MELEK BUDI PEKERTI1 Sakban Rosidi2
Nothing is clear or certain [Tiada sesuatupun jelas dan pasti] We must wait till we understand [Kami harus tunggu hingga kami mengerti] But before understanding comes [Tetapi belum lagi pengertian datang] We will be asked to decide [Kami akan dituntut memutuskan] Many times we must decide [Berkali-jali kami harus memutuskan] Without certainty or clarity [Tanpa kepastian dan kejelasan] And no one can help us [Dan tak sesiapa pun dapat membantu kami] No one quite knows [Tak sesiapa pun cukup mengetahui] And this is up to us and us alone [Dan ini terserah kita dan kita sendiri] (Poem of the confused, Sebuah puisi yang dirulis oleh gadis Australia berusia limabelas tahun, dikutip ulang dari Musgrave, 1978: 51-52). Perbincangan pada dinding facebook salah satu teman tampak ramai, penuh semangat --- yang bisa saja kelewatan menjadi nafsu. Ada yang skeptis, walaupun sayangnya tidak terorganisasi (organized skepticism) sebagaimana menjadi salah satu norma keilmuan. Ada yang penuh nasehat, walaupun menjadi konyol karena nasehatnya sangat tampak dipaksakan. Ada yang hendak mencairkan perselisihan dengan bercanda, yang bisa saja menjadi pengganggu bagi kaum serius. Ada pula yang, mungkin karena tidak tahu mau bicara apa, asal memberi acungan jempol. Seperti kebanyakan bahan diskusi yang hangat, topiknya memang harus debatable, questionable atawa rada controversial. Apalagi mengaitkan realitas manusia dengan ajaran agama. Pasti perbedaan pendapat bermunculan. Pertanyaannya, apakah agama menjadi sumber utama kebermoralan manusia? Bagaimana kalau lisan sekelompok orang yang mengaku beragama, tetapi tindak-tanduk mereka melawan moral (anti moral), dan bukan sekedar tak bersentuhan dengan moral (amoral)? 1
Pengantar kuliah Ethics and Esthetics, Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STIBA) MALANG, Tahun akademik 2009/2010. 2
Sakban Rosidi, pembina matakuliah Ethics and Esthetics, History of Modern Thought, dan Indonesian Society and Culture, Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STIBA) MALANG.
Sakban Rosidi, Melek Budi Pekerti, 2010
1
Sekalian memenuhi janji saya kepada seorang sahabat untuk mengurai pikiran tentang moral, kali ini saya ingin berbagi serba sedikit tentang melek moral (moral literacy). Namun, karena saya ingin mendalamkan kembali makna budi-pekerti, yang belakangan telah didangkalkan menjadi sekedar sopan-santun, maka saya pilih padanan bukan sebagai melek moral, tetapi melek budi pekerti. Pengertian Dasar Moral Kata moral berasal dari kata mores, yang dalam Bahasa Latin, berarti adat-istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, dan cara hidup. Selanjutnya, pengertian moral berkembang dengan makna lebih khusus menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik atau buruk, benar atau salah, tepat atau tidak tepat. Kebermoralan berarti kemampuan untuk diarahkan atau dipengaruhi oleh keinsyafan akan benar dan salah (Bagus, 2000: 672). Konsep moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Kalau patokan dari luar yang digunakan masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang disebut norma moral, maka dimensi afektif moral dalam pribadi seseorang disebut moralitas. Karena itu, moralitas diartikan sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahir. Moralitas terjadi apabila orang mengambil yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih (Suseno, 1987). Persoalan moral manusia melahirkan cabang kajian tersendiri, yakni etika, yang secara sederhana diartikan sebagai filsafat moral. Teori-teori etika dibingkai untuk membantu kita memahami fakta moral. Teori-teori itu berupaya menemukan kaidah-kaidah yang tersirat dalam kehidupan moral dan tindakan moral. Dalam ungkapan Socrates, menilai kehidupan. Fakta moral secara alami terentang ke dalam dua kelas pokok: fakta dalam perilaku dan kehidupan dalam masing-masing diri kita sebagai peribadi yang bertanggung-jawab; dan fakta sebagai maksud, patokan, dan tingkahlaku kelompokkelompok dan pranata-pranata.
Sakban Rosidi, Melek Budi Pekerti, 2010
2
Ethical theories are framed to help us to understand moral facts. They seek to discover principles implied in moral life and moral action; in the phrase of Socrates, to examine life. Moral facts fall naturally into two main classes: facts in the conduct and inner life of each us as a responsible persons; and facts as to the purposes, standard, and behavior of groups and institutions (Tufts, 1962: 11). Mengacu uraian tersebut, bila aspek kognitif-afektual dan behavioral-aktual, serta dimensi individual dan sosial moral digambarkan secara simultan, maka bisa diperoleh empat wajah moral yang saling terkait, yaitu: (1) sikap dan penalaran moral individual, (2) perilaku dan tindakan moral individual, (3) nilai-nilai moral dan norma-norma sosial, dan (4) pranata moral dan fakta moral sosial. Dengan demikian, penulis dapat mengajukan sebuah model konseptual moral sebagai berikut:
Aspek/Dimensi KognitifAfektual BehavioralAktual
Individual Sikap Moral
Sosial Nilai-nilai Moral
Penalaran Moral
Norma-norma Sosial
Tindakan Moral
Perilaku Terpola
Moralitas
Adat-istiadat
Bagan 1. Aspek dan Dimensi Moral Tampak bahwa nuansa moral mencakup: (1) sikap dan penalaran moral yang tersembunyi yang merupakan unsur mental sistem kepribadian, (2) perilaku dan tindakan moral yang dapat diamati, (3) nilai-nilai moral dan norma-normal sosial yang merupakan unsur ideologis sistem sosio-budaya, dan (4) adat-istiadat dan perilaku terpola masyarakat yang dapat diamati. Sikap moral menunjuk pada kecenderungan berdasarkan perasaan untuk bertindak benar/salah, mulia/tercela, dan baik/buruk. Penalaran moral menunjuk pada pertimbanganpertimbangan akal budi untuk bertindak benar/salah, mulia/tercela, dan baik/buruk. Tindakan moral menunjuk pada tingkah laku benar/salah, mulia/tercela, dan baik/buruk. Moralitas adalah pola tindakan moral individu yang relatif menetap. Nilai-nilai moral menunjuk pada seperangkat gagasan tentang tindakan yang benar/salah, mulia/tercela, dan
Sakban Rosidi, Melek Budi Pekerti, 2010
3
baik/buruk. Norma-norma sosial menunjuk pada seperangkat aturan yang menetapkan benar/salah, mulia/tercela, dan baik/buruk suatu tindakan. Perilaku terpola adalah kebiasaan sejumlah individu dalam masyarakat yang sesuai dengan nilai dan norma sosial, yang berlangsung secara teratur dan berulang-ulang. Adat-istiadat adalah perilaku terpola yang sudah diterima oleh, dan melembaga dalam masyarakat. Penalaran dan Filsafat Moral Menurut istilah Tuana (2003) setiap orang adalah pelaku moral (moral agent). Agar agen moral bisa menghargai, memilih, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan kepatutan, maka seseorang harus melek moral (moral literate). Selanjutnya, dikenali ada tiga komponen dasar melek moral. Berikut adalah sebutan dan uraian tentang tiga komponen dasar melek moral: One of the basic components of moral literacy is ensuring that one is knowledgeable. Just as a scientist can conduct successful research only by being well-informed about all relevant facts and theories, so too the moral person must be well-informed (Tuana, 2003: 1). Ini menunjukkan bahwa komponen dasar kemelekan moral berpengetahuan memadai (knowledgeable). Seperti seorang ilmuwan yang hanya bisa menyelenggarakan penelitian dengan berhasil apabila mengetahui dengan baik tentang semua fakta dan teori yang relevan, maka seorang pelaku moral juga harus memiliki informasi memadai tentang permasalahan moral yang dihadapi. Karena itu ditambahkan bahwa setiap orang, agar bisa menjadi agen moral, harus bertanggung-jawab untuk memperoleh informasi yang memadai sebelum membuat keputuran moral (Tuana, 2003: 2). A second component of becoming a moral agent involves cultivating moral virtues. Common moral virtues that are shared across cultures include honesty, fairness, respect, responsibility, and caring. Our sense of ourselves, as well as what others think of us, often rests on the extent to which we live up to these virtues (Tuana, 2003: 2). Komponen kedua agar menjadi agen moral melibatkan penumbuhan kearifan moral. Sejumlah kearifan moral umum yang diterima oleh berbagai kebudayaan mencakup kejujuran, keadilan, kehormatan, tanggungjawab dan kepedulian. Pemahaman kita terhadap
Sakban Rosidi, Melek Budi Pekerti, 2010
4
diri kita sendiri, seperti halnya apa yang oleh orang lain pikir tentang diri kita, seringkali terletak pada sejauh mana kita menegakkan berbagai kerifan tersebut. A third component of moral literacy is the development of skills of moral reasoning. Moral reasoning is complex, requiring attention to rights and duties, codes of action, the intentions of actors, and the consequences of actions. Along with the criticalreasoning skill of identifying unwarranted assumptions or prejudices, moral reasoning requires identifying the values at play in any moral situation (Tuana, 2003: 3). Komponen ketiga kemelekan moral adalah pengembangan ketrampilan penalaran moral. Penalaran moral bersifat rumit, yang menuntut perhatian terhadap hak dan kewajiban, kode etik tindakan, tunjuan pelaku, dan akibat-akibat tindakan. Sejalan dengan ketrampilan penalaran kritis untuk mengenali anggapan-anggapan dan prasangka-prasangka yang tidak dapat dibenarkan, penalaran moral menuntut pengenalan nilai-nilai yang bekerja dalam situasi moral tertentu. Penalaran moral juga membutuhkan keterbukaan pikiran, penyimakan secara seksama terhadap pandangan orang lain, mempertimbangkan implikasi etik keputusan, belajar bagaimana menilai kelebihan dan kekurangan pendirian kita sendiri dan orang lain, serta mengambil tanggung jawab terhadap tindakan dan keyakinan kita. Ini berarti ada kesediaan untuk mengkaji nilai-nilai kita sendiri. Akan tetapi, pengkajian terhadap nilainilai demikian tidak berarti menolak nilai-nilai dimaksud. Secara nyata, praktik penalaran moral malah seringkali menghasilkan komitmen yang lebih kuat manakala seseorang telah sampai pada penghargaan secara lebih tuntas terhadap alasan-alasan yang mendasari tindakannya. Moral reasoning also necessitates being open-minded, listening carefully to the views of others, considering the ethical implications of decisions, learning how to evaluate the strengths and weaknesses of our own and others positions, and taking responsibility for our actions and beliefs. It means being willing to investigate our own values. But investigating values does not mean rejecting them. In fact, the practice of moral reasoning often results in commitments becoming stronger as one comes to appreciate more fully the reasons they are embraced (Tuana, 2003: 3). Seluruh uraian tersebut sejalan dengan pemikiran para ahli psikologi dan filsafat moral, bahwa pengamatan dan penarikan kesimpulan terhadap tindakan seseorang tidak memberikan gambaran memadai tentang kematangan moral seseorang, yang dalam karya
Sakban Rosidi, Melek Budi Pekerti, 2010
5
Tuana (2003) disebut kemelekan moral. Dua orang yang melakukan tindakan yang sama, sama sekali tidak membuktikan bahwa tingkat kematangan moral mereka juga sama. Kematangan moral mereka harus ditetapkan berdasarkan tingkat penalaran moral yang mereka lakukan sebagai alasan tindakan mereka. Sebagai salah satu hasil penalaran yang bermuara pada tindakan moral, maka mutu penalaran moral seseorang harus ditakar berdasarkan tiga tolok-ukur, yaitu: (1) logika, karena pada dasarnya penalaran moral harus dilakukan secara logis, (2) bukti pendukung, karena keputusan moral juga harus didasarkan bukti-bukti yang cermat, relevan, dan lengkap, dan (3) konsisten, karena penalaran moral harus mengikuti kaidah umum penarikan kesimpulan. Dengan menempatkan pengambilan keputusan moral sebagai hasil dari kegiatan penalaran, berarti mengandaikan bahwa setiap pelaku moral adalah seorang pemikir, seorang filsuf yang melakukan kegiatan folosofis praksis. Kegiatan filosofis praksis mencakup
perenungan
(reflection)
dan
tindakan
(action)
yang
terjalin
secara
berkesinambungan. Karena itu, lebih mudah dipahami apabila Moshman (2005: 70) menyimpulkan bahwa keragaman moral memiliki implikasi penting bagi pemahaman kita terhadap penalaran moral. Secara khusus, pada tingkat lanjut, penalaran moral sebagian besarnya merupakan koordinasi reflektif dari perspektif moral sosial yang majemuk. Memahami penalaran moral sebagai suatu proses koordinasi berarti mengajukan gagasan bahwa penalaran moral secara khas tidak sekadar melibatkan suatu pilihan antara dua atau lebih perspektif, melainkan suatu usaha untuk menemukan suatu pemecahan yang memuaskan dari berbagai sudut pandang majemuk. Moral diversity has important implications for our understanding of moral reasoning. Especially at advanced levels, moral reasoning is in large part the reflective coordination of multiple social and moral perspectives (Carpendale, 2000). To construe moral reasoning as a process of coordination is to suggest that it typically does not involve a choice between two or more perspectives but rather an effort to find a resolution that is satisfactory from multiple points of view (Moshman, 2005: 70). Lebih dari itu, mengajukan gagasan bahwa koordinasi tersebut bersifat reflektif, berarti mengusulkan bahwa penalaran moral tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan
Sakban Rosidi, Melek Budi Pekerti, 2010
6
melibatkan usaha yang sungguh-sungguh untuk menyusun suatu pemecahan yang dapat dibenarkan. Ini tidak berarti menolak pikiran bahwa kita terbiasa membuat penarikan kesimpulan moral intuitif, yang sudah mulai pada tahap yang sangat awal. Akan tetapi, taatasas dengan konsepsi metakognitif rasionalitas, istilah penalaran moral harus digunakan untuk kasus-kasus penarikan kesimpulan moral yang melibatkan usaha sungguh-sungguh untuk mencapai kesimpulan yang dapat dibenarkan. To suggest that this coordination is reflective, moreover, is to propose that it does not occur automatically but rather involves a deliberate effort to construct a justifiable resolution. This is not to deny that we regularly make intuitive moral inferences, beginning at very early ages (Haidt, 2001; Walker, 2000). Consistent with the metacognitive conception of rationality, however, the term moral reasoning should be reserved for those cases of moral inference that involve deliberate efforts to reach justifiable conclusions (Moshman, 2005: 70). Meskipun sepakat dengan Budiningsih (2004: 89) bahwa dua disiplin, psikologi moral dan filsafat moral perlu dipadukan sebagai dasar pendidikan moral, penulis kurang sependapat apabila filsafat moral sekedar menjadi isi pembelajaran moral yang berisi sejumlah keharusan. Tampaknya, Budiningsih (2004) telah merancukan antara ajaran moral dan filsafat moral. Filsafat moral telah disamakan dengan ajaran moral. Padahal, memperhatikan pengertian dan hakikat dasarnya, justru penalaran moral yang lebih mendekati filsafat moral, sedangkan ajaran moral lebih menunjuk pada sekumpulan patokan siap pakai tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Dengan ajaran moral dimaksud ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbahkhotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral bagi kita adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orangtua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama dan tulisan-tulisan para bijak, misalnya kitab Wulangreh karangan Sri Sunan Pakubuwana IV. Sumber dasar ajaran-ajaran itu adalah tradisi dan adat istiadat, ajaran agama-agama, atau ideologi-ideologi tertentu (Suseno, 1987: 14). Kalau ajaran moral memberikan penegasan tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang, maka filsafat moral tidak mengajarkan bagaimana kita harus hidup. Filsafat moral juga bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral,
Sakban Rosidi, Melek Budi Pekerti, 2010
7
melainkan merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandanganpandangan moral. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandanganpandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral (Suseno, 1987: 14). Memang terdapat titik temu antara pilihan moral dengan ajaran moral, karena keduanya merupakan objek dari kegiatan reflektif manusia. Demikian pula terdapat titik temu antara penalaran moral dengan filsafat moral, karena keduanya merupakan kegiatan reflektif manusia. Perbedaannya terletak pada kapasitas pelaku, tingkat keketatan, tujuan, dan lapangan kegiatan tersebut. Pelaku filsafat moral adalah seseorang yang terlatih dalam bidang, dan dalam kapasitas sebagai ahli filsafat moral (moral philosopher). Sebagai pemikiran kritis terhadap ajaran dan pandangan moral, maka filsafat moral dilakukan secara ketat dan tersurat berdasarkan metode filsafat. Tujuan filsafat moral adalah memahami atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu. Lapangan kegiatan filsafat moral sangat luas karena menyangkut berbagai ajaran dan pandangan moral. Pelaku penalaran moral adalah setiap orang tanpa harus memiliki latar belakang pendidikan filsafat, dan dalam kapasitas sebagai pelaku moral (moral agent). Penalaran moral bisa diibaratkan filsafat moral mikro , karena perenungan terhadap suatu pilihan moral seseorang tidak selalu dilakukan secara ketat dan tersurat, dan tidak harus pula didasarkan pada metode filsafat. Tujuan penalaran moral adalah memberikan pertimbangan rasional terhadap suatu pilihan moral. Lapangan kegiatan penalaran moral sangat terbatas karena hanya menyangkut pilihan moral seseorang. Secara ringkas, berikut disajikan perbedaan antara penalaran moral dan filsafat moral.
Sakban Rosidi, Melek Budi Pekerti, 2010
8
Bagan 2: Penalaran Moral dan Filsafat Moral Unsur Lingkup Pelaku Kegiatan Cara kerja Tujuan Kegiatan
Objek Kegiatan
Penalaran Moral Mikro-keseharian Setiap orang sebagai pelaku moral Longgar, bisa tersirat, dan tidak metodologis Memberikan pertimbangan dan alasan terhadap pilihan dan keputusan moral seseorang Pilihan dan keputusan moral
Filsafat Moral Makro-keilmuan Sebagian kecil orang sebagai filsuf moral Ketat, tersurat, dan metodologis Memahami dan menjelaskan landasan keharusan hidup menurut norma tertentu Ajaran dan pandangan moral
Akhirnya, sekalipun sebagian besar uraian tersebut menempatkan keputusan moral sebagai hasil dari penalaran moral, tidak berarti bahwa hanya penalaran yang menentukan pilihan tindakan moral seseorang. Penulis juga menerima bahwa, The moral life is a constant interplay between reason and feeling (Grassian, 1992: 25). Artinya, kehidupan moral merupakan suatu perpaduan antara penalaran dan perasaan. Dalam kaitan ini, penulis juga menghargai upaya-upaya pembinaan moral baik melalui pendekatan non rasional, seperti yang dikembangkan oleh Haidt (2003) melalui model intuisionisme sosial (social intuitionist model) maupun yang sudah terlebih dahulu dikenal dan tetap memiliki pendukung, yaitu melalui model perasaan moral (moral emotionist model) dengan keluaran kepekaan terhadap masalah moral.
Sakban Rosidi, Melek Budi Pekerti, 2010
9