PUTUSAN HAKIM MENYATAKAN DAKWAAN ODITUR MILITER TIDAK DAPAT DITERIMA ATAS DASAR PENUNTUTAN DIANGGAP DALUARSA DALAM PERKARA PERZINAHAN
Riko Wahyu Bima Anggriawan, Lionel Putra Dirgantara ABSTRAK Penelitian hukum ini bertujuan: Untuk mengetahuai apakah penuntutan dianggap daluarsa sebagai dasar hakim menyatakan dakwaan oditur militer tidak dapat diterima sudah memenuhi ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dengan pendekatan kasus. Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research), Penulis menggunakan metode logika deduktif dalam penelitian ini dengan teknik analisis bahan hukum secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan bahwa penuntutan yang dianggap daluarsa sebagai dasar hakim menyatakan dakwaan Oditur Militer tidak dapat diterima dalam Putusan Pengadilan Militer III Surabaya Nomor: 68K/PMT.III/Bdg/AD/VI/2009 telah sesuai dengan hukum acara pidana militer yang berlaku bahwa pengaduan yang dianggap Pro yustisia adalah pengaduan dari Pelapor ke Denpom VII/1Manado, dan dalam pembahasan berikutnya hal-hal yang dapat menghapuskan pidana berimplikasi pada status terdakwa yang lepas dari segala tuntutan hukum, maka daluwarsanya penuntutan merupakan salah satu hal yang menghapuskan hak penuntutan pidana terhadap status terdakwa MARKUS KAPONG. Dalam kasus ini terdakwa telah melakukan perzinahan dengan saksi I yaitu FARADIBA TANGGULOUW perbuatan tersebut dilakukan pada tahun !998. Kemudian oleh suami saksi I perbuatan terdakwa dilaporkan ke Dan Denkesyah dan ke Kasi Intel Tern 131/stg, namun proses perkara tersebut tidak ada penyelesianya. kemudian pada tahun 2008 melaporkan perbuatan terdakwa ke Denpom V11/1 manado. Kata kunci : Penuntutan, Daluwarsa, Perzinahan ABSTRACT The purposes of this legal research are: 1) to know whether prosecution has considered expired as a basic for the hakim declared the prejudgment unacceptable military prosecutor has complied with the provisions of Law No. 31 of 1997 on Military Justice. This research is a normative legal that is prescriptive with cases approaching. The techniques to collect legal materials used in this research is the literature study (library research), the author uses the deductive logic method in this study with the qualitative analysis technique of legal materials. The results and discussion produced the conclusion that the prosecution has considered expired as a basic for the hakim declared the prejudgment unacceptable military prosecutor on decision of Military Court III Surabaya No: 68K/PMT.III/Bdg/AD/VI/2009 has complied with the procedural of applicable military law that the complaint was considered pro yustisia is complaints from Reporter to Denpom VII/1Manado, and in the subsequent discussion of the things that can eliminate the criminal implications for the accused is free from all prejudgments, so the expired prosecution is an alibi for abolition of the criminal prosecution right for the accused MARKUS KAPONG. In this case the defendant has committed adultery with the first witness FARADIBA TANGGULOUW it was committed in the year 1998. Then by the first witness defendant husband reported to Dan and to Kasi Denkesyah Tern Intel 131 / stg, but no such proceedings penyelesianya. later in 2008 reported the defendant to Denpom V11 / 1 Manado. Keywords: Prosecution, Expired, Adultery. 1
A. PENDAHULUAN Penuntutan pada umumnya merupakan salah satu proses beracara di dalam persidangan yang dilakukan untuk menuntut kepada diri terdakwa atas perbuatan yang telah dilakukan yang dalam hal ini perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana. Dalam lingkungan Peradilan Militer, sebagaimana terdapat pada Pasal 5 dan Pasal 47 UndangUndang nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang berwenang melakukan penuntutan kepada Terdakwa dalam lingkungan Peradilan Militer adalah seorang Oditur. Pada umumnya hak penuntutan yang dilakukan oleh Oditur Militer dianggap sah apabila masih dalam batas waktu penuntutan dan sesuai dengan ketentutan penuntutan yang diatur dalam undang-undang, namun apabila pentuntutan tersebu tidak sesuai dengan undangundang, misalnya penuntutan tersebut telah melewati batas waktu penuntutan yang ditentukan oleh undang-undang, maka secara hukum hak penuntutan tersebut sudah tidak dapat dijalankan kembali, dengan kata lain penuntutan yang dilakukan oleh Oditurat Militer tersebut dianggap
telah
daluwarsa.
Di
dalam
ketentuan Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana (KUHP), daluarsa merupakan salah satu alasan hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan hukuman. Salah satu kasus mengenai penuntutan yang dianggap daluwarsa yang cukup menarik perhatian bagi peneliti ialah kasus pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer III Surabaya Nomor 68-K/PMT.III/Bdg/AD/VI/2009 dengan nama terdakwa yaitu MARKUS KAPONG. Dalam kasus ini, Terdakwa didakwa oleh Oditur Militer dengan surat dakwaan nomor: Dak/28/IV/2009 tertanggal 30 April 2009 yang dalam hal ini terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana perzinahan. Pasalnya, dalam dakwaan tersebut terdakwa yang merupakan prajurit TNI-AD telah melakukan perbuatan intim (perbuatan layaknya suami isteri) dengan FARADIBA TANGGULOUW (Saksi II) yang dalam hal ini Terdakwa juga mengetahui bahwa FARADIBA TANGGULOW sebelumnya sudah memiliki suami yang sah (Akta Perkawinan No.1245/1991, tertanggal 12 Juli 1991) dan memiliki 2 orang anak hasil dari perkawinan tersebut. Perzinahan yang dilakukan oleh Terdakwa bersama-sama dengan FARADIBA TANGGULOUW dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, yang pertama dilakukan pada tahun 1998 di Hotel Matuari Manado, kemudian pada tahun yang sama antara Terdakwa dengan FARADIBA TANGGULOW di Hotel Intan Bitung. Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dan FARADIBA TANGGULOUW diketahui oleh suami (Saksi I) dari FARADIBA TANGGULOUW atas pemberitahuan dari FARADIBA TANGGULOW sendiri, kemudian oleh Suami FARADIBA TANGGULOUW 2
perbuatan yang dilakukan Terdakwa tersebut diadukan ke Dan Denkesyah, kemudian melaporkannya ke Kasi Intel Tern 131/Stg, namun proses perkara tersebut tidak ada penyelesaiannya, kemudian pada saat pergantian kepemimpinan Dan Denkesyah ke Letkol Ckm
Dr.Aris
Lantemona
memerintahkan
kepada
Saksi
I
(Suami
FARADIBA
TANGGULOUW) untuk melaporkan perbuatan terdakwa tersebut ke Denpom VII/1 Manado, kemudian pada tanggal 24 April 2008 melaporkan perbuatan Terdakwa tersebut ke Denpom VII/1 manado untuk diproses menurut hukum yang berlaku. Atas dasar dakwaan Oditur Militer yang didakwakan kepada diri Terdakwa tersebut, Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan eksepsi yang salah satu poin dalam eksepsinya menerangkan bahwa penuntutan kepada diri Terdakwa sudah kadaluarsa (lewat 10 tahun) antara kejadian dengan penuntutan karena sesuai dengan Pasal 78 KUHP hak menuntut hukuman gugur (tidak dapat dijalankan lagi) sesudah 6 (enam) tahun, bagi kejahatan yang terancam hukuman denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari 3 tahun. Eksepsi yang diajukan oleh Pensihat Hukum Terdakwa didasarkan bahwa pengaduan dari pelapor Serma Ferry Royke Dengah kepada Ankumnya Dandenkesyah bukan merupakan laporan Pro Yustitia karena seharusnya sesuai dengan Undang-Undang nomo 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dilaporkan ke Denpom sebagai penyidik untuk pemberkasan perkara selanjutnya penuntutan dilakukan di Pengadilan Militer. Pengaduan oleh pelapor Serma Ferry Royke Dengah ke Denpom VII/1 Manado sudah kadaluarsa karena laporan tersebut seperti dalam berkas perkara (BAP) Polisi Militer Nomor BP-39/A37/XII/2008, tanggal 5 Desember 2008 tertulis laporan tanggal 24 April 2008 yang artinya kejadian perzinahan yang diketahui oleh pelapor adalah tahun 1999, seharusnya laporan tersebut paling lambat dilaporkan enam bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan. Kemudian atas eksepsi yang diajukan oleh Penasihat Hukum Terdakwa tersebut, Oditur Militer menanggapinya bahwa Pengadu Serma Ferry sejak mengetahui adanya perbuatan Terdakwa pada bulan November 1999 langsung mengadukan perbuatan Terdakwa ke Komandan satuannya (Ankumnya) yaitu Dandenkesyah, selanjutnya oleh Ankumnya diarahkan melapor ke Intel Korem 131/STG, sehingga pengadu diperiksa oleh Staf Intel Korem 131/STG dan dari pengaduan Serma Ferry tersebut ada rangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh Staf Intel Korem, sehingga muncul adanya kesimpulan bahwa Terdakwa Pelda Markus Kapong Nrp 546514 anggota Korem 131/STG bersalah telah melakukan pelangaran asusila dengan sesame isteri prajurit dan berakibat lahirnya seorang putera, oleh karenanya Terdakwa dijatuhi hukuman disiplin berat selama 14 (empat belas) hari (Vide Surat Keputusan Nomor SKHD/02/111/2000 tanggal 1 Maret 2000) tentang Hukuman Disiplin 3
yang dikeluarkan dan ditangatangani oleh Komandan Korem 131/STG (Kolonel Inf Geston Manurung Nrp 27116 selaku Ankum). Atas dasar tersebut Oditur Militer berpendapat bahwa tenggang waktu pengaduan yang disyaratkan oleh Undang-Undang telah terpenuhi oleh pengadu, sehingga tidak bisa dikatakan pengaduan tersebut telah lewat waktu atau daluarsa. Kemudian dari seluruh rangkaian pemeriksaan perkara di persidangan, majelis hakim pemeriksa perkara tersebut memutuskan dengan dijatuhkannya Putusan Sela Pengadilan Militer III-17 Manado dalam perkara itu Nomor 31-K/PM.III-17/AD/VI/2009 tertanggal 12 Juni 2009 yang menyatakan bahwa keberatan yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa tersebut diterima dan menyatakan bahwa Dakwaan Oditur Militer tersebut tidak dapat diterima karena telah lewat jangka waktu atau telah daluarsa. Atas dijatuhkannya Putusan Sela Pengadilan Militer III-17 Manado dalam perkara itu Nomor 31-K/PM.III-17/AD/VI/2009 tertanggal 12 Juni 2009, Oditur Militer melakukan upaya perlawanan dengan Akta Perlawanan Nomor AP/01/PM.III-17/AD/VI/2009 tertanggal 12 Juni 2009 ke Pengadilan Militer Tinggi. Namun oleh Majelis Hakim Militer Tinggi dalam putusannya dengan nomor 68-K/PMT.III/BDG/AD/VI/2009 memutuskan bahwa Pengadilan Militer Tinggi menguatkan Putusan Sela Pengadilan Militer III-17 Manado Nomor 31K/PM.III-17/AD/VI/2009 tertanggal 12 Juni 2009 untuk seluruhnya. Atas dasar uraian tersebut, Peneliti tertarik melakukan kajian yang mendalam terhadap penuntutan yang dianggap daluarsa oleh Majelis Hakim Pemeriksa Perkara dalam Pengadilan Militer sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan Oditur Militer tidak dapat diterima dan implikasinya terhadap status terdakwa dan perkaranya dalam perkara perzinahan (studi kasus
dalam
putusan
Pengadilan
Militer
III
Surabaya
nomor
68-
K/PMT.III/BDG/AD/VI/2009). Dalam kasus ini terdakwa didakwa oleh Oditur Militer dengan surat dakwaan nomor: Dak/28/IV/2009 tertanggal 30 April 2009 yang dalam hal ini terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana perzinahan yang kemudian melaporkan perbuatan Terdakwa tersebut ke Denpom VII/1 manado untuk diproses menurut hukum yang berlaku. Atas dasar dakwaan Oditur Militer yang didakwakan kepada diri Terdakwa tersebut, Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan eksepsi yang
menerangkan bahwa penuntutan
kepada diri Terdakwa sudah kadaluarsa (lewat 10 tahun) antara kejadian dengan penuntutan. Kemudian atas Eksepsi tersebut, Oditur Militer menanggapinya dan berpendapat bahwa tenggang waktu pengaduan yang disyaratkan oleh Undang-Undang telah terpenuhi oleh pengadu, sehingga tidak bisa dikatakan pengaduan tersebut telah lewat waktu atau daluarsa. 4
Majelis hakim pemeriksa perkara tersebut memutuskan dengan dijatuhkannya Putusan Sela Pengadilan Militer III-17 Manado dalam perkara itu Nomor 31-K/PM.III17/AD/VI/2009 yang menyatakan bahwa keberatan yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa tersebut diterima dan menyatakan bahwa Dakwaan Oditur Militer tersebut tidak dapat diterima karena telah lewat jangka waktu atau telah daluarsa. Kemudian atas dijatuhkannya Putusan Sela Pengadilan Militer III-17 Manado dalam perkara itu Nomor 31K/PM.III-17/AD/VI/2009, Oditur Militer melakukan upaya perlawanan ke Pengadilan Militer Tinggi. Namun oleh Majelis Hakim Militer Tinggi dalam putusannya dengan nomor 68K/PMT.III/BDG/AD/VI/2009 memutuskan bahwa Pengadilan Militer Tinggi menguatkan Putusan Sela Pengadilan Militer III-17 Manado Nomor 31-K/PM.III-17/AD/VI/2009 tertanggal 12 Juni 2009 untuk seluruhnya. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui penuntutan dianggap daluarsa sebagai dasar hakim menyatakan dakwaan oditur militer tidak dapat diterima sudah memenuhi ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
B. METODOLOGI Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif dan terapan dengan pendekatan studi kasus. Sumber penelitian yang digunakan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus maka pengumpulan bahan hukum yang utama adalah dengan mengumpulkan putusan-putusan pengadilan mengenai isu hukum yang dihadapi, dengan menggunakan teknik analisis dengan metode silogisme yang menggunakan pola berfikir deduktif (Peter Mahmud Marzuki, 2013:55-90).
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. HASIL PENELITIAN Mencermati kasus tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh terdakwa, yang merupakan perkara tindak pidana yang telah diputus dalam Putusan Pengadilan Militer III Surabaya Nomor: 68-K/PMT.III/Bdg/AD/VI/2009, terdapat poin-poin penting mengenai kesesuaian antara penuntutan yang dianggap daluarsa sebagai dasar hakim menyatakan dakwaan Oditur Militer tidak dapat diterima terhadap ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, serta implikasi penuntutan yang dianggap daluarsa sebagai dasar Hakim menyatakan dakwaan oditur militer tidak dapat diterima terhadap status terdakwa dan perkaranya dalam perkara yang telah 5
diputus
dalam
Putusan
Pengadilan
Militer
III
Surabaya
Nomor:
68-
K/PMT.III/Bdg/AD/VI/2009. Adapun identitas dari pelaku dalam kasus ini dengan identitas sebagai berikut : nama : Markus Kapong, Pangkat/Nrp: Pelda/ 546514, jabatan : Bati Tim Intel, kesatuan : Korem 131/ Stg, tempat/ tangal lahir : Manado, 7 Januari 1964, kewarganegaraan : Indonesia, jenis Kelamin : laki-laki, agama : Kristen Protestan, tempat tinggal : Rumdis Intel Paniki Kec. Mapenget Kota Manado. Kasus ini adalah kasus pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer III Surabaya Nomor 68-K/PMT.III/Bdg/AD/VI/2009 dengan nama terdakwa yaitu MARKUS KAPONG. Dalam kasus ini, Terdakwa didakwa oleh Oditur Militer dengan surat dakwaan nomor: Dak/28/IV/2009 tertanggal 30 April 2009 yang dalam hal ini terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana perzinahan. Dalam dakwaan tersebut terdakwa yang merupakan prajurit TNI-AD telah melakukan perbuatan intim (perbuatan layaknya suami isteri) dengan FARADIBA TANGGULOUW (Saksi II) yang dalam hal ini Terdakwa juga mengetahui bahwa FARADIBA TANGGULOW sebelumnya sudah memiliki suami yang sah (Akta Perkawinan No.1245/1991, tertanggal 12 Juli 1991) dan memiliki 2 orang anak hasil dari perkawinan tersebut. Perzinahan yang dilakukan oleh Terdakwa bersama-sama dengan FARADIBA TANGGULOUW dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, yang pertama dilakukan pada tahun 1998 di Hotel Matuari Manado, kemudian pada tahun yang sama antara Terdakwa dengan FARADIBA TANGGULOW di Hotel Intan Bitung. Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dan FARADIBA TANGGULOUW diketahui oleh suami (Saksi I) dari FARADIBA TANGGULOUW atas pemberitahuan dari FARADIBA TANGGULOW sendiri, kemudian oleh Suami FARADIBA TANGGULOUW perbuatan yang dilakukan Terdakwa tersebut diadukan ke Dan Denkesyah, kemudian melaporkannya ke Kasi Intel Tern 131/Stg, namun proses perkara tersebut tidak ada penyelesaiannya, kemudian pada saat pergantian kepemimpinan Dan Denkesyah ke Letkol Ckm Dr.Aris Lantemona memerintahkan kepada Saksi I (Suami FARADIBA TANGGULOUW) untuk melaporkan perbuatan terdakwa tersebut ke Denpom VII/1 Manado, kemudian pada tanggal 24 April 2008 melaporkan perbuatan Terdakwa tersebut ke Denpom VII/1 manado untuk diproses menurut hukum yang berlaku. Atas dasar dakwaan Oditur Militer yang didakwakan kepada diri Terdakwa tersebut, Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan eksepsi yang salah satu poin dalam eksepsinya menerangkan bahwa penuntutan kepada diri Terdakwa sudah kadaluarsa 6
(lewat 10 tahun) antara kejadian dengan penuntutan karena sesuai dengan Pasal 78 KUHP hak menuntut hukuman gugur (tidak dapat dijalankan lagi) sesudah 6 (enam) tahun, bagi kejahatan yang terancam hukuman denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari 3 tahun. Eksepsi yang diajukan oleh Pensihat Hukum Terdakwa didasarkan bahwa pengaduan dari pelapor Serma Ferry Royke Dengah kepada Ankumnya Dandenkesyah bukan merupakan laporan Pro Yustitia karena seharusnya sesuai dengan Undang-Undang nomo 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dilaporkan ke Denpom sebagai penyidik untuk pemberkasan perkara selanjutnya penuntutan dilakukan di Pengadilan Militer. Pengaduan oleh pelapor Serma Ferry Royke Dengah ke Denpom VII/1 Manado sudah kadaluarsa karena laporan tersebut seperti dalam berkas perkara (BAP) Polisi Militer Nomor BP-39/A37/XII/2008, tanggal 5 Desember 2008 tertulis laporan tanggal 24 April 2008 yang artinya kejadian perzinahan yang diketahui oleh pelapor adalah tahun 1999, seharusnya
laporan
tersebut paling lambat dilaporkan enam bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan. Kemudian atas eksepsi yang diajukan oleh Penasihat Hukum Terdakwa tersebut, Oditur Militer menanggapinya bahwa Pengadu Serma Ferry sejak mengetahui adanya perbuatan Terdakwa pada bulan November 1999 langsung mengadukan perbuatan Terdakwa ke Komandan satuannya (Ankumnya) yaitu Dandenkesyah, selanjutnya oleh Ankumnya diarahkan melapor ke Intel Korem 131/STG, sehingga pengadu diperiksa oleh Staf Intel Korem 131/STG dan dari pengaduan Serma Ferry tersebut ada rangkaian pemeriksaan yang dilakukan oleh Staf Intel Korem, sehingga muncul adanya kesimpulan bahwa Terdakwa Pelda Markus Kapong Nrp 546514 anggota Korem 131/STG bersalah telah melakukan pelangaran asusila dengan sesame isteri prajurit dan berakibat lahirnya seorang putera, oleh karenanya Terdakwa dijatuhi hukuman disiplin berat selama 14 (empat belas) hari (Vide Surat Keputusan Nomor SKHD/02/111/2000 tanggal 1 Maret 2000) tentang Hukuman Disiplin yang dikeluarkan dan ditangatangani oleh Komandan Korem 131/STG (Kolonel Inf Geston Manurung Nrp 27116 selaku Ankum). Atas dasar tersebut Oditur Militer berpendapat bahwa tenggang waktu pengaduan yang disyaratkan oleh Undang-Undang telah terpenuhi oleh pengadu, sehingga tidak bisa dikatakan pengaduan tersebut telah lewat waktu atau daluarsa. Kemudian dari seluruh rangakaian pemeriksaan perkara di persidangan, majelis hakim pemeriksa perkara tersebut memutuskan dengan dijatuhkannya Putusan 7
Sela Pengadilan Militer III-17 Manado dalam perkara itu Nomor 31-K/PM.III17/AD/VI/2009 tertanggal 12 Juni 2009 yang menyatakan bahwa keberatan yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa tersebut diterima dan menyatakan bahwa Dakwaan Oditur Militer tersebut tidak dapat diterima karena telah lewat jangka waktu atau telah daluarsa. Atas dijatuhkannya Putusan Sela Pengadilan Militer III-17 Manado dalam perkara itu Nomor 31-K/PM.III-17/AD/VI/2009 tertanggal 12 Juni 2009, Oditur Militer melakukan upaya perlawanan dengan Akta Perlawanan Nomor AP/01/PM.III17/AD/VI/2009 tertanggal 12 Juni 2009 ke Pengadilan Militer Tinggi. Namun oleh Majelis
Hakim
Militer
K/PMT.III/BDG/AD/VI/2009
Tinggi
dalam
memutuskan
putusannya bahwa
dengan
Pengadilan
nomor
Militer
68-
Tinggi
menguatkan Putusan Sela Pengadilan Militer III-17 Manado Nomor 31-K/PM.III17/AD/VI/2009 tertanggal 12 Juni 2009 untuk seluruhnya. Amar putusan sela dalam kasus ini, Majelis Hakim menjatuhkan Putusan sela Pengadilan Militer III-17 Manado dalam perkara itu Nomor 31-
K/PM.III-
17/AD/VI/2009, tanggal 12 Juni 2009, yang amarnya berbunyi sebagai berikut: 1) Menerima keberatan yang diajukan oleh Sdr. Kapten Chk Novy Mewoh, S.H. Nrp 1100000080470 selaku Penasihat Hukum Terdakwa, dan 2) Menyatakan Pengadilan Militer III-17 Manado: a) Dakwaan Oditur Militer tidak dapat diterima, dan b) Perkara tidak diperiksa lebih lanjut. Amar putusan banding dalam kasus ini yaitu : 1) Menerima secara formal permohonan perlawanan yang diajukan oleh Oditurat Militer MUH. NIRWAN SAID, S.H. Kapten Sus Nrp 524418 pada Oditurat Militer III-17 Manado; 2) Menolak keberatan yang diajukan oleh MUH. NIRWAN SAID, S.H Kapten Sus Nrp 524418 selaku Oditur Militer pada Oditurat Militer III-17 Manado; 3) Menguatkan Putusan Sela Pengadilan Militer III-17 Manado Nomor Put/31-K/PM.III-17/AD/VI/2009, tanggal 12 Juni 2009 untuk seluruhnya; dan Memerintahkan kepada Panitera untuk mengirim salinan putusan ini beserta berkas perkaranya ke Kepala Pengadilan Militer III-17 Manado.
2. PEMBAHASAN Penuntutan Dianggap Daluarsa Sebagai Dasar Hakim Menyatakan Dakwaan Oditur Militer Tidak Dapat Diterima 8
Hasil penelitian ini, kesesuaian antara penuntutan yang dianggap daluarsa sebagai dasar hakim menyatakan dakwaan Oditur Militer tidak dapat diterima dalam Putusan Pengadilan Militer III Surabaya Nomor: 68-K/PMT.III/Bdg/AD/VI/2009 terhadap ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pemaparkan kesesuaian tersebut dilakukan dengan menganalisa poin-poin penting antara penuntutan yang dianggap daluarsa sebagai dasar hakim menyatakan dakwaan Oditur Militer tidak dapat diterima dalam Putusan Pengadilan Militer III Surabaya Nomor: 68-K/PMT.III/Bdg/AD/VI/2009 dengan ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Oditur Militer dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya menurut UndangUndang nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer berdasarkan Pasal 64 menjelaskan bahwa Oditur Militer bertugas dan berwenang untuk melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim atau putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, dan melakukan pemeriksaan tambahan, selain itu Oditur Militer memiliki tugas dan wewenang untuk dapat melakukan penyidikan. Dalam hal melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 64 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer khususnya dalam hal melakukan penuntutan, Sesuai dengan hukum acara yang berlaku bahwa berdasarkan penjelasan umum pada Undang-Undang nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menjelaskan dalam butir (b) bahwa “Undang-undang nomor 6 Tahun 1950 tentang menetapkan Undang-undang Darurat tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan Tentara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1958 tentang Perubahan Undang-Undang nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan yang menyatakan bahwa hukum acara pidana pada peradilan ketentaraan berlaku sebagai pedoman Het Herziene Inlandsch (HIR) dengan perubahan dalam Undang-undang tersebut”, hal ini artinya keseluruhan rangkaian proses pemeriksaan persidangan dalam peradilan militer yang dalam hal ini terkait dengan kewenangan Oditur Militer dalam melakukan penuntutan, maka seperti halnya dalam hukum acara pidana pada umumnya Oditur Militer bertugas untuk menyusun surat dakwaan terlebih dahulu. Kemudian mencermati Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer menjelaskan bahwa “Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuanketentuan hukum pidana umum, termasuk bab kesembilan dari buku pertama Kitab 9
Undang-undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang”, hal ini artinya jelas bahwa dalam peradilan militer juga berpedoman pada hukum pidana pada umumnya. Menelaah pada bantahan/ eksepsi dari Penasihat Hukum terdakwa yang dinyatakan dalam sidang pengadilan yang dilakukan untuk membantah dakwaan Oditur militer, sebagai berikut: a) Bahwa secara formal surat Dakwaan Oditur Militer Nomor Dak/28/IV/2009 batal demi hukum karena delik atau perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 ayat (1) ke-2 a KUHP adalah delik aduan mutlak yang berarti bahwa pengaduan adalah syarat mutlak agar dapat dituntut dan diajukan dalam persidangan Pengadilan Militer. Meskipun ada pengaduan dari pihak suami, sesuai dengan Pasal 284 ayat (5) pengaduan tersebut tidak diindahkan karena pengaduan tersebut tidak didahului dengan perceraian antara pihak pengadu dengan saksi-2. b) Bahwa surat Dakwaan Oditur Militer kabur karena untuk nama isteri dari pelapor tidak ada kejelasan atau setidak-tidaknya tidak jelas siapa nama sebenarnya isteri pelapor yang sudah melakukan perzinahan dengan Terdakwa, ini dapat kita lihat di mana halaman 1 point ke-2 surat dakwaan tertulis "Bahwa Terdakwa kenal dengan sdri. Faradiba Tangkulouw (saksi-2) sejak tahun", pada halaman 2 point 1 bagian b tertulis Farida Tangkulouw serta dalam BAP tertulis Faradiba Tangkulouw. c) Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 131 ayat (1) Undang Undang Peradilan Militer tahun 1997 dikatakan Oditur dapat merubah surat dakwaan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang Pengadilan akan tetapi pada kenyataannya dalam persidangan hari Selasa tanggal 9 Juni 2009 telah terjadi perubahan tentang jabatan Terdakwa yang seharusnya Bati Tim Intel, tetapi dalam surat dakwaan tertulis anggota Ton Intel. d) Bahwa penuntutan kepada Terdakwa sudah kadaluarsa (lewat 10 tahun) antara kejadian dengan penuntutan karena sesuai Pasal 78 KUHP hak menuntut hukuman gugur (tidak dapat dijalankan lagi) sesudah lewat 6 (enam) tahun, bagi kejahatan yang terancam hukuman denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari tiga tahun. e) Bahwa pengaduan dari pelapor Serma Ferry Royke Dengah kepada Ankumnya Dandenkesyah bukan merupakan laporan Pro Yustisia karena seharusnya sesuai dengan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 dilaporkan ke Denpom sebagai Penyidik untuk pemberkasan perkara selanjutnya penuntutan di Pengadilan 10
Militer. Bahwa pengaduan dari pelapor Serma Ferry Royke Dengah ke Denpom VII/1Manado sudah kadaluarsa karena laporan tersebut seperti dalam berkas perkara (BAP) Polisi Militer Nomor BP-39/A37/XII/2008, tanggal 5 Desember 2008 tertulis laporan tanggal 24 April 2008 yang artinya kejadian perzinahan yang diketahui oleh Pelapor adalah tahun 1999, seharusnya laporan tersebut paling lambat dilaporkan enam bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan. Sesuai bunyi Pasal 74 ayat (1) KUHP, bukan melaporkan (pengaduan) tanggal 24 April 2008 (setelah 10 tahun). Kemudian berdasarkan penjelasan sebelumnya, sesuai Pasal 1 Kitab UndangUndang Hukum Pidana Militer yang menyatakan bahwa dalam peradilan militer juga berpedoman pada hukum pidana pada umumnya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur mengenai hapusnya hak melakukan penuntutan, salah satu diantaranya adalah hilangnya hak penuntutan karena daluwarsa. Hapusnya hak melakukan penuntutan karena daluwarsa diatur dalam Pasal 78 KUHP yang menjelaskan sebagai berikut: (1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: a) mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; b) mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; c) mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; d) mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. (2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga. Mencermati mengenai eksepsi yang diajukan oleh Penasihat Hukum Terdakwa yang menyatakan bahwa dakwaan Oditur Militer dianggap telah daluwarsa, pada poin (d) dan (e) yang menjelaskan bahwa penuntutan kepada Terdakwa sudah kadaluarsa karena telah lewat 10 tahun antara kejadian dengan penuntutan, hal ini jika dikaitkan dengan Pasal 78 KUHP maka hak menuntut hukuman oleh Oditur Militer dianggap gugur atau tidak dapat dijalankan lagi, hal ini dikarenakan bahwa masa daluwarsa bagi kejahatan yang terancam hukuman denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari 11
tiga tahun adalah 6 tahun, sedangkan penuntutan yang dilakukan oleh Oditur Militer telah lewat batas waktu penuntutan (daluwarsa) yaitu 10 Tahun. Hal ini terbukti dalam persidangan bahwa walaupun pengaduan telah dilakukan oleh pelapor Serma Ferry Royke Dengah kepada Ankumnya Dandenkesyah, tapi pengaduan tersebut bukanlah merupakan laporan Pro Yustisia karena seharusnya sesuai dengan Undang Undang Nomor 31 Tahun 1997 pengaduan tersebut dilaporkan ke Denpom sebagai Penyidik untuk pemberkasan perkara selanjutnya penuntutan di Pengadilan Militer. Sesuai dengan hukum acara pidana militer yang berlaku bahwa pengaduan yang dianggap Pro yustisia adalah pengaduan dari Serma Ferry Royke Dengah ke Denpom VII/1Manado, yang artinya diterimanya laporan yang sah menurut hukum acara pidana adalah dimulai sejak pelapor melakukan pengaduan pada Denpom VII/1Manado, namun dalam hal ini laporan tersebut sudah kadaluarsa karena laporan tersebut seperti dalam berkas perkara (BAP) Polisi Militer Nomor BP39/A37/XII/2008, tanggal 5 Desember 2008 tertulis laporan tanggal 24 April 2008 yang artinya kejadian perzinahan yang diketahui oleh Pelapor adalah tahun 1999, seharusnya laporan tersebut paling lambat dilaporkan enam bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan, namun diketahui bahwa pelaporan diterima oleh Denpom VII/1Manado setelah 10 tahun pelapor mengetahui tindak pidana tersebut. Sehingga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (KUHP) dalam Pasal 78, maka secara hukum hak penuntutan oleh Oditur Militer dianggap telah daluwarsa. Dengan demikian maka hal tersebut pula menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan Putusan Sela yang dijatuhkan oleh Pengadilan Militer III-17 Manado dalam perkara itu Nomor 31- K/PM.III-17/AD/VI/2009, tanggal 12 Juni 2009 yang dalam Putusan Sela tersebut menyatakan bahwa Majelis Hakim pemeriksa perkara menerima keberatan yang diajukan oleh Penasihat Hukum Terdakwa dan menyatakan bahwa dakwaan Oditur Militer tidak dapat diterima adalah sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian mencermati perlawanan Oditur Militer terhadap Putusan Sela Pengadilan Militer III-17 Manado dalam perkara itu Nomor 31-
K/PM.III-
17/AD/VI/2009, tanggal 12 Juni 2009 yang mana perlawanan kepada Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya tersebut didasarkan dengan alasan bahwa putusan sela Pengadilan Militer III-17 Manado hanya didasarkan semata-mata pada aturan hukum materiil, sedangkan seharusnya aturan hukum formil maupun materiil dapat 12
dikesampingkan apabila suatu kepentingan Negara menghendakinya, dan Oditur Militer mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang memutus perkara ini agar melihat kepentingan TNI secara luas bukan hanya melihat atau mendasari ketentuan hukum formil dan materiil belaka. Kemudian menelaah pada keberatan-keberatan yang diajukan oleh Oditur Militer dalam perlawanannya tersebut, Majelis Hakim Tingkat Banding dengan mendasarkan kepada berkas perkara Terdakwa, dakwaan Oditur Militer dan Eksepsi Penasihat Hukum Terdakwa serta perlawanan Oditur Militer mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Bahwa pasal yang digunakan untuk mendakwa dalam surat dakwaan Oditur Militer adalah Pasal 284 ayat (1) ke 2a KUHP yang selengkapnya berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 9 (bulan)”. Dengan demikian dari segi ancaman hukuman adalah pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) bulan. Kemudian dikaitkan dengan Pasal 78 ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut : “Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa”: Ke-1
: mengenai semua pelanggaran kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun;
Ke-2
: mengenai kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
Ke-3
: mengenai kejahatan yang diancam dengan penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
Ke-4
: mengenai kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. Melengkapi ketentuan tersebut, Pasal 79 KUHP mengatur bahwa tenggang
waktu daluwarsa menuntut dihitung dan mulai berlaku dari keesokan harunya sesudah perbuatan itu dilakukan. Kemudian diketahui bahwa pada Pasal 284 ayat (1) ke-2a KUHP sebagaimana dakwaan Oditur Militer, ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan, oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (1) ke-2 jo. Pasal 79 KUHP tersebut di atas, maka kewenangan penuntutan perkara tersebut (Pasal 284 ayat (1) ke-2a KUHP) hapus karena kedaluwarsa sesudah 6 (enam) tahun. Dalam hal ini perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa tempos delictie atau waktu terjadinya adalah pada tahun 1998 atau setidak-tidaknya dalam tahun 1998 namun perbuatan Terdakwa baru melapor ke penyidik Denpom VI/1 pada tanggal 24 April 13
2009 oleh suami Farida Tangkulouw (Serma Ferry Royke Dengah) sebagaimana laporan pengaduan di atas materai tertanggal 24 April 2009. Atas hal tersebut maka terhadap perkara Terdakwa yang didakwa dengan Pasal 284 ayat (1) ke-2a KUHP dimana ancaman pidananya maksimal 9 (sembilan) bulan kewenangan penuntutan pidananya menurut hukum selambat-lambatnya adalah 6 (enam) tahun setelah tempos delictie tahun 1998 yaitu pada tahun 2004. Penuntutan pidana yang dilakukan setelah tahun 2004 menurut hukum gugur karena kedaluwarsa. Namun pada kenyataannya, penuntutan terhadap Terdakwa Pelda Markus Kapong Nrp 546514 dilakukan pada tanggal 30 April 2009 yaitu saat dilakukan pelimpahan perkara oleh Oditur Militer III-17 Manado kepada Pengadilan Militer III-17 Manado dengan surat pelimpahan perkara Nomor B/29/IV/2009 tanggal 30 April 2009, yang berarti menurut hukum penuntutan terhadap Pelda Markus Kapong dilakukan setelah 5 (lima) tahun dari batas akhir kewenangan penuntutan pada tahun 2004. oleh karenanya kewenangan Oditur Militer III-17 Manado untuk menuntut pidana terhadap diri Terdakwa Pelda Markus Kapong Nrp 546514 telah gugur karena daluwarsa. Berdasarkan Pasal 78 ayat (1) ke-2 jo. Pasal 79 KUHP, maka sudah sewajarnya Majelis Hakim Tingkat Banding tidak sependapat dengan alasan perlawanan yang diajukan oleh Oditur Militer, oleh karenanya menurut hukum permohonan Oditur Militer sebagaimana tertuang dalam memori perlawanannya tidak dapat diterima dan harus dinyatakan ditolak. Sehingga oleh Majelis Hakim pemeriksa perkara yang menganggap penuntutan telah daluarsa sebagai dasar hakim menyatakan dakwaan oditur militer tidak dapat diterima sudah memenuhi ketentuan ketentuan peraturan perundang-undangan.
D. SIMPULAN DAN SARAN 1. SIMPULAN Hasil penelitian dan pembahasan dapat diringkas dalam suatu simpulan sebagai berikut: Penuntutan yang dianggap daluarsa sebagai dasar hakim menyatakan dakwaan Oditur Militer tidak dapat diterima dalam Putusan Pengadilan Militer III Surabaya Nomor: 68-K/PMT.III/Bdg/AD/VI/2009, sesuai dengan hukum acara pidana militer yang berlaku bahwa pengaduan yang dianggap Pro yustisia adalah pengaduan dari Pelapor ke Denpom VII/1Manado, yang artinya diterimanya laporan yang sah menurut hukum acara pidana adalah dimulai sejak pelapor melakukan pengaduan pada 14
Denpom VII/1Manado. Dalam kasus ini laporan tersebut dianggap sudah kadaluarsa, karena laporan tersebut seperti dalam berkas perkara (BAP) Polisi Militer Nomor BP39/A37/XII/2008, tanggal 5 Desember 2008 tertulis laporan tanggal 24 April 2008 yang artinya kejadian perzinahan yang diketahui oleh Pelapor adalah tahun 1999, seharusnya laporan tersebut paling lambat dilaporkan enam bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan, namun diketahui bahwa pelaporan diterima oleh Denpom VII/1Manado setelah 10 tahun pelapor mengetahui tindak pidana tersebut. Sehingga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (KUHP), dalam Pasal 78 menyatakan bahwa secara hukum hak penuntutan oleh Oditur Militer tersebut dianggap telah daluwarsa. Kemudian Mencermati Pasal 78 ayat (1) ke-2 jo. Pasal 79 KUHP, maka sudah sewajarnya Majelis Hakim Tingkat Banding tidak sependapat dengan alasan perlawanan yang diajukan oleh Oditur Militer, oleh karenanya menurut hukum permohonan Oditur Militer sebagaimana tertuang dalam perlawanannya tidak dapat diterima dan harus dinyatakan ditolak. Sehingga oleh Majelis Hakim pemeriksa perkara yang menganggap penuntutan telah daluarsa sebagai dasar hakim menyatakan dakwaan oditur militer tidak dapat diterima sudah memenuhi ketentuan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. SARAN Berdasarkan simpulan tersebut, maka sebagai akhir dari seluruh penulisan hukum ini, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Dalam rangka penegakan hukum oleh aparat penegak hukum khususnya dari Oditur Militer, diharapkan dalam perannya sebagai pejabat yang diberikan wewenang oleh Undang-undang dalam hal penuntutan demi menegakkan keadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, perlu selalu diingat jangan sampai melakukan tindakan tanpa memperhatikan ketentutan perundang-undangan karena apabila seorang penegak hukum yang tidak dibekali pengetahuan yang cukup mengenai hukum maka akan berakibat buruk baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat. 2. Dalam menegakkan keadilan, peran hukum sangatlah penting dalam proses penyelenggaraan peradilan yang bebas, adil dan tidak memihak. Salah satu posisi yang sangat sentral dalam memutuskan suatu permasalahan hukum adalah seorang hakim. Hakim merupakan “wakil Tuhan di dunia” yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan bersalah atau tidaknya seorang tersangka/ terdakwa, 15
diharapkan dalam menjatuhkan putusan adalah dengan mempertimbangkan segala aspek, sehingga hakim tidak hanya terpaku pada undang-undang saja, namun tetap memperhatikan hukum-hukum lain yang berlaku, sehingga putusan yang dihasilkan berupa putusan yang mendekati kebenaran yang sebenar-benarnya.
16
DAFTAR PUSTAKA Buku : Marzuki Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Peraturan Perundang-undangan : Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer Putusan Pengadilan Militer III Surabaya Nomor 68-K/PMT.III/Bdg/AD/VI/2009 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer; Korespondensi 1. Nama
: Rico Wahyu Bima Angriawan
Alamat
: Jalan Sido Mukti No. 701A Babadan Bangutapan Yogyakarta
Email
:
[email protected]
Telp.
: 085729300052
2. Nama
: Lionel Putra Dirgantara
Alamat
: Jalan Murai 1 No. 85 Singopuran Kartasura
Email
:
[email protected]
Telp.
: 085728977999
3. Nama
: Edy Herdyanto, S.H., M.H
Alamat
: ngaglik RT 06/ RW XII Mojosongo Solo
Email
:-
Telp
: 081393059370
17