i
RONGGENG DAN SERAMPANG DUA BELAS DALAM KAJIAN ILMU-ILMU SENI
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Drs. Fadlin Muhammad Dja’far, M.A.
2014
USU Press Art Design, Publishing & Printing Gedung F Jl. Universitas No. 9, Kampus USU Medan, Indonesia Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 Kunjungi kami di: http://usupress.usu.ac.id Terbitan Pertama 2014 © USU Press 2014 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini, dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN: 979 458 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni/ Muhammad Takari dan Fadlin --Medan: USU Press, 2014. xvi, 304 p.; ilus.; 21 cm Bibliografi ISBN: 979-458Dicetak di Medan, Indonesia
Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyebarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Dari Penulis Kami para penulis mengucapkan syukur alhamdulillah, atas karunia Allah Subhana Wata’ala yang telah melimpahkan taufik dan hidayahNya, terutama dalam konteks menulis buku ini. Walaupun telah puluhan tahun kami mengumpulkan data, namun dalam masa yang relatif singkat dan kesibukan sosial yang padat, kami diberi Allah kekuatan, kesehatan, dan ilmu untuk dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Dalam rangka penulisan buku ini kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada segenap keluarga O.K. Adram dan Guru Sauti di wilayah budaya Serdang, atas segala informasinya mengenai kedua tokoh yang identik dengan Serampang Dua Belas. Demikian pula para seniman ronggeng Melayu yang telah memberikan data-data keilmuan kepada kami, yang tidak disebutkan satu per satu. Terima kasih yang sebesar-besarnya diucapkan kepada rekan-rekan di Fakultas Ilmu Budaya USU yang telah meluangkan waktunya dalam rangka mendiskusikan materi keilmuan di dalam buku ini. Terima kasih pula kepada semua organisasi Melayu dan masyarakat Melayu pada umumnya, yang telah sudi memberikan dukungannya dalam konteks penelitian dan penulisan buku ini. Terima kasih kepada segenap Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI), yang dinakhodai oleh Dato’ Seri Syamsul Arifin, S.E. Gelar Datuk Lelawangsa Sri Hidayatullah (Suku Melayu Sahabat Semua Suku). Demikian pula para pendiri dan pengurus majelis ini, di antaranya T. Yos Rizal (Ketua Pelaksana Harian), Muhammad Yamin, Yuscan, Tengku Liza Nelita (di bawah Departemen Adat, Seni, dan Budaya), dan semua pengurus yang tidak disebutkan satu per satu. Majelis ini mendukung kami para penulis untuk meneliti dan menerbitkan buku yang bertema rongggeng dan Serampang Dua Belas ini, sebagai ikon, indeks, dan simbol budaya Melayu Sumatera Timur. Seterusnya, terima kasih diucapkan kepada entu kami Allahyarham Tengku Luckman Sinar, yang di akhir-akhir masa hidupnya mengamanahkan kepada kami untuk terus “menjaga” kelestarian budaya Melayu. Buku ini kami tulis dalam konteks amanah tersebut. Semoga Allah menerima entu dalam sisi-Nya, diterima segala pahala semasa di dunia, dan diampunkan segala dosa-dosanya. Juga kepada keluarga besar entu, semoga terus melanjutkan cita-cita yang entu arahkan, terutama mengekalkan budaya Melayu dalam semua konteks sosiobudayanya. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada Dewan Kesenian Medan (DKM) yang telah menyelenggarakan Seminar Internasional Serampang
Dua Belas tahun 2006 yang lalu, yang memotivasi kami lebih jauh untuk mengembangkan dan menuliskan makalah kami dalam seminar tersebut dalam bentuk buku seperti ini. Di antara pengurusnya adalah Ibu Anita Daryatmo yang sangat perduli kepada eksistensi Serampang Dua Belas. Demikian pula sahabat kami, Ben Marojahan Pasaribu yang telah menggagas seminar ini dan juga berkeinginan untuk menerbitkan makalah dalam seminar dimaksud, namun sebelum terwujud, beliau telah dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Semangat dan cita-cita beliau itu kemudian kami teruskan hingga terbitnya buku ini. Demikian pula kepada Drs. Asmadi yang juga sebagai penggagas seminar dimaksud, yang telah bersusah payah menghadirkan para pemakalah dan peserta seminar. Tentu saja kepada semua pengurus Dewan Kesenian Medan, yang telah memperhatikan begitu dalam eksistensi Serampang Dua Belas. Ucapan terima kasih juga kepada semua narasumber, yang telah memberikan data-data mengenai ronggeng dan Serampang Dua Belas. Di antaranya adalah O.K. Zubaidi, Jose Rizal Firdaus, S.H., Singah Zakaria, Linda Asmita, Nasri Efas, O.K. Thamrin, Tengku Sitta Saritsyah, Tengku Muhammad Danil, Anjang Nurdin Paitan, Ahmad Setia, Yunil Azlan, Datuk Abdurrahman, Nafsiah, Nurjanah, Sumarni, Sirtoyono, Tengku Liza Nelita, dan lain-lainnya. Secara khusus kami ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada A. Rahim Noor dan Salim A.Z., yang menulis buku bertajuk Sembilan Tari Wajib Melayu (1984) yang khusus kami kutip tulisannya dalam mendeskripsikan Serampang Dua Belas. Demikian pula kepada Abangnda kami Jose Rizal Firdaus, S.H., yang tulisannya bertajuk “Teknik Serampang 12 Karya Sauti” yang dipaparkan dalam Seminar Internasional Serampang 12 tahun 2006 yang lalu, yang kami kutip secara rinci, khususnya pada bahagian dekripsi kalimat demi kalimat untuk kedua belas ragam tarian ini. Kedua tulisan ini sangat berguna bagi kami, dalam mendeskripsikan gerak-gerak tarian ini baik secara umum atau detil hitungan demi hitungan. Semoga Allah melimpahkan hidayah dan ilmu kepada penulis dimaksud dan sekali gus tokoh bagi perkembangan eksistensi kesenian Melayu, termasuk Serampang Dua Belas. Terima kasih yang setulusnya diucapkan kepada dua seniman penari Serampang Dua Belas yang menjadi model dalam buku ini, khususnya untuk deskripsi tari tersebut. Keduanya adalah Romi Maghribi Ghazali Aziz dan Kharisma. Foto-foto keduanya diabadikan di kediaman Pak Fadlin.
Kami ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Kelompok Seni Cempaka Deli di bawah arahan Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu, yang telah sudi memberikan informasi dan menyajikan kesenian-kesenian Melayu Sumatera Utara ke berbagai tempat di dunia ini, termasuk seni ronggeng dan Serampang Dua belas. Kelompok ini dipimpin oleh A. Zaidan B.S., dan didukung oleh para pengurus dan senimannya seperti Datuk Ahmad Fauzi, Ir. Mulkan Azhar, Ahmad, Eva Gusmala Yanti, S.Sn., Sofyan, Yusti Arbaiyah, dan yang lain-lainnya. Terima kasih diucapkan kepada Dra. Tarwiyah Hakim, yang foto (gambar)nya kami jadikan ilustrasi di dalam buku ini. Kedua gambar itu adalah pada Gambar 4.4 dan 4.5 saat seniman MABMI pertunjukan bersama dengan para pemusik kenamaan Malaysia (Ramli Mohram dan Suhaimi Hj. Chik) di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, tahun 2012 yang lalu. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ibu Nazliana Fadlin, A.Md. sebagai pimpinan Perusahaan Nazwa Aneka Kue & Catering yang telah mendanai penelitian ini, dan juga penerbitan buku ini. Semoga Allah SWT. melimpahkan karunia-Nya kepada ibu dan keluarga besar Nazwa. Begitu juga terima kasih sekali lagi atas perkenan ibu dalam memberikan ruang rekaman terhadap tarian ini di Jalan Kapten Muchtar Basri 110 Medan. Melalui rekaman tersebut, maka buku ini bukan saja disajikan dalam bentuk kalimat demi kalimat, tetapi juga disajikan dalam bentuk visual, dan lebih memudahkan pembaca untuk mempelajari Tari Serampang Dua Belas dan Mak Inang Pulau Kampai melalui media visual tersebut. Demikian pula ucapan terima kasih kami tujukan kepada pihak Universitas Sumatera Utara Press (USU Press) yang telah sudi menerbitkan buku ini. Di antaranya adalah ketua USU Press, ahli layout dan setting buku ini yaitu saudara Muchsin, Ikhsan, dan lain-lainnya yang tidak disebutkan satu per satu. Ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada semua penulis yang dikutip di dalam buku ini, atau yang menjadi bahan bacaan, kami ucapan terima kasih atas ilmu yang telah disumbangkan dalam konteks pengkajian, pengembangan, dan enkulturasi budaya Melayu secara umum. Tidak ketinggalan pula diucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pemusik, penari, komponis, koreografer dalam seni pertunjukan Melayu di Sumatera Utara dan Dunia Melayu. Demikian pula semua masyarakat pendukung seni Melayu dan Nusantara yang tersebar di seluruh dunia ini. Perjuangan bersama akan lebih terserlah
dalam menegakkan kebudayaan. Semoga saja buku “kecil” ini bermanfaat bagi kita semua—esa hilang dua terbilang; tak Melayu hilang di dunia. Berlayar jauh sebuah kapal, Membawa air pelepas dahaga, Ilmu kami hanya sejengkal, Dalamnya laut tak kan terduga. Musafir minum air segelas, Bertiup lembut aluran bayu, Melihat tari Serampang Dua Belas, Kagum dan banggaku pada Melayu. Pergi ibadah ke baitullah, Salah satunya memakai ihram, Begitu juga tawaf dan sai, Serampang Dua Belas kurnia Allah, Dicipta oleh Orang Kaya Adram, Disempurna oleh Guru Sauti Medan, Juni 2014 wasalam kami penulis,
Takari dan Fadlin
Daftar Isi Dari Penulis ......................................................................................... iv Daftar Isi ........................................................................................... viii Daftar Gambar .................................................................................... xii BAB I. PENDAHULUAN ................................................................... 1 1.1 Pengantar ...................................................................................... 1 1.2 Ilmu-ilmu Seni .............................................................................11 1.2.1 Etnomusikologi ....................................................................12 1.2.2 Etnokoreologi .......................................................................15 1.3 Teori dan Metode untuk Kajian ....................................................16 1.4 Pentingnya Kajian ........................................................................ 25 BAB II. SENI PERTUNJUKAN MELAYU DAN KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA ..................................................27 2.1 Pengenalan ...................................................................................27 2.2 Musik ...........................................................................................28 2.3 Tari ...............................................................................................33 2.4 Teater ............................................................................................37 2.5 Konsep Kebudayaan Nasional Indonesia........................................42 2.6 Serampang Dua Belas sebagai Pendukung Kebudayaan Nasional .......................................................................................50 BAB III. RONGGENG DAN SEJENISNYA DI NUSANTARA ......52 3.1 Pengenalan ...................................................................................52 3.2 Persebaran Ronggeng dan Sejenisnya di Nusantara .......................52 3.2.1 Di Jawa ................................................................................ 53 3.2.2 Di Sunda ..............................................................................57 3.2.3 Di Aceh .............................................................................. 61 3.2.4 Di Minangkabau ..................................................................61 3.2.5 Di Jambi ............................................................................... 65 3.2.6 Di Kalimantan ......................................................................66 3.2.7 Di Sulawesi ........................................................................ 66 3.2.8 Di Semenanjung Malaysia dan Selatan Thai .........................67 3.2.9 Di Sumatera Utara ...............................................................69 BAB IV. SEJARAH RONGGENG DAN SERAMPANG DUA BELAS .......................................................................73 4.1 Hubungan Kultural dalam Sejarah Ronggeng ................................73 4.2 Akar Budaya ................................................................................74 4.3 Masa Penjajahan Bangsa-bangsa Barat .......................................... 78
4.4 4.5
4.6
4.7
4.3.1 Akulturasi dengan Tari Branyo .............................................79 4.3.2 Di Sumatera Timur ............................................................. 84 Masa Kemerdekaan ....................................................................... 90 Sejarah Serampang Dua Belas....................................................... 93 4.5.1 Kesultanan Serdang sebagai Kawasan Asal Serampang Dua Belas ..................................................97 4.5.2 Serampang Dua Belas di Kesultanan Deli ........................... 106 4.5.3 O.K. Adram sebagai Pencipta dan Guru Sauti sebagai Penggubah Tari Serampang Dua Belas ................... 113 Persebaran dan Perkembangan Tari Serampang Dua Belas.......... 128 4.6.1 Perkembangan dalam Kegiatan Pesta, Pekan Budaya, dan Festival ............................................................................... 129 4.6.2 Lembaga Serampang Dua Belas ........................................ 131 4.6.3 Dewan Kesenian Sumatera Utara dan Medan ....................... 131 4.6.4 Pengkajian dan Pertunjukan di Berbagai Perguruan Tinggi ................................................................................ 132 4.6.5 Sanggar-sanggar dan Kumpulan Seni ................................... 136 4.6.5.1 Lembaga Studi Tari Patria ....................................... 136 4.6.5.2 Ikatan Jaka dan Dara Kota Medan ........................... 139 4.6.5.3 Lembaga Kesenian MABMI .................................... 141 4.6.6 Persebaran di Singapura .................................................... 142 4.6.7 Persebaran di Malaysia ..................................................... 144 Dalam Dunia Maya (Internet) ...................................................... 145
BAB V. STRUKTUR MUSIK RONGGENG DAN SERAMPANG DUA BELAS .............................................. 151 5.1 Pengenalan ................................................................................. 151 5.2 Ensambel Ronggeng ................................................................... 153 5.3 Pola Dasar Ritme Gendang Ronggeng Melayu Sumatera Utara ............................................................................ 164 5.3.1 Rentak Senandung ............................................................ 166 5.3.2 Rentak Mak Inang dan Patam-patam ................................ 168 5.3.3 Rentak Lagu Dua............................................................... 171 5.3.4 Saat Masuk Rentak Gendang ............................................ 173 5.4 Teks Lagu-lagu dalam Pertunjukan Ronggeng ............................ 174 5.5 Struktur Rentak dan Melodi Serampang Dua Belas ..................... 177 5.5.1 Rentak .............................................................................. 177 5.5.2 Melodi .............................................................................. 178 5.5.3 Bentuk dan Frase Melodi ................................................... 196 5.5.4 Wilayah Nada dan Tangga Nada ....................................... 198
BAB VI. STRUKTUR TARI RONGGENG DAN SERAMPANG DUA BELAS ............................................ 200 6.1 Pengenalan ................................................................................. 200 6.2 Tiga Repertoar Utama Tari Ronggeng Melayu ............................ 201 6.2.1 Tari Senandung ................................................................ 201 6.2.2 Tari Mak Inang ................................................................. 202 6.2.3 Tari Lagu Dua .................................................................. 203 6.3 Struktur Tari Serampang Belas ................................................... 204 6.3.1 Pengertian ........................................................................ 205 6.3.2 Analisis Pantun dan Kalimat Guru Sauti yang Menjelaskan Setiap Ragam Tari Serampang Dua Belas .... 207 6.3.3 Ekspresi Budaya Perkenalan dan Nikah Kawin dalam Adat Melayu ........................................................... 213 6.3.4 Busana Tari ...................................................................... 215 6.3.5 Berbagai Istilah Gerak dalam Tari Melayu ........................ 218 6.3.6 Aspek-aspek Sosial Budaya Serampang Dua Belas ........... 228 6.3.7 Empat Jenis Gerak Tandak dalam Tari Serampang Dua Belas ....................................................... 230 6.3.8 Dua Belas Ragam Tari Serampang Dua Belas .................. 231 BAB VII. HUBUNGAN TARI DAN MUSIK RONGGENG DAN SERAMPANG DUA BELAS ........................................... 266 7.1 Pengenalan ................................................................................. 266 7.2 Ronggeng ................................................................................... 266 7.2.1 Waktu Masuk ................................................................... 266 7.2.2 Siklus ............................................................................... 267 7.3 Serampang Dua Belas ................................................................ 274 7.3.1 Hitungan Tari dan Musik .................................................. 275 7.3.2 Hubungan Struktur Tari dan Musik ................................... 278 BAB VIII. PENGGUNAAN DAN FUNGSI RONGGENG DAN SERAMPANG DUA BELAS ......................................... 279 8.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi ............................................. 279 8.2 Penggunaan Ronggeng dan Serampang Dua Belas ...................... 282 8.3 Fungsi Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas ....................... 282 8.3.1 Fungsi untuk Mencapai Konsistensi Internal Budaya Melayu ............................................................................. 283 8.3.2 Fungsi untuk Ekspresi Percintaan dan Kontak Sosial ......... 284 8.3.3 Fungsi untuk Kegiatan Ekonomis ...................................... 285 8.3.4 Fungsi Primer dan Sekunder ............................................. 286
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ........................................... 288 9.1 Kesimpulan ................................................................................ 288 9.2 Saran-saran ................................................................................. 289 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 291 GLOSARI ........................................................................................ 300 DAFTAR INFORMAN .................................................................... 302
Daftar Bagan, Peta, Gambar, dan Notasi Bagan 1.1 Peta 2.1 Gambar 3.1 Gambar 4.1
Gambar 4.2 Gambar 4.3 Notasi 4.1 Notasi 4.2 Notasi 4.3 Gambar 4.4
Gambar 4.5
Bagan 4.1 Gambar 4.6
Peta 4.1 Gambar 4.7 Gambar 4.8
Gambar 4.9
Segi Tiga Makna Ogden dan Richard (1923) ...................24 Sumatera dan Semenanjung Malaysia Pusat Budaya Melayu .........................................................................50 Sepasang Penari Ronggeng dan Ensambel Musik Pengiringnya di Cirebon Jawa Barat Tahun 1886 ...........54 Suasana Pertunjukan Ronggeng di Taman Lily Suheiri Pasar Seni dan Kerajinan (Pasker) Tahun 1997, di Depan Dua Ronggeng Nurjannah dan Sumarni .........................................................................79 Kelompok Tari dan Musik Portugis Melaka Sedang Menarikan Tarian Branle ................................................80 Noelfelix, Informan Kumpulan Kesenian Portugis Melaka ..........................................................................80 Lagu Bertajuk Branle du Poitou untuk Iringan Tarian Branle Eropa .....................................................83 Lagu Tradisional Portugis Bertajuk Branle untuk Iringan Tarian Branle .....................................................84 Melodi Dasar Lagu Jinkly Nona pada Tarian Branyo dan Joget Melayu di Melaka ..........................................85 Ensambel Musik Ronggeng, Gabungan Pemusik MABMI, Ramli Mohram, dan Suhaimi Hj. Chik dari Universiti Malaya dan RTM di Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur 2012 ..........................................91 Acara Ronggeng (Joget Lambak) Bersama Seniman MABMI dan Pemenang Sayembara Deklamasi Puisi di Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur 2012 .......92 Asal-usul Serampang Dua Belas dari Ronggeng Melayu ...........................................................................96 Tuanku Luckman Sinar Basyarshah II, Salah Seorang Sultan Serdang yang Perduli pada Budaya Melayu ...........................................................................98 Sumatera Timur Dasawarsa 1940-an, Kesultanan Serdang sebagai Asal Serampang Dua Belas................. 103 Serampang Dua Belas Dipertnjukkan Kelompok Seni Budaya Sri Indra Ratu di Istana Maimun 1980 ...... 108 Tengku Muhammad Daniel, Suami Tengku Sitta Syaritsa, Raja dan Penggiat Serampang Dua Belas Dekade 1960-an dari Kesultanan Deli ........................... 110 Tengku Sitta Syaritsa Pencipta Tari-tarian Melayu ....... 111
Gambar 4.10 Lambang Tari Serampang Dua Belas yang Diciptakan oleh O.K. Adram (Kata Pantai Cermin Ditulis Menurut EYD) ................................................. 119 Gambar 4.11 O.K. Zubaidi, Murid Awal O.K. Adram dan Guru Sauti ............................................................................ 120 Gambar 4.12 Lily Suheiri, Pemimpin Musik RRI (Orkes Simfoni Medan) yang Menggubah Musik Iringan Serampang Dua Belas Tahun 1949 ................................................. 121 Gambar 4.13 Penulis Bersama O.K. Thamrin (Cucu O.K. Adram) dan Nasri Efas Berziarah di Kubur O.K. Adram 2014 ............................................................................ 122 Gambar 4.14 Kuburan O.K. Adram Pencipta Tari Serampang Dua Belas di Desa Pantai Cermin Kiri, Serdang Bedagai, 2014 ............................................................................ 124 Gambar 4.15 Guru Sauti, Penggubah Tari Serampang Dua Belas dan Menyebarkannya Secara Nasional ........................ 126 Gambar 4.16 Jose Rizal Firdaus, Penggerak Utama Enkulturasi Tari Melayu Sumatera Utara, Termasuk Serampang Dua Belas .................................................................... 138 Gambar 4.17 Ovalyn Sitepu (Miss Tourim International Indonesia 2012 yang Juga Dara Kota Medan 2010) bersama Dedy Suganda (Jaka Kota Medan 2010) Menarikan Tari Serampang Dua Belas di China ............................ 140 Gambar 4.18 Puan Som Said Penggiat Tari Serampang Dua Belas di Singapura ................................................................. 142 Gambar 4.19 Kelompok Seni Sinar Budaya Group dari Kesultanan Serdang Sedang Mempersembahkan Serampang Dua Belas .................................................. 148 Gambar 4.20 Kelompok Seni Konsentra Group dari Sumatera Barat Menampilkan Serampang Dua Belas .................. 148 Gambar 4.21 Kelompok Seni dari Singapura Menampilkan Serampang Dua Belas Versi O.K. Adram (Delapan Penari Lelaki) pada Festival Tari Melayu di Singapura 2012 ............................................................ 149 Gambar 4.22 Dua Penari dari ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) Padang Panjang Menampilkan Serampang Dua Belas 1991 .......................................... 149 Gambar 4.23 Para Penari dari Riau Menyajikan Serampang Dua Belas ........................................................................... 150 Gambar 4.24 Para Penari Indonesia Menyajikan Serampang Dua Belas dalam Rangka Persahabatan IndonesiaAmerika Serikat ........................................................... 150
Gambar 5.1 Gambar 5.2
Gambar 5.3 Gambar 5.4
Gambar 5.5 Gambar 5.6 Gambar 5.7 Gambar 5.8 Gambar 5.9 Gambar 5.10 Gambar 5.11 Gambar 5.12 Gambar 5.13 Notasi 5.1
Notasi 5.2 Bagan 5.1 Notasi 5.3 Bagan 5.2 Notasi 5.4 Notasi 5.5 Bagan 5.3 Notasi 5.6 Notasi 5.7 Tabel 5.1 Bagan 5.4 Notasi 5.8 Notasi 5.9 Notasi 5.10
Gendang Ronggeng yang Biasa Dipakai Mengiringi Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas ................... 154 Teknik Menghasilkan Empat Onomatopeik Bunyi pada Gendang Ronggeng, Termasuk untuk Mengiringi Tari Serampang Dua belas ........................ 155 Posisi Memainkan Gendang Ronggeng Duduk Bersila ........................................................................ 156 Taksonomi Gendang Ronggeng yang Biasa Dipakai Mengiringi Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas ........................................................................... 156 Motif Tumbuhan pada Baluh Luar Gendang Khas Buatan Yusuf Wibisono di Medan ............................... 157 Struktur Gendang Ronggeng ........................................ 157 Biola ............................................................................ 158 Akordeon ..................................................................... 158 Akordeon dan Bagian-bagiannya ................................. 159 Tawak-tawak atau Gong untuk Mengiringi Tari Serampang Dua Belas ................................................. 160 Struktur Tawak-tawak atau Gong ................................. 161 Saksofon ...................................................................... 162 Saksofon dan Bagian-bagiannya .................................. 163 Tiga Rentak Dasar dalam Musik Melayu Sumatera Utara (Senandung, Mak Inang, dan Lagu Dua), Rentak Lagu Dua adalah Dasar dari Serampang Dua Belas ........................................................................... 164 Siklus (Perputaran) Pola Ritme Rentak Senandung ....... 166 Meter Pola Ritme Rentak Senandung ........................... 165 Kombinasi Onomatopeik dan Motif Ritme Rentak Senandung dalam Musik Ronggeng Melayu ................. 167 Ringkasan Rentak Senandung dalam Musik Ronggeng Melayu ........................................................ 168 Pola Dasar Ritme Rentak Mak Inang ............................ 169 Kombinasi Tangan Kiri dan Tangan Kanan pada Pola Rentak Mak Inang ................................................ 169 Struktur rentak Mak Inang ........................................... 170 Variasi Rentak Mak Inang ........................................... 170 Pola Dasar Ritme Rentak Patam-patam ....................... 171 Kombinasi Onomatopeik dalam Pola Ritme Rentak Lagu Dua .................................................................... 172 Struktur Rentak Lagu Dua ........................................... 173 Tanjung Katung ........................................................... 176 Contoh Hubungan Gendang dan Akordeon .................. 178 Melodi Ekspresi Rasa Cinta pada Musik Barat ............. 179
Notasi 5.11 Notasi 5.12 Notasi 5.13 Notasi 5.14 Notasi 5.15 Notasi 5.16 Gambar 5.14
Melodi Rasa Cemas pada Musik Barat ......................... 179 Melodi dalam Gaya Wals ............................................. 179 Serampang Dua Belas (Varian 1) ................................. 183 Serampang Dua Belas (Varian 2) ................................. 187 Serampang Dua Belas (Varian 3) ................................. 188 Serampang Dua belas (Varian 4) ................................. 189 Ahmad Setia, Pemain Akordion yang Dianggap Paling Sesuai Mengiringi Serampang Dua Belas pada Era 1980-an hingga Kini ...................................... 197 Gambar 5.15 Erwansyah, Pemain Akordeon untuk Serampang Dua Belas di Kalangan Pemusik Muda Melayu (Murid Ahmad Setia) ................................................... 197 Gambar 5.16 Fadlin dan Muhammad Takari Sedang Memainkan Gendang Ronggeng Melayu Mengiringi Tari Serampang Dua Belas dalam Acara Temasya Pantun di Muara Sungai Duyung Melaka 2012 ........................ 198 Notasi 5.17 Wilayah Nada Permainan Akordeon Ahmad Setia ........ 198 Notasi 5.18 Tangga Nada ............................................................... 198 Notasi 6.1 Gerak Dasar Tari Senandung ....................................... 202 Notasi 6.2 Gerak Dasar Tari Mak Inang ........................................ 203 Notasi 6.3 Gerak Dasar Tari Lagu Dua ......................................... 204 Gambar 6.1 Serampang .................................................................. 206 Bagan 6.1 Gerak Dasar Tari Lagu Dua atau Joget ........................ 214 Gambar 6.2 Busana penari Ronggeng dan Serampang Dua Belas Perempuan ................................................................... 216 Gambar 6.3 Contoh Busana Penari Serampang Dua Belas Perempuan.................................................................... 217 Gambar 6.4 Busana Penari Serampang Dua Belas Lelaki ................ 218 Tabel 6.1 Deskripsi Gerak Tari Serampang Dua Belas ................ 233 Gambar 6.5 Kharisma dan Romi Maghribi Ghazali Aziz, Dua Penari Serampang Dua Belas dari Binjai Sumatera Utara ........................................................................... 265 Bagan 7.1 Hubungan antara Musik dan Tari dalam Seni Ronggeng Melayu ........................................................ 267 Notasi 7.1 Hubungan Musik dan Tari dalam Repertoar Kuala Deli dalam Rentak Senandung ..................................... 269 Notasi 7.2 Hubungan Musik dan Tari dalam Repertoar Mak Inang Pulau Kampai dalam rentak Mak Inang ............. 271 Notasi 7.3 Hubungan Musik dan Tari dalam Repertoar Tanjung Katung dalam Rentak Lagu Dua .................................. 273 Bagan 7.2 Hubungan Hitungan Tari dan Musik Serampang Dua Belas .................................................................... 276
Tabel 7.1
Bagan 7.3
Hubungan Waktu dan Kuantitas Hitungan (Berdasarkan Beat Tari) Musik dan Tari Serampang Dua Belas ..................................................................... 276 Pertunjukan Serampang Dua Belas Berdasarkan Dimensi Waktu dan Ruang ........................................... 277
Bab I: Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Pengantar Dalam kehidupan yang kita jalani ini, baik pada dimensi waktu maupun ruang, pada dasarnya manusia tidak dapat melepaskan diri dari gerak dan bunyi. Bahkan pada saat manusia lahir di dunia, ia melakukan aktivitas gerak dan bunyi (menangis). Dalam kehidupan sehari-hari, gerak tersebut ada yang berupa gerak alamiah, seperti berjalan, berlari, menulis, melukis, memetik buah, memasak, memanggil, melarang, dan lainnya—maupun gerak yang telah distilisasi secara estetis seperti gerak pantomim, mimik muka dalam teater, tarian dengan berbagai gaya seperti: memetik bunga, menyisir, mendayung perahu, meniti batang, dan lan-lain. Gerak-gerak yang mengekspresikan segala keindahan ini lazim pula disebut dengan seni tari. Adakalanya seni tari ini terkait dengan olahraga seperti senam, silat, lintau, capoeira, judo, karate, wu shu, dan lainnya. Dalam ekspresi yang sedemikian rupa unsur seni tari dan beladiri menjadi satu kesatuan. Selain itu, dalam seni tari, aspek bunyi juga selalu menjadi unsur pendukungnya. Aspek bunyi dalam tarian ini selalu disebut dengan seni musik, yang lebih jauh lagi ada yang menyebutnya dengan musik iringan, atau musik tari. Dalam kebudayaan tertentu, sebuah genre atau judul tarian bisa saja memiliki arti tari dan musik sekali gus. Misalnya dalam kebudayaan Melayu, istilah zapin, pastilah merujuk kepada genre musik dan tari, yang mengandung pengertian sebagai sebuah genre tari, dan sekaligus pengertian sebagai genre musik. Bicara zapin pasti akan langsung merujuk kepada tari dan musik zapin. Keduanya menyatu dalam sebuah genre musik dan tari dalam konteks seni pertunjukan. Kalau dikaji lebih jauh dari aspek tari pastilah merujuk kepada gerak-gerak yang memiliki identitas khas zapin seperti: tahtum (tahto), siku keluang, tandak, anak ayam, dan seterusnya. Begitu juga kepada musiknya yang khas seperti rentak zapin dalam meter ostinato empat, taqsim (melodi free meter di awal pertunjukan), senting (intensitas kuat dalam pukulan gendang), onomatopeik, dan instrumen musik penciri zapin seperti marwas, gambus atau ‘ud, lagu-lagu khas zapin (bisa saja teks Arab, Melayu, atau campuran keduanya) seperti: Anak Ayam, Lancang Kuning, Selabat Laila, Bulan Mengambang, Kasih Budi, Persebatian, dan lainlain.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Tari dan musik adalah dua bidang seni yang saling terkait dan saling mendukung. Keduanya memiliki hubungan dalam dua dimensi yang sama yaitu waktu dan ruang. Dalam dimensi waktu ini, kedua bidang seni tersebut disusun oleh satuan-satuan yang lebih kecil lagi seperti tempo, aksentuasi, fungtuasi, meter (isometer, simetris, dan asimetris), siklus hitungan, ketukan dasar (pulsa atau beat), ritme, 1 dan unsur-unsur sejenis. Adakalanya hubungan antara tari dengan musik digarap dalam meter atau motif ritme yang berbeda untuk memberi kesan poliritme atau ritme yang kontras. Yang lebih sering adalah membentuk atau berdasar kepada meter dan ritme yang sama. Dalam ronggeng Melayu, meter antara musik dan tarinya adalah relatif sama, terutama dalam tari senandung dan inang. Namun untuk tari lagu dua terjadi kontras. Di sisi lain, pada tari Serampang Dua Belas pada kebudayaan Melayu Sumatera Timur, hubungan meter ini juga adalah “kontras.” Ritme tari adalah dupel dalam hitungan empat dalam satu siklus metrik. Di lain sisi, musiknya dikomposisikan dalam meter 6/8. Gabungan antara musik dan tari memang sinerji, namun memberi dampak “poliritme.” Tepatnya ketukan dasar tiga (atau konteks yang lebih holistik dalam ensambel, 6) dalam dua (dengan hitungan siklus tari 8). Tiga diekspresikan dalam dimensi waktu musik, sementara ketukan dasar dua dalam tari. Ini menjadi keeksotisan sendiri tari Serampang Dua Belas.2 Selain dari dimensi waktu, hubungan lainnya antara tari dan musik adalah dimensi ruang. Dimensi ruang dalam tari, disusun oleh satuansatuan yang lebih kecil seperti, bentuk gerak, frase gerak, motif gerak, pola lantai, setting pentas, getur, sampai pula pakaian, properti tari, 1
Kata ritme adalah unsur serapan dari bahasa Inggris rhythm. Dalam bahasa Indonesia, kata ini lazim dihubungkan dengan irama. Kata i.ra.ma artinya adalah: 1. Gerakan berturut-turut secara teratur, turun naik lagu (bunyi dan sebagainya) yang beraturan, ritme; 2. Dalam sastra artinya adalah alunan yang tercipta oleh kalimat yang berimbang, selingan bangun kalimat, dan panjang pendek serta kemerduan bunyi (dalam prosa); ritme; 3. Dalam musik berarti waktu atau tempo, misalnya irama Bengawan Solo berlainan dengan lagu Jali-jali, 4. Dalam sastra adalah alunan yang terjadi karena perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi, keras lembut tekanan dan tinggi rendah nada dalam puisi (Kamus Umum Bahasa Indonesia). 2 Sejauh pengamatan kepustakaan yang kami lakukan, terdapat tiga tipe untuk menuliskan tari Serampang Dua Belas. Yang pertama, seperti yang ditulis oleh Guru Sauti adalah Serampang XII. Kedua, adalah mengikuti lambang tarian ini yang dicipta dan direka oleh O.K. Adram yang menggunakan angka Arabik 12, yaitu Serampang 12. Yang ketiga adalah versi penulisan penuh secara fonetik yaitu Serampang Dua Belas. Ketigatiganya benar dan tidak ada yang salah, baik dikaji secara teknis penulisan maupun sejarah seni ini, yang dikaitkan kepada pencipta dan penggubahnya. Dalam buku ini, penulis menggunakan teknik penulisan yang ketiga, berdasarkan pendekatan fonetis, yaitu Serampang Dua Belas. Ketiga kata ini dimiringkan (italic) karena merupakan istilah, setiap huruf di awal kata menggunaan huruf kapital karena dikaitkan dengan judul tari. Jadi penulisan ini berhubungan dengan kata tarian ini sebagai istilah dan judul sekali gus.
Bab I: Pendahuluan
pencahayaan pertunjukan tari, dan unsur-unsur sejenis. Kalau dimensi ruang dalam musik lebih menekankan kepada aspek pendengaran (audio), walau juga tetap mempersembahkan dimensi visual, maka dalam seni tari, penekanan dan fokus pertunjukan adalah pada dimensi visual yang bergerak. Namun demikian, dimensi tari ini biasanya harus didukung oleh dimensi audio musik, walau tidak menjadi sebuah kewajiban. Sementara dimensi ruang dalam musik, termasuk musik untuk mengiringi tarian, dapat dikelompokkan dalam dua besaran utama di bawah dimensi ruang, yaitu melodi dan harmoni. Unsur-unsur melodi di antaranya adalah: tangga nada (modus), wilayah nada (ambitus kadang disebut tebanada), nada dasar (nada pusat), interval, formula melodi, distribusi nada, pola-pola kadensa, dan kontur. Seterusnya unsur-unsur harmoni dalam musik di antaranya adalah: nada fundamental dan parsial, interval konsonan dan disonan, akord dan progresinya, akord posisi akar (root) dan balikan, teknik apergiasi dalam konteks arsitektonik khordal, aturan-aturan melangkah dan meloncat, hubungan bas dengan suara-suara di atasnya, berbagai pola-pola kadensa akord seperti kadensa plagal, kadensa penuh, kadensa deseptif, kadensa setengah, dan seterusnya. Selain itu, dimensi ruang dalam musik juga disusun oleh teknik komposisi yang disebut dengan tekstur. Jika bangunan musik tersebut disusun oleh satu melodi yang sama yang dilakukan oleh beberapa pemain musik atau vokal, maka tekstur yang seperti ini disebut dengan monofoni. Selanjutnya apabila bangunan musik tersebut disusun oleh satu melodi yang sama, yang dilakukan oleh beberapa pemain musik atau vokal, namun menyertakan nada-nada oktafnya, bisa di bawah atau di atas, maka tekstur yang seperti ini disebut dengan unisono. Jika bangunan musik tersebut dibentuk oleh satu melodi pokok yang sama, yang dilakukan oleh beberapa pemain musik atau vokal, namun setiap musik atau penyanyi menggarap variasi-variasi melodinya sendiri terhadap melodi pokok tadi, maka tekstur musik yang seperti ini disebut dengan heterofoni. Seterusnya, apabila bangunan musik tersebut disusun oleh beberapa melodi yang berbeda dan ritmenya sama, disajikan dalam waktu yang bersamaan, namun berdasar kepada prinsip-prinsip harmoni, maka tekstur musik yang seperti ini disebut dengan homofoni. Lebih jauh lagi, apabila bangunan musik disusun oleh beberapa melodi yang berbeda dan ritmenya juga berbeda, disajikan dalam waktu yang bersamaan, tetapi tetap berdasar kepada prinsip-prinsip harmoni, maka tekstur musik yang seperti ini disebut dengan polifoni. Selanjutnya, apabila bangunan musik tersebut disajikan oleh beberapa pemusik atau penyanyi, tidak berdasar kepada prinsip-prinsip harmoni, maka teksturnya dapat disebut sebagai disfoni. Jika bangunan musik ini disajikan oleh beberapa pemusik atau penyanyi, tidak berdasar kepada prinsip-prinsip harmoni, namun mengacu kepada satu lagu, yang antara
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
pemusik atau penyanyi memulai lagu itu pada waktu yang berbeda dalam konteks satu pertunjukan musikal, maka teksturnya disebut dengan disfoni kanon. Dalam konteks pertunjukan musik dan tari, dimensi ruang dalam musik adakalanya berjalan bebas tanpa terikat oleh dimensi ruang dalam tari, artinya berjalan sendiri-sendiri dalam waktu yang bersamaan. Adakalanya dimensi ruang antara tari dan musik ini, terjalin sangat erat, artinya saling menguatkan pertunjukan, seperti yang terjadi di dalam pertunjukan tari dan musik Serampang Dua Belas. Selain itu, dimensi lainnya yang paling dieksplorasi dalam tarian adalah tenaga (power). Setiap penari, biasanya akan mengelola tenaga ini sesuai dengan komposisi tari yang mendasarinya. Tenaga ini akan digunakan secara penuh atau lemah, tergantung dari bahagian tari yang hendak diekspresikan. Secara budaya, ada tarian yang mengekspresikan sifat wanita yang lemah lembut, penuh kasih sayang, feminimisme, keibuan, dan sejenisnya yang mengeksplorasi tenaga yang relatif “lemah.” Sebaliknya ada pula tari yang mengekspresikan kegagahan, kejantanan, yang berasosiasi kepada ekspresi sifat-sifat pria, yang berasosiasi dengan kebijaksanaan, ketampanan, maskulinitas, bahkan sampai sikap kasar dan jahat. Dua sisi penggunaan tenaga ini sangat dieksplorasi dalam seni tari. Demikian pula yang terjadi dalam Serampang Dua Belas. Kedua sisi ini, diolah sedemikian rupa menjadi sebuah harmoni tari. Ada aspek tenaga yang mengekpresikan perempuan yang lemah lembut, kewanitaan, feminim, kecantikan, kelincahan, malumalu (tersipu malu), jinak-jinak merpati, dan seterusnya. Ada pula aspek tenaga yang digunakan penari laki-laki yang mengekspresikan lelaki, yang secara hukum alam adalah jantan, gagah, melindungi wanita pasangannya, tegas, mengambil keputusan, sebagai kepala rumah tangga, dan lain-lainnya. Sifat dasar pria ini diekspresikan dalam motif gerak ayam jantan melindungi pasangan, elang balega, ular todung membuka lingkar, mengepar, dan lain-lainnya. Dalam musik, sebagimana dimensi tenaga dalam tari itu, dapat dikaitkan dengan aspek dinamik, yang juga merujuk pada tenaga, walau ini eksplorasinya tidak seluas yang digunakan dalam tarian. Dinamik dalam musik mencakup lirih dan kuatnya musik itu disajikan. Dalam komposisi musik biasanya digunakan saat mana harus lirih dan saat mana pula harus kuat. Dalam musik Barat dinamik ini diungkapkan dengan terminologi seperti pianissimo, piano, forte, mezzo forte, fortissimo, dan lain-lainnya. Ekspresi dinamik dalam musik ini biasanya lebih mengekspresikan suasana, bisa perasaan atau alam. Demikian pula musik yang disajikan untuk mengiringi tari Serampang Dua Belas, sebenarnya mengekspresikan dinamik yang mendukung gerak dan tenaga yang diekspresikan tarinya. Dengan demikian, sangatlah menarik untuk
Bab I: Pendahuluan
mengkaji dan memahami, bagaimana dan sejauh mana eksplorasi kultural, etika, dan estetik yang diekspresikan dalam tarian ini. Lebih jauh, kalau kita mendengar istilah Serampang Dua Belas, maka pemaknaan kita akan merujuk langsung kepada tarian Melayu. Jikalau diteruskan pemahaman kita terhadap tari ini, maka akan mengarahkan kita ke dimensi sejarah seni. Tari Serampang Dua Belas adalah tari Melayu yang menyumbang kepada kebudayaan nasional Indonesia. Tarian ini muncul menjelang masa kemerdekaan, dan kemudian berkembang di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Saat itu kita sedang mencari jatidiri kebudayaan nasional. Selain itu, tarian ini pun kemudian mengalami difusi (persebaran) ke negeri-negeri rumpun Melayu seperti Malaysia dan Singapura. Bahkan pada saat sekarang ini terdapat tari Serampang Dua Belas versi Republik Singapura. Tarian ini berasal dari kawasan Kesultanan Serdang di Sumatera Timur (kini Provinsi Sumatera Utara), yang diciptakan oleh O.K. Adram dari Pantai Cermin kemudian digubah dan dikembangkan secara nasional oleh Guru Sauti dari Perbaungan. Keduanya bekerjasama dalam konteks mengenalkan, mengembangkan, dan memartabatkan seni tari Melayu pada khususnya dan budaya Melayu secara umum. Keduanya adalah indeks dan ikon dari Serampang Dua Belas. Jauh lebih menukik lagi berdasarkan sejarah, tarian Serampang Dua Belas ini sebenarnya berakar dari tradisi ronggeng atau joget Melayu, sebagai tari hiburan sosial masyarakat Melayu di Dunia Melayu. Seterusnya tarian ronggeng dan sejenisnya juga sangat umum dijumpai dalam kebudayaan-kebudayaan etnik rumpun Melayu di Nusantara ini, seperti genre: gamat dan gadih atom Minangkabau, moning-moning Simalungun, guro-guro aron Karo; ketuk tilu dan joged Sunda; tayuban, ronggeng, joged Jawa; pajoge Bugis dan Makasar, dan lain-lainnya. Tari pergaulan sosial ini menjadi identitas umum kebudayaan masyarakat Melayu Polinesia. Ronggeng Melayu adalah sebuah genre seni pertunjukan atau pertunjukan budaya yang terdiri dari tarian sosial berpasangan. Tarian ini dipertunjukkan oleh ronggeng wanita (bisa lebih dari satu) dan penonton (bisa laki-laki dan juga perempuan), ditambah sekelompok pemusik yang menyajikan lagu-lagu Melayu dan juga lagu-lagu etnik Sumatera Utara dan populer dunia. Dalam konteks budaya Melayu, seni ronggeng ini terdapat di berbagai kawasan, dengan penyebutan yang bervariasi. Di Melaka disebut dengan dondang sayang, ada juga yang menyebutnya joget lambak. Di Riau disebut joget lambak atau joget dangkung. Di Jambi disebut joget. Sementara itu di Pesisir Barat Sumatera disebut gamat. Namun demikian inti fungsional dan struktur pertunjukan ronggeng dan sejenisnya ini sama, yaitu lagu dan tari disajikan secara berpasangan
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
dalam satu siklus, tari juga berpasangan antara ronggeng dan penonton, dengan fungsi utama hiburan dan pergaulan sosial. Ronggeng juga bertindak sebagai penyanyi. Dalam pertunjukan ini, penonton membeli karcis (tiket) untuk dapat menari bersama ronggeng. Para ronggeng biasanya menyanyi secara bersahut-sahutan (litany)3 dengan para penonton yang menari dan telah membeli karcis tadi berdasarkan pantun-pantun Melayu, yang diciptakan secara spontan. Jalinan tekstur yang heterofonis terjadi antara vokal ronggeng dan penyanyi dari penonton bersama-sama alat-alat musik melodis seperti akordion, biola, kadangkala disertai saksofon, ditambah dengan alat-alat pembawa rentak seperti gendang ronggeng, ditambah dengan bas elektrik, dan lain-lainnya. Rentak atau ritme yang biasa dilakukan dalam pertunjukan ronggeng biasanya adalah senandung (asli), mak inang, lagu dua (joget), dan lain-lainnya. Dalam satu siklus pertunjukan biasanya dimulai dari rentak lambat dan menuju ke rentak yang lebih cepat. Misalnya senandung menuju inang. Atau bisa juga senandung dipasangkan (pecahannya) lagu dua, atau mak inang dipasangkan dengan lagu dua. Genre ini sangat populer di dalam kehidupan masyarakat Melayu. Dalam konteks sejarah peradaban Melayu, seni ronggeng ini kemudian menjadi dasar dalam menciptakan tari-tarian dan lagu-lagu Melayu. Misalnya tari Mak Inang Pak Malau, Mak Inang Pulau Kampai, Kuala Deli, Anak Kala, dan lain-lainnya dikembangkan dari tradisi ronggeng ini. Termasuk juga pengembangan dari gerak tari dan musik rentak lagu dua menjadi tari dan musik Pulau Sari, yang kemudian dikembangkan lagi dalam bentuk Serampang Dua Belas, menjadi seni yang melegenda dalam konteks budaya Melayu dan nasional Indonesia. Dengan demikian, lebih lanjut lagi tentu kita akan bertanya apa arti kata serampang dan dua belas. Kemudian bagaimana makna-maknanya dalam konteks budaya Melayu? Apa yang membuat tari ini digemari masyarakat di kawasan Nusantara atau lazim disebut juga sebagai Dunia Melayu? Dunia Melayu secara faktual dan historis telah menunjukkan eksistensinya yang begitu matang menjadi peradaban (tamadun) terdepan di Nusantara. Dunia Melayu ini merangkum kawasan-kawasan induknya di Asia Tenggara, yang kini terdiri dari negara-negera seperti: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, Filipina, dan juga sebahagian masyarakat Melayu di Kamboja (Kampuchea), Myanmar 3
Dalam konteks disiplin etnomusikologi, jika seorang penyanyi disahuti penyanyi lainnya, maka teknik seperti ini disebut litany atau sahut-sahutan. Jika seorang penyanyi disahuti oleh sekelompok penyanyi lain, maka disebut dengan responsorial atau dalam bahasa Inggris disebut call and response. Selanjutnya jika satu kelompok penyanyi disahuti oleh sekelompok penyanyi lainnya diistilahkan dengan antifonal.
Bab I: Pendahuluan
(Burma), Laos, dan lainnya. Di lain sisi, masyarakat Dunia Melayu juga menyebar ke seluruh dunia, yang secara antropologis dikenal dengan sebutan diaspora Melayu, yang meliputi pelbagai kawasan seperti di Afrika Selatan, Bangladesh, dan Suriname. Sementara itu, secara kultural dan rasial, kawasan-kawasan Pasifik (Oseania) selalu pula digolongkan sebagai kesatuan dengan Dunia Melayu-Polinesia. Gerakan-gerakan kesadaran akan Dunia Melayu ini di paruh akhir abad 20 sampai awal abad 21 ini digerakkan terutama rekanrekan dari Malaysia, khususnya yang tergabung dalam Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena) Malaysia. Gerakan Dunia Melayu atau Melayu Raya ini juga telah dirintis oleh Muhammad Yamin dari Indonesia, Vinceslao D. Vinzons dari Filipina, Tengku Osman dari Sumatera Utara, Indonesia; Tan Sri Ismail Hussein dari Malaysia, dan lain-lainnya. Di lain sisi, secara mikrokosmos, Dunia Melayu itu juga terdiri dari kawasan-kawasan kecil yang menopang Dunia Melayu yang lebih besar. Di Indonesia saja misalnya mereka terpolarisasi dalam segmentalsegmental regional kecil di bawah provinsi atau bekas wilayah kesultanan Melayu. Setiap segmen regional ini diperkenankan menampilkan jatidiri budaya Melayunya, yang umumnya terorganisasi dalam kumpulankumpuan adat dan budaya Melayu. Di Sumatera Utara ada Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) yang kini dipimpin oleh Dato’ Seri Syamsul Arifin, S.E., kemudian ada Majelis Adat Budaya Melayu Baru Indonesia (MABIN) pimpinan Tuan Syarifuddin Siba, S.H., M.H., sementara di tataran generasi muda ada Gerakan Angkatan Melayu Muda Indonesia (GAMMI), Angkatan Muda Melayu Indonesia (AMMI), Lasykar Melayu Hang Tuah, dan lain-lainnya. Di Riau ada Majelis Adat Budaya Melayu Riau, di Kalimantan Barat ada Majelis Adat Budaya Melayu Kalimantan Barat, dan masih banyak organisasi sosial yang mewadahi masyarakt pendukung kebudayaan Melayu. Selain itu, setiap segmental regional Melayu, biasanya memiliki kekhasan-kekhasan kebudayaannya. Misalnya di Sumatera Utara, yang masa penjajahan Belanda terintegrasi dalam Sumatera Timur (Oostkust van Sumatra), Langkat memiliki kebudayaan yang kuat mengekspresikan sufisme (tarekat) di Sumatera, Deli begitu kuat mengekspresikan akulturasi budaya dunia, Serdang kuat menampilkan seni-seni Melayu yang dipandang sebagai seni “garda depan” misalnya saja rongggeng Melayu, teater makyong, teater mendu, dan yang paling fenomenal adalah tari dan musik Serampang Dua Belas. Sementara Asahan dan Labuhanbatu kuat mengekspresikan budaya maritim dan kesenian sinandongnya. Dari wilayah Serdang, seni Serampang Dua Belas kemudian mengalami difusi secara nasional dan kemudian di dasawarsa 1960-an
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
tari ini oleh Bung Karno dijadikan sebagai pendukung budaya nasional. Selanjutnya tari ini begitu populer juga di kawasan Semenanjung Malaysia dan Dunia Melayu lainnya. Kepopuleran tari dan musik Serampang Dua Belas ini, tidak lepas dari pengalaman bangsa Indonesia dalam rangka berbangsa dan bernegara. Mereka menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, yang merujuk kepada aspek historis bahwa bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar (lingua franca) di kawasan Asia Tenggara, maka tak mustahil dan sangat mungkin kebudayaan Melayu (termasuk keseniannya) dapat menjadi pengikat solidaritas nasionalisme di kawasan ini. Bukti-bukti historis membenarkan kenyataan tersebut, bahwa lingkungan penguasa negeri ini akrab dengan tari Serampang Dua Belas, terutama dari pihak istri-istri eksekutif, seperti Ibu Negara Fatmawati dan Megawati Sukarnoputri yang berdarah Melayu Bengkulu, Ibu Rahmi Hatta Minangkabau, Ibu Mufida Jusuf Kalla Minangkabau, dan masih banyak yang lainnya. Aspek pemersatu bangsa ini mendapat dukungan dari semua pihak di Nusantara. Nusantara adalah sebuah istilah yang dipergunakan untuk merujuk kepada wilayah geografi dan kebudayaan yang ada di Asia Tenggara, terutama di kepulauan Alam Melayu. Secara geografi, Nusantara merujuk kepada pengertian sebagai gugusan pulau-pulau yang ada di antara dua benua, yaitu Asia di Utara dan Australia di Selatan—di antara dua lautan, yaitu Lautan Hindia dan Samudera Fasifik. Secara kenegaraan meliputi: Indonesia, Malaysia, Singapura, Selatan Thailand, Filipina, dan juga Oseania. Masyarakat yang menghuni Nusantara, terdiri dari pelbagai etnik. Ada yang berjumlah besar, seperti Jawa, Sunda, dan Batak. Namun ada pula yang berjumlah relatif kecil seperti orang Lubu, Siladang, Kubu, Senoi, Temiar, dan lainnya. Begitu juga dengan kebudayaan yang ada di kawasan Nusantara ada yang berusia ribuan tahun, namun ada pula yang berusia relatif muda. Namun demikian, di antara kebudayaan-kebudayaan yang terdapat di wilayah Nusantara ini terdapat beberapa unsur kebudayaan yang menyatukan kebudayaan Nusantara secara umum. Misalnya sebahagian besar masyarakat Nusantara menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa penghubung), sejak berabad-abad yang silam. Masyarakat Nusantara juga sadar bahwa mereka adalah satu rumpun ras yang sama, yaitu ras Melayu atau Melayu Polinesia, yang terdiri dari ras Melayu Tua dan Melayu Muda. Faktor lainnya, selain bahasa dan ras, yang menyatukan masyarakat rumpun Melayu seluruh dunia adalah seni budaya. Misalnya seni zapin Melayu yang menjadi ikon dari kesenian Melayu. Demikian pula kesenian tradisional Melayu yang tergabung ke dalam genre asli, dondang sayang, dendang sayang, gamat, joget, dan sejenisnya menjadi wahana pemersatu budaya Melayu. Kesenian ini, telah bertapak selama
Bab I: Pendahuluan
eksisnya masyarakat Melayu. Ia telah ada di era animisme dan dinamisme sampai sekarang ini. Faktor lainnya yang mengintegrasikan orang-orang Melayu di seluruh Dunia adalah dengan kesamaan sejarah, yang mengharungi masa animisme sampai abad pertama, masuknya Hindu-Budha abad pertama hingga ketiga belas, Islam sejak abad ketiga belas sampai kini. Penjajah Eropa juga menjadi penggerak menyatunya masyarakat Dunia Melayu. Mereka merasa sama-sama dijajah dan tolong-menolong untuk mengusir penjajahan dari bumi Melayu. Selain itu, masyarakat Melayu mengembangkan kebudayaannya berdasarkan kepada faktor dalam yaitu inovasi dan faktor luar yang disebut akulturasi. Kebudayaan Hindu-Budha, Islam, dan Eropa diolah bersama-sama dengan budaya yang berasal dari dalam peradaban Melayu itu sendiri, menjadi kebudayaan Dunia Melayu yang eksotik dan menjadi dasar jatidiri kebudayaannya. Dalam seni joget dan sejenisnya kebudayaan yang digunakan adalah hasil dari pengolahan dari unsur dalam dan luar tadi dan telah bersebati (menyatu) dengan budaya Melayu. Di dalam kesenian ini telah dipolarisasikan masalah moralitas, estetika, dan nilai-nilai yang selaras dengan panduan agama Islam dan kebudayaan Melayu sekali gus. Karena sejak abad ketiga belas nilai-nilai Islam telah dienkulturasikan dalam kebudayaan Melayu dalam bentuk ketetapan adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Dalam konteks sedemikian rupa, ronggeng Melayu tidak sama nilai-nilainya dengan branyo atau branle Eropa. Ronggeng Melayu telah menyatu dengan budaya Melayu, yang menerapkan ajaran-ajaran agama yang dipandu oleh wahyu Allah, dan tidak bersifat sekuler. Tujuan tulisan ini adalah memaparkan adanya persamaan dan hubungan budaya antara kebudayaan-kebudayaan etnik di Nusantara dalam satu kesatuan Dunia Melayu melalui seni joget (ronggeng) rumpun Melayu. Hal ini membuktikan bahwa kita adalah serumpun dan kita memiliki budaya yang sama, walau dipisah oleh sekat-sekat kebangsaan. Namun seharusnya setiap orang di Nusantara wajib mengetahui posisinya sebagai bahagian Dunia Melayu atau juga Dunia Islam yang menjadi rahmat kepada seluruh alam. Tujuan utama dari analisis ini adalah untuk mengkaji fakta yang terjadi di lapangan, tentang proses persebaran dan akar budaya seni Serampang Dua Belas dan joget (ronggeng) dan sejenisnya di Nusantara. Awal timbulnya, di seluruh Dunia Melayu, kemudian diteruskan akulturasinya yang kompleks di zaman kesultanan Melaka, diteruskan dengan akulturasinya dengan budaya Portugis, dan perkembangan berikutnya di masa penjajahan sampai masa merdeka di negara-negara bangsa.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Melalui tulisan ini, penulis akan menganalisis dua aspek dari seni ronggeng dan Serampang Dua Belas, yaitu: 1. Bagaimana sejarah persebaran dan eksistensi sosiokultural seni ronggeng dan Serampang Dua Belas? 2. Bagaimana struktur seni (musik dan tari) ronggeng dan Serampang Dua Belas? Untuk bahagian pertama, secara saintifik perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sejarah dalam tulisan ini adalah mengacu kepada pendapat seorang teoretikus sejarah dunia ternama Garraghan (1957). Menurutnya, yang dimaksud sejarah itu memiliki tiga makna yaitu: (1) peristiwa-peristiwa mengenai manusia pada masa lampau; aktualitas masa lalu; (2) rekaman mengenai manusia di masa lampau atau rekaman tentang aktualitas masa lampau; dan (3) proses atau teknik membuat rekaman sejarah. Kegiatan sejarah tersebut berkaitan erat dengan disiplin ilmu pengetahuan. Lengkapnya adalah sebagai berikut. The term history stands for three related but sharply differentiated concepts: (a) past human events; past actuality; (b) the record of the same; (c) the process or technique of making the record. The Greek , which gives us the Latin historia, the French histoire, and English history, originally meant inquiry, investigation, research, and not a record of data accumulated thereby—the usual presentday meaning of the term. It was only at a later period that the Greeks attached to it the meaning of “a record or narration of the results of inquiry.” In current usage the term history may accordingly signify or imply any one of three things: (1) inquiry; (2) the objects of inquiry; (3) the record of the results of inquiry, corresponding respectively to (c), (a), and (b) above (Garraghan, 1957:3).
Tujuan utama dari analisis sejarah sosiokultural ini adalah untuk mengkaji fakta yang terjadi di lapangan, tentang proses perkembangan dan difusi seni ronggeng dan Serampang Dua Belas. Awal timbulnya Serampang Dua Belas, perkembangan dalam bentuk seni Pulau Sari yang ditata oleh Orang Kaya Adram, dan penataan serta pembakuan ragam gerak sebanyak dua belas oleh Guru Sauti, kemudian perkembangannya menjadi tarian nasional, dan persebarannya ke Dunia Melayu yang lebih luas, pendistorsian karena aspek transmisinya secara lisan, dan lain-lainnya. Kemudian pada bahagian kedua, yaitu untuk menganalisis struktur musik dan tari dipergunakan pendekatan dan teori strukturalisme di bidang disiplin etnomusikologi dan antropologi tari. Dalam konteks itu, maka dipergunakanlah notasi balok (Barat) sebagai sarana analisis, meskipun sebagaimana diakui oleh para ilmuwan seni, notasi ini juga memiliki berbagai kelemahan, namun sampai kini notasi inilah yang
Bab I: Pendahuluan
paling banyak digunakan sebagai sarana analisis keilmuan seni, serta telah diselaraskan untuk kepentingan keilmuan seni. Untuk menganalisis struktur tari ronggeng dan Serampang Dua Belas sebagai bagian yang diutamakan dalam pertunjukan (persembahan) akan dideskripsikan dengan sistem kinisiologi tari (penggambaran) ditambah dengan lukisan garis edar penari, yang kami kutip dari tulisan: (1) A. Rahim Noor dan Salim A.Z. yang bertajuk Sembilan Wajib Tari Melayu (1984) juga (2) tulisan Jose Rizal Firdaus (2006) yang berjudul “Teknik Tari Serampang 12 Karya Sauti.” Dari semua kenyataan budaya dan sosial tersebut, maka yang perlu diperhatikan dalam mengkaji keberadaan seni ronggeng dan Serampang Dua Belas ini adalah penggunaan ilmu-ilmu seni. Tujuannya adalah untuk memperoleh hasil kajian yang mengikuti norma-norma yang lazim digunakan dalam kegiatan ilmiah keilmuan. Untuk itu. Penulis menggunakan dua ilmu utama untuk mengkajinya, yaitu etnomusikologi dan etnokoreologi.
1.2 Ilmu-ilmu Seni Seni adalah salah satu unsur kebudayaan, yang dalam konteks pengkajiannya diperlukan ilmu-ilmu seni. Seni tumbuh, berkembang, dan fungsional dalam kebudayaan manusia di seluruh dunia ini. Seni dalam konteks kebudayaan eksis karena setiap manusia membutuhkan pemuasan akan keindahan di dalam kehidupannya. Dalam konteks agama Islam, dijelaskan bahwa Allah itu adalah indah, dan Allah menyukai keindahan. Jadi kalau Sang Pencipta saja menyukai keindahan, pastilah makhluk yang diciptakannya, termasuk manusia, menyukai keindahan pula. Berbasis kepada keindahan tersebut, maka muncullah berbagai cabang dan genre seni. Jika manusia memuaskan rasa keindahannya itu melalui titik, garis, warna, baik dimensi dua atau tiga, maka seni ini disebut dengan seni rupa. Jika ekspresi keindahan tersebut berbentuk dimensi pendengaran yang disusun oleh ruang dan waktu, seperti nada, tangga nada, melodi, harmoni, ritme, dan sejenisnya—maka ini disebut dengan seni musik. Selain itu tidak jarang bentuk nyanyian dalam musik dikomposisikan oleh bahasa verbal yang berasal dari seni sastra. Jika keindahan itu diekspresikan melalui media ruang dan waktu terutama oleh gerak dan tenaga maka disebut dengan seni tari. Begitu pula jika kesenian itu diekspresikan melalui pementasan berupa prolog, dialog, epilog, adegan, cerita, disertai tarian, musik, rupa, pencahayaan, dan halhal sejenis, maka seni ini disebut dengan seni teater.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Dalam konteks memahami, menelaah, dan memperluas wawasan keilmuan, untuk mengkaji seni-seni tersebut, secara alamiah tumbuh dan berkembang berbagai disiplin ilmu seni. Untuk mengkaji musik dalam peradaban Barat digunakan ilmu musikologi. Untuk mengkaji musik dalam konteks kebudayaan di seluruh dunia ini digunakan disiplin etnomusikologi. Seterusnya untuk mengkaji tari dalam konteks kebudayaan di seluruh dunia digunakan disiplin etnokoreologi (kadang disebut pula etnologi tari atau antropologi tari). Untuk mengkaji seni teater biasanya digunakan disiplin antropologi teater. Untuk mengkaji seni rupa digunakan disiplin ilmu seni rupa. Namun demikian, karena seni itu dapat didekati dari sisi ilmu dan kesenimanan (proses berkarya), maka disiplin-disiplin seni tersebut juga menyerap para seniman bidangnya. Dalam hal ini biasanya pakar seni itu dapat dikelompokkan dalam dua bidang. Yang pertama adalah kelompok yang mendalami kesenimanan dan tujuan utamanya menjadi seniman, mereka ini disebut dengan pencipta seni. Kelompok kedua adalah ilmuwan (scientist) yang kinerja utamanya adalah mengkaji seni. Kelompok ini disebut dengan pengkaji seni. Walau telah muncul disiplin-disiplin ilmu di bidang seni seperti terurai di atas, tetap saja pendekatan yang lazim digunakan dalam ilmuilmu seni ini adalah multidisiplin, interdisiplin, dan konterdisiplin ilmu. Artinya ilmu-ilmu seni tetap menggunakan ilmu-ilmu lain seperti: filsafat, sastra, linguistik, psikologi, teknologi, antropologi, sosiologi, manajemen, hukum, dan lain-lainnya. Ilmu-ilmu lain yang digunakan ini biasanya disesuaikan dengan rumusan masalah dalam mengkaji seni. Dalam kaitannya dengan ronggeng dan Serampang Dua Belas yang menjadi fokus utama dalam buku ini, disiplin ilmu utama yang penulis gunakan adalah etnomusikologi dan etnokoreologi. Etnomusikologi digunakan dalam konteks menganalisis musik iringan tari ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam konteks kebudayaan. Demikian pula untuk mengkaji tari ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam konteks kebudayaan digunakan disiplin etnokoreologi.
1.2.1 Etnomusikologi Untuk mengkaji struktur musik iringan atau musik tari ronggeng dan Tari Serampang Dua Belas dan konteks budayanya, penulis menggunakan disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari salah seorang pakar etnomusikologi yaitu Merriam, yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.
Bab I: Pendahuluan
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music 4 sound (Merriam, 1964:3-4).
Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemung-kinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang 4 Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis di seluruh dunia.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik. Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masingmasing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaan. Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.5 5 Buku ini diedit oleh Rahayu Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan Bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam
Bab I: Pendahuluan
1.2.2 Etnokoreologi Untuk mengkaji tari ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam sudut keilmuan tari, maka yang paling tepat adalah menggunakan disiplin etnokoreologi. Dalam konteks disiplin ilmu-ilmu pengetahuan seni, yang dimaksud antropologi tari atau disebut juga etnologi tari dan etnokoreologi (dalam wikipedia), adalah sebagai berikut. Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of ethnic dance”, though this is not exclusive of research on more formalized dance forms, such as classical ballet, for example. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture: “The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences.” (Blacking, 1964) Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war.
Dari kutipan tersebut digambarkan dengan jelas bahwa etnokoreologi atau yang sering juga disebut etnologi tari dan antropologi tari, adalah kajian tentang tari melalui aplikasi sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi), etnografi dan lainlainya. Dari asal-usul katanya sendiri, disiplin ilmu ini dapat dimaknakan sebagai studi tentang tarian etnik, yang merupakan penelitian yang tidak eksklusif terhadap bentuk-bentuk tarian formal, seperti balet klasik. Etnokoreologi merefleksikan usaha akademis melalui pertanyaan mengapa orang menari dan apa arti tarian tersebut. Kajian dalam disiplin konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
ini bukan hanya mengkatalogkan ribuan bentuk-bentuk tari—seperti gerak musik tari, busana, dan lainnya—di berbagai tempat di belahan bumi ini, namun lebih jauh menjangkau tarian tersebut sebagai peristiwa sosial dalam masyarakatnya, termasuk pula sejarah budaya masyarakat pendukung tarian tersebut. Tari tidak hanya representasi statis dari sejarah, dan juga bukan repositori makna-makna dalam dimensi waktunya—juga bukan hanya sekedar cermin dari kehidupan, tetapi tari juga adalah bagian pembentuk kebudayaan, sebuah kekuatan budaya. Kekuatan tari terdapat dalam pertunjukannya, dalam proses membuat perasaan tari, dan dalam hubungan pengalaman tari kepada berbagai bentuk gagasan dan pengalaman sosial. Etnologi tari mengkaji tari dalam konteks natif dan kelompok etniknya. Tarian ini dipertunjukkan oleh para penari yang dihubungkan dengan kelompok-kelompok kebangsaan dan kebudayaan. Upacara religi dalam tarian etnik, didisain dalam bentuk seperti himne, pujian kepada Yang Maha Kuasa, untuk memberikan keberuntungan dalam perdamaian atau peperangan. 1.3 Teori dan Metode untuk Kajian Dalam menulis buku ini, kami menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Teori yang dimaksud berkaitan dengan kenyataan bahwa bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen, serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian tentang teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat yang dijadikan acuan dalam membahas fenomena seni dalam hal ini adalah ronggeng Melayu dan Serampang Dua Belas. Dalam meneliti gerak tari tersebut, kami mendeskripsikan bagaimana struktur dan pola gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari ronggeng dan Serampang Dua Belas yang nantinya juga penulis menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang penulis buat sendiri, yang dapat mewakili pola gerak tari ronggeng dan Serampang Dua Belas. Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dalam hal ini yang dimaksud koreografi adalah gerakangerakan yang dilakukan para penari Serampang Dua Belas yang berakar dari ronggeng. Memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian etnik lain yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya.
Bab I: Pendahuluan
Gerakan-gerakannya terpola di dalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri. Musik dan tari merupakan fenomena yang berbeda, tetapi dapat bergabung apabila terdapat aspek yang sama mengkoordinasikannya. Menurut Pringgobroto, musik adalah rangkaian ritmis nada, sedangkan tarian adalah rangkaian ritmis dan pola gerak tubuh (dalam Wimbrayardi, 1988:13-14). Musik merupakan fenomena audio (bunyi) yang tidak terlihat, dan tari merupakan fenomena audio (bunyi) yang tidak terdengar. Baik musik dan tari bergerak di dalam ruang dan waktu (Sachs, 1993:1-4 dan Blacking, 1985:64-74) serta dapat dirasakan melalui getaran yang dihasilkannya. Aspek dasar yang menghubungkan keduanya adalah waktu, yaitu gerak ritmis (musik dan tari) dan tempo. Untuk mengkaji struktur musik iringan ronggeng dan tari Serampang Dua Belas ini, penulis menggunakan teori bobot tangga nada (weighted scale) yang ditawarkan oleh Malm (1977). Unsur yang dikaji adalah mencakup struktur melodi akordion yang disajikan secara melodis. Unsur melodis yang akan dianalisis mencakup 8 aspek yaitu: (1) tangga nada, (2) wilayah nada, (3) nada dasar, (4) interval, (5) jumlah nada-nada yang digunakan, (6) formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur (garis melodi). Dalam tulisan ini aspek yang dianalisis diutamakan pada formula melodi. Untuk mengkaji fungsi tari ronggeng dan Serampang Dua Belas di dalam kebudayaan masyarakat Melayu digunakan teori fungsionalisme baik dalam ilmu antropologi maupun dalam etnologi tari, yang ditawarkan oleh beberapa pakar. Mereka menggagas teori fungsi itu sebagai berikut. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a particular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Dalam kaitannya dengan tari ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam kebudayaan Melayu Sumatera Timur, maka tari ini adalah salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas etnik Melayu, yang tujuannya adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Tari ronggeng dan Serampang Dua Belas dan musik iringannya adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung tegaknya budaya Melayu. Curt Sachs (1963:5) seorang ahli musik dan tari dari Belanda mengemukakan dalam bukunya yang berjudul World History of the Dance bahwa fungsi tari secara mendasar ada dua, yaitu: (1) tari berfungsi untuk tujuan magis, dan (2) tari berfungsi sebagai media hiburan atau tontonan. Pakar lainnya Gertrude Prokosch Kurath yang mengemukakan adanya 14 fungsi tari dalam masyarakat, yaitu: (1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3) sebagai media persahabatan atau kontak sosial, (4) sarana untuk perkawinan atau pernikahan, (5) sebagai pekerjaan atau matapencaharian, (6) sebagai media untuk sarana kesuburan atas pertanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai sarana untuk ritual perburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi peperangan, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13) sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedi (lawak). Dari empat belas fungsi yang dikemukakan oleh Sachs seperti tersebut di atas, maka salah satu fungsi tari ronggeng dan Serampang Dua Belas adalah fungsinya sebagai sarana untuk perkawinan atau pernikahan, sebagai media percintaan, dan sebagai pekerjaan atau matapencaharian. Lebih jauh lagi, Anthony V. Shay dalam disertasi doktoralnya yang bertajuk The Function of Dance in Human Society, membagi tari dalam 6 fungsi, yaitu (1) sebagai refleksi dari organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi sekuler serta ritual keagamaan, (3) sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis, dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi. Kalau ditinjau dari teori fungsi tari yang dikemukakan Shay ini, maka tari ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam kebudayaan Melayu adalah sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, juga sebagai refleksi nilai-nilai estetik, dan juga ekonomi. Sementara pakar tari lndonesia yaitu Narawati dan R.M. Soedarsono membedakan fungsi tari menjadi dua, yaitu (1) kategori fungsi tari yang besifat primer, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) fungsi tari sebagai sarana ritual, (b) fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai presentasi estetik, dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat
Bab I: Pendahuluan
sekunder, yaitu lebih mengarah pada aspek komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian (Narawati dan Soedarsono, 2005: 15-16). Berdasarkan teori fungsi tari dari Narawati dan Soedarsono ini, maka fungsi tari ronggeng dan Serampang Dua Belas, mencakup baik itu fungsi primer dan juga fungsi sekunder. Di dalam kegiatan tari ini terdapat fungsi ritual, ungkapan pribadi, estetik, dan mata pencaharian. Untuk mengkaji makna-makna gerak dalam tari ronggeng dan Serampang Dua Belas digunakan teori semiotik. Pada umumnya, tarian yang betuknya bukan verbal tetapi gerak, dikemas melalui tanda-tanda yang mengandung banyak makna. Seterusnya, makna yang terkandung di dalamnya merefleksikan realitas yang terdapat di dalam masyarakat pendukungnya. Untuk makna tersebut, terlebih dahulu harus dapat dikenali tanda-tanda yang membangun-nya. Dengan demikian, teori semiotik dianggap paling tepat digunakan untuk dapat menguraikan makna tanda-tanda yang terdapat dalam tarian ini. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini berpandangan bahwa fenomena sosial dan budaya pada dasarnya merupakan tandatanda. Semiotik mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan dan konvensikonvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Dua tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure, seorang pakar bahasa dari Swiss--dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier, yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri. Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian semiotik itu adalah seperti berikut. Semiotic also called semiology, the study of signs and sign-using behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce. Peirce's seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: (1) an icon, which resembles its referent (such as a road sign for falling rocks); (2) an index, which is associated with its referent (as smoke is a sign of fire); and (3) a symbol, which is related to its referent only by convention (as with words or traffic signals). Peirce also demonstrated that a sign can never have a definite meaning, for the meaning must be continuously qualified. Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians apply to sign-
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
systems other than language. One such basic semiotic concept is Saussure's distinction between the two inseparable components of a sign: the signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances, from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is this underlying langue that most interests semioticians. This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the methods of structuralism (q.v.), which seeks to analyze these relations. Saussure's theories are thus also considered fundamental to structuralism (especially structural linguistics) and to poststructuralism. Modern semioticians have applied Peirce and Saussure's principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoanalysis, communications, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi-Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva.
Semiotik atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotik, yaitu pakar linguistik dari Swiss, Ferdinand de Sausurre. Menurutnya, semiotik adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah digunakan oleh filosof Inggris abad ke-17, yaitu John Locke, gagasan semiotik sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam pelbagai lapangan kajian, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre, dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce. Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, dia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mengonsepkan tanda sebagai “sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya yang besar untuk semiotik adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referennya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik). Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bahagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant) dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan perananan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambanglambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila
Bab I: Pendahuluan
lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, atau harimau melambangkan negara Malaysia, maka disebut dengan simbol atau lambang. Secara saintifik, istilah semiotik berasal dari perkataan Yunani yaitu semeion. Panuti Sudjiman dan van Zoest (1992) menyatakan bahwa semiotik berarti tanda atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar. Bidang pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang terhadap proses komunikasi. Dengan menggunakan pendekatan semiotik, seseorang bisa menganalisis makna yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan lambang dalam kehidupan manusia sehari-hari. Semiotik dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang, termasuk: penggunaan lambang, isi pesan dan cara penyampaiannya (Berlo, 1960:54). Dalam semiotik terdapat hubungan tiga segi antara lambang, objek, dan makna (Eco, 1979: 15; Littlejohn, 1992:64; Manning, 1987:26; Barthes, 1967:79). Lambang itu mewakili objek yang dilambangkan. Penerima yang menghubungkan lambang dengan objek dan makna, disebut interpretan, yang berfungsi sebagai peraantara antara lambang dengan objek yang dilambangkan. Oleh karena itu, makna lambang hanya wujud dalam pikiran interpretan, selepas saja interpretan menghubungkan lambang dengan objek. Berdasarkan kepada Bagan 1.1 berikut, yaitu segitiga Makna Ogden & Richards (1923) maka dapat dikaji bahwa tidak ada hubungan secara langsung antara lambang atau isyarat dengan objek yang menjadi rujukan. Hubungan tidak langsung ini digambarkan oleh garis terputusputus di antara lambang atau isyarat dengan objek. Garis penghubung di antara pemikiran dengan lambang-lambang dan pemikiran dengan objek yang dirujuk adalah secara terus dan langsung. Hubungan ini menunjukkan bahwa pemikiran seseorang akan menginterpretasi (menafsir) makna lambang dengan objek atau peristiwa yang dirujuk. Ini bermakna bahwa pikiran seseorang mengkonseptualisasikan sesuatu objek yang dirujuk berdasarkan rupa bentuk lambang atau isyarat tertentu. Oleh karena itu, maka muncullah hubungan secara tidak langsung di antara lambang dengan objek walaupun pada kenyataannya hubungan itu tidak mutlak. Hubungan di antara pemikiran, lambang, dan objek yang dirujuk itu akan menghasilkan makna (Littlejohn, 1992). Oleh karena itu, maka hubungan lambang dengan objek bersifat arbitrer. Pengertian terhadap sesuatu lambang juga berubah-ubah dari waktu ke waktu menurut keadaan dan kehendak masyarakat.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Makna digunakan untuk menyampaikan sesuatu pesan. Pemancaran makna dan pesan itu melibatkan semua bentuk perlakuan dan konteks kewujudannya (Innis, 1985:vii), baik dalam bentuk bahasa ataupun perbuatan, atau kedua-duanya sekali gus (Cherry, 1957:109-111). Pengirim akan memilih lambang-lambang tertentu dan disusun secara sistematik untuk mewujudkan makna tertentu (Berlo, 1960:269). Oleh karena pengirim bebas memilih lambang-lambang yang hendak digunakan, maka makna adalah bersifat subjektif. Oleh karena itu, maka hubungan di antara lambang dengan objek yang dilambangkan adalah berdasarkan imaji sesuatu objek (Littlejohn, 1992:64). Pikiran penerima harus menafsir (Barthes, 1967:44) lambang yang digunakan oleh pengirim pesan. Penafsiran penerima terhadap makna lambang adalah bergantung kepada situasi dan juga konteks (Eco, 1979:15). Dalam hal ini, cara pengirim menggunakan lambang sangat penting untuk merangsang pikiran penerima bagi mengkonseptualisasikan objek (Elam, 1983:1; Anderson, 1988:16; Panuti Sudjiman dan van Zoest, 1992:27). Rangsangan itu juga sangat penting karena lambang mempunyai makna yang versatil yaitu beberapa lambang tertentu, dapat membawa makna konotatif pada suatu rasa, dan pada masa dan ruang yang lain, bisa membawa makna denotatif, tergantung kepada konteksnya. Menurut pendapat Morris (1946), dalam proses perlambangan, lambang mempunyai nilai tertentu seperti ketergantungan (dependence), keterpisahan (detachment), dan keunggulan (dalam Littlejohn, 1992:66). Nilai ini menunjukkan bahwa sistem lambang bersifat mempengaruhi dan dipengaruhi. Ada lambang yang dipengaruhi oleh lambang lain agar lambang tersebut dapat berfungsi. Lambang yang mempengaruhi dikatakan sebagai lambang yang dominan atau unggul. Lambang yang dipengaruhi mempunyai nilai ketergantungan, karena terpaksa bergantung kepada lambang lain. Selain itu, ada pula lambang yang bisa berdiri sendiri untuk menghasilkan makna. Berdasarkan nilai dan fungsinya dalam komunikasi, maka lambang merupakan gambaran perasaan dan prilaku. Misalnya, lambang dapat bermaksud kumpulan orang, peristiwa luar biasa, petanda kurang baik, atau alamat yang baik (Schramm & Potter, 1992:74). Eco (1976) memberikan empat cara manusia menggunakan lambang. Pertama, melalui cara pengakuan yaitu menggunakan konteks untuk menyatakan sesuatu maksud. Kedua menunjukkan peralatan sebenarnya. Ketiga melalui replika yaitu menggabungkan lambang bahasa dengan lambang lain. Akhir sekali, keempat melalui ciptaan sesuatu yang baru seperti lukisan. Cara pertama dan ketiga dapat memandu pikiran penerima untuk menghubungkan lambang dengan objek yang dirujuk, berdasarkan mutu persamaan yang terdapat pada cara perlambangan.
Bab I: Pendahuluan
Umumnya lambang mempunyai makna. Makna itu merupakan lambang suatu objek yang dilambangkan. Makna yang ada pada suatu lambang tidak mutlak. Untuk memancarkan makna, sesuatu unit lambang tidak bisa berdiri sendiri. Unit lambang itu harus berada dalam sistem yang merupakan gabungan berbagai lambang karena biasanya pesan hanya dapat digambarkan melalui kombinasi beberapa lambang yang lebih kompleks. Hubungan antara lambang dengan makna dalam sesuatu sistem adalah arbitrer karena lambang tidak mempunyai makna yang tetap (Berlo, 1960:54); Scramm & Porter, 1992:79). Sesuatu lambang bisa berubah maknanya berdasarkan situasi dan konteks tanpa menukar lambang dalam sesuatu sistem itu. Yang berubah hanyalah cara lambang digunakan. Bagaimanapun satu set lambang tidak dapat menyampaikan semua informasi yang diinginkan. Oleh karena itu, beberapa lambang lain seperti perlakuan akan disatukan untuk menjadi unit yang lebih besar. Seterusnya unit-unit yang besar ini akan dikombinasikan untuk menjadi sistem yang lebih besar. Setiap set pengucapan merupakan kombinasi dari unit-unit lambang (Leach, 1976:33). Makna sebenarnya yang tersembunyi hanya dapat dilihat dalam konteks yang menyeluruh. Kombinasi sistem lambang yang kompleks dan beragam ini mempersilahkan pengirimnya menyampaikan banyak pesan pada saatsaat tertentu. Sebagai suatu pendekatan, semiotik melihat sebuah karya sebagai satu sistem, yang berurusan dengan hal teknis dan mekanisme penciptaan--di samping mengkhususkan kepada sudut ekspresi dan komunikasi (Mana Sikana, 1990:20). Unsur-unsur komunikasi itu mungkin dalam bentuk lisan atau bukan lisan. Gabungan dan pertautan di antara unit-unit kecil itu akan menghasilkan makna dan pesan tertentu. Dengan bertotak pada kerangka teori di atas, dapat dikatakan bahwa untuk dapat memahami hakikat makna dari tari ronggeng dan Serampang Dua Belas, perlu dilakukan interpretasi semiotik. Interpretasi ini selanjutnya akan mempertimbangkan dan menerapkan dua sisi pandang. Sisi pertama adalah cara pandang masyarakat Melayu Sumatera Timur sebagai pendukungnya dalam budaya mereka.6 Sisi kedua adalah 6
Dalam dunia ilmu pengetahuan, pendekatan seperti ini lazim disebut dengan pendekatan emik. Artinya adalah bahwa penelitian yang dilakukan lebih menumpukan perhatian kepada pendapat-pendapat informan kunci dalam rangka memahami maknamakna yang terkandung di dalam kebudayaan yang diteliti dalam konteks kerja ilmiah. Namun demikian, seorang peneliti tidaklah harus sepenuhnya berdasarkan kepada penjelasan yang diperoleh dari para informan kunci. Seorang peneliti diharapkan lebih jauh menafsirkan sumber data berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang diperoleh dari kinerjanya sebagai ilmuwan. Tentu saja penafsiran ini bisa berbeda-beda antara seorang peneliti dengan peneliti lainnya, yang pasti akan dilatarbelakangi oleh pengalaman keilmuannya. Pendekatan kedua ini lazim disebut sebagai pendekatan etik.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
perlunya penafsiran berdasarkan kaidah-kaidah saintifik terhadap tarian ini. Teori semiotik yang sedemikian rupa ini kami istilahkan dengan semiotik Melayu. Selanjutnya, selain teori, maka kami juga menggunakan metode kerja ilmiah. Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti tari ini dalam kebudayaan Melayu Sumatera Timur, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kirk Miller dalam Moleong (1990:3) yang mengatakan: “Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya.” Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu: tahap sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data, dan penulisan laporan. Pada tahap pra lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penelitian ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan penelitian, dan etika penelitian. Bagan 1.1 Segi Tiga Makna Ogden dan Richard (1923)
Sumber: Theories of Human Communiction oleh Stephen Littlejohn (1992:64), juga Zaleha Abu Hasan (1996:57)
Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan seorang peneliti untuk mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat bantu yaitu, kamera digital, dan catatan lapangan.
Bab I: Pendahuluan
Pengamatan langsung (menyaksikan) tari ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam berbagai konteks sosial dan budaya. Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan biasanya terdiri dari mereka yang terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas. Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan, dan wawancara biasanya berlangsung lama. Dalam tahap menganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman, dan sebagainya ke dalam suatu pola atau kategori. Sebagai hasil akhir dari menganalisis data, adalah penulisan berbentuk buku (ilmiah populer).
1.4 Pentingnya Kajian Ronggeng Melayu adalah sebuah genre seni dalam kebudayaan masyarakat Melayu di Asia Tenggara. Tari ini adalah tarian pergaulan sosial, yang melibatkan semua warga Asia Tenggara dalam konteks peradaban Melayu, sekali gus sebagai sarana integrasi sosial, baik dalam konteks kenegaraan maupun keserumpunan. Ronggeng Melayu mengekspresikan nilai-nilai universal kemanusiaan yaitu mengenai pentingnya pergaulan, ungkapan perasaan kasih dan sayang kepada pasangan hidup, cinta yang suci dan abadi, dan lain-lain. Sisi lain pentingnya kajian terhadap ronggeng Melayu adalah perlunya melakukan kebijakan kontinuitas dan perubahan dalam kebudayaan, sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam seni ini terekspresi dengan kuat identitas kebudayaan Melayu dari adanya masyarakat Melayu itu sampai datangnya berbagai sistem religi, termasuk Islam, yang kemudian menjadi dasar adat Melayu. Dalam seni ronggeng Melayu terkandung berbagai nilai filsafat dan agama, yang dapat dijadikan unsur pembelajaran budaya, dalam konteks memperkuat jatidiri dan pembentukan karakter umat Melayu yang menjadikan dirinya sebagai rahmat kepada seluruh alam. Di dalam seni ronggeng Melayu terkandung pula strategi budaya yang bijaksana dalam rangka mengelola seni sebelum datangnya Islam dan disinerjikan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Di dalam Alam Melayu atau Nusantara, kesenian sejenis ronggeng juga wujud dan berkembang dalam konteks pergaulan sosial. Di dalam kebudayaan Jawa terdapat tayub, tayuban, joget, dan ronggeng. Kemudian di dalam kebudayaan Sunda terdapat ronggeng doger dan ketuk tilu. Di dalam kebudayaan Minangkabau ada pula gamat dan ronggeng Pasaman. Begitu pula dalam kebudayaan Bugis dan Makasar
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
terdapat seni pajoge. Ini memberikan bukti bahwa pergaulan sosial melalui tari memang menjadi identitas umum masyarakat yang ada di Nusantara ini. Berdasarkan nilai-nilai estetis dan sejarah yang ada itu, seorang seniman Melayu dari Perbaungan Kesultanan Serdang, O.K. Adram, menciptakan tarian Serampang Dua Belas pada paruh kedua dasawarsa 1930-an. Kemudian dalam konteks persebarannya tarian ini digubah oleh Guru Sauti. Tarian ini dikomposisikan oleh 12 ragam tarian, yang menceritakan perkenalan lelaki dengan perempuan kekasih hatinya, sampai akhirnya mereka membentuk mahligai rumah tangga, dengan tetap mempertimbangkan etika dan estetika Islam. Tarian ini kemudian menjadi sangat populer di masa Indonesia merdeka. Bahkan tarian ini menjadi unsur pendukung budaya nasional Indonesia. Kemudian tarian ini juga menyebar ke semua wilayah peradaban Melayu yang terdiri dari berbagai macam negara bangsa itu. Di Singapura ditemukan tari Serampang Dua Belas versi Singapura. Tidak terkecuali di Malaysia tarian ini juga mendapat tempat khusus di kalangan masyarakat Melayu. Tari Serampang Dua Belas terus saja populer di berbagai generasi Melayu dan Nusantara. Tarian ini selalu difestivalkan, diperlombakan, dikaji, dianalisis, diwacanakan, dijadikan sumber penciptaan dan kreativitas, dan hal-hal sejenis. Oleh karena itu, tarian ini tidak akan pernah habis untuk didokumentasikan dan difungsikan dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya, yang terus berkembang dari zaman ke zaman. Melalui kajian terhadap salah satu tari Melayu yang terkenal ini, kita dapat belajar banyak tentang strategi kebudayaan, akulturasi kebudayaan, kebijakan yang diambil, integrasi dalam skala daerah, nasional, dan antarnegara rumpun Melayu, dan lainnya. Bahwa sebagai kesenian, Serampang Dua Belas membuktikan tentang keunggulan estetis dan fungsionalnya. Serampang Dua Belas juga mampu bersaing secara internasional dalam konteks globalisasi, yang justru dapat memperkuat identitas kebudayaan Melayu tanpa perlu harus menghempang kekuatan budaya luar. Di dalam Serampang Dua Belas terwujud prinsip-prinsip mengolah seni dalam konteks nasional dan globalisasi. Melalui kajian terhadap seni ronggeng dan Serampang Dua Belas, maka kita dapat belajar banyak mengenai seni yang mengandung aspek integrasi. Selain menyumbang kepada bahasa pengantar (lingua franca) di kawasan ini, masyarakat Melayu juga menyumbang kebudayaan pengantar (cultura franca). Artinya peradaban Melayu itu dalam prosesnya akan menyumbang kepada bangsa ini kebudayaan pengantar. Dengan tetap menghargai eksistensi dan perkembangan kebudayaan etnik, sesuai falsafah bhinneka tunggal ika (biar berbeda-beda tetapi tetap satu juga) Tentu saja dengan ijin Tuhan Yang Maha Kuasa, insya Allah.
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
BAB II
SENI PERTUNJUKAN MELAYU DAN KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA 2.1 Pengenalan Seni ronggeng dan Serampang Dua Belas ini merupakan pengejewantahan kesenian-kesenian Melayu, yang kemudian diakui sebagai garda depan (avant garde) kebudayaan Melayu. Bahkan Serampang Dua Belas secara kultural dan politis, adalah penyumbang kepada aset budaya nasional Indonesia, yang kemudian juga difungsikan untuk tujuan kultural di Singapura, Malaysia, dan negeri-negeri rumpun Melayu. Oleh karena itu, alangkah baiknya dikaji terlebih dahulu keberadaan kesenian Melayu (dengan fokus Sumatera dan Tanah Melayu) dalam kaitannya dengan ronggeng Melayu dan Serampang Dua Belas ini. Dalam budaya Melayu, istilah seni pertunjukan kadang kala dipadankan dengan istilah seni persembahan. Di kawasan budaya Melayu di Indonesia, lazim digunakan kata seni pertunjukan, sementara di Semenanjung Malaysia, Singapura, dan Thailand Selatan lazim digunakan kata seni persembahan. Makna seni persembahan atau seni pertunjukan adalah adanya penampilan seniman seni pertunjukan di tempat tertentu dan melakukan komunikasi dengan penonton atau penikmatnya, dengan berdasarkan kepada nilai-nilai budaya yang dianut dan diresapi masyarakat Melayu. Seni pertunjukan Melayu selalu menyertakan pentas atau panggung pertunjukan. Adakalanya penonton terlibat secara langsung dalam pertunjukan itu, atau cukup menonton dengan cara mengapresiasi di dalam benaknya terhadap pertunjukan yang dilakukan di atas pentas. Di sini, faktor komunikasi begitu menjadi penting dalam rangka penyampaian pesan-pesan dan isi komunikasi dalam seni pertunjukan. Selanjutnya dalam bagian ini, seni pertunjukan yang akan dideskripskan mencakup musik, tari, dan teater.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
2.2 Musik Dalam realitas kebudayaan, musik adalah salah satu media ungkap kesenian, yang media utamanya bunyi, disusun oleh dimensi waktu dan ruang. Seterusnya, kesenian adalah salah satu dari beberapa unsur kebudayaan unversal. Musik mencerminkan kebudayaan masyarakat pendukungnya. Di dalam musik, terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi bagian dari proses enkulturasi budaya--baik dalam bentuk formal maupun informal. Musik itu sendiri memiliki bentuk yang khas, baik dari sudut struktural maupun genrenya dalam kebudayaan. Di dalam musik terjadi komunikasi verbal (biasanya disebut lirik nyanyian) dan nonverbal. Komunikasi nonverbal ini dapat berupa nada, wilayah nada, tangga nada, nada dasar, rentak, meter, aksentuasi, dan aspek-aspek sejenis. Demikian juga yang terjadi musik dalam kebudayaan masyarakat Melayu. Dalam kaitannya dengan budaya musik Melayu, menurut seorang pengamat seni dari Malaysia, Hamzah (1988), perkembangan musik Melayu di Malaysia dapat diklasifikasikan kepada sembilan bentuk, yaitu: (1) musik tradisional Melayu; (2) musik pengaruh India, Persia, dan Thailand atau Siam, seperti: nobat, menhora, makyong, dan rodat; (3) musik pengaruh Arab seperti: gambus, kasidah, ghazal, zapin, dan hadrah; (4) nyanyian anak-anak; (5) musik vokal (lagu) yang berirama lembut seperti Tudung Periuk, Damak, Dondang Sayang, dan ronggeng atau joget; (6) keroncong dan stambul yang tumbuh dan berkembang awalnya di Indonesia; (7) lagu-lagu langgam; (8) lagu-lagu patriotik tentang tanah air, kegagahan, dan keberanian; (9) lagu-lagu ultramodern yang kuat dipengaruhi budaya Barat. Sebenarnya pembagian musik Melayu itu di atas secara umum hanya terbagi dua bagian saja yaitu musik tradisional dan musik modern. Empat jenis yang pertama adalah musik tradisional dan empat jenis yang kedua adalah musik modern. Namun demikian, adakalanya kita sulit memasukkan satu jenis musik ke dalam dua kategori besar itu, karena asal-usulnya tidak dapat dilacak lagi. Namun tujuan kategorisasi ini dilakukan supaya kita mudah melihat jenis musik dalam konteks budaya Melayu. Pertunjukan musik tradisional mengikuti aturan-aturan tradisional. Pertunjukan ini, selalu berkaitan dengan penguasa alam, mantra (jampi) yang tujuan menjauhkan manusia dari bencana, dan mengusir hantu atau setan. Musik tradisi Melayu berkembang secara improvisasi, berdasarkan transmisi dalam tradisi lisan. Setiap musik mempunyai nama tertentu dan alat-alat musik mempunyai legenda asal-usulnya. Pertunjukan musik mengikuti aturan dan menjaga etika permainan.
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
Berdasarkan aspek fungsional, maka nyanyian (lagu) hiburan sambil kerja (working song) atau dalam konteks bekerja juga terdapat dalam kebudayaan Melayu. Musik seperti ini biasanya dilakukan dalam rangka bercocok tanam, bekerja menyiangi gulma, menuai benih, mengirik padi, menumbuk padi, sampai menumbuk emping. Begitu juga dengan nyanyian sambil bekerja di laut, yang dikenal dengan sinandung nelayan atau sinandung si air dan gubang yang dijumpai di kawasan Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu. Sebagai masyarakat yang egaliter, terbuka menerima pengaruh luar, maka akulturasi dengan kebudayaan luar menjadi sebuah fenomena yang menarik dalam budaya Melayu. Dalam musik tradisional Melayu, berbagai unsur musik asing mempengaruhi perkembangannya baik dari alat-alat musik maupun nyanyian. Pengaruh itu misalnya dari India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Barat. Unsur-unsur musik yang datang dari Indonesia juga memiliki peran strategis dalam perkembangan musik Melayu di Malaysia, misalnya musik gamelan, angklung, talempong, dan lainnya. Berbagai musik yang terdapat di Sumatera dan Jawa juga terdapat di Semenanjung Malaysia, seperti gambus, keroncong, kecapi, ronggeng, dan sebagainya. Seterusnya hubungan kultural antara rakyat yang diperintah dan golongan yang memerintah juga terekspresi dalam seni musik. Nobat merupakan ensambel musik yang menjadi lambang kebesaran negara, dan berhubungan dengan struktur sosial masyarakat. Secara etnomusikologis, nobat diperkirakan berasal dari Persia (Iran sekarang). Perkataan nobat berasal dari akar kata naba (pertabalan), naubat berarti sembilan alat musik. Kata ini kemudian diserap menjadi salah satu upacara penobatan raja-raja Melayu. Nobat yang dipercayai berdaulat telah diinstitusikan sejak zaman Kesultanan Melayu Melaka pada abad kelima belas. Ensambel musik ini biasanya memainkan berbagai jenis lagu yang khas dan orang yang memainkannya dihidupi oleh kerajaan dan disebut dengan orang kalur (kalau). Alat-alat musik nobat dipercayai mempunyai daya magis tertentu, dan tak semua orang dapat menyentuhnya. Nobat menjadi musik istiadat (upacara) di istana-istana Melayu Patani, Melaka, Kedah, Perak, Johor, Selangor, dan Terengganu. Alat-alat musik nobat yang menjadi dasar dalam kesatuan ensambelnya adalah: gendang, nafiri, dan gong. Selain itu, serunai, nobat besar dan kecil, dan gendang nekara juga dipergunakan. Seterusnya, ensambel gamelan yang berasal dari Tanah Jawa, juga menjadi bagian dari musik istana di pada kesultanan-kesultanan Melayu. Pada akhir abad kesembilan belas, sudah terdapat kelompok musik gamelan diraja di istana Sultan Riau-Lingga dan Pahang. Joget gamelan Lingga tidak mempunyai pelindung ketika Sultan Lingga terakhir turun takhta dan pindah ke Singapura tahun 1912. Namun ketika Sultan Ahmad
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
dari Pahang wafat tahun 1914, putrinya Tengku Mariam yang kawin dengan Sultan Sulaiman dari Terengganu, membawa musik gamelan ke Terengganu dan dinamakan gamelan diraja Terengganu (Takari dan Dewi, 2008). Selain itu, di dalam budaya Melayu dikenal pula ensambel makyong yang mengiringi teater makyong. Alat-alat musik yang dipergunakan adalah rebab, gendang anak, gendang ibu, gong ibu, gong anak, dan serunai. Dalam pertunjukannya, makyong mempergunakan unsur-unsur ritual. Teater ini memiliki lebih dari 100 cerita dan 64 jenis alat musik, dan 20 lagu. Di antara lagu-lagu makyong yang terkenal adalah Pak Yong Muda, Kijang Mas, Sedayung, Buluh Seruan, Cagok Manis, Pandan Wangi, dan lainnya (Nasuruddin, 2000). Wayang kulit juga memiliki unsur-unsur musik tersendiri, menjadi suatu bentuk seni pertunjukan untuk masyarakat umum. Di antara lagulagu dalam wayang kulit Melayu yang terkenal adalah lagu Bertabuh yang menjadi lagu pembuka pertunjukan. Selain itu lagu Seri Rama, Rahwana Berjalan, Maha Risi, Pak Dogol, dan lainnya. Pada genre pertunjukan main puteri (boneka yang diisi roh) tampak adanya unsur magis yang dipandu oleh dukun (bomoh). Genre ini mengekspresikan kepercayaan masyarakat Melayu kepada alam-alam ghaib, namun disesuaikan dengan asas ajaran-ajaran agama Islam. Pada genre hadrah, marhaban, zikir, tampak pengaruh yang diserap dari Timur Tengah. Pada genre-genre ini aspek ajaran-ajaran agama Islam muncul. Biasanya alat musik yang menjadi dasarnya adalah jenis rebana. Genre musik seperti ini memainkan peran penting dalam berbagai aktivitas sosial seperti upacara perkawinan, khitanan, dan khatam AlQur’an. Di dalam kebudayaan Melayu, di Semenanjung Tanah Melayu terdapat pula boria adalah sebuah genre musik dan tari yang diperkirakan berkembang dan berasal dari Pulaupinang. Pertunjukan boria umumnya dilakukan pada awal (tanggal 1 sampai 10) bulan Muharram setiap tahun. Pada saat itu setiap kumpulan boria pergi ke suatu tempat yang dianggap dan diasosiaasikan sebagai Padang Karbala, dan sebagai tempat penolak bala. Genre musik dan tarian ini berhubungan dengan kelompok muslim dari Persia untuk memperingati kemenangan mereka dalam perang bersama dengan Hassan dan Hussein cucu Nabi Muhammad, selepas era khulafaur rasyiddin. Secara historis, boria ini masuk ke dalam kebudayaan Melayu bersama kedatangan orang-orang Hindustani pada saat Pulaupinang dibuka oleh Inggris. Pengaruh musikal Hindustani lainnya dalam kebudayaan Melayu terdapat pada genre ghazal. Pertunjukan ghazal adalah satu genre musik Melayu yang kuat dipengaruhi budaya musik Hindustani. Di dalamnya terdapat alat musik sarenggi, sitar, harmonium, dan tabla. Orang-orang
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
Melayu menerima musik ini karena berkaitan erat dengan fungsi keagamaan, lagu-lagunya sebagian besar memuji Allah dan Nabi Muhammad. Alat-alat musik Hindustan seperti harmonium dan tabla tetap dipergunakan. Di sisi lain, alat musik sarenggi digantikan biola; dan sitar digantikan gambus, dan ditambah gitar. Genre keroncong tumbuh dan berkembang di dalam kebudayaan Melayu di Semenanjung Tanah Melayu, yang sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi keroncong di Indonesia. Awalnya keroncong muncul di daerah Tugu Jakarta, yang merupakan musik paduan antara budaya setempat dengan Portugis. Genre musik ini menggunakan alat-alat musik Barat, seperti: biola, ukulele, cuk, bas akustik, drum trap set, dan lainnya dengan gaya melismatik dan up beat yang menghentak-hentak. Lagu-lagu seperti Bengawan Solo, Keroncong Moresko, Sepasang Mata Bola, Jembatan Merah, merupakan contoh-contoh lagu keroncong yang populer di Alam Melayu.1 Komedi stambul adalah genre seni hasil pertemuan (akulturasi) antara budaya Melayu Semenanjung Malaysia dengan Melayu di Indonesia yang berasaskan cerita Arabian Nights atau ceritas seribu satu malam. Genre musik ini menggabungkan unsur-unsur musik Barat dan Asia yang menyebabkan dapat menarik minat segenap lapisan masyarakat. Pengaruh musik dari Timur Tengah dalam kebudayaan Melayu adalah gambus atau zapin. Musik Barat populer sejak etnik Melayu berinterkasi dengan budaya Barat yaitu sejak awal abad keenam belas. Masyarakat Melayu menyerap genre-genre musik dan tari seperti: fokstrot, rumba, tanggo, mambo, samba, beguin, hawaian, wals, suing, blues, bolero, dan sebagainya. Rentak jazz dan swing juga sangat populer dalam lagu-lagu Melayu. Genre-genre seperti ini lazim dipertunjukkan dalam seni ronggeng atau joget Melayu.
1
Di Johor Malaysia seni keroncong ini menjadi salah satu materi siaran setiap malam di radio-radio di kawasan tersebut. Realitas sosial ini dilatarbelakangi oleh kecintaan Sultan Johor kepada musik keroncong. Di Nusantara juga ditemui perkembangan keroncong di setiap kawasan. Penelitian-penelitian dilakukan terhadap genre kesenian ini. Di antaranya adalah: (1) Sudiro Agus Riyanto, Eksistensi Keroncong Tugu dalam Aktivitas Kehidupan Masyarakat Kampung Tugu, skripsi sarajana di ISI Yogyakarta, 1996; (2) Yapi Tambayong, “Keroncong, Dangdut, Prejudis, kekuasaan” dalam koran Kompas 1 Januari 2000; (3) Harmunah, Musik Keroncong, Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 1994; (4) Abdulrachman, Keroncong Tugu, Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI, 1992; (5) Victorius Ganap, “Tugu Village: A Historical Monument of Kroncong Music in the Indonesian Cultural Map,” Laporan Penelitian, ISI Yogyakarta, 1999; (6) Bronia Kornhauser, “In Defence of Kroncong,” Monash Papers on Southeast Asia No. 7, Center of Southesat Asian Studies, Monash University, 1978; (7) Ernst Heins dalam tajuk “Kroncong and Tanjodor: Two Cases of Urban Folk Music in Jakarta,” dalam Asian Music, vol. VII No. 1, 1975; dan lain-lainnya.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Genre musik lainnya, yang menjadi kajian dalam buku ini adalah ronggeng atau joget. Musik ini adalah hasil akulturasi antara musik Portugis dengan musik Melayu. Di Sumatera Utara genre ini juga mengambil unsur-unsur musik etnik, seperti Karo, Batak Toba, Simalungun, Minangkabau, Jawa, Banjar, dan lain-lain. Musik ronggeng terdapat di kawasan yang luas di Dunia Melayu. Genre musik dan tari ronggeng adalah seni pertunjukan hiburan yang melibatkan penonton yang menari bersama ronggeng yang dibayar melalui kupon atau tiket dengan harga tertentu. Tari dan musik ronggeng termasuk ke dalam tari sosial, yang lebih banyak melibatkan perkenalan antara berbagai etnik, bangsa, dan ras. Di dalam seni ronggeng juga terdapat unsur berbagai budaya menjadi satu. Hingga sekarang seni ini tumbuh dan berkembang dengan dukungan yang kuat oleh masyarakat Melayu, walau awalnya dipandang rendah. Dikaji dari aspek historis, maka musik Melayu (di Sumatera) dapat diklasifikasikan kepada masa-masa: Pra Islam; Islam, dan Globalisasi. Untuk masa Pra-Islam terdiri dari masa: animisme, Hindu, dan Budha. Masa Pra-Islam yang terdiri dari lagu anak-anak: lagu membuai anak atau dodo sidodoi; si la lau le; dan lagu timang. Lagu permainan anak yang terkenal tamtambuku. Musik yang berhubungan dengan mengerjakan ladang terdiri dari: dedeng mulaka ngerbah, dedeng mulaka nukal, dan dedeng padang rebah. Musik yang berhubungan dengan memanen padi; lagu mengirik padi atau ahoi, lagu menumbuk padi, dan lagu menumbung emping. Musik yang bersifat animisme terdiri dari: dedeng ambil madu lebah (nyanyian pawang mengambil madu lebah secara ritual), lagu memanggil angin atau sinandong nelayan (nyanyian nelayan ketika mengalami mati angin di tengah lautan), lagu lukah menari (mengiringi nelayan menjala ikan), dan lagu puaka (lagu memuja penguasa ghaib tetapi pada masa sekarang telah diislamisasi). Selain itu dijumpai juga lagu-lagu hikayat, yang umum disebut syair.2 Terdapat juga musik hiburan: dedeng, gambang, musik pengiring silat, musik tari piring/lilin/inai. Pada masa Islam, “musik-musik” pada masa ini di antaranya adalah azan (seruan untuk shalat), takbir (nyanyian keagamaan yang dipertunjukkan pada saat Idul Fitri dan Idul Adha), qasidah (musik pujian kepada Nabi), marhaban dan barzanji (musik yang teksnya berdasar
2
Syair adalah satu jenis sastra dalam kebudayaan Melayu, yang tumbuh dan berkembang dari proses inovasi dari dalam kebudayaan Melayu, walaupun istilahnya sendiri diadopsi dari budaya Arab dan Persia, namun bentuk, norma, isi, dan fungsinya khas Melayu. Syair ini biasanya disajikan menggunakan melodi, meggunakan rima, berbentuk naratif dan non-naratif. Perbedaan utama syair dengan pantun adalah di dalam syair tidak digunakan sampiran dan isi, yang ini menjadi dasar utama dalam pantun.
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
kepada Kitab Al-Barzanji3 karangan Syech Ahmad Al-Barzanji abad kelima belas). Di samping itu dijumpai pula barodah (seni nyanyian diiringi gendang rebana dalam bentuk pujian kepada Nabi), hadrah (seni musik dan tari sebagai salah satu seni dakwah Islam, awalnya adalah seni kaum sufi), gambus/zapin (musik dan tari dalam irama zapin yang selalu dipergunakan dalam acara perkawinan), dabus (musik dan tari yang memperlihatkan kekebalan penari atau pemain dabus terhadap bendabenda tajam atas ridha Allah), dan syair (nyanyian yang berdasar kepada konsep syair yaitu teks puisi keagamaan) dan lain-lain. Pada masa pengaruh Barat, terdapat musik dondang sayang (musik dalam tempo asli, satu siklus ritme dalam 8 ketukan dasar, iramanya lambat yang awalnya adalah untuk menidurkan anak, dan kemudian menjadi satu genre yang terkenal, terutama di Melaka). Selanjutnya ronggeng dan joget (tari dan musik sosial yang mengadopsi berbagai unsur tari dan musik dunia, dengan rentak inang, joget, dan asli), pop Melayu (yaitu lagu-lagu Melayu yang digarap berdasarkan gaya musik kontemporer Barat). Pengaruh Barat ini dapat dilihat dengan didirikannya kumpulan-kumpulan kombo atau band yang terkenal di antaranya band Serdang dan Langkat di Sumatera Timur. Dengan demikian, genre musik Melayu sebenarnya adalah mencerminkan aspek-aspek inovasi seniman dan masyarakat Melayu ditambah dengan akulturasi secara kreatif dengan budaya-budaya yang datang dari luar. Masyarakat Melayu sangat menghargai aspek-aspek universal (seperti yang dianjurkan dalam Islam), dalam mengisi kehidupannya. Demikian sekilas budaya musik Melayu Sumatera Utara dan Semenanjung Malaysia, selanjutnya kita lihat bagaimana budaya tari Melayu di kedua kawasan tersebut.
2.3 Tari Tari adalah salah satu media ungkap seni, yang mengekspresi-kan budaya masyarakatnya. Dalam tari terdapat dimensi ruang, waktu, dan tenaga. Tari adalah ekspresi jiwa manusia yang berdasar kepada gerakgerik yang menarik. Bisa sebagai mimesis gerakan alam sekitar (flora dan fauna), atau juga gerakan yang berasal dari jiwa seniman penarinya. Perkembangan tari sering didasari oleh faktor akulturasi karena pengaruh 3 Kitab Al-Barzanji digubah oleh seorang ulama yang bernama Sheikh Ahmad AlBarzanji. Diperkirakan kitab ini ditulisnya pada abad kelima belas. Secara umum Kitab Al-Barzaji ini berupa riwayat tentang Nabi Muhammad SAW. Isinya berupa syair-syair yang sangat memperhatikan keterkaitan baris, dikumpulkan dalam bait demi bait. Demikian pula diksi-diksinya yang syarat dengan aspek estetis, puitis, dan maknamaknanya yang religius.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
budaya luar atau juga oleh faktor inovasi sebagai kreativitas dari budaya itu sendiri. Demikian juga yang terjadi para tari dalam kebudayaan Melayu. Seni tari dalam kebudayaan Melayu mencakup ide, aktivitas, maupun artefak. Seni tari mengekspresikan kebudayaan secara umum. Seni tari juga mengikuti norma-norma yang digariskan oleh adat Melayu. Berbagai gerak mencerminkan halusnya budi orang-orang Melayu, yang menjadi bagian integral dari diri sendiri maupun alam sekitar, seperti yang tercermin dalam ungkapan Melayu: “Kembali ke alam semula jadi.” Hal ini dapat ditelusuri melalui konsep-konsep tari dalam budaya Melayu. Konsep tari dalam budaya Melayu biasanya diungkapkan melalui beberapa istilah yang mengandung makna denotasi atau konotasi tertentu. Menurut Sheppard (1972), konsep tentang tari dalam budaya Melayu, diwakili oleh empat terminologi yang memiliki arti yang bernuansa, yaitu: tandak, igal, liok, dan tari, perbedaan maknanya ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (1) penekanan gerak yang dilakukan anggota tubuh penari dan (2) tekniknya. Tandak selalu dikaitkan dengan gerakan langkah yang dilakukan oleh kaki; igal gerakan yang secara umum dilakukan oleh tubuh (terutama pinggul); liok atau liuk teknik menggerakkan badan ke bawah dan biasanya sambil miring ke kiri atau ke kanan, gerakan ini sering juga disebut dengan melayah; dan tari selalu dikaitkan dengan gerakan tangan, lengan, dan jari-jemari dengan teknik lemah gemulai. Selaras dengan pendapat Sheppard yang banyak mengkaji keberadaan tari di Semenanjung Malaysia, Tengku Lah Husni (1986) dari Sumatera Utara, mengemukakan bahwa secara taksonomis, tari Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga konsep gerak: (1) tari, yaitu gerak yang dilakukan oleh lengan dan jari tangan; (2) tandak, yaitu gerak yang dilakukan oleh wajah, leher, lengan, jari tangan, dan kaki; dan (3) lenggang yang berupa gerakan lenggok atau liuk pinggang dan badan yang disertai ayunan tangan dan jari. Dari tiga istilah yang lazim digunakan dalam budaya tari Melayu di atas, sebenarnya memiliki makna-makna yang sama, yaitu berupa gerak badan manusia yang disertai dengan keindahan. Ketiganya dibedakan oleh tumpuan gerak bahagian tubuh tertentu saja. Yang paling banyak mewakili bahagian tubuh yang bergerak adalah tandak yang mencakup gerak wajah, leher, jari tangan, dan kaki. Istilah lenggang menekankan perhatian pada gerak yang dilakukan oleh lenggang atau liuk pinggang dan badan yang disertai pula dengan ayunan tangan dan jari. Sementara istilah tari menumpukan perhatian kepada gerak tangan dan jari tangan. Namun demikian, dalam budaya tari Melayu, kata tarilah yang paling
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
sering dan lazim digunakan. Kata ini kemudian meluas maknanya sebagai seni tari secara keseluruhan yang mencakup semua motif gerak, genre tari, ekspresi tari, dan lain-lainnya. Dalam bahasa Indonesia, kata tari ini memiliki pengertian sebagai berikut. Tari adalah gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama, biasanya diiringi bunyi-bunyian (musik, gamelan, dan sebagainya). Berbagai jenis atau genre tari di antaranya adalah: tari bedaya, yaitu tari yang dipertunjukan oleh wanita pada zaman dahulu, biasanya di istana raja-raja. Kemudian ada pula tari bondan, yaitu tari yang dipertunjukan oleh seorang penari wanita dengan menginjak kendi. Seterusnya ada tari eksperimental, yaitu tari yang digarap tidak lagi menggunakan pola dan ramuan. Seterusnya ada tari cokek, gambus, inai, kejang, keris, kipas, payung, pencak silat, pendet, piring, ranggas, topeng, dan lainnya (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2000). Contohcontoh tari dalam kamus tersebut adalah tari dalam budaya Jawa, Melayu, modern, dan kontemporer. Lebih jauh lagi, menurut Goldsworthy tari-tarian Melayu didasarkan kepada adat-sitiadat, dan dibatasi oleh pantangan adat. Para penari wanita disarankan untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya. Mereka tidak diperkenankan mengangkat tangan melebihi bahunya, dan tidak diperkenankan menampakkan giginya pada saat menari. Mereka tidak boleh menggoyang-goyangkan pinggulnya, kecuali dalam pertunjukan joget. Para penari wanita sebagian besar mengutamakan sopan-santun, tidak menan-tang pandangan penari mitra prianya. Penari wanita mengekspresikan sikap jinak-jinak merpati atau malu-malu kucing. Penari wanita gerakan-gerakannya menghindari penari pria (1979:343). Tari-tarian Melayu menurut Sheppard dapat diklasifikasikan ke dalam enam kelompok, yaitu: (1) Tari ashek yang sangat terkenal, (2) Tari yang terdapat dalam drama tari makyong dengan pola lantai berbentuk lingkaran dan gerakan tarinya yang lambat, (3) Tarian yang selalu dikaitkan dengan panen padi atau panen hasil pertanian lainnya yang sifatnya adalah musiman. Jenis tarian yang ketiga ini populer hampir di seluruh Semenanjung Malaysia, tetapi sekarang hanya mampu bertahan di bagian utara kawasan ini saja. (4) Ronggeng, yaitu tarian yang awalnya dari Melaka pada abad ke-16, yang kemudian menyebar dan populer di mana-mana. Tari ini diperkirakan berkembang selama pendudukan Portugis di Melaka, dan strukturnya memperlihatkan pengaruh budaya Portugis, yang dapat bertahan terus selama lebih dari empat abad. Tari ini disebut juga sebagai tari nasional Malaysia.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
(5)
Tari-tarian yang berasal dari Arab, yaitu zapin, rodat, samrah, sulalah, hadrah, marawis, dan lainnya yang diperkenalkan oleh orang-orang Arab. (6) Tari yang awalnya berkembang di Perlis tahun 1945, yang kemudian menyebar ke seluruh Semenanjung Malaysia. Tari ini disajikan oleh sekelompok penari dengan iringan musik khusus (1972:82-83). Klasifikasi tari yang dilakukan oleh Sheppard seperti di atas adalah klasifikasi yang terdapat di Semenanjung Malaysia. Menurut kami, di Dunia Melayu, tari-tarian Melayu berdasarkan akar budaya dan fungsinya, dapat diklasifikasikan sebagai berikut. (1) Tari-tarian Melayu yang mengekspresikan kegiatan yang berhubungan dengan budaya pertanian, contohnya mulaka ngerbah (menebang hutan), mulaka nukal (menanam benih padi ke lahan pertanian), hala, gunungan, ulik bandar (tarian upacara simbolis menabur benih padi), ulik gaboh (tarian selepas menuai padi), mengirik padi disebut juga ahoi dan lerai padi (mengirik padi ala Semenanjung Malaysia), tumbuk padi (tarian menumbuk padi), ketam padi (mengetam padi), ulik mayang (pengobatan), belian (pengobatan tradisional), syiar mambang, tari balai, dan lainnya. (2) Tari-tarian Melayu yang mengekspresikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan nelayan, contohnya tari lukah menari mempergunakan properti jalan untuk menangkap ikan), tari jala (membuat jala), gubang (tarian yang mengekspresikan nelayan yang memohon kepada Tuhan agar angin diturunkan supaya mereka dapat berlayar kembali, pada saat mengalami mati angin di lautan), mak dayu (tarian yang mengekspresikan hubungan nelayan dengan kehidupan ikan-ikan di laut), tari belian (tari pengobatan dalam budaya masyarakat nelayan). (3) Tari-tarian yang menggambarkan kegiatan di istana, contoh tari asyik, yaitu tarian di istana raja Kelantan abad ke-14. Tarian ini dipertunjukkan oleh para dayang istana yang disebut juga asyik. Begitu juga tari-tarian mak inang, yang menggambarkan kegiatan para pengasuh keluarga raja di istana. (4) Tari-tarian yang menirukan atau mimesis kegiatan alam sekitar, misalnya ula-ula lembing (menirukan gerakan-gerakan ular). Juga tarian pelanduk (menirukan gerak-gerik kancil). (5) Tari-tarian yang berkaitan dengan kegiatan agama Islam, contohnya hadrah (puji-pujian terhadap Allah dan Nabi-nabi), zapin (tarian yang diserab dari Arab dengan pengutamaan pada gerakan kaki); rodat, adalah tarian yang mengungkapkan ajaran agama Islam. Rodat dipercayai dibawa oleh para pedagang dari Sambas dan
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
Pontianak ke istana Terengganu dan selalu dipertunjukkan waktu perayaan istana kerajaan. (6) Tari-tarian yang berkaitan dengan olahraga dan kekebalan tubuh manusia (penari) terhadap benda-benda tajam yang terbuat dari besi atau logam, contohnya pencak silat atau tari silat dabus, lintau, dan lainnya. (7) Tari-tarian yang fungsi utamanya hiburan, dan mengadopsi berbagai unsur budaya, Seperti Barat, Timur Tengah, India, China, dan lainlain. Misalnya ronggeng dan joget, yang repertoarnya terdiri dari senandung, mak inang, dan lagu dua, ditambah berbagai unsur tari etnik Nusantara dan Barat, termasuk juga tari-tari yang dikembangkan dari genre ronggeng/joget seperti mak inang pulau kampai, melenggok, lenggang patah sembilan, lenggok mak inang, persembahan, campak bunga, anak kala, cek minah sayang, makan sireh, dondang sayang, gunung banang, sapu tangan, asli selendang, tari lilin, serampang, tudung periuk, dan yang paling populer adalah Tari Serampang Dua Belas. (8) Tari-tarian yang berkaitan dengan upacara perkawinan atau khitanan, yaitu tari inai (disebut juga tari piring atau lilin). Tari ini juga dipersembahkan di istana raja Kelantan pada saat golongan bangsawan berkhatam Al-Quran. Tari joget Pahang yaitu tari istana di Pahang yang kemudian juga populer pada masyarakat awam. (9) Tari-tarian dalam teater Melayu, seperti dalam makyong, mendu, bangsawan, tonil, mekmulung, jikey, dan lainnya. (10) Tari-tarian garapan baru, yaitu tari-tari yang diciptakan oleh para pencipta tari Melayu pada masa-masa lebih akhir dalam sejarah tari Melayu yang berdasarkan kepada perbendaharaan tari tradisional, misalnya tari: ulah rentak angguk terbina, zapin mak inang, zapin menjelang Maghrib, zapin Deli, zapin Serdang, daun semalu, rentak semenda, ceracap, lenggang mak inang, senandung mak inang, tampi, mak inang selendang, zapin kasih dan budi, demam puyoh, dan lain-lain. Demikan deskripsi singkat tentang keberadaan tari dalam kebudayan Melayu di Sumatera dan Semenanjung Malaysia (sebagai “jantung” peradaban Melayu). Selanjutnya mari kita kaji dan lihat keberadaan teater dalam budaya Melayu.
2.4 Teater Menurut Nasaruddin dalam bukunya Teater Tradisional Melayu (2000), ritual animisme (primitif) terdapat pada masyarakat Melayu lama, terutama di kalangan orang asli di Malaysia. Umumnya ritual yang
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
mereka lakukan adalah untuk memahami alam sekitarnya dan memuja roh-roh. Salah satu contoh ritual tersebut adalah tari balai raya pada masyarakat Mahameri yang merupakan bagian perayaan dari hari moyang, yaitu hari ulang tahun roh-roh. Pada tarian teatrikal ini, topeng mewakili berbagai moyang atau roh dan sekali gus berfungsi untuk menghormati roh-roh ini. Pada masyarakat Melayu pula dijumpai upacara memuja roh, seperti yang dilakukan pada saat awal musim menangkap ikan, para nelayan mengadakan ritual main pantai yang tujuannya untuk mendapat restu para makhluk halus di laut untuk menjaga keselamatan mereka saat menangkap ikan di laut. Begitu juga dengan para petani, pada saat usai panen mereka mengadakan persembahan seperti makyong dan wayang kulit, yang tujuannya adalah berterima kasih kepada penguasa hutan. Unsur-unsur upacara tradisional animisme ini mengalami kontinuitas dalam teater Melayu seperti saat membuka dan menutup panggung yang menggunakan berbagai upacara. Dalam konteks seni teater pengaruh India Hindu ini tampak dengan dipergunakannya berbagai tokoh seperti: Batara Guru, Wisnu, Syiwa, dan Brahma. Begitu juga dengan berbagai epos Hindu yang terkenal seperti Ramayana, Mahabrata, Panji, diserap ke dalam cerita-cerita teater wayang kulit. Begitu juga raja dianggap sebagai dewa atau titisan dewa, yang memiliki kekuatan magis dan menjadi pemimpin politik dan agama. Pengaruh Hindu dalam teater tradisi Melayu dapat pula dilacak melalui teater wayang kulit Melayu. Meskipun para ahli sejarah seni banyak yang berselisih paham tentang asal-usul wayang kulit, yaitu ada yang menyebut memang telah sedia ada di Dunia Melayu seperti Hazeu dan kawan-kawan, dan ada pula yang menyatakan dari India seperti Otto Spies, Brunet, Ridghway, dan kawan-kawan atau dari Tiongkok, seperti Laufer dan kawan-kawan--namun pengaruh India memang kuat pada tradisi teater wayang kulit Melayu (Nasaruddin, 2000). Di Dunia Melayu, wayang kulit ini biasanya dibedakan ke dalam tiga jenis, berdasarkan akar budayanya, yaitu: wayang Kelantan (Siam), wayang Melayu, dan wayang Jawa. Wayang Melayu dan wayang Jawa berakar dari budaya wayang yang sama yaitu wayang purwa. Perbedaannya adalah bentuk wayang dan ensambel pengiring. Wayang Melayu umumnya menggunakan satu tangan sedangkan wayang Jawa menggunakan dua tangan. Keduanya menggunakan kosa cerita utama Ramayana dan Mahabrata ditambah dengan cerita Panji, Amir Hamzah, serta mite dan legenda setempat. Wayang Kelantan atau Siam terdapat di bahagian utara Semenanjung Malaysia, yaitu Kelantan, Kedah, dan Perlis. Wayang ini memiliki hubungan kultural dengan wayang nan talung Thailand, yang dapat dibuktikan melalui bentuk wayang, ensambel musik, mantera buka panggung yang dibaca oleh tuk maha siku (dalang) dalam bahasa Thai, dan lain-lainnya (Nasaruddin, 2000).
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
Wayang Melayu umum dijumpai di Semenanjung Melaka, sementara di Sumatera jarang dijumpai. Di Kesultanan Serdang, pada awal abad kedua puluh memang terdapat wayang, namun diadopsi dari Jawa, yaitu sebagai hadiah dari Sultan Yogyakarta kepada sultan Serdang, sekalian dengan para seniman pemainnya. Namun demikian, wayang kulit yang berkembang di Serdang ini mengalami berbagai transformasi terutama interaksinya dengan budaya Melayu di kawasan tersebut. Sementara di Sumatera Utara sendiri, kalangan masyarakat Jawa tetap memelihara pertunjukan budaya wayang kulitnya (wayang purwa) hingga kini. Dalam pertunjukan wayang Melayu, alat-alat musik yang dipergunakan di antaranya adalah: rebab yaitu alat musik lute berleher panjang yang memainkannya digesek dan bersenar tiga, dua buah gendang panjang, satu mong (gong), enam buah canang, kesi atau simbal, dan sepasang tetawak (gong digantung). Repertoar yang terkenal di antaranya adalah Kelayong, Katokan, Kijang Mas, Gandang-gandang, Sasang, dan lain-lainnya. Berbagai unsur Hindu dan Budha muncul pula dalam teater etnik Melayu. Misalnya teater makyong. Teater ini muncul di kawasan Kelantan, Trengganu, Kedah, Riau, dan Patani. Di Sumatera Utara juga muncul di Kesultanan Serdang, pimpinan Tengku Luckman Sinar di Medan. Di dalam Hikayat Pattani, terdapat deskripsi singkat tentang teater ini, yaitu tentang ensambel alat musik, tari, dan ceritanya. Teater makyong biasa dipergunakan untuk menghibur kaum bangsawan dan kadang juga untuk rakyat awam. Teater makyong ini biasanya difungsikan untuk merayakan panen padi, menyambut ulang tahun rajaraja, merayakan pesta perkawinan, dan lain-lainnya. Peran dalam makyong terdiri dari watak protagonis dan antagonis. Tokoh-tokoh dalam teater makyong di antaranya adalah: pakyong, sebagai tokoh utama yaitu raja; makyong yaitu permaisuri; awang pengasuh dan sekaligus pelawak; dayang yaitu pengasuh (inang) pakyong dan makyong; tuk wok; jin; gergasi; hulubalang; Dewa Bataraguru; para bangsawan; masyarakat awam, dan lainnya. Umumnya cerita yang dipergunakan dalam teater makyong adalah berkaitan dengan cerita kebangsawanan raja-raja yang dibumbui unsur legenda dunia dewa. Di antara cerita-cerita yang terkenal adalah: Raja Sakti; Raja Panah; Raja Besar;; Raja Kecik; Dewa Bongsu; Dewa Muda; Anak Raja Gondang; Puteri Timun Muda, dan lain-lain. Alat-alat musik pengiring makyong adalah rebab Melayu bersenar tiga dengan laras kuint, dua buah gendang panjang, dan sepasang tetawak (gong). Pada ensambel makyong Serdang ditambah pula dua alat musik canang. Repertoar yang digunakan di antaranya: Sri Gunung, Kisah Putri Makyong, Barat Cepat, Tari Inai, Tari Menghadap Rebab, dan lainlainnya. Teater makyong juga selalu diiringi oleh tari-tarian yang
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
mendukung plot cerita, seperti: Tari Inai, Tari Silat, Sirih Layar, Pakyong Berjalan, Burung Terbang, dan lain-lain. Selain makyong, unsur Budhisme dan Hinduisme dalam teater tradisional Melayu lainnya terdapat dalam teater menhora. Istilah menhora berasal dari penyebutan para pemain dalam teater ini, atau juga merujuk kepda tokoh cerita Jataka dari India, yang disebut menohara. Teater ini diperkirakan berasal dari Patani, kemudian menyebar ke Kelantan, Trengganu, Perlis, dan Kedah. Teater ini awalnya dipersembahkan untuk memeriahkan dan mengabsahkan hari besar agama Budha, yaitu waisyak (lahirnya Sidharta Gautama). Juga digunakan untuk memperingati roh-roh yang telah meninggal dunia. Namun setelah orang-orang Melayu beragama Islam, fungsinya berubah sebagai seni pertunjukan, untuk kegiatan seperti memeriahkan upacara pengantin, hiburan, festival, dan lain-lainnya. Dalam teater ini, unsur seniman yang terlibat adalah kumpulan pemusik sampai sekitar sepuluh orang, lima pelakon dan sekaligus penari, pelawak, pengasuh raja, raja, dan seorang permaisuri. Teater ini dipimpin oleh tuk bomoh atau khana menora, yang tugasnya menjaga jalannya pertunjukan dari kekuatan jahat. Cerita-ceritanya selalu berkaitan dengan cerita yang ada di Patani atau utara Malaysia, seperti Peak Prod yaitu pahlawan Kedah, Lakanawong pahlawan Patani, Darawong kisah cinta dari Patani, dan lainlainnya. Sementara itu, alat-alat musik yang dipergunakan juga mengindikasikan unsur Patani (Siam), seperti: pi yaitu alat musik tiup dalam klasifikasi shawm (serunai). Kemudian tharp yaitu gendang gedombak yang berbentuk goblet. Ditambah gendang klong atau geduk, gendang barel dua sisi yang dipukul hanya satu sisinya oleh stik. Teater ini juga diiringi oleh tarian yang mengekspresikan tokoh yang dilakonkan. Di antara tariannya adalah: me lai, rahu, kinari, putik bunga teratai, laba-laba menganyam sarang, dan lain-lain. Teater dalam kebudayaan Melayu yang mengekspresikan peradaban Islam dan globalisasi di antaranya adalah bangsawan. Teater bangsawan adalah teater Melayu yang mengadopsi unsur-unsur teater tradisi dan modern. Teater ini berakar dari wayang Parsi yang dibawa pada akhir abad ke-19 ke Pulaupinang oleh para pedagang India terutama mereka yang beragama Islam dari Gujarat. Mereka membawa berbagai cerita dari Timur Tengah dan menyajikannya dalam bahasa Hindustani. Tokoh utama yang menyebarkan dan mengembangkan teater bangsawan adalah Mamak Manshor dan Mamak Pushi. Kumpulan bangsawan mereka ini melanglangbuana sampai ke Sumatera dan Jawa, yang dapat dilihat pengaruhnya sampai kini pada ketoprak Jawa. Bangsawan ini mencapai zaman keemasannya dari awal sampai pertengahan abad ke-20, yang melibatkan masyarakat Melayu, India, maupun China di Asia Tenggara.
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
Di Sumatera Timur, kelompok bangsawan yang cukup ternama adalah Sri Indian Ratu. Watak utama dalam bangsawan di antaranya adalah anak muda, sri panggung, jin Ifrit, pelawak, raja, menteri, alim ulama, inang, dayang, tentara, dan lainm-lainnya. Cerita-cerita yang disajikan dalam bangsawan ini mengekspresikan akulturasi kreatif orang-orang Melayu. Misalnya yang berasal dari budaya Melayu adalah cerita Putheri Hijau, Hang Tuah, Terong Pipit, Bawang Putih Bawang Merah, Batu Belah Batu Bertangkup, Robohnya Kota Melaka, Raja Bersiung, Sultan MAhmud Mangkat Berjulang, Badang, dan lain-lain. Cerita Islam contohnya: Laila Majnun, Ali Baba, Siti Zubaidah, Bustaman, dan lain-lain. Dari Eropa adalah cerita: Hamlet, Romi dan Juli, Machbeth, Merchant of Venice, dan lain-lain. Dari China cerita: Sam Pek Eng Tai, Si Kau Si Kui, Busung Sa Su, dan lain-lain. Dari India cerita: Marakarma, Krisna, Julajuli Bintang Tiga, Burung Putih, dan lainnya. Teater bangsawan ini biasanya diiringi oleh repertoar musik Melayu atau adsopsi dan tari-tarian (Nasuruddin, 2000). Selain bangsawan pengaruh Islam lainnya dalam teater Melayu adalah teater boria. Teater ini diolah dari peristiwa tewasnya cucu Nabi Muhammad Hasan dan Husin saat perang di Karbala, oleh tentara Yazid, yang terjadi dalam bulan Muharram. Diperkirakan teater ini berasal dari Persia, sebagai ekspresi masyarakat muslim Shi'ah dalam memperingati peristiwa tersebut. Kemudian berkembang pula pada masyarakat muslim India. Di Dunia Melayu, teater ini awal kali tumbuh di Pulaupinang yang didukung oleh para pekerja dari India yang tergabung dalam British East India Company. Sebuah kumpulan boria biasanya terdiri dari dua sampai empat puluhan orang, yang terdiri dari: pelakon, pemusik, penyanyi, dan penari. Alat-alat musik yang dipergunakan adalah: gambus (ud) lute petik, marwas, gendang frame dua sisi kecil, biola, gendang Melayu, harmonium, tabla, dan lainnya. Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, teater bangswan mengalami degradasi secara bertahap. Kemudian mucul teater modern, yang mengedepankan aspek kreativitas, empirisme, dan memiliki naskah acuan. Di Sumatera Utara misalnya pada dekade 1930-an datangnya rombongan sandiwara Dardanella Miss Dja, Miss Ribut, Boleronya Bachtiar Effendi, dan yang memang terkenal berasal dari kawasan ini adalah Miss Alang Opera, dan lain-lainnya. Kemudian teater tersebut bertransformasi sesuai dengan perubahan zaman, penjajahan Jepang, dan masa kemerdekaan. Di samping teater, sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi, berkembang pula seni film Melayu dengan mencuatkan tokohnya seperti Tan Sri P. Ramlee dan Bing Slamet. Sampai akhirnya muncullah
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
sinetron yang menggantikan fungsi teater tradisional dan film di berbagai kawasan Melayu. Perubahan dan kontiuitas seni pertunjukan dalam kebudayaan Melayu, sangat dipengaruhi olegh baik faktor eksernal maupu internal. Perkembangan seni ini dalam kebudayaan Melayu tampaknya semakin lama semakin kompleks dengan melibatkan perkembangan sains dan teknologi. Selain itu tampak bahwa masyarakat Melayu menyadari akan pentingnya gobalisasi budaya namun tetap menghargai perbedaanperbedaan setiap kawasan, bukan menuju kepada budaya yang monolitik, yang menafikan kemitraan, kesejajaran, dan kooptasi global. Bagaimanapun kita banyak belajar berbagai kearifan dari dunia seni untuk diaplikasikan di dalam kehidupan dunia nyata. Dunia ini panggung sandiwara yang skenarionya hanya diketahui oleh Allah. Oleh karena itu setiap manusia wajib melakukan perannya masing-masing, dalam konteks tauhid kepada-Nya. Seni pertunjukan seperti yang penulis deskripsikan di atas memiliki hubungan yang erat dengan munculnya musik dan tari ronggeng dan Serampang Dua Belas di penggal paruh pertama abad ke-20. Serampang Dua Belas mampu melejit membawa unsur-unsur seni pertunjukan Melayu tersebut dan menjadi sebuah diskursus seni Melayu hingga ke hari ini. Selanjutnya mari kita telisik konsep kebudayaan nasional, sebagi gagasan besar dalam rangka berbangsa dan bernegara. Sebagaaimana diketahui bahwa seni Serampang Dua Belas memiliki ciri-ciri dan eksistensi mendukung kebudayaan nasional Indonesia.
2.5 Konsep Kebudayaan Nasional Indonesia Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang sampai saat ini telah berumur hampir tujuh dasawarsa. Dalam usianya yang demikian negara ini mengalami pasang surut dalam perjalanannya. Indonesia pernah mengalami masa-masa revolusi fisik, ancaman disintegrasi, guncangan ekonomi, otoritarianisme dan sejenisnya—namun bangsa Indonesia juga telah menorehkan berbagai prestasi budaya di berbagai bidang yang diakui secara internasional. Selama kurun waktu kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami tiga fase pemerintahan, yaitu: Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Dalam mengisi periode-periode sejarah itu, berbagai aspek kebudayaan saling tumpang-tindih perkembangannya. Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia telah meletakkan dasar konstitusionalnya, seperti yang termaktub dalam pasal 28 Undangundang Dasar 1945. Bahkan lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila merentangkan tulisan Bhinneka Tunggal Ika (yang artinya biar berbedabeda tetapi tetap satu). Selengkapnya pasal 32 UUD 1945 (awal)
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Ditambah dengan penjelasannya: “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.” Sementara perubahan mengenai kebudayaan nasional ini telah diamandemen di dalam UUD 1945 versi terkini. Selengkapnya pasal 32 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut. Pasal 32 (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. ****) (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. ****) Pasal 32 UUD 1945 yang diamandemen pada kali yang keempat tersebut di atas, pada pasal (1) memberikan arahan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia, dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Artinya bangsa Indonesia sadar bahwa budaya nasional mereka berada di dalam arus globalisasi, namun untuk mempertahankan jatidiri, masyarakat diberi kebebasan dan bahkan sangat perlu memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya (tradisi atau etniknya). Pada pasal (2) pula, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan demikian jelas bagi kita bahwa bahasa daerah (dan juga kesenian atau budaya daerah/etnik) sebagai bahagian penting dari kebudayaan nasional. Artinya kebudayaan nasional dibentuk oleh kebudayaan (bahasa) etnik atau daerah—bukan kebudayaan asing. Dengan demikian jelas bahwa Indonesia memiliki budaya nasional, yang berasal dari budaya etnik, dan bukan penjumlahan budaya etnik--sekali gus mengandung budaya asing yang dapat memperkaya budaya nasional. Dengan demikian jelas bahwa Indonesia memiliki budaya nasional, yang berasal dari budaya etnik, bukan penjumlahan budaya etnik--sekali
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
gus mengandung budaya asing yang dapat memperkaya budaya nasional. Beberapa dekade menjelang terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para intelektual dan aktivis budaya telah memiliki gagasan tentang kebudayaan nasional. Dalam konteks ini mereka mengajukan pemikirannya masing-masing sambil berpolemik apa itu kebudayaan nasional dan ke mana arah tujuannya. Pelbagai tulisan membahas gagasan itu dari berbagai sudut pandang, yang terbit dalam kurun masa 1930-an. Sebahagian tulisan ini merupakan hasil dari Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Surakarta (Solo), pada 8-10 Juni 1935. Di antara intelektual budaya yang mengemukakan gagasannya adalah: Sutan Takdir Alisyahbana (STA) pengarang dan juga mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) Jakarta; Sanusi Pane, seorang pengarang; Soetomo, dokter perobatan dan pengarang; Tjindarbumi, wartawan; Poerbatjaraka, pakar filologi; Ki Hajar Dewantara, pendiri dan pemimpin perguruan nasional Taman Siswa (lihat Koentjaraningrat, 1995). Gagasan-gagasan mereka secara garis besar adalah sebagai berikut. Sutan Takdir Alisyahbana berpendirian bahwa gagasan kebudayaan nasional Indonesia, yang dalam artikelnya diistilahkan dengan Kebudayaan Indonesia Raya, sebenarnya baru mulai timbul dan disadari pada awal abad kedua puluh, oleh generasi muda Indonesia yang berjiwa dan bersemangat keindonesiaan. Menurut-nya, sebelum gagasan Indonesia Raya disadari dan dikembangkan, yang ada hanyalah kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di daerah. Ia menganjurkan agar generasi muda Indonesia tidak terlalu tersangkut dalam kebudayaan praIndonesia itu, dan dapat membebaskan diri dari kebudayaan etniknya-agar tidak berjiwa provinsialis, tetapi dengan semangat Indonesia baru. Kebudayaan Nasional Indonesia merupakan suatu kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur dari kebudayaan yang kini dianggap paling universal, yaitu budaya Barat. Unsur yang diambil terutama adalah teknologi, orientasi ekonomi, organisasi, dan sains. Begitu juga orang Indonesia harus memperta-jam rasio akalnya dan mengambil dinamika budaya Barat. Pandangan ini mendapat sanggahan sengit dari beberapa pemikir lainnya. Sanusi Pane menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur harus mementingkan aspek kerohanian, perasaan, dan gotong-royong, yang bertentangan dengan kebudayaan Barat yang terlalu berorientasi kepada materi, intelektualistis, dan individualistis. Ia tidak begitu setuju dengan Sutan Takdir Alisyahbana yang dianggapnya terlalu berorientasi kepada kebudayaan Barat dan harus membebaskan diri dari kebudayaan pra-Indonesia, karena itu berarti pemutusan diri dari kesinambungan sejarah budayanya dalam rangka memasuki zaman Indonesia baru.
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
Pemikir lain, Poerbatjaraka menganjurkan agar orang Indonesia banyak mempelajari sejarah kebudayaannya, agar dapat membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia baru itu harus berakar kepada kebudayaan Indonesia sendiri atau kebudayaan pra-Indonesia. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan Nasional Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Di sisi lain, Soetomo menganjurkan pula agar asas-asas sistem pendidikan pesantren dipergunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia, yang ditentang oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Sementara itu, Adinegoro mengajukan sebuah gagasan yang lebih moderat, yaitu agar pendidikan nasional Indonesia didasarkan pada kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan kebudayaannya harus memiliki inti dan pokok yang bersifat kultur nasional Indonesia, tetapi dengan kulit (peradaban) yang bersifat kebudayaan Barat. Sebuah gagasan akan dilanjutkan ke dalam praktik, apabila ia fungsional dalam masyarakat pendukungnya. Fungsi sebuah gagasan bisa saja relatif sedikit, namun boleh pula menjadi banyak. Demikian pula gagasan kebudayaan nasional memiliki berbagai fungsi dalam negara Indonesia merdeka. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia memiliki dua fungsi: (i) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia dan (ii) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang dapat dipergunakan oleh semua warga negara Indonesia yang bhinneka itu, untuk saling berkomunikasi, sehingga memperkuat solidaritas. Dalam fungsinya yang pertama, kebudayaan nasional Indonesia memiliki tiga syarat: (1) harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia, atau hasil karya orang-orang zaman dahulu yang berasal dari daerah-daerah yang sekarang merupakan wilayah negara Indonesia; (2) unsur itu harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia yang tema pikirannya atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas Indonesia; dan (3) harus sebagai hasil karya warga negara Indonesia lainnya yang dapat menjadi kebanggaan mereka semua, sehingga mereka mau mengidentitaskan diri dengan kebudayaan itu. Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu dua di antaranya sama dengan syarat nomor satu dan dua fungsi pertama, syarat nomor tiga yaitu harus sebagai hasil karya dan tingkah laku warga negara Indonesia yang dapat dipahami oleh sebahagian besar orang Indonesia yang berasal dari kebudayaan suku-suku bangsa, umat agama, dan ciri keturunan ras yang aneka warna, sehingga menjadi gagasan kolektif dan unsur-unsurnya dapat berfungsi sebagai wahana komunikasi dan sarana untuk menumbuhkan saling pengertian di antara aneka warna orang Indonesia, dan mempertingi solidaritas bangsa.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Menurut penulis, dalam proses pembentukan budaya nasional Indonesia selain orientasi dan fungsinya, juga harus diperhatikan keseimbangan etnisitas, keadilan, dan kejujuran dalam mengangkat-nya dari lokasi daerah (etnik) ke tingkat nasional. Sebaiknya proses ini terjadi secara wajar, alamiah, dan bukan bersifat pemaksaan pusat terhadap daerah atau sebaliknya. Di samping itu proses itu harus pula menyeimbangkan antara bhinneka dan ikanya budaya Indonesia. Perlu disadari pula bahwa budaya nasional bukan penjumlahan kuantitatif budaya etnik Indonesia. Budaya nasional terjadi sebagai proses dialogis antara budaya etnik dan setiap etnik merasa memilikinya. Dari uraian-uraian di atas jelaslan tergambar kepada kita adanya perbedaan pendapat di antara pemikir-pemikir budaya: (a) ada yang berorientasi kepada budaya Barat yang dinamis dan rasional, (b) adapula yang mengemukakan perlunya meneruskan budaya lama pra-Indonesia sambil menerima dan mengolah kebudayaan asing yang dapat memperkuat jatidiri nasional Indonesia. Dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945, tampaknya pendapat kedualah yang tercermin. Namun secara konseptual para pemikir budaya juga memiliki persamaan persepsi yaitu mereka setuju akan adanya dan terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia sejak lahirnya negara Republik Indonesia, yang berasal dari daerah-daerah di wilayah Indonesia. Selaras dengan era reformasi, maka berbagai tatanan negara dan masyarakat Indonesia akan berubah bentuk dan fungsinya, yang tentu saja akan berpengaruh kepada kebudayaan nasional. Saat ini kita menerapkan sistem pemerintahan gabungan antara "unitarianisme dan federalisme" yang dikonsepkan ke dalam otonomi daerah, begitu juga dengan kedudukan legislatif, eksekutif, dan judikatif yang ditata ulang agar terjalin keseimbangan kekuasaan. Demikian juga kebudayaan Nasional Indonesia seharusnya dapat mengekspresikan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam hukum dan perundang-undangan Indonesia kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Kata puncak memiliki nosi parsial, bahwa suatu unsur budaya nasional harus bermutu. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang akan mengukur mutu atau puncak budaya daerah itu, dan bagaimana parameternya secara akurat. Padahal kalau kita lihat pemikiran di dalam estetika (filsafat keindahan), para filosof pada umumnya mengesahkan saja keindahan itu ditentukan secara parsial oleh masyarakat pendukungnya--karena akan ditemui kesulitan dalam menentukan unsurunsur universal dalam menilai kesenian atau keindahan. Dalam hal ini, kita akan dihadapkan pada berbagai kendala dalam menentukan "puncak" atau "lembah" kebudayaan daerah. Mungkin kata yang lebih pas adalah "inti sari" atau “sublimasi” kebudayaan daerah atau sejenisnya.
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
Dikotomi antara budaya Barat (Oksidental) dan Timur (Oriental) yang begitu dipertajam pada masa polemik kebudayaan, tampaknya tidak lagi begitu relevan dikembangkan pada masa kini. Permasalahan utama adalah bukan kita mengambil budaya Barat atau secara kaku meneruskan budaya Timur dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, tetapi yang penting adalah bagaimana kita mengolah dan mengelola budaya dunia dalam konteks memperkuat identitas budaya berdasarkan nilai-nilai universal. Bagaimana pun budaya Barat tidak anti budaya Timur atau sebaliknya. Bahkan Islam yang dianut sebahagian besar masyarakat Indonesia sendiri mengajarkan untuk menerima berbagai budaya dunia dalam konteks tauhid kepada Allah. Islam juga telah menyumbangkan berbagai peradaban modern ke seluruh dunia termasuk Barat. Termasuk Islam adalah sarana transmisi peradaban Barat yang menetapkan asasnya pada zaman Yunani-Romawi. Demikian juga agama Protestan dan Katholik memiliki konsep inkulturasi yang sebenarnya juga menerima unsur-unsur kebudayaan etnik seluruh dunia dalam konteks ajaran gereja. Dalam konteks penerapan kebudayaan nasional, selanjutnya Koentjaraningrat dengan kapasitasnya sebagai ilmuwan sosial yang berwawasan luas menunjuk beberapa unsur kebudayaan nasional Indonesia yang memenuhi dua fungsi utama yang dikemukakannya. Adapun unsur-unsur pemberi identitas nasional Indonesia, adalah: untuk bahasa adalah bahasa Indonesia dan daerah, untuk teknologi yaitu teknologi arkeologi dan prasejarah, untuk organisasi sosial adalah organisasi adat dalam mengelola irigasi di Bali, dan tatakrama adat; untuk pengetahuan yaitu ilmu obat-obatan tradisional usada di Bali dan Jawa; untuk kesenian adalah seni tekstil tradisional (batik, seni ikat, dan lainlain), seni relief dan ukir, seni arsitektur candi, seni rias (pakaian daerah untuk wanita), seni lukis tradisional, seni suara tradisional (Bali, Jawa), seni tari tradisional (Bali, Jawa), seni tari bela diri (pencak silat Minangkabau, Sunda, Jawa), seni drama tradisional (wayang), dan seni musik (Koentjaraningrat, 1985). Selanjutnya, unsur-unsur wahana komunikasi dan penguat solidaritas nasional, untuk bahasa adalah bahasa Indonesia; untuk ekonomi pengelolaan gaya Indonesia, untuk organisasi sosial adalah ideologi negara yaitu Pancasila, hukum nasional, dan tatakrama nasional; untuk kesenian adalah seni lukis masa kini, sastra dalam bahasa nasional, seni drama (juga film) masa kini. Penentuan unsur-unsur kebudayaan nasional yang memberi identitas dan wahana komunikasi serta penguat solidaritas nasional, yang dikemukakan Koentjaraningrat di atas, menurut penulis sangat rigid, tak dinamik, dan bersuasana "etnosentris.” Bagaimanapun, kebudayaan nasional masih akan terus berkembang secara dinamik dan mengikuti tuntutan zaman yang berproses secara alamiah, tidak mutlak ditentukan
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
oleh para intelektual, tetapi menurut fungsi dan bentuk pada masyarakat Indonesia yang bhinneka tetapi tunggal ika itu. Dalam kurun waktu hampir enam dasawarsa Indonesia merdeka, penerapan kebudayaan nasional terus berkembang mencari bentuk, namun terbentuk melalui berbagai proses: (a) ada yang terjadi secara wajar menurut fungsi-fungsi sosial budaya pada masyarakat: (b) ada pula yang berkembang melalui saluran-saluran institusi tertentu dalam masyarakat: (c) ada yang muncul karena keinginan elit penguasa; dan (d) ada yang cenderung menafsirkan bahwa yang dimaksud budaya nasional itu adalah budaya yang dilakukan oleh kumpulan etnik mayoritas di Indonesia. Sampai sekarang budaya nasional kita tercermin dalam berbagai ide, kegiatan, maupun artifak. Dalam bidang bahasa misalnya kita bersyukur kepada Tuhan dan pendiri negara ini bahwa bahasa Melayu dan disertai perkembangan bahasa kontemporer menjadi bahasa nasional Indonesia. Prosesnya pun terjadi secara wajar tanpa pemaksaan. Beberapa bangsa di dunia sampai sekarang masih mengalami gejolak dalam hal bahasa nasionalnya. Pakaian nasional kita kebaya untuk wanita dan peci, batik, atau jas juga mengalami berbagai proses kesejarahan yang unik dan menarik. Begitu juga dengan makanan khas dari daerah Minangkabau misalnya telah menjadi makanan yang digemari oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Teknologi pembuatan kapal pinisi misalnya dapat menjadi model bagi pembuatan kapal tradisional Indonesia, atau teknologi kapal PAL di Surabaya. Sementara di dunia internasional teknologi kita juga diakui kecanggihannya. B.J. Habibie teknokrat dan mantan presiden kita dikenal secara internasional rumus aerodinamikanya untuk teknologi pesawat udara. Beberapa siswa Indonesia dapat meraih juara dalam Olimpiade Fisika tingkat dunia, serta berbagai prestasi gemilang lainnya. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa sains internasional juga dapat kita kuasai dengan konsep kemitrasejajaran dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Begitu juga dengan ekonomi nasional kita yang digagas oleh Bung Hatta, yaitu ekonomi khas Indonesia sebagai hasil miksturisasi sistem ekonomi liberal dan sosialis, kiranya tetap relevan kita terapkan pada masa kini. Bukankah keterpurukan ekonomi yang kita alami sekarang ini, adalah bentuk "penyelewengan" dari kebijakan yang diambil oleh para pendiri bangsa ini. Akibat tidak kuatnya mempertahankan jatidiri ekonomi, maka kecenderungan kita adalah membiarkan sistem ekonomi pada liberalisme seluas-luasnya, tanpa proteksi kepada kebutuhan hidup rakyat, dan diintervensi kepentingan asing. Akibatnya kekayaan bangsa ini lari ke luar negeri. Kita bagaikan ayam mati di lumbung padi.
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
Demikian juga untuk unsur kebudayaan yang lainnya, bagaimanapun terus akan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam konteks kesenian misalnya seni pertunjukan Melayu, walau awalnya kurang mendapat perhatian publik, akhirnya meluas secara nasional bahkan transnasional. Begitu juga dengan keroncong. Bahkan, seorang etnomusikolog ternama Victor Ganap, dari Institut Seni Yogyakarta dalam suatu seminar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (kini Institus Seni Indonesia) di Padangpanjang mengemukakan bahwa selain bahasa, budaya Melayu juga menyumbangkan musik nasional Indonesia yang diistilahkannya dengan musicafranca. Namun kesenian dari etnik manapun tentunya akan dapat berkembang menjadi budaya nasional nantinya melalui proses yang alamiah dan dialogis. Perkembangan yang baru di bidang tari dan musik misalnya adalah tari Poco-poco, Sajojo, Apuse, dan Kulintang (dari Indonesia Timur) yang begitu luas digunakan dan dikenal dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, yang boleh pula dikategorikan sebagai kesenian nasional. Demikian sekilas contoh-contoh penerapan kebudayaan nasional Indonesia yang dilakukan selama ini. Sejak awal, para pemikir budaya Indonesia telah sepakat bahwa setelah terbentuknya negara Indonesia merdeka, maka ketika itu pula budaya nasional menjadi bagiannya. Budaya nasional bukanlah sebuah budaya yang baru sama sekali dan terputus dari lintasan sejarah. Budaya nasional merupakan kontinuitas dari budaya sebelumnya yang ada di wilayah Indonesia kini. Konsep budaya nasional ini sejak awal mengalami polemik, antara dua kubu yaitu yang sangat mendukung untuk menyerap budaya Barat yang dianggap memiliki berbagai “keunggulan” serta kubu yang menginginkan agar budaya nasional berakar dari budaya sebelumnya yaitu budaya nenek moyang bangsa Indonesia namun tidak menolak unsur asing yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa. Demikian sekilas tentang konsep kebudayaan nasional Indonesia. Serampang Dua Belas dalam sejarah seni di Republik Indonesia memiliki kemampuan sebagai salah satu pendukung kebudayaan nasional. Tarian ini sejak dasawarsa 1940-an sampai 1960-an mengalami perkembangan yang pesat secara nasional. Tarian ini didukung oleh masyarakat Indonesia yang majemuk itu, dan juga keinginan politik dari para penguasa negeri ini. Apalagi dikaitkan dengan politik kebangsaan kita, yang agak “menjauh” dari budaya Barat, dan mencari kebudayaan nasional sendiri sebagai bangsa yang berdaulat dan mampu berdiri di atas kaki sendiri. Dengan demikian, keberadaan Serampang Dua Belas menjadi salah satu pendukung kebudayaan nasional sangat mendapatkan energi momentumnya.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
2.6 Serampang Dua Belas sebagai Pendukung Kebudayaan Nasional Dengan melihat konsep kebudayaan nasional di Indonesia seperti terurai di atas, secara faktual dan historis seni Serampang Dua Belas memang dapat mengisi kebudayaan nasional, yang terwujud selepas Indonesia merdeka, yang berakar dari kebudayaan-kebudayaan rantau ini, sebelum masa merdeka. Serampang Dua Belas oleh O.K. Adram dan Guru Sauti memang diciptakan untuk diterima oleh segenap bangsa Indonesia dari Sabang hingga ke Merauke, dengan mengambil dan mengolah unsur-unsur seni tari dan musik kawasan Nusantara dan juga kebudayaan dunia. Tari dan musik ini diharapkan akan mampu menjadi pemersatu bangsa, sebagai sarana hiburan dan pergaulan sosial, diterima oleh sebagian besar kolektif bangsa Indonesia (tak terkecuali juga di Singapura dan Malaysia). Peta 2.1 Sumatera dan Semenanjung Malaysia Pusat Budaya Melayu
Bab II: Seni Pertunjukan Melayu,dan Kebudayaan Nasional Indonesia
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dengan tegas dinyatakan bahwa Serampang Dua Belas adalah nama sebuah tari nasional [Indonesia} dan lagunya.4 Ini menyiratkan bahwa tari Serampang Dua Belas secara historis dan budaya telah menjadi sebuah tarian nasional, yang menjadi identitas bangsa Indonesia, juga sebagai wahana komunikasi, dan selanjutnya adalah sebagai salah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Serampang Dua Belas mengandung unsur budaya Timur dan Barat, yang pernah begitu menjadi polemik dan dikotomi pada era polemik kebudayaan di era 1930-an. Serampang Dua Belas secara historis diolah dari pelbagai budaya, yang diterapkan oleh masyarakat Melayu rantau ini. Di dalamnya ada unsur tari dan musik Portugis (dan Eropa), sementara tak ketinggalan pula wujudnya unsur seni Nusantara, khususnya tradisi ronggeng dan sejenisnya yang sudah berurat berakar dalam kebudayaan Nusantara berabad-abad lamanya. Serampang Dua Belas telah mencapai titik kulminasinya sebagai sebuah seni klasik Melayu yang telah mengalami “metamorfosis” estetika dan nilai-nilai sosialnya. Tarian ini juga telah dipopulerkan secara regional, nasional, bahkan secara internasional sejak kurun masa 1930-an hingga alaf (milenium) baru di abad ke-21 ini. Tarian ini juga tak pernah pupus dari aktivitas dan pertunjukannya di bebagai peristiwa budaya dan sosial. Tari dan musik Serampang Dua Belas telah mampu menarik perhatian bagi sejumlah besar kolektif masyarakat Indonesia dan Dunia Melayu yang merasa memilikinya. Syarat-syarat sebagai budaya nasional tercermin pada tari dan musik Serampang Dua Belas. Kesenian ini sangat fungsional secara sosial. Selain itu ia menjadi salah satu kebanggaan (yang tak berlebih-lebihan) bagi masyarakat pendukung budaya Melayu di rantau ini. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, seni Serampang Dua Belas ini memang layak menjadi seni nasional di Indonesia. Seterusnya warga Melayu di negeri-negeri rumpun Melayu juga dapat menjadikan tarian ini sebagai bagian kebudayaannya. Ini sebuah uraian dari kami sebagai penulis.
4
Di dalam kamus ini dituliskan bahwa se-ram-pang—dua belas (n) nama sebuah tari nasional dan lagunya. Dengan demikian Serampang Dua Belas yang dimaksud dalam kamus resmi rujukan nasional kita ini, mencakup dua cabang seni sekali gus yaitu sebagai sebuah tari dan juga sebagai sebuah lagu. Keduanya terintegrasi dalam seni pertunjukan tari dan musik.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
BAB III
RONGGENG DAN SEJENISNYA DI NUSANTARA 3.1 Pengenalan Sebagai seni tari yang memiliki fungsi utama sebagai pergaulan sosial di kalangan masyarakat Melayu dalam konteks budaya heterogen di Sumatera Timur, maka tari Serampang Dua Belas dan ronggeng Melayu adalah dua mata rantai seni yang berkaitan. Bagaimanapun berbagai teknik gerak dan rentak dalam tari Serampang Dua Belas diolah oleh O.K. Adram dan Guru Sauti dari tradisi ronggeng di Sumatera Timur, khususnya dari tari dan rentak lagu dua. Ronggeng sendiri mempertahankan berbagai tarian dan lagu yang memang ada di dalam kebudayaan Melayu, walau dengan fungsi sosial yang berbeda. Ide kultural dalam seni ronggeng dan Serampang Dua Belas adalah hiburan berpasangan menari, yang dipandu oleh istiadat Melayu. Di dalamnya terkandung nilai-nilai etika dan estetika Melayu, yang berakar dari ajaran Islam, dan diaplikasikan dalam kesenian Melayu. Dalam konteks yang lebih luas, seni ronggeng dan Serampang Dua Belas, memiliki hubungan budaya dengan seni-seni sejenis. Ini membuktikan bahwa ronggeng dalam kebudayaan Melayu ini, selain memiliki ciri dan gayanya yang khas, juga sebuah fenomena yang umum. Inilah sebuah kesenian yang merangkum dan mendukung wilayah kultural Melayu Polinesia atau Melayu Austronesia. Berikut diuraikan secara singkat keberadaan seni ronggeng dan sejenisnya di Nusantara.
3.2 Persebaran Ronggeng dan Sejenisnya di Nusantara Keberadaan seni ronggeng atau joget, secara kesejarahan, memiliki kaitan dengan seni sejenis yang ada di berbagai kawasan di Nusantara. Hal ini dapat dikaji melalui sejarah budaya, dari adanya interaksi budaya antara etnik rumpun Melayu di Nusantara maupun asing. Seni joget juga merefleksikan sejauh apa tingkat interaksi tersebut. Joget sangat erat kaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan, baik sebagai hiburan maupun bagian dari kehidupan mistis, yang berhubungan dengan nilai-nilai harapan kesuburan dan harmoni
Bab VI: Struktur Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas
kehidupan. Seorang pakar etnologi tari dari Jawa, Ben Suharto pernah menyebutkan, betapa seseorang yang menggendong anaknya berusia dua tahun, dengan girang diciumkannya kepada ronggeng yang sedang berdandan, di Desa Pundungsari Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia berharap sang anak akan sehat, tidak ribut, dan pandai melalui ketekunannya sekolah di masa mendatang. Meskipun keseharian ronggeng atau ledhek yang bernama Sayem, pekerjaan utamanya adalah penjual bumbu-bumbu di sebuah pasar, namun masih diangap memiliki daya magis dalam berbagai upacara yang dikaitkan dengan hirofani sakralitas padi dan lainnya (1999:92). Dengan demikian masalah ronggeng, masyarakat pendukung, dan kosmologi menjadi bahagian yang menyatu dalam ronggeng rumpun Melayu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terdapat tiga kata yang memiliki makna yang sama dengan ronggeng, yaitu: (1) ronggeng dari bahasa Jawa yang sama artinya dengan tandak yaitu penari perempuan yang diiringi gamelan—meronggeng berarti menandak atau menari; (2) joget yang berarti: (a) tari, (b) tandak atau ronggeng, (c) berjoget berarti menari; (3) tandak berarti: (a) tari Jawa yang dilakukan oleh perempuan, (b) tandak berarti penari perempuan atau ronggeng, dan (c) bertandak, menandak, berarti menari (Poerwadarminta, 1984:421, 831, dan 1009). Dalam Wikipedia (2008) disebut ronggeng is a type of Malay social dance in which couples exchange poetic verses as they dance to the music of a violin or a gong. Artinya ronggeng adalah satu bentuk tarian sosial dalam masyarakat rumpun Melayu, yang mana masing-masing pasangan penari saling jual dan beli pantun. Sambil menari mereka diiringi oleh alat musik biola atau gong. Dalam kebudayaan rumpun Melayu, seni ronggeng memiliki kesamaan makna dengan istilah-istilah seperti: joget, joget dangkung, joget lambak, pakpung, gamat, pajoge, dondang sayang, dendang sayang, gunung sayang, tledhek, jaipongan, tayub, tayuban, lengger, pajoge, gandot, ibing, dan lain-lainnya. Dalam kaitan ini penulis menyebutnya secara umum seni ronggeng dan sejenisnya dalam kebudayaan rumpun Melayu. Terdapat beberapa sumber materi sejarah yang berguna untuk merekonstruksi latar belakang sejarah ronggeng Alam Melayu, yang mempunyai kaitan juga dengan pelacakan sejarah dan pencarian maknanya di daerah-daerah lainnya, khususnya Jawa—yang secara relatif, banyak dikenal masyarakat di Nusantara ini. 3.2.1 Jawa Tradisi ronggeng adalah kesenian kuno yang biasanya dipertunjukkan di istana-istana kerajaan ataupun di desa-desa, yang terdapat di Malaysia atau Indonesia. Di Indonesia antara lain terdapat di
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Jawa, Sulawesi, Kalimantan (Borneo), dan Sumatera. Salah satu peninggalan sejarah yang dapat dijadikan salah satu bukti tentang eksistensi kesenian ini adalah relief-relief yang terdapat di candi Barabudur (baca: Borobudur) dan teks-teks yang terdapat di dalam Nagarakertagama. Di dalam kitab Nagarakertagama ini terdapat puisipuisi yang menunjukkan bahwa tradisi ronggeng sudah ada pada abad ke14. Dalam teksnya diceritakan tentang orang yang bergelar Juru Angin, yang menari dan bernyanyi dalam suatu pesta panen, yang diselenggarakan selama tujuh hari. Juru Angin ini mungkin dapat disamakan dengan pesindhen tledhek (Goldsworthy, 1979:365-372). Gambar 3.1 Sepasang Penari Ronggeng dan Ensambel Musik Pengiringnya di Cirebon Jawa Barat Tahun 1886
Sumber: Reproduksi dari E.J. Brill Gatalogue, Indonesia, No. 496.
Selain itu juga terdapat syair-syair dalam kidung Sunda yang menceritakan tentang ronggeng pada abad ke-16. Syair dalam kidung Sunda ini diawali dengan cerita tentang penguburan Raja Hayam Wuruk. Pada saat ini terjadi pembunuhan secara besar-besaran terhadap pengantar-pengantar dari Sunda, serta bunuh dirinya isteri Hayam Wuruk. Pada bahagian lain dikisahkan pula tentang tampilnya penaripenari ronggeng dalam suatu pertunjukan kolosal (Holt, 1967:288-289). Menurut Pigeaud bahwa penari wanita profesional yang disebut dengan taledek atau ronggeng, yang mengembara dan diiringi oleh beberapa orang pemusik pria merupakan suatu institusi yang sudah berusia tua di Jawa. Juga di daerah-daerah pesisir lainnya di kepulauan Indonesia. Apa yang dimunculkan pada sumber referensi Jawa yang paling tua adalah fenomena pada bagian Tantu Panggelaran, yang
Bab VI: Struktur Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas
mungkin diciptakan pada abad ke-16 atau awal abad ke-17. Referensi ini mempertautkan dengan asal-usul institusi penari wanita yang berasal dari dewa, yang menceritakan bagaimana tiga dewa utama agama Hindu: Siwa, Brahma, dan Wisnu, melagukan nyanyian-nyanyian (mangindung) dan menari atau melakukan akting (amen-amen). Dewa Ishivara (Siwa) memainkan peran seorang wanita (sori), dua dewa lainnya sebagai aktor dan pemusik (Pigeaud, 1924:49-50). Para pengarang Jawa abad ke-20, menulis tentang teater masyarakat Jawa dan hubungan seni-seni pertunjukan yang biasanya memperkenalkan karya satu atau lebih cerita (tale) tentang asal-usul bentuk-bentuk seni ini (baik yang mengisahkan tentang dunia dewa atau alam manusia), yang rupanya menjadi suatu pandangan untuk melegitimasi kajian mereka terhadap fenomena itu. Pandangan semacam ini tidak hanya dipegang oleh para pengarang Jawa yang sangat terkenal saja, seperti Rangawarsita dalam karyanya Serat Pustaka Raja dan Kusumadilaga dalam karyanya Pakem Sastra Miruda tetapi juga dipegang oleh para sarjana Belanda saat itu. Salah satu contoh dari ketertarikan terhadap asal-usul ini adalah artikel pendek “De eerste ronggeng” (Penari wanita bagi publik yang pertama), dipublikasikan oleh C.M. Pleyte pada tahun 1916, yang mendiskusikan dongeng tentang asalusul institusi ini, baik dari sumber-sumber tertulis ataupun lisan. Pleyte berargumentasi bahwa praktik tarian ronggeng adalah suatu “seni hiburan” Indonesia kuno dan asli. Dia menilai bahwa cerita-cerita dalam tulisan yang lebih awal seperti yang disebutkan pada tulisan di atas, dari bentuk Tantu Panggelaran, merupakan inti dari cerita lisan yang pertama kali didengarnya di Tasikmalaya. Menurut opini Pleyte, cerita-cerita ini berisi suatu pembenaran praktik pada masa kuno itu—menghubungkan asal-usulnya dengan dewa-dewa, dan yang lebih akhir dengan kehendak Allah, setelah masuknya agama Islam ke Jawa (Brakel-Papenhuyzen, 1995:555). Selanjutnya Stutterheim menjelaskan tentang keberadaan seni ronggeng ini di bawah pengaruh agama Islam sebagai berikut. Perhaps it is less well-known that at such a nayuban [dance party] strong drink is drunk also by the ordinary dancers, and often more than desirable; outside the principalities this usage has mostly lapsed under the influence of Islam, but even in this region it is considered descent to restraint oneself. It is nevertheless an astonishing spectacle for those who have the opportunity to attend a real, old-fashioned nayuban for the first time, to see the stately Javanese, who in ordinary life do not in the least appear to appreciate the use of alcohol, becming fuddled to such and extent and to see them in state of excitement in which they accasionally openly misbehave and allow themselves all kinds of liberties with the taledek (Stutterheim, 1956:99).
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Menurutnya, mungkin yang kurang dikenal adalah bahwa dalam suatu acara tari nayuban yang biasanya dilakukan oleh para penari adalah minum minuman keras, dan juga sangat diperlukan di luar kekeratonan, penggunaan ini sebagian besar menyeleweng di bawah pengaruh Islam, tetapi di daerah ini nayuban dipandang sopan jika mereka dapat mengendalikan diri. Jadi pada pinsipnya norma moral baik atau buruk bukan ditentukan oleh jenis keseniannya, tetapi tuntutan pada para pelakunya. Deskripsi lainnya tentang seni ronggeng di Nusantara ini, ditulis pula oleh Raffles (1830:324) dan Crawfurd (1820:121-124), yang membandingkan ronggeng dengan penari dari India Barat, yang mereka sebut dengan nautch. Kata nautch ini mempunyai konotasi pelacuran.1 Para penari ronggeng ini, baik secara individu ataupun berkelompok menghibur pejabat dengan mendapatkan bayaran. Para ronggeng ini mengenakan pakaian seperti penari bedaya atau serimpi, tetapi jenisnya agak kasar. Menari dengan memegang kipas, diiringi oleh gamelan yang berlaras slendro atau pelog.2 Unsur lawak pun terdapat juga dalam
1
Kata nautch selalu dipergunakan oleh para penulis Eropa, yang maknanya merujuk kepada bangsa India nauchi. Kata ini dipergunakan untuk menyebutkan penari di kuil pada masa sebelum timbulnya Imperium Moghul di India. Pada abad ke-16, penari wanita profesional didatangkan dari Persia untuk menghibur para penguasa di istanaistana di India, yang disebut dengan nauchi, yang berarti penari penghibur kelas tinggi di istana. Pada perkembangan selanjutnya sampai sekarang, dipergunakan untuk menyebutkan para penari jalanan kelas rendah yang bisanya dihubungkan dengan pelacur. Istilah ini kemudian dipergunakan oleh orang-orang Eropa yang datang dari India dari abad ke-16 sampai ke-19, dan dibawa ke negerinya. Lebih lanjut lihat Pathak (ed.) (1959:19-20). 2 Di dalam kebuayaan musik Jawa, terdapat dua jenis tangga nada (disebut laras dalam bahasa Jawa), yang berorientasi melodis, bukan harmonik khordal, yaitu slendro dan pelog. Secara umum laras slendro dalam satu oktaf dibagi dengan interval yang hampir sama terhadap lima nada anggotanya. Sementara laras pelog dalam satu oktafnya dibagi dengan interval-interval yang berbeda yaitu yang relatif jauh dan dekat dikomposisikan sedemikian rupa. Pelarasan ini memiliki berbagai variasi antara satu ensambel gamelan dengan ensambel gamelan lain, juga antara kawasan yang satu dengan yang lain. Jika ditilik dari orientasi penggunaan nada-nadanya, kedua laras ini dibagi lagi kepada beberapa pathet (modus yang bermakna sering dan kurangnya penggunaan nada anggoya serta kecenderungan kadensa melodis). Laras slendro memiliki pathet: manyura, sanga, dan nem. Laras pelog memiliki pathet: lima, nem, dan barang. Nada-nada anggota laras slendro adalah: nem, siji, lara, telu, lima, (nem oktaf) dengan contoh interval: 263, 223, 253, 236, 253 sent. Sementara nada-nada anggota laras pelog adalah: nem, pitu (barang), siji (penunggul), lara, telu, papat (pelog), lima, (nem oktaf). Contoh interval setiap nadanya adalah: 167, 245, 125, 146, 252, 155, dan 100 sent. Selain Jawa, istilah dan sistem tangga nada slendro dan pelog digunakan dalam budaya musik Sunda (ditambah dengan laras degung), Madura, Bali, dan Nusa Tenggara. Namun demikian, terdapat perbedaan-perbedaan varaiatif antara budaya musik yang menggunakan sistem ini.
Bab VI: Struktur Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas
ronggeng ini. Menurut Raflles, yang paling penting adalah goyangan tubuhnya. Pada awal abad ke-20, di Jawa para penari ronggeng yang profesional dikirim ke keraton-keraton untuk kepentingan menghibur raja dan keluarganya. Mereka mendapat status yang baik di sini, dan acapkali pula mereka dikelompokkan dalam satu wisma yang dipimpin oleh seorang lurah tledhek. Pada masa ini juga terdapat ronggeng banci di Banyumas, Kedu, dan daerah-daerah lain di Jawa Timur. Ronggeng ini dipanggil dengan sebutan lengger. Di Yogyakarta terdapat jenis tarian yang disebut lengger tapeng yang berkaitan erat dengan dakwah Islam. Menurut Th. Pigeaud dalam bukunya yang bertajuk Pertunjukan Rakyat Jawa terjemahan K.R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo disebut bahwa lengger adalah salah satu bentuk kesenian yang dilakukan oleh penari pria, yang berhias, berpakaian, dan bergaya seperti wanita, dengan iringan kendhang, angklung, gong, serta keprak (1991:279). Istilah lengger berasal dari kata le kependekan ledhek penari puteri dalam kesenian tayub), dan ngger kependekan dari kata langgar (mesjid kecil). Lengger artinya tarian putri yang bertujuan untuk kepentingan mesjid, yaitu sarana dakwah untuk mengajak masyarakat masuk Islam. Sedangkan kata tapeng berasal dari ta yang merupakan kependekan tayub dan peng kependekan topeng. Lengger tapeng adalah sebuah tarian tayub atau ledhek dengan pengibing yang memakai topeng dan bertujuan utuk kepentingan syiar Islam.
3.2.2 Sunda Selanjutnya, dari sebuah foto sejarah di abad ke-19, di Cirebon dijumpai pula ronggeng yang disebut topeng babakan, sebagai suatu ronggeng drama. Pada seni ronggeng ini, terdapat seorang wanita dan satu atau dua orang pria. Kesemuanya mengenakan topeng yang menggambarkan beberapa watak, seperti Panji Semirang dan Damar Wulan. Musik pengiringnya: rebab, gong, dan kendhang. Penari wanitanya tidak menari dengan penari di luar (pengunjung). Kunst seorang etnomusikolog Belanda ternama, menulis bahwa dia menyaksikan ronggeng di Tasikmalaya yang disebut dengan ronggeng doger. Ronggeng ini dibagi ke dalam dua jenis. Pertama, adalah tarian yang penuh gairah seksual dan merangsang. Kedua, adalah tari pergaulan yang agak kurang mengandung unsur gairah seksual. Kedua jenis ronggeng ini diiringi oleh perangkat musik yang disebut ketuk tilu (secara harfiah berarti tiga ketukan), terdiri dari: sebuah rebab, tiga buah ketuk (gong kecil), gong besar, dan kendhang (1949:381). Goyang, geol, dan gitek adalah ciri khas tarian ronggeng. Dengan ciri khas inilah seni
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
ronggeng menjadi identik sebagai seni yang mampu membuat kaum lelaki bangkit libidonya, sehingga akhirnya citra seni ronggeng menjadi sangat jelek. Namun di balik itu terdapat nilai-nilai positif. Pada tahun 1809 di seluruh Keraton Cirebon telah diselenggarakan satu proses pendidikan moden ala Belanda yang berbasis kesenian, dengan nama Sekolah Ronggeng. Pendidikan seni ini ditaja oleh pemerintah Belanda melalui surat perintah bertarikh 30 April 1809, yang berjudul Reglement van de tandak of Ronggeng inholen te Cheribon. Bagian akhir dari teks manuskrip naskah sekolah ronggeng yang ditandatangani oleh penulisnya, Middelkoop, yang juga menulis sejarah sekolah ronggeng ini. Dia adalah seorang sejarawan yang menyusun Sejarah Jawa pada masa Gubernur Jenderal Java Noord-oost Kust (17611831) yang bekerja dengan Nicolaas Engelhard. Manuskripnya sendiri kini tersimpan di Gedung Arsip Nasional di Jakarta dan pertama kali ditemukan oleh Yulianti Parani. Manuskrip memuat berita setebal 15 halaman mengenai tata aturan penyelenggaraan proses pembelajaran, syarat menjadi siswa dan gaji para pengajarnya. Buku ini memuat hal-hal: (1) Memberi izin tiga sekolah ronggeng dan juga memberi tempat untuk pementasan di tiga tempat, yaitu: Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman dan Keraton Kacirebonan Cirebon. (2) Ditetapkan lokasi, organisasi, dan supervisinya (Sultan dan Prefect Cherbon). (3) Persyaratan murid-muridnya adalah: (a) umur gadis yang ketika didaftarkan tidak lebih dari 12 tahun; (b) mereka harus tinggal di Institusi (demikian sekolah tari ini disebut) untuk waktu paling cepat 4 tahun; (c) murid-murid wajib membayar uang sekolah sekali gus makanan dan pakaian (beras, ikan, daging, dan sebagainya); (d) ada perbedaan pembayaran bagi anak-anak orang mampu dan mereka yang tidak mampu; (e) untuk golongan yang disebutkan belakang ini bahkan ada kemungkinan belajar dengan cuma-cuma. (4) Ditetapkan kurikulumnya, seperti pagi hari pelajaran menulis dan membaca AlQur’an dan adat-istiadat Cirebon, kemudian pada sore hari nyanyi dan tari ronggeng. (5) Tiga kali seminggu harus diadakan pementasan ronggeng (masing-masing sekali di tiap tempat). (6) Berbagai perayaan tontonan dan juga bagi penonton dari luar rakyat biasa. (7) Ada larangan membawa pergi wanita, murid pada sekolah tersebut, tanpa izin orang tua (juga bagi sultan). Manuskrip sekolah ronggeng ini memiliki kedalaman nilai yang multidimensional: historis, falsafah, etik (moral), dan estetik. Sehingga temuan tersebut sangat penting artinya bila mau membaca perkembangan seni persembahan tari tradisional Sunda-Jawa Barat dewasa ini. Terutama seni kalangenan tayub, baik yang tumbuh di Cirebon maupun yang berkembang di Tatar Priangan, terutama yang berada di Sumedang.
Bab VI: Struktur Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas
Empat faktor yang menjadi identitas dalam penyelenggaraan seni kalangenan tayuban baik di Cirebon maupun di Priangan. Pertama, penyelenggaraannya selalu dilaksanakan oleh sebuah kepanitiaan khusus yang dibentuk oleh pemangku hajat (sultan/bupati) dan bertempat di bangsal pergelaran atau pendopo kabupaten. Kedua, selalu mendahulukan strata tertinggi dari para penayub yang menghadiri acara tersebut. Begitu pula dengan urutan dan istilah yang digunakan, seperti ngebaksa atau baksa, penari utama, pemair, meiri/pamair, dan mairan. Ketiga, adanya unsur minuman, jumlah ronggeng (2-3 orang), dan pola lantai segitiga. Keempat, kinestetika tari yang sederhana dan spontan, termasuk lagulagu yang dibawakan sebagai iringan tarinya. Khusus mengenai gendhing (lagu) iringan tari, memang di Priangan lebih beragam. Dari berbagai faktor yang diuraikan di atas, maka tidak bisa dipungkiri bahwa antara kedua subetnik masyarakat Sunda (Cirebon dan Priangan) Jawa Barat terbentang benang merah yang mengaitkannya sehingga hubungannya begitu erat. Bahkan keduanya telah menjadi lumbung penggalian kinestetika tari dalam perkembangan tari Sunda sekarang ini. Di samping itu, yang perlu diapresiasi adalah beberapa catatan sejarah hasil temuan beberapa peneliti. Sebut saja sejarawan Nina H. Lubis yang mencatat adanya peristiwa tayuban, sebagai berikut. Dalam Babad Sukapura bahwa ketika Raden Tanuwangsa (Wiratanubaya), bupati Sukapura (1835-1854) akan mengkhitankan cucunya, menyuruh dua orang Jawa menghantar surat kepada Sultan Kasepuhan dan Bupati Cirebon yang isinya meminjam taledek/ronggeng untuk memeriahkan pesta khitanan cucunya. Sultan Sepuh ternyata mengabulkan permintaan tersebut dan mengutus seorang pamagersari (abdi kraton) dengan membawa seperangkat pakaian sunat, juru rias, dan tiga taledek ternama, yaitu Nyi Rara Pucuk, Nyi Dewi Melok dan Nyi Bokar. Dalam meriahnya pesta, para tamu baik dari kalangan menak maupun pejabat Belanda ikut menikmati tayuban semalam suntuk dan menari bersama ronggeng pilihan dari Cirebon. Sedangkan Anis Sujana mengemukakan, berdasarkan bukti sejarah yang tercatat di wilayah Priangan setidak-tidaknya dunia ronggeng telah ada sejak zaman Bupati Sumedang, Pangeran Suria Kusumah Adinata (1836-1882). Catatan di atas keduanya memiliki angka tahun yang masih lebih muda dari tahun penyelenggaraan sekolah ronggeng di Kraton Cirebon, bahkan di sisi lain berita sekolah ronggeng secara langsung mengisyaratkan bahwa kehidupan dunia ronggeng dalam arena tayuban di Cirebon telah ada, hidup, tumbuh, dan berkembang serta populer jauh lebih awal dari angka tahun 1809. Asumsi ini sangat beralasan karena dalam pemahaman tradisi masyarakat priayi Cirebon disebutkan bahwa tayuban hadir sebagai media peneguhan keimanan dan keislaman para pejabat keraton. Oleh itu, dalam konteks ini tayuban atau seni ronggeng
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
dalam tahapan proses spiritual masyarakat Cirebon ditempatkan sebagai gambaran tahapan manusia ma’rifat. Pemaknaan tahapan ini merupakan tahapan tertinggi dari tiga tahapan lainnya, yaitu tahapan syari’at dalam gambaran seni pertunjukan wayang, tahapan tarekat dalam gambaran seni barongan, dan tahapan hakikat dalam gambaran seni topeng. Ada satu catatan lagi dari Lubis yang menarik untuk ditelisik, yaitu bahwa pada tahun 1706 Pangeran Aria Cirebon diangkat sebagai pengawas (overseer) bupati-bupati di Priangan. Kedudukannya dikukuhkan berdasar-kan Resolusi 9 Februari 1706, dan meninggal pada tahun 1723. Menyimak wacana di atas, maka terbukalah secara lebar ruang dialog dalam membaca arah perkembangan dunia seni pertunjukan Nusantara ke depan. Berkaitan dengan eksistensi ronggeng Sunda ini, seorang seniman dan penulis budaya Sunda, R. Cece Somantri (2006), menyatakannya sebagai berikut: ... sajarah ibing Sunda anu ku jisim kuring pribadi kaalaman karandapan, nya eta ti ngawitan campleng taun 1900. (Ti sateuacanna keneh sim kuring nguping rupi-rupi wartos ayana tayuban, wayang wong, topeng, doger, gedut ketuk tilu, sjte). Wayang wong tadi, kitu deui topeng sareng doger, dipetakeun ku anu ngaramen bae, anu ditaranggap di mana-mana, da dipikaresep tea ku urang rea, dugi ka saban-saban ditanggap nu lalajo teh munggah noyek jejel pasedek-sedek. Dupi nayuban, diayakeun dina hahajatan kariaan sareng pepestaan, nya eta di Kabupaten-kabupaten, kawadanaan, kacamatan, dugi ka bale desa-bale desa. Gamelannana nu dianggo, ilaharna gamelan laras Pelog; ronggengna dua, rajeun tilu, tampolana langkung. Menggah petana (padamelannana) ronggeng-ronggeng teh nya eta ngawih (nyoraan) sareng ngigelna; ronggeng anu pangtegepna (panggeulisna) sarta soantenna pangraosna (punjul katiasana) dijadikeun Nyi Lurah Ronggeng. Dina nuju para nayaga nambul (nabuh teu diibingan) ronggeng-ronggeng teh dariuk ngaliung tukang rebab bari ngarawih, nyaroraan gending.
Menurut beliau, sejarah tarian ronggeng Sunda telah dialaminya tahun 1900, yang di dalam pertunjukan itu terdapat genre-genre seperti tayuban, wayang wong, tari topeng, ronggeng doger, gedut ketuk tilu, dan sebagainya. Pertunjukan wayang wong penuh dengan penonton yang berdesak-desakan. Sementara itu nayuban itu difungsikan dalam pesta di berbagai kabupaten, kewedanaan, kecamatan, dan balai desa. Gamelan yang dipakai bermodus pelog, diiringi dua penari ronggeng, diiringi tiga penari. Peronggeng yang paling baik gerakan dan nyanyinya dijadikan kepala ronggeng yang disebut Nyi Lurah Ronggeng. Demikian sekilas deskripsi keberadaan ronggeng di Tanah Sunda.
Bab VI: Struktur Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas
3.2.3 Aceh Selain di Jawa dan Sunda, di Aceh juga terdapat suatu jenis pertunjukan semacam ronggeng yang tidak mempunyai sebutan. Seorang penari wanita (atau pria yang berpakaian seperti wanita) menari sambil menyanyikan pantun-pantun. Seni tari ini diiringi seperangkat musik yang terdiri dari: satu biola, lima atau enam buah gendang yang disebut dab, dan sebuah gong. Penari tersebut diiringi seorang pelawak, dan tidak mengundang penari yang berasal dari kalangan penonton (Lavignac (ed.), 1922:3169). Di Aceh Tamiang terdapat seni sejenis joget yang disebut dendang sayang. Kesenian ini adalah sejenis kesenian tradisional yang tumbuh di daerah Tamiang Aceh Timur. Agak berbeda dengan dondang sayang di Melaka, di kawasan ini dendang sayang hanya disajikan melalui musik saja. Satu kumpulan biasanya terdiri dari 3 atau 4 penyanyi lelaki, kadang ditambah penyanyi perempuan. Para penyanyi ini menyanyikan pantunpantun yang diiringi oleh musik: sebuah biola (viool) pembawa melodi, satu gendang pembawa ritme, dan satu gong pembawa fungtuasi ritmik. Kesenian ini diperkirakan memiliki hubungan dengan ronggeng di Sumatera Utara dan dondang sayang di Melaka. Dendang sayang sering dimainkan pada acara pesta perkawinan, khitanan, dan lainnya. Materi pantun terdiri dari pantun nasihat, mudamudi, dan tentang nasib peruntungan seseorang. Dendang sayang ini merupakan sarana komunikasi antara pemuda dengan gadis pujaan hatinya. Selepas pertunjukan biasanya dilakukan perbualan antara mudamudi di Tamiang ini (Abdul Hajat dkk., 1987: 42-43).
3.2.4 Minangkabau Di wilayah budaya Minangkabau, juga terdapat seni pertunjukan sejenis ronggeng. Menurut Mulyadi K.S., seperti yang dapat diamati dari gejala budaya sampai sekarang, tari Minangkabau gaya Melayu pada masing-masing daerah pesisir di Minangkabau mempunyai nama yang berbeda-beda. Di Barus disebut dengan tari kapri. Di daerah pesisir Pasaman disebut tarian ronggeng, dan ada juga yang menyebutnya gadih atom. Di Kabupaten Pariaman disebut tarian katumbak. Di Kota Padang dan sekitarnya sampai ke Pesisir Selatan disebut tarian kaparinyo atau tari gamat atau gamaik (1994:148). Sementara, di daerah Palembang seni sejenis ronggeng mempergunakan penari wanita yang disebut pelanduk. Penari ini menari sambil menyanyi dengan pasangan prianya yang berasal dari pengunjung (Lavignac (ed.), 1922:3172).
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Di Pasaman, masih di wilayah budaya Minangkabau, terdapat seni ronggeng. Kesenian ini disebut ronggeng Pasaman. Seni tari dan musik ini merupakan satu tradisi lisan Minangkabau, berupa seni pertunjukan yang terdiri atas pantun, tari atau joget, dan musik, yang khususnya terdapat di Simpang Empat dan Simpang Tonang, Pasaman Barat, Sumatera Barat. Pantun merupakan unsur yang penting dalam tradisi ronggeng Pasaman. Sebagai unsur yang penting, pantun didendangkan atau dinyanyikan oleh seorang penampil pria yang berperan sebagai “wanita” atau disebut dengan ronggeng, sambil berjoget mengikuti irama lagu. Dengan begitu, penyebutan kata ronggeng mengacu pada dua pengertian, yaitu ronggeng sebagai satu bentuk seni pertunjukan dan ronggeng sebagai sebutan untuk pelaku (penampil) wanita yang ahli dalam berpantun. Ronggeng Pasaman fungsi utamanya adalah hiburan atau sebagai pelipur lara. Biasanya, seni tradisi ini dipertunjukkan pada malam hari, mulai dari pukul sepuluh malam sampai pagi menjelang subuh, yakni kira-kira pukul lima pagi. Tempat persembahan, biasanya, di lapangan terbuka atau di pentas yang dibuat khusus untuk persembahan. Tradisi ronggeng ini dipertunjukkan dalam acara perhelatan nikah kawin atau dalam acara peringatan keagamaan Islam, seperti pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Pantun merupakan unsur utama atau unsur inti dalam tradisi ronggeng Pasaman. Jenis pantun yang dibawakan adalah pantun muda-mudi, dan dinyanyikan mengikuti irama lagu, seperti lagu Cerai Kasih, Kaparinyo, Buah Sempaya, Tari Payung, Mainang, Alah Sayang, Sinambang, dan Si Kambang Baruih. Dari beberapa irama lagu tersebut, irama lagu Kaparinyo lebih dominan dipakai di Simpang Empat, sedangkan irama lagu Cerai Kasih lebih dominan digunakan di Simpang Tonang. Pantun-pantun yang didendangkan mengikuti irama-irama lagu tersebut, dinyanyikan oleh seorang ronggeng dan penampil pria, sambil menari secara bergantian. Gerak tari yang mereka tarikan sesuai pula dengan irama lagu yang dinyanyikan. Pantun-pantun dinyanyikan dalam bahasa Minangkabau dialek Pasaman (di Simpang Empat) dan dalam bahasa campuran antara bahasa Minangkabau dengan bahasa Mandailing (di Simpang Tonang). Perbedaan dalam pemakaian bahasa ini sangat dimungkinkan oleh letak daerah Simpang Tonang lebih dekat ke perbatasan Sumatera Utara. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering memakai bahasa Batak (Mandailing) dari bahasa Minangkabau dialek Pasaman. Dari irama lagu dan bahasa yang dipergunakan dalam tradisi ronggeng Pasaman ini, dapat dikatakan bahwa genre seni ini merupakan salah satu contoh seni tradisi yang ada di daerah perbatasan, yang lahir
Bab VI: Struktur Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas
dan hadir di tengah-tengah masyarakat dari dua etnik yang berbeda. Kedua bentuk ini pula yang dikatakan sebagai kenyataan-kenyataan yang dikondisikan oleh percampuran masyarakat dari etnik yang berbeda, yang terefleksikan dalam salah satu seni tradisi masyarakatnya. Pemain dalam pertunjukan ronggeng Pasaman dapat dibagi tiga, yaitu penampil ronggeng yaitu lelaki yang berpenampilan peremuan (travesti), penampil pria, dan pemain musik. Ketiga bagian itu, meliputi: satu orang penampil ronggeng, tiga orang atau lebih penampil pria, dan lima orang pemain musik. Ronggeng merupakan unsur yang terpenting di antara dua unsur lainnya. Hal itu disebabkan oleh penampil pria dapat berasal dari penonton dan pemain musik dapat dilakukan oleh banyak orang. Artinya, penampil pria dan pemain musik dapat dilakoni oleh banyak orang. Akan tetapi, tidak semua orang (pria) dapat bermain sebagai ronggeng, karena peran itu memerlukan kemahiran dan keahlian dalam berpantun. Selain itu, tidak semua orang (pria) bersedia dan berkenan memakai pakaian dan berdandan seperti wanita. Seorang ronggeng haruslah seorang laki-laki yang pandai dan ahli dalam berpantun serta harus berpenampilan dan berdandan seperti wanita. Oleh karena itu, maka masyarakat pendukungnya ada yang mengatakan, bahwa makna kata ronggeng itu adalah seseorang yang juara pantun. Seorang juara pantun berarti seorang yang ahli dalam berpantun. Keahlian berpantun itu harus dimiliki oleh seorang ronggeng dan pantunpantun yang didendangkan dalam pertunjukan tidak dipersiapkan dari rumah, tetapi diciptakan dan digubah berdasarkan kondisi yang muncul di arena pertunjukan, yang sebelumnya telah diserap di dalam memorinya. Di samping itu, seorang ronggeng juga mempunyai pamaga diri (pemagar diri). Artinya seorang ronggeng itu juga memiliki ilmu kebatinan, untuk dapat tampil dengan baik, tanpa gangguan. Agar tidak ditungkek (ditongkat) orang lain. Atau berguna untuk mencegah terjadinya korek api panungkek lidah (korek api penopang lidah), yaitu gangguan yang diciptakan oleh seseorang secara ilmu kebatinan yang menyebahkan suara ronggeng menjadi hilang dan tidak keluar. Akibatnya ronggeng tidak dapat berdendang dengan baik dan pertunjukan tidak dapat dilanjutkan. Berbeda dengan ronggeng, biasanya, penampil pria berasal dari kalangan penonton. Artinya, siapa saja dapat menjadi penampil pria dalam tradisi ini. Namun, kemampuan berpantun penampil pria ini tidak harus seperti yang dipunyai oleh seorang ronggeng. Penampil pria ini dapat bertanya dan berdiskusi dengan penampil lainnya, ketika mendapat kesulitan dalam membalas atau menjawab pantun yang didendangkan oleh ronggeng. Atau, ketika sudah tidak dapat lagi mencipta dan
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
mengubah pantun yang akan didendangkan kepada ronggeng, mereka dapat bertanya kepada penonton yang lain. Penonton boleh membisiki mereka untuk membalas pantun-pantun ronggeng. Para penampil pria ini boleh berhenti dan menjadi penonton biasa kembali, lalu digantikan oleh penonton lain. Jumlah penampil pria paling sedikit tiga orang. Satu di antaranya, berpantun dan berjoget dengan ronggeng secara bergantian, sedangkan dua penampil yang lain hanya berjoget, secara bergantian pula. Penampil pria yang sedang menari berpasangan dengan ronggeng berkewajiban membalas pantun-pantun yang didendangkan oleh ronggeng tadi. Pantun-pantun yang didendangkan itu bersifat bebas dan lepas, tidak membentuk suatu kesatuan cerita. Tergantung pada situasi dan kondisi yang ada di dalam arena pertunjukan. Pemain musik dalam tradisi ronggeng Pasaman sedikitnya terdiri atas lima orang: satu orang menggesek biola, dua orang memetik gitar, satu orang memukul rebana, dan satu orang lagi memainkan tamburin. Mereka bermain bersama mengiringi ronggeng dan penampil pria mendendangkan pantun-pantun yang dilagukan. Dalam persembahan, para penampil beristirahat beberapa kali. Jumlah berapa kali mereka beristirahat tidak ditentuksan, tetapi tergantung pada kondisi suara masing-masing. Biasanya, setiap kali sesudah istirahat terjadi pertukaran irama lagu. Pertukaran irama lagu ini dapat pula berganti atas permintaan para penonton. Pertukaran itu diminta agar pertunjukan tidak monoton, dan mereka tetap bersemangat mengikutinya sampai berakhir. Ronggeng memakai baju kebaya atau baju kurung, dengan selendang diselempangkan di badan atau dikerudungkan di kepala. Penari pria memakai baju biasa (pakaian sehari-hari) dan kadangkala memakai selendang yang dililitkan di leher, terutama di Simpang Empat. Begitu pula dengan pemain musik, mereka memakai pakaian sehari-hari. Sejak dikenalnya tradisi ronggeng Pasaman, yang diperkirakan pertama kali dibawa oleh para pekerja yang berasal dari Jawa di kebunkebun karet di Pasaman, ada dua pandangan terhadap tradisi ronggeng ini. Pertama, pandangan dari kaum tua, khususnya dari kalangan ahli agama yang menganggap bahwa tradisi ronggeng ini tidak sesuai dengan Islam. Anggapan itu terutama disebabkan oleh adanya penampil pria yang berdandan menyerupai wanita. Namun begitu, kalangan tua tidak sampai melarang tradisi ini dipertunjukkan, dengan syarat tidak dekat lokasi mesjid, mushala, atau surau. Kedua, pandangan kaum muda yang menganggap bahwa tradisi ini hanyalah sebuah dunia hiburan. Oleh karena itu, adanya seniman wanita (ronggeng) yang diperankan oleh pria yang berdandan menyerupai wanita bukanlah sesuatu yang salah.
Bab VI: Struktur Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas
3.2.5 Jambi Pada awalnya puak Melayu tidak mengenal istilah tari tetapi yang dikenal adalah istilah tandak, dalam majlis keramaian di kampung mereka biasanya akan bertandak. Lama-lama istilah tandak menghilang diganti oleh istilah tari. Ha ini juga terjadi pada puak-puak Melayu di kepulauan Nusantara lainnya, misalnya ronggeng di Deli, Betawi dan Pasundan, tayub dan joged di Jawa dan Bali, lenso di Maluku dan Manado (Sulawesi Utara). Khusus ragam tari Melayu, baik di Sumatera, Kalimantan maupun Semenanjung, termasuk di Jambi dikenal istilah rentak yang terdiri atas: (a) rentak zapin, (b) rentak senandung/asli, (c) rentak mak inang/inang, (d) rentak dua/joged, (e) rentak Cik Minah Sayang, dan (f) rentak pulau sari. Tiap rentak mempunyai karakteristik khusus dan latarbelakang yang unik pula. Zapin berasal dari Hadramaut di Jazirah Arab. Sampai di Kepulauan Melayu Nusantara melalui dua route perdagangan yaitu Hadramaut dan lainnya dari Gujarat, India. Sekitar abad ke-13 dan 14, Zapin dikenalkan kepada pribumi oleh para pedagang dan juru dakwah Arab dan India yang tampaknya juga memboyong sekalian para artis dan musisi langsung dari tanah asal mereka. Zapin pada perkembangannya kemudian berasimilasi dengan budaya Melayu pribumi dikenal sebagai zapin Arab (zafin). Bentuk adaptasi dari tarian ini dengan memasukkan warna setempat kemudian juga muncul dan selanjutnya dikenal sebagai Zapin Melayu (Zapin/Jepin/Jepen). Istilah zapin berasal dari bahasa Arab al-zafn yang artinya langkah tari. Yang memang jenis tarian ini banyak bertumpu pada variasi loncatan gerak kaki. Contoh rentak zapin adalah Zapin Tempurung dan Zapin Kipas. Sementara itu di Jambi dijumpai juga seni joget Melayu yang menggunakan rentak asli, inang, dan joget. Selain rentak Zapin yang berasal dari Arab, tarian Melayu juga dipengaruhi budaya lain seperti Portugis, Spanyol, India maupun unsur-unsur budaya daerah-daerah Nusantara lainnya. Rentak senandung bercirikan gerak gemulai dan lenggok lembutnya. Tarian Melayu yang anggun ini biasanya ditampilkan bagi putri raja dengan iringan musik yang mendayu-dayu dengan isi pantun yang mengiba-iba yang befrtema asmara atau kesedihan. Istilah asli bermakna ekspresi yang dalam. Contoh rentak asli adalah Tari Persembahan (Makan Sirih). Rentak inang berhubungan dengan gerak-gerik pengasuh putri-putra raja atau inang. Awalan mak maksudnya adalah panggilan mak terhadap inang pengasuh. Gerakan rentak mak inang agak lebih cepat dibanding rentak asli. Adakalanya cukup bertenaga untuk menggambarkan gerakan
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
lucu yang menghibur. Contoh rentak inang adalah Tari Inang Pulau Kampai, Inang Melayu dan Inang Kahyangan. Rentak joget adalah rentak yang paling banyak digunakan untuk bergoyang, hidup, dan ceria. Istilah lagu dua menggam-barkan interaksi 2 orang (lawan jenis) dalam suasana keriangan. Contoh jenis tarian ini di Jambi adalah Joged Batanghari dan Joged Selampit Delapan. Tarian joget Jambi ini sama dengan joget Dunia Melayu yang melibatkan ronggeng yang dibayar dengan karcis untuk menari bersama mitra prianya dari kalangan penonton. Fungsi hiburan mendapatkan peran utama dalam konteks sosialnya.
3.2.6 Kalimantan Seni sejenis ronggeng di Banjarmasin berdasarkan fakta-fakta sejarah diperkirakan berasal dari Jawa—terutama terjadi ketika orangorang Banjarmasin ini telah menganut agama Islam. Keterangan yang bisa dikumpulkan hanyalah tentang sebutan ronggeng di daerah ini yaitu gandot. Cara penampilannya hampir sama dengan cara penampian ronggeng Melayu Sumatera Utara (Halewijn, 1838:12-15). Ronggeng yang terdapat di Kalimantan ini biasanya melibatkan penari ronggeng yang dibayar melalui tiket atau karcis untuk menari bersama mitra prianya yang berasal dari penonton. Adapun lagu-lagu dan tari yang ditampilkan secara mum adalah sama dengan tarian dan nyanyian joget rumpu Melayu terutama di Semananjung Malaysia dan pulau Sumatera. Ronggeng kadang disebut juga dengan sebutan galuh artinya gadis atau perempuan. Ronggeng yang terdapat di Kalimantan ini mencakup wilayah Kalimantan Indonesia, sepereti Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Juga Kalimantan yaang menjadi wilayah Malaysia, yaotu Sabah dan Sarawak. Selain itu negara Brunai Darussalam juga secara kultural dan historis memilkiki hubungan dengan budaya-budaya etnik di Kalimantan. Ronggeng dan sejenisnya ini terdapat di dalam kebudayaan etnik Melayu, Banjar, dan juga etniketnik seperti Iban, Kadazan, Dusun, Muruts, Melanau, Orang Ulu, dan lain-lainnya.
3.2.7 Sulawesi Kemudian di Sulawesi seni sejenis ronggeng ini disebut dengan pajoge. Pada awalnya seni pajoge selalu dipertunjukkan di istana-istana atau rumah besar. Para pajoge biasanya terdiri dari golongan masyarakat
Bab VI: Struktur Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas
bukan bangsawan. Pada masa kini hanya dijumpai di daerah pedesaan di Sulawesi Selatan. Penyanyi pajoge menyanyikan lagu secara tunggal, tidak berbalas pantun, khusus ditujukan untuk seorang pria pengunjung. Kemudian penari dan penyanyi wanita tadi memilih seorang pria di antara pengunjung untuk menemaninya menari, dengan cara melambaikan daun sirih ke arah pengunjung itu (Soedarsono, 1974:222223). Tema perempuan seakan tak akan pernah habis untuk digali. Di satu sisi, perempuan dipercaya memiliki peran penting di balik kekuatan lelaki. Dari sisi lain, sukses lelaki dipercaya ada di balik punggung wanita. Di balik kelembutan, perempuan menyimpan kekuatan, dan di balik kekuatan sebenarnya ia adalah makhluk yang lembut. Katanya, wanita sulit untuk dimengerti, tetapi harus tetap dimengerti. Dalam keluarga Bugis, perempuan memegang kunci besar. Dia adalah penyeimbang dalam sebuah roda besar kehidupan keluarga. Di sini peran perempuan sebagai pemegang kendali cukup dominan. Kekuatan dan kelembutan perempuan itu dapat dilihat dari tari Ma’lino. Tarian Ma’lino diringi oleh ensambel musik tiga gendang barel dua sisi, satu tambur, serunai, dan vokal. Selain itu di Sulawesi ini dijumpai tarian sosial pergaulan yang disebut dengan an Tari Pajoge Mancenning, tari klasik dari Kerajaan Bone, yang mengambarkan kecantikan perempuan Bugis yang terpancar dari wajah, sikap, dan perilakunya.
3.2.8 Semenanjung Malaysia dan Selatan Thai Di Semenanjung Malaysia, joget dijumapi merata hampir di semua kawasan. Institusi joget telah pun ada sejak adanya masyaraka Melayu di Semenanjung Malaysia. Joget merupakan tarian sosial dan tari pergaulan di antara pemuda dan pemudi di kalangan masyarakat Melayu Semenanjung Malaysia. Contoh yang paling jelas adalah joget Melaka dan joget gamelan di istana Terengganu. Kemudian sejak periode penjajahan Portugis tari joget berakulturasi dengan tarian branyo atau branle. Sejak tahun 1930-an muncul perkembangan tari hiburan di kota-kota di Semenanjung Malaysia, seperti yang terjadi di Singapura, Pulaupinang, Kuala Lumpur, dan Ipoh. Dalam hiburan-hiburan yang diselenggarakan di kota-kota ini, tari-tarian rakyat Melayu dieksploitasi menjadi tari yang berbasis komersial. Berbeda dengan tarian yang terdapat dalam teater bangsawan, maka dalam konteks bisnis hiburan ini, tari-tarian rakyat Melayu sangat melibatkan penontonnya untuk turut serta menari. Para penonton membeli tiket untuk berjoget bersama-sama dengan penari
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
joget. Periode tahun 1930-an ini memberikan corak yang baru dalam seni pertunjukan Melayu di Semenanjung Malaya. Tempat-tempat hiburan yang awal didirikan di Singapura di tahun 1930-an, seperti Happy World, the Great World dan New World, yang umumnya didanai oleh para pengusaha China dari Singapura. Dunia hiburan baru ini terdiri dari tempat jualan makanan, panggung bangsawan, opera China, film, pertunjukan sulap, tempat perjudian, kabaret, dan tak lupa pentas joget. Pertunjukan bisnis ini mendapatkan tempat di dalam budaya masyarakat Singapura dan Semenanjung Malaya. Sukses yang dialami oleh tiga tempat hiburan di Singapura, mengakibatkan didirikannya pula tempat-tempat hiburan sejenis yang melibatkan joget di Semenanjung Malaya. Di Pulaupinang didirikan tempat hiburan ini yaitu The Fun and Frolic Amusement Park, the Wembley dan New World. Di Kuala Lumpur berdiri tempat hiburan yang bernama Great Eastern Limited, Hollywood Park, dan Bukit Bintang Park. Sementara Melaka memiliki tempat hiburan the City Park. Ipoh pula memiliki Grand Jublee Park (Mohd Anis Md Noor, 1994). Bagaimana eksistensi dan bentuk pertujukan joget di Semenanjung Malaysia dan Singapura ini dideskripsikan secara lugas oleh Mohd Anis Md Noor sebagai berikut. Taxi dancers of the cabarets were known as penari kabaret (kabaret dancers) while those of the Pentas Joget (Joget dance stages) were known as penari Ronggeng (Ronggeng dancers). The taxi dancers of both the cabarets and the Pentas Joget were paid fixed monthly salaries by the respective owners, known as the taukeh. The dancers als received a certain percentage from the sale of each dance coupon purchased by the patrondacer. The popularity of each dances on stage was cruial in the determining the amount of money that she would eventually great from each night’s performances. The taxi dancer began dancing at around 6 p.m. in the evening and the dancing continued until 8 p.m. After resting for one hour, the taxi dancers would resume dancing from 9 p.m. to about midnight. Only on special occasion would the dancers dance until 1 a.m. or 2 a.m. in the morning. Saturday nights and the eve of public holidays were treated as special evenings where hours were ended until 2 a.m. in the morning. They received some days off and were allowed to rest during the day. Breakfasts and dinners were provided by the taukehs while lunches were purchased by the dancers themselves. The dancers were also responsible for their own cosmetics an dresses (Moh Anis Md Noor, 1994:139)
Seperti uraian di atas bahwa joget berkait rapat dengan pertunjukan yang melibatkan bisnis hiburan. Joget memiliki pengertian genre tarian, yang juga melibatkan penari yang disewa untuk menari yang disebut ronggeng. Mereka memiliki masa bertugas untuk menari layaknya seorang pegawai atau buruh di sebuah perusahaan. Adapun kegiatan berjoget ini rata-rata dilakukan malam hari dengan variasi-variasi yang
Bab VI: Struktur Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas
berbeda. Khususnya Sabtu malam atau malam minggu dilakukan sampai pukul dua pagi hari. Menurut Muhammad Suhaimi Ismail Awae (2007:31) di Selatan Thailand, terdapat kesenian-kesenian Melayu seperti: dikir hulu, wayang kulit, seni lakon Pattani, tarian asyik, makyung, sastera dan tarian ronggeng. Menurutnya tarian ronggeng adalah salah satu jenis tarian yang mendapat tempat di kalangan masyarakat setempat pada masa sekarang ini. Tarian ini dilakukan sebagai simbol mewakili pengamal budaya Melayu. Kesenian ini begitu ditonjolkan oleh masyarakat Melayu di Selatan Thai untuk menghempang arus seni sekuler Barat, yang tidak disetujui oleh ajaran agama Islam, karena dilibatkan percampuran fisik antara lelaki dan perempan yang bukan muhrim. Sementara dalam seni ronggeng telah mengambil kira ajaran agama, dan musik serta tarinya memang tumbuh secara alamiah dalam kebudayaan Melayu Selatan Thai.
3.2.9 Sumatera Utara Di Sumatera Utara, kesenian ronggeng dan sejenisnya terdapt dalam kebudayaan masyarakat Melayu, Karo, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola dan Pesisir (Barat Tapanuli Tengah dan Sibolga). Dalam kebudayaan Melayu lebih lazim disebut dengan ronggeng Melayu, yang konsep dan terapannya memiliki akar yang sama dengan joget pada umumnya di Dunia Melayu. Sementara di Karo disebut dengan guroguro aron atau perkolong-kolong, yang tampaknya adalah tradisi warisan masyarakat Karo yang belum banyak dipengaruhi budaya luar. Di dalam masyarakat Simalungun terdapat moning-moning yang merupakan hasil akulturasi antara budaya Simalungun dan Melayu. Di dalam kebudayaan etnik Batak Toba seni sejenis joget disebut dengan tortor naposo, yang umumnya melibatkan tarian antara pemuda dan pemudi yang diawasi oleh kaum tua. Begitu juga di daerah Mandailing-Angkola seni sejenis joget disebut dengan dengan tortor naposo bulung atau tortor nauli bulung. Sama dengan kasus ronggeng di Jawa, hanya sedikit saja sumbersumber berbahasa Belanda dan Inggris [menurut penulis juga Portugis] yang tersedia untuk dapat dijadikan dasar hipotesis tentang sejarah bentuk seni ini dalam kebudayaan Melayu Sumatera Utara, seperti yang dikemukakannya sebagai berikut. In the few of little available source material on which to recontruct the background and history of North Sumatran east coast ronggeng, it is necessary to trace its history and significantce in these other areas, especially Java, about which a relatively large amount is known. Even in the case of Java, however, only few old Dutch and English sources
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
available on which to base hypotheses about the history of this art form (Goldsworthy, 1979:365)
Dalam kebudayaan Melayu di Sumatera Utara, ronggeng Melayu merupakan tarian sosial dan hiburan yang persembahan utamanya adalah ronggeng yang menari dan bernyanyi bersama pengunjung laki-laki yang berasal dari penonton. Penari laki-laki ini menyanyi dan berbalas pantun dengan ronggeng, yang biasanya menggunakan pantun-pantun. Penari laki-laki memba-yar tiket atau kupon kepada panitia pertunjukan. Satu kali pertunjukan biasanya terdiri dari dua lagu. Lagu pertama bertempo relatif lambat seperti irama senandung, dan pecahan lagu boleh saja inang atau joget (lagu dua). Kesenian ronggeng Melayu adalah kesenian yang sangat populer dalam konteks Sumatera Utara. Seni ronggeng Melayu ini meggunakan ensambel musik yang biasanya terdiri dari: satu akordion, sebuah biola, dua gendang ronggeng (satu induk dan satu peningkah), kadang disertai satu tetawak. Dalam perkem-bangan selanjutnya terutama sejak tahun 1970-an ensambel ronggeng dikembangkan menjadi ensambel joget modern yang menggunakan alat-alat musik Eropa seperti: drum set, saksofon, klarinet, akordion, biola, gitar bass elektrik, gitar melodi atau ritme. Perbedaan antara ronggeng dan joget di Sumatera Utara, ronggeng lebih tradisional dan ronggeng harus mampu menyanyi dan menari dan menggunakan teks-teks pantun. Sementara joget dipandang lebih modern dan lebih dipegaruhi kebudayaan Barat terutama budaya musik dan tari Barat di dekade 1970-an hingga kini. Penari perempuan joget tidak harus menyanyi tetapi cukup hanya menemani menari penari prianya sambil diiringi musik instrumental. Dalam konteks sejarah di Sumatera Utara, ronggeng Melayu mengadopsi berbagai lagu dan tari etnik yang ada di Sumatera Utara. Misalnya dari etnik Melayu Banjar digunakan lagu Paris Berantai, dari Jawa digunakan lagu Kembang Kates, dari Sunda digunakan lagu Es Lilin, dari Minangkabau digunakan lagu Haji Lahore, dari etnik Batak Toba digunakan lagu Raja Doli, dari etnik Karo digunakan lagu Piso Surit dan Biring Manggis, dan lain-lainnya. Sumatera Utara pernah menghasilkan ronggeng-ronggeng ternama, seperti Galuh Hamid (Gamit), Galuh Dinar, Nurjannah, Nafsiah, Senang, Evi, Sumarni, dan lain-lainnya, yang berasal dari berbagai etnik. Berdasarkan penelitian penulis, di daerah Karo Sumatera Utara, keberadan seni sejenis ronggeng ini disebut dengan istilah perkolongkolong, yang berasal dari kata keleng-keleng yang berarti ketawa atau cinta. Seni ini terdiri dari seorang penari wanita dan seorang penari pria. Diiringi seperangkat alat musik yang disebut dengan gendang lima sendalanen, yang terdiri dari: satu sarune, dua buah gendang yang disebut gendang singanaki dan singindungi, serta dua gung (gong) yang
Bab VI: Struktur Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas
disebut gung dan penganak. Perkolong-kolong ini biasanya disajikan pada perayaan atau pesta panen. Seputar dekade 1970-an hingga kini dari seni perkolong-kolong ini timbul pula seni baru yang disajikan pada setiap pesta panen tahunan, khususnya penarinya adalah muda-mudi yang belum menikah, sebagai sarana mencari jodoh. Seni derivat ini disebut dengan guro-guro aron. Di daerah Simalungun Sumatera Utara terdapat seni sejenis ronggeng yang disebut moning-moning. Menurut Setia Dermawan Purba timbulnya kesenian ini tak lepas dari interaksi budaya Melayu Sumatera Timur dengan Simalungun. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), daerah Deli, Serdang, dan Simalungun masuk ke dalam wilayah Sumatera Timur. Pada saat ini orang-orang Simalungun melihat kesenian-kesenian ronggeng di kawasan Deli dan Serdang. Akhirnya setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 27 Desember 1949, orang-orang Simalungun membentuk moning-moning. Daerah yang terkenal dengan moning-moningnya adalah: Galang, Bangun Purba, Kotarih, dan Bandar Kuala. Yang paling terkenal adalah moning-moning dari Bandar Kuala pimpinan Ragait Saragih. Kelompok seni pertunjukan moning-moning ini mirip seperti ronggeng Melayu. Alat-alat musik yang dipergunakan adalah ensambel yang disebut dengan gonrang sidua-dua, yang terdiri dari: satu buah sarunei ponggol-ponggol (serunai), dua buah gendang berbentuk barel dua sisi, satu buah mongmongan (gong kecil dengan diameter sekitar 20 cm), satu buah ogung (gong besar dengan diameter sekitar 70 cm), dan satu biola. Lagu yang dibawakan adalah nyanyian rakyat Simalungun dan tari yang dibawakan adalah tari rakyat Simalungun (Setia Dermawan Purba, 1994:180-186). Di dalam kebudayaan Batak Toba, terdapat sebuah institusi musik dan tarian sosial antara muda-mudi yang disebut dengan tortor naposo. Tortor adalah tari tradisional Batak Toba, yang dibentuk berasaskan nilainilai filsafat Batak Toba. Naposo adalah golongan pemuda dan pemudi, terutama mereka yang belum kawin. Tortor naposo ini fungsi utamanya adalah untuk kesinambungan generasi, yang gunanya adalah untuk sarana bertemunya antara jejaka dan dara, yang diabsahkan secara adat. Para pemuda dan pemudi menari diiringi ensambel musik gondang sabangunan yang terdiri dari satu set gendang taganing (drum chime), satu gordang, satu sarune (shawm), sebuah hesek (pembawa ketukan dasar yang terbuat dari besi atau botol yang dipukul dengan besi), dan gong (suspended and handling gong), yang terdiri dari oloan, ihutan panggora, dan doal. Di dalam kebudayaan Mandailing-Angkola seni sejenis ronggeng disebut dengan tortor naposo atau tortor nauli bulung. Tortor naposo ini adalah berupa tarian antara jejaka dan dara, yang guna utamanya adalah mencari jodoh. Di samping itu terdapat pula tradisi marhusip, yaitu
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
tradisi bersenda gurau dengan pujaan hati yang dipisahkan oleh dinding rumah. Mereka berbisik-bisik disertai dengan tiupan uyup-uyup yaitu alat musik aerofon yang terbuat dari bambu (buluh). Tortor nauli bulung pula hanya dilakukan oleh para gadis di sebuah perhelatan. Tortor ini diiringi ensambel musik gondang dua yang terdiri dai alat-alat musik: dua gondang yang berbentuk barel dua sisi, sebuah sarune, tiga gong berpencu kecil yang disebut mongmongan dengan nama-nama: pamolusi, panduai, dan panigai, serta gong (jantan dan dada boru). Di kawasan pesisir barat Sumatera Utara, masyarakat rumpun Melayu, yan disebut Pesisir mempunyai sejenis tarian ronggeng yang disebut dengan gamat. Genre gamat ini tersebar di kawasan Pesisir Barat pula Sumatera, termasuk di kawasan Minangkabau, Sumatera Utara, sampai Singkil Nangroe Acheh Darussalam. Di kawasan ini gamat ditarikan oleh lelaki yang berpakaian seperti wanita, dalam ilmu etnokoreologi disebut travesti. Kemudian diiringi oleh ensambel gamat, yang terdiri dari akordion, biola, gendang sikambang (frame drum) dan gendang batapik (gendang berbentuk barel dua sisi) atau kadang gendang dol (gendang berbentuk silindris dua sisi). Fungsi utamanya juga adalah untuk hiburan. Seperti terurai di atas, maka seni pertunjukan ronggeng dan sejenisnya adalah sebuah fenomena umum yang dijumpai hampir di semua tempat di Nusantara ini. Penting terus dilakukan penelitian dan dokumentasi terhadap kesenian ini. Mengapa ronggeng dan sejenisnya tumbuh dan berkembang di Nusantara, menurut penulis adalah faktor fungsinya dalam kebudayaan. Bahwa masyarakat Nusantara ini sejak awal telah memiliki dan membutuhkan seni hiburan tarian dan musik sebagai sarana pergaulan. Kemudian dengan masuknya agama Islam kesenian ini dipolarisasikan sesuai ajaran Islam. Ada yang tetap menyajikan seni ini dengan menyajikan penari ronggeng wanita dan peserta dari pengunjung. Ada pula yang menggantikan peran wanita diperankan oleh laki-laki (travesti). Namun bagaimanapun, kesenian ini tumbuh dan berkembang sebagai bahagian dari identitas budaya masyarakat Nusantara, dan menjadi fenomena yang umum.
Bab VII. Hubungan Tari dan Musik
BAB VII
HUBUNGAN TARI DAN MUSIK 7.1 Pengenalan Hubungan antara musik dan tari dalam seni ronggeng dan Serampang Dua Belas sangatlah penting dalam konteks membentuk bangunan pertunjukan yang utuh dan alamiah. Hubungan ini berupa sama-sama mengacu pada dimensi waktu yang sama, dan juga didukung oleh dimensi ruang dan tenaga, yang mencirikan gaya musik dan tarinya. Dimensi waktu disusun lagi oleh satuan-satuan lebih kecil seperti pulsa, ketukan dasar, durasi, tempo, metrik, densitas, hitungan, dan lain-lainnya. Selanjutnya dimensi ruang itu dalam musik disusun oleh: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, pola-pola kadensa, kontur, harmoni, progresi akord, tekstur, dan lain-lainnya. Sementara dimemsi ruang dalam tari di antaranya adalah komposisi, gerak, motif gerak, frase gerak, pola lantai, garis edar, dan aspek-aspek sejenis lainnya. Namun demikian, ada perbedaan komunikasi antara ronggeng Melayu dan Serampang Dua Belas. Umumnya dalam ronggeng Melayu pertunjukannya didukung oleh komunikasi verbal (musik vokal atau nyanyian) dan bukan verbal, seperti: melodi, ritme, harmoni, dan lainnya. Sementara tari Serampang Dua Belas, mengutamakan komunikasi bukan verbal, terutama melalui gerak tarian yang sangat syarat dengan maknamakna kebudayaan. Namun keduanya memiliki hubungan sejarah dan struktural. Oleh karena itu, hubungan tari dan musik ini akan dikaji satu demi satu, yaitu dari ronggeng kemudian ke Serampang Dua Belas. 7.2 Ronggeng Tari, musik, dan teks (lirik) dalam seni pertunjukan ronggeng Melayu memiliki kaitan yang erat. Ketiga-tiga unsur ini harus dipertunjukkan dalam setiap aktivitas ronggeng Melayu. Setiap seniman atau penonton yang ikut aktif tampil dalam pertunjukan ronggeng Melayu, harus tahu kapan masuknya, musik, tari, dan teks. 7.2.1 Waktu Masuk Biasanya yang masuk terlebih dahulu adalah alat-alat musik pembawa melodi. Kemudian dilanjutkan kepada alat-alat musik pembawa
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
ritme. Setelah itu, diikuti oleh tari, dan kemudian musik vokal (nyanyian). Untuk vokal yang bersahut-sahutan, biasanya didahului oleh vokal ronggeng bari diikuti vokal pria mitranya. Selepas saja menyajikan dua atau tiga pantun, pertunjukan berhenti, dan dilanjutkan pada pertunjukan berikutnya. 7.2.2 Siklus Siklus tari, musik, dan teks juga mempunyai hubungan. Untuk irama senandung, siklus ritme tari, pola gendang ronggeng, dan gong sma-sama membutuhkan delapan ketukan dasar. Melodi musiknya juga merupakan kelipatan dari hitungan delapan. Untuk irama mak inang, siklus frase tari, pola rentak gendang, dan gong sama-sama membutuhkan empat ketukan dasar. Melodi musiknya juga kelipatan dari hitungan empat. Untuk irama lagu dua siklus frase tari, pola gendang, dan gong samasama membutuhkan enam pulsa dasar atau biasa dibagi ke dalam dua ketukan dasar. Melodi musiknya juga kelipatan dari hitungan enam. Kadang-kadang gerakan tari memberi perlawanan secara poliritme terhadap irama musiknya. Hubungan antara musik dan tari dalam ronggeng Melayu dapat dilihat pada tabel dan notasi berikut ini. Bagan 7.1 Hubungan Antara Musik dan Tari dalam Seni Ronggeng Melayu
Bab VII. Hubungan Tari dan Musik
Bagan di atas menunjukkan kepada kita bahwa dalam pertunjukan ronggeng Melayu, terjadi integrasi antara musik (termasuk vokal) dan tariannya. Awal kali adalah masuknya alat-alat musik pembawa melodi, kemudian diikuti oleh alat-alat musik pembawa rentak. Seterusnya mausklah tari, dengan menggunakan dimensi waktu, ruang, dan tenaga. Barulah masuk nyanyian. Kesemuanya secara kontinu mengisi dimensi dan waktu secara bersama-sama. Bentuk melodi ada yang orientasinya unisono dan monofoni, namun norma pertunjukan musik ronggeng yang paling umum adalah heterofonis. Secara struktural aspek melodis disusun oleh motif, frase, dan bentuk melodi. Rentaknya disusun oleh meter, ritme (motif fan pola ritme), aksentuasi, dan lainnya. Sementara tari dibentuk oleh periode, frase, dan motif. Yang paling penting adalah bahwa dasar dari pertunjukan ronggeng Melayu ini adalah berdasar pada nilai-nilai universal kebudayaan, yang memadukan unsur seni tradisi Melayu, Nusantara, dan dunia. Dalam pertunjukannya, ada karakteristik khas dalam seni ronggeng Melayu. Awal pertunjukan biasanya dimulai dengan “basmallah lagu” yaitu pertunjukan tiga lagu: Gunung Sayang-Serampang Laut-Pulau Sari. Inilah yang biasa memulai pertunjukan ronggeng. Seterusnya adalah pertunjukan antara ronggeng (perempuan) dan penari dan sekaligus menyanyi atau menari saja, biasanya para lelaki dari kalangan penonton. Penonton ini membeli karcis dengan harga tertentu untuk dapat menari bersama ronggeng. Satu pertunjukan terdiri dari satu pasangan lagu (seperti pertunjukan branyo Portugis), yaitu dari lagu dan tari bertempo lambat ke yang cepat. Lagu dan tari kedua ini disebut sebagai pecahan lagu dan tari pertama. Demikian terus menerus dilakukan pertunjukan ini. Kadangkala disertai dengan pelawak pula. Di akhir pertunjukan biasanya dilakukan tarian bersama, terbuka kepada siapa saja, dan kemudian diakhir lagu Gelang Sipaku Gelang. Sebagai repertoar utama pertunjukan ronggeng adalah didasari pada tiga rentak utama, dan terbuka kepada semua jenis rentak baik itu dari tradisi pertunjukan Melayu, Nusantara, dan dunia. Berikut ini dikaji hubungan musik dan tari dalam tiga rentak utama tersebut, yaitu: (1) repertoar Kuala Deli dalam rentak senandung, (2) repertoar Mak Inang Pulau Kampai dalam rentak mak inang, dan (3) repertoar Tanjung Katung dalam rentak lagu dua.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Notasi 7.1 Hubungan Musik dan Tari dalam Repertoar Kuala Deli dalam Rentak Senandung
Bab VII. Hubungan Tari dan Musik
Pada Notasi 6.1 di atas, tampaklah bahwa yang pertama kali masuk secara serentak adalah akordion dan biola yang menyajikan melodi yang sama namun dengan variasinya masing-masing. Pada birama kedua, masuklah gendang induk dan anak, dan tetawak. Pada birama ketiga masuklah nyanyian (musik vokal) yang dinyanyikan dengan berdasar kepada pantun Melayu. Pada birama kedelapan, masuklah tarian yang ditarikan ronggeng dan pengunjung yang menari berpasangan dengan ronggeng. Demikian seterusnya pertunjukan dalam repertoar ini sampai selesai. Hubungan yang dapat dilihat dari pertunjukan ini seperti yang terdeskripsikan dalam notasi musik dan tari di atas adalah. Siklus musik dan tari adalah singkron dalam hitungan delapan dalam satu siklus. Namun demikian dalam konteks makro, musik dan tari ini dapat dikatakan berdasar pada meter empat, melihat aspek melodi, ritme, dan tarinya. Yang penting untuk diketahui adalah perspektif hitungan dalam tari dan musik Melayu, jatuhnya pukulan gong itu dipandang sebagai ketukan akhir yaitu delapan. Sementara dalam konsep musik dan tari dalam hitungan versi budaya Barat, gong ini adalah ketukan awal. Tekstur musik secara umum adalah heherofonis. Tekstur ini dibentuk oleh alat-alat musik pembawa melodi, yaitu: akordion, biola, dan bersama dengan vokal yang juga orientasinya melodis. Namun demikian, tidak jarang pula sesekali pemain akordion menggunakan unsur-unsur harmonis dalam musik. Demikian kira-kira kajian terhadap hubungan tari dan musik dalam repertoar pertunjukan tari dan musik rentak senandung ini. Selanjutnya kita lihat pula hubungan musik dan tari dalam repertoar Mak Inang Pulau Kampai dalam rentak mak inang, seperti tabel dan analisis berikut.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Notasi 7.2 Hubungan Musik dan Tari dalam Repertoar Mak Inang Pulau Kampai dalam Rentak Mak Inang
Seperti dapat dilihat pada Notasi 7.2 di atas, jelaslah bahwa pada repertoar lagu Mak Inang Pulau Kampai itu, yang pertama kali masuk secara serentak adalah alat-alat musik pembawa melodi yaitu akordion dan biola. Kedua alat musik ini membawakan melodi yang hampir sama, disertai dengan variasinya masing-masing. Seterusnya, pada birama
Bab VII. Hubungan Tari dan Musik
kedua, masuklah pukulan ritme gendang induk, gendang anak, dan fungtuasi ritmik tetawak. Kemudian, pada birama keenam, masuklah bagian tari, yang ditarikan ronggeng dan pasangan penarinya. Demikian seterusnya secara siklus pertunjukan dalam repertoar ini sampai selesai. Adapun hubungan pertunjukan yang dapat dilihat melalui deskripsi dalam notasi musik dan tari di atas adalah bahwa siklus musik dan tarinya singkron dalam hitungan empat dalam satu siklus. Seterusnya dalam konteks yang lebih holistik, musik dan tari ini dapat juga berdasar pada meter empat, melihat aspek melodi, ritme, dan tarinya. Namu hubungan ketukan dasar antara musik dan tari adalah ketukan dasar musik dua kali lebih rapat dibandingan ketukan dasar tari, yang merupakan alongasi (dua) dari ketukan dasar musik. Jikalau diperhatikan tekstur musik secara umum, maka repertoar ini dapat dikategorikan sebagai heherofonis. Tekstur yang seperti itu, diisi oleh alat-alat musik pembawa melodi, yaitu: akordion, biola, dan bersama dengan vokal yang juga orientasinya melodis. Walau begitu, tidak jarang pula sesekali pemain akordion menggunakan unsur-unsur harmonik khordal dalam penyajiannya. Begitulah hubungan yang terjadi dalam pertunjukan tari dan musik dalam repertoar tari dan musik rentak mak inang ini. Seterusnya dikaji pula hubungan musik dan tari dalam repertoar Tanjung Katung dalam rentak lagu dua, seperti tabel dan analisis berikut ini.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Notasi 7.3 Hubungan Musik dan Tari dalam Repertoar Tanjung Katung dalam Rentak Lagu Dua
Bab VII. Hubungan Tari dan Musik
Melalui Notasi 6.3 di atas, tampaklah kepada kita bahwa yang pertama kali masuk secara serentak adalah akordion dan biola yang menyajikan melodi yang hampir sama, dan dengan variasinya masingmasing. Setersunya, pada birama kedua, masuklah ritme gendang induk, gendang anak, serta tetawak. Pada birama kedelapan, masuk tari lagu dua yang ditarikan ronggeng dan pengunjung yang menari berpasangan dengan ronggeng. Selanjutnya pada birama 15 masuklah nyanyian (musik vokal) yang teksnya berdasar kepada pantun Melayu. Setelah menyajikan satu bentuk melodi, maka bentuk ini diulang-ulang sesuai dengan keinginan penyanyi (baik dari ronggeng itu sendiri atau pengunjung secara berbalas pantun), konteks, dan kejadian pertunjukan yang biasanya spontanitas. Demikian seterusnya pertunjukan dalam repertoar ini sampai selesai. Lebih jauh lagi, hubungan yang dapat dilihat dari pertunjukan ini seperti yang tertuang dalam notasi musik dan tari di atas adalah bahwa siklus musik dan tari adalah membentuk ritmik hemiola, yakni perpaduan metrik 6/8 dengan 2/4, atau berdasarkan beatnya adalah gabungan antara tiga dan dua. Ini pula yang menjadi keunikan rentak lagu dua di dalam kebudayaan musik Melayu di mana pun. Tekstur musiknya secara umum dapat dikategorikan sebagai musik heherofonis. Tekstur tersebut dibentuk oleh alat-alat musik pembawa melodi, yaitu: akordion, biola, dan bersama dengan vokal yang juga orientasinya melodis. Walau demikian halnya, tidak jarang pula pada saat-saat tertentu, pemain akordion menggunakan unsur-unsur harmonik khordal, yang memang dapat dimunculkan melalui alat musik ini. Jadi demikian kira-kira kajian terhadap hubungan tari dan musik dalam repertoar pertunjukan tari dan musik rentak lagu dua ini. Rentak lagu dua ini pula yang menjadi dasar ritme dalam tarian Pulau Sari yang kemudian berkembang menjadi tarian Serampang Dua Belas, berdasarkan kreativitas dua seniman tari Melayu Sumatera Timur di pertengahan abad kedua puluh yaitu O.K. Adram dan Guru Sauti. Oleh karena itu, selanjutnya kita lihat bagaimana hubungan musik dan tari dalam pertunjukan Serampang Dua Belas ini.
7.3 Serampang Dua Belas Seperti diketahui oleh khalayak umum dalam kebudayaan Melayu, tari Serampang Dua Belas berakar dari tradisi ronggeng, terutama mengadopsi salah satu dari repertoar basmallah lagu dalam pertunjukan ronggeng yaitu Pulau Sari (pembuka pertunjukan bersama dengan Gunung Banang dan Serampang Laut).
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Dalam perspektif komunikasi, seni pertunjukan ronggeng menggunakan komunikasi verbal dan nonverbal sekali gus. Komunikasi verbal terutama lagu-lagu yang berdasar kepada pantun-pantun Melayu yang dinyanyikan secara kelisanan dan spontanitas. Sementara aspek nonverbal di antaranya adalah dimensi ruang dan waktu di dalam musik, juga gerak-gerik dalam tariannya. Serampang Dua Belas, karena menonjolkan sisi komunikasi nonverbal, yaitu terutama gerak-gerik tari dengan segala keindahan, kerumitan, dan keunikannya, maka tarian ini tidak menggunakan sisi verbal. Namun demikian tarian ini sarat dengan makna-makna kebudayaan, yang sifatnya universal, yaitu cinta atau kasih sayang. Berikut ini adalah kajian hubungan antara tari dan musik dalam Serampang Dua Belas.
7.3.1 Hitungan Tari dan Musik Hitungan beat dalam musik Serampang Dua Belas ini, dapat dikaji dari aspek musikologis Barat, maupun dalam perspektif pemusik Melayu. Dalam musik Barat, pola ritme lagu dua ini, yang mengadopsi rentak dari musik dan tari branyo Portugis, menggunakan tanda birama 6/8 dengan hitungan satu sampai enam, atau dihitung lebih kecil lagi yaitu satu, dua, tiga secara terus menerus. Di sisi lain para pemusik Melayu ada pula yang menggolongkannya kepada meter dua, dalam hal ini ditulis dalam birama 2/4. Metrik dua ini pula yang menjadi dasar dari rentak tari lagu dua. Hitungan secara umum tari Serampang Dua Belas, menurut penjelasan para informan dan pengamatan lapangan adalah menggunakan hitungan satu sampai delapan. Untuk musik biasanya langsung saja praktik, dan setiap pemain menghafalkan melodi Serampang Dua Belas, terutama melodi yang mengiringi tari ini setiap ragamnya. Jadi acuan dari pemusik dalam mengiringi tarian ini adalah satu bentuk ke bentuk lain melodi yang merupakan indeks dari ragam tarinya. Para pemusik tidak menghafalkan hitungan metrik, tetapi melodis. Hubungan hitungan antara tari dan musik Serampang Dua Belas itu dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.
Bab VII. Hubungan Tari dan Musik
Bagan 7.2 Hubungan Hitungan Tari dan Musik Serampang Dua Belas
Dalam pertunjukan terjadi hubungan yang erat antara musik dan tari Serampang Dua Belas ini. Berdasarkan hasil penelitian kami, berupa rekaman lapangan, maka dapat dikemukakan hubungan ini berdasarkan dimensi waktu antara keduanya seperti pada tabel berikut ini. Tabel 7.1 Hubungan Waktu dan Kuantitas Hitungan (Berdasarkan Beat Tari) Musik dan Tari Serampang Dua Belas N0.
Ragam [Musik]
0. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
[Musik Pembuka] Ragam Satu Ragam Dua Ragam Tiga Ragam Empat Ragam Lima Ragam Enam Ragam Tujuh Ragam Delapan Ragam Sembilan Ragam Sepuluh Ragam Sebelas Ragam Dua Belas
Perjalanan Waktu (dalam Rekaman) 17.60 25.99 42.30 59.09 1.14.00 1.30.00 1.46.00 2.02.00 2.18.00 2.30.00 2.46.00 3.06.00 3.38.00
Hitungan 5 kali 8 2 kali 8 4 kali 8 4 kali 8 4 kali 8 4 kali 8 4 kali 8 4 kali 8 4 kali 8 4 kali 8 8 kali 8 4 kali 8 4 kali 8
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Dari Tabel 7.1 di atas terlihat hubungan antara musik dan tari Serampang Dua Belas itu dalam dimensi waktunya. Pertama adalah masuknya gendang dalam rentak lagu dua dalam hitungan tari (1 kali 8) dalam musik empat kali 3/8 dalam meter 6/8. Diteruskan masuknya melodi akordion (masa dasawarsa 1940-an biola) sebanyak 4 kali delapan dalam hitungan tari. Dengan demikian keseluruhan masuknya musik pembuka (prelude) adalah 5 kali 8. Setelah itu baik akordion, gendang, dan tari masuk pada dimensi ruang berikutnya. Masing-masing untuk ragam pertama adalah 2 kali delapan (hitungan tari), untuk ragam kedua sampai kedua belas masingmasing adalah 4 kali 8, kecuali ragam kesepuluh dua kali lebih panjang yaitu 8 kali 8 hitungan. Secara kuantitif, keseluruhan hitungan ketukan pertunjukan musik dan tari Serampang Dua Belas ini, menurut hitungan tari, adalah 432 ketukan. Keseluruhan hitungan ketukan ini dapat diperinci sebagai berikut: (a) Hitungan ketukan musik pembuka adalah 5 kali 8, (b) Hitungan ketukan keseluruhan ragam tari adalah 55 kali 8 sama dengan 440. Dengan demikian jumlah hitungan keseluruhan pertunjukan Serampang Dua Belas adalah 440 ketukan. Dalam rekaman keseluruhan pertunjukan ini membutuhkan waktu sebesar 3 menit lewat 38 detik. Pertunjukan Serampang Dua Belas ini, berdasarkan dimensi waktu dan ruang dapat digambarkan seperti pada bagan berikut ini. Bagan 7.3 Pertunjukan Serampang Dua Belas Berdasarkan Dimensi Waktu dan Ruang
Bab VII. Hubungan Tari dan Musik
7.3.2 Hubungan Struktur Tari dan Musik Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa struktur musik dan tari Serampang Dua Belas memiliki hubungan yang sangat erat. Penulis akan membahas secara umum tentang struktur musik yang didistribusikan untuk mengiringi struktur ragam tarian, yang trpola ke dalam dua belas ragam. Bahasan ini akan juga melihat secara umum relasi hubungan perjalanan antara frase musik dan ragam tari. Hubungan ritmis antara musik dan tari akan membentuk ritme hemiola, karena untuk musik tanda birama 6/8 akan dihitung enam dalam satu birama, sementara untuk tari hitungannya adalah 8 dalam birama 4/4. Keseluruhan birama musik Serampang Dua Belas adalah 107 dikali 6/8. Yang masing-masing ragam, terdiri dari: bagian pembuka 6 birama; ragam satu 4 birama, ragam dua 8 birama, ragam tiga 8 birama, ragam empat 8 birama, ragam lima 8 birama, ragam enam 8 birama, ragam tujuh 8 birama, ragam delapan 8 birama, ragam sembilan 8 birama, ragam sepuluh 8 birama, ragam sebelas 8 biama, dan ragam dua belas sembilan birama. Ini adalah hitungan akurat musik. Jadi terjadi singkronisasi antara ragam tari dengan frase-frase melodi akordion dan biola.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
BAB VIII
PENGGUNAAN DAN FUNGSI RONGGENG DAN SERAMPANG DUA BELAS 8.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi Pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial dan budaya melakukan berbagai kegiatan untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Dalam konteks ini guna dan fungsi sangat mendukung keberadaan kegiatan tersebut. Seni ronggeng dan Serampang Dua Belas, ada dan berkembang dalam kebudayaan Melayu karena kebutuhan etnik Melayu akan kesenian. Dalam konteks ilmu sosial dan budaya, kajian terhadap fungsi ini menjadi kelaziman ketika ilmuwan membicarakan kegiatan manusia dalam konteks tertentu. Menurut Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan, sebenarnya bertujuan untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia, yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Teknologi tumbuh dan berkembang karena manusia dalam proses bekerja dan bertindak ingin mudah, cepat, dan memerlukan alat bantu. Organisasi sosial muncul dan berkembang dalam masyarakat karena mereka membutuhkan sistem-sistem dan kerjasama di antara mereka, yang dapat mempolarisasikan segala kepentingan sosialnya. Namun demikian banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam kebutuhan manusia (human need) itu. Misalnya dalam sebuah kelompok petani, yang dalam aktivitasnya adalah bekerja untuk menghasilkan produk-produk pertanian. Organisasi ini bertujuan untuk mengurusi kepentingan petani dalam konteks meningkatkan perekonomiannya. Di sisi lain, organisasi ini juga bertujuan meningkatkan solidaritas para petani sebagai satu kesatuan. Bisa jadi juga organisasi ini mengurusi kepentingan religi anggota-anggotanya, dan berbagai kepentingan sosiobudaya lainnya. Dengan pemahaman ini seorang peneliti bisa menganalisis dan
Bab VIII. Penggunaan dan Fungsi Ronggeng dan Serampang Dua Belas
menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.13 Ilmuwan lain, Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a particular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).
Selaras dengan pandangan Radcliffe-Brown, ronggeng dan Serampang Dua Belas merupakan bagian dari struktur sosial masyarakat Melayu. KesenianMelayu ini merupakan salah satu bagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada akhirnya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya. Bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting dalam disiplin etnomusikologi. Para pakar etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada 13 Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalantropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penyelidikan lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahawa konsepnya mengenai fungsi sosial daripada adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210).
Kutipan paragraf dari Merriam di atas, menerangkan kepada kita bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik bedasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bagian dari situasi tersebut. Lebih lanjut, penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Merriam memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian (cinta) yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu boleh dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, menikah dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia.14 Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut berhubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, sesuai dengan 14
Artinya adalah nyanyian cinta ini mendukung penggunaan dan fungsi sekali gus. Penggunaannya adalah untuk memberitahu dan berkomunikasi seseorang kepada kekasihnya, bahwa ia mencintai kekasihnya tersebut. Setekah itu, nyanyian cinta tersebut, berfungsi lebih jauh. Mereka pun akhirnya saling jatuh cinta, berpacaran, sampai akhirnya membentuk rumah tangga, yang merupakan institusi sosiobudaya dan religi manusia di mana pun di dunia ini. Dengan membentuk rumah tangga, kemudian memiliki keturunan, dalam satu keluarga inti, maka fungsi nyanyian tersebut lebih jauh adalah mengekalkan generasi manusia. Maka akan lestarilah kelompok masyarakat yang didukung oleh keluarga ini, sekali gus juga lestarilah kebudayaan mereka.
Bab VIII. Penggunaan dan Fungsi Ronggeng dan Serampang Dua Belas
Merriam, penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya.
8.2 Penggunaan Ronggeng dan Serampang Dua Belas Ronggeng Melayu dalam konteks sosial masyarakat, selalu digunakan dalam berbagai aktivitas kehidupan. Di antaranya adalah digunakan dalam pertunjukan yang mengandalkan pada bisnis seni. Di Sumatera Utara terdapat di beberapa tempat seperti di Taman Lily Suheiri, Sicanang, Tanjungmorawa, dan lain-lainnya. Dalam kegiatan ini, motif dan tujuan ekonomi begitu menonjol. Seterusnya ronggeng Melayu biasa digunakan untuk memeriahkan berbagai kegiatan sosial, seperti untuk menghibur acara-acara yang berciri budaya Melayu, seperti: memeriahkan acara perkawinan, menyambut tetamu, memeriahkan acara hiburan untuk organisasiorganisasi sosial, mengisi berbagai acara di televisi atau radio, perlombaan ronggeng di berbagai tempat, mengiringi perlombaan pantun, mengisi festival atau perta budaya Melayu, dan masih banyak lagi yang lainnya. Selanjutnya, seni Serampang Dua Belas secara sosial, digunakan dalam berbagai aktivitas sosial. Di antaranya yang paling memonjol adalah untuk perlombaan, festival, pesta, mengenalkan pariwisata Indonesia, pertunjukan budaya di negeri-negeri rumpun Melayu dan dunia internasional, dan lain-lainnya. Lebih jauh lagi, tari Serampang Dua Belas selalu dipertunjukkan sebagai mewakili budaya tari nasional Indonesia, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
8.3 Fungsi Tari Ronggeng dan Serampang Dua Belas Fungsi adalah sesuatu hal yang menyangkut tujuan pemakainan dalam pandangan luas dan universal. Fungsi berbagai aktivitas yang teinstitusi dalam masyarakat sebenarnya adalah untuk memenuhi keperluan-keperluan yang dikehendaki di dalam sebuah kebudayaan. Seperti dalam mekanismenya, teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaankebiasaan pada masyarakat tertentu (Lorimer et al., 1991). Di dalam analisis fungsi akan dijelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, pasar, dan lain-lainnya.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Demikian pula ronggeng dan tari Serampang Dua Belas dalam kebudayaan Melayu, memiliki fungsi-fungsi di dalam masyarakatnya. Fungsi kegiatan atau pertunjukan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di dalam kehidupan sosial dan budaya. Kebutuhan itu dapat dipenuhi oleh praktik ronggeng dan Serampang Dua Belas. Misalnya tarian ini memenuhi kebutuhan masyarakat Melayu untuk memelihara tradisi dan adat istiadatnya. Tarian ini juga memenuhi dan menjadi identitas kebudayaan Melayu. Selain itu juga kesenian ini mengekspresikan nilai-nilai budaya, etika, estetika, dan lain-lainnya dalam konteks peradaban Melayu. Untuk mengkaji fungsi tari ronggeng dan Serampang Dua Belas di dalam kebudayaan masyarakat Melayu ini, kami menggunakan empat teori fungsi yang berasal dari disiplin antropologi dan etnologi tari. Kemudian akan menyimpulkan bagaimana fungsi ronggeng dan tari Serampang Dua Belas pada masyarakat Melayu. Adapun fungsi-fungsi tari rpnggeng dan Serampang Dua Belas dalam masyarakat Melayu adalah sebagai berikut.
8.3.1 Fungsi untuk Mencapai Konsistensi Internal Budaya Melayu Seorang pakar fungsionalisme dalam disiplin antropologi, yaitu Radcliffe-Brown, mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan, struktur sosial itu biasanya akan hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap saat. Jadi yang utama adalah struktur sosial dan sistemnya yang mengatur kehidupan masayarakat pendukungnya. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bahagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal Berdasarkan kepada teori fungsi Radcliffe-Brown ini, maka dalam kaitannya dengan tari ronggeng dan Serampang Dua Belas pada kebudayaan Melayu, maka tari ini adalah salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas etnik Melayu, yang tujuannya adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Tari ronggeng dan Serampang Dua Belas dan musik iringannya adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung tegaknya budaya Melayu, yang selalu dislogankan dengan tak Melayu hilang di bumi. Secara internal, tari ronggeng dan Serampang Dua Belas didukung oleh aspek tarian yang di dalamnya juga terdiri dari penari lelaki dan perempuan, busana, asesori, tata rias wajah, gerak-gerak dengan ragam
Bab VIII. Penggunaan dan Fungsi Ronggeng dan Serampang Dua Belas
dan polanya, pola lantai, makna gerak, dan seterusnya. tarian ini juga didukung oleh aktivitas musik, yang terdiri dari pemain musik pembawa melodi dan pembawa ritme. Musik pembawa melodi di antaranya adalah biola, akordion, kadang ditambah saksofon. Sementara di sisi lain, instrumen pembawa ritme adalah gendang Melayu yang biasanya terdiri dari dua gendang, yaitu gendang induk dan gendang anak, kadangkala ditambahi tetawak atau gong yang berfungsi memperkuat funtuasi ritmik. Antara tari dan musik terjadi integrasi pertunjukan yang kuat. Kemudian secara eksternal, tarian ronggeng dan Serampang Dua Belas, serta musik iringannya adalah berfungsi untuk memenuhi institusi sosial lainnya yaitu perkawinan adat. tari dan musiknya menjadi bahagian penting dalam tatanan upacara perkawinan adat Melayu itu. Sementara perkawinan ini sendiri adalah isntutusi yang bertujuan atau berfungsi utama untuk melanjutkan generasi manusia Melayu. Kemudian dalam konteks budaya yang lebih laus lagi, tari ronggeng dan Serampang Dua Belas serta musik iringannya adalah bahagian dari kebudayaan Melayu, yang mendasarkan kebijakannya dalam adat. Seperti diketahui bahwa adat Melayu adalah berdasar kepada konsep adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak. Artinya bahwa kebudayaan Melayu beradasrkan adat, dan dasar kebudayaan ini adalah wahyu Allah berupa ajaran-ajaran agama Islam. Jadi konsep, kegiatan, dan artefak tari ronggeng dan Serampang Dua Belas, adalah bahagian dari adat dan kebudayaan Melayu secara umum. Demikian kira-kira fungsi tari ronggeng dan Serampang Dua Belas menurut teori yang ditawarkan Radcliffe-Brown.
8.3.2 Fungsi untuk Ekspresi Percintaan dan Kontak Sosial Seorang pakar etnokoreologi, Kurath menawarkan bahwa secara umum terdapat 14 fungsi tari dalam masyarakat di seluruh dunia, yaitu (1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3) sebagai media persahabatan atau kontak sesial, (4) sarana untuk perkawinan atau pernikahan, (5) sebagai pekerjaan atau matapencaharian, (6) sebagai media untuk sarana kesuburan atas pcrtanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai sarana untuk ritual perburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi peperangan, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13) sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedian (lawak). Dari empat belas fungsi yang dikemukakan oleh Kurath seperti tersebut di atas, maka salah satu fungsi tari ronggeng dan Serampang Dua Belas adalah fungsinya sebagai ekspresi percintaan. Artinya melalui
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
tarian ini diungkapkan bagaimana orang Melayu meluahkan cinta yang universal, terutama antara laki-laki dan perempuan, dalam konteks norma dan etika Melayu. Banyak tarian di dunia ini yang selalu berkait erat fungsinya dengan pernikahan atau pesta kawin. Dalam kebudayaan Melayu misalnya, tarian zapin atau tarian Rinjis-rinjis selalu dihubungkan dengan perkawinan. Demikian pula di dalam kebudayaan Melayu tari ronggeng dan Serampang Dua Belas memang selalu dikaitkan fungsi dan identitas estetisnya dengan ekspresi percintaan secara universal yang memang sebagai karunia Allah kepada semua makhluk di alam semesta ini. Tarian ini sendiri adalah mengggambarkan bagaimana cara berkenalan, mengungkapkan kasih sayang yang tulus dan ikhlas antara lelaki dan perempuan, yang selanjutnya membina rumah tangga, dalam bimbingan Allah. Lebih jauh lagi, tari ronggeng Melayu berfungsi sebagai sarana kontak sosial antara warga masyarakat Melayu dan juga semua manusia. Melalui tarian ini, suasana persahabatan, menghargai keberadaan masingmasing dalam sebuah integrasi sosial dan budaya. Dalam konteks Sumatera Utara misalnya, kawasan ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik, baik itu etnik Melayu atau rumpun Melayu lainnya seperti Karo, Simalungun, Toba, Pakpak, Nias, Mandailing-Angkola, Minangkabau, Jawa, banjar, Sunda, Makasar, Bugis, Aceh, dan lain-lainnya. Mereka dapat melakukan kontak dan persahabatan sosial melalui seni ronggeng ini. Demikian pula etnik-etnik lain seperti Hokkian, Kwong Fu, Hakka, Tamil, Punjab, Hindustan, dan lain-lainnya tidak jarang ikut terlibat baik sebagai penonton atau seniman seni ronggeng Melayu ini. Itulah salah satu aspek universal kemanusiaan yang terjadi di dalam kegiatan ronggeng Melayu.
8.3.3 Fungsi untuk Kegiatan Ekonomis Etnolog tari lainnya yaitu Shay dalam disertasinya yang bertajuk: The Function of Dance in Human Society, membagi tari dalam 6 fungsi, yaitu (1) sebagai refleksi dari organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi sekuler serta ritual keagamaan, (3) sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis, dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi. Kalau ditinjau dari teori fungsi tari yang dikemukakan Shay ini, maka tari ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam kebudayaan Melayu adalah sebagai refleksi organisasi sosial Melayu. Selain itu juga
Bab VIII. Penggunaan dan Fungsi Ronggeng dan Serampang Dua Belas
tarian ini berfungsi sebagai ekspresi rituasl (adat) Melayu, hiburan, estetik, dan juga ekonomi. Sebagai refleksi organisasi sosial, jelas bahwa tari ronggeng Serampang Dua Belas adalah ekspresi masyarakat yang bilateral. Pada masyarakat yang seperti ini baik lelaki maupun perempuan mendapat peran yang cukup berimbang, dan memakai konsep mitra sejajar dalam jenis kelamin dan saling melengkapi. Dalam kegunaannya pada pesta perkawinan, kedua kelompok ini bersinergi dalam mendukung dua insan dari mereka untuk membentuk rumah tangganya. Refleksi itu juga diwujudkan dengan terlibatnya baik penari perempuan mapun penari laki-laki dalam tarian ini. Dengan demikian, tari ronggeng dan Serampang Dua Belas adalah refleksi dari kelompok-kelompok sosial di dalam kebudayaan Melayu.
8.3.4 Fungsi Primer dan Sekunder Sementara pakar tari lndonesia, yaitu Narawati dan Soedarsono membedakan fungsi tari menjadi dua, yaitu (1) kategori fungsi tari yang besifat primer, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) fungsi tari sebagai sarana ritual, (b) fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai presentasi estetik, dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat sekunder, yaitu lebih mengarah pada aspek komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian (Narawati dan Soedarsoso, 2005: 15-16). Berdasarkan teori fungsi tari dari Narawati dan Soedarsono ini, maka fungsi tari ronggeng dan Serampang Dua Belas, mencakup baik itu fungsi primer dan juga fungsi sekunder. Di dalam kegiatan tari ini terdapat ungkapan pribadi, estetik, dan mata pencaharian. Di dalam aktivitas tari ronggeng dan Serampang Dua Belas, maka fungsi tari ini jelas sebagai sarana ritual adat, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap upacara memeriahkan perkawinan dalam kebudayaan Melayu. Selain itu di dalam tarian ini juga terkandung fungsi presentasi estetik, artinya melalui tarian ini, setiap penari mengekspresikan keindahan gerakan-gerakan tari yang dipandang estetik menurut tata estetik Minangkabau. namun demikian, tari ini memiliki fungsi sekundernya yaitu sebagai sarana ekonomis atau mata pencaharian. Disadari atau tidak, walaupun bukan fungsi utama di dalam setiap kegiatan tari ronggeng dan Serampang Dua Belas terdapat fungsi ekonomis, setiap penari atau pemusiknya mengharapkan imbalan ekonomis, biasanya berupa orang. Menurut pengamatan yang penulis lakukan selama ini, seorang penari dalam rangka menari tari ronggeng dan Serampang Dua Belas
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
memerlukan dana yaitu untuk make up, sanggul, membeli pakaian tari, perlengkapan tata rias, serta kebutuhan hidupnya. Selain itu juga setiap penari tetap mengharapkan rezeki dari jasa ia menari di dalam sebuah kegiatan. Dengan demikian, fungsi tari ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam kebudayaan masyarakat Melayu memang kompleks juga. Ini dapat ditelisik melalui kaitan tari ini dengan berbagai konteks sosial dan budaya, seperti, adat, ekonomi, estetik, hiburan, sistem sosial, dan lainlain.
Bab IX. Kesimpulan dan Saran
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan Setelah diuraikan secara panjang lebar dari bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini kami para penulis akan menyimpulkan tentang beberapa aspek seni pertunjukan ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam kebudayaan Melayu. Kesimpulan ini mencakup: (a) kesejarahan, (b) struktural, dan (d) fungsional. Dari kesejaraha, ronggeng Melayu memiliki hubungan budaya dengan seni sejenis di Nusantara ini. Ronggeng dan sejenisnya hidup, tumbuh, dan berkembang di berbagai kebudayaan etnik di Nusantara, dan juga terekam dalam sejarah seni. Di antaranya adalah ronggeng, tayub, joget di dalam kebudayaan Jawa, gadih atom di wilayah budaya Minangkabau, gandot di Kalimantan, pajoge di Sulawesi, ketuk tilu di Sunda, demikian pula moning-moning di Simalungun, dan lain-lain. Selain itu, ketika Portugis datang ke wilayah Melayu sejak 1511, masyarakat Melayu mengadopsi salah satu genre tarian dan musik branyo atau branle, yang juga menyerap jenis rentak lagu dua dan berbagai alat musik seperti biola dan akordion. Salah satu pertunjukan dalam ronggeng Melayu adalah mempersembahkan “basamallah lagu” sebagai tiga lagu dan tari pembuka, yaitu terdiri dari Gunung Sayang-Serampang LautPulau Sari. Lagu dan tari yang terakhir ini, kemudian pada dekade akhir 1930-an diolah kembali dan diciptakanlah tari Serampang Dua Belas oleh O.K. Adram. Selanjutnya untuk memperluas persebarannya, maka tarian ini digubah di sana-sini oleh Guru Sauti, dan akhirnya menyumbang kepada kebudayaan nasional kita. Selepas Indonesia merdeka tarian ini, diminati masyarakat luas di seluruh Indonesia, termasuk di negeri-negeri rumpun Melayu seperti Singapura, Malaysia, Brunai, Thailand, bahkan sampai ke mancanegara. Jadi tradisi ronggeng adalah akar budaya dari Serampang Dua Belas. Secara struktural ronggeng Melayu dalam pertunjukannya memiliki pola-pola yang telah ditentukan, yaitu pada pembukaannya menggunakan “basmallah lagu.” Kemudian diteruskan dengan pasangan-pasangan tari dan lagu, dari yang bertempo relatif lebih lambat ke tempo yang relatif lebih cepat. Lagu dan tari kedua disebut pecahan dari yang pertama. Panjangnya pertunjukan disesuaikan dengan situasinya. Ensambel musik yang dipergunakan dalam seni ronggeng ini terdiri dari: dua gendang ronggeng yang berfungsi membawa rentak, ditambah gong (tetawak)
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
yang membawa fungtuasi ritmik. Selanjutnya pembawa melodi adalah biola dan akordion. Penyanyinya adalah dari ronggeng itu sendiri dan para pengunjung yang membayar tiket untuk menari dan bernyanyi bersama ronggeng. Nyanyian ronggeng ini secara umum adalah berdasar kepada pantun-pantun yang disajikan secara spontanitas, bahkan selalu terjadi adu pantun di antara ronggeng dan penyanyi dari pengunjung. Tiga repertoar utama rentak di dalam ronggeng Melayu adalah: senandung, mak inang, dan lagu dua. Sebagai seni pergaulan sosial, ronggeng sangat terbuka memasukkan berbagai lagu dan tarian etnik di kawasan ini, seperti: Simalungun, Batak Toba, Karo, Minangkabau, Jawa, Sunda, Banjar, Betawi, dan lain-lainnya. Demikian pula lagu dan tarian dunia seperti rumba, fokstrot, wals, dan lainnya. Selanjutnya secara strktural, Serampang Dua Belas yang berakar dari tradisi ronggeng, disajikan melalui komunikasi gerak-gerik tari yang bentuknya nonverbal. Seni ini dikonsepkan sebagai ekspresi perkenalan pemuda dan pemudi sampai membentuk rumah tangganya, yang dibagi ke dalam dua belas ragam tari, dengan menggunakan istilah-istilah yang mendukung kisah tersebut. Tari ini berdasar kepada rentak lagu dua, yang gerak-geriknya diambil dari motif gerak tari tradisional Melayu, seperti: mendayung, goncek, langkah celatuk, titi batang, kerling, lentik, dan lain-lainnya. Secara fungsional, ronggeng dan Serampang Dua Belas, digunakan di berbagai kegiatan budaya, seperti memeriahkan pesta perkawinan, festival, lomba, pekan budaya, pesta budaya, pariwisata, memeriahkan kegiatan untuk hiburan, dan lain-lainnya. Fungsi dari seni ronggeng dan Serampang Dua Belas di antaranya adalah untuk hiburan, kegiatan ekonomi, untuk konsistensi internal budaya Melayu, sebagai ekspresi percintaan dan kontak sosial, dan lain-lainnya. Fungsi utama yang paling menonjol dari seni ronggeng dan Serampang Dua Belas adalah integrasi sosial, yang sangat relevan dengan filsafat bangsa Indonesia dalam rangka berbangsa dan bernegara yaitu bhinneka tunggal ika, walaupun berbeda-beda kita tetap satu juga. Kesenian ini memiliki daya rekat berbagai perbedaan dan satu kesatuan. Berbagai seni etnik dan dunia dapat menyatu secara alamiah dalam seni ronggeng. Fungsi ronggeng dan Serampang Dua Belas ini akan menyebabkan kontinuitasnya.
9.2 Saran-saran Dengan melihat keberadaan seni ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam konteks budaya Melayu dan budaya nasional kita, maka yang paling penting adalah bagaimana memungsikan seni ini dalam
Bab IX. Kesimpulan dan Saran
berbagai konteksnya. Misalnya seni ini selain diertunjukkan dalam pesta, festival, perlombaan, memeriahkan perkawinan, dalam pengelolaan pertunjukan, dan lain-lainnya, perlu lagi dicarikan fungsi-fungsi barunya seperti untuk mendukung sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, sebagai sumber estetik bagi para seniman dan mahasiswa seni (musik, tari, tetaer) di seluruh Indonesia, dalam rangka menggali nilai-nilai estetikanya. Selanjutnya melalui seni ini juga perlu dikaji nilai-nilai kebudayaan yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai itu di antaranya adalah bagaimana ekspresi cinta dan kasih sayang yang mengakar pada tradisi seni pertunjukan kita yang memperhitungkan aspek etika, estetika, moralitas, dan religius, yang menjadi contoh kebijakan di dalam tradisi kita. Melalui seni ronggeng dan Serampang Dua Belas, akhirnya kita dapat belajar banyak tentang manusia, kebudayaan, kontinuitas, dan perubahan, yang dilalui dalam dimensi ruang dan waktunya. Kajian terhadap ronggeng dan Serampang Dua Belas pada akhirnya adalah untuk mengetahui, memahami, dan mengerti bagaimana manusia Melayu itu dalam mengaplikasikan kebudayaannya. Itulah fenomena manusia dengan kebudayaan.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
DAFTAR PUSTAKA a. Buku, Artikel, Harian, Majalah, Jurnal, Kamus, dan Sejenisnya Abdul Hajat et al., 1986/1987. Ensiklopedi Musik dan Tari Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Abdul Latiff Abu Bakar, 2005. “Menghayati Puisi Melayu sebagai Jati Diri Warga Malaysia.” Kertas kerja pada Syarahan Perdana di Jabatan Pengajian Media, Universiti Malaya. Abdulrachman, 1992. Keroncong Tugu. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI. Adler, Mortimer J. et al. (eds.), 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII). Chicago: Helen Hemingway Benton. Anderson, John, 1971. Mission to the East Coast of Sumatra in 1823. Singapura: Oxford University Press. Alfian (ed.), 1985. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. A. Rahim Noor dan Salin A.Z.,1984. Sembilan Wajib Tari Melayu. (t.p.) Bambang Suwarno dan Thomas R. Leinbach, 1985. “Migrasi Penduduk Desa ke Kota dan Kesempatan Kerja: Survey di Tiga Kota Sumatera Utara,” Majalah Demografi Indonesia, tahun 13, No. 25, Juni, Jakarta. Beg, M.A.J., 1980. Islamic and the Western Concept of Civilization. Kuala Lumpur: Universiti Malaya Press. Ben Suharto, 1987. “Penggunaan Tari Gambyong Melalui Pendekatan Berlapis Ganda.” Makalah Temuwicara Etnomusikologi III di Medan. Berkhofer, Jr., Robert F., 1971. A Behavioral Approach to Historical Analysis. New York: New York University Press. Berlo, D.K. 1960. The Process of Communication. San Francisco: Rinenart Press. Blacking, John, 1985. “Dance as Cultural System and Human Capability: An Anthropological Perspective.” in Dance: A Multicultural Perspective, Report of the Third Study of Dance Conference, ed. J. Adshead, 4-21, Guildford, University of Surrey. Blagden, C.O., 1899. "The Name Melayu", Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society. Blink, 1918. Sumatra’s Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest. S’Gravenhage: Mouton & Co. Brakel-Papenhuyzen, 1991. Seni Tari Jawa Tradisi Surakarta dan Peristilahannya, dialihbahasakan oleh Mursabyo. Jakarta: ILDEP RUL. Brakel-Papenhuyzen, 1995. “Javanese Taledek and Chinese Tayuban.” Bijdragen Tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 4-e. Broersma, R., 1919. De Ontlinking van Deli, Deel I, Batavia: De Javasche Boekhandel & Drukkerij. Castles, Lance. 1972. The Political Life of A Sumatra Resiency: Tapanuli 1915-1940. Yale: Yale University (Disertasi Doktoral). Cece Somantri, 2006. “Sajarah Ibing di Pasundan.” Pikiran Rakyat. Sabtu, 25 November. Cherry, C., 1957. On Human Communication. London: The Technology Press of Massachusets of Technology. Collingwood, R.G., 1946. “Greco-Roman Historiography” dalam The Idea of History. London: Oxford University Press. Collingwood, R.G., 1947. The New Leviathan or Man, Society, Civilization, and Barbarism. Oxford: Oxford University Press. Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society. Crawfurd, J. 1820. History of the Indian Archipelago. Edinburg: Archibald Constable and Co.
Daftar Pustaka, Glosari, dan Informan
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.), 1995. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications. Djelantik. 1990. Estetika, Sebuah Pengantar. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Eco, Umberto, 1979, “The Role of the Reader.” dalam Umberto Uco (peny.), The Role of the Reader: Explorations in the Semiotics of Texts. Indiana: Indiana University Press. Elam, K. 1983. The Semiotics of Theatre and Drama (Cetak ulang). London: Methuen. Elvy Syahrani. 2007. 9 Wajib Tari Melayu: Tinjauan dari Sisi Kesejarahan. Medan: Universitas Negeri Medan (Skripsi dalam Meraih Gelar Sarjana Pendidikan). Encyclopedia Brittanica (versi elektronik). 2007. London: Encyclopedia Brittanica. Endang Saifuddin Anshari, 1980. Agama dan Kebudayaan. Surabaya: Bina Ilmu. Ernst, Heins, 1975. “Kroncong and Tanjodor: Two Cases of Urban Folk Music in Jakarta,” dalam Asian Music, vol. VII No. 1. Fadlin, 1988. Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur. Medan: Jurusan Etnomusikologi (Skripsi Sarjana). Fisher, C.A. 1977. “Indonesia: Physical and Social Geography.“ The Far East and Australasian 1977-78: A Survey and Directory of Asia and Pacific. London: Europe Publications Ltd. F.X, Widaryanto, 2003. “Dari Resital Pasca Sarjana Ria Dewi Fajaria Mantra Tubuh Seorang Ronggeng.” Bandung, 2 Agustus 2003. Garraghan, Gilbert J., S.J., 1957. A Guide o Historical Method. New York: Fordam University Press. Geldern, Robert Heine, 1972. Konsep tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: Rajawali Press. Gillin, G.L. dan J.P. Gillin, 1954. For a Science of Social Man. New York: McMillan. Goldsworthy, David J., 1979. Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes. Sydney: Monash University (Disertasi Doktoral). Gullick, J.M., 1972. Sistem Politik Bumi Putera Tanah Melayu Barat. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Guru Sauti, t.t., “Tari Melayu (Dari Daerah Sumaera Timur).” Medan. Guru Sauti, 1956. “Tari Pergaulan” dalam Buku Kenang-kenangan Kongres II Lembaga Kebudayaan Melayu di Medan, 4 Februari. Medan: Hasmar. Halewijn, M., t.t., “Borneo, Eenige Reizen in de Binnenlanden van Dit Eiland, Door Eenen Ambtenaar an Het Goverment, in Het Jaar 1894,” Tijdschrift voor Nederlands Indië, Le Jaargang. Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia, St. Martin's Press, New York. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, 1988. Sejarah Asia Tenggara (diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo). Surabaya: Usaha Nasional. Hajjah Noresah bt Baharon dkk. (eds.), 2002. Kamus Dewan Edisi Ketiga. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hamzah Daud. 1974. “Perkembangan Musik Pop Hingga Sekarang.” Kertas kerja Seminar Muzik Nasional, 3 November. Hamzah Ismail . 1975/76. Tinjauan Beberapa Aspek tentang Permainan Silat Melayu di Kelantan. Kuala Lumpur: Latihan Ilmiah LBKM, Universiti Kebangsaan Malaysia. Harary, Frank; Robert Norman; dan Dorwin Cartwright, 1965. Structural Models: An Introduction to the Theory of Directed Graphs. New York: John Wiley and Sons, Inc. Hariyanto, 1992. Lagu Pulau Sari dalam Konteks Tari Serampang Dua Belas: Analisis Penyajian Gaya Melodi Tiga Pemusik Akordion di Deli Serdang. Medan:
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
(Skripsi Sarjana Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara). Harmunah, 1994. Musik Keroncong. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi. Harun Mat Piah, 1989. Puisi Melayu Tradisional: Suatu Pembicaraan Genre dan Fungsi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Hasan A. 1962. Al-Furqan (Tafsir Qur’an). Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Hasan M. Hambari, 1980. “Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad Ke-7 sampai 16 M dalam Jalur Darat Melalui Lautan,” dalam Saraswati. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hawkes, Terence, 1977. Structuralism and Semiotics. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Hawkes, Jacqueta, 1980. The First Great Civilizations Life in Mesopotamia, The Indus Valley, and Egypt. New York: Alfred Knof. Haziyah Hussin, 2006. Motif Alam dalam Batik dan Songket Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hill, A.H., 1968. “The Coming of Islam to North Sumatra,” Journal of Southeast Asian History, 4(1). Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities amd Changes. New York: Cornell University Press. Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt, 1984. Sociology, edisi kedelapan. Michigan: McGraw-Hill. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1993. Sosiologi. Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga. Howell, W., 1923. The Pacific Islanders. London: Weidenfeld and Nicolson. Hutington, Samuel P.,1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster. Holt, Claire, 1967. Art in Indonesia: Continuities and Changes. Ne York: Cornell University Press. Ibrahim Alfian, 1993. “Tentang Metodologi Sejarah” dalam Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Innis, R.E. (ed.). 1995. Semiotic: An Introductory Anthology. London: Hutchinson & Co. Ltd. Ismail Faisal, 1982. Agama dan Kebudayaan. Bandung: Alma’arif. Ismail Hussein, 1978. The Study of Traditional Malay Literature with Selected Bibliography. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Jones, Tom B., 1960. Ancient Civilization. Chicago: Rand McNally & Co. Jose Rizal Firdaus, 2006. “Teknik Tari Serampang 12 Karya Guru Sauti. Makalah pada Seminar Internasional Tari Serampang Dua Belas di Medan, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Medan. Kaberry, Phylis M.(ed.), 1945. The Dynamics of Cultural Change. Carlton: Melbourne University Press. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka. Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) [versi elektronik]. Disebut juga KUBI Luring (Luar Jaringan). Jakarta. Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentaliteit, dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat, 1980a. Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Rineka Cistra. Koentjaraningrat, 1980b. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat (ed.), 1980c. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat (ed.), 1985. “Konsep Kebudayaan Nasional.” dalam Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Alfian (ed.). Jakarta: Gramedia. Kornhauser, Bronia, 1978. “In Defence of Kroncong,” Monash Papers on Southeast Asia No. 7, Center of Southesat Asian Studies, Monash University.
Daftar Pustaka, Glosari, dan Informan
Kunst, Jaap, 1949. Music in Java: Its Theory and its Technique. 2nd Revision and Enlarged Edition, translated by Emile Van Loo. The Hague: Nijhoff. Kunst, Jaap, 1950. Musicologica. Amsterdam: Uitgave van het Indisch Institut. Ku Zam Zam, 1980. Muzik Tradisional Melayu Kedah Utara: Ensembel-ensembel Wayang Kulit, Mek Mulung dan Gendang Keling dengan Tumpuan kepada Alat-alat, Pemuzik-pemuzik dan Fungsi. Kuala Lumpur: Jabatan Pengajian Melayu, Universiti Malaya (Skripsi Sarjana). Lalan Ramlan, 2007 “Cirebon, Muasal Sekolah Ronggeng” dalam Pikiran Rakyat, Sabtu 10 November. Lavignac, A. (ed.), 1922. Encyclopedie de la musique et dictionarie des conservatoire. Paris: Delagrave. Langenberg, Michael van, 1976. National Revolution in North Sumatra: Sumatra Timur and Tapanuli 1942-1950. Sydney: University of Sidney (Disertasi Doktor Filsafat). Leach, E. 1976. Culture & Communication. London: Cambridge University Press. Legge, J.D., 1964. Indonesia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Lekkerkerker, C., 1916. Land and Volk van Sumatra. The Hague: J.B. Wolters. List, George, 1960. “Speech Melody and Song Melody in Central Thailand.” Ethnomusicology, 5:16-32. Littlejohn, S.W. 1992. Theories of Human Communication. Ed ke-4. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company. Lombard, 2008. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Banda Aceh: KPG. Lorimer, Lawrence T., 1991, Grolier Encyclopedia of Knowledge (volume 1-20). Danburry, Connecticut: Groller Incorporated. Lomax, 1968. Folksong Styles and Culture. New Brunswick, New Jersey: Transaction Book. Malm, William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993. Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Mana Sikana. 1990. Pendekaran Kesusasteraan Moden. Kuala Lumpur: Penerbit Karyawan. Machlup, Fritsz, 1978. Methodology of Economics and Other Social Sciences. New York: New York University. Matusky, Patricia An dan Tan Soi Beng, 2004. The Music of Malysia: The Classical, Folk, and Syncretic Traditions. Kuala Lumpur. Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University Press. Mohammad Natsir, 1937. “Djedjak Islam dalam Kebudayaan” dimuat di Panji Islam, Medan: t.p. Mohammad Natsir, 1937. “Djedjak Islam dalam Kebudayaan” dimuat di Panji Islam, Medan: t.p. Mohammad Said, t,t,, Deli Dahoeloe dan Sekarang: Sebeloem dan Selama 1882-1957. Medan. Mohd Anis Md Nor, 1990. The Zafin Melayu Dance of Johor: From Village to A National Performance Tradition. disertasi doctoral. Michigan: The University of Michigan. Mohd Anis Md Nor, 1994. “Continuity and Change: Malay Folk Dances of the PreSecond World War Period.” Sarjana. Kuala Lumpur: University Malaya. Mohd Anis Md Nor, 1995. “Lenggang dan Liuk dalam Tari Pergaulan Melayu,” Tirai Panggung, jilid 1, nombor 1.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Mohd. Ghouse Nasuruddin, 1977. Musik Melayu Tradisi. Selangor, Malavsia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. Mohd. Ghouse Nasaruddin, 1994. Tarian Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Mohd. Ghouse Nasaruddin, 2000. Teater Tradisional Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Mohd. Zain Hj. Hamzah, 1961 Pengolahan Muzik dan Tari Melayu. Singapura: Dewan Bahasa dan Kebudayaan Kebangsaan. Morris, C. 1946. Sign, Language, and Behavior New York: Braziller. Muhammad Suhaimi bin Haji Ismail Awae, 2007. “Peradaban Islam dalam Konteks Masyarakat Thai: Satu Analisis Berasaskan YAKIS.” Makalah pada Seminar Kebudayaan Wahana Keamanan, di C.S. Pattani Hotel. Muhammad Takari, 1998. Ronggeng Melayu Sumatera Utara: Sejarah, Fungsi dan Strukturnya. tesis S-2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008, Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Muhammad Takari dan Fadlin, 2009. Sastra Melayu Sumatera Utara. Medan: Bartong Jaya. Muhammad Said, 1973. "What was the 'Social Revolution' of 1946 in East Sumatra?” terjemahan Benedict Anderson dan T. Siagian. Indonesia. nomor 15, Cornell Modern Indonesia Project. Munoz, P.M., 2009.Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia". Kuala Lumpur: Mitra Abadi. Muller-Thym, Bernard J., 1942. “Of History as a Calculus Whose Term in Science,” dalam The Modern Schoolman. New York. Narrol,R., 1965. "Ethnic Unit Classification," Current Anthropology, volume 5, No. 4. Nettl, Bruno, 1973. Folk and Traditional of Western Continents, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Nurwani. 2003. Serampang Dua Belas: Tari Kreasi yang Mentradisi pada Masyarakat Melayu Pesisir Sumatera Timur. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada (Tesis untuk Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan). Orang Kaya Zubaidi, 2006. “Serampang Dua Belas: Sejarah Tari Serampang Dua Belas Ciptaan O.K. Adram pada Tahun 1941.” Medan: Makalah pada Seminar Internasional Tari Serampang Dua Belas yang Diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Medan. Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed.) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Patersen, William, 1995. "Migration: Social Aspects," International Encyclopedia of the Sosial Sciences, volume 9, David L. Sills (ed.), (New York dan London: The Macmillan Publishers)." Pathak, R.C. (ed.), 1946. Bhargava’s Standard Illustrated Dictionary of Hindi Language. Varanasi: Bhargava Book Depot. Pelto, Pertti J. 1970. Anthropological Research: The Structure of Inquiry. New York: Evanston. Pelzer, Karl J., 1978. Planters and Peasant Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatra 1863-1847. s’Gravenhage: Martinus Nijhoff. Juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia, Karl J. Pelzer, 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863-1947. Terjemahan J. Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan. Perret, D., 2010. Kolonialisme dan Etnisitas. KPG Pyne, John F.X., 1926. The Mind. New York: New York University. Pigeaud, Th., 1924. De Tantu Panggelaran. S’Gravenhage: Smith.
Daftar Pustaka, Glosari, dan Informan
Pigeaud, Theodore G. Th. 1938. Javaanse Volksvertoningen: Bijdrage tot de Beschrijving van Land en Volk. Batavia: Volklectuur. Radcliffe-Brown, A.R., 1952. Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. Raffles, Sir Thomas Stanford, 1830. The History of Java (Volume Satu). London: Murray. Rahayu Supanggah (ed.), 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan Bentang, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Rahmad Martuah, 2003. Himpunan Seni dan Budaya Sri Indera Ratu: Sebuah Kajain mengenai Kontinuitas dan Perubahan dalam Keorganisasian dan Pertunjukan. Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (Skripsi Sarjana Seni). Ramlan, Lalan. 2007. “Cirebon, Muasal Sekolah Ronggeng” dalam Pikiran Rakyat. Edisi Cetak Sabtu, 10 November. Ratna, 1990. Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XIX. Tesis S-2. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Reid, Anthony (ed.), 2010. Sumatera Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu. R.M. Mangkudimedja, 1979. Serat Pararaton (Alih aksara dan alih bahasa Hardjana H.P.). Jakarta: Departemen P dan K, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Royce, Anya Paterson, 2002. The Anthropology of Dance. Bloomington: Princeton Book Co Pub. Sachs, Curt, 1963. World History of the Dance. California: University of California. Sachs, Curt. 1993. World History of The Dance. New York: The Norton Library. Sakissian, Margareth, 1993. “Music, Dance and the Construction of Identity Among Portuguese Eurasian in Melaka, Malaysia: A Preliminary Report.“ Tirai Panggung. Jilid 1, nomor 1. Sartono Kartodirdjo, 1973. Protest Movements in Rural Java. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Sartono Kartodirdjo, 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Koentjaraninrat (ed.). Jakarta: Gramedia. Sartono Kartodirdjo, 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia. Sauti, Guru, 1956. “Tari Pergaulan.” Buku Kenang-kenangan Kongres II Lembaga Kebudayaan Melayu di Medan. 4 Februari. Medan: Hasmar. Schramm, W.M. & Porter, W.E. 1992. Lelaki, Wanita, Mesej dan Media.Terjemahan. Azizah Yusop Khatijah Ismail & Shamsiah Md. Said. Kuala Lumpur: Dewan AntropologBahasa dan Pustaka. Setia Dermawan Purba, 1994. Penggunaan, Fungsi, dan Perkembangan Nyanyian Rakayt Simalungun bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Kasus di Desa Dolok Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Jakarta: Universitas Indonesia (Tesis Magister Antropologi). Seyyed Hossein Nasr, 1993. Spiritualitas dan Seni Islam (terj. Sutejo). Bandung: Mizan. Shafwan Hadi Umdi et al., 1998. Ronggeng Melayu Sumatera Utara: Sejarah, Struktur, dan Fungsi. Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kantor Wilayah Provinsi Sumatera Utara, Proyek Pembinaan Kesenian. Shay, Anthony V., 1963. The Function of Dance in Human Society. New York (Disertasi). Sheppard, Mubin, 1972. Taman Indera: Malay Decorative Arts and Pastimes. London: Oxford University Press. Sidi Gazalba. 1965. Islam Dihadapkan kepada Ilmu, Seni, dan Filsafat. Jakarta: Tintamas. Sidi Gazalba. 1986. Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. Sim, Katherine, 1946. Malayan Lanscape. London: Michael Joseph Ltd.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
Som Said. 2011. Step By Step To Malay Dance. Singapore: Sri Warisan. Sinar Harapan, 2002. Pergelaran Tari ”Cek Ronggeng” Mengembalikan Ronggeng pada Format Awal. Jakarta, Sinar Harapan, Selasa, 30 Juli. Soedarsono, 1974. Dances in Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Stutterheim, W.F., 1956. “A thousand Tears Old Profession in the Princely Court of Java.” Studies in Indonesian Archeology. The Hague: Martinus Nijhoff. Sudiro Agus Riyanto, 1996. Eksistensi Keroncong Tugu dalam Aktivitas Kehidupan Masyarakat Kampung Tugu, Yogyakarta: Skripsi Sarajana di ISI Yogyakarta. Sutan Muhmmad Zein, 1957. Kamus Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Balai Pustaka. Swettenham, F.A., 1895. Malay Sketches. London: t.p. Tati Narawati dan R.M. Soedarsono, 2005. Tari Sunda: Dulu, Kini, dan Esok. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional Universitas Pendidikan Indonesia. Tenas Effendy, 2000. Pemimpin dalam Ungkapan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Tenas Effendy, 2004. Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu Riau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dan Penerbit Adicita. Tengku Haji Abdul Hayat, 1937. Perajaan Oelang Tahoen Keradjaan Deli. Medan: Kesultanan Deli. Tengku Lah Husni, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan: B.P. Lah Husni. Tengku Lah Husni, 1985. “Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu.” Makalah Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, di Medan. Tengku Lah Husni, 1986. Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tengku Luckman Sinar, 1971. Sari Sejarah Serdang. Medan: t.p. Tengku Luckman Sinar, 1985. "Keserasian Sosial dalam Kearifan Tradisional Masyarakat Melayu." Makalah Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan, Medan. Tengku Luckman Sinar, 1986a. “Perkembangan Sejarah Musik dan Tari Melayu dan Usaha Pelestariannya.” Makalah dalam Seminar Budaya Melayu Indonesia, di Stabat, Langkat, 1986. Tengku Lukman Sinar, 1986b. “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan kebudayaannya, Budi Santoso et.al (eds). Pekanbaru: Pemerintah Propinsi Riau. Tengku Luckman Sinar, 1988. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam: Badan Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang. Tengku Luckman Sinar, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan: Perwira. Tengku Luckman Sinar, 1991. Sejarah Medan Tempo Doeloe. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia. Tengku Luckman Sinar, 1994. Jatidiri Melayu. Medan: Majlis Adat Budaya Melayu Indonesia. Tengku Mira Rozanna Sinar (ed.). 2009. Teknik Pembelajaran Dasar Tari Tradisional Melayu Karya Almarhum Guru Sauti. Medan: Yayasan Kesultanan Serdang. Tim Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1986, Peta Sejarah Sumatera Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Usman Pelly, 1986. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES. Usman Pelly, 1985. ""Menciptakan Pra Kondisi Keserasian Hidup dalam Masyarakat Majemuk: Kasus Kotamadya Medan,"" Medan: Makalah Seminar Keserasian Sosial dalam Masyarakat Majemuk di Perkotaan."
Daftar Pustaka, Glosari, dan Informan
Usman Pelly, 1986. Lokasi Lembaga Pendidikan, Sosial, dan Agama dalam Tata Ruang Permukiman Masyarakat Majemuk yang Menopang Integrasi Sosial: Kasus Kotamadya Medan. Tokyo: The Toyota Foundation. Usman Pelly, 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES. Veth, V.J., 1977. “Het Landschaap Deli op Sumatra.” Tijdschrift vn het Koninklijk Nederlandsch Aardrijskunding Genootschap. Del II. Victorius Ganap, 1999. “Tugu Village: A Historical Monument of Kroncong Music in the Indonesian Cultural Map,” Laporan Penelitian, ISI Yogyakarta. Volker, T., 1928. Van Oerbosch tot Culturgebied. Medan: De Deli Planters Vereeniging. Wan Abdul Kadir, 1988. Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Wan Hashim Wan Teh, 1988. Peasants under Pripheral Capitalism. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia. Whitington, W.A. 1963. “The Distribution of Population in Sumatra, Indonesia, 1961.” The Journal of Tropical Geography, 17, 1963. Widaryanto, F.X. 2007. "Mantra Tubuh Seorang Ronggeng.” t.p. Wilkinson, R.J., 1959. A Malay-English Dictioary (Romanised). London: Macmillan. Wimbrayardi. 1989. Analisis Ritem Musik Adok Pengiring Tari Bentan. Medan, Skripsi Sarjana Sastra USU. W.J.S. Poerwadarminta (ed.), 1965. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Wee, Vivienne, 1985. Melayu: Heirarchies of Being in Riau. Disertasi doktor falsafah. Canberra: The Australian National University. Wilkinson, R.J., 1901. A Malay-English Dictioary: Part I ( Alif to Za). London: Kelly & Walsh Limited. Wilkinson, R.J., 1959. A Malay-English Dictionary (Romanised). London: Mcmillan Co. Ltd. Withington, W.A., 1963. “The Distribution of Population in Sumatra, Indonesia, 1961.” The Journal of Tropical Geography, 17. Yapi Tambayong, 2000. “Keroncong, Dangdut, Prejudis, kekuasaan” dalam koran Kompas 1 Januari. Yoshiyuki, Tsurumi, 1981. Malaka Monogatari: Sebuah Kisah di Melaka. Tokyo: Jiji Tsuushinsa. Yuyuk Sugarman, 2007 “Karesmen Ronggeng Midang, Upaya Hapus Citra Negatif.” Sinar Harapan. Sabtu, 15 September. Yuyun S. Suriasumantri, 1984. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor dan Leknas LIPI. Zainal Abidin Borhan, 2004. “Pandangan dan Visi Pertubuhan Bukan Kerajaan terhadap Permasalahan Bangsa dan Kebudayaan Melayu Mutakhir.” 10-13 September, sempena Kongres Kebudayaan Melayu di Johor Bahru. Zaleha Abu Hasan, 1996. Mak Yong sebagai Wahana Komunikasi Melayu: Satu Analisis Pesan. Tesis sarjana Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
b. Internet Agung
Suharyanto, “Menimbang Tradisi dalam Hingarbingar,” dalam http://www.waspada.co.id/, artikel diunduh pada tanggal 6 April 2009. Nor Fadli March, “Tari Serampang Dua Belas,” dalam http://www.wisatamelayu.com/, artikel diunduh pada tanggal 6 April 2009. Tengku Mira Sinar, “Pengaruh Budaya Portugis Kepada Melayu Serdang,” dalam http://www.waspada.co.id/, artikel diunduh pada tanggal 6 April 2009. WSI, “Tari Serampang Dua Belas Perlu Direvitalisasi”, Kompas, Selasa, 1 Juli 2008. “Menaikkan Kualitas Tari Serampang Dua Belas,” dalam http://www.medancity.com/, artikel diunduh pada tanggal 6 April 2009. “Tarian Serampang 12 Akan Dipatenkan”, artikel diunduh pada tanggal 6 April 2009 dari antara.co.id “Untuk Lestarikan Budaya Bangsa: Pemkab Sergai Gelar Lomba Tari Serampang XII”, dalam http://serdangbedagaikab.go.id/, artikel diunduh pada tanggal 6 April 2009. https://docs.google.com/document/d/1T2mLUdMO40E_d1UKVL51Vg5k00rLY8CHwv_VZr7ZpE/edit. https://docs.google.com/document/d/1T2mLUdMO40E.../edit. Sehingga Tari Serampang Dua Belas menjadi kegemaran bagi generasi muda untuk mempelajari proses yang akan dilalui nantinya jika ingin membangun ... http://ketayamajalahbudaya.blogspot.com/2012/04/lst-patria-33-tahun.html http://pixabay.com/static/ http://www.pekanbaruexpress.com/ lintas-daerah/lintas-daerah/2026-wakil-kampar-juaraifestival-tari-serampang-12). http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/josefirdaus.html www.youtube.com/watch?v=C1Gci7RRB-8 www.youtube.com/watch?v=pI5xz7bQSBM www.stafaband.info/download/mp3/lagu_tari_serampang_dua_belas/ www.youtube.com/watch?v=C1Gci7RRB-8, 25 Nov 2009 - Diunggah oleh Jefferson Kuesar Indonesian Performing Arts Chicago (IPAC) performed Serampang Dua Belas dance from West. www.youtube.com/watch?v=pI5xz7bQSBM, 8 Des 2013 - Diunggah oleh goldakik2012 "Serampang Dua Belas" ( Dance from Sumatera) Formerly it is about the tips of 12 (twelve) steps for ... www.stafaband.info/download/mp3/lagu_tari_serampang_dua_belas/ Click Download to save Serampang Dua Belas Melayu mp3 youtube com. [watch & download] Serampang Dua Belas. Click Download to save Serampang ... asalehudin.wordpress.com/.../serampang-duabelas-tari-tra- disional-melay..., 25 Apr 2009 - A. Asal-usul. Tari Serampang Duabelas merupakan tarian tradisional Melayu yang berkembang di bawah Kesultanan Serdang. ... lgaj.blogspot.com/2012/03/tari-serampang-dua-belas.html, 6 Mar 2012 - tari serampang dua belas merupakan salah satu tarian budaya asal sumetera utara yang berkembang pada masa Kesultanan Serdang. agocopy.blogspot.com› Tradisional oleh Ervanda Saputra - dalam 78 lingkaran Google+ 12 Okt 2012 - Tarian Serampang Dua Belas diciptakan oleh Sauti pada tahun 1940-an dan digubah ulang oleh penciptanya antara tahun 1950-1960. wisatasumatera.wordpress.com/wisata...utara/tariserampang dua-belas/ Tari Serampang Dua Belas merupakan salah satu dari sekian banyak tarian yang berkembang di bawah Kesultanan Serdang di Kabupaten Serdang Bedagai.
Daftar Pustaka, Glosari, dan Informan
GLOSARI
cengkok
: hiasan melodis musik Melayu yang berupa mengayunkan nada-nada, dapat dibandingkan dengan teknik legato pada musik Barat. gerenek : hiasan melodis musik Melayu yang berupa memunculkan nada-nada yang berinterval relatif rapat dan densitasnya juga relatif padat. igal : sebuah terminologi untuk penyebutan tarian Melayu, gerakan yang secara umum dilakukan oleh tubuh (terutama pinggul jamu sukut : adalah penyebutan untuk upacara kenduri dalam kebudayaan Melayu Sumatera Timur. lenggang : gerakan lenggok atau liuk pinggang dan badan yang disertai ayunan tangan dan jari. liuk : disebut juga liok, teknik menggerakkan badan ke bawah dan biasanya sambil miring ke kiri atau ke kanan, gerakan ini sering juga disebut dengan melayah. mak inang : salah satu rerntak dalam tari dan musik Melayu, yang menggambarkan tarian awal oleh para inang istana, temponya sedang (sekitar 120 ketukan dasar per menit). Rentak ini didukung oleh berbagai judul musik dan tari seperti Mak Inang Pulau Kampai, Mak Inang Melenggang, dan lainnya. patah lagu : adalah istilah dalam musik Melayu, yang pengertiannya merujuk pepada teknik menyentak-nyentakkan nada, atau memberi tekanan pada nada-nada tertentu, sebagaimana halnya teknik stakato dalam musik Barat. patam-patam : adalah sebuah rentak dan sekali gus judul lagu dalam kebudayaan Melayu (ada hubungan kulturalnya dengan musik Karo), tempo dan rentaknya cepat, berasal dari rentak mak inang, selalu digunakan mengiringi tarian silat atau patam-patam, yang di Semenanjung Malaysia dan Singapura disebut dengan rentak terancang. rentak : istilah dalam bahasa Melayu yang artinya adalah irama, pola ritme, jenis pukulan gendang, pola gerakan tari dan motifnya. Istilah ini merujuk kepada dimensi waktu, yang di dalamnya didukung oleh durasi not, aksentuasi, dan ostinato ritmis, dan lain-lainnya. Dalam bahasa misalnya digunakan dalam kalimat: “Mari kita serentak menyebutkan kata-kata ini.” Maknanya adalah kebersamaan dan kebulatan tekad, yang diucapkan secara lahiriah melalui kelisanan.
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
senandung
: adalah salah satu rentak yang lazim digunakan dalam musik dan tari Melayu, di Malaya disebut rentak asli. Temponya relatif lambat (sekitar 60 ketukan dasar per menit). Rentak senandung memerlukan siklus delapan ketukan dasar setiap polanya. sinandong : adalah satu genre seni musik (dan sastra) yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat Melayu di Asahan dan Labuhan Batu (Melayu Aslab). Musik ini menurut asalusulnya berasal dari cerita rakyat yang mengisahkan nelayan yangmengalami mati angin di tengah lautan. serampang : adalah alat menangkap ikan berupa trisula yang digunakan para nelayan, alat ini disebut juga harpun. syarak : adalah unsur serapan dari bahasa Arab yang artinya adalah hukum Islam tari : istilah yang seelalu dikaitkan dengan gerakan tangan, lengan, dan jari jemari dengan teknik lemah gemulai. tamadun : unsur serapan dari bahasa Arab yang artinya peradaban atau sivilisasi. tandak : yaitu gerak yang dilakukan oleh wajah, leher, lengan, jari tangan, dan kaki; dan tepung tawar : istiadat memercikan air ramuan, sebagai ucapan syukur dan semangat urung : klasifikasi pembagian wilayah kesultanan Deli yang dipimpin wazir zapin : salah satu genre musik dan tari (persembahan) Melayu yang diakulturasikan dari kebudayaan Yaman, terian pada upacara walimatul ursy, kemudian menjadi hiburan.
Daftar Pustaka, Glosari, dan Informan
DAFTAR INFORMAN 1. Ahmad Setia adalah seniman musik dan tari Melayu Sumatera Utara. Ia dipandang oleh sebahagian besar seniman tari dan musik Melayu di kawasan ini sebagai pemusik akordeon yang paling “sesuai” umtuk mengiringi tarian Serampang Dua Belas. Belaiu juga penggiat seni ronggeng Sumatera Utara. Ia tercatat sebagai guru di SMKI Patria, dan memiliki pengalaman bermusik di kawasan Sumatera Utara dan Dunia Melayu. 2. Anjang Nurtdin Paitan adalah seniman musik Melayu dan sekaligus sesepuh budaya Melayu yang berasal dari Pantailabu, Serdang, Sumatera Utara. Ia telah dipanggil Allah keharibaanNya di dasawarsa 1990-an. Ia adalah pemain biola Melayu yang handal, yang berpengalaman dalam seni ronggeng Melayu. Ia juga pernah menjabat sebagai kepala desa di Pantailabu, Kabupaten Deli Serdang, kini masuk ke dalam wilayah Serdang Bedagai. 3. Dra. Tengku Sitta Saritsyah adalah seniman tari dan musik Melayu Sumatera Utara yang ternama. Ia adalah pendiri Sanggar Seni Sri Indera Ratu (SIR) yang bermarkas di Kompleks Istana Kesultanan Deli. Ayah dan ibundanya adalah seniman Melayu dari Serdang. Setelah menikah dengan Tengku Muhammad Danil, ia giat mengembangkan seni pertunjukan Melayu. Selain sebagai seniman ia juga adalah ilmuwan seni, lulusan Sastra Inggris USU, dan pernah kuliah antropologi tari di UCLA Amerika Serikat. Ia telah dipanggil Allah di sisi-Nya, dan kegiatan seni ini diteruskan oleh anaknya yaitu Dra. Tengku Liza Nelita dan saudara-saudaranya. 4. Jose Rizal Firdaus, S.H., Al-Haj, adalah seniman, koreografer, pencipta tari-tarian Melayu Sumatera Utara. Ia mendirikan Lembaga Studi Tari (Lestari) Patria di era 1980-an, dan memimpinnya hingga kini. Ia pernah menjadi Raja Serampang Dua Belas di era 1970-an. Menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Sumatera Utara selama beberapa tahun di era 1990-an. Ia begitu concern terhadap tari-tarian Melayu: menampilkan, mengajarkan, dan mengembangkannya, baik di peringkat daerah, nasional, dan internasional. 5. Linda Asmita, S.Sn. adalah seniwati tari Melayu Sumatera Timur, yang sejak awal tergabung ke dalam Kelompok Seni Patria Tanjungmorawa. Selain sebagai seniwati tari Melayu, beliau juga berlatarbelakang sebagai ilmuwan seni, lulusan diploma tiga ASKI Padangpanjang, dan lulusan strata satu Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera
Ronggeng dan Serampang Dua Belas dalam Kajian Ilmu-ilmu Seni
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Utara. Pernah menjadi Ratu Serampang Dua Belas pada dekade 1980-an. Nasri Efas bin Ahmad Sa’ari, adalah seniman Melayu Sumatera Utara, yang kini tinggal di Pantaicermin, Kabupaten Serdang Bedaagai, Provinsi Sumatera Utara. Selain sebagai penari, beliau juga adalah pemusik Melayu, khususnya selalu bermain gendang Melayu, gambus, dan keyboard.Beliau dikenal sebagai seniman dari Kelompok Seni Patria Tanjungmorawa pimpinanm Jose Rizal Firdaus, S.H. O.K. Majrul, adalah seniman tari Melayu, khususnya tarian Serampang Dua Belas. Beliau adalah termasuk murid generasi pertama Guru Sauti. Bersama-sama dengan Jose Rizal Firdaus dan kawan-kawan, beliau membentuk Lembaga Serampang Dua Belas dengan tujuan menjaga kualitas tarian ini, di samping juga tetap menyebarkannya secara nasional. O.K. Thamrin, adalah cucu dari O.K. Adram, yang tinggal di Pantai Cermin, Serdang Bedagai. Kini beliau adalah sebagai guru linatu dan silat di kawasan ini. O.K. Zubaidi, adalah seniman tari Melayu, sebagai penarinya O.K. Adram dan Guru Sauti. Ia telah berpengalaman menarikan Serampang Dua Belas baik versi O.K. Adram maupun Guru Sauti. Ia juga sebagai informan kunci dalam penelitian ini, yang menyatakan Serampang Dua Belas awalnya diciptakan oleh O.K. Adram dan selanjutnya digubah (versi) Guru Sauti yang terkenal secara nasional. Romi Maghribi Ghazali Aziz adalah seniman tari Melayu yang berasal dari Binjai. Beliau telah berpengalaman mempertunjukan tari-tarian Sumatera Utara di kawasan ini sendiri atau juga ke mancanegara. Ia juga adalah seorang koreografer dan penata tari di kalangan generasi muda Melayu. Ia pernah menjadi Raja Serampang Dua Belas di era 1990-an. Singah Zakaria, adalah seniman tari Melayu, khususnya dari wilayah budaya Serdang. Ia mendalami tari-tarian Melayu, terutama genre-genre zapin, senandung, inang, dan joget. Ia mewariskan kesenimanannya ini kepada anak-anaknya, yang kini tinggal di Pasar Bengkel, Perbaungan, Serdang bedagai. Sumardi asalah seniman musik akordeon Melayu, yang selama hayatnya banyak melakukan pertujukan musik, khususnya dalam mengiringi tari-tarian Melayu tradisional seperti tari Persembahan, Mak Inang Pulau Kampai, Serampang Dua Belas, dan lain-lainnya. Aktivitas musikalnya banyak dicurahkannya di Lembaga Studi Tari Patria.
Daftar Pustaka, Glosari, dan Informan
13. Tengku Abrar adalah seniman musik Melayu yang berasal dari Kesultanan Deli. Ia telah berpengalaman menjadi musisi Melayu, termasuk dalam ensambel musik tradisi Melayu. Ia adalah saudara kandung Tengku Muhammad Danil. 14. Tengku Luckman Sinar, S.H. adalah sejarawan Melayu Sumatera Timur, yang juga sebagi budayawan dan seniman. Ia juga di penghujung hidupnya menjabat sebagai Pemangku Adat (Sultan) Serdang dengan nama lengkap Tuanku Luckman Sinar Basharshah II, Al-Haj, S.H. Beliau banyak menulis buku tentang sejarah dan budaya Melayu Sumatera Timur. Membentuk grup seni yaitu Lembaga Kesenian MABMI dan terakhir Sinar Budaya Group (SBG). 15. Tengku Muhammad Daniel, Al-Haj adalah seniman tari dan musik Melayu Sumatera Utara. Ayahnya yaitu Tengku Perdana adalah seniman Melayu Kesultanan Deli yang terkenal juga sebagai pencipta lagu seperti Pulau Puteri dan Cinta Hampa. Beliau adalah suami seniwati Tengku Sitta Syaritsa. Ia juga pernah menjadi Raja Serampang Dua Belas di era 1960-an. Pernah menjadi dosen luar biasa musik Melayu Sumatera Timur di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra USU. 16. Yusuf Wibisono adalah seniman Melayu keturunan Jawa (Pujakesuma). Beliau adalah pembuat alat-alat musik Melayu seperti gendang, rebana, rebab, dan lain-lainnya. Bahkan alat-alat musik gendang buatannya dianggap yang paling berkualitas di kawasan ini. Ia juga adalah pemain akordion, biola, dan gendang Melayu. Ia berpengalaman dalam musik ronggeng, dan pengelola pertunjukan ronggeng Melayu di Sumatera Utara.