PENGINDERAAN JAUH DIGITAL UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN SURVEI PEMETAAN DI INDONESIA: BEBERAPA ASPEK MANFAAT DAN KETERBATASANNYA♣ Projo Danoedoro§
Abstrak Penginderaan jauh digital merupakan suatu kerangka kerja dalam kegiatan survei-pemetaan untuk membantu memecahkan masalah kewilayahan. Perkembangan tekonologi saat ini telah memberi banyak alternatif bagi pengguna citra digital untuk memilih jenis citra, metode analisis dan pemetaannya. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran ringkas mengenai beberapa aspek perkembangan mutakhir, potensi dan keterbatasannya, serta beberapa pertimbangan untuk dapat memanfaatkan penginderaan jauh digital secara efektif.
Pengantar Penginderaan jauh digital merupakan lingkup kajian yang lebih luas daripada hal-hal teknis, yang biasa dicakup dalam pengolahan citra digital. Selain meliputi kumpulan teknik analisis, penginderaan jauh digital juga meliputi strategi dan kerangka metodologis dalam mendukung kegiatan observasi bumi secara umum dan survei pemetaan secara khusus. Di Indonesia, isyu mengenai pemanfataan teknologi penginderaan jauh telah dimulai sejak akhir tahun 1960-an. Penggunaan analisis citra digital dalam kegiatan pemetaan dan inventarisasi sumberdaya banyak dibahas dalam berbagai makalah sekitar akhir 1980-an dan awal 1990-an, dan kemudian tergeser oleh isyu yang lebih banyak menarik perhatian praktisi, yaitu sistem informasi geografis (SIG). Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pergeseran isyu tersebut antara lain: (a) penginderaan jauh digital sebagai suatu teknologi hanya menjadi bagian dari kelompok operasi dalam SIG, khususnya SIG berbasis raster. Hal ini selaras dengan pandangan Burrough (1986); (b) penginderaan jauh menurunkan informasi tematik yang nantinya juga akan digunakan sebagain masukan dalam SIG;
♣
Disampaikan pada Seminar Ilmiah dan Pameran Peralatan Surta dalam Rangka Memperingati HUT Topografi Angkatan Darat ke-61, Jakarta 19 April 2007
§
Drs. Projo Danoedoro, M.Sc., PhD., Dosen Jurusan Sains Informasi Geografis dan Pengembangan Wilayah, dan Peneliti PUSPICS Fakultas Geografi UGM 1
(c) dalam aplikasinya, penginderaan jauh menuntut pemahaman bidang aplikasi dan dasar yang lebih mendalam dan komprehensif (rigorous), seperti misalnya geografi, geologi, geodesi, kehutanan dan perencanaan wilayah, sehingga lebih sulit untuk dimasuki oleh praktisi dengan bidang yang lebih beragam; sementara SIG lebih mudah serta menantang untuk dikaji secara multidisipliner karena mempunyai lebih banyak dimensi, mulai dari teknologi, basis data, aplikasi, komputasi, manajemen, dan spasial-analitis; (d) penginderaan jauh digital lebih sering dimanfaatkan dalam lingkup eksperimental, terutama untuk teknologi dan metode analisis yang memerlukan peralatan yang lebih canggih seperti halnya spektrometri lapangan, analisis hiperspektral dan pemindaian laser; (e) penginderaan jauh digital seringkali dipandang hanya sebagai pemrosesan citra digital, yang berdasarkan pengalaman banyak praktisi dipandang gagal untuk menurunkan informasi tematik yang lebih bermanfaat seperti halnya peta-peta penggunaan lahan. Hingga saat ini, metode ekstraksi informasi otomatis dari citra digital belum menjadi prosedur operasional standar berbagai lembaga teknis di Indonesia untuk menurunkan peta tematik penutup/penggunaan lahan (Danoedoro, 2006). Dengan memperhatikan beberapa hal tersebut di atas, makalah ini mencoba memberikan deskripsi ringkas mengenai lingkup, perkembangan, manfaat dan keterbatasan penginderaan jauh digital dalam berbagai kegiatan survei dan pemetaan di Indonesia. Berpijak dari uraian tersebut, cara pemanfaatan citra digital yang lebih efektif juga diberikan. Penginderaan Jauh Digital: Tinjauan Perkembangan, Potensi dan Masalah Perkembangan penginderaan jauh digital saat ini telah meliputi lima aspek, yaitu wilayah panjang gelombang, resolusi spasial, spektral, temporal, dan radiometrik. Penggunaan panjang gelombang yang telah merambah ke wilayah gelombang mikro saat ini telah dimantapkan dalam bentuk penyediaan citra oleh berbagai sistem sensor satelit, misalnya ERS, JERS, Radarsat, dan ALOS. Sejak tahun 1999, sistem sensor satelit telah memanfaatkan teknologi satelit mata-mata yang menggunakan pemindai beresolusi spasial tinggi, yaitu antara 0,5 – 4 meter (misalnya WorldView, Quickbird, Ikonos, dan Orbview). Sensor-sensor satelit generasi yang lebih baru saat ini juga menggunakan lebih banyak saluran spektral, seperti misalnya ASTER, MODIS, dan Hyperion. Banyak saluran spektral saat ini juga telah menempati lebar spektrum yang lebih sempit untuk menjawab kebutuhan spesifik dalam eksktraksi informasi berdasarkan respons spektralnya. Peningkatan kemampuan manuver satelit juga menyebabkan citra digital bisa dihasilkan dalam selang waktu yang lebih pendek, misalnya yang bisa diberikan oleh SPOT, Ikonos, Quickbird dan Formosat. Di samping itu, semakin banyaknya satelit mikro yang dioperasikan oleh berbagai negara, termasuk Taiwan, Indonesia dan Thailand telah meningkatkan ketersediaan citra suatu wilayah dalam periode ulang yang semakin pendek.
2
Lepas dari berbagai kemajuan tersebut, sebenarnya terdapat beberapa masalah yang belum dapat sepenuhnya teratasi untuk aplikasi di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah: (a) Teknologi terbaru selalu mahal, dan selalu ada selisih waktu yang cukup lama bagi banyak lembaga di Indonesia untuk dapat mengadopsinya. Teknologi Lidar (light detection and ranging) adalah salah satu contohnya. Semenjak mulai dikembangkannya (sekitar tahun 1986) hingga saat ini, akses sebagian besar lembaga penelitian dan konsultan untuk mengembangkan dan memanfaatkan datanya masih relatif terbatas; (b) Peningkatan resolusi spasial yang tinggi belum banyak diimbangi dengan pengembangan metode analisis dan ekstraksi informasi otomatis berdasarkan citra yang dihasilkan. Di Indonesia, citra resolusi spasial tinggi lebih banyak diproduksi dalam bentuk pan-sharpened colour composite, serta diperlakukan seperti halnya foto udara pankromatik berwarna sebagai dasar interpretasi visual; (c) Citra hiperspektral dan perangkat lunak pengolah citranya sudah lebih mudah dijumpai, akan tetapi hal ini belum diimbangi dengan ketersediaan spectral reference atau spectral library yang dibangun berdasarkan spektrometri lapangan secara luas untuk wilayah Indonesia. Spectral library untuk berbagai macam endmember yang khas wilayah Indonesia sangat diperlukan agar berbagai macam analisis hiperspektral dapat dilaksanakan dengan efektif; (d) Banyak sistem pengolah citra masih menggunakan standar resolusi radiometrik 8 bit (0-255) dalam analisis dan klasifikasi multispektralnya, sementara sudah banyak citra dihasilkan dengan 11-12 bit, seperti misalnya Ikonos dan Quickbird serta citracitra hiperspektral. Hal ini memaksa dilakukannya kompresi ke 8 bit per saluran sebelum pemrosesan lebih lanjut sehingga secara teoretis hal ini akan mengurangi kemampuan analisis spektral secara lebih rinci. Model Pengolahan dan Analisis: Beberapa Catatan Model pengolahan dan analisis citra digital secara garis besar meliputi koreksi radiometrik dan geometrik, visualisasi, penajaman dan pemfilteran, klasifikasi multispektral, transformasi khusus, analisis hiperspektral, analisis citra radar dan lidar, serta integrasi dengan sistem informasi geografis. Sebagai suatu kerangka kerja, penginderaan jauh digital dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan masalah kewilayahan melalui perspektif keruangan, seperti yang tersaji pada Gambar 1. Untuk berbagai keperluan aplikasi berdasarkan citra digital, penggunaan koreksi dan kalibrasi radiometrik yang mempertimbangkan variasi spektral sebagai akibat dari variasi iluminasi karena adanya variasi topografi relatif jarang digunakan, padahal tanpa koreksi semacam ini kajian berbasis spektral (misalnya indeks vegetasi) akan memberikan hasil yang bersifat bias.
3
Gambar 1. Kerangka kerja penginderaan jauh digital (Danoedoro, 2002)
4
Visualisasi yang paling banyak dibahas dewasa ini adalah metode fusi citra (image fusion) yang memadukan citra berbeda resolusi spasial, berbeda sensor tetapi masih dalam wilayah spektrum optik, serta berbeda sensor yang melibatkan citra gelombang mikro. Pada umumnya fusi citra mampu menghasilkan citra baru dalam bentuk komposit warna yang lebih bagus secara visual, dan dapat memberikan hasil interpretasi manual yang lebih akurat. Begitu pula halnya dengan berbagai teknik penajaman. Penajaman spasial dalam bentuk teknik pemfilteran pada umumnya juga dimaksudkan untuk keperluan serupa. Pemfilteran tekstur pada saluran-saluran spektral asli yang menggunakan parameter statistik seperti misalnya simpangan baku dan ragam (variance) dilaporkan juga mampu meningkatkan akurasi hasil klasifikasi penutup dan penggunaan lahan (Danoedoro, 2003; Puissant et al., 2005; Chen et al, 2004). Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut dengan menggunakan skema klasifikasi yang membedakan secara tegas aspek spektral dari aspek spasial penutup lahan justru menunjukkan hal yang sebaliknya, di mana pemfilteran tesktur menurunkan tingkat akurasi hasil klasifikasi dibandingkan dengan penggunaan saluran spektral asli (Danoedoro, 2006).
Comparison between Quickbird's and Landsat-7 ETM+'s overall accuracies (covering the same area, 40 classes, using original + texturally filtered bands)
79.05 77.21
76.52
80
73.24 71.86
75
71.94 72.25
73.51
69.74
Overall accuracy 70 (%) 65
71.28
Quickbird Landsat-7 ETM+
68.66 65.57
Textural filter size (pixel)
13x13
11x11
9x9
7x7
5x5
3x3
60
Comparison between Quickbird's and Landsat-7 ETM+'s overall accuracies (covering the same area, 25 classes, using original + texturally filtered bands) 79.87 78.96
80 75
78.53 76.33
73.84 74.96 76.87
74.03
75.12
Overall accuracy 70 (%)
72.38 72.33
65
Quickbird 70.62
Landsat-7 ETM+
13x13
11x11
Textural filter size (pixel)
9x9
7x7
5x5
3x3
60
5
Gambar 2. Penerapan analisis tekstur saluran yang dijadikan masukan dalam klasifikasi tidak selalu meningkatkan akurasi hasil pemetaan. Hal ini sangat tergantung pada skema klasifikasi yang digunakan. Ketika aspek spektral dan spasial dipisahkan secara tegas dalam skema klasifikasi, akurasi hasil klasifikasi citra dengan masukan saluran yang telah difilter tekstur justru lebih rendah daripada citra dengan saluran asli. Tingkat akurasi juga tidak sama untuk resolusi spasial yang berbeda (Landsat ETM+ dan Quickbird) dan jumlah klas yang berbeda (sumber: Danoedoro, 2006)
Transformasi khusus yang banyak digunakan ialah transformasi spektral berupa indeks vegetasi. Di antara berbagai macam indeks vegetasi, normalised difference vegetation index (NDVI) merupakan formula yang paling sering digunakan karena kesederhanaannya, kepastian julat spektralnya yang berkisar antara -1 dan +1, serta keandalannya dalam mengeskpresikan berbagai macam fenomena yang terkait dengan variasi kerapatan dan tingkat kehijauan vegetasi (Jensen, 2004). Meskipun demikian, tak jarang pula dijumpai adanya kekeliruan penggunaan indeks vegetasi dalam pemetaan spesies vegetasi tertentu. Kekeliruan penggunaan perlu ditegaskan di sini, mengingat bahwa secara konseptual-teoretis indeks vegetasi dibangun untuk menonjolkan variasi spektral vegetasi yang terkait dengan kerapatan (yaitu dengan mengkombinasikan kecenderungan yang berlawananan antara spektrum merah dan inframerah dekat), dan sekaligus menekan sumber-sumber variasi spektral lainnya –termasuk di antaranya perbedaan spesies, arsitektur kanopi, dan latar belakang tanah. Transformasi khusus lain yang sering dipakai adalah principal component analysis (PCA). Karena PCA mampu menurunkan dimensionalitas data dengan cara menghasilkan saluran-saluran spektral baru (biasanya dalam jumlah yang lebih sedikit) yang saling tak berkorelasi, maka analisis hiperspektral dapat memperoleh keuntungan daripadanya. Dengan PCA jumlah saluran yang mencapai ratusan (misalnya 220 saluran pada citra Hyperion) dapat diringkas menjadi kurang dari 10 saluran baru. PCA kadangkala digunakan untuk menghasilkan saluran baru yang kemudian dijadikan masukan dalam penyusunan komposit yang lebih representatif dalam interpretasi fenomena geologi secara visual, serta dalam klasifikasi multispektral. Klasifikasi multispektral merupakan metode ekstraksi informasi otomatis yang paling sering digunakan dalam menurunkan peta penutup lahan. Seringkali klasifikasi multispektral gagal mencapai tujuan karena adanya kesenjangan antara target yang ingin dicapai (dinyatakan dalam skema/sistem klasifikasi yang berisi klas-klas yang relevan dengan tujuan pemetaan) dan proses pengambilan sampel spektral. Proses pengambilan sampel spektral seharusnya berusaha mengelompokkan sampel piksel berdasarkan kecenderungan spektralnya, sehingga proses penamaan sampel sedapat mungkin mengacu ke klas-klas spektral. Proses selanjutnya baru mencoba mengelompokkan kembali klas-klas yang ada (class merging) ke dalam klas-klas penutup lahan yang lebih terbatas jumlahnya, serta sesuai dengan tujuan pemetaan. Pemetaan penggunaan lahan pada umumnya baru dapat dilakukan dengan menggabungkan data nir-spektral (misalnya peta-peta bentuklahan atau peta tanah) dengan peta penutup lahan hasil klasifikasi multispektral di lingkungan SIG berbasis raster (Danoedoro, 2001). Integrasi hasil klasifikasi multispektral dengan SIG raster untuk menurunkan informasi tematik yang lebih rinci biasanya menggunakan logika boolean (If-then atau ifthen-else), sehingga seringkali disebut sebagai klasifikasi keras (hard classification). Alternatif lain adalah menggunakan klasifikasi lunak (soft classification), misalnya dengan logika samar (fuzzy logic) ataupun pendekatan kemasuk-akalan (plausibility, Richards dan Jia, 1999), di mana klas-klas yang ada pada peta-peta tematik pendukung diubah menjadi tingkat probabilitas/plausibilitias untuk dapat dikaitkan atau diubah menjadi label penutup/ penggunaan lahan tertentu (Danoedoro, 1993). Di samping itu, proses klasifikasi
6
multispektral dapat dilakukan dengan melibatkan peta tematik yang relevan (misalnya peta lereng) sebagai ‘saluran’ tambahan, yaitu dengan menggunakan jaringan saraf tiruan (JST). Proses klasifikasi citra dengan JST mampu mengakomodasi berbagai masukan yang berbeda karakteristiknya, termasuk citra dengan nilai spektral dan peta, apabila julat nilai asli pada masing-masing masukan diubah ke dalam julat baru yang sama, misalnya 0 – 1 (Mather, 2004). Segmentasi citra dapat menjadi alternatif dalam pemetaan penutup lahan, karena klasifikasi multispektral mempunyai kelemahan dalam asumsi dasarnya, di mana setiap obyek dapat dibedakan semata-mata berdasarkan nilai spektralnya. Dari perspektif ini, proses klasifikasi multispektral sebenarnya hanya bekerja dalam domain spektral dan mengabaikan variasi spasial yang menjadi fondasi dalam kajian-kajian yang terkait dengan aktivitas survei dan pemetaan. Perkembangan metode segmentasi citra dewasa ini telah mencoba mengatasi kekurangan tersebut, dengan cara memperhatikan pola spasial kelompok pixel melalui pendekatan tekstural (Baatz dan Schape, 2000; Ranasinghe, 2005). Meskipun demikian, penelitian terakhir (Danoedoro, 2006) menunjukkan bahwa untuk citra resolusi tinggi setingkat Quickbird, hasil segmentasi berbasis objek ternyata hanya memberikan akurasi sebesar 65% dibandingkan hasil interpretasi visual (Gambar 3). Perlu diperhatikan bahwa proses interpretasi visual yang dijadikan rujukan di sini menggunakan pendekatan pola spasial yang lebih spesifik, termasuk di dalamnya tingkat keteraturan, yang belum dapat diakomodasi oleh metode segmentasi multi-resolusi yang tersedia saat ini.
0
750
Gambar 3. Citra asli Quickbird wilayah Semarang bagian barat dalam komposisi warna asli (kiri), dan hasil interpretasi visual yang telah diwarnai (kanan), yang ditumpangsusunkan dengan peta vektor hasil klasifikasi otomatis melalui segmentasi multiresolusi berbasis obyek. Apabila hasil interpretasi visual dijadikan referensi, akurasi hasil segmentasi citra hanya mencapai 65% (sumber: Danoedoro, 2006).
7
Penutup: Pemanfaatan Penginderaan Jauh Digital yang Efektif untuk Mendukung Survei-Pemetaan Berdasarkan uraian pada bagian terdahulu, dapat dipahami bahwa citra digital mempunyai keunggulan dan keterbatasan dalam mendukung kegiatan survei-pemetaan. Di samping berbagai berbagai metode dan teknik yang dapat dipilih untuk mencapai tujuan yang sama, diperlukan suatu skema klasifikasi yang baik yang sesuai dengan karakteristik citranya. Salah satu fokus yang perlu dijadikan titik tolak dalam mengembangkan kerangka kerja berbasis citra digital adalah penggunaan skema atau sistem klasifikasi penutup dan penggunaan lahan yang bersifat multiguna. Klasifikasi citra digital secara langsung hanya mampu menurunkan informasi penutup lahan. Informasi ini pun sebenarnya terbatas pada jenis penutup yang terkait langsung dengan respons spektral. Untuk aspek penutup lahan yang terkait dengan pola spasial, metode interpretasi visual ataupun segmentasi berbasis obyek (yang masih perlu diperbaiki) lebih efektif. Penutup dan penggunaan lahan juga mempunyai dimensi temporal, yang dapat dipetakan dengan klasifikasi otomatis maupun interpretasi visual. Aspek ekologis (seperti misalnya pemetaan spesies mangrove) juga seringkali dipetakan dengan pendekatan spektral dan spasial-ekologis. Meskipun demikian, peta yang menyajikan informasi fungsi penggunaan lahan sebenarnya merupakan salah satu sasaran utama dari suatu proses penginderaan jauh, dan hal ini pada umumnya hanya dapat diekstrak dari citra secara digital dengan melibatkan data spasial bantu berupa peta-peta tematik yang relevan. Penyiapan sistem klasifikasi penutup-penggunaan lahan yang bersifat multiguna merupakan suatu kebutuhan nyata. Sistem klasifikasi semacam ini bersifat lebih fleksibel dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan aplikasi yang mensyaratkan aspek-aspek informasi yang berbeda dari suatu fenomena penutup/penggunaan lahan (Danoedoro, 2006). Perlu pula dipikirkan pengembangan sistem klasifikasi untuk berbagai tema lain, seperti misalnya bentuklahan, yang benar-benar bertumpu pada metode analisis citra –baik manual maupun digital. Dengan demikian dapat dicapai suatu keselarasan antara kategorisasi dengan cara interpretasi setiap klas/kategori untuk setiap jenjang, skala, ataupun resolusi spasial. Pengujian akurasi pada setiap hasil analisis dan interpretasi citra merupakan satu langkah yang mutlak diperlukan dalam kegiatan survei-pemetaan. Tanpa tahap ini, tidak ada suatu pegangan yang pasti apakah suatu peta yang diturunkan dari citra benar-benar dapat dimanfaatkan secara optimal atau tidak. Proses analisis dan klasifikasi citra digital mensyaratkan uji akurasi dengan nilai ambang 85% (Campbell, 1983) untuk penutup dan penggunaan lahan, yang hasilnya menunjukkan bahwa suatu metode dapat diterima atau tidak untuk menghaislkan peta di wilayah yang dikaji. Karena proses analisis digital bersifat lebih konsisten dibandingkan interpretasi visual, maka metode dan langkah yang sama oleh operator yang berbeda akan memberikan hasil yang relatif sama. Dengan demikian, penjabaran prosedur klasifikasi dan pemetaan yang rinci dan sistematis berdasarkan analisis citra digital perlu dikembangkan di setiap lembaga agar konsistensi hasil dapat dicapai dengan lebih mudah.
8
Daftar Pustaka Baatz, M., and Schape, A. (2000). Multiresolution Segmentation: An Optimization Aproach for High Quality Multiscale Image Segmentation. In. Strobl, J., Blaschke, T., and Griesebner, G. (Ed.), Angewandte Geographische Informations-verarbeitung XII (pp. 12-23). Heidelberg: Wichmann-Verlag. Burrough, P. A., and McDonnell, R.A. (1998). Principle of Geographical Information Systems, 2nd edition.New York: Oxford University Press. Campbell, J. B. (1983). Mapping the Land -- Aerial Imagery for Land-use Information. Washington, D.C: Association of American Geographers. Chen, D., Stow, D.A., and Gong, P. (2004). Examining the Effect of Spatial Resolution and Texture Window Size on Classification Accuracy: An Urban Environment Case. International Journal of Remote Sensing, 25(11), 2177-2192. Danoedoro, P. (2001). Integration of Remote Sensing and Geographical Information Systems for Land-use Mapping: An Indonesian Example. In I. S. Zonneveld, and van der Zee, D. (Ed.), Landscape Ecology Applied in Land Evaluation, Development and Conservation: Some Worldwide Examples. ITC Publication Number 81/IALE Publication Number MM1.Enschede: ITC/International Association for Land Evaluation. Danoedoro, P. (1993). The Use of Knowledge-based Aproaches in the Integration of Remote Sensing and Geo-Information System for Land-use Mapping. A Case Study of the Buffer Zone of Cibodas Biosphere Reserve, West Java, Indonesia. MSc Thesis. Enschede: Inernational Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences Danoedoro, P. (2002). Integrating Spectral, Textural, and Terrain Information for Land-use Mapping of Javanese Wet Tropical Region. Project Assignment Report for GEOS 7322 (Advanced Remote Sensing of Environment), School of Geography, Planning and Architecture, The University of Queensland. Danoedoro, P. (2006). Versatile Land-use Information for Local Planning in Indonesia: Contents, Extraction Methods and Integration based on Moderate- and High-spatial Resolution Satellite Imagery. PhD Thesis. Centre for Remote Sensing and Spatial Information Science. The University of Queensland. Jensen, J. R. (2004). Introductory Digital Image Processing - A Remote Sensing Perspective, 3rd edition.Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall. Mather, P. M. (2004). Computer Processing of Remotely Sensed Data: An Introducion, 3rd edition.Brisbane: John Wiley and Sons. Puissant, A., Hirsch, J., and Weber, C. (2005). The Utility of Texture Analysis to Improve Perpixel Classification for High to Very high Spatial Resolution Imagery. International Journal of Remote Sensing, 26(4), 733-745. Ranasinghe, A.K.R.N. (2006). Multi-scale Texture and Color Segmentation of Oblique Airborne Video Data. Masters thesis. Enschede: International Institute for Applied Geoinformation and Earth Application, 120 pp Richards, J. A. and Jia, X. (1999). Remote Sensing Digital Image Analysis (3ed.). Berlin: SpringerVerlag.
9