RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI MODEL PEMIDANAAN MODERN BAGI ANAK Oleh :
Mulyanto, SH., MH Ketua Pengadilan Negeri Palangka Raya I. PENDAHULUAN ANAK merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai sumberdaya insani bagi pembangunan nasional. Atas dasar hal itu terhadap anak diperlukan pembinaan yang terus menerus, baik fisik, mental maupun kondisi sosialnya serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan masa depan si anak. Lahirnya Undang - undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ( SPPA ) yang mencabut UU.No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, serta Peraturan Perundangan lainnya yang berkaitan dengan Sistem Peradilan Pidana Anak dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak anak secara lebih kuat ketika anak berhadapan dengan hukum dan harus menjalani proses peradilan. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak antara lain ditujukan untuk memperbaiki Hukum Pidana anak di Indonesia, agar putusan Pengadilan terhadap anak menjadi lebih baik dan berkualitas, karena putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak dimasa depan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terus berkampanye agar pemerintah menghapuskan Lembaga Pemasyarakatan khusus anak-anak,menurutnya memenjarakan anak akan berpotensi mengganggu Supreme rights (hak-hak dasar), kelangsungan hidup tumbuh dan berkembangnya seorang anak. Apapun alasan memenjarakan anak adalah merupakan kekerasan dan tindakan yang tidak manusiawi. Selama pemerintah menjalankan institusi yang bertugas memenjarakan anak, Indonesia tidak akan sampai pada tataran kehidupan yang layak bagi anak, seraya KPAI meminta, agar semua instansi terkait hendaknya tidak membawa permasalahan anak ke peradilan formal,melainkan harus ditempuh melalui Restorative Justice (keadilan dengan jalan pemulihan), bahkan bilamana perlu anak-anak harus menerima Diversi /pengalihan hukuman. Terlalu ekstrim rasanya seorang anak yang melakukan perbuatan pidana dikatakan sebagai penjahat, sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak boleh tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaanya, akan lebih tepat rasanya apabila hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada kejahatan anak. Gejala kenakalan anak akan terlihat amat menonjol pada tingkah laku dari anak-anak antara lain: Adanya rasa harga diri yang semakin menguat dan
gengsi yang terlalu besar serta keinginan untuk memamerkan diri; Adanya energi yang melimpah hingga memunculkan keberanian yang condong berlebihan, senang mencari perhatian dengan cara menonjolkan diri serta dalam pencarian identitas kedewasaan cenderung melepaskan diri dari identitas lama dan mencari aku "ideal" sebagai identitas baru. Hal-hal tersebut diatas bisa dimengerti masa anak-anak menuju dewasa merupakan suatu proses transisi dimana tingkah laku anti sosial yang potensial disertai banyak pergolakan membuat anak kehilangan kontrol, kendali emosi yang meletup menjadi bumerang baginya, apabila dibiarkan dengan tanpa adanya pembinaan dan pengawasan yang tepat,cepat serta terpadu oleh semua pihak, maka gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada perbuatan yang bersifat kriminalitas. Pada umumnya kenakalan anak itu timbul disebabkan adanya berbagai faktor, antara lain meliputi faktor kemiskinan, kurangnya perhatian keluarga dan masyarakat, keterbatasan pengetahuan orang tua atas pendidikan anak, serta pengaruh negatif dari lingkungannya. Sehingga anak melakukan tindak pidana tidak terlepas dari faktor yang melatar belakanginya. Bisa jadi faktor relasi yang tidak setara antara anak dan orang dewasa melatar belakangi anak melakukan tindak pidana ,sebagaimana yang terjadi di salah satu Pengadilan Negeri tempat Penulis bertugas, seorang anak melakukan perbuatan cabul yang dilakukan bersama-sama dengan orang dewasa. Dalam hal ini kekuasaan orang dewasa terhadap anak dimanfaatkan untuk mempengaruhi,menyuruh atau melibatkan anak dalam melakukan tindak pidana, lain dari pada itu derasnya arus informasi tanpa regulasi juga dapat menjadi pemicu anak melakukan tindak pidana. Untuk itu berdasarkan pemikiran sebagaimana tersebut di atas maka tindakan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Dalam ketentuan Sistem Peradilan Pidana Anak yang diberlakukan mulai atau sejak pada tanggal 30 Juli 2014, apabila anak melanggar hukum Pada prinsipnya penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tua/ wali dan/atau lembaga, bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan /atau tidak mengulangi tindak pidana (Pasal 32 ayat (1) UU.No.11 Tahun 2012 ). Dan penahanan hanya dapat dilakukan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 7 (tujuh) tahun atau lebih. akan tetapi harus dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan kepentingan masyarakat. Tempat tahanan anak harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa, hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan anak terhadap pengaruh-pengaruh buruk yang dapat diserap melalui kontek kultural dengan tahanan lain. Dalam memberikan perintah penahanan bagi pelaku tindak pidana terhadap anak sangat diharapkan agar hati
dan perasaan para aparat penegak hukum tergugah untuk lebih memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan serta perlindungan bagi anak,namun yang paling penting diharapkan agar pihak penegak hukum tidak ringan tangan dalam melakukan penahanan terhadap perkara anak,sehingga penahanan hanyalah merupakan upaya terakhir dalam menyelesaikan suatu perkara setelah sebelumnya diselesaikan dengan cara lain yang tidak mendapatkan jalan keluarnya. Pergeseran pemidanaan terhadap anak dari waktu kewaktu cukup merepotkan para aktivis penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum ( ABH ), pemidanaan sesaat mungkin dapat memuaskan keinginan publik sesuai dengan tiori pembalasan, namun hal tersebut apakah menjadikan anak lebih baik ?. Hal tersebut memunculkan pemikiran para aktivis penanganan ABH pada satu sisi dan pengalaman positif penerapan sanksi reparation ( alternative ) dan proses penyelesain konflik secara informal melalui mediasi antara pelaku dan korban disisi lain, memunculkan pemikiran reformasi peradilan kearah Restorative Justice, memandang bahwa Juvenile delinguency adalah perilaku yang merugikan korban dan melukai perasaan masyarakat. Tanggapannya Juvenile delinguency terarah pada perbaikan atau penggantian kerugian yang diderita korban dan penyembuhan luka yang diderita masyarakat itu. Restorative Justice tidak bersifat Punitif namun juga tidak berarti ringan sifatnya.
II. DEVERSI Deversi adalah merupakan bentuk terbaik dari Restorative Justice; Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana ( Pasal 1 ayat 7 UU.No.11 Tahun 2012 ). Anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum diberi hukuman dengan cara-cara yang lebih edukatif, sehingga mereka tidak merasa dirugikan dan sianak bisa belajar atas kesalahan dari apa yang dilakukannya. Diversi bertujuan untuk menghindari anak mengikuti proses peradilan yang dapat menimbulkan cap / stikma sebagai penjahat guna meningkatkan ketrampilan hidup bagi si anak agar si anak bisa bertanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Program Diversi merupakan upaya terbaik bagi anak, oleh karena itu Diversi tanpa melalui proses formal merupakan upaya yang optimal terutama bagi tindak pidana yang ancamannya ringan, dimana keluarga, sekolah maupun lembaga sosial lainnya telah atau akan beraksi dengan cara yang layak dan membangun. Hal ini sudah barang tentu akan melibatkan aparat penegak hukum untuk mengatakan kepada si anak bahwa apa yang diperbuatnya adalah salah dan memperingatkannya untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi, yang kemudian perkara tidak diteruskan ke persidangan. Sebagai contoh anak yang
karena sesuatu hal kemudian melakukan pencurian yang nilainya kecil, si anak diminta untuk mengembalikan kerugian yang diderita oleh korban dengan memperhitungkan kemampuan si anak. Pada prinsipnya program Diversi hanya dapat digunakan terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan, akan tetapi perlu diingat bahwa pengakuan tersebut tidak boleh muncul akibat adanya pemaksaan, penghukuman tidak bisa menjadi bagian Diversi, mekanisme dan struktur Diversi tidak mengijinkan pencabutan kebebasan dalam segala bentuk, dimungkinkan perkara tersebut diserahkan atau dilimpahkan kembali ke pengadilan untuk diperiksa secara formal apabila tidak ada solusi yang dapat diambil dalam Diversi tersebut. Dan perlu diketahui bahwa tidak semua perkara dapat di Diversi, terhadap perkara-perkara yang serius antara lain terhadap perkara kekerasan seksual, terhadap perkara kekerasan lainnya mauaupun perkara pembunuhan tidak dimungkinkan untuk dilakukan Diversi.
III. PIDANA MODERN Tujuan utama Restorative Justice adalah perbaikan atau penggantian kerugian yang diderita oleh korban, pengakuan pelaku terhadap luka yang diderita oleh masyarakat akibat tindakannya,konsiliasi dan rekonsiliasi
pelaku,korban
dan
masyarakat.
Restorative
Justice
bertujuan
memberdayakan
korban,pelaku,keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki tindakan melanggar hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Restorative Justice juga bertujuan untuk merestorasi kesejahteraan masyarakat, memperbaiki manusia sebagai anggota warga masyarakat dengan cara menghadapkan anak sebagai pelaku berupa pertanggung jawaban kepada korban atas tindakannya. Korban yang biasanya terabaikan dalam proses peradilan, dalam hal ini ikut berperan serta dalam proses peradilan. Pada umumnya korban tidak diikut sertakan dalam proses peradilan pidana, namun dalam Peradilan Restorat^korban diberi kesempatan berperan serta di dalamnya. Restorative Justice dianggap sebagai model pemidanaan modern dan lebih manusiawi terhadap model pemidanaan terhadap anak; sebagai bentuk pemidanaan yang lebih mengedepankan pemulihan atau penggantian kerugian yang dialami korban dari pada penghukuman pelaku.Proses penyelesaian perkara pidana anak bukan semata-mata penghukuman anak, namun bersifat mendidik dan yang penting adalah mengembalikan kondisi dan memulihkannya sebagaimana sebelum terjadinya tindak pidana. Restorative Justice menggeser nilai falsafah penanganan anak dari penghukuman menuju rekonsiliasi, pembalasan terhadap pelaku menjadi penyembuhan korban, pengasingan dan kekerasan menuju keperansertaan dan kekerabatan masyarakat secara keseluruhan, destruktif yang negatif menuju keperbaikan, pemberian maaf
yang sarat dengan limpahan kasih sayang. Satu nilai positif yang berusaha mencakup pengakuan perasan insani secara luas, termasuk perbaikan dan penyembuhan,pemberian maaf ,kasih sayang dan rekonsiliasi termasuk pemberian sanksi kalau hal itu memang diperlukan.
IV. PENUTUP Restorative Justice mampu menawarkan solusi yang komprehensip dan efektif, ukuran keadilan tidak didasarkan pada balasan setimpal yang ditimpakan oleh korban kepada pelaku baik psikis, fisik atau hukuman, namun tindakan pelaku yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan masyarakat agar pelaku bertanggung jawab. Prinsip Restorative Justice sebenarnya telah dipraktekkan, sejumlah masyarakat kita pada umumnya dalam perkara kecelakaan lalu lintas keluarga korban menyatakan bahwa kejadian tersebut sudah merupakan takdir, keluarga korban memafkan pelaku, dan pelaku/keluarganya memberikan kompensasi/ ganti rugi ataupun santunan akibat kejadian tersebut. Oleh karena itu upaya untuk menjadikan Restorative Justice sebagai model dalam penanganan pidana anak sangat prospektif, tinggal memodifikasi dari praktek-praktek yang secara konvensional telah ada dan berkembang disejumlah tempat di Indonesia. Hal tersebut kedepan bukannya tidak mungkin untuk dilaksanakan karena pada prinsipnya hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tentang bagaimana cara mewujudkan perdamaian, hal itu sangat tergantung pada kebijaksanaan hakim, apabila langkah ini tidak dapat dilaksanakan,maka pemidanaan merupakan pilihan terakhir dan semata-mata demi kepentingan si anak, agar anak bertobat memperbaiki dirinya. Dengan berlakunya Undang-undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diharapkan nantinya tidak dijumpai lagi adanya kekerasan dan pelanggaran hak-hak anak dalam hal terjadi penangkapan,penahanan maupun penanganan terhadap perkara anak. Perlu adanya sistem dan kelembagaan administrasi yang terpisah terhadap perkara anak, Kepada Pemerintah cq Menteri Hukum dan HAM beserta Menteri Sosial hendaknya perlu segera membentuk Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA) dan
Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) sebagai implementasi pelaksanaan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak.yang mengedepankan Restorative Justice sebagai model pemidanaan modern bagi anak.