Edisi 6 - Legal Empowering
n e w sletter
Mitra Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia
Apakah pendidikan hukum yang salah? Clinical Legal Education (CLE) :
Dari Amerika ke Indonesia Suplemen SEMA RI No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum
DAFTAR ISI OPEN SOCIETY INSTITUTE
PENGANTAR REDAKSI LAPORAN UTAMA :
Redaksi Dadang Trisasongko Renata Arianingtyas Uli Parulian Sihombing Fulthoni Siti Aminah Keuangan dan Sirkulasi Evi Yuliawaty Herman Susilo Penerbit The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Jl. Tebet Timur I No. 4, Jakarta Selatan Phone : 021-93821173, Fax : 021- 8356641 e-mail :
[email protected] www.mitrahukum.org Didukung oleh Open Society Institute (OSI) dicetak oleh delca printing-canting press isi diluar tanggungjawab percetakan
1.”Apakah Pendidikan Hukum yang Salah ?” 2.Pendidikan Tinggi Hukum dan Penguatan Kapasitas Hukum Masyarakat (Legal Empowering)
OPINI HUKUM Clinical Legal Education (CLE): Dari Amerika ke Indonesia - Oleh : Pultoni
AKTIVITAS 1.Advokasi RUU Bantuan Hukum : dari Kampus ke DPR RI 2.Pelatihan Memahami Sosial Justice: Memahami untuk Mengajarkan 3.Generasi Muda, Generasi Bhinneka Tunggal Ika; 4.Pelatihan Paralegal Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan Untuk Mahasiswa 5.Eksaminasi Publik : Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945.
SUPLEMEN SEMA RI No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum
REFERENSI Serial Buku Saku Kebebasan Beragama Seri V dan Seri VI Buku : ”BUKAN JALAN TENGAH” Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
LAPORANUTAMA
”Apakah Pendidikan Hukum yang Salah ?”
“Semua pelaku korupsi hampir semua lulusan sarjana, Akpol, terlebih sarjana hukum. Semua berpendidikan, jangan-jangan ada sesuatu yang salah. Apakah pendidikan hukum yang salah?” Busyro Muqqodas – 2010
Sebuah pertanyaan reflektif ”Apakah pendidikan hukum yang salah?” dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqqodas menggambarkan kegusarannya akan situasi hukum di Indonesia, khususnya korupsi. Sebab pelaku korupsi atau koruptor hampir semua lulusan sarjana, bahkan sarjana hukum. Demikian halnya keluhan terhadap aparat penegak hukum – polisi, jaksa, hakim dan advokat yang tidak mampu mengaitkan tindak pidana korupsi dengan Hak Asasi Manusa (HAM) maupun kondisi sosial dan ekonomi yang sedang berlangsung di Indonesia, tidak terlepas dari kualitas pendidikan tinggi hukum. Intinya, pendidikan hukum tidak mendorong ke arah perwujudan keadilan sosial di dalam masyarakat. Keluhan yang sama disampaikan Menteri Hukum dan HAM RI, Patrialis Akbar. Patrialis menyampaikan banyaknya putusan-putusan hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan banyak aparatur penegak hu-
2
kum masih cenderung menyalahgunakan wewenang sehingga yang menjadi korban adalah masyarakat. Kondisi ini tidak lepas dari permasalahan kurikulum fakultas hukum di berbagai Perguruan Tinggi. Menurutnya, “Kurikulum sedikit demi sedikit harus dilakukan perubahan. Karena proses pendidikan hukum kita masih transfer of knowledge sehingga tidak terlalu mendalam saat memahami perspektif dan tujuan dari hukum itu sendiri. Sehingga gambaran seorang sarjana hukum yang baru lulus belum memiliki akuntabel, ia hanya sekedar berlabelisasi seorang sarjana hukum,” katanya dalam pertemuan dengan Badan Kerja Sama (BKS) Dekan Fakultas Hukum Negeri se Indonesia di Yogyakarta, pada pertengahan Oktober lalu. Pertanyaan reflektif dan keluhan tersebut dilatarbelakangi harapan bahwa, pendidikan hukum dapat berperan dalam membentuk pandangan dan sikap keluaran fakultas hukum terhadap
MITRA HUKUM - edisi 6
LAPORANUTAMA pemenuhan rasa keadilan masyarakat, HAM, dan nilai-nilai keadilan sosial di negaranya. Berbagai nilai dan pemahaman yang mereka terima selama proses
pembelajaran berpengaruh terhadap orientasi dan tindakan yang akan mereka lakukan dalam melaksanakan fungsifungsi sosial setelah mereka lulus. Kenyataannya, sistem hukum kita dimana para lulusan fakultas hukum menjadi stakeholder utama tidak mencerminkan pemenuhan nilai-nilai keadilan, sebagaimana diharapkan. Hikmahanto Juwana, mengidentifikasikan ada lima hal terkait permasalahan dalam pendidikan hukum yaitu: (1) kurikulum inti pendidikan hukum yang berlaku sejak masa pemerintahan kolonial hingga sekarang masih berlaku, (2) metode pengajaran tidak berubah secara mendasar sejak masa pemerintahan kolonial hingga sekarang, (3) Buku pe-gangan yang digunakan dari tahun ke tahun tidak berubah, (4) Mayoritas pengguna lulusan fakultas hulum cenderung menginginkan tipe lulusan yang tahu peraturan perundang-undangan, bukan yang tahu hukum dalam penger-
tian yang luas. Maka hukum telah direduksi menjadi peraturan perundangundangan semata, dan (5) Anggapan masyarakat bahwa lulusan fakultas hukum sebagai sangat legalistik, pandai menghapal dan taat pada doktrin mirip dengan apa yang dihasilkan oleh pedidikan tinggi hukum ketika diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial. Karenanya, menurut Hikmahanto lulusan tahun 1930an, 1950an, 1970an, 1980an dan 1990an dapat dikatakan sama. Lulusan yang dihasilkan cenderung legalistik tidak berbeda dengan lulusan pada masa pemerintahan kolonial, bahkan cenderung tidak dapat memenuhi berbagai tujuan pendidikan hukum pasca Indonesia merdeka. Masalah lainnya yang dihadapi setiap Sarjana Hukum baru saat ini adalah masih kuatnya praktek mafia peradilan, yang menghambat Sarjana Hukum untuk setia pada komitmennya mencapai keadilan sosial. Sehingga, kini setiap fakultas hukum menghadapi dua tantangan yaitu menyediakan pendidikan hukum yang melatih pengetahuan hukum disertai kemampuan analisa dan ketrampilan hukum yang tinggi dan pendidikan hukum yang lengkap dengan penanaman nilai-nilai keadilan, supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai syarat untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis dan berkeadilan sosial. Dari uraian di atas, setidaknya terdapat dua hal yang mempengaruhi proses keberhasilan proses pembelajaran di fakultas hukum, yaitu menyangkut subtansi atau materi yang akan diajarkan,
MITRA HUKUM - edisi 6
3
LAPORANUTAMA dan metode pembelajaran yang digunakan. Keduanya saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan. Substansi terkait dengan konsep, gagasan, dan nilai-nilai keadilan sosial yang akan ditransformasikan kepada mahasiswa. Sedangkan metode pembelajaran terkait dengan cara penyampaian substansi atau materi yang ada kepada mahasiswa. *****
Kurikulum Fakultas Hukum di Indonesia
Perubahan dan pembaharuan arah pendidikan hukum di Indonesia mulai dikembangkan pada tahun 70 an. Salah seorang pelopor dari pembaharuan pendidikan hukum ini adalah Mochtar Kusumaatmadja, yang mengemukakan bahwa hukum itu bukan hanya sebagai kaidah, tetapi juga adalah sebagai sarana pembangunan. Teori ini sebagai modifikasi terhadap teori law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound. (Maqdir Ismail,2007). Pada periode ini mulai diperkenalkan latihan keterampilan professional, etika professional, dan tanggung jawab professional. Pembaharuan kurikulum ini terus menerus dipikirkan dan dilakukan dan kemudian menjadi baku dikenal dengan nama kurikulum 1993. Dengan kurikulum ini diharapkan semua Fakultas Hukum secara proporsional mengajarkan aspek-aspek kemahiran hukum dan aspek-aspek pengetahuan atau keilmuan hukum. Diharapkan setelah lulus nanti mereka memiliki bekal yang cukup memadai untuk masuk ke dunia praktik hukum. Kuri-
4
kulum inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia. Kurikulum ini berlaku berdasarkan Keputusan Mendikbud No. 0325/U/1994 dan No. 056/U/1994 yang kemudian dalam perkembangannya mengalami sedikit perubahan di tahun 2000 dengan Keputusan Mendikbud No. 232/U/2000. Perubahan pokok dari kurikulum bukan pada substansinya melainkan lebih pada (1). perubahan penamaan materi muatan kurikulum nasional menjadi kurikulum inti, dan kurikulum lokal menjadi kurikulum institusional (2). Kurikulum 1994 ini pada dasarnya disusun dengan landasan dengan semangat, serta motivasi untuk melakukan pembaharuan pendidikan tinggi hukum agar lebih mampu menyiapkan para lulusan fakultas hukum siap dalam memasuki kerja atau siap mengemban profesi hukum, sehingga dalam kurikulum 1994 ini diintrodusirnya matakuliah hukum yang sarat dengan bobot kemahiran hukum. Sebelum berlakunya kedua SK tersebut, kurikulum program Sarjana Hukum mengacu pada “kurikulum inti” yang ditetapkan dalam Keputusan Direktur Pendidikan Tinggi Depdikbud No 30/DJ/Kep/1983 tanggal 27 April 1983. Kurikulum inti tersebut lebih berorientasi dan menitik beratkan pada kepentingan fungsi peradilan dan pemerintahan. Agus Lanini, berpendapat bahwa kurikulum pendidikan hukum tidak mengalami perubahan yang berarti sejak zaman penjajahan Belanda, mata kuliah dan metode belajar yang
MITRA HUKUM - edisi 6
LAPORANUTAMA diterapkan cenderung statis. Sehingga apa yang diharapkan masyarakat mapun elemen lainnya dari lulusan fakultas hukum sekarang ini tidak tercapai. Lanini menawarkan untuk menerjemahkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan menerapkan pendidikan hukum progresif melalui model pendidikan hukum klinis. ***** Salah satu hal yang penting dalam suatu pendidikan adalah metode pengajaran. Karena bagaimana pun baiknya kurikulum dan fasilitas yang dimiliki sebuah Fakultas Hukum, kalau cara me-
didik untuk mencerna materi dengan baik. Yang tentu saja peserta didik akan lebih cepat paham bahkan akan berusaha memacu nalarnya untuk mengembangkan materi yang telah diterimanya. Menurut teori learning pyramid yang dibangun oleh National Training Laboratories/NTL di Maine (AS), metode ceramah kuliah adalah metode yang tingkat penyerapannya oleh mahasiswa hanya sebesar 5%. Ini adalah metode terendah dalam hal penyerapan hasilnya oleh mahasiswa. Untuk metode bacaan, tingkat penyerapannya 10%. Jika kuliah menggunakan metode audiovisual tingkat penyerapannya 20%. Ke-
nyampaikan materi pada mahasiswanya buruk, bisa jadi mahasiswa akan sulit memahaminya. Metode mengajar yang baik akan mampu merangsang peserta
mudian jika digunakan metode demonstrasi tingkat penyerapannya 30%. Profesor David McQuoid-Mason
Metode Pengajaran
MITRA HUKUM - edisi 6
5
LAPORANUTAMA menyatakan hal ini merupakan suatu tanda bahaya karena sebagian besar proses pendidikan hukum justru menggunakan metode ceramah kuliah. Empat metode pembelajaran tersebut digolongkan sebagai metode tradisional. Rendahnya tingkat pencapaian metode ini, menurut NTL dapat diatasi jika digunakan pendekatan lainnya yaitu pendekatan Teaming atau interaktif atau berpusat pada mahasiswa. Pendekatan interaktif, secara garis besar terbagi atas tiga (3) metode yaitu Kelompok Diskusi yang tingkat pencapaiannya 50%, Practice by Doing tingkat pencapaiannya 75% dan yang paling efektif adalah mengajarkan kepada orang lain atau penggunaan secara langsung yang mana tingkat pencapaiannya 90 % Dalam pandangan McQuoid-Mason, metode pendidikan yang berpu-
6
sat pada mahasiswa idealnya dilakukan dengan memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa dimana mahasiswa memperoleh ketrampilan praktis dan sekaligus menyediakan lingkungan keadilan sosial. Jika kesempatan itu tidak tersedia maka perlu diadakan termasuk lingkungan semacam itu perlu diciptakan. Oleh karena itu mahasiswa perlu dilibatkan dalam menghadapi situasi dunia nyata dan memainkan peran sebagai pengacara untuk menyelesaikan persoalan. Kegiatan semacam ini bisa dilakukan lewat interaksi dengan klien untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah hukum, serta terbuka untuk ditinjau secara kritis oleh dosen maupun rekan mahasiswa lainnya. Hal ini seiring dengan KBK yang mengadopsi cara pembelajaran untuk orang dewasa. Banyak pihak merekomendasikan metode pendidikan hukum klinis (clinical legal
MITRA HUKUM - edisi 6
LAPORANUTAMA education) sebagai alternatif untuk menjawab permasalahan kurikulum dan metode pengajaran di fakultas hukum. *****
Pendidikan Hukum Klinis Istilah Pendidikan Hukum Klinik dapat didefinisikan sebagai ”sebuah proses pembelajaran dengan maksud menyediakan mahasiswa hukum dengan pengetahuan praktis (practical knowledge), keahlian (skills), nilai-nilai (values) dalam rangka mewujudkan pelayanan hukum dan keadilan sosial, yang dilaksanakan atas dasar metode pengajaran secara interaktif dan reflektif ”. (OSJI,2009). Dari bentuknya, Pendidikan Hukum Klinik terdiri dari tiga komponen yaitu ; • Komponen Perencanaan. Mahasiswa mempersiapkan dan merencanakan untuk memperoleh pengalaman praktik hukum yang nyata. Hal ini melibatkan pembelajaran dan pengajaran teori-teori kepengacaraan seperti teknik dalam memberikan pelayanan hukum, jenis-jenis isu dalam hal kepengacaraan, pengembangan kasus tertulis atau rencana proyek dan menstimulasikannya dengan kehidupan nyata; • Komponen Praktik. Mahasiswa menguji kemampuan kepengacaraannya (wawancara, pemberian nasehat, dan mewakili klien di persidangan, dsb). Atau melakukan kegiatan-kegiatan praktik lainnya dibawah supervisi dan bimbingan dosen atau pengacara
praktik; • Komponen Refleksi. Mahasiswa merefleksikan pengalamannya, dan mengevaluasi kemampuannya. Proses ini termasuk refleksi tertulis, latihan melakukan evaluasi secara mandiri, dan kritik, evaluasi oleh supervisor.
Terdapat banyak tujuan dari Pendidikan Hukum Klinik (OSJI,2009), yaitu; Pertama, program legal clinic ditujukan untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang terstruktur untuk mahasiswa, untuk menambah pengalaman mahasiswa dalam praktik kepengacaraan yang nyata atau melalui simulasi mewakili klien, dan juga untuk memperoleh pengetahuan, keahlian, dan nilai-nilai dari pengalaman itu; Kedua, legal clinic dimaksudkan untuk menambah dukungan untuk bantuan
MITRA HUKUM - edisi 6
7
LAPORANUTAMA hukum terhadap masyarakat marjinal; Ketiga, ditujukan untuk menanamkan semangat pelayanan publik dan keadilan sosial, dan untuk membangun dasar pengembangan tanggungjawab profesi hukum; Keempat, dosen supervisor di memberikan kontribusi untuk pengembangan scholarship mengenai keahlian dan teori-teori hukum praktis yang menghubungkan dunia akademik dengan organisasi kepengacaraan secara lebih dekat; Kelima, penggunaan metode pengajaran secara interaktif dan reflektif yang menggerakan mahasiswa untuk melakukan aktivitas-aktivitas tersebut di atas, yang tidak diperoleh di bangku kuliah. Lebih lanjut, metode pembelajaran yang reflektif ini telah terbukti merupakan cara yang paling efektif untuk pembelajaran mahasiswa secara abadi; dan Keenam, legal clinic ditujukan untuk memperkuat, dengan merawat tanggungjawab profesional pengacara melalui penekanan kebutuhan bantuan hukum untuk melindungi masyarakat marjinal. Pendidikan Hukum Klinik sudah dikenal di Indonesia pada masa 1970an, dan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. Terkait dengan inovasinya ini, Mochtar Kusumatmadja, mengatakan “...pendidikan klinis yang direncanakan dengan baik tidak hanya mengajarkan keteramplan teknis, melainkan juga harus menghadapakan mahasiswa-mahasiswa pada keadaan-keadaan yang akan dijumpainya dalam masyarakat kelak dan juga harus menambahkan suatu kebiasaan”.
8
Namun, menurut Uli Parulian Sihombing, pada masa tersebut Pendidikan Hukum Klinik lebih menekankan kepada penguatan dan pembentukan LBH Kampus, dan belum mampu menghubungkannya dengan kurikulum dan metode pengajaran. Padahal Konsep Pendidikan Hukum Klinik lebih luas dari LBHKampus (legal clinic). LBH Kampus hanyalah salah satu implementor dari Pendidikan Hukum Klinik itu sendiri. Kini, di tengah kegelisahan akan buruknya sistem hukum di Indonesia, dan pertanyaan, “Apakah Pendidikan Hukum yang Salah ?”, maka pendidikan hukum klinik menjadi alternatif yang relevan. Sehingga, ke depan pendidikan tinggi hukum mampu melahirkan aparat penegak hukum yang profesional dan mampu memenuhi rasa keadilan, dan tidak melahirkan koruptor maupun pelaku mafia hukum.
MITRA HUKUM - edisi 6
***** DAFTAR BACAAN • Agus Lanini, Pendidikan Hukum Bernuansa Social Justice, Selasa, 09 Maret 2010, aguslanini.blogspot.com • Djoni Prawira Rahardja, Strategi dan Tehnik Belajar dari Kegiatan Laboratorium, Slide, Makasaar, 2010 • Maqdir Ismail, Kurikulum Pendidikan Hukum dalam Persfektif Kebutuhan Pasar, Kamis, 22 November 2007, diakses dari maqdirismail.blogspot.com • Pendidikan Hukum Klinik, Tinjauan Umum, OSJI, Diterjemahkan dan diterbitkan oleh ILRC, Jakarta, 2009
LAPORANUTAMA
Pendidikan Tinggi Hukum dan Penguatan Kapasitas Hukum Masyarakat (Legal Empowering)
Stephen Golub (2008) memaknai legal empowering sebagai setiap upaya untuk memperkuat akses masyarakat miskin/termarjinalkan terhadap kehidupannya. Golub tidak hanya melihat aspek hukum saja dalam memperkuat akses masyarakat miskin/termarjinalkan terhadap kehidupannya. Aktivitas budaya dan ekonomi mungkin juga diperlukan untuk memperkuat akses masyarakat miskin/termarjinalkan terhadap kehidupannya. Sementara Open Society Justice Initiative (OSJI) (2010) lebih memfokuskan penggunaan “hukum” dalam legal empowerment itu. Di mana orang miskin/termarjinalkan menggunakan hukum untuk melindungi hak dan kepentingannya, serta dapat memecah masalahnya yang sedang mereka hadapi di dalam kehidupan seharihari. Hubungan antara legal empowerment dengan pendidikan tinggi hukum adalah adanya kontribusi pendidikan tinggi hukum dalam mempromosikan dan mendorong terwujud pemenuhan
legal empowerment untuk masyarakat miskin/marjinal. Badan Pusat Statistika (BPS) mencatat jumlah orang miskin di Indonesia sampai dengan Maret tahun 2009 adalah 32,53 jiwa atau 14,15 % dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia (dikutif dari www.bps.go.id). Bahkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksi angka jumlah orang miskin akan melonjak menjadi 32,53 jiwa pada tahun 2010 (dikutif dari www. kabarbisnis.com). Jumlah orang miskin tersebut sangat besar, jika dibandingkan dengan total jumlah penduduk secara keseluruhan. Orang miskin tersebut tidak hanya bersentuhan dengan permasalahan perekonomian, tetapi juga permasalahan hukum. Kasus Lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo Jawa Timur menjadikan orang termarjinalkan menjadi miskin. Lumpur lapindo tidak hanya merusak lingkungan penduduk di sekitanya, tetapi juga orang-orang yang termarjinalkan
MITRA HUKUM - edisi 6
9
LAPORANUTAMA oleh lumpur tersebut menjadi miskin karena kehilangan pekerjaan dan mata pencahariannya. Belum lagi permasalahan kesehatan dan dampak psikologis akibat lumpur lapindo tersebut. Di sini lain, orang-orang yang termarjinalkan dan miskin tersebut membutuhkan bantuan hukum untuk memperjuangkan haknya. Sementara tidak banyak advokat yang tertarik dalam penanganan kasus ini, yang ada hanyalah kantor bantuan hukum. Jumlah advokat baik yang bekerja di kantor bantuan hukum pun terbatas. Terdapat hal yang menarik ketika ada upaya dari dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengadakan pendidikan hukum (PH) untuk korban-korban lapindo di Porong Sidoarjo. Substansi PH itu kurang lebih mirip dengan aktivitas legal empowerment untuk masyarakat miskin/marjinal. Di mana para dosen tersebut mengajak mahasiswa/mahasiswinya untuk berdiskusi dengan korban-korban lapindo untuk memikirkan solusinya dan membagi pengetahuan ”hukum”.
Street Law Apa yang dilakukan oleh dosendosen FH Unair tidak lain merupakan street law (terjemahan kasarnya adalah penyuluhan hukum), yang merupakan salah satu model legal empowerment yang dilaksanakan oleh pendidikan tinggi hukum. Sedikit banyak, street law tersebut membantu mahasiswa/mahasiswi untuk memahami realitas sosial yang ada di masyarakat khususnya ketika hukum bersinggungan dengan modal dan politik. Kemudian di sisi yang lain,
10
masyarakat terbantu akan informasi atas hukum dan juga mengajak mereka untuk mengkritisi substansi hukum secara lebih komprehensif. Walaupun pelaksanaan PH tersebut dilaksanakan atas inisiatif dosen-dosen Unair, tetapi hal tersebut patut mendapatkan apresiasi terutama ketika dunia pendidikan tinggi hukum mencoba memberikan kontribusi nyata terhadap permasalahan ketidakadilan sosial. David McQuoid-Mason (2010), Professor hukum di Universitas Kwazulu Natal Durban Afrika Selatan, merumuskan street law sebagai berikut “street law refers to how the law effects the person on the street. Street law programs are legal literacy programs that usually educate ordinary people, school children and prisoners about law, human rights and democracy. The street law explains how the law affects people in their daily lives, when they need the services of lawyers and where they can obtain assistance- particularly if people are very poor and cannot afford to employ lawyers”. Street law bukanlah hukum jalanan, melainkan pendidikan melek dan kesadaran hukum misalkan pendidikan hukum untuk anak-anak di sekolah, narapidana di penjara dan lain-lain. David McQuoid Mason street law ini harus diakuai dan diterima oleh badan bantuan hukum (di Afrika Selatan namanya The Legal Aid Board). Dengan kata lain, UU (Undang-Undang) Bantuan Hukum mendukung keberadaan street law tersebut. RUU (Rancangan Undang-Undang) Bantuan Hukum belum mengakomodir pengakuan program street law
MITRA HUKUM - edisi 6
LAPORANUTAMA
yang dilakukan oleh pendidikan tinggi hukum. Padahal selain PH untuk masyarakat, beberapa pendidikan tinggi hukum masih mewajibkan mahasiswa/ mahasiswi untuk mengambil mata kuliah kerja nyata (KKN). Biasanya salah satu aktivitas dari KKN tersebut adalah penyuluhan/pendidikan hukum misalnya tentang hukum acara pidana atau hukum agraria. Penyuluhan/pendidikan hukum untuk masyarakat ini kurang lebih mirip dengan street law, karena tujuannya sama yaitu untuk melek hukum (legal literacy). Mahasiswa/mahasiswi yang sedang melaksanakan KKN tidak hanya berdiskusi soal substansi hukum, tetapi juga membagi informasi tentang keberadaan dan fungsi kantor-kantor lembaga bantuan hukum atau institutiinstituti swasta dan pemerintah yang relevan dengan permasalahan hukum. Jelas sekali ini membantu distribusi informasi tentang bantuan hukum untuk masyara-
kat miskin/marjinal. Hasil studi yang dilakukan oleh lembaga independen (2010) atas keberadaan street law yang dilakukan oleh pendidikan tinggi hukum menunjukan bahwa street law mempunyai dampak positif seperti menurunkan angka kejahatan, dan bahkan mendorong anak-anak muda untuk lebih menjadi warganegara yang bertanggung jawab terhadap lingkungan sosialnya. Bahkan di Afrika Selatan, yang sangat terkenal karena tingkat kriminalitas dan angka penderita AIDS-HIV yang besar, komunitas street law sudah membuat buku manual hukum yang merupakan pedoman untuk masyarakat dalam memahami hukum secara sederhana. Kemudian juga ada buku manual tentang democracy for all , yang mudah dipahami oleh setiap orang yang menjelaskan bagaimana demokrasi berjalan dan kenapa ada demokrasi serta apa yang bisa dimanfaatkan dari demokrasi. Komunitas street law di Afsel sudah sadar betul, bahwa demokrasi juga milik rakyat bukan hanya elit politik, sehingga setiap orang harus terlibat di dalam proses penentuan kebijakan negara yang mempunyai dampak terhadap masa depan mereka. Street law, salah satu kegiatan legal empowerment, yang dilakukan oleh pendidikan tinggi hukum perlu dipertahankan dan sebaiknya didukung oleh pemerintah khususnya RUU Bantuan Hukum harus mengakomodir inisiatif-inisiatif pendidikan tinggi hukum dalam menjalankan program melek hukum untuk masyarakat. [Uli Parulian Sihombing]
MITRA HUKUM - edisi 6
11
OPINI
Clinical Legal Education (CLE) DARI AMERIKA KE INDONESIA Oleh : Pultoni
Sejak bulan Agustus lalu, saya berkesempatan mengikuti pendidikan di Columbia Law School, New York dan mengambil beberapa matakuliah. Ada empat tipe matakuliah di fakultas hukum ini yaitu lecture/ceramah, seminar, externship dan klinik. Untuk matakuliah dengan tipe ceramah dilakukan di hall dan biasanya diikuti mahasiswa dalam jumlah besar. Meskipun metode ceramah, pada umumnya Professor tetap menggali ide dan pandangan dari mahasiswa, sehingga proses dialog dan diskusi tetap dilakukan. Dalam tipe seminar biasanya diikuti oleh jumlah mahasiswa yang lebih kecil dibandingkan ceramah. Dalam pelaksanaannya, tipe ini biasanya mengkombinasikan antara ceramah dan presentasi mahasiswa. Mahasiswa dibagi dalam beberapa kelompok dan diminta menyiapkan makalah untuk dipresentasikan dan didiskusikan di dalam kelas. Exterenship adalah metode belajar dimana mahasiswa bekerja atau magang di lembaga tertentu, seperti pengadilan, lembaga pemerintah, law firm,
12
NGO, dan lain-lain. Setiap mahasiswa dibawah supervisi perlu menyediakan waktu minimal 20 jam dalam 1 minggu untuk bekerja di lembaga yang telah dipilih dan membuat laporan. Salah satu matakuliah yang saya ikuti adalah klinik. Ada beberapa pilihan matakuliah klinik yang ditawarkan di Columbia Law School yaitu Child Advocacy Clinic, Community Enterprise Clinic/Non profit Organization Clinic, Environmental Law Clinic, Human Rights Clinic, Mediation Clinic, Digital Age Clinic, Prisoners and Families Clinic, Sexuality and Gender Clinic. Masingmasing klinik mendalami materi sesuai nama kliniknya dengan berbasis kasuskasus yang ditangani. Setiap klinik dibatasi hanya diikuti oleh maksimal 12 orang. Bobot kredit yang diberikan untuk matakuliah klinik adalah 7 sks. Awalnya saya ingin bergabung dengan Human Rights Clinic tetapi karena ketatnya persaingan dan terbatasnya mahasiswa yang dapat diterima, akhirnya saya bergabung dengan Community Interprise Clin-
MITRA HUKUM - edisi 6
OPINI ic atau Non Profit Organization Clinic dengan jumlah mahasiswa 9 orang. Belajar kelas dilakukan dua kali seminggu yaitu 2 jam untuk pertemuan pertama dan 3 jam untuk pertemuan kedua. Secara umum metode pembelajaran yang digunakan dimasing-masing klinik sama, yang membedakan hanya substansi atau isu yang menjadi objek dari pembelajaran. Professor yang bertanggungjawab untuk setiap klinik adalah para pengacara senior dengan reputasi yang tidak diragukan, dan pada umumnya mereka juga memiliki latarbelakang pekerjaan dalam bidang advokasi hak asasi manusia dan public interest isu. Pandangan mereka tentang hak asasi manusia dan isu-isu keadilan menjadi penting bagi pembentukan karakter pengacara atau professional hukum lain di masa yang akan datang. Setelah mengikuti matakuliah klinik selama satu semester saya merasakan ada perbedaan mendasar antara matakuliah klinik dengan matakuliah yang lain. Interaksi proses pembelajaran dalam klinik sangat intensif, baik selama belajar dalam kelas maupun diluar kelas. Jumlah kelas yang kecil memungkinkan setiap orang mengekpresikan
ide dan pengalamannya secara bebas, tanpa terhalangi oleh sekat antara pengajar dan mahasiswa, bahkan pembalajaran dilakukan sangat informal di meja melingkar atau segi empat, sehingga memungkinkan setiap orang berinteraksi dengan orang lain. Selama pembelajaran berlangsung, pengajar berperan sebagai fasilitator yang hanya menyampaikan kata-kata kunci persoalan yang kemudian dijawab dan didiskusikan bersama oleh mahasiswa. Sesekali pengajar berpendapat ketika ada konsep yang harus diluruskan ataupun memberi jawaban atas pertanyaan mahasiswa. Metoda Socrates sangat kental digunakan dalam proses ini untuk mendalami dan mendapatkan inti persoalan, sehingga partisipasi dan keaktifan mahasiswa lebih menonjol. Komunikasi antara mahasiswa dan pengajar juga terjalin di luar kelas. Ada waktu tertentu dalam sebulan sekali dimana pengajar bertemu secara individual dengan setiap mahasiswa di ruangannya, dan membicarakan berbagai hal terkait kasus, proses pembelajaran, dan lain sebagainya. Pada umumnya, dalam satu semester pengajar hanya bertanggung jawab terhadap satu matakuliah, sehingga mereka dapat memberikan
MITRA HUKUM - edisi 6
13
OPINI perhatian secara penuh terhadap mahasiswa, proses pembelajaran dan fokus pada output yang diharapkan. Selain itu, materi yang disampaikan dalam klinik sangat praktis dan berhubungan langsung dengan problem keseharian. Ada beberapa topik yang disampaikan dalam pembelajaran kelas diantaranya menyangkut kemampuan dasar lawyer (interview, counseling, drafting, conflict resolution, advocacy) etika dan profesionalisme, dan peran dan tanggungjawab sosial pengacara. Untuk memulai satu topik, biasanya mahasiswa dibagi secara berpasangan dan diminta mempraktekkan satu adegan tertentu sebagai pengacara dan klien. Setelah itu, mereka diminta mengevaluasi sendiri proses yang telah dilakukan, dan menyampaikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Pada kesempatan lain, mahasiswa melakukan interview dengan klien, direkam melalui kamera dan hasil rekaman itu dibawa ke kelas kemudian didiskusikan secara bersama. Setiap orang diminta mengevaluasi dan merefleksikan proses yang sudah dijalankan. Dalam beberapa kesempatan pengajar juga mengundang ahli di bidang tertentu ke kelas untuk mempresentasikan pengalamannya dibidang yang ia geluti. Selama saya mengikuti kelas ini ada tiga ahli yang sempat diundang yaitu ahli property untuk organisasi non profit, pustakawan (penelusuran leteratur hukum), dan aktivis NGO yang bekerja di komunitas. Manfaat utama mengundang ahli adalah mahasiswa mendapatkan informasi yang lebih faktual tentang bekerjanya hukum dan
14
mendiskusikan permasalahan yang ada secara lebih mendalam. Columbia Law School memiliki dua ruangan utama klinik yaitu di dalam gedung fakultas hukum dan diluar gedung fakultas hukum. Ruangan ini digunakan secara bersama oleh semua klinik untuk bertemu klien atau tempat mahasiswa bekerja menyelesaikan kasus yang ditangani. Biasanya mahasiwa dibagi secara berpasangan, dan bertanggungjawab terhadap 1 kasus. Mereka menyusun dokumen-dokumen hukum yang diperlukan, dan mendiskusikan dokumen-dokumen dan kasus itu di dalam kelas untuk mendapatkan respon dari pengajar maupun mahasiswa yang lain. Refleksi yang dapat saya sampaikan setelah mengikuti matakuliah klinik adalah; Pertama, bahwa program ini adalah upaya pendidikan hukum melayani kebutuhan sumber daya manusia yang akan bekerja dalam sektor-sektor hukum dengan kualifikasi professional, berintegritas dan berkomitmen terhadap kepentingan publik. Output itu akan diperoleh bukan pada saat mereka belajar, tetapi pada saat mereka menggeluti berbagai profesi di kemudian hari. Kedua, bahwa clinical legal education pada prinsipnya adalah proses pembelajaran by doing. Pembelajaran by doing adalah satu proses pembelajaran dimana mahasiswa tidak berhadapan dengan kasus ‘rekaan’ tetapi secara nyata bekerja dan berhadapan langsung dengan permasalahan hukum yang ada di masyarakat melalui konsultasi dan bantuan hukum. Mahasiswa dituntut mam-
MITRA HUKUM - edisi 6
OPINI pu menganalisa kasus dan merumuskan penyelesaiannya. Ketiga, peran pengajar yang bertanggung jawab terhadap klinik sangat menentukan orientasi dan karakteristik lulusan fakultas hukum yang akan bekerja di lembaga-lembaga professional. Hampir mayoritas pengajar hukum adalah pengacara yang memiliki pengalaman praktis dalam bidang bukum. Hal ini berbeda dengan kondisi di Indonesia, yang hanya sebagian kecil dosen yang juga pengacara bahkan untuk perguruan tinggi negeri dosennya dilarang merangkap sebagai advokat. Pengembangan CLE di Indonesia Potensi pengembangan CLE di Indonesia sangat besar. Pertama, karena legal clinic telah eksis di hampir setiap fakultas hukum meskipun dalam praktek masih mengalami banyak kendala, dan pada umumnya lembaga ini tidak menjadi bagian dari sistem pembelajaran di fakultas hukum. Kedua, keberadaan legal clinic menjadi bagian penting bagi penguatan akses keadilan bagi masyarakat. Keberadaannya turut mewarnai gerakan bantuan hukum di Indonesia. Ketika beberapa lembaga bantuan hukum mengalami kendala baik politis dan sosiologis legal clinic tetap memberikan pelayanan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu. Ketiga, legal clinic memiliki legitimasi yang kuat sebagai penyedia pelayanan bantuan hukum. Secara yuridis ada putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang advokat yang memberikan sinyal kuat tentang
pentingnya legal clinic dan pengembangan clinical legal education dalam pendidikan hukum untuk memperkuat akses terhadap keadilan. Ada juga surat edaran Mahkamah Agung No.10 Tahun 2010 Tentang pedoman pemberian bantuan hukum yang meletakkan lembaga bantuan hukum kampus sebagai salah satu penyedia pelayanan bantuan hukum. RUU bantun hukum yang saat ini sedang dibahas di DPR juga diharapkan dapat memperkuat peran legal clinic dalam memberikan pelayanan bantuan hukum. Pengalaman saya mengikuti perkuliahan clinic, ada beberapa prasyarat utama dalam mengembangkan legal clinic. Legal clinic tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran hukum sehingga keberadaannya harus menjadi bagian dari kurikulum fakultas hukum. Tujuan utamanya adalah bagaimana menyiapkan generasi baru pengacara Indonesia yang professional, berintegritas, dan memegang teguh spirit pelayanan terhadap kepentingan publik. Jika nilai-nilai itu terpenuhi, maka tidak mustahil gerakan pembaruan hukum di Indonesia akan dapat diwujudkan dan itu bertolak dari fakultas hukum. Selain itu, pengembangan legal clinic membutuhkan sumber daya manusia yang berpengalaman dalam praktek hukum dan mampu mentransformasikan nilai-nilai keadilan kepada mahasiswa. Dalam mengembangkan legal clinic juga perlu mendapatkan dukungan utamanya dari pimpinan fakultas hukum dan kalangan pengajar, dan yang lainnya adalah dukungan dari professional hukum seperti
MITRA HUKUM - edisi 6
15
OPINI hakim, jaksa, pengacara, NGO, dan lain sebagainya. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan legal clinic di Indonesia. Pertama, mengintegrasikan legal clinic dengan mata kuliah yang sudah ada. Ada beberapa mata kuliah di fakultas hukum yang sebenarnya berwatak klinik meskipun dalam praktek pembelajarannya sama dengan matakuliah yang lain. Salah satunya adalah Pendidikan Latihan dan Kemahiran Hukum (PLKH). Mata kuliah ini bertujuan memberikan kemampuan praktis kepada mahasiswa tentang aspek-aspek bekerjanya hukum seperti praktek peradilan, legal drafting, pembuatan kontrak, metode penulisan hukum, dan ada juga beberapa fakultas hukum yang mengajarkan tehnik advokasi. Namun dalam praktek matakuliah ini belum mangadopsi proses pembelajaran by doing. Yang perlu dilakukan adalah merekonstruksi sistem mata kuliah ini dan bagaimana menghubungkannya dengan legal clinic meliputi materi pembahasan, metode pembelajaran, sumber daya manusia dan lain sebagainya. Mata kuliah lain adalah etika profesi hukum. Sebenarnya mata kuliah ini tidak bersifat teoritik tetapi sangat praktis, karena etika pada dasarnya berhubungan dengan kondisi-kondisi nyata yang ada dalam proses penegakan hukum. Etika profesi hukum harus diletakkan sebagai bagian dari proses bekerjanya hukum, bukan di ruang hampa yang terpisah dengan kenyataan. Praktek kerja lapangan atau kuliah kerja nyata juga
16
sangat potensial dijadikan suatu model yang memperkuat pengembangan clinical legal education. Sebenarnya melalui mata kuliah ini mahasiswa menerapkan pembelajaran by doing yang akan memperkuat pengalaman mereka tentang hukum, keadilan dan kemasyarakatan. Kedua, meningkatkan kapasitas pengajar pengampu mata kuliah klinik. Meskipun legal clinic telah ada sejak lama, dan mata kuliah yang berwatak klinik juga sudah ada tetapi masih ada keterbatasan pemahaman tentang esensi clinical legal education dan proses pembelajarannya. Oleh karena itu, perlu ada peningkatkan kapasitas bagi dosen tentang konsep CLE dan metode pembelajarannya sehingga konsep CLE diterapkan secara kontekstual dan menjadi pioneer bagi proses terwujudanya generasi baru pengacara Indonesia yang konsen pada isu-isu keadilan sosial. Jika ingin berkontribusi lebih besar bagi upaya pembaruan hukum di Indonesia, maka pertama yang perlu dilakukan oleh fakultas hukum adalah melakukan pembenahan itu sendiri. Fakultas hukum perlu bekerja keras merefleksikan kiprahnya selama ini dalam ‘memproduksi’ ahli-ahli hukum, dan merumuskan strategi baru dalam menyiapkan ahli-ahli hukum yang lebih baik yang berperan penting dalam mendorong pembaruan hukum di Indonesia. Pengembangan clinical legal education di fakultas hukum menjadi salah satu alternatif untuk mewujudkan impian itu.
MITRA HUKUM - edisi 6
AKTIVITAS
Advokasi RUU Bantuan Hukum
Dari Kampus ke DPR RI DPR RI periode 20092014 menjadikan RUU Bantuan Hukum sebagai salah satu RUU prioritas di tahun 2010, dan menjadikannya sebagai hak inisiatif DPR RI. Badan Legislasi (Baleg) telah menyusun draft RUU Bantuan Hukum. Di dalam draft RUU Bantuan Hukum pada awalnya tidak terdapat peran LBH Kampus sebagai bagian dari Pemberi Bantuan Hukum. Konsep bantuan hukum yang diusung lebih kepada bantuan hukum dalam persfektif pro bono dibandingkan persfektif akses keadilan. Sehingga pemberi bantuan hokum lebih mengutamakan profesi advokat. Agar tidak mendapatkan kenyataan pahit sepertihalnya UU Advokat yang telah mematisurikan peran LBH Kampus, The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) bekerjasama dengan Forum LKBH Kampus melakukan advokasi RUU Bantuan Hukum. Advokasi diawali dengan menyelenggarakan diskusi terfokus untuk advokasi RUU Bantuan Hukum. Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 15 April 2010 di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Karawaci
Tangerang dan dilanjutkan di Fakultas Hukum Universitas Trisakti. FGD ini ditujukan untuk mensosialisasikan perkembangan pembahasan dan substansi RUU Bantuan Hukum, mengkajinya dalam perspektif LBH Kampus, dan menyusun strategi advokasi. Kegiatan ini telah menghasilkan beberapa catatan kritis terhadap draf RUU Bantuan hukum yang disusun oleh Baleg DPR RI. Hasil analisa selanjutnya disosialisasikan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat melalui seminar dan diskusi public. Di Semarang, ILRC bekerjasama dengan Fakultas Hukum Unisbank Semarang dan LBH Semarang menyelenggarakan Seminar Bantuan Hukum dan Akese terhadap Keadilan Bagi Masyarakat Marginal Hadir sebagai narasumber yaitu Pujiono, SH,
MITRA HUKUM - edisi 6
17
AKTIVITAS MH (Pengajar FH Undip dan Mantan Ketua LKBH Undip), Siti Rakhma Mary Herwati, SH, MH (Direktur LBH Semarang), dan Fulthoni (ILRC). Seminar dipandu oleh Rochmani SH, Mhum. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai kalangan, diantaranya Pimpinan LKBH di wilayah Jawa Tengah, mahasiswa, dosen, NGO, dan komunitas. Sedangkan diskusi public diselenggarakan bekerjasama dengan LKBH Fakultas Hukum Trisaksi. Hadir sebagai narasumber Otto Hasibuan, Ketua Umum PERADI, dan Artaji, Ketua BKBH Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. Selanjutnya hasil analisa, masukan dari masyarakat dan perkembangan pembahasan di DPR disusun menjadi buku dengan judul ”Menjamin Hak atas Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Marginal, Position Paper RUU Bantuan Hukum dan Peran LKBH Kampus”. Akhirnya dalam draft final terdapat kemajuan berarti di dalam substansi RUU Bantuan Hukum yang dibuat DPR, di mana penerima bantuan hukum (the beneficiary of legal aid) tidak hanya orang miskin tetapi juga mereka yang merupakan korban ketidakadilan (masyarakat marjinal). Kemudian di sisi lain, penyedia jasa bantuan hukum (legal aid provider) tidak hanya organisasi advokat/advokat, melainkan juga dosen dan mahasiswa hukum. Kemajuan ini merupakan indikator bahwa DPR serius dalam membuat UU Bantuan Hukum. Untuk memberikan masukan dan mendukung DPR RI, ILRC bersama Forum LKBH Kampus memenuhi undangan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR
18
RI. Dalam RDP tersebut, ILRC dan Forum LKBH Kampus yang diwakili oleh LKBH Fakultas Hukum Trisakti dan LKBH Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana menyampaikan pokok-pokok pikiran terkait peran LKBH Kampus dalam memberikan akses keadilan terhadap masyarakat marginal. Dalam kesempatan tersebut, diklarifikasikan berbagai pandangan yang keliru tentang fungsi LKBH Kampus dan hambatan-hambatan yang dialami dalam memberikan bantuan hukum. Kini, RUU masih dibahas oleh panja RUU Bantuan Hukum. Secara substansi, pembahasan kini beralih ke issue lembaga negara pelaksana bantuan hukum. DPR mengusulkan agar bantuan hukum dijalankan oleh sebuah komisi nasional yang diberi nama Komisi Nasional Bantuan Hukum (Komnas Bankum). Komisi menjadi bentuk organisasi yang dipilih karena bersifat independen dan memiliki anggaran sendiri. Namun, dalam proses pembahasan, Pemerintah berpendapat dan bersikukuh untuk menjadikan Kementerian Hukum dan HAM sebagai penyelenggara. Pemerintah juga akan melakukan sertifikasi dan akreditasi bagi semua lembaga bantuan dan konsultasi hukum. Pilihan ini didasarkan pada asumsi bahwa pembentukan komisi baru akan kian menggerus anggaran, dan berkaca dari tidak efektifnya fungsi-fungsi komisi negara yang telah ada. Nampaknya kita masih harus menunggu lahirnya UU Bantuan Hukum yang akan menjamin terpenuhinya hak atas keadilan setiap warga negaranya. (SAT)
MITRA HUKUM - edisi 6
AKTIVITAS
Pelatihan Social Justice
MEMAHAMI UNTUK MENGAJARKAN Pendidikan tinggi hukum di Indonesia dewasa ini diselenggarakan oleh 34 (tiga puluh) empat Universitas Negeri dan satu Sekolah Tinggi Hukum Militer (BKS Dekan, 2005) dan puluhan fakultas hukum di lingkungan Universitas swasta. Sebagai bentuk pendidikan akademis tertua, lembaga pendidikan hukum telah menghasilkan lulusan terbanyak dibandingkan dengan lulusan disiplin ilmu lain dan menempatkan lulusannya hampir di seluruh institusi birokrasi, dan berbagai fungsi lain yang menempatkan profesi hukum dalam spectrum peranan yang luas. Namun, di tengah proses perubahan struktural serta pergeseran nilai-nilai dan norma-norma yang berlangsung cepat pada satu pihak, dan perkembangan politik, ekonomi, sosial yang mengkondisikan meningkatnya kebutuhankebutuhan masyarakat atas keadilan hukum (legal justice) dan keadilan social (social justice) pada pihak lain, maka pendidikan tinggi hukum dinilai tidak mampu untuk memenuhi kebutuhankebutuhan masyarakat maupun beradaptasi terhadap bentuk-bentuk perubahan kultural dan bangunan sosial. Ketidakmampuan tersebut dikon-
disikan dan dipengaruhi oleh konsepkonsep hukum dan nilai-nilai yang diperkenalkan dan ditanamkan fakultasfakultas hukum kepada para mahasiswa selaku calon praktisi hukum. Pendidikan hukum lebih berorientasi pada nilai-nilai dan kelompok sosial yang mendapat prioritas perhatian fakultasfakultas hukum di Indonesia dan seberapa jauh nilai-nilai dan kepentingan kelompok sosial mempengaruhi cara berpikir, sikap dan persepsi mahasiswa hukum di dalam memandang berbagai permasalahan sosial yang ada di tengahtengah masyarakat. Blue Print Pendidikan Tinggi Hukum Berbasis Keadilan Sosial. Sebagai langkah awal implementasi blue print maka diselenggarakan Pelatihan Memahami Social Justice. Pelatihan ini ditujukan agar Pendidikan tinggi hokum mengadopsi persfektif keadilan social melalui Pendidikan Hukum Klinik. Secara khusus Memperkenalkan konsep keadilan social dan pendidikan hokum klinik kepada pengajar di fakultas hokum, Memperkenalkan Metode Pembelajaran Berbasis Mahasiswa (Student Center Learning). Melalui pelatihan ini diharapkan, para tenaga pengajar memiliki persfektif tentang keadilan sosial dan mengajarkannya kepada mahasiswanya. Pelatihan dilaksanakan di Bogor, pada tanggal 1- 4 Oktober 2010.
MITRA HUKUM - edisi 6
19
AKTIVITAS Dalam pelatihan, hadir sebagai narasumber yaitu : Prof. Soetandyo Winjosoebroto, S.H., Prof.DR.Laica Marzuki, SH. MH, Romo Andang Gunawan – Dewan Etik Peradi, Allison – Open Society Justice Initiative dan DR.Iur. Liona Nanang Supriatna – LBH Pengayoman FH Universitas Parahyangan. Pelatihan diikuti oleh 16 (enam belas) dosen yang berasal Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih, Fakultas
Hukum Universitas Pajajaran, Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Fakultas Hukum STIKUBANK. Dalam pelatihan, peserta melakukan analisa SWOT, terkait dengan penerapan CLE di Fakultas Hukum. Dari SWOT yang dilakukan, peserta merekomendasikan Rencana Tindak Lanjut (RTL) dari pelatihan, yaitu Sosialisasi CLE di fakultas hukum, Peningkatan kapasitas dosen melalui study banding CLE dan adanya simposium CLE tingkat nasional
Pelatihan Paralegal Kebebasan Beragama ”Generasi Muda, Generasi Berbhinneka Tunggal Ika” Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin dalam berbagai aturan baik di tingkat nasional maupun internasional. Namun, jaminan hak tersebut dalam prakteknya tidak dengan sendirinya dapat dilaksanakan. Terdapat kesenjangan antara yang nilai-nilai normatif dan pelaksanaannya. Hal ini Nampak dari hasil-hasil pemantauan yang dilakukan sejumlah kalangan terhadap pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi di Indonesia yang semakin meningkat dari
20
tahun ke tahun. Dalam advokasi kebebasan beragama/berkeyakinan, peran pembelaan lebih banyak dilakukan oleh kalangan LSM. Sementara Fakultas Hukum yang terdapat di setiap kota belum
MITRA HUKUM - edisi 6
AKTIVITAS berperan maksimal dan terputus dari komunitas/masyarakat yang menjadi korban pelanggaran HAM. Demikianhalnya materi pendidikan hukum, khususnya mata kuliah HAM belum menjadikan kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama sebagai bagian dari proses pembelajaran. ILRC yang tengah mengembangkan Clinical Legal Education (CLE) di dalam pendidikan tinggi hukum, memandang pelatihan paralegal mahasiswa menjadi metode yang dapat berdampak jangka panjang untuk gerakan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Mahasiswa fakultas hukum sebagai bagian dari calon praktisi hukum, menjadi agen potential untuk perubahan, termasuk dalam melakukan advokasi kebebasan beragama/keyakinan di lingkungan kampus, maupun masyarakat di sekitarnya. Melalui LBH Kampus, mahasiswa dapat membangun kepekaan akan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masyarakat. Pelatihan ini secara umum ditujukan untuk meningkatkan kapasitas (capacity building) mahasiswa fakultas hukum tentang keadilan social, HAM
dan kebebasan beragama. Dan secara khusus untuk membangun kepedulian dan sensitivitas mahasiswa terhadap pelanggaran hak kebebasan beragama dan intoleransi di masyarakatnya dengan mengunakan persfektif HAM dan membangun dialog antar pemuda/mahasiswa yang berbeda agama/keyakinan. Pelatihan paralegal dilaksanakan di GG House, pada 14 – 16 Desember 2010 dan diikuti oleh 22 orang peserta yang berasal dari Surabaya, Makasar, Malang, Bandung, Cianjur dan Jabodetabek. Diakhir pelatihan, peserta menyusun rencana tindak lanjut yaitu mensosialisasikan kebebasan beragama di organisasi, dan kampusnya. Para peserta telah pula membangun komunitas di dunia maya melalui jejaring sosial facebook untuk saling berbagi tentang isu-isu kebebasan beragama. Melalui pelatihan ini, para peserta yang berasal dari berbagai daerah, agama, aliran keagamaan dan kepercayaan dapat saling mengenal, mengkonfimasi prasangka dan membangun dialoq untuk tetap mempertahankan ke-Indonesiaan. (SAT)
EKSAMINASI PUBLIK
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA TERHADAP UUD 1945 Untuk mewujudkan MK sebagai kekuasaan kehakiman yang mandiri diperlukan keterlibatan dan partisipasi publik untuk mengontrol kewenangannya. Salah satu bentuknya adalah den-
gan membentuk lembaga eksaminasi yang independen, yang dikenal dengan Majelis Eksaminasi. ILRC bekerjasama dengan Freedom House menyelenggarakan program eksaminasi publik pu-
MITRA HUKUM - edisi 6
21
AKTIVITAS tusan MK untuk pengujian UU No.1/ Pnps/1965. Program ini sendiri didasarkan putusan MK yang menolak permohonan dan menilai UU Penodaan Agama tetap dipertahankan dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Secara umum, program ini ditujukan untuk mendorong partisipasi publik untuk terlibat dalam suatu proses analisa terhadap proses persidangan di
Menilai proses persidangan apakah sesuai dengan kaedah hukum yang berlaku, doktrin hukum, dan kode perilaku berdasarkan ilmu pengetahuan hukum. Mendorong para hakim untuk meningkatkan integritas moral, kredibilitas, intelektualitas, dan profesionalitasnya dalam melakukan pemeriksaan dan pemutusan suatu perkara. Untuk mencapai tujuan tersebut,
MK dan melakukan pengkajian, pengkritisan, dan penilaian secara obyektif atas putusan MK. Sedangkan secara khusus, program ini ditujukan untuk : Menguji kesesuaian Putusan Mahkamah Konstitusi dengan kaedah sistem ketatanegaraan, hukum positif, instrumen hak asasi manusia (HAM) yang didasarkan kepada ilmu hukum dan hukum pidana;
dibentuk Majelis Eksaminasi yang terdiri dari 4 (empat) orang yang berlatarbelakang akademisi dan praktisi dengan keahlian yang berbeda dan spesifik. Mereka adalah (1) DR.Rumadi, MA, dosen di UIN Syarifhidayatullah dan ahli di issue kebebasan beragama dan berkeyakinan, (2) Prof. DR.Soelistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas In-
22
MITRA HUKUM - edisi 6
AKTIVITAS donesia dan ahli di issue perempuan dan socio-legal; (3) Margiyanto, SH, Praktisi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang ahli di issue kebebasan menyatakan pendapat dan ekpresi, dan (4) Muktiono, SH, M.Phil, dosen pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya-Malang, ahli di issue HAM, khususnya hak-hak minoritas. Majelis Eksaminasi sendiri hanya membaca dan mencermati berkas-berkas dan tidak menguji atau mencari bukti-bukti baru untuk menyanggah atau membenarkan. Metode yang digunakan dalam kajian adalah metode interdisipliner. Majelis Eksaminasi melakukan pengujian dari persfektif Hak Asasi Manusia, khususnya hak kebebasan beragama/berkeyakinan, hak kebebasan berekpresi dan hak minoritas. Majelis Eksaminasi bekerja selama 4 bulan dengan melaksanakan sidangsidang majelis eksaminasi, penyusunan legal opinion (LO), dan diskusi publik. Majelis Eksaminasi menarik kesimpulan bahwa MK tidak menjalankan mandatnya dengan baik, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. MK dinilai gagal menempuh ”Jalan tengah” dalam pengambilan keputusannya. Hal ini bisa berakibat pada kegagalan MK sebagai penjaga konstitusi khususnya dalam memenuhi Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Hak kebebasan Berekspresi dan Hak Kelompok Minoritas. Kegagalan tersebut disebabkab putusan MK tidak menguji konsti-
tusionalitas UU Penodaan Agama terhadap UUD Tahun 1945, tetapi lebih pada pertimbangan sosio-politis mayoritas, persfektif hakim yang konservatif dan tidak memperhitungkan kenyataan sosiologis dan antropolologis yang beragam di Indonesia. Melalui eksaminasi ini, dihasilkan sejumlah rekomendasi kepada para pemangku kepentingan di Indonesia yaitu DPR RI, Pemerintah, Aparat Penegak Hukum, Masyarakat Sipil dan media massa. Kepada DPR RI, majelis eksaminasi merekomendasikan untuk menyusun sebuah UU yang menjamin perlindungan kebebasan warga negara untuk beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya merupakan turunan dari pasal 29 UUD 1945. UU tersebut harus merujuk pada standar hukum internasional yaitu Pasal 18 UU Sipol, General Comment ICCPR dan Deklarasi PBB tentang Intoleransi.UU tersebut mencakup jaminan menjalankan ibadah dan tempat ibadah, jaminan terhadap kelompok minoritas, pembatasan hak kebebasan beragama/berkeyakinahn yang legitimate, dan tindak pidana penyebaran kebencian (hatred speech) yang menimbulkan diskriminasi, permusuhan dan kekerasan berdasarkan agama. UU ini diharapkan dapat menjadi penganti dari UU Penodaan Agama. Proses dan hasil eksaminasi tersebut telah disusun dalam sebuah buku berjudul Bukan ”Jalan Tengah” yang dapat diakses di website ILRC atau menghubungi perpustakaan ILRC. (SAT)
MITRA HUKUM - edisi 6
23
SUPLEMEN PEDOMAN PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Pedoman ini, yang dimaksud dengan: 1. Penyelenggaraan dan penggunaan anggaran bantuan hukum di lingkungan Peradilan Umum adalah meliputi Pos Bantuan Hukum, Bantuan Jasa Advokat, Pembebasan Biaya Perkara baik Pidana maupun Perdata, dan Biaya Sidang di Tempat Sidang Tetap (Zitting Plaatz). 2. Pemohon Bantuan Hukum adalah pencari keadilan yang terdiri dari orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu atau memiliki kriteria miskin sebagaimana ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik atau penetapan upah minimum regional atau program jaring pengaman sosial lainnya, atau memenuhi syarat sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pedoman ini, yang memerlukan bantuan untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum di Pengadilan. 3. Pos Bantuan Hukum (Posbakum) adalah ruang yang disediakan oleh dan pada setiap Pengadilan Negeri bagi Advokat Piket dalam memberikan layanan bantuan hukum kepada Pemohon Bantuan Hukum untuk pengisian formulir permohonan bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, advis atau konsultasi hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan biaya perkara, dan memberikan rujukan lebih lanjut tentang bantuan jasa Advokat. 4. Advokat Piket adalah Advokat yang bertugas di Pos Bantuan Hukum berdasarkan pengaturan yang diatur di dalam kerjasama kelembagaan Pengadilan dengan Lembaga Penyedia Bantuan Hukum. 5. Lembaga Penyedia Bantuan Hukum adalah termasuk lembaga masyarakat sipil penyedia bantuan hukum, atau unit kerja bantuan hukum pada organisasi profesi Advokat, atau Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum di Perguruan Tinggi. 6. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. 7. Bantuan Jasa Advokat adalah Jasa Hukum secara cuma-cuma yang meliputi menjalankan kuasa, yaitu : mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-un-
24
MITRA HUKUM - edisi 6
SUPLEMEN dangan untuk kepentingan Pemohon Bantuan Hukum dalam perkara pidana atau perkara perdata, yang diberikan oleh Advokat berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Negeri. 8. Jasa Hukum secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi menjalankan kuasa, yaitu : mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk kepentingan Pemohon Bantuan Hukum dalam perkara pidana atau perkara perdata. 9. Pembebasan Biaya Perkara adalah Negara menanggung biaya perkara bagi Pemohon Bantuan Hukum untuk semua jenis perkara perdata, baik permohonan maupun gugatan, dan semua jenis perkara pidana, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 10. Pencatatan dan Pelaporan Bantuan Hukum adalah proses pencatatan dalam register dan pendokumentasian yang dilakukan oleh Panitera Muda Perdata dan Panitera Muda Pidana pada setiap Pengadilan Negeri berisi segala macam informasi dan data yang berhubungan dengan permintaan dan pemberian Bantuan Hukum. 11. Sistem Data Bantuan Hukum adalah kumpulan informasi terpusat dan terpadu mengenai permintaan dan pemberian Bantuan Hukum berdasarkan Pencatatan Bantuan Hukum, yang dikelola dan dikoordinasikan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung. 12. Anggaran Bantuan Hukum adalah alokasi anggaran Negara yang berada di Lingkup Peradilan Umum yang dibiayai oleh Mahkamah Agung melalui DIPA Bantuan Hukum Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum yang dialokasikan pada Pengadilan Negeri. BAB II TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 Tujuan Bantuan Hukum adalah untuk: a. Meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh anggota masyarakat tidak mampu di pengadilan; b. Memberikan kesempatan yang merata pada masyarakat tidak mampu untuk memperoleh pembelaan dan perlindungan hukum ketika berhadapan dengan proses hukum di pengadilan; c. Meningkatkan akses terhadap keadilan; dan d. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang huMITRA HUKUM - edisi 6
25
SUPLEMEN kum melalui penghargaan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak dan kewajibannya. Pasal 3 Bantuan Hukum diselenggarakan bagi pencari keadilan yang secara ekonomi tidak mampu, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 4 Demi kepentingan terbaik pencari keadilan tidak mampu, apabila perkara tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun, penyelenggaraan dan penganggaran Bantuan Hukum dapat dilaksanakan secara lintas tahun anggaran, berdasarkan kebutuhan riil yang muncul sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pedoman ini. Pasal 5 Masyarakat dapat memperoleh informasi mengenai Bantuan Hukum di Lingkungan Peradilan Umum melalui: a. Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung; b. Kejaksaan Negeri/Kejaksaan Tinggi; c. Rumah Tahanan Negara; d. Lembaga Pemasyarakatan; e. Kepolisian Sektor/Resort/Daerah; f. Kantor Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan/Desa); g. Lembaga masyarakat sipil penyedia bantuan hukum; h. Unit kerja bantuan hukum dalam Organisasi Profesi Advokat; dan i. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum di Perguruan Tinggi. BAB III POS BANTUAN HUKUM Bagian Satu Prosedur Penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum Pasal 6 1. Setiap Pengadilan Negeri segera membentuk Pos Bantuan Hukum yang pembentukannya dilakukan secara bertahap. 2. Ketua Pengadilan Negeri menyediakan ruangan dan sarana yang dibutuhkan untuk digunakan sebagai Pos Bantuan Hukum, berdasarkan kemampuan masing-masing. 3. Pelayanan dalam Pos Bantuan Hukum disediakan oleh Advokat Piket
26
MITRA HUKUM - edisi 6
SUPLEMEN yang pengaturan dan daftarnya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. 4. Pengaturan dan daftar Advokat Piket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dalam kerjasama kelembagaan dengan Lembaga Penyedia Bantuan Hukum melalui proses yang terbuka dan bertanggung jawab serta dikaji ulang dan diperbaharui setiap akhir tahun anggaran. 5. Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan Pengadilan Negeri dengan lebih dari satu lembaga untuk menghindari konflik kepentingan pemberian layanan kepada pemohon bantuan hukum yang sama-sama berhak atas layanan oleh Advokat Piket yang sama. Pasal 7 1. Kerjasama kelembagaan untuk menyediakan Advokat Piket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dilakukan Pengadilan dengan: a. Lembaga masyarakat sipil penyedia bantuan hukum; atau b. Unit kerja bantuan hukum pada Organisasi Profesi Advokat; atau c. Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perguruan Tinggi. 2. Advokat Piket yang disediakan oleh lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat adalah orang yang berprofesi Advokat yang memenuhi persyaratan praktek dan beracara berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. 3. Di dalam kerjasama kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Ketua Pengadilan Negeri dapat meminta dan menetapkan ditempatkannya penyedia layanan lain selain Advokat dari lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan Advokat Piket. 4. Penyedia Layanan Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat terdiri dari Dosen, Asisten Dosen, atau Mahasiswa yang mendapat rekomendasi dari Fakultas Hukum yang bersangkutan. Pasal 8 Advokat Piket di Pos Bantuan Hukum memberikan layanan berupa: a. Bantuan pengisian formulir permohonan bantuan hukum; b. Bantuan pembuatan dokumen hukum; c. Advis, konsultasi hukum dan bantuan hukum lainnya baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata; d. Rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk Pembebasan Pembayaran Biaya Perkara sesuai syarat yang berlaku; e. Rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapat Bantuan Jasa Advokat sesuai syarat yang berlaku. MITRA HUKUM - edisi 6
27
SUPLEMEN
1.
2.
3.
4. 5.
Bagian Dua Mekanisme Penggunaan Anggaran Pos Bantuan Hukum Pasal 9 Biaya penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum berasal dari Anggaran Bantuan Hukum yang digunakan untuk pengadaan Advokat Piket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), setelah anggaran dari APBN tersedia. Biaya pengadaan Advokat Piket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah berdasarkan Standar Biaya Khusus sesuai peraturan yang berlaku dan disalurkan melalui kerjasama kelembagaan yang bentuk dan tata caranya akan diatur lebih lanjut di dalam format Pola Hubungan Kerjasama Pos Bantuan Hukum. Standar Biaya Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain biaya proses yang ditetapkan pengadilan, juga mencakup sekedar ongkos transportasi bagi Advokat Piket yang besaran dan tata caranya akan diatur lebih lanjut di dalam format Pola Hubungan Kerjasama Pos Bantuan Hukum. Bendahara pengeluaran menyimpan seluruh bukti-bukti pengeluaran sebagai bukti pertanggungjawaban keuangan. Bendahara pengeluaran mencatat semua biaya yang telah dikeluarkan untuk pembentukan dan pengadaan Pos Bantuan Hukum, dalam buku kas umum dan buku bantu lainnya sesuai ketentuan
BAB IV BANTUAN JASA ADVOKAT Bagian Satu Prosedur Penyelenggaraan Bantuan Jasa Advokat Pasal 10 1. Berdasarkan rujukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 butir e, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Advokat untuk menjalankan kuasa, yaitu: mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan Pemohon Bantuan Hukum yang memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Advokat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah Advokat yang menyediakan jasa bantuan hukum cuma-cuma sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Advokat dapat menerima bantuan biaya pendampingan menurut Pasal 9, sesuai standar yang ditentukan oleh Negara.
28
MITRA HUKUM - edisi 6
SUPLEMEN 4. Bantuan biaya pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan pembayaran jasa atau honorarium profesional. Pasal 11 Pemohon Bantuan Hukum harus membuktikan bahwa ia tidak mampu dengan memperlihatkan: a. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Lurah/Kepala Desa setempat; atau b. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT); atau c. Surat Pernyataan Tidak Mampu yang dibuat dan ditandatangani Pemohon Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 12 Advokat yang ditunjuk untuk memberikan bantuan dapat: a. Bertindak sebagai pendamping atau kuasa hukum untuk memberikan bantuan hukum dalam pengurusan sengketa perdata Pemohon Bantuan Hukum di Pengadilan; atau b. Bertindak sebagai pendamping dan pembela terhadap Pemohon Bantuan Hukum yang didakwa melakukan tindak pidana di Pengadilan. Pasal 13 Advokat pemberi Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 adalah Advokat yang memenuhi persyaratan praktek dan beracara berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, yang dapat merupakan: a. Advokat Piket yang bersedia ditunjuk oleh pengadilan; b. Advokat yang mewakili lembaga masyarakat sipil penyedia bantuan hukum; atau c. Advokat yang mewakili unit kerja bantuan hukum pada Organisasi Profesi Advokat; atau d. Advokat yang mewakili Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perguruan Tinggi.
MITRA HUKUM - edisi 6
29
SUPLEMEN Pasal 14 Dalam hal Advokat berhalangan ketika menjalankan tugasnya, maka kuasanya dapat diganti oleh Advokat lain berdasarkan hak substitusi.
1. 2. 3.
4.
5. 6. 7.
Bagian Dua Mekanisme Penggunaan Anggaran Bantuan Jasa Advokat Pasal 15 Ketua Pengadilan Negeri membuat Surat Penetapan yang memerintahkan Kuasa Pengguna Anggaran untuk membayar dana bantuan hukum kepada Advokat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Panitera/Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran membuat Surat Keputusan Pembebanan Dana Bantuan Hukum ke APBN. Berdasarkan Surat Keputusan Panitera/Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bendahara pengeluaran membayar biaya bantuan hukum kepada Advokat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Dalam perkara pidana pencairan Anggaran Bantuan Hukum kepada Advokat dilakukan setelah perkara diputus oleh Pengadilan Negeri. Bagi perkara perdata dicairkan pada saat “perkara permohonan” atau “gugatan” didaftarkan di Kepaniteraan oleh advokat selaku kuasa, melalui bank yang ditunjuk, selanjutnya dibukukan sebagaimana ditentukan peraturan perundang-undangan. Bendahara pengeluaran menyimpan seluruh bukti-bukti pengeluaran sebagai bukti pertanggung jawaban keuangan. Bendahara pengeluaran mencatat semua biaya yang telah dikeluarkan untuk pendampingan perkara pidana atau perdata, dalam buku kas umum dan buku bantu lainnya sesuai ketentuan. Biaya bantuan hukum pada tingkat pertama dibebankan kepada DIPA Pengadilan Negeri.
BAB V PENGGUNAAN BIAYA BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PIDANA Bagian Satu Prosedur Penggunaan Biaya Bantuan Hukum dalam Perkara Pidana Pasal 16 Berdasarkan rujukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 butir c, biaya perkara bagi Pemohon Bantuan Hukum untuk semua jenis perkara pidana yang ditentukan peraturan perundangundangan di tingkat pertama untuk kepent-
30
MITRA HUKUM - edisi 6
SUPLEMEN ingan Pemohon Bantuan Hukum yang memenuhi syarat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11) ditanggung oleh Negara.
1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8.
Bagian Dua Mekanisme Penggunaan Anggaran Bantuan Hukum dalam Perkara Pidana Pasal 17 Ketua Pengadilan Negeri membuat Surat Penetapan Pembebasan Biaya Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. Panitera/Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran membuat Surat Keputusan pembebanan biaya perkara ke APBN. Berdasarkan Surat Keputusan Panitera/Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bendahara pengeluaran membayar biaya saksi Ad de charge, ahli dan penerjemah yang diminta terdakwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengeluaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan biaya yang tersedia dalam DIPA. Bendahara pengeluaran menyimpan seluruh bukti-bukti pengeluaran sebagai bukti pertanggung jawaban keuangan. Bendahara pengeluaran mencatat semua biaya yang telah dikeluarkan untuk penanganan proses perkara pidana, dalam pembukuan yang disediakan untuk itu. Biaya Bantuan Hukum dalam perkara pidana dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri sesuai dengan anggaran yang tersedia pada DIPA dan ketentuan-ketentuannya. Biaya Bantuan Hukum dalam perkara pidana pada tingkat pertama dibebankan kepada DIPA Pengadilan Negeri.
BAB VI PENGGUNAAN BIAYA BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PERDATA Bagian Satu Prosedur Penggunaan Biaya Bantuan Hukum dalam Perkara Perdata Pasal 18 Berdasarkan rujukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 butir c, biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu dalam perkara perdata untuk semua jenis perkara perdata baik perkara gugatan maupun permohonan, yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 11 ditanggung oleh Negara.
MITRA HUKUM - edisi 6
31
SUPLEMEN Pasal 19 1. Permohonan pembebasan biaya perkara perdata diajukan oleh penggugat bersamaan dengan gugatan atau pada saat Pemohon mengajukan gugatan secara lisan sebagaimana diatur dalam pasal 237-241 HIR/273277 RBg. 2. Permohonan pembebasan biaya perkara perdata atau berperkara secara prodeo yang diajukan oleh Tergugat diajukan bersamaan dengan penyampaian jawaban. 3. Majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan sela yang berisi tentang pengabulan atau penolakan berperkara secara prodeo tersebut, memeriksa bahwa penggugat atau tergugat tidak mampu secara ekonomi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11, dan setelah mendengar pihak lawan. Bagian Dua Mekanisme Penggunaan Anggaran Bantuan Hukum dalam Perkara Perdata Pasal 20 1. Biaya perkara perdata bagi penggugat atau tergugat yang tidak mampu dibebankan kepada Negara melalui DIPA pengadilan. 2. Biaya perkara perdata dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri sesuai dengan anggaran Bantuan Hukum yang tersedia pada DIPA dan ketentuanketentuannya. 3. Komponen biaya perkara perdata yang dibebankan pada biaya bantuan hukum DIPA adalah biaya proses yang meliputi: a. Biaya Pemanggilan para pihak/saksi/ahli b. Biaya Pemberitahuan Isi Putusan c. Biaya Sita Jaminan d. Biaya Pemeriksaan Setempat e. Biaya Alat Tulis Kantor f. Biaya Penggandaan g. Biaya Pemberkasan dan Penjilidan berkas perkara yang diminutasi. h. Materai Pasal 21 1. Pemanggilan para pihak untuk sidang pertama kali dilakukan oleh Juru Sita tanpa biaya sebagai prodeo murni. 2. Apabila permohonan berperkara secara prodeo ditolak, maka proses berperkara dilaksanakan sebagaimana perkara biasa, penggugat wajib mem-
32
MITRA HUKUM - edisi 6
SUPLEMEN bayar biaya perkara. 3. Apabila permohonan penggugat untuk berperkara secara prodeo dikabulkan, Panitera Pengganti menyerahkan salinan amar putusan sela kepada Kuasa Pengguna Anggaran untuk kemudian dibuatkan Surat Keputusan bahwa biaya perkara tersebut dibebankan kepada DIPA Pengadilan. 4. Berdasarkan Surat Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bendahara Pengeluaran menyerahkan biaya perkara kepada Kasir pada Panitera Muda Perdata, sebagai panjar biaya perkara yang besarannya sesuai dengan penaksiran panjar biaya perkara yang dibuat oleh Panitera Muda Perdata, sebesar-besarnya sama dengan besarnya dana bantuan hukum setiap perkara dalam DIPA, yang dituangkan dalam SKUM (kwitansi). 5. Kasir kemudian membukukan biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam Jurnal serta untuk selanjutnya mempergunakannya sesuai kebutuhan dan ketersediaan anggaran selama proses berlangsung. 6. Kasir harus menyisihkan biaya materai sebesar Rp. 6.000 (enam ribu rupiah) dari alokasi biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5). 7. Kasir membayar biaya panggilan berikutnya dan biaya proses yang lain berdasarkan bukti pengeluaran sesuai kebutuhan. 8. Dalam hal panjar biaya perkara yang telah dicatatkan di dalam Jurnal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah habis, Hakim memerintahkan kepada Pemohon Bantuan Hukum untuk menambah biaya perkara, sepanjang anggaran yang disediakan DIPA masih tersedia untuk perkara yang bersangkutan. 9. Berdasarkan perintah Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan penambahan bantuan biaya perkara kepada Kuasa Pengguna Anggaran. 10. Berdasarkan ajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Kuasa Pengguna Anggaran kemudian memerintahkan Bendahara Pengeluaran untuk menambah bantuan biaya perkara. 11. Dalam hal anggaran masih tersedia, maka proses selanjutnya dilakukan sebagaimana yang diatur pada ayat (4) sampai dengan ayat (7). 12. Dalam hal ketersediaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (11) telah habis, maka proses selanjutnya dilaksanakan secara prodeo murni. 13. Bendahara pengeluaran mencatat semua biaya yang telah dikeluarkan untuk penanganan proses perkara perdata, menurut tata cara pembukuan yang berlaku. 14. Bendahara pengeluaran menyimpan seluruh bukti-bukti pengeluaran MITRA HUKUM - edisi 6
33
SUPLEMEN sebagai bukti pertanggung jawaban keuangan. BAB VII BANTUAN HUKUM DI TINGKAT BANDING DAN TINGKAT KASASI Bagian Satu Bantuan Jasa Advokat di Tingkat Banding dan Tingkat Kasasi Pasal 22 1. Ketua Pengadilan Tinggi atau Majelis Hakim Kasasi menunjuk Advokat untuk menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan Pemohon Bantuan Hukum yang memenuhi syarat. 2. Advokat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah Advokat yang menyediakan jasa bantuan hukum cuma-cuma sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 23 Syarat dan tata cara sebagaimana diatur dalam Bab III sampai dengan Bab VI secara mutatis mutandis berlaku untuk Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, berdasarkan Undang- Undang Nomor : 20 Tahun 1947 tentang Banding Perkara Perdata. BAB VIII ZITTING PLAATZ Pasal 24 1. Pengadilan Negeri akan merevitalisasi fungsi Zitting Plaatz berdasarkan prioritas bagi wilayah-wilayah yang secara nyata membutuhkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilakukan secara bertahap dan akan diatur lebih lanjut di dalam peraturan tambahan. BAB IX PENCATATAN, PELAPORAN DAN SISTEM DATA Pasal 25 1. Advokat Piket pada Pos Bantuan Hukum mencatat permohonan bantuan hukum pada buku register Bantuan Hukum yang memuat keterangan-keterangan sebagai berikut: a. Tanggal pengajuan permohonan; b. Nama pemohon;
34
MITRA HUKUM - edisi 6
SUPLEMEN c. d. e. f. g. h.
Alamat pemohon; Usia pemohon; Jenis kelamin pemohon; Pekerjaan pemohon; Jenis perkara; Uraian singkat mengenai perkara yang dimohonkan bantuan hukum; i. Jenis layanan bantuan hukum yang dimohonkan; j. Jenis layanan bantuan hukum yang diberikan di Posbakum; dan k. Jenis rujukan lebih lanjut yang direkomendasikan oleh Posbakum. 2. Hasil pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Panitera Muda Perdata dan/atau Panitera Muda Pidana sesuai dengan jenis perkara. Pasal 26 1. Wakil Panitera melakukan pencatatan lebih lanjut terhadap berjalannya pelayanan bantuan hukum atas permohonan yang diajukan pada sistem data yang memuat keterangan-keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ditambah dengan keterangan- keterangan sebagai berikut: a. Pembebasan biaya perkaran pidana atau perdata yang disetujui; b. Nama Advokat dan asal lembaga Advokat yang ditunjuk memberikan bantuan jasa advokat; c. Perkembangan perkara persidangan; d. Tanggal putusan di pengadilan negeri; dan e. Jumlah dana bantuan hukum yang diberikan dan rincian penggunaannya. 2. Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Buku Register Bantuan Hukum Pengadilan Negeri. Pasal 27 1. Wakil Panitera melakukan rekapitulasi Pelaporan Pelayanan Bantuan Hukum setiap bulan berdasarkan data Pencatatan ke dalam Sistem Data Bantuan Hukum secara elektronik melalui sistem Layanan Pesan Singkat (SMS) dan/atau jaringan situs internet. 2. Panduan pelaporan dan sistem data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut.
MITRA HUKUM - edisi 6
35
SUPLEMEN Pasal 28 Informasi dalam rekapitulasi pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 terbuka untuk umum. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 Dalam sisa masa anggaran 2010, Penggunaan Anggaran Bantuan Hukum adalah berdasarkan Surat dari Kepala Badan Urusan Administrasi No.256/ BUA/REN06/VII/2010 perihal Optimalisasi Kegiatan (0114) Pelayanan dan Bantuan Hukum tanggal 23 Juli 2010, yang mencakup biaya Saksi, biaya Saksi Ahli, biaya Penerjemah, biaya Pendampingan Advokat dan biaya Prodeo. Pasal 30 Mulai tahun anggaran 2011, operasional penyelenggaraan Bantuan Hukum yang mencakup Pos Bantuan Hukum, Biaya Jasa Advokat, Pembebasan Biaya Perkara dan Zitting Plaatz, dilakukan secara bertahap dan menyesuaikan dengan anggaran dari APBN yang tersedia. Pasal 31 Dalam hal Undang-Undang tentang Bantuan Hukum sudah disahkan, ketentuan tentang Bantuan Jasa Advokat sebagaimana diatur dalam pedoman ini akan menyesuaikan dengan kebutuhan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut.
36
MITRA HUKUM - edisi 6
REFERENSI ”SERIAL BUKU SAKU KEBEBASAN BERAGAMA” Judul Buku : ”Memahami Kebijakan Rumah Ibadah” seri ke 6 Buku saku kebebasan beragama Membahas Hak beribadah termasuk di dalamnya rumah ibadah tidak sekedar hak konstitusional dan bagian dari HAM. Lebih jauh, sikap toleran akan tercermin dengan menghormati hak seseorang untuk beribadah. Sikap toleran ini kadang-kadang tercabut dari akarnya di dalam masyarakat yang majemuk hanya karena adanya aturan hukum yang mengaturnya. Sikap tolerandi masyarakat sebagai modal sosial jauh lebih penting dari sebuah aturan hukum termasuk aturan hukum yang mengatur rumah ibadah. Toleransi sudah berakar di dalam kehidupan masyarakat kita. Mencabut akar toleransi akan mematikan kehidupan pluralisme di negeri ini.
Judul Buku : ”Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)” seri ke 5 Buku saku kebebasan beragama Membahas tentang dissenting opinion Hakim Maria Farida tidak hanya sekedar menolak eksistensi UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/Penodaan Agama, tetapi lebih jauh dari itu. Menurut Hakim Maria Farida, UU Penodaan Agama telah telah menciptakan diskriminasi,terbukti di Departemen Agama (Depag) hanya ada perwakilan enam agama resmi saja (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu). UU Penodaan Agama telah“memaksa” kelompok penghayat untuk “menundukan diri” terhadap agama-agama yang diakui oleh negara. Untuk itu, memang perlu “membongkar” pemikiran Hakim Maria Farida. Dissenting opinion Hakim Maria Farida diharapkan jadi tonggak sejarah dan menjadi dokumen penting untuk kebebasan beragama, toleransi dan pluralisme di tanah air.
Ukuran Buku 10,5 x 15 cm; vii + 60 halaman Edisi pertama, © ILRC 2010 ISBN : 978-602-98382-2-0
Ukuran Buku 10,5 x 15 cm; vii + 68 halaman Edisi pertama, © ILRC 2010 ISBN : 978-602-963821-3
Judul : ”BUKAN JALAN TENGAH”
REFERENSI
Eksaminasi Publik Putusan Mahkamah Konstitusi Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965, Tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Ukuran 14,5 x 21cm; xiv + 200 halaman Edisi pertama, 2010
Majelis Eksaminasi : Margiyono Muktiono Rumadi Soelistyowati Irianto Buku ini adalah hasil Eksaminasi Publik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Penodaan Agama. Penerbitan ini dilakukan semata-mata sebagai kontribusi ILRC untuk ikut menegakkan konstitusi dan ikut menegakkan martabat MK sebagai Pengawal Konstitusi. Adapun eksaminator dalam kegiatan ini adalah para intelektual kompeten di bidangnya masing-masing. Mereka adalah: Dr. Rumadi,MA Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Margiyono,S.H., dan Muktiono, S.H., MA. Dari proses eksaminasi, majelis menarik kesimpulan bahwa MK tidak menjalankan mandatnya dengan baik sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah gagal menempuh ”jalan tengah” dalam pengambilan keputusannya. Hal ini bisa berakibat pada kegagalan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi khususnya dalam memenuhi Hak Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan, Hak kebebasan Berekspresi dan Hak Kelompok Minoritas Hal tersebut disebabkab MK dalam putusannya tidak menguji konstitusionalitas UU Penodaan Agama terhadap UUD Tahun 1945, tetapi lebih pada pertimbangan sosio politis mayoritas, persfektif hakim yang konservatif dan tidak mem-
Penerbit : The Indonesian Legal Resource Center (ILRC)
perhitungkan kenyataan sosiologis dan antropologis yang beragam di Indonesia. Majelis Eksaminasi memberikan sejumlah rekomendasi, baik kepada pemerintah, aparat penegak hukum, media massa dan masyarakat sipil. Rekomendasi yang diberikan diantaranya agar DPR RI dan Pemerintah segera menyusun sebuah UU yang menjamin perlindungan kebebasan warganegara untuk beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya merupakan turunan dari pasal 29 UUD 1945. UU tersebut harus merujuk pada standar hukum internasional yaitu Pasal 18 UU Sipol, General Comment dan Deklarasi Intoleransi. Substansi UU mencakup jaminan menjalankan ibadah dan tempat ibadah, jaminan terhadap kelompok minoritas, pembatasan legitimate, dan tindak pidana penyebaran kebencian (hatred speech) yang menimbulkan diskriminasi, permusuhan dan kekerasan berdasarkan agama. UU ini diharapkan menjadi penganti dari UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama. Untuk membaca lebih lengkap silahkan unduh di http://www.mitrahukum.org/. Untuk mendapatkan versi cetak untuk wilayah Jabodetabek silahkan datang ke kantor ILRC