Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
RETENSI NITROGEN DAN ENERGI METABOLIS RANSUM YANG MENGANDUNG CACING TANAH (Lumbricus rubellus) PADA AYAM PEDAGING (Nitrogen Retention and Metabolizable Energy of the Ration Containing of Earth Worm Lumbricus rubellus in Broiler Chicken) HETI RESNAWATI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT The aim of this research was to evaluate the effect of processing and level of earth worm (Lumbricus rubellus) in the ration on nitrogen retention and metabolizable energy. Twenty four broiler chicken of Cobb strain at the age of 5 weeks was kept into individual cages. The treatments were three levels of raw earth worm or earth worm meal of 0, 5, 10 and 15%, in the ration respectively. Randomized Completely Design with factorial (2 x 4) and 3 replications was used for nitrogen retention and metabolizable energy analysis. Result showed that nitrogen retention was high significantly different (P < 0.01) but metabolizable energy was not significantly (P > 0.05) influenced by processing and level of earth worm in the ration. It was concluded that Lumbricus rubellus earth worms could be used until 5% to substitute fish meal source of animal protein in broiler chicken ration. Key Words: Nitrogen Retention, Metabolizable Energy, Earth Worms, Broiler Chicken ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengolahan dan taraf pemberian cacing tanah Lumbricus rubellus dalam ransum terhadap retensi nitrogen dan energi metabolis. Sebanyak 24 ekor ayam pedaging strain Cobb berumur 5 minggu ditempatkan dalam 24 kandang individu. Perlakuan terdiri dari ransum yang mengandung cacing tanah segar dan tepung dengan taraf masing-masing 0, 5, 10 dan 15%. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (2x4) dengan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan dan taraf cacing tanah dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap retensi nitrogen tapi tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap energi metabolis. Disimpulkan bahwa cacing tanah Lumbricus rubellus dapat digunakan dalam bentuk segar dan tepung sampai 5% sebagai pengganti tepung ikan sumber protein hewani dalam ransum ayam pedaging. Kata Kunci: Retensi Nitrogen, Energi Metabolis, Cacing Tanah, Ayam Pedaging
PENDAHULUAN Sumber protein hewani yang biasa digunakan dalam ransum unggas khususnya ayam pedaging adalah tepung ikan dan tepung daging yang diperoleh dari lokal dan impor. Untuk mengurangi impor bahan pakan perlu dikembangkan penganekaragaman bahan pakan lokal. Salah satu sumber protein hewani yang berpotensi adalah cacing tanah yang diharapkan dapat digunakan dalam bentuk segar maupun tepung pada formula ransum. Kandungan protein cacing tanah berkisar 64-
76% lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ikan yaitu 58%. Selain itu cacing tanah mengandung asam amino lengkap, berlemak rendah, mudah dicerna dan tidak mengandung racun (PALUNGKUN, 1999). Imbangan energi dan protein (E/P ratio) dalam ransum perlu diperhatikan karena berpengaruh terhadap pertambahan bobot hidup dan efisiensi penggunaan ransum (RAHARJO et al., 1984). Ransum yang seimbang dalam kandungan zat-zat gizinya akan sedikit kehilangan panas (WAHJU, 1988).
663
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Kandungan protein kasar cacing tanah relatif tinggi, namun dalam pemanfaatannya perlu dipertimbangkan mengenai protein tercerna dan imbangan antara protein dan energi dalam formulasi ransum. Informasi mengenai kandungan retensi nitrogen dan energi metabolis cacing tanah dalam ransum belum banyak tersedia. Menurut SCOTT et al. (1982), retensi nitrogen dan energi metabolis merupakan salah satu metoda untuk menilai kualitas protein dan kandungan energi ransum. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengukur konsumsi nitrogen dan energi dikurangi pengeluaran nitrogen dan energi dalam feces dan urine, sehingga diketahui jumlah nitrogen dan energi yang tertinggal dalam tubuh. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pengolahan dan taraf pemberian
cacing tanah dalam ransum terhadap retensi nitrogen dan energi metabolis pada ayam pedaging. MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan ayam pedaging strain Cobb sebanyak 24 ekor yang berumur 5 minggu. Semua ayam ditempatkan pada 24 kandang individu yang terbuat dari kawat dengan ukuran 55 x 35 x 60 cm. Makanan dan air minum diberikan secara ad libitum. Susunan ransum dan komposisi zatzat nutrisinya tercantum pada Tabel 1. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2x4 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah pengolahan (segar dan tepung) dan faktor kedua taraf pemberian cacing tanah dalam ransum (0, 5, 10
Tabel 1. Susunan ransum dan zat nutrisi dengan cacing tanah segar (Lumbricus rebellus) dan tepung cacing tanah Taraf pemberian cacing tanah segar / tepung (%)
Bahan makanan S-0/T-0
S-5
S-10
S-15
T-5
T-10
T-15
Jagung kuning
44
47
52
52
47
52
52
Tepung ikan
15
10
5
0
10
5
0
Cacing tanah segar/tepung
0
5
10
15
5
10
15
Bungkil kedelai
23
22
20
18
22
20
18
Dedak halus
13
11
8
10
11
8
10
Minyak
3
3
3
3
3
3
3
Tepung tulang
1
1
1
1
1
1
1
CaCO3
0.5
0,5
0.5
0.5
0,5
0,5
0,5
Premix
0.5
0.5
0.5
0.5
0,5
0,5
0,5
Total (%)
100
100
100
100
100
100
100
Energi metabolis (Kkal/kg)
2830,94
2840,41
2847,48
2869,48
2653,66
2873,98
2909,23
Protein kasar (%)
22,83
22,26
22,23
21,28
22,00
22,90
21,20
Serat kasar (%)
5,25
3,69
3,232
3,39
3,64
3,23
3,34
Lemak (%)
5,05
4,89
4,72
4,82
5,34
5,62
6,18
Kalsium (%)
2,0
1,55
1,21
0,87
1,55
1,22
0,89
Posfor (%)
0,80
1,07
0,44
0,37
1,10
0,49
0,45
S-0 = Ransum basal tanpa cacing tanah S-5 = Ransum basal + 5% cacing tanah segar S-10 = Ransum basal + 10% cacing tanah segar S-15 = Ransum basal + 15% cacing tanah segar
664
T-0 = Ransum basal tanpa cacing tanah T-5 = Ransum basal + 5% tepung cacing tanah T-10 = Ransum basal + 10% tepung cacing tanah T-15 = Ransum basal + 15% tepung cacing tanah
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
dan 15%). Peralatan yang digunakan adalah tempat pakan, tempat minum, lampu pijar, timbangan, tempat menampung ekskreta, kantong plastik, oven pengering dan alat penggiling sampel. Pengukuran retensi nitrogen dan energi metabolis ransum dilakukan dengan metode FARRELL (1978). Dalam pelaksanaannya, ayam dipuasakan dahulu selama 15 jam, kemudian dilakukan koleksi total ekskreta selama 3 hari berturut-turut. Bersamaan dengan pengumpulan ekskreta dilakukan pencatatan konsumsi ransum, konsumsi air minum, bobot ekskreta per hari. Penampungan ekskreta dalam wadah yang berlapis plastik di bawah kandang. Ekskreta yang terkumpul dibersihkan dari rontokan bulu dan kotoran, kemudian ditambahkan H2SO4 0,3N untuk mengikat nitrogen. Selanjutnya ekskreta dikeringkan di dalam oven dengan suhu 60oC selama 24 jam. Ekskreta kering ditimbang dan dianalisis kadar air, protein kasar dan energi bruto. Peubah yang diukur meliputi retensi nitrogen dan energi metabolis dengan rumus sebagai berikut: RN = KP x NP - BE x NE dimana: RN KP NP BE NE
= Retensi Nitrogen (g ekor-1 hari-1) = Konsumsi Pakan = Nitrogen Pakan = Bobot Ekskreta = Nitrogen Ekskreta
EM = KP x EBP – BE x EBE dimana: EM = Energi metabolis (Kkal/kg) KP = Konsumsi Pakan EBP = Energi bruto pakan BE = Bobot ekskreta EBE = Energi bruto ekskreta
Konsumsi pakan Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diukur, data yang diperoleh dianalisis dengan Sidik Ragam. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan Uji Jarak Duncan (STEEL dan TORRIE, 1993). HASIL DAN PEMBAHASAN Retensi nitrogen Protein adalah zat organik yang mengandung karbon, hidrogen, oksigen, sulfur dan phospor. Manfaat protein pada ayam pedaging untuk pertumbuhan jaringan, hidup pokok dan pertumbuhan bulu (ANGGORODI, 1979). Kualitas protein tergantung pada kelengkapan dan keseimbangan asam amino esensial dan non esensial (SCOTT et al., 1982). Retensi nitrogen merupakan salah satu metode untuk menilai kualitas protein ransum dengan mengukur konsumsi nitrogen dan pengeluaran nitrogen dalam feses dan urin sehingga dapat diketahui jumlah nitrogen yang tertinggal dalam tubuh (FARRELL, 1974). Rataan retensi nitrogen dari penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa rataan retensi nitrogen untuk ransum yang mengandung cacing tanah segar (S) dan tepung (T) berturutturut adalah 2,69 dan 3,08. Sedangkan rataan retensi nitrogen pada taraf pemberian cacing tanah segar dan tepung berturut-turut sebagai berikut: 0% (3,06 g), 5% (3,08 g), 10% (2,74 g) dan 15% (2,66 g). Retensi nitrogen pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan Mc LEOD et al. (1988), bahwa retensi nitrogen pada ayam pedaging umur 7 minggu dapat mencapai 1,50 – 1,73g ekor-1 hari-1 pada galur langsing (leon) dan 1,87 – 2,10 g ekor1 hari-1 pada galur gemuk (fat).
Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap rataan Retensi Nitrogen (g ekor-1 hari-1) Taraf pemberian cacing tanah (%)
Pengolahan cacing tanah Segar (S) Tepung (T) Rataan
Rataan
0
5
10
15
3,06 3,06 3,06 a
2,85 3,33 3,08 b
2,48 3,00 2,74 c
2,40 2,91 2,66 bc
269 a 3,08 b
Superskrip yang berbeda pada baris atau lajur yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P < 0,01)
665
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
(2003) Sementara itu, RESNAWATI melaporkan bahwa retensi nitrogen dari cacing tanah segar dan tepung cacing tanah pada ayam jantan berumur 18 bulan berturut-turut adalah 0,88g dan 0,86g ekor-1 hari-1. Meningkatnya nitrogen yang diretensi tersebut antara lain disebabkan oleh proses pencernaan dan absorpsi zat-zat makanan yang lebih baik sehingga mempercepat rate of passage (MATEOS et al., 1982). Pengaruh pengolahan dan taraf pemberian cacing tanah sangat nyata (P<0,01) terhadap retensi nitrogen. Kandungan retensi nitrogen pada ransum yang mengandung tepung cacing tanah lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang mengandung cacing tanah segar. Peningkatan retensi nitrogen tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya kecernaan nitrogen akibat proses pengeringan cacing tanah. Kecernaan semakin meningkat menyebabkan laju pakan dalam saluran pencernaan meningkat (SUTARDI, 1990; TILLMAN et al., 1991). Interaksi antara cara pengolahan (segar dan tepung) dengan taraf pemberian cacing tanah sangat nyata (P < 0,01) mempengaruhi retensi nitrogen. Makin tinggi taraf pemberian cacing tanah, baik segar maupun tepung, kandungan retensi nitrogen makin menurun. Menurut Mc DONALD et al (1977), bahwa retensi nitrogen tergantung pada kandungan protein dalam ransum. Kandungan nitrogen yang diretensi sejalan dengan kandungan protein ransum.Tinggi rendahnya nitrogen dalam feses berpengaruh terhadap retensi nitrogen. Semakin banyak nitrogen yang tertinggal dalam tubuh, nitrogen yang terbuang bersama feses semakin menurun (MAYNARD dan LOOSLI, 1980).
Energi metabolis Energi metabolis merupakan indikator yang digunakan untuk menilai kualitas bahan pakan. Menurut BLAXTER (1962), energi metabolis adalah jumlah energi yang terkandung dalam makanan yang dapat dicerna dikurangi dengan energi yang dikeluarkan bersama air seni dan gas-gas dalam alat-alat pencernaan. Perubahan kimiawi dari komponen bahan pakan terjadi selama proses pencernaan sehingga memudahkan penyerapan berbagai zat nutrisi (TILLMAN et al., 1991). Pada Tabel 3 dapat diketahui bahwa rataan energi metabolis pada ransum yang mengandung cacing tanah segar (S) dan tepung cacing tanah (T) berturut-turut adalah 3679,55 dan 3390,66 Kkal/kg. Pada ransum yang diberi taraf cacing tanah mengandung rataan energi metabolis berturut-turut: 0% (3338,02 Kkal/kg), 5% (3623,55 Kkal/kg), 10% (3529,97 Kkal/kg) dan 15% (3648,80 Kkal/kg). Analisis Sidik Ragam menunjukkan bahwa pengolahan cacing tanah, taraf pemberian dan interaksi antara kedua faktor tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P > 0,05). Hal ini berarti bahwa cacing tanah dapat diberikan dalam bentuk segar maupun dalam bentuk tepung sampai pada taraf 15%. Kandungan energi metabolis dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan RESNAWATI (2001), bahwa kandungan energi metabolis ransum yang mengandung cacing tanah berkisar antara 2433 dan 2915 Kkal/kg. Selanjutnya RESNAWATI (2003) melaporkan bahwa rataan energi metabolis cacing tanah segar dan tepung cacing tanah pada ayam ras jantan umur 18 bulan berturut-turut adalah 2924,51 dan 3617,76 Kkal/kg.
Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap rataan Energi Metabolis (Kkal/kg) Taraf pemberian cacing tanah (%)
Pengolahan cacing tanah
Rataan
0
5
10
15
Segar (S)
3338,02
3750,06
3785,51
3844,60
3679,55a
Tepung (T)
3338,02
3479,03
3274,42
3452,99
3390,66a
Rataan
3338,02a
3623,55a
3529,97a
3648,80a
Superskrip yang sama pada baris atau lajur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P > 0,05)
666
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Perbedaan ini disebabkan antara lain oleh perbedaan formula ransum dan metode pengukuran energi metabolis yang digunakan. Sejalan dengan yang dikemukakan Mc DONALD et al (1977) bahwa perubahan tingkat protein dalam ransum yang diberikan pada unggas dapat menyebabkan perbedaan jumlah protein yang diretensi dan menghasilkan perbedaan nilai energi metabolis. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa cacing tanah dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan pakan sumber protein. Penggunaan cacing tanah dalam bentuk tepung lebih baik dibandingkan dengan dalam bentuk segar ditinjau dari retensi nitrogennya. Kandungan energi metabolis tidak berbeda pada bentuk dan taraf pemberian cacing tanah dalam ransom sebagai sumber protein hewani. Cacing tanah dapat diberikan dalam bentuk segar maupun tepung sampai pada taraf 5% dalam ransum ayam pedaging. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Aam Hamidayati atas bantuan pengumpulan data penelitian. Juga terima kasih kepada Haryono dan Endang Sumantri sebagai teknisi Program Unggas dan Aneka Ternak, Balai Penelitian Ternak. DAFTAR PUSTAKA FARRELL, D.J. 1974. Effects of dietary energy concentration on utilization of energy by broiler chickens and body composition determined by carcass analysis and predicted using tritium. Brit. Poult. Sci. 15: 25. FARRELL, D.J. 1978. Rapid determination of metabolizable energy of food using cockerels. Brit. Poult. Sci. 19: 303 – 308. MATEOS, G.G., J.L. SELL and J.A. EASTWOOD. 1982. Rate of food passage (transit time) as influence by level supplemental fat. Poult. Sci. 61: 94 – 100.
MAYNARD, L.A. and J.K. LOOSLI. 1980. Animal Nutrition. Fourth Ed. McGraw-Hill Book Company. New York. MC DONALD, P., R.A. EDWARDS and J.F.D. GREENNALGH. 1977. Nutrition. 2nd Ed. The English Language Book Society and Longman, London. MC LEOD, M.G., C.C. WHIOTEHEAD, H.D. GRIFFIN and T.R. JEWITT. 1988. Energi and nitrogen retention and loss broiler chickens genetically selected for leanness and fatness. Brit. Poult. Sci. 67: 285 – 292. PALUNGKUN, R. 1999. Sukses Beternak Cacing Tanah (Lumbricus rubellus). Penebar Swadaya. Jakarta. RAHARJO, Y.C., L.H. PRASETYO and A.J. EVANS. 1984. Effect of dietary energy and protein on the growth rate and feed efficiency of alabio ducklings in Indonesia. Ilmu dan Peternakan Puslitbang Peternakan, Bogor. 1(5): 479. RESNAWATI, H. 2001. Energi metabolis dan daya cerna bahan kering ransum yang mengandung berbagai pengolahan dan level cacing tanah (Lumbricus rubellus). Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 17-18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 568 – 573. RESNAWATI, H. 2003. Pengaruh pengolahan cacing tanah (Lumbricus rubellus) dan kascing terhadap retensi nitrogen dan energi metabolis murni pada ayam jantan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 409 – 412. SCOTT, M.L., M.C. NESHEIM and R.S. YOUNG. 1982. Nutrition of the Chicken. 2nd Ed., M.L. Scott and Associates, Ithaca, New York. STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1993. Principle and Procedure of Statistics. 2nd Ed. McGraw-Hill book Company, Inc. New York. SUTARDI, T. 1990. Landasan Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. TILLMAN, A.D., S. REKSOHADIPROJO, S. PRAWIROKUSUMO dan L. SOEKAMTO. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. WAHJU, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Gajah Mada University Press. Bulak Sumur, Yogyakarta.
667