RIWAYAT PEMBERIAN ASI, SUSU FORMULA, DAN MP-ASI PADA ANAK BALITA DENGAN RISIKO GIZI LEBIH DI KECAMATAN MAJALENGKA
NURUL HIKMAH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Riwayat Pemberian ASI, Susu Formula, dan MP-ASI pada Anak Balita dengan Risiko Gizi Lebih di Kecamatan Majalengka adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016 Nurul Hikmah NIM I14134003
ABSTRAK Nurul Hikmah. Riwayat Pemberian ASI, Susu Formula, dan MP-ASI pada Anak Balita dengan Risiko Gizi Lebih di Kecamatan Majalengka. Dibimbing oleh Drajat Martianto. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari riwayat pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI pada anak balita dengan risiko gizi lebih di Kecamatan Majalengka. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Contoh dalam penelitian ini adalah 62 balita berumur 24-47 bulan yang dipilih secara purposive berdasarkan status gizi. Hasil penelitian menunjukkan 43.6% contoh memiliki status gizi obes berdasarkan indikator IMT/U. Lebih dari setengah ibu contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi termasuk kategori sedang. Lebih dar setengah ibu contoh memiliki sikap positif. Sebanyak 62.5% contoh dengan status gizi kemungkinan risiko BB lebih mendapatkan ASI eksklusif. Sebanyak 57.9% contoh dengan status gizi BB lebih mendapatkan ASI Eksklusif. Sebanyak 51.9% contoh dengan status gizi obes mendapatkan ASI eksklusif. Semakin berisiko obes status gizi contoh pemberian ASI eksklusif, melakukan IMD, dan frekuensi menyusui tergolong cukup cenderung menurun. Semakin tinggi risiko obes status gizi contoh pemberian susu formula sampai umur 2 tahun, frekuensi pemberian susu formula pertama kali kurang tepat, jumlah takaran susu formula kurang tepat, dan umur pertama pemberian susu formula sebelum berumur 6 bulan cenderung semakin meningkat. Lebih dari tiga per empat contoh diberikan MP-ASI pertama kali pada umur 6 bulan ke atas, jenis MP-ASI berupa MP-ASI siap saji, dan diberikan dengan frekuensi yang cukup dalam sehari. Semakin berisiko obes status gizi contoh cenderung diberikan MP-ASI siap saji. Uji korelasi Spearman menjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara pola pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI dengan IMT/U pada balita di Kecamatan Majalengka (p>0.05). Kata kunci: risiko gizi lebih, riwayat pemberian ASI, riwayat pemberian MP-ASI, riwayat pemberian susu formula
ABSTRACT Nurul Hikmah. History of Breastfeeding, Formula, and Complementary Feeding among Under Five Years Children with risk of overweight in Majalengka District. Supervised by Drajat Martianto. The objective of this research is to study history of breastfeeding, formula, and complementary feeding among under five years children with risk of overweight in Majalengka District. The research design used was a cross sectional study. Study samples were 62 children aged 24-47 months chosen purposively based on nutritional status. The results showed that 43.55% samples have
nutritional status with obese. Half of mothers sample have nutritional knowledge were medium category. Half of mothers sample have nutritional attitudes were positive attitude. 62.5% of samples with the nutritional status of the possible risk of overweight were given exclusive breastfeeding. 57.9% of samples with the nutritional status of overweight were given exclusive breastfeeding 51.9% of samples with the nutritional status of obese were given exclusive breastfeeding. The more risk of nutritional status obese were given exclusive breastfeeding, do the IMD, and frequency of breastfeeding is enough inclined to decline. The more risk of nutritional status obese were given formula feeding until the age of 2 years, the frequency of formula feeding for the first time is less precise, amount of dose to formula feeding is less precise, and age at first formula feeding before the age of 6 months inclined to increase. More than three-quarters of sample were given MP-ASI for the first time at the age of 6 months, the type of instant complementary feeding, and provided with frequency is enough in a day. The more risk of nutritional status obese were given instant complementary feeding. The result of Spearman test showed that there was no significant correlation between breastfeeding, formula, and complementary feeding pattern with BMI for age among under five years children at Majalengka District (p>0.05). Key words: history of breastfeeding, history of complementary feeding, history of formula feeding, risk of overweight
RIWAYAT PEMBERIAN ASI, SUSU FORMULA, DAN MP-ASI PADA ANAK BALITA DENGAN RISIKO GIZI LEBIH DI KECAMATAN MAJALENGKA
NURUL HIKMAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Judul Skripsi
Nama NIM
: Riwayat Pemberian ASI, Susu Formula, dan MP-ASI pada Anak Balita dengan Risiko Gizi Lebih di Kecamatan Majalengka : Nurul Hikmah : I14134003
Disetujui oleh
Dr Ir Drajat Martianto, MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini berjudul “Riwayat Pemberian ASI, Susu Formula, dan MP-ASI pada Anak Balita dengan Risiko Gizi Lebih di Kecamatan Majalengka”. Penelitian ini diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk melaksanakan penelitian tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana di Departemen Gizi Masyarakat, Fakulas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan serta mencurahkan ilmunya dalam penyusunan karya ilmiah ini. 2. Dr. Katrin Roosita, SP, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 3. Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, MSc selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi yang telah memberikan banyak masukan dalam perbaikan karya ilmiah ini. 4. Kepala Desa atau Lurah dan Segenap kader di Kecamatan Majalengka yang telah memberikan banyak bantuan dalam pengambilan data penelitian. 5. Kedua orangtua penulis yaitu Bapak Santa dan Ibu Isoh atas doa, semangat, perhatian, kasih sayang, dan dukungan baik moril maupun materil yang diberikan kepada penulis, serta kakak-kakak (Siti Maryam, Iding Aidin, Eva Nurpalah, Jojoh Johaeriyah, Siti Muaviah, Sapta, Elawati, Muhamad Ali Fasha, Ina Maryuliawati) dan seluruh keluarga besar penulis. 6. Keponakan (Muhammad Awali Maoludin) yang sudah membantu ketika pengambilan data untuk penyelesaian karya ilmiah ini. 7. Pembahas seminar (Utari, Wilgy, Dian, dan Nia) yang telah memberikan masukan untuk perbaikan karya ilmiah ini. 8. Ardi Wibowo yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam penyelesaian karya ilmiah ini. 9. Teman-teman seperjuangan Alih Jenis (Ulfa Maesya Z, Nurzakiah Ulfah, Meiliana H, Tia Rindjani, Fitrianisa Tiaranti, Utari DN, dan Syska DV), Diploma III (Khoirunnisa, Marwiyah, Intan Caesari, Dinur Winda PM, Ni Putu Dewi A) dan adik-adik di Kost Dormitory Mutiara (Jeallyza, Dita, Pipit, Dian, Ridha, Umi, Latifah, dan Wilgy) atas dukungannya dalam penulisan karya ilmiah ini. 11. Teman-teman seperjuangan Alih Jenis Gizi Masyarakat IPB Angkatan 7 dan GM 49 atas semangat dan kerjasamanya serta teman-teman KKN-P Desa Panyindangan Purwakarta atas doa dan dukungannya. 12. Teman-teman IPA 2 SMA Negeri 1 Majalengka serta pihak – pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas doa dan semangatnya yang diberikan kepada penulis. Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2016 Nurul Hikmah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat Penelitian KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengambilan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Karakteristik Balita Karakteristik Keluarga Status Gizi Pengetahuan Gizi Sikap Pola Pemberian ASI Pola Pemberian Susu Formula Pola Pemberian MP-ASI Hubungan Antar Variabel SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vii vii vii 1 1 2 3 3 5 5 5 6 7 10 11 11 12 13 16 18 19 21 24 26 28 33 33 34 34 39 53
DAFTAR TABEL 1 Variabel, jenis data, alat, dan cara pengumpulan data 2 Pengolahan dan analisis data 3 Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin 4 Sebaran contoh berdasarkan berat badan bayi lahir 5 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua 6 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orangtua 7 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga 8 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga 9 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (BB/TB) 10 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (BB/U) 11 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (TB/U) 12 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U) 13 Sebaran ibu menjawab benar pertanyaan pengetahuan gizi 14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu 15 Sebaran ibu contoh berdasarkan pernyataan terkait sikap gizi 16 Sebaran contoh berdasarkan sikap gizi ibu 17 Sebaran contoh berdasarkan riwayat pemberian ASI dan status gizi (IMT/U) 18 Sebaran contoh berdasarkan riwayat pemberian susu formula dan status gizi (IMT/U) 19 Sebaran contoh berdasarkan riwayat pemberian MP-ASI dan status gizi (IMT/U)
7 8 12 13 14 14 15 15 16 16 17 18 19 19 20 21 23 25 27
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran riwayat pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI pada anak balita dengan risiko gizi lebih di Kecamatan Majalengka
4
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Hasil uji korelasi Spearman antara variabel karakteristik keluarga dengan pengetahuan gizi Hasil uji korelasi Spearman antara variabel karakteristik keluarga dengan riwayat pemberian ASI Hasil uji korelasi Spearman antara variabel karakteristik keluarga dengan riwayat pemberian susu formula Hasil uji korelasi Spearman antara variabel karakteristik keluarga dengan riwayat pemberian MP-ASI Hasil uji korelasi Spearman antara variabel karakteristik balita dengan riwayat pemberian ASI
41 41 42 43 43
6 7 8 9 10 11 12 13
Hasil uji korelasi Spearman antara variabel pengetahuan gizi dengan riwayat pemberian ASI Hasil uji korelasi Spearman antara variabel pengetahuan gizi dengan riwayat pemberian susu formula Hasil uji korelasi Spearman antara variabel pengetahuan gizi dengan riwayat pemberian MP-ASI Hasil uji korelasi Spearman antara variabel karakteristik balita dengan risiko gizi lebih (IMT/U) Hasil uji korelasi Spearman antara variabel riwayat pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI dengan risiko gizi lebih (IMT/U) Sebaran contoh berdasarkan faktor risiko gizi lebih Data jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan, dan z-score contoh Data status gizi contoh berdasarkan indikator, BB/TB, BB/U, TB/U, dan IMT/U
44 44 44 45 45 46 47 48
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor utama yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Upaya-upaya yang saling berkesinambungan harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas SDM tersebut. Faktor kesehatan dan gizi memegang peranan penting daripada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas SDM. Hal itu karena orang tidak akan dapat mengembangkan kapasitasnya secara maksimal apabila tidak memiliki status kesehatan dan gizi yang optimal (Depkes 2001). Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang harus dilaksanakan adalah peningkatan dan perbaikan gizi dan kesehatan. Upaya tersebut harus dimulai sejak dini terutama diterapkan pada kelompok rentan khususnya balita. Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun yang memiliki karakteristik pertumbuhan sangat cepat terutama pada usia 0-1 tahun. Pada umur 5 bulan berat badan naik 2 kali berat badan lahir dan 3 kali berat badan lahir pada umur 1 tahun serta menjadi 4 kali berat badan lahir pada umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra sekolah dimana kenaikan berat badan kurang lebih 2 kg/tahun, kemudian pertumbuhan konstan mulai berakhir (Soetjiningsih 2001). Periode tumbuh kembang anak yang sangat pesat adalah pada masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (Supartini 2004). Salah satu masalah besar yang terjadi khususnya pada balita di Indonesia saat ini adalah kejadian gizi lebih. Gizi lebih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, tidak hanya terjadi di negara maju tetapi negara berkembang juga mengalami masalah yang sama. Kejadian gizi lebih tidak hanya terjadi pada orang dewasa tetapi terjadi juga pada balita. Menurut Sediaoetama (1993), menyatakan bahwa status gizi anak balita biasanya menjadi indikator kesehatan gizi masyarakat di daerah tertentu karena anak balita merupakan salah satu golongan yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi gizi di dalam masyarakat tersebut. Faktor-faktor yang erat kaitannya dengan kejadian obesitas pada anak antara lain keturunan atau genetik, asupan makanan, aktifitas fisik, riwayat makan seperti pemberian ASI, dan berat badan lahir (Saputri 2013). Pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita sebagian besar dipengaruhi oleh jumlah ASI yang dikonsumsi, termasuk energi dan zat gizi lainnya yang terkandung di dalam ASI tersebut. ASI tanpa pemberian bahan makanan lain dapat mencukupi kebutuhan balita sampai usia sekitar enam bulan (Susanti et al 2012). Pemberian ASI dapat dijadikan juga sebagai upaya untuk pencegahan obesitas pada balita karena ASI memiliki banyak manfaat baik bagi bayi maupun ibu. Berdasarkan rekomendasi dari WHO, bahwa bayi harus mendapatkan ASI secara eksklusif selama 6 bulan pertama. ASI dianggap sebagai makanan ideal untuk bayi karena mengandung energi dan zat gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi. Pada usia selanjutnya hingga 2 tahun pemberian ASI dilengkapi dengan makanan tambahan (MP-ASI) (Yan et al 2014).
2
Bertambahnya usia bayi mengakibatkan bertambah pula kebutuhan gizinya. Ketika bayi memasuki usia di atas enam bulan, beberapa komponen zat gizi seperti karbohidrat, protein dan beberapa vitamin serta mineral yang terkandung dalam ASI atau susu formula tidak lagi mencukupi, sehingga bayi perlu diberikan MP-ASI untuk mencukupi kebutuhannya. Pemberian MP-ASI yang tepat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi, merangsang keterampilan makan, dan merangsang rasa percaya diri pada bayi (Depkes 2007). Pengenalan makanan kepada bayi merupakan periode yang rentan. Pemberian makanan pendamping ASI setelah bayi berusia enam bulan diharapkan akan memberikan perlindungan besar pada bayi dari berbagai macam penyakit. Hasil penelitian Yan et al. (2014) menunjukkan bahwa pemberian ASI dikaitkan dengan risiko penurunan obesitas pada anak-anak. Analisis dari 17 studi mengungkapkan pengaruh antara durasi menyusui dan penurunan risiko obesitas. Panjang durasi menyusui dikaitkan dengan penurunan risiko obesitas dimana anak-anak yang diberikan ASI selama ≥7 bulan secara signifikan cenderung lebih rendah menjadi gemuk. Meta-analisis menunjukkan bahwa menyusui adalah faktor pelindung dari adipositas. ASI mengandung energi dan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi, seperti gula, air, protein dan lemak (Stolzer 2011). Menurut Agostoni et al. (2009), susu formula memiliki kandungan lemak dan protein yang lebih tinggi dari kebutuhan bayi. Asupan protein dan lemak yang lebih tinggi pada anak usia dini telah dikaitkan dengan adipositas. Menurut Pearce et al. (2013), menjukkan bahwa tujuh dari studi dianggap memiliki hubungan antara pemberian MP-ASI dan komposisi lemak tubuh tetapi hanya satu penelitian yang melaporkan peningkatan persentase lemak tubuh di kalangan anak-anak diberikan makanan pendamping sebelum berumur 15 minggu. Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengenalan awal (pada atau sebelum 4 bulan) dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan anak. Menurut Riskesdas (2013), secara nasional prevalensi gizi lebih (BB/U) pada balita yaitu 4.5%, sedangkan prevalensi gemuk (BB/TB) pada balita yaitu sebesar 11.8%. Persentase jenis makanan prelakteal yang diberikan berupa susu formula sebesar 79.8%, yang diduga menjadi salah satu penyebab kegemukan pada balita. Provinsi Jawa Barat memiliki prevalensi gizi lebih (BB/U) pada balita yaitu 4.3%, sedangkan prevalensi gemuk (BB/TB) pada balita yaitu sebesar 11.8%. Menurut Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (2012), Kabupaten Majalengka memiliki prevalensi gizi lebih pada balita sebesar 1.62% dan persentase bayi yang diberi ASI eksklusif sebesar 42.5%. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mempelajari riwayat pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI pada balita dengan risiko gizi lebih di Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari riwayat pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI pada anak balita dengan risiko gizi lebih di Kecamatan Majalengka.
3
Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan orangtua) dan balita (usia, jenis kelamin, dan berat badan lahir). 2. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan dan sikap gizi ibu. 3. Mengidentifikasi riwayat pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI pada balita. 4. Menganalisis keterkaitan riwayat pemberian ASI, susu formula, MP-ASI, dan karakteristik keluarga serta anak dengan risiko gizi lebih pada balita di Kecamatan Majalengka.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran tentang riwayat pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI pada anak balita dengan risiko gizi lebih. Khususnya bagi subjek penelitian dan masyarakat umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam hal pentingnya memberikan ASI secara eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan, pentingnya melakukan inisiasi menyusui dini bagi bayi baru lahir, pentingnya memberikan ASI kepada anak dengan frekuensi dan lama menyusui yang cukup, pola pemberian susu formula yang tepat apabila anak tidak memungkinkan mendapatkan ASI, dan pola pemberian MP-ASI yang tepat sesuai dengan usia balita supaya dapat mencegah risiko gizi lebih pada balita. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
KERANGKA PEMIKIRAN Karakteristik orang tua yang memiliki pengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak di antaranya adalah tingkat pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan orang tua. Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam masalah kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita akan mempengaruhi derajat kesehatan (Atmarita & Fallah 2004). Menurut Padmiari dan Ayu (2003), pendidikan ayah diduga berkaitan dengan tingkat status ekonomi keluarga, karena pendidikan orang tua berhubungan dengan tingkat pendapatan orang tua. Selain itu, tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka pendapatan pun akan semakin tinggi. Pendapatan keluarga yang tinggi akan memudahkan dalam membeli dan mengonsumsi makanan yang enak dan mahal tetapi cenderung mengandung energi tinggi. Pendapatan yang tinggi juga akan menigkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi.
4
Pengetahuan berkaitan erat dengan pendidikan, tingkat pendidikan yang rendah akan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan Ibu. Diharapkan dengan pengetahuan gizi yang baik, sikap dan perilaku gizi juga akan semakin baik. Pengetahuan mengenai pentingnya ASI eksklusif dan pemberian MP-ASI yang tepat sangat diperlukan sehingga ibu akan semakin bijak dalam memberikan ASI kepada anaknya terutama ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Pemberian ASI setelah 6 bulan tetap dilanjutkan dan ditambah dengan memberikan MP-ASI. Jenis MP-ASI yang diberikan harus sesuai dengan pertambahan umurnya. Beberapa penelitian menyebutkan pemberian ASI dapat menurunkan risiko terjadinya obesitas pada anak. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa angka overweight tinggi pada anak usia 4 tahun yang tidak mendapat ASI atau hanya mendapat ASI kurang dari 1 bulan. Odds ratio kejadian obesitas dengan pemberian ASI selama 6-12 bulan dibandingkan dengan anak yang tidak mendapat ASI adalah 0.70. Anak yang tidak mendapat ASI berisiko 0.49 kali untuk menjadi obesitas dibandingkan dengan anak yang diberikan ASI lebih dari 12 bulan. Kejadian overweight semakin turun dengan bertambahnya durasi pemberian ASI (Laurence et al. 2004). Pada tahun 2005 sebuah penelitian di Jerman menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara lama pemberian ASI dengan penurunan risiko obesitas pada anak. Setiap satu bulan pemberian ASI dapat menurunkan risiko obesitas sebesar 4% (Harder et al. 2005).
Karakteristik Keluarga Besar keluarga Pendidikan orangtua Pekerjaan orangtua Pendapatan keluarga
Pengetahuan Gizi
Media Informasi
Sikap
Riwayat Pemberian ASI Riwayat Pemberian Susu Formula Riwayat Pemberian MP-ASI
Status Gizi
Karakteristik Balita Usia Jenis kelamin Berat badan lahir
Penyakit/Infeksi
Keterangan: : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti : hubungan yang diteliti : hubungan yang tidak diteliti. Gambar 1 Kerangka pemikiran riwayat pemberian ASI, susu formula, dan MPASI pada anak balita dengan risiko gizi lebih di Kecamatan Majalengka
5
Pemberian MP-ASI harus memperhatikan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan kelompok umur dan tekstur makanan yang sesuai perkembangan usia balita. Terkadang ada ibu yang sudah memberikan MP-ASI pada usia dua atau tiga bulan, padahal di usia tersebut kemampuan pencernaan bayi belum siap menerima makanan tambahan. Salah satu efek pemberian MPASI adalah terjadinya diare (Mufida et al.). Perilaku responden yang kurang baik dalam memberikan MP-ASI dapat disebabkan karena ketidaktahuan responden tentang pola pemberian makanan tambahan pada anak. Responden yang tidak mengetahui cara pemberian makanan pendamping ASI akan memberikan makanan apa saja kepada anaknya tanpa mempertimbangkan nilai gizi dari makanan tersebut (Setianingsih 2015). Resiko jangka panjang pemberian MP-ASI terlalu dini dihubungkan dengan kejadian obesitas. Konsekuensi pada usia-usia selanjutnya adalah kelebihan berat badan ataupun kebiasaan makan yang tidak sehat (Mufida et al.). Penundaan pemberian makanan pendamping ASI setelah bayi berumur 6 bulan mengakibatkan bayi mengalami kesulitan belajar mengunyah, tidak menyukai makanan padat, dan bayi kekurangan gizi.
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional study. Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat. Lokasi tersebut dijadikan lokasi penelitian karena Kecamatan Majalengka merupakan salah satu kecamatan dengan jumlah balita gizi lebih cukup banyak di Kabupaten Majalengka. Terdapat dua puskesmas di wilayah kerja Kecamatan Majalengka yaitu Puskesmas Majalengka dan Puskesmas Munjul. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-April 2016 dengan cara membagikan kuesioner dan wawancara kepada ibu balita.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Responden penelitian adalah ibu yang memiliki balita. Contoh penelitian adalah balita yang berusia antara 24-47 bulan yang memiliki risiko gizi lebih. Pertimbangan usia balita 24-47 bulan karena apabila kurang dari 24 bulan kemungkinan anak masih mendapatkan ASI sampai usia 24 bulan (2 tahun), sedangkan lebih dari 47 bulan kemungkinan konsumsi makanannya sudah lebih bervariasi dikhawatirkan gizi lebih yang terjadi karena kelebihan konsumsi makanan. Penentuan Contoh dilakukan secara purposive sampling. Penentuan contoh dilakukan dengan menggunakan kriteria inklusi sebagai berikut: a) Contoh adalah balita berusia 24-47 bulan yang memiliki risiko gizi lebih. b) Contoh tinggal di Kecamatan Majalengka dan terdaftar di posyandu c) Contoh memiliki buku KIA. d) Contoh bersedia mengikuti penelitian.
6
Penentuan jumlah contoh minimal dalam penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut (Linclon 2006 dalam Swarjana 2012): z 2 P(1 P) n 1 / 2 2 d Keterangan: n = Contoh P = prevalensi gizi lebih/gemuk (BB/TB) Jawa Barat 2013 yaitu 11.8% (Riskesdas 2013) d = presisi mutlak (8%) P(z > z α/2 ) = α/2 Berdasarkan hasil perhitungan, jumlah contoh minimal dalam penelitian ini yaitu sebanyak 62 contoh balita berusia 24-47 bulan yang mengalami risiko gizi lebih di Kecamatan Majalengka. Jumlah contoh yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 62 contoh sesuai dengan jumlah contoh minimal. Desa atau kelurahan yang menjadi tempat penelitian di Kecamatan Majalengka sebanyak 12 desa atau kelurahan, yaitu Desa Cibodas, Kelurahan Cicurug. Desa Kulur, Kelurahan Sindangkasih, Kelurahan Majalengka Wetan, Kelurahan Tonjong, Kelurahan Babakan Jawa, Kelurahan Majalengka Kulon, Kelurahan Munjul, Kelurahan Cijati, Kelurahan Cikasarung, dan Kelurahan Tarikolot. Posyandu yang dijadikan sebagai tempat penelitian dari masing-masing desa atau kelurahan sebanyak 1-4 posyandu sesuai dengan terdapatnya balita berusia 24-47 bulan yang memiliki risiko gizi lebih.
Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan alat bantu kuesioner dan observasi langsung, yang meliputi: 1. Status gizi diukur dari berat badan dan tinggi badan balita yang diperoleh melalui pengukuran langsung. Alat yang digunakan untuk mengukur berat badan adalah timbangan dengan ketelitian 0.1 kg dan untuk mengukur tinggi badan adalah microtoise dengan ketelitian 0.1 cm. 2. Data karakteristik balita meliputi nama, jenis kelamin, dan usia, yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan alat bantu kuesioner. 3. Data karakteristik keluarga meliputi pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan orangtua, dan besar keluarga yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan alat bantu kuesioner. 4. Data pengetahuan dan sikap gizi ibu diperoleh melalui wawancara dengan alat bantu kuesioner. 5. Data riwayat pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI diperoleh melalui wawancara langsung dengan alat bantu kuesioner. Penelitian ini tidak hanya menggunakan data primer tetapi juga menggunakan data sekunder. Data sekunder yang diperoleh melalui buku KIA yaitu data berat badan bayi ketika lahir. Data lain yang menjadi data sekunder dalam penelitian ini yaitu gambaran umum lokasi penelitian yang diperoleh dari
7
arsip puskesmas. Secara rinci, variabel, jenis data, alat, dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Variabel, jenis data, alat, dan cara pengumpulan data No
Variabel
1
Karakteristik balita: Usia Jenis kelamin Berat badan lahir Status gizi balita: Berat badan Tinggi badan/Panjang badan Karakteristik keluarga: Besar keluarga Pendapatan orangtua Pendidikan orangtua Pekerjaan orangtua Pengetahuan gizi ibu Sikap gizi ibu Riwayat pemberian ASI: Status IMD ASI eksklusif/non-eksklusif Pemberian kolostrum Frekuensi pemberian ASI Lama menyusui Riwayat pemberian susu formula: Pemberian susu formula sampai 2 tahun Usia pertama pemberian Frekuensi pemberian pertama kali Takaran pemberian susu formula pertama kali Riwayat pemberian MP-ASI: Usia pemberian MP-ASI pertama kali Jenis MP-ASI yang diberikan pertama kali Frekuensi pemberian MP-ASI Gambaran umum lokasi penelitian
2
3
4 5 6
7
8
9
Jenis data
Alat dan cara pengumpulan data
Primer Primer Sekunder
Kuesioner Kuesioner KIA
Primer
Pengukuran langsung
Primer
Kuesioner
Primer Primer
Kuesioner Kuesioner
Primer
Wawancara dan kuesioner
Primer
Wawancara dan kuesioner
Primer
Wawancara dan kuesioner
Sekunder
Arsip puskesmas
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data meliputi editing (pemeriksaan data), coding (pemberian kode), entry (pemasukan data), cleaning (pengecekan data), dan analisis data. Data yang terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia dengan menggunakan program komputer. Pengolahan data menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007, sedangkan analisis data menggunakan program komputer Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows versi 16.0. Data karakteristik balita yang meliputi usia, jenis kelamin, dan berat badan lahir akan disajikan secara deskriptif. Data usia balita dikategorikan menjadi 4
8
kategori, yaitu 1) 24-30 bulan, 2) >30-36 bulan, 3) >36-42 bulan, dan 4) >42-47 bulan. Data jenis kelamin terdiri dari laki-laki dan perempuan. Data berat badan lahir dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu 1) BBLR (<2 500 gram), 2) Normal (2 500 gram - 4 000 gram ), dan 3) BBLL (>4 000 gram). Data Karakteristik keluarga yang meliputi besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, dan pendapatan keluarga juga akan disajikan secara deskriptif. Data besar keluarga dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu kecil apabila jumlah anggota keluarga ≤4 orang, sedang apabila jumlah anggota keluarga 5-7 orang, dan besar apabila jumlah anggota keluarga >7 orang (BKKBN 1998). Data pendidikan orangtua dikategorikan menjadi 6 kategori, yaitu 1) tidak pernah sekolah, 2) tidak tamat SD/sederajat, 3) tamat SD/sederajat, 4) tamat SMP/sederajat, 5) tamat SMA/sederajat, dan 6) tamat D1/D2/D3/PT. Data pekerjaan orangtua dikategorikan menjadi 7 kategori, yaitu 1) tidak bekerja, 2) PNS/Polri/BUMN/BUMD, 3) pegawai Swasta, 4) petani, 5) nelayan, 6) buruh, dan 7) pekerjaan lainnya (Riskesdas 2013). Data pendapatan keluarga dikategorikan menjadi 6 kategori, yaitu 1) <=Rp 1 000 000, 2) >Rp 1 000 000 Rp 2 000 000, 3) >Rp 2 000 000 - Rp 3 000 000, 4) >Rp 3 000 000 - Rp 4 000 000, 5) >Rp 4 000 000 - Rp 5 000 000, dan 6) >Rp 5 000 000. Data pengetahuan gizi diperoleh dari 15 butir pertanyaan dimana skor untuk setiap jawaban benar adalah 1 (satu) dan jawaban salah adalah 0 (nol). Hasil skor pengetahuan gizi kemudian akan dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu kurang apabila skor <60%, sedang apabila skor 60-80%, dan baik apabila skor >80% (Khomsan 2000). Kategori penilaian variabel-variabel yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pengolahan dan analisis data No 1
2
3
4
Variabel Besar keluarga
Pekerjaan orangtua
Pendidikan orangtua
Pendapatan keluarga
Kategori
Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (> 7 orang) Tidak bekerja PNS/Polri/BUMN/BUMD Pegawai Swasta Petani Nelayan Buruh Lainnya Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD/sederajat Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Tamat D1/D2/D3/PT ≤1 000 000 >1 000 000 - Rp 2 000 000 >2 000 000 - Rp 3 000 000 >3 000 000 - Rp 4 000 000 > 4 000 000 - Rp 5 000 000 >5 000 000
Acuan BKKBN 1998
Riskesdas 2013
Riskesdas 2013
Ketentuan Peneliti
9
Tabel 2 Pengolahan dan analisis data (lanjutan) No 5
Variabel Usia balita
6
Jenis kelamin balita
7
Berat badan bayi lahir
8
Status IMD
9
Pemberian ASI
10
Frekuensi pemberian ASI Lama menyusui
11 12
13
14
Frekuensi pemberian susu formula pertama kali Jumlah takaran pemberian susu formula pertama kali Umur pemberian susu formula pertama kali
15
Umur pemberian MPASI pertama kali
16
Jenis MP-ASI pertama kali
17
Frekuensi pemberian MP-ASI
18
Tingkat pengetahuan gizi ibu
19
20
21
22
Tingkat pengetahuan gizi ibu Status gizi balita (IMT/U) dan (BB/TB)
Status gizi balita (BB/U)
Status gizi balita (TB/U)
Kategori 24-30 bulan >30-36 bulan >36-42 bulan >42-47 bulan Laki-laki Perempuan BBLR < 2500 gram Normal 2500-4000 gram BBLL >4000 gram Ya Tidak Eksklusif Non-eksklusif Kurang (<8x/hr) Cukup (≥8x/hr) Kurang (<10 menit/menyusui) Cukup (≥10 menit/menyusui)
Kurang tepat Tepat
Kurang tepat Tepat
<6 bulan ≥6 bulan <6 bulan ≥6 bulan MP-ASI siap saji MP-ASI rumah tangga Kurang Cukup Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Tinggi (>80%) Negatif (<60%) Netral (60-80%) Positif (>80%) Sangat kurus Kurus Normal Kemungkinan risiko BB lebih BB lebih Obes BB sangat kurang BB kurang Normal Masalah pertumbuhan Sangat pendek Pendek Normal Tinggi
Acuan Ketentuan Peneliti
Ketentuan Peneliti Alhamda dan Sriani 2015 Ketentuan Peneliti WHO 2002 Susanti et al. 2012 Susanti et al. 2012 Ketentuan Peneliti
Ketentuan Peneliti Ketentuan Peneliti Ketentuan Peneliti Ketentuan Peneliti Ketentuan Peneliti Khomsan 2000
Ketentuan Peneliti
AsDI, IDAI, PERSAGI 2015
AsDI, IDAI, PERSAGI 2015
AsDI, IDAI, PERSAGI 2015
Data status gizi diperoleh menggunakan indikator indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) dengan menggunakan software WHO Anthro 2011. Hasil
10
yang diperoleh kemudian dikategorikan menjadi sangat kurus (z-score ≤ -3 SD), kurus (-3 SD < z-score < -1 SD), normal (-1 SD ≤ z-score < +1 SD), kemungkinan risiko BB lebih (+1 SD ≤ z-score < +2 SD), BB lebih (+2 SD ≤ z-score < +3 SD), dan obes (z-score ≥ 3 SD) (AsDI, IDAI, PERSAGI 2015). Analisi statistik inferensia menggunakan software Statistical Program for Social Science (SPSS) for Windows versi 16.0. Jenis uji statistik inferensia yang akan dilakukan, antara lain: 1. Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk melihat distribusi data apakah data menyebar normal atau tidak sehingga dapat dilakukan uji statistik selanjutnya. 2. Uji korelasi Spearman untuk mengetahui hubungan antara variabel yang diteliti. Variabel yang diuji meliputi karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga), karakteristik balita (usia, jenis kelamin, berat badan lahir), pengetahuan gizi, sikap gizi, riwayat pemberian ASI, riwayat pemberian susu formula, riwayat pemberian MP-ASI, dan status gizi (risiko gizi lebih). 3. Uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui perbedaan karakteristik pola pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI pada contoh yang memiliki status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih, dan obes.
Definisi Operasional ASI eksklusif adalah air susu ibu yang diberikan kepada bayi baru lahir hingga usia enam bulan tanpa diberikan makanan pendamping lain. Balita adalah anak usia di bawah lima tahun yang dalam kajian ini dipilih anak usia 24-47 bulan. Balita risiko gizi lebih adalah balita berusia 24-47 bulan yang memiliki status gizi berdasarkan IMT/U dengan nilai Z-Score ≥+1 SD. Berat badan adalah masa tubuh yang meliputi massa lemak, otot, tulang, cairan tubuh, dan lain-lain dalam satuan kilogram yang diukur dengan cara menimbang balita menggunakan timbangan. Besar keluarga menyatakan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Karakteristik balita adalah data atau informasi mengenai balita yang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan ketika lahir, berat badan dan tinggi badan saat penelitian yang diduga terkait dengan risiko gizi lebih pada balita. Karakteristik keluarga adalah data atau informasi mengenai keluarga balita yang meliputi besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, dan pendapatan orangtua yang diduga terkait dengan risiko gizi lebih pada balita. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi yang diberikan kepada bayi usia 6-24 bulan. Obesitas adalah kondisi dimana terdapat kelainan atau penyakit yang ditandai dengan adanya penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Pendapatan orang tua adalah besar penghasilan yang diterima oleh orang tua dalam sebulan dan dinyatakan dalam satuan rupiah.
11
Riwayat pemberian ASI merupakan riwayat pemberian ASI yang meliputi lama frekuensi pemberian ASI, lama menyusui, dan pemberian ASI eksklusif atau tidak. Riwayat pemberian MP-ASI merupakan riwayat pemberian MP-ASI yang meliputi waktu pemberian MP-ASI pertama kali, frekuensi pemberian, dan jenis MP-ASI yang diberikan pertama kali. Riwayat pemberian susu formula menyatakan riwayat pemberian susu formula yang meliputi apakah contoh diberikan susu formula sampai 2 tahun, frekuensi dan jumlah takaran pemberian susu formula pertama kali, serta umur pertama kali diberikan susu formula. Status gizi adalah cerminan ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi yang didapatkan dari asupan dan penggunaan zat gizi oleh tubuh dengan indikator yang digunakan adalah Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB), Berat Badan menurut Umur (BB/U), dan Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U). Tinggi badan adalah salah satu indikator klinik utama dalam menentukan indeks massa tubuh untuk menentukan status gizi seseorang yang dinyatakan dalam satuan centimeter.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Majalengka merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Indramayu di sebelah utara, sebelah timur yaitu Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya, serta Kabupaten Sumedang di sebelah barat. Kecamatan Majalengka merupakan ibukota Kabupaten Majalengka. Secara geografis, Kecamatan Majalengka terletak di bagian barat Kabupaten Majalengka. Terdapat dua puskesmas di wilayah Kecamatan Majalengka, yaitu UPTD Puskesmas Majalengka dan UPTD Puskesmas Munjul. UPTD Puskesmas Majalengka memiliki wilayah kerja seluas 29.52 km2 yang terdiri dari 4 (empat) kelurahan dan 3 (tiga) desa. Kelurahan dan desa yang berada di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka, yaitu Kelurahan Majalengka Wetan, Kelurahan Tonjong, Kelurahan Cicurug, Kelurahan Sindangkasih, Desa Kulur, Desa Cibodas, dan Desa Kawunggirang. Jarak dari ibukota desa/kelurahan ke ibukota kecamatan yang terjauh adalah 6 km. Desa Cibodas merupakan daerah yang memiliki jarak terjauh dari ibukota kecamatan. UPTD Puskesmas Munjul memiliki luas wilayah keja yaitu 26.69 km2. Kondisi fisik geografis wilayah kerja UPTD Puskesmas Munjul terdiri dari daerah pegunungan, dataran tinggi, dan daerah perkotaan. Wilayah kerja UPTD puskesmas munjul secara administratif terdiri dari 6 (enam) kelurahan dan 1 (satu) desa. Kelurahan dan desa yang berada di wilayah kerja UPTD Puskesmas Munjul, yaitu Kelurahan Majalengka Kulon, Kelurahan Cijati, Kelurahan Munjul, Kelurahan Cikasarung, Kelurahan Tarikolot, Kelurahan Babakan Jawa, dan Desa
12
Sidamukti. Tipologi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Munjul terdiri dari 70% dataran dan 30% perbukitan sehingga daerah perbukitan merupakan daerah yang cukup susah menjangkau sarana kesehatan dalam hal ini puskesmas wilayah. Daerah yang termasuk perbukitan yaitu Kelurahan Babakan Jawa dan Desa Sidamukti. Hal ini merupakan perhatian untuk UPTD Puskesmas Munjul sehingga pelayanan kesehatan masyarakat pada daerah perbukitan dapat terjangkau.
Karakteristik Balita Karakteristik balita yang dimaksud dalam penelitian ini adalah karakteristik balita berumur 24-47 bulan yang menjadi contoh penelitian. Karakteristik balita dalam penelitian ini meliputi umur dan jenis kelamin, serta berat badan bayi lahir. Umur balita dalam penelitian ini dinyatakan dalam bulan. Jenis kelamin balita dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. Umur dan Jenis Kelamin Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 3. Lebih dari satu per tiga contoh dalam penelitian ini berumur lebih dari 42 bulan sampai dengan 47 bulan (36.4%) pada contoh laki-laki, sedangkan pada contoh perempuan hampir setengah dari contoh berumur lebih dari 30 bulan sampai dengan 36 bulan (41.4%). Rata-rata umur contoh yaitu 38.1±7.9. Jumlah contoh dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan (53.2%). Jenis kelamin berkaitan erat dalam menentukan berat badan anak kemudian hari. Perempuan memiliki kecenderungan mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas, sementara laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein (WHO 2000). Menurut Sartika (2011), menyatakan anak laki-laki memiliki risiko mengalami obesitas sebesar 1.4 kali dibandingkan anak perempuan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Carruth dan Skinner (2001), menemukan bahwa asupan protein saja (dinyatakan sebagai persentase terhadap asupan energi total) pada anak usia 1 tahun berhubungan dengan kejadian overweight pada saat anak berusia 5 tahun (p=0.05). Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin Umur 24-30 bulan >30-36 bulan >36-42 bulan >42-47 bulan Total Rata-Rata±SD
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan N % n % 7 21.2 8 27.6 9 27.3 12 41.4 5 15.1 1 3.4 12 36.4 8 27.6 33 100 29 100 38.3±7.4 37.9±8.7
Total n 15 21 6 20 62
% 24.2 33.9 9.7 32.2 100 38.1±7.9
13
Berat Badan Bayi Lahir Berat badan bayi lahir didefinisikan sebagai berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. Menurut Vitrianingsih et al. (2015), bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari kehamilan aterm atau cukup bulan yaitu 37 minggu sampai 42 minggu dengan berat badan lahir di atas 2500 gram. Tabel 4 menunjukkan lebih dari tiga per empat contoh memiliki berat badan bayi lahir normal (88.7%). Terdapat juga beberapa balita dengan berat badan bayi lahir rendah atau BBLR (4.8%) dan berat badan bayi lahir lebih atau BBLL (6.5%). Rata-rata berat badan bayi lahir contoh yaitu 3214.5 gram. Kelangsungan hidup bayi selanjutnya berhubungan erat dengan berat badan bayi ketika lahir. Berat bayi lahir rendah (BBLR) akan meningkatkan kejadian morbiditas dan mortalitas bayi (Vitrianingsih et al. 2015). BBLR yang tidak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan timbulnya masalah pada semua sistem organ tubuh, gangguan mental dan fisik serta tumbuh kembang selanjutnya. Penelitian yang dilakukan di Australia, terdapat hubungan yang signifikan antara BBLR dan BBLL dengan risiko kejadian obesitas pada anak usia 4 sampai 5 tahun. Peneliti menemukan bahwa kejadian BBLR memiliki risiko yang lebih rendah menjadi obesitas pada anak perempuan yang berusia 4 sampai 5 tahun dibandingkan dengan BBLL, namun tidak terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian obesitas pada anak laki-laki. Kejadian BBLL mempunyai hubungan dan risiko yang lebih tinggi untuk menjadi obesitas pada anak perempuan dan anak laki-laki (Oldroyd et al. 2010). Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan berat badan bayi lahir Berat badan bayi lahir n % BBLR( < 2500 gram) 3 4.8 Normal (2500 - 4000 gram) 55 88.7 BBLL (> 4000 gram) 4 6.5 Total 62 100
Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah karakteristik orangtua balita yang menjadi contoh penelitian. Karakteristik keluarga dalam penelitian ini meliputi pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga. Pendidikan Orangtua Pendidikan merupakan segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo 2003). Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang, dengan adanya peningkatan pengetahuan maka diharapkan akan terjadi perubahan perilaku yang lebih baik terhadap gizi dan kesehatan (Machfoedz & Suryani 2007). Tingkat pendidikan ibu memiliki peranan dalam pengetahuan tentang pemilihan makanan yang bergizi untuk anaknya. Tingkat pendidikan ayah dan ibu contoh dapat dilihat pada Tabel 5.
14
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan orangtua Ayah Ibu Tingkat pendidikan n % n % Tidak tamat SD 1 1.6 0 0.0 Tamat SD/Sederajat 15 24.2 20 32.3 Tamat SMP/Sederajat 13 21.0 13 21.0 Tamat SMA/Sederajat 20 32.3 14 22.6 Tamat D1/D2/D3/PT 13 21.0 15 24.2 Total 62 100 62 100 Tabel 5 menunjukkan satu per tiga dari contoh berdasarkan tingkat pendidikan ayah adalah tamat sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat (32.3%), sedangkan satu per tiga dari contoh berdasarkan tingkat pendidikan ibu adalah tamat sekolah dasar (SD) atau sederajat (32.3%). Tingkat pendidikan orangtua contoh sampai tamat diploma atau perguruan tinggi baik ayah maupun ibu masing-masing sebesar 21.0% dan 24.2%. Pendidikan ibu sangat menentukan dalam pilihan makanan dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak dan anggota keluarganya lainnya. Pekerjaan Orangtua Pekerjaan orangtua dalam penelitian ini dibedakan antara pekerjaan ayah dan ibu. Jenis pekerjaan orangtua dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tidak bekerja, Pegawai Negeri Sipil (PNS)/Polri/BUMN/BUMD, pegawai swasta, petani, nelayan, buruh, dan pekerjaan lainnya. Tabel 6 menunjukkan hampir setengah dari contoh berdasarkan pekerjaan ayah adalah pekerjaan lainnya (48.8%) dan lebih dari setengah contoh berdasarkan pekerjaan ibu adalah tidak bekerja atau ibu rumah tangga (64.5%). Pekerjaan lainnya dalam penelitian ini meliputi wiraswasta, karyawan apotek, atau tenaga honorer (pegawai tidak tetap). Pekerjaan lainnya yang dominan adalah wiraswasta baik ayah maupun ibu. Pekerjaan ayah sebagai buruh juga cukup banyak (25.8%). Pekerjaan ayah sebagai buruh yaitu buruh tani dan buruh bangunan. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orangtua Ayah Ibu Jenis pekerjaan n % n % Tidak bekerja 0 0.00 40 64.5 PNS/Polri/BUMN/BUMD 9 14.5 5 8.1 Pegawai Swasta 8 12.9 2 3.2 Petani 0 0.0 0 0.0 Nelayan 0 0.0 0 0.0 Buruh 16 25.8 1 1.6 Pekerjaan Lainnya (wiraswasta, karyawan apotek, tenaga honorer 29 48.8 14 22.6 atau pegawai tidak tetap) Total 62 100 62 100
15
Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga adalah seluruh pendapatan yang diterima oleh seseorang baik yang berasal dari keterlibatan langsung dalam proses produksi atau tidak, yang dapat diukur dengan uang dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan pada suatu keluarga dalam satu bulan (Handayani 2014). Tabel 7 menunjukkan pendapatan keluarga lebih dari satu per empat contoh adalah kurang dari sama dengan Rp1 000 000 (27.4%) dan hampir satu per empat dari contoh adalah lebih dari Rp4 000 000 sampai dengan Rp5 000 000 (22.6%). Pendapatan keluarga contoh di atas Rp5 000 000 hanya sebagian kecil (8.1%). Rata-rata pendapatan keluarga contoh sebesar Rp3 140 806 per bulan. Pendapatan keluarga sangat mempengaruhi konsumsi makanan sehari-hari. Apabila pendapatan rendah maka makanan yang dikonsumsi tidak mempertimbangkan nilai gizi, tetapi lebih mempertimbangkan nilai materi (Lutviana dan Budiono 2010). Pendapatan rendah mempengaruhi jumlah makanan yang dikonsumsi keluarga dan meningkatkan kemungkinan terkenanya penyakit infeksi sehingga status gizinya rendah (Melkie 2007). Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga Pendapatan keluarga (Rp/bulan) ≤1 000 000 >1 000 000 – Rp 2 000 000 >2 000 000 – Rp 3 000 000 >3 000 000 – Rp 4 000 000 > 4 000 000 – Rp 5 000 000 >5 000 000 Total
n 17 10 12 4 14 5 62
% 27.4 16.1 19.4 6.5 22.6 8.1 100
Besar Keluarga Besar keluarga dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (> 7 orang). Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan keluarga tersebut. Menurut Suhardjo (2003), mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan yang tidak merata bagi masingmasing anggota keluarga. Tabel 8 menunjukkan lebih dari setengah contoh termasuk ke dalam kategori keluarga kecil (62.9%). Sebagian besar jumlah anak dalam anggota keluarga adalah satu anak, sedangkan jumlah anak paling banyak adalah empat anak. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Besar keluarga Kecil (≤ 4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (> 7 orang) Total
n 39 22 1 62
% 62.9 35.5 1.6 100
16
Status Gizi Status gizi merupakan cerminan ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi seseorang yang berasal dari asupan dan penggunaan zat gizi oleh tubuh. Status gizi dapat ditentukan dengan pengukuran antropometri, analisis biokomia, pemeriksaan klinis, dan riwayat gizi (AsDI, IDAI, dan PERSAGI 2015). Status gizi dipengaruhi oleh faktor penyebab di antaranya penyebab langsung, penyebab tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Faktor penyebab langsung yaitu makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Penyebab tidak langsung di antaranya adalah ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan, serta kesehatan lingkungan (Soekirman 2000). Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (BB/TB) Status gizi (BB/TB) Kemungkinan Risiko BB Lebih 1 SD ≤ z-score < 2 SD BB Lebih 2 SD ≤ z-score < 3 SD Obes z-score ≥ 3 SD Total Rata-rata±SD
n 19 22 21 62
% 30.6 35.5 33.9 100 2.7±1.2
Tabel 9 menunjukkan lebih dari setengah contoh memiliki status gizi berdasarkan indikator BB/TB yaitu tergolong BB lebih (35.5%). Contoh yang memiliki status gizi obes juga cukup banyak (33.9%). Rata-rata status gizi contoh yaitu z-score 2.7 SD. Obesitas pada masa anak-anak dapat meningkatkan kejadian diabetes mellitus (DM) tipe 2 (Sartika 2011). Anak yang mengalami obesitas cenderung memiliki peningkatan risiko obesitas saat dewasa hingga 17 kali lipat (Haryanto 2012). Selain itu, obesitas pada anak usia 6-7 tahun juga dapat menurunkan tingkat kecerdasan karena aktivitas dan kreativitas menjadi menurun dan cenderung malas yang diakibatkan oleh kelebihan berat badan (Sartika 2011). Masalah gizi lebih terutama pada balita harus diwaspadai dan dicegah sejak dini. Gizi lebih atau obesitas memiliki dampak terhadap status kesehatan yaitu menurunkan harapan hidup dan mengganggu perkembangan psikologis anak. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (BB/U) Status gizi (BB/U) Normal -1 SD ≤ z-score ≤ 0 SD Masalah Pertumbuhan 1 SD ≤ z-score ≤ 3 SD Total Rata-rata±SD
n 8 54 62
% 12.9 87.1 100 1.3±1.1
Status gizi juga dapat diukur menggunakan indikator berat badan menurut umur (BB/U). Tabel 10 menunjukkan lebih dari tiga per empat contoh memiliki status gizi berdasarkan indikator BB/U tergolong memiliki masalah pertumbuhan (87.1%). Masalah pertumbuhan disini kemungkinan mengarah pada masalah pertumbuhan yang berkaitan dengan kelebihan berat badan. Pertumbuhan anakanak dengan kelebihan berat badan atau kegemukan dapat terganggu karena timbunan lemak yang berlebihan pada organ-organ tubuh yang seharusnya berkembang. Selain itu, anak yang mengalami obesitas juga akan mengalami
17
kesulitan bergerak. Obesitas pada anak perlu diwaspadai karena apabila kejadian obesitas berlanjut sampai dewasa maka akan sulit untuk diatasi. Hal itu dapat disebabkan oleh penyebab yang sudah menahun dan sel-sel lemak yang sudah bertambah banyak dan bertambah besar ukurannya (Pramudita 2011). Indikator untuk menilai status gizi berdasakan pengukuran antropometri dapat juga menggunakan indikator panjang badan atau tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U). Indikator PB/U atau TB/U menggambarkan pertumbuhan tinggi atau panjang badan menurut umurnya. Panjang badan digunakan untuk pengukuran terhadap bayi baru lahir sampai dengan umur 2 tahun dan dilakukan dalam keadaan berbaring. Tinggi badan digunakan untuk pengukuran terhadap anak umur 2 tahun sampai dengan 18 tahun dan diukur dalam keadaan berdiri (AsDi, IDAI, dan PERSAGI 2015). Penelitian ini melakukan pengukuran tinggi badan (TB) karena umur balita yang menjadi contoh penelitian yaitu 24 bulan (2 tahun) sampai dengan 47 bulan. Balita diukur tinggi badannya dalam keadaan berdiri tegak menggunakan microtoise. Tabel 11 menunjukkan setengah dari contoh memiliki status gizi berdasarkan indikator TB/U tergolong normal (50.0%). Contoh yang memiliki status gizi pendek berdasarkan indikator TB/U juga cukup banyak (48.4%). Terdapat juga balita dengan status gizi sangat pendek (1.6%). Menurut AsDI, IDAI, dan PERSAGI (2015), menyatakan bahwa anak yang pendek atau sangat pendek memiliki kemungkinan akan menjadi kegemukan. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (TB/U) Status gizi (TB/U) n % Sangat Pendek z-score ≤ -3 SD 1 1.6 Pendek -3 SD < z-score < -1 SD 30 48.4 Normal -1 SD ≤ z-score < 3 SD 31 50.0 Total 62 100 Rata-rata±SD -1.0±1.3 Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) merupakan indikator untuk menilai massa tubuh yang bermanfaat untuk menentukan status gizi. Indikator ini juga dapat digunakan untuk skrining berat badan lebih dan kegemukan. Grafik IMT/U dan grafik BB/TB cenderung akan menujukkan hasil yang sama (AsDI, IDAI, dan PERSAGI (2015). Tabel 12 menunjukkan hampir setengah dari contoh memiliki status gizi berdasarkan indikator IMT/U tergolong obes (43.6%). Contoh yang memiliki status gizi BB lebih berdasarkan indikator IMT/U juga cukup banyak (30.7%). Gemuk atau obes merupakan suatu keadaan yang terjadi karena adanya interaksi antara faktor lingkungan sebagai faktor eksternal dan genetik sebagai faktor internal. Hasil dari suatu keseimbangan positif antara sumber energi yang masuk dan energi yang dikeluarkan yaitu berupa akumulasi lemak dalam tubuh. Penatalaksanaan diet pada anak usia 0-3 tahun yang mengalami kegemukan tidak perlu dilakukan pengurangan kalori tetapi cukup dengan mempertahankan BB atau mengurangi pertambahan BB yang berlebih dengan cara mengembalikan ke pola makan yang benar dan sesuai dengan umur anak. Hal itu dikarenakan anak masih mengalami pertumbuhan linier (AsDI, IDAI, dan PERSAGI 2015).
18
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (IMT/U) Status gizi (IMT/U) n % Kemungkinan Risiko BB Lebih 1 SD ≤ z-score < 2 SD 16 25.8 BB Lebih 2 SD ≤ z-score < 3 SD 19 30.7 Obes z-score ≥ 3 SD 27 43.6 Total 62 100 Rata-rata±SD 2.9±1.3
Pengetahuan Gizi Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui penginderaan manusia yang meliputi indera melihat, indera pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Salah satu faktor yang mempengaruhi gizi seseorang adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi. Berkurangnya pengetahuan tersebut juga akan mengurangi kemampuan seseorang untuk menerapkan informasi gizi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan seseorang yaitu dengan cara memberikan pendidikan gizi sedini mungkin. Pengetahuan gizi ibu meliputi pengetahuan tentang ASI eksklusif, susu formula, dan MP-ASI. Pengetahuan ibu tentang ASI, susu formula, dan MP-ASI diperoleh melalui berbagai media terutama berasal dari bidan desa yang bertugas di desa atau kelurahan tersebut maupun dari para kader posyandu setempat. Selain itu, tenaga gizi dari puskesmas bekerjasama dengan dinas kesehatan kabupaten juga sering mengadakan penyuluhan terkait program ASI eksklusif kepada ibu-ibu di posyandu. Informasi lainnya didapatkan dari media elektronik seperti televisi atau dari anggota keluarga lainnya. Tabel 13 menunjukkan sebagian besar ibu contoh sudah memahami tentang pengertian ASI eksklusif, manfaat ASI eksklusif, istilah ASI yang pertama kali keluar, waktu pemberian ASI pertamanya, usia bayi disapih, pengertian susu formula, syarat pemberian susu formula, dampak pemberian susu formula pada bayi <6 bulan, makanan yang baik untuk bayi usia 4 bulan, perbedaan ASI eksklusif dengan susu formula, usia pemberian MP-ASI pertama kali, frekuensi pemberian MP-ASI sehari, alasan pemberian MP-ASI, dan pengaruh pemberian MP-ASI pada bayi <6 bulan. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya ibu yang menjawab benar pertanyaan tersebut >50%. Meskipun ibu tersebut ada yang tinggal di daerah pedesaan dengan tingkat pendidikan yang rendah tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mendapatkan akses informasi yang lebih banyak terkait ASI, susu formula maupun MP-ASI. Sebagian besar ibu masih belum memahami pengertian MP-ASI yang benar, hanya sebagian kecil ibu yang menjawab pertanyaan tersebut dengan benar (37.1%). Banyak contoh yang menjawab salah karena mengira bahwa MP-ASI merupakan makanan pengganti ASI. Hal itu menunjukkan masih banyaknya masyarakat yang beranggapan ketika anak sudah diberikan MP-ASI tidak perlu dilanjutkan diberikan ASI.
19
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Tabel 13 Sebaran ibu menjawab benar pertanyaan pengetahuan gizi Jenis pertanyaan n % Pengertian ASI eksklusif 35 56.5 Bukan merupakan manfaat pemberian ASI eksklusif 37 59.7 Istilah ASI yang pertama kali keluar 38 61.3 Waktu yang tepat seorang bayi harus segera diberikan 54 87.1 ASI pertamanya Usia bayi dilanjutkan diberikan ASI setelah diberikan 55 88.8 ASI eksklusif (waktu sampai disapih) Pengertian susu formula 55 88.8 Syarat-syarat pemberian susu formula 56 90.3 Dampak pemberian susu formula pada bayi <6 bulan 36 58.1 Makanan yang baik diberikan pada bayi usia 4 bulan 45 72.6 Perbedaan ASI eksklusif dengan susu formula 50 80.7 Pengertian MP-ASI 23 37.1 Usia yang tepat pemberian MP-ASI pertama kali 48 77.4 Frekuensi pemberian MP-ASI dalam sehari yang 61 98.4 sesuai pada bayi usia 6-8 bulan Alasan diberikan makanan tambahan (MP-ASI) 59 95.2 Pengaruh pemberian MP-ASI sebelum usia 6 bulan 47 75.8 Rata-rata skor pengetahuan gizi±SD 75.2±16.8
Tabel 14 menujukkan bahwa lebih dari setengah ibu contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi tergolong kategori sedang (51.6%). Pengetahuan gizi ibu yang baik sangat diperlukan sehingga dengan pengetahuan gizi yang baik diharapkan sikap dan perilaku gizinya juga semakin baik. Pengetahuan gizi yang baik diperoleh karena perkembangan teknologi yang semakin pesat sehingga ibu bisa memperoleh berbagai informasi dari manapun. Rata-rata skor pengetahuan gizi ibu yaitu 75.2%. Hasil penelitian Sari (2012), menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi balita. Pengetahuan yang baik akan mempengaruhi pola konsumsi makanan sehingga akan terjadi status gizi yang baik. Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengetahuan gizi ibu Tingkat pengetahuan gizi n % Kurang (<60%) 8 12.9 Sedang (60-80%) 32 51.6 Baik (>80%) 22 35.5
Sikap Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertindak. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan reaksi terbuka atau tingkah laku yang
20
terbuka (Notoatmodjo 2003). Sikap memiliki peranan dalam menentukan pemilihan makanan yang baik. Sikap seseorang juga tidak lepas dari seberapa tinggi tingkat pengetahuan orang tersebut. Semakin baik pengetahuan seseorang maka diharapkan sikap dan peilakunya juga semakin baik. Begitu juga sikap terhadap pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI kepada anaknya turut dipengaruhi oleh pengetahuan ibu yang baik tentang pemberian ASI dan MP-ASI. Tabel 15 Sebaran ibu contoh berdasarkan pernyataan terkait sikap gizi No
1
2
3
4
5 6 7
8
9 10
11
12
Pernyataan ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa memberikan makanan/minuman lainnya yang diberikan pada anak berusia 0 sampai 6 bulan ASI dapat memenuhi kebutuhan zat gizi anak, menjadikan anak pintar, dan mempererat hubungan batin antara ibu dengan anak Pada usia 0-6 bulan, ketika anak merasa lapar, ibu langsung memberikan ASI ASI yang pertama kali keluar harus diberikan kepada bayi baru lahir karena sangat bermanfaat untuk bayi Susu formula adalah makanan yang baik untuk anak berusia 06 bulan Kandungan zat gizi susu formula lebih baik daripada ASI Ibu merasa lebih mudah memberikan susu formula dibandingkan memberikan ASI Ketika bayi mengalami diare maka ibu tidak memberikan ASI melainkan menggantinya dengan memberikan susu formula Bayi berusia 4 bulan memerlukan makanan khusus Pada bayi berusia > 6 bulan baru boleh diberikan makanan tambahan Pemberian makanan pada bayi berusia < 6 bulan dapat berpengaruh pada pencernaannya Pemberian makanan pada bayi sebelum usia 6 bulan dapat menyebabkan anak kelebihan berat badan
n
%
n
%
n
%
Sangat Tidak Setuju n %
41
66.1
19
30.6
2
3.2
0
0.0
41
66.1
21
33.9
0
0.0
0
0.0
34
54.8
25
40.3
2
3.2
1
1.6
44
71.0
18
29.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
6
9.7
40
64.5
16
25.8
1
1.6
3
4.8
36
58.1
22
35.5
0
0.0
6
9.7
37
59.7
19
30.6
2
3.2
3
4.8
38
61.3
19
30.6
4
6.5
12
19.4
32
51.6
14
22.6
29
46.8
27
43.5
6
9.7
0
0.0
13
21.0
26
41.9
21
33.9
2
3.2
5
8.1
22
35.5
30
48.4
5
8.1
Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
21
Tabel 15 menunjukkan lebih dari setengah ibu contoh sangat setuju jika ASI eksklusif merupakan pemberian ASI tanpa memberikan makanan atau minuman lainnya kepada anak berusia 0-6 bulan, ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi anak, menjadikan anak pintar dan mempererat hubungan batin antara ibu dengan anak, jika anak lapar ibu langsung memberikan ASI pada usia anak 0-6 bulan, dan kolostrum harus diberikan kepada bayi baru lahir. Lebih dari setengan ibu contoh tidak setuju jika susu formula merupakan makanan yang baik untuk anak berusia 0-6 bulan, kandungan zat gizi susu formula lebih baik daripada ASI, ibu merasa lebih mudah memberikan susu formula dibandingkan dengan ASI, ketika bayi mengalami diare maka ibu tidak memberikan ASI melainkan menggantinya dengan susu formula, dan bayi berusia 4 bulan memerlukan makanan tambahan. Hampir setengah dari ibu contoh sangat setuju jika bayi berusia lebih besar dari 6 bulan baru boleh diberikan makanan tambahan. Hampir setengah dari ibu contoh setuju jika pemberian makanan pada bayi berusia kurang dari 6 bulan dapat berpengaruh pada pencernannya. Hampir setengah dari ibu contoh tidak setuju jika pemberian makanan tambahan pada bayi sebelum usia 6 bulan dapat menyebabkan kelebihan berat badan. Sikap digolongkan menjadi 3 kategori, yaitu sikap negatif, netral, dan positif. Sebanyak 46.8% contoh memiliki sikap netral dan 53.2% contoh memiliki sikap positif. Tabel 15 menunjukkan lebih dari setengah ibu contoh memiliki sikap positif. Tidak ada ibu contoh yang memiliki sikap negatif, dengan demikian diharapkan praktik atau perilakunya akan baik. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan sikap gizi ibu Tingkat pengetahuan gizi n % Negatif (<60%) 0 0.0 Netral (60-80%) 29 46.8 Positif (>80%) 33 53.2 Total 62 100
Riwayat Pemberian ASI ASI atau air susu ibu merupakan makanan terbaik guna memenuhi kebutuhan gizi bayi untuk mencapai tumbuh kembang optimal. Pemberian ASI eksklusif dimulai kurang dari 1 jam (inisiasi menyusui dini/IMD) setelah lahir sampai dengan umur 6 bulan. Semua kebutuhan air dan zat gizi akan terpenuhi apabila bayi memperoleh ASI dalam jumlah yang cukup. ASI mudah dicerna, diserap, dan digunakan secara efisien oleh tubuh bayi sehingga paling sesuai untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan dengan pesat. ASI akan melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi dan meningkatkan interaksi psikologis antara ibu dan bayi (AsDI, IDAI, dan PERSAGI 2015). Pemberian ASI eksklusif adalah tindakan memberikan ASI kepada bayi tanpa memberikan cairan atau makanan lain sejak lahir sampai usia 6 bulan. WHO telah merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan melanjutkannya dengan pemberian MP-ASI dari bahan-bahan lokal yang kaya akan zat gizi sambil tetap memberikan ASI sampai anak berusia 2 tahun (WHO 2002).
22
Riwayat pemberian ASI dalam penelitian ini meliputi pemberian ASI eksklusif atau tidak, status IMD (inisiasi menyusui dini), pemberian kolostrum, frekuensi menyusui, dan lama menyusui. Sebanyak 62.5% contoh dengan status gizi kemungkinan risiko BB lebih mendapatkan ASI eksklusif. Sebanyak 57.9% contoh dengan status gizi BB lebih mendapatkan ASI Eksklusif. Sebanyak 51.9% contoh dengan status gizi obes mendapatkan ASI eksklusif. Tabel 16 menujukkan bahwa lebih dari setengah contoh diberikan ASI eksklusif baik contoh yang memiliki status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih, dan obes. Semakin berisiko obes status gizi contoh pemberian ASI eksklusif cenderung menurun. Masih banyak contoh yang tidak diberikan ASI eksklusif karena diberikan susu formula sebelum 6 bulan, air putih, bahkan cairan lainnya seperti madu, kopi hitam, dan air daun dadap. Ibu contoh memberikan susu formula sebelum 6 bulan karena produksi ASI sedikit sehingga ibu merasa khawatir jika anaknya diberikan ASI saja tidak cukup. Selain itu, kelainan pada payudara ibu seperti puting lecet atau luka sehingga mengharuskan ibu memberikan susu formula sebelum 6 bulan. Terdapat kepercayaan pada masyarakat sekitar bahwa madu baik diberikan kepada bayi yang baru lahir untuk meningkatkan daya tahan tubuh bayi. Kopi hitam diberikan kepada bayi untuk mencegah step, sedangkan air daun dadap diberikan sebagai obat batuk dan untuk meningkatkan nafsu makan. Permasalahan utama dalam pemberian ASI eksklusif antara lain karena kurangnya kesadaran akan pentingnya ASI, pelayanan kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung pemberian ASI terutama ASI eksklusif, gencarnya promosi susu formula, ibu bekerja, dan dukungan keluarga yang kurang terhadap pemberian ASI eksklusif serta budaya atau kepercayaan masyarakat setempat. Bidan atau tenaga kesehatan lainnya sudah berperan dalam mendukung tentang pemberian ASI eksklusif, namun belum sepenuhnya mendukung karena masih terdapat bidan yang mempromosikan susu formula dan terdapat juga klinik bersalin yang menyertakan susu formula dalam paket persalinan. Hal itu kemungkinan karena bidan atau klinik tersebut sudah bekerja sama dengan perusahaan pembuat susu formula. Inisiasi menyusui dini (IMD) merupakan proses memberi kesempatan kepada bayi untuk menyusu sendiri segera setelah lahir dengan meletakkan bayi menempel di dada atau perut ibu, dibiarkan merayap mencari puting dan menyusu sampai puas. Proses ini berlangsung minimal 1 jam pertama setelah bayi lahir (Kemenkes 2010). Lebih dari setengah contoh melakukan IMD baik contoh yang memiliki status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih, dan obes, akan tetapi semakin berisiko obes status gizi contoh cenderung menurun untuk melakukan IMD. Banyaknya contoh yang mendapatkan IMD karena persalinan dilakukan di klinik bersalin atau rumah sakit oleh dokter atau bidan. Kolostrum merupakan ASI yang diproduksi selama beberapa hari yaitu 3 sampai 5 hari pertama setelah persalinan, berupa cairan bening dan berwarna kekuningan. Kolostrum kaya akan atibodi, sel darah putih dan vitamin A (AsDI, IDAI, dan PERSAGI 2015). Oleh karena itu, kolostrum sebaiknya jangan dibuang tetapi diberikan kepada bayi baru lahir. Hampir semua contoh pada saat lahir diberikan kolostrum baik contoh yang memiliki status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih maupun obes. Riwayat pemberian ASI dalam penelitian ini juga meliputi frekuensi pemberian ASI yaitu berapa kali bayi mendapatkan ASI dalam sehari. Frekuensi menyusui digolongkan menjadi 2 kategori, yaitu frekuensi kurang apabila bayi mendapatkan ASI kurang dari 8 kali per hari dan cukup apabila bayi mendapatkan
23
ASI lebih dari sama dengan 8 kali per hari. Tabel 17 menunjukkan lebih dari tiga per empat contoh memiliki frekuensi menyusui tergolong cukup baik contoh yang memiliki status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih, maupun obes. Semakin berisiko obes status gizi contoh frekuensi menyusui cenderung menurun. Rata-rata frekuensi menyusui contoh yaitu 9 kali per hari. Contoh yang kurang frekuensi menyusuinya rata-rata karena nyenyak tidur dan ibu tidak membangunkan bayi tersebut untuk disusui sehingga frekuensinya kurang dari 8 kali per hari. Selain itu, karena produksi ASI sedikit sehingga dibarengi dengan pemberian susu formula. Lama menyusui menyatakan berapa lama bayi mendapatkan ASI dalam sekali menyusui. Lama menyusui digolongkan menjadi 2 kategori, yaitu kurang apabila bayi mendapatkan ASI kurang dari 10 menit per menyusui dan cukup apabila bayi mendapatkan ASI lebih dari sama dengan 10 menit per menyusui. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan riwayat pemberian ASI dan status gizi (IMT/U) Status gizi (IMT/U) Kemungkinan risiko BB BB lebih Obes Riwayat pemberian ASI Sig lebih (≥+2SD) (≥+3SD) (≥+1SD) n % n % n % Pemberian ASI Eksklusif 10 62.5 11 57.9 14 51.9 0.831 Non eksklusif 6 37.5 8 42.1 13 48.2 Status IMD Ya 11 68.8 11 57.9 16 59.3 0.949 Tidak 5 31.3 8 42.1 11 40.7 Pemberian Kolostrum Diberikan 16 100 18 94.7 27 100 0.451 Tidak Diberikan 0 0 1 5.3 0 0 Frekuensi Menyusui Kurang (<8x/hari) 2 12.5 4 21.1 6 22.2 0.691 Cukup (≥8x/hari) 14 87.5 15 79.0 21 77.8 Lama Menyusui Kurang 3 18.8 3 15.8 2 7.4 (<10menit/menyusui) 0.219 Cukup 13 81.3 16 84.2 25 92.6 (≥10menit/menyusui) Total 16 100 19 100 27 100 Lebih dari tiga per empat contoh memiliki lama menyusui yang tergolong cukup baik pada contoh yang memiliki status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih, maupun obes. Rata-rata lama menyusui contoh yaitu 19.6 menit per menyusui. Ketika menyusui, bayi laki-laki lebih lama dalam sekali menyusui bahkan bisa sampai 60 menit. Berdasarkan sebuah studi meta analisis yang menggunakan 17 studi (16 cohort dan 1 case ontrol) menyatakan bahwa risiko gizi lebih pada anak dapat diturunkan dengan cara meningkatkan durasi menyusui.
24
Setiap satu bulan pemberian ASI dapat menurunkan risiko gizi lebih sekitar 4% (Harder et al. 2005). Menurut Heinig et al. (1993) menyatakan bahwa bayi yang mendapat ASI mempunyai kenaikan berat badan tidak sebanyak bayi yang diberikan susu formula pada masa kritis neonatus. Hal ini disebabkan oleh asupan kalori yang lebih rendah pada bayi yang mendapatkan ASI dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan susu formula. Kenaikan berat badan yang rendah selama masa kritis neonatus telah dibuktikan berhubungan dengan menurunnya risiko obesitas pada masa remaja dan dewasa (Stettler et al. 2002). Berdasarkan hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara karakteristik pola pemberian ASI pada contoh dengan status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih, dan obes (p>0.05). Hal ini menjukkan bahwa karakteristik pola pemberian ASI pada masing-masing kelompok hampir sama.
Riwayat Pemberian Susu Formula Susu formula merupakan susu yang dibuat oleh pabrik dan telah diformulasikan secara khusus menyerupai ASI. Susu formula dibuat sesuai golongan usia bayi, mulai dari bayi yang baru lahir (new born) usia 0-6 bulan, 612 bulan, dan usia batita 1-3 tahun, usia prasekolah 3-5 tahun, serta usia sekolah atau lima tahun ke atas (Sutomo dan Anggraini 2010). Menurut CODEX Alimentarius dan European Society for Paediatric Gastroenterology, Hepatology, Nutrition (ESPGHAN) Committee on Nutrition membagi formula bayi menjadi 3 jenis, yaitu formula awal (starting formula), formula lanjutan (follow-up formula), dan formula untuk tujuan medis (meliputi formula untuk bayi prematur, alergi susu sapi, kelainan metabolisme bawaan, dan formula khusus ganguan saluran cerna). Riwayat pemberian susu formula dalam penelitian ini meliputi pemberian susu formula (apakah bayi berikan susu formula atau tidak sampai usia 2 tahun), frekuensi pemberian susu formula pertama kali dalam sehari, jumlah takaran pemberian susu formula pertama kali, dan umur pertama kali diberikan susu formula. Sebanyak 56.3% contoh yang memiliki status gizi kemungkinan risiko BB lebih diberikan susu formula. Sebanyak 84.2% contoh yang memiliki status gizi BB lebih diberikan susu formula. Sebanyak 70.4% contoh yang memiliki status gizi obes diberikan susu formula. Semakin berisiko status gizi contoh lebih dari sama dengan +2 SD (gizi lebih atau obes) cenderung semakin meningkat pemberian susu formula sampai 2 tahun. Ibu memberikan susu formula kepada contoh karena produksi ASI sedikit, ASI tidak keluar sama sekali, puting ibu lecet, kondisi ibu sakit sehingga tidak memungkinkan memberikan ASI, dan ibu bekerja. Berdasarkan frekuensi pemberian susu formula pertama kali, lebih dari tiga per empat contoh yang diberikan susu formula memiliki frekuensi yang kurang tepat baik pada contoh dengan status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih maupun obes. Semakin berisiko obes status gizi contoh frekuensi pemberian susu formula yang kurang tepat cenderung meningkat. Frekuensi kurang tepat karena frekuensi pemberian susu formula tidak sesuai dengan anjuran pemberian yang seharusnya dalam sehari. Frekuensinya ada yang kurang dan lebih dari frekuensi
25
yang dianjurkan sesuai dengan jenis susu formula yang dikonsumsi dan disesuaikan juga dengan umur contoh ketika diberikan susu formula tersebut. Sebanyak 66.7% contoh dengan status gizi kemungkinan risiko BB lebih diberikan susu formula dengan jumlah takaran kurang tepat. Sebanyak 100% contoh dengan status gizi BB lebih diberikan susu formula dengan jumlah takaran kurang tepat. Sebanyak 94.7% contoh dengan status gizi obes diberikan susu formula dengan jumlah takaran kurang tepat. Tabel 17 menunjukkan lebih dari dua per tiga contoh diberikan susu formula dengan jumlah takaran yang kurang tepat. Semakin berisiko obes status gizi contoh jumlah takaran pemberian susu formula yang kurang tepat cenderung meningkat. Jumlah takaran yang diberikan tidak sesuai antara jumlah susu formula (sendok takar) dengan air (ml) yang digunakan dalam sekali penyajian. Kesesuaian jumlah takaran susu formula dilihat dari saran penyajian pada kemasan masing-masing jenis susu formula yang disesuaikan dengan umur. Pemberian susu formula pada bayi berumur dibawah 6 bulan akan berdampak pada status gizi bayi. Jika pemberian susu formula terlalu encer akan mengakibatkan asupan gizi untuk tubuh bayi berkurang. Pemberian susu formula yang terlalu kental dan banyak maka dapat mengakibatkan gizi lebih (Lestari et al. 2014). Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan riwayat pemberian susu formula dan status gizi (IMT/U) Status gizi (IMT/U) Kemungkinan Riwayat pemberian susu BB lebih Obes risiko BB lebih Sig formula (≥+2SD) (≥+3SD) (≥+1SD) n % n % n % Pemberian susu formula sampai 2 tahun (n=62) 0.636 Ya 9 56.3 16 84.2 19 70.4 Tidak 7 43.7 3 15.8 8 29.6 Total 16 100 19 100 27 100 Frekuensi pemberian susu formula pertama kali (n=44) 0.892 *) Kurang tepat 8 88.9 15 93.8 18 94.7 Tepat 1 11.1 1 6.3 1 5.3 Jumlah takaran pemberian susu formula pertama kali (n=44) 0.093 Kurang tepat*) 6 66.7 16 100 18 94.7 Tepat 3 33.3 0 0.0 1 5.3 Umur pemberian susu formula pertama kali (n=44) 0.606 <6 bulan 7 77.8 8 50.0 10 52.6 ≥6 bulan 2 22.2 8 50.0 9 47.4 Total 9 100 16 100 19 100
26
Keterangan: *) yang dimaksud kurang tepat adalah ketidaksesuaian antara frekuensi pemberian yang seharusnya diberikan dalam sehari dan jumlah takaran susu formula dngan air yang digunakan berdasarkan saran penyajian yang tercantum dalam kemasan masing-masing susu formula.
Jumlah takaran kurang tepat karena sebagian besar ibu memberikan susu formula yang encer untuk anaknya karena takut anaknya menjadi gemuk apabila terlalu kental. Bahkan terdapat beberapa ibu yang menambahkan gula dalam pembuatan susu formula. Terdapat beberapa ibu yang memberikan susu formula kental dan banyak untuk anaknya supaya kenyang. Jumlah takaran dan frekuensi pemberian disesuaikan berdasarkan umur bayi atau balita. Contoh yang diberikan susu formula, lebih dari setengah contoh diberikan sebelum umur 6 bulan baik pada contoh yang memiliki status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih maupun obes. Ibu memberikan susu formula kepada contoh sebelum berumur 6 bulan karena ibu merasa produksi ASI sedikit sehingga diberikan susu formula untuk mencukupi kebutuhan gizinya. Beberapa cara sudah dilakukan oleh ibu untuk meningkatkan produksi ASI misalnya dengan mengonsumsi sayur daun katuk dan papaya muda kukus, tetapi usaha tersebut tidak menujukkan hasil yang signifikan sehingga ibu memberikan makan kombinasi berupa ASI dan susu formula. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara karakteristik pola pemberian susu formula pada contoh dengan status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih, dan obes (p>0.05). Hal ini menjukkan bahwa karakteristik pola pemberian susu formula pada masing-masing kelompok hampir sama.
Riwayat Pemberian MP-ASI Pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu (ASI) menuju ke makanan yang semi padat. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah salah satu cara pemberian makanan disamping ASI pada anak usia 6-24 bulan (Irianto dan Waluyo 2004). Setelah pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, bayi harus mendapatkan MPASI karena kebutuhan energi dan zat gizi bayi tidak lagi terpenuhi hanya dari ASI terutama energi, protein, dan zat gizi mikro penting seperti zat besi (Fe), seng (Zn), dan vitamin A (Suradi et al. 2010). Setelah 6 bulan ASI hanya dapat memenuhi energi sekitar 65-80% dan sangat sedikit mengandung zat gizi mikro. Oleh karena itu, bayi harus mendapatkan MP-ASI setelah 6 bulan. Pada Global Strategy for Infant and Young Child Feeding (GSIYCF 2002) menyatakan bahwa MP-ASI harus memenuhi syarat, yaitu tepat waktu, adekuat, aman, dan tepat cara pemberian (AsDI, IDAI, dan PERSAGI 2015). Riwayat pemberian MP-ASI dalam penelitian ini meliputi umur pemberian MP-ASI pertama kali, jenis MP-ASI yang diberikan pertam kali, dan frekuensi pemberian MP-ASI. Tabel 18 menunjukkan bahwa lebih dari tiga per empat contoh diberikan MP-ASI pertama kali pada umur 6 bulan ke atas baik pada contoh yang memiliki status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih maupun obes. Menurut Depkes (2007), usia pada saat pertama kali pemberian makanan
27
pendamping ASI pada anak yang tepat dan benar adalah setelah anak berusia 6 bulan. Tujuan pemberian MP-ASI setelah 6 bulan yaitu agar anak tidak mengalami infeksi atau gangguan pencernaan akibat virus atau bakteri. Masih banyak ibu contoh yang memberikan MP-ASI sebelum umur 6 bulan karena ibu merasa jika memberikan ASI saja tidak cukup. Selain itu, persepsi ibu yang menganggap bahwa bayi mereka sudah waktunya untuk diberikan makan dengan alasan ketika ibu sedang makan bayi melihat terus kearah ibu dan berusaha menggapai makanan tersebut. Lebih dari tiga per empat contoh dengan status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih dan obes diberikan MP-ASI pertama kali berupa MP-ASI siap saji. Semakin berisiko obes status gizi contoh jenis MP-ASI yang diberikan berupa MP-ASI siap saji cenderung meningkat. Banyaknya contoh yang diberikan MP-ASI siap saji karena ibu merasa mudah untuk mempersiapkannya dan harganya cukup terjangkau. Beberapa ibu tidak memberikan MP-ASI siap saji karena suami tidak mendukung untuk memberikan makanan instan kepada anaknya. MP-ASI rumah tangga yang banyak diberikan berupa bubur tepung atau bubur saring dan pisang. Berdasarkan informasi nilai gizi pada kemasan salah satu MP-ASI siap saji yang diberikan kepada contoh dengan takaran saji 50 gram mengandung energi total 200 kkal, 4.5 gram lemak, 7 gram protein, 34 gram karbohidrat (2 gram serat pangan, 12 gram gula total, 10 gram gula (sukrosa)), 65 mg natrium. Contoh MP-ASI rumah tangga berupa bubur susu yang terbuat dari tepung 15 gram, susu cair 200 gram, dan gula pasir 10 gram. Kandungan gizi bubur susu yaitu energi 213 kkal, protein 7.45 gram, lemak 7.07 gram, karbohidrat 30 gram, kalsium 287 mg, zat besi 3.53 mg, vitamin A 260 mcg, thiamin 0.78 mg, dan vitamin C 2.0 mg (AsDI, IDAI, dan PERSAGI 2015). Riwayat pemberian MP-ASI pada contoh dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan pola pemberian MP-ASI Status gizi (IMT/U) Kemungkinan Riwayat pemberian BB lebih Obes risiko BB MP-ASI (≥+2SD) (≥+3SD) lebih (≥+1SD) n % n % n % Umur pemberian MPASI pertama kali <6 bulan 3 18.8 2 10.5 5 18.5 ≥6 bulan 13 81.3 17 89.5 22 81.5 Jenis MP-ASI pertama kali MP-ASI siap saji 14 87.5 13 68.4 23 85.2 MP-ASI rumah 2 12.5 6 31.6 4 14.8 tangga Frekuensi pemberian MP-ASI Kurang 4 25.0 5 26.3 3 11.1 Cukup 12 75.0 14 73.7 24 88.9 Total 16 100 19 100 27 100
Sig
0.947
0.782
0.170
28
Sebanyak 75% contoh yang memiliki status gizi kemungkinan risiko BB lebih diberikan MP-ASI dengan frekuensi cukup. Sebanyak 73.7% contoh yang memiliki status gizi BB lebih diberikan MP-ASI dengan frekuensi cukup. Sebanyak 88.89% contoh yang memiliki status gizi obes diberikan MP-ASI dengan frekuensi cukup. Rata-rata contoh diberikan MP-ASI 3 kali sehari. Frekuensi dalam pemberian MP-ASI yang tepat biasanya diberikan tiga kali sehari. Pemberian makanan pendamping ASI dalam frekuensi yang berlebihan atau diberikan lebih dari tiga kali sehari, kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya diare (Depkes 2007). Pemberian MP-ASI terlalu berlebihan atau diberikan lebih dari tiga kali sehari, maka sisa bahan makanan yang tidak digunakan untuk pertumbuhan, pemeliharaan sel, dan energi akan diubah menjadi lemak. Sehingga apabila anak kelebihan lemak dalam tubuhnya, kemungkinan akan mengakibatkan alergi atau infeksi dalam organ tubuhnya dan bisa mengakibatkan kelebihan berat badan atau obesitas (Irianto dan Waluyo 2004). Selain ASI, pemberian MP-ASI juga turut berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Apabila pemberian ASI dan MP-ASI dapat terlaksana dengan baik, akan menimbulkan dampak positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak di usia balita. Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara karakteristik pola pemberian MP-ASI pada contoh dengan status gizi kemungkinan risiko BB lebih, BB lebih, dan obes (p>0.05).
Hubungan Antar Variabel Analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam penelitian ini yaitu uji korelasi Spearman. Variabel-variabel yang diuji di antaranya adalah karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, dan berat badan bayi lahir), karakteristik keluarga (pendapatan orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, dan besar keluarga), pengetahuan gizi, riwayat pemberian ASI, pola pemberian susu formula, pola pemberian MP-ASI, dan status gizi contoh (IMT/U). Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Pengetahuan Gizi Ibu Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (besar keluarga dan pekerjaan ayah) tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pengetahuan gizi ibu (p>0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahawa terdapat hubungan signifikan antara pendidikan ayah dengan pengetahuan gizi ibu (p<0.05; r=0.457). Hal ini menjukkan bahawa semakin tinggi pendidikan ayah maka pengetahuan gizi ibu semakin baik. Semakin tinggi pendidikan ayah maka diharapkan akan mendapatkan informasi yang lebih banyak sehingga pengetahuan gizi semakin baik kemudian ayah akan memberikan informasi yang lebih banyak lagi kepada ibu. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan hubungan signifikan antara pendidikan (p<0.05; r=0.558) dan pekerjaan ibu (p<0.05; r=0.353) dengan pengetahuan gizi ibu. Semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik juga pengetahuan gizinya. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan hubungan signifikan antara pendapatan keluarga dengan pengetahuan gizi ibu (p<0.05; r=0.492). Hal ini berarti semakin tinggi pendapatan
29
keluarga maka pengetahuan gizi ibu semakin baik. Hasil ini sejalan dengan penelitian Ulfa (2006) bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan signifikan dengan tingkat pengetahuan gizi. Semakin tinggi tingkat pendidikan contoh maka rata-rata persentase pengetahuan gizi contoh semakin meningkat. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan lebih mudah menyerap informasi sehingga pengetahuannya semakin bertambah. Hubungan Pengetahuan Gizi dengan Sikap Gizi Ibu Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu memiliki hubungan signifikan dengan sikap gizi ibu (p<0.05; r= 0.362). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu maka sikap gizi ibu semakin baik. Hasil ini sejalan dengan penelitian Briawan dan Suciarni (2007), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata antara pengetahuan ibu tentang ASI dengan sikap ibi tentang ASI. Ibu yang memiliki tingkat pengetahuan dan sikap gizi yang baik diharapkan akan memiliki perilaku gizi yang baik juga. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Riwayat Pemberian ASI, Susu Formula, dan MP-ASI Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan besar keluarga, pekerjaan ibu, pendidikan ayah, dan pendapatan keluarga tidak memiliki hubungan signifikan dengan status IMD (p>0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan pendidikan ibu memiliki hubungan signifikan dengan status IMD (p<0.05; r=0.291). Semakin tinggi pendidikan ibu maka status IMD semakin baik. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan pekerjaan ayah memiliki hubungan signifikan dengan status IMD (p<0.05; r=-0.268). Hasil ini sejalan dengan penelitian Nelvi (2004) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan IMD dimana responden yang berpendidikan tinggi akan melakukan IMD dibandingkan dengan responden berpendidikan rendah. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga) tidak memiliki hubungan signifikan dengan pemberian ASI eksklusif (p>0.05). Hasil ini sejalan dengan penelitian Sari (2011) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ayah, pekerjaan ayah, dan pendapatan dengan pemberian ASI eksklusif. Faktor lain juga mempengaruhi pemberian ASI eksklusif seperti kurangnya produksi ASI, kepercayaan atau budaya di daerah tempat tinggal, dan kurangnya dukungan suami atau keluarga. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga) tidak memiliki hubungan signifikan dengan frekuensi menyusui (p>0.05). Hasil ini sejalan dengan penelitian Sumyati (1998) menyatakan tingkat pendidikan ibu tidak memiliki hubungan signifikan dengan frekuensi menyusui. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan ayah, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga) tidak memiliki hubungan signifikan dengan lama menyusui (p>0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pendidikan ibu memiliki hubungan signifikan dengan lama menyusui (p<0.05; r=0.255). Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka lama menyusui contoh semakin
30
lama. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi diharapkan pengetahunnya semakin baik sehingga ketika menyusui bayinya tidak akan membatasi lama menyusui hingga bayinya merasa kenyang. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga) tidak memiliki hubungan signifikan dengan pemberian kolostrum (p>0.05). Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Sumyati (1998) menyatakan tingkat pendidikan memiliki hubungan signifikan dengan pemberian kolostrum. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan ayah, dan pekerjaan ayah) tidak memiliki hubungan signifikan dengan pemberian susu formula sampai 2 tahun (p>0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pendidikan ibu memiliki hubungan signifikan dengan pemberian susu formula sampai 2 tahun (p<0.05; r=0.308). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pekerjaan ibu memiliki hubungan signifikan dengan pemberian susu formula sampai 2 tahun (p<0.05; r=0.346). Ibu yang bekerja cenderung akan memberikan susu formula karena merasa memberikan ASI saja tidak cukup. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa pendapatan keluarga memiliki hubungan signifikan dengan pemberian susu formula sampai 2 tahun (p<0.05; r=0.379). Semakin tinggi pendapatan keluarga maka cenderung memberikan susu formula kepada anaknya. Hasil ini sejalan dengan penelitian Nurmawati et al. (2015) menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara status bekerja ibu dan pendapatan keluarga dengan pemberian susu formula pada bayi usia 0-6 bulan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (pendidikan ayah dan pekerjaan ayah) tidak memiliki hubungan signifikan dengan frekuensi pemberian susu formula pertam akali (p>0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga) memiliki hubungan signifikan dengan frekuensi pemberian susu formula pertama kali (p<0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan ayah, dan pekerjaan ayah) tidak memiliki hubungan signifikan dengan jumlah takaran pemberian susu formula pertama kali (p>0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga) memiliki hubungan signifikan dengan jumlah takaran pemberian susu formula pertama kali (p<0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan ayah, pekerjaan ayah dan pekerjaan ibu) tidak memiliki hubungan signifikan dengan umur pemberian susu formula (p>0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (pendidikan ibu dan pendapatan keluarga) memiliki hubungan signifikan dengan umur pemberian susu formula (p<0.05). Hasil penelitian Andini (2006), menunjukkan bahwa sebagian besar contoh ibu bekerja mendapat susu formula sebelum berumur 1 bulan. Sebagian besar contoh ibu tidak bekerja memberikan susu formula dengan pengenceran tidak tepat. Sebagian besar contoh ibu bekerja memberikan frekuensi pemberian susu formula tidak tepat. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga) tidak memiliki hubungan signifikan dengan umur
31
pemberian MP-ASI pertama kali (p>0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (besar keluarga dan pekerjaan ayah) tidak memiliki hubungan signifikan dengan jenis MP-ASI pertama kali (p>0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga) memiliki hubungan signifikan dengan jenis MP-ASI pertama kali (p<0.05). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa karakteristik keluarga (pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, dan pendapatan keluarga) tidak memiliki hubungan signifikan dengan frekuensi pemberian MP-ASI (p>0.05). Hasil ini sejalan dengan penelitian Arief (2004), menyatakan tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dan pendapatan keluarga dengan praktik pemberian MP-ASI Blendeed food. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa besar keluarga memiliki hubungan signifikan dengan frekuensi pemberian MP-ASI (p<0.05; r=0.261). Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Arief (2004), menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah anak dalam keluarga dengan pemberian MP-ASI Blendeed food. Hubungan Riwayat Pemberian ASI, Susu Formula, dan MP-ASI dengan Risiko Gizi Lebih pada Balita Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa riwayat pemberian ASI (status IMD, ASI eksklusif, frekuensi menyusui, lama menyusui, dan pemberian kolostrum) tidak memiliki hubungan signifikan dengan risiko gizi lebih pada balita (p>0.05). Balita yang diberikan ASI eksklusif, melakukan IMD, menyusui dengan frekuensi cukup, menyusui dengan lama menyusui yang cukup, dan diberikan kolostrum memiliki peluang yang sama untuk mengalami gizi lebih dengan balita yang tidak diberikan ASI eksklusif, tidak melakukan IMD, frekuensi menyusui kurang, lama menyusui kurang, dan tidak diberikan kolostrum. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Rositter et al. (2015) menyatakan bahwa anak yang diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan dengan memberikan ASI sampai 1 tahun memiliki hubungan signifikan dengan penurunan gizi lebih atau obesitas dibandingkan dengan anakanak yang tidak pernah mendapatkan ASI. Menurut Zhang et al. (2013), menyatakan bayi yang diberikan ASI eksklusif cenderung lebih rendah untuk mengalami kelebihan berat badan atau obesitas pada usia 2 tahun dibandingkan dengan mereka yang diberikan susu formula. Penelitian yang dilakukan Amanda (2011), menyatakan bahwa terdapat hubungan pada lamanya menyusui dengan status gizi anak usia <2 tahun berdasarkan indikator BB/U dan TB/U. Berdasarkan hasil penelitian Purwani dan Darti (2012) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara frekuensi menyusui dan durasi menyusui dengan berat badan bayi selama proses menyusui pada ibu yang berkunjung di Poliklinik bersalin Mariani Medan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa riwayat pemberian susu formula (pemberian susu formula sampai 2 tahun, frekuensi pemberian susu formula pertama kali, jumlah takaran pemberian susu formula pertama kali, dan umur pemberian susu formula pertama kali) tidak memiliki hubungan signifikan dengan gizi lebih pada balita (p>0.05). Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Lestari et al. (2014) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi dan takaran pemberian susu formula dengan tingkat kecukupan gizi. Terdapat
32
hubungan signifikan antara tingkat kecukupan gizi dengan status gizi (p<0.05). Hasil tidak sejalan diduga karena frekuensi dan takaran pemberian susu formula banyak yang kurang tepat sehingga kemungkinan susu formula yang diberikan dengan konsistensi encer dan frekuensi jarang karena masih dibarengi dengan ASI. Meskipun banyak contoh yang diberikan susu formula tetapi bukan sebagai makanan tunggal. Menurut Rositter et al. (2015) menyatakan bahwa anak-anak yang hanya diberikan susu formula memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami kelebihan berat badan atau obesitas dibandingkan anak-anak yang hanya diberikan ASI. Hasil penelitian Zhang et al. (2013), menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh terhadap kelebihan berat badan atau obesitas pada mereka yang diberi makan kombinasi berupa ASI dan susu formula. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa riwayat pemberian MPASI (umur pemberian MP-ASI pertama kali, jenis MP-ASI pertama kali, dan frekuensi pmeberian MP-ASI) tidak memiliki hubungan signifikan dengan gizi lebih pada balita (p>0.05). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Rositter et al. (2015) menyatakan bahwa anak-anak yang diberikan MP-ASI sebelum 6 bulan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami kelebihan berat badan atau obesitas dibandingkan anak-anak yang hanya diberikan ASI selama 6 bulan. Hasil penelitian Wang et al. (2016) menunjukkan bahwa memperkenalkan MP-ASI sebelum berumur 4 bulan cenderung meningkatkan risiko kelebihan berat badan atau obesitas selama masa kanak-kanak dibandingkan dengan setelah berumur 4 sampai 6 bulan. Tidak ada hubungan yang signifikan antara menunda pengenalan MP-ASI setelah berumur 6 bulan dengan kelebihan berat badan atau obesitas selama masa kanak-kanak. Bayi yang diberikan susu formula sejak lahir dan diberikan MP-ASI pada saat berumur 4 bulan memiliki risiko yang sebanding untuk mengalami kelebihan berat badan atau obesitas pada usia 2-6 tahun (Rositter et al. 2015). Pemberian makanan kepada anak harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan gizinya. Semakin bertambah usia anak, maka jenis makanan yang dapat diberikan juga semakin bervariasi. Pemberian makananan kepada anak memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan gizinya serta untuk memperkenalkan berbagai jenis makanan sehingga anak akan terbiasa untuk mengonsumsi makanan yang beragam. Pada saat menginjak usia dua tahun, biasanya anak mulai bisa memilih jenis makanan apa yang mereka sukai sehingga tidak semua makanan yang diberikan dapat diterima dengan baik oleh anak. Kemungkinan adanya faktor lain yang menentukan status gizi balita sehingga pola pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI tidak memiliki hubungan signifikan dengan risiko gizi lebih diantaranya faktor genetik dan asupan makanan saat ini. Hasil penelitian Permatasari et al. (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara riwayat orang tua yang obes dengan kejadian obesitas pada anak SD di kota Manado. Hasil analisis riwayat orang tua ibu sebagai faktor risiko terjadinya obesitas pada anak SD diperoleh nilai Odds Ratio (OR)=2.5. Hal ini berarti responden yang mempunyai riwayat orang tua obes memiliki risiko sebesar 2 kali lebih besar untuk menderita obes dibandingkan responden yang tidak mempunyai riwayat orang tua obes. Menurut faktor genetik, kegemukan dapat diturunkan dari generasi ke generasi di dalam sebuah keluarga.
33
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tingkat pendidikan ayah satu pertiga dari contoh adalah tamat sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat, sedangkan tingkat pendidikan ibu satu per tiga dari contoh adalah tamat sekolah dasar (SD) atau sederajat. Hampir setengah dari contoh berdasarkan pekerjaan ayah adalah pekerjaan lainnya dimana yang lebih dominan adalah wiraswasta dan lebih dari setengahh ibu contoh bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pendapatan keluarga lebih dari satu per empat contoh adalah kurang dari sama dengan Rp1 000 000. Lebih dari setengah contoh termasuk ke dalam kategori keluarga kecil. Lebih dari satu per tiga contoh berumur lebih dari 42 bulan sampai 47 bulan pada contoh laki-laki, sedangkan pada contoh perempuan hampir setengah dari contoh berumur lebih dari 30 bulan sampai dengan 36 bulan. Lebih dari setengah contoh berjenis kelamin laki-laki. Lebih dari tiga per empat contoh memiliki berat badan lahir termasuk kategori normal. Hampir setengah dari memiliki status gizi termasuk obes berdasarkan indikator IMT/U. Pengetahuan gizi ibu meliputi pengetahuan tentang ASI eksklusif, susu formula, dan MP-ASI. Pengetahuan ibu tentang pemberian ASI eksklusif dan MPASI diperoleh melalui berbagai media terutama berasal dari bidan desa maupun dari para kader posyandu setempat. Lebih dari setengah ibu contoh memiliki tingkat pengetahuan gizi termasuk kategori sedang. Lebih dar setengah ibu contoh memiliki sikap positif. Lebih dari setengah contoh diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan, melakukan IMD, diberikan kolostrum, memiliki frekuensi menyusui dan lama menyusui tergolong cukup. Semakin berisiko obes status gizi contoh pemberian ASI eksklusif, melakukan IMD, dan frekuensi menyusui tergolong cukup cenderung menurun. Berdasarkan pola pemberian susu formula, lebih dari setengah contoh diberikan susu formula sampai umur 2 tahun. Pada contoh yang diberikan susu formula, lebih dari setengah contoh diberikan susu formula sebelum berumur 6 bulan. Lebih dari setengah contoh memiliki frekuensi pemberian susu formula yang kurang tepat dengan jumlah takaran kurang tepat. Semakin tinggi risiko obes maka pemberian susu formula sampai umur 2 tahun, frekuensi pemberian susu formula pertama kali kurang tepat, jumlah takaran susu formula kurang tepat, dan umur pertama pemberian susu formula sebelum berumur 6 bulan cenderung semakin meningkat. Lebih dari tiga per empat contoh diberikan MP-ASI pertama kali pada umur 6 bulan ke atas, jenis MP-ASI berupa MP-ASI siap saji, dan diberikan dengan frekuensi yang cukup dalam sehari. Semakin berisiko obes status gizi contoh cenderung diberikan MP-ASI siap saji. Tidak terdapat hubungan signifikan antara riwayat pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI dengan risiko gizi lebih pada balita di Kecamatan Majalengka.
34
Saran Praktik pemberian ASI, susu formula dan MP-ASI masih banyak yang belum tepat. Semakin berisiko obes status gizi contoh pemberian ASI eksklusif cenderung menurun. Pemberian susu formula sampai umur 2 tahun, frekuensi pemberian dan jumlah takaran pemberian susu formula pertama kali kurang tepat serta pemberian MP-ASI siap saji cenderung semakin meningkat seiring dengan semakin berisiko obes status gizi contoh. Oleh karena itu, diperlukan adanya pendidikan gizi kepada kader posyandu dan ibu balita serta dukungan penuh dari petugas kesehatan terkait praktik pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI yang tepat. Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan analisis tingkat kecukupan energi dan zat gizi dari konsumsi makanan saat ini untuk melihat pengaruh terhadap risiko gizi lebih pada balita. Selain itu, bisa juga mengaitkan antara pola pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI dengan tumbuh kembang balita.
DAFTAR PUSTAKA [AsDI] Asosiasi Dietisien Idonesia, [IDAI] Ikatan Dokter Anak Indonesia, [PERSAGI] Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2015. Penuntun Diet Anak. Jakarta (ID): FKUI. [BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Buku Pegangan untuk Petugas Lapangan mengenai Reproduksi Sehat. Jakarta (ID): BKKBN. [DEPKES RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Profil Kesehan Indonesia Tahun 2000. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI. ______________________________________________. 2007. Buku Pedoman Pemberian Makanan Pendamping ASI. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI. [KEMENKES RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pedoman Kader Seri Kesehatan Anak. Jakarta (ID): Direktorat Bina Gizi dan KIA. ____________________________________________________. 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta (ID): Direktorat Bina Gizi dan KIA. [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. [WHO] World Health Organization. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. WHO Technical Report Series, Geneva. ____________________________. 2002. The optimal duration of exclusive breastfeeding, report of an axpert consultation. Geneva (CH): World Health Organization. Agostoni C, Braegger C, Decsi T, Kolacek S, Koletzko B, Michaelsen KF, Mihatsch W, Moreno LA, Puntis J, Shamir R, Szajewska H, Turck D, van Goudoever J. 2009. Breast-feeding: a commentary by the ESPGHAN committee on nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 49: 112-125. Alhamda S, Sriani Y. 2015. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta (ID): Deepublish.
35
Amanda G. 2011. Hubungan lamanya pemberian ASI dengan status gizi anak usia kurang dari 2 tahun di kecamatan kartasura. [Skripsi]. Sukoharjo (ID): Fakultas kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Andini D. 2006. Pola pemberian susu formula dan konsumsi zat gizi anak usia di bawah dua tahun (baduta) pada keluarga ibu bekerja dan tidak bekerja. [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Arief DM. 2004. Hubungan karakteristik ibu dan keluarga dengan praktik pemberian MP-ASI blended food kepada bayi usia 6-11 bulan (studi di wilayah kerja puskesmas karangdoro, kecamatan semarang timur kota semarang. [Skripsi]. Sukoharjo (ID): Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro. Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Di dalam: Widya Karya Pangan dan Gizi VIII. Jakarta (ID): Lembaga Penelitian Indonesia. Briawan D, Suciarni E. 2007. Hubungan pengetahuan, sikap dan praktek ibu dengan keberlanjutan pemberian ASI eksklusif dari umur 4 menjadi 6 bulan. Media Gizi & Keluarga. 31 (1): 54-62. Carruth BR, Skinner JD. 2001. The role of dietary calcium and other nutrients in moderating body fat in preschool children. Int J Obes Relat Metab Disord. 25:559-66. Handayani E. 2014. Pengaruh pengetahuan gizi ibu dan pendapatan orang tua terhadap pola makan anak balita umur 6 bulan - 5 tahun di dusun 1 Desa Palumbungan Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga. [Skripsi]. Yogyakarta (ID): Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta. Harder T, Bergmann R, Kallischnigg G, Plagemann A. 2005. Duration of Breastfeeding and Risk of Overweight: A Meta-Analysis. American Journal of Epidemiology. 162:397-403. Haryanto I. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan obesitas (z-score >2 IMT menurut umur) pada anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) di Jawa Tengah tahun 2010 (analisis data riskesdas 2010). [Tesis]. Depok (ID): Fakultas kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Heinig MJ, Nommsen LA, Peerson JM, Lonnerdal B, Dewey KG. 1993. Energy and protein intakes of breast-fed and formula-fed infants during the first year of life and their association with growth velocity: the DARLING study. Am J Clin Nutr. 58(2): 152-61. Irianto K, Waluyo K. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung (ID): Yrama Widya. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Status Gizi. Bogor (ID): IPB Pr. Laurence M, Strawn G, Mei Z. Does Breastfeeding Protect Against Pediatric Overweight? Analysis of Longitudinal Data From the Center for Disease Control an Prevention Pediatric Nutrition Surveillance System. Pediatrics. 113;e81. doi: 10.1542/peds.113.2.e81. Lestari P, Suyatno, Kartini A. 2014. Hubungan praktik pemberian susu formula dengan status gizi bayi usia 0-6 bulan di kecamatan semarang timur kota semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-journal) 2 (6). Lutviana, Budiono. 2010. Prevalensi dan determinan kejadian gizi kurang pada balita (studi kasus pada keluarga nelayan di Desa Bajomulyo Kecamatan Juwana Kabupaten Pati). Jurnal Kesmas. 5 (2): 165 – 172.
36
Machfoedz I, Suryani E. 2007. Pendidikan Kesehatan Bagian dari promosi Kesehatan. Yogyakarta (ID): Penerbit Fitramaya. Melkie E. 2007. Assessment of nutritional status of preschool children of Gumbrit, North West Ethiopia, Ethiop.J.Health Dev; 21 (2). Mufida L, Widyaningsih TD, Maligan JM. 2015. Prinsip dasar makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) untuk bayi 6-24 bulan: kajian pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(4):1646-1651. Nelvi. 2004. Faktor yang berhubungan dengan inisiasi pemberian ASI di RB puskesmas jakarta pusat tahun 2004. [Tesis]. Depok (ID): Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Notoatmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Nurmawati I, Nugraheni SA, Kartini A. 2015. Faktor determinan pemberian susu formula pada bayi usia 0-6 bulan (studi pada ibu bayi usia 7-12 bulan di wilayah puskesmas kabupaten demak). Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia. 3(1). Oldroyd J, Renzaho A, Skouteris H. 2010. Low and high birth weight as risk factors for obesity among 4 to 5 year-old Australian children: does gender matter? Eur J Pediatr. 170(7):899-906. Pearce J, Taylor MA, Langley-Evans SC. 2013. Timing of the introduction of complementary feeding and risk of childhood obesity: a systematic review. Int J Obes. 37(10): 1295-306. Doi: 10.1038/ijo.2013.99. Permatasari IRI, Mayulu N, Hamel R. 2013. Analisa riwayat orangtua sebagai faktor risiko obesitas pada anak SD di Kota Manado. ejournal keperawatan (e-kp). Vol 1 No 1. Portela DS, Vieira TO, Matos SMA, Oliveira NFD, Vieira GO. 2015. Maternal obesity, environmental factors, caesaran delivery and breastfeeding as determinants of overweight and obesity in children: result from a cohort. BMC Pregnancy and Childbirth 15:94. Doi 10.1186/s12884-015-0518-z. Pramudita RA. 2011. Faktor risiko obesitas pada anak sekolah dasar di Kota Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Purwani T, Darti NA. 2012. Hubungan antara frekuensi, durasi menyusui dengan berat badan bayi di poliklinik bersalin medan. Jurnal Keperawatan Klinis 4(1). Rossiter MD, Colapinto CK, Khan MKA, Mclsaac JLD, Williams PL, Kirk SFL, Veuglers PJ. 2015. Breast, formula and combination feeding in relation to childhood obesity in Nova Scotia, Canada. Matern Child Health J. doi:10.1 007/s10995-015-1717-y. Saputri EL. 2013. Hubungan riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian obesitas pada anak. [Skripsi]. Semarang (ID): Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro. Sari RR. 2011. Hubungan karakteristik, pengetahuan, sikap dan dukungan ayah terhadap pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja puskesmas talang kabupaten solok tahun 2011. [Skripsi]. Depok (ID): Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Sartika RAD. 2011. Faktor risiko obesitas pada anak 5-15 tahun di Indonesia. Makara Kesehatan. 15: 37-43.
37
Sediaoetama AD. 1993. Ilmu Gizi Jilid 1. Jakarta (ID): Bharata Karya Aksara. Setianingsih H. 2015. Hubungan perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI dengan status gizi anak usia 6-24 bulan di posyandu Kelurahan Wirobrajan Yogyakarta. [Skripsi]. Yogyakarta (ID): STIKES „Aisyiyah Yogyakarta. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Soetjiningsih. 2001. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta (ID): EGC. Stettler N, Zemel BS, Kumanyika S, Stallings VA. 2002. Infant weight gain and childhood overweight status in a multicenter, cohort study. Pediatrics. 109 (2): 194-9. Stolzer JM. 2011. Breastfeeding and obesity: a meta-analysis. Open J Prev Med. 1: 88-93. Supartini Y.2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta (ID): EGC. Suradi R, Hegar B, Partiwi IGAN, Marzuki ANS, Ananta Y. 2010. Indonesia Menyusui. Jakarta (ID): Badan Penerbit IDAI. Susanti M, Kartika M, Hadju V, Alharini S. 2012. Hubungan pola pemberian ASI dan MP ASI dengan gizi buruk pada anak 6-24 bulan di Kelurahan Pannampu Makasar. Media Gizi Masyarakat Indonesia. 1:97-103. Sutomo B, Anggraini D. 2010. Makanan Sehat Pendamping ASI. Jakarta (ID): Demedia Pustaka. Swarjana IK. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta (ID): Andi Offset. Ulfa M. 2006. Analisis hubungan pola asuh makan, pengetahuan gizi, persepsi, dan kebiasaan makan sayuran ibu rumah tangga di perkotaan dan pedesaan bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Vitrianingsih, Kusharisupeni, Luknis S. 2015. Faktor-faktor yang berhubungan dengan berat lahir bayi di RSUD Wonosari Gunungkidul Yogyakarta tahun 2012. [Internet]. [diunduh 2016 April 18]. Tersedia pada http://ejournal.respati.ac.id. Wang J, Wu Y, Xiong G, Chao T, Jin Q, Liu R, Hao L, Wei S, Yang N, Yang X. 2016. Introduction of complementary feeding before 4 months of age increase the risk of childhood overweight or obesity: a meta-analysis of prospective cohort studies. Nutr Res. 36(8):759-770. Doi:10.1016/j.nutres.2016.03.003. Yan J, Liu L, Zhu Y, Huang G, Wang PP. 2014. The association between breastfeeding and childhood obesity: a meta-analysis. BMC Public Health. 14:1267. Zhang J, Himes JH, Guo Y, Jiang J, Yang L, Lu Q, Ruan H, Shi S. 2013. Birth weight, growth and feeding pattern in early infancy predict overweight/obesity status at two years of age: A birth cohort study of Chinese infants. PloS One. doi: 10.1371/journal.pone.0064542.
38
39
LAMPIRAN
40
41
Hubungan Antar Variabel Lampiran 1 Hasil uji korelasi Spearman antara variabel karakteristik keluarga dengan pengetahuan gizi Hasil uji korelasi Variabel independen Variabel dependen Spearman Besar keluarga p=0.189; r=0.169 Pendidikan ayah p=0.000; r=0.457** Pendidikan ibu p=0.000; r=0.558** Pengetahuan gizi Pekerjaan ayah p=0.856; r=-0.024 Pekerjaan ibu p=0.005; r=0.353** Pendapatan keluarga p=0.000; r=0.492** *Signifikan pada α = 0.05 (2-tailed) **Signifikan pada α = 0.01 (2-tailed)
Lampiran 2 Hasil uji korelasi Spearman antara variabel karakteristik keluarga dengan riwayat pemberian ASI Hasil uji korelasi Variabel independen Variabel dependen Spearman Besar keluarga p=0.462; r=0.095 Pendidikan ayah p=0.055; r=0.245 Pendidikan ibu p=0.022; r=0.291* Status IMD Pekerjaan ayah p=0.035; r=0.268* Pekerjaan ibu p=0.120; r=-0.199 Pendapatan keluarga p=0.266; r=0.144 Besar keluarga p=0.542; r=-0.079 Pendidikan ayah p=0.181; r=0.172 Pendidikan ibu p=0.116; r=0.201 ASI Eksklusif Pekerjaan ayah p=0.158; r=-0.182 Pekerjaan ibu p=0.502; r=-0.087 Pendapatan keluarga p=0.161; r=0.180 Besar keluarga p=0.576; r=0.072 Pendidikan ayah p=0.825; r=-0.029 Pendidikan ibu p=0.825; r=-0.029 Frekuensi Menyusui Pekerjaan ayah p=0.233; r=0.154 Pekerjaan ibu p=0.414; r=0.106 Pendapatan keluarga p=0.752; r=-0.041 Besar keluarga p=0.458; r=-0.096 Pendidikan ayah Lama Menyusui p=0.343; r=0.122 Pendidikan ibu p=0.046; r=0.255*
42
Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Pendapatan keluarga Besar keluarga Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Pendapatan keluarga
Pemberian Kolostrum
p=0.149; r=-0.185 p=0.660; r=0.057 p=0.225; r=0.156 p=0.449; r=0.098 p=0.196; r=0.167 p=0.227; r=0.156 p=0.329; r=-0.126 p=0.473; r=0.093 p=0.719; r=-0.047
*Signifikan pada α = 0.05 (2-tailed) **Signifikan pada α = 0.01 (2-tailed)
Lampiran 3 Hasil uji korelasi Spearman antara variabel karakteristik keluarga dengan riwayat pemberian susu formula Hasil uji korelasi Variabel independen Variabel dependen Spearman Besar keluarga p=0.032; r=0.273* Pendidikan ayah p=0.083; r=0.222 Pendidikan ibu p=0.015; r=0.308* Pemberian Susu Formula Pekerjaan ayah p=0.380; r=-0.114 Pekerjaan ibu p=0.006; r=0.346** Pendapatan keluarga p=0.002; r=0.379** Besar keluarga p=0.060; r=-0.240 Pendidikan ayah p=0.064; r=0.237 Pendidikan ibu p=0.021; r=0.294* Frekuensi Pemberian Susu Formula Pekerjaan ayah p=0.381; r=-0.113 Pekerjaan ibu p=0.005; r=0.352** Pendapatan keluarga p=0.004; r=0.364** Besar keluarga p=0.196; r=0.167 Pendidikan ayah p=0.126; r=0.196 Pendidikan ibu p=0.019; r=0.297* Jumlah Takaran Susu Formula Pekerjaan ayah p=0.313; r=-0.130 Pekerjaan ibu p=0.023; r=0.289* Pendapatan keluarga p=0.018; r=0.298* Besar keluarga p=0.240; r=-0.151 Pendidikan ayah p=0.120; r=0.200 Pendidikan ibu p=0.005; r=0.355** Umur Pemberian Susu Formula Pekerjaan ayah p=0.163; r=-0.179 Pekerjaan ibu p=0.082; r=0.223 Pendapatan keluarga p=0.001; r=0.414**
43
*Signifikan pada α = 0.05 (2-tailed) **Signifikan pada α = 0.01 (2-tailed)
Lampiran 4 Hasil uji korelasi Spearman antara variabel karakteristik keluarga dengan riwayat pemberian MP-ASI Hasil uji korelasi Variabel independen Variabel dependen Spearman Besar keluarga p=0.398; r=-0.109 Pendidikan ayah p=0.383; r=0.113 Pendidikan ibu p=0.438; r=0.100 Umur Pemberian MPASI pertama kali Pekerjaan ayah p=0.517; r=-0.084 Pekerjaan ibu p=0.696; r=-0.051 Pendapatan keluarga p=0.538; r=0.080 Besar keluarga p=0.761; r=-0.039 Pendidikan ayah p=0.012; r=0.316* Pendidikan ibu p=0.005; r=0.356** Jenis MP-ASI pertama kali Pekerjaan ayah p=0.237; r=-0.152 Pekerjaan ibu p=0.015; r=0.307* Pendapatan keluarga p=0.012; r=0.316* Besar keluarga p=0.041; r=0.261* Pendidikan ayah p=0.935; r=-0.011 Pendidikan ibu p=0.978; r=-0.004 Frekuensi Pemberian MP-ASI Pekerjaan ayah p=0.679; r=-0.054 Pekerjaan ibu p=0.983; r=0.003 Pendapatan keluarga p=0.874; r=-0.021 *Signifikan pada α = 0.05 (2-tailed) **Signifikan pada α = 0.01 (2-tailed)
Lampiran 5
Hasil uji korelasi Spearman antara variabel karakteristik balita dengan riwayat pemberian ASI Hasil uji korelasi Variabel independen Variabel dependen Spearman Umur balita p=0.231; r=-0.154 Jenis kelamin Status IMD p=0.089; r=-0.218 Berat badan lahir p=0.288; r=0.137 Umur balita p=0.772; r=-0.037 Jenis kelamin ASI Eksklusif p=0.752; r=0.041 Berat badan lahir p=0.750; r=0.041 Umur balita p=0.227; r=0.156 Frekuensi Menyusui Jenis kelamin p=0.961; r=0.006
44
Berat badan lahir Umur balita Jenis kelamin Berat badan lahir Umur balita Jenis kelamin Berat badan lahir
Lama Menyusui
Pemberian Kolostrum
p=0.267; r=0.143 p=0.792; r=-0.034 p=0.848; r=-0.025 p=0.880; r=0.020 p=0.540; r=0.079 p=0.290; r=-0.137 p=0.960 r=0.007
*Signifikan pada α = 0.05 (2-tailed) **Signifikan pada α = 0.01 (2-tailed)
Lampiran 6 Hasil uji korelasi Spearman antara variabel pengetahuan gizi dengan riwayat pemberian ASI Hasil uji korelasi Variabel independen Variabel dependen Spearman Pengetahuan gizi Status IMD p=0.935; r=0.010 Pengetahuan gizi ASI Eksklusif p=0.695; r=0.050 Pengetahuan gizi Frekuensi menyusui p=0.234; r=0.151 Pengetahuan gizi Lama menyusui p=0.799; r=0.032 Pengetahuan gizi Pemberian kolostrum p=0.701; r=0.049 *Signifikan pada α = 0.05 (2-tailed) **Signifikan pada α = 0.01 (2-tailed)
Lampiran 7 Hasil uji korelasi Spearman antara variabel pengetahuan gizi dengan riwayat pemberian susu formula Hasil uji korelasi Variabel independen Variabel dependen Spearman Pengetahuan gizi Pemberian susu formula p=0.031; r=0.275* Pengetahuan gizi Frekuensi pemberian p=0.007; r=0.337** susu formula Pengetahuan gizi Jumlah takaran p=0.028; r=0.278* pemberian susu formula Pengetahuan gizi Umur pemberian susu p=0.035; r=0.268* formula *Signifikan pada α = 0.05 (2-tailed) **Signifikan pada α = 0.01 (2-tailed)
Lampiran 8 Hasil uji korelasi Spearman antara variabel pengetahuan gizi dengan riwayat pemberian MP-ASI Hasil uji korelasi Variabel independen Variabel dependen Spearman Pengetahuan gizi Umur pemberian MPp=0.425; r=-0.103 ASI pertama kali
45
Pengetahuan gizi Pengetahuan gizi
Jenis MP-ASI pertama kali Frekuensi pemberian MP-ASI
p=0.037; r=0.265* p=0.318; r=-0.129
*Signifikan pada α = 0.05 (2-tailed) **Signifikan pada α = 0.01 (2-tailed)
Lampiran 9
Hasil uji korelasi Spearman antara variabel karakteristik balita dengan risiko gizi lebih (IMT/U) Hasil uji korelasi Variabel independent Variabel dependent Spearman Umur balita p=0.64.; r=-0.144 Jenis kelamin Risiko Gizi Lebih p=0.437.; r=-0.101 Berat badan lahir p=0.687; r=0.052
Lampiran 10 Hasil uji korelasi Spearman antara variabel riwayat pemberian ASI, susu formula, dan MP-ASI dengan risiko gizi lebih (IMT/U) Hasil uji korelasi Variabel independent Variabel dependent Spearman Status IMD p=0.977.; r=-0.004 ASI Eksklusif p=0.534.; r=-0.079 Frekuensi menyusui p=0.453; r=-0.095 Lama menyusui p=0.328; r=0.124 Pemberian kolostrum p=0.797; r=0.033 Pemberian susu formula p=0.538.; r=0.080 Frekuensi pemberian susu p=0.664.; r=0.056 formula Risiko Gizi Lebih Jumlah takaran pemberian p=0.982; r=-0.003 susu formula Umur pemberian susu p=0.308; r=0.132 formula Umur pemberian MP-ASI p=0.879.; r=-0.020 pertama kali Jenis MP-ASI pertama kali p=0.865; r=-0.022 Frekuensi pemberian MPp=0.204; r=0.164 ASI *Signifikan pada α = 0.05 (2-tailed) **Signifikan pada α = 0.01 (2-tailed)
46
Lampiran 11 Sebaran contoh berdasarkan faktor risiko gizi lebih Anak gizi lebih
Faktor risiko Pengetahuan gizi ibu < Ya Tidak Tidak Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya
Sikap gizi ibu < Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Ya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Ya Ya
ASI eksklusif Ya Tidak Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Ya Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Ya Tidak
Susu formula Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Ya Ya Ya
MP-ASI <6 bulan Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak
n
% 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 3 2 1 1 1 2 1 3 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 3 1 1 2 3
3.23 3.23 3.23 1.61 1.61 1.61 1.61 1.61 1.61 1.61 1.61 4.84 1.61 4.84 3.23 1.61 1.61 1.61 3.23 1.61 4.84 1.61 1.61 1.61 1.61 1.61 3.23 1.61 1.61 1.61 1.61 1.61 1.61 1.61 4.84 1.61 1.61 3.23 4.84
47
Lampiran 11 Sebaran contoh berdasarkan faktor risiko gizi lebih (lanjutan) Anak gizi lebih
Faktor risiko Pengetahuan gizi ibu < Ya Tidak Tidak
Sikap gizi ibu < Tidak Tidak Tidak
ASI eksklusif Tidak Ya Ya
Susu formula Ya Ya Tidak
MP-ASI <6 bulan Ya Tidak Tidak
n
% 1 4 1
1.61 6.45 1.61
Lampiran 12 Data jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan, dan z-score contoh Jenis Umur BB TB Kode BB/TB BB/U TB/U IMT/U Kelamin (bulan) (kg) (cm) 1001 Laki-laki 39 15.5 93.7 1.46 0.34 -1.13 1.59 1002 Laki-laki 44 21.4 97.6 4.52 2.42 -0.88 4.6 1003 Laki-laki 36 14.2 89.0 1.41 -0.17 -2.05 1.74 1004 Perempuan 27 13.6 82.5 2.49 0.91 -1.73 2.73 1006 Laki-laki 28 14.0 81.3 2.97 0.60 -2.89 3.52 1007 Perempuan 45 16.8 94.2 2.2 0.49 -1.73 2.23 1008 Perempuan 31 17.0 88.1 3.58 2.04 -1.02 3.82 1011 Laki-laki 45 25.4 97.6 7.03 3.72 -1.00 7.12 1012 Laki-laki 39 16.6 95.4 1.92 0.85 -0.77 1.99 1013 Perempuan 45 16.5 90.3 2.78 0.37 -2.63 2.88 1014 Perempuan 29 14.5 84.9 2.61 1.09 -1.53 2.84 1015 Laki-laki 33 13.2 84.3 1.64 -0.49 -2.89 2.10 1016 Laki-laki 45 14.5 90.9 1.24 -0.76 -2.70 1.59 1017 Perempuan 37 14.8 89.2 1.88 0.38 -1.74 2.10 1018 Laki-laki 41 15.5 87.9 2.67 0.17 -2.89 3.13 1019 Laki-laki 45 18.4 98.3 2.50 1.15 -0.85 2.53 1020 Laki-laki 45 22.3 103.2 3.60 2.60 0.28 3.66 1021 Perempuan 45 18.3 97.9 2.36 1.11 -0.82 2.32 1022 Laki-laki 32 16.2 89.9 2.76 1.37 -1.08 2.96 1023 Laki-laki 47 22.0 106.0 2.78 2.36 0.76 2.85 1024 Laki-laki 24 16.0 87.0 3.25 2.35 -0.13 3.31 1025 Laki-laki 41 20.0 98.0 3.54 2.20 -0.32 3.60 1026 Laki-laki 46 20.0 103.0 2.40 1.71 0.15 2.42 1027 Laki-laki 38 18.8 93.6 3.78 1.93 -1.11 3.97 1028 Perempuan 31 16.4 87.6 3.29 1.76 -1.19 3.54 1029 Laki-laki 44 16.1 97.7 1.07 0.16 -0.91 1.11 1031 Perempuan 43 17.0 89.7 3.22 0.84 -2.43 3.36 1032 Perempuan 43 13.6 89.1 1.00 -0.86 -2.63 1.23 1033 Perempuan 43 15.0 89.0 2.06 -0.09 -2.62 2.26 1035 Laki-laki 27 12.8 84.6 1.21 -0.01 -1.64 1.47 1036 Laki-laki 46 24.2 99.0 5.86 3.11 -0.90 5.88 1037 Perempuan 46 13.9 90.1 1.02 -0.99 -2.81 1.22 1038 Laki-laki 31 15.8 88.2 2.83 1.24 -1.44 3.1
48
1039 1040 1041 1042 1043 1044 1045 1046 1047 1048 1050 1051 1052 1054 1055 1057 1058 1059 1060 1061 1062 1063 1064 1065 1066 1067 1068 1069 1070
Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Perempuan
46 36 24 26 24 44 34 30 47 38 46 26 25 46 27 47 41 28 47 47 47 38 39 45 38 30 47 46 24
15.9 15.3 13.4 15.0 13.0 19.0 17.0 18.6 22.7 19.2 17.5 13.2 14.2 16.3 15.2 23.0 20.7 20.7 18.8 19.3 26.0 16.4 18.0 20.6 19.2 17.0 15.2 19.1 14.5
96.9 85.7 80.7 88.6 73.6 99.1 89.6 90.3 102.7 91.3 94.1 86.9 86.9 98.3 88.3 102.3 108.1 95.4 107.3 103.5 113.0 98.7 89.0 99.3 92.8 88.2 94.7 101.2 83.7
1.09 2.98 2.6 2.15 3.89 2.69 3.24 4.11 3.61 4.59 2.63 1.17 1.95 1.09 2.36 3.85 1.66 4.63 1.02 1.79 2.7 1.07 4.27 3.6 4.24 3.56 1.02 2.15 2.88
0.03 0.66 0.78 1.74 0.98 1.49 1.7 2.79 2.39 2.17 0.69 0.79 1.5 0.13 1.41 2.49 2.39 4.11 1.18 1.34 3.33 1.06 1.53 2.04 2.17 2.13 -0.51 1.35 1.74
-1.18 -2.6 -2.22 0.23 -3.76 -0.51 -1.17 -0.22 0.07 -1.61 -1.88 -0.23 0.04 -0.96 -0.59 0 2.11 1.48 0.85 0.28 2.54 0.58 -2.39 -0.6 -1.21 -0.85 -1.96 -0.12 -0.78
1.11 3.28 3 2.26 4.78 2.71 3.46 4.29 3.47 4.93 2.64 1.29 2.06 1.13 2.5 3.69 1.67 4.43 1.02 1.73 2.92 1.04 4.76 3.64 4.48 3.78 1.19 2.08 3.05
Lampiran 13 Data status gizi contoh berdasarkan indikator, BB/TB, BB/U, TB/U, dan IMT/U Kode BB/TB BB/U TB/U IMT/U Kemungkinan Masalah Kemungkinan 1001 Pendek Risiko BB Lebih Pertumbuhan Risiko BB Lebih Masalah 1002 Obes Normal Obes Pertumbuhan Kemungkinan Kemungkinan 1003 Normal Pendek Risiko BB Lebih Risiko BB Lebih Masalah 1004 BB Lebih Pendek BB Lebih Pertumbuhan Masalah 1006 BB Lebih Pendek Obes Pertumbuhan Masalah 1007 BB Lebih Pendek BB Lebih Pertumbuhan 1008 Obes Masalah Pendek Obes
49
1011
Obes
1012
Kemungkinan Risiko BB Lebih
1013
BB Lebih
1014
BB Lebih
1015 1016 1017
Kemungkinan Risiko BB Lebih Kemungkinan Risiko BB Lebih Kemungkinan Risiko BB Lebih
1018
BB Lebih
1019
BB Lebih
1020
Obes
1021
BB Lebih
1022
BB Lebih
1023
BB Lebih
1024
Obes
1025
Obes
1026
BB Lebih
1027
Obes
1028
Obes
1029
Kemungkinan Risiko BB Lebih
1031
Obes
1032 1033 1035 1036
Kemungkinan Risiko BB Lebih BB Lebih Kemungkinan Risiko BB Lebih Obes
Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan
Normal
Obes
Normal
Kemungkinan Risiko BB Lebih
Pendek
BB Lebih
Pendek
BB Lebih
Normal
Pendek
BB Lebih
Normal
Pendek
Kemungkinan Risiko BB Lebih
Pendek
BB Lebih
Pendek
Obes
Normal
BB Lebih
Normal
Obes
Normal
BB Lebih
Pendek
BB Lebih
Normal
BB Lebih
Normal
Obes
Normal
Obes
Normal
BB Lebih
Pendek
Obes
Pendek
Obes
Normal
Kemungkinan Risiko BB Lebih
Pendek
Obes
Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Normal
Pendek
Normal
Pendek
Normal
Pendek
Masalah
Normal
Kemungkinan Risiko BB Lebih BB Lebih Kemungkinan Risiko BB Lebih Obes
50
Pertumbuhan 1037
Kemungkinan Risiko BB Lebih
1038
BB Lebih
1039
Kemungkinan Risiko BB Lebih
1040
BB Lebih
1041
BB Lebih
1042
BB Lebih
1043
Obes
1044
BB Lebih
1045
Obes
1046
Obes
1047
Obes
1048
Obes
1050
BB Lebih
1051 1052 1054
Kemungkinan Risiko BB Lebih Kemungkinan Risiko BB Lebih Kemungkinan Risiko BB Lebih
1055
BB Lebih
1057
Obes
1058
Kemungkinan Risiko BB Lebih
1059
Obes
1060 1061 1062
Kemungkinan Risiko BB Lebih Kemungkinan Risiko BB Lebih BB Lebih
Normal Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan
Pendek
Kemungkinan Risiko BB Lebih
Pendek
Obes
Pendek
Kemungkinan Risiko BB Lebih
Pendek
Obes
Pendek
Obes
Normal
BB Lebih
Sangat Pendek
Obes
Normal
BB Lebih
Pendek
Obes
Normal
Obes
Normal
Obes
Pendek
Obes
Pendek
BB Lebih
Normal
Kemungkinan Risiko BB Lebih
Normal
BB Lebih
Normal
Kemungkinan Risiko BB Lebih
Normal
BB Lebih
Normal
Obes
Normal
Kemungkinan Risiko BB Lebih
Normal
Obes
Normal Normal Normal
Kemungkinan Risiko BB Lebih Kemungkinan Risiko BB Lebih BB Lebih
51
1063
Kemungkinan Risiko BB Lebih
1064
Obes
1065
Obes
1066
Obes
1067
Obes
1068
Kemungkinan Risiko BB Lebih
1069
BB Lebih
1070
BB Lebih
Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan Normal Masalah Pertumbuhan Masalah Pertumbuhan
Normal
Kemungkinan Risiko BB Lebih
Pendek
Obes
Normal
Obes
Pendek
Obes
Normal
Obes
Pendek
Kemungkinan Risiko BB Lebih
Normal
BB Lebih
Normal
Obes
52
53
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 3 Maret 1991. Penulis merupakan anak kedelapan dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak Santa dan Ibu Isoh. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1997-2003 di SD Negeri Cieurih I. Penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 3 Majalengka dan lulus tahun 2006. Penulis melanjutkan ke SMA Negeri 1 Majalengka dan lulus pada tahun 2009. Penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Juli 2009 dengan program keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi (Diploma III) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menempuh pendidikan penulis melakukan praktik kerja lapang di Rumah Sakit TNI-AD Salak Bogor selama tiga bulan mulai tanggal 12 September sampai dengan 4 November 2011 dan praktik usaha jasa boga di Kantin Sehati Bogor yang terletak di Kampus IPB Gunung Gede mulai tanggal 27 Februari sampai dengan 21 April 2012. Tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana pada program alih jenis Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan, penulis melakukan kuliah kerja nyata berbasis profesi (KKN-P) di Desa Panyindangan Kecamatan Sukatani Kabupaten Purwakarta. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana gizi pada tahun 2016.