Diversi sebagai Bentuk Penyelesaian Perkara Pidana Anak Melalui Pendekatan Restorative Justice oleh Penyidik Muhammad Bonar, Fachry Bey, Sri Laksmi Anindita Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Abstrak Tulisan ini membahas tentang beberapa permasalahan terkait dengan proses diversi sebagai bentuk penyelesaian perkara pidana anak melalui pendekatan restorative justice oleh penyidik. Penelitian ini berfokus pada tiga pokok permasalahan, yakni: tentang diversi sebagai alternatif penyelesaian sengketa berparadigma restorative justice, legalitas diversi sebagai bentuk diskresi kepolisian, dan pengaturan diversi pada hukum internasional, negara Australia, dan Belanda. Penelitian ini bermetodekan yuridis-normatif yang metode pengambilan data berfokus pada studi literatur dan wawancara narasumber. Hasil penelitian berkesimpulan bahwa diversi menjadi salah satu jalan terbaik dalam penyelesaian perkara pidana anak dan menyarankan untuk dilakukannya perbaikan dalam pelaksanaan diversi. Kata kunci: diskresi ,diversi, restorative justice, tindak pidana anak. Abstract This thesis discusses some problems related to the settlement of diversion as a form of juvenile delinquency through restorative justice approach by investigators. This study focuses on three main issues, namely: diversion as an alternative dispute resolution through restorative justice paradigm, the legality of police discretion as a form of diversion and diversion arrangements on international law, Australia, and the Netherlands. This study focus on juridical-normative study. The data retrieval methods focus on the study of literature and informant interviews. The results concluded that the diversion to be one of the best in the completion of the juvenile delinquency and advise children to undertake improvements in the implementation of the diversion. Key words: discretion, diversion, restorative justice, juvenile delinquency. Pendahuluan Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa yang berperan sangat strategis sebagai succesor suatu bangsa dan bertugas untuk menjadi penerus cita–cita perjuangan bangsa. Secara filosofis anak ialah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Di mata masyarakat internasional, peran strategis yang dimiliki oleh anak telah melahirkan berbagai macam gagasan mengenai hak anak. Gagasan awal mengenai hak anak dicetuskan oleh Eglantyne Jebb. Eglantyne Jebb ialah aktifis wanita yang menyusun sepuluh butir pernyataan tentang hak anak atau rancangan Deklarasi Hak Anak (Declaration of The Rights of The Child) yang kemudian pada tahun 1923 diadopsi oleh lembaga
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
Save The Children Fund International Union.1 Deklarasi Hak Anak tersebut kemudian pada tahun 1924 diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa atau yang lebih dikenal sebagai Konvensi Jenewa.2 Pada Tahun 1959, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali mengeluarkan pernyataan mengenai Hak Anak yang merupakan deklarasi internasional kedua bagi hak anak.3 Sampai akhirnya pada Tahun 1989 lahir Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Konvensi tentang Hak-Hak Anak pada intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Khusus tentang posisi anak yang berhadapan dengan hukum terdapat United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Standard Minimum Pengaturan untuk Admistrasi Pengadilan Anak) atau yang lebih terkenal dengan istilah the Beijing Rules. Dalam hukum positif nasional, pengaturan tentang perlindungan anak dan metode penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak dapat dilihat mulai dari Konstitusi Negara ini. Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam tingkat Undang-Undang pengaturan tentang perlindungan anak dan metode penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan yang terbaru oleh UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Mengingat bahwa perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat belum secara komperhensif terpenuhi oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dilakukan perbaharuan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, yang berlaku setelah 2 tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang tersebut diundangkan.4 1
Supriyadi Eddyono, Pengantar Konvensi Hak Anak, (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 1.
2
Ibid.
3
Ibid. Indonesia (a), Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Ps. 108. 4
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
Salah satu bentuk kebutuhan hukum masyarakat yang belum secara komperhensif terpenuhi oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ialah tentang tujuan sistem peradilan anak dengan paradigma restorative justice. Restorative justice atau keadilan restoratif ialah merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian.5 Indikator pencapaian tujuan penjatuhan sanksi dilihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasan korban, besarnya ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses kerja yang terjadi.6 Salah satu solusi yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak melalui pendekatan restorative justice ialah dengan cara pengalihan atau diversi. Diversi ialah pengalihan penanganan kasus pada anak-anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat.7 Senada dengan penjelasan tersebut, menurut Setya Wahyudi, diversi ialah pengalihan proses formal pemeriksaan perkara anak kepada proses informal dalam bentuk program-program diversi.8 Prinsip diversi yang terdapat dalam konvensi hak-hak anak yaitu suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang dinilai terbaik demi kepentingan anak.9 Diversi dapat dalam bentuk dikembalikan ke orang tua si anak baik tanpa maupun disertai peringatan informal/formal, mediasi, musyawarah kelompok keluarga pelaku dan keluarga
5
Eva Achjani Zulfa (a), “Restorative Justice di Indonesia: Peluang dan Tantangannya,” http://evacentre.blogspot.com/p/restorative-justice-di-indonesia.html, diunduh 8 September 2012. 6
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 39. 7
Apong Herlina, et al., Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum: Manual Pelatihan untuk Polisi, (Jakarta: UNICEF-POLRI, 2004), hlm. 330. 8
Setya Wahyudi, op. cit. hlm. 58.
9
Mugiman, “Implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak: Studi terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Tingkat Penyidikan di Polres Purbalingga,” Jurnal Dinamika Hukum FH UNSOED 10 (Mei 2010), hlm. 8.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
korban, atau bentuk-bentuk penyelesaian terbaik lainnya yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat.10 Istilah diversi ini tidak dikenal baik itu dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maupun dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Istilah diversi baru dikenal pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, diversi bukan merupakan sebuah proses wajib dan tidak memiliki payung hukum yang diberikan oleh undang-undang. Terlepas dari tidak adanya istilah diversi dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam prakteknya penggunaan metode diversi sudah dikenal dalam penyelesaian perkara pidana anak dalam tahap penyidikan oleh polisi. Dalam melaksanakan diversi terhadap perkara pidana anak, payung hukum yang digunakan oleh penyidik polisi ialah Telegram Rahasia Kabareskrim Polri Nomor TR/1124/XI/2006 tentang Petunjuk dan Arahan Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Lebih lanjut berbicara mengenai diversi sebagai salah satu bentuk penyelesaian perkara pidana anak ialah tentang kedudukan hukumnya didalam sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini, karena bagaimanapun juga diversi, yang merupakan pelaksanaan dari kewenangan diskresi kepolisian oleh penyidik merupakan salah satu bentuk terobosan dari sistem peradilan pidana yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Permasalahan Berdasarkan latar belakang dari pemikiran diatas, maka telah ditemukan beberapa permasalahan terkait dengan proses diversi sebagai bentuk penyelesaian perkara pidana anak melalui pendekatan restorative justice oleh penyidik. Dalam penelitian ini, permasalahan dibatasi oleh tiga pertanyaan penelitian. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana diversi dapat menjadi salah satu bentuk alternatif penyelesaian perkara pidana anak melalui pendekatan restorative justice? 2. Bagaimana legalitas diversi sebagai salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara pidana anak oleh penyidik sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak?
10
Ibid.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
3. Bagaimana penerapan restorative justice melalui mekanisme diversi antara Telegram Rahasia Kabareskrim Polri Nomor TR/1124/XI/2006 tentang Petunjuk dan Arahan Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dan dengan pengaturannya di dunia internasional? Tujuan Penelitian Tujuan penulisan ini dibagi menjadi dua, yaitu tujuan penulisan secara umum dan tujuan penulisan secara khusus, adapun tujuannya ialah sebagai berikut: Tujuan umum penelitian ini ialah untuk memberikan gambaran dan menjawab permasalahan terkait dengan proses diversi sebagai bentuk penyelesaian perkara pidana anak melalui pendekatan restorative justice oleh penyidik. Pemberian gambaran dan penjawaban permasalahan dalam hal ini ditujukan untuk mengakomodir perkembangan penyelesaian perkara pidana anak melalui pendekatan restorative justice. Dan untuk menunjukkan bagaimana dunia internasional dan negara lain mengatur mengenai hal ini dalam hukum positifnya. Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui bagaimana diversi dapat menjadi salah satu bentuk alternatif penyelesaian perkara pidana anak melalui pendekatan restorative justice; b. Mengetahui bagaimana legalitas diversi sebagai salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara pidana anak oleh penyidik sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak; c. Mengetahui bagaimana penerapan restorative justice melalui mekanisme diversi antara Telegram Rahasia Kabareskrim Polri Nomor TR/1124/XI/2006 tentang Petunjuk dan Arahan Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dan dengan pengaturannya di dunia internasional.
Tinjauan Teoritis Diskresi Menurut Thomas J. Aaron dalam bukunya "The Control of Police" sebagaimana dikutip oleh Sadjijono, dalam bukunya "Mengenal Hukum Kepolisian Perspektif Kedudukan dan Hubungannya dalam Hukum Administrasi", diskresi diartikan sebagai suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atau pertimbangan dan keyakinannya dan lebih
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
menekankan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum.11 Prajudi Atmosudirjo memberikan definisi diskresi sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri dengan syarat tidak melanggar asas yuridikitas12 dan asas legalitas13.14 Menurut Sjachran Basah mengatakan bahwa
freies ermessen atau diskresi adalah
kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, akan tetapi dalam pelaksanaannya haruslah tindakan-tindakan administrasi negara itu sesuai dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan dalam negara hukum berdasarkan Pancasila.15 Sementara itu menurut Saut P. Panjaitan freies ermessen atau diskresi adalah kebebasan atau keleluasaan bertindak administrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada, dan tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.16 Indroharto menyebut wewenang diskresi sebagai wewenang fakultatif, yaitu wewenang yang tidak mewajibkan badan atau pejabat tata usaha negara menerapkan wewenangnya, tetapi memberikan pilihan sekalipun hanya dalam hal-hal tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.17 Sedangkan Diana Halim Koentjoro mengartikan freies ermessen sebagai kemerdekaan bertindak administrasi negara atau pemerintah (eksekutif) untuk menyelesaikan masalah yang timbul dalam keadaan kegentingan yang memaksa, dimana peraturan penyelesaian untuk masalah itu belum ada.18 11
Sadjijono, Mengenal Hukum Kepolisian Perspektif Kedudukan dan Hubungannya dalam Hukum Administrasi, (Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2009), hlm. 153. 12
Asas Yuridikitas (rechtmatingheid): bahwa setiap tindakan pejabat administrasi negara tidak boleh melanggar hukum (harus sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan). 13
Asas Legalitas (wetmatigheid): bahwa setiap tindakan pejabat administrasi negara harus ada dasar hukumnya (ada peraturan dasar yang melandasinya). 14
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia ,1994), hlm. 82.
15
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1997), hlm. 3. 16
Freingky A Ndaumanu, op. cit. hlm. 9.
17
Indroharto, Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku I, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), hlm. 99. 18
Diana H Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 41.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
Oleh Gayus T Lumbuun, Diskresi didefinisikan sebagai kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat, yakni: (1) demi kepentingan umum, (2) masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan (3) tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.19 Lebih lanjut Esmi Warassih mengatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan publik, para birokrat dapat menentukan kebijaksanaannya sendiri untuk menyesuaikan dengan situasi dimana mereka berada, terutama yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya seperti informasi, dana, tenaga ahli, tenaga-tenaga terampil maupun mengenai pengetahuan yang mereka miliki.20 Itu berarti, diskresi merupakan fenomena yang amat penting dan fundamental, terutama di dalam mengimplementasikan suatu kebijaksanaan publik. Dengan adanya diskresi ini diharapkan agar dengan kondisi yang ada dapat dicapai suatu hasil atau tujuan yang maksimal.21 Diskresi dalam Dunia Penegakan Hukum Pidana Indonesia Aparat penegak hukum dalam melaksanakan diskresi guna menegakkan hukum masih menjadi bagian kontroversial karena pengambilan kebijakan penghukuman mengikuti sifat kebijakan pribadi seseorang. Diskresi mengizinkan suatu pembedaan tindakan terhadap kasus pidana oleh pelakunya, sehingga dapat menimbulkan permasalahan dalam hal keadilan terhadap masyarakat. Secara umum pelaksanaan diskresi merupakan tindakan yang lumrah dan dilaksanakan sejak dulu oleh para pengambil keputusan karena diskresi tidak dapat dihindarkan dalam penegakan hukum disebabkan dua alasan yaitu:22 1. Penerapan aturan dalam kasus yang sebenarnya dalam kenyataan pasti membutuhkan sifat bijaksana dari seorang petugas. Suatu perbuatan pidana dapat diterapkan aturan yang sama namun di lain kondisi tidak bisa karena alasan yang ada pada saat itu. Aturan pada prinsipnya diterapkan secara subjektif oleh penegaknya. Kemampuan subjek pelaksana bervariasi tergantung tanggapannya terhadap tindakan pelanggaran yang terjadi. Sebagai contoh 19
Muhammad Ikhwan, “Penerapan Asas Diskresi dalam Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara”, http://studihukum.blogspot.com/2010/10/penerapan-asas-diskresi-dalam-pembuatan.html, diunduh 24 November 2012. 20 Tri Cahya Indra Permana, “Pengujian Keputusan Diskresi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara,” (Tesis Magister Universitas Diponegoro, Semarang, 2009), hlm. 22. 21
Ibid.
22
Ibid.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
misalnya dalam suatu kasus perbuatan yang dianggap melanggar akan dianggap pemaksaan kehendak oleh seorang petugas tapi pada petugas lain akan mempertimbangkan faktor apakah pelaku membela haknya atau karena terpaksa atau kelalaian atau sengaja karena kesembronoan dan lain-lain yang tidak sama dengan petugas pertama dalam memberikan pertimbangan. 2. Eksistensi, kepentingan dan penerapan diskresi memberi kesan bahwa penegakan hukum tidak memberikan batasan untuk menyelidiki dan meneliti kesalahan bila memang ditemukan. Penegakan hukum tetaplah dijamin bagi masyarakat luas dan bukan ditentukan oleh satu orang atau individu saja. Pengertian penegakan hukum pidana dalam arti sempit adalah ditegakkannya atau dilaksanakannya aturan-aturan pidana yang berlaku terhadap pelanggaran aturan pidana. Tetapi tentu saja tugas penegakan hukum pidana tidak sekedar dilaksanakannya aturan-aturan pidana secara normatif yuridis atau dalam lain kata kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya berupa dilakukannya aturan pidana normatif semata. Menurut Barda Nawawi Arief:23 “Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Tujuan akhir atau tujuan utama politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan sosial.” Dalam forum internasional khususnya dalam perkembangan Kongres-Kongres PBB, masalah pencegahan/penanggulangan kejahatan lebih banyak dilihat dari konteks kebijakan pembangunan/sosial global. Strategi Kebijakan Penanggulangan/Pencegahan Kejahatan menurut Kongres-Kongres PBB itu pada garis besarnya sebagai berikut:24 a. Menjadikan faktor-faktor penyebab/kondisi yang menimbulkan terjadinya kejahatan; b. Pencegahan
kejahatan
dan
peradilan
pidana
harus
ditempuh
integral/sistemik; c. Perlu dibenahi dan ditingkatkan kualitas aparat penegak hukum;
23
Barda Nawawi Arief (a), Op. Cit.
24
Ibid.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
dengan
kebijakan
d. Perlu
dibenahi
dan
ditingkatkan
kualitas
institusi
dan
sistem
manajemen
organisasi/manajemen data. e. Disusunnya beberapa Guidelines, Basic Principles, Rules, Standard Minimum Rules; f. Ditingkatkannya kerjasama internasional dan bantuan tekhnis dalam rangka memperkokoh the rule of law dan management of criminal justice system. Berdasarkan pemikiran di atas, jelaslah bahwa dipergunakannya aturan-aturan pidana dalam rangka penanggulangan kejahatan bukan satu-satunya cara penegakan hukum pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam arti:25 a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial; b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan cara penal dan
nonpenal. Hal ini dapat dimengerti, karena ketika kebijakan kriminal itu merupakan bagian integral dari kebijakan sosial, maka tugas-tugas atau pekerjaan yang harus dilakukan oleh pelaku penegakan hukum dalam rangka mencapai tujuan kebijakan sosial yaitu kesejahteraan sosial tidak seluruhnya dapat diatur secara limitatif rinci dalam suatu rumusan aturan.26 Menurut Soerjono Soekanto, bahwa penegakan hukum itu adalah proses penyesuaian nilai-nilai, kaidah-kaidah pola perilaku realitas.27 Tugas aparat penegak hukum itu tidak sekedar menegakan hukum, tetapi juga menciptakan ketentraman dan mencapai keadilan. 28 Penegakan hukum dikatakan merupakan proses, karena upaya penegakan hukum itu berusaha mengkonkritkan hukum yang masih abstrak atau hukum yang normatif itu menjadi hidup, dan konkritisasi terhadap hukum akan nampak dalam pelaksanaan hukum oleh petugas penegak hukum.29 Upaya penegakan hukum atau menjadikan kaidah hukum yang abstrak itu menjadi konkrit tentu saja dipengaruhi oleh beberapa faktor, sebagaimana yang dikutip dari Soerjono Soekanto: 25
Ibid.
26
Ibid.
27
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983)
hlm. 33. 28
Ibid.
29
Ibid.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
“Faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam menentukan berlakunya hukum adalah: a. Faktor hukumnya sendiri; b. Faktor penegak hukum; c. Faktor sarana atau fasilitas pendukung penegakan hukum; d. Faktor masyarakat; e. Faktor kebudayaan.” Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa melalui aplikasi secara konkrit terhadap kaidah hukum yang masih abstrak tersebut oleh aparat penegak hukum, maka dalam rangka tujuan penegakan hukum pidana, tindakan diskresi diperlukan. Karena penegakan hukum tidak berarti dilaksanakannya hukum secara normatif (apa adanya aturan itu mengatur). Di samping hukum itu sendiri tidak bisa mengatur secara rinci segala perilaku manusia. Agar hukum itu dapat hidup di tengah masyarakat, maka dibutuhkan komponen penegak hukumnya yang diharapkan mampu melihat hukum dan keadaan masyarakat. Sebagai mana dikutip dari Faisol Azhari:30 “Secara sosiologis dinamika masyarakat merupakan sebuah gejala, dan gejala tersebut merupakan salah satu yang harus dimasuki oleh hukum. Suatu penegakan hukum tidak bisa diartikan sebagai penerapan hukum yang normatif kedalam masyarakat secara kaku. Oleh karena itu hukum sebenarnya bukanlah tujuan, melainkan alat untuk mencapi tujuan itu. Apabila hukum itu dijadikan tujuan, maka tentu saja perikehidupan masyarakat harus sesuai dengan ide cita-cita hukum yang abstrak itu. Artinya ketika dalam kehidupan masyarakat didapati ketidaksesuaian dengan ide cita-cita hukum, maka hukum yang abstrak itu akan menindaknya sesuai dengan rumusan hukum itu. Padahal dinamika kehidupan masyarakat sangat sulit untuk dapat memenuhi keinginan ide citacita hukum yang abstrak itu. Karena masyarakat dinamis dan hukum itu statis. Sehingga hukum dalam kehidupan masyarakat cenderung kepada hukum yang konkrit.” Mengenai tentang suatu tujuan hukum mengutip pendapat Soerjono Soekanto:31 “Suatu tujuan (hukum) tidak selalu identik dengan tujuan-tujuan yang dirumuskan secara eksplisit, apa yang dinyatakan dalam seuatu aturan belum tentu merupakan alasan yang sesungguhnya dari pembuatan aturan tersebut.”
30
Faisol Azhari, “Tindakan Diskresi Polisi RI dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya,” Jurnal Hukum Vol. XIII (Oktober 2003), hlm.4. 31
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm.7.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
Kesadaran akan hukum sebagai alat dan bukan merupakan tujuan adalah karena hukum tidak mungkin dapat merumuskan secara rinci/eksplisit segala perilaku manusia. Hal ini pula sesuai sebagaimana dikemukakan oleh Sunaryati Hartono dan Satjipto Rahardjo. Menurut Sunaryati Hartono:32 “Hukum (kaidah) itu bukan merupakan tujuan akan tetapi hanya merupakan jembatan yang harus membawa kita kepada ide yang dicita-citakan” Menurut Satjipto Rahardjo:33 “Hukum itu hanya dapat menuntut kehidupan bersama secara umum, sebab begitu ia mengatur secara rinci dengan memberikan skenario langkah-langkah secara lengkap, maka pada waktu itu pula kehidupan akan macet, oleh karena itu sesungguhnya diskresi merupakan kelengkapan cari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri” Pada satu sisi sebenarnya hukum diadakan untuk mengatur perilaku dalam tata kehidupan masyarakat. Sementara itu kehidupan masyarakat senantiasa dinamis. Dinamisasi kehidupan masyarakat tersebut sangat dipengaruhi oleh modernisasi politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Sehingga sangat tidak mungkin hukum yang statis dipaksakan hidup dengan mengetrapkan hukum apa adanya (secara normatif saja) dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa dinamis. Begitupun dengan tugas penegakan hukumm dimana hakikat penegakan hukum tidak hanya sekedar pada law enforcement, namun juga how to make the peace maintenance, yaitu menciptakan kedamaian, perlindungan dan kesejahteraan sosial. Kewenangan Diskresi Kepolisian Menurut Muladi persoalan hukum pidana di Indonesia akan membawa kepada persoalan penaggulangan kejahatan di masyarakat yang dalam konteks tersebut dikneal istilah Criminal Policy yang secara operasionalnnya dapat dilakukan melalui sarana Penal dan sarana Nonpenal.34 Sarana penal adalah sarana diterapkannya aturan hukum pidana dalam rangka penanggulangan 32
Faisol Azhari, Op. Cit.
33
Ibid. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1985), hlm. 8. 34
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
kejahatan dan sarana nonpenal adalah sarana-sarana diluar aturan hukum pidana yang juga dalam rangka penanggulangan kejahatan.35 Saat ini, sarana penal dan nonpenal yang merupakan alat penegakan hukum harus menafsirkan hukum yang dogmatis ke dalam realita kehidupan masyarakat yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Karena pada hakikatnya penegakan hukum merupakan proses penyesuaian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Oleh karenanya tugas utama penegakan hukum adalah mencapai keadilan. Diskresi dapat dikatakan sebagai penafsiran secara luas oleh penegak hukum terhadap sebuah peraturan perundang-undangan.36 Artinya dalam konteks tertentu atas dasar aspek sosiologi, kewenangan diskresi dapat dilaksanakan. Barda Nawawi Arief dalam bukunya menyatakan:37 “Kebijakan atau upaya penanggulangan kejatahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) untuk mencapat kesejahteraan sosial (social welfare). Tujuan akhir atau tujuan utama politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapat kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dalam rangka pencapaian sistem tersebut, polisi yang bertugas menanggulangi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan memiliki sebuah kedudukan yang tidak terpisahkan antara kepolisian dalam perspektif kebijakan kriminal dan kepolisian dalam persepektif sistem peradilan pidana.” Menurut Faisol Azhari, walaupun tugas kepolisian negara Republik Indonesia dalam lingkup fungsi represif, namun cirri pelindung, pengayom tidak boleh lepas dari tugas-tugas preventif, karena sesungguhnya tugas-tugas represif dan preventif itu tidak dapat dipisahkan dan selalu melekat antara satu dengan lainnya, misal selaku alat negara penegak hukum, polisi wajib memerangi kejahatan, sedangkan pelaku kejahatan diperlukan sesuai ketentuan perundangundangan, disamping polisi juga memperhatikan aspek kepentingan korban pelaku kejahatan serta situasi dan kondisi masyarakat dengan berbagai kompleksitasnya. Sehingga tidak jarang
35
Ibid.
36
Faisol Azhari, op. cit., hlm. 6.
37
Barda Nawawi Arief (d), Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 79.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
polisi terpaksa berpaling dari hukum tertulis yang diembannya.38 Cara-cara yang dilakukan di atas, mungkin secara teoritis hukum tidak dibenarkan, tetapi dalam kebutuhan praktek sering diperlukan dan dapat ditempuh. Misalnya ketika kasus pidana biasa diproses oleh penyidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, tiba-tiba para pihak memohon agar perkara tersebut dihentikan karena telah terjadi suatu perdamaian dan kemudian polisi memepertimbangkannya, dan ternyata penghentian penyidikan atas perkara itu dirasakan lebih bermanfaat, maka dilakukanlah penghentian penyidikannya. Dari pemikiran tersebut dapat dilihat bahwa polisi memliki kedudukan yang integral di dalam sebuah sistem peradilan pidana baik itu sebagai pengeksekusi kebijikan (policy executor) dan sebagai pembuat kebijakan (policy maker). Dalam rangkaian sistem peradilan pidana, tugas polisi terutama adalah pemyidik yang bertugas menanggulangi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan. Namun pada bagian lain polisi juga memiliki tugas sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat sebagai mana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi:
Pasal 2: “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.” Pasal 13: “Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.”
Rumusan kewenangan diskresi kepolisian merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian (plichtmatigheids beginsel), yaitu asas yang memberikan kewenangan kepada aparat kepolisian untuk ber-tindak ataupun tidak melakukan tindakan apapun berdasarkan penilaian pribadi sendiri dalam rangka kewajibannya menjaga, memelihara
38
Faisol Azhari, Op. Cit., hlm. 6.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
ketertiban dan menjaga keamanan umum.39 Keabsahan kewenangan diskresi kepolisian, didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk menjalankan tugas kewajibannya dan ini tergantung pada kemampuan subjektifnya sebagai petugas.40 Wewenang diskresi kepolisian dan pelaksanaannya bila ditinjau dari aspek positif adalah merupakan sarana undang-undang dan sarana bagi petugas karena tanggungjawab pada tugas-tugasnya.41 “Bertindak menurut penilaian sendiri” yang terdapat dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Polri yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.42 Secara umum, kewenangan diskresi kepolisian keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk pelaksanaan tugas dan kewajibannya.43 Restorative Justice Restorative justice atau yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai keadilah restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana.44 Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.45 Terlepas dari kenyataan bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoritis, akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik diberbagai negara.46 Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana, dalam 39
Momo Kelana, Memahami Undang-undang Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002), Latar Belakang dan Komentar Pasal demi Pasal (Jakarta: PTIK Press, 2002), hlm. 111. 40 41
Ibid, hlm. 112. Mugiman, Op. Cit., hlm.4.
42
Ibid.
43
Ibid. Eva Achjani Zulfa (c), Keadilan Restoratif, (Depok: Badan Penerbit FHUI, 2009), hlm. 2.
44
45
Ibid.
46
Ibid.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
pandangan restorative justice makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan.47 Akan tetapi dalam pendekatan restorative justice, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada.48 Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana.49 Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.50 Ahli kriminologi Inggris Tony F. Marshall sebagaimana dikutip oleh Marlina mengemukakan bahwa definisi dari restorative justice adalah:51 “Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat daripelangaran tersebut demi kepentingan masa depan.” Tidak mudah memberikan definisi bagi pendekatan restorative justice ini, mengingat banyaknya variasi model dan bentuk yang berkembang dalam penerapannya. 52 Pada dasarnya restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.53 Saat ini model pendekatan restorative justice telah menjadi model dominan dari sistem peradilan pidana dalam kebanyakan sejarah manusia. Diskusi tentang restorative justice 47
Eva Achjani Zulfa (a), Op. cit.
48
Ibid.
49
Ibid.
50
Ibid.
51
Marlina (d), “Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia,” (Disertasi Doktor Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006), hlm. 170. 52
Ibid.
53
Ibid.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
di beberapa negara dimulai dengan membandingkan sistem peradilan pidana yang ada sekarang dengan proses
restorative justice. Menurut Howard Zehr sistem penghukuman restributive
justice dimulai dengan sebuah pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat negara, kejahatan tersebut harus telah dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh negara, sehingga terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran dituduh bersalah terhadap seseorang, sedangkan restorative justice adalah suatu pandangan penghukuman yang diarahkan pada upaya untuk memulihkan kembali keadaan yang telah tergoncang akibat terjadinya kekerasan kepada keadaan semula saat sebelum terjadinya tindakan pelanggaran, dimana proses penyelesaiannya diarahkan untuk menghasilkan keadilan bagi semua pihak baik itu korban, pelaku dan masyarakat.54
Metode Penelitian Dalam penelitian normatif yang diteliti hanya daftar pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier.55 Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan yaitu metode yang berdasarkan atas studi literatur, buku-buku yang bersifat ilmiah, majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan terkait, serta materi kuliah yang berhubungan dengan penyelesaian masalah materi penelitian. Tipologi Penelitian Ditinjau dari segi sifatnya, tipe penelitian ini adalah penelitian deskripstif karena memberikan dan menjabarkan bagaimana kenyataan di lapangan mengenai proses diversi sebagai bentuk penyelesaian perkara pidana anak melalui pendekatan restorative justice oleh penyidik.
Untuk
mempermudah penelitian, maka jenis data data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan, yaitu wawancara dengan narasumber terkait. Sedangkan data sekunder merupakan data yang tidak diperoleh langsung dari lapangan melainkan diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu melalui penelusuran dokumen-dokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang
54
Ibid.
55
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 52.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
akan diteliti.56 Selain penelitian kepustakaan dalam penelitian ini juga akan dilengkapi dengan hasil wawancara dengan narasumber dan studi langsung kelapangan untuk memperoleh tentang semua data relevan yang terkait dengan objek penelitian ini. Sebagaimana diutarakan oleh Johnny Ibrahim bahwa nilai suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal issue yang diteliti bergantung pada cara pendekatan (approach) yang digunakan.57 Maka pada penelitian ini menggunakan dua pendekatan yang relevan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
Hasil Penelitian Adapun bentuk laporan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata, selain itu memberikan gambaran umum tentang gejala dan menganalisisnya.
Pembahasan Diversi dalam sistem peradilan pidana anak sesuai dengan paradigma restorative justice bila dilihat dari tujuan rehabilitasi pelaku tindak pidana dan peran masyarakat. Lebih lanjut, pada implementasinya diversi sesuai dengan paradigma restorative justice dapat dilihat berdasarkan kesamaan program-program diversi dengan bentuk-bentuk sanksi dalam peradilan dengan paradigma restorative justice. Bila disandingkan antara Tujuan diversi dengan konsep restorative justice yang penanganannnya mengutamakan dijalankan dengan memperhitungan pengaruh yang lebih luas terhadap korban, pelaku dan masyarkat, maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa tujuan final dari pelaksanaan diversi ialah untuk melahirkan restorative outcome, dan pada akhirnya pelaksanaan sebuah diversi bagi anak mengharapkan untuk dipenuhinya sebuah misi untuk memberikan kesempatan kedua bagi para pelaku tindak pidana dibawah umur melalui kegiatan-kegiatan diversi, untuk nantinya menjadikan anak sebagai pribadi yang baik dan kembali
diterima
didalam
mengembalikan/memulihkan
masyarakat. kerugian
Dan
diversi
korban
juga
dan
dilaksanakan masyarakat,
untuk serta
56
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya : PT Bayumedia, 2008),
57
Ibid, hlm.50.
hlm.392.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
mengembalikan/memulihkan kerusakan tatanan hukum yang dirusak oleh tindak pidana anak tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disyaratkan bahwa sebuah tindakan diskresi hanya dapat dilaksanakan dalam kondisi bertujuan untuk perlindungan kepentingan umum. Dalam hal ini, pelaksanaan diversi dengan segala pertimbangannya, manfaat serta resiko dari tindakannya telah betul-betul bertujuan untuk kepentingan umum. Lebih lanjut bahwa pelaksanaan diversi oleh kepolisian telah berjalan sejalan dengan kedudukannya sebagai penegak hukum yang harus memperhatikan aspek kepentingan korban pelaku kejahatan serta situasi dan kondisi masyarakat dengan berbagai kompleksitasnya. Dikarenakan merupakan sebuah bentuk diskresi, hasil pelaksanaan hasil diversi berdasarkan hukum positif Peradilan Anak yang berlaku, maka pelaksanaan diversi oleh penyidik kepolisian berdasarkan Telegram Rahasia Kabareskrim Polri Nomor TR/1124/XI/2006 tentang Petunjuk dan Arahan Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum tidaklah memiliki landasan hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum. Dalam hal ini, untuk menyiasati hal tersebut dalam prakteknya polisi menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) sebagai hasil dari sebuah diversi. Disini, pengunaan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) menurut hemat penulis kurang tepat untuk digunakan, namun hal tersebut merupakan sebagai salah satu cara kepolisian untuk mengatasi permasalahan kekuatan hukum hasil diversi. Bila
dibandingkan
dengan
Telegram
Rahasia
Kabareskrim
Polri
Nomor:
TR/1124/XI/2006, pelaksanaan diversi yang diamanahkan Undang-Undang ini lebih kental akan penerapan semangat restorasi. Restorasi yang ditawarkan oleh diversi dalam Undang-Undang ini tidak hanya berorientasi pada korban, namun juga pemulihan kondisi pelaku dan juga hubungan hukum yang rusak, serta masyarakat. Pelaksanaan diversi yang ditawarkan oleh Undang-Undang ini telah sejalan dengan semangat dasar restorative justice, dimana pendekatan restorative justice yang lebih mengedepankan community value, telah diakomodir. Hal ini dapat dilihat dari salah satu tujuan diversi dalam Undang-Undang ini, yakni mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan salah satu bentuk kesepakatan diversi berupa pelayanan masyarakat. Bila disejajarkan, maka semangat restorative justice tersebut berjalan lurus dengan semangat restorative justice yang dibawa oleh Undang-Undang ini, penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
pembalasan. Australia dan Belanda, sebagai negara yang digunakan untuk komparasi dalam penelitian ini telah melaksanaan diversi dalam penyelesaian perkara pidana anak didalam hukum positif negara mereka masing-masing. Pelaksanaan diversi dikedua negara tersebut memiliki cirri khas masing-masing sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang dimasing-masing negara. Bahwa baik itu di Australia maupun di Belanda, penyelesaian perkara pidana anak melalui jalur diversi telah menjadi pilihan utama. Dan pelaksanaan diversi telah menunjukan sebuah keberhasilan, dimana anak dapat menjadi pribadi yang lebih baik tanpa melalui proses peradilan formal dan terhindar dari efek negatif peradilan formal.
Kesimpulan 1. Tujuan diversi dengan konsep restorative justice yang penanganannnya mengutamakan dijalankan dengan memperhitungan pengaruh yang lebih luas terhadap korban, pelaku dan masyarkat, maka dapat ditarik sebuah benang merah bahwa tujuan final dari pelaksanaan diversi ialah untuk melahirkan restorative outcome; 2. Dari segi diskresi, pelaksanaan diversi sebagai sebuah diversi telah tepat dilakukan, namun pengunaan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) menurut hemat penulis kurang tepat untuk digunakan, namun hal tersebut merupakan sebagai salah satu cara kepolisian untuk mengatasi permasalahan kekuatan hukum hasil diversi; 3. Sifat restore dari restorative justice belum secara maksimal termanifestasikan dalam pelaksanaan diversi Telegram Rahasia Kabareskrim Polri Nomor: TR/1124/XI/2006. Pelaksanaan diversi yang ditawarkan oleh Undang-Undang 11 Tahun 2012 telah sejalan dengan semangat dasar restorative justice, dimana pendekatan restorative justice yang lebih mengedepankan community value. Pelaksanaan diversi di Australia dan Belanda memiliki ciri khas masing-masing dan telah menunjukan keberhasilan dan menjadi pilihan utama.
Saran 1. Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dapat dikatakan bahwa secara normatif pengaturan mengenai diversi telah diakomodir secara maksimal. Lebih lanjut mengenai Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai tekhnis diversi agar secepat mungkin dibuat agar aparat penegak hukum dalam pelaksanaannya memiliki pegangan yuridis yang jelas dalam penanganan proses anak yang bermasalah
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013
dengan hukum dapat dilaksanakan dengan benar dan adil guna memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat; 2. Untuk mengakomodir pelaksanaan diversi yang dilandaskan pada nilai budaya setempat, maka aparat kepolisan harus banyak menggali dan mempelajari mengenai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya yang berguna dalam pelaksanaan diversi. Dan untuk meminimalisir kekurangan mengenai proses implementasi diversi di lapangan, maka dalam kondisi ini dibutuhkan pelaksanaan pelatihan-pelatihan khusus bagi penyidik dalam melaksanakan diversi; 3. Dilain sisi, juga harus dimaksimalkan fungsi-fungsi lembaga-lembaga lain yang berhubungan dengan pelaksanaan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan juga memperkuat posisi Bapas pada tingkat penyidikan, sehingga hasil penelitiannya tidak hanya bersifat rekomendasi; 4. Sesungguhnya sebaik apapun aparat penegak hukum bekerja, tidak akan secara maksimal termanifestasikan bila tidak ada dukungan dari masyarakat. Aparat penegak hukum dan masyarakat harus bekerja sama dan membangun persepsi yang sama tentang perlindungan terhadap anak. Bahwa dikarenakan berlandaskan pada paradigma restorative justice, maka disini dibutuhkan peranan aktif dari masyarakat agar hal ini dapat berjalan secara maksimal. Dan untuk mendapatkan peranan aktif dari masyarakat tersebut harus dilaksanakan sosialiasi oleh aparat penegak hukum tentang pelaksanaan diversi ini; 5. Dikarena diversi merupakan hal baru dalam tatanan hukum Indonesia, maka dibutuhkan sebuah studi banding dengan negara lain yang telah terlebih dahulu mengimplementasikan diversi dalam hukum positif mereka. Yang mana diharapkan melalui studi banding tersebut dapat diperoleh pengalaman-pengalaman pelaksanaan diversi, kelebihan dan kelemahannya, yang untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagao pembelajaran dalam pelaksanaan diversi di Indonesia.
Diversi sebagai bentuk…, Muhammad Bonar, FH UI, 2013