1
RISET BERBASIS DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA Oleh : Dr Ernan Rustiadi 1) dan Dr Baba Barus 2) 1) Dekan Fakultas Pertanian IPB Bogor 2) Staf Dept ITSL IPB dan Ketua Mapin Jabodetabek Makalah Utama disampaikan di “Pertemuan Pemangku Kepentingan dalam Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Pertanian dan Ketahanan Pangan di Indonesia”, Bogor 04 Juni 2012 diselenggarakan LAPAN
I. Pendahuluan Komoditas pertanian masih menempati peran sangat besar di hampir semua kabupaten di Indonesia, yang tercemin dalam besarnya kontribusi PDRB pertanian. Saat ini disadari ada komoditas yang bersifat strategis antara lain tanaman pangan khususnya padi, dan tanaman perkebunan khususnya kelapa sawit, dan tanaman lainnya yang bersifat spesifik lokasi. Saat ini semua komoditas yang dianggap strategis tersebut menghadapi masalah yang memerlukan solusi. Masalah yang utama tanaman padi adalah adanya konversi lahan sawah yang dianggap dapat menimbulkan rawan pangan , sedangkan masalah tanaman kelapa sawit adalah adanya dugaan gangguan lingkungan. Saat ini di Jawa banyak lahan sawah yang terancam terkonversi ke penggunaan lain seperti pemukiman atau ke hutan industri, sedangkan di luar jawa, sebagian sawah dikonversi ke perkebunan kelapa sawit. Konversi ini sebagian terjadi karena adanya perbedaan nilai ekonomi dari usaha sawah dibandingkan dengan usaha lain; atau karena disengaja oleh kebijakan pemerintah. Kementrian Pertanian saat ini sudah mempunyai kebijakan untuk melindungi lahan sawah (dan lainnya) seperti menerbitkan UU No 41, tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan dan peraturan lainnya. Melalui peraturan ini diharapkan semua pemerintahan daerah kabupaten akan membuat kebijakan operasional untuk melindungi lahan sawah atau lahan pangan lainnya. Selain itu pemerintah juga sedang berusaha membuat data yang benar seperti membuat program pemetaan sawah baku dengan menggunakan citra satelit untuk mendukung upaya perlindungan lahan tersebut. Berbagai riset dan praktek penggunaan berbagai tipe citra sudah dilakukan dalam upaya mengenali lahan sawah. Secara operasional dalam skala besar penginderaan jauh sudah resolusi tinggi seperti Quickbird atau Ikonos sudah dimanfaatkan dalam pemetaan sawah baku di Pulau Jawa (2010) dan luar Jawa (2011) dan riset multi-sensor dan multi-flatform untuk keperluan pemetaan dan pemantauan sawah hingga level persil (penelitian sedang berjalan, 2012); dan juga kemungkinan memprediksi produksi dengan baik dan menjadikannya sebagai bagian sistem informasi. Makalah ini akan menguraikan tentang berbagai perkembangan riset inderaja ke pangan atau sawah khususnya di Fakultas Pertanian IPB, dan harapan ke depan. II.
Keragaan Komoditas Pertanian Pangan di Indonesia dan Prediksi Keberadaan data dan informasi tentang sawah yang sudah dilakukan oleh Kementrian Pertanian, menunjukkan masih diperlukan perbaikan data luas baku sawah, mengingat data yang ada masih berbasis interpretasi citra. Untuk perbaikan data tersebut, Kementan sudah menyebarkan data tersebut ke berbagai kabupaten, dan pihak pemerintah kabupaten diminta untuk memperbaiki data atau peta tersebut dengan menyertakan citra dan peta sawah hasil
2 interpretasi. Sejauh ini perbaikan data ini tidak diketahui persis keberadaannya. Dari referensi terbatas misalnya di Kabupaten Garut, menunjukkan data hasil interpretasi citra setelah diperbaiki dengan data lapang menunjukkan adanya perubahan luas, yang secara total adalah berkurang, tetapi per wilayah ada lokasi yang lebih kecil atau ada juga yang lebih besar (Barus et al 2010). Data citra resolusi tinggi dan hasil interpretasi yang dilakukan Kementan juga sudah diberikan ke Kabupaten Bogor dan saat ini sedang diverifikasi oleh tim PSP3 IPB (Kolopaking et al, 2012, sedang berjalan). Dari hasil perbaikan awal tentang peta luas baku sawah yang sudah ditemukan menunjukkan luasannya lebih besar dari hasil yang dibuat oleh Kementan. Saat ini data Kementan tersebut sudah ada, tetapi proses perolehan data tersebut masih belum diletakkan secara terbuka, sehingga mekanisme mendapatkan data tersebut masih perlu diperbaiki, mengingat keberadaan data tersebut pada akhirnya akan dipakai untuk keperluan perlindungan lahan sawah yang bersifat keperluan publik. Ke depan beberapa komoditas pertanian pangan utama di berbagai lokasi selain tanaman padi, juga perlu diidentifikasi dan dipetakan seperti tebu, sagu, jagung, dan lainnya. Saat ini komoditas pertanian yang sudah dilakukan pemetaannya oleh Kementan dalam skala yang luas adalah tanaman kelapa sawit, karet dan kakao (Sucofindo, 2010). Mengingat data lahan sawah ini perlu diperbaiki dan dilengkapi datanya khususnya untuk mendukung pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) sesuai pesan perundangan, seperti data sosial, ekonomi dan lainnya, maka upaya alternatif pengumpulan data juga perlu dipertimbangkan seperti melibatkan mahasiswa atau masyarakat pemilik lahan. Ide pelibatan masyarakat ini sudah pernah dijalankan oleh Pemerintah Provinsi Jatim dalam melakukan pemetaan tanaman tebu dengan persil yang dilakukan oleh pemiliknya (Arief, Ahmad, dan Barus, 2008) dan menghasilkan peta persil tebu dengan berbagai sistem pengelolaannya. Data yang dibuat oleh petani selanjutnya di’peta’kan oleh P4W, LPPM IPB dan hasilnya dipakai untuk pembuatan kebijakan dan program pengelolaan tebu. Perkembangan Indraja dalam kaitan pengelolaan komoditas pertanian, jika dilihat referensi di berbagai lokasi maka konsep yang sudah berkembang adalah pertanian cermat (precission agriculture). Di beberapa negara yang sistem pertaniannya sudah sangat modern, data penginderaan jauh secara langsung dipakai untuk menilai keberadaan komoditas dan data ini disambungkan ke sistem komputer yang menempel dengan sarana mekanisasi. Data tersebut dipakai untuk keperluan pengelolaan lahan setelah memahami karakter tanaman dari citra (Duane, Price and D. Rundquist. 2009). Di Indonesia, pengelolaan berbasis pertanian cermat seperti perkebunan kelapa sawit masih belum mengadopsi data penginderaan jauh secara operasional, tetapi dilakukan proses analisis, misalnya hasil citra dapat menunjukkan daerah tertentu yang kekurangan nutrisi, dan dicek data sebenarnya di laboratorium seperti analisis daun, selanjutnya dikaitkan dengan keperluan pengelolaan. Pengelolaan juga cenderung dilakukan dalam kawasan pengelolaan seperti blok kebun belum dalam kaitan riel lokasi komoditas. Ke depan, pertanian tanaman pangan yang akan dikembangkan dalam skala luas seperti di Kalimantan atau Papua, mungkin akan dapat memanfaatkan data citra inderaja secara baik; dan mungkin dapat dipakai untuk keperluan prediksi. Model prediksi saat ini sudah dicoba dalam ruang lingkup riset seperti penggunaan citra hiperspektral di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) atau dengan multiflatform dan multiskala yang dikerjakan oleh IPB dan BBDSLP. Dalam kenyataannya lahan pertanian sawah di Indonesia saat ini masih dominan berukuran kecil karena pemilikan lahan yang kecil, dan ke depan mungkin masih mengikuti pola
3 ini. Tekanan utama yang disadari bahwa pertanian tropis mempunyai kelebihan dala kemampuan pemanenan energi matahari dan akan diarahkan sebagai kekuatan terbesar. Di Jepang, saat ini (tahun 2000-an) sistem pengelolaan lahan sawah juga banyak yang kecil dan dianggap efisien, dan di Indonesia sistem ini mungkin akan berjalan, dan yang perlu dilakukan adalah peningkatan pendapatan petani melalui mekanisme lain. Sistem pengelolaan lahan yang juga diduga masih akan bertahan di Indonesia adalah sistem pertanian campuran. Sistem ini memungkinkan petani lebih fleksibel dalam menyiasati keperluan rumah-tangga. Inovasi yang saat ini berkembang tidak terkait dengan lahan, tetapi terkait dengan sistem pertanian organik, dan kecenderungannya makin besar. III. Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Indonesia Pemerintah Indonesia sudah meluncurkan UU No 41, 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dimana dalam perundangan ini perlu ditetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), lahan cadangan (LCP2B) dan kawasan lahan (KP2B) yang hendaknya diwujudkan dalam RTRW Kabupaten / Kota level rinci. Dengan sudah ditetapkannya lahan sawah, sebagai contoh, untuk dilindungi, maka jika dilakukan konversi ke penggunaan lain atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya maka pelaku dapat diberikan disinsentif atau sanksi. Sebaliknya jika lahan tetap dijalankan sesuai dengan fungsi maka akan mendapat insentif. Peraturan terkait dengan insentif dan pembiayaannya sudah diatur dengan Peraturan pemerintah. Walaupun demikian, tantangan juga masih ada dari sisi kebijakan seperti dalam perencanaan ruang. Sebelum munculnya UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dalam dokumen RTRW sudah terbaca potensi konversi lahan sawah ke peruntukan lain, yang kalau dijalankan dapat mengurangi lahan sawah hingga mencapai 3,5 juta hektar. Tetapi saat ini semua pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus merevisi RTRW mengikuti peraturan yang baru, dan diharapkan penetapan kawasan lebih hati-hati khususnya dalam penetapan ruang yang akan mengkonversi lahan sawah. Hingga tahun 2012, perkembangkan pembuatan dokumen RTRW yang direvisi masih terbatas, yang menunjukkan masih kecilnya jumlah RTRW yang baru, yang mengarah dalam perlindungan lahan sawah. Mengingat data LP2B dan lainnya perlu dibuat dalam rencana tata ruang rinci, maka masalah perlindungan sawah menjadi krusial untuk segera dilakukan. Data RTRW level provinsi dan kabupaten/kota secara lengkap dapat dilihat di Tabel 1, yang belum menjamin perlindungan saja masih menghadapi banyak masalah. Tabel 1. Informasi kemajuan pembuatan RTRW di Indonesia (versi April 2012; sumber internet) No
Status Perda RTRW
1 2 3
Proses Revisi Rekomendasi Gubernur Sudah Pembahasan BKPRN Sudah Mendapatkan Persetujuan Substansi Menteri PU Perda TOTAL
4 5
Provinsi
Kabupaten /Kota
Jumlah -
(%) -
Jumlah 31 2 29
20 13 33
60.61 39.39 100.00
294 135 491
Kabupaten
(%) Jumlah 6.31 21 0.41 1 5.91 18 59.88 27.49 100.00
257 101 398
Kota
(%) Jumlah 5.28 10 0.25 1 4.52 11 64.57 25.38 100.00
37 34 93
(%) 10.75 1.08 11.83 39.78 36.56 100.00
Saat ini peraturan pemerintah yang mendukung UU No 41, 2009 sudah ada yaitu (a) PP No1, tahun 2011 tentang konversi lahan sawah, yang menekankan lahan sawah yang sudah
4 ditetapkan sulit dikonversi kecuali untuk tujuan tertentu seperti keperluan pembangunan bagi kepentingan umum atau karena bencana atau isu strategis. (b) PP No 25 tahun 2012 terkait dengan Sistem Informasi LP2B yang menekankan perlunya sistem informasi dari lahan pangan yang dilindungi tersebut dan dikelola oleh pusat informasi yang terletak di kabupaten / kota, provinsi dan kementrian. Jika lahan sudah dilindungi, maka berbagai usaha untuk melindungi dari konversi perlu dilakukan dan hal ini diterjemahkan dengan pemberian insentif atau disinsentif dan sanksi melalui PP No 12, tahun 2012 tentang sistem insentif dan disinsentif. Berbagai program sistem insentif disarankan antara lain : bantuan keringanan pajak bumi dan bangunan, pengembangan infrastruktur pertanian, pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul, kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi, penyediaan sarana produksi pertanian, bantuan dana penerbitan sertipikat hak atas tanah pada Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan/atau dan penghargaan bagi Petani berprestasi tinggi. Untuk pembuatan sistem insentif, maka aturan pembiayaan juga sudah dibuat melalui PP No 30 tahun 2012 tentang sistem pembiayaan dalam perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Sebelum adanya perundangan lahan pertanian pangan berkelanjutan, sebenarnya beberapa pemerintah daerah sudah melakukan upaya perlindungan lahan pangan seperti sawah, seperti yang dilakukan di Kabupaten Badung, atau beberapa pemerintah provinsi seperti Jawa Barat atau DIY sudah menerbitkan Perda untuk melindungi lahan pertanian pangan seperti sawah. IV. Riset Inderaja di Pertanian Pangan dan Lahan di Fakultas Pertanian, IPB Hingga saat ini relatif banyak riset penggunaan citra satelit untuk mendeteksi keberadaan lahan sawah di IPB antara lain studi pemetaan sawah di Pantai Utara Jawa dengan penggunaan citra multi-resolusi untuk identifikasi (2009-2010); penggunaan citra multiplatform seperti citra dengan sensor pasif dan aktif) (Tjahjono et al. 2009; Trisasongko, et al. 2011). Saat ini sedang berjalan riset menggunakan Gambar 2. Peta kerja identifikasi multiresolusi dan multi platform untuk identifikasi, (sumber : Raimadoya, et al 2012) sistem informasi dan prediksi, yang dilakukan oleh Tim Bimas21 Faperta IPB (Raimadoya et al, 2012). Sebenarnya keberhasilan penggunaan citra multiresolusi dan multiplatform dalam identifikasi persil sudah terbukti dan saat ini akan diujicobakan dalam skala lebih luas (Raimadoya dan Nurwadjedi, 2009) Khusus dalam kegiatan Faperta yang sedang berjalan ini, sebagian pekerjaan dibantu oleh mahasiswa KKP (Kuliah Kerja Praktek) yang melakukan pengumpulan data pada tingkat persil, dimana semua informasi terkait dengan pengelolaan lahan, pemilik/penggarap, varietas, dan lainnya. Dengan cara ini maka sebagian data akan diperoleh dengan cepat dan akurasi tinggi. Mahasiswa IPB yang ber-KKP dibekali dengan pelatihan dan juga bahan kerja di lapangan dan didukung dengan peta (Gambar 2) dan kuesioner. Filosofi yang dianut adalah pendekatan Bimas beberapa dekade sebelumnya yang sukses dalam melakukan usaha peningkatan produktivitas padi di Indonesia sehingga berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984, tetapi dengan
5 format baru. Pendekatan ini juga sudah berhasil dilakukan dalam pemetaan persil tanaman tebu di provinsi Jawa Timur dengan pelaku adalah petani secara langsung (Arief, Barus, Ahmad, 2008). Sedangkan dalam kaitan dengan pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan sudah dilakukan di kabupaten Garut melalui kerjasama P4W, LPPM IPB dengan Pemerintah Kabupaten Garut (Barus et al, 2010). Dalam kegiatan ini berhasil diidentifikasi lahan sawah yang lebih akurat dengan menggunakan data dari Kementan dan didukung dengan data lapangan yang kuat. Data lahan sawah selanjutnya dikombinasikan dengan berbagai data infrastruktur, sosial dan produktivitas lahan dipakai untuk menghasilkan LP2B, LCP2B dan KP2B (Gambar 3b).
Gambar 3. Kenampakan (a) peta kesesuaian antara penggunaan lahan dan kemampuan fisik lahan dalam kaitan untuk mendukung penilaian keberadaan penggunaan lahan di Kabupaten Garut dan (b) kenampakan daerah kawasan P2B yang diusulkan untuk dilindungi (sumber: Barus et al, 2010)
Dari hasil studi Pemetaan sawah untuk mendukung penetapan lahan sawah yang dilindungi, di Garut, diperoleh beberapa temuan yang perlu diperhatikan seperti luasan sawah lebih sedikit dari data Kementan setelah diverifikasi, banyak lahan sawah berada di kawasan hutan lindung, daerah surplus berproduktivitas rendah dan juga potensi konversi rendah, daerah sawah berproduktivitas tinggi juga ber potensi terkonversi tinggi, daerah koversi sawah terdapat pada kisaran jarak 1000 – 2000 meter dari pinggir jalan. Secara keseluruhan Kabupaten Garut masih surplus, sehingga dalam kaitan penetapan lokasi lahan sawah yang perlu dilindungi akan mempunyai fleksibiltas yang tinggi. Dari usulan kawasan P2B yang dilindungi yang dibuat dalam riset (Gambar 3b), berbagai kemungkinan lokasi dapat ditentukan oleh pemerintah kabupaten Garut. Dalam hal ini keberadaan lokasi yang dilindungi perlu mempertimbangkan keinginan pemerintah atau Kementrian pertanian juga, mengingat adanya isu ketahanan pangan dan kedaulatan pangan di lingkup nasional. Pendekatan pemetaan sawah dan akan dipakai untuk keperluan perlindungan pangan juga dilakukan oleh Kabupaten Bogor yang merupakan kerjasama antara PSP3, LPPM dengan Pemerintah Kabupaten Bogor (Kolopaking et al, 2012). Data sementara menunjukkan bahwa luasan sawah setelah re-interpretasi citra yang sama menununjukkan luasan sawah adalah lebih besar dari hasil interpretasi citra yang dilakukan oleh Kementan. Hal ini kembali menunjukkan data kementan sangat perlu diverifikasi dan diperbaiki.
6 Riset lain yang juga dikerjakan IPB khususnya terkait dengan komoditas pertanian dan inderaja adalah hubungan tanaman kelapa sawit dengan emisi karbon (Murtilaksono et al, 2009) yang menghasilkan data tentang besaran emisi karbon di daerah gambut, dan temuan yang penting adalah sebagian sumbangan emisi bukan berasal dari tanah gambut tetapi dari tanaman. Kemudian riset yang relevan adalah pemetaan kelapa sawit di daerah lahan bergambut dan daerah kubah gambut, dan kaitan tanaman kelapa sawit dengan potensi munculnya konflik (Barus dan Rusdiana, 2009; Barus, 2010), yang semuanya dianalisis dengan data citra dan diolah secara keruangan (Gambar 4). Diharapkan semua data yang ditujukan untuk keperluan publik, dalam waktu tidak telalu lama akan tersedia di web, sehingga mudah diakses publik.
Gambar 4. Kenampakan daerah kelapa sawit di daerah bergambut di pulau Sumatra (sumber : Barus et al. 2012) Aktivitas lain yang juga penting dalam kaitan dengan citra satelit dan pangan di IPB adalah adanya rencana pengembangan satelit LAPAN – IPB (Wijayanto et al. 2010). Pengembangan ini masih berproses dan jika dapat direalisasikan maka akan diperoleh ‘kemandirian’ penyediaan data citra. Hal ini sangat penting sehingga secara bertahap ide penyediaan data citra seperti resolusi tinggi dapat terlaksana, dan sangat sejalan dengan adanya Inpres No 6 tahun 2012 yang terkait dengan sistem pengadaan citra resolusi tinggi. V. Usulan Riset Prioritas untuk Inderaja Pertanian Berikut ini disampaikan 5 prioritas riset inderaja pertanian di Indonesia, yaitu: a. Pengembangan LP2B dan sejenis untuk berbagai komoditas pangan (padi dan lainnya) Pengembangan berbagai kawasan pangan yang bersifat lokal sesuai dengan pesan UndangUndang no 41, 2009. Dalam hal ini perlu diidentifikasi komoditas pangan lokal selain yang dibuat dalam pengertian tanaman pangan seperti jagung, gula, dll. Kemampuan penginderaan jauh dalam mengenali kenampakan objek sudah sangat maju khususnya jika karakter
7
b.
c.
d.
e.
kenampakan di citra sudah mudah dikenali. Kombinasi dengan berbagai data lain sangat penting dalam penentuan lahan yang dianggap penting untuk tanaman pangan lokal. Identifikasi komoditas (nasional dan lokal) Perkembangan kemampuan citra satelit seperti radar, atau citra optik sangat maju dan kenampakan objek tertentu masih memerlukan pemahaman. Jika ketersediaan data radar dan citra hiperspektral sudah mudah maka identifikasi objek akan makin berkembang. Dengan citra radar saja kenampakan objek dianggap mempunyai variasi yang sangat tinggi jika kombinasi polarisasi dapat dilakukan dengan mudah (Raimadoya, 2010); demikian juga dengan data multispektral atau kombinasinya. Riset dasar ini perlu dikembangkan. Pemantauan Saat ini prioritas LP2B di Indonesia sudah mengarah ke tanaman padi. Debat tentang luasan sawah dan konversinya sangat banyak dimunculkan ke publik, tetapi kebenaran masih juga diperdebatkan. Jika data sawah sudah dimantapkan dari kegiatan yang dilakukan Kementa berjalan baik, maka tindakan ke depan yang penting adalah proses pemantauan. Supaya efektif pemantauan hendaknya dilakukan di lokasi lahan yang sudah berstatus ditetapkan dilindungi atau dianggap akan berpotensi terkonversi padahal sebenarnya dilindungi. Keberadaan data sawah ini hendaknya segera diletakkan dalam sistem informasi pangan atau sistem informasi lahan sawah. Prediksi produksi Upaya meningkatkan dayaguna citra satelit adalah untuk keperluan prediksi produksi padi. Saat ini berbagai metode prediksi produksi sudah berkembang. Jika data citra satelit sudah baik, maka data tersebut hendaknya dapat dipakai untuk keperluan prediksi. Hambatan yang terjadi saat ini adalah pada saat diperlukan data yang riel atau terkait dengan fenomena proses pertumbuhan, maka data tidak diproleh. Dalam kasus di indonesia, keberadaan data yang bersumber dari pihak luar membuat proses pengadaan data menjadi kendala. Jika kendala ini dapat dikendalikan maka sebagian data citra akan bersifat riel. Sedangkan untuk kemandirian yang lain, maka diperlukan penyediaan data secara mandiri. Peningkatan produksi Penggunaan citra sebagai sarana peningkatan produksi belum dijalankan tetapi jika dianggap salah satu parameter peningkatan produksi dapat direkayasa dari cahaya, maka manipulasi cahaya suatu saat dapat dilakukan sehingga proses fotosintesis atau lainnya dapat dilakukan. Konsep penggunaan energi gelombang dengan dari satelit adalah layak dipertimbangkan dimasa yang akan datang.
VI. Hambatan dan Saran Solusi Beberapa hambatan penting untuk melakukan riset inderaja pertanian disajikan antara lain adalah : a. Administrasi dan manajemen Mengingat keberadaan data citra satelit sudah tersedia di berbagai lembaga maka seyogyanya proses mendapatkan data secara jelas hendaknya ada. Dalam konteks UU Informasi geospasial posisi universitas tidak dijadikan sebagai simpul padahal keberadaan riset inderaja dapat dilakukan dengan baik di universitas karena adanya dukungan mahasiswa. Selain itu hambatan yang nyata dalam pengadaan citra adalah terkait dengan administrasi pengadaan data. Seperti diketahui sebagian data citra sebenarnya dapat diperoleh mendekati waktu sebenarnya, tetapi hal ini sering tidak dapat dilakukan karena proses pengadaannya relatif rumit (aturan
8 pengadaan barang dan jasa). Kondisi ini membuta sebagian besar riset citra berbasis data yang rile sulit dilakukan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penghambat kemajuan riset adalah adanya aturan yang diseragamkan baik untuk pekerjaan yang bersifat mendasar atau yang bersifat pencarian. b. Kemandirian teknologi Pengadaan barang yang membutuhkan proses rumit tadi sebagian bisa ditanggulangi jiak barang yang diperlukan tersedia dan dimiliki oleh lembaga dalam negeri atau pemerintah. Makna penting disini adalah usaha pembuatan teknologi inderaja secara mandiri perlu didukung. Diduga saat ini besaran dana untuk pengadaan data citra setiap tahun oleh berbagai lembaga pemerintah mencapai ratusan juta rupiah per tahun, yang kalau dipakai untuk mendukung pengembangan satelit mandiri akan sangat baik. Saat ini LAPAN –IPB sedang berusaha mengembangkan satleit khusus pangan. Dalam hal ini maka pengembangan ilmu dasar terkait dengan perangkat keras dan lunak inderaja akan berkembang. Dengan kata lain perlu percepatan kemandirian satelit dengan dukungan penuh kebijakan c. Riset pangan utama dan lokal Komoditas pangan lokal aktual atau potensial dikembangkan hendaknya didukung. Dalam hal ini riset yang bersifat mendasar diperlukan, dan jika sudah ada komoditasnya maka diperlukan identifikasi karakternya dalam bentuk data penginderaan jauh. Hal ini dapat diawali dari komoditas utama yang sudah ditetapkan pemerintah seperti jagung, tebu,daging, ikan, dan lainlain. Selanjutnya untuk tanaman pangan lokal yang juga luas seperti sagu, dan lainnya. Jika karakter komoditas pangan utama ini sudah teridentifikasi karakternya di inderaja, maka isu terkait dengan lahannya dapat dilakukan proses perlindungannya. d. Riset Perlindungan Lahan Pangan Berbagai pangan utama sudah ditetapkan oleh pemerintah seperti padi, jagung, dan lainnya, dan selain itu masih ada beberapa pangan lokal yang sudah teridentifikasi dalam ukuran yang luas seperti sagu. Untuk kategori lahan komoditas perlu dilakukan perlindungan dan juga ditetapkan dalam ruang sehingga mempunyai kekuatan untuk dilindungi. Dalam hal ini peran pemerintah pusat membuat pendataan atau pengembangan database yang kuat perlu segera dilakukan, dan selanjutnya disusun dalam kaitan dengan perlindungan lahan pertanian pangan. Sejauh ini UU yang ada sebenarnya belum mempunyai ukuran secara detil tentang berbagai kriteria yang dipakai seperti isyu sosial dan ekonomi, infrastruktur dan lain-lain. VII. Penutup Dalam jangka pendek harus segera dilakukan penetapan perlindungan lahan pangan (menjalankan pesan perundangan) dan dimulai dari komoditas utama nasional dan selanjutnya lahan komoditas utama lokal. Kemudian untuk mempercepat proses perbaikan riset dan pemanfaatan data riset maka perbaikan sistem pengadaan citra satelit untuk program pangan (riset dan non riset) perlu diperbaiki sehingga daya guna inderaja tinggi. Kemudian pada saat bersama pengembangan kemandirian teknologi inderaja (perangkat keras dan lunak) perlu didukung khususnya dengan makin majunya perkembangan perangkat lunak publik (open source).
9
Daftar Pustaka Arief, R., B. Barus dan W.M. Ahmad, 2008. Walik lubang: memetik hasil membongkar. Crespent Press, Bogor Barus, B dan O. Rusdiana, 2009. Development of policy for large scale utilisation in Kalimantan (A case pre and post decentralization era). International seminar of IRSA Institute, Bogor Barus, B. 2010. Daerah Potensi Konflik Lahan Perkebunan Sawit, Hutan Alami, dan Gambut yang berpengaruh terhadap lingkungan. Workshop-3 ; Bappenas Implementasi KLHS/SEA terhadap Rencana Pengembangan Kelapa Sawit; Bali Barus,B., Laode, SI, Dyah Retno, Bambang, HT, Rani, S dan Nina D. 2010. Pengembangan model ketahanan pangan lokal untuk mendukung pengembangan lahan pangan berkelanjutan di Kabupaten Garut Barus, B., Diar Shiddiq, L.S. Iman, B. H. Trisasongko, Komarsa, G, dan R. Kusumo, 2012. Sebaran Kebun Kelapa Sawit Aktual dan Potensi Pengembangannya di Lahan bergambut di Pulau Sumatera, Seminar nasional Sumberdaya lahan topik khusus : Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan di BBSDLP Cimanggu Bogor Duane M.N, K.P. Price and D. Rundquist. 2009. Remote Sensing of Cropland Agriculture. University of Nebraska – Lincoln, DigitalCommons@University of Nebraska - Lincoln Trisasongko, B.H. D. Panuju, 2011. Monitoring Tropical Rice Fields Using Multi-temporal Wide Coverage SAR Data Tjahjono. B, B.H. Trisasongko, 2009. Prediksi Luas Area Dan Panen Padi Menggunakan Citra Penginderaan Jauh Multi-Skala. Kolopaking, L.B. Barus, D. Lubis, K. Munibah, Dyah, P., Y. Indaryati, Dyah Ita, M, dan Turasih, 2012. Pendataan Lahan Pertanian Berkelanjutan di Kab Bogor, Kerjasama PSP3, LPPM IPB dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab Bogor Murtilaksono, K et al. 2009. Neraca Karbon pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut UU Ajamu PTP Nusantara IV. Kerjasama IPB dan PPKS Medan. Raimadoya, M.A dan Nurwadjedi, 2009. Bimas 21: Bimbingan Masal Abad 21. Dalam Prosiding Semiloka Nassional : Strategi Penanganan Krisis Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi. Fakultas Pertanian, IPB Rustiadi, E. dan R.Wafda. 2008. Urgensi Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Abadi dalam Perspektif Ketahanan Pangan dalam Sitanala Arsyad dan Ernan Rustiadi (Eds.) Penyelamatan Tanah, Air dan Lingkungan. Penerbit CrestPent Press dan Yayasan Obor Indonesia Raimadoya, M.A., B.H Trisasongko, D. Shiddiq, L.S. Iman, B. Barus, dan E. Rustiadi. 2012. Riset Pengembangan Petanian Cermat – Bimas21. Kerjasama antara Fakultas Pertanian dengan Kementrian Pertanian. Sucofindo, PT. 2010. Verifikasi komoditas perkebunan dan Industri Primer Pengolahannya. Wijayanto , H., A. M. Fauzi, Irzaman, H. Hadhienata, A. Arif, dan A. F.M. Zian. 2010. Pembuatan Roadmap Pengembangan Satelit Lapan-IPB untuk Ketahanan Pangan Nasional. Dalam buku Satelit Mikro untuk mitigasi bencana dan ketahahan pangan (editor Adrianti, PS dan Sanusi, T). Lapan.