Vol. 7 No. 2, Juli 2014
Jurnal Al-‘Adl
RIBA DAN BUNGA BANK DALAM ISLAM (Analisis Hukum dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Umat) Oleh: Ummi Kalsum1 Abstrak Artikel ini menjelaskan tentang permasalahan riba dari segi hukum dan penafsirannya serta bunga bank dari tinjauan hukum Islam serta menganalisis dampaknya terhadap perekonomian, baik yang dikemukan oleh para pakar hukum Islam, mufassirin dan para ekonom muslim. Ada perbedaan pendapat di antara fuqaha dalam memandang hukum bunga bank dan analisa para pakar terhadap dampaknya yang ditimbulkannya dalam perekonomian umat baik secara mikro maupun makro. Pertama, pendapat jumhur ulama berpendapat bahwa bunga bank tidak boleh (haram) sementara, kedua, sebagian ulama diantaranya Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad berpendapat bahwa bunga yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda (tidak wajar), sementara bunga yang tidak berlipat ganda boleh, termasuk dalam kategori ini bunga bank yang dipraktekkan pada saat ini. Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi adanya perbedaan penafsiran mufassirin terhadap ayat-ayat tentang riba. Pengharaman riba (usurios) dalam Islam berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral dan kemanusiaan sebab esensi pelarangan riba adalah penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang menimbulkan kezaliman dan ketidakadilan. Dan dampak bunga terhadap perekomian akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Metode penulisan artikel ini berdasarkan kajian pustaka dengan melakukan review secara mendalam terhadap buku-buku, tafsir dan tulisan-tulisan tentang bunga bank, riba dan yang berkaitan dengannya. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tafsiran riba dan pendapat-pendapat ulama dalam memandang hukum bunga bank serta untuk menganalisis dampak negatif yang ditimbulkan sistem bunga terhadap perekonomian. Abstract This article describes the usury issues from a legal perspective and interpretation as well as bank interest of Islamic legal review and clicking analysis of their impact on the economics, well argued by scholars of Islamic law, Muslims mufassirin and economists. There is a difference of opinion among jurists in view of the interest of law and expert analysis on the resulting impact on the economy of the people of both micro and macro levels. First, opinion jumhur scholars argue that bank interest should not (haram) while, second, some scholars including Abdullah Yusuf Ali and Muhammad Asad argues that interest is forbidden usury doubled (not fair), while non-interest must double, fall into this category of bank interest practiced at this point. This opinion mufassirin backdrop of a difference in interpretation of the verses about usury. Prohibition of riba in Islam based on moral considerations and human essence because the prohibition of riba is the elimination of all forms of economic practices that lead to tyranny and injustice. The impact of the strong economy and interest will impede growth of economic. The method of writing this article is based on literature review by reviewing in depth on the books, commentaries and writings on bank interest, usury and related to it. The purpose of this paper is to determine the interpretation of usury 1
Dosen Ekonomi Islam Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIN Kendari.
67
Jurnal Al-‘Adl
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
and the opinions of legal scholars in view of bank interest and to analyze negative impacts on the economy of the system of interest. Keywords: Riba, interest, Islam, impact, social economy. A.
Pendahuluan Esensi dasar pelarangan riba dalam Islam adalah menghindari adanya ketidakadilan dan kezaliman dalam segala praktik ekonomi. Sementara riba (bunga) pada hakekatnya adalah pemaksaan suatu tambahan atas debitur yang melarat, yang seharusnya ditolong bukan dieksploitasi dan memaksa hasil usaha agar selalu positif. Hal ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang sangat peduli dengan kelompok-kelompok sosio-ekonomi yang lebih rendah agar kelompok ini tidak dieksploitasi oleh orang-orang kaya (pemilik dana). Sebab ajaran ekonomi Islam mengemban misi humanisme, tatanan sosial dan menolak adanya ketidakadilan dan kezaliman yang mata rantainya berefek pada kemiskinan. Sebaliknya sistem ekonomi konvensional yang banyak digugah tidak hanya ekonom-ekonom muslim tetapi juga tokoh-tokoh non muslim sendiri. Sumber penyebab timbulnya permasalahan kemanusiaan menurut para pakar ekonomi terletak pada sistem ekonomi yang tidak
peduli dengan prinsip persamaan (equality),
pemerataan (equity), kurang mengedepankan kemanusiaan (humanity) serta nilai-nilai agama (religious values). Salah satu
penghalang terbesar bagi tercapainya keadilan
yang merata (penyebab timbulnya ketidakadilan, inequity) adalah sistem riba (bunga). Jadi mustahil keadilan dapat tercipta tanpa mengeleminasi bunga dari habitat perekonomian dan menegakkan sistem perekonomian yang bebas dari segala macam bentuk riba yang melahirkan model perilaku homo economicus dengan memegang prinsip homo homini lupus, yakni perilaku yang mengebiri dan mengabaikan nilai-nilai moral dan agama serta mementingkan perlindungan atas hak-hak perorangan (utilitarian individualism) sementara mengabaikan kepentingan bersama. B. Terminologi & Aspek Pelarangan Riba Kata riba dalam bahasa Inggris diartikan dengan usury, yang berarti suku bunga yang lebih dari biasanya atau suku bunga yang mencekik. Sedangkan dalam bahasa
68
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
Jurnal Al-‘Adl
Arab berarti tambahan atau kelebihan meskipun sedikit, atas jumlah pokok yang yang dipinjamkan. Pengertian riba secara teknis menurut para fuqaha adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil baik dalam utang piutang maupun jual beli.2 Batil dalam hal ini merupakan perbuatan ketidakadilan (zalim) atau diam menerima ketidakadilan. Pengambilan tambahan secara batil akan menimbulkan kezaliman di antara para pelaku ekonomi. Dengan demikian esensi pelarangan riba adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam perekonomian. Secara luas penghapusan riba dapat dimaknai sebagai penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang menimbulkan kezaliman atau ketidakadilan. Riba jangan hanya dipahami dan direduksi pada masalah bunga bank saja. Tetapi secara luas riba bisa hidup laten atau poten di dalam sistem ekonomi yang diskriminatori, eksploitatori dan predatori yang berarti dapat hidup di dalam suatu sistem ekonomi subordinasi, kapitalistik, neoliberalistik dan hegemonik imperialistik, yang tidak bisa dibatasi dari segi perbankan saja.3 Karena itulah, pengembangan ekonomi syariah ke depan tidak dapat dilakukan secara isolasi atau parsial, tetapi harus dilakukan secara total. Dengan kata lain, ekonomi syariah tidak boleh direduksi hanya dengan memusatkan pada upaya membangun bank-bank syariah. Ekonomi syariah harus dapat menangkal sistem ekonomi yang exploitatory secara luas, yang memahami dan menumbuhkan kesenjangan ekonomi yang membiarkan terjadinya trade off secara sistemik untuk kerugian si miskin dan si lemah, yang tersubordinasi dan terdiskriminasi yang membiarkan berkembangnya laissez faire dalam arti luas tanpa memperhatikan perlunya dekonstruksi dan restrukturisasi sistem ekonomi yang usurious ini.4 Untuk itu dibutuhkan pakar ekonom muslim yang menguasai ilmu ekonomi konvensional sekaligus kontemporer sehingga mampu mengoreksi, mengimprovisasi dan lebih 2
Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Qurtubi,
Bidayah al-Mujtahid wa an-Nihayah al-Muqtasid (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1981), Juz 2, h. 128. 3 Sri-Edi Swasono, ”Ekonomi Islam dalam Pancasila”, Makalah Interntional Seminar on Implementation of Islamic Economics, dalam rangka Annual Meetingf of Indonesian Economics Experts Association UNAIR (Surabaya, 1-3 Agustus 2008), h. 22-23. 4 Sri-Edi Swasono, “Paradigma Baru Ilmu Ekonomi.” Pidato Kunci pada Workshop
Nasional Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam: Upaya Akselerasi Sistem Ekonomi Islam di Indonesia (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 28 Februari 2012), h. 24.
69
Jurnal Al-‘Adl
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
tangguh serta mumpuni mengantarkan ilmu ekonomi syariah ke arah tercapainya keadilan dan kemaslahatan umat di dunia dan di akhirat. Pelarangan riba (prohibition of riba) dalam Islam secara tegas dinyatakan baik dalam Alquran maupun Hadis yang diwahyukan secara berangsur-angsur seperti halnya pengharaman khamar. Dalam perspektif ekonomi, pengharaman riba setidaknya disebabkan empat faktor,5 yaitu: pertama, sistem ekonomi ribawi menimbulkan ketidakadilan. Karena pemilik modal secara pasti akan dapat keuntungan tanpa mempertimbangkan hasil usaha yang dijalankan oleh peminjam. Jika peminjam dana tidak memperoleh keuntungan atau bangkrut usahanya, dia tetap membayar kembali modal yang dipinjamnya plus bunganya. Dalam kondisi seperti ini, peminjam sudah bangkrut ibarat sudah jatuh tertimpa tangga lagi dan tidak jarang penerapan bunga bukannya membantu usaha kreditor, justru menambah persoalan baginya. Di sinilah muncul ketidakadilannya. Kedua, sistem ekonomi ribawi merupakan penyebab utama berlakunya ketidakseimbangan antara pemodal dengan peminjam. Keuntungan besar yang diperoleh para peminjam yang biasanya terdiri dari golongan industri raksasa (para konglomerat) hanya diharuskan membayar pinjaman modal plus bunganya dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan keuntungan yang mereka peroleh. Sementara bagi penabung di bank-bank umum terdiri dari rakyat golongan menengah ke bawah tidak memperoleh keuntungan yang seimbang dari dana yang mereka simpan di bank. Ketiga, sistem ekonomi ribawi akan menghambat investasi karena semakin tinggi tingkat bunga maka semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi di sektor riil. Masyarakat lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank karena keuntungan yang lebih besar disebabkan tingginya tingkat suku bunga. Keempat, bunga dianggap sebagai tambahan biaya produksi. Biaya produksi yang tinggi akan menyebabkan naiknya harga barang-barang (produk). Naiknya tingkat harga, pada gilirannya akan mengundang terjadinya inflasi sebagai akibat lemahnya daya beli masyarakat. 5
A.M Sadeq, ”Factor Pricing and Income Distribution from an Islamic Perspective” dalam
Journal of Islamic Economics, 1989, h. 27-28.
70
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
Jurnal Al-‘Adl
C. Kontroversi Bunga Yang Diharamkan Bunga merupakan tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Kemudian apakah bunga termasuk riba, ada dua pendapat; pertama, menurut ijma ulama di kalangan semua mazhab fiqh bahwa bunga dengan segala bentuknya termasuk kategori riba.6 Dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa bunga tidak termasuk kategori riba. Ada beberapa hal yang menjadi masalah kontroversial seputar bunga yang terjadi di kalangan para tokoh Islam antara argumen terhadap pembenaran konsep bunga dikemas dalam bentuk bersifat ilmiah dan argumen sebagai bantahan dan kritikan terhadap teori-teori yang dikemukan kalangan yang membenarkan adanya bunga. Pertama, pada persoalan tingkat bunga, pada tingkat yang wajar maka bunga dibolehkan. Namun tingkat bunga wajar sangat subjektif tergantung pada waktu, tempat, jangka waktu, jenis usaha dan skala usaha. Aspek ini juga terdapat pada ayat pelarangan riba tahap ketiga yang terdapat pada Q.S. Ali Imran [3]: 130 merupakan ayat pertama yang menyatakan secara tegas terhadap pengharaman riba bagi orang Islam. Larangan ini merujuk kepada apa yang dipraktekkan oleh orang-orang Arab pada masa itu, dengan cara menambah bayaran jika hutang tidak bisa dibayar ketika jatuh tempo. Perkataan berlipat ganda dalam ayat ini merupakan ciri hutang zaman jahiliah yang senantiasa bertambah sehingga menjadi berlipat ganda.7 Bukan berarti bunga yang dikenakan yang tidak berlipat ganda menjadi halal.8 Quraish Shihab juga menafsirkan bahwa ad}’a>fan mud}a>’afatan pada ayat ini bukan merupakan syarat.9 Jadi walaupun tidak berlipat ganda berarti bunga tetap tidak halal. Penafsiran ini, diperkuat dengan ayat-ayat tentang riba yang selanjutnya Q.S. al-Baqarah [2]: 275-276 dan 278-279 (ayat terakhir turun tentang proses pengharaman riba), telah secara tegas 6
Ibn Taymiyah, Majmu>’ Fata>w>a Shaikh al-Isla>m Ah{mad Ibn Taimiyah, Vol. 29 (Riya>d}: AlRiya>d} Press, 1963), h. 27-28 & 452-453. Yusuf Qardawi, Bunga Bank Haram, terj. Setiawan Budi Utomo (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2001), h. 49. 7 Ab. Mumin Ab. Ghani & Fadillah Mansor (Penyunting), Dinamisme Kewangan Islam di Malaysia (Kuala Lumpur: University Malaya, 2006), h. 27-28. 8 Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, Saeed, Abdullah. Islamic Banking And Interest: A Studi of Prohibition Riba and its Contemporary Interpretation. (Leiden-New York: E.J. Brill, 1996), h. 43-44. 9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Vol. II, h. 216-217.
71
Jurnal Al-‘Adl
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
menyatakan setiap tambahan melebihi pokok pinjaman termasuk riba. Hal ini berlaku bagi setiap bunga baik bersuku rendah, berlipat ganda, tetap maupun berubah-ubah bahkan sisa-sisa riba sekalipun dilarang.10 Ayat ini secara total mengharamkan riba dalam bentuk apapun. Beberapa tokoh berbeda pendapat tentang riba yang diharamkan adalah riba yang bersifat ad}’a>fan mud}a>’afatan atau berlipat ganda. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad, yang menafsirkan riba sebagai usury yang berarti suku bunga yang lebih dari biasanya atau suku bunga yang tinggi dan bukan interest (bunga yang rendah). Adanya perbedaan penafsiran terhadap interest dan usury ini membawa konsekwensi problem konseptual yang serius sehingga timbul perbedaan pendapat terhadap kategori riba yang diharamkan. Jika merujuk kepada pendapat tafsiran Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad maka bunga bank tidak termasuk riba yang diharamkan.11 Senada
dengan
pendapat
ini
dikemukakan
oleh
Muhammad
Muhammad Rashid Rida, Abd al-Wahab Khallaf, Mahmud Shaltut.12
Abduh, Mereka
berpendapat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda dan tidak termasuk riba yang kadarnya rendah. Mereka memahami sesuai dengan konteks ayat riba yang mengharamkan riba yang berlipat ganda. Sanhuri juga menganggap sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah Saeed, bahwa bunga yang rendah atas modal adalah halal atas dasar kebutuhan. Ia menambahkan bahwa hukum harus menentukan batas-batas suku bunga, metode pembayaran dan total bunga yang harus dibayar. Namun pendapat terakhir ini mempunyai beberapa kelemahan, karena sepanjang sejarah tingkat (kadar) suku bunga berbeda-beda (fluktuatif) mengikuti keadaan, baik dari segi waktu dan tempat. Oleh karena itu sukar untuk menentukan tingkat suku bunga yang tinggi atau yang rendah berdasarkan waktu dan tempat. Kedua, adanya pembenaran unsur bunga dengan cara apa pun sebagai kompensasi atas terjadinya inflasi dan ini merupakan pendapat umum yang diadopsi 10
M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, terj. Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 222-223. 11 M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, h. 2001: 222-223. 12 Ab. Mumin Ab. Ghani & Fadillah Mansor (Penyunting), Dinamisme Kewangan Islam di Malaysia, 39. Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, 42-44.
72
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
Jurnal Al-‘Adl
dari teori agio. Namun argumen ini lemah ketika adanya suku bunga yang lebih tinggi dari inflasi yang diperkirakan atau tingkat inflasi dapat mencapai nol atau negatif (deflasi).13 Justru keberadaan bunga memicu penyebab terjadinya inflasi. Jika alasan untuk menjaga nilai uang yang terkikis oleh inflasi maka kompensasinya tidak mesti dengan bunga tetapi dengan instrumen lain. Ketiga, konsep marginal utility,14 yaitu konsumsi menurun menurut waktu. Artinya unit konsumsi di masa yang akan datang memiliki nilai guna yang lebih kecil dibanding dengan nilai guna saat ini. Konsep ini muncul sebagai akibat dari proses perbandingan antara nilai guna pada masa sekarang dengan masa yang akan datang. Konsep ini dikritisi dengan argumen bahwa pendapatan di masa akan datang tidak selalu meningkat. Untuk itu marginal utility di masa yang akan datang tidak pasti selalu lebih rendah. Jika kondisi seperti ini maka mencari nilai diskonto dari nilai kegunaan di masa yang akan menjadi tidak relevan. Di samping itu, pendekatan marginal utility yang mengandalkan pada identifikasi yang tepat mengenai pendapatan mana yang akan dianalisis ketika menghitung pertumbuhan pendapatan, apakah pendapatan orang miskin, orang kaya, atau rata-rata pendapatan secara nasional. Keempat, konsep yang memandang bunga sebagai sewa15 dari uang. Pendapat ini ditentang kebanyakan pakar ekonom muslim. Sebab menurut mereka istilah sewa untuk uang tidak relevan sebab sewa digunakan hanya untuk benda yang diambil manfaatnya
tanpa
kehilangan
hak
kepemilikannya.
Sedangkan
pada
kasus
meminjamkan uang manfaat diperoleh tetapi kepemilikan terhadap uang hilang. 16 Kelima, pembenaran bunga atas dasar darurah (dire necessity) dan h}a>jah (need). Salah satu unsur penting dalam perekonomian adalah bank, yang di dalamnya terkandung sistem bunga. Bunga bank (interest) yang dianggap sama dengan riba akan sulit untuk dihentikan, karena jika bank dilarang akan menimbulkan kemacetan ekonomi. Oleh karena itu, dapat dikatakan kondisi semacam ini adalah darurat, yaitu membolehkan yang dilarang atas dasar darurat sehingga tercipta suatu sistem yang 13 14
h. 38-39.
15 16
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah (Jakarta: RajaGrafindo, 2007), h. 16. Tarek el-Diwani, The Problem With Interest (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), Tarek el-Diwani, The Problem With Interest, h. 40-41. Ab. Mumin Ab. Ghani & Fadillah Mansor, Dinamisme Kewangan Islam di Malaysia, h.
40.
73
Jurnal Al-‘Adl
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
tidak menimbulkan kemacetan ekonomi.17 Namun konsep ini harus melihat kondisi riilnya apakah termasuk kategori d}aru>rah (dire necessity) dan h}a>jah (need). Contohnya kondisi d}aru>rah tidak terpenuhi karena menyimpan uang tidak mesti di bank atau pada saat ini, lembaga keuangan syariah telah tersebar di tanah air. Argumen lainnya yang menyatakan bahwa karena bunga yang diberikan oleh institusi keuangan saat ini tidak sama dengan riba yang dipraktekkan pada zaman jahiliah. Tetapi argumen ini, tidak mampu menggoyangkan pendapat para fuqaha dan mayoritas ekonom muslim modern yang menjunjung konsensus historis tentang riba, yang banyak mendapat dukungan.18 Pendapat mereka, istilah riba mengandung arti bunga dalam segala manifestasinya tanpa membedakan antara pinjaman untuk konsumtif maupun produktif, antara pinjaman bersifat personal maupun komersial, atau apakah peminjam itu pemerintah, individu swasta atau perusahaan dan tidak membedakan antara suku bunga rendah maupun tinggi. Hal ini jelas terangkum pada Q.S. al-Baqarah [2]: 275-279. Argumen bagi kalangan yang mencari celah untuk membolehkan bunga, bahwa bunga dilarang karena pada zaman Rasulullah Saw hanya ada pinjaman konsumtif dan bunga yang disertakan dalam pinjaman tersebut termasuk pemerasan. Tetapi pendapat ini tidak tepat dan bertentangan dengan fakta. Sebab secara historis, pada periode Nabi Saw masyarakat muslim telah terbiasa dengan cara hidup yang sederhana dan tidak melakukan praktek konsumsi mencolok, oleh karena itu, tidak ada alasan untuk meminjam uang untuk tujuan pamer diri dan untuk keperluan konsumsi yang tidak penting. Kalaupun diasumsikan ada, praktek pinjaman ini pasti sangat terbatas pada kalangan tertentu dan jumlahnya pun sedikit sehingga dapat dipenuhi lewat qard} al-h{asan. D. Sistem Bunga dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Pada awalnya, para ekonom yang tertarik dengan sistem perbankan Islam meragukan dan kerap kali bertanya bagaimana mekanisme operasional suatu sistem
17
M. Rasyidi, Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang,
1976), 40.
18
M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, h. 258-260. M. Umer Chapra, Toward a Just Monetary System (London: The Islamic Foundation, 1995) h. 62-63. M. M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, terj. M. Husein Sawit (Jakarta: Bangkit Daya Insana), h. 19-20.
74
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
Jurnal Al-‘Adl
keuangan atau perbankan bekerja tanpa adanya variabel terpentingnya yakni bunga. Jika dilihat sekilas nampaknya bunga amat menguntungkan dan tidak berefek apa-apa. Padahal dampak yang ditimbulkan sangat beragam sebagaimana dianalisis para ahli. a.
Akar Penyebab Krisis Keuangan Penerapan suku bunga sebagai alat indirect screening mechanism dalam sistem
perekonomian gagal menjalankan fungsinya. Beberapa pakar ekonomi menganalisis hal tersebut
seperti
Muslehuddin,
Siddiqi,
Chapra,
mereka
menyatakan
bahwa
perekonomian yang tertumpu pada suku bunga akan menyebabkan terjadinya misalokasi
resources
yang
pada
gilirannya
akan
mengakibatkan
ketidakstabilan
perekonomian. Sedangkan Enzler, Conrad dan Johnson memperkuat pernyataan di atas yang dikutip Chapra, mereka19 telah menemukan bukti bahwa mis-alokasi capital stock telah terjadi di Amerika Serikat negara yang sangat berpatokan pada suku bunga sebagai alat untuk melakukan indirect screening mechanism-nya. Dengan terjadinya misalokasi dana yang disebabkan oleh suku bunga berpengaruh terhadap pencapaian tujuan ekonomi di negara tersebut, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok, pertumbuhan ekonomi yang optimum, pemerataan distribusi pendapatan dan stabilitas ekonomi. Berdasarkan alasan-alasan mereka manajemen moneter yang berdasarkan suku bunga tidak akan efektif dalam mencapai tujuan ekonomi yang diinginkan. Sebab dengan tingginya volatilitas dari interest rate mengakibatkan tingginya tingkat ketidakpastian dalam financial market sehingga investor tidak berani untuk berinvestasi jangka panjang. Akibatnya borrower maupun lender lebih mempertimbangkan pinjaman dan investasi jangka pendek yang pada gilirannya membuat investasi jangka pendek yang berbau spekulasi lebih menarik sehingga masyarakat lebih senang mengambil keputusan pada pasar uang, saham dan valuta asing. Keadaan ini akan menyebabkan pasar-pasar tersebut semakin aktif dan akan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dunia. Sementara investasi jangka panjang di sektor riil akan menurun sehingga jumlah
19
Mohammad Muslehuddin, Banking and Islamic Law (New Delhi: International Publishers, 1992). Muhammad Nejatullah Siddiqi, Banking Without Interest (Lahore: Islamic Publications Limited Hahalam Market, 1997), h.16-23. Muhammad Umer Chapra, “Monetary Management in an Islamic Economy” Islamic Economics Studies, Vol. 4 No. 1 (December 1996): 11.
75
Jurnal Al-‘Adl
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
produksi juga akan menurun dan kebutuhan terhadap tenaga kerja juga pasti menurun dan akhirnya tingkat pengangguran akan bertambah sehingga kesenjangan sosial semakin tinggi. Di samping itu, bunga bersifat fluktuatif sehingga menyebabkan kondisi perekonomian tidak stabil. Fluktuasi suku bunga dapat mempengaruhi perilaku penabung maupun investor. Ketika tingkat bunga tinggi maka jumlah tabungan secara agregat meningkat dalam jumlah yang sangat besar. Di lain pihak, tingkat bunga yang tinggi bukanlah kondisi yang baik bagi para investor untuk melakukan investasi. Akibatnya pada waktu tingkat bunga tinggi permintaan investasi sangat rendah. Keadaan seperti ini akan dengan sendirinya mendorong tingkat bunga turun ke tingkat yang lebih rendah. Demikian juga ketika tingkat bunga rendah yang diuntungkan adalah para investor namun sebaliknya para penabung enggan memberikan dananya dalam pasar investasi, akibatnya penawaran dana tersebut sangat berkurang. Kondisi ini akan menyebabkan kurangnya dana yang dibutuhkan oleh para investor, sehingga keadaan tersebut dengan sendirinya akan mendorong tingkat bunga ke tingkat yang lebih tinggi lagi.20 Demikianlah seterusnya, fluktuasi tingkat suku bunga akan mempengaruhi tabungan dan investasi dan akhirnya berefek kepada kondisi perekonomian secara makro. b. Terjadinya Decoupling Sektor Riil dan Sektor Moneter Suku bunga juga merupakan sumber permasalahan yang mengakibatkan ketidakstabilan
perekonomian21
karena
bunga
merupakan
instrumen
yang
menyebabkan ketidakseimbangan antara sektor riil dan moneter. Sebab jika dianalisa, bagi seseorang yang mempunyai aset Rp 1 miliar, dia dihadapkan pada dua alternatif pilihan; investasi dengan deposito di bank dengan bunga 10 persen setahun atau investasi di sektor riil yang menjanjikan return sebesar 10 persen/tahun. Secara rasional tentu orang tersebut akan memilih deposito karena pilihan yang kedua lebih memberikan kepastian return dan telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan investasi di 20
Rimsky K. Judisseno, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 81-82. 21 Ascarya, “Pelajaran Yang Dipetik dari Krisis Keuangan Berulang: Perspektif Ekonomi Islam”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume, 12, Nomor 1, (Juli 2009), h. 57-58.
76
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
Jurnal Al-‘Adl
sektor riil masih ada unsur kegagalan dan unsur uncertainty. Jadi bunga memang menciptakan jarak antara sektor keuangan dengan sektor riil akibatnya kondisi moneter tidak mencerminkan sektor riil dan sebaliknya kondisi sektor riil juga tidak mencerminkan kondisi moneternya. Maka tidak mengherankan bila jumlah uang beredar di pasar uang mencapai US $500 triliun sedangkan jumlah uang yang beredar di pasar barang dan jasa hanya sebesar US $-triliun dan menurut data kompas setiap hari peredaran uang di muka bumi mencapai 3,4 sampai 4 trilliun USD sementara arus barang dalam satu tahun hanya berkisar 7 trilliun USD.22 Dilihat dari perbandingan antara sektor moneter dengan sektor riil yang tidak seimbang tersebut implikasinya akan menghambat perkembangan sektor riil. Konsekuensi dari kesalahan alokasi sumber daya ini mengakibatkan kurangnya modal di sektor riil, sementara sektor keuangan bertumbuh secara artifisial dengan banjir modal dalam bentuk gelembung perekonomian, yang pada akhirnya akan terkoreksi dan meledak dalam bentuk krisis keuangan. Dan menurut Peter Ducker, seorang pakar manajemen mengatakan hal ini merupakan gejala ketidakseimbangan antara laju pertumbuhan sektor moneter dengan laju pertumbuhan sektor riil (barang dan jasa) disebabkan oleh decoupling yakni keterlepas-ikatan antara sektor moneter dengan sektor riil.23 Jika diasumsikan money supply (uang beredar) tetap maka sistem kredit dengan bunganya yang ada pada pasarpasar moneter akan menyedot uang beredar. Sehingga bukan hanya ketidakstabilan moneter yang terjadi tapi juga kemerosotan sektor riil. Secara global kemerosotan ini akan berpengaruh pada return yang diperebutkan pada sektor moneter. Sehingga jika hal ini terus berlanjut maka wajar para pakar memprediksi akan terjadi krisis ekonomi yang besar tidak hanya di negara-negara berkembang tetapi juga di negara-negara maju. 24 Sementara dalam Islam tidak dikenal adanya dikotomi antara sektor moneter dengan sektor riil. Dalam Islam, sistem bagi hasillah yang menjadi jantung sektor moneter perekonomian bukan bunga, sebab dengan sistem bagi hasil yang dibutuhkan kecepatan peredaran atau perputaran uang tersebut. 22
Kompas: 19 September 2007. (Http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-kebijakan-moneter.html). 24 Ali Sakti, Analisis Teoritis Ekonomi Islam Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern (Jakarta: Paradigma & Aqsa Publishing, 2007), h. 236. 23
77
Jurnal Al-‘Adl
c.
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
Terjadinya Konglomerasi Kekayaan dan Kesenjangan Ekonomi Bunga sebenarnya merusak raison d’etre keadilan sosial, dan Umer Chapra
menyatakan suku bunga cenderung menjadi harga “yang menyesatkan”25 dan mencerminkan diskriminasi antara yang kaya dan miskin.26 Yang kaya semakin berpeluang untuk mendapatkan kredit karena tidak semua orang mampu membayar tingkat bunga pinjaman dan hanya mereka yang mampu membayar hutang beserta bunganya saja yang punya akses ke bank dan di sinilah terjadi diskriminasi penyaluran dana dan diskriminasi akses.27 Di sini yang dimaksud adalah nasabah utama dan menurut Thomas Suyanto mereka adalah para konglomerat, perusahaan penanam modal asing dan perusahaan keluarga yang besar.28 Sehingga yang kaya mendapatkan hak-hak istimewa untuk memobilisasi dana dan karenanya ia memiliki pengaruh pada perekonomian dan perpolitikan. Terkonsentrasinya kekayaan pada segelintir orang atau golongan inilah yang menyebabkan mereka bertambah kaya, dan ini bukan karena mereka semakin terampil atau karena kepintarannya tetapi mereka memperolehnya dari hasil pranata bunga. Dengan kekayaan tersebut mereka memiliki kekuatan dan dengan kekuatan29 tersebut mereka memiliki kesempatan yang lebih besar. Dengan alasan inilah, ia menyatakan bahwa bank-bank cenderung menjadi pusat kontrol para kapitalis dan para kapitalis terkaya dan paling berkuasa beroperasi lewat bank. Keadaan ini terjadi di semua negara, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang, dan di negara-negara muslim pun demikian.30 Hal ini diperkuat dan dibuktikan oleh Muhammad Yunus melalui penelitian empirisnya yang telah berhasil membongkar kepalsuan kapitalisme yang jelas-jelas diskriminatif
25
M. Umer Chapra, Toward a Just Monetary System (London: The Islamic Foundation, 1985), h. 109. 26 M. Nejatullah Siddiqi, Issues in Islamic Banking (Leicester: The Islamic Foundation, 1994), h. 83-84. 27 M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: The Islamic Foundation and the International Institute of Islamic Thought, 1995), h. 352-353. 28 Thomas Suyanto, dkk, Dasar-dasar Perkreditan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 94-107. 29 Muhammad Nejatullah Siddiqi, Issues in Islamic Banking, h. 83-84. 30 M. Umer Chapra, Toward a Just Monetary System, h. 89-90.
78
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
Jurnal Al-‘Adl
terhadap orang miskin seperti terlihat pada praktik perbankan mulai dari bank lokal sampai bank-bank internasional.31 Padahal jika dianalisa, sebenarnya bunga pinjaman tersebut dibebankan kepada masyarakat sebagai penanggung yang terakhir karena bunga merupakan konsep biaya32 artinya jika kreditor seorang pengusaha atau produsen maka semua beban bunga akan dibebankan sebagai biaya produksi yang berakibat kepada kenaikan upah karyawan atau dapat mengurangi kualitas barang yang diproduksi. Maka selama pasar menyerap harga barang dan jasa, pihak yang dirugikan adalah rakyat jelata dan pihak yang diuntungkan adalah pengusaha, pedagang, bank dan penyimpan dana. Padahal yang paling tereksploitasi adalah golongan yang lemah33 sehingga jurang pemisah antara yang kaya dan miskin akan terus semakin mendalam. Secara makro, walaupun tampaknya beban bunga tidak merugikan pedagang, produsen atau pengusaha karena biaya bisa digeserkan, tetapi akibatnya dalam skala yang lebih luas pergeseran beban biaya itu merupakan salah satu pendorong inflasi (cost push inflation). Selanjutnya tingkat inflasi yang terjadi dijadikan acuan untuk menentukan bunga tabungan yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sehingga kemudian terjadi pemindahan kekayaan secara terus menerus dari rakyat jelata yang kurang mampu kepada yang lebih mampu. Akibatnya dalam jangka panjang terjadilah jurang pemisah yang semakin jauh antara yang kaya dengan yang miskin. Suku bunga juga cenderung eksploitatif, predator dan mengintimidasi dalam kegiatan ekonomi sehingga sistem bunga menghambat dan mendistorsi pertumbuhan ekonomi. Fenomena skema di atas, sebenarnya membuktikan bahwa penerapan sistem bunga merupakan akar semua masalah yang terjadi dan di anggap yang paling merusak tata ekonomi berkeadilan34 serta perilaku spekulasi dalam ekonomi konvensional secara alami akan mengacaukan jalannya pembangunan ekonomi itu
31
Muhammad Yunus, Bank Kaum Miskin, terj. Irfan Nasution (Serpong: Marjin Kiri, 20070
h. xi. h. 25-26.
32
Karnaen Perwataatmadja & Henri Tanjung, Bank Syariah Teori, Praktek dan Peranannya,
33
Latifa M. Algoud & Mervin K. Lewis, Perbankan Syariah Prinsip, Praktek, dan Prospek, terj. Burhan Wirasubrata (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), h. 279. 34 Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia, terj. Aan Suhaini (Jakarta: Marjin Kiri, 2006), h. xxiv.
79
Jurnal Al-‘Adl
sendiri.
Lietear
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
dan
Tarek
El-Diwani
menjelaskan
tiga
konsekwensi
akibat
dioperasionalkannya sistem bunga:35 pertama, sistem bunga memaksa ekonomi untuk seolah terus tumbuh, meskipun kondisi faktual tetap sama/konstan. Sistem bunga merupakan pergeseran risiko sistematis sehingga selalu ada ketidakadilan di dalamnya. Ketika semua pelaku pasar tidak mau berbagi risiko yang secara alami melekat pada setiap bisnis maka bisa dipastikan akan ada pihak menjadi korban dari sistem tersebut. Sementara itu, sistem kredit mendikte pasar untuk berperilaku tidak wajar. Penentuan awal suku bunga pada dasarnya memberikan jaminan keuntungan bagi salah satu pihak terhadap peristiwa-peristiwa masa depan yang tidak dapat diprediksi. Bunga yang ditetapkan baik tinggi maupun rendah akan memaksa pasar untuk memberikan laba positif, sedangkan produktivitas riil bisa lebih tinggi atau lebih rendah daripada biaya modal, sehingga usaha dapat memperoleh keuntungan atau menderita kerugian; kedua, ini mendorong terjadinya kompetisi sengit dalam ekonomi; dan ketiga, sistem ini memberikan peluang bagi terpusatnya kesejahteraan di tangan segelintir orang, dengan pembebanan pajak pada kaum mayoritas. Bahkan pada tingkat global membuat perekonomian dunia selalu berada dalam kondisi tidak stabil dan ketimpangan yang semakin dalam.36 Inilah yang kemudian menciptakan perekonomian gelembung (bubble economic), suatu kondisi yang melibatkan transaksi keuangan yang besar sekali, namun sesungguhnya tidak ada isinya karena tidak dilandasi transaksi riil yang setara. Hal ini dikarenakan ekonomi konvensional memperlakukan uang sebagai komoditas, sehingga berkembanglah apa yang disebut pasar uang, terutama pada sektor moneternya. Pasar uang ini kemudian berkembang dengan munculnya pasar derivatif, dengan menggunakan instrumen bunga sebagai harga dari produk-produknya. Transaksi di pasar uang dan pasar derivatifnya ini tidak berlandaskan motif transaksi yang riil sepenuhnya, bahkan sebagian besar di antaranya mengandung motif spekulasi, maka tidak heran jika perkembangan di pasar moneter konvensional begitu spektakuler. Menurut data dari NGO asal Amerika Serikat, volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) 35
Ahmed Kameel Mydin Meera, The Theft of Nation Returning to Gold (Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publishing, 2004), h. 11. 36 Ali Sakti, Analisis Teoritis Ekonomi Islam, Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern, h. 247.
80
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
Jurnal Al-‘Adl
dunia berjumlah US $ 1,5 triliun hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi dalam pandangan dunia di sector riil US $ 6 triliun setiap tahun. Berarti dengan empat hari di pasar uang, nilainya sudah menyamai transaksi di sektor riil selama setahun. Sebaliknya dengan tidak adanya instrumen bunga ini berarti mengurangi tingkat permintaan uang untuk tujuan spekulasi yang dilarang dilarang dalam Islam.
E. Penutup Setelah melakukan elaborasi dan analisis dapat disimpulkan bahwa hukum riba dalam Alqur’an dengan tegas dinyatakan haram. Esensi pelarangan riba (usurios) dalam Islam berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral dan kemanusiaan sebab esensi pelarangan riba adalah penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang menimbulkan kezaliman dan ketidakadilan. Sementara status hukum bunga bank ada perbedaan pendapat para pakar baik pakar hukum Islam maupun pakar ekonomi Islam. Hal ini dilatarbelakangi adanya perbedaan penafsiran terahadap ayat-ayat tentang riba dan apakah bunga termasuk kategori riba atau tidak? Ada dua pendapat; pertama, menurut ijma ulama di kalangan semua mazhab fiqh bahwa bunga dengan segala bentuknya termasuk kategori riba (Q.s. al-Baqarah [2]: 130. Dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa bunga tidak termasuk kategori riba karena yang dinyatakan pada Q.s al-Baqarah [2]:130 riba harus bersifat berlipat ganda (tidak wajar). Terakhir,
dampak
bunga
terhadap
perekonomian,
diantaranya:
akan
menyebabkan krisis keuangan, terjadinya decoupling antara sektor riil dan sektor moneter dan akan menyebabkan terjadinya konglemerasi kekayaan dan kesenjangan ekonomi.
81
Jurnal Al-‘Adl
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
DAFTAR PUSTAKA A.
Buku-buku
A. Mannan, M. Islamic Economics Theory and Practice (A Comparative Study). Lahore: SH. Muhammad Ashraf Publishers, 1991. Ab. Ghani, Ab. Mumin & Fadillah Mansor (Penyunting). Dinamisme Kewangan Islam di Malaysia. Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2006. Abdul Hadi, Abu Sura’i. Bunga Bank dalam Islam. Terj. M. Thalib. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993. Abu> Zahrah. Buh{ut> h fi al-Riba>. Kuwait: Da>r al-Buh{u>th al-Isla>miyyah, 1970. Amin, A. Riawan. Menata Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: UIN Press, 2009. Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007. Chapra, M. Umer. Islam and the Economic Challenge. Liecester: The Islamic Foundation and the International Institute of Islamic Thought, 1995. ______. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Leicester: The Islamic Foundation, 2000. ______. Toward a Just Monetary System. London: The Islamic Foundation, 1985. El-Diwani, Tarek. The Problem With Interest. Terj. Amdiar Amir dan Ugi Suharto. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003. Ibn Taymiyah. Majmu>’ Fata>wa> Shaikh al-Isla>m Ah{mad Ibn Taimiyah, Vol. 29. Riya>d}: Al-Riya>d} Press, 1963. Judisseno, Rimsky K. Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Lewis, Mervin K. dan Latifa M. Algaoud. Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik dan Prospek.Terj. Burhan Wirasubrata. Jakarta: Serambi, 2007. Metwally, M.M. Teori dan Model Ekonomi Islam. Terj. M. Husein Sawit. Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995. Muslehuddin, Muhammad. Banking and Islamic Law. New Delhi: International Islamic Publishers, 1992. Perwataatmadja, Karnaen. Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia. Depok: Usaha Kami, 1996. ______ & Henri Tanjung. Bank Syariah: Teori, Praktik, dan Peranannya. Publishing, 2007.
Jakarta: Celestial
Al-Qard}a>wi>, Yu>suf. Bunga Bank Haram. Terj. Setiawan Budi Utomo. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2001. Rahman, Afzalur. Economic Doctrines of Islam. Lahore Pakistan: Islamic Publications LTD, 1985. Saeed, Abdullah. Islamic Banking And Interest: A Studi of Prohibition Riba and its Contemporary Interpretation. Leiden-New York: E.J. Brill, 1996. Sakti, Ali. Analisis Teoritis Ekonomi Islam Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern. Jakarta: Paradigma & Aqsa Publishing, 2007.
82
Vol. 7 No. 2, Juli 2014
Jurnal Al-‘Adl
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misba>h Volume 7. Jakarta: Lentera Hati, 2008. Siddiqi, Muhammad Nejatullah. Banking Whitout Interest. Lahore: Islamic Publications Limited Shahalam Market, 1997. ______. Issues in Islamic Banking. Leicester: The Islamic Foundation, 1994. Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya. Jakarta: Jayakarta Agung Offset, 2010. Stiglitz, Joseph E. Dekade Keserakahan Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia. Terj. Aan Suhaini. Jakarta: Marjin Kiri, 2006. Suyanto, Thomas dkk. Dasar-dasar Perkreditan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992. Swasono, Sri-Edi. Ekpose Ekonomika: Mewaspadai Globalilasasi dan Pasar Bebas. Yogyakarta: Pusat Studi Eekonomi Pancasila, 2010. ______. Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan: Mutualism & Brotherhood. Jakarta: UNJ Press, 2005. Yunus, Muhammad. Bank Kaum Miskin. Terj. Irfan Nasution. Serpong: Marjin Kiri, 2007. B. Artikel dan Makalah Beik, Irfan Syauki. Republika, 17 Oktober 2005. Chapra, M. Umer. “Monetary Management In an Islamic Economy.” Islamic Economic Studies Vol. 4, No. 1, (Desember 1996). Choudhry, Nurun N. and Abbas Mirakhor. “Indirect Instruments of Monetary Control in An Islamic Financial System.” Islamic Economic Studies, Vol. 4 No. 2 (May 1997). Sadeq, A.M. ”Factor Pricing and Income Distribution from an Islamic Perspective” dalam Journal of Islamic Economics, 1989. Swasono, Sri-Edi. “Paradigma Baru Ilmu Ekonomi”. Pidato Kunci pada Workshop Nasional
Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam: Upaya Akselerasi Sistem Ekonomi Islam di Indonesia.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 28 Februari 2012. ______. ”Ekonomi Islam dalam Pancasila”. Makalah International Seminar on Implementation of Islamic Economics dalam rangka Annual Meeting of Indonesian Economics Experts Association UNAIR, Surabaya, 1-3 Agustur 2008. http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/05/makalah-kebijakan-moneter.html
83