22
dan pelaku serta mereintegrasikan kembali keduanya dalam kehidupan masyarakat secara normal. Keduanya harus dibebaskan dari masa lalunya demi masa depan uang lebih cerah. 5. Restorative justice memberikan kekuatan bagi masyarakat untuk mencegah supaya tindak kejahatan tidak terulang kembali. Kejahatan mendatangkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi kejahatan bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk membuka keadilan yang sebenarnya bagi semua masyarakat. Hal ini karena faktor korelatif kriminogen lebih cenderung berakar dari persoalan yang ada dalam masyarakat itu sendiri, seperti faktor ekonomi, sosial, budaya, dan bukan bersumber dari dalam diri pelaku. Oleh karena itu korban dan pelaku harus kembali ditempatkan untuk menjaga keutuhan masyarakat dan diposisikan sesuai dalam fungsinya dalam kehidupan masyarakat. Konsep restorasi ini dapat dijadikan sebagai salah satu dari tujuan pemidanaan sebagai upaya penyelesaian kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan dengan memberikan rasa tangung jawab semua pihak, termasuk masyarakat itu. Selain itu juga bisa memberikan nuansa edukatif kepada korban dan pelaku untuk saling menghargai terhadap sesama dalam mencapai kebahagian hidup bersama. Selain itu, dalam Penjelasan UU-SPPA menyebutkan bahwa Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan
23
melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
4. Teori Prisonisasi Teori prisonisasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Donald Clemmer dalam buku Gresham M. Sykes and Sheldon L. Messinger yang berjudul Inmate Social System, yang pada intinya mencantumkan :
The prison is one such setting. It differs from more traditional socializing organization in many ways. But like the school or university, socialization processes do indeen go on there, whether they follow the patterns intended by the prison staff or not. The social organization and culture of the prison as it has an impact on socialization, and particularly on the relationship between what an inmate experiences within the prison , and his attachment to the outside world. (Dalam terjemahan bebas dapat diartikan, organisasi sosial dan budaya penjara memberikan dampak atau pengaruh pada sosialisasi, dan khususnya dalam hubungan antara pengalaman napi di lapas dan karena melekat dengan nilai-nilai luar) Donald Clemmer defined prisonization as “the taking on, in greater or lesser degree, of the folkways, mores, custom and general culture of the penitentiary, (Dalam terjemahan bebas diartikan, Donald Clemmer mendefinisikan prisonisasi dalam lapas menganut suatu budaya umum, kultur dan kebiasaan dalam tingkat tinggi atau rendah) Degree of prizonisation was simply the degree of close interpersonal contact the inmates had with other inmates within the institution, (Dalam terjemahan bebas diartikan, Derajat prisonisasi ditentukan oleh derajat kedekatan hubungan narapidana dengan narapidana lain di dalam penjara) to test Clemmer’s hypothesis that the longer the duration of stay, the more likely one was become prisonized (Dalam terjemahan bebas, untuk menguji hipotesis clemmer, panjangnya waktu tinggal lebih mungkin seseorang menjadi pengikut subkultural penjara) Very simply, we devided inmates into three groups: those who had been in only a short time, those who had only a short time remaining to serve and those who were near neither entry nor release.
24
(Dalam terjemahan beba, secara mudah, kita membagi narapidana menjadi tiga kelompok : mereka yang hanya dalam waktu singkat, mereka yang hanya dalam waktu singkat tersisa untuk melayani, orang-orang yang dalam waktu singkat tidak akan masuk atau keluar) 22 1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Jenis penelitian. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini termasuk ke dalam penelitian hukum empiris. Artinya, penelitian hukum tersebut dalam penulisannya mengkonsepkan hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata.23 Dalam konteks ini, sesuatu yang disebutkan sebagai hukum tidak semata-mata ditimbulkan dan didasarkan dari literatur-literatur hukum, namun sebagai suatu yang ditimbulkan dari keadaan masyarakat atau proses di dalam masyarakat berdasarkan suatu gejala yang akan menimbulkan berbagai efek dalam kehidupan sosial dengan merumuskan kesenjangan antara das sein dan das solen, yaitu kesenjangan antara teori dengan realita atau fakta hukum. Penulis memilih jenis penelitian empiris ini untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas dari pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada anak yang menjalani pembinaan di LAPAS Anak dan untuk mengetahui dan menganalisis prisonisasi yang terjadi pada anak,
22
Gresham M. Sykes and Sheldon L. Messinger, Inmate Social System, h. 194-195, dikutip dari Sir Leon Radzinowicz and Marvin E. Wolfgang, Crime and Justice, Volume III The Criminal Under Restraint, Basic Books Inc Publishers, New York. 23
h.59.
Nomense Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta,
25
khususnya pada anak yang dibina pada LAPAS Kelas IIB Anak Gianyar di Karangasem. 1.7.2. Sifat penelitian. Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif pada penelitian secara umum, termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada dan bahkan jumlahnya cukup memadai. 1.7.3. Sumber data. Sumber data dalam penelitian ini adalah berasal dari penelitian secara langsung ke masyarakat untuk mendapatkan data yang konkrit. Penelitian dilakukan secara langsung pada Lembaga Pemasyrakatan Kelas IIB Anak Gianyar Di Karangasem. Adapun data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Data primer yaitu data yang diperoleh berdasarkan fakta-fakta sosial yang terkait dengan bekerjanya hukum yang nyata dihadapi oleh masyarakat. Data ini diperoleh dengan mengadakan penelitian secara langsung di lapangan (field research). Data primer merupakan data
26
yang diperoleh dari lapangan, dalam hal ini data dari hasil penelitian yang dilakukan pada Lembaga Pemasyrakatan Kelas IIB Anak Gianyar Di Karangasem. 2.
Data sekunder yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan (library research) yaitu dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah: a.
Bahan hukum primer berupa peraturan Perundang-undangan yaitu: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668); 5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332);
27
6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235); 7) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143); 8) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 9) Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
1995
tentang
Pemasyarakatan (Lembar Lepas Segneg Tahun 1995); 10) Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2006
tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63); b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu
berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan bahan-bahan hukum sekunder
28
yang berupa buku-buku hukum ini harus relevan dengan topik penelitian. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah : -
Buku-buku hukum (text book)
-
Jurnal-jurnal hukum.
-
Karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media masa.
-
Internet.
Dimana keseluruhannya berkaitan dengan prisonisasi yang terjadi pada anak yang dibina dalam Lembaga Pemasyrakatan. c.
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan adalah: -
kamus hukum;
-
kamus bahasa Indonesia dan;
-
kamus ilmiah.
1.7.4 Lokasi Penelitan. Lokasi yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Anak Gianyar di Karangasem. Lokasi ini digunakan karena dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai Prisonisasi terhadap Anak dalam LAPAS Anak, penulis harus mengetahui secara pasti bagaimana kondisi anak dalam LAPAS Anak yang ada di wilayah Bali. Pada masing-masing provinsi yang ada di Indonesia hanya terdapat satu buah LAPAS Anak. Maka dari itulah lokasi
29
yang digunakan oleh penulis adalah LAPAS kelas IIB Anak Gianyar di Karangasem yang merupakan satu-satunya LAPAS Anak untuk wilayah Provinsi Bali.
1.7.5 Teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan melalui dua cara, yaitu : 1. Untuk data primer yakni dengan melakukan wawancara yaitu cara yang dipergunakan baik dengan informan untuk nantinya memperoleh informasi yang dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawabanjawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada informan. Informan yang akan diwawancarai oleh penulis diantaranya terdiri dari Ketua LAPAS Anak Kelas IIB Anak Gianyar di Karangasem dan juga Kepala Bagian yang ada di dalam struktur kepengurusan LAPAS Anak Kkelas IIB Anak Gianyar di Karangasem tersebut yang membidangi pembinaan anak di LAPAS. 2. Untuk data sekunder yakni melalui studi dokumen yang dilakukan dengan menelaah dan mencatat bahan-bahan yang relavan dengan permasalahan yang dibahas.
30
1.7.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian Teknik pengambilan sample atas populasi penelitian dapat dibedakan menjadi dua yakni Teknik Probability Sampling dan Teknik Non Probability Sampling. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan Teknik Non Probability Sampling dengan Teknik Purposive Sampling. Pengambilan sample dengan teknik ini memberikan peran yang sangat besar kepada peneliti untuk menentukan pengambilan samplenya. Penggunaan teknik ini juga terkait dengan sifat penelitian yang digunakan penulis yakni sifat penelitian deskriptif. Purposive Sampling dipilih karena penarikan sample dilakukan berdasarkan tujuan tertentu yaitu sample yang dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sample didasarkan pertimbangan bahwa sample telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. 24
1.7.7 Pengolahan dan analisis data. Apabila keseluruhan data yang diperoleh dan sudah terkumpul baik melalui studi kepustakaan ataupun dengan wawancara, kemudian data diolah dan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan
24
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Bali, h.71-72.
31
secara
deskriptif analisis. Kemudian, data yang telah rampung tadi
dipaparkan dengan disertai analisis sesuai dengan teori yang terdapat pada buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna mendapatkan kesimpulan sebagai akhir dari penulisan.
32
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PRISONISASI ANAK
2.1 Pengertian Anak yang Berkonflik Dengan Hukum (Anak Nakal) Membahas mengenai anak yang berkonflik dengan hukum perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari anak itu sendiri. Pengertian tentang anak terkait dengan batasan usia seseorang yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, batasan tentang usia anak tidak selalu sama. Perbedaan tersebut didasarkan pada perspektif dan tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan atau politik hukumnya. Dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, intinya diatur bahwa pengertian anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, diatur bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengertian anak adalah setiap manusia yang berumur dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi juga diatur bahwa anak
33
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, pada Pasal 4 intinya menyebutkan bahwa anak adalah sebelum berumur 18 tahun atau belum kawin. Dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang, pada Pasal 1 angka 5 diatur bahwa anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (UUSPPA) pada intinya mengatur batas usia anak minimal 12 tahun dan maksimal 18 tahun, hal ini tercantum dalam Pasal 3,4,5 yang mengatur bahwa anak adalah anak yang belum mencapai umur 18 tahun. Namun, khusus usia anak yang dapat diajukan atau diproses melalui sistem peradilan pidana adalah anak yang usianya telah mencapai 12 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun. Kemudian dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (Burgelijk Wetbook), pengertian orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Tidak hanya di Indonesia, keragaman mengenai batasan usia anak juga terjadi di beberapa Negara lain. Paulus Hadisuprapto mengemukakan, bahwa penentuan kategori umur anak yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana antar Negara satu dengan yang lain tidaklah sama. Di Amerika Serikat, yakni pada 27 negara bagian menyepakati batasan usia anak adalah antara 8 sampai dengan 18 tahun, di 6 negara bagian lainnya menyepakati usia antara 7
34
sampai 17 tahun bahkan ada pula Negara bagian lainnya menyepakati 8 sampai 16 tahun. 25 Berdasarkan paparan ketentuan yuridis tentang batasan usia anak di atas dapat dipahami bahwa pengertian anak di Indonesia cukup bervariasi, baik dilihat dari batasan usia minimal maupun maksimalnya. Namun, mayoritas ketentuan mengatur bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Sedangkan batasan usia minimal orang yang dapat disebut sebagai anak adalah ada yang dihitung sejak lahir, atau setelah mencapai usia tertentu (misalnya 12 tahun), dan bahkan ada yang menentukan keberadaan anak dihitung sejak ia masih dalam kandungan ibunya. Keragaman ketentuan ini menunjukan adanya kekhususan penentuan usia anak dalam rangka melindungi kepentingan hukum anak. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 2 pengertian anak nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Namun berdasarkan praktik, ketentuan dalam huruf b diatas sulit diterapkan karena didalamnya mengandung pengertian “melawan hukum secara materiil”. Dengan demikian , justru melawan hukum secara formil-lah yang
25
Paulus Hadisuprapto I, op.cit, h.8
35
digunakan sebagai pijakan untuk menentukan tindak pidana, baik ketentuan tersebut tertuang dalam KUHP maupun ketentuan pidana di luar KUHP. Berkaitan dengan batasan minimal anak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (criminal responsibility), Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia pada tahun 2011 memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. MK menyatakan perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan Pasal 28B ayat (2) UUD NRI 1945. Penetapan usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak tersebut telah diterima dalam praktik di berbagai Negara. Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental dan intelektual yang stabil sesuai dengan psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia. 26 Dengan demikian, pengertian anak nakal dalam konteks UU Pengadilan Anak adalah anak yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang usianya 12 tahun sampai 18 tahun dan belum kawin. Khusus dalam konteks pengertian anak yang berkonflik dengan hukum (anak nakal), yang oleh UU- SPPA hanya disebut dengan istilah Anak, adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
26
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, http://www,djpp.depkumham.go.id/, diakses pada tanggal 5 November 2013, pukul 13:40
36
Pengertian anak yang berkonflik dengan hukum dalam konteks penulisan ini adalah seseorang yang sudah berusia12 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun yang oleh Pengadilan Anak diputus bersalah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perudang-undangan kemudian dijatuhi pidana atau tindakan. Penentuan status anak yang berkonflik dengan hukum (anak nakal) di Indonesia dilakukan oleh Hakim Anak melalui Putusan Pengadilan Anak. Pengertian Putusan Pengadilan berdasarkan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP adalah “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.” Berdasarkan ketentuan yuridis tersebut, pengertian Putusan Pengadilan Anak adalah pernyataan Hakim Anak yang diucapkan dalam sidang pengadilan anak, dapat berupa penjatuhan pidana atau tindakan, atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP dan UU Pengadilan Anak sebagaimana telah diganti menjadi UU-SPPA. Dalam UU-SPPA juga mengatur mengenai Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Pada Pasal 1 angka 2 UU-SPPA dijelaskan bahwa
Anak yang
Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 4 dan angka 5 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18
37
tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana, sedangkan Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau yang dialaminya sendiri. Adapun rumusan kenakalan yang berupa tindak pidana dan perbuatan lain yang dinyatakan terlarang bagi anak secara akademik ada 2 kategori dengan istilah status offender dan juvenile delinquency. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, misalnya tidak menurut, membolos sekolah dan kabur dari rumah. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum. 27
2.2 Prisonisasi Sebagai Risiko Pembinaan Anak Dalam Lembaga Permasyarakatan Donald Clemmer adalah pencipta istilah terminologi "prisonization" (prisonisasi). Istilah tersebut menunjuk pada proses asimilasi narapidana ke subkultur narapidana (term prisonization to referto the assimilation process of inmate into the inmate subculture), baik pandangan, norma, kebiasaan dan budaya umum lainnya yang sudah ada dalam lembaga pemasyarakatan (LAPAS). Dengan demikian, prisonization is the taking on of the ways, mores, customs, and general culture of the penitentiary, sehingga prisonisasi merupakan pembelajaran
27
Purnianti, Mamik Sri Supatmi dan Ni Made Martini Tinduk, 2003, Analisa Sistem Peradilan Anak Juvenile Justice System di Indonesia, UNICEF, Indonesia, h.5
38
kejahatan di dalam LAPAS. Persepsi ketidakberdayaan narapidana di dalam LAPAS mempunyai peran penting dalam tingkat prisonisasi. Hubungan interpersonal narapidana juga selalu terkait dengan sikap yang mempengaruhi resosialisasi narapidana. Bahkan dalam penelelitian selanjutnya ditemukan bahwa semakin besar kekangan dalam struktur dan keterbatasan fasilitas pemasyarakatan, akan semakin tinggi tingkat alienasi struktural yang dihasilkan, yang mengarah pada kemungkinan besar terjadinya prisonisasi. Prisnonisasi terjadi karena berhubungan dengan proses narapidana melakukan penentangan terhadap kebijakan staf LAPAS, tata tertib LAPAS, dan adanya kepatuhan narapidana terhadap kode narapidana yang sudah ada didalam LAPAS, dan adanya kecenderungan ketidakpatuhan narapidana terhadap normanorma hukum yang ada. Bahkan sebenarnya, menurut Iqrak Sulhin, prisonisasi merupakan proses belajar tentang kejahatan. Karena itu, Angkasa (2010:215) mengemukakan bahwa ternyata "Pemenjaraan" justru menjadikan penderitaan narapidana makin parah, serta terjadinya proses pembelajaran di dalam LAPAS yang justru menjadikan situasi terpeliharanya nilai-nilai kejahatan (prisonisasi). Prisonisasi ini mempunyai dampak negatif, terutama pada pelaku "kejahatan yang kebetulan" dan "pendatang baru dalam kejahatan". Adapun bentuk prisonisasi antara lain perploncoan pada narapidana baru, pencurian di kamar narapidana, penggunaan bahasa khusus agar tidak mudah dikenali orang luar, homoseksual, perampasan di lingkungan narapidana, perkelahian antar narapidana, kode etik untuk saling melindungi narapidana, dan
39
pengelompokan narapidana berdasarkan kedaerahan. Clemmer bahkan menyimpulkan dalam buku Prisonisasi Anak Nakal: Fenomena dan Penanggulangannyakarangan Widodo, bahwa prisonisasi adalah lawan/kebalikan dari rehabilitasi. Tanda-tanda terjadinya prisonisasi misalnya adalah penggunaan bahasa khusus (sandi), perubahan cara pakaian dan perilaku, dan pengakuan dari peran serta kewenangan dari LAPAS. Indicators of prisonization include the use of prison - specific language, changes in dress and behavior and recognition of the role and authority of the penitentiary.28 Karena itu, menurut Craig Haney dalam konsep para sosiolog, prisonisasi merupakan pembiasaan dan pembentukan kebiasaan narapidana yang disebabkan oleh LAPAS yang digunakan tempat tinggal narapidana. Secara lengkap dikemukakan bahwa, sociologist have used the term " institutionalization" to describe ways in which inmates are shaped and transformed by the institutional environments in which they lived.29 Dalam konteks tersebut, Jenne Lee Clifford (2010) menegaskan bahwa, prisoners are not passive agents of prisonization or socialization in the way the aforementioner literature would suggest. Prisonization is a coping strategy for long - term prisoners to make sense of their situation anr develop and manage an identity. Dengan demikian dapat di pahami bahwa prisonisasi adalah efek negatif dari pembinaan narapidana dalam LAPAS, dan dianggap sebagai dampak dari
28
29
Widodo, Op.cit., h.7.
Craig Haney, 2007, Counting Casualties in http://www.supermaxed.com, dikutip dari Widodo, Op.cit., h.7.
The
War
on
Prisoners,
40
penderitaan narapidana yang berkepanjangan dan upaya pencarian identitas.30 Menurut Gordon J. Hawkins, bentuk - bentuk prisonisasi adalah penerimaan peran narapidana baru yang rendah dalam LAPAS, akumulasi dari fakta organisasi LAPAS, pengembangan kebiasaan baru, misalnya makan, berpakaian, bekerja, tidur, penerapan bahasa lokal antar narapidana, dan penerimaan bahwa tidak ada istilah "berutang" kepada siapa saja dalam lingkungan narapidana dalam rangka memenuhi kebutuhannya. 31 Hal ini terjadi karena adanya proses ketika narapidana baru secara kelembagaan akan menerima gaya hidup dan nilai - nilai yang sudah ada dalam LAPAS. Prisonisasi ini akhirnya membentuk semacam kode khusus di lingkungan narapidana secara informal. Proses prisonisasi dapat terjadi dengan proses berikut. Narapidana baru secara perlahan akan menerima sub-budaya kelembagaan tersebut dalam rangka bertahan hidup. Banyak narapidana yang pada awalnya hanya mau menerima beberapa nilai sub-budaya baru dalam LAPAS, namun lama-kelamaan dan secara perlahan, melalui sosialisasi yang intensif akan menerima bahkan terintegerasi dengan nilai - nilai yang sudah ada. Dalam pengertian luas, prisonisasi mencakup semua perbuatan yang dialami oleh narapidana dalam LAPAS, apakah perubahan tersebut karena penerapan nilai- nilai sub-kultur, menentang terhadap sub-kultur, atau perubahan
30
Jenney Lee Clifford, 2010, Managing a Murderous Identity: How Men Who Murder Experience Life Imprisonment and the Concept of Release, Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy University of Bath, Departement of Social and Policy Sciences, dikutip dari Widodo, Op.cit., h.7. 31
Gordon J Hawkins, 1982, The Prison : Policy and Practice, University of Chicago Press, Chicago, h.60, dikutip dari Widodo, Op.cit., h.8.
41
yang tidak terkait dengan sub-kultur yang mengarah pada perilaku anti sosial. Berdasarkan paparan tentang pengertian prisonisasi tersebut dapat dipahami bahwa prisonisasi adalah proses pembiasaan sikap dan perilaku narapidana lain atau penyesuaian tingkah laku terpidana dengan sub-budayanya yang sudah ada dalam lembaga pemasyarakatan. Semua sikap dan tingkah laku ini diperoleh melalui proses belajar dengan sesama narapidana dalam waktu yang relatif lama. Karena itu, secara teoritik, narapidana yang sudah mengalami internalisasi sikap dan perilaku dari gaya hidup jahat sangat mungkin melanjutkan karir kejahatanya, dan kecil kemungkinannya untuk berhenti dari kejahatan. Berdasarkan alur pemikiran di atas, maka anak yang dibina di dalam LAPAS Dewasa (meskipun dalam Blok tersendiri) ataupun dibina di LAPAS anak sangat berisiko mengalami prisonisasi, sehingga banyak anak yang setelah keluar dari LAPAS lebih nakal dibandingkan dengan sebelum dibina di LAPAS sehingga sering kali menjadi anak amoral. Resiko ini bertambah besar jika dikaitkan dengan fakta bahwa pada tahap pasca-adjudikasi (post adjudication), yaitu pelayan anak setelah vonis pengadilan, terhadap beberapa situasi yang sering dihadapi oleh Anak Didik Pemasyarakatan adalah seperti: a. Terjadinya pencampuran antara anak didik dengan narapidana dewasa; b. Kepadatan hunian Lembaga Pemasyarakan yang menghambat proses pembinaan dan reintegrasi bagi anak didik; c. Belum terpenuhinya dengan baik hak-hak anak didik Pemasyarakatan seperti kualitas makanan, pendidikan, standar kesehatan, ibadah, rekreasi, kunjungan dan lainnya; d. Minimnya fasilitas dan sarana prasarana yang menunjang pembinaan bagi anak didik seperti fasilitas pendidikan, perpustakaan, fasilitas olahraga, fasilitas pelatihan keterampilan, sumber air serta fasilitas mandi dan cuci; e. Kerentanan terhadap pelanggaran hak sebagai anak didik serta haknya sebagai anak, termasuk kekerasan oleh penghuni lain yang lebih dewasa serta petugas;
42
f. Kesulitan dalam memperoleh program asimilasi dan reintegrasi terkait dengan syarat administratif tertentu, seperti belum berpihaknya proses kepada kepentingan yang tebaik bagi anak dalam bentuk percepatan, kemudahan, dan akuntabilitas; g. Adanya pengabaian dari orang tua dan masyarakat pada umumnya. 32
2.3 Perubahan Sistem Penjara Menjadi Lembaga Pemasyarakatan 2.3.1 Sejarah Pidana Penjara Pidana penjara diperkirakan muncul dalam tahun-tahun permulaan abad ke-18 dan mulai tumbuh sebagai pidana baru yang membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana. 33 Pidana perampasan kemerdekaan dalam rentetan sejarahnya lahir sebagai pengganti pidana badan. Di Indonesia misalnya pada saat jaman Kerajaan Majapahit yang menjadi pidana pokok adalah pidana mati, pidana badan, pidana denda dan pidana ganti rugi. Kemudian setelah Belanda masuk ke Indonesia sistem pidana menjadi berkembang dengan di berlakukannya kerja paksa. Selain itu, dilakukan pula sistem perampasan kemerdekaan dengan mengasingkan seseorang ke tempat yang sangat jauh. Di Inggris terdapat perkembangan dalam pelaksanaan pidana pencabutan kemerdekaan dengan terbitnya buku “The State of The Prison” yang ditulis oleh John Howard yang mengecam keadaan buruk dalam rumah-rumah penjara dan
32
33
Widodo, Op.cit., h.9-10.
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, h. 40-41.
43
membela nasib dari para narapidana agar mendapat perlakuan yang lebih berperikemanusiaan. Ia mengajukan agar narapidana itu ditutup secara terasing agar menyadari kesalahan, menyesali perbuatannya dan menjadi insaf. 34 Perjuangan John Howard ini membuahkan hasil dan mendapat sambutan dari berbagai pihak. Perhatian terhadap perlakuan narapidana dengan lebih manusiawi, juga usaha-usaha untuk memberikan arti yang sebenarnya dari pidananya, dapat kembali ke masyarakat dengan lebih baik. Pembinaan yang dilakukan meliputi pembinaan fisik dan mental, pendidikan umum, kesehatan dan lain sebagainya. 35 Di Amerika Serikat sistem kepenjaraan yang modern mula-mula timbul di Pensylvania salah satu Negara bagian Amerika Serikat, sebagai hasil dari semangat kemanusiaan dan kecerdikan golongan Quaker. Penjara Amerika Serikat yang pertama adalah Walnut Street Jail di Philadelphia. Penjara ini digunakan untuk keperluan tempat penahanan dan kemudian diperuntukkan bagi semua penjahat kelas berat dan bagi yang hendak menjalani pidana mati. 36 Kemudian berkembanglah di Philadelphia yang disebut dengan Sistem Pensylvania. Sistem ini menekankan pada penutupan secara terasing, agar narapidana insyaf dan menyesal atas perbuatannya serta merasakan pidananya. Mereka telah dipisahkan dan ditutup di dalam sel-sel, baik pada siang hari
34
Sudarto,1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung h.91
35
C.I Harsono, 1995, Sistem Baru Pemidaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, h. 46.
36
Andi Hamzah, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidaan di Indonesia, (selanjutnya disebut Andi Hamzah III), Akademi Pressindo, Jakarta, h.57.
44
maupun malam hari sampai mereka selesai menjalankan pidananya. Dari sistem Pensylvania inilah orang mengenal apa yang disebut Cellulair Stelsel atau penutupan dalam sel, yang hingga kini masih tetap dipertahankan disebagian rumah penjara diberbagai Negara di dunia termasuk di Indonesia. 37 Menurut Dwija Priyatno, stelsel sel pertama kali dilakukan di Kota Philadelphia sehingga dinamakan Stelsel Pensylvania. Sel adalah kamar kecil untuk seorang. Jadi orang-orang terperjara dipisahkan satu sama lain untuk menghindarkan penularan pengaruh kejahatan. 38 Dalam waktu yang bersamaan di Auburn muncul sistem lain yang disebut dengan Sistem Auburn atau sistem tutup mulut. Pada malam hari narapidana ditutup dalam sel, pada siang hari melakukan pekerjaan secara bersama-sama namun dilarang berbicara satu sama lain. Sistem ini kemudian disebut dengan sistem Congregatenand Silent (berkumpul bersama namun dilarang keras untuk bercakap-cakap. Karakteristik dari sistem ini adalah dititikberatkan pada pekerjaan tangan sebagai sebuah alat pembaharuan dan mempunyai nilai ekonomi bagi lembaga penjara. Pemberian pekerjaan ini dianggap sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki akhlak terhukum, maka terjadilah sistem campuran ini. malam tinggal disel dan siang hari bekerja bersama-sama.39
37
P.A.F Lamintang, 1988, Penitersier Indonesia, Armico, Bandung, h.35.
38
Dwija Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h.88. 39
Ibid.
45
Kemudian timbul sistem baru yakni sistem progresif, sistem ini muncul dari keadaan ketidakpuasan dalam penjara yang mengikuti sistem Pensylvania dan sistem Auburn. Keadaan yang tidak memuaskan inilah yang mendorong terjadinya sistem baru yakni sistem progresif. 40 Berdasarkan sistem ini pidana penjara dimulai dengan suatu periode dikurung dalam sel selama beberapa bulan, kemudian disusul dengan periode bekerja bersama-sama di siang hari. Selama periode ini terhukum melalui beberapa tingkatan yang membuat semakin baiknya tingkah laku terhukum agar nantinya siap kembali ke masyarakat. Sistem secara bertahap ini merupakan awal dari pemikiran konsep individualisasi dalam pelaksanaan pembinaan narapidana. Pada tahun 1877 di Elmira Negara bagian New York didirikan “reformatory” yang pertama yang diperuntukan bagi pemuda-pemuda yang berusia 16 sampai 30 tahun. Lama pidana tidak ditentukan secara pasti, yang disebut “indeterminate sentence”. Melalui pembagian kelas dan sistem angka para narapidana dapat mempengaruhi sendiri kapan ia dapat dilespaskan dengan syarat tertentu (parole).41 Sistem ini dikenal luas sampai di Eropa Barat, yakni di Borstal sehingga sistem tersebut dinamakan sistem Borstal. Penjahat umur 16 sampai 21 tahun dapat dipidana selama setinggi-tingginya tiga tahun dalam lembaga Borstal. Tidak ada “indeterminate sentence”, akan tetapi ada kesempatan bagi narapidana untuk
40
Ibid., h.89.
41
Sudarto, Op.cit, h.93.
46
mengurangi lama pidannya dengan sikap baik dan kemungkinan untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat. Sistem Borstal ini kemudian dikenal meluas di beberapa Negara termasuk pula Indonesia. sistem Borstal ini diterapkan pada penjara khusus anak-anak di Tangerang yang didirikan pada tahun 1927. Di Indonesia pada zaman majapahit
belum dikenal pencabutan
kemerdekaan atau pidana penjara. Jenis pidana pokok yang berlaku pada saat itu ialah pidana mati, pidana potong anggota badan dan pidana ganti kerugian. 42 Pada zaman itu belum ada penjara. Pada zaman Hindia Belanda, berdasarkan penelitian yang dilakukan Notosoesanto saat beliau sebagai Kepala Jawatan Kepenjaraan, rumah tahanan ada tiga macam yaitu : a. Bui (1602) tempatnya dibatasi pemerintah kota; b. Ketingkwartier, merupakan tempat untuk orang-orang perantauan; c. Vrouwentuchthuis
adalah
tempat
untuk
menampung
orang-orang
perempuan bangsa belanda karena melanggar kesusilaan. 43 Kemudian perubahan besar dalam urusan penjara dan perbaikan penjara yang dimulai pada tahun 1905. Beberapa penjara yang luas dan sehat mulai didirikan, mulai mengangkat pegawai yang cakap. Pada tahun 1918, mulai berlaku “Reglemen Penjara Baru” (Gestichten Reglement). Tahun 1918 ini pemerintah tidak berusaha mengadakan penjara-penjara pusat, akan tetapi
42
Sudarto, Op.cit, h.95.
43
Andi Hamzah III, Op.cit, h. 77.
47
mengadakan penjara-penjara istimewa untuk beberapa golongan terpenjara. Namun usaha untuk memperbaiki kepenjaraan mendapat gangguan karena timbulnya perang dunia I. Tahun 1919 di Jatinegara diadakan sebuah penjara istimewa, untuk orang yang dipidana penjara seumur hidup dan narapidana nakal. Kemudian tahun 1925 di daerah Tanah Tinggi dekat Tanggerang didirikan penjara khusus anak–anak di bawah umur 20 tahun. Pada tahun ini juga di Surabaya dan Batavia diadakan “Clearing House” untuk mengumpulkan narapidana yang mendapat pidana lebih dari satu tahun untuk diselidiki, dipilih lalu dikirim ke penjara lain sesuai dengan jiwa, watak, dan kebutuhan narapidana terutama lapangan pekerjaannya dalam penjara. 44 Pada tahun yang sama di Penjara Cipinang dicoba mengadakan tempat tidur yang terpisah untuk narapidana yang disebut “Chambretta” yaitu kerangkengan yang berupa sangkar Negara yang dibuat dari jeruji besi dan tiaptiap kerangkeng untuk satu orang dengan maksud mencegah perbuatan cabul dan lain sebagainya. 45 Sejarah masa lampau tentang gambaran penjara di jaman penjajahan Belanda, penuh dengan penderitaan yang sisanya masih terlihat pada bangunan penjara dengan sel-selnya. Bangunan penjara dirancang secara khusus sebagai
44
45
Andi Hamzah III, Op.cit., h.76-83.
Mohammad Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Kreasi Wacana, Yogyakarta, h.139.
48
tempat untuk membuat jera para pelanggar hukum. sebab itu namanya menjadi penjara, yaitu tempat untuk membuat jera.46 Pada zaman kemerdekaan tercetuslah gagasan pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Sahardjo dalam pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya itu beliau memberikan rumusan dari tujuan pidana penjara sebagai berikut : “Di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna, dengan perkataan lain, tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan, yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang telah tersesat, diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.”47
Pendapat Sahardjo tersebut, merupakan suatu gagasan untuk pembinaan, sebagaimana yang dikatakan oleh Sudarto, gagasan tersebut dinyatakan sebagai dasar untuk pembinaan para terhukum yang lazim disebut “treatment philosophy” atau “behandelings filosofi”. Selanjutnya
Sudarto
mengemukakan
istilah
“pemasyarakatan”
dapat
disamakan dengan “resosialisasi” dan/atau “rehabilitasi”, dan sejak tanggal 27 April 1964 istilah Rumah penjara diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan. 48
46
C.I Harsono, Op.cit., h.32.
47
Djoko Prakoso, 1988, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h.62.
48
Sudarto, Op.cit., h.98.
49
Menurut Sahardjo yang terdapat dalam buku Pelajaran Hukum Pidana Bagian I karangan Adami Chazawi, lembaga pemasyarakatan bukan suatu tempat yang semata-mata menghukum dan menderitakan orang, akan tetapi suatu tempat membina atau mendidik orang-orang yang telah berkelakuan menyimpang (narapidana),
agar
setelah
menjalani
pembinaan
di
dalam
lembaga
pemasyarakatan dapat menjadi orang-orang yang baik dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat.49 Menurut Bachroedin Soerjoroto, dalam buku Sudarto yang berjudul Kapita Selekta Hukum Pidana, mengemukakan bahwa prinsip pemasyarakatan itu adalah “pemulihan kembali kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan, yang terjalin antara manusia dengan pribadinya, manusia dengan semaunya, manusia dengan masyarakat, manusia sebagai keseluruhan, manusia dengan alamnya dan (dalam keseluruhan ini) manusia sebagai makhluk Tuhan, manusia dengan khalikNya.”50 Dalam perkembangan selanjutnya terus dilakukan upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan UU No. 12 Tahun 1995. Walaupun istilah penjara telah diubah menjadi lembaga pemasyarakatan, namun pelaksanaannya masih menghadapi beberapa masalah, antara lain :
49
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.38. 50
Sudarto, Op.cit., h.98
50
a. Gedung-gedung penjara peninggalan Belanda masih tetap dipergunakan, karena merubah sesuai dengan cita-cita pemasyarakatan memerlukan biaya yang sangat besar. b. Petugas-petugas pemasyarakatan masih sedikit sekali memahami tujuan pemasyarakatan. c. Masalah biaya dan masyarakatan yang masih belum dapat menerima narapidana setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.51 2.3.2 Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan Hukum sebagai pengayoman telah membuka jalan bagi perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara. Konsep pemasyarakatan tersebut kemudian mulai disempurnakan oleh Keputusan Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan
pidana
penjara
di
Indonesia
dilakukan
dengan
sistem
pemasyarakatan, suatu pernyataan di samping sebagai arah tujuan, pidana penjara juga dapat menjadi cara untuk membimbing dan membina. Nama kepenjaraan kemudian diubah menjadi pemasyarakatan. Dengan lahirnya era pemasyarakatan, maka dapat dikatakan bahwa kita telah memasuki era baru dalam proses pembinaan narapidana dan anak didik. Dalam era baru ini narapidana dan anak didik mendapat pengayoman dan pembinaan demi pemasyarakatan mereka yang mantap. Hal ini berarti bahwa narapidana dan anak didik dibina, dibimbing serta dituntut untuk menjadi warga masyarakat yang berguna. Pembinaan berdasarkan sistem ini berlaku untuk
51
Soedjono Dirdjosisworo, 1972, Dasar-Dasar Penologi Usaha Pembaharuan Sistem Kepenjaraan dan Pembinaan Narapidana, Alumni, Bandung, h.87.