RINGKASAN Kawasan Gampong Jawa, Kota Banda Aceh merupakan kawasan padat penduduk dan dalam perencanaan tata ruang Kota Banda Aceh, daerah ini merupakan kawasan pengembangan pemukiman kepadatan tinggi. Salah satu kebutuhan yang paling penting adalah air. Air yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia, bila tercemar polutan akan meningkatkan kandungan zat padat, dan merupakan indikator pencemaran air. Liquid Leachate merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah melarutkan berbagai senyawa, memiliki kandungan pencemar khususnya zat organik yang sangat tinggi. Hal ini menjadi potensi penyebab pencemaran air tanah, sehingga perlu dilakukan langkah antisipasi dan proteksi. Sehingga perlu dilakukan analisis Dispall (Distribution Pattern of Liquid Leachate) untuk melihat sebaran polutan tersebut. Teknik yang digunakan adalah dengan menganalisa sifat konduktivitas lapisan bawah permukaan (subsurface). Dengan metode Geolistrik, ditentukan variasi konduktivitas (resistivitas) yang dapat mendeteksi akumulasi polutan cair dalam tanah yang sering diasosiasikan sebagai fluida konduktif. Lokasi studi adalah pada kawasan sanitary landfill yaitu di Gampong Jawa Banda Aceh. Di kawasan ini penduduk menggunakan air sumur sebagai keperluan sehari-hari. Hal ini menjadi target khusus dan menjadikan penelitian sangat signifikan untuk dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan liquid leachate. Sehingga perlu dikembangkan suatu metoda pemetaan dan analisis potensi dan risiko bencana, pengembangan sistem informasi bencana, dan pengembangan “green technology” untuk mitigasi bencana secara struktural dan nonstruktural. Hasil penelitian tahun pertama menunjukkan bahwa sesuai peta jalan penelitian, menunjukkan bahwa untuk tahap awal telah didapatkan model geofisika. Dari 7 (tujuh) lintasan pengukuran yang dilakukan di sekeliling kawasan studi menghasilkan profil 2D citra bawah permukaan. Pada lapisan bagian permukaan (kedalaman sekitar 0-5 m) dengan nilai resistivitas ≥ 6,0 Ωm yang merupakan material lempung, dan diinterpretasikan sebagai reclaim material, yaitu batuan/tanah atau sedimen yang terdeposit akibat proses gravitasi, terpecah-pecah dan menumpuk oleh berbagai proses dan membentuk lapisan tanah baru. Pada bagian bawah dari setiap perlapisan, terdapat material dengan resistivitas 3-30 Ωm yang diinterpretasikan sebagai material marine alluvium, yang merupakan tanah yang telah mengalami degradasi oleh pencampuran air asin dan air payau, material ini terlihat jelas terutama pada lintasan bagian dalam lokasi dan diluar lokasi yang disebabkan karena keberadaan didekat pantai. Profil resistivitas lain dengan nilai resistivitas 0.2-0.6 Ωm, diinterpretasi sebagai lokasi utama tempat merembesnya dan terakumulasinya lindi (leachate) dan merupakan kawasan tempat aliran kontaminan, dan berada pada kedalaman 10-20 m. Dengan pengaruh elevasi dan gravitasi maka infiltasi aliran lindi ini akan sangat berpotensi untuk mempengaruhi keadaan air tanah atau akifer. Karakteristik ini diperlihatkan pada model geofisika citra 2D bawah permukaan (subsurface) yaitu pola distribusi dan akumulasi lindi cair (DISPALL atau Distribution Pattern Of Liquid Leachate) di lokasi studi.Dengan data geokimia (water quality) yang dilaukan secara detail pada lokasi yang sama didapatkan informasi yang lebih akurat berkaitan dengan lokasi yang berpotensi terhadap bencana. Kata kunci: Liquid Leachate, geolistrik, polutan, bencana, konduktivitas.
iv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1
Latar belakang Seiring dengan meningkatnya populasi manusia beserta semua aktivitasnya yang
berkaitan dengan alam selalu meninggalkan sisa yang dianggap tidak berguna lagi yaitu sampah dan limbah. Sampah merupakan polutan umum yang dapat menyebabkan turunnya nilai estetika lingkungan, membawa berbagai jenis penyakit, menimbulkan polusi, pencemaran air permukaan, air tanah dan berbagai akibat negatif lainnya. Biasanya untuk menjaga kebersihan sering kali menyingkirkan sampah ke tempat yang jauh dari pemukiman yang disebut sanitary landfill atau tempat pembuangan akhir. Produksi sampah terus terjadi setiap hari, akan mengalami pembusukan terutama pada sampah basah. Indonesia merupakan negara tropis yang mempunyai iklim panas dan kelembaban tinggi, merupakan faktor pemercepat terjadinya reaksi kimia, sehingga sampah lebih cepat membusuk jika dibandingkan dengan negara lain. Air yang ada pada sampah hasil pembusukan umumnya mengandung bahan kimia, bakteri dan kotoran lainnya yang dapat merembes ke dalam tanah. Jika ada air hujan melewati sampah ini maka akan tercemar oleh polutan tersebut, sehingga hal ini dapat menimbulkan pencemaran air tanah baik yang berasal dari rembesan air sampah maupun oleh sampah itu sendiri. Air tanah merupakan sumber utama bagi manusia. Dengan semakin sempitnya lahan pemukiman, semakin banyak penduduk di kota-kota besar yang tinggal di daerah sekitar sanitary landfill, yang juga memanfaatkan air sumur sebagai sumber air minum. Hal ini dikarenakan kebutuhan air bersih yang biasanya belum terjangkau atau belum tersedia. Jika terjadi pencemaran air tanah akibat meresapnya air lindi yang berasal dari pembusukan sampah, maka dapat menggangu kelangsungan hidup penduduk sekitar sanitary landfill tersebut. Kawasan sanitary landfill di daerah Gampong Jawa Kota Banda Aceh, melayani pembuangan sampah yang ada di dalam kota dan sekitarnya. Dalam Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 20092029, yang tercantum dalam Bagian Ketiga tentang Rencana Pengembangan Kawasan Budi Daya Kota Pasal 54, Paragraf 1 tentang Kawasan Perumahan, Pasal 55, daerah ini ditetapkan sebagai pengembangan kawasan perumahan dengan kepadatan tinggi dan pengembangan perumahan nelayan di kawasan pesisir. Sampah yang dibuang kebanyakan adalah sampah organik. Hal ini menyebabkan sampah lebih cepat membusuk dan menghasilkan polutan yang dapat mencemari air tanah berupa rembesan air lindi, yang merupakan polutan 1
sampah yang dapat mencemari air tanah di daerah sekitar sanitary landfill tersebut. Kondisi sanitary landfill di Banda Aceh sudah mengkawatirkan, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Banda Aceh pada April 2010, yang mengatakan bahwa lokasi ini mengandung zat berbahaya. Hasil analisa menyimpulkan terdapat kandungan amonika (NH3-N) diatas 1,5 mg/l, phosphate (PO4) diatas 2,0, BODS 494 mg/l, dan COD 812 mg/l (www.serambinews.net/news/view/38279/air-lindi-di-tpagampong-jawa-mengandung-zat -berbahaya). Selain itu, informasi terakhir menyebutkan bahwa produksi sampah di Kota ini sudah mencapai 150 ton lebih
perhari,
(http://www.rakyataceh.com/index.php/ open=view&newsid=30591&tit=Banda_Aceh_Daya_ Tampung_TPA_Gampong_Jawa_Penuh), hal ini tentu menambah kekhawatiran akan dampak yang dapat ditimbulkan tersebut. Beberapa hal yang menjadi permasalah langsung dan terjadi secara berterusan ini manjadi pemicu utama dan pendukung yang sangat penting untuk dilakukannya penelitian sebagai tindak lanjut dan mencoba mencari solusi bagi berkelanjutannya masalah-masalah tersebut. Hal ini yang menjadi faktor penting dan mendorong untuk dilakukannya penelitian ini.
1.2 Kegunaan Diharapkan dari penelitian akan memberikan kegunaan bagi penelitian sendiri untuk pengembangan ilmu pengetahuan, selain juga harapannya dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan dan kemajuan Universitas Syiah Kuala. Selain itu juga di harapkan dapat memberikan kegunaan bagi: a. Pemerintah daerah Kota Banda Aceh dan Instansi terkait sebagai referensi dalam pengambilan keputusan dan penanggulangan dampak bencana yang lebih besar. b. Masyarakat, terutama masyarakat di sekitra lokasi studi agar lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi air, baik sebagai air minum maupun keperluan lainnya.
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Daerah Studi Daerah studi terletak di Kecamatan Kuta Raja merupakan wilayah pesisir di bagian utara Kota Banda Aceh (Gambar 1). Ruang lingkup wilayah Kecamatan Kuta Raja meliputi seluruh wilayah administrasi seluas 537,7 hektar meliputi : 1. Kelurahan Lampaseh Kota (25 hektar) 2. Kelurahan Merduati (27,8 hektar) 3. Kelurahan Keudah (32 hektar) 4. Kelurahan Peulanggahan (52,25 hektar) 5. Gampong Jawa (150,60 hektar) 6. Gampong Pande (250,05 hektar)
Gambar 2.1. Peta lokasi penelitian yang terletak di sebelah utara Kota Banda Aceh (sumber: BRR, 2007).
3
Gambar 2.2 (a). Peta geologi daerah permukaan dan (b) daerah 2 meter dibawah permukaan (Sumber: ManGeoNAD, BGR, 2006).
2.3 Sistem Pengelolaan Limbah Sistem pengelolaan limbah di Kecamatan Kuta Raja pasca gempabumi dan tsunami 2004 sampai saat ini dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Banda Aceh yang terintegrasi dengan sistem pengelolaan persampahan Kota Banda Aceh, dan dibuang ke sanitary landfill yang berlokasi di Gampong Jawa. Sistem pengelolaannya menggunakan sistem sanitary landfill dan sistem pembakaran manual. Untuk dapat menangani persampahan dengan baik, maka perlu diperoleh gambaran tentang proyeksi volume sampah di masa mendatang, sehingga dengan demikian dapat diperkirakan bentuk dan keperluan penanganannya. Hasil proyeksi memperlihatkan bahwa volume limbah di daerah ini tahun 2016 adalah sebesar 46 m3/hari. Untuk volume sampah sebesar ini dapat ditangani dengan mengangkatnya dari rumah-rumah penduduk dengan memakai gerobak sampah biasa dan kemudian mengumpulkannya di beberapa lokasi sementara, untuk selanjutnya diangkut ke sanitary landfill Gampong Jawa. Air tanah umumnya mengandung zat padat terlarut yang berasal dari mineral dan garam-garam yang secara alamiah terjadi pada siklus hidrologi. Bila air ini ini terkontaminasi oleh polutan yang berasal sanitary landfill maka kandungan zat padat tersebut akan 5
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT 3.1 Tujuan Tujuan khusus penelitian ini untuk mengembangkan suatu metode pemetaan analisis potensi dan resiko bencana serta metode perbaikan dengan menentukan Dispall (Distribution Pattern of Liquid Leachate) yang dihasilkan dari limbah di sekitar sanitary landfill Gampong Jawa Banda Aceh dengan menggunakan Metode Geolistrik Resistivitas. Liquid Leachate sampah diketahui mempunyai konduktivitas yang berbeda dengan konduktivitas batuan atau air tanah yang ada disekitarnya. Menurut hasil penelitian yang dilakukan beberapa peneliti sebelumnya, menunjukkan bahwa Liquid Leachate mempunyai konduktivitas yang lebih tinggi daripada air tanah. Menurut Loke (1999) resistivitas air bersih (freshwater) adalah antara 10-100 m. Berdasarkan sifat inilah bisa dilakukan penelitian untuk mengetahui letak akumulasi Liquid Leachate di sekitar sanitary landfill dengan memanfaatkan perbedaan resistivitas tersebut. Oleh karena itu, metode geolistrik resistivitas ini sangat signifikan dan merupakan metode yang unggul dalam melakukan pemetaan sebaran dan akumulasi Dispall yang merupakan salah penyebab bencana. Pada tahap kedua ini akan dilakukan pemantauan kembali mengenai pola dan karakteristik konduktivitas bawah permukaan dengan metode geolistrik, serta pengukuran data sekunder, pengukuran kualitas fisis air di sekitar lokasi penelitian, juga melakukan komparasi hasil dengan yang telah didapatkan pada tahun pertama. Selanjutnya akan didapatkan model Dispall dan pola sebaran polutan, dengan demikian akan dapat dilakukan antisipasi dan pencegahan terhadap kemungkinan dampak yang akan ditimbulkan dan bencana yang akan terjadi.
3.2
Manfaat Akibat lemahnya sistem informasi dan perlunya proses pengolahan dan pengaturan
limbah yang berjalan lamban dan kurang efektif, perlu diungkapkan pencemaran lingkungan dan akumulasi polutan di kawasan pemukiman pendudukan dan sekitar sanitary landfill Banda Aceh. Dengan luas area sekitar 21 Hektar dan kapasitas pembuangan 160 ton/hari, serta padatnya jumlah penduduk di kawasan ini sudah sangat meresahkan masyarakat (www.theglobejournal.com/kategori/lingkungan/warga-minta-tpa-gampong-jawa-dipindahkan.php). Untuk itu, sudah sangat mendesak untuk dilakukan penelitian untuk mendapatkan solusi yang terbaik pada masyarakat, terutama terhadap penyebaran rembesan polutan tersebut pada daerah ini yang terkontaminasi. Pendugaan sebaran kontaminasi bawah permukaan dapat dilakukan dengan pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dilakukan 8
BAB IV. METODE PENELITIAN Konsep dasar dari metode geolistrik resistivitas adalah pengukuran harga resistivitas batuan. Prinsip kerja metode ini adalah dengan menginjeksikan arus ke bawah permukaan bumi sehingga diperoleh beda potensial, yang akan memberikan informasi mengenai resistivitas batuan. Perbedaan nilai resistivitas berbagai jenis batuan akan mewakili perbedaan karakteristik tiap lapisan batuan tersebut. Nilai resistivitas diukur sebagai akibat penginjeksian arus listrik, sehingga lapisan batuan merupakan penghantar arus. Hal ini dilakukan dengan menggunakan empat elektroda yang disusun sebaris, salah satu dari dua buah elektroda yang berbeda muatan digunakan untuk mengalirkan arus ke dalam tanah, dan dua elektroda lainnya digunakan untuk mengukur tegangan yang ditimbulkan oleh aliran arus tadi, sehingga resistivitas bawah permukaan dapat diketahui (Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Prinsip dasar pengukuran metode geolistrik resistivitas.
Resistivitas batuan adalah fungsi dari konfigurasi elektroda dan parameter-parameter listrik batuan. Arus yang dialirkan di dalam tanah dapat berupa arus searah (DC) atau arus bolak-balik (AC) berfrekuensi rendah. Untuk menghindari potensial spontan, efek polarisasi dan menghindarkan pengaruh kapasitansi tanah yaitu kecenderungan tanah untuk menyimpan muatan maka biasanya digunakan arus bolak balik yang berfrekuensi rendah (Bhattacharya & Patra, 1968). Metode ini juga bisa digunakan untuk mengetahui keberadaan air tanah dan juga untuk eksplorasi mineral. Dalam pengukuran metode geolistrik resistivitas peralatan yang 10
harus dimiliki antara lain sumber arus dan alat pengukur untuk potensial arus serta elektroda yang digunakan untuk memasukkan arus kedalam bumi (Hendrajaya dan Arif, 1990). Hasil pengukuran arus dan beda potensial untuk setiap jarak elektroda tertentu, menunjukkan karaktersitik variasi nilai resistivitas untuk setiap lapisan tanah. Pada penelitian akan digunakan konfigurasi Wenner-Schlumberger yang mendasarkan pengukuran pada kontinuitas pengukuran dalam satu penampang dan hasilnya suatu penampang semu (pseudosection). Konfigurasi ini merupakan perpaduan dari konfigurasi Wenner dan konfigurasi Schlumberger (Gambar 4.2). Pada pengukuran dengan faktor spasi (n) = 1, konfigurasi Wenner-Schlumberger sama dengan pengukuran pada konfigurasi Wenner (jarak antar elektrode = a), namun pada pengukuran dengan n = 2 dan seterusnya, konfigurasi Wenner-Schlumberger sama dengan konfigurasi Schlumberger (jarak antara elektroda arus dan elektroda potensial lebih besar daripada jarak antar elektrode potensial).
Gambar 4.2 Konfigurasi elektroda Wenner Schlumberger.
Perhitungan resistivitas semu pada tahanan jenis menggunakan persamaan:
dengan K adalah faktor geometri dari konfigurasi elektroda yang digunakan di lapangan. Rumusan faktor geometri dapat dituliskan:
Sehingga berlaku hubungan
11
Diagram alir penelitian adalah seperti dibawah (Gambar 4.3), demikian juga dengan proses pengukuran dilapangan dan hasil sementara dan pemrosesan data yang telah dilakukan. Mulai Survey awal o Penentuan koordinat/lokasi o Studi geologi dan pustaka o Desain survey geolistrik resistivitas o Persiapan instrumen penggukuran Survey Lapangan o Pengukuran geolistrik resistivitas dengan metode mapping Data Pengukuran o Beda potensial (V) o Arus listrik (I) o Spasi elektroda (a) Pengolahan Data o Data awal, datum point, spasi elektroda, dan resistivitas semu o Dengan software Res2Dinv, didapat model variasi resistivitas semu o Model di interpretasi berdasarkan perubahan nilai resistivitas Interpretasi Data o Litologi dan struktur geologi bawah permukaan (subsurcae) o Model pola aliran limbah
Selesai
Gambar 4.1. Diagram alir prosedur dan rencana penelitian.
12
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian dilakukan menggunakan metode geolistrik resistivity dengan melanjutkan di sekitar kawasan sanitary landlfill TPA Gampong Jawa Banda Aceh. Dengan menggunakan metode geolistrik tahanan jenis ini dimaksudkan untuk mengetahui sebaran batuan (tanah) yang bersifat konduktif, semi dan non konduktif. Sehingga dapat untuk memperkirakan keberadaan tubuh batuan dasar (bedrocks) yang mempunyai nilai resistivitas tinggi (non konduktif), batuan ubahan (alterasi) yang mempunyai resistivitas rendah (konduktif). Metoda ini menggunakan arus listrik searah atau bolak-balik yang dialirkan kedalam bumi melalui dua elektroda arus. Perbedaan tegangan yang timbul diukur dengan menggunakan dua elektroda potensial. Parameter yang diperoleh adalah nilai resistivitas semu 2D yang diharapkan dapat memberikan gambaran lapisan bawah permukaan.
Pengukuran geolistrik resistivitas
dilakukan dengan menggunakan konfigurasi Wenner-Schlumberger. Berdasarkan citra geolistrik bawah permukaan secara 2D yang didapatkan, dapat menganalisa perbedaan nilai resisitivitas batuan maka dapat diinterpretasikan kedalaman, struktur geometri, pola dan bentuk perubahan jenis batuan, serta karakteristik perlapisannya. Hasil dari penelitian ini berupa data dari lima lintasan pengukuran, masing-masing lintasan memiliki panjang yang bevariasi antara 100 - 200 m dengan jarak spasi elektroda 2 m. Kawasan ini merupakan pemukiman penduduka yang lokasinya sangat berdekatan dengan TPA.Pada lokasi ini diduga akan terdapat bentuk-bentuk dan ciri-ciri khusus pada bawah pemukaan dangkal, baik berupa lapisan keras (hard layer), lapisan intrusi air laut, maupun lapisan terkontaminasi dibeberapa tempat. Data hasil pengukuran lapangan dan diproses dengan menggunakan software Res2Dinv, dimana hasil pengolahan yang diperoleh adalah berupa gambaran penampang bawah permukaan. Secara umum, hasil dari semua pengolahan data menunjukkan gambaran penampang bawah permukaan dengan jenis batuan yang cukup variatif, dengan nilai resistivitas yang diperoleh dari hasil inversi juga bervariasi. Salah satu hasil pengolahan data berupa data pengukuran, data perhitungan dan model inversi untuk semua lintasan. Jumlah lintasan yang di ukur adalah pada lokasi TPA sebanyak 7 lintasan yang melingkupi semua area mengelilingi kawasan TPA tersebut. Sedangkan di bagian luar (lingkungan) TPA sebanyak 4 lintasan pengukuran.
16
L1
Gambar 5.2 Hasil pengukuran resistivitas pada lintasan 1. L2
Gambar 5.3 Hasil pengukuran resistivitas pada lintasan 2. L3
Gambar 5.4 Hasil pengukuran resistivitas pada lintasan 3.
18
L4
Gambar 5.5 Hasil pengukuran resistivitas pada lintasan 4. L5
Gambar 5.6 Hasil pengukuran resistivitas pada lintasan 5.
L6
Gambar 5.7 Hasil pengukuran resistivitas pada lintasan 6.
19
L7
Gambar 5.8 Hasil pengukuran resistivitas pada lintasan 7. L8 Salt water intrusion/ brackish water 10
20
RECLAIM
Distance (m)
30
40
50
60
70
80
90
0
0
Depth (m)
-10
-10
MARINE ALLUVIUM Underground sream
-20
-20
-30
-30
30
20
18
15
13
10
6
5
4
3
2
1
0.6
0.4
0.2
0
resistivity (Ohm.m)
Gambar 5.9 Hasil pengukuran resistivitas pada lintasan 8. L9 Distance (m) 20
40
60
80
100
120
140
160
180
0
0
Depth (m)
RECLAIM -20
-20
MARINE ALLUVIUM
-40
-40
resistivity (Ohm.m)
Gambar 5.10 Hasil pengukuran resistivitas pada lintasan 9. 20
L10 Salt water intrusion/ brackish water 10
20
30
Distance (m) 40
50
60
70
80
90
Detph (m)
0
0
-10
-10
-20
-20
MARINE ALLUVIUM -30
-30
resistivity (Ohm.m)
Gambar 5.11 Hasil pengukuran resistivitas pada lintasan 10.
L11 Salt water intrusion/ brackish water 10
20
30
Distance (m) 40
50
60
70
80
90
Depth (m)
0
0
-10
-10
MARINE ALLUVIUM -20
-20
resistivity (Ohm.m)
Gambar 5.12 Hasil pengukuran resistivitas pada lintasan 11. Catatan: Leachate resistivity values = <1 ohm.m Salt water intrusion/ brackish water = <2 ohm.m Marine alluvium resistivity values = 3-30 ohm.m Reclaim materials resistivity values = >6 ohm.m
21
5.1.2 Data Geokimia. Selain pengambailan data geofisika, juga dilakukan pengambilan data geokimia yaitu dengan mengambil sampel air pada sumur-sumur pendudukan maupun sumur kontrol yang ada di lokasi TPA. Adapun lokasi pengambilan sampel air ada pada Tabel 5.1. dan hasil pengukuran beberapa parameter geokimia seperti pada Tabel 5.2. Adapun standart atau baku mutu untuk sampel air yang digunakan adalah: Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 492/Menkes/Per/IV/2010 dan PPRI No. 82 tahun 2001 Kelas I.
Table 5.1 Lokasi pengambila sampel air dikawasan penelitian.
Sample ID
Latitude
Longitude
Air (1)
050 34’ 45.7” N
950 18’ 51.9” E
Air (2)
050 34’ 43.9” N
950 18’ 51.6” E
Air (3)
050 34’ 38.5” N
950 19’ 03.6” E
Air (4) Air (5)
050 34’ 41.5” N 050 34’ 38.6” N
950 19’ 04.7” E 950 19’ 12.6” E
Air (6)
050 34’ 38.0” N
950 19’ 12.0” E
Air (7)
050 34’ 21.6” N
950 19’ 19.9” E
Air (8)
050 33’ 53.7” N
950 19’ 03.6” E
Table 5.2. Hasil pengukuran geokimia (kualitas air) di lokasi dan sekitar lingkungan TPA). No
Parameter
1 2
pH TDS (mg/l) Nitrates, NO3 3 (mg/l) 4 NH3-N (mg/l) 5 PO4 (mg/l) 6 BOD (mg/l) 7 COD (mg/l) Iron, Fe 8 (mg/l) Note: ND = Not Detected
Air(1) 6.66 2760
Air(2) 8.64 1398
ND 0.7778 2.03333 0.5631 1.6 0.0892
Hasil Air(5) 7.60 682
Air(3) 7.61 1156
Air(4) 7.87 181
Air(6) 7.42 538
ND
1.5
6
16
13
19.6068 5.9 14.6667 44 7.1555
1.1880 7 0.8130 2.4 0.1706
1.0171 15.4 0.8130 2.4 0.1880
3.4103 87 1.0667 3.2 0.2520
1.3675 4.3667 0.4878 1.6 0.3153
Air(8) 7.75 75
Metode analsis pH meter Potensiometri
10
ND
Spektrometri
5.8373 15.9333 0.6504 1.6 0.2423
2.9915 20.6667 0.8943 2.4 0.1531
Nessler Spektrometri Winkler CODMn AAS
Air(7) 8.02 116
Selanjutnya dari sample air yang diambil di lapangan tersebut, dilakukan pengujian di Laboratorium Kimia, Bagian Analisis dan Kajian Kimia, dan data-data yang dihasilkan untuk masing-masing parameter di tunjukkan pada Gambar 5.13-5.20 dan lokasi pengambilan data pada Gambar 5.21 di bawah.
22
jarak elekroda potensial 2 dan elektroda arus 2. Secara umum dapat dilihat seperti Gambar 5.22.
Gambar 5.22 Gambaran lay out konfigurasi atau susunan elektroda arus dan potensial.
Dengan model sintetik ini, kemudian dilakukan proses inversi dengan menggunakan perangkat lunak Res2Dinv, yang mengasilkan penampang 2D dari nilai resistivitas sebenarnya (true resistivity). Hasil inversi ini secara vertikal dapat menunjukkan kedalaman dan sebaran resistivitas sebenarnya. Keluaran hasil inversi ini juga merupakan akumulasi jarak elektroda, kedalaman penetrasi dan nilai resistivitas sebenarnya (true resistivity). Hasil pengukuran dan hasil inversi untuk lokasi di dalam TPA sebanyak 7 lintasan menunjukkan citra bawah permukaan 2D (Gambar 5.2 - 5.8) dan pada lokasi di lingkungan sekitar TPA sebanyak 4 linatsan (Gambar 5.9 -5.12) . Terlihat bahwa kedalaman yang diperoleh untuk semua lintasan pengukuran adalah sekitar 20-40 m dengan panjang lintasan 100-200 m. Lintasan L1 dan L2 terletak pada bagian Barat, L3 terletak pada bagian Barat Laut, L4 terletak pada bagian Selatan, L5 di bagian Tenggara, L6 di bagian Selatan dan L7 di bagian Timur. Dengan nilai penampang resistivitas yang relatif rendah yaitu 0-30 Ωm. Pada penampang tersebut, nilai resistivitas pada bagian permukaan (kedalaman sekitar 0-5 m) dengan nilai resistivitas ≥ 6,0 Ωm. Linatsan L8 – L11 diluar lokasi TPA dengan nilia resistivitas yang relatif mirip, namun dengan interpretasi yang sedikit berbeda. Berdasarkan citra struktur bawah permukaan tersebut dan berdasarkan literatur (Reynold, 1997) dapat diketahui bahwa yang lapisan bawah pemukaan tersebut berupa material lempung, yang diinterpretasikan merupakan reclaim material. Material ini merupakan batuan/tanah atau sedimen yang terdeposit akibat proses gravitasi, terpecah-pecah dan menumpuk oleh berbagai proses dan membentuk lapisan tanah baru. Lapisan ini terletak secara tidak teratur di beberapa tempat di bagian permukaan pada setiap lintasan. Sedangkan bagian lain, menunjukkan 28
adanya intrusi air laut, karena lokasi penelitian juga sangat berdekatan dengan laut dan muara sungai, dimana pengaruh pasang surut air laut sangat besar. Selanjutnya pada bagian bawah dari setiap perlapisan, terdapat suatu material dengan penampang resisvitas sekitar 3-30 Ωm yang diinterpretasikan sebagai material marine alluvium, yang merupakan tanah yang telah mengalami degradasi oleh pencampuran air asin dan air payau. Hal ini sesuai dengan keberadan lokasi studi yang terletak berdekatan dengan kawasan pantai. Penampang lapisan dengan material ini terlihat jelas terutama pada lintasan L1, L2, L3 dan L7. Keberadaan ini juga disebabkan karena keberadaan lokasi lintasan ini yang secara langsung merupakan kawasan yang diduga dipengaruhi oleh intrusi air laut. Sedangkan untuk lokasi disekitar TPA (lintasan L8, L9, L10, dan L11) menunjukkan pola yang hampir sama. Bahkan, untuk lokasi ini (di lingkungan TPA) menunjukkan pada jarak (radius) sekitar 1 km bahkan setelah melewati sungai yang membatasi lokasi TPA dan lingkungan penduduk menunjukkan nilai di duga masih terpengaruh. Namun demikian untuk lokasi yang lebih jauh 1 km menunjukkan lokasi yang aman dari kontaminasi. Penampang resistivitas lain yang sangat penting adalah beberapa bagian yang merupakan titik-titik lokasi yang sangat konduktif. Lapisan ini mempunyai nilai resistivitas sekitar 0.2-0.6 Ωm, yang di interpretasikan sebagai lokasi utama tempat merembesnya lindi (leachate) dan merupakan kawasan tempat aliran kontaminan. Titik-titik aliran lindi ini didapati di semua lintasan pada kedalaman sekitar 10-20 m. Dengan pengaruh elevasi dan gravitasi maka infiltasi aliran lindi ini akan sangat berpotensi untuk mempengaruhi keadaan air tanah atau akifer. Secara umum karakteristik dan model perambatan atau perembesan air limbah polutan (leachate) dapat pada Gambar 5.23 dibawah. Dimana pada model ini berdasarkan data yang ada menunjukkan teridentifikasinya pola aliran lindi (leachate) dengan model 2D berupa garis kuning, dan pola aliran yang bergaris biru dideteksi dari lokasi utama TPA ke arah lingkungan sekitar, baik sungai dan lingkungan pemukiman.
29
Gambar 5.23 Karakteristik dan Model aliran air polutan (leachate) dari lokasi pembuangan akhir Gampong Jawa Banda Aceh.
Dari penelitian ini didapatkan model geofisika yang menunjukkan karakteristik secara detail bawah permukaan (subsurface) terutama distribusi dan pola akumulasi lindi cair (DISPALL atau Distribution Pattern Of Liquid Leachate). Model ini menunjukan citra penampang 2-D pada kawasan tersebut yang terdiri dari 2 lapisan utama yaitu: 1.
Lapisan bagian atas (top layer) yang terdiri dari material reclaim yang terdiri dari clayey sand (lempung pasiran) dan lateritic clay (lempung latritik) dengan nilai resistivitas < 20 Ωm dan berada pada kedalaman < 20 m.
2.
Lapisan bagian bawah (bottom layer) yang terdiri dari marine alluvium atau material lempung yang telah mengalami degradasi akibat intrusi air laut dan air payau. Nilai resistivitasnya > 20 Ωm
3.
Pada bagian luar TPA, menunjukkan lapisan yang terintrusi air laut pada kedalaman sekitar 10-20 m terutama pada jarak >1 km dari lokasi pembuangan.
30
Dan pada lapisan atas tersebut dengan nilai resistivitas yang fluktuatif dan bervariasi dan diinterpretasi sebagai area yang mengalami kontaminasi disebabkan oleh infiltasi oleh lindi (leachate) dan bervariasi dengan intrusi air laut (seawater). Secara geokimia, secara dapat terlihat dari masing-masing parameter seperti berikut: PH air yang merupakan ukuran keseimbangan asam-basa, dimana pada kondisi perairan alami, nilai ini sangat dipengaruhi oleh adanya sistem keseimbangan karbon dioksida-bikarbonat karbonat. Meningkatnya konsentrasi karbon dioksida akan menyebabkan nilai pH yang lebih rendah, demikian juga sebaliknya. Faktor lain yang menentukan adalah suhu. Dalam air murni, penurunan pH sekitar 0,45 maka biasanya akibat kenaikan suhu 25 ° C. Dalam air dengan kapasitas buffer (penyangga) yang ditentukan oleh bikarbonat, karbonat, dan ion hidroksil, ternyata pengaruh suhu ini dimodifikasi. pH air baku terletak dalam kisaran 6,5-8,5. Secara umum nilai pH yang didapatkan masih dalam batas yang diizinkan, dimana nilai tertinggi pada stasiun 7 dengan nilai 8,02. Untuk paramaeter TDS merupakan terdiri dari garam anorganik dan sejumlah kecil bahan organik terlarut lainnya dalam air. Konstituen utama biasanya terdiri dari kation kalsium, magnesium, natrium dan kalium dan anion karbonat, bikarbonat, klorida, sulfat dan, khususnya di tanah, .TDS nitrat dinyatakan dalam satuan mg per satuan volume air (mg / L) atau juga disebut sebagai bagian per juta (ppm). Hasil pengukuran dilapangan menunjukkan nilai TDS pada lokasi utama TPA mempunyai nilai yang sangat tinggi dan melebihi ambang yang diizinkan yaitu pada stasiun 1 dan stasiun 2 dengan nilai masing-masing 2760 dan 1398 mg/L. Sedangkan di luar lokasi mempunyai nilai yang relatif rendah dan masih dalam batasan yang diizinkan.
Nitrat (NO3) merupakan bahan kimia alami yang terbuat dari nitrogen dan oksigen. Nitrat juga ditemukan di udara, tanah, air, dan tanaman. Sebagian besar nitrat di lingkungan kita berasal dari dekomposisi tanaman dan kotoran hewan. Nitrat biasa digunakan sebagai pupuk.Untuk hasil pengukuran di luar lokasi pembuangan umumnya mempunyai nilai yang relatif rendah, sedangkan pada bagian dalam TPA tidak terdapat parameter ini. Parameter amonia nitrogen (NH3-N), adalah ukuran untuk jumlah amonia, yang merupakan polutan beracun sering ditemukan pada cairan kontamina (lindi) di TPA dan produk limbah lainnya seperti limbah, pupuk cair dan produk-produk limbah organik cair lainnya. Paramater ini sangat mengganggu kesehatan manusia, yang juga diukur pada sungai atau danau, atau penampungan air buatan lainnya. Parameter ini juga sangat perlu diperhatikan pada pengolahan limbah dan pemurnian sistem air. Untuk parameter ini juga
31
sebagian besar mempunyai nilai yang melebihi ambang batas, dengan nilai tertinggi pada stasiun 2 dengan nilai mencapai 19,6068 mg/L Sedangkan fosfor adalah salah satu elemen kunci yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan hewan. Fosfat PO4 terbentuk dari elemen ini. Fosfat ada dalam tiga bentuk: ortofosfat, metaphosphate (atau polifosfat) dan organik terikat fosfat. Masing-masing senyawa mengandung fosfor dalam rumus kimia yang berbeda. Biasanya unsur ini diproduksi oleh proses alam dan ditemukan dalam limbah, dan berbahaya bagi kesehatan manusia dan organisme air. Parameter terukur pada semua stasiun juga menunjukkan nilai yang relatif tinggi, dimana nilai maksimum pada stasiun 5 hingga mencapai 87 mg/L. Sedangkan untuk paramater BOD secara umum mempunyai nilai yang relatif rendah, hal ini didapat pada semua stasiun pengukuran. Hingga saat ini, oksigen kimia (COD), yang dapat menunjukkan tingkat pencemaran air yang terkontaminasi oleh polutan reduktif, adalah penentu utama yang digunakan untuk menilai pencemaran organik dalam sistem berair dan merupakan salah satu parameter yang paling penting dalam pemantauan air (APHA , 1989). Hasil pengukuran didapati nilai yang relatif rendah untuk semua stasiun, kecuali pada stasiun 2 dengan nilai hingga 44 mg/L. Selanjutnya, air laut mengandung sekitar 1-3 ppb besi. Jumlah tersebut sangat bervariasi pada setiap lautan. Di sungai, biasa mengandung sekitar 0.5-1 ppm zat besi, dan air tanah mengandung 100 ppm. Air minum tidak boleh melebihi 200 ppb besi. Kebanyakan alga mengandung antara 20-200 ppm zat besi, dan beberapa ganggang coklat biasa terakumulasi hingga 4000 ppm. Besi adalah bagian penting dari sifat organik dan anorganik yang umumnya larut dalam air. Hasil pengukuran nilai Fe di lokasi penelitian, walaupun masih dalam batasan yang diizinkan, tetapi perlu kehati-hatian karena sebagian tempat nilainya hampir melebihi batas. Secara keseluruhan dari semua parameter yang diukur, dapat disimpulkan bahwa air di sekitar lokasi TPA perlu menjadi perhatian dan kehati-hatian bila digunakan untuk air minum. Karena dampak yang ditimbulkan akan menyebabkan sumber penyakit dan sumber bencana, apalagi bila digunakan dalam jangkan panjang. Untuk itu direkomendasikan pada masyakarat sekitar lokasi penelitian untuk menghindari penggunaan air sumur sebagai konsumsi air minum.
32
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian mengenai Penguatan Mitigasi Bencana Di Aceh: Studi Karakteristik Dispall (Distribution Pattern Of Liquid Leachate ) Berdasarkan Sifat Konduktivitas Listrik Bawah Permukaan (Subsurface) dapat diambil kesimpulan: 1. Model geofisika menunjukan citra penampang 2-D pada kawasan tersebut yang terdiri dari 2 lapisan utama yaitu: a. Lapisan bagian atas (top layer) yang terdiri dari material reclaim yang terdiri dari clayey sand (lempung pasiran) dan lateritic clay (lempung latritik) dengan nilai resistivitas < 20 Ωm dan berada pada kedalaman < 20 m. b. Lapisan bagian bawah (bottom layer) yang terdiri dari marine alluvium atau material lempung yang telah mengalami degradasi akibat intrusi air laut dan air payau. Nilai resistivitasnya > 20 Ωm. 2. Didapatkan perlapisan dengan nilai resistivitas relative rendah berfluktuatif dan bervariasi, diinterpretasi sebagai area terakumulasinya kontaminasi akibat infiltasi lindi (leachate). 3. Secara umum model geofisika tersebut menunjukkan hasil dengan sangat signifikan dan sesuai dengan kondisi riil terkait dengan keadaan geologi, topografi, dan posis geografis lokasi studi. 4. Karakteristik pada model geofisika citra 2D bawah permukaan (subsurface) tersebut menunjukkan pola distribusi dan akumulasi lindi cair (DISPALL atau Distribution Pattern Of Liquid Leachate) di lokasi studi. 5. Pada bagian luar (dilingkungan) TPA, menunjukkan lapisan yang terintrusi air laut dan pada beberpa lokasi sebagai aliran lindi, pada kedalaman sekitar 10-20 m terutama pada jarak >1 km dari lokasi pembuangan.
Setelah dilakukan penelitian ini maka penulis merasa perlu untuk memberikan saran pengembangan selanjutnya yaitu: 1. Sangat diperlu penelitian lanjutan untuk tahap kedua, untuk pengembangan lebih luas metode geofisika dan geokimia dengan penambahan beberapa parameter penting sesuai dengan rencana penelitian tahap selanjutnya. 2. Perlu dukungan data-data sekunder untuk melengkapi analisis yang lebih dalam pada tahapan selanjutnya.
33