Bab Dua Belas
Reintegrasi Sosial Pengantar Ketika berakhirnya perang dingin, dunia menyaksikan berbagai konflik internal pecah di mana-mana, Yugoslavia, Mecadonia, Kosovo, Rwanda, Anggola, Bosnia, Kroasia, Turki, Tajikistan, Myanmar dan lainnya, termasuk di Indonesia. Konflik-konflik internal tersebut memunculkan kembali isu self determination, konflik antar etnis dalam masyarakat yang plural dan multi etnis, ataupun konflik antara negara-masyarakat [Hadi, at.el, 2007]. Pada konflik-konflik internal yang pecah di Indonesia, Orde Baru telah memberikan andil terciptanya solidaritas in group dan out group tanpa pertimbangan keragaman etnis dalam masyarakat telah membuat konflik etnis menjadi sebuah “bom waktu.” Pemicu sekecil apapun bisa membuat konflik etnis atau agama meledak, tanpa dapat dicegah oleh pemerintah sekali pun. Oleh sebab itu, pasca pemerintahan Orde Baru tahun 1998, fanomena yang muncul sangat memprihatinkan karena menguatnya eskalasi konflik lokal pada sejumlah wilayah di Indonesia. Ketika Orde Reformasi yang dimaknai sebagai fase transisi [menuju demokratisasi], di satu sisi memang telah memberikan kebebasan yang lebih luas kepada rakyat untuk mengekspresikan diri, namun di sisi lain, justeru terjebak pada rapuhnya proses nation buiding [Hadi, at.el, 2007]. Konflik di Sambas, Timor Leste, Aceh, Papua, Posso dan Maluku, misalnya, merupakan konflik-konflik lokal yang menimbulkan dampak luas yang memprihatinkan. 233
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Dalam sejarah pekembangan masyarakat di Maluku, konflik sosial yang terjadi tahun 1999 merupakan salah satu konflik dengan tingkat eskalasinya sangat masif dan berlangsung dalam kurun waktu cukup lama [kurang lebih tiga tahun] serta menimbulkan efek destruktif yang sangat besar. Dinamika konflik yang kompleks dan penanganan yang parsial dari pemerintah mengakibatkan konflik terus berlarutlarut. Korban jiwa, harta benda serta hancurnya sarana-prasarana peribadatan dan fasilitas pemerintahan sangat memprihatinkan. Masyarakat merasakan dampak berantai, sehingga masalah yang datang silih berganti seakan tidak habisnya. Pertanyaan yang berhubungan dengan isu tentang keseluruhan orang Ambon dengan bagian-bagian yang membentuknya adalah “mengapa konflik yang terjadi dengan tingkat eskalasi yang sangat masif dan efek destruktif yang besar, begitu cepat terciptanya pemulihan sosial dalam masyarakat”? Hemat penulis, proses pemulihan sosial tersebut dapat terjadi begitu cepat karena lembaga-lembaga lokal yang merupakan “local genius” yang berperan dalam percepatan proses tersebut. Dalam bagian ini, penulis ingin melihat proses integrasi, konflik dan reintegrasi sosial pasca konflik Maluku.
Katong Samua Pada bagian ini, penulis akan menganalisis temuan lapangan sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya [bab VIII-X] dalam satu konsep yang penulis sebut “katong samua”. Konsep ini menunjuk pada identifikasi diri orang Ambon sebagai “satu keseluruhan” tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain dari segi agama yang dianut. “Katong samua” menunjuk pada pengertian lokal. Artinya, orang Ambon dalam realitas kehidupan sehari-hari menerapkan konsep ini secara selektif dan karena itu tidak dapat dicampuradukan dengan ciri umum budaya masyarakat lainnya. Dengan langsung menerima “katong samua” sebagai suatu kenyataan, maka etnisitas ditafsirkan sebagai “perasaan menjadi bagian dari” yang dibawa sejak lahir, dan yang mendasari sebuah identitas budaya Ambon. Karena itu, dalam bagian ini akan dibahas sintesa yang dimulai dengan merasio234
Reintegrasi Sosial
nalisasikan konsep reintegrasi sosial dan mengaitkannya dengan “katong samua” sebagai kekuatan perekat. Katong Samua, merupakan satu proses dialektis, antara individu [the self] dan dunia sosiokultural. Ketika reintegrasi sosial antar komunitas [orang Ambon] diwujudkan melalui katong samua, maka eksistensi reintegrasi sosial dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Pertanyaan yang menuntun kita pada identifikasi ‘katong samua’ adalah ‘sapa-sapa [Indonesia: siapa] saja yang dapat dikatakan sebagai katong samua?’ Penunjuk ‘sapa’ melalui pertanyaan ini terdengar sangat mendua-arti bagi orang luar. Namun bagi orang Ambon pertanyaan tersebut merupakan konsep yang jelas [lihat Bab IV, V]. Dalam konteks ini, identitas dilambangkan dengan satu atau beberapa unsur yang dapat menandai bukan hubungan antara dua kelompok, melainkan jarak di antara dua kelompok itu yang kurang lebih sama dibandingkan dengan bagian masyarakat lain. Pemikiran teoritis mengenai penggunaan identitas sebagai alat [pemersatu] mengingatkan pada penelitian meyakinkan yang dilakukan oleh P. Bourdieu mengenai strategi kelompok-kelompok kekerabatan. Dalam kajiannya, Bourdieu [1980] mempersoalkan gagasan bahwa kelompok geneologis bersifat konstan dan bermakna tetap dengan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok ini sebenarnya didefinisikan oleh pelaku-pelaku sosial sesuai dengan kepentingannya dan bukan sebaliknya. Dalam hubungan dengan itu, J. Nagata [Perret, 2010] juga menggarisbawahi perbandingan itu dengan mengatakan bahwa kelompok etnis, di luar segala kondisi objektif yang ikut mempengaruhi kelahirannya, sempat menciptakan mitos asal-usul, kekerabatan, wilayah, bahkan juga agama atau bahasa yang sama, dengan cara yang sama dengan proses penciptaan silsilah untuk mengesahkan hubungan dan tata kekerabatan tertentu. Terhadap kedua pikiran teoritis seperti tersebut di atas, memperkuat hasil temuan lapangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya [lihat bab IV,V]. Hal penting yang mungkin dapat dikemukakan adalah, Bourdieu cenderung lebih menunjukkan pada strategi yang diarahkan untuk memenuhi kepentingan materi dan simbolis. Dengan 235
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
mencontohkan hubungan perkawinan, di sini sebenarnya ia [Bourdieu] lebih menitik beratkan kajiannya pada sitem pertukaran yang terjadi dalam masyarakat. Hemat penulis, Bourdieu belum melihat bahwa di samping kelompok geneologis, juga ada kelompok teritorial yang mengikat warga masyarakat satu dengan yang lainnya. Temuan lapangan menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa yang pernah dialami bersama pada masa lampau, kemudian menjadi landasan untuk membangun persekutuan antar negeri yang dikenal dengan “pela” dan “gandong” [Cooley, 1962; Bartels, 1977]. Yang menarik di sini adalah, ada keteraturan [order] 1 dan keterulangan [regularities]. Menurut penulis, realitas ini lah [pela dan gandong] merupakan strategi kelompok-kelompok yang mengikat mereka [orang Ambon] secara lebih konstan dan bermakna. Bagi Geertz [1963], yang namanya hubungan darah atau hubungan emosional merupakan sesuatu yang given atau yang sudah pasti ada dalam setiap kebudayaan dan masyarakat, dan hal ini tidak dapat dielakkan. Artinya, kita tidak pernah menyangkal bahwa kita semua dilahirkan dalam suatu komunitas tertentu yang “dari sana sudah ada”. Kesatuan yang dibangun atas dasar kepentingan bersama ini akan melahirkan ritus-ritus sosial. Acara panas pela, gandong, dan pelantikan raja [lihat Bab V, IX, X] yang diadakan secara kolektif dan reguler dimaksudkan agar masyarakat disegarkan dan dikembalikan akan pengetahuan dan makana-makna kolektif. Dalam ritus, dihadirkan kembali makna realitas dalam masyarakat [makna sosial]. Dengan demikian, dalam ritus tersebut masyarakat memperbaharui kerangka epistemologis yang secara multi-dimensional menentukan dinamikanya. Kai Erikson, memaknai realitas seperti yang digambarkan di atas sebagai “bondary maintenance” atau penjaga batas. Erikson [Supriyono, 2005] menyatakan bahwa, masyarakat secara bersama-sama menjaga 1 Untuk merawat relasi timbal-balik, anggota/warga dua kelompok yang terikat dalam satu ikatan pela atau gandong, mereka dilarang untuk saling menikah, harus saling menjaga dan melindungi, tolong-menolong secara timbal-balik. Dan atas dasar kesepakatan bersama, pada waktu tertentu dilaksanakan aktivitas panas pela dan panas gandong.
236
Reintegrasi Sosial
batas yang dapat diterima menurut nilai-nilai yang secara kolektif mereka hayati. Aktivitas pembangunan rumah-rumah peribadatan [Mesjid dan Gereja] yang dilakukan secara bersama-sama misalnya [lihat Bab V, IX, X], cara ini digunakan [masyarakat] untuk menegakkan kembali nilai-nilai kesatuan dan moralitas kolektif; yang oleh Durkheim disebut “the sacred”. Menurut Durkheim [Ritzer dan Goodman, 2008], nilai-nilai yang disepakati, atau the sacred itu, berperan untuk menjaga keutuhan dan ikatan sosial sebuah masyarakat serta secara normatif mengendalikan gerak dinamika sebuah masyarakat. Itulah hukum utama dan terutama dalam sebuah masyarakat yang juga sumber identitas kolektif. Dengan demikian, Celestine Bougle [Supriyono, 2005] mengatakan bahwa dalam situasi seperti ini, dimensi religius membingkai logika budaya komunitas setempat. Dengan mengadopsi logika Berger dan Luckman [1990], pola ini akhirnya memperoleh generalitas yang paling tinggi, di mana dibangun suatu dunia arti simbolis yang universal, yang kemudian disebut sebagai pandangan hidup atau ideologi. Pandangan hidup yang diterima umum itu dibentuk untuk menata dan memberi legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan makna pada pelbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari. Legitimasi di sini adalah proses penjelasan [unsur kognitif] dan pembenaran [unsur normatif] dari suatu interaksi antar individu.
237
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
KATONG SAMUA [Struktur Sosial-Budaya] Agama Samawi [Islam – Kristen]
Segregasi Salam
Segregasi Sarane Konsensu
Katorang/ Dorang
Katorang/ Dorang Dominasi Subordinasi Mayoritas Minoritas
Negara Islam TNI
Segregat extrapolar Salam yang extrim
Konflik
Segregat extrapolar Sarane yang extrim
Gambar 1 Model 2 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
Katorang versus Dorang Pada bagian ini, penulis akan melakukan analisis terhadap temuan lapangan [sebagaimana telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya] dalam satu konsep yang penulis sebut “Katorang versus Dorang”. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, orang Ambon baik secara individu maupun kelompok, mengetahui benar dengan siapa atau dengan kelompok mana ia memiliki pertalian darah dan dengan demikian memiliki hubungan kerabat baik kerabat dekat maupun kerabat jauh. Biasanya kelompok-kelompok itu apabila berhadapan dengan kelompok lain, maka kelompok itu disebut dorang [Bahasa Indonesia: mereka] dan kelompoknya sendiri sebagai katorang [Bahasa Indonesia: kami]. Konsep ini menunjuk pada adanya diferensiasi sosial yang 2
Model ini dibangun dari ide imajinatif penulis.
238
Reintegrasi Sosial
terjadi ketika masuknya agama samawi kemudian membela masyarakat [orang Ambon] menjadi “salam dan sarane” [Islam dan Kristen]. Artinya, penulis memiliki alasan yang jelas untuk mengakui, menghargai, dan mempertahankan kebebasan tersebut. Tentu saja pilihan selalu dibuat dalam batas-batas tertentu yang kita pandang layak. Dengan mengadopsi logika Vel [2010], maka pertanyaan yang menuntun kita kepada identifikasi jejaring adalah “rumah siapakah yang dapat dikatakan sebagai “kita punya rumah sendiri?” Penunjuk rumah melalui pertanyaan ini terdengar sangat mendua-arti bagi orang luar. Namun bagi orang Ambon, pertanyaan tersebut merupakan konsep yang sudah jelas. “Kita punya rumah sendiri” berlaku terhadap kelompok [jejaring] jika seseorang dapat selalu bebas masuk, dan tinggal, dengan atau tanpa suatu alasan khusus. Ini bukan berarti seseorang dapat mengandalkan dukungan dan keramahtamahan dari para penghuninya, atau seseorang akan bebas mengharapkan dan mendapatkan kemurahan hati atau bantuan materi, tetapi realitas tersebut menjelaskan bahwa sekalipun terjadinya diferensiasi sosial dalam kehidupan masyarakat namun kebudayaan lokal [pela, gandong dan kerabat] masih mengikat mereka satu dengan yang lainnya. “Rumah kami adalah rumahmu” menunjuk pada pengertian lokal. Negeri Siri Sori [Salam-Sarane], Tamilou [Salam] dan Hutumuri [Sarane] misalnya, adalah kelompok masyarakat atau negeri yang tergabung dalam persekutuan ‘bongso’ yang memiliki latar belakang sejarah yang sama sekali pun berbeda dari segi agama yang dianut, yang pada dasarnya dilahirkan oleh seorang “Ibu” atau dari “rahim” yang sama, gandong dan dengan posisinya masing-masing sebagai adik atau kakak. Demikian pula, negeri Tulehu (Islam), Sila (Kristen), Laimu (Islam), Paperu (Kristen), Asilulu (Islam), Tial (Islam) dan Hulaliu (Kristen) adalah kelompok masyarakat yang tergabung dalam persekutuan “silatupatih siratu yama wallu” adalah kelompok-kelompok masyarakat atau negeri yang memiliki latar belakang agama yang berbeda satu dengan lainnya. Hubungan kekerabatan yang dibangun oleh kelompok-kelompok masyarakat tersebut melalui sebuah persekutuan memperlihatkan adanya gagasan pluralisme dalam masyarakat tersebut. Peristiwa sejarah masa lampau yang memberikan gambaran bahwa mereka pada 239
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
dasarnya dilahirkan oleh seorang “Ibu” atau dari “rahim” yang sama, gandong dan dengan posisinya masing-masing sebagai adik atau kakak menuntut untuk saling menolong dalam berbagai konteks hubungan sosial, saling menghargai dan memperhatikan dalam keberagaman.
Islam
Kebudayaan lokal
Kristen
Gambar 2 Hubungan antara Agama Samawi dengan Kebudayaan Lokal
Walaupun terhadap realitas seperti ini, para pemikir komunitarian cenderung berpendapat bahwa identitas komunal yang tepatpasti hanyalah merupakan persoalan realisasi diri, dan bukan persoalan pilihan [Sen, 2007]. Akan tetapi, sulit bagi kita untuk percaya bahwa orang sama sekali tidak punya pilihan dalam menentukan derajat kepentingan relatif yang dikenakannya pada berbagai kelompok tempatnya bernaung. Atau bahwa dia hanya perlu “menemukan” identitas kodratinya, seolah langkah “menemukan” identitas itu sepenuhnya merupakan fenomena alami. Pada kenyataannya, penulis berpendapat bahwa sepanjang waktu kita semua terus menentukan pilihan-pilihan, walaupun meski cuma secara tersirat, mengenai prioritas yang mesti diambil berkenaan dengan afiliasi dan asosiasi kita yang berbeda-beda. Kebebasan untuk menentukan kesetiaan dan prioritas di antara pelbagai macam kelompok [pertalian kita], menurut hemat penulis, merupakan sebuah kebebasan yang teramat penting. Adanya pilihan ini tentu saja tidak menandakan bahwa pilihan tersebut tidak dibatasi oleh hambatan-hambatan. Hemat penulis bahwa, sepanjang perkembangan diferensiasi sosial tetap fungsional dan sifatnya saling mengisi, ketidakpuasan dan perselisihan di dalam masyarakat kecil kemungkinan bakal tersulut.
240
Reintegrasi Sosial
Pasca kemerdekaan hingga masa pemerintahan Orde Lama, kebebasan warga negara [masyarakat] dalam menentukan pilihan saat itu memperoleh bingkai nasionalisme yang cukup kuat, sehingga proses-proses dialektika yang sesungguhnya mengandung ancaman disintegrasi dapat diletakkan dalam kerangka persatuan untuk secara bersama-sama mencari bentuk ideal dari sebuah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Namun, ketika Orde Baru mengambil alih tampuk kepemimpinan, kebebasan tersebut mulai dicederai. Pada saat itu, tatanan pluralisme primordial [diferensiasi dimaksud] tidak dilihatnya sebagai potensi positif yang bisa dijadikan starting point untuk memfasilitasi perkembangan masyarakat dan bangsa, namun realitas tersebut diwaspadai sebagai ancaman yang berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa [baik secara sosial maupun politik]. Implikasinya, tertib sosial yang berhasil dicapai hanya mencerminkan kualitas integrasi sosial politik yang semu, karena nilai-nilai apresiatif terhadap realitas kemajemukan tidak ter-institusionalisasi apalagi ter-internalisasi dalam perilaku berbagai kelompok baik komunitas etnis, agama maupun golongan. Karena itu, wajar bila sketsa masyarakat seperti ini dapat dilihat sebagai imperatively coordinated associations (persekutuan yang terkoordinasi secara paksa). Dengan demikian, tidak terlalu mengherankan jika keteraturan yang terdapat dalam masyarakat dinilai hanya disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari golongan penguasa. Pergulatan rumit dari realitas tersebut di atas mengakibatkan munculnya benturan antara ideologi lama [struktur sosial] yang mulai mengalami proses pelemahan dengan ideologi baru [individualisme] yang belum sepenuhnya terbentuk. Kebijakan penyeragaman yang diwujudkan melalui intervensi dan penerapan UU nomor 5 tahun 1979 [tentang sistem pemerintahan Desa] misalnya, hemat penulis, ternyata menimbulkan instabilitas struktur sosial yang sangat melemahkan jaringan hubungan antar institusi lokal, sehingga lembaga pemerintahan adat, pela, gandong dan berbagai institusi adat lainnya berada dalam keadaan sekarat. Penulis berpendapat bahwa, hal ini disebabkan karena sistem dan jaringan kelembagaan dalam konteks UU tersebut adalah berbeda dengan yang terakomodasi dalam adat istiadat satu masyara241
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
kat. Pela dan gandong misalnya, terkait bukan dengan desa, tetapi dengan negeri sebagai suatu totalitas. Pada masa lalu, beberapa institusi adat [seperti pela dan gandong] tersebut merupakan bukti betapa masyarakat [orang Ambon, khususnya] sebelumnya memiliki sejumlah kearifan pengetahuan lokal untuk memelihara tertib sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Institusi yang dibentuk berdasarkan hubungan-hubungan kekerabatan baik geneologis maupun teritorial tersebut, mengandung makna aliansi yang memadukan perbedaan-perbedaan dalam suatu wadah persatuan. Maksudnya, persatuan yang terwujud secara tradisional, tidak menghilangkan identitas diri masing-masing kelompok subsuku (yang umumnya berbeda agama); sebaliknya, simbol-simbol perbedaan yang ada selalu digunakan mewarnai dan mendukung pola interaksi antar kelompok. Seiring dengan perubahan sosial yang terjadi, maka di satu pihak, melemahnya ikatan kekerabatan antar kelompok lokal (Salam-Sarani); sementara dilain pihak, terjadi penguatan solidaritas atas dasar kesamaan agama yang dianut. Dalam situasi tersebut van Klinken [2007] mengatakan bahwa, subteks relegiusitas yang tersembunyi akan mewarnai kapital simbolis yang menggambarkan persaingan diam-diam antara dua agama besar yakni Islam dan Krsiten Protestan. Komunitas Salam
Pendatang Islam
Diikat oleh budaya Universal [Menguat]
Komunitas Sarane
Diikat oleh Budaya lokal [Melemah]
Pendatang Kristen
Diikat oleh budaya Universal [Menguat]
Sumber : Pariela, 2008.
Gambar 3 Perubahan Pola Hubungan Sosial Komunitas di Maluku
242
Reintegrasi Sosial
Penguatan solidaritas atas dasar kesamaan agama yang dianut semakin dipertegas ketika Indonesia memasuki apa yang disebut era reformasi. Penanda pada era baru ini adalah kebebasan. Jika pada masa Orde Baru berbagai partikularitas identitas-dirangkun dalam istilah SARA [suku, agama, ras, dan antar golongan]-dibungkam sedemikian rupa, reformasi justeru memberi kesempatan seluasnya bagi partikularitas tersebut untuk hadir mengisi ruang publik. Amin Mudzakkir [2011] menyatakan bahwa, pada titik ekstrimnya, kehadiran identitas yang dulunya terbungkam itu berubah perseteruan berdarah. Integrasi nasional sempat terancam, namun pemerintah dapat mengatasi tantangan tersebut. Setahun setelah reformasi digulirkan, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang [UU] Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia [HAM]. Ini adalah terobosan yang luar biasa dan kontras dengan kebijakan pemerintah sebelumnya. UU tersebut memuat jaminan negara terhadap hak sipil dan politik warga negara. Termasuk di dalamnya adalah kebebasan beragama. Dilihat dari sisi legalitas, hak sipil dan politik di Indonesia telah mempunyai sandaran yang kuat. Namun dalam realitasnya, dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu untuk memposisikan diri dalam format politik Indonesia baru. Sejak saat itu lah, isyu agama sebagai salah satu sarana pembinaan solidaritas dan sentimen ingroup menjadi pilihan strategis untuk menggalang kekuatan massa, sehingga terkesan bahwa agama sementara diposisikan sebagai kendaraan politik bukanlah kesan yang absurd semata. Artinya, makna agama sebagai suatu keyakinan atau akidah direduksi sedemikian rupa menjadi semata-mata suatu fenomena sosial yang bisa ditunggangi demi kepentingan sesaat dari orang-perorangan atau kelompok tertentu. Realitas ini dapat terjadi karena, perkembangan Islamisme di Timur Tengah telah menyulut api radikalisme keagamaan di Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya [Fealy dan Bubalo, 2007]. Gerakan yang bersumber pada doktrin Salafi Wahabi itu pada dasarnya menyerukan purifikasi. Jargonnya adalah Islam ‘kaffah’ [‘sepenuhnya’]. Mudzakkir [2011] mengatakan, sikap mereka bersifat sekuler. Tidak ada pembedaan antara partikularitas dan universalitas, ruang privat dan 243
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
ruang publik; negara harus berdasar agama, tentu agama berdasarkan penafsiran tertentu yang diyakini oleh mereka, sehingga jika ada individu atau kelompok yang meyimpang atau melakukan penodaan terhadap agama, negara wajib turun tangan. Mudzakkir menambahkan bahwa, akibat dari Islamisme yang melahirkan kelompok Islam radikal ini adalah peneguhan Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, sebagai pusat Islam. Apa yang dihasilkan oleh ulama di sana dijadikan acuan oleh ulama di sini [Indonesia]. Fatwa sesat terhadap Ahmadyah lahir dalam konteks ‘globalized Islam’ seperti ini [Roy, 2006]. Sejak saat itu, berbagai fatwa serupa bermunculan di negara-negara Muslim lainnya, seperti di Malaysia, Brunai Darussalam, dan Pakistan [Mudzakkir, 2011]. Akibat lebih lanjut yang muncul di Indonesia adalah, sosialisasi berbagai isyu yang merangsang menguatnya sentimen dan solidaritas kelompok pada grassroot level, terutama yang bernuansa agama “dimainkan” oleh orang atau kelompok tertentu, sehingga suasana bathin kelompok masyarakat lapisan bawah terkondisi dalam format yang sangat eksklusif. Salah satu akibat yang dirasakan dalam kehidupan masyarakat di Ambon adalah munculnya segregasi secara ekonomi dan politik. Akibat perkembangan lebih lanjut dari situasi sebagaimana digambarkan di atas, pada akhir tahun 1980-an persaingan antar kelompok di sektor publik semakin meningkat di Ambon. Salah satu hasil penelitian yang pernah dilakukan di Ambon menunjukkan bahwa, dalam jabatan-jabatan politik-birokrasi di pemerintahan daerah, dikotomi berdasar agama ini berlaku [Hadi, et.al, 2007]. Pada awalnya, pola semacam ini tidak menimbulkan masalah yang cukup berarti karena tiap-tiap kelompok mampu menjaga hubungan yang relatif harmonis. Namun, pola tersebut menjadi semakin mencolok yang mengarah pada penguatan identitas dan kelompok berdasarkan agama. Karena itu, Pariela [2008] mengatakan bahwa, pergeseran medan dari conflict of interest menjadi konflik ideologis secara terbuka pada tataran lapisan bawah, bisa diidentifikasi melalui kerusuhan sosial dan pertikaian antar kelompok yang terjadi di berbagai wilayah tanah air.
244
Reintegrasi Sosial
Mayoritas versus Minoritas Pada awal tahun 1980-an, perkembangan diferensiasi sosial dalam kehidupan orang Ambon tetap masih fungsional dan sifatnya saling mengisi. tidak ada persoalan dengan mayoritas dan minoritas. Namun ketika perbedaan dan benturan kepentingan mulai muncul serta makin menguatnya solidaritas atas dasar kesamaan agama yang dianut, konflik antar kelompok di dalam diferensiasi sosial mulai muncul. Hasil studi yang dilakukan di Ambon menunjukkan bahwa persaingan dalam jabatan-jabatan publik yang kemudian dibungkus dalam kompetisi agama-menimbulkan kecurigaan-kecurigaan pada kedua belah pihak [Hadi, et.al, 2007]. Sesungguhnya, cara-cara alternatif untuk merespons ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat suatu bangsa pada taraf tertentu saling berebut perhatian warga dunia saat ini. Di Indonesia, kebebasan warga dalam menentukan pilihan mulai diciderai ketika Orde Baru mengambil alih tampuk kepemimpinan nasional. Hal ini ditandai dengan tumbuh suburnya Islamisme di Indonesia dalam dua dekade terakhir seiring dengan perubahan relasi kekuasaan pada masa orde baru. Dengan mengadopsi pikiran Mudzakkir [2011], di akhir masa kekuasaannya, Soeharto terlihat semakin dekat kepada kelompok Islam. Ini kontras dengan kebijakan Soeharto pada awal masa kekuasaannya yang justeru sangat keras terhadap mereka [Islam]. Perubahan orientasi politik ini tidak lepas dari perpecahan di dalam kelompok elit lama. Menurutnya, dengan menggandeng kelompok Islam, Soeharto berharap bisa melanjutkan pemerintahan yang dipimpinnya lebih lama lagi. Namun menurut sebagian kalangan intelektual Muslim [yang kemudian tergabung dalam ICMI], kedekatan Soeharto dan kaum Muslim adalah perkembangan baik yang menguntungkan kedua belah pihak [Hefner, 2001]. Pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia [ICMI] pada tahun 1990 misalnya, dapat dilihat sebagai salah satu bentuk kebijakan pemerintah Orde Baru yang menyediakan fasilitas bagi warga Muslim memanfaatkan berbagai peluang dan mempromosi jabatan terutama dalam lingkup pemerintahan [Pariela, 2008]. Dengan kata 245
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
lain, komunitas Islam di Ambon, baik penduduk lokal maupun para pendatang [orang dagang], memperoleh keuntungan dari dinamika pembangunan yang berlangsung di era Orde Baru [Ratnawati, 2006]. Itulah sebabnya, Tomagola mengatakan bahwa, “kartu keanggotaan ICMI menjadi semacam ‘SIM’ dalam rekrutmen jabatan-jabatan penting di birokrasi pemerintahan di Maluku, Ambon khususnya” [Ratnawati [2006]. Pasca pembentukan ICMI, selain persaingan merebut jabatan yang dikesankan terjadi antara Islam-Kristen, sebetulnya dalam lingkup Muslim pun terjadi kompetisi berdasarkan asal desa. Sejak tahun 1992, kebijakan penempatan dan atau promosi pegawai dalam lingkup Kantor Gubernur, selain didominasi kalangan Muslim seperti dikatakan Bertrand [2004], dan Ratnawati [2006], juga diprioritaskan kepada mereka yang berasal dari desa tertentu [seperti dari Desa Ori, Pelauw dan Kailolo di pulau Haruku]. Latarbelakang tersebut ternyata membuka jalan bagi kelompok Islam radikal untuk tampil dalam panggung politik Indonesia di era reformasi. Mudzakkir [2011] menyatakan, berbeda dengan kelompok Islam politik yang memilih mendirikan partai dan berjuang di jalur formal, kelompok Islam radikal tak segan beraksi di jalanan dan terlibat kekerasan. Di bawah pemerintahan Habibie, sebagian dari kelompok itu ikut serta dalam konflik berdarah bernuansa keagamaan di beberapa daerah [Hasan, 2008]. Ketika Abdurrahman Wahid berkuasa, terlihat usaha untuk membatasi ruang gerak mereka [kelompok Islam], karena rezim ditopang oleh aparat negara yang cerai berai, usaha tersebut justeru membuat kelompok tersebut semakin radikal. Situasi ini justeru dimanfaatkan kalangan politisi mendongkel Wahid [Barton, 2007]. Perkembangan yang hampir sama terjadi pada masa pemerintahan Megawati. Selama kurang lebih enam tahun masa kekuasaan tiga presiden tersebut, kelompok Islam radikal justeru semakin meluaskan pengaruhnya dalam proses pengambilan kebijakan publik, tidak hanya di pusat, tetapi juga di daerah. Menurut Mudzakkir [2011], pada titik ini lah, terdapat kolaborasi tertentu antara kelompok Islam radikal dan para politisi Muslim. Lebih jauh dikatakan bahwa, didasari oleh campuran keyakinan keagamaan dan kepentingan politik, lahirlah peraturan bernuansa 246
Reintegrasi Sosial
syari’ah. Dalam situasi seperti ini, kata Mudzakkir, sentimen dan peraturan atau keputusan anti-Ahmadyah semakin memperoleh legitimasi. Terhadap realitas tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa di sini lah, perbedaan dan benturan kepentingan mulai muncul. Dan sejak saat itu lah, identitas mayoritas versus minoritas dikembangkan dengan dimulainya gejala yang tidak disadari untuk membuat kategorisasi dalam masyarakat.
Dominasi versus Subordinasi Sesungguhnya, cara-cara alternatif untuk merespons ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat suatu bangsa [termasuk di Indonesia] pada taraf tertentu menjadi perhatian warga dunia saat ini. Penanganan terhadap dampak ketimpangan dalam masyarakat akan banyak ditentukan oleh cara kita mendekati isu identitas. Penulis berpendapat bahwa, jika dalam suatu masyarakat terdapat ketidakseimbangan antar etnik, maka di sini akan mudah bagi kita untuk menemukan berbagai kasus dominasi dan didominasi. Sekalipun para sosiolog menganggap split-class theories bagian dari aliran Marxis yang menggunakan logika dikotomi kelas dalam menjelaskan realitas kehidupan suatu masyarakat, namun penulis beranggapan bahwa teori ini telah memberikan sumbangan yang besar bagi kita untuk memahami ketimpangan penguasaan aset di dalam masyarakat. Adapun fokus dari split-class theories sebagai berikut: “Dalam setiap kelas, ada segmen atau sektor tertentu yang dijadikan sebagai subjek praktik diskriminasi, dan pembagian tersebut sering kali berbasis kelas dan etnik” [Liliweri, 2009]. Jika kita menggunakan logika split-class theories tersebut sebagai pisau analisis untuk menjelaskan fakta yang ditemukan di lapangan [lihat Bab XI], akan tampak sebagai berikut: bangunan pasar induk dan pasar ikan yang disediakan pemerintah Kota Ambon untuk menampung para pedagang, namun dalam kenyataannya hanya ditempati oleh 247
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
para migran etnis Buton, dan Bugis Makassar [BBM]. 3 Tidak ada ruang kosong bagi warga lokal, 4 akibatnya, trotoar di badan-badan jalan dimanfaatkan [ditempati] warga lokal untuk menjajakan barang-barang dagangan mereka [lihat Bab XI]. Mengadopsi logika Blauner, pola ini tampak mencerminkan kelompok mayoritas memiliki posisi dominan dan minoritas diletakkan sebagai subordinan. Blauner [dalam Liliweri, 2009] mengatakan bahwa akibatnya, hubung-an antar kelompok mayoritas dan minoritas dapat digambarkan sebagai hubungan “kolonial dan eksploitatif” sehingga semua peran minoritas secara sadar akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan mayoritas. Dalam situasi seperti ini, hemat penulis, negara [pemerintah] harus berperan aktif menciptakan sistem pengawasan terhadap perilaku “dominasi,” dengan cara menciptakan perangkat hukum sebagai legitimasi yang kuat untuk mencegah pola-pola perilaku dominasi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, stratifikasi kelompok [etnik] akan merupakan pola-pola perilaku yang relatif tetap, yang berpotensi menciptakan terjadinya benturan fisik dalam masyarakat. Realitas tersebut dapat terjadi karena, peningkatan arus migrasi ke Maluku terutama terjadi pada tahun 1960-an dan 1970-an [Bertrand, 2002]. Para migran umumnya berasal dari Sulawesi [Bugis, Buton, Makassar] dan Jawa, dengan motif ekonomi [Hadi, et.al, 2007] Mereka kemudian bekerja sebagai pedagang sehingga berhasil mendominasi sektor ekonomi kecil dan informal. Ini dapat terjadi karena penduduk lokal sebagian besar tidak begitu tertarik dalam bidang perdagangan dan cenderung lebih berorientasi untuk bekerja sebagai pegawai negeri. Menurut mereka, dominasi dalam sektor ekonomi tersebut dalam taraf tertentu menimbulkan benih-benih ketidaksukaan di kalangan rakyat lokal Ambon, khususnya yang beragama Kristen. Selain itu, kerap pula terjadi friksi antara para migran dengan penduduk lokal misalnya dalam kasus pemilikan tanah. Rakyat lokal menilai para migran telah merebut tanah-tanah mereka secara sepihak, Para pedagang etnis Buton, dan Bugis Makassar [BBM] ini seluruhnya beragama Islam. Khususnya yang beraga Kristen.
3 4
248
Reintegrasi Sosial
sementara para migran juga mengklaim bahwa tanah tersebut telah menjadi milik mereka karena telah lama didiami. Terhadap temuan penelitian tersebut, Sen [2007] mengatakan bahwa, inilah dunia dengan identitas yang terbelah-belah kaku, di mana perbedaan tajam di bidang ekonomi-politik dicocok-cocokkan sebagai sebuah “subtema” agar seolah pas dengan perbedaan etnisitas religius. Hemat penulis, tidak dapat dipungkiri, adanya diagnosa tersebut di atas relevan dengan kenyataan. Namun, dalam kasus pemilikan tanah, penulis tidak sependapat. Penulis akui bahwa pola pemilikan dan penguasaan tanah pada setiap daerah di Indonesia berbeda antara satu dengan yang lain. Tanah-tanah di Ambon dan Lease adalah tanah adat yang dikuasai oleh hak petuanan [beschikkingstrecht] dari setiap negeri, dan dibagikan kepada penduduk asli negeri sebagai hak milik. Hak atas tanahnya dapat diwariskan oleh keturunan dari pemegang hak tersebut 5. Fakta yang penulis temui di lapangan menunjukkan bahwa, orang luar [bukan orang Ambon] yang datang untuk tinggal dan atau berusaha di satu negeri, sekalipun sudah lama mendiami sebidang tanah tertentu namun ia tidak dengan leluasa dapat mengklaim sebagai miliknya [lihat Bab V].
Konflik Diferensiasi sosial di satu sisi memang mudah dimanipulasi sehingga melahirkan disorganisasi sosial. Tetapi di sisi lain, adanya diferensiasi sosial sebenarnya juga tidak berarti akan selalu berubah menjadi konflik jika masyarakat arif untuk merawatnya. Konflik Maluku yang terjadi awal tahun 1999 itu mengakibatkan terjadinya pemilahan sosial yang tegas menurut garis keagamaan yang dianut dalam kehidupan orang Ambon. Kejadian tersebut mendadak secara dramatis, dan masyarakat desa yang semula hidup rukun saling tolong-menolong [lihat Bab V] berubah menjadi saling curiga, saling bertikai, dan bahkan saling membunuh [lihat Bab VI,VII,VIII]. Sebelum konflik tahun 1999, walaupun berbeda agama [idiologi], hubungan 5
Untuk hal ini, lihat hasil penelitian ziwar Effendi, 1987, Hukum Adat Ambon-Lease.
249
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
antar kelompok di Ambon khususnya [dan Maluku umumnya] relatif aman dan jarang terjadi konflik antar kelompok. Konflik dadakan itu sepertinya terjadi tanpa sebab yang terang, namun jelas hal itu tidak sebabkan oleh faktor tunggal yang dapat dipersalahkan sebagai penyulut konflik [Hadi, et.al, 2007]. Menurut mereka, konflik Maluku mungkin dianggap sebagai konflik horisontal semata, namun jika dilacak lebih jauh dan lebih mendalam maka akan tampak bahwa terdapat relasi yang tidak harmonis antara negara dan masyarakat secara vertikal. Diakui oleh mereka bahwa, faktor-faktor lokal memang dominan dalam sketsa konflik, tetapi tidak dapat diabaikan pula bagaimana setting dan landscape politik nasional turut berpengaruh. Hasil studi tentang konflik Maluku yang dilakukan Trijono [2001], mengungkapkan bahwa agama, baik sebagai ideologi maupun institusi telah mengalami politisasi sedemikian rupa sehingga menyebabkan terjadinya penguatan solidaritas in-group dari masing-masing kelompok penganut agama yang sama. Menurut Ted Robert Gurr [1971] bahwa, perbedaan ideologi yang dipertajam, pada gilirannya mewujud dalam bentuk kekerasan fisik, karena terjadi justifikasi rasional dan justifikasi kolektif. Dalam pandangannya, justifikasi rasional meliputi alasan-alasan pembenaran yang memperkuat kondisi kekecewaan yang dialami masyarakat, sementara justifikasi kolektif terkait dengan variabel-variabel yang menjadi identitas dari sebuah kelompok seperti agama, etnis, ras dan sebagainya. Kombinasi justifikasi inilah yang membentuk motif konflik sebagaimana tercermin dalam perilaku destruktif seseorang atau sekelompok orang, sehingga membawa dampak negatif yang meluas dalam tatanan kehidupan masyarakat. Dalam menjelaskan realitas konflik Maluku, beberapa kalangan tidak sekedar menelusuri pemicunya, tetapi juga mencoba mendalami kondisi sosio-historis masyarakat Maluku sejak masa kolonial hingga kemerdekaan [Orde Baru], antara lain; Hadi et. al, 2007; Ratnawati, 2006; Pieris, 2004; Bertrand, 2004; Trijono, 2001; MUI, 2000. Ketegangan-ketegangan hubungan sosial di antara komunitas Islam dan Kristen selama masa kolonial dan kemudian masa kemerdekaan [Orde Baru], dilihat oleh mereka sebagai iklim yang kondusif bagi bersemainya konflik Maluku. Dengan sedikit pemicu saja, maka meledaklah 250
Reintegrasi Sosial
konflik yang semula bersifat laten menjadi konflik yang terbuka [manifest]. Hemat penulis, tidak dapat dipungkiri, adanya diagnosa tersebut di atas relevan dengan kenyataan. Namun, menurut Sen [2007], menjalani hidup dengan penuh dendam terhadap inferioritas paksaan dari sejarah masa lalu, sampai-sampai dendam tersebut mendominasi prioritas hidup seseorang di masa kini, jelas merupakan sikap yang tak adil pada diri sendiri. Hal ini juga bisa mengalihkan perhatian dari berbagai tujuan lain dari masa kolonial yang patut untuk dihargai dan diteladani pada masa kini. Hasil studi yang dilakukan Nasikun memperkuat hasil temuan lapangan yang penulis lakukan. Nasikum menemukan ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat yang plural, yakni: cross-cutting affiliation dan cross-cutting loyalities. Menurut Nasikun [1984], suatu masyarakat senantiasa terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial [cross-cutting affiliation]. Karena, dengan demikian setiap konflik yang terjadi antar kelompok segera dapat dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda [cross-cutting loyalities] dari para anggota masyarakat terhadap berbagai kelompok sosial. Ada suatu pelajaran menarik dari sebuah kisah lama yang terjadi pada saat eskalasi konflik relatif masih tinggi di Maluku, ketika kedatangan Laskar Jihad [LJ] ke negeri Siri Sori Salam [Islam]. Ceriteranya, ada dua orang warga [pemuda] yang berdebat dengan LJ perihal penolakan mereka terhadap keputusan LJ untuk menyerang komunitas Kristen di negeri Siri Sori Sarane. “Bagaimana mungkin kita menyerang saudara sendiri?”, tanya kedua orang tersebut. Dengan penuh emosional, kedua orang tersebut langsung dieksekusi oleh LJ di depan warga [lihat Bab VI]. Sehubungan dengan itu, kisah yang dialami Ibu Anto ketika negeri Waai diserang. Saat itu, ia bersama suami dan mertuanya bertemu dengan LJ bersama tiga orang pemuda Islam dari negeri Tulehu, suami dan mertuanya langsung dibunuh. Kata ibu Anto, “kalau mau bunuh beta [saya], bunuh sekarang agar beta mati diantara suami dan mertuanya”. Salah satu dari tiga orang pemuda tersebut menghampirinya kemudian bertanya “Ibu fam [marga] apa”, sahut Ibu Anto,
251
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
“Matakupan”. Pemuda tersebut mengatakan ia akan membantu, asalkan Ibu tidak boleh bicara apa-apa. Serentak dengan itu, Ibu Anto dipakaikan [dikenakan] jilbab agar tidak dicurigai oleh LJ, kemudian pemuda tersebut mengantarkan Ibu Anto ke Hitu seterusnya ke Ambon [lihat Bab VII]. Kisah di atas mungkin sebuah contoh tentang menguatnya
bridging social capital ditengah suasana konflik yang sementara
berlangsung. Dengan demikian, konflik sosial yang terjadi tidak sertamerta dapat menimbulkan distrust antara pihak-pihak yang berkonflik. Selama periode konflik Maluku di kota Ambon, tidak pernah dijumpai adanya aktivitas serang-menyerang di antara dua atau lebih desa (bahasa lokal: negeri) yang terikat dalam satu hubungan pela atau gandong. Sebaliknya yang terjadi adalah, banyak warga masyarakat yang memiliki ikatan-ikatan tradisional tersebut saling membantu untuk menyelamatkan satu dengan lainnya dari massa penyerang. Indikasi yang kuat selama periode konflik berlangsung adalah, masyarakat lokal tampak sangat menginginkan adanya revitalisasi institusi adat, termasuk pela dan gandong. Itulah sebabnya, ditengah suasana konflik yang belum mereda, dilakukan upacara panas pela 6 di antara negeri Batu Merah (Muslim) dan negeri Passo [Kristen] di Kota Ambon. Realitas ini menjelaskan tentang bridging social capital 7 yang justru terlaksana melalui momentum konflik. Artinya, konflik telah melahirkan kesadaran baru di dalam kelompok-kelompok masyarakat pada aras lokal tentang pentingnya mengaktualisasikan preserved social capital dan membangun social bridges yang selama ini mengalami pelemahan [Pariela, 2008]. Upaya rekonsiliasi yang diprakarsai dan digelar oleh berbagai pihak [di tingkat lokal, nasional, hingga internasional yang menghadirkan kedua belah pihak], semestinya dijadikan pula sebagai salah satu Panas pela adalah ritual yang dilakukan menurut adat untuk memperkuat kembali sekaligus memelihara relasi-relasi sosial antar dua negeri (desa) atau lebih, yang karena satu dan lain hal secara historis, mempunyai ikatan kekerabatan. 7 Bridging social capital, merujuk pada relasi-relasi antar kelompok yang heterogen, dan ia memperkuat ikatan-ikatan lintas kelompok yang bersangkuta [Kearns, 2004:7; Productivity Commission, 2003:16]. 6
252
Reintegrasi Sosial
fakta [Pariela, 2008] yang memberi indikasi tentang potensi reintegrasi sosial. Jika konflik Maluku yang telah berhasil membelah masyarakat tidak memiliki potensi rujuk, maka kesediaan kedua belah pihak untuk hadir bersama-sama dan berdialog, adalah sebuah keniscayaan. Hal ini penting diberi aksentuasi, karena upaya ini berlangsung bukan hanya setelah konflik Maluku menelan ribuan korban nyawa manusia; sebaliknya, sudah diusahakan sejak awal konflik terjadi. Artinya, potensi rujuk telah terlihat, bahkan sejak awal konflik Maluku bermula. Dengan menggunakan logika Habermars [Ritzer dan Goodman, 2008], gambaran ini memberi indikasi tentang komunikasi yang tetap terbuka di antara kedua pihak, dan keinginan atau kesediaan untuk bekerja sama dalam rangka membangun kehidupan berdampingan secara serasi.
Katong Pung Orang Pada saat masyarakat terbelah, muncullah kesadaran kita dan bukan kita yang oleh Derrida disebut the other [Aloysius, 2005]. Dalam situasi seperti ini, maka perlu ada media untuk masyarakat berdialog. Disinilah kemudian pela dan gandong itu sebagai local genius yang mengintegrasikan masyarakat yang sudah terbelah itu. Pertanyaan yang menuntun kita kepada identifikasi jejaring adalah “orang siapakah yang dapat dikatakan sebagai “katong pung orang?” Bagi masyarakat lain, penunjuk orang melalui pertanyaan ini terdengar sangat mendua-arti. Namun bagi orang Ambon, pertanyaan tersebut merupakan konsep yang jelas. “Katong pung orang” berlaku terhadap orang salam dan sarane [Islam dan Kristen] Ambon jika seseorang dapat selalu bebas berinteraksi dengan atau tanpa satu alasan tertentu. “Orang kami adalah orangmu” menunjuk pada pengertian lokal. Orang Ambon menerapkan konsep ini secara selektif, dan karena itu tidak dapat dicampuradukan dengan ciri umum budaya masyarakat lainnya. Sebagaimana dikatakan oleh Derrida [Aloysius, 2005], bahwa setiap komunitas mempunyai cara pandang sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh situasi dan sejarah. Cara pandang yang tidak terlepas dari jaring situasi serta sejarah lokalitas dan kelompok ini tentu saja 253
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
akan menghasilkan makna-makna yang berbeda terhadap suatu teks yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa ada jejaring kekerabatan yang sudah diakui mereka. Oleh sebab itu, satu tahun setelah stabilitas sosial dan keamanan telah terkendali [pasca konflik], struktur dan sistem sosial begitu cepat terbentuk kembali dalam kehidupan dua komunitas di pulau Saparua yang terikat dalam hubungan gandong yang sama, serta dua komunitas di pulau Ambon sekalipun berbeda hubungan gandong. Kenyataan ini menjelaskan bahwa, pela, gandong dan karabat merupakan struktur yang kokoh dalam masyarakat. Artinya, struktur baru yang dihasilkan tetap memperlihatkan dominasi pela, gandong dan kerabat yang disebut dengan istilah salam dan sarane [hanya berlaku untuk orang Ambon]. Karena itu, dalam realitas kehidupan sehari-hari tidak dijumpai adanya interaksi yang terpolarisasi dalam berbagai konteks hubungan sosial. Kategori masyarakat yang termasuk di dalam lingkup ‘katong pung orang’ memperlihatkan tiga jenis ikatan yang menghubungkan masyarakat pada masing-masing wilayah riset dengan masyarakat di luar wilayah riset. Jenis ikatan pertama didasarkan pada hubungan gandong yang sama. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, konsep gandong (uterus) memberikan gambaran yang cukup jelas bagi masyarakat dari negeri-negeri yang terikat di dalamnya [lihat uraian katorang versus dorang]. Karena itu, sekalipun struktur beda [agama], namun ‘gandong’ dapat menjadi faktor adhesi sosial untuk mengintegrasikan kedua komunitas.
Salam
Gandong sebagai adhesi sosial
Sarane
Gambar 4 Gandong sebagai Perekat [adhesi sosial]
254
Reintegrasi Sosial
Reintegrasi sosial dapat terjadi dengan cepat pada dua komunitas ini kerena penyebab konflik sebenarnya bukan berasal dari dalam [mereka]. Dalam perjalanan kehidupan mereka [kedua komunitas] jauh sebelumnya, proses reintegrasi pernah terjadi. Aktivitas panas ‘pela’ dan panas ‘gandong’ merupakan mekanisme tradisional untuk ‘memelihara’ sekaligus ‘merawat’ proses tersebut [integrasi]. Ketika pasca konflik, keterlibatan bersama dalam berbagai aktivitas [lihat Bab IX], ternyata berfungsi sebagai faktor yang mendorong mempercepat terjadinya proses reintegrasi sosial. Jenis ikatan kedua pada dua komunitas yang berbeda hubungan gandong di pulau Ambon, didasarkan pada hubungan kerabat yang terjadi atas dasar hubungan perkawinan [afinitas]. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, konsep ini juga dipahani secara jelas oleh mereka. Oleh sebab itu, sekalipun mereka berbeda hubungan gandong, namun fungsionalisasi kerabat sebagai bridging social capital untuk mengatasi berbagai masalah di antar mereka. Karena itu, sekalipun struktur beda [agama], namun ‘kerabat’ dapat menjadi faktor adhesi sosial untuk mengintegrasikan kedua komunitas.
Salam
Kerabat sebagai adhesi sosial
Sarane
Gambar 5 Kerabat sebagai Perekat [adhesi sosial]
Seperti telah disebutkan sebelumnya, proses reintegrasi sosial dapat terjadi dengan cepat pada dua komunitas ini kerena penyebab konflik sebenarnya bukan berasal dari dalam [mereka]. Dalam perjalanan kehidupan mereka [kedua komunitas] jauh sebelumnya, proses reintegrasi pernah terjadi. Kehidupan bersama dalam satu teritorial [lihat Bab V], ritus-ritus kekerabatan, serta aktivitas panas ‘pela’ dan panas ‘gandong’ yang dilakukan dengan komunitas negeri-negeri yang 255
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
terikat dalam ikatan tersebut [pela, gandong] merupakan mekanisme tradisional untuk ‘memelihara’ sekaligus ‘merawat’ proses tersebut [integrasi]. Ketika pasca konflik, munculnya kesadaran komunitas Islam di negeri Tulehu untuk menjemput komunitas Kristen dari lokasi pengungsian untuk kembali ke negeri mereka [Wai], diikuti dengan keterlibatan dalam berbagai aktivitas yang dilakukan bersama, serta ritual ‘anak cucu Marlou’ yang dilakukan secara berkala [lihat Bab X], ternyata berfungsi sebagai faktor yang mendorong mempercepat terjadinya proses reintegrasi sosial. Jenis ikatan ketiga dengan jejaring antara dua komunitas di wilayah riset [negeri Siri Sori Salam, Siri Sori Sarane di pulau Saparua, serta negeri Tulehu dan Wai di pulau Ambon] yang terikat dalam satu ikatan pela dengan masyarakat dari negeri-negeri lain di luar wilayah riset [lihat Bab V]. Dalam konteks ini, fungsionalisasi pela sebagai bridging social capital untuk mengatasi berbagai masalah di antar mereka. Oleh sebab itu, sekalipun struktur beda [agama], namun ‘pela’ menjadi faktor adhesi sosial untuk mengintegrasikan kedua komunitas. Hal ini tampak dari respons positif masyarakat dalam rangka revitalisasi institusi adat terlihat dengan jelas ketika Pemerintah Provinsi [Maluku] memfasilitasi kegiatan panas ‘pela’ untuk beberapa negeri menjelang peringatan 60 tahun Provinsi Maluku yang dilaksanakan pertama kali pada bulan Agustus tahun 2005. Hemat penulis, realitas ini merupakan bentuk penghayatan makna kolektif.
Salam
Pela sebagai adhesi sosial
Sarane
Gambar 6 Pela sebagai perekat [adhesi sosial]
Gambaran di atas menjelaskan bahwa, rasa akan identitas bisa memberi sumbangan berarti bagi kekuatan dan kehangatan hubungan 256
Reintegrasi Sosial
di antara mereka, sehingga membuat [mendorong] mereka bersedia melakukan berbagai hal. Kepustakaan mutakhir tentang “modal sosial”, yang dikupas secara cermat oleh Robert Putnam dan beberapa pemikir lain, menunjukkan dengan cukup jelas bagaimana kesamaan identitas dalam satu komunitas sosial dapat membuat kehidupan di komunitas tersebut berjalan lebih baik. Rasa keterikatan terhadap komunitas itu kemudian dipandang sebagai suatu sumber daya-laiknya modal [Putnam, 2000]. Tentu harus diakui bahwa kesadaran melakukan perbuatan untuk mementingkan kepentingan bersama tentu selalu mengidentifikasikan bahwa tindakan tersebut senantiasa dipengaruhi oleh rasa identitas bersama. Hemat penulis, realitas di atas [perbuatan] itu dipengaruhi oleh jenis-jenis pertimbangan lainnya, seperti ketaatan pada norma tertentu atau rasa tanggung jawabnya kepada orang lain [atau keharusan untuk menjaga kepercayaan pihak lain] karena hubungan kekerabatan di antara mereka begitu sangat jelas [lihat Bab V]. Karena itu, rasa identitas bersama bisa memberi pengaruh yang sangat penting terhadap perilaku kelompok sehingga mereka dengan mudah bersedia mewujudkan perbuatan yang mengutamakan kepentingan bersama. Dalam terminologi Berger [1969], makna kolektif inilah yang lebih memainkan peranan dalam menjaga keutuhan masyarakat karena dihayati oleh masyarakat. Berbeda dengan dua komunitas di perdesaan, bagi dua komunitas di kota Ambon yang tidak memiliki hubungan gandong. Pertanyaan yang menuntun kita pada bagian ini adalah “apakah memang ada semacam kesadaran kolektif di antara bagian-bagian itu sehingga mereka menerima bahwa mereka adalah orang Ambon dalam arti subjektif dan objektif”?. Pertanyaan ini tentu sangat sulit untuk dijawab dengan tepat tanpa suatu kecermatan untuk memahami fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat. Tetapi realitas sosial yang muncul dan berkembang antara warga kedua komunitas di kota Ambon dalam realitas kehidupan seharai-hari menunjukkan bahwa apa yang disebut dengan reintegrasi itu lebih merupakan suatu kenyataan politik daripada suatu 257
Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku
kenyataan reintegrasi yang bertumbuh dari bawah atau dari bagianbagian yang membentuk keseluruhan itu. Reintegrasi sosial pada saat ini baru mulai berkembang karena beberapa faktor.
Pertama, sejalan dengan kebijakan politik yang diambil oleh
Pemerintah dan DPRD kota Ambon pada bulan Maret tahun 2002 untuk menormalisasikan kembali kehidupan ekonomi, kehidupan sosial kemasyarakatan serta mendorong dilakukan penegakan hukum secara konsisten untuk mewujudkan rasa aman bagi seluruh warga kota, mendorong munculnya kesadaran secara bertahap dari warga kedua komunitas [lihat Bab XI]. Karena itu, warga kedua komunitas mulai membiasakan dirinya untuk melihat situasi yang berkembang dalam perspektif yang lebih luas. Kesadaran reintegratif sudah mulai bertumbuh di sini.
Kedua, sejalan dengan perkembangan situasi keamanan saat itu,
sebagian kecil para pelaku ekonomi kedua komunitas dari kalangan grass roots [khususnya] sudah menjalin interaksi di pasar kota Ambon. Karena itu, hubungan dengan mereka dan di antara mereka tidak hanya bersifat ekonomis semata-mata, tetapi juga bersifat sosial, lama kelamaan diberi makna kultural struktural didalamnya, sehingga dengan kekuatan itu, konflik sosial dapat dihindari. Oleh karena itu, adanya satu Ambon yang obyektif dan orang mulai mengidentifikasi dirinya sebagai orang Ambon menjadi lebih jelas pada saat itu.
Salam
Struktur baru sebagai adhesi sosial
Sarane
Gambar 7 Struktur Baru sebagai perekat [adhesi sosial]
Oleh sebab itu, beberapa kasus konflik baru yang bersifat sporadis yang terjadi belakangan ini tidak menimbulkan konflik yang meluas dan berkepanjangan [lihat Bab XI], terutama konflik antar 258
Reintegrasi Sosial
kelompok [Islam-Kristen] yang terjadi di kota Ambon tanggal 9 September 2011.
Kesimpulan Penelitian tentang reintegrasi sosial pasca konflik sangat jarang dilakukan. Kalaupun ada, umumnya mereka menggunakan konsepkonsep besar untuk mengkonstruksikan realitas sosial yang dipelajari. Sementara, struktur sosial yang dipelajari sangat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Karena itu, konsep katong samua yang dikembangkan dalam tulisan ini merupakan konsep lokal [konsep masyarakat lokal] yang sarat dengan berbagai capital terutama social capital dan spiritual capital yang selama ini dipahami, dipraktikkan dan sangat diakrabi oleh masyarakat yang dipelajari. Di samping itu dalam realitas kehidupan masyarakat yang dipelajari ini, konsep katong samua merupakan suatu proses dialektis antara individu [the self] dan dunia sosiokultural. Karena itu, ketika reintegrasi sosial antar komunitas diwujudkan melalui katong samua, maka reintegrasi sasial tersebut dapat dipertahankan secara berkelanjutnan.
259