah. Keluhan utama yang paling banyak ditemukan adalah benjolan pada leher yaitu sebanyak 359 orang (72,8%). 5. Pada penelitian ini ditemukan faktor risiko terbanyak adalah konsumsi ikan asin yaitu sebanyak 198 orang (40,2%).
61
6. Proporsi stadium tertinggi penderita KNF adalah stadium IV yaitu sebanyak 267 orang (54,2%). 7. Jenis histopatologi tertinggi penderita KNF adalah WHO tipe 3 (karsinoma tidak berdiferensiasi) yaitu sebanyak 350 orang (71,0%). 8.
Jenis terapi yang paling banyak diberikan adalah kemoradiasi yaitu sebanyak 270 orang (54,8%) karena kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut.
5.2 Saran 1. Diharapkan untuk rumah sakit, puskesmas, serta institusi kesehatan yang terkait bekerjasama untuk memberikan penyuluhan tentang informasi yang berkaitan dengan karsinoma nasofaring sehingga masyarakat dapat mengenal gejala dan tanda KNF. 2. Dibutuhkan kerjasama dari berbagai sektor terkait seperti Dinas Kesehatan, Pemda, LSM, Institusi Pendidikan Dokter atau Perawat, dan IDI untuk melakukan deteksi dini pada karsinoma nasofaring. 3. Diharapkan dokter atau tenaga kesehatan pada lini pertama untuk meningkatkan pengetahuan mengenai karsinoma nasofaring, melakukan deteksi dini, melakukan pemeriksaan nasofaring dengan teknik sederhana, mengetahui prinsip terapi, dan upaya pencegahan KNF. 4. Untuk menunjang penelitian, diharapkan pengisian status rekam medis pasien yang lebih lengkap dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Wiliyanto O. Insidensi Kanker Kepala Leher Berdasarkan Diagnosis Patologi Anatomi di RS. Dr. Kariadi Semarang Periode 1 Januari 2001 – 31 Desember 2005. 2006.
2. Attar E, Dey S, Hablas A, Seifeldin IA, Ramadan M, Rozek LS, et al. Head and Neck Cancer in a Developing Country: A Population-based Perspective Across 8 Years. European Journal of Cancer. 2010;46(8):591-6. 3. Evans PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ. Principles and Practice of Head and Neck Oncology. London and New York: Martin Dunitz; 2003. 4.
Shah JP. Atlas of Clinical Oncology Cancer of the Head and Neck. Hamilton, London: BC Decker Inc; 2001.
5.
Karsinoma Nasofaring. 2009 [cited 2010 01 12]; Available from: http://medlinux.blogspot.com/2009/02/karsinoma-nasofaring.html.
6.
Munir D. Karsinoma Nasofaring. Medan: USU press; 2009.
7. Cao S, Simons M, Qian C. The Prevalence and Prevention of Nasopharyngeal Carcinoma in China. Pubmed. 2011;30(2):114-9. 8. Wei KR, Yu YL, Yang YY, Ji MF, Yu BH, Liang Z, et al. Epidemiological Trends of Nasopharyngeal Carcinoma in China. Asian Pacific Journal of Cancer. 2010;11:29-32. 9. Dharishini P. Gambaran Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Dari Januari Sampai Desember 2009. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011. 10. Hadi W. Aspek Klinis dan Histopatologis Karsinoma Nasofaring di Lab/SMF THT FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, tahun 1997. Lab/SMF THT FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 1998. Referat 11. Soetjipto D, Fachrudin D, Syafril A. Nasopharyngeal Carcinoma in Ciptomangunkusumo General Hospital. In : Tjokronegoro A. et al. Eds. Cancer in Asia Pacific. Vol 1. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1988 : 499-513 12. Data Pasien Onkologi di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Hasan Sadikin. 2005-2009. Bandung.
63
13. Razak ARA, Siu LL, Liu FF, Ito E, O’Sullivan B, Chan K. Nasopharyngeal Carcinoma: The Next Challenges. European Journal of Cancer. 2010;46(11):1967-78. 14. Dewi YA. Karsinoma Nasofaring. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, THT-KL; 2010. 15. Fles R, Wildeman MA, Sulistiono B, Haryana SM, Tan IB. Knowledge of General Practitioners About Nasopharyngeal Cancer at the Puskesmas in Yogyakarta, Indonesia. BMC Medical Education. 2010;10(1):1-6. 16. Head and Neck Cancer : Question and Answer. National Cancer Institute; 2005 [cited 2010 02 12]; Available from: http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/Sites-Types/head-and-neck. 17. Hasselt CAV, Gibb AG. Nasopharyngeal Carcinoma. Hong Kong and London: The Chinesse University Press, Greenwich Medical Media LTD.; 1999. 18. Standring S. Gray's Anatomy - The Anatomical Basis of Clinical Practice. London: Elsevier; 2008. 19. Ren ZF, Liua WS, Qina HD, Xua YF, Yua DD, Fenga QS, et al. Effect of Family History of Cancers and Environmental Factors on Risk of Nasopharyngeal Carcinoma in Guangdong, China. ScienceDirect - Cancer Epidemiology. 2010;34(4):419-24 20. Jia W, Luo X, Feng B, Ruan H, Bei J, Liu W, et al. Traditional Cantonese Diet and Nasopharyngeal Carcinoma Risk: a Large-Scale Case-Control Study in Guangdong, China. Pubmed. 2010;10:446. 21. Wee J, Ha T, Loong S, Qian C. Is Nasopharyngeal Cancer Really a "Cantonese Cancer"? Pubmed. 2010;29(5):517-26. 22. Friborg J, Yuan J, Wang R, Koh W, Lee H, Yu M. A Prospective Study of Tobacco and Alcohol Use as Risk Factors for Pharyngeal Carcinomas in Singapore Chinese. Pubmed. 2007;109(6):1183-91. 23. Thompson MP, Kurzrock R. Epstein-Barr Virus and Cancer. American Association for Cancer Research. 2004 February 1;10:803-21. 24. Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery - Otolaryngology. Texas, Pennsylvania: Lippincott Williams and Wilkins; 2006. 25. Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology. Philadelphia: Mosby; 2004.
64
26. Surarso B. Tanda dan Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring. Surabaya: THTKL Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo2009. 27. Hawke M, Bingham B, Stammberger H, Benjamin B. Diagnostic Handbook of Otolaryngology: Martin Dunitz. 28. King AD, Bhatia KSS. Magnetic Resonance Imaging Staging of Nasopharyngeal Carcinoma in the Head and Neck. World Journal of Radiology. 2010;2(5):159-65. 29. Lee KJ, editor. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 9 ed. Connecticut: McGraw-Hill; 2008. 30. Xu T, Hu C, Wang X, Shen C. Role of Chemoradiotherapy in Intermediate Prognosis Nasopharyngeal Carcinoma. European Journal of Cancer. 2011;47(5):408-13. 31. Guidelines on Cancer Prevention, Early Detection & Screening Nasopharyngeal carcinoma (NPC). The Hong Kong Anti-Cancer Society. 2008.