1268: Iwan Setyadi & Arie Hendarto
TR-72
PENGEMBANGAN PADUAN ALUMINIUM-NIKEL BRONZE UNTUK APLIKASI MODEL BALING-BALING KAPAL PENUMPANG BERDAUN LIMA PADA IKM PENGECORAN LOGAM DI KABUPATEN TEGAL Iwan Setyadi∗ dan Arie Hendarto Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pusat Teknologi Industri Proses Gedung Teknologi 2 Lantai 3 Kawasan Puspiptek Serpong-Tangerang Telepon (021) 75875940 - 758944 ∗
e-Mail:
[email protected]
Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Baling-baling kapal merupakan salah satu komponen penting kapal yang memberikan tenaga dengan mengubah putaran mesin menjadi gaya gerak atau gaya dorong pada kapal. Kehandalan suatu baling-baling kapal ditentukan oleh kekuatan, daya tahan aus dan korosi yang dimiliki, dimana peranan jenis logam paduan sangat menentukan. Dalam upaya mengembangkan dan memberdayakan industri kecil pembuat komponen kapal yang merupakan potensi kabupaten Tegal, maka dilakukan riset pengembangan pembuatan baling-baling kapal penumpang, khususnya baling-baling berdaun lima dengan pengecoran paduan Al-Ni bronze. Dalam tulisan ini dibahas peramuan dan aplikasi paduan Al-Ni bronze untuk pengecoran model baling-baling kapal penumpang berdaun lima dengan memvariasikan kandungan aluminiumnya. Pengecoran dilakukan dengan menggunakan cetakan kombinasi, yaitu cetakan kulit (shell moulding) dan cetakan green sand. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perancangan paduan B dengan target Al sebesar 9% memiliki komposisi kimia yang sesuai dengan standar, dimana kandungan Al aktual sebesar 8,65% dan memiliki kekerasan sebesar 170,2 BHN. Sedangkan perancangan paduan A dan C memiliki kandungan Al aktual sebesar 6,7% dan 11,21%, namun di luar batasan standar BKI. Dengan demikian rancangan paduan B dapat dijadikan acuan untuk pembuatan prototype baling-baling dengan ukuran sebenarnya. Kata Kunci: Perancangan, paduan, Al-Ni bronze, baling-baling kapal, pengecoran.
I.
PENDAHULUAN
Salah satu dari 22 kegiatan ekonomi prioritas nasional dalam MP3EI adalah industri perkapalan yang saat ini sangat dibutuhkan dalam rangka penguatan konektivitas nasional.[1] Tingginya permintaan dari pasar lokal maupun global, membuat kinerja industri perkapalan nasional menunjukkan peningkatan. Dengan menguatnya industri perkapalan di Indonesia seharusnya secara otomatis akan meningkatkan perkembangan industri penunjangnya, termasuk komponen kapal. Namun sayangnya industri perkapalan saat ini masih menghadapi berbagai kendala yaitu masih tingginya impor kapal dan komponennya, kapasitas galangan kapal yang masih terbatas, serta kurangnya dukungan pemerintah terhadap tumbuhnya industri komponen dalam negeri. Baling-baling kapal merupakan salah satu komponen penting kapal yang berfungsi sebagai pemberi gaya
dorong pada kapal.[2] Kehandalan suatu baling-baling kapal ditentukan oleh kekuatan, daya tahan aus dan korosi yang dimiliki, dimana peranan jenis logam paduan sangat menentukan. Bahan yang banyak dipakai adalah logam paduan yang terdiri dari tembaga-sengmangan-aluminium-nikel-besi, yang umumnya dikenal dengan nama Manganese Bronze dan Aluminium Nickel Bronze.[3–6] Sifat-sifat mekanisnya lebih baik daripada bronze dan kuningan biasa, demikian juga ketahanan korosi dan gesekannya. Untuk memproduksi baling-baling kapal dengan logam paduan jenis tersebut, kendala yang dihadapi oleh industri kecil pengecoran logam, adalah; pertama, sebagian master alloy yang diperlukan tidak tersedia di dalam negeri. Kesulitan yang kedua adalah berkaitan dengan proses peleburan logam, yaitu karena kandungan aluminiumnya yang bisa mencapai 9% akan sangat reaktif terhadap oksigen dari atmosfer tungku, dan
Prosiding InSINas 2012
1268: Iwan Setyadi & Arie Hendarto
TR-73 CU2, CU3, dan CU4 tergantung pada komposisi kimianya seperti ditunjukkan pada TABEL 1 berikut. CU1 dan CU2 dikenal sebagai Manganese Bronze sedangkan CU3 dan CU4 sebagai Aluminium Nickel Brons. B.
G AMBAR 1: Baling-baling Kapal Berdaun Lima.
Perancangan peramuan bahan Perancangan peramuan bahan dilakukan untuk mengetahui kebutuhan jenis dan berat bahan baku dan bahan paduan dikaitkan dengan target komposisi yang akan dicapai.[10, 11] Dalam hal ini logam paduan yang dibuat adalah jenis Aluminium Nickel Brons sebanyak 100 kg. Bahan baku utama adalah scrap kawat tembaga dan bahan paduan adalah ingot aluminium, scrap Nickel screen, Ferro Mangan, Geram bubutan besi cor. Bahan baku dan bahan paduan yang dipakai dipilih bahan yang murah dan mudah diperoleh di daerah setempat, sehingga dapat diterapkan di industri kecil pengecoran logam yang umumnya kesulitan memperoleh bahan paduan (master alloy) import. C.
membentuk oksida Al2 O3 yang bisa menyebabkan cacat. Kesulitan yang ketiga adalah; pada paduan Manganese dan terutama Aluminium Nickel Brons mudah terjadi cacat rongga penyusutan (shrinkage).[7, 8] Dalam upaya mengembangkan dan memberdayakan industri kecil pembuat komponen kapal yang merupakan potensi klaster industri unggulan di kabupaten Tegal, maka dilakukan riset pengembangan pembuatan baling-baling kapal penumpang, khususnya baling-baling berdaun lima. Salah satu pengembangan yang dilakukan adalah penelitian tentang tentang teknik pemaduan logam (alloying) Aluminium Nickel Bronze untuk pembuatan model/prototype baling-baling dengan memanfaatkan semaksimal mungkin bahan baku dan penunjang yang tersedia di dalam negeri, sehingga dapat diaplikasikan di industri kecil pengecoran logam. Penelitian meliputi perancangan peramuan bahan-bahan peleburan dan pengecoran serta beberapa pengujian, khususya pengujian komposisi kimia dan uji kekerasan. Hasil penelitian yang optimal, akan dimanfaatkan sebagai acuan untuk melakukan peleburan dan pengecoran untuk baling-baling ukuran yang sebenarnya.
II.
METODOLOGI
Adapun metodologi penelitian yang dilakukan meliputi: A. Studi literatur Dalam penelitian ini mutu baling-baling akan mengacu pada standard Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), yaitu badan sertifikasi yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan standard mutu produk komponenkomponen kapal, diantaranya baling-baling kapal. BKI membagi paduan tembaga sebagai bahan dasar pembuatan baling-baling menjadi empat kelas yaitu CU1,
Persiapan bahan baku dan cetakan Persiapan bahan baku dilakukan dengan menimbang berat bahan baku dan bahan paduan yang didasari pada hasil rancangan peramuan bahan. Sedangkan cetakan yang dibuat adalah cetakan Y block[9] untuk benda uji dan cetakan untuk model baling-baling kapal berdaun lima yang menggunakan cetakan kombinasi, yaitu cetakan kulit (shell moulding) dan cetakan pasir basah (green sand molding).[7, 8] Cetakan kulit adalah cetakan yang terbuat dari campuran pasir silika dan bahan perekat (resin thermoset) setebal 5-20mm yang akan mengeras ketika campuran tersebut dibakar dengan suhu 175 - 350 ◦ C pada permukaan pola yang terbuat dari logam aluminium sehingga menyerupai kulit. Bahan cetakan kulit umumnya terdapat dipasaran dan sudah siap pakai dan dikenal dengan nama pasir resin bakar (resin coated sand). Sebagai inti pasir (core) digunakan cetakan pasir proses CO2 . Komposisi bahannya adalah pasir silika 94-95% ditambah waterglass (Na2 On SiO2 ) 5-6% dan kemudian diinjeksi dengan gas CO2 untuk mengeraskan campuran pasir tersebut. Selanjutnya cetakan kulit tersebut ditanam dalam pasir cetak basah (green sand molding), yang berfungsi sebagai back-up sand, dan diletakkan dalam kotak rangka cetak. D. Proses Peleburan dan Pengecoran Proses peleburan dilaksanakan pada tungku peleburan jenis krusibel (crucible furnace) yang menggunakan oil burner sebagai sumber panas. Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam pengecoran aluminium bronze adalah pembentukan lapisan tipis aluminium oksida yang terbentuk dengan segera ketika permukaan logam cair bersentuhan dengan udara atmosfir. Ketika lapisan tipis ini dipecahkan, maka dross akan terperangkap didalam coran dan menyebabkan penurunan kekuatan mekanis paduan tersebut. Oleh karena itu turbulensi Prosiding InSINas 2012
1268: Iwan Setyadi & Arie Hendarto
TR-74
TABEL 1: Klasifikasi Paduan Tembaga untuk Bahan Baling-baling Kapal dan Komposisi Kimianya[9]
Komposisi kimia (%) Cu Al Mn Zn Fe Ni Sn Pb
CU1 52 – 62 0,5 – 3,0 0,5 – 4,0 35 – 40 0,5 – 2,5 Max. 1,0 0,1 – 1,5 Max. 0,5
Kelas CU2 CU3 50 - 57 77 - 82 0,5 – 2,0 7,0-11,0 1,0 – 4,0 0,5 – 4,0 33 - 38 Max 1,0 0,5 – 2,5 2,0 – 6,0 2,5 – 8,0 3,0 – 6,0 0,1 – 1,5 Max 0,1 Max. 0,5 Max 0,03
CU4 70 - 80 6,5 – 9,0 8,0 – 20,0 Max. 6,0 2,0 – 5,0 1,5 – 3,0 Max. 1,0 Max 0,05
G AMBAR 2: Persiapan Bahan Baku dan Cetakan Y-Block dan Baling-baling
cairan harus dihindari sebisa mungkin selama proses proses peleburan dan pengecoran, dan pengadukan hanya boleh dilakukan seminimal mungkin. Untuk meminimalkan terjadinya oksidasi dengan udara dan membersihkan aluminium oksida yang terbentuk maka selama peleburan cairan harus diberikan perlindungan berupa bahan fluks khusus dan diakhiri dengan bahan deoksidiser. Dalam penelitian ini digunakan bahan fluks dengan nama dagang Albral 2 sebanyak 1% dari berat cairan. Bahan flux ini adalah campuran Kalsium dan Natrium Fluoride yang berbentuk serbuk. Untuk menghilangkan gas H2 yang terserap oleh cairan, digunakan bahan degasser berbentuk blok cincin terbuat dari bahan dolomit (CaMg(CO3 )2 ) yang beratnya 50 gram per buah, dengan merek dagang Logas 50. Untuk menghilangkan kelebihan oksida digunakan bahan deoksidiser yang berupa butiran tembaga posfor (posphor copper granule) sebanyak 0,1%. Temperatur cairan dikontrol dengan menggunakan termokopel type K. Temperatur penuangan untuk coran dengan ketebalan kurang dari 13 mm adalah 1250 ◦ C.[7, 11] Acuan material yang dilebur berdasarkan rancangan peramuan bahan, yang dilakukan sebanyak 3 kali peleburan dengan variasi prosentase kandungan Aluminium, masingmasing: rancangan A (7% Al), rancangan B (9% Al) dan rancangan C (11% Al) guna mendapatkan hasil yang sesuai dengan target komposisi. Sedangkan produk yang dicor adalah Y-block dan model/prototype baling-baling berdaun lima yang akan dibahas terpisah.
E.
Pengujian Pengujian yang dilakukan adalah pengujian komposisi kimia dan kekerasan.[12] F.
Analisis Analisis dilakukan guna mengetahui kesesuaian rancangan dengan target yang akan dicapai, sehingga dijadikan acuan untuk pengembangan pembuatan produk baling-baling ukuran sebenarnya.
G AMBAR 3: Penuangan Al-Ni Bronze ke dalam laddle.
Prosiding InSINas 2012
1268: Iwan Setyadi & Arie Hendarto
(i)
(ii)
TR-75
(iii)
(iv)
(v)
G AMBAR 4: (i) sampel uji spectrometer, (ii) pengecoran Y-Block, (iii) pengecoran model baling-baling, (iv) Y-bock dan (v) model/prototype baling-baling (as-cast)
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Rancangan peramuan bahan Adapun rancangan peramuan bahan untuk mencapai target komposisi kimia Al-Ni bronze untuk CU3 berkapasitas 100 kg, masing-masing dengan rancangan perkiraan kandungan Al sebesar 7% (rancangan A), 9%(rancangan B) dan 11% (rancangan C) dapat dilihat pada TABEL 2 sampai dengan TABEL 4 berikut. B.
Data kebutuhan baku berdasarkan hasil rancangan material Detail kebutuhan baku untuk peleburan Al-Ni Bronze (CU3) berkapasitas 100 kg dengan rancangan kandungan Al sebesar 7,9 dan 11% dapat dilihat pada TABEL 5
C.
Hasil Uji Komposisi Kimia Produk Yang Dicor Hasil uji komposisi kimia produk hasil pengecoran berupa Y-block dan model baling-baling dapat dilihat pada TABEL 6. D. Hasil Uji Kekerasan Hasil uji kekerasan masing-masing sampel hasil pengecoran Al-Ni Bronze sesuai dengan rancangan peramuan bahan dapat dilihat pada TABEL 7.
G AMBAR 5: Grafik Prosentase Aktual Aluminium vs Rancangan Peramuan bahan
E.
Analisis Kesesuaian Rancangan Peramuan Bahan dengan Capaian Komposisi Kimia Produk Pengecoran Mengacu pada data hasil uji komposisi kimia terhadap sampel hasil pengecoran (TABEL 6), terlihat bahwa komposisi kimia rancangan peramuan bahan dengan kandungan 9% Al (rancangan B) yang paling sesuai dengan komposisi standar CU3 yang disyaratkan oleh Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Semua unsur kimia masuk rentang komposisi kimia yang disyaratkan, dimana hasil capaian kandungan Al sebesar 8,65%. Adanya penurunan kandungan Al dari yang direncanakan tergantung pada lamanya selisih antara waktu pemuatan bahan baku Aluminium ke dalam tungku (charging) dengan waktu penuangan kedalam cetakan (casting). Semakin lama maka akan semakin banyak aluminium yang teroksidasi menjadi aluminium oksida, dan hilang (losses) sebagai terak (slag) mengingat terlalu besar perbedaan antara titik lebur Al (± 660 ◦ C) dibandingkan titik lebur paduan bronze yang sebesar ± 1200 ◦ C. Untuk hasil rancangan peramuan bahan yang lain, khususnya rancangan peramuan bahan dengan kandungan 7% Al (rancangan A), terlihat bahwa kandungan Al setelah dicor lebih rendah dari standar, yaitu hanya sebesar 6,7%. Mengacu pada TABEL 5 (penggunaan bahan baku), terlihat jumlah pemakaian bahan baku tembaga (Cu) lebih besar dibandingkan rancangan B, dimana tembaga yang digunakan sebanyak 79,46 kg, lebih banyak 1,9% (1,5 kg), sehingga memerlukan proses pemanasan lebih lama untuk pencapaian peleburan. Hal ini ikut mempengaruhi peningkatan jumlah losses Al yang terjadi. Untuk rancangan peramuan bahan dengan kandungan 11% Al (rancangan C), terlihat bahwa kandungan Al setelah dicor melebihi dari standar, yaitu sebesar 11,21%. Namun terlihat penggunaan tembaga (TABEL 5) lebih kecil dibandingkan rancangan B, dimana tembaga yang digunakan sebanyak 76,41 kg, lebih kecil 2% (1,55 kg), sehingga pemanasan relative lebih cepat. Hal ini ikut mempengaruhi penurunan jumlah losses Al yang terjadi. G AMBAR 5 berikut menunjukkan hubungan antara prosentase kandungan aluminium yang terbentuk dari hasil pengecoran dengan rancangan peramuan bahan yang dibuat. Prosiding InSINas 2012
TABEL 2: Rancangan Peramuan bahan CU3 Berkapsitas 100 kg Dengan Perkiraan Kandungan Alumunium 7% (Rancangan A)
TR-76 1268: Iwan Setyadi & Arie Hendarto
Prosiding InSINas 2012
TABEL 3: Rancangan Peramuan bahan CU3 berkapsitas 100 kg Dengan Perkiraan Kandungan Alumunium 9% (Rancangan B)
1268: Iwan Setyadi & Arie Hendarto TR-77
Prosiding InSINas 2012
TABEL 4: Rancangan Peramuan bahan CU3 berkapsitas 100 kg Dengan Perkiraan Kandungan Alumunium 11% (Rancangan C)
TR-78 1268: Iwan Setyadi & Arie Hendarto
Prosiding InSINas 2012
1268: Iwan Setyadi & Arie Hendarto
TR-79
TABEL 5: Data Kebutuhan Baku Untuk Peleburan Al-Ni Bronze (CU3) Berkapasitas 100 Kg Dengan Perkiraan Kandungan Al Sebesar 7, 9 Dan 11%
No 1 2 3 4 5
JENIS BAHAN Kawat tembaga Ingot Aluminium Ni screen Ferro Mangan Geram bubut besi cor Total
Pemakaian Bahan (kg) Target Al (%) 7 9 11 79.4 77.9 76.4 7.35 9.09 10.9 4.57 4.48 4.39 4.57 4.48 4.39 4.06 3.98 3.90 100.00 100.00 100.00
Sub Total (kg) 233.84 27.3 13.4 13.4 11.9 300.00
TABEL 6: Data Hasil Uji Komposisi Kimia Produk Hasil Pengecoran Berupa Y-Block dan Model Baling-Baling Acuan Cu Sn Pb Zn Ni Fe P Sb Al Si Standard BKI CU3 Hasil Uji Coba Rancangan A Rancangan B Rancangan C
77-8 Cu 80.4 79 77
0.1 max Sn 0.02 0.02 0.02
0.03 max Pb 0.02 0.02 0.02
1.0 max Zn 0.6 0.27 0.07
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam tahapan proses peleburan Al-Ni bronze adalah penentuan waktu memasukkan (charging) aluminium. Diupayakan dilakukan setelah tembaga mencair semua guna menghindari terjadinya losses yang besar dan selalu dilakukan pengecekan temperatur agar tidak melebihi 1250 ◦ C pada saat penuangan. Sementara untuk kandungan unsur kimia yang lainnya (Cu, Ni, Mg dan lainnya) untuk ketiga rancangan sudah sesuai dengan standar. Untuk melebur Al-Ni bronze berkapasitas 100 kg sesuai dengan standar CU3, telah digunakan bahan baku yang ada di dalam negeri dan khususnya scrap, yaitu 77,96 kg scrap kawat tembaga untuk pencapaian unsur Cu, 9,09 kg ingot aluminium untuk pencapaian unsur Al, 4,48 kg Ni screen untuk pencapaian unsur Ni, 4,48 Fe-Mn untuk pencapaian unsur Fe dan Mn serta 3,98 geram bubutan besi cor untuk pencapaian unsur Fe. Analisis Hasil Uji Kekerasan Dari hasil uji kekerasan pada ketiga sampel cor yang telah dirancang (TABEL 7) terlihat bahwa dengan semakin tinggi prosentase kandungan Al pada paduan Al-Ni bronze, maka akan meningkatkan nilai kekerasan. Nilai kekerasan terendah terjadi pada rancangan A (kandungan 7% Al) sebesar 109,2 BHN, kemudian diikuti rancangan B (kandungan 9% Al) sebesar 170,2 BHN dan yang tertinggi pada rancangan C (kandungan 11% Al) sebesar 199,8 BHN. Dari data ini peranan unsur Al sangat signifikan meningkatkan kekerasan bahan Al-Ni bronze pada (G AM -
3.0-6.0 Ni 4.3 4.25 4.27
2.0-6.0 Fe 4.41 4.64 4.52
P 0.07 0.06 0.05
Sb 0.02 0.02 0.02
7.0-11.0 Al 6.7 8.65 11.2
0,1 max Si 0.03 0.02 0.05
Mn 0.5-4.0 Mn 3.2 3.1 3.1
disamping meningkatkan daya tahan korosi.[4] Ada korelasi antara kekerasan dengan kekuatan, dimana semakin tinggi kekerasan maka kekuatan akan ikut naik, namun sebaliknya bisa menurunkan ketangguhannya. Dengan memperhatikan persyaratan standar komposisi yang sesuai untuk CU3, maka nilai kekerasan yang paling sesuai untuk material Al-Ni bronze yang dirancang adalah rancangan B (kandungan 9% Al). Komposisi kimia hasil cor sampel rancangan B semuanya memenuhi standar, khususnya kandungan Al yang diperoleh. Sedangkan rancangan A dan C kandungan Al yang diperoleh masing-masing di bawah dan di atas standar. Hal ini yang menyebabkan rancangan A nilai kekerasannya lebih rendah, sementara BAR 6 )
F.
G AMBAR 6: Grafik Hubungan Kandungan Al Pada Al-Ni Bronze vs Hardness
Prosiding InSINas 2012
1268: Iwan Setyadi & Arie Hendarto
TR-80 TABEL 7: Data Hasil Kekerasan
No 1 2 3
Sampel Rancangan Rancangan Rancangan
1 108 171 201
2 112 169 200
itu rancangan B nilai kekerasannya lebih tinggi, sehingga dapat menurunkan ketangguhan baling-baling yang akan dibuat.
IV.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: • Pengembangan paduan Al-Ni bronze dapat digunakan untuk pembuatan model baling-baling kapal penumpang berdaun lima, dimana rancangan peramuan bahan yang paling tepat adalah dengan target 9% Al, karena dapat memenuhi komposisi standar CU 3 yang disyaratkan oleh BKI. • Nilai kekerasan optimal yang dapat diperoleh adalah hasil cor Al-Ni bronze rancangan B (kandungan 9% Al) sebesar 170,2 BHN.
Hardness (HBN) 3 4 5 110 108 108 169 170 172 198 199 201
Rata-rata 109,2 170,2 199,8
[7] Sidney H. Avner, ”Introduction to Physical Metalurgy”, MC. Graw-Hill Inc., 2004. [8] Tata Surdia, Kenji Chijiiwa, Teknik Pengecoran Logam, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2004 [9] http://www.shelmetcastings.com/shrinkageallowance-for-metal-casting.html 02, Februari 2011. [10] Biro Klasifikasi Indonesia (BKI),’Rules for The Classification and Conctruction of Seagoing Steel Ships’, Volume V, Biro Klasifikasi Indonesia, 2001. [11] Thornton, British Foundryman, 51, 559, 1958. [12] John R Brown, ”Foseco Non Ferrous Foundryman’s Hand Book”, Butterworth Heinemann, Oxford, 2002. [13] Dieter, George E., Metalurgi Mekanik, (terjemahan Sriati Djaprie), Edisi Ketiga Jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1998.
• Besar capaian kandungan Al dengan rancangan B sebesar 8,65% Al (sesuai standar), namun untuk rancangan A dan C tidak memenuhi standar CU3 yang nilainya masing-masing 6,7% Al (di bawah standar) dan 11,21% Al (di atas standar). • Peleburan Al-Ni bronze berkapasitas 100 kg sesuai dengan standar CU3, telah menggunakan bahan baku yang ada di dalam negeri khususnya scrap sehingga proses ini dapat diterapkan di IKM pengecoran, yaitu 77,96 kg scrap kawat tembaga, 9,09 kg ingot aluminium, 4,48 kg scrap Ni screen, 4,48 Ferromangan dan 3,98 gram bubutan besi cor.
DAFTAR PUSTAKA [1] Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Engineer Monthly No. 50, Juni 2011. [2] ..., http://www.anneahira.com/baling-balingkapal.htm, diakses Oktober 2012 [3] Pat L. Mangonon, Ph.D., ”The Principles of Materials Selection for [4] Engineering Design”, Prentice Hall, Inc., USA, 1999. [5] ASM Handbook, ”Properties & Selection Non Ferrous Alloys & Special Purpose Materials”, Fomerly Tenth Edition Metal HandBook,, 2002. [6] P. K. Rohatgi, Nonferrous Casting Alloys’, ASM Metals Handbook, vol. 15 9th edition, 1992 Prosiding InSINas 2012