Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
je
ital
ct ig
DINAMIKA ULAMA: D
KASUS PAKISTAN DAN INDIA
n a a Buku Muhammad Qasim Zaman kDiskusi
1 Review Diskusi | Edisi 003, April 2012
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
o
DINAMIKA ULAMA c
cy a r
Salam,
Dem
KASUS PAKISTAN DAN INDIA
Pe
Studi mengenai ulama, terutama pandangan keagamaan mereka, agaknya kurang begitu diminati oleh kalangan sarjana modern, baik rp di Barat maupun di dunia Islam sendiri. Di us kalangan sarjana Barat, perhatian akademis ta dalam kurun waktu satu hingga dua dekade terakhir ini lebih banyak dicurahkan untuk melihat fenomena “Islamic resistance”, pembangkangan kelompok-kelompok di dalam masyarakat Islam terhadap apa yang secara ambigu disebut dengan Barat. Studi mengenai ulama tampak kurang “sexy”. Alasan lain berkaitan dengan semacam “modernist prejudice”: bahwa ulama adalah 2
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
kategori sosial yang statis. Mereka adalah relik dari masa lampau yang sama sekali kurang lagi relevan saat ini. Alasanalasan ini secara eksplisit disebutkan oleh Qasim Zaman dalam bukunya The Ulama in Contemporary Islam (2002).
jBuku e ini didiskusikan di forum Ciputat
D
ig
ital
ct
School pada 5 April 2012, menghadirkan Ulil Abshar-Abdalla sebagai narasumber. Ulil adalah salah satu pionir pemikiran Islam Liberal di Indonesia yang sangat concern dan terlibat dalam perkembangan pembaruan Islam. Dihadiri sekitar 30 orang peserta, diskusi berlangsung di ruang pertemuan Ciputat School, Ciputat, Tangerang Selatan.
ka
Di bawah ini adalah transkripsi lengkap n a diskusi di atas. Selamat menikmati. Redaksi
3
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
I PENGANTAR DISKUSI
Ihsan Ali Fauzi
Dem
o
Saudara-saudara sekalian, selamat a c y r malam. Assalamualaikum wr. wb. Selamat c datang Ade Armando, Tantowi Anwari dan lainnya – yang baru datang kali ini. Saya meminta Anick untuk berbicara sebentar mengenai forum ini. Anick HT
Pe
Terima kasih Kak Ihsan. Kita menyebut forum ini sebagai Ciputat School. Ini rp adalah forum kita semua, forum diskusi tentang isu-isu perkembangan Islam danu sta demokrasi. Juga forum klangenan dari teman-teman yang sudah melanglang buana di luar. Diskusi ini kita adakan sebulan sekali. Ini diskusi kali keenam. Sejak tiga diskusi ke belakang kita merekam diskusi dengan model percakapan dan sudah dimuat di website Democracy Project. Menurut 4
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
saya transkripsi dan editing diskusi ini hasilnya sangat bagus, dan sangat bisa dinikmati oleh pembaca yang tidak hadir langsung dalam forum ini. Ihsan Ali Fauzi
Pro
je
D
ig
ital
ct
Terima kasih Anick. Saya tadi diingatkan oleh Elza Peldi Taher, manajer kita di sini, ada beberapa teman yang belum kebagian buku. Salah satu kelebihan diskusi kita selain sembilan kelebihan lainnya adalah masing-masing kita bisa memperoleh buku yang didiskusikan beberapa saat sebelum diskusi dimulai. Ada beberapa yang belum dapat silakan nanti hubungi Elza.
kaa
n
Bulan depan kita akan mendiskusikan buku Anthony Reid di mana Nur Iman Subono yang menjadi narasumber. Judulnya Imperial Alchemy mengenai nasionalisme dan hubungan etnis di Asia Tenggara dan salah satunya adalah faktor Islam. Kemudian bulan berikutnya lagi kita akan diskusi mengenai gender, Gender, Islam and Democracy in Indonesia, buku baru oleh Kathryn Robinson dari Australian National University (ANU), 5
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
dengan narasumber Nurul Agustina.
Dem
o
Nah, teman-teman sekalian, alhamdulillah Ulil Abshar-Abdalla sudah datang di tengah kesibukannya. Buku yang akan kita bahas malam ini adalah buku mengenai ulama yang dianggap breakthrough oleh banyak orang, dikarang oleh Muhammad cy a Qasim Zaman. Saya tidak mau banyakr c memberi pengantar. Saya langsung ke Ulil saja dan nanti kita diskusi lebih jauh. Silakan Ulil. Selamat datang kembali di Ciputat.
Pe
rp
6
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
II Presentasi Narasumber: Ulil Abshar Abdalla
Pro
Terima kasih, Ihsan. Assalamualaikum wr. wb.
je
D
ig
ital
ct
Saya senang sekali diminta Ihsan untuk membahas buku ini karena saya suka sekali buku ini. Buku yang ditulis oleh Muhammad Qasim Zaman (sekarang dia mengajar di Princeton) merupakan karya kesarjanaan yang agak jarang. Kalau kita telaah studi-studi oleh sarjana Barat, sepuluh tahun terakhir fokus mereka kebanyakan adalah mengenai aspek-aspek Islam yang lebih menarik, baik untuk masyarakat akademis maupun masyarakat umum. Misalnya, fundamentalisme Islam, radikalisme Islam, kelompok-kelompok ekstremis, dan terorisme. Kita bisa maklumi karena tema-tema itu lebih menyangkut masalah security yang relevan dengan negaranegara Barat.
kaa
n
Nah, di sini menariknya. Di tengahtengah studi-studi Islam yang fokusnya 7
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
lebih ke “resistant Islam” atau Islam yang melawan Barat, tiba-tiba kita membaca satu telaah yang bagi saya menarik tentang aspek di dalam dunia Islam yang bahkan oleh sarjana Islam sendiri kurang diminati yaitu tentang lembaga ulama.
Dem
o
Sebetulnya ada beberapa studi yang y c a dilakukan sebelumnya. Malika Zeghal,r c misalnya, (seorang sarjana dari Tunisia, sekarang mengajar di Chicago) menulis mengenai Al-Azhar tahun 1999. Tapi setelah Malika Zeghal menulis mengenai Al-Azhar, setahu saya belum ada satu karya kesarjanaan yang komprehensif atau dianggap berbobot yang membahas mengenai suatu dimensi yang langsung terkait dengan apa yang selama ini sering kita sebut sebagai Islam moderat. rp Sebetulnya, itu backbone-nya adalah u sta madrasah, ulama, dan pesantren.
Pe
Buku Muhammad Qasim Zaman membahas yang jarang dibahas itu. Fokus Qasim Zaman lebih ke India dan Pakistan. Sebelum dia, ada seorang sarjana Barat yang menulis mengenai tema yang serupa. Jadi, fokus dia adalah lembaga ulama di India terutama madrasah Deobandi yang dulu pernah ditulis oleh Barbara 8
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
je
Buku ini memuat data-data yang sangat menarik, detail, dan kaya. Saya tidak bisa menceritakan secara komplit. Tapi secara umum, tesis buku ini adalah: persepsi yang berkembang selama ini, bahwa ulama sebagai kelas sosial yang statis, lembaga yang mandeg, dan relik dari sejarah masa lampau yang tidak lagi relevan saat ini, sebetulnya tidak tepat. Karena di dalam lembaga ini ada perkembangan, progres, dinamika, diskursus, dan perdebatan.
D
ig
ital
ct
Metcalf. Perbedaannya, Barbara Metcalf kurang menyentuh tradisi intelektual yang berkembang di dalam madrasah Deobandi. Qasim Zaman, karena dia akrab dengan tradisi dan literatur dalam bahasa Urdu dan juga Arab, dia punya akses yang sangat besar terhadap diskursus yang berkembang di kalangan ulama-ulama Deobandi. Jadi, fokus dia adalah lembaga keulamaan yang ada di India.
kaa
n
Dalam konteks India dan Pakistan, perkembangannya sangat menarik. Terutama kalau kita baca bab II. Di situ Qasim Zaman menerangkan bagaimana diskursus para ulama dibangun melalui suatu tradisi yang disebut dengan tradisi komentar atau syarah. Itu luar 9
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
o
biasa. Teman-teman yang akrab dengan tulisan yang ditulis oleh para ulama India, terutama pada abad 18 dan 19, akan menemukan hal itu sebagai luar biasa dan agak menakjubkan; bahwa tradisi menulis komentar, baik dalam bahasa Urdu maupun bahasa Arab, oleh para ulama India pada abad 19 sangat cy a r berkembang dengan pesat.
c
Dem
Terutama dalam studi hadis. Banyak sekali komentar-komentar terhadap beberapa koleksi hadis standar seperti Shahih Bukhari Muslim dalam tradisi Sunni misalnya yang ditulis oleh para ulama India. Bahkan dari sudut scholarship-nya mungkin tidak kalah dengan literatur serupa yang ditulis oleh para ulama di rp kawasan Arab pada era sebelumnya. Misalnya Fathul Bari yang ditulis oleh u sta Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Pe
Ada karya semacam itu yang ditulis oleh ulama India pada abad 18 dan 19. Salah satunya yang terkenal adalah karya yang ditulis oleh ulama dari madrasah Deobandi yaitu I’la us Sunan. Ada 20 jilid, besar sekali, dalam bahasa Arab dan ditulis dengan gaya seperti yang dilakukan para ulama Islam yang hidup 10
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
pada abad 11 dan 13 Masehi. Itu masih bertahan di India sampai pada abad 19. Bahkan mungkin sampai sekarang masih ada terutama di kalangan ulama-ulama India yang banyak studi hadits.
Pro
je
D
ig
ital
ct
Jadi, tesisnya Qasim Zaman adalah bahwa persepsi lembaga ulama statis dan tidak berkembang itu tidak tepat. Karena ada dinamika yang kaya di dalam lembaga ulama yang luput dari pengamatan orang-orang yang tidak kenal dengan sejarah dan kompleksitas dari lembaga ini terutama di Indo-Pakistan. Itu tesis utama Qasim Zaman.
kaa
n
Dia mencoba membuktikan tesis ini dengan merujuk pada contoh pengalaman India. Di India, sekurangkurangnya ada tiga model madrasah atau tiga model ulama. Pertama, ulama yang mengembangkan tradisi madrasah yang dekat dengan tradisi pesantren NU, kalau saya membandingkan dengan pengalaman kita di Indonesia. Itu yang disebut dengan kelompok Barelwi. Ciri-cirinya adalah mereka lebih menekankan aspek tasawuf atau mistik Islam selain kajian fiqih dan mereka 11
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
sangat akrab dengan tradisi ziarah kubur dan menghormati para wali. Persis dengan tradisi yang berkembang di kalangan pesantren NU. Kelompok Barelwi cukup kuat pengaruhnya.
Dem
o
Kedua adalah tradisi atau madrasah y yang dikembangkan oleh kelompok yang a c disebut dengan kelompok Deobandi. cr Ini kelompok yang saya kira paling penting perannya dalam kajian Islam tradisional di India. Dalam paper saya menyebut ini, meskipun kurang pas, bisa diperbandingkan dengan pesantren Gontor. Mereka mewarisi dua tradisi besar. Pertama, tradisi reformis puritan yang datang dari kalangan Wahabi di Saudi Arabia, meskipun mereka tidak rp dipengaruhi langsung oleh Wahabisme u di Saudi Arabia. Kedua, tradisi mazhab. s t a Ini bedanya dengan Gontor. Kalau Gontor mungkin tidak terlalu akrab dengan tradisi mazhab. Kelompok Deobandi sangat fanatik mempertahankan mazhab Hanafi. Di India mazhab inilah yang paling populer.
Pe
Ketiga adalah kelompok Ahlul Hadits. Musuh utama kelompok Deobandi 12
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
bukan kelompok Barelwi tapi kelompok Ahli Hadits. Mereka saling berpolemik keras. Terutama karena dua-duanya, baik kelompok Deobandi maupun kelompok Ahli Hadits, punya perhatian besar dalam studi hadits. Mereka merasa punya kesamaan tapi berbeda dalam satu aspek yaitu tradisi bermazhab.
je
D
ig
ital
ct
Sementara kelompok Deobandi sangat ketat sekali mempertahankan tradisi bermazhab Hanafi. Kelompok Ahli Hadits sangat menentang tradisi mazhab; menganggap mazhab adalah satu bid’ah dalam Islam. Serangan mereka terutama adalah terhadap tradisi mazhab Hanafi.
kaa
n
Yang agak unik yang membedakan mazhab Hanafi dengan mazhab yang lain, baik di India maupun di Timur Tengah, adalah kenyataan bahwa mazhab Hanafi merupakan mazhab yang paling sering menjadi target serangan kaum Salafi. Sebabnya adalah tradisi Hanafi lebih menekankan pada pendekatan rasional. Mereka kurang menganggap atau memakai hadits sebagai basis untuk beragama. 13
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Dem
o
Kedua, kebetulan saja beberapa ulama Hanafi mengeluarkan statement yang bagi orang Salafi very offensive. Contoh bagus, ada seorang ulama Hanafi yang terkenal sekali dari abad 13 atau 14 Masehi, Al-Sarakhsi. Dia mengatakan kalau Qur’an dan hadits bertentangan dengan mazhab Hanafi, maka Qur’an a c y r dan Hadits harus dikalahkan dan harus c ditafsirkan berdasarkan pendapat mazhab Hanafi. Kutipan dari AlSarakhsi ini seringkali digunakan oleh para polemisis-polemisis dari kalangan Wahabi untuk menyerang kalangan Hanafi.
Pe
Jadi, kelompok Deobandi dan kelompok Ahlul Hadits seringkali berpolemik rp keras sekali. Karena itu studi hadits menjadi semacam arena diskursif yang u sta dipertarungkan oleh dua kelompok ini karena dua-duanya ingin membuktikan pada masyarakat Islam di India, “kami juga cinta hadits, tidak kurang dari kalian yang menyatakan diri sebagai Ahlul Hadits.” Makanya salah satu buku penting yang diproduksi oleh ulama Deobandi adalah yang berjudul I’la us Sunan, itu sangat terkenal sekali. 14
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
je
D
ig
ital
ct
I’la us Sunan artinya meninggikan sunah nabi. Buku ini sebetulnya buku komentar atas hadits. Buku ini ditulis oleh Zafar Ahmad Utsmani, seorang ulama Deobandi. Dia menulis buku ini dengan dua tujuan. Pertama mempertahankan tradisi komentar, tradisi intelektual yang sudah berkembang lama di ulamaulama Islam klasik di seluruh dunia Islam. Jadi, ini menunjukkan bahwa tradisi intelektual masih berlanjut dan dipertahankan oleh para ulama sampai sekarang. Kedua, melalui komentar dia juga mengomentari isu-isu yang berkembang pada saat itu. Isu yang dikomentari banyak sekali. Salah satunya yang menarik ditulis Qasim Zaman dalam bukunya adalah komentar dia, saya tidak tahu tentang hadits apa, yang panjang sekali tentang nasionalisme.
kaa
n
Dia mengkritik bahwa nasionalisme dianggap bertentangan dengan doktrin Islam. Itu biasa. Tapi yang menarik adalah dia menulis kritik terhadap ideologi nasionalisme melawan ulama Deobandi yang lain yang berpendapat bahwa nasionalisme sesuai dengan Islam. Ini sama dengan debat antara Ahmad Hassan dengan Bung Karno tentang 15
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
nasionalisme. Cuma bedanya ini antara nasionalis sekuler dengan nasionalis religius.
Dem
o
Dalam konteks India, debatnya adalah sesama ulama Deobandi. Jadi, ada ulama Deobandi yang menulis atau berpendapat y mendukung nasionalisme dan ada ulama a c Deobandi lain yang mengkritik itu. Dan cr dia mengutarakan pendapatnya melalui medium tradisional yang dikenal akrab oleh para ulama umumnya yaitu tradisi syarah atau komentar. Dia menulis mengenai hal-hal lain seperti komentar atas kolonialisme Inggris, penggunaan bahasa (apakah boleh orang Islam belajar bahasa Inggris), dan lainnya. Dia mengomentari banyak hal. r
Pe
p
Di sini Qasim Zaman menunjukkan u s ta bahwa yang disebut dengan ulama bukan kelas sosial yang terisolasi sepenuhnya dari perkembangan dunia luar dan tidak memberikan tanggapan. Itu keliru. Menurut dia, dalam ulama sebetulnya ada perkembangan diskursif yang menarik sekali. Kalau ditelaah menarik karena memperlihatkan bahwa sebetulnya apa yang disebut tradisi 16
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
mazhab yang basisnya adalah taklid, mengikuti pendapat ulama dari masa lampau, sebetulnya tidak se-rigid yang dibayangkan oleh sejumlah sarjana di Barat. Biasanya mereka memiliki prejudice modernis yang menganggap bahwa lembaga ulama pasti atau dengan sendirinya, by default, adalah lembaga yang sudah selesai, relik masa lampau.
je
D
ig
ital
ct
Bagi saya yang menarik dari buku Qasim Zaman adalah bahwa ini gambaran nasib ulama di dunia Islam umumnya, bukan hanya di India saja. Buku ini bercerita mengenai nasib ulama di manapun. Mereka sebetulnya diserang kiri kanan. Mereka bukan hanya mendayung di antara dua karang, seperti dikatakan oleh Cokroaminoto atau Dawam Rahardjo, tetapi mendayung di antara banyak karang.
kaa
n
Musuh pertama mereka tentu adalah kolonial Eropa. Tetapi di dalam masyarakat Islam sendiri mereka berhadapan dengan banyak musuh. Musuh pertama mereka adalah kaum modernis, sudah pasti. Kaum modernis yang ingin melakukan pembaharuan terhadap tradisi pemikiran di dalam Islam sendiri. 17
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Lalu melakukan pembaharuan terhadap berbagai madrasah dan pesantren.
Dem
o
Kedua, musuh mereka adalah kaum Islamis dan revivalis. Kaum modernis dan kaum revivalis meskipun mereka berbeda pandangan secara signifikan dalam banyak hal, sebetulnya mereka cy a punya kesamaan. Mereka sama-samar c punya pandangan yang skeptis terhadap ulama tradisional. Kaum modernis punya alasannya sendiri untuk skeptis. Revivalis juga punya alasan sendiri.
Pe
Alasan mereka adalah bahwa tradisi keagamaan yang dikembangkan oleh madrasah tradisional tidak menjanjikan suatu kebangkitan terhadap suatu rp masyarakat Islam. Ini tradisi yang tidak membangkitkan semangat perubahan, u semangat pembangkangan terhadap s t a hegemoni dari luar maupun dari dalam. Tradisi ulama dianggap tradisi yang quietest dan lembek. Karena itu mereka tidak puas dengan tradisi ini. Mereka mengenalkan tradisi baru yang lebih mengedepankan ghirah atau semangat Islam yang berkobar-kobar. Bagi kaum revivalis, tradisi Islam yang dikembangkan 18
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
madrasah Deobandi, apalagi madrasah Barelwi tidak sama sekali memuaskan. Salah satu basis intelektual dari madrasah Deobandi adalah kurikulum yang disebut dengan Dars-i Nizami. Dars-i Nizami adalah kurikulum yang dipakai madrasah Deobandi terutama, tapi kemudian dikembangkan oleh madrasah-madrasah yang lain.
je
D
ig
ital
ct
Itu dibuat pada abad 18 atau 1750an. Unsur kurikulum Dars-i Nizami ada tiga. Pertama, pelajaran yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keagamaan yang standar, fikih, hadis, tafsir, ditambah ilmu-ilmu lainnya yaitu sintaksis, morfologi, dan seterusnya yaitu ilmuilmu tradisional. Kedua, ilmu-ilmu rasional. Pelajaran yang penting di sana adalah filsafat. Dan yang disebut filsafat di sini biasanya adalah risalah dari Ibnu Sina. Pelajaran terkait filsafat Ibnu Sina. Risalah-risalah pendek Ibnu Sina dipakai di madrasah di India. Misalnya Risalatul Ayn yang ditulis pendek sekali mengenai metafisika. Itu diajarkan dalam Dars-i Nizami.
kaa
n
Kemudian mantik atau logika. Sebetulnya sebagian kurikulum ini diadopsi di 19
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Dem
o
pondok-pondok di Indonesia. Terutama pondok-pondok yang dalam lingkungan NU. Meskipun standarnya tidak seketat dan se-rigid yang diadopsi oleh madrasah Deobandi di India, tetapi modelnya hampir sama. Kurikulum Dars-i Nizami juga diadopsi dari kurikulum serupa cy yang dipakai di madrasah-madrasah lainr a di Kairo, Maroko, Tunisia, dan lainnya. c
Pe
Kalau kita lihat, madrasah tradisional selain mengajarkan ilmu-ilmu tradisional juga mengajarkan ilmu-ilmu rasional. Dan yang disebut dengan ilmu rasional di sini adalah filsafat dan mantik. Filsafat memang tidak ada di Indonesia, tetapi tradisi pengajaran mantik atau logika masih ada. Plus mistik atau tasawuf. Jadi, rp tiga unsur ini yang utama. Kurikulum ini berlaku sejak abad 18 dan sampai sekarang. Meskipun nanti setelah era kemerdekaan, lalu madrasah diintervensi oleh negara, ada standarisasi kurikulum oleh pihak pemerintah, sesudah itu dikurangi. Tapi sampai menjelang negeri-negeri Islam muncul tahun 40-an, kurikulum ini dipakai. 20
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
je
Jadi, madrasah Deobandi ini backbonenya, tradisi intelektualnya adalah kurikulum ini. Ini berbeda secara kontras dengan madrasah-madrasah yang dikembangkan oleh kalangan Ahli Hadits. Mereka tentu tidak mengajarkan fiqih mazhab Hanafi, tidak mengajarkan mantik, filsafat apalagi tasawuf. Itu bedanya.
D
ig
ital
ct
Saat Musyarraf menjadi presiden di Pakistan, ada satu program yang dia rintis. Dia ingin melakukan satu pembaharuan kurikulum madrasahmadrasah di Pakistan. Ini tahun 2000, jadi sebelum 9/11. Dia sudah punya program untuk melakukan reformasi kurikulum madrasah-madrasah di Pakistan. Dan yang disebut dengan reformasi kurikulum sebetulnya adalah reformasi Dars-i Nizami. Jadi, mengubah konten kurikulum ini.
kaa
n
Yang menarik, kelompok ulama ini saya katakan menghadapi serangan dari berbagai pihak kaum modernis dan revivalis. Setelah kemerdekaan, mereka berhadapan dengan musuh lain yang jauh lebih berat yaitu negara 21
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
nasional, termasuk negara nasional yang mempunyai proyek untuk melakukan Islamisasi negara. Itu sebetulnya juga tidak menguntungkan para ulama.
Dem
o
Bagaimana itu terjadi? Data dari Pakistan menarik. Pertama, sejak Pakistan merdeka tahun 47, sejumlah madrasah cy a Deobandi – madrasah Deobandi banyakr c cabangnya, sebagian ada di Pakistan – begitu Pakistan merdeka, madrasah Deobandi sebagian pindah ke sana. Setelah mereka pindah ke sana, tentunya mereka mengikuti negara Pakistan yang menyebut dirinya sebagai negara Islam.
Pe
Pada saat retorika Islamisasi negara itu muncul, terutama isu pelaksanaan rp syariah pada masa Ziaul Haq, asumsinya kaum ulama mendapatkan peran yang u penting. Tapi ternyata tidak. Pada saat s t a Ziaul Haq melakukan Islamisasi di sana, ada lembaga atau kelompok ulama seperti di Iran, meskipun tidak persis semacam wilayatul faqih, yang diberi tugas untuk mensupervisi undangundang yang dianggap bertentangan dengan syariah Islam sehingga harus diharmonisasikan. Tugasnya itu. Tapi tugas mereka bukan mengubah langsung 22
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
melainkan hanya memberikan saran saja.
Pro
je
D
ig
ital
ct
Setelah Ziaul Haq berkuasa dari tahun 87 sampai 88, dia mengenalkan satu proyek Islamisasi. Di dalam klausul undang-undang tentang Islamisasi itu dikatakan bahwa semua undangundang yang bertentangan dengan syariah akan direvisi. Pertanyaannya adalah bagaimana menentukan sebuah undang-undang bertentangan dengan syariah atau tidak?
kaa
n
Ada sekelompok ulama yang diberikan tugas untuk melakukan supervisi. Tapi otoritas terakhir untuk menentukan apakah sebuah undang-undang bisa dianggap bertentangan atau tidak dengan syariah ada di dalam Mahkamah Agung. Lembaga ini berisi hakim-hakim yang bersekolah di Oxford, Cambridge, dan seterusnya. Mereka bukan ulama dari madrasah. Ulama memang diberikan peran untuk supervisi, tapi mereka bukan otoritas akhir. Jadi, sebetulnya ulama tidak memegang kendali terhadap Islamisasi. Belum yang lainnya, misalnya madrasah. Fenomena 23
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Dem
o
yang terjadi di hampir semua negara Islam pasca kemerdekaan adalah negara-negara nasional melakukan mengadopsi banyak policy. Intinya tentunya adalah konsolidasi negara dengan cara menyeragamkan banyak hal, menyeragamkan lembaga sosial, cy melakukan reformasi terhadap lembagar a c pendidikan, termasuk melakukan unifikasi hukum. Begitu terjadi unifikasi hukum, meskipun unifikasi hukum terjadi atas argumen untuk melaksanakan syariah Islam, tapi ketika hukum ini sudah menjadi hukum positif, aktor yang mengeksekusi hukum ini pada akhirnya bukan pada ulama atau orang-orang yang training-nya adalah pendidikan madrasah. r
Pe
p
Yang menjadi lawyer, hakim, atau panitera dalam dispute adalah yang pendidikannya hukum Barat. Tapi mereka diberikan pelajaran tambahan tentang hukum Islam. Ulama sendiri yang lulusan madrasah tidak punya peran apa-apa. Sebetulnya ini kita saksikan di Indonesia juga. Ini bukan hanya khas India atau Pakistan. Jadi, pelaksanaan syariat Islam tidak dengan sendirinya menguntungkan 24
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
ulama karena mereka.
Pro
je
eksekutornya
bukan
D
ig
ital
ct
Kedua, pengelolaan wakaf. Administrasi wakaf adalah isu penting dan kontroversial. Contoh paling bagus Mesir. Dulu Al-Azhar yang paling bagus. Zaman menulis bagus sekali mengenai sejarah Al-Azhar. Bagaimana Al-Azhar pelan-pelan otonominya dipreteli oleh pemerintah Mesir dan puncaknya pada tahun 1961 ketika presiden Natsir menempatkan Al-Azhar di bawah pemerintah. Sehingga rektor Al-Azhar, yang semula dipilih, dalam tradisi ratusan tahun secara independen, kemudian dipilih pemerintah dan menjadi pejabat pemerintah: Syaikul Azhar ditempatkan di bawah kementrian Wakaf atau Menteri agama.
kaa
n
Pengelolaan wakaf yang selama ini menjadi sumber pembiayaan Al-Azhar juga di bawah kementerian wakaf langsung dikelola oleh negara. Jadi, lembaga madrasah yang menjadi basis ulama, otonominya pelan-pelan dikurangi banyak sekali. Al-Azhar contoh yang paling bagus karena lembaga ini 25
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
yang memang menjadi basis produksi ulama selama berabad-abad.
Dem
o
Hal serupa terjadi juga di Tunisia dengan Madrasah Zaituna. Di Maroko madrasah Qarrawiyyin. Jadi, kasus serupa terjadi di Maroko dan Tunisia walaupun dengan skala berbeda. Oleh karena itu, ulama a c y tradisional sebenarnya tidak terlalu cr bersemangat dengan ide negara Islam. Terutama dalam kasus India dan Pakistan. Ini menarik, saya agak kaget dengan data yang dikemukakan oleh Qasim Zaman bahwa sebetulnya ulama tidak tertarik dengan ide negara Islam karena bagi mereka, negara Islam sebenarnya ide yang pertama-tama dibawa oleh kaum revivalis atau Islamis.
Pe
rp
Ide itu bukan datang dari ulama. Mereka u s ta tidak begitu bersemangat karena mereka tahu akibatnya apabila ada negara Islam. Sebetulnya peran mereka tidak terlalu besar juga dalam negara baru yang dinamakan negara Islam. Salah satu kontroversi yang menarik adalah soal dualisme pendidikan madrasah. Dualisme pendidikan. Sama di kita ada dualisme pendidikan agama dan umum. 26
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Di kita ada Depag, di sana juga sama.
Pro
je
D
ig
ital
ct
Nah, kaum modernis atau revivalis punya kesamaan dalam pengertian mereka ingin mengatasi dualisme. Bagi kaum modernis, dualisme pendidikan agama dan sekuler tidak ideal karena nanti dianggap kalau orang Islam hanya belajar agama Islam atau fiqih saja. Itu tidak cukup. Sehingga dia harus belajar ilmu-ilmu yang lain. Jadi, cara mengatasi dikotomi ini adalah dengan mengajarkan dua subjek sekaligus di sekolah. Kaum revivalis punya pandangan yang lain. Cara mengatasi dikotomi ini adalah dengan melakukan Islamisasi karena menurut mereka semua pengetahuan itu Islam. Asal cara pandangnya benar. Pada dasarnya semua model Islam, jadi mereka melakukan Islamisasi.
kaa
n
Ulama tradisional punya pandangan lain. Mereka resisten dengan proyek mengatasi dualisme pendidikan ini. Karena, bagi mereka, kalau dualisme dihilangkan, maka korbannya adalah madrasah. Ada ulama namanya Maulana Muhammad Yousuf Ludhianvi dari 27
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Dem
o
Pakistan. Dia mengatakan kenapa madrasah tidak boleh mengajarkan agama saja? Kalau masyarakat modern fondasinya adalah pendidikan modern sebagai spesialisasi, kenapa kami tidak boleh memberikan spesialisasi sendiri? Sama dengan orang belajar sosiologi, y antropologi, politik, kami belajar agama a c saja. Kenapa kami diharuskan belajar cr agama plus yang lain-lain? Kenapa kami diharuskan belajar semua hal, sementara orang-orang lain boleh belajar spesialisasi?
Pe
Inilah argumennya dan cukup akal. Sebenarnya argumentasi ini yang pernah dikemukakan oleh Kyai Sahal. Waktu saya sekolah di madrasah, kami dipaksa rp Depag untuk berada di bawah naungan Depag. Karena dengan begitu, komposisi u s ta pelajaran agama dikurangi, ditambah dengan pelajaran-pelajaran lain. Mereka, madrasah kami, mengatakan, kenapa kami tidak boleh spesialisasi? Ilmu itu spesialisasi. Kenapa kami tidak boleh? Argumen kedua, bagi mereka, meletakkan madrasah di bawah yurisdiksi sistem pendidikan nasional akan mematikan 28
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
je
D
ig
ital
ct
Islam. Itu sebenarnya adalah proyek yang ingin dicapai pemerintah kolonial tapi tidak pernah berhasil dan sekarang mau dilakukan oleh pemerintah Islam sendiri. Ketika saya baca itu, saya ingat masa lalu. Tapi argumen ini saya kira sangat relevan. Di sini saya melihat pertarungan otoritas antara pemerintah nasional yang ingin melakukan unifikasi sistem pendidikan dan konsolidasi politik dengan cara mereformasi pendidikan agama dan ulama yang ingin mempertahankan otonominya.
kaa
n
Saya ingin menutup. Setelah membaca buku ini, saya sadar kembali alasan mengapa ulama tradisional di manamana kurang begitu semangat dengan ide negara Islam. Itu ternyata terjadi tidak hanya di India, di mana-mana juga begitu. Saya kira, penjelasannya karena mereka bersaing dengan kelompok-kelompok di dalam masyarakat Islam sendiri yang sebetulnya ingin meraih kekuasaan, yaitu kaum modernis, Islamis, dan negara. Ulama sebetulnya berada pada posisi yang terpojok. Tindakan paling jauh yang 29
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
bisa mereka lakukan selama ini adalah berupaya mempertahankan otonominya tetapi tidak bisa. Sebab resource mereka, yaitu wakaf dan lainnya, sudah diletakkan di bawah negara. Sehingga mereka tidak lagi punya otonomi.
y
Dem
o
Yang bisa mereka lakukan adalahr a c berkompromi dengan pemerintah c nasional. Dan ini yang menjelaskan kenapa di mana-mana memang ulama lebih bisa berkompromi dengan penguasa nasional ketimbang kaum revivalis. Ini juga yang menjelaskan kenapa ulama tradisional dibenci kaum revivalis karena mereka dianggap sebagai komprador atau kolaborator dari negara.
Pe
rp
30
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
III TANYA JAWAB DAN KOMENTAR Ihsan Ali Fauzi
Pro
je
ital
ct
Terimakasih, Ulil. Boleh saya bertanya sebentar kepada Ulil, agar informasinya lebih lengkap? Ada beberapa informasi yang menunjukkan misalnya jumlah madrasah meningkat di Punjab dan di mana-mana. Bagaimana logics-nya ini, kaitannya dengan yang tadi disebutkan?
D
ig
Ulil Abshar Abdalla
kaa
n
Jumlah madrasah di Pakistan memang meningkat pesat. Tapi ini madrasah yang berkembang secara independen. Mereka tidak berada dalam yurisdiksi Kemendiknasnya Pakistan. Cuma yang menarik, ada dinamika baru pasca 9/11. Sebagian madrasah sebetulnya tidak sepenuhnya di bawah pengaruh Deobandi. Tetap sebagian besar madrasah-madrasah di Pakistan itu Deobandi. Pecahan dari madrasah Deobandi, sebagian ada juga mereka yang tertarik dengan ideologi jihadi. Lalu menjadi Taliban. Sebetulnya orang31
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
orang Taliban, sebagian besar mereka adalah pengikut madrasah Ahli Hadits. Tapi sebagian dari mereka juga adalah produk madrasah Deobandi. Tapi tidak dari Barelwi.
cy a r Saya mengangkat soal itu karena janganc jangan ada faktor negara juga. Negara o
Ihsan Ali-Fauzi
Dem
mainnya bisa benar atau salah. Makin inklusif negara, makin capable negara, mungkin madrasah tidak seberkembang di negara-negara yang pemerintahan dan nation building-nya tidak berkembang dengan benar. Tapi kalau kita lihat Singapura dan Malaysia, madrasah tidak akan berkembang karena state-nya rp bekerja dengan benar.
Pe
32
Pertanyaan saya yang kedua, sedikit lagi, bisakah kita bandingkan perbedaan antara India, Pakistan, dan Indonesia. Itu karena di Indo-Pakistan dulu Islam pernah jaya, ada kerajaan yang besar sekali dan dominan tapi secara jumlah tetap minoritas. Nah, ketika Pakistan berdiri, itu kan partisi, madrasah dan sumbersumbernya tidak berada di wilayah yang sekarang Pakistan. Jadi, jangan-jangan
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
je ct
mereka tidak mau mendukung Pakistan, pertama karena itu idenya modernis. Kedua, karena terjadi perubahan yang radikal sekali dari segi geografis yang menyebabkan banyak orang yang mati karena migrasi dan lainnya. Itu tidak terjadi di Indonesia. Di Indonesia debat nasionalis Soekarno dengan Natsir versus NU ada tetapi tidak ada partisi seperti yang ada di Pakistan. Ulil AbsharAbdalla
D
ig
ital
Dan jangan lupa sebagian ulama Deobandi tidak setuju dengan partisi. Mereka Gandhian. Ini menarik sekali karena dalam buku i’la us Sunan itu, salah satu topik yang dia bahas adalah metode perjuangan non-kekerasan, Ahimsa-nya Gandhi. Dan dia berhadapan dengan sunah Rasul. Metode ini jugalah yang selalu digunakan para Deobandi yang pro dengan nasionalisme.
kaa
n
Zafar Ustmani mengatakan, kalau metode Gandhi sesuai dengan Islam dengan alasan bahwa, menurut ulama Deobandi yang lain, Rasul di Mekah lebih memakai metode damai bukan metode perang, lalu kenapa nabi tidak ke Madinah? 33
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Nabi pindah ke Madinah karena dia menganggap metode Gandhian yang dia pakai di Mekah tidak ideal. Ihsan Ali-Fauzi
Dem
o
Buat Ade Armando yang awam, presiden India yang terkenal, namanya Abdul a c y Kalam Azad, itu muslim. Ada sejumlah cr intelektual yang tidak setuju dengan Iqbal, misalnya Asghar Ali, yang merasa adalah kesalahan kalau Iqbal dan temantemannya mendirikan negara dan menamakannya negara Islam. Karena, ketika kau menyebut satu negara itu negara Islam, pertama-tama yang harus kau lakukan adalah mendefinisikan apa itu “Islam” dan ketika mendefinisikan rp apa itu “Islam”, pasti ada sejumlah orang yang pasti tidak masuk ke dalam “Islam”. u s ta Salah satu korban yang besar di awal sejarah awal Pakistan adalah Ahmadiyah. Meskipun menteri luar negerinya yang pertama kali menerima HAM Zafarullah Khan adalah Ahmadiyah, tapi di tahun 1952 terjadi salah satu holocaust di Pakistan terhadap Ahmadiyah atas nama Islam.
Pe
34
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Baik saudara-saudara sekalian. Siapa yang mau bertanya atau komentar? Zuhairi Misrawi
Pro
je
D
ig
ital
ct
Satu hal yang mungkin terlewatkan soal kenapa dari sekian gagasan yang panjang di Pakistan, justru yang menguat adalah kelompok Islamis? Tadi sudah dijelaskan bagaimana sikap mereka terhadap Ahmadiyah. Saya kira yang lebih menonjol pengaruhnya adalah Al-Maududi. Dan ini menurut saya memang keteledoran dari kelompok Deobandi dan Barelwi karena mereka tidak merumuskan tantangan konsep negara sekuler atau modern. Karena di Pakistan secara konstitusi adalah Islam sehingga memberikan ruang bagi para kubu Islamis untuk menguat.
kaa
n
Jadi, menurut saya satu titik yang dibahas dalam buku ini adalah betapa besarnya pengaruh Abul A’la Al-Maududi. Sehingga pertarungan intelektual menjadi tidak penting. Itu yang pertama. Kalau kita bandingkan dengan di Mesir, pikiranpikiran seperti Sayyid Qutb cenderung direspon secara kritis oleh ulama. Ini 35
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
o
tidak terjadi di Pakistan. Kelompok Islamis berpengaruh dan lama kelamaan mereka mempunyai basis kekuatan yang luar biasa. Jadi, pertarungannya sebenarnya bukan semata-mata antara Deobandi dengan Ahlul Hadits, melainkan juga antara kelompok Islamis cy a politis dengan kelompok moderat. r
c
Dem
Pertarungan ini menurut saya akan menentukan perjalanan dari resistensi ulama sebagai bagian dari pembentukan negara dan masyarakat. Di Mesir, pertarungan ulama Al-Azhar dengan ulama Islamis sangat luar biasa. Definisi Islamis di sana bukan ulama dalam definisi kita di pesantren. Mereka adalah orang-orang umum yang dalam sekolah rp kedokteran, PKS, Islamis. Sehingga u dengan mudah mereka bisa direspon s t a oleh ulama-ulama par excellence. Sementara di Al-Azhar ada Muhammad Abduh, misalnya, yang turats-nya juga kuat. Dan ide-ide modernnya juga kuat.
Pe
Saya kira persoalan di Pakistan persoalan serius. Karena pikiran Al-Maududi lambat laun menyebar ke mana-mana dan dianggap sebagai salah satu rujukan 36
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
penting. Jadi menurut saya, ini yang menjelaskan kenapa Islamis masuk partai. Ini kesalahan karena ulamaulama aktivis Islamis juga aktivis politik, itu umumnya adalah ulama-ulama yang berpikiran radikal.
je
D
ig
ital
ct
Inilah yang terjadi sekarang di Mesir pasca revolusi. Ulama-ulama AlAzharnya cenderung politis, berbeda dengan Abduh yang keras sekali. Sekarang Ikhwanul Muslimin dan Salafi itu kan ulama dan masuk ke ranah politik. Sementara ulama-ulama Al-Azhar itu apolitis.
kaa
n
Dan mereka menggunakan Islam. Mereka disebut ulama karena kampanyenya menggunakan Islam. Belakangan Ikhwan memajukan calon sendiri. Dia pengusaha dan dia berjanji akan mendirikan dewan syariah. Jadi menurut saya, yang menjadi pertanyaan, sejauh mana bahayanya ketika ulama Islamis menguasai ruang politik seperti Al-Maududi itu. Dan saya khawatir kalau dibiarkan, PKS misalnya, seperti terjadi di Pakistan, ketika ulama-ulamanya politis dan 37
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
c
cy a r
Dem
Ihsan Ali-Fauzi
o
cenderung berkuasa, mereka cenderung banyak mempengaruhi politik. Di Mesir sekarang sudah mulai bergeser. Apa yang terjadi dengan Maududi sudah terjadi di Mesir. Ulama Al-Azhar tidak berani melawan Ikhwan karena secara de facto Ikhwan menguasai 30 persen dan majelis syuro-nya menguasai 70 persen.
Tapi kedua negara rezimnya berbeda. Satu otoritarian, sekarang masih otoritarian, sedang Mesir kan sudah mau demokratis.
Pe
Zuhairi Misrawi
Itu persoalannya. Saya ingin menjelaskan rp bahwa pengaruh ulama dalam politik u begitu sangat besar. Dan jika ulamanya s t a seperti Maududi atau seperti Salafi, justru menurut saya itu bukan agen perubahan. Mungkin karena ini penelitian bukan abad 21. Sekarang yang terjadi di Pakistan adalah kemenangan kelompok Islamis. Di Timur Tengah pun adalah kemenangan kelompok Islamis. Yang belum terjadi di Indonesia, saya kira agak berbeda kasusnya, yaitu muncul 38
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
kesadaran dari kalangan ulama yang moderat dan liberal terlibat politik. Budhy Munawar Rahman
Pro
je
Saya pernah mendampingi satu program imam di Bangladesh India, tapi Pakistan tidak. Saya tidak tahu apakah ada perbedaan antara yang disebut ulama dengan imam kalau memakai kategori ulama yang tadi disampaikan. Tapi kata imam adalah kata yang selalu dipakai untuk kelompok yang berpengaruh di bidang keagamaan di dalam masyarakat.
D
ig
ital
ct
Tadi Ulil menyebut musuh dari ulama tradisional itu negara. Yang ketiga, selain masyarakat Islam yang modernis dan revivalis, adalah negara nasional. Yang ketiga menarik kalau melihat perkembangan sekarang.
kaa
n
Kelihatannya dari perspektif negara nasional, pemerintah, yang paling kuat dalam soal ini di Bangladesh, misalnya, mereka betul-betul menganggap imam sebagai tradisional dalam arti tidak kondusif untuk pembangunan. Jadi, sama dengan pandangan di kita pada tahun 70-an, berkaitan dengan 39
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Dem
o
isu-isu pembangunan, modernisasi, termasuk isu-isu Keluarga Berencana, yang ditentang. Saya kira di daerah Asia Selatan, masjid dan madrasah terpusat ke negara, beda dengan di Indonesia. Saya tidak tahu apakah kesannya memang seperti itu. Tapi masjid atau pesantren di Bangladesh tidak seperti di Indonesia a c y r yang sangat otonom. Di sana semuanya c di bawah pemerintah dan imam mendapatkan gaji dari pemerintah.
Pe
Hal yang menarik adalah karena asumsi pemerintah bahwa imam-imam tidak responsif dan bahkan cenderung menghambat proses modernisasi, mereka kemudian membangun suatu akademi training untuk imam. Di Bangladesh rp saya pernah melihat ada tujuh. Saya mengunjungi beberapa tempat di u sta antara yang tujuh itu, dan itu memang besar sekali. Mereka membuat training untuk para imam yang sudah alumnus, termasuk sebagian dari Deobandi, untuk melakukan pembaharuan. Saya tidak tahu istilah pembaharuannya sampai sejauh mana; saya tidak sempat mempelajari kurikulumnya. Tapi secara umum, kurikulum mereka di-review kembali dari segi bagaimana peranan 40
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
je
D
ig
ital
ct
dari ilmu-ilmu agama. Termasuk untuk melibatkan imam di dalam kehidupan masyarakat yang lebih sekuler. Jadi, misalnya, bagaimana imam bisa ikut dalam membangun ekonomi. Training itu ada porsinya. Trainingnya 45 hari. Dan mereka menargetkan dalam satu tahun ada sekitar 25 ribu imam yang ditraining. Dan dalam 45 hari ada satu minggu yang khusus membahas hal-hal sekuler dalam arti hal-hal seperti pertanian, ekonomi, peternakan, dan hal lain yang berkaitan soal ekonomi kerakyatan, dan lingkungan.
kaa
n
Tapi, kita bisa tahu bagaimana mereka, dibandingkan dengan Indonesia, jauh tertinggal ketika mereka melakukan satu studi banding. Ketika studi banding, mereka sangat senang kalau ke Malaysia. Kalau ke Malaysia ada rasa aman. Misalnya baru-baru ini, ada program imam di Maladewa. Imamnya semuanya alumnus dari India atau Pakistan. Ketika diusulkan ke Indonesia, mereka sudah dengar cerita bagaimana program imam di Bangladesh, India, dan Pakistan. Mereka merasa Indonesia memiliki ulama-ulama yang sangat sekuler. 41
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Dem
o
Sebenarnya mereka tidak tahan bertemu dengan ulama-ulama di Indonesia. Buat mereka itu terlalu jauh, terlalu maju. Itu belum diskursusnya, baru melihat saja. Bahwa di dalam suatu forum kita membicarakan dialog antar agama, itu sudah sesuatu yang bagi mereka terlalu jauh. Yang aneh, waktu salat mereka cy a juga tidak mau berimam dengan imamr c orang Indonesia padahal itu imam masjid Istiqlal. Alasannya karena imam Indonesia tidak punya jenggot. Karena jenggot itu syarat untuk menjadi imam dalam shalat. Itu sangat mengejutkan.
Pe
Pertanyaan saya adalah, tadi dikesankan bahwa ulama tidak sepasif atau sestatis itu, tapi kalau lihat fenomena imamimam dari Nepal, Bangladesh rdan p lainnya, yang semuanya adalah alumnus u dari Deobandi atau Pakistan, mereka s t a profilnya seperti itu, bagaimana? Mereka tidak seprogresif imam atau ulamaulama di Indonesia. Nur Iman Subono Saya kira Zaman juga mengungkapkan: ini penelitian lama, belum masuk setelah 11 September. Tapi dia juga menyebutkan 42
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
je
D
ig
ital
ct kaa
n
dua faktor eksternal yang cukup kuat. Pertama, Saudi dengan dananya yang besar. Sudah pasti madrasah tidak dapat karena mazhab Hanafinya. Tapi saya kira revolusi Iran 1979 disebutkan juga. Kemampuan madrasah ini bisa survive itu jadi pertanyaan saya. Bahkan data yang diungkapkan Zaman madrasah meningkat di Punjab beberapa kali lipat madrasahnya. Apakah dia otonom atau tanpa intervensi negara? Karena saya lihat sikap dia terhadap negara nasional memang agak paradoks. Di satu sisi, Ulil tadi sudah menjelaskan, mereka termasuk yang mempromosikan negara terlibat dalam berbagai bidang. Tapi dalam tanda kutip, jangan terlibat masuk ke dia terlalu banyak juga. Demikian juga ketika dia berbicara bahwa dia mendukung syariah Islam. Tapi dalam perkembangannya, syariah ini juga agak anti negara. Jadi kekaguman saya, kok ini bisa bertahan. Yang Zaman tidak banyak bercerita, di grassroot bagaimana dia menghadapi madrasah-madrasah yang lain serta faktor eksternal yang saya sebutkan? Bagaimana bisa bertahan dan bahkan 43
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
banyak yang berkembang. Seharusnya kalau menggunakan teori modernisasi itu sudah selesai dan hilang. Marbawi Katon
Dem
o
Saya melihat ada perbedaan. Dibanding Indonesia, kelompok keagamaan di cy a India dan Pakistan lebih membutuhkan r c negara untuk memberikan legitimasi atau kuasa kepada mereka. Kelompok keagamaan kita tak terlalu butuh negara. Pada masa Orde Baru, misalnya, banyak pesantren di Indonesia tidak terlalu butuh pada negara.
Pe
Tetapi ketika terjadi reformasi mereka butuh negara. Sekarang ini pesantren rp tetap dibebaskan mengajarkan ilmu agama tapi negara memberi u sta ijazah mu’adalah setingkat SMA. Lulusannya boleh kuliah di fakultas agama IAIN seperti ushuluddin atau dakwah. Pesantren yang tidak melulu mengajarkan agama seperti Gontor juga tetap mendapat mu’adalah. Karena negara Orde Baru kuat, negara tak mau terlalu masuk menguasai kantongkantong pendidikan keagamaan. Tapi 44
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
je
D
ig
ital
ct kaa
n
ketika negara pecah, kekuasaannya menjadi negara pluralis seperti sekarang, semua pihak yang merasa sumber daya sosioekonomi dan politik menjadi pemain-pemain kekuasaan. Kiyai, LSM dan wartawan berperilaku seperti pialang-pialang kekuasaan. Untuk mengkapitalisasi permainan itu, mereka membutuhkan cap negara atau mu’adalah itu. Karena negara juga akhirnya butuh, negara memberi cap tapi tak mengubah kurikulumnya. Itulah sebabnya diskursus pendidikan agama dalam kaitannya dengan negara tidak terlalu kuat di Indonesia, berbeda dengan India dan Pakistan. Ulama atau kyai di sini juga tidak terlalu mengandalkan negara sebagai satu-satunya tempat berpijak atau sumber daya. Sekarang ini kita menikmati otonomi yang lebih besar. Karena itu, proyek-proyek seperti modernisasi dan sekularisasi lebih mudah diterima di sini karena constraintnya tidak terlalu banyak. Saya sepakat dengan pandangan di sini bahwa integrasi keilmuan umum dan agama itu “ditunggangi” oleh Islamis. Tapi ilmu-ilmu agama klasik akan memudar 45
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
ketika semua sumber daya pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itu difasilitasi oleh negara. Ilmu-ilmu murni agama akan semakin tidak menarik untuk dikaji.
Dem
o
Agar santri bisa hidup, ia tak bisa hanya mengandalkan agama tapi perlu punya cy a semacam keterampilan. Negara bisa r c masuk tapi mengurus keterampilan, agama urusan pesantren. Jadi pesantren bisa menikmati kebebasan akademik dalam ilmu-ilmu agama. Kantong-kantong kebebasan akademik keagamaan di pesatren kita penting untuk dipertahankan justru untuk menopang negara bangsa Indonesia. Sekularisme itu ditopang oleh pesantren.
Pe
Tantowi Anwari
rp
Di bab enam, “Religiopolitical Activism”, Zaman banyak mengutip Wickham (Political Mobilization) dan Zeghal (Religion and Politics). Bagi dia, penting untuk melihat sejauh mana aktivisme ulama. Ada tiga faktor aktivisme ulama yang dia sebutkan. Ketika tidak diakomodir negara, ulama46
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
je
D
ig
ital
ct kaa
n
ulama pinggiran akan berafiliasi dengan kalangan Islamis. Dia sebutkan juga bahwa revolusi Iran membuat ulamaulama Sunni memikirkan bagaimana untuk membendungnya. Itulah sebabnya revolusi Iran menjadi penting di wilayah Teluk, meski di Pakistan, India dan Filipina dalam hal tertentu tidak terlalu berpengaruh. Patronase internsional, seperti Al-Azhar dan Arab Saudi, juga membuat ulama-ulama punya kaitan antara satu dengan yang lainnya. Qasim Zaman menggambarkan bagaimana Mesir pada masa Sadat dan Mubarak menjadikan ulama lunak karena negara sangat otoriter dan mampu menguasai ulama-ulama AlAzhar. Ulama-ulama pinggiran yang tak terakomodir akhirnya membuat koalisi dengan Ikhwanul Muslimin atau aktivisaktivis lain yang lebih radikal. Hal ini bisa dibandingkan juga dengan Indonesia. MUI pada zaman Suharto hampir sama dengan ulama di Mesir ketika itu. Ulama-ulama yang tak terakomodir pemerintah sehingga tidak lunak itu punya hubungan kuat dengan jaringan internasional. Itu nampak ketika 47
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
mereka diberi ruang seperti sekarang. Orang seperti Hartono Ahmad Jaiz, kalau dia mau disebut ulama, adalah salah satu contohnya.
Dem
o
Jadi tesis Zaman berdasarkan teori Wickham dan Zhegal soal dinamika y aktivisme ulama sama dengan yang a c dibilang Mas Ulil di awal. Aktivisme cr ulama sangat dinamis tergantung konteks negara masing-masing. Mereka saling berebut mencari otoritas, baik otoritas politik maupun keagamaan, ketika mereka membicarakan, misalnya, agama dan negara harus seperti apa, reformasi yang dikembangkan seperti apa. Zaman cukup bagus dalam menjelaskan aktivisme ulama di masingrp masing negara.
Pe
Ihsan Ali-Fauzi Nurul punya banyak riset yang menunjukkan bagaimana banyak orang mati gara-gara konservatisme ulama. Mungkin Nurul bisa cerita. Nurul Agustina Ya kebetulan kantor kami juga punya 48
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
counter-office di Pakistan. Tahun lalu kami sempat ke sana untuk semacam regional forum, kemudian Oktober lalu di Yogyakarta.
Pro
je
D
ig
ital
ct kaa
n
Kantor kami adalah Rutgers World Population Foundation. Seperti dibilang Budhy, tantangan terbesar yang dihadapi teman-teman di Pakistan adalah para ulama sehingga mereka hampir tak bisa bergerak untuk mengerjakan isu-isu yang menjadi concern kami. Kita bekerja di bidang kesehatan reproduksi, sexual and reproductive health and rights, terutama untuk remaja dan perempuan. Kita punya program comprehensive sexual education. Di Indonesia itu berjalan sangat baik. Kita bekerja untuk level SMP, SMP, pre-school, bahkan untuk deaf and blind dan untuk penjara, kita bisa masuk dengan mudah. Tapi di Pakistan tidak bisa. Di sana menyebut kata “seksual” pun tak boleh. Bagaimana kita bisa memberikan pendidikan seksual komprehensif kalau kata “seksual” sendiri tak boleh disebut. Kesehatan reproduksi di sana sangat bermasalah. Bisa dibayangkan kalau
49
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
angka aborsi di sana hampir tidak ada. Bukan karena tidak ada kasusnya tapi memang tidak pernah menjadi perhatian. Ulama-ulama melarang itu dibicarakan.
Dem
o
Pendidikan seks tidak berkembang sama sekali. Sebuah program yang sebetulnya cy a sangat sederhana, “Dance for Life”, r c “Menari untuk kehidupan”, suatu upaya pencegahan HIV melalui pendekatan musik dan tari, di sana susah dijalankan karena ada kata “dance”-nya. Jadi bukan hanya “seks” tapi “dance” juga tidak boleh.
Pe
Situasinya agak menyedihkan karena angka aborsi di sana memang tinggi sekali dan hampir semuanya unsafe rp abortion. Perkawinan di bawah umur us juga tinggi. Saya baru baca beberapa ta hari yang lalu di koran Pakistan bahwa 10 persen anak perempuan usia 1014 tahun terpaksa keluar dari sekolah karena dinikahkan. Kalau kita hitung dari usia 10-17 tahun, jumlahnya kira-kira sama dengan Indonesia. Sebuah survey di Indonesia bilang 33,5 persen anak perempuan harus keluar dari sekolah karena dikawinkan orang tuanya. 50
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Itu hasil survey PLAN Internasional Indonesia di empat provinsi. Hasil survey Indonesian Young Adult Reproductive Health juga angkanya sekitar itu.
Pro
je
D
ig
ital
ct
Yang saya ingin tanyakan, 60 persen populasi penduduk Pakistan itu kan orang muda, 30 tahun ke bawah, dengan piramida penduduk seperti itu, apakah Pakistan punya masa depan dengan isuisu seperti kesehatan reproduksi dan sebagainya? Mereka keburu mati kalau misalnya menyebut “seksual” saja tidak boleh, pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk mengobati mereka tidak boleh. Siapa di antara orang-orang Pakistan yang masuk ke madrasahmadrasah? Siapa dan dari kelompok sosial mana yang menyekolahkan anaknya ke madrasah-madrasah dan seberapa besar pengaruhnya?
kaa
n
Orang Pakistan sampai bilang, “kita harus belajar dari Indonesia”, maksudnya dari kantor kami, “bagaimana sih kalian bisa bicara soal kesehatan reproduksi, soal pendidikan seks”? Itu tak bisa masuk di kepala mereka sampai mereka menyaksikan sendiri bahwa kita tak hanya punya madrasah tapi bahkan kita punya 51
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
c
Dem
Anick HT
o
pesantren waria di Yogyakarta, misalnya. Waktu kita workshop di Yogyakarta, dari 30 peserta, 26 di antaranya minta ke sana, 4 sisanya ke PKBI. Pesertanya itu berasal dari NGO-NGO Pakistan, Vietnam dan Indonesia. Mereka ingin belajar dari pengalaman kita membangun cy a partnership. r
Pe
Mas Ulil tak bicara banyak soal friksi antara Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah. Qasim Zaman beberapa kali menyebutkan bahwa Ahmadiyah memang ditentang oleh semua kalangan yang mengaku Islam. Saya pernah baca buku Ahmadiyah bahwa mereka punya polemik panjang rp pada masa Mirza Ghulam Ahmad. Salah satu alasan kenapa orang Ahmadiyah tidak mau bermakmum kepada orang Syiah atau Sunni itu menarik. Dia bilang, “orang Syiah mengatakan bahwa orang Sunni kafir dan tak mau berimam kepada orang Sunni. Orang Sunni juga mengatakan demikian. Lalu bagaimana kami bisa bermakmum terhadap orang yang dianggap kafir oleh 52
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Sunni?”
Pro
je
D
ig
ital
ct kaa
n
Saya beberapa kali mengunjungi komunitas Muslim di sana (India). Mereka tinggal di enclave-enclave. Mereka terdiri dari komunitas yang berkumpul dan menurut saya mereka agak tertutup. Mereka punya banyak madrasah karena mereka memang berkumpul di kampungkampung dan beberapa tempat. Orangorang non-Muslim di sana cenderung merasa bahwa mereka memang tak layak ditemani karena mereka menutup diri. Mereka keluar belanja ke pasar dengan memakai cadar dan tak berkomunikasi seperti halnya orang lain. Dalam kondisi semacam itu, pemerintah di beberapa negara bagian di India betul-betul berusaha menggali sejarah Islam. Ada kerajaan Hyderabad, ada Tipu Sultan, yang merupakan sejarah-sejarah yang betul-betul dimanfaatkan negara untuk merangkul komunitas Muslim agar terintegrasi dengan komunitas lain. Orang seperti Ashgar Ali itu benar-benar dimanfaatkan oleh negara layaknya Cak Nur di sini. Asghar Ali kira-kira menemukan tempatnya di mata negara 53
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
untuk merayu komunitas Muslim supaya lebih terbuka. Tapi itu sangat berat, terlebih setelah kasus Gujarat 2001 dan 2002 yang sangat traumatik—di mana 2000an Muslim terbunuh karena konflik Islam-Hindu--sehingga Muslim semakin menutup diri.
o
cy a Saya kira koneksi antara Muslim di r c Pakistan dan Muslim di India tak
Dem
pernah terputus. Yang berbau politis itu memang Pakistan. Sejauh kesan yang saya tangkap, Muslim India itu apolitis tapi juga sangat konservatif dan tertutup. Karena pengaruh Pakistan yang masuk atau tersisa di beberapa wilayah di India, mereka jadi radikal secara politis.
Pe
Ihsan Ali-Fauzi
rp
Saya ingin mempermudah Ulil. Saya senang buku ini karena analisisnya baru, analisis sosial politik, tentu saja dinamis, tentu bervariasi, tentu mereka akan mempertahankan diri, it also depends on the state, intrusion-nya bagaimana, dan sebagainya. Itu yang menjelaskan bagaimana perbedaan antara bagaimana ulama bisa bertahan 54
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
di negara tertentu tapi tidak di negara lain. Tapi pertanyaannya, kalau ulama itu custodian of change, change-nya mau ke mana? Kalau change yang mereka bawa itu ke arah ketidakadilan, apa boleh buat ulama itu akan kita lawan, tak peduli saya modernis atau fundamentalis.
je
Marbawi Katon
D
ig
ital
ct kaa
n
Custodian itu lebih tepat diterjemahkan sebagai pialang. Seperti kata Zamakhsyary, perubahan itu dikelola dan dimainkan, persis seperti politisi. Ihsan Ali-Fauzi Ya, bahkan dalam diskusi dengan Novri soal Arab Saudi, fatwa bisa berubah dan bertentangan sama sekali. Dan mereka tak hanya berhadapan dengan negara atau kelompok modernis saja tapi juga dalam disiplin ilmu. Kalau dilihat dari perkembangan sejarahnya, mereka pada umumnya adalah orang-orang yang bekerja dalam wilayah fikih dan ahli hadits. Mereka tak terlalu suka dengan sufi kecuali yang muncul belakangan seperti pada 55
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Dem
o
ulama NU. Pada awalnya mereka tak terlalu menyukai sufi karena sufi lebih kepada bathiniyah sementara mereka lebih kepada yang dzahir. Mereka juga tak terlalu suka pada filsafat. Itulah sebabnya Ibnu Rusyd ribut dengan AlGhazali, “memang kamu punya otoritas y apa sehingga kamu bisa bicara soal a c agama?” cr
Pe
Kembali lagi ke soal perubahan, kalau yang dipertahankan ulama adalah nilai-nilai yang bagi Nurul merusak, ulama menjadi masalah. Bisakah kita menerka arah perubahannya? Can we say something about what is moderate? Apa isi moderat itu secara nilai, bukan secara gradasi. r Novriantoni Kahar
p
Kesan saya agak berbeda dengan Kak Ihsan. Menurut saya buku ini agak merumit-rumitkan persoalan. Persoalannya simpel, ulama di dunia modern ini mau apa? Perannya di dunia sosial, politik, kebudayaan apa? Penting atau tidak perannya? Dia ingin membantah asumsi di Barat bahwa 56
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
ulama itu statis, tidak bekerja apa-apa dan tidak ada gunanya. Dia tunjukkan statistiknya, pesantren bertambah dan perannya ada. Tapi menurut saya dia agak gagal dalam menunjukkan bahwa ulama-ulama ini makin penting perannya. Makna custodian of change di sini apa?
je
D
ig
ital
ct kaa
n
Dia misalnya menyebutkan contoh ulama Saudi, Safar Al-Hawali. Dia adalah seorang Sahwi revivalis yang sebetulnya hanya seorang sempalan biasa yang tak terlalu penting perannya di Saudi tapi dia jadikan kasus yang seakan-akan penting sekali. Al-Azhar pun ditunjukkan perannya di sini tapi hanya untuk menunjukkan bahwa mereka tak signifikan juga perannya ketika dihadapkan dengan besarnya kooptasi negara. Pada akhirnya ulama itu penting, tapi pentingnya ya mengelola pesantren dan mencerdaskan masyarakat saja, tidak perlu muluk-muluk. Dia berperan mencerdaskan Ulil, mencerdaskan Ihsan Ali-Fauzi, membahasaarabkan kesehatan reproduksi. Inilah perbedaan ulama dengan kalangan 57
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
revivalis yang ingin mengubah dunia. Mereka sebetulnya bekerja tanpa resiko karena mereka tak punya institusi yang harus dirawat. Sementara ulama yang di pesantren punya pertimbangan panjang untuk terlibat dalam kegiatan sosial politik yang lebih aktif. Karena itu wajar kalau mereka lebih statis.
c
Dem
o
Ada satu tulisan di Foreign Policy tentang perbandingan kelahiran demokrasi di Indonesia dan Mesir. Ada banyak persamaan disebutkan. Perbedaan penting yang disebutkan di situ salah satunya adalah perbedaan antara peran ulama Al-Azhar dengan ulama NU, Muhammadiyah dan lainnya di Indonesia yang tak sepenuhnya rp terkooptasi oleh negara.
cy a r
Pe
Ulama di sini independen serta survive dengan kehidupan pesantrennya dan di masa kritis mereka muncul sebagai agen penting dalam mengawal perubahan sosial politik. Sementara ulama Al-Azhar di Mesir terkooptasi sepenuhnya dan oposisi terbesar negara adalah Ikhwan. Mereka sekarang memainkan peranan penting meski setelah revolusi di Mesir, 58
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Al-Azhar juga sebetulnya semakin kuat perannya.
Pro
je
D
ig
ital
ct kaa
n
Jadi dia menjadi lebih relevan setelah tidak terkooptasi. Orang mencari alternatif dari pandangan Islamis dan kungkungan militerisme. Orang mencari suara alternatif dari ulama moderat. Mereka jugalah yang bisa beraliansi dengan kelompok-kelompok sekular dan lain-lain sehingga perannya lebih lintasbatas ketimbang kelompok revivalis. Saya kira dia agak gagal dalam mementing-mentingkan ulama di sini. Dia ingin membantah dengan menunjukkan bahwa ulama itu sebetulnya penting tapi menurut saya dia gagal. Chaider Bamualim Saya menemukan satu istilah di buku Stephen Humphreys, Islamic History. Dalam satu chapter tentang “the role and the status of ulama in Islamic society”, dia menyebut ulama sebagai “The Cultural Elite”. Menurut saya itu kata kunci. Definisi Mas Ulil tentang ulama menurut Zaman adalah “kelas sosial dalam 59
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Dem
o
masyarakat Islam yang mendasarkan legitimasi sosialnya pada peran intelektual sebagai penerus tradisi pemikiran yang berasal dari Islam klasik”. Definisi ini tidak mempersoalkan banyak hal seperti soal kelas sosial, misalnya. Apakah itu kelas sosial ekonomi cy atau apa? Kalau saya cenderung r a c menyebutnya social group. Soal Islam klasik juga apakah hanya kelompok ulama saja yang boleh mengklaim sebagai pelanjut atau ada kelompok lain yang boleh mengklaim itu?
Pe
Tapi peran intelektual, tradisi, dan mungkin concern utama ulama memang di bidang-bidang kebudayaan. Ini memudahkan kita untuk membuat rp kategorisasi ulama dan membantu us Tantowi keluar dari keruwetan ta mendefinisikan apakah Hartono Ahmad Jaiz itu ulama atau bukan. Dia jelas bukan ulama karena sphere concernnya politik. Demikian juga kelompokkelompok seperti HTI dan sebagainya. Concern saya pada definisi itu adalah untuk memudahkan kita menjelaskan ulama dari segi kategori sosial. Tidak 60
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
semua orang mengklaim sebagai ulama. Ada istilah lain yang bagus dari Roy Mottahedeh. Dia menyebut istilah “ulamalogy”. Jadi studi keulamaan memang penting kita kembangkan.
Pro
Ade Armando
je
D
ig
ital
ct kaa
n
Saya ingin membawa soal ini ke Indonesia lagi. Ulama itu sebetulnya masih penting atau tidak di Indonesia saat ini? Janganjangan kita hanya membuat statement saja bahwa ulama masih penting tapi realitanya makin lama makin tidak penting. Siapa yang jadi ulama sekarang? Proses menjadi ulama seperti apa? Apakah madrasah atau pesantren masih penting dibandingkan dengan lahirnya sekolah-sekolah Islam terpadu (SDIT)? Menurut saya sekolah-sekolah Islam terpadu itu penting karena mengajarkan agama secara agak sistematis. Saya berusaha mengaitkan dengan bagaimana anak-anak yang dibesarkan di sekolah Islam terpadu, masuk ke SMA, dibesarkan dengan program beasiswa, lalu masuk ke kampus dan menguasai BEM. 61
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Dem
o
Maksud saya, ketika kita membawanya ke Indonesia, kita perlu mengidentifikasi secara agak lebih hati-hati. Sebagai contoh, apakah lahirnya ulamaulama televisi itu baik atau tidak? Jawabannya kebanyakan buruk, sampah dan sebagainya. Tapi yang penting cy adalah ulama-ulama yang muncul di r a c televisi itu mencairkan siapa itu ulama karena ulamanya pelawak. Kalaupun Nasaruddin Umar muncul di televisi, dia tidak terkenal. Yang terkenal adalah Mamah Dedeh, Ustadz Solmed dan sebagainya. Blessing in disguise-nya menurut saya adalah mereka membuat kita memahami ulama sebagai orang yang tak suci-suci amat, hanya luculucuan. r
Pe
p
Seperti cerita Nurul tadi, di Indonesia kita bisa membicarakan kesehatan reproduksi. Beberapa hari yang lalu saya kaget sekali ketika pagipagi sekali Mamah Dedeh live, ibuibu boleh bertanya, dan salah satu pertanyaannya, saya mohon maaf agak sensitif, “Mamah Dedeh, suami saya kalau mau berhubungan cepat sekali keluarnya”. Jawaban dia, ya manusia itu 62
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
tak semuanya sempurna dan seterusnya. Pagi-pagi bisa membicarakan ereksi di televisi oleh orang yang bisa dianggap ulama. Tapi bukan itu persoalannya melainkan apakah ulama masih penting atau tidak? Sekarang cara pandang kita terhadap ulama sudah cair.
je
D
ig
ital
ct kaa
n
Ketika MUI membuat fatwa, pertanyaannya adalah apakah orang menurutinya? Ya fatwa itu memberi justifikasi buat kelompok-kelompok seperti FPI untuk membakar Ahmadiyah. Tapi ketika MUI memfatwakan infotainment haram, orang tidak ada yang menurut. Kita juga disuguhi dengan pertaruhan seperti perbedaan hari raya Idul Fitri melalui show di depan publik. Orang malah heran, itu ulama sedang apa? Jadi kita perlu lihat lagi apakah di Indonesia ulama masih penting? Kedua, kalaupun ada yang disebut ulama, lalu yang mana? Sebetulnya di mata orang, yang disebut sebagai ulama itu yang mana? Proses menjadi ulamanya seperti apa? Perlu juga dimasukkan pemahaman terhadap tumbuhnya bentuk-bentuk 63
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
pendidikan baru di luar madrasah dan sekolah modern. SDIT-SDIT itu dibesarkan oleh orang-orang PKS yang mungkin pemahaman Islamnya tak sebagus orang-orang UIN.
cy a Banyak hal yang bisa ditanggapi tapic r saya akan memilih beberapa poin yang o
Ulil Abshar Abdalla
Dem
ingin saya komentari. Pertama, menurut saya, dengan posisinya sebagai seorang sarjana, Qasim Zaman berusaha untuk berada dari dalam kelas sosial. Di sini saya memang menyebutnya sebagai kelas sosial. Itu bukan istilah Zaman tapi dari saya sendiri. Apakah itu tepat atau tidak, kita bisa diskusikan.
Pe
rp
64
Zaman mencoba untuk masuk ke dalam kelas sosial yang bernama ulama untuk melihat dinamika yang berkembang di sana. Dia bukan orang yang berada di luar kelompok ini kemudian memberikan penilaian apakah ini penting atau tidak. Dia masuk ke dalam dan mencoba menjelaskan kepada orang di luar bahwa kelas sosial atau kelompok sosial ini sebetulnya tidak seperti yang dibayangkan dari
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
luar bahwa mereka tidak merespon perubahan. Ulama mengawal perubahan dengan argumentasi yang kokoh dari tradisi mereka sendiri supaya perubahan itu tidak out of control.
Pro
je
D
ig
ital
ct kaa
n
Jadi istilah custodian di sini menunjukkan bahwa mereka bukan generator of change. Perubahan-perubahannya sebetulnya diciptakan orang lain tetapi dia berusaha untuk mengawal agar perubahan ini tidak terlalu mengguncang masyarakat. “Change”-nya datang dari berbagai pihak; negara, masyarakat, struktur ekonomi yang berubah dan sebagainya. Tapi dia mencoba untuk mengawal perubahan itu dengan menempatkannya dalam tradisi yang mereka pahami. Jadi, kondisi ulama memang menjadi orang yang masuk ke dalam kelas atau kelompok sosial ini dan menjelaskannya dari dalam. Buku ini memang membela ulama. Tone buku ini adalah membela ulama. Saya tahu Qasim Zaman pasti punya kritik terhadap pandangan ulama, apalagi di Pakistan. Saya yakin Qasim Zaman punya pertanyaan-pertanyaan serupa dengan pertanyaan yang diajukan Nurul tadi. 65
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
o
Ulama-ulama ini kan macam-macam. Qasim Zaman pasti tidak suka dengan corak-corak pandangan tertentu yang berkembang di kalangan ulama. Tetapi dia tidak membicarakan ulama secara kasuistik melainkan ulama sebagai kelompok atau kelas sosial yang besar dan kebetulan fokus dia adalah India a c y dan Pakistan. cr
Dem
Salah satu ciri khas ulama di India, tadi Marbawi menyebut soal independensi ulama, itu hampir sama dengan di Indonesia. Anick menyebut juga bahwa ulama di Pakistan lebih politis dibanding di India. Itu betul. Salah satu kelompok ulama yang muncul dari tradisi Deobandi adalah suatu gerakan yang rp disebut Nadwatul-Ulama. Salahseorang tokohnya yang penting adalah Abul u s ta Hasan Ali An-Nadwi. Yang paling ekstrim tentu adalah Jamaah Tabligh. Dua gerakan ini punya ciri yang sama, yakni mereka apolitis. Jamaah Tabligh lebih apolitis sementara Nadwatul Ulama apolitis tetapi bukan berarti tidak peduli pada isu-isu sosial. Mereka peduli tetapi mereka tak berupaya membawa ideologi politik Islam seperti yang diperkenalkan oleh Maududi, misalnya.
Pe
66
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
je
D
ig
ital
ct
Sebetulnya banyak ulama-ulama, setahu saya dari Barelwi, yang membuat tulisantulisan yang mengkritik Maududi. Sayangnya di sini tidak disinggung oleh Qasim Zaman. Ada banyak ulama tradisional di India yang membuat tulisan sanggahan terhadap gagasan Maududi mengenai negara. Sanggahan mereka bukan sanggahan sekular melainkan sanggahan yang datang dari tradisi mereka sendiri. Mereka sama sekali tak memakai analisis modern. Mereka mengkritik Maududi, misalnya, dengan cara melihat bagaimana Maududi melihat ayat dan hadis, apakah secara gramatik sesuai dengan pemahaman para ulama klasik atau tidak.
kaa
n
Jadi, seperti Marbawi bilang, ulama-ulama ini sebetulnya merupakan “bumper” yang paling bagus terhadap Islamisme karena mereka punya tradisi sendiri yang membuat mereka tidak suka Islamisme. Di Turki, misalnya, kelompok-kelompok seperti Barelwi membuat penerbitan sendiri dan mereka membagikannya secara gratis ke berbagai negara Islam. Mereka tidak suka terhadap Maududi bukan karena dia dianggap tidak Islami atau apa tetapi karena gagasan dia 67
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
tak bisa dipertahankan berdasarkan argumentasi pemikiran Islam klasik.
Dem
o
Baik kelompok Ahlul Hadits, Barelwi maupun Deobandi, punya ciri yang hampir sama, mereka apolitis. Mereka tak terlalu berambisi untuk merumuskan y suatu ideologi negara Islam seperti a c yang dilakukan Maududi. Salah satu cr ketidaksukaan kelompok ini terhadap Maududi saya kira ada kaitannya dengan otorita. Maududi tak pernah bersekolah di madrasah atau pesantren, tak pernah mengikuti tradisi Dars-i-Nizami, tiba-tiba dia datang dengan term negara Islam.
Pe
Qasim Zaman merujuk pada satu pendapat yang dikemukakan Sherman rp Jackson. Dia adalah sarjana Afro-Amerika Muslim yang menulis disertasi mengenai u s ta Al-Qarafi, seorang ulama dari madzhab Maliki, tentang teori negara. Jackson membela tradisi taklid dalam Islam yang menurutnya tidak seperti digambarkan kaum modernis bahwa taklid itu adalah semata-mata mengikuti tradisi. Menurut Jackson, taklid itu adalah peralatan intelektual yang memungkinkan ulama untuk tetap independen dan tidak 68
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
diintervensi oleh negara.
Pro
je
D
ig
ital
ct ka
an
Taklid itu intinya orang bekerja berdasarkan suatu metode tertentu. Dengan metode yang kuat, tidak ada kelompok di luar peer group mereka yang bisa tiba-tiba menyelonong lalu ikut ngomong tapi tidak menguasai tradisi ini. Jackson melihat bahwa taklid berfungsi untuk menjaga otonomi. Ini bagus untuk mengingatkan bahwa sebetulnya ulama punya cara sendiri untuk mengetes apakah sebuah gagasan itu masuk akal atau tidak dari sudut pandang Islam. Itu dimungkinkan karena ada metodologi yang diikuti secara taklid dan otonomi ada pada ulama. Kedua, apakah ulama penting atau tidak? Terlepas dari apa yang dikatakan Qasim Zaman, menurut saya, secara faktual, kelompok atau kelas sosial ini hidup terus dengan musuh-musuh yang begitu banyak dari berbagai arah. Mereka terutama bisa survive terhadap negara nasional.
69
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Ihsan Ali-Fauzi
Dem
o
Saya mau ganggu sedikit di situ. Zaman juga berbicara mengenai suatu keluarga besar ulama di India yang dulu besar tapi terus hilang. Artinya, jangan-jangan sebenarnya ada yang hilang tapi karena kita tak mencatatnya jadi tidak diketahui. cy a Kita seringkali mencatat yang tumbuh r c dan baru datang saja. Ali misalnya cerita bahwa Pabelan itu fading karena konflik terus-menerus di dalam keluarga dan sebagainya. Jangan-jangan di daerah sana ada yang dulu kuat tapi terus lewat dan kita tak catat karena yang biasa kita catat adalah yang baru naik.
Pe
Ulil Abshar Abdalla
r
p Mungkin ada kasus satu atau dua us madrasah yang hilang tetapi Darsta i-Nizami itu selama 200 tahun lebih bertahan sampai sekarang. Itulah yang mau dijelaskan Qasim Zaman, kenapa mereka bisa hidup? Terlepas dari penting atau tidak, sebagai fakta sosial, mereka terus bermutasi dan menyesuaikan diri dengan perkembangan. Zaman mengatakan 70
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
bahwa ulama kadang-kadang berubah bukan karena mereka ingin berubah tetapi karena terpaksa. Kalau tidak berubah mereka akan tergerus. Ihsan Ali-Fauzi
Pro
je
D
ig
ital
ct kaa
n
Tadi Chaider bicara soal cultural elite. Clifford Geertz pernah menulis mengenai ulama di Jawa sebagai the cultural broker. Seorang aktivis Muhammadiyah pernah bilang, dulu ada kiyai khos, sekarang ada kiyai cash. Ali Munhanif Apa sebetulnya agenda ulama? Asumsikan dia tak punya agenda sehingga fleksibel dan bisa bermetamorfosis mengikuti ritme yang berkembang di luar, entah kolonialisme atau nation state dan sebagainya. Nyatanya ulama di negara-negara komunis habis. Sejauh struktur tidak menyediakan ruang untuk melakukan mutasi dan bereproduksi, tidak ada insentif bagi ulama untuk bertahan. Di Bosnia, Yugoslavia dan Albania semua habis padahal sampai abad ke-19, mereka masih berhubungan dengan Turki Usmani dan mengirim 71
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
ulama-ulama sekolah ke Al-Azhar.
Dem
o
Kita bayangkan seandainya ada agenda ulama. Mereka mengorganisir diri, terlibat dalam perumusan konstitusi dan membuat departemen agama. Kiyai Wahid Hasyim merumuskan agendaagenda seperti membuat IAIN pada a c y r 1951 dan sebagainya. Ulama rupanya c punya agenda yang mungkin dipotret Geertz pada tahun 1970-an sebagai cultural broker.
Pe
Pada awalnya dia memang tak punya agenda. Ulama dalam struktur sosial masyarakat Muslim pun komunal saja. Ibarat potret Graf, ulama dianggap sebagai penguasa wilayah-wilayah rp perdikan sehingga agendanya political economy saja. Dia membuat justifikasi, u s ta membuat madrasah sebagai bagian dari guardian of culture. Tetapi lalu muncul negara modern. Dia awalnya tak tahu apa itu negara modern, paling jauh ya sawahnya dia saja. Tapi kemudian ada ulama yang masuk ke dalam parlemen, ikut merumuskan konstitusi. Ulil tadi bilang bahwa ulama tradisional punya kritik serius terhadap Maududi 72
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
je ct
tentang negara. Hal itu tidak terjadi di Indonesia pada tahun 1955 sampai 1929 karena kiyai Masykur bersaing dengan Natsir. Ini yang missing dari poin-nya Zaman. Ketika imagined communities itu di-introduce oleh para nasionalis di negara-negara itu, ulama tak punya bayangan tentang imagined community. Tetapi dia lalu, dalam pengamatan Geertz, menjustifikasi itu dengan tradisinya.
D
ig
ital
Ulil Abshar Abdalla
kaa
n
Ini menarik karena menurut saya ulama itu memang tidak punya agenda. Sebagai contoh, ulama-ulama yang menolak penundukan madrasah ke dalam yurisdiksi sistem pendidikan nasional mengatakan bahwa, “biarkan kami menyelenggarakan pendidikan agama seperti yang kami warisi dari tradisi sebelumnya. Berilah kami otonomi.” Jadi sebetulnya kepentingan mereka, kalaupun mereka punya agenda, adalah meneruskan ilmu-ilmu Islam saja. Hal-hal yang lain sebetulnya sekunder. Mereka bisa beradaptasi dengan berbagai lingkungan. Mereka bisa masuk partai dan bisa beradaptasi dengan pemerintah 73
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
nasional, tetapi core-business mereka adalah pendidikan agama saja.
Dem
o
Perubahan tentu ada. Revolusi Iran, hubungan dengan ulama Saudi dan seterusnya memang membuat make up ulama agak sedikit beda. Tetapi poin Qasim Zaman adalah bahwa core ulama cy a sebetulnya Dars-i-Nizami. Mereka r c ingin merawat tradisi ini dan mereka meminta pemerintah agar memberikan otonomi untuk tetap mempertahankan tradisi ini. Dalam konteks India, hal itu dimungkinkan karena mereka tidak hidup di dalam pemerintahan Islam melainkan pemerintahan sekular yang memungkinkan mereka bisa menikmati otonomi relatif untuk tetap meneruskan rp tradisinya.
Pe
Ihsan Ali-Fauzi Itu pun sebenarnya tidak asli-asli amat. Pada awalnya itu juga adalah reaksi, yaitu ketika kolonialisme membawa definisi baru mengenai apa itu agama, negara dan sebagainya. Mereka bilang, “saya mengurusi negara, kamu mengurusi agama saja”. Itu kan mengambil peran dari ulama yang tadinya mau lebih 74
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
banyak. Ulil Abshar Abdalla
Pro
je
D
ig
ital
ct kaa
n
Itu saya koreksi. Itu tidak benar juga karena ulama pada masa klasik pun adalah kelas sosial yang independen. Tentu saja ada beberapa ulama yang bekerja di pemerintahan. Tetapi ulama sebagai kelas sosial itu sebetulnya independen. Mereka mengembangkan diskursus yang tidak dikontrol negara dan tak bisa dikontrol negara. Mereka sebagai kelompok sosial juga tidak dikontrol negara, terutama ulama fikih. Mereka dari dulu seperti itu. Mereka tak punya agenda karena ketika mereka punya agenda, mereka kaum Islamis atau revivalis. Kalau mereka masih ulama dalam pengertian tradisional, kepentingan mereka hanya tafaqquh fiddin. Apakah dengan begini ulama menjadi penting atau tidak, saya tak terlalu ingin memberikan komentar. Ali Munhanif Tapi itu penting untuk menjelaskan kirakira pola sekularisasi di dunia Islam itu 75
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
bagaimana dalam konteks pertanyaan Ade tadi? Ulil Abshar Abdalla
Dem
o
Saya justru ingin mengaitkan ini dengan pengalaman Amerika. Di Amerika ada dua model sekularisasi: Sekularisasi cy a model Jefferson dan sekularisasi modelr c Roger Williams. Thomas Jefferson ingin memisahkan agama dan negara karena khawatir kalau agama masuk ke negara akan merusak negara.
Pe
Sebaliknya, Roger Williams mengatakan bahwa kalau agama dan negara disatukan, agama yang akan direcoki oleh negara. Jadi, argumentasi Roger Williams untuk menjaga otonomi agama adalah untuk rp melindungi agama dari korupsi yang kirau kira bisa muncul kalau diintervensi oleh s t a negara. Saya rasa insting ulama adalah seperti tampak pada Roger Williams. Mereka agak curiga terhadap negara, baik itu negara Islam ataupun negara sekular. Pada dasarnya negara merupakan institusi sosial yang bersaing dengan ulama sebagai institusi sosial juga. 76
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
Mereka punya kepentingan sosial ekonomi politik sendiri yang berbeda, itu sebabnya saya menyebutnya kelas sosial. Core-nya tentu menjaga ilmuilmu agama tapi mereka bersaing juga dengan kelas-kelas sosial yang lain, termasuk negara.
je
Ade Armando
D
ig
ital
ct ka
an
Anda sedang membicarakan Pakistan atau Indonesia? Itu semua menurut Anda terjadi di Indonesia sekarang? Mereka menikmati otonomi relatif, independen, ingin menjaga diri dari intervensi negara? Ulil Abshar Abdalla Tentu ada variasi yang berbedabeda tetapi saya rasa pattern itu ada pada semua negara Islam, termasuk di Indonesia. Meski tersembunyi, tetapi perasaan renggang terhadap kekuasaan politik itu ada pada ulama. Bukan semata-mata karena ada hadis yang mengatakan bahwa kalau ulama mendekati kekuasaan akan begini dan begitu tetapi saya kira ada penjelasan ekonomi politik yang lebih mendasar. 77
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Yang pertama karena sebetulnya ulama dan negara adalah dua lembaga sosial yang bersaing. Kedua, mereka punya kepentingan sendiri untuk menjaga ilmuilmu keislaman yang menjadi core bisnis mereka.
cy a r
Ali Munhanif
Dem
o
c SDIT sekalipun mungkin juga adalah justifikasi ulama di lingkungan PKS untuk mendiseminasi Islam versi mereka. Kalau saya boleh membuat metafor, sekarang ini partai-partai Islam tak mungkin survive tanpa lembaga pendidikan. Mereka mengikuti NU, Muhammadiyah, dan sekarang PKS. Di situlah moral role dalam institusi sosial. Pe
Ade Armando
rp
Saya justru menangkap bahwa melalui proses itu, itikad atau keinginan untuk terlibat dalam politik diajarkan sejak kecil. Kalau dikatakan ada keinginan untuk menjaga jarak dari politik, saya duga tidak. Kelompok-kelompok tarbiyah di kampus itu pada awalnya menyebut diri sebagai kelompok belajar. Tapi kalau kita lihat polanya, ujung-ujungnya adalah 78
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
motivasi politik. Mungkin bukan berarti bahwa tujuan akhir mereka adalah politik tapi mereka tahu bahwa mereka harus masuk ke dalam politik. Ulil Abshar Abdalla
Pro
je
D
ig
ital
ct kaa
n
Mereka itu kaum revivalis, tidak mewarisi tradisi keulamaan mainstream. Begitu mereka punya agenda politik, mereka umumnya cenderung kelompok revivalis. Kelompok ulama sendiri dari awal tidak terlalu bersemangat memasuki dunia politik karena mereka sudah menikmati comfort zone-nya sendiri. Mereka punya umat sendiri, punya lembaga sendiri, dan mewarisi tradisi berabad-abad. Mereka tak butuh lagi pemerintahan karena mereka sudah menikmati role-nya. Ihsan Ali-Fauzi Ada satu tulisan Cak Nur yang bercerita mengenai situasi yang mengawali lahirnya ulama seperti ini. Dalam pengantarnya yang panjang untuk Khazanah Intelektual Islam, dia mengawali dengan perpecahan-perpecahan seperti Ali dan sebagainya yang kemudian melahirkan 79
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
satu kelompok orang yang tidak tega melihat perpecahan-perpecahan seperti ini lalu mengambil jarak. Itulah yang kemudian disebut sebagai ahlu-sunnahwal-jamaah yang kira-kira adalah bagian dari orang yang mengasingkan diri dari konflik-konflik politik. Asal-usulnya kirakira seperti itu.
cy a r
Dem
o
c Tetapi dia kemudian mengkristal pada spesialisasi ilmu. Yang paling jelas adalah ketika syariah dianggap sebagai fikih. Fikih kemudian menjadi dominan sehingga ulama diartikan menjadi ulama fikih. Budhy Munawar-Rachman
Pe
Kalau definisi ulama adalah yang tradisional seperti itu, kecenderungan rp ulama memang akan konservatif. Kalau u kita membaca religious studies di India, s t a ada penelitian mengenai kelompokkelompok agama di India yang melihat mana yang paling toleran dan paling tidak toleran. Yang paling toleran adalah Hindu, Kristen, setelah itu Islam. Yang paling tidak toleran adalah Islam. Yang saya ingin katakan, keadaan masyarakat itu adalah hasil ulama. Begitu 80
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
Pro
definisi ulama menjadi lebih liberal, dia masuk kalangan modernis. Kalau dia punya agenda politik radikal, dia menjadi revivalis. Tapi apakah definisinya harus begitu? Bahwa yang disebut ulama secara mainstream adalah yang tradisional?
je
D
ig
ital
ct kaa
n
Perkembangan NU yang sering disebut bisa membawa banyak agenda yang mengakomodasi isu-isu modern yang penting dalam development itu menjadikan NU beda dengan ulama tradisional kalau kita bandingkan dengan ulama Pakistan, Bangladesh, atau India. Hal-hal yang di sana dianggap sebagai sesuatu yang haram, di sini tidak. Di Bangladesh saya lihat sendiri bagaimana siswa di sekolah madrasah tidak diperbolehkan menggambar. Buku-buku bacaan anak-anak juga tidak ada gambarnya. Marbawi Katon Ulama-ulama aktivis seperti Yusuf AlMakassari yang melakukan peran-peran politik diakui Azyumardi. Tidak ada distingsi yang seketat ini. Kalau memang dia punya perhatian atau agenda politik 81
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
ya dia terjun ke dunia politik dan dia tetap punya karya ulama. Perbedaannya sekarang banyak yang mengaku atau menyebut dirinya ulama tapi tak punya kitab lalu terjun ke politik.
cy a r
Anick HT
Dem
o
Kalangan tradisionalis NU secara c psikologis merasa bahwa, jangankan PKS yang tradisinya modern, yang Gontor saja tak mau disebut ulama. Mereka tak mau menyebut lulusan Gontor sebagai ulama. Chaider Bamualim
Pe
Saya setuju dengan Mas Ulil bahwa ulama itu wilayahnya memang kultural. Saat dia bermain politik praktis, dia tak rbisa p diklaim ulama. Tapi ulama punya wilayah u s ta kekuasaan sendiri. Agenda utama ulama itu hifdzu-din biar orang-orang beriman tidak menjadi kafir. Saat otoritasnya terkonstruksi, dia menjadi wilayah kekuasaan sendiri. Kaum tradisionalis tidak mau mengakui kaum modernis sebagai ulama karena itu merampas wilayah kekuasaannya. Tapi kelompok modernis seperti PKS dan sebagainya 82
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
tidak peduli dengan itu. Mereka menamakan diri sebagai ulama juga. Ihsan Ali-Fauzi
Pro
Oke mungkin Ulil mau memberi satu atau dua kesimpulan besar, silakan.
je
Ulil Abshar Abdalla
D
ig
ital
ct kaa
n
Memang ulama itu pada dasarnya konservatif. Tapi saya tidak mengatakan bahwa ulama tak terkena pengaruh sama sekali. Revolusi Iran, misalnya, punya banyak pengaruh terhadap beberapa ulama di Pakistan. Ulama-ulama Sunni tiba-tiba punya fantasi tentang kemungkinan untuk melakukan revolusi seperti di Iran tapi core mereka tetap seorang ulama. Mereka konservatif tapi tetap bisa berubah dengan berbagai kemungkinan. Dalam bab penutup buku ini, Zaman menyebut satu contoh menarik, Wahid al-din Khan, seorang ulama Deobandi yang sangat liberal. Zaman ingin menunjukkan bahwa ulama bisa bermutasi dengan berbagai kemungkinan. Tapi core tradisi mereka 83
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
tetap konservatif, memelihara ilmuilmu keagamaan tradisional. Kalaupun ada agenda-agenda lain, itu sebetulnya sekunder saja. Kalau dapat syukur, kalau tidak pun tak apa-apa. Ihsan Ali-Fauzi
o
y c a Oke. Jadi pada dasarnya adalahr c mempertahankan sesuatu yang lama Dem
yang baik. Kalau ada sesuatu yang baru yang baik ya boleh diambil.
Pe
Bulan depan kita ke khittah. Kita lupakan ulama sebentar. Bulan depan kita akan membaca buku Anthony Reid bersama Nur Iman Subono mengenai hubungan nasionalisme dengan ethnicity.
r
p Terima kasih banyak atas partisipasinya.[]
84
us
ta
Edisi 003, April 2012 Review Diskusi
© 2012 diskusi ini diterbitkan oleh P r o Review Project, jDemocracy e Yayasan Abad Demokrasi.
ct
Untuk berlangganan, kunjungi www.abad-demokrasi.com
ig
ital
Jika anda berminat mendapatkan naskah buku yang didiskusikan (soft file), silakan klik form permintaan pada website kami. Kode naskah: MQZ001
D
Transkripsi: M. Irsyad Rhafsadi Redaksi: Anick HT
kaa
n
85