RingkasanKajian OKTOBER 2012
UNICEF INDONESIA
Mengefektifkan Desentralisasi bagi Anak-anak di Indonesia Desentralisasi: Gambaran umum Desentralisasi tata kelola pemerintahan: Tantangan utama Mengatasi kendala melalui inovasi Rekomendasi
“UU No. 32/2004 telah gagal menciptakan dasar yang kuat untuk mengembangkan pemerintah daerah baru yang sehat, sejahtera dan efektif sebagaimana ditunjukkan oleh fakta bahwa sebagian besar dari 170 daerah baru yang dibentuk sejak tahun 1999 telah menimbulkan dampak negatif terhadap tata kelola pemerintahan dan pemberian pelayanan.” Mark Indonesia Advisory Service Support for Decentralisation (ASSD)
unite for children
Desentralisasi: Gambaran umum
D
esentralisasi, yang pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1999 i menandai pergeseran radikal dari model sentralisasi tata kelola pemerintahan pada tahun 1960-an yang ditandai dengan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang dan tergantung antara pemerintah pusat dan daerah, pengambilan keputusan jarak jauh, dan perumusan kebijakan yang serba sama, sehingga sering kali tidak sensitif terhadap keragaman Indonesia. Sebaliknya, undang-undang desentralisasi tahun 1999 secara drastis menyerahkan fungsi-fungsi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (khususnya kepada pemerintah kabupaten/kota yang menjadi otonom), dengan memberikan kekuasaan pengambilan keputusan yang sama dengan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten (kecuali untuk dua provinsi otonomi khusus Papua dan Aceh dimana kekuasaan provinsi sangat besar).ii Desentralisasi di Indonesia menggabungkan dimensi-dimensi partisipatif yang kuat dalam pengambilan kebijakan daerah, yang dilakukan melalui sistem Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan), dimana para praktisi, tokoh masyarakat, warga masyarakat, pemuda dan anak-anak dapat terlibat dalam penentuan prioritas dan perencanaan pembangunan. Musrenbang berpotensi untuk menentukan pembangunan daerah dan terutama menginformasikan dan mempromosikan kebijakan pro-anak. Dasar pemikiran desentralisasi tata kelola pemerintahan adalah agar pemerintah daerah dapat mengidentifikasi, memprioritaskan dan merespon ciri-ciri, isu-isu dan kendala-kendala khusus setiap daerah secara kreatif dan
ringkasan Kajian
OKTOBER 2012
tepat. Oleh karena itu, berdasarkan teori, pengetahuan lokal yang disatukan dengan kewenangan legislatif dan kebijaksanaan pemerintah kabupaten/ provinsi tentang proses perencanaan dan alokasi sumber daya dapat menjadi dasar yang kuat bagi inovasi yang meningkatkan kesejahteraan anak dan mewujudkan hak-hak anak di tingkat daerah. Misalnya pendekatan daerah akan sangat penting ketika praktek-praktek dan perilaku budaya lokal memberikan tantangan terhadap peningkatan situasi perempuan dan anak-anak.
Desentralisasi tata kelola pemerintahan: Tantangan utama
A
da banyak potensi pro-anak dalam desentralisasi di Indonesia. Akan tetapi, ada beberapa catatan tentang keberhasilan. Di beberapa kabupaten dan provinsi, telah ada berbagai inisiatif dan pendekatan positif, yang melakukan langkah-langkah untuk mewujudkan potensi desentralisasi ramah anak. Akan tetapi, di provinsi dan kabupaten lainnya, dapat ditemukan beberapa kekurangan yang menimbulkan dampak negatif terhadap kesejahteraan perempuan dan anak-anak. Analisis Situasi Ibu dan Anak (ASIA) Pemerintah Indonesia/ UNICEF 2010 menunjukkan pemandangan berbeda di seluruh Indonesia yang memperingatkan terhadap generalisasi. Akan tetapi, empat aspek utama desentralisasi tata kelola pemerintahan dinyatakan menghambat potensi desentralisasi yang pro-anak. • Ada keinginan untuk memperkuat tata kelola pemerintahan di semua tingkat, termasuk penanganan isu-isu tetap tentang ukuran dan kualitas birokrasi dan dalam menjelaskan dan menghentikan hubungan antara tiga tingkat pemerintahan. • Lemahnya koordinasi antarpelaku di lapangan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak dan kurangnya harmonisasi aturan dan peraturan tentang perempuan dan anak melemahkan potensi keberhasilan intervensi. • Di tingkat kabupaten/kota, ada keinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas agar pemerintah daerah dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif. • Potensi partisipatif desentralisasi belum dikaji dan digunakan secara tepat.
Kabupaten/ Kota Desa Provinsi
1999
2010
341
497
69.065
77.012
27
33
Gambar 1: Badan Pusat Statistik (BPS) (Agustus 2010)
2
Desentralisasi belum berdampak pada kebutuhan tetap untuk meningkatkan kualitas, efisiensi dan ukuran birokrasi.iii Meskipun telah dilakukan sejumlah revisi terhadap undang-undang desentralisasi yang asli dan peraturan (No. 32 /33/2004, Peraturan Pemerintah No. 39 / 2007), tetapi pembagian kekuasaan, tanggung jawab, dan harmonisasi yang lemah antara tiga tingkat pemerintah terus menimbulkan berbagai ketegangan. Pada bulan Oktober 2010, undang-undang tersebut dikaji
OKTOBER 2012
ringkasan Kajian
Kotak 2: Pencatatan kelahiran – isu koordinasi dan harmonisasi. Pencatatan kelahiran merupakan pengakuan hukum terhadap setiap orang, yang penting untuk mewujudkan kewarganegaraan secara penuh dan untuk melindungi hak seseorang atas akses ke pelayanan-pelayanan utama seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial dan partisipasi. Catatan penting tentang usia dapat memperkuat partisipasi di sekolah secara tepat waktu; memungkinkan pelaksanaan usia minimal untuk bekerja, kelayakan untuk menikah, dan lain-lain. Secara resmi, pencatatan kelahiran tidak dikenakan biaya di seluruh Indonesia dengan adopsi ILCP pada tahun 2002 dan diperkuat melalui pedoman resmi pencatatan kelahiran yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2005. Jumlah pemerintah daerah yang mengeluarkan akte kelahiran gratis mengalami peningkatan signifikan, dari 16 kabupaten pada tahun 2005 menjadi lebih dari 300 kabupaten pada tahun 2009. Tetapi beberapa kabupaten dan provinsi memprioritaskan potensi pencatatan kelahiran yang menghasilkan pendapatan dan hampir 200 masih mengenakan biaya. Mengingat bahwa tidak ada insentif atau disinsentif yang jelas untuk bertindak sesuai dengan peraturan nasional, maka kemajuan di masa yang akan datang menjadi tidak menentu. Selanjutnya, aturan pencatatan kelahiran juga berbeda-beda dari kabupaten ke kabupaten, khususnya dengan batas usia untuk pencatatan kelahiran mulai dari 60 hari sampai 18 tahun di beberapa kabupaten. Secara keseluruhan, dorongan umum untuk meningkatkan pencatatan kelahiran adalah penting dan data dari SUSENAS 2007 memperkirakan pencatatan kelahiran di atas 42 persen untuk anak-anak usia kurang dari 60 bulan, tetapi ini merupakan angka jauh dari target Pemerintah sebesar 100 persen.
ulang, sebagai respon terhadap konsensus yang luas di kalangan pejabat pemerintah, anggota DPR, tokoh masyarakat dan kelompok masyarakat sipil bahwa desentralisasi tata kelola pemerintahan perlu ditingkatkan. Sebagai kesimpulan dari proses review tahun 2012, sebuah usulan telah disampaikan kepada DPR untuk memisahkan undang-undang yang ada menjadi tiga undang-undang baru dengan fokus pada tata kelola pemerintahan, pemilihan umum dan pemerintahan di tingkat desa. Di bawah desentralisasi, kekuasaan pengambilan keputusan dan kebijakan berbagai sektor pemerintahan dialihkan ke tingkat kabupaten. Kekuasaan ini meliputi penganggaran, perencanaan dan pengembangan pilihan-pilihan strategis efektif yang harus diterjemahkan ke dalam rencana kerja tahunan, serta penyusunan dan pengesahan kerangka regulasi pendukung untuk mendukung implementasi kebijakan, program dan aksi, dan pemberian pelayanan.iv Munculnya provinsi, kabupaten dan kotamadya baru secara terus- menerus menambah tekanan terhadap keterbatasan sumber daya dan hanya beberapa kabupaten baru tersebut yang sepenuhnya mampu atau siap untuk secara efektif menghadapi kompleksitas dan tuntutan tata kelola pemerintahan kabupaten/kota. Keadaan ini menimbulkan pengaruh negatif terhadap kualitas perencanaan dan pemberian pelayanan. Gambar 1 menunjukkan bahwa meskipun telah dilakukan upaya-upaya untuk membatasi munculnya provinsi, kabupaten dan kotamadya, tetapi jumlah tersebut akan terus meningkat. Selain dimensi kelembagaan umum yang mempengaruhi tingkat efisiensi dan respon desentralisasi tata kelola pemerintahan, sejumlah isu negatif yang menimbulkan dampak negatif terhadap potensi desentralisasi yang pro-anak juga telah diidentifikasi. 3
ringkasan Kajian
OKTOBER 2012
I. Koordinasi dan harmonisasi Otonomi kabupaten/kota yang lebih besar - untuk memaksimalkan kesesuaian antara konteks lokal dan pemerintah - merupakan salah satu ciri penting proses desentralisasi. Akan tetapi, di Indonesia, dua isu telah muncul: koordinasi di antara tingkat-tingkat pemerintahan yang berbeda dan harmonisasi dimana kabupaten/kota beroperasi dengan sejumlah aturan dan peraturan yang berbeda. Dalam Kotak 2, contoh pencatatan kelahiran menggambarkan tantangan terhadap implementasi kebijakan di tingkat nasional. Ada beberapa kemajuan tentang pencatatan kelahiran, tetapi pada tingkat yang lebih lambat dari yang diharapkan oleh pemerintah. Tidak adanya mekanisme insentif atau disinsentif untuk memastikan kepatuhan di tingkat kabupaten merupakan hambatan terhadap koordinasi. Isu-isu yang sama muncul dengan inisiatif provinsi. Misalnya, keterbatasan kekuasaan pemerintah provinsi Jawa Tengah telah diterjemahkan ke dalam pelaksanaan program kota ramah anak di tingkat kabupaten yang sangat tidak merata, sebuah inisiatif perlindungan anak yang penting. v Akhirnya, intervensi untuk kesejahteraan anak seringkali rumit, dan tuntutan koordinasi dan harmonisasi multisektoral sangat menantang.
Kotak 3: Biro, dinas dan lembaga utama yang terlibat dalam kesejahteraan anak Dinas Kesehatan (Dinkes) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota menangani sebagian besar aspek pelayanan ibu, gizi anak, kesehatan dan sanitasi. Dinas Pendidikan (Dindik) bertanggung jawab untuk memastikan bahwa anak-anak menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun, untuk meningkatkan angka kelulusan, angka melanjutkan, dan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dinas Sosial (Dinsos) bertugas meningkatkan kesejahteraan anak-anak terlantar dan melindungi anak-anak dari masalah kesejahteraan sosial yang serius. Anak-anak ini meliputi pekerja anak, anak-anak yang hidup di jalanan, anak-anak di panti asuhan, korban bencana dan anak-anak yang berkebutuhan khusus. Anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung jawab Dinas Sosial. Bersama dengan Dinas Sosial, Dinas Ketenagakerjaan juga bertanggung jawab untuk menangani pekerja anak. Dinas ini diberi wewenang untuk memantau dan memastikan bahwa perusahaan dan pabrik tidak mempekerjakan anak-anak. Anak-anak yang berhadapan dengan hukum menjadi tanggung jawab Kepolisian Daerah (Polda), kejaksaan, dan pengadilan. Pencatatan kelahiran merupakan tanggung jawab Biro Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Di sebagian besar provinsi dan kabupaten/kota, seperti di Yogyakarta, biro ini secara struktural bertanggung jawab kepada sekretaris daerah (Sekda) dan tidak tidak berada di bawah unit pelaksana teknis. Biro tersebut harus memastikan bahwa setiap anak yang lahir terdaftar. Di setiap provinsi dan kabupaten/kota dengan Biro Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB), anak korban perdagangan manusia menjadi tanggung jawab Biro tersebut. Biro ini bertanggung jawab kepada sekretariat kabupaten/kota/provinsi dan berkoordinasi dengan Dinas Sosial untuk menjalankan pusat pelayanan terpadu (PPT) untuk menangani kasus-kasus seperti perdagangan anak dan pernikahan dini.
4
OKTOBER 2012
ringkasan Kajian
Kotak 3 meringkas lembaga-lembaga utama yang terlibat dalam aspekaspek kesejahteraan anak, yang menekankan keragaman aktor dan tidak adanya lembaga/aktor utama yang telah mapan untuk memastikan kerjasama dan koordinasi. Ada juga contoh-contoh pendekatan dan inisiatif yang bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antarlembaga. Di Nusa Tenggara Timur, gubernur menetapkan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) pada tahun 2007, yang menyatukan semua lembaga pemerintah terkait dan organisasi masyarakat sipil. Selanjutnya, koordinasi dioperasionalisasikan melalui pembentukan lima satuan tugas dan kelompok kerja dalam dewan tersebut. Inisiatif tersebut menunjukkan pemahaman yang jelas tentang peran dan pentingnya koordinasi tetapi upaya-upaya telah terhambat oleh kurangnya kewenangan dewan atas lembaga-lembaga yang berpartisipasi, sehingga menyebabkan rendahnya partisipasi dan buruknya pemantauan. II. Pengetahuan dan kapasitas Beberapa studi yang mengkaji dampak desentralisasi (misalnya analisa lanskap WHO) vi menunjukkan bahwa desentralisasi kewenangan memerlukan dukungan terus-menerus untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab mereka dengan baik. Sejumlah kelemahan kapasitas dan pengetahuan teknis harus ditangani, termasuk: • Akses ke informasi terkini tentang perkembangan hukum nasional, peraturan dan pedoman. • Diseminasi atau pengarusutamaan pedoman, program dan rencana. • Interpretasi instrumen/strategi/program nasional sehingga instrumen/ strategi/program tersebut dapat diterapkan pada konteks lokal. • Penciptaan lingkungan peraturan daerah yang memungkinkan - misalnya penyusunan peraturan daerah/penyusunan pedoman. • Pengembangan kapasitas untuk melakukan penganggaran anak. • Penggunaan dan pengelolaan data. • Penciptaan kesadaran masyarakat tentang isu-isu penting dan dorongan perubahan perilaku. Kesenjangan pengetahuan sebagian mencerminkan beberapa isu yang berhubungan dengan kemampuan teknis sumber daya manusia, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dimensi lebih lanjut berhubungan dengan data dan pemantauan. Di tingkat lokal, sistem pengumpulan dan pemantauan data yang berhubungan dengan hak, perlindungan dan kesejahteraan anak, dan dampak dan jangkauan program/pelayanan seringkali lemah, tidak ada atau tidak dapat diakses. Kesenjangan pengetahuan, kapasitas dan data dalam beberapa tingkat kabupaten dapat saling memperkuat dan berkontribusi untuk menciptakan sinergi negatif yang mengganggu tata kelola pemerintahan yang efektif. 5
ringkasan Kajian
OKTOBER 2012
iii. Partisipasi dan perencanaan pembangunan Desentralisasi tata kelola pemerintahan memperkenalkan pendekatan baru pada perencanaan pembangunan termasuk kontribusi dari bawah ke atas (bottom up) maupun dari atas ke bawah (top down) untuk melakukan rekonsiliasi dan melengkapi satu sama lain. Akan tetapi, dimensi partisipatif perencanaan pembangunan dalam konteks desentralisasi tetap terbatas. Musrenbang harus memberikan kesempatan penting kepada perempuan, anak-anak dan praktisi anak untuk menentukan perencanaan pembangunan dengan menekankan persoalan, kebutuhan dan prioritas tetapi Musrenbang tersebut jarang melakukannya. Seperti dijelaskan pada Kotak 4, perempuan dan anak-anak seringkali tidak diikutsertakan dalam proses perencanaan, baik karena partisipasi lemah, karena suara elit mendominasi atau karena suara perempuan dan
Kotak 4: Perspektif tentang partisipasi Ada konsensus umum dari studi kasus dalam Analisis Situasi Ibu dan Anak (ASIA) 2010 oleh Pemerintah Indonesia / UNICEF bahwa meskipun proses Musrenbang dapat dikaji secara formal, tetapi proses tersebut tidak memenuhi fungsinya dengan baik. Di Papua, dukungan dan komitmen terhadap pendekatan partisipatif yang baru diperkenalkan sangat berbeda-beda antara kepemimpinan regional dan lokal (Halmin 2006 dan USAID 2009).Mark Peserta dalam diskusi kelompok terarah di kota Jayapura, termasuk pekerja pemerintah dan aktivis LSM, menyatakan bahwa di tingkat kecamatan mereka semakin pasrah dengan kenyataan bahwa masukan dari masyarakat tidak dimasukkan ke dalam rencana kota, atau tidak diterjemahkan ke dalam program yang dianggarkan. Sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu pegawai pemerintah di Jayapura: “Musrenbang hanya formalitas. Musrenbang ada karena kita harus melakukannya. Tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa Musrenbang mewakili suara masyarakat jika kebutuhan masyarakat tidak dipertimbangkan dalam perencanaan dan implementasi kebijakan yang dihasilkan dari Musrenbang.” (17 September 2009). Studi kasus di Jawa Tengah memberikan gambaran yang sedikit berbeda dimana kemajuan terjadi di tingkat desa, tetapi kemunduran terjadi di tingkat lebih lanjut: “Dalam kenyataannya, partisipasi anak dalam Musrenbang hanya formalitas. Suara anak didengarkan di Musrenbang desa, tetapi dalam Musrenbang tingkat yang lebih tinggi, sebagian besar usulan yang berisi aspirasi anak-anak ditolak demi kepentingan lembaga sektoral.” (Diskusi kelompok terarah, Jawa Tengah, 8 September 2009) Gambaran yang berbeda tentang kemajuan dan kemunduran berasal dari Aceh: “Tidak ada anggaran untuk Musrenbang di desa. Musrenbang yang dilakukan di kecamatan harus dihadiri oleh wakil-wakil dari Musrenbang di tingkat desa, tetapi pada kenyataannya, mereka yang hadir dalam Musrenbang kecamatan hanya kepala desa. Ini artinya bahwa banyak program yang dimasukkan dalam Musrenbang merupakan hasil dari prioritas lembaga terkait, sedangkan program dan prioritas yang datang dari kecamatan ditolak.” (peserta Diskusi Kelompok Terarah, Aceh Timur, 14 September 2009). Di tempat lain, kegagalan para praktisi kesehatan, pendidikan dan perlindungan anak juga konsisten di seluruh studi kasus. Terlepas dari pengetahuan mereka tentang masalah dan pemahaman tentang prioritas yang diperoleh di garis depan pemberian pelayanan, mereka secara konsisten menunjukkan kegagalan untuk menimbulkan dampak terhadap proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Pengamatan terhadap seorang praktisi kesehatan yang bekerja untuk gizi kurang di Nusa Tenggara Timur menggambarkan dinamika ini: “Perencanaan yang dibuat oleh puskesmas disampaikan kepada Dinas Kesehatan untuk konsultasi dengan BAPPEDA. Akan tetapi, ada beberapa masalah dalam proses tersebut. Misalnya, prioritas nomor satu adalah untuk pengentasan gizi kurang, tetapi dalam beberapa kasus rencana tersebut telah ditolak oleh Bappeda dan bagian penganggaran jika rencana berada di luar prioritas Bupati. Prioritasi rencana tergantung pada keterampilan orang yang membuat proposal untuk menyesuaikan dengan komitmen dan prioritas bupati sehingga proposal tersebut dimasukkan dalam APBD.” (Diskusi kelompok terarah, NTT., 19 September 2009)
6
OKTOBER 2012
anak-anak sering tidak dimasukkan dalam Musrenbang tingkat desa. Selain itu, praktisi anak secara konsisten telah menunjukkan tingginya tingkat kegagalan, dengan memperhatikan bahwa agenda kabupaten secara sistematis mendapatkan prioritas pelayanan yang lebih besar. Kotak 4 menggambarkan bahwa meskipun langkah-langkah awal menuju penggabungan perspektif perempuan, anak dan praktisi telah berlangsung di tingkat desa/kecamatan, tetapi penting agar perspektif tersebut dikonsolidasikan dan dimasukkan dalam Musrenbang tingkat yang lebih tinggi.
Mengatasi kendala melalui inovasi
S
ejumlah program dan inisiatif menunjukkan cara-cara untuk mengatasi kendala melalui inovasi. Analisis Situasi Ibu dan Anak (ASIA), dan Studi Kasus Investasi yang dilakukan oleh pemerintah, Universitas Gadjah Mada, Universitas Queensland dan UNICEF, dianggap sebagai contoh-contoh yang tepat. ASIA pertama kali dikembangkan pada tahun 1998 dan kemudian direvitalisasi sejak 2006.vii Berdasarkan revitalisasi pedoman, ASIA memiliki potensi untuk menyampaikan isu-isu perempuan dan anak kepada pemerintahan daerah dan perencanaan pembangunan serta untuk menangani beberapa isu penting tentang pengetahuan, pengembangan kapasitas dan partisipasi yang lemah dalam desentralisasi pemerintahan saat ini. Kemitraan dan partisipasi, tidak hanya berbagai lembaga pemerintah, tetapi juga pemangku kepentingan serta perempuan dan anakanak, dimasukkan dalam kerangka ASIA.viii Sampai saat ini, Kementerian Dalam Negeri sangat menganjurkan dan mempromosikan penggunaan ASIA, tetapi belum diwajibkan. Ada rencana untuk melakukan pengkajian komprehensif terhadap pelaksanaan ASIA untuk mengkaji bagaimana melanjutkan pengembangan inisiatif tersebut di masa yang akan datang.
ringkasan Kajian
Proses ASIA bertujuan untuk memberikan kerangka yang jelas dan dapat digunakan dengan fokus pada penjelasan dan identifikasi isu-isu yang mempengaruhi anak-anak dan perempuan untuk secara sistematis mempertimbangkan sebab-sebab dan isu-isu dasar sehingga upayaupaya perencanaan dan pengembangan program dapat difokuskan pada peningkatan perempuan dan anak-anak’ (Kementerian Dalam Negeri, 2009:4)
Ada mekanisme yang memungkinkan untuk judicial review terhadap perundangundangan nasional dan daerah untuk memastikan bahwa perudang-undangan tersebut sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hak Anak (melalui Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi), tetapi mekanisme ini kurang dimanfaatkan. Judicial review harus sistematis dan jika mungkin disederhanakan.
Studi Kasus Investasi yang didanai oleh AusAid dan Bill dan Melinda Gates Foundation dan dilakukan bersama oleh Pemerintah, Universitas Gadjah Mada, Universitas Queensland, dan UNICEF merupakan bagian dari serangkaian riset untuk inisiatif kebijakan dengan fokus pada kemungkinkan intervensi prioritas yang menangani kematian ibu, bayi baru lahir dan anak dan pada penciptaan kemajuan dalam mencapai MDG 4 dan 5 dengan keadilan. Studi kasus ini mengidentifikasi perencanaan efektif dan alokasi sumber daya di tingkat kabupaten sebagai kelemahan utama desentralisasi (anggaran dan rencana seringkali disalin setiap tahun terlepas dari kebutuhan). Salah satu tujuan utama studi Kasus Investasi di Indonesia adalah untuk mendapatkan cara terbaik untuk menggunakan bukti yang tersedia guna 7
ringkasan Kajian
OKTOBER 2012
mempengaruhi pengambilan kebijakan di tingkat kabupaten, khususnya perencanaan dan penganggaran. Pentingnya data dan validasi data muncul pada awal proses Kasus Investasi dengan pemetaan dan pengkajian ulang secara sistematis terhadap semua data yang ada bagi para pemangku kepentingan lokal, sementara mengidentifikasi kemungkinan penggunaan dan pembatasan data. Hal ini sering merupakan perjuangan berat dan tim Kasus Investasi melaporkan kasus-kasus dimana catatan-catatan tentang penyebab kematian perempuan dan anak-anak tidak ditangani dengan baik, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap prospek respon yang efektif atau tepat. Untuk kasus-kasus dimana kualitas data buruk atau bertentangan, studi tersebut difokuskan pada triangulasi data dan meminta pendapat para pakar sampai sumber atau nilai terbaik untuk analisis ditetapkan. Juga diperlukan kerja sama dengan staff terkait untuk mengidentifikasi kendala-kendala sistem kesehatan dan lokakarya penyelesaian masalah untuk menyusun strategi yang efektif biaya guna mengatasi kendala-kendala tersebut. Misalnya, semua kabupaten mengidentifikasi bahwa tidak adanya pelayanan yang berkualitas sebagai kendala utama, tetapi dengan faktor-faktor dasar yang sangat berbeda. Di daerah-daerah perdesaan, kurangnya akses geografis/ fisik ke pelayanan merupakan kendala utama, sedangkan di daerah-daerah perkotaan penggabungan dari sektor swasta yang besar dan tidak diatur dan kurangnya sumber daya dalam sektor publik dianggap lebih penting.
Ada mekanisme yang memungkinkan untuk judicial review terhadap perundang-undangan nasional dan daerah untuk memastikan bahwa perudang-undangan tersebut sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hak Anak (melalui Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi), tetapi mekanisme ini kurang dimanfaatkan. Judicial review harus sistematis dan jika mungkin disederhanakan.
8
Kabupaten mengadopsi strategi yang tepat. Kabupaten di perdesaan memfokuskan pada perekrutan dan pelatihan bidan desa untuk meningkatkan akses ke pelayanan berkualitas, sedangkan kabupaten di perkotaan memfokuskan pada pelatihan tambahan bagi para bidan swasta. Secara keseluruhan, strategi tersebut mencerminkan pola-pola kendala yang berbeda - terutama jenis respon lokal yang tepat, yang muncul dari sistem desentralisasi yang berfungsi dengan baik. Studi Kasus Investasi merupakan contoh positif dari pendekatan yang tepat bagi pengembangan kapasitas, yang menunjukkan bahwa dengan dukungan yang memadai, kesenjangan pengetahuan teknis dan data dapat diatasi untuk meningkatkan perencanaan dan pengambilan kebijakan kabupaten. Di Aceh, mekanisme Forum Anak yang semula ditetapkan untuk memberikan ruang dan saluran bagi suara dan partisipasi anak-anak, selanjutnya disahkan melalui adopsi oleh Kementerian Sosial. Forum ini dan modalitasnya dapat dikaji ulang dan dilakukan revitalisasi untuk memperkuat konsep partisipasi anak.
Rekomendasi
B
erdasarkan bukti yang ditunjukkan dalam Situasi Analisis Ibu dan Anak Pemerintah Indonesia/UNICEF 2010, rekomendasi berikut disampaikan untuk menangani lemahnya koordinasi/kurangnya harmonisasi, keterbatsan pengetahuan dan kapasitas, dan lemahnya tingkat partisipasi masyarakat.
OKTOBER 2012
Koordinasi dan harmonisasi Undang-undang dan kerangka hukum, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan anak, saling bertentangan dan harus disesuaikan. Koordinasi dan harmonisasi ini adalah dalam kerangka baik hukum nasional, dimana beberapa hukum dan ketentuan bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hak Anak, maupun antara undang-undang di tingkat pusat dan daerah (baik di tingkat provinsi maupun kabupaten). Pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan pengenalan insentif untuk kepatuhan, khususnya dengan mengidentifikasi pemerintah daerah yang telah mengalami kemajuan. Kerjasama dan koordinasi antarlembaga yang berhubungan dengan isuisu kesejahteraan anak dan intervensi, yang cenderung tersebar di antara sejumlah besar pemangku kepentingan, perlu ditingkatkan. Aktor utama harus ditunjuk dan komisi ditetapkan untuk memfokuskan pada perlindungan anak, dengan dukungan oleh peraturan provinsi yang memberikan dasar hukum untuk bekerja dengan lembaga-lembaga tingkat kabupaten dan bupati (seperti Proyek Kota Ramah Anak di Surakarta). Selain kepemimpinan yang kuat dan komitmen pengemban tugas di berbagai tingkat, pembentukan kelompok kerja multi sektoral, komisi atau satuan tugas memainkan peran positif dalam mendukung hak anak. Bukti dari Aceh dan Jawa Tengah menunjukkan bagaimana peran lembaga-lembaga ini mulai dari pemantauan dan evaluasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) 2010-2014 di Aceh, sampai koordinasi, mediasi dan advokasi di Jawa Tengah). Untuk kedua kasus tersebut, lembaga-lembaga ini memperoleh dukungan dari gubernur; sebuah mandat yang kuat; dan memasukkan berbagai pemangku kepentingan ke dalam pekerjaan mereka. Pemerintah daerah harus menetapkan lembaga multi-sektoral yang luas dalam mendukung hak-hak anak. Lembaga-lembaga tersebut sebaiknya berasal dari organisasi masyarakat sipil, praktisi dan pemangku kepentingan lainnya. Satuan tugas lokal harus mendapatkan dukungan yang tepat, memperoleh dana yang memadai, dan memiliki mandat yang kuat dan jangka waktu yang layak. Melalui kemitraan dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil, Pemerintah harus memberikan dukungan melalui advokasi dan memberikan insentif bagi pelaku politik lokal (di tingkat provinsi dan kabupaten) yang memulai program untuk meningkatkan hak anak. Insentif sangat penting bagi aspek-aspek kesejahteraan anak yang kadang-kadang bersifat kontroversial seperti anak-anak yang berhadapan dengan hukum atau anak-anak jalanan. Pengetahuan dan kapasitas Program ASIA dan studi Investasi Kasus memberikan contoh pendekatan inovatif pada pengembangan kapasitas dan bantuan teknis. Sebagai pengganti pendekatan ruang kelas yang difokuskan pada pelajaran teori khusus yang dipisahkan dari kebutuhan dan realitas konteks lokal, program-program ini telah mengintegrasikan pelatihan dan bantuan teknis sebagai bagian dari serangkaian kegiatan yang lebih luas dengan orientasi pada hasil praktis dan penyelesaian masalah.
ringkasan Kajian
Baik pemerintah daerah maupun pusat harus memperkenalkan langkahlangkah untuk menangani sumber daya manusia dan personil secara lebih baik bersama dengan pengembangan kapasitas. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa penempatan staff didasarkan pada kompetensi dan pergantian staff yang tinggi dapat dikurangi.
Pemerintah daerah harus mengidentifikasi satu institusi - paling mungkin BAPPEDA, untuk mengkoordinasikan semua kebijakan dan program yang berkaitan dengan hak anak. Kegiatan koordinasi oleh lembaga utama harus lintas sektoral serta antara tingkat pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Di tingkat pemerintah pusat, cara-cara untuk meningkatkan mekanisme partisipatif, baik melalui Musrenbang maupun melalui saranasarana partisipasi alternatif pendukung bagi perempuan, remaja dan anak-anak harus didiskusikan dan dikembangkan.
Pemerintah pusat bersama dengan OMS dan stakeholder terkait harus mengembangkan sarana-sarana untuk partisipasi selain Musrenbang
9
ringkasan kajian
OKTOBER 2012
Misalnya, pendampingan kabupaten melalui seluruh siklus perencanaan anggaran memungkinkan bantuan untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan persyaratan lokal. Ini merupakan pendekatan yang efektif pada bantuan teknis dan pengembangan kapasitas, meskipun ada resiko tinggi bahwa dampak positif akan menurun karena tingginya tingkat pergantian personil di seluruh kabupaten. Peningkatan pendekatan substantif dan holistik pada pengembangan kapasitas di tingkat kabupaten seperti pendekatan yang diadopsi oleh studi kasus investasi dan ASIA perlu dilakukan secara lebih sistematis. Partisipasi Pemerintah daerah harus memperkuat partisipasi dengan mempertimbangkan suara perempuan, anak-anak dan praktisi secara efektif. Hal ini sangat penting untuk memprioritaskan dampak kebutuhan, prioritas, ide, dan inovasi dari proses musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa dan kecamatan (untuk perencanaan pembangunan tingkat kabupaten) dan tingkat kecamatan (untuk perencanaan pembangunan tingkat provinsi). Penguatan Musrenbang harus meliputi pemberian bantuan teknis dan pengembangan kapasitas yang tepat kepada pemerintah kabupaten dan provinsi untuk menerjemahkan proses dan prioritas pro-anak ke dalam perencanaan pembangunan, khususnya perumusan rencana strategis (Renstra) kabupaten, peraturan daerah (Perda), kebijakan, anggaran, dan rencana kerja tahunan sektoral/unit dan pedoman tentang pemberian pelayanan.
Desentralisasi pertama diperkenalkan pada tahun 1999 melalui UU No. 22 dan No. 25/1999 yang diimplementasikan pada tahun 2001 yang direvisi dalam UU No. 32 dan No. 33/2004 dan sekarang ini sedang dalam pengkajian lebih lanjut. ii Holtzappell, C. J. G. (2009) “Introduction: The regional governance reform in Indonesia, 1999-2004’, in Hotzappel, CJ.G and Ramstedldt, M. (Eds), Decentralisation and local democracy in Indonesia: Implementation and Challenges, Institute of Southeast Asian Studies Singapore, pp1-58. iii ‘Antara tahun 1993 dan 2003, jumlah pegawai pemerintah daerah meningkat dari 503.374 menjadi 2.807.998 dan jumlah ini diperkirakan bahwa 80 persen anggaran dialokasikan untuk pengeluaran rutin pemerintah, khususnya untuk gaji PNS, hanya dengan 20 persen yang tersisa untuk pengeluaran pembangunan. Hanya 47 persen PNS di tingkat pusat dan daerah diperkirakan memiliki keterampilan profesional dan permutasi PNS secara terus-menerus mempersulit untuk mengupayakan peningkatan melalui pelatihan dan bimbingan.’ Kuromotomo, W. and Widanigrum, A. (2010). Review of the State Apparatus Reform, Department of Management and Public Policy Magister Programmes in Public Administration, Yogyakarta: 35 and Data from Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil, Badan Kepegawaian Negara, PUPNS-BKN (State Officers Board, Reregistration of Civil Servants) (2003) Internal report, Mimeo: Jakarta and Pusat Kajian Manajemen Pelayanan, Lembaga Administrasi Negara (PKMP-LAN) (2010) Civil servant statistics 2010. iv Pemerintah daerah telah menghadapi tantangan besar dalam mencapai kemajuan, sebagian karena keterbatasan kapasitas personil dan manajemen aset daerah (BAPPENAS and UNDP 2008). v Pemerintah Indonesia dan UNICEF (2012), Analisis Situasi Perempuan dan Anak di Indonesia 2000-2010. vi WHO, Landscape Analysis Country Assessment 2010 Report vii Ministry of Home Affairs (2009), Integrating ASIA into Government Planning Mechanism in a Decentralised Indonesia. Developing District/Municipality Situation Analysis on Children and Women. viii Ibid. i
10
Ini adalah salah satu dari serangkaian Ringkasan Kajian yang dikembangkan oleh UNICEF Indonesia. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi
[email protected] atau klik www.unicef.or.id