RESTRUKTURISASI KONFLIK SUMBERDAYA PERTANIAN MELALUI POLA BAGI HASIL (SEBUAH WACANA ALTERNATIF) Sukmo Pinuji Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI Korespondensi : K Jl. H. Agus Salim No. 58 Jakarta Pusat, e-mail :
[email protected]
ABSTRACT Land dispute has became an important issue in land management in Indonesia since it might cause ineffectivity in land use and risky social conflicts thereby its great loss politically and economically. Nowadays, (land) resource conflict reconcilement is critical and full of risk of another massive conflicts. Usually it is committed repressively by putting one on ‘the winner’ side and the other at ‘the loser’side which may cause extensive conflicts of interest. This paper is written to attain and study the possibilities in conducting restructurization of (land) resource conflicts which is contrarepressive and justifiable by refining the application of the share-profit system of the (land) resources. Profit sharing of the (land) resource, especially sharecrop and tenancy system, was reformed and carried out in many countries, included the restructurization of the actors in it, as the part of the landredistribution as it acts as ‘the “mild” landreform’ with less contentious policy, and although it doesn’t involve a complete transfer of property rights, in the past it has performed well in term of poverty reduction and productivity increases. It was also reported as having effects of lessened the conflicts, gave a way for differently endowed enterprises to pool mutual benefit, overcame credit retains and helping to manage risk, improved the productivity of agriculture, alleviating poverty and raise social empowerment. So it may be summarized that the reform in profit-share of the (land) resource, particularly as seen in sharecrop and tenancy system, though it doesn’t specifically act as mere restructurization of agrarian conflicts, it can be considered as an alternative mean of greater agrarian agenda which may also accomplish the challenge of the restructurization of the (land) resource conflicts in its path. As the summary taken towards the study-cases that had been conducted, the rearrangement and/or reform of the sharecrop and tenancy systems makes it possible to respond the problems of restructurization of the (land) resource conflicts as well provides decent social, economical and political advantages. Yet, if this kind of sharecrop and tenancy reform has been carried out as alternatives in conflict resolution and restructurisation, it is recommended to pay attention on these: (1) Commit transparency, accountable and yet approved by each related side therefore the shares of economic and social advantages would be suffice to each participant (2) Put each participant whose interests are in direct relation, socially and economically, in equal position (3) Contain the contracts with the clear and deceptiveless terms and conditions that bind each side’s legal rights and responsibilitis, considering human rights and principles as well the assurance of the right of possessed resources and regulations (4) Involve and revitalize government and society participation in each related institution, including rural government and farming (or other resource) organizations as representation of comprehensive social responsibilities (5) Present the justifiable governmental protection and effective regulation including legal guarantee for the practices of sharecrop and tenancy to be clean from legalized-by-contract exploitation and other treat of justice PENDAHULUAN Latar Belakang Konflik (sumberdaya) tanah menjadi isu yang penting dan menjadi “duri dalam daging” dalam pengaturan pertanahan di Indonesia. Tanah-tanah yang berkonflik, entah masih berupa sengketa maupun sudah menjadi perkara yang diajukan ke meja hijau, sangat potensial menjadikan tanah tersebut menjadi lahan tidur yang tidak produktif dan tidak bisa diusahakan karena terkendala masalah yuridis. Hal ini terutama menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar dengan berkurangnya nilai produktivitas tanah terkait status “sengketa” atau “perkara” tersebut. Selain muatan ekonomi, konflik 1 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011
pertanahan (sumberdaya) juga rawan terhadap isu politik yang berhubungan dengan ketahanan dan keamanan serta stabilitas bangsa dan negara. Tanah, sebagaimana diamanatkan oleh UUPA No. 5 tahun 1960, memiliki fungsi sosial untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi ini berjalan dengan baik ketika dilakukan pengaturan mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan sosial. Ketimpangan pengaturan ini merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik dan sengketa pertanahan. Berdasarkan data, masalah penguasaan dan pemilikan tanah merupakan tipologi masalah dengan prosentase terbesar yang ada saat ini (78,28%), yang semakin menegaskan bahwa masalah dominan dalam sengketa dan konflik pertanahan bersumber dari ketimpangan penataan pertanahan. Reforma agraria sebagai dasar penataan kembali penguasaan pemilikan tanah merupakan salah satu dari upaya sistematis pemerintah dalam penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan, dengan cara penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan Indonesia, selain juga dengan melakukan penguatan lembaga dengan pembetukan deputi khusus yang menangani masalah konflik, sengketa dan perkara pertanahan yang berada di bawah naungan Badan Pertanahan Nasional1. Dalam usaha pengaturan pertanahan ini, pemerintah sudah melakukan berbagai usaha, salah satunya dengan melakukan reforma agraria yang gencar dilaksanakan pada sekitar tahun 1960 – 1965an, dan sempat mati suri saat rejim orde baru berkuasa. Orientasi politik saat itu, yang meletakkan tanah sebagai modal kapital untuk investasi semakin mempertinggi ketimpangan yang terjadi dalam pola-pola penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Konflik pertanahan yang terjadi kini tidak hanya bersumber pada ketimpangan tersebut, tetapi juga dari munculnya hegemoni negara yang melindungi kekuasaan modal, dengan dalih untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang menjadi “parameter terpenting” dalam keberhasilan pembangunan2. Hal ini semakin menyulitkan terbentuknya struktur agraria yang egaliter, karena hal ini bersifat kontraproduktif terhadap upaya 3 pembangunan . Dan meskipun banyak yang tidak muncul ke permukaan, banyak terjadi konflik sumberdaya yang bersumber dari pertanahan, yang dengan berbagai cara berhasil “diredam” dan “ditiadakan” oleh rejim penguasa saat itu. Setelah runtuhnya rejim orde baru, isu agrarian reform ini menjadi isu yang cukup gencar dibicarakan, baik oleh kalangan pemerintah, akademisi maupun aktivis sosial, dan menjadi agenda yang cukup penting dalam pemerintahan pasca orde baru. Fokus penataan pertanahan tidak hanya ditujukan pada restrukturisasi pemilikan dan penguasaan tanah, tapi juga pada penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan yang terjadi di wilayah Indonesia, seperti halnya yang tercantum dalam sebelas agenda BPN yang memegang otoritas penataan pertanahan di wilayah 4 Indonesia . Tujuan Saat ini, penyelesaian konflik sumberdaya (tanah) sangat rawan terhadap terjadinya konflik lain yang bersifat masif, karena biasanya penyelesaian konflik dilakukan secara represif dengan menempatkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak lain sebagai “pecundang”.
1
Perpres No. 10 tahun 2006 yang mengatur tentang kedudukan dan fungsi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Dalam perpres ini salah satunya disebutkan bahwa terdapat dua skema pemikiran penyelesaian masalah-masalah pertanahan yang ada di Indonesia, yaitu dengan melakukan reforma agraria dan pembentukan Deputi Bidang Pengkajian dan PenangananSengketa dan Konflik Pertanahan. 2 Fauzy, Nur dalam Tanah Lampung, sengketa pertanahan dan perjuangan rakyat tani Lampung, PUSSbik, 2002 3 Ibid 4 Sebelas agenda BPN merupakan fungsi yang diselenggarakan oleh BPN dalam rangka penataan pertanahan di Indonesia, diantaranya adalah membangun kepercayaan masyarakat kepada BPN, meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran, serta sertifikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia, memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah (land tenureship), menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik, menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis, membangun Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIMTANAS), dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia, menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, membangun data base pemilikan dan penguasaan tanah skala besar, melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan Pertanahan yang telah ditetapkan, menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional, dan Mengembangkan dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan Pertanahan.
Makalah ini berupaya menggali dan mengkaji bagaimana melakukan penataan pertanahan dengan penerapan pola bagi hasil bisa menjadi salah satu solusi restrukturisasi konflik sumberdaya yang bersifat kontra represif dan berkeadilan, dengan segala kemungkinan baik buruknya. Beberapa contoh kasus penyelesaian konflik dengan penerapan pola perjanjian bagi hasil akan digunakan sebagai bahan analisis. PEMBAHASAN Konflik Sumberdaya (Tanah), Atas Nama Pembangunan versus Kemanusiaan Carut marut penataan pertanahan di Indonesia sejak diterbitkannya UUPA tahun 1960, telah membawa Indonesia kedalam berbagai cerita menyedihkan, memilukan maupun menggembirakan dalam pengelolaan sumberdaya (tanah). Konflik sumberdaya, yang bersumber pada penguasaan tanah, hampir selalu menyimpan banyak cerita kelam dalam upaya penyelesaiannya. Tak jarang, penyelesaian suatu konflik akan memicu konflik selanjutnya, dan bisa berkembang menjadi skala yang lebih luas, serta rawan terhadap timbulnya kekerasan yang lebih masif. Ditambah lagi dengan hegemoni pemerintah yang menjadi “penguasa mutlak” dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada di Indonesia, menyebabkan masyarakat “sering” berada dalam posisi yang “lemah” dan “termarginalisasi”. Hal ini sering menyebabkan (dan memicu) penyelesaian konflik sumberdaya (tanah) diselesaikan secara represif oleh pihak-pihak penguasa (pemerintah maupun pemilik modal besar). Ditambah lagi dengan struktur sosial masyarakat yang menempatkan hubungan manusia dengan tanah yang bersifat “nyaris mutlak” karena menyangkut identitas, harga diri, serta sumber penghidupan dan kemakmuran, yang membentuk hegemoni masyarakat bahwa tanah merupakan “tumpah darah” yang layak diperjuangkan dengan “darah”. Selain itu, faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya unsur kekerasan dalam penyelesaian konflik sumberdaya (tanah) antara lain karena upaya-upaya hukum yang dilakukan oleh para pemilik tanah dalam mencapai keadilan melalui instansi-instansi resmi sering mengalami kebuntuan, keterlibatan aparat keamanan dalam masalah pertanahan yang intens, dan merebaknya percaloan pertanahan yang sering menggunakan kekerasan dalam memaksa pemilik tanah untuk menjual tanah mereka, serta status hukum adat dalam sistem 5 hukum pertanahan di Indonesia yang belum menentu . Ketika mengatas namakan kepentingan pembangunan dalam pelaksanaan penataan pertanahan, hal ini sering menimbulkan pertanyaan, dimanakah unsur kemanusiaan diletakkan? Dimanakah perlindungan negara atas hak atas sumberdaya (tanah) warganya? Kepentingan siapa saja yang sebenarnya diafiliasi (atas nama) pembangunan tersebut? Bagaimana hal ini bisa tidak menjadi praktek penindasan dan perampasan hak yang dilegalkan atas nama pembangunan? Restrukturisasi Agraria – Sebuah Jawaban Penyelesaian konflik sumberdaya (tanah) memang tidak bisa diselesaikan secara parsial dari kacamata hukum semata, melainkan harus dilihat secara makro karena menyangkut masalah sosial, politik dan ekonomi. Yang perlu disadari dan diperhatikan oleh para pemangku kepentingan maupun pemilik otoritas kebijakan adalah bahwa konflik sumberdaya (tanah) bukan hanya semata persoalan hukum semata, tetapi juga mengandung muatan politik, ekonomi dan sosial yang harus dipandang sebagai satu kesatuan. Hitam putih sejarah pertanahan di Indonesia, agenda pembangunan yang (seakan-akan) menghalalkan eksploitasi sumberdaya secara besar-besaran dan merubah struktur agraria dan menjadikannya dalam kondisi ketimpangan yang luar biasa, merupakan suatu titik rawan yang harus disadari bersama. Penyelesaian konflik pertanahan tidak bisa semata-mata hanya menyelesaikan masalah yang bersangkutan dengan otoritas hukum semata, karena hal ini hanya akan memicu kepada konflik berkelanjutan yang mungkin akan berdampak lebih masif. Restrukturisasi agraria adalah jawaban paling komprehensif dalam menyelesaikan salah satu akar masalah paling pokok keberadaan konflik sumberdaya (tanah) tersebut, yang merupakan agenda yang harus menjadi prioritas utama dalam penataan pertanahan di Indonesia. Keberadaan Kedeputian Penatagunaan Tanah dalam lingkup organisasi Badan Pertanahan Nasional sebagai pemangku otoritas penataan pertanahan di Indonesia merupakan salah satu bukti bahwa agenda politik kita sudah mulai “melirik” restrukturisasi agraria sebagai salah satu program kebijakannya. Ditetapkannya reforma 5
Sutrisno, Loekman. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yayasan Kanisius, Yogyakarta
3 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011
agraria sebagai salah satu agenda nasional bangsa semakin memperkuat kesan bahwa arah politik nasional kita mulai menuju kepada penataan pertanahan yang berkeadilan6. Hal ini kemudian diimplementasikan oleh pemerintah SBY melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) dengan redistribusi tanah pertanian yang disertai penyediaan akses terhadap sumber-sumber ekonomi masyarakat (reforma aset dan reforma akses). Selanjutnya, pertanyaan besar yang tersisa dari program ini adalah, apakah hal ini bisa menjawab ketimpangan struktur agraria di Indonesia, dan bisa mencegah terjadinya konflik sumberdaya (tanah) selanjutnya? Bagi Hasil, Alternatif Penyelesaian Konflik yang (Cukup) Adil? Wacana mengenai restrukturisasi struktur agraria di Indonesia dengan pengaturan bagi hasil sebenarnya bukan wacana baru. Sebelum diterbitkannya UU No. 5 tahun 1960, pemerintah sudah lebih dahulu menerbitkan UU No. 2 tahun 1960 mengenai pengaturan bagi hasil yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya (tanah). Bagi hasil juga bisa menjadi alternatif restrukturisasi agraria (reforma agraria) yang cukup mild dan less conflict, sekaligus bisa menjadi salah satu alternatif penyelesaian konflik yang bersifat kontra represif. Pelaksanaan redistribusi landreform dengan melakukan pengaturan bagi hasil di West Bengal, India, misalnya, terbukti telah mampu meredam konflik antara pemilik tanah (tuan tanah) dengan para petani penggarapnya, disamping pula mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian (Lihat Byres, 2002, dalam Sharecropping and Sharecropper). Selain itu, faktor kekeluargaan yang mewarnai pelaksanaan perjanjian bagi hasil dianggap pula mampu mendatangkan keuntungan sosial yang juga berdampak secara ekonomis (Sadoulet, 2002). Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa bentuk tenancy reform ini telah berhasil meningkatkan produktivitas pertanian, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat (Dasgupta, 2003). Meskipun tidak dapat diterapkan dalam setiap penyelesaian konflik sumberdaya (karena penyelesaian konflik akan sangat tergantung kepada tipologi konflik yang bersangkutan), langkah alternatif ini bisa dijadikan sebagai wacana dalam pengelolaan sumberdaya yang berbasis agrarian literacy, dalam rangka menempatkan pengelolaan pertanahan dan pemanfaatan sumberdaya yang egaliter, proporsional dan berkeadilan. Beberapa contoh yang akan penulis kemukakan di bawah ini adalah beberapa gambaran mengenai bagaimana restrukturisasi struktur agraria melalui pengaturan bagi hasil mampu (dan tidak mampu) menjadi metode alternatif penyelesaian konflik sumberdaya (tanah). 1. Kasus Konflik Pertanahan di Desa Suko Awin Jaya dengan PT. Wira Karya Sakti (WKS) Secara administratif, desa Suko Awin Jaya masuk wilayah Kabupaten Muaro Jambi, dan terletak sekitar 60 km dari ibukota kabupaten. Secara historis, penduduk desa ini bisa dibagi menjadi 3 macam, yaitu penduduk asli setempat, para pendatang yang datang melalui program transmigrasi (termasuk juga keturunan mereka), dan perantauan yang datang dan menetap di tempat tersebut yang tidak melalui program transmigrasi. Wilayah desa ini cukup luas, yang sebagian besar dimanfaatkan sebagai perkebunan kelapa sawit atau karet yang dikuasai oleh warga masyarakat maupun oleh perusahaan swasta melalui HGU ataupun HTI/ HPH. Penguasaan lahan oleh penduduk sendiri sangat beragam, rata-rata penduduk setempat memiliki tanah seluas 2 sampai dengan 10 ha, dan diusahakan untuk tanaman kelapa sawit atau karet. Sebagian tanah milik penduduk sudah bersertipikat melalui program PRONA, yang berarti telah diakui secara legal oleh pemerintah menjadi tanah hak milik. Pada tahun 1995, sejumlah penduduk yang sebagian besar merupakan masyarakat pendatang, melakukan usaha pembukaan hutan di wilayah tanah negara bebas .Tanah seluas ± 200 ha itu dibuka oleh masyarakat secara bersama-sama, dengan proses pembukaan yang memakan waktu kurang lebih selama 2 tahun. Sekitar tahun 1997 , PT. Wira Karya Sakti (PT. WKS) masuk ke dalam wilayah tersebut dan mengusahakan tanah yang sudah dibuka sebagian oleh masyarakat tersebut dan menanaminya dengan tanaman keras (albasia). Hal ini dianggap oleh penduduk setempat, yang sudah melakukan pembukaan hutan tersebut, sebagai perampasan terhadap tanah yang sudah mereka buka. Konflik menjadi tidak terelakkan. Pihak perusahaan melakukan 6
Agenda reforma agrarian ini secara resmi mulai ditetapkan sebagai agenda nasional dengan dikeluarkannya Tap MPR No. IX / 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
pengamanan terhadap “tanah” dan tanaman mereka dengan mengerahkan kekuatan militer, sementara penduduk, baik secara “bergerilya” maupun terang-terangan berusaha mendapatkan tanah mereka kembali, baik dengan melakukan pengrusakan terhadap tanaman milik perusahaan di tanah tersebut maupun melakukan aksi demo menuntut hak mereka atas tanah tersebut. Pihak perusahaan sendiri berdalih bahwa mereka telah mendapatkan ijin HGU terhadap tanah tersebut (yang status semula adalah tanah negara bukan hak). Dari pihak masyarakat, mereka merasa bahwa mereka memiliki hak atas tanah negara tersebut, karena telah mengusahakan tanah tersebut sebelum diterbitkannya HGU atas nama PT. WKS. Masyarakat kemudian mengorganisasikan diri mereka dalam wadah kelompok tani Karya Bersama. Konflik antara masyarakat dengan PT. WKS berlangsung selama bertahun-tahun, yang menyebabkan tanah tersebut menjadi tidak produktif. Pihak perusahaan harus menghadapi pengrusakan tanaman yang dilakukan masyarakat sebagai wujud protes mereka atas dirampasnya “hak atas tanah” mereka, sementara pihak masyarakat harus menghadapi kekuatan bersenjata dan konfrontasi fisik yang sering tidak terelakkan, dengan dalih mempertahankan hak atas tanah mereka. Konflik ini akhirnya terselesaikan di tahun 1998, beberapa saat setelah rejim Suharto runtuh. Dengan pemerintah yang bertindak sebagai mediator, setiap warga masyarakat yang ikut dalam pembukaan lahan dan tergabung dalam kelompok tani mendapatkan jatah tanah seluas ± 3 ha (yang kemudian diorganisir dalam kelompok tani), dan pengelolaan tanah diserahkan kepada pihak perusahaan untuk ditanami tanaman keras dengan perjanjian bagi hasil. Bagi pihak perusahaan, hal ini menjadi alternatif penyelesaian yang cukup baik, mengingat mereka telah menginvestasikan sejumlah modal untuk penanaman bibit akasia yang sudah terlanjur mereka tanam, sementara bagi masyarakat, mereka mendapat keuntungan selain tidak kehilangan “hak” atas tanah mereka, juga karena tanah tersebut terletak cukup jauh dari pemukiman dan jauh dari akses jalan raya, sehingga untuk mengelola secara efektif mereka sendiri mengalami kesulitan, karena mereka sendiri juga sudah memiliki lahan lain yang letaknya lebih dekat dari pemukiman. Bagi hasil dilakukan untuk setiap tonase kayu yang dihasilkan, dengan kisaran harga kayu yang ditentukan pada awal masa kontrak. Kontrak bagi hasil diperbaharui setiap satu periode tanam, yang lamanya bervariasi antara 5 sampai 3 tahun dan tidak ditentukan sebelumnya dalam perjanjian, tergantung jenis kayu yang ditanam oleh perusahaan. Pengelolaan bagi hasil dilakukan oleh pihak perusahaan dan perwakilan kelompok tani sebagai wakil masyarakat. Pembayaran dilakukan setiap kali musim tebang, yang dibayarkan oleh pihak perusahaan kepada perwakilan kelompok tani, yang kemudian didistribusikan kepada anggotanya (pemilik tanah). Dalam setiap kali musim tebang, perwakilan kelompok tani mendapatkan laporan jumlah tonase kayu yang dipanen untuk menjaga transparansi hasil. Adapun besarnya jumlah bagi hasil yang diterima masyarakat dalam tiap kali musim tebang disajikan dalam Tabel 1.: Tabel 1. Jumlah Bagi Hasil Yang Diterima Masyarakat Daur tanam Daur tanam kedua Daur tanam ketiga pertama Besaran bagi hasil
Rp. 20.000,-
Rp. 30.000,-
Rp. 60.000,-
Produksi/ hektar
± 250 ton
± 250 ton
± 250 ton
Besaran yang diterima masyarakat
Rp. 15.000.000,-
Rp. 22.500.000,-
Rp.45.000.000,-
Lama waktu daur tanam
5 tahun
4 tahun
(belum ada data)
Penghasilan yang diterima masyarakat
Rp. 3.000.000,- / tahun atau Rp. 250.000,- per bulan
Rp. 5.625.000,- / (belum ada data) tahun atau Rp. 468.750,- per bulan
5 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011
Secara sekilas, penyelesaian konflik penguasaan tanah melalui prinsip bagi hasil ini memberikan jawaban yang paling efektif karena sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Meskipun besaran yang diterima masyarakat secara ekonomis tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan mengusahakannya sendiri, seperti yang disebutkan diatas, mayoritas pemilik tanah tersebut tidak mempermasalahkan besaran uang yang mereka terima dengan alasan bahwa mereka tidak ikut mengusahakan ataupun mengeluarkan modal untuk pengelolaan tanah tersebut. Untuk menjadikannya lebih produktif dengan cara melakukan pengelolaan sendiri, masyarakat juga mengalami kesulitan karena kontrak kerjasama tersebut bersifat mengikat untuk seluruh hamparan tanah (seluas ± 200 ha), sehingga meskipun pemilik tanah memiliki hak atas tanah tersebut, mereka tidak dapat memutuskan kontrak bagi hasil tersebut secara sepihak karena kontrak tersebut mengikat setiap anggota kelompok tani. Selain itu, masalah geografis (letak tanah yang terlalu jauh dari pemukiman) dan masalah permodalan serta akses terhadap pasar juga menjadi penghambat kedua bagi pemilik tanah untuk mengusahakan tanah mereka sendiri. Adanya kontrak yang mengikat ini juga tidak memungkinkan masyarakat pemilik lahan untuk menjual tanah mereka kepada pihak lain, sehingga bila terjadi proses jual beli terhadap lahan yang dikerjasamakan tersebut, biasanya dilakukan secara bawah tangan tanpa sepengetahuan perusahaan. Meskipun terlihat menyelesaikan konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan, perjanjian bagi hasil ini sebenarnya memiliki potensi konflik internal antarpenduduk Suko Awin Jaya sendiri. Tanah yang menjadi objek konflik tersebut kemudian dibagikan kepada penduduk yang terlibat dalam proses pembukaan hutan, yang rata-rata didominasi oleh pendatang. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial antara penduduk asli yang merasa tidak mendapatkan manfaat atas tanah yang ada di wilayah mereka dengan penduduk pendatang yang merasa berhak atas tanah tersebut dengan melakukan pembukaan hutan. Karena adanya potensi konflik internal ini, pihak BPN menolak untuk mengeluarkan sertipikat hak milik atas tanah tersebut, meskipun dalam peraturan mereka berhak mengajukan hak atas tanah tersebut. Bukti kepemilikan tanah yang dimiliki oleh masyarakat masih berupa SKT (Surat Keterangan Fisik Tanah), yang posisinya lemah di muka hukum. Secara legal, hal ini menimbulkan kerugian yuridis atas perlindungan hak atas tanah oleh negara. 2. Kasus konflik pertanahan antara PTPN IX dengan Penduduk Desa Kuripan, Kabupaten Batang. Batang merupakan daerah yang kaya akan konflik agraria yang bersumber Hak Guna Usaha dari penguasaan perkebunan-perkebunan besar sejak masa kolonial7. Konflik ini biasanya terjadi karena okupasi masyarakat terhadap tanah-tanah yang masuk wilayah perkebunan. Konflik bisa terjadi secara frontal maupun tidak, terselesaikan maupun tidak. Kasus yang akan penulis ambil sebagai contoh penyelesaian konflik melalui bagi hasil adalah kasus konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Kuripan (dusun Brontok dan dusun Gondang) terhadap penggarapan tanah timbul yang ada di daerah tersebut. Saat ini tanah yang menjadi objek sengketa tersebut telah diredistribusikan kepada masyarakat setempat melalui program redistribusi tanah oleh BPN, melalui proses perjuangan dan negosiasi yang sangat panjang. Meskipun tidak menjadi bentuk penyelesaian utama (dan final) dalam konflik di wilayah ini, sistem bagi hasil pernah menjadi salah satu “alternatif perdamaian” antara masyarakat dengan pihak PTPN IX kebun Siluwok/Subah. Awal mula cerita dimulai dengan dilakukannya penggarapan tanah oleh warga atas tanah timbul akibat sedimentasi di pantai di dusun Brontok seluas 32,7 ha dan berbatasan langsung dengan tanah milik PTPN IX, yang dimulai sejak tahun 1989. Proses pengolahan lahan ini cukup berat dilakukan, karena para petani yang sebagian besar adalah petani tunakisma harus melakukan teknik menumpukan dengan sisa-sisa daun dan pupuk organik agar tanah tersebut dapat dimanfaatkan. Karena letaknya yang berbatasan dengan wilayah PTPN IX, pihak PTPN mengklaim tanah tersebut sebagai tanah mereka, sementara masyarakat merasa memiliki hak atas tanah tersebut, karena mereka yang membuka dan mengusahakan tanah tesebut menjadi tanah siap pakai dan tidak menjadi lahan tidur. Karena adanya ketidaksamaan persepsi tersebut, konflik antara 7
Laporan Teknis penelitian Administrasi Pertanahan Berbasis Desa/Kelurahan, Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, 2011
masyarakat dengan pihak PTPN IX menjadi tidak terelakkan. Kemudian, sebagai “alternatif” penyelesaian, masyarakat “diperbolehkan” menggarap lahan tersebut melalui mekanisme tumpang sari untuk tanaman semusim seperti kedelai, kacang dan jagung, dan bagi hasil sebesar 1/3 dari hasil panenan untuk diserahkan kepada pihak PTPN IX Kebun Siluwok/Subah (perjanjian bagi hasil tersebut dikuatkan dengan surat perjanjian yang terakhir diperbaharui dengan Sinder Afdeling PTPN IX Nomor 054/KMR/TS/2002 tanggal 23 Desember 2002). Meskipun dirasa memberatkan masyarakat, saat itu mereka tidak punya pilihan lain selain menyetujuinya, terutama karena hampir semua petani penggarap yang mengusahakan lahan itu adalah petani tunakisma. Pihak PTPN IX sendiri melakukan “pengontrolan” pelaksanaan bagi hasil (untuk memastikan bahwa setiap petani “menyetorkan” hasil panen mereka sejumlah hasil yang sudah ditetapkan) dengan mengerahkan tenaga mandor untuk memastikan masa panen tanah pertanian tersebut. Karena dirasa tidak dapat “mengelak” dari kewajiban menyetorkan hasil panen, para petani sempat mengorganisir diri dan untuk “mengelabuhi” pihak PTPN IX, mereka melakukan sistem penanaman bergilir, sehingga masing-masing lahan akan memiliki masa panen yang berbeda-beda, sehingga menyulitkan pihak PTPN IX untuk mengontrol masa panen mereka. Karena hal tersebut, pihak PTPN IX akhirnya melakukan penyeragaman penanaman tanaman yang dilakukan secara sepihak. Para petani diharuskan menanam karet, masih dengan perjanjian bagi hasil dengan pihak PTPN IX. Akan tetapi, penyeragaman tanaman ini tidak berhasil karena karet merupakan tanaman keras yang baru dapat dipanen dalam jangka waktu 3 sampai 5 tahun, sementara tanah garapan tersebut merupakan tumpuan hidup sehari-hari bagi para petani. Akhirnya, pada Pada tahun 2005, terbit surat PT Perkebunan Nusantara IX Kebun Siluwok/Subah, yang ditandatangani Sinder Kebun Afdeling Kemiri, Suparno, yang berisi pemberitahuan izin penanaman areal tumpang sari. Surat yang dibagikan kepada 141 keluarga petani penggarap itu antara lain menyebutkan, ”... perusahaan mengizinkan kembali areal tumpang sari ditanami tanaman semusim seperti jagung, kedelai, atau kacang, dua musim tanam akan datang yang selesai sampai dengan akhir Juni 2006”. Kemudian pihak perusahaan memberikan kebijaksanaan dengan tidak memungut bagi hasil.” Artinya, setelah Juni 2006, para petani penggarap tidak boleh lagi menggarap lahan yang diklaim milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX itu8. Hal ini diartikan masyarakat sebagai pengusiran sepihak PTPN IX kepada petani di wilayah tersebut, dan memicu masyarakat untuk mengorganisasikan diri mereka dalam wadah kelompok tani dan memperjuangkan hak mereka atas tanah yang sudah mereka garap selama lebih dari 17 tahun, baik secara frontal maupun tidak. Meskipun pada akhirnya konflik tersebut diselesaikan dengan menetapkan tanah timbul tersebut sebagai tanah objek landreform dan kemudian didistribusikan kepada masyarakat petani penggarap, contoh perjanjian bagi hasil yang semula diterapkan sebagai salah satu solusi penyelesaian (atau peredaman) konflik yang cukup “efektif” dilakukan. Dari gambaran kedua kasus tersebut, dapat dilihat bahwa pengaturan kembali pola bagi hasil, selain bertujuan untuk merestrukturisasi sistem agraria, juga menimbulkan efek penyelesaian konflik sehingga bisa diambil sebagai salah satu wacana alternatif penyelesaian konflik sumberdaya, karena memuat berbagai keuntungan, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial. Secara politis, karena tidak ada pihak yang “dikalahkan” maupun “dimenangkan”, akan meminimalisir terjadinya konflik lanjutan, sehingga stabilitas masyarakat dapat terjaga dengan baik, dalam arti pula stabilitas nasional akan terjaga dengan baik pula. Secara ekonomi, penyelesaian konflik sumberdaya berarti menempatkan lagi posisi tanah sebagai sumberdaya dalam kerangka pengelolaan yang lebih efektif, berdaya guna dan bernilai ekonomi sehingga tanah bisa kembali menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat. Sedangkan secara sosial, dengan tidak adanya pihak yang “dikalahkan” maupun “dimenangkan”, masing-masing pihak yang terlibat dalam pola bagi hasil ini akan merasa memiliki dan bertanggungjawab terhadap pengelolaan sumberdaya yang lebih efektif dan menghasilkan, yang akan berpengaruh terhadap produktivitas tanah itu sendiri. Muara dari semua ini tentu saja adalah usaha untuk merestrukturisasi struktur agraria sebagai salah satu sumber konflik pertanahan yang
8
Laporan Teknis penelitian Administrasi Pertanahan Berbasis Desa/ Kelurahan, Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, 2011
7 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011
paling dominan menuju kepada tatanan agraria yang egaliter, berkeadilan dan menuju kepada sebesarbesar kemakmuran rakyat. Pengaturan bagi hasil bisa menjadi salah satu langkah alternatif dalam menyelesaikan (atau meredam) konflik pertanahan. Pengaturan bagi hasil bisa menjadi (cukup) adil dan (cukup) solutif ketika memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Dilakukan secara transparan dan disetujui oleh setiap pihak yang bersangkutan, sehingga masingmasing pihak mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial yang memadai dari adanya pernjanjian tersebut. 2. Menempatkan setiap pihak yang terlibat secara langsung (berkepentingan secara sosial ekonomi) pada posisi yang setara, tidak ada pihak yang “lebih kuat” atau “lebih dominan”. 3. Memuat pokok-pokok perjanjian yang jelas yang bersifat mengikat, dengan tidak meninggalkan asas kemanusiaan dan penghargaan serta perlindungan terhadap hak kepemilikan atas sumberdaya yang bersangkutan. Ketika syarat-syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, hal ini justru dapat memicu konflik lain yang berakar dari masalah ekonomi maupun sosial, yang mungkin saja akan bersifat lebih masif dari konflik semula. KESIMPULAN DAN SARAN Penyelesaian konflik sumberdaya (tanah) menjadi bagian yang sangat penting dalam upaya penataan struktur agraria, yang menjadi salah satu unsur penting dalam perwujudan stabilitas negara. Salah satu alternatif yang dapat diambil dalam upaya penyelesaian konflik tersebut adalah dengan menerapkan pola bagi hasil dalam penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya (tanah). Alternatif penyelesaian ini bisa dipandang cukup efektif karena tidak ada pihak yang dimenangkan maupun dikalahkan, serta memuat beberapa keuntungan ekonomi, sosial maupun politik di dalamnya. Namun dalam pelaksanaannya, perlu diperhatikan mengenai siapa dan bagaimana hal ini diterapkan, untuk menjamin bahwa alternatif penyelesaian ini tidak hanya bersifat “seakan-akan” berhasil menyelesaikan konflik, serta tetap dapat menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat yang terlibat dan mampu menciptakan stabilitas nasional yang bersumber dari terwujudnya struktur agraria yang berkeadilan dan berkemanusiaan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain : 1. Siapa saja yang (bisa dan tidak bisa) terlibat dalam perjanjian bagi hasil, dan bagaimana dampaknya terhadap implementasi bagi hasil itu sendiri. Dalam contoh kasus pertama, misalnya, meskipun bisa dikatakan cukup efektif dalam menyelesaikan konflik pertanahan antara perusahaan dengan masyarakat, perjanjian bagi hasil ini menjadi cukup rawan konflik sosial antara penduduk asli dan pendatang – antara masyarakat yang menerima keuntungan melalui bagi hasil dengan mereka yang tidak mendapatkan keuntungan. 2. Transparansi pengelolaan antara pihak yang terlibat dalam bagi hasil tersebut, serta meletakkan para pihak : pemilik tanah, pemilik modal maupun masyarakat – dalam posisi yang seimbang dalam perjanjian. Adanya dominasi dari salah satu pihak akan menjadi api dalam sekam yang potensial memicu konflik lain yang lebih besar. 3. Bagaimana pengelolaan bagi hasil ini bisa menjadi sumber penghasilan yang efektif bagi masyarakat serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik melalui prosentase bagi hasil, pengelolaan pembagian keuntungannya, maupun kontrak yang tidak memberatkan masyarakat. Bagi masyarakat, hal ini akan bermanfaat secara ekonomis ketika tanah tersebut secara efektif mampu menjadi sumber kesejahteraan bagi mereka. Bagi pihak pemilik modal (perusahaan), dampak psikologis dan sosial dari tanah yang menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat, hal ini akan mendatangkan keuntungan, ketika masyarakat merasa ikut memiliki dan bertanggungjawab terhadap hasil produksi. 4. Penguatan peran organisasi tani/ pemerintah desa sebagai representasi kepentingan masyarakat. Penguatan peran ini mutlak dibutuhkan, karena seperti halnya yang kita ketahui bersama, agenda pembaharuan struktur agraria (yang salah satunya bisa dilakukan melalui restrukturisasi pola bagi hasil) mutlak memerlukan peran desa maupun organisasi tani yang cukup intens. Peran organisasi tani/ pemerintah desa disini diperlukan dalam proses negosiasi maupun kontrol pelaksanaan bagi hasil ke depannya.
5. Peran pemerintah sangat diperlukan dalam proses ini. Dalam hal ini, pemerintah bisa berperan sebagai fasilitator, mediator, katalisator, protektor, maupun aktor yang melakukan bagi hasil. Infiltrasi pemerintah sangat diperlukan untuk dapat melindungi hak-hak masyarakat maupun pemilik modal (perusahaan maupun pemerintah sendiri), sehingga praktek bagi hasil ini tidak menjadi bentuk “penghisapan model baru” yang “dihalalkan” melalui kontrak perjanjian. DAFTAR PUSTAKA Byres TJ. 1983. Sharecropping and Sharecropper. London : Frank Cass and Company Limited Dasgupta A. and L Pellegrini. 2009. The impact of Tenancy Reform in West Bengal: Evidence from the National Sample Survey. The European Journal of Development Research. 21(2): 231-249. Fauzy N. 2002. Tanah Lampung, sengketa pertanahan dan perjuangan rakyat tani Lampung, PUSSbik, Laporan Teknis penelitian Administrasi Pertanahan Berbasis Desa/ Kelurahan, Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN RI, 2011 Sadoulet E, Alain de Janvry dan Seiichi Fukui. 1997. The Meaning of Kinship in Sharecropping Contract. American Journal of Agricultural Economics 79 (2) : 394 - 406 Sutrisno, Loekman. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yayasan Kanisius, Yogyakarta Zakaria RY. 2007. Keniscayaan Pembaharuan Desa dalam Reforma Agraria. Jurnal Pembaharuan Pedesaan dan Agraria 1(1) : 54 - 62
9 Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo 20 Oktober 2011