ANALISIS PENGARUH TENAGA KERJA DAN OUTPUT TERHADAP INDEKS KETIMPANGAN PENYERAPAN TENAGA KERJA INDUSTRI MANUFAKTUR DI KABUPATEN/KOTA DI WILAYAH PROVINSI JAWA TENGAH REZZA ALDILLA DRS. R. MULYO HENDARTO, MSP
ABSTRACT
Study is to analyze some factors that affecting employer gap index of manufacturing in Central Java in 2004-2008 . Independent variables is employer (X1) and output (X2). Dependent variable is employer gap index of manufacturing in Central Java in 2004-2008 (Y). Samples that took is 35 regency/city with probability sampling methode with sensus sampling technic. Analysis methode that used is classic asumption test, multikolonierity, heteroskedastisity, normality and autocorrelation test, regression analysis, goodness of fit test, determination coefficient, simultan significancy (F test) and individual parameter significancy (t test). All output adjust with testing criteria. Employers variable and output has positive coefficient with significancy level is 0,00 and 0,017. Determination coefficient (adjusted R2) is 0,998 or 99,8 percent of employer gap index of manufacturing in Central Java in 2004-2008 can explained with 2 independent variables. 0,2 percent others is out of model. Keywords : employers, output, employer gap index of manufacturing
PENDAHULUAN Latar Belakang Setiap daerah tentunya mengerjakan berbagai upaya dalam melakukan pembangunan ekonomi yang meliputi usaha masyarakat secara keseluruhan dalam upaya untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan mempertinggi tingkat kesejahteraan
masyarakatnya.
Pembangunan
merupakan
suatu
proses
multidimensional yang melibatkan perubahan - perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga - lembaga nasional termasuk pula percepatan atau akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan dan pemberantasan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). Artinya yang menjadi indikator pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan masalah kemiskinan. sektor-sektor perekonomian sesuai dengan keunggulannya. Keunggulan sektor ekonomi daerah, dikarenakan sektor tersebut mempunyai permintaan nasional atau ekspor yang tinggi. Hal itu dapat terjadi apabila biaya produksi rendah, sehingga memiliki daya saing yang tinggi dalam perekonomian yang lebih luas. Daya saing suatu daerah akan terlihat melalui proses perdagangan antar daerah (inter-regional) maupun internasional. Dalam jangka panjang sektor-sektor yang memiliki daya saing akan menjadi spesialisasi daerah (Suharto, 2002). Permasalahan utama dalam pembangunan ekonomi yakni mengatasi pengangguran, kemiskinan, ketimpangan dapat dicapai dengan pengembangan sektor-sektor perekonomian sesuai dengan keunggulan yang dimiliki daerah yang dipadukan dengan biaya produksi rendah sehingga memiliki daya saing yang tinggi dalam perekonomian yang lebih luas. Sektor industri manufaktur merupakan industri yang dipandang mampu sebagai pendorong dan penggerak ekonomi daerah demi tercapainya tujuan pembangunan regional dan nasional tersebut. Spesialisasi industri manufaktur daerah yang terbentuk dari daya saing yang tinggi akan menyebabkan berkembangnya sektor tersebut. Pertumbuhan sektor spesialisasi menyebabkan output, nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja
yang semakin meningkat sehingga akan tercipta kesempatan kerja yang semakin luas. Sektor manufaktur merupakan sektor industri yang berpotensi di Jawa Tengah. Akan tetapi, masih terdapat ketimpangan pangsa tenaga kerja manufaktur. Di satu sisi terdapat daerah dengan penyerapan tenaga kerja yang relatif besar seperti Kabupaten Jepara, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pekalongan, Kota Semarang dan Kabupaten Klaten. Di sisi lain terdapat daerah dengan pangsa penyerapan tenaga kerja yang sangat rendah seperti Kota Magelang, Kota Salatiga, Kota Tegal, Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blora. Menurut Kuncoro (2003) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa dilihat dari sudut pangsa tenaga kerja, nilai tambah maupun jumlah perusahaan yang beroperasi di Jabodetabek dan Bandung selama dua dekade terakhir terlihat beberapa fenomena yang cukup menarik untuk diamati lebih lanjut. Pertama, dewasa ini terdapat kecenderungan perkembangan aktifitas industri manufaktur di kota-kota inti (core region) dalam hal ini Metropolitan Jakarta dan Bandung terlihat menurun. Sementara itu di kota-kota pinggiran (fringe region) seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Botabek) aktifitas industri manufaktur justru semakin meningkat.
TELAAH TEORI Teori Pertumbuhan Wilayah Menurut Sadono Sukirno (1985) laju pertumbuhan ekonomi daerah diartikan sebagai kenaikan dalam produk domestik regional bruto tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari pada pertambahan jumlah penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Sedangkan menurut Tulus Tambunan, sedikit berbeda dengan Sadono Sukirno, ia berpendapat bahwa, pembangunan ekonomi dalam periode panjang, mengikuti pertumbuhan pendapatan nasional, akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Ada kecenderungan atau dapat dilihat sebagai
suatu hipotesis bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi rata – rata per tahun yang membuat semakin tinggi atau semakin cepat perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor – faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan baku dan teknologi tersedia (Tulus T.H. tambunan, 2001). Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang berlangsung dari tahun ke tahun (Sadono,1985), sehingga untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi harus dibandingkan pendapatan nasional dari berbagai tahun yang dihitung berdasarkan harga konstan dan harga berlaku. Perubahan dalam nilai pendapatan nasional hanya disebabkan oleh suatu perubahan dalam suatu tingkat kegiatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang (Boediono,1999). Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output per kapita. Di sini ada dua sisi penting yaitu output total dan jumlah penduduk. Output per kapita adalah output total dibagi jumlah penduduk. Aspek ketiga dari definisi pertumbuhan ekonomi adalah perspektif waktu jangka panjang. Kenaikan output per kapita selama satu atau dua tahun, yang kemudian diikuti dengan penurunan output per kapita bukan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan menurut Kuznets dalam (Todaro,2000) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari suatu negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional dan ideologis terhadap berbagai keadaan yang ada. Pengertian Tenaga Kerja Pengertian tenaga kerja Menurut UU No. 13 Tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
Payaman J. Simanjuntak (1998) menyatakan bahwa tenaga kerja atau manpower, sebagai berikut : “Tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan dan yang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Tiga golongan yang disebut terakhir, walupun sedang tidak bekerja dianggap secara fisik mampu dan sewaktu-waktu dapat ikut bekerja” Gambar 2.1 Gambar Komposisi Penduduk Dan Tenaga Kerja
Penduduk
Tenaga Kerja
Angkatan Kerja
Menganggur/ Mencari Kerja
Bekerja Penuh
Bukan Tenaga Kerja
Bukan Angkatan Kerja
Bekerja
Ibu Rumah Tangga
Sekolah
Setengah Menganggur
Kentara (Jam Kerja Sedikit)
Tidak Kentara Produktivitas Rendah
Sumber : Payaman J. Simanjuntak, 1998.
Penghasilan Rendah
Dibawah Usia Kerja
Penerima Pendapatan
Diatas Usia Kerja
BPS (Badan Pusat Statistik) membagi tenaga kerja (employed) atas 3 macam, yaitu : 1. Tenaga kerja penuh (full employed), adalah tenaga kerja yang mempunyai junlah jam kerja > 35 jam dalam seminggu dengan hasil kerja tertentu sesuai dengan uraian tugas. 2. Tenaga kerja tidak penuh atau setengah pengangguran (under employed), adalah tenaga kerja dengan jam kerja < 35 jam seminggu. 3. Tenaga kerja yang belum bekerja atau sementara tidak bekerja (unemployed), adalah tenaga kerja dengan jam kerja 0 > 1 jam per minggu. Secara praktis pengertian tenaga kerja atau bukan tenaga kerja hanya dibedakan oleh batasan umur. Tiap-tiap negara mempunyai batasan umur tertentu bagi setiap tenaga kerja. Tujuan dari penentuan batas umur ini adalah supaya definisi yang diberikan dapat menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Tiap negara memilih batasan umur yang berbeda, karena perbedaan situasi tenaga kerja di masing-masing negara yang berbeda. Berdasarkan Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan yang ditetapkan tanggal 1 Oktober 1998 telah ditentukan bahwa batasan minimal usia seorang tenaga kerja di Indonesia adalah 10 tahun atau lebih. Namun Indonesia tidak menganut batasan maksimum usia seorang tenaga kerja, hal ini terjadi karena Indonesia belum memiliki jaminan sosial nasional yang cukup kuat. Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja di Indonesia adalah penduduk yang telah berusia 15 tahun ke atas yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Konsep dan Pengertian Output Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan bahwa output adalah seluruh nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor-sektor produksi dengan memanfaatkan faktor produksi yang tersedia di suatu wilayah (negara, provinsi, dan sebagainya) dalam periode tertentu tanpa memperhatikan asal-usul pelaku
produksi maupun bentuk usahanya. Sepanjang kegiatan produksinya dilakukan pada wilayah yang bersangkutan maka produksinya dihitung sebagai bagian dari output wilayah tersebut, oleh karena itu output sering dikatakan sebagai produk domestik. Wujud produk yang dihasilkan dapat berupa barang dan jasa, maka perkiraan output untuk produksi berupa barang diperoleh dengan cara mengalikan produksi dengan harga per unit. Sedangkan yang berupa jasa, output didasarkan pada penerimaan dari jasa yang diberikan pada pihak lain. Produk yang dihasilkan oleh suatu sektor menurut sifat teknologi yang digunakan dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu produk utama, produk ikutan, dan produk sampingan. Produk utama adalah produk yang pada umumnya mempunyai nilai dan atau kuantitas yang paling dominan diantara produk-produk yang dihasilkan. Produk ikutan adalah produk yang secara otomatis terbentuk saat menghasilkan produk utama, teknologi yang digunakan untuk menghasilkan produk utama dan produk ikutan merupakan teknologi tunggal. Sedangkan yang dimaksud produk sampinga adalah produk yang dihasilkan sejalan dengan produk utama tetapi menggunakan teknologi yang berbeda. Secara umum untuk menghitung output suatu sektor, produk ikutan dimasukkan sebagai bagian dari output sektor yang bersangkutan, sedangkan produk
sampingan
masih
tergantung
pada
karakteristiknya.
Apabila
karakteristiknya sama maka masuk sebagai output sektor yang bersangkuta dan apabila berbeda karakteristiknya maka masuk pada sektor lain. Pada beberapa sektor penghitungan output relative berbeda, seperti sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor keuangan, dan sektor pemerintahan. Berikut ini adalah perkiraan nilai output dari sektor tersebut sebagai berikut : a. Output sektor bangunan adalah seluruh nilai proyek yang dikerjakan selama periode penghitungan tanpa memperhatikan apakah bangunan tersebut sudah selesai seluruhnya atau belum dan berlokasi pada wilayah domestik. Oleh karena itu output dari sektor ini pada umumnya diperoleh berdasarkan perkiraan.
b. Output sektor perdagangan mencakup seluruh margin perdagangan yang timbul dari kegiatan perdagangan pada suatu wilayah domestik. Yang dimaksud dengan margin perdagangan adalah selisih nilai jual dan nilai beli atas komoditi yang diperdagangkan dikurangi dengan biaya angkut. c. Output sektor bank terdiri dari jasa pelayanan di bidang perbankan dan imputasi jasa bank yaitu selisih bunga yang diterima dengan bunga yang dibayarkan. d. Output sektor pemerintahan terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan penyusutan barang-barang modal milik pemerintah.
Perindustrian (Manufacturing) Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sektor industri dibedakan menjadi industri besar dan sedang serta industri kecil dan rumah tangga. Definisi yang digunakan BPS, industri besar adalah perusahaan yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih, industri sedang adalah perusahaan dengan tenaga kerja 20 orang sampai 99 orang, industri kecil dan rumah tangga, adalah perusahaan dengan tenaga kerja 1 orang sampai 4 orang. Sektor industri yang dipandang strategis adalah industri manufaktur. Industri manufaktur dipandang sebagai pendorong atau penggerak perekonomian daerah. Seperti umumnya negara sedang berkembang, Indonesia memiliki sumberdaya alam yang melimpah dan setiap daerah memiliki keragaman keunggulan sumberdaya alam. Di sisi lain Indonesia memiliki jumlah penduduk/angkatan kerja yang sangat tinggi. Sektor manufaktur menjadi media untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah, yang pada gilirannya akan mampu menyerap tenaga kerja yang besar tadi. (Suharto, 2002). Di Indonesia, sejak awal 1990-an peran sektor industri bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin penting. Peran penting sektor industri ini terlihat dari kontribusinya yang cukup besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto. Sementara itu sektor pertanian yang sebelumnya merupakan penggerak utama
pertumbuhan ekonomi (the leading sektor) perannya semakin menurun. Data menunjukkan bahwa pada tahun 1985 kontribusi sektor manufaktur masih berada pada peringkat kedua yakni sebesar 15,98 persen dan kontribusi sektor pertanian menduduki peringkat pertama yaitu sebesar 23,21 persen. Keadaan ini kemudian berbalik pada tahun 1991, sektor pertanian kontribusinya justru menurun menjadi 19,66 persen sementara sektor manufaktur meningkat melampaui sektor pertanian menjadi 20,96 persen. Penurunan kontribusi sektor pertanian terus berlangsung hingga nilai kontribusinya menjadi 17,14 persen pada tahun 1995 dan pada tahun 2000 kontribusinya hanya tinggal 17,03 persen. Sebaliknya kontribusi sektor manufaktur memperlihatkan peningkatan yang pesat menjadi 24,13 persen pada tahun 1995 dan 26,16 persen ditahun 2000. Peningkatan nilai kontribusi ini semakin memantapkan kedudukan sektor manufaktur sebagai engine of growth perekonomian Indonesia. Pertumbuhan sektor industri yang cukup pesat menunjukkan keberhasilan industrialisasi yang tidak terlepas dari berbagai kebijakan dan strategi yang telah ditempuh pemerintah untuk mendorong dan merasang investasi disektor industri, diantaranya melalui penerapan strategi industri substitusi impor maupun strategi promosi ekspor. Namun demikian, ternyata keberhasilan ini tidak diiringi dengan penyebaran aktifitas industri yang merata secara spasial. Aktifitas industri Indonesia hanya terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu saja. Konsentrasi lokasi industri yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan industri. Ekonomi dari suatu daerah dengan konsentrasi industri rendah akan cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Williamson tahun 1965 menyatakan bahwa selama tahap awal pembangunan disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah – daerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang dilihat dari pertumbuhan ekonomi tampak adanya keseimbangan antar daerah dimana disparitas berkurang dengan signifikan.
Menurut Montgomery dalam Kuncoro (2002), industri yang terlokalisasi adalah konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja dan konsumen. Pengertian ekonomi industri yang terlokalisasi juga berkaitan dengan eksternalitas kedekatan geografis dari kegiatan – kegiatan ekonomi, bahwa ekonomi industri yang terlokalisasi merupakan suatu bentuk dari eksternalitas positif dalam produksi yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan suatu kota. (Bradley and Gans, 1996). Sementara Markusen menyatakan bahwa industri yang terlokalisasi merupakan suatu lokasi yang “tidak mudah berubah” akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa- jasa, dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual (Mudrajad Kuncoro, 2002). Pelopor teori neo klasik mengajukan argumentasi bahwa konsentrasi industri muncul dari perilaku para pelaku ekonomi dalam mencari penghematan, baik penghematan lokalisasi maupun urbanisasi. (Mudrajad Kuncoro, 2002). Dalam sistem perkotaan teori neo klasik, mengasumsikan adanya persaingan sempurna sehingga kekuatan sentripetal konsentrasi industri disebut sebagai ekonomi eksternal murni. (Krugman, 1998). Sistem perkotaan versi Neoklasik mencoba melukiskan gaya sentripetal dari konsentrasi industri sebagai penghematan eksternal.
METODOLOGI PENELITIAN Variabel Penelitian Variabel adalah konsep yang mempunyai bermacam – macam nilai. Variabel – variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen yaitu variabel yang bersifat terikat, besarnya
tergantung atau dipengaruhi oleh variabel – variabel lain. Sedangkan variabel independen merupakan variabel yang bersifat tidak terikat atau bebas, dimana besarnya tidak dipengaruhi oleh variabel – variabel lainnya. Definisi Operasional Definisi Operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada variabel atau konstruk dengan cara memberi arti, atau menspesifikasi kegiatan, atau memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut (Mohamad Nazir, 1988). Variabel yang digunakan dalam analisis data ini adalah:
Tabel 3.1 Variabel dan Definisi Operasional
No 1
Variabel
Definisi Operasional
Ketimpangan
Ketimpangan
Regional (Y)
kerja
industri
penyerapan manufaktur
Sumber Data tenaga Badan
Pusat
yang Statistik, Jawa
terjadi akibat perbedaan sumber daya Tengah dalam alam dan sumber daya manusia yang angka
yang
dimiliki yang dalam hal ini dihitung diolah. dengan menggunakan Indeks Theil dan dinilai dengan satuan persentase.
2
Pangsa Tenaga
Perbandingan antara jumlah tenaga Badan
Pusat
Kerja (X1)
kerja yang diserap oleh industri Statistik, Jawa manufaktur di Kabupaten / Kota Tengah dalam dengan jumlah tenaga kerja yang angka
yang
diserap oleh industri besar sedang di diolah. Jawa Tengah yang dinilai dengan persentase. 3
Output (X2)
Output yang dihasilkan oleh industri Badan
Pusat
pengolahan besar sedang di Jawa Statistik, Jawa Tengah yang dinilai dengan satuan Tengah dalam rupiah.
angka.
Metode Analisis Indeks Ketimpangan Theil
Metode dan alat analisis yang digunakan untuk estimasii dan pengukuran dalam penelitian ini adalah Indeks Theil. Konsep entropi dari suatu distribusi pada dasarnya merupakan aplikasi konsep informasi dalam mengukur kesenjangan ekonomi dan konsentrasi industri. Adalah Henry Theil yang memperkenalkan entropi dalam menganalisis perilaku produksi mobil berpenumpang dan dekomposisi pendaftaran mobil baru di AS selama 1936-1964 dan 1959-1964. studi empiris yang dilakukan Theil dengan menggunakan indeks entropi menawarkan pandangan yang tajam mengenai pendapatan regional perkapita dan kesenjangan pendapatan, kesenjangan internasional, dan distribusi produk domestik bruto dunia. Indeks
ini
dikembangkan
karena
kelemahan
indeks
lain.
Kelemahan indeks lain yang mengukur konsentrasi atau dispersi secara spasial adalah bahwa mereka hanya menyajikan satu nilai tunggal pada satu waktu tertentu. Sebaliknya indeks entropi menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan dengan indeks konsentrasi spasial yang lain. Keunggulan utama indeks ini adalah bahwa pada satu titik waktu, indeks ini menyediakan ukuran derajat konsentrasi ataupun dispersi distribusi spasial pada suatu daerah atau sub daerah dalam suatu negara. Berbagai studi empiris menunjukkan bahwa analisis dengan menggunakan indeks entropi telah terbukti amat berguna dalam analisa perubahan pola lokasi imdustri dan suburbanisasi tenaga kerja di kawasan metropolitan. Barangkali karakteristik yang paling signifikan dari indeks entropi adalah bahwa indeks ini dapat membedakan kesenjangan antardaerah dan
kesenjangan dalam satu daerah. Lebih khusus lagi dalam konteks Jawa Tengah, Indeks Theil dapat dinyatakan dalam :
Dimana I(y) adalah indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja kabupaten/kota untuk seluruh Jawa Tengah, Yi adalah persentase penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur kabupaten/kota I terhadap provinsi Jawa Tengah, N merupakan jumlah kabupaten/kota di Jawa Tengah. Indeks ini digunakan untuk menghitung pangsa tenaga kerja industri manufaktur di Jawa Tengah tahun 2004-2008.
Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel bebas yaitu: penyerapan tenaga kerja (X1) dan output (X2) terhadap Ketimpangan tenaga kerja Kabupaten/Kota di Jawa Tengah (Y). Adapun bentuk persamaan regresi linier berganda yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut : Y = a + b1X1 + b2X2 + e Keterangan : Y
= Indeks Ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
a
= Konstanta
b1,b2
= Koefisien regresi
X1
= Pangsa penyerapan tenaga kerja industri manufaktur
X2
= Output industri manufaktur
e
= error atau sisa (residual)
Uji Asumsi Klasik Deteksi Normalitas Data
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah
data
berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Uji normalitas digunakan Uji Normalitas Residual Gujarati. Pada prinsipnya normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumber diagonal dari grafik atau dengan melihat histogram dari residualnya. Dasar pengambilan keputusannya adalah (Ghozali, 2007): a. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi menunjukkan asumsi normalitas. b. Jika data menyeber jauh dari diagonal dan atau tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya tidak menunjukkan pola distribudi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.
Uji Multikolinearitas Pada mulanya multikolinearitas berarti adanya hubungan linear (korelasi) yang sempurna atau pasti, diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi. Tepatnya istilah multikolinearitas berkenaan dengan terdapatnya lebih dari satu hubungan linear pasti dan istilah kolinearitas berkenaan dengan terdapatnya satu hubungan linear. Tetapi pembedaan ini jarang diperhatikan dalam praktek, dan multikolinearitas berkenaan dengan
kedua kasus tadi (Gujarati, 2003). Multikolinearitas dalam penelitian dideteksi dengan melihat: (1)
Nilai R2 dan nilai t statistik yang signifikan. Apabila terdapat R2 yang tinggi tetapi hanya sedikit nilai t statistik yang signifikan, maka mengindikasikan adanya masalah multikolinearitas.
(2)
Auxiliary Regressions yaitu dengan membandingkan nilai R2 regresi utama dengan nilai R2 regresi parsial. Regresi parsial didapatkan dengan meregresikan variabel-variabel independen secara bergantian. Apabila nilai R2 regresi parsial lebih besar daripada nilai R2 regresi utama maka mengindikasikan adanya multikolinearitas.
Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah keadaan dimana variabel gangguan pada periode tertentu berkorelasi dengan variabel yang pada periode lain, dengan kata lain variabel gangguan tidak random. Faktor-faktor yang menyebabkan autokorelasi antara lain kesalahan dalam menentukan model, penggunaan lag pada model, memasukkan variabel yang penting. Akibat dari adanya autokorelasi adalah parameter yang diestimasi menjadi bias dan variannya minimum, sehingga tidak efisien. (Gujarati, 2003). Dalam penelitian ini digunakan uji Durbin-Watson untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi. Uji Durbin-Watson digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan dengan syarat adanya intercept (konstanta) dalam model regresi serta tidak ada variabel lag diantara variabel bebas. Atau bisa juga dilihat dengan menggunakan Serial Corellation LM Test yang tersedia pada program Eviews 4.1. Dengan melihat nilai F dan obs*R-squared dapat diketahui ada tidaknya autokorelasi. Jika nilai probability dari
obs*R-squared melebihi tingkat keberartian maka Ho diterima dan berarti tidak ada masalah serius dengan autokorelasi.
Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pangamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas, da jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas (Ghozali, 2007). Adanya heteroskedastisitas mengakibatkan koefisien menjadi tidak efisien karena adanya large error variances atau mungkin masih unbiased, atau juga keduanya (Widiyanto, 2008). Salah satu cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas :melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat (dependen) yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual yang telah di-studentized. Dasar analisinya adalah (Ghozali, 2007) : a. jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang membentuk pola yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. b. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan dibawah
angka
heteroskedastisitas.
0
pada
sumbu
Y,
maka
tidak
terjadi
Uji Signifikansi Individu (Uji t) Uji t dilakukan untuk melihat signifikansi dari pengaruh variabel bebas secara individual terhadap variabel terikat dengan menganggap
variabel
bebas
lainnya
adalah
konstan.
Uji
t
menggunakan hipotesis sebagai berikut (Gujarati, 2003) H0 : bi = b H1 : bi ≠ b Dimana bi adalah koefisien variabel independen ke–i sebagai nilai parameter hipotesis. Nilai b biasanya dianggap nol, artinya tidak ada pengaruh variabel Xi terhadap Y. Bila nilai t hitung lebih besar dari t tabel maka t hitung diterima sementara Ho ditolak. Hal ini berarti bahwa variabel bebas yang diuji berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat. Nilai t hitung dirumuskan dengan :
t hitung =
(bi − b ) Sb
......................................................................(3.5) Dimana : bi : Koefisien bebas ke-i b : Nilai hipotesis nol Sb : Simpangan baku (standar deviasi) dari variabel bebas ke-i
Gambar 3.1 Kurva Distribusi t
Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Uji F dilakukan untuk melihat pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat secara keseluruhan. Hipotesis yang digunakan dalam uji F adalah: Ho : bi = ..... = bk = 0 (tidak ada pengaruh) H1 : bi ≠ 0 (ada pengaruh) untuk i = 1 .... k
Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai F hitung dengan nilai F tabel. Jika nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel, maka Ho ditolak, artinya variabel babas secara bersama–sama mempengaruhi variabel terikat. Menurut Gujarati (2003) nilai F dirumuskan dengan:
F=
R 2 (k − 1) (1 − R 2 ) (n − k )
.......................................................................(3.6)
Dimana: R² : Koefisien determinasi k : Jumlah variabel independen n : Jumlah sampel
Gambar 3.2 Kurva Distribusi F
Koefisien Determinasi (R²) Koefisien Determinasi (R²) digunakan untuk mengukur kebenaran model analisis regresi. Dimana apabila nilai R² mendekati 1 maka ada hubungan yang kuat dan erat antara variabel terikat dan variabel bebas dan penggunaan model tersebut dibenarkan. Sedangkan menurut Gujarati (2003) koefisien determinasi adalah untuk mengetahui seberapa besar persentase sumbangan variabel bebas terhadap variabel terikat yang dapat dinyatakan dalam persentase.
Namun tidak dapat dipungkiri ada kalanya dalam penggunaan koefisien determinasi (R²) terjadi bias terhadap satu variabel bebas yang dimasukkan dalam model. Sebagai ukuran kesesuaian garis regresi dengan sebaran data, R2 menghadapi masalah karena tidak memperhitungkan derajat bebas. Sebagai alternatif digunakan
corrected atau adjusted R² yang dirumuskan: (n − 1) AdjR 2 = 1 − 1 − R 2 n−k
(
)
...................................................(3.7) dimana: R² : Koefisien determinasi k : Jumlah variabel independen n : Jumlah sampel sehingga dalam analisis penelitian ini digunakan adjusted R2.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Intepretasi Hasil dan Pembahasan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh hasil sebagai berikut :
Pengaruh pangsa tenaga kerja terhadap indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pangsa tenaga kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur dengan arah koefisien positif.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati dan Kuncoro (2003), yang menyatakan bahwa variabel pangsa tenaga kerja mempunyai hubungan dengan pertumbuhan dan konsentrasi industri manufaktur. Bila pangsa tenaga kerja semakin besar maka indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur juga akan bergerak ke arah yang sama. Arah koefisien regresi positif sebesar 3,2 pada variabel pangsa tenaga kerja menyatakan bahwa setiap peningkatan pangsa tenaga kerja sebesar 1 persen akan menjadikan indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur di Jawa Tengah meningkat sebesar 3,2 persen.
Pengaruh output terhadap indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel output
memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur dengan arah yang koefisien positif. Hasil ini memberikan bukti bahwa semakin tinggi tingkat output
maka indeks
ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur akan semakin besar pula.
Hidayati dan Kuncoro (2003) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa variabel jumlah perusahaan
mempunyai hubungan
ketimpangan tenaga kerja industri manufaktur. Arah koefisien regresi positif sebesar 0,141 pada variabel output menyatakan bahwa setiap peningkatan output sebesar 1 persen akan menjadikan indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur di Jawa Tengah meningkat sebesar 0,141 persen.
SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil analisis data yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1.
Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa variabel pangsa tenaga kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur. Bila pangsa tenaga kerja semakin besar maka indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur juga akan bergerak ke arah yang sama.
2.
Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa variabel output
memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur. Hasil ini memberikan bukti bahwa semakin tinggi tingkat output maka indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur akan semakin besar pula.
Keterbatasan Penelitian Dari hasil analisis yang dilakukan masih terdapat keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Variabel terikat (dependent) yaitu indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur hanya dihitung dari pangsa penyerapan tenaga kerja atau X1 sehingga terjadi bias dalam hasil penelitian. 2. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini sangat sederhana karena hanya menggunakan dua variabel independen.
Saran-Saran Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikemukakan bahwa variabel pangsa tenaga kerja dan output mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur. Pengaruh positif pangsa tenaga kerja terhadap indeks ketimpangan penyerapan tenaga kerja mengindikasikan bahwa penyerapan tenaga kerja di kabupaten/kota di Jawa Tengah tidak optimal. Ini disebabkan oleh perkembangan industri di Jawa Tengah cenderung lambat. Oleh karena itu, pemerintah daerah dapat mendorong perkembangan industri melalui kebijakan yang mendorong investasi. Pengaruh output yang positif terhadap indeks ketimpangan tenaga kerja industri manufaktur di Jawa Tengah mengindikasikan bahwa belum meratanya persebaran industri-industri dengan skala besar di seluruh Jawa Tengah. Sehubungan dengan hal ini maka perlu dikembangkan kawasan industri terpadu dan terspesialisasi di beberapa daerah yang mempunyai tingkat penyerapan tenaga kerja sektor industri manufaktur yang rendah. Spesialisasi industri diperlukan guna menambah daya saing produk pada satu daerah tertentu yang berbeda dengan daerah lain.
REFERENSI Badan Pusat Statistik, 2006, Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2006, Semarang , 2007, Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007, Semarang , 2008, Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2008, Semarang , 2009, Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2009, Semarang , 2010, Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2010, Semarang , 2010, Industri Sedang Dan Besar Di Jawa Tengah Tahun 2010, Semarang Boediono. 1999. Pengantar Teori Ekonomi. BPFE : Yogyakarta Gujarati, Damodar. 1988. Basic Econometrics. Mc Graw Hill international Book Company Hidayati, Amini dan Mudrajad Kuncoro. 2003. ”Konsentrasi Geografis Industri Manufaktur Di Greater Jakarta Dan Bandung Periode 1980-2000”. Dalam Jurnal Media Ekonomi, Volume 13 Yogyakarta: UPN Veteran Imam Ghozali. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. BP : Universitas Diponegoro Matitaputty, Shandy Jennifer, 2010, ”Análisis Faktor Aglomerasi Industri Manufaktur Terhadap Hubungan Antara Pertumbuhan Dengan Ketimpangan Regional Antar Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah Tahun 1994-2007”. Skripsi tidak dipublikasikan, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Mudrajad Kuncoro. 2009. Metode Riset Untuk Bisnis & Ekonomi. Jakarta : Erlangga
. 2004. Otonomi Dan Pembangunan Daerah . Jakarta : Erlangga Nuryadin, Didi dan Jamzani Sodik. 2007. ”Kajian Strategi Pengembangan Investasi Daerah Kabupaten Kulon Progo Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Dalam Jurnal Media Ekonomi, Volume 13 No. 2. Hal 153-174 Yogyakarta: UPN Veteran Sadono Sukirno .1985, Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah dan Kebijakan, Bina Grafik . 1994. Pengantar Teori Ekonomi. Jakarta : Raja Grafindo Persada Simanjuntak Payaman, J. 1998. Ekonomi Sumberdaya Manusia. Jakarta : LP FE UI
Suharto. 2002. Disparitas Dan Pola Spesialisasi Tenaga Kerja Industri Regional 1993 – 1996 Dan Prospek Pelaksanaan Otonomi. Jurnal Ekonomi Pembangunan hal 33 – 44 Tambunan Tulus, T.H., 2001, Transformasi Ekonomi di Indonesia : Teori dan Temuan Empiris, Salemba Empat, Jakarta Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Ketujuh. Jakarta : Erlangga Tri Widodo. 2006. Perencanaan Pembangunan Aplikasi Komputer (Era Otonomi Daerah). Yogyakarta : UPP STIM YKPN
LAMPIRAN
Lampiran A : Jumlah Tenaga Kerja Industri Manufaktur Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2008
Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
2004 5.733 4.087 13.344 1.839 4.599 2.824 5.596 12.375 17.099 15.148 47.225 1.203 41.545 7.256 556 2.191 8.473 15.949 66.293 21.083 13.804 49.772 4.880 17.290 10.263 20.636 6.315 10.874 3.255 1.616 14.417 7.166 82.618 11.523 6.384
JUMLAH TENAGA KERJA (X1) 2005 2006 2007 7.594 11.402 9.671 3.967 6.074 5.418 16.130 24.983 30.695 1.854 1.988 2.669 4.993 6.796 7.602 2.833 2.854 3.093 5.943 5.741 5.723 11.818 12.681 12.541 16.191 15.526 14.430 14.445 18.424 19.788 45.169 52.118 49.656 1.201 2.355 1.486 38.347 43.551 49.482 9.955 13.548 13.973 604 1.053 759 2.540 2.993 2.839 3.260 7.598 7.530 16.764 19.960 19.504 75.258 89.581 103.369 21.787 40.184 29.669 13.640 15.874 15.290 62.095 69.699 67.830 6.147 7.536 8.703 17.910 17.137 20.345 11.318 14.759 14.482 24.739 30.566 29.867 5.788 7.931 8.260 11.347 12.383 12.941 2.332 4.265 4.185 1.870 2.464 2.354 12.787 17.297 15.953 6.794 7.322 7.439 78.535 96.208 94.426 58.445 17.271 14.357 6.449 7.415 7.447
2008 9.405 5.269 29.851 2.596 7.393 3.008 5.566 12.196 14.033 19.244 48.290 1.445 48.121 13.589 738 2.761 7.323 18.968 100.526 28.853 14.869 65.964 8.464 19.785 14.084 29.046 8.033 12.585 4.070 2.289 15.514 7.234 91.829 13.962 7.242
Lampiran B : Pangsa Penyerapan Tenaga Kerja Industri Manufaktur Di Jawa Tengah Tahun 2004-2008
Kabupaten
2004
2005
2006
2007
2008
Cilacap
1,03
1,22
1,61
1,35
1,35
Banyumas
0,74
0,64
0,86
0,76
0,76
Purbalingga
2,40
2,60
3,53
4,30
4,30
Banjarnegara
0,33
0,30
0,28
0,37
0,37
Kebumen
0,83
0,80
0,96
1,07
1,07
Purworejo
0,51
0,46
0,40
0,43
0,43
Wonosobo
1,01
0,96
0,81
0,80
0,80
Magelang
2,23
1,90
1,79
1,76
1,76
Boyolali
3,08
2,61
2,19
2,02
2,02
Klaten
2,73
2,33
2,60
2,77
2,77
Sukoharjo
8,51
7,28
7,37
6,96
6,96
Wonogiri
0,22
0,19
0,33
0,21
0,21
Karanganyar
7,48
6,18
6,16
6,93
6,93
Sragen
1,31
1,60
1,91
1,96
1,96
Grobogan
0,10
0,10
0,15
0,11
0,11
Blora
0,39
0,41
0,42
0,40
0,40
Rembang
1,53
0,53
1,07
1,05
1,05
Pati
2,87
2,70
2,82
2,73
2,73
Kudus
11,94
12,12
12,66
14,48
14,48
Jepara
3,80
3,51
5,68
4,16
4,16
Demak
2,49
2,20
2,24
2,14
2,14
Semarang
8,96
10,00
9,85
9,50
9,50
Temanggung
0,88
0,99
1,07
1,22
1,22
Kendal
3,11
2,88
2,42
2,85
2,85
Batang
1,85
1,82
2,09
2,03
2,03
Pekalongan
3,72
3,98
4,32
4,18
4,18
Pemalang
1,14
0,93
1,12
1,16
1,16
Tegal
1,96
1,83
1,75
1,81
1,81
Brebes
0,59
0,38
0,60
0,59
0,59
Kota Magelang
0,29
0,30
0,35
0,33
0,33
Kota Surakarta
2,60
2,06
2,44
2,23
2,23
Kota Salatiga
1,29
1,09
1,03
1,04
1,04
14,88
12,65
13,60
13,23
13,23
Kota Pekalongan
2,08
9,41
2,44
2,01
2,01
Kota Tegal
1,15
1,04
1,05
1,04
1,04
Kota Semarang
Lampiran C : Output Industri Manufaktur Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2008
Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
2004 1.977.555.089 177.965.479 247.239.021 93.121.479 61.910.239 105.527.099 292.918.607 692.451.327 1.758.143.572 534.717.315 4.997.726.186 49.113.065 5.363.656.424 2.121.369.813 18.394.077 63.232.834 1.643.563.496 1.117.059.640 8.864.630.699 1.038.295.191 2.092.791.674 5.829.246.867 664.812.151 2.919.209.178 660.299.500 942.083.208 449.259.878 605.267.515 154.803.850 222.341.230 1.706.005.073 790.864.026 14.234.581.033 1.123.636.990 284.646.339
NILAI OUTPUT (X2) 2005 2006 2.105.974.935 3.788.941.233 259.543.328 380.519.580 302.381.764 469.218.415 112.015.483 134.611.827 76.340.224 118.155.308 86.834.513 153.365.626 302.211.576 385.978.153 710.748.029 901.599.656 1.623.354.177 1.764.203.175 664.206.288 1.910.924.424 4.562.126.851 5.745.116.633 161.635.306 175.626.683 3.483.438.398 5.146.336.923 2.846.157.109 4.214.269.215 24.342.805 49.810.786 63.440.377 94.519.678 508.315.455 482.225.420 1.715.252.680 2.361.683.993 6.829.801.503 9.887.670.232 849.230.097 2.588.651.746 1.520.431.395 2.380.612.802 7.977.690.985 9.413.018.017 746.585.337 991.906.409 3.762.114.204 4.504.807.706 711.017.127 1.123.643.415 1.243.101.802 1.553.330.708 511.203.280 451.406.917 651.978.381 879.426.522 244.644.882 299.931.096 253.127.390 396.159.790 989.722.126 1.321.432.114 788.289.655 957.091.681 17.493.791.380 17.094.502.268 817.186.787 942.581.808 351.979.704 385.904.141
2007 4.834.268.161 441.865.342 1.952.523.435 182.278.796 170.463.673 144.672.856 548.801.067 3.109.411.984 2.265.234.306 1.173.408.551 5.684.626.402 159.838.906 7.855.342.861 5.327.376.325 75.852.671 520.833.202 526.824.264 3.769.601.278 32.539.587.879 3.766.438.069 2.369.843.966 8.261.931.808 978.967.242 4.278.817.975 1.150.169.564 1.712.484.267 434.240.366 1.922.969.991 340.475.356 232.289.690 1.294.363.053 672.443.442 21.261.839.158 963.438.878 456.249.260
2008 5.494.243.812 502.188.923 2.219.082.484 207.163.549 193.735.422 164.423.635 623.723.543 3.533.909.784 2.574.484.731 1.333.602.617 6.460.693.200 181.660.159 8.927.756.481 6.054.671.241 86.208.099 591.937.497 598.746.461 4.284.228.306 36.981.901.582 4.280.633.255 2.693.375.732 9.389.853.066 1.112.616.126 4.862.963.410 1.307.191.037 1.946.273.102 493.522.983 2.185.494.396 386.957.147 264.001.944 1.471.069.862 764.245.610 24.164.511.429 1.094.967.825 518.536.538
Lampiran D : Nilai Tambah Industri Manufaktur Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004-2008
Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal
2004 555.035.866 49.193.839 131.272.468 25.449.989 18.396.041 32.927.905 88.117.890 292.240.597 350.817.384 190.500.357 2.032.197.770 18.924.062 1.850.893.619 444.191.250 7.819.116 22.365.818 523.046.618 486.561.703 5.099.755.687 454.511.600 768.875.732 2.570.266.297 170.874.246 851.405.945 351.461.673 211.241.875 252.848.959 136.000.785 72.489.066 66.019.324 620.774.827 170.450.336 5.072.109.613 454.310.804 109.036.029
2005 975.859.323 71.091.390 139.317.138 35.620.039 25.910.268 31.049.321 102.095.335 308.897.756 302.342.606 174.758.960 1.889.207.256 79.885.483 886.115.701 506.487.092 10.348.904 23.839.892 301.495.985 787.717.796 2.950.641.505 305.151.282 555.893.083 2.590.989.194 76.950.296 967.973.884 374.794.265 329.381.176 250.353.877 163.508.429 118.169.417 66.858.064 346.198.991 139.362.235 5.468.402.862 245.548.306 110.735.762
2006 1.947.956.544 133.115.632 274.794.029 28.366.420 35.448.822 42.319.087 116.849.581 363.594.984 533.044.024 553.470.025 2.619.845.296 87.016.274 1.084.382.892 1.004.759.478 13.416.537 38.286.949 127.494.955 1.118.822.145 3.965.560.202 1.101.992.190 973.154.276 2.923.748.985 230.757.506 1.554.149.413 421.481.740 409.312.113 109.863.077 240.499.531 58.182.014 189.528.596 417.180.898 162.335.623 6.002.226.685 313.009.866 125.080.164
2007 1.892.451.841 103.584.739 755.178.258 59.483.227 57.328.741 45.897.631 195.562.505 1.112.318.949 761.968.644 386.832.238 2.359.310.842 31.263.160 2.188.007.452 1.233.481.274 14.342.260 356.315.706 121.629.204 1.404.553.344 8.741.490.179 1.238.698.325 995.352.029 3.576.971.214 237.509.545 1.778.650.003 533.632.184 638.658.065 160.812.641 1.063.437.307 150.693.710 118.116.998 538.994.147 217.025.840 6.406.961.712 334.500.755 168.362.708
2008 2.016.655.980 110.383.144 804.741.615 63.387.191 61.091.303 48.909.954 208.397.533 1.185.321.926 811.977.663 412.220.554 2.514.155.560 33.315.003 2.331.609.300 1.314.436.295 15.283.562 379.701.181 129.611.891 1.496.736.054 9.315.205.841 1.319.995.748 1.060.678.311 3.811.732.607 253.097.613 1.895.385.175 568.655.176 680.574.046 171.366.989 1.133.232.116 160.583.939 125.869.174 574.369.052 231.269.535 6.827.459.156 356.454.486 179.412.577
Lampiran E : Indeks Theil Penyerapan Tenaga Kerja Antar Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah Tahun 2004-2008 Kabupaten
2004
2005
2006
2007
2008
Cilacap
2,33
2,85
3,95
3,22
3,22
Banyumas
1,55
1,31
1,87
1,61
1,61
Purbalingga
6,31
6,90
9,85
12,37
12,37
Banjarnegara
0,58
0,51
0,48
0,68
0,68
Kebumen
1,79
1,73
2,14
2,42
2,42
Purworejo
0,99
0,87
0,75
0,81
0,81
Wonosobo
2,26
2,13
1,75
1,72
1,72
Magelang
5,78
4,80
4,47
4,37
4,37
Boyolali
8,41
6,94
5,67
5,15
5,15
Klaten
7,31
6,07
6,92
7,45
7,45
Sukoharjo
26,99
22,59
22,91
21,46
21,46
Wonogiri
0,34
0,30
0,59
0,33
0,33
23,32
18,74
18,66
21,38
21,38
Sragen
3,08
3,93
4,84
4,96
4,96
Grobogan
0,12
0,12
0,21
0,13
0,13
Blora
0,73
0,76
0,79
0,73
0,73
Rembang
3,70
1,03
2,44
2,39
2,39
Pati
7,76
7,22
7,60
7,32
7,32
Kudus
39,64
40,32
42,36
49,29
49,29
Jepara
10,72
9,78
17,02
11,90
11,90
Demak
6,56
5,68
5,82
5,51
5,51
28,65
32,44
31,88
30,61
30,61
Temanggung
1,92
2,22
2,42
2,84
2,84
Kendal
8,52
7,80
6,36
7,69
7,69
Batang
4,64
4,56
5,34
5,17
5,17
10,46
11,33
12,44
11,99
11,99
Pemalang
2,61
2,06
2,57
2,67
2,67
Tegal
4,96
4,58
4,35
4,54
4,54
Brebes
1,18
0,68
1,22
1,18
1,18
Kota Magelang
0,50
0,52
0,62
0,58
0,58
Kota Surakarta
6,90
5,27
6,43
5,79
5,79
Karanganyar
Semarang
Pekalongan
Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal INDEKS THEIL
3,04
2,50
2,34
2,36
2,36
50,82
42,31
45,91
44,51
44,51
5,31
30,28
6,42
5,12
5,12
2,65 292,44
2,35 293,47
2,37 291,77
2,36 292,62
2,36 292,62
Lampiran F : Tabel Regresi Berganda
Deteksi Regression [DataSet0]
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 22708.084 49.751 22757.835
df 2 172 174
Mean Square 11354.042 .289
F 39253.330
a. Predictors: (Constant), Output, TK b. Dependent Variable: IT
Model Summary Model 1
R R Square a .999 .998
Adjusted R Square .998
Std. Error of the Estimate .53782
a. Predictors: (Constant), Output, TK
Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered Output, TKa
Variables Removed .
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: IT
Method Enter
Sig. .000a