“REVOLUSI” PENDIDIKAN TINGGI HUKUM (Mewujudkan Orientasi Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Hukum yang Berprofesionalime) Oleh : Tri Budiyono
A. Pendahuluan Kalau dirunut ke belakang, pendidikan hukum di Indonesia telah berjalan lebih dari satu abad.1 Opleidingsschool voor de Inlandsche Rechtskundigen merupakan lembaga pendidikan hukum yang setara dengan pendidikan menengah, yang dimaksudkan untuk mendidik pegawai pemerintah Hindia Belanda agar memahami dan memiliki ketrampilan berhukum. Pada tahun 1922, Opledingsschool berubah nama menjadi Rechtsschool. Lembaga pendidikan hukum ini bertahan sampai dengan 18 Mei 1928, kemudian dibubarkan. Sebelumnya, lembaga pendidikan ini telah tidak menerima siswa baru sejak tahun 1925. Sebagai gantinya, pada tanggal 28 Oktober 1924 lembaga pendidikan tinggi hukum didirikan dengan nama Rachtshoogesschool. 2 Sekalipun pada mulanya penyelenggaraan pendidikan hukum lebih berorientasi pada hal-hal yang pragmatis, namun demikian sejarah telah mencatat bahwa lulusan pendidikan hukum dan pendidikan tinggi hukum ini tidak hanya memiliki pemahaman dan kemahiran berhukum, tetapi juga mampu memberikan konstribusi pemikiran dan melahirkan semangat nasionalisme, terhadap kemerdekaan Indonesia. Mereka yang telah belajar hukum ini, baik pada Rechtsschool/Rechtshoogesschool maupun yang berkesempatan melanjutkan pendidikan tinggi hukum di Negeri Belanda, telah menjadi peletak Indonesia sebagai Negara merdeka yang berkarakterkan Negara (hukum) modern.3 Setelah lebih dari satu abad, pendidikan tinggi hukum (Indonesia) berjalan dengan problematika keilmuan yang memunculkan berbagai spekulasi penilaian yang berbeda-beda. Disatu sisi, menilai bahwa pendidikan tinggi hukum telah berusaha untuk menjawab berbagai tantangan zaman yang terus berkembang sehingga melahirkan corak pendidikan tinggi hukum 1
Dari sisi historis, pendidikan hukum di Hindia Belanda dimulai pada tanggal 26 Juni 1909 dengan didirikannya opleidingsschool voor Inlandsche Rechtskundigen. Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 145. 2 Loc. Cit. 3 Dalam pandangan Max Weber, salah satu cirri Negara modern dari perspektif hukum adalah sifat saling mengada. Artinya, hukum modern hanya bias dilahirkan oleh Negara modern. Sebaliknya, Negara modern hanya dapat bertahan dan dipertahankan dengan berinstrumentkan hukum modern. Max Weber dalam David Trubek, Max Weber on Law and the Rise of Capitalism,
1|Page
yang sedikit banyak berbeda dibandingkan dengan pendidikan hukum yang konvensional, dan ini dianggap sebagai keniscayaan (condicio sine qua non).4 Sementara kelompok yang lain menilai bahwa perkembangan pendidikan tinggi hukum telah melacurkan diri menjadi pendidikan sosial, dengan pendekatan dan metode ilmu-ilmu social, dan oleh karenanya perlu dilakukan reorientasi.5 Tulisan ini tidak hendak melibatkan keberpihakan atau penolakan terhadap pandangan yang bersifat dikotomik tersebut – sebab perbedaan pandangan sejatinya merupakan hal yang lumrah oleh karena perbedaan pandangan filsafati dan paradigmatiknya – tetapi ditengah perkembangan pemikiran hukum yang (cukup) tumbuh subur, tulisan ini mencoba menghadirkan pandangan penulis tentang bagaimana pendidikan tinggi hukum dapat memberikan konstribusi terhadap persoalan berhukum yang semakin kompleks melalui pengembangan dialog antara pendidikan tinggi hukum dan dunia praksis hukum.
B. Orientasi Pendidikan Tinggi Hukum Dalam berbagai perkuliahan Satjipto Rahardjo, mengintrodusir pemikiran bahwa pendidikan tinggi hukum pada tingkatan sarjana pada satu sisi dan magister dan doktor pada sisi lain memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Pada intinya, sarjana (S1) berorientasikan pada mendidik ketrampilan berhukum. Mardjono Reksodiputro6 berpandangan bahwa seorang sarjana hukum harus memiliki kemahiran hukum (legal skill) dan kemahiran analisis (analytical 4
Sejatinya, perkembangan ilmu hukum sendiri tidaklah bersifat statis. Muncul dan berkembangnya aliran pemikiran hukum menjadi penanda perkembangan dari ilmu hukum itu sendiri. Demikian juga perkembangan paradigm hukum, memberikan tengara yang sejajar dengan itu. Reaksi terhadap positivism hukum dengan corak pemikiran sociological jurisprudence, legal realism, critical legal studies dengan berbagai variannya, serta lahirnya legal postmodernism, menandakan dinamika pemikiran hukum yang tidak pernah stagnan diantara ahli hukum. Demikian juga, munculnya paradigm post positivism, critical paradigm, dan constructivism paradigm, merupakan bukti lain dari perkembangan ilmu hukum. Bandingkan dengan apa yang diuraikan Norman K. Dezin, Yvanna S. Lincoln (editors), Hand Book of Qualitative Research, Sage Publications, London, England, 1996. 5 Dari sekian banyak ilmuwan, yang gelisah dengan arus perkembangan ilmu hukum yang demikian adalah Peter Mahmud Marzuki. Dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, secara panjang lebar menguraikan argumentasinya tentang arah pendidikan hukum yang telah terkontaminasi dengan ilmu social padahal (diargumentasikan) ilmu hukum adalah ilmu yang memiliki karakter sebagai sui generis. Argumen lebih lnjut dapat disimak dalam Bab I Karakteristik Ilmu Hukum dalam Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hal. 1-39. Sejajar dengan itu, argument Marzuki juga diamini oleh Titon sebagaimana tersimak dalam Titon Slamet Kurnia, Sri Harini Dwiyatmi, Dyah Hapsari Prananingrum, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia, Sebuah Orientasi, Fakultas Hukum UKSW, Salatiga, 2009, hal. 7-36. 6 http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article&id=192:reformasi-pendidikan-tinggihukum-untuk-memungkinkan-pendidikan-khusus-bagi-advokat&catid=40:hukum&Itemid=93, diunduh pada 25 April 2014.
2|Page
skill). Oleh karenanya, keberadaan Laboratorium Hukum (Lab-Hukum).7 menjadi keharusan pada setiap Fakultas Hukum. Artinya, mahasiswa masuk pada proses pendidikan untuk memiliki kemahiran bagaimana mempergunakan dan menganalisis hukum positif8 untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat. Dalam hal yang demikian, dogmatika hukum (rechtsleer/rechtskunde) menjadi ciri utama dalam metode pengkajian hukum positif. Dalam derajat tertentu, orientasi pendidikan tinggi hukum ini bersifat taken for granted terhadap hukum positif, tanpa terlalu mempersoalkan problematika kebenaran (the trhuth) isi hukum positif tersebut. Doktrin-doktrin yang dikembangkan untuk mendukung paradigma positivisme hukum, kebanyakan berada dalam spririt ini. Misalnya, doktrin hukum bersifat otonom, kesamaan kedudukan di depan hukum, supremasi hukum, hakim sebagai corong dari undang-undang, dll., merupakan persoalan yang sekalipun seringkali tidak berkorespondensi dengan realitas empirik tetapi tetap dikukuhi sebagai kebenaran, yang tidak ber”ruang” untuk dikaji secara ilmiah. Pendidikan hukum Dogmatik9, menjadi ciri utama pada pada penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum Strata 1 (sarjana). Pada sisi lain, pendidikan tinggi hukum berstrata 2 dan 3 (Magister dan Doktor) berkutat pada pencarian kebenaran (secara filosofis) terhadap noumena dan phenomena hukum. Kredo searching the truth nothing but the truth, menjadi tengara utama dari penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum ini. Doktrin-doktrin hukum yang telah ada dan sering kali menjadi “dogma” yang terlalu suci untuk dipersoalkan dan dikaji, harus menjadi medan yang terbuka untuk dipersoalkan kebenarannya. Tujuannya, adalah untuk menghadirkan the truth. Oleh
7
Tugas Lab-Hukum adalah: (a) menyelenggarakan pendidikan kemahiran (secara khusus dan tersendiri), dan (b) membina (para dosen) menggunakan pendekatan-terapan (applied approach) melalui penyediaan bahan untuk dosen, maupun meningkatkan dosen menggunakan bahan (kasus, peraturan; kontrak) tersebut. Memasukan LabHukum dalam “struktur organisasi” fakultas hukum adalah dengan tujuan memudahkan perolehan dana dan pertanggungjawabannya (terutama untuk PTN). Loc. Cit. 8 Ada 2 (dua) cara memaknai hukum positif. Pertama hukum positif diartikan sebagai hukum yang berlaku (operating laws) pada saat ini dan di sini (baca : jurisdiksi Indonesia). Sedang pemaknaan kedua, hukum positif diartikan sebagai hukum yang diperoleh (terjadi) dari proses positivisasi. Yaitu, hukum yang semula berada dalam alam noumena (ide), kemudian secara empiric (positif) dapat dikenali melalui alam phenomena dengan bersaranakan panca indera manusia. Dalam pengertian yang terakhir ini, hukum tertulis sejatinya merupakan hasil dari proses positivisasi. Pengertian hukum positif dalam pengertian ini, lebih cenderung diartikan dalam pengertian yang pertama. 9
Ciri utama dari Dogmatika Hukum adalah yang menjadi objek kajiannya (terutama) adalah hukum positif, sifat pengkajiannya adalah to describe, to classified, dan dalam batas tertentu adalah to explain terhadap hukum positif tersebut. Ini berarti, sekalipun terhadap noumena dan phenomena hukum tersebut diberikan ekplanasi ilmiah, tetapi derajadnya terbatas dan bukan menjadi ciri utama. Bandingkan dengan pemikiran Soetandyo Wignjosoebroto, Teori-Teori Hukum : Ragam-Ragam Konsep Dalam Sejarah Perkembangannya, Tanpa Penerbit.
3|Page
karenanya, pemikiran teoritik dan filosofis10 menjadi hulu dan sekaligus hilir dari pengkajian hukum. Artinya, ilmu hukum sejatinya merupakan hasil dari pengembangan filsafat sebagai mater scientiarum dan persoalan-persoalan hukum yang tidak mampu terjawab melalui teori hukum harus dikembalikan pada model telaah dan kajian filsafat, terutama untuk menjawab persoalan ontologi dan axiologi/teleologi-nya. Kesadaran terhadap derajad pendidikan tinggi hukum ini, secara otomtis akan berpengaruh pada corak penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum itu sendiri. Penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum S1 harus berbeda dengan penyelenggaraan pendidikan S2 dan S3. Perbedaan tersebut harus bersifat mendasar, oleh karena perbedaan orientasi sebagaimana telah terpaparkan pada bagian terdahulu akan berimplikasi pada model penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum sesuai dengan arasnya. Kalau tidak, stigma bahwa S2 dan S3 merupakan jenjang pendidikan S1 plus (+) tidak dapat dihindarkan. Apalagi, munculnya kecenderungan pendidikan S2 dan S3 menjadi pendidikan masal dengan control kualitas apa adanya.
C. Ironi : Pendidikan Kemahiran tanpa Praktikum
Pada bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa orientasi pendidikan tinggi hukum pada S1 (tingkat sarjana) adalah menghasilkan orang yang memiliki kemahiran berhukum. Ini berarti, penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum setingkat sarjana harus mampu menghasilkan orang yang memiliki kemahiran (berdasarkan standar yang ditetapkan) untuk berhukum. Ketrampilan berhukum memiliki makna bahwa seorang Sarjana Hukum harus memiliki kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum dengan tolok kaidah atau norma yang dikukuhi kebenarannya secara intersubjektif, dan memaknai serta menyusun dokumen-dokumen hukum. Dua indikator tersebut menjadi tolok profesionalime. Artinya, kalau seorang sarjana hukum memiliki (sekurangnya) 2 (dua) indikator tersebut, maka mereka dikualifikasikan sebagai seorang sarjana hukum yang professional, begitu juga sebaliknya. Seorang sarjana hukum yang memiliki kemahiran dibawah standar yang telah ditetapkan, sejatinya tidak layak menyandang gelar Sarjana Hukum. 10
Pemikiran yang berkarakterkan filosofis setidaknya memiliki 4 (empat) ciri, yaitu menyeluruh (holistic), mendasar (radikal), spekulatif, dan reflektif kritis, dengan berfacetkan pada persoalan ontologi, epestimologi, axiology dan teleologis dari objek yang dikaji. Lihat lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri, (Editor), Ilmu Dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, PT Gramedia, Jakarta, 1989, hal. 4.
4|Page
Secara teoritik, ketrampilan hanya dapat dihasilkan melalui proses latihan (learning by doing). Kredonya, semakin banyak berlatih akan memiliki kemahiran yang semakin tinggi, demikian juga sebaliknya. Kalau persoalan ini dijadikan titik tolak untuk merefleksi pendidikan tinggi hukum pada S1, hampir dapat dikatakan penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum telah kehilangan orientasinya. Hampir semua pendidikan tinggi hukum tidak mampu menghasilkan profesional-profesional
dalam berhukum. Pangkal persoalannya adalah, penyelenggaraan
pendidikan tinggi hukum lebih menekankan pada proses belajar yang bersifat kognitif. Sementara dimensi afektifnya, terabaikan. Ibarat struktur tubuh, pendidikan tinggi hukum tidak mampu menghasilkan porsi tubuh yang proporsional, karena berkepala besar tetapi bertangan dan kaki kecil. Sekalipun berbagai model kurikulum pendidikan tinggi hukum telah direvisi dan diperbaiki, tetapi persoalan keseimbangan dimensi kognitif dan afektifnya tetap abai. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesadaran untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum yang mampu menghasilkan alumi yang memiliki kemahiran berhukum telah mendapat perhatian, namun solusi yang berkembang dan dikembangkan belum menjadi kebijakan nasional yang komprehensif dan berlaku terhadap semua penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum.11 Selain itu, alat kendali penyelenggaraan pendidikan, yaitu desain kurikulum masih kurang menaruh perhatian yang memadahi terhadap persoalan-persoalan ini. Dengan kata lain, instrumen penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum belum kompatibel dengan orientasi lulusan yang diharapkan. Realitasnya, pendidikan tinggi hukum telah gagal mewujudkan orientasi pendidikan yang telah diletakkannya.Kebanyakan sarjana hukum telah menjadi lulusan yang tidak memiliki kemahiran (unskill) berhukum. Solusi yang harus dilakukan untuk menghadapi persoalan ini adalah “revolusi” dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum. Caranya ? Pertama-tama harus ditanamkan kesadaran bahwa pendidikan tinggi hukum pada tingkatan sarjana (S1) adalah pendidikan kemahiran dengan segala implikasinya. Kedua, harus dilakukan perubahan secara mendasar terhadap struktur kurikulum yang sekarang dipakai dan dikukuhi. Sebagian besar matakuliah
11
Kurikulum Nasional (Khusus) 1993 (Kep. Mendikbud 17/1993) mensyarakatkan adanya matakuliah “kemahiran hukum” (legal skills) dalam kurikulum semua fakultas hukum. Tujuannya adalah agar lulusan dibekali dengan “kesiapan kerja” yang lebih baik. Namun introduksi melalui regulasi ini belum mampu mengurai persoalan kualitas lulusan Fakultas Hukum. Di Universitas Pajajaran telah pula dirintis program Clinical Legal Education/CLEPendidikan Hukum Klinik yang dijadikan proyek percontohan (Kep. Dikti No. 30/1983). Namun diseminasinya tidak terlalu menggembirakan.
5|Page
yang diselenggarakan oleh fakultas hukum harus didampingi dengan matakuliah praktikum, untuk meningkatkan ketrampilan (skill) berhukum. Implikasi dari “revolusi” pendidikan tinggi hukum ini adalah beban belajar mahasiswa untuk dapat menyelesaikan Sarjana Hukum akan menjadi sangat banyak dan berat. Sebagai perkiraan kasar saja, bukan tidak mungkin beban mahasiswa akan menjadi 1,5 (satu lima persepuluh) dari beban yang selama ini ada. Selain itu, sulit diharapkan untuk tetap mepertahankan pendidikan tinggi hukum sebagai pendidikan yang murah seperti yang selama ini terjadi dan berlangsung. Sehingga, bukan tidak mungkin pendidikan tinggi hukum akan bergeser menjadi pendidikan elitis dengan tingkat militansi yang (sangat) tinggi. Ingsutan (kalau tidak mau dikatakan lompatan) ini menjadi condition sine qua non, untuk menrobos siklus polibius pendidikan tinggi hukum masal, yang menghasilkan alumni yang disoriented. Reorientasi kurikulum Fakultas Hukum saat ini juga sedang digagas agar penyelenggaraan pendidikan tinggi (hukum) dapat tertata dan mampu menghasilkan kemahiran sesuai dengan standar bagi alumninya. Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres No. 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), berusaha meletakkan dasar tentang orientasi pendidikan tinggi dengan menetapkan standar yang didasarkan pada asumsi : a. Pergeseran
paradigm
kekonsep
Kurikulum
Berbasis
Kompetensi
(KBK)
(Kepmendiknasno 232/U/2000, dan perubahannya Kepmendiknasno 045/U/2002), b. Kurikulum dikembangkan oleh Perguruan Tinggi sendiri (PP 19 th2005 Pasal17 ayat4, PP 17 th2010), c. Dikembangkan berbasis kompetensi (PP 17 th2010,ps 97, ayat1), d. Minimum mengandung 5(lima) elemen kompetensi (PP 17 th2010, ps97, ayat3), e. Capaian Pembelajaran Sesuaidengan Level KKNI (PeraturanPresidenNo.8/2012), f.
Kompetensi lulusan ditetapkan dengan mengacu pada KKNI ( UU PT No12 tahun2012, PS 29) KKNI dapat diletakkan menjadi entry point untuk melakukan penataan kurikulum
Fakultas Hukum, agar lulusannya dapat memenuhi kualifikasi standar yang telah ditetapkan, yaitu sekurang-kurangnya sebagai teknisi atau analis (Pasal 2 ayat 2b Perpres No. 8 tahun 2012). Lulusan sarjana atau D 4 berdasarkan Pasal 5 Perpres No. 8 tahun 2012 paling rendah setara dengan jenjang 6 dari skala 1 - 9 jenjang yang ditetapkan dalam KKNI, yang pada dasarnya memiliki kualifikasi sebagai seorang analis yang berkemahiran pada bidang keilmuannya. Dalam
6|Page
lampiran Perpres No. 8 tahun 2012, standar kualifikasi yang harus dimiliki mereka yang disetarakan dengan jenjang 6 adalah : a. Mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan ilmupengetahuan, teknologi, dan/atau seni pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi. b. Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta c. mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural. Mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok. d. Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi.
Persoalan krusial yang dihadapi oleh pendidikan tinggi hukum setelah diberlakukannya Perpres No. 8 tahun 2012 adalah bagaimana menenterjemahkan standar kualifikasi tersebut ke dalam instrumen pembelajaran yang dapat merealisasikan tuntutan kualifikasi lulusan tersebut. Breakdown standar kualifikasi (dan kompetensi) ke dalam desain kurikulum, menjadi pekerjaan rumah penyelenggara pendidikan tinggi hukum. Tentu saja, persoalan ini harus menjadi concern dari semua stakeholders pendidikan tinggi hukum, setidaknya penyelenggara pendidikan tinggi hukum, pengguna lulusan, asosiasi profesi, dan pemerintah. Sinergi stakeholders menjadi mutlak diperlukan.
D. Membangun Dialog Pendidikan Hukum dan Praktek Hukum
Dalam sejarah perkembangannya, peradaban hukum yang pada saat ada merupakan hasil dialog panjang antara lembaga pendidikan tinggi hukum dengan pengguna ilmu hukum dalam praksis kehidupan masyarakat.12 Keterhubungan antara hukum dan kehidupan manusia
12
Berman menggambarkan tentang dialog yang terjadi ketika hukum Barat terbentuk menjadi suatu peradaban hukum Barat (West legal civilization), yang dimulai dari Universitas Bologna di Italia, yang kemudian menyebar ke universitas-universitas lain di Eropa. Universitas melakukan pengkajian terhadap naskah-naskah kuno yang ditemukan dari bekas kekaisaran Romawi, kemudian prinsip hukum yang ditemukan diujicoba dalam praksis kehidupan berhukum masyarakat. Melalui proses examination dan reexamination prinsip hukum yang
7|Page
diungkapkan oleh Ronald Dworkin13 dalam bukunya Law,s Empire dengan membuat tesis “we live in and by the law”. Menurut penulis, tesis Dworkin ini menegaskan makna bahwa seluruh aspek kehidupan manusia menjadi laboratorium hukum. Kehidupan masyarakat menjadi “medan” untuk melakukan pengujian dan pengujian ulang terhadap desain kaidah atau norma yang dibangun berdasarkan prinsip preskriptif. Keharusan yang ada di alam sollen bukanlah konstruksi pemikiran yang tidak mungkin dikoreksi oleh praktek dan refleksi yang ada di alam sein. Oleh karenanya, hukum dan masyarakat harus terkoneksi dalam relasi dialog secara terus menerus. Dengan meminjam konstruksi berpikirdialektika dari Hegel14, kaidah atau norma yang ada di alam sollen dapat diposisikan sebagai “tesis” dan hasil dari penerapan hukum yang ada di alam “sein” dapat diposisikan sebagai “anti tesis”. Dialog terjadi antara “tesis” dan “anti tesis” yang pada ujungnya akan menghasilkan “sintesis”. Harus diakui bahwa tidak jarang bahwa praksis berhukum di Indonesia belum secara intensif mampu mendialogkan alam “sollen” yang dimotori oleh para ilmuwan hukum dengan alam “sein” yang dimotori oleh praktisi hukum. Ungkapan “ah teori” yang sering kita dengar sejatinya merupakan ungkapan sarkastik yang menegaskan tidak adanya dialog dari sollen-sein. Pengkotakan yang demikian sejatinya akan mereduksi perkembangan hukum itu sendiri. Persoalan yang sekarang dihadapi adalah kesediaan dari masing-masing eksponen untuk saling membuka diri untuk berdialog dan mendialogkan apa yang selama ini tersekat menjadi ruang yang cair. Ilmuwan hukum harus bersedia untuk menerima kritik terhadap desain teoritik atau kaidah berhukum yang dikonstruksikan dalam alam “sollen”. Dengan kritik dan koreksi sebgai hasil uji coba penerapan desain teoritik atau kaidah berhukum ini, bukan tidak mungkin akan menghasilkan redesain yang jauh lebih baik. Demikian juga sebaliknya. Dialog yang dibangun ini akan bersifat simbiosis mutualistik baik bagi ilmuwan hukum maupun praktisi hukum. Hasilnya, secara gradual mutu hukum dan praksis berhukum akan semakin baik dari waktu ke waktu. Dalam kasus di Indonesia, membangun dialog alam “sollen” dan “sein” dapat diketemukan diberikan makna atau makna baru untu disesuaikan dengan kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu. Dialog yang berlangsung selama berabad-abad dan bersifat lintas generasi ini akhirnya mampu meletakkan model hukum seperti yang dikenal saat ini. Baca lebih lanjut, Harold J. Berman, The Formation of the Western Legal Tradition, Harvard University Press, Cambridge, England, 1983, hal. 2-4. 13 Ronald Dworkin dalam Titon Slamet Kurnia et. all., Op. Cit. hal. 7 14 Georg Wilhelm Friedrich Hegel dikenal sebagai filsuf yang menggunakan dialektika sebagai metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran)dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus berupa konsep pengertian yang empris indrawi. Pengertian yang terkandung di dalamnya berasal dari kata-kata sehari-hari, spontan, bukan reflektif, sehingga terkesan abstrak, umum, statis, dan konseptual. http://id.wikipedia.org/wiki/Georg_Wilhelm_Friedrich_Hegel
8|Page
dikonvokatori oleh pemerintah atau oleh masing-masing – meminjam istilah Soetandyo Wignjosoebroto – puak kedua alam tersebut.
E. Catatan Penutup Keterbatasan ruang yang tersedia untuk mengungkapkan pemikiran dalam tulisan ini tidaklah memungkinkan untuk mengeksplorasi pendidikan tinggi hukum secara komprehensif. Dua hal penting yang dicoba untuk disampaikan dalam tuisan ini adalah, pertama, perlunya melakukan revolusi penyelenggaraan pendidikan tinggi hukum khususnya pada derajad sarjana (S1) menjadi pendidikan kemahiran dengan segala implikasinya. Kedua, sejarah telah membuktikan bahwa peradaban hukum terbangun karena adanya dialog yang terjadi secara terus menerus dalam kehidupan berhukum. Oleh karenanya, pengkotakan dan pemisahan alam sollen dan sein, harus dibongkar untuk kemudian didialogkan agar dapat dibangun sintesis yang mampu menghantarkan kehidupan berhukum yang lebih baik.
9|Page
DAFTAR REFERENSI
1. David Trubek, Max Weber on Law and the Rise of Capitalism, Wisconsin Law Review. Faculty Scholarship Series. Paper 4001. http://digitalcommons.law.yale.edu/fss-papers/4001 2. Jujun S. Suriasumantri, (Editor), Ilmu Dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, PT Gramedia, Jakarta, 1989. 3. Norman K. Dezin, Yvanna S. Lincoln (editors), Hand Book of Qualitative Research, Sage Publications, London, England, 1996. 4. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2009. 5. Harold J. Berman, The Formation of the Western Legal Tradition, Harvard University Press, Cambridge, England, 1983. 6. Titon Slamet Kurnia, Sri Harini Dwiyatmi, Dyah Hapsari Prananingrum, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia, Sebuah Orientasi, Fakultas Hukum UKSW, Salatiga, 2009. 7. Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 8. Soetandyo
Wignjosoebroto, Teori-Teori Perkembangannya, Tanpa Penerbit.
Hukum
:
Ragam-Ragam
Konsep
Dalam
Sejarah
9. http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article&id=192:reformasipendidikan-tinggi-hukum-untuk-memungkinkan-pendidikan-khusus-bagiadvokat&catid=40:hukum&Itemid=93, 10. http://id.wikipedia.org/wiki/Georg_Wilhelm_Friedrich_Hegel
10 | P a g e
Biodata : Nama Alumi Pekerjaan
: Tri Budiyono : PDIH UNDIP 2006 : Dosen Fakultas Hukum UKSW Salatiga.
11 | P a g e