PERUBAHAN DAN PREDIKET HAJI Selasa, 01 Maret 2016 11:39
Rihlah Ibadah Haji
Oleh : Prof. DR. Duski Samad, M.Ag.
PERUBAHAN DAN PREDIKET HAJI [1]
Seorang jamaah sekembali dari Masjid Haram, ketika duduk istirahat di lobby hotel mengajukan pikiran, dihadapan jamaah lain yang sedang istirahat pula. Apakah bapak-bapak pejabat, pengusaha, cemdikiawan dan orang-orang hebat Indonesia tidak pernah merasakan bagaimana keadaan haji seperti yang kita temui ini? Berdesakan dalam shalat, thawaf dan ibadah apapun, namun semua orang tetap sabar dan saling menghargai. Jamaah lain menjawab, tidak pak haji, mereka orang-orang besar itu kan dapat pengawalan ataupun mengunakan paket khusus. Kata yang lain, o begitu ya, pantas saja tidak banyak perubahan, walau sudah beberapa kali haji dan umroh.
Secara normatif, mestinya ibadah haji, prediket haji dan hajjah yang melekat pada diri mereka yang sudah menunaikan ibadah haji dapat membentuk prilaku penyadang prediket itu sebagai pihak yang akan menjadi faktor utama dalam perubahan. Ibadah haji yang sarat nilai, dalam makna dan memiliki pesan sipritual dapat pemicu transformasi diri seorang menjadi hamba yang sangat baik (mabrur). Kata mabrur yang berasal dari birra artinya leterljknya adalah sangat baik atau baik sekali tentu harus menjadi landasan idiil bagi pencapaian setiap jamaah haji.
1/5
PERUBAHAN DAN PREDIKET HAJI Selasa, 01 Maret 2016 11:39
Dulu, orang yang pulang dari melaksanakan ibadah haji di zaman Belanda, sekembali di tanah air akan dicenoi (ditandai dan diawasi) oleh penjajah Belanda karena dianggap akan membahayakan kedudukan mereka sebagai penjajah. Sejarah pembaharuan dan perjuangan bangsa Indonesia mencatatkan bahwa haji adalah pelopor dan pejuang yang besar sumbangannya bagi kemajuan bangsa. Di Minangkabau dikenal ada tiga nama haji yang berjasa melakukan perubahan dan gerakan pemurnian Islam, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang.
Dalam masyarakat Indonesia, sampai masa kotemporer ini, orang-orang yang sudah melaksanakan haji juga mendapat kedudukan khusus dalam pelapisan sosial. Sebutan atau panggilan Bapak haji bagi yang laki-laki dan ibuk Hajjah bagi perempuan menjadi salah satu status sosial yang dapat mengangkat derajat dan mertabat mereka dalam lingkungannya. Haji dan hajjah lazim sekali diberikan kesempatan yang lebih awal dalam melakukan ritual keagamaan, seperti menjadi imam Shalat, memberi khutbah dan memimpin doa. Haji dan hajjah juga menjadi sumber inspirasi dan tokoh panutan bagi dilingkungannya, dalam masyarakat tertentu malah ada yang menjadikan prediket Haji dan Hajjah dalam makna yang sakral.
Fakta menunjukkan bahwa keberadaan haji dan hajjah telah mendapat pengakuan dan penerimaan masyarakat. Orang-orang yang telah melaksanakan ibadah haji dipercayai sebagai orang sudah sempurna keislamannya, sudah baik akhlaknya, dapat dijadikan teladan, dan dalam ukuran tertentu ada yang berpendapat bahwa 40 hari sekembali dari haji mereka masih dilindungi Malaikat, sehingga masyarakat mencium tangan mereka. Kenyataannya tidak sepenuhnya benar. Banyak orang-orang yang kembali haji belum bisa menjadi sampel atau model bagi keberagamaan yang benar.
Kenyataan sosial memperlihatkan dasawarsa terakhir jumlah jamaah haji meningkat pesat setiap tahunnya. Laporan Kementrian Agama sebagai operator perhajian di Indonesia menyebutkan bahwa kuota jamaah haji Indonesia sudah membengkak sedemikian tingginya. Pada daerah tertentu masa tunggu (waiting list) ada yang mencapai angka 15 tahun sejak masa mendaftar ditandai setoran awal untuk mendapatkan nomor porsi haji. Namun, bersamaan dengan itu perubahan karakter dan prilaku para jamaah pasca haji belum dapat sepenuhnya memperlihatkan trend kemajuan sepertinya peningkatan jumlah porsi haji. Tidak berbanding lurus antara kuantitas jamaah
2/5
PERUBAHAN DAN PREDIKET HAJI Selasa, 01 Maret 2016 11:39
dengan perubahan prilaku masyaakat, termasuk Bapak Haji dan Ibu Hajjah adalah masalah yang perlu dikaji.
KUOTA DAN PERSIAPAN PRA HAJI.
Deretan nama panjang antrian calon haji mestinya oleh pihah operator haji (Kementrian Agama RI) tidak dilihat sebagai angka-angka ekonomis belaka, dibalik data itu dapat dibuat beberapa kebijakkan yang akan meningkatkan kualitas jamaah pasca haji. Kuota haji yang berlimpah, jika tidak disertai dengan peningkatan kualitas jamaah, tidak berarti banyak bagi kebaikan bangsa. Kesempatan haji yang diberikan kepada mereka yang tidak memiliki kualitas sebagai muslim yang baik adalah pekerjaan sia-sia dan tidak menguntungkan umat dan bangsa.
Sesuai perintah agama bahwa kewajiban haji hanya sekali seumur hidup dan dikatakan sebagai ibadah yang harus dilakukan dengan sempurna, Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. (QS. Al Baqarah(2):196). Maka semua pelaksanaan dan hasilnya haruslah melahirkan pribadi yang sempurna pula sebagai muslim. Penegasan al-Qur’an bahwa dalam melaksanakan haji harus dijauhi prilaku menyimpang rafas, fusuk dan jidal. Artinya: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[Rafats artinya mengeluarkan Perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh.], berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa[Maksud bekal takwa di sini ialah bekal yang cukup agar dapat memelihara diri dari perbuatan hina atau minta-minta selama perjalanan haji.] dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah, 197).I
Dua ayat yang menjadi landasan pokok kewajiban haji di atas, disamping hadist, jelas sekali bahwa pesan utama yang diemban ibadah haji adalah peningkatan kualitas moral dengan tidak melakukam rafast, artinya menjauhi perbuatan maksiat, prilaku tidak senonoh dan pelecehan. Meningkatkan pengamalan, ketaatan dan sikap keagamaan yang baik, bekal taqwa, dan menjaga mentalitas sebagai muslim yang baik, dengan tidak mudah terprovokasi dan menjadi dalang kerusuhan.
3/5
PERUBAHAN DAN PREDIKET HAJI Selasa, 01 Maret 2016 11:39
Dampak baik yang dituju oleh ibadah haji untuk melahirkan kepribadian muslim sejati, sulit dicapai bila kuota jamaah haji hanya dipakai dalam makna kuantitatif, ekonomis dan kebijakan regulasi saja. Jatah kursi haji, mestinya diberikan secara selektif dengan mempertimbangkan kualitas keberagamaan calon jamaah haji. Instrumen untuk menentukan seseorang dapat diberikan porsi haji tidak cukup sekedar sanggup membayar lunas biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), akan tetapi hendaknya dilengkapi dengan serangkain data yang dapat meliput kualitas keagamaan dan sosial calon haji tersebut.
Penyedian borang ataupun portofolio yang merangkum identitas, keterpenuhan secara kognitif (ilmu dan praktek) calon jamaah menjalankan syariat Islam, khususnya rukun Islam dan rukun Iman. Kualitas pemahaman, sikap keagamaan (afektif) calon jamaah dalam hubungannya diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya. Keterampilan praktis (psikomotor) calon jamaah dalam melaksanakan Islam dalam kehidupan sehari-hari, baik ibadah mahdah, sosial dan kemasyarakatan.
Sasaran yang hendak dituju dari penyediaan borang atau portifolio kepribadian calon haji diyakini dapat mengontrol kuantitas dan kualitas jamaah haji Indonesia. Lebih dari itu, matangnya kualitas kepribadian jamaah calon haji diyakini dapat meningkatkan peran haji dan hajjah dalam pembangunan bangsa. Haji dan hajjah yang belum memiliki kematangan keagamaan dapat menjadi perusak status sosial Pak Haji dan Ibuk Hajjah. Prediket haji atau hajjah justru banyak dirusak oleh orang-orang yang kembali haji tetapi tidak mengalami perubahan beragama berarti.
PEMBINAAN PASCA HAJI.
Asset orang-orang yang memiliki prediket haji dan hajjah yang sudah membumi dan mempribadi dalam masyarakat Indonesia belum mampu dikelola dan diurus dengan baik oleh pihak yang terkait, tentu Kementrian Agama yang memang memiliki tupoksi tentang hal itu. Organisasi Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) memang sudah lama berdiri, tetapi belum cukup kuat menjangkau ke lapisan umat yang sudah berhaji. Struktur dan manajemen organisasi IPHI yang bercorak sosial dan belum memiliki akses yang kuat kepada jamaah dan Pemerintah menjadikan ormas IPHI belum maksimal.
Pendayagunaan organisasi IPHI sebagai wadah pembinaan dan penguatan kapasitas Haji dan
4/5
PERUBAHAN DAN PREDIKET HAJI Selasa, 01 Maret 2016 11:39
Hajjah diyakini akan mempercepat hadirnya masyarakat Islam yang mabrur (baik dan berkualitas). Mabrur haji, bukan dalam makna pahala disisi Allah SWT, akan tetapi wujud dalam prilaku dan kepedulian sosial setiap orang sudah melaksanakan haji. Mabrurnya haji bukan hanya diukur dari tauhid imannya saja, tetapi juga dari tauhid sosialnya. Haji dan hajjah haruslah menjadi pelopor, dinamisator dan orang terdepan gerakan perubahan sosial dan kebaikan umat.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa prediket haji dan hajjah yang disandang oleh setiap jamaah kembali dari haji adalah beban sosial keagamaan yang harus dipertanggung jawab. Beban sosial yang enak, dan mengembirakan sebutan Bapak Haji dan Ibu Hajjah adalah asset agama, negara dan bangsa yang akan berkonstribusi besar bagi kebaikan lebih luas. Semoga mabrur bersama kita semua. Amin. Ds.9.00 18092015.
[1] Diskusi Loby Hotel Lokloah Hasmetel, Jamaah Kloter PDG III, Jum’at, 18 September 2015. Ed. EN.
5/5