Rokhmad Sigit
MELEK POLITIK
Penerbit
Pinterpol
Pengantar
Mengapa Harus Melek Politik?
E
ra reformasi seolah-olah menjadikan “hidangan” politik telah dibagikan ke seluruh lapisan masyarakat, “hidangan” politik tersebut dikonsumsi dalam warung-warung kopi, di terminal bahkan di sawah-sawah di seluruh pelosok Indonesia. Bak “hidangan” sungguhan dengan mudah mereka menikmati dengan berbagi sanjungan, kritikan bahkan umpatan dan sumpah untuk elite maupun peristiwa politik. Tentu fenomena ini tidak terjadi di era orde baru, dimana politik menjadi “hidangan” langkah bagi rakyat kecil yang selalu dininabobokkan oleh kemudahan ekonomi. Dalam hal tersebarnya berita politik hingga ke pelosok negeri ini, bisa dianggap positif untuk pendidikan politik rakyat. Namun, sangat disayangkan berbagai peristiwa politik tersebut tidaklah terjadi karena para aktor politik di negeri ini berpacu untuk menyejahterahkan rakyat, tetapi justru perebutan kekuasaan antar elit politik. Akhirnya rakyat selalu menjadi korban kebijakan politik para elitnya. Berganti orde maupun pemerintahan ternyata tidak merubah posisi rakyat yang selalu dalam kondisi yang dirugikan. Saat kampanye bak sapi perahan dan saat menentukan kebijakan rakyat tidak pernah jadi bahan pertimbangan 2
utama. Belum selesai melonjaknya harga sembako, langkanya elpiji, dan ditambah lagi kenaikan BBM. Inilah ironis negeri zamrud kwatulistiwa yang rakyatnya selalu merana. Oleh karena itu, rakyat harus melek politik! Mereka harus memahami bagaimana urusan negara dijalankan, apa yang mendasari, siapa yang menjalankan serta apa yang diperoleh/dampak bagi rakyat dan lain sebagainya. Dengan demikian rakyat tidak akan terkecoh dengan rayuan dan kebijakan kosong penguasa atau dipolitisasi oleh para elit politik yang tidak mengemban amanat rakyat. Sehingga perlu dinyatakan secara tegas mengapa rakyat harus melek politik? Pertama; Sudah saatnya rakyat mengakhiri menjadi objek politik atau yang selalu dipolitiki. Dimana rakyat selalu menjadi objek dari rayuan ataupun korban dari kebijakan para elit politik yang saling bersitegang dalam merebut dan mempertahankan jabatannya. Kedua; Sudah saatnya rakyat mengambil peran yang seharusnya diperankan dalam berjalannya roda pemerintahan, yaitu sebagai pengawas dan memberi peringatan bila pemerintah telah menyimpang. Ketiga; Sudah saatnya rakyat mengambil alih kekuasaanya bilamana pemerintahan yang ada sudah dinilai jauh dari dasar/esensi sebuah negara. Buku ini merupakan catatan-catatan peristiwa politik yang dipublikasikan di blog http://pinterpol.wordpress.com dalam kurun waktu 2008-2009 yang dikemas secara cerdas dalam persepsi masyarakat awam yang religius. Walau mensikapi peristiwa politik saat itu, namun 3
membahasnya secara lugas dengan menguraikan prinsip-prinsip politik secara umum. Sehingga buku ini tetap enak dibaca kapan saja. Kritik tajam kerap kali dilontarkan namun tak lupa memberikan arahan yang seharusnya dilakukan rakyat dan penguasa. Dengan harapan bisa menjadi batu bata penyusun bangunan paradigma politik rakyat yang melek politik. Akhirnya, marilah kita belajar menjadi rakyat yang melek politik, agar posisi tawar rakyat bukan saja secara teoritis memiliki posisi tertinggi tetapi secara riil mampu mempengaruhi proses politik dan mengarahkan menuju politik yang benar sekaligus mensejahterakan.
4
DAFTAR ISI Pengantar Mengapa harus Melek Politik? -3 Daftar Isi
-6
Percaya Demokrasi?
-8
Subjek dan Objek dalam Demokrasi
-13
Panas Dingin Suhu Politik -17 Koalisi Kepentingan Sesaat Koalisi Gado-Gado
-20
-23
Dunia Konflik Politik -26 Konflik Kepentingan Elit Politik -29 Politik Coba-Coba Atau Main-Main? -32 Artis di Panggung Politik Pragmatis
-35
Parodi Politik, Politik Parodi -41 Rakyat dan Iklan Politik -44 Politik Mahal Minus Kesejahteraan
-50
Lagi, Golput Menang -53 Fatwa Golput Haram dalam Sistem Sekuler -56 Antara Cinta dan Konspirasi -60 Bermanuver, Bingung Sendiri
-64
Pesta (Topeng) Demokrasi
-67
Bara Konflik dalam Pemilu
-71
Yang Berjaya dan Yang Tumbang
-74 5
Perubahan Apa Setelah Pemilu? -78 Musim Cari Pasangan -82 Koalisi Seumur Jagung Romantisme Belaka
-85
-87
Boediono dan Neoliberalisme -90 Kekalahan Neoliberal -94 Perang Citra Pasangan
-97
Politikus Bunglon -101 Kampanye Hitam
-104
Demokrasi Survey ala Kapitalis -108 Religius, Tapi Sekuler
-112
Tak Sekedar Mandiri dan Pro Rakyat
-116
Mencari Pengganti Neoliberalisme -120 Masih Perlukah Pejabat Cuti Kampanye? -124 Angin Surga Atau Realistis? -127 Membeli Pemilih -131 Pilpres Kelabu -136 Profil Penulis -140
6
Politik Coba-Coba Atau Main-Main?
O
rang boleh tidak menyangka dunia politik Indonesia jadi sesuram ini bahkan di masa depannya. Alih-alih memberikan kebebasan pada setiap warga negara dalam mencalonkan menjadi anggota dewan atau pejabat pemerintah justru menuai hasil yang bikin hati miris. Lihatlah siapa saja yang maju dalam pemilu mulai pilkada, legislatif atau presiden. Banyak dari mereka mencoba-coba mungkin mereka yang terpilih. Dengan asumsi, tidak ada yang tahu akan hasil dan yang ada dalam hati rakyat, semua maju barangkali akan terpilih. Sedangkan yang lain main-main karena banyak uang dan popularitas barangkali akan dipilih rakyat. Semuanya tanpa didukung oleh kemampuan, pengalaman yang mumpuni dan hanya mengandalkan aji mumpung. Inilah paradoks yang terjadi pada negeri ini yang ingin maju namun kualitas calon pemimpin yang maju justru berkualitas rendahan. Kran kebebasan tidaklah seiring dengan kualitas dan perbaikan yang diharapkan. Ini menunjukkan dasar dan modal sosial negeri ini sesungguhnya sudah rusak. Negeri ini tidak mampu mencetak SDM yang berkualitas dan menjadi pemimpin yang mampu mengantarkan bangsa ini maju. Pertanyaannya bukan hanya pada sistem pendidikan tapi juga seluruh sistem yang berjalan dalam masyarakat. Perkelahian antar siswi yang marak dan merata bukan hanya permasalahan di sekolah tapi juga permasalahan dalam keluarga, masyarakat bahkan budaya yang 7
rendah. Sama dengan hal itu, ketidakmampuan sistem ini menjadi sandaran bagi semuanya baik dalam mencetak pemimpin dan mewujudkan kesejahteraan bangsa. Bila anggota dewan sebelumnya dipilih berdasarkan atas kualitas kader partai saja, hasilnya hingga kini wakil rakyat dicaci di sanasini. Apalagi berdasarkan suara terbanyak yang membuka peluang siapa saja masuk dalam lembaga yang cukup tinggi namun tanpa pengetahuan dan pengalaman. Munculnya orangorang baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam dunia politik menyodok ke depan hanya berbekal uang dan popularitas di luar dunia politik. Apa yang bisa diharapkan dari proses coba-coba atau main-main tanpa pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang benar? Seolah-olah kita berjalan tanpa rel yang jelas benar. Semua berdasarkan suara terbanyak yang tak berujung pada kebaikan. Bila banyak anggota dewan dan pejabat yang tidak bisa jujur, maka hasil undang-undang dan kebijakan pasti menyengsarakan. Tapi persoalannya bukan hanya jujur atau adil saja, persoalannya justru dalam rel apa bangsa ini berjalan. Kita masih ingat dulu ada kampanye jangan pilih politisi busuk! Tapi ada kelompok mahasiswa berdemo dengan poster “politisi busuk lahir dari sistem yang busuk” dan hampir di setiap media dimuat. Sayangnya sistem politik yang “baik” belum mendapat perhatian serius para elit politik. Justru mereka hanya ribut bagaimana memenangkan di berbagai pilkada dan persiapan pemilu. Muncul juga partai-partai yang cukup banyak yang 8
sekarang bikin bingung KPU bahkan masyarakat. Pemilu tahun ini diklaim paling rumit dan paling mahal di dunia. Politik coba-coba atau main-main memang lahir dalam kondisi euforia reformasi yang justru tak tahu arah. Dan masa itulah hingga kini menunjukkan hasil sistem politik negeri ini yaitu politisi oportunis pragmatis. Dunia politik ini yang seharusnya diduduki politisi yang terhormat, memiliki pengetahuan dan integritas tinggi justru jatuh pada politisi oportunis pragmatis. Rakyat yang merasakan hasil kerja mereka, sejak lahir hingga mau mati pun kondisinya sama dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan. Bukan hanya hidup ini memang sulit, tapi juga dipersulit oleh wakil rakyat dan pejabat yang busuk. Sehingga rakyat benar-benar tak berdaya, berbagai tragedi terjadi mulai dari anak-anak jalanan, gelandangan tambah banyak, meledaknya orang miskin di setiap antrian pembagian zakat, pembagian daging kurban, pembagian angpau hingga pengobatan batu petir ala Ponari memakan korban. Kini banyak orang menyesali kebebasan yang diberikan namun tak diikuti tanggungjawab. Inilah bukti bahwa sistem ini memang belum siap dijalankan dan sifatnya coba-coba. Praktek sistem coba-coba membuat orang juga tertarik coba-coba dan main-main dengan mengatasnamakan kebebasan. Praktek sistem politik macam ini harus dihentikan bila tidak ingin masa depan bangsa ini jadi hancur. Kini saatnya kita fokus pada pembangunan sistem politik yang baik dan benar!
9
Politikus Bunglon
B
agi rakyat, hal yang paling menyakitkan adalah bila kepercayaannya yang sudah diberikan kepada partai atau elit politik ternyata dikhianati. Fakta ini bukanlah hal yang baru karena fakta politikus sekarang berada pada sistem yang mengkondisikan mereka harus seperti bunglon, bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Mereka benar-benar seperti bunglon yang „menggemaskan‟ anak kecil tapi sangat menyakitkan bagi orang yang merasa dikhianati. Berbagai fakta terbaru pun kian jelas, idealisme para politikus kian kabur. Berbagai pernyataannya, langkahnya, keberpihakkannya pun tidak dapat dipegang sebagai idealisme. Sehingga muncul pemahaman tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia politik. Apapun bisa terjadi, termasuk yang paling memuakkan dan dibenci semua orang pun bisa dengan mudah terjadi. Semua itu dilakukan para politisi dan partai politik di negeri ini. Tak heran jika para pengamat memberi nasihat, bila jadi politisi harus memiliki muka tebal, kulit badak bahkan siap menjilat ludah sendiri sambil tersenyum. Realitas politik menggambarkan kondisi diatas. Paling seru adalah terkait pencalonan Boediono sebagai cawapres pendamping Capres SBY, bukan saja terjadi penolakan tetapi manuver politik menggalang partai-partai yang lain akan ketidaksetujuan bila Boediono jadi cawapres. Dimana-mana kader digerakkan untuk menolak Boediono, namun lucunya disaat deklarasi Capres10
Cawapres SBY-Boediono justru bersalaman dan saling lempar senyum kepada Boediono. Argumentasinya pun tidak se-ideal sebelumnya antek neoliberalisme, hingga terasa basi bila dikatakan Boediono tak menolak perbankan syariah. Tak hanya sampai disini, politikus senior pun jadi serba salah dan melakukan berbagai tindakan hingga partai yang didirikannya pun hampir tak terselamatkan. Dalam berbagai diskusi politik muncul istilah „bus‟ dan „penumpang‟, „bus‟ boleh parkir di salah satu capres namun „penumpang‟ ternyata memilih capres lainnya. Ini akibat inkonsistensi dari partai, sehingga ditinggalkan pemilihnya. Fakta tersebut sesungguhnya hingga kini bergejolak di intern partai-partai pendukung Boediono. Manuver-manuver politik yang membingungkan rakyat ini sesungguhnya sangat disayangkan siapa saja, termasuk rakyat kecil. Karena sejak awal elit dan partai menyatakan sebagai pilar politik yang akan menentukan arah dan suasana kehidupan, namun ternyata pilar tersebut bukanlah kokoh, tetapi sangat rapuh. Bila demikian rakyat selalu jadi korban atas runtuhan atap yang menyengsarakan. Rakyat terus jadi korban kebijakan kompromi antar partai hingga seolah rakyat selalu dapat tulangnya saja dalam ajang makan ikan bangsa ini. Memang benar dalam ranah politik, kita akan selalu dapati banyak kejadian yang sulit untuk diprediksi sehingga jadi alasan inkonsisten dari elit politik atau partai. Sesungguhnya ini seperti keterpaksaan yang dibuat-buat hingga 11
boleh mengorbankan idealisme dan janji-janji yang sudah dipegang rakyat. Padahal kader dan rakyat lebih senang bila pimpinannya idealis, konsisten terhadap apa yang disuarakan selama ini. Karena rakyat terutama kader memilih dan tetap berpihak pada elit atau partai yang konsisten, bukan sebaliknya. Seharusnya partai-partai dan politikus menunjukkan sikap dewasa dalam berpolitik. Yang mampu menjaga identitasnya, citranya dan bertanggung- jawab atas berbagai keputusan yang berbasis pada aspirasi konstituen pemilihnya. Bukan menukar kepercayaan kader dan rakyat dengan kepentingan sesaat. Rakyat tidak lagi menginginkan politikus bunglon atau politikus hewan apapun, tetapi politikus yang memiliki iman dan konsisten berjalan pada garis perjuangannya walau badai menerjang.
12
Demokrasi Survey ala Kapitalis
P
ro-kontra hasil survey untuk pasangan CapresCawapres yang dipublikasikan lembaga survey menjadi perdebatan, khususnya tim sukses masing-masing pasangan. Jauh lebih penting justru pendidikan politik rakyat harus diselamatkan dari berbagai macam tipu muslihat elit politik yang hanya menghendaki suara rakyat. Berbagai sumber memberikan dasar bahwa survey merupakan salah satu metode ilmiah untuk mengetahui sesuatu yang terjadi dalam masyarakat. Baik dalam masalah ekonomi pasar atau pendapat publik tentang sesuatu, termasuk tingkat penerimaan masyarakat terhadap pasangan Capres-Cawapres saat ini. Namun perbedaan hasil antar lembaga survey yang terlalu jauh, membuat banyak pertanyaan terhadap survey yang dikatakan ilmiah. Berbeda dengan survey perhitungan hasil pemilu yang bisa dibandingkan kevalidannya dengan perhitungan manualnya. Survey saat masa kampanye tidak ada perbandingan dengan hasil perhitungan manual, sehingga banyak alasan untuk menjawab berbagai tuduhan bila hasilnya terlalu melebihi yang sesungguhnya. Pertanyaannya, mengapa jadi pro-kontra atau perbedaan antar lembaga? Padahal bila dilihat dari metode survey, bisa dibilang hampir sama. Untuk menjawab itu ada dua pendekatan, pertama; permasalahan sample dan kedua; motif dibalik lembaga survey. Terkait dengan sample menjadi titik kritis dari metode survey, sample 13
yang tidak mewakili akan membuat perbedaan hasil yang sangat jauh dengan yang lain. Bila asumsi selama ini lembaga survey hasilnya sama, dan setiap dari mereka mengklaim profesional, maka dugaan beralih pada motif dibalik lembaga survey. Seolah sudah disadari, bila hasil survey saat kampanye memang jadi bagian dari alat menyakinkan rakyat. Sehingga tidak ada bedanya lembaga survey dengan tim sukses para pasangan capres-cawapres. Dan tak heran juga, bila muncul anggapan hasil survey bisa jadi jasa „pesanan‟, tergantung yang mendanainya. Ada dua alasan utama menggunakan hasil survey saat kampaye yaitu; pertama, menjadi alat propaganda model Bandwagon (hura-hura). Secara harfiah berarti “kereta musik”, namun maksudnya adalah mengajak rakyat untuk secara ramai-ramai menyetujui suatu gagasan atau program, dengan terlebih dulu meyakinkan mereka bahwa rakyat lainya pun kebanyakan telah menyetujuinya. Misalnya; hasil survey yang menunjukkan didukung mayoritas rakyat, maka akan banyak rakyat yang mengikutinya. Kedua, menjadi dasar „rekayasa‟ secara sistematis di lapangan agar hasilnya sesuai dengan hasil survey. Walaupun yang kedua ini sulit terjadi, tapi diyakini juga dilakukan para tim sukses pasangan tersebut. Bila demikian survey berkedok „ilmiah‟ jadi sebuah alat yang justru berbalik arah, layaknya senjata makan tuan. Tentu saja ini dikembalikan pada dasar komitmen lembaga tersebut terhadap kebenaran yang mereka klaim ilmiah. Jika tidak 14
sesuai dengan kenyataannya, maka bukan saja lembaganya saja yang hancur tetapi metode ilmiah yang dipakai juga tidak akan dipercaya masyarakat lagi. Bercermin pada negeri Paman Sam yang jadi patokan para “pendekar” demokrasi di negeri ini. Sebagaimana diketahui bahwa demokrasi di sana digerakkan oleh dua aktor utama yaitu lembaga survey dan para Kapitalis. Dari dua aktor ini tentu para kapitalis yang sesungguhnya mendominasi dan mengendalikannya. Noam Chomsky juga mengungkap dua fakta yang saling berkaitan, yaitu berkenaan dengan kebebasan berpendapat. Di satu sisi tidak ada batasan untuk berpendapat, tetapi sisi lain adanya upaya pengembangan metode-metode yang efektif untuk membatasi kebebasan berfikir. Ini terjadi karena dalam sistem DemokrasiKapitalis yang sesungguhnya berkuasa adalah kaum elit yang berjumlah sedikit yaitu para kapitalis. Untuk memenangkan “suaranya” dibutuhkan suatu metode agar pendapat rakyat tidak berbeda dengan pendapat elit tersebut. Metode tersebut dikenalkan Walter Lippman sebagai “mengelolah persetujuan” (manufacture of consent). Atau istilah yang lebih disukai Edward Bernays, “rekayasa persetujuan” (engineering of consent), sedangkan Dr. Everett Ladd menambahkan kata demokratis “rekayasa persetujuan demokratis” (engineering democratic of consent). Upaya ini selain berkaitan erat dengan media juga tak lepas dari industri publik relation atau industri pencitraan dalam mewujudkan tujuan 15
yang dicapainya yaitu agar rakyat sepakat atau tidak menentang kebijakan para Kapitalis sang pemegang kedaulatan yang sesungguhnya di negara demokratis semacam Amerika. Rekayasa persetujuan tentu sangat berbahaya karena bertentangan dengan tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Maka dari itu harus dilawan setiap upaya yang mengarah pada pembodohan rakyat.
16
Profil Penulis
Rokhmad Sigit Lahir di Mojokerto, 31 Oktober 1982. Mantan Kabid Litbang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Manifest Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember dan Ketua Lingkar Studi Islam Al Adzka (LISIA) Jember. Pernah on air di radio Prosalina FM program logikamu dan salamuda, di radio Akbar FM program Tabayyun dan Ramadhan di Negeri Orang. Mulai aktif menulis lagi tentang politik, peristiwa sosial dan media yang dipublikasikan di blog www.pinterpol.wordpress.com Penulis juga aktif di Aliansi Penulis Islam Ideologis (APII) group FB sebagai pendiri. Artikel-artikel motivasi dan tip penulisannya bisa dilihat di blog www.apiideologi.wordpress.com. Untuk mengembangkan kemampuan desain, kini membuka jasa desain logo online. Adapun blog yang bisa dikunjungi untuk info yang lebih lengkap www.pesanlogo.com. Email :
[email protected] Telp
: 0321-6128521
Hp
: 08977433855
17