RESPONS ESTRUS HASIL SINKRONISASI MENGGUNAKAN HORMON PROGESTERON DAN KOMBINASINYA DENGAN PMSG PADA RUSA TIMOR (Cervus timorensis)
SUPARMIN FATHAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Respons Estrus Hasil Sinkronisasi Menggunakan Hormon Progesteron dan Kombinasinya dengan PMSG pada Rusa Timor (Cervus timorensis) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2006
Suparmin Fathan NRP B 051040011
ABSTRAK
SUPARMIN FATHAN. Respons Estrus Hasil Sinkronisasi Menggunakan Hormon Progesteron dan Kombinasinya dengan PMSG pada Rusa Timor (Cervus timorensis). Dibimbing oleh TUTY LASWARDI YUSUF sebagai ketua komisi pembimbing dan AMROZI sebagai anggota. Rusa timor (Cervus timorensis) merupakan salah satu satwa yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu komoditas baru selain ternak lain yang telah di domestikasi sebelumnya. Upaya pengembangbiakan rusa di luar habitatnya (penangkaran) tanpa introduksi teknologi reproduksi masih kurang memuaskan. Sinkronisasi estrus merupakan hal yang berkaitan dengan penerapan teknologi reproduksi (Inseminasi Buatan) pada rusa betina, diantaranya dengan menggunakan hormon progesteron (CIDR-G) dan PMSG. Penelitian ini dilaksanakan di Taman Margasatwa Ragunan (TMR) Jakarta sejak Januari sampai Juli 2006 dengan tujuan untuk menentukan metode sinkronisasi estrus yang tepat pada rusa betina, pola tingkah laku reproduksi pada rusa betina estrus yang diberi hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG serta efisiensi penggunaan pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG. Materi penelitian menggunakan 6 ekor rusa yang berumur 2 - 4 tahun dengan tiga perlakuan dan dua ulangan. Perlakuan pertama adalah pemberian hormon progesteron selama 14 hari, perlakuan kedua pemberian hormon progesteron 14 hari dikombinasikan dengan PMSG 150 IU dan perlakuan ketiga dikombinasikan dengan PMSG 300 IU yang diberikan dua hari sebelum hormon progesteron dilepas dan dilanjutkan dengan pengamatan respons estrus selama 4 hari berturut turut (06.00 – 18.00) setelah hormon progesteron dilepas. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), untuk mengetahui perbedaan nilai tengah perlakuan dilakukan uji Duncan pada a = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron atau kombinasinya dengan PMSG 150 diperoleh rataan onset estrus 24 jam, persentase estrus 100%, lama estrus 30 jam yang berbeda nyata secara statistik (P < 0,05), sedangkan intensitas estrus dengan skor dua (kategori sedang). Perlakuan hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG 300 IU diperoleh rataan onset estrus 22 jam, persentase estrus 100%, lama estrus 34 jam yang berbeda nyata secara statistik (P < 0,05) dan intensitas estrus dengan skor tiga (kategori tinggi). Secara umum dapat disimpulkan bahwa kombinasi pemberian hormon progesteron dengan kombinasi PMSG 300 IU memberikan respons estrus (onset, lama, persentase dan intensitas) yang lebih baik daripada perlakuan hormon progesteron secara tunggal maupun kombinasinya dengan PMSG 150 IU. Kata kunci : Sinkronisasi estrus, hormon progesteron, PMSG, rusa timor
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya
RESPONS ESTRUS HASIL SINKRONISASI MENGGUNAKAN HORMON PROGESTERON DAN KOMBINASINYA DENGAN PMSG PADA RUSA TIMOR (Cervus timorensis)
Oleh
SUPARMIN FATHAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
: Respons Estrus Hasil Sinkronisasi Menggunakan Hormon Progesteron dan Kombinasinya dengan PMSG pada Rusa Timor (Cervus timorensis)
Nama
: Suparmin Fathan
NRP
: B 051040011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, M.S. Ketua
Dr. drh. Amrozi Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Biologi Reproduksi
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, M.S. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 30 Agustus 2006
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW atas keteladanannya. Judul dari penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2006 ini adalah Respons Estrus Hasil Sinkronisasi Menggunakan Hormon Progesteron dan Kombinasinya dengan PMSG pada Rusa Timor (Cervus tomorensis). Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. drh. Tuty Laswardi Yusuf, MS. sebagai ketua komisi pembimbing dan Ketua Program Studi Biologi Reproduksi Institut Pertanian Bogor, Bapak Dr. drh. Amrozi sebagai anggota komisi dan Bapak Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere, M.Sc. (Alm) atas arahan dan bimbingan serta diskusi-diskusi yang sangat berharga. Apresiasi yang tinggi juga penulis sampaikan kepada seluruh Civitas Akademika Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, keluarga besar Fathan-Dalu dan Akantu-Palilati, Bapak Hi. Usman D. Dalu, BA. sekeluarga dan keluarga Bapak Udin Palilati serta seluruh staf Taman Margasatwa Ragunan (TMR) Jakarta atas semua fasilitas yang diberikan selama studi dan penelitian. Ucapan terima kasih disampaikan kepada teman-teman seangkatan BRP2004: Wito Prawigit, A.Md.Vet., S.Pt., Heppi Iromo, S.Pi., M.Si., Syafriadi Idris, S.Pi. dan Nurbariyah, S.Si. juga kepada rekan-rekan staf pengajar Jurusan Teknologi Peternakan Universitas Negeri Gorontalo yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada Ayahanda Umar Fathan dan Ibunda Hapisah Dalu yang dengan penuh kasih sayang tanpa pamrih membimbing dan berdoa untuk keselamatan anak-anaknya serta Kakanda Hasni Zulaiha U. Fathan (alm) sekeluarga, Djoni Umar Fathan sekeluarga, Toniyanto Fathan sekeluarga dan Syarifudin Fathan, Ponakanku tersayang Nunung, Acel, Wahyu, Firdaus, Tomy, Fitri, Riki, Rika, Rifa, Rike dan Chyntia yang kadang terabaikan selama ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Tak lupa juga penulis meghaturkan terima kasih kepada Ayahanda Dahlan Akantu (alm) dan Ibunda Ruiyah Palilati, saudara-saudara iparku Sudarman Akantu sekeluarga, Norma Dahlan Akantu sekeluarga, Mastin Akantu, Alyun Akantu sekeluarga dan Syarif Dahlan Akantu sekeluarga atas motivasi dan doa yang tulus kepada penulis. Dengan penuh haru dan bangga penulis persembahkan tulisan ini kepada isteri tercinta Almun Dahlan Akantu dan anak-anakku yang tersaya ng Nurrohmah Syahbana Fathan dan Ikhlasul Amal Fathan yang begitu berarti dalam suksesnya studi penulis yang kadang tersisikan dan terabaikan kebahagiaan mereka hanya karena jauhnya tempat penulis untuk studi, juga kepada orang-orang yang selalu memberikan perhatian dan kasih sayang sehingga penulis bisa menyelesaikan studi dengan baik.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabila Kabupaten Gorontalo pada tanggal 3 April 1971 dari Ayah Umar Fathan dan Ibu Hapisah Dalu. Penulis merupakan putra ketiga dari lima bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di Sekolah Dasar Negeri III Tamboo Kecamatan Kabila Kabupaten Gorontalo lulus tahun 1983. Lulus pada Sekolah Menengah Pertama Negeri Bongoime Kecamatan Kabila Kabupaten Gorontalo pada tahun 1986 dan pada tahun 1989 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri Kabila Kabupaten Gorontalo. Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu Sulawesi Tengah melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), lulus tahun 1996. Pada tahun 2004 penulis diterima di Program Studi Biologi Reproduksi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana diperoleh dari BPPS Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional. Sejak tahun 2000-2002 penulis bekerja sebagai staf pengajar (tenaga honorer) dan tahun 2002 diangkat sebagai staf pengajar tetap di Jurusan Teknologi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo dan aktif dalam berbaga i kegiatan akademik serta kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Gorontalo maupun Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengembangan peternakan. Pada tahun 1998 penulis menikah dengan Almun Dahlan Akantu dan telah dikaruniai dua orang anak, masing- masing Nurrohmah Syahbana Fathan dan Ikhlasul Amal Fathan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
xiii
PENDAHULUAN........................................................................................... Latar Belakang................................................................................... Kerangka Pemikiran.......................................................................... Tujuan Penelitian............................................................................... Manfaat Pene litian............................................................................. Hipotesis............................................................................................
1 1 3 4 4 5
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. Ciri-ciri Rusa Timor (Cervus timorensis).......................................... Tingkah Laku Seksual....................................................................... Siklus Estrus pada Betina.................................................................. Siklus Estrus dan Profil Hormon Reproduksi pada Rusa Betina....... Gelombang Folikel............................................................................ Sinkronisasi Estrus............................................................................. Sinkronisasi Estrus dengan Hormon Progesteron dan PMSG...........
6 6 7 8 14 19 20 21
BAHAN DAN METODE............................................................................... Waktu dan Tempat Penelitian............................................................ Materi Penelitian................................................................................ Metode Penelitian.............................................................................. Kegiatan Penelitian................................................................ Perlakuan............................................................................... Pengamatan Estrus................................................................. Peubah yang Diamati............................................................. Analisis Statistik................................................................................
28 28 27 30 31 31 33 33 34
HASIL DAN PEM BAHASAN...................................................................... Kondisi Lokasi dan Rusa Penelitian.................................................. Pengaruh Pemberian Hormon Progesteron (CIDR-G) dan Kombinasinya dengan PMSG............................................................ Respons Timbulnya Estrus.................................................... Lama Estrus dan Intensitas Estrus.........................................
35 35
SIMPULAN DAN SARAN............................................................................ Simpulan........................................................................................... Saran..................................................................................................
47 47 47
37 37 43
ix
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
49
LAMPIRAN....................................................................................................
56
x
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Perlakuan pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG.......................................................................................................
32
2
Tanda-tanda estrus pada rusa percobaan.................................................
33
3
Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap persentase estrus............................................................
39
Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap onset (timbulnya) estrus.................................................
40
Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap lama estrus.....................................................................
43
Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap intensitas estrus..............................................................
45
4
5
6
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kandang dan rusa betina penelitian........................................................
28
2
Denah kandang penelitian........................................................................
29
3
A. CIDR-G (Agriculture Devition, CHH Plastic products Ltd, Hamilton)........................................................................................... 30 B. PMSG (Laboratorios Hipra, S.A., Spain)......................................... 30
4
Bagan prosedur kerja penelitian...............................................................
32
5
Rataan onset (timbulnya ) estrus pada setiap perlakuan...........................
41
6
Rataan lama estrus pada setiap perlakuan................................................
44
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Jadual penelitian di lokasi Taman Margasatwa Ragunan (TMR) Jakarta....................................................................................................... 57
2
Respons intensitas estrus setelah perlakuan.............................................
3
Hasil pengamatan gejala estrus pada rusa timor betina selama 4 hari berturut-turut (06.00 - 18.00) yang diberi perlakuan hormon progesteron 14 hari................................................................................... 60
4
Hasil pengamatan gejala estrus pada rusa timor betina selama 4 hari berturut-turut (06.00 - 18.00) yang diberi perlakuan hormon progesteron 14 hari + PMSG 150 IU (H-2).............................................. 64
5
Hasil pengamatan gejala estrus pada rusa timor betina selama 4 hari berturut-turut (06.00 - 18.00) yang diberi perlakuan hormon progesteron 14 hari + PMSG 300 IU (H-2).............................................. 68
6
Hasil analisis statistik dan uji lanjut untuk persentase estrus...................
72
7
Hasil analisis statistik dan uji lanjut untuk onset (timbulnya) estrus.......
73
8
Hasil analisis statistik dan uji lanjut untuk lama estrus............................
74
9
Keadaan lokasi dan rusa timor penelitian................................................
75
10 Pemasangan hormon progesteron (CIDR-G) pada rusa timor.................
77
59
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Rusa termasuk satwa ruminansia yang memiliki banyak anak jenis (subspesies) yaitu sebesar 196, 42 jenis (spesies) yang berasal dari bangsa (ordo) Artiodacthyla, suku (family) Cervidae serta anggota 17 marga (genus). Suatu jumlah yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai suatu komoditas baru di dunia peternakan. Sebenarnya jenis rusa asli di Indonesia hanya empat, yaitu rusa sambar (Cervus unicolor), rusa timor (Cervus timorensis), rusa bawean (Axis kuhlii) dan muncak (Muntiacus muntjak). Namun sejak pra kemerdekaan (sekitar tahun 1814) telah didatangkan satu jenis rusa dari India, yaitu rusa totol (Axis axis) yang berkembang pesat dan penyebarannya hanya terbatas dihalaman Istana kepresidenan Bogor. Rusa yang penyebarannya paling luas di pulau-pulau di Indonesia dan bahkan di luar negeri adalah jenis rusa timor. Rusa merupakan salah satu satwa liar yang dilindungi
oleh undang-
undang terhadap perburuan dan pemanfaatannya. Namun hal ini dapat dimungkinkan dengan adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistimnya, menyebutkan bahwa pemanfaatan satwa liar Indonesia dimungkinkan dilakukan baik dalam bentuk; (a) pengkajian, penelitian dan pengembangan; (b) penangkaran; (c) perburuan; (d) perdagangan; (e) peragaan; (f) pertukaran; (g) budidaya tanaman obat-obatan dan (h) pemeliharaan untuk kesenangan (Pasal 36 ayat 1). Aturan teknis untuk pelaksanaan pemanfaatan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Menurut aturan teknis ini pemanfaatan satwa liar bertujuan agar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat 1). Rusa mulai didomestikasi untuk tujuan penghasil daging bagi masyarakat telah dilakukan secara meluas, baik daratan Eropa, Pasifik hingga Asia (Kyle 1994). Penge mbangan rusa sebagai komoditas baru ini dimulai sejak tahun 1970an dan telah berkembang pesat pada tahun 1980-an. Rusa timor sebagai rusa asli Indonesia justru telah dikembangkan secara besar-besaran sebagai salah satu hewan ternak di Mauritius, Kaledonia Baru, Australia dan Malaysia. Oleh sebab
1
itu diperlukan langkah- langkah strategis untuk pengembangannya di Indonesia sebagai komoditas penghasil daging. Salah satu keunggulan rusa timor dibanding dengan ternak ruminansia lain adalah kemampuannya menghasilkan karkas dengan persentase yang relatif lebih tinggi, yaitu antara 56 sampai 63%, ketebalan lemak 8 - 18 mm, imbangan daging dan tulang 4,7 : 1,0 (Semiadi dan Nugraha 2004). Sedangkan produk sampingannya dapat bersumber dari tanduk muda (velvet antler) dan kulit. Dari kedua produk yang dihasilkan ternyata dapat memberi kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan peternak di Australia. Harga setiap kg karkas sebesar $ 4,4 dan valvet dapat mencapai $ 100 serta kulit $ 50 (Arifin 2005). Di Indonesia khususnya di Provinsi Kalimantan Timur sebagai salah satu daerah yang melakukan perburuan setiap tahunnya tidak kurang dari 5000 ekor rusa sambar, dan produksi ini menghasilkan sekitar 412.500 kg karkas (Semiadi 2002). Melihat potensi rusa, Dirjen Produksi Peternakan saat ini tengah berupaya mengadopsi metode pemeliharan rusa yang telah dikembangkan di luar negeri untuk dimodifikasi pada kondisi Indonesia. Oleh karena itu perlu dipelajari proses pengembangbiakan rusa di luar habitatnya melalui teknologi reproduksi, yang juga bermanfaat sebagai salah satu upaya untuk konservasi dan mencegah kepunahan maupun untuk meningkatkan pemanfaatan rusa sebagai ternak harapan sumber protein. Upaya pengembangbiakan rusa di luar habitatnya (penangkaran) tanpa introduksi teknologi reproduksi masih kurang memuaskan. Disisi lain untuk penerapan teknologi reproduksi diperlukan data dasar sifat fisiologis dan pola reproduksi yang akurat. Sementara itu dasar-dasar sifat fisiologis dan pola reproduksi pada rusa timor (Cervus timorensis) di daerah tropis masih kurang tersedia. Untuk memahami pola reproduksi pada rusa, cukup banyak hal yang berbeda dengan pola atau standar reproduksi ternak lainnya seperti kambing, domba, sapi
dan kuda. Sebagai contoh, jantan produktif untuk reproduksi
berkaitan erat dengan siklus pertumbuhan ranggah kerasnya, sehingga ada saat terbaik untuk dapat dilakukan perkawinan ataupun seleksi untuk koleksi semen. Pada rusa betina, siklus berahi secara akurat belum diperoleh, sementara pada
2
masing- masing daerah mempunyai masa kelahiran yang spesifik (Semiadi et al. 1994; Semiadi 1998). Hal yang berkaitan dengan penerapan teknologi inseminasi buatan (IB) pada rusa betina adalah proses sinkronisasi estrus dengan menggunakan hormon sintetik dalam suatu Controlled Internal Drug Release-Goat (CIDR-G), Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG). Penggunaan hormon progesteron (CIDR-G) dimaksudkan untuk memacu sinkronisasi estrus dan fertilitas melalui penekanan aktivitas ovarium dengan menghambat lonjakan LH (Luteinizing Hormone) dari hipofisis anterior melalui mekanisme umpan balik negatif. PMSG adalah hormon eksogenus yang sengaja diberikan dengan tujuan untuk memperoleh sel telur dalam jumlah yang banyak yang daya kerjanya seperti hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone) serta dapat mencegah terjadinya sel telur yang atresi (Cahil 1982; Jillella 1982; Hogan et al. 1986 dalam Margawati dan Mulyaningsih 1996). Tujuan utama dari semua metode ini adalah untuk mengkondisikan semua betina yang akan diinseminasi berada dalam satu status fisiologi reproduksi yang seragam, yaitu berahi. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka telah dilakukan penelitian
mengenai
penggunaan
hormon
progesteron
(CIDR-G)
dan
kombinasinya dengan PMSG guna memperoleh suatu kondisi dimana sekelompok rusa betina berada dalam keadaan berahi dan siap untuk diinseminasi. Kerangka Pemikiran Perkembangbiakan rusa secara cepat dan masal dapat dilakukan dengan metode sinkronisasi estrus pada sekelompok ternak betina untuk dapat diinseminasi secara serempak pada waktu yang hampir bersamaan. Penyerentakan berahi pada hewan betina dimaksudkan untuk lebih mengefisienkan waktu dan tenaga dalam pelaksanaan program inseminasi buatan. Makin banyak betina yang dapat diinseminasi pada suatu saat secara serempak, makin meningkatkan suatu proses produksi yang efisien dalam waktu yang relatif singkat. Penggunaan hormon progesteron secara intravaginal dimaksudkan untuk memacu sinkronisasi estrus dan fertilitas melalui penekanan sementara aktivitas ovarium dengan menghambat lonjakan LH dari hipofisis anterior melalui mekanisme umpan balik ne gatif. CIDR-G yang mengandung 0,3 gram
3
progesteron selama masa implantasi intravaginalnya, akan beredar di dalam sistem sirkulasi darah dan akan menghambat lonjakan LH untuk mencegah terjadinya ovulasi. Setelah hormon progesteron dilepas dari implantasinya di dalam vagina, maka hambatan tersebut akan hilang dari gonadotropin dan akan terjadi lonjakan LH dan estrogen. Dengan demikian hewan- hewan perlakuan akan memperlihatkan tanda-tanda berahi secara bersamaan beberapa hari kemudian. PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin) yang disuntikkan secara intramuskuler (im) memiliki aktivitas biolo gis yang menyerupai FSH dan LH, namun lebih dominan peranan FSH- nya. PMSG atau equine Chorionic Gonadotropin (eCG) adalah hormon FSH dan LH eksogenus yang akan memperjelas pengaruh FSH dan LH endogen dalam penyerentakan berahi bila diberikan sebelum hormo n progesteron dilepas. Hal ini
akan mempengaruhi
aktivitas ovarium dengan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan folikel, sehingga pemberian dalam jumlah yang cukup bersama dengan progesteron diharapkan akan lebih meningkatkan pertumbuhan dan perkembanga n gelombang folikel dan ovulasi pada rusa timor. Pendekatan aspek biologi reproduksi yang dapat dilakukan melalui penelitian ini adalah pengkajian tingkah laku estrus pada rusa betina setelah pemberian hormon progesteron secara tunggal dan kombinasinya dengan PMSG untuk kesiapannya diinseminasi. Tujuan Penelitian Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk : 1. Menentukan metode sinkronisasi estrus yang lebih baik pada rusa betina. 2. Mempelajari pola tingkah laku estrus pada rusa betina yang diberi hormon progesteron (CIDR-G) dan kombinasinya dengan PMSG. 3. Membandingkan efisiensi penggunaan pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk:
4
1. Memberikan informasi tentang metode sinkronisasi estrus yang lebih baik dan efektif dalam mempengaruhi/menimbulkan respon estrus dari rusa timor (Cervus timorensis) yang diberi perlakuan hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG. 2. Mendapatkan data dasar untuk penelitian dan kerangka kerja lebih lanjut dalam rangka pengembangan rusa timor sebagai komoditas ternak baru serta pengembangan teknologi reproduksi itu sendiri. Hipotesis 1. Pemberian hormon progesteron tunggal secara intravaginal dapat menggertak pemunculan estrus pada rusa timor. 2. Kombinasi hormon progesteron dengan dosis PMSG yang semakin tinggi akan lebih meningkatkan keberhasilan dan intensitas estrus daripada pemberiannya secara tunggal.
5
TINJAUAN PUSTAKA Ciri-ciri Rusa Timor (Cervus timorensis) Rusa timor (Cervus timorensis) merupakan rusa tropis kedua terbesar setelah rusa sambar. Dibandingkan rusa tropis Indonesia lainnya, rusa timor memiliki banyak keunikan yaitu sebagai kelompok rusa yang mempunyai banyak anak jenis, sebagai rusa dengan nama daerah yang cukup beragam dan sebagai rusa yang paling tersebar luas di luar negeri. Berat badan rusa timor berkisar antara 40 - 120 kg, tergantung pada anak jenisnya (Semiadi dan Nugraha 2004). Rusa timor mempunyai ciri-ciri fisik berupa warna kulit coklat kemerah- merahan sampai coklat gelap (Drew et al. 1982), lebih lanjut dijelaskan bahwa berat badan dewasa rusa timor mencapai 60 kg sampai 100 kg, panjang badan berkisar 1,95 2,10 meter dan tinggi badan 1,00 - 1,10 meter. Jantan mempunyai ranggah, dengan panjang maksimum 0,87 meter, yang berkembang sesuai dengan pertambahan umur. Ukuran tubuh betina lebih kecil, ramping, padat dan kakinya lebih kecil daripada jantan. Sedangkan menurut Syarif (1974) rusa timor mempunyai ciri-ciri berbadan ramping, berwarna coklat kemerah-merahan sampai coklat gelap, dengan bobot badan rata-rata 45 - 60 kg. Rusa umumnya lebih menyukai hutan terbuka atau padang rumput dan hidup pada daerah sampai ketinggian 2600 meter di atas permukaan laut (der Zo n 1979). Pada jenis yang besar (Cervus Timorensis russa) tinggi badan mencapai 110 cm, panjang tubuh dan kepala 190 - 210 cm, dengan bobot badan dapat mencapai 140 kg (Hardjosentono 1978). Rusa timor termasuk satwa liar yang aktif sepanjang hari memiliki daya adaptasi yang tinggi serta dapat hidup di hutan-hutan yang lebat. Umumnya hidup menyendiri (soliter), tetapi seringkali dijumpai dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas jantan dewasa, betina dewasa, betina dan anak-anaknya. Sebagai herbivora, rusa timor dapat mengkonsumsi berbagai jenis hijauan antara lain: buah-buahan, singkong, kulit pisang, jagung, berbagai jenis rumput, dan lain- lain.
6
Tingkah Laku Seksual Pada umumnya rusa mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan baru sehingga sangat memungkinkan untuk didomestikasi. Pernyataan ini tentunya harus didukung dengan penelitian yang mengkaji kemampuan secara fisiologis. Tentunya menjadi suatu pemikiran apabila kemampuan adaptasi tidak diikuti dengan kemampuan reproduksi yang menjadi sala h satu tujuan dari suatu peternakan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di negara sub tropik pada rusa-rusa tropik yang ditranslokasi, bahwa rusa tropik mempunyai kemampuan reproduksi yang cukup baik. Asumsi yang muncul dari penelitian yang ada di daerah tropik mengacu pada kondisi sub tropik yaitu aktivitas reproduksi berkaitan dengan tahap ranggah keras. Hafez (1993) mendefinisikan tingkah laku seksual (sexual behaviour) adalah beberapa variasi pola tingkah laku diawali dengan percumbuan, daya tarik dan aktivitas motorik yang bertujuan untuk mendekatkan jantan dan betina sehingga terjadi perkawinan dan akhirnya menghasilkan keturunan. Sedangkan Austine dan Short (1985) menyatakan bahwa tingkah laku seksual tidak hanya menyangkut koitus saat gamet jantan ditransfer ke betina tetapi juga bagaimana membawa jantan dan betina tersebut untuk bertemu dan melakukan percumbuan serta menentukan perkawinan pada waktu fertil yang optimal. Tingkah laku seksual yang sinkron antara jantan dan betina terjadi akibat adanya hormon gonadal dalam darah pada level tertentu, dan dibantu oleh aktivitas susunan syaraf pusat sehingga tingkah laku merupakan indikator respon otak terhadap stimulasi humoral. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa suksesnya proses reproduksi pada mamalia jantan tergantung kepada seleksi intraseksual dan berhubungan erat dengan kemampua n jantan untuk menjadi pemimpin yang ditandai dengan kekuatan (strength), ukuran badan serta adanya ranggah. Penampakan tingkah laku reproduksi pada rusa jantan terjadi pada awal tahap ranggah keras diinisiasi dengan tingkah laku rutting, yaitu periode terjadinya libido sebagai tanda dimulainya aktivitas musim kawin yang sangat khas pada rusa jantan untuk menentukan daerah teritorial dan harem (betina yang akan dikawini).
7
Tingkah laku lain adalah dengan membentuk mahkota. Ranggah merupakan pertanda dominasi seekor rusa jantan dalam suatu kelompok. Sifat jantan yang akan mengawini betina dan keberhasilan perkawinan tergantung pada tingkat dominasi jantan (agresivitas), daya tarik antara jantan dan betina yang sedang estrus, tahapan interaksi tingkah laku (kesiapan untuk mating) dan reaksi jantan untuk menaiki betina (Anonimous 1995). Sebaliknya pada betina pemilihan pasangan dan kemampuan melahirkan tergantung pada latihan fisik. Tingkah laku seksual pada betina terjadi secara periodik dan hanya muncul pada periode tertentu dalam kehidupannya. Tingkah laku ini terjadi akibat konsentrasi hormon gonadal di dalam plasma darah sampai tingkat yang kritis. Sekresi hormon ini dipengaruhi oleh lingkungan seperti cahaya, nutrisi, bau khas dari pasangan, rangsangan dari perabaan, rangsangan sosial dan temperatur (Becker et al. 1992). Takandjandji dan Sinaga (1997) menyatakan bahwa, tingkah laku reproduksi lainnya pada rusa timor yang muncul mencakup : melenguh (roaring) dengan suara keras pada waktu-waktu tertentu pada pagi/sore hari, ciri-ciri lain adalah berkubang (berendam dalam lumpur), berjalan tegak dengan kepala mendatar, menyeringai (flehmen) kearah betina yang sedang estrus, mengikuti jejak betina dan menciumi urine.
Siklus Estrus pada Betina Periode estrus merupakan bagian dari siklus yang ditandai dengan keinginan ternak betina untuk menerima pejantan guna melakukan aktivitas kopulasi (Toelihere 1985), dimana dalam periode ini juga ternak betina menghasilkan sel telur atau ovum yang hidup. Proses terjadinya estrus sangat erat kaitannya dengan sistem hormonal kejadian
fisiologik
pada
hewan
Estrus dan siklus estrus merupakan suatu betina
yang
dimanifestasikan
dengan
memperlihatkan keinginan kawin. Interval antara awal timbulnya satu periode estrus ke awal periode estrus berikutnya pada hewan yang tidak bunting dan normal disebut siklus estrus (Toelihere 1985). Hormon pada hewan betina selalu dihubungkan dengan ovulasi, pendekatan pada jantan, courtship dan terjadinya kopulasi.
8
Penelitian pada hewan laboratorium yang diberi estrogen ternyata meningkatkan keinginan seksual untuk mendekati jantan dan merangsang penampakan seksual yang dikenal dengan proceptive behaviour. Pada betina, proceptive behaviour ditandai dengan pendekatan, orientasi dan lari menjauh dari pejantan. Selain menimbulkan tingkah laku proceptiv pada betina, estrogen juga akan menyebabkan betina menjadi lebih menarik untuk jantan, seperti menimbulkan bau-bauan yang khas estrus, suara dan perubahan fisik. Pada betina, tingkah laku percumbuan tidak hanya menerima jantan secara seksual tapi juga menghasilkan bau khas, suara dan stimulasi fisik yang menandakan betina tersebut dalam kondisi estrus. Becker et al. (1992) membagi tingkah laku reproduksi menjadi dua, yaitu tingkah laku pra kopulasi dan tingkah laku kopulasi. Tingkah laku pra kopulasi penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya disebut dengan tingkah laku percumbuan. Tingkah laku kopulasi biasanya ditandai dengan postur badan yang khas untuk penerimaan jantan. Bentuk badan yang siap untuk kopulasi disebut lordosis (membentuk lengkungan di bagian punggung). Tingkah laku percumbuan ditandai dengan seleksi untuk mendapatkan pasangan. Diferensiasi seks pada gamet (sel telur dan sel sperma) berhubungan dengan strategi reproduksi. Sebagai contoh betina yang berovulasi pada suatu periode (siklus) reproduksi, sebaliknya pada jantan relatif konstan dalam memproduksi
sel
sperma.
Sebagai
konsekuens inya
betina
mempunyai
keterbatasan dalam waktu kawin dibandingkan dengan jantan. Tingkah laku kopulasi ditandai dengan penerimaan jantan secara seksual. Penampilan yang tampak adalah lordosis. Lordosis ditandai dengan tidak bergeraknya tubuh betina, posis i membungkuk dengan kaki depan direndahkan, kemudian badan membentuk lengkungan, pada spesies yang mempunyai ekor yang panjang kopulasi biasanya ditandai dengan diangkatnya ekor ke salah satu sisinya. Pada spesies tertentu lordosis dapat juga terjadi akibat stimulasi manual pada punggung betina. Berbeda dengan Becker et al. (1992); Katz dan McDonald (1982) yang membagi tingkah laku seksual pada betina menjadi tiga bagian, yaitu atraktif, tingkah laku proceptiv (menerima dicumbu) dan receptivity (penerimaan koitus).
9
Secara umum, siklus estrus dibagi menjadi empat fase. Keempat fase ini juga dapat digolongkan kedalam dua fase yaitu folikuler estrogenik (proesterus dan estrus) serta metestrus atau progestational (estrus dan diestrus). Fase estrus atau periode seksual (D0 ) diikuti dengan fase metestrus atau pasca ovulasi (D1-4 ), fase diestrus (D5-18 ) yang sesuai dengan fase luteal dan fase proestrus (D18-21 ) yang merupakan periode sebelum estrus (Toelihere 1997). Proestrus merupakan periode persiapan yang ditandai dengan pertumbuhan folikel oleh FSH dari hipofisis anterior (Salisbury dan Bagnara 1985; McDonald 1989). Folikel yang sedang tumbuh menghasilkan cairan folikel dan estradiol yang lebih banyak. Menurut Elmer et al. (1981), cairan folikel menyebabkan ukuran ovum meningkat.
Produksi estrogen yang tinggi menyebabkan
perkembangan uterus, vagina, oviduk dan folikel- folikel meningkat, serta meningkatkan suplai darah kedalam saluran alat kelamin (Elmer et al. 1981; Salisbury dan Bagnara 1985). Pada akhir proses proestrus, estrus dimulai (McDonald 1989). Fase ini merupakan aktivitas penerimaan seksual pada betina (Elmer et al. 1981), dan lama pelayanan bervariasi (McDonald 1989). Partodihardjo (1992) menyatakan bahwa estrus ternak ditandai sebagai periode dimana betina akan menerima dan diam untuk dikawini. Kejadian estrus dapat dijadikan dasar yang lebih baik dalam menerangkan fisiologi kelamin dan dapat digunakan sebagai titik permulaan dari suatu siklus berahi. Estrus pada betina adalah fase yang sangat penting yang ditandai dengan terjadinya kopulasi. Ovulasi terjadi pada fase ini, CL (Corpus Luteum) mulai terbentuk pada saat LH (Luteinizing Hormone) dari hipofisis anterior meningkat dan FSH menurun. Jika hewan betina menolak untuk kopulasi meskipun tanda-tanda estrus terlihat dengan jelas, maka penolakan tersebut memberi pertanda bahwa hewan betina masih dalam fase proestrus atau fase estrus telah lewat. Proses ovulasi merupakan suatu proses pelepasan sel telur dari folikel yang matang atau folikel de Graaf. Menurut Frandson (1992) akibat pecahnya dinding folikel maka cairan folikel dan ovum akan terlepas dan masuk ke dalam rongga peritonial di daerah infundibulum tuba Fallopii. Ovum bersama sel-sel kumulusnya akan terlontar keluar bersama dengan cairan fo likel. Ovulasi yang terjadi pada ternak betina merupakan kejadian siklik dengan waktu interval
10
kejadian yang teratur kecuali ternak tersebut mengalami kebuntingan atau sedang mengalami ketidaknormalan atau ketidakseimbangan hormonal serta sebab-sebab patologik lainnya. Metestrus adalah fase setelah ovulasi, dimana CL mulai berfungsi (McDonald 1989). Corpus luteum dipertahankan oleh LTH (Luteotropic Hormone) atau prolaktin dari hipofisis anterior. Metestrus ditandai oleh terhentinya estrus yang sekonyong-konyong. Rongga folikel segera berangsur mengecil dan pengeluaran lendir terhenti. Selama metestrus, epitel vagina melepaskan sebagian sel-sel barunya yang terbentuk (Salisbury dan Bagnara 1985). Lamanya fase ini tergantung pada lamanya waktu hipofisis anterior mengsekresikan LTH (Elmer et al. 1981). Diestrus adalah periode terakhir dari siklus estrus. Corpus luteum berkembang dengan sempurna, dan pengaruh hormon progesteron tampak pada dinding uterus (Salisbury dan Bagnara 1985). Perkembangan otot uterus dan ukuran kelenjar terus meningkat. Kelenjar uterus mensekresikan cairan yang kental untuk ketersediaan makanan bagi zigot (McDonald 1989). Jika terjadi kebuntingan, fenomena ini akan diperpanjang selama kebuntingan dan CL tetap utuh. Kehidupan CL selama kebuntingan dipertahankan oleh LTH yang disekresikan oleh plasenta. Hafez (1993) menjelaskan bahwa secara morfologik proses ovulasi dapat dijelaskan akibat menipisnya dinding folikel karena semakin bertambahnya cairan folikel sehingga tidak terjadi vaskularisasi pada bagian yang semakin menipis dan dinding folikel pada bagian tersebut pecah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh cairan antrum folikel untuk menyusup masuk menggantikan tempat rupturnya sel-sel granulosa. Akibat tekanan yang makin kuat, dinding folikel pecah sehingga cairan antrum bersama ovum akan terlontar ke luar dan peristiwa ini disebut ovulasi. Secara hormonal, ovulasi diawali dengan pelepasan LH oleh hipofisis anterior yang mengakibatkan pembentukan PGF 2a (Prostaglandin F2a ) dan PGE2 oleh stratum granulosum folikel de Graaf. Selanjutnya PGE2 akan merangsang plasminogen aktivator dan PGF 2a . menyebabkan peretakan lisosom pada apeks epitel. Terjadinya kedua faktor tersebut diperkuat dengan adanya teka halogenase dan oedema pada folikel dan
11
menyebabkan terbentuknya stigma. PGF 2a menyebabkan konstriksi ovarium dan folikel sehingga mengakibatkan pecahnya folikel dan terlontarnya oosit keluar folikel (Toelihere 1985). Setelah proses ovulasi terbentuk CL pada bekas folikel yang telah pecah dan mulai mensekresikan progesteron. CL terbentuk dari diferensiasi sel-sel folikel preovulatoris setelah lonjakan pelepasan LH (Davis et al. 1996). Selanjutnya Fortune (1993) menyatakan bahwa pada fase luteal inipun tetap terjadi pertumbuhan folikel yang dapat mencapai folikel de Graaf akan tetapi pertumbuhan folikel pada fase ini berlangsung lambat sehingga ukuran maksimal seperti layaknya folikel de Graaf lambat tercapai. Menurut Hafez (1993) terjadinya siklus estrus pada ternak merupakan proses
interaksi
antara
hipotalamus
melalui
(Gonadotrophin
Releasing
Hormone/Gn-RHnya), hipofisis (dengan FSH dan LH), ovarium (estrogen, progesteron dan inhibin) dan uterus (PGF 2a ). Interaksi kerja antara keempat organ tersebut sangat erat kaitannya dengan hormon-hormon yang diproduksinya. Hormon- hormon tersebut akan saling memberikan umpan balik, baik umpan balik positif (positive feed-back mechanism) maupun negatif (negative feed-back mechanism). Perkembangan
organ-organ
reproduksi
termasuk
ovarium
sangat
dipengaruhi oleh sekresi GnRH dari hipotalamus. GnRH bertanggung jawab dalam merangsang sekresi FSH dan LH dari hipofisis anterior. FSH sangat diperlukan untuk perkembangan folikel pada ovarium melalui pertumbuhan selsel granulosa. Lo njakan sekresi FSH terjadi pada saat menjelang pertumbuhan dan perkembangan suatu gelombang folikel, selanjutnya menurun kembali ke level basal setelah folikel pada gelombang tersebut memasuki tahap seleksi. Pernyataan ini dilandasi oleh hasil penelitian Gordon (1994) yang menyatakan bahwa peningkatan sekresi FSH hanya terjadi pada saat menjelang pertumbuhan gelombang folikel, dan 16 jam setelah terjadi pertumbunan folikel hormon tersebut akan kembali pada konsentrasi basal. Di samping berperan dalam pertumbuhan folikel, FSH juga selalu bekerja sinergik dengan estrogen untuk merangsang peningkatan sensitivitas reseptor estrogen sehingga akan terjadi rangsangan terhadap proliferasi sel-sel granulosa, peningkatan cAMP dan
12
merangsang reseptor LH menjelang terjadinya lonjakan sekresi LH untuk proses ovulasi. Mekanisme kerja FSH pada ovarium menurut McDonald (1989) diawali dengan mengaktifkan reseptornya sendiri dan reseptor LH pada sel-sel granulosa. FSH akan berikatan dengan reseptornya dan mengaktifkan enzim adenilatsiklase sehingga terjadi peningkatan cAMP intraseluler. Peningkatan cAMP dapat mengaktifkan proteinkinase yang akan berperan dalam merangsang sintesis hormon steroid. Efek kerja cAMP diatur oleh fosfoprotein melalui perantaraan reaksi fosforilase-defosforilase protein. Efek cAMP yang dikendalikan melalui reaksi tersebut adalah proses sekresi, metabolisme protein dan lemak, induksi enzim, pengangkutan ion dan pengaturan pertumbuhan dan pematangan serta replikasi sel. Hipofisis dapat pula menghasilkan LH disamping FSH, yang dapat dikendalikan oleh hormon progesteron dan estrogen. Frekuensi pulsa LH meningkat pada saat terjadi penurunan konsentrasi progesteron dan peningkatan estrogen. Hormon estrogen berperan pula dalam merangsang ternak untuk memperlihatkan atau mengekspresikan tingkah laku kawin pada ternak betina sehingga ternak jantan atau inseminator dapat mengetahui gejala-gejala estrus dan waktu kawin atau inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat. Antara LH dan hormon estrogen terdapat mekanisme kerja yang saling merangsang. Sekresi LH yang meningkat akibat penurunan kadar progesteron akan merangsang sekresi estrogen melalui peningkatan pema tangan folikel de Graaf sebagai sumber estrogen endogen. Selanjutnya estrogen dapat menimbulkan lonjakan sekresi LH yang diperlukan untuk ovulasi dan mengawali pembentukan sel-sel luteal. Setelah ovulasi, sel-sel theca interna dan sel-sel granulosa di bawah pengaruh LH akan berkembang menjadi corpus luteum sebagai sumber hormon progesteron (Toelihere 1985). Progesteron berperan mempersiapkan lingkungan uterus untuk implantasi dan pemeliharaan kebuntingan melalui peningkatan sekresi endometrium dan menghambat kontraksi miometrium. Konsentrasi hormon progesteron sangat ditentukan oleh ukuran corpus luteum dan jumlah atau kepadatan sel-sel luteal yang membentuk corpus luteum tersebut. Pada ternak yang tidak bunting setelah dikawinkan atau diinseminasi, CL akan beregresi
13
(Elmer et al. 1981). Regresi CL (luteolisis) terjadi karena rangsangan bahan luteolitik yang disekresikan oleh hipofisis anterior atau uterus tidak bunting yaitu PGF 2a . Corpus luteum akan mengalami regresi atau lisis pada hari ke-17 sampai hari ke-20 siklus estrus yang berakibat pada menurunnya konsentrasi progesteron. Progesteron memainkan perana n utama dalam pengaturan respon kekebalan uterus dimana induksi progesteron menghasilkan uterine milk protein (UTMP) atau protein susu uterus yang menghambat aktivitas limfosit di dalam uterus (Hansen 1997). Disamping itu progesteron mempunyai fungsi yang cukup penting yaitu bekerja secara sinergis dengan estrogen untuk merangsang sekresi alveoli dan pertumbuhan kelenjar mammae (McDonald 1989). Siklus Estrus dan Profil Hormon Reproduksi pada Rusa Betina Siklus estrus pada rusa betina seperti pada ruminansia lainnya selalu dihubungkan dengan waktu pubertas. Pubertas pada rusa lebih berhubungan dengan berat badan daripada umur. Sebagai contoh, rusa betina dapat kawin dan bunting pada berat badan 55 sampai 59 kg. Semiadi (1998) menyatakan bahwa umur pubertas pada rusa betina dicapai pada umur 18 bulan, sedangkan Takandjandji (1997) menyatakan pada umur antara 15 sampai 18 bulan rusa betina akan mengalami pubertas dengan masa reproduksi aktif sampai 12 tahun. Rusa timor sendiri akan mencapai pubertas pada umur 7 hingga 9 bulan dengan awal waktu bereproduksi secara optimal pada umur 17 sampai 18 bulan. Indikator seekor rusa betina estrus adalah ketika terlihat ada rusa jantan yang mencoba mendekatinya pada jarak 10 sampai 15 meter dan mulai terlihat keduanya beristirahat bersama di tempat tertutup. Pejantan tampak melindungi betina tersebut dengan kelakuan yang makin agresif. Kelakuan ini biasanya berlangsung selama 12 jam sebelum betina mencapai puncak estrus. Betina estrus juga menunjukkan tanda punggung tegak, telinga berdiri, kepala diangkat, mulut terbuka, vulva membengkak dan mengeluarkan cairan jernih dari vagina yang berbau khas, kaki dan pantat digerak-gerakkan ke depan dan ke belakang, selalu diikuti pejantan sambil menjilat ekor dan mencium urine betina tersebut. Seluruh kelakuan estrus itu berlangsung lebih dari 24 jam, bahkan pada kasus yang ekstrim mencapai 4 hari.
14
Sampai saat ini informasi panjang siklus estrus untuk rusa-rusa di Indonesia masih sangat terbatas. Panjang siklus estrus pada rusa tropik berkisar antara 10 dan 23 hari, yang paling pendek adalah pada rusa timor (10 - 18 hari) dan paling panjang pada rusa totol antara 12 sampai 23 hari (Semiadi 1995). Penelitian mengenai profil hormon reproduksi pada rusa tropik masih sangatlah terbatas. Namun profil hormon ini selalu berhubungan erat dengan siklus musim, berat badan, jumlah pakan yang diserap, tingkat metabolisme dan musim kawin. Adam et al. (1985) telah mencoba mempelajari profil hormon progesteron pada rusa merah betina selama musim kawin, bunting dan tidak estrus. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi hormon progesteron di dalam plasma perifer pada tingkat basal selama masa laktasi dan tidak estrus bermusim adalah < 1ng/ml, dan meningkat dengan cepat pada awal musim kawin, mencapai lebih dari 1 ng/ml. Diduga pula bahwa ovulasi pertama terjadi pada hari dimana konsentrasi progesteron meningkat di atas 1 ng/ml dan tetap dipertahankan selama beberapa hari. Rata-rata lama siklus dari ovulasi pertama ke ovula si kedua adalah 21 ± 1,3 hari dengan puncak progesteron yang dicapai 4,5 ± 0,43 ng/ml sesudah 14,0 ± 0,8 hari. Indikator dimulainya periode estrus dan ovulasi kedua adalah dengan menurunnya konsentrasi progesteron plasma di bawah 1 ng/ml (artinya ovulasi dianggap
telah terjadi pada saat progesteron plasma rendah).
Progesteron merupakan hormon yang dihasilkan oleh CL, plasenta dan kelenjar adrenal. Progesteron diangkut melalui peredaran darah karena ikatannya dengan globulin dan pengaturan sekresi progesteron kemungkinan karena rangsangan
LH
(Toelihere
1985).
Progesteron
mempunyai
peranan
mempersiapkan lingkungan uterus untuk implantasi dan memelihara kebuntingan melalui peningkatan sekresi kelenjar endometrium dan menghambat motilitas miometrium. Selain itu progesteron menghambat sel-sel limfosit yang dapat menolak jaringan dan merupakan immuno supresif alami yang mencegah penolakan maternal terhadap fetus (Hansen dan Liu 1996). Pada ternak sapi, kadar progesteron tergantung pada ukuran besar CL atau jumlah CL yang terdapat di dalam ovarium. Level progesteron sangat rendah (0,5 ng/ml) pada saat estrus dan menjadi 1 ng/ml pada hari ke-3 dan ke-4 siklus. Level puncak menjadi 7 - 8 ng/ml pada hari ke-7 dan bertahan sampai hari ke-14 atau
15
selama fase luteal. Pada hewan yang tidak bunting level ini akan menurun secara cepat setelah hari ke-16 sampai level basal akibat regresinya CL oleh PGF 2a yang secara bertahap diproduksi uterus selama fase luteal. Level basal progesteron dalam peredaran darah lebih rendah dari 1 ng/ml. Setelah perkembangan CL pada awal fase luteal siklus, konsentrasi progesteron plasma meningkat sampai 7 ng/ml dan selama kebuntingan konsentrasi progesteron plasma dapat mencapai 20 ng/ml atau lebih. Tingginya konsentrasi progesteron plasma pada fase luteal siklus dapat menekan pelepasan LH yang berhubungan dengan pematangan folikel dominan. Jika folikel dominan matang mencapai ukuran lebih besar dari 9 mm, sementara konsentrasi progesteron plasma di atas 4 ng/ml, maka folikel dominan berangsurangsur hilang (atresia) dan terbentuk folikel baru. Ketika konsentrasi progesteron plasma turun ke level sub- luteal (kurang dari 2 ng/ml), LH meningkat dan cukup untuk memelihara pematangan folikel dominan, folikel dominan tetap bertahan tanpa ovulasi (Anonimous 1996). Stabenfeldt dan Edqvis (1997) menyatakan bahwa ukuran CL telah mencapai maksimum pada hari ke-7 sampai hari ke-9 dengan ukuran 2,5 cm bahkan sampai 3 cm. Toelihere (1985) menyatakan bahwa CL biasanya berukuran 1,9 sampai 3,2 cm dan CL kebuntingan serta CL matang pada setiap siklus estrus berukuran berat 3 sampai 9 gram atau rata-rata 5 sampai 6 gram. CL dapat bertahan pada ovarium 8 sampai 14 hari jika tidak terjadi kebuntingan, sedangkan bila terjadi kebuntingan CL tetap berfungsi sampai akhir masa kebuntingan (McDonald 1989). Jika ovum tidak dibuahi, hewan tidak bunting, proses perkembangan folikel, ovulasi dan pembentukan CL akan terjadi secara teratur. Umur CL dibatasi oleh uterus yang pada hari- hari terakhir siklus pada hewan tidak bunting memproduksi PGF 2a secara pulsasi kedalam versa uterus, lalu ditransfer ke arteri ovari melalui mekanisme perembesan langsung. Di bawah pengaruh PGF 2a , CL mengalami regresi dan produksi progesteron terhenti. Selain itu, PGF 2a akan mengalami perubahan kimiawi dan fisik yang akan berakibat langsung dalam pengurangan sintesis steroid yang berakhir dengan terjadinya luteolisis dan akan mulai siklus estrus baru.
16
Stanbenfeldt dan Edqvist (1997) menyatakan bahwa PGF 2a sangat cepat mengalami degradasi dan hancur menjadi metabolitnya. Oleh karena itu kadar PGF 2a di dalam plasma darah diukur berdasarkan metabolitnya yaitu 13.14 dihidro-15 keto. Kerja PGF 2a endogen ini dapat ditiru dengan pemberian PGF 2a eksogenus pada ternak selama pertengahan siklus baik secara intramuskuler maupun intrauterin. Pemberian PGF 2a pada fase luteal dimana terdapat CL yang aktif akan memperpendek siklus estrus. Estrogen mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah merubah sifat sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis anterior. Estrogen berpengaruh pada otak yang ada hubungannya dengan tingkah laku estrus atau berahi. Estrogen juga mengontrol perubahan pada alat kelamin betina, produksi mucus, pada uterus merubah
aktivitas
metabolismenya,
kesemuanya
itu
dimaksudkan
guna
mempersiapkan uterus untuk menerima ovum dan spermatozoa. Estradiol yang diproduksi dari aktivitas gelombang folikel selama fase luteal siklus, menginisiasi luteolisis. Hal ini dimediasi dari pembentukan reseptor oksitosin di dalam endometrium ternak yang sudah dikondisikan dahulu oleh progesteron selama tujuh hari. Keluarnya oksitosin dari CL mengikat reseptor oksitosin di dalam endometrium, menghasilkan PGF 2a dan terjadi luteolisis. Pada sapi yang bunting, pengeluaran PGF 2a dihambat dan memperpanjang hidup CL (Anonimous 1996). Estradiol merupakan estrogen primer yang dihasilkan oleh ovarium. Sebagaimana androgen, estrogen beredar di dalam sistem sirkulasi melalui pengikatan dengan protein. Dari semua hormon steroid yang ada, estrogen mempunyai fungsi fisiologi yang paling luas. Estrogen mempengaruhi susunan syaraf pusat untuk menginduksi tingkah laku estrus pada betina. Estrogen dari folikel dapat menyebabkan ovulasi malalui umpan balik positif terhadap LH, juga dapat mempengaruhi uterus untuk meningkatkan pertumbuhan endometrium dan miometrium melalui hiperplasia dan hipertrofi sel. Estrogen juga dapat menyebabkan perkembangan sifat kelamin sekunder, disamping itu estrogen dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan kelenjar mammae, selanjutnya estrogen mempunyai efek negatif dan positif terhadap hipotalamus dan pelepasan FSH dan LH (Jabour et al. 1993; McG Agro et al. 1994).
17
Keluarnya oksitosin dari CL mengikat reseptor oksitosin di dalam endometrium, menghasilkan PGF 2a dan terjadi luteolisis. Produksi estradiol selama fase luteal menginisiasi luteolisis. Hal ini dimediasi dari pembentukan reseptor oksitosin dalam endometrium dari ternak yang sudah dipersiapkan oleh progesteron selama tujuh hari. Keluarnya oksitosin dari CL mengikat reseptor menghasilkan PGF 2a dan terjadi luteolisis. Pada sapi yang bunting keluarnya PGF 2a dihambat dan memperpanjang hidup CL (Anonimous 1996). Terdapat korelasi positif antara konsentrasi estradiol dan level reseptor oksitosin uterus (Parkinson et al. 1990 dalam Beard et al. 1994). Konsentrasi estradiol pada rusa betina bunting dengan 1 corpus luteum dan 3 corpora lutea tidak berbeda, demikian juga pada rusa betina yang tidak bunting. Pada rusa merah betina bunting dan yang tidak bunting konsentrasi estradiol terus menurun dan mencapai nilai terendah pada umur kebuntingan 160 sampai 190 hari pada bulan November dengan konsentrasi estradiol 5 - 10 pg/ml (Kelly et al. 1982). Selanjutnya konsentrasi estradiol meningkat secara bertahap dan secara signifikan me ncapai konsentrasi tertinggi 35,0 pg/ml menjelang kelahiran. Sementara itu betina yang tidak bunting menunjukkan perubahan yang sama, konsentrasi estradiol tetap menurun sampai bulan Januari dan meningkat secara gradual hingga mencapai 12 pg/ml hingga awal Februari. Efek estrogen pada poros hipotalamus dapat bersifat positif dan negatif. Efek negatif dapat bervariasi tergantung pada musim, pubertas, me nyusui dan nutrisi. Kehadiran progesteron pada fase luteal siklus estrus, meningkatkan efek negatif pada estrogen dalam pelepasan LH dan FSH sehingga pematangan folikel dan ovulasi terhambat. Umpan balik positif dengan peningkatan produksi estrogen dalam ketidakhadiran progesteron meningkatkan sekresi LH ke dalam peredaran darah. Selanjutnya di bawah pengaruh serta peran LH yang disekresikan dari hipofisis anterior terjadilah ovulasi. FSH dan LH yang berasal dari hipofisis anterior mengendalikan ovarium dalam pematangan folikel. Sewaktu berkembang folikel mulai memproduksi estrogen. Estrogen (estradiol 17-ß) adalah hormon steroid yang diperlukan untuk pertumbuhan folikel. Ukuran folikel dapat mencapai 8,5 mm. Konsentrasi estrogen plasma basal kurang dari 5 pg/ml plasma darah dan semakin meningkat
18
sesuai dengan pertumbuhan (Anonimous 1996). Konsentrasi estrogen di dalam folikel de Graaf mencapai kira-kira 160 pg/ml (Pineda dan Bowen 1989). Gelombang Folikel Menurut Hafez (1993) proses pertumbuhan dan pematangan folikel merupakan suatu seri berurutan transformasi subseluler dan molekuler dari berbagai komponen folikel seperti oosit, sel-sel granulosa dan theca. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor intraovarial, intra folikuler dan isyarat hormonal, yang menuju pada sekresi androgen dan estrogen. Menurut Adam et al. (1994), perkembangan gelombang folikel pada sapi digambarkan sebagai pertumbuhan sejumlah besar folikel- folikel kecil yang diikuti oleh seleksi satu folikel dominan dan folikel selebihnya beregresi. Ratarata gelombang folikel dideteksi pada hari ke-0 (hari ovulasi), hari ke-10 untuk yang mempunyai dua gelombang atau hari kesembilan dan ke-16 untuk yang mempunyai tiga gelombang. Jadi rata-rata interval waktu antara setiap gelombang folikel berkisar antara tujuh sampai sembilan hari. Dari pengamatan memakai ultrasonografi dengan jelas telah dinyatakan bahwa perkembangan folikuler ovarium selama siklus estrus ditandai oleh dua atau tiga gelombang folikuler berurutan per siklus (Pierson dan Ginther 1987; Sirois dan Fortune 1990). Gelombang folikuler terdiri atas suatu kelompok folikel dengan diameter lima milimeter atau lebih yang muncul rata-rata setiap tujuh hari. Siklus estrus dengan tiga gelombang akan lebih panjang dan memiliki fase luteal yang lebih panjang. Hal ini memberi kesan bahwa jumlah gelombang per siklus diukur oleh waktu regresi luteal. Masing- masing gelombang meliputi rekrutmen satu folikel dominan, yang terus tumbuh dengan menekan pertumbuhan folikel lain (subordinat) yang berdiameter lebih besar dari empat milimeter (Savio et al. 1993). Akhir siklus ditandai oleh munculnya satu folikel dominan, suatu kejadian yang bersamaan dengan penurunan yang nyata dalam konsentrasi progesteron karena regresi CL (Bergfelt et al. 1991). Lebih lanjut Bodensteiner et al. (1996) menyatakan bahwa mekanisme perbedaan pertumbuhan folik el mungkin melibatkan interaksi antara banyak faktor, baik hormon (seperti FSH, LH, estrogen dan progesteron) maupun
19
intrafolikuler (aktivin dan inhibin) atau faktor- faktor pertumbuhan yang mungkin meningkatkan respon terhadap FSH dan atau potensi pertumbuhan folikel- folikel dominan yang terseleksi. Fase pertumbuhan folikel terdiri atas folikel primer, sekunder, tertier dan folikel de Graaf. Folikel primer dibentuk selama perkembangan foetal atau segera setelah kelahiran. Folikel primer berasal dari satu sel epitel benih yang membelah diri. Sel-sel ini selanjutnya menebal dan membentuk sel-sel granulosa. Oosit terdapat di dalam folikel tersebut. Pertumbuhan folikel primer menjadi folikel sekunder merupakan pertumbuhan tahap kedua yang terjadi waktu ternak menjalani proses pendewasaan tubuh. Folikel sekunder berkembang ke arah stroma korteks. Pada stadium ini terbentuk suatu zona pelusida. Tidak semua folikel primer menjadi folikel sekunder. Selanjutnya folikel sekunder berkembang menjadi folikel tertier. Folikel yang telah terseleksi akan berkembang dengan ciri spesifik, yaitu terjadinya pemisahan sel- sel folikel dengan terbentuknya antrum, suatu rongga yang akan terisi cairan folikel. Cairan folikuler ini kaya akan protein dan estrogen. Tanpa tahap ini folikel tidak akan berovulasi karena sekresi estrogen sangat penting sebagai umpan balik positif terhadap sekresi LH dari hipofisis anterior atau GnRH-LH dari hipotalamus. Folikel tertier berkembang menjadi folikel de Graaf. Pertumbuhan terakhir ini lebih cenderung disebut proses pematangan folikel, sebab folikel tertier hanya berbeda besarnya dari filokel de Graaf (Barros et al. 1992). Sinkronisasi Estrus Prinsip sinkronisasi estrus secara fisiologik adalah hambatan pelepasan LH dari hipofisis anterior yang menghambat pematangan folikel de Graaf, atau penyingkiran corpus luteum (CL) secara mekanik, manual atau secara fisiologik dengan pemberian preparat-preparat luteolitik. Toelihere (1985) mendefenisikan sinkronisasi estrus adalah suatu pengendalian siklus estrus yang dilakukan pada sekolompok ternak betina sehat dengan memanipulasi mekanisme hormonal, sehingga keserentakan estrus dan ovulasi dapat terjadi pada hari yang sama atau dalam kurun waktu dua atau tiga hari setelah perlakuan dilepas. Dengan demikian, maka inseminasi buatan dapat dilakuakan secara serentak. Hafez (1993)
20
menyatakan bahwa sinkronisasi estrus ini mengarah pada hambatan ovulasi dan penundaan aktivitas corpus luteum. Macmillan dan Peterson (1993) membagi tujuan sinkronisasi dalam dua tujuan utama, yaitu: (1) mendapatkan seluruh ternak yang diberikan perlakuan mencapai estrus dalam waktu yang diketahui dengan pasti sehingga masingmasing ternak tersebut dapat diinseminasi dalam waktu yang bersamaan dan (2) untuk menghasilkan angka kebuntingan yang sebanding atau lebih baik dibanding dengan kelompok yang tidak mendapat perlakuan yang dikawinkan secara alamiah (pejantan) atau dengan inseminasi buatan. Selanjutnya Toelihere (1985) menyatakan bahwa keserentakan estrus dan ovulasi sedikitnya akan mempertinggi kemungkinan pertemuan ovum dan sperma dalam proses pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan perkembangan individu baru. Sinkronisasi Estrus dengan Hormon Progesteron dan PMSG Secara alamiah hormon progesteron dihasilkan oleh corpus luteum, plasenta dan kelenjar adrenal. Berdasarkan sifat kimiawinya hormon ini merupakan hormon steroid. Dari segi fungsinya hormon ini dapat mempersiapkan uterus untuk memelihara kebuntingan. Kasus-kasus aborsi pada kebuntingan muda di bawah tiga bulan lebih banyak ditimbulkan oleh pengaruh kekurangan produksi hormon ini. Dikenal beberapa metode pemberian progesteron yaitu melalui injeksi setiap hari, secara oral melalui makanan (CAP, MAP, MGA), spiral intravaginal dan implan subkutan. Penggunaan progesteron dalam sinkronisasi estrus pertama kali dilaporkan oleh Ulberg et al. (1951) dalam Toelihere (1985) yang menyatakan bahwa apabila dimulai kira-kira pada 15 hari sesudah akhir estrus, penyuntikan 50 mg progesteron dalam minyak setiap hari atau 500 mg dalam bentuk repositol setiap 10 hari akan menghambat estrus dan ovulasi pada sapi. Estrus terjadi dalam waktu lima sampai enam hari dengan rata-rata 5,2 hari setelah penghentian penyuntikan. Pemberian progesteron eksogenus bertujuan untuk menekan aktivitas ovarium secara temporer. Metode ini didasarkan pada penemuan bahwa progesteron
menekan
aktivitas
folikuler
melalui
pencegahan
pelepasan
21
gonadotropin (LH) dari hipofisis anterior dengan memperpanjang atau mempertahankan fase corpus luteum sehingga ternak berada pada periode luteal (Tomaszewska 1991). Terdapat dua cara yang umum dipakai dalam penggunaan progesteron, yaitu metode pemberian jangka pendek dan jangka panjang. Kehadiran hormon progesteron dapat menimbulkan umpan balik negatif terhadap sekresi hormon lain terutama GnRH yang menghambat lonjakan sekresi LH. Konsekuensi dari mekanisme ini adalah tidak terjadi pematangan folikel serta ovulasi. Atas dasar mekanisme kerjannya, hormon ini kemudian digunakan sebagai salah satu preparat untuk memanipulasi aktivitas reproduksi pada ternak. Selama konsentrasi hormon progesteron masih tinggi di dalam sirkulasi darah, folikel dominan dari gelombang pertama dan kedua sulit mencapai folikel ovulatori. Hal ini disamping karena lonjakan sekresi LH yang sulit terjadi, juga disebabkan karena folikel- folikel dominan menurun fertilitasnya. Kadar hormon progesteron meningkat pada ternak yang bersiklus normal setelah mendapat implan progesteron (CIDR), yakni sebesar 6,7 ng/ml pada saat 6 jam setelah imp lan, kemudian menurun menjadi 4,9 ng/ml pada saat pencabutan implan tersebut (Macmillan et al. 1991). Sedangkan hasil penelitian Peterson dan Henderson (1990) yang memberikan implan progesteron selama 15 hari pada ternak yang diovariektomi diperoleh konsentrasi hormon progesteron sebesar 0,3 ng/ml pada saat implan, kemudian meningkat menjadi 8,6 ng/ml 6 jam setelah implan. Selanjutnya turun menjadi 2,3 ng/ml pada saat pencabutan implan progesteron. Sementara apabila penggunaan implan progesteron dilakukan di awal siklus estrus (hari kedua atau ketiga), akan meningkatkan konsentrasi hormon progesteron dari 0,5 ng/ml sehari setelah impalan menjadi 6,5 ng/ml pada saat pencabutan implan progesteron. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara konsentrasi hormon progesteron sehari setelah implan dengan konsentrasinya pada saat pencabutan implan. Pada pemberian progesteron jangka panjang (14 sampai 21 hari) CL beregresi secara alami selama periode tersebut. Hasil yang diperoleh yaitu terjadi penurunan fertilitas walaup un estrus disinkronisasi dengan baik (Britt 1987; Macmillan dan Peterson 1993; Odde 1990). Kombinasi progestagen dan agen luteolitik menghasilkan fertilitas yang lebih tinggi dan sinkronisasi ovulasi yang
22
lebih tepat (Beal 1996; Macmillan dan Peterson 1993; Odde 1990). Macmillan dan Peterson (1993) menyatakan bahwa konsentrasi atau kandungan hormon progesteron di dalam kemasan CIDR (Controlled Internal Drug Release) adalah sebesar 1,9 gram untuk sapi dan domba/kambing 0,3 gram. Menurut Kinder et al. (1996) terdapat korelasi negatif antara konsentrasi progesteron plasma dan level reseptor oksitosin. Progesteron bertanggung jawab untuk menstimulasi beberapa faktor yang berhubungan dengan produksi PGF 2a seperti prostaglandin sintetase dan menekan perkembanga n reseptor oksitosin di dalam uterus (Mann dan Lamming 1995). Lebih lanjut Flint (1995) menyatakan bahwa terdapat autoregulasi reseptor progesteron di dalam endometrium yang berhubungan dengan luteolisis. Reseptor progesteron pada sel-sel epitel luminal endometrium meninggi sesaat sebelum estrus di bawah pengaruh stimulasi estrogen ovulatoris, selanjutnya progesteron yang disekresikan oleh CL menyebabkan perubahan-perubahan di endometrium, termasuk pengendalian penurunan reseptor progesteron, dan sesudah kurang lebih sembilan hari, konsentrasi reseptor progesteron menurun. Regulasi penurunan reseptor progesteron menyebabkan hilangnya efek penghambatan progesteron terhadap aktivitas reseptor estrogen, sehingga estrogen yang diproduksi selama gelombang folikuler ketiga menyebabkan reseptor oksitosin berpasangan dengan sistem second massenger yang mengontrol produksi PGF 2a pada akhir fase luteal siklus estrus. Sekresi oksitosin oleh CL yang distimulasi oleh sekresi PGF 2a uterin menimbulkan gelombang produksi PGF 2a pada interval rata-rata enam jam melalui hubungan umpan balik positif antara ovarium dan uterus. Penelitian-penelitian tentang penggunaan hormon progesteron dalam kegiatan sinkronisasi estrus telah dilakukan dan lebih diarahkan pada penentuan program sinkronisasi yang berhasil pada ternak. Hormon progesteron seperti Melangosterol Asetate (MGA), Controlled Internal Drug Release Bovine (CIDRB), Progesterone Releasing Intravaginal Device (PRID) dan Norgestomet Implant (Syncro-Mate B) telah digunakan untuk kegiatan sinkronisasi estrus pada ternak. Implan progesteron (CIDR-G) yang digunakan pada domba dan kambing dapat pula digunakan pada rusa. Pemberiannya dapat dilakukan secara tunggal atau dikombinasikan dengan PMSG. Lama implan progesteron disesuaikan
23
dengan umur keberadaan CL (16 sampai 18 hari) untuk mendapatkan sinkronisasi yang efektif pada dua sampai empat hari setelah implan atau perlakuan dihentikan. Perlakuan ini tidak akan berpengaruh terhadap keberadaan fungsi CL akan tetapi lebih pada penekanan output gonadotropin oleh hipofisis anterior. CL yang terbentuk setelah ovulasi akan tumbuh dan menghasilkan progesteron sebagaimana siklus normal. Selanjutnya CL akan mulai regresi pada hari ke-16 siklus estrus. Percobaan dengan menggunakan preparat progesteron eksogenus dalam bentuk apa saja, jika dilakukan lebih dari tujuh hari (antara 12 sampai 16 hari atau rata-rata 14 hari) akan menghasilkan respons sinkronisasi estrus yang lebih bagus, bahkan mencapai persentase estrus pada ternak sebesar 100% (Kaneko et al. 1991), akan tetapi angka konsepsi yang diperlihatkan dari inseminasi pada saat estrus hasil sinkronisasi tersebut masih rendah (Jochle 1993; Macmillan et al. 1991; Savio et al. 1993; Stock and Fortune 1993; dan Wehrman et al. 1993). Penyebab rendahnya fertilitas ternak tersebut disebabkan oleh perpanjangan waktu perkembangan folikel dominan yang ada saat perlakuan, yang mengakibatkan menurunnya viabilitas oosit yang dikandung folikel dominan tersebut (Sirois and Fortune 1990). Bervariasinya respons ternak terutama konsepsinya terhadap kegiatan sinkronisasi estrus, kadang disebabkan oleh konsentrasi progesteron pada saat inseminasi. Fenomena ini disebabkan karena pada saat implan progesteron dicabut, CL pada ternak tersebut masih fungsional. Masalah ini hanya dapat didekati melalui penggunaan zat luteolitik atau dengan melakukan implantasi progesteron lebih lama dari masa fungsional CL. Sehingga ketika implan progesteron dihentikan CL telah beregresi. Grodsky (1984) menyatakan bahwa gonadotropin adalah hormon yang mempengaruhi aktivitas gonad, yang mengatur fungsi reproduksi. Dikenal dua macam hormon gonadotropin, yakni yang dihasilkan oleh hipofisis anterior, yaitu FSH, LH, prolaktin (PRL) dan beberapa hormon lain yang bukan berasal dari hipofisis, yaitu Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) yang berasal dari plasenta kuda bunting muda dan human Corionic Gonadotropin (hCG) dari plasenta wanita hamil muda yang dikelua rkan melalui air seni (McDonald 1989).
24
Selain itu horse Anterior Pituitary (hAP) merupakan ekstrak hipofisis anterior kuda mengandung FSH yang dimurnikan dimana terikat LH dengan konsentrasi yang sangat kecil. Tujuan penggunaan hormon gonadotropin PMSG adalah untuk menginduksi pematangan folikel, estrus dan ovulasi. PMSG sering digunakan setelah pemberian progesteron untuk menstimulasi estrus dan ovulasi. Pregnant Mare Serum Gonadotropin adalah hormon gonadotropin yang terdapat di dalam serum kuda bunting. PMSG akhir-akhir ini lebih dikenal dengan sebutan eCG atau equine Chorionic Gonadotropin (Hafez 1993). Tujuan penggunaan hormon gonadotropin adalah untuk menginduksi pematangan folikel, estrus dan ovulasi. Menurut Hendrics dan Hill (1978) bahwa PMSG dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah folikel de Graaf dan jumlah ovulasi. Walaupun demikian terdapat variasi pada setiap ternak terhadap keragaman respons. McDonald (1989) melaporkan bahwa sumber PMSG adalah mangkok endometrium kuda bunting pada umur kebuntingan 40 sampai 140 hari. Kadar PMSG di dalam serum darah mencapai puncaknya pada umur kebuntingan 60 sampai 110 hari, sedangkan Allen dan Stewart (1978) mengemukakan bahwa kadar tertinggi tercapai pada kebuntingan hari ke-55 sampai hari ke-75. Menurut Reeves (1987) secara kimiawi PMSG mempunyai struktur yang mirip dengan FSH dan LH. PMSG merupakan hormon glikoprotein dengan berat molekul 60.000 Dalton yang terdiri atas dua sub unit, yaitu sub unit a dan sub unit ß. PMSG memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi terutama pada gugus asam sialat. Konsentrasi asam sialat yang tinggi ini diduga menyebabkan masa paruh PMSG cukup panjang bila dibandingkan dengan hormon gonadotropin yang lainnya. Moore (1984) dan Alfuraiji et al. (1993) menyatakan bahwa keuntungan menggunakan PMSG untuk merangsang peningkatan pertumbuhan folikel preovulatoris adalah tersedia dalam jumlah yang besar dengan harga murah dan penggunaannya cukup hanya diberikan satu kali saja karena memiliki masa paruh yang panjang. Waktu paruh PMSG menurut Papkoff (1978) dan Reeves (1987) berkisar antara enam sampai tujuh hari. PMSG
sering
digunakan
setelah
pemberian
progesteron
untuk
menstimulasi estrus dan ovulasi. Secara fisiologis PMSG sangat aktif
25
menyebabkan pertumbuhan folikel dan sedikit luteinisasi (Toelihere 1985). Dari beberapa hasil penelitian penggunaan hormon progesteron tunggal dalam sinkronisasi estrus memberi respons estrus yang tinggi jika dilakukan dalam waktu yang panjang sesuai umur corpus luteum, namun angka konsepsi yang dicapai umumnya rendah (Jochle 1993; Savio et al. 1993; Stock dan Fortune 1993; Wehrman et al. 1993). Improvisasi yang dapat dilakukan pada spesies cervidae adalah sinkronisasi estrus dengan menggunakan berbagai preparat hormon sintetik. Beberapa metode sinkronisasi estrus pada ungulata yang dapat diaplikasikan pada rusa betina yaitu induksi progesteron. Dengan perlakuan ini masa hidup corpus luteum diperpanjang, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama 12 - 14 hari baru menunjukkan gejala estrus. Pada domba pemberian progesteron dapat dilakukan dengan metode spons dan implan intravaginal. Spons intravaginal mengandung 30 - 40 mg flurogestone acetate (FGA: clorolone) atau 60 mg medroxy progesterone acetate (MPA). Implan CIDR pada fallow deer dan red deer umumnya dilakukan selama 12 - 14 hari, secara umum sangat efektif untuk merangsang terjadinya estrus yang sinkron dalam waktu 48 jam setelah pencabutan CIDR. Cara ini juga telah berhasil dilakukan dengan sukses pada chital deer, elk deer dan rusa sambar (Asher et al. 2000). Penggunaan CIDR pada beberapa penelitian dikombinasikan dengan hormon lain untuk meningkatkan efeknya dalam menimbulkan estrus dan ovulasi. Kombinasi dengan hormon equine Chorionic Gonadotropin (eCG atau Pregnant Mare Serum Gonadotropin) diberikan pada saat atau mendekati pencabutan CIDR (Agro et al. 1992; Asher et al. 2000); dikombinasikan dengan 300 IU PMSG pada hari pencabutan CIDR (Anonim 1995; Jabbour et al. 1993; Mylrea et al. 1992); kombinasi dengan FSH atau cloprostenol (Asher et al. 1992). Metode yang sering dipakai yaitu Progesterone Intravaginal Device (PRID), dalam kemasan spons yang mengandung Medroxy Progesterone Acetate atau CIDR yang dikombinasikan dengan induksi gonadotropin. Pendekatan lain yang pernah dicoba yaitu menggunakan CIDR tanpa penambahan gonadotropin eksogenus. Hal ini merupakan strategi sederhana dan mudah diterapkan seperti pada spesies lain (Toelihere 1997).
26
Pada awalnya sinkronisasi estrus diberikan diiringi dengan penambahan preparat lain untuk mengoptimalkan hasil perlakuan, sebagai contoh dengan penambahan PMSG (Favero 2000). PMSG yang ditambahkan 500 IU pada hari ke-14 saat CIDR dicabut (Asher dan Smith 1987). Sedangkan Jabbour et al. (1993) melaporkan bahwa sinkronisasi estrus menggunakan CIDR saja (I); CIDR dengan PMSG yang ditambahkan sebanyak 1200 IU 72 jam sebelum CIDR dicabut (II); CIDR dengan PMSG 200 IU dan o-FSH 0,5 IU yang ditambahkan pada 72 jam sebelum CIDR dicabut (III) memberikan respons estrus berturut-turut sebesar 6/8, 6/7 dan 7/7. Penggunaan CIDR yang berisi progesteron untuk mengontrol estrus pada rusa telah banyak dilakukan (Agro et al. 1992; Anonim 1995; Asher 1989; Asher et al. 2000; Mylrea et al. 1992).
27
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan selama bulan Januari 2006 sampai dengan Juli 2006 berlokasi di Taman Margasatwa Ragunan (TMR) Jakarta. Pelaksanaan penelitian ini melibatkan kerjasama dengan laboratorium di lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) antara lain dengan Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB). Materi Penelitian Hewan percobaan yang digunakan adalah rusa timor (Cervus timorensis) yang berada di Taman Margasatwa Ragunan (TMR) Jakarta. Rusa yang ditranslokasi terdiri atas 6 ekor rusa betina. Secara umum rusa harus dan telah memenuhi kualifikasi tubuh sehat, tidak bunting, tidak cacat dan ukuran tub uh proporsional dengan kisaran umur 2 - 4 tahun. Rusa betina ditempatkan dalam kandang (satu unit) dengan ukuran 10 x 10 meter dan didalam kandang tersebut terdapat pula kandang isolasi (4 x 6 meter) untuk mempermudah penanganan rusa memasuki lorong menuju kandang jepit. Alat kelengkapan dalam kandang, yakni tempat pakan, tempat minum, kandang jepit dan kubangan.
Gambar 1 Kandang dan rusa betina penelitian
28
L
JALAN PENGUNJUNG KANDANG ISOLASI
L
P KJ
U
K D S
KANDANG UTAMA K
P
JALAN PENGUNJUNG
Gambar 2 Denah kandang penelitian Keterangan : 1. Kandang utama 10 x 10 meter 2. Kandang isolasi 4 x 6 meter 3. Kubangan (K) 4. Drum tempat minum (D) 5. Kandang jepit (KJ) 6. Lorong dengan lebar 50 cm (L) 7. Pintu (P) 8. Tempat pakan (konsentrat) Pakan yang diberikan pada rusa selama penelitian adalah hijauan segar yang telah tersedia di lokasi penelitian seperti rumput gajah, rumput lapangan dan leguminosa sebanyak 5 - 7 kg/ekor/hari yang diberikan tiga kali sehari, yaitu pada pagi, siang dan sore. Sedangkan pakan lain yang diberikan berupa konsentrat (GALAC) sebanyak 3 kg/hari yang diselingi dengan campuran konsentrat dan
29
dedak dengan perbandingan 2 : 3, pemberiannya dilakukan pada jam 08.00 09.00. Selain itu pakan tambahan lain berupa campuran dari pepaya, jagung, ubi jalar, singkong, kacang panjang, buncis, wortel, pisang dan ketimun yang telah dipotong-potong dengan ukuran kecil dan diberikan setelah pemberian konsentrat sebanyak 2 - 3 kg/hari. Preparat hormon yang digunakan pada penelitian adalah dalam bentuk CIDR-G (Agriculture Devition, CHH Plastic products Ltd, Hamilton) yang mengandung 0,3 gram progesteron untuk implan intravaginal, aplikator (gun) dan PMSG (Laboratorios Hipra, S.A., Spain) yang disuntikkan secara intramuskuler.
A
B
Gambar 3 A. CIDR-G (Agriculture Devition, CHH Plastic products Ltd, Hamilton); B. PMSG (Laboratorios Hipra, S.A., Spain) Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap kegiatan, yaitu tahap pertama adalah melakukan penyeleksian rusa dari kelompoknya dengan cara pembiusan yang dilanjutkan dengan pemeriksaan USG guna mendapatkan rusa yang tidak bunting. Selanjutnya rusa yang tidak bunting langsung disendirikan di kandang 10 X 10 meter. Jumlah rusa pada awal seleksi sebanyak 10 ekor dengan tujuan untuk diseleksi lagi setelah dikandang pengamatan guna memperoleh rusa yang benarbenar tidak bunting untuk diberi perlakuan.
30
Tahapan selanjutnya adalah melakukan masa adaptasi di kandang penelitian selama tiga bulan. Tujuannya untuk membiasakan rusa berada di kandang kecil dan melewati lorong yang disediakan serta mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan dan teknisi di lapangan untuk mencegah stres selama perlakuan. Memasuki bulan keempat rusa-rusa tersebut dimasukkan dalam kandang isolasi (4 x 6 meter) yang terdapat di dalam kandang pengamatan agar mudah dikendalikan pada saat perlakuan. Adaptasi ini dilakukan selama dua bulan. Selama masa adaptasi ini, seleksi terhadap rusa yang dicurigai bunting atau kondisi tubuhnya tidak layak untuk diberi perlakuan tetap dilakukan, sehingga pada waktu perlakuan rusa yang digunakan benar-benar dalam kondisi baik. Pada saat rusa betina akan diberi perlakuan hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG digiring satu per satu ke arah kandang jepit kemudian dilakukan sinkronisasi dengan menggunakan hormon progesteron secara intravaginal dan dihitung hari ke-0. Setelah 14 hari untuk perlakuan pertama (2 ekor rusa betina) hormon progesteron dilepas. Untuk perlakuan kedua dan ketiga (masing- masing 2 ekor rusa betina) perlakuannya sama denga n perlakuan pertama akan tetapi 2 hari sebelum hormon progesteron dilepas, dilakukan
penyuntikan PMSG masing- masing 150 IU dan 300 IU secara
intramuskuler (im). Untuk selanjutnya pengamatan estrus sebagai respons sinkronisasi dilaksanakan setiap jam selama 4 hari berturut-turut (06.00 - 18.00) terutama setelah hormon progesteron dilepas. Kegiatan penelitian: I. Perlakuan pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG. II. Pengamatan respons estrus yang terdiri dari: pemunculan (onset) estrus, persentase estrus, lama estrus dan intensitas estrus. Perlakuan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan dua ulangan.
31
Tabel 1 Perlakuan pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG Kelompok perlakuan
Perlakuan Banyaknya rusa (hormon dan waktu pemberiannya) (ekor) Progesteron intravaginal 14 hari 2
I.
Progesteron
II.
Progesteron Progesteron intravaginal 14 hari + PMSG dan 150 IU PMSG 2 hari 150 IU H-2 sebelum pencabutan progesteron
2
Progesteron Progesteron intravaginal 14 hari + PMSG dan 300 IU PMSG 2 hari 300 IU H-2 sebelum pencabutan progesteron
2
III.
Jumlah rusa
6
Keterangan: H-2 adalah penyuntikan PMSG 2 hari sebelum hormon progesteron dilepas
Penelitian pendahuluan (adaptasi terhadap kondisi lingkungan baru)
Perlakuan
Hormon progesteron 14 hari + PMSG 150 IU H-2
Hormon progesteron 14 hari + PMSG 300 IU H-2
Hormon progesteron 14 hari
Pengamatan respons estrus (onset estrus, persentase estrus, lama estrus dan intensitas estrus) setiap jam selama 4 hari berturut-turut (06.00 - 18.00) setelah hormon progesteron dilepas Gambar 4 Bagan prosedur kerja penelitian
32
Pengamatan Estrus Pengamatan estrus dilakukan setiap jam selama 4 hari berturut-turut (06.00 - 18.00) setelah perlakuan, khususnya setelah hormon progesteron dicabut. Penentuan rusa betina yang estrus didasarkan pada tanda-tanda yang nampak dari luar (Tabel 2). Inventarisasi tanda-tanda estrus dilakukan selama fase estrus. Tabel 2 Tanda-tanda estrus pada rusa percobaan No.
Tanda-tanda estrus
1
Nafsu makan menurun
2
Mendekati betina lain (gelisah)
3
Mengeluarkan suara khas
4
Urinasi
5
Mengintip pejantan (kandang lain)
6
Vulva merah, bengkak dan basah
7
Lendir transparan
8
Jika dipegang punggung diam (menaiki betina lain)
9
Tidak menolak jika vulva dipegang
10
Diam dinaiki sesama rusa lain
Peubah yang Diamati 1. Persentase estrus, yaitu banyaknya rusa yang estrus dibagi jumlah rusa yang diberi perlakuan dikali seratus persen. 2. Onset estrus (jam), yaitu interval waktu antara sesudah perlakuan sampai gejala estrus terlihat. 3. Lama estrus (jam), yaitu interval antara munculnya gejala estrus sampai estrus tidak tampak terlihat. 4. Intensitas estrus, yaitu tingkat aktivitas tingkah laku estrus yang muncul selama fase estrus berlangsung yang dilakukan secara visual. Tingkat intensitas dibagi dalam tiga kategori, yaitu: a. Intensitas rendah (skor satu), rusa tidak memperlihatkan sebagian besar tanda-tanda estrus.
33
b. Intensitas sedang (skor dua), rusa memperlihatkan beberapa tanda-tanda estrus kecuali gejala diam dina iki (standing heat). c. Intensitas tinggi (skor tiga), rusa memperlihatkan semua tanda-tanda estrus terutama diam dinaiki. Analisis Statistik Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan, dilakukan analisis sidik ragam dengan Statistical Analysis System (SAS), selanjutnya untuk mengetahui perbedaan nilai tengah perlakuan dilakukan uji Duncan pada a = 0,05 (Steel dan Torrie 1995).
34
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lokasi dan Rusa Penelitian Kondisi lokasi penelitian yang berada di Taman Margasatwa Ragunan (TMR) Jakarta merupakan tempat yang sangat ideal dalam melakukan penelitian, dimana telah terdapat fasilitas pendukung berupa kandang permanen yang terbuat dari bahan-bahan (besi) yang sengaja dibuat untuk jangka waktu pemakaian yang cukup lama dan lebih pada jaminan keselamatan satwa itu sendiri dan bagi para pengunjung yang ingin menambah wawasan pengetahuan terhadap berbagai macam satwa (yang dilindungi maupun yang tidak) di TMR tersebut. Disis i lain fasilitas penanganan kesehatan hewanpun telah cukup memadai dengan disediakannya tempat-tempat isolasi bagi satwa baru atau yang dicurigai mengidap suatu penyakit dan satwa yang mengalami kecelakaan sehingga perlu penanganan khusus untuk proses penyembuhan. Jaminan terhadap kesehatan satwa didukung pula oleh tenaga-tenaga perawat dan tenaga-tenaga medis yang cukup trampil dalam menangani satwa itu sendiri. Sementara untuk pemberian pakan telah terorganisir dengan baik dengan disediakannya fasilitas angkutan dan lahan hijauan yang cukup luas sebagai cadangan pakan. Pengadaan rusa yang digunakan pada penelitian ini adalah rusa timor yang berada dalam satu kelompok dalam jumlah banyak yang terdiri dari jantan, betina serta anak-anak rusa yang dipisahkan dari kelompok rusa lain yang spesiesnya berbeda untuk menghindari adanya perkawinan antar rusa yang berbeda spesiesnya. Berbagai macam hambatan yang ditemui dalam melakukan pemisahan rusa yang digunakan dalam penelitian, diantaranya adalah sulitnya menentukan status reproduksi rusa betina yang dicampur dengan rusa jantan dan dengan kondisi yang masih agak liar. Upaya yang bisa dilakukan untuk melakukan seleksi adalah dengan menggunakan pembiusan terhadap rusa-rusa betina yang dilanjutkan dengan pemeriksaan kebuntingan dengan menggunakan USG. Cara ini masih dianggap cukup efektif mengingat rusa yang masih agak liar tidak mungkin melakukan USG hanya dengan hanya memasukkan rusa ke kandang jepit tanpa pembiusan.
35
Dari awal pelaksanaan seleksi terhadap rusa betina yang akan digunakan sebagai materi penelitian diperoleh 15 ekor yang dilanjutkan dengan pemeriksaan kebuntingan (USG). Rusa yang dalam kondisi bunting tidak dimasukkan dalam kandang penelitian yang telah disediakan sebelumnya (terpisah dari kelompok). Rusa yang dicurigai tidak bunting langsung dipindahkan, dari 15 ekor diperoleh sebanyak 13 ekor. Dari jumlah tersebut kemungkinan akan berkurang dengan adanya seleksi lanjutan di kandang penelitian. Untuk melihat status reproduksi rusa betina di kandang penelitian dilakukan pengamatan siklus estrus alamiah, disamping itu proses adaptasi (penjinakan) terus dilakukan. Seiring dengan berjalannya waktu ternyata ditemukan beberapa rusa yang tidak layak sebagai materi penelitian yang disebabkan oleh kondisi rusa yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru dikembalikan dan dikembalikan ke kelompok asalnya. Dari proses adaptasi yang dilakukan selama beberapa bulan diperoleh rusarusa betina yang telah memenuhi kriteria untuk diberi perlakuan dalam penelitian. Sedangkan pada saat mendekati perlakuan masih didapati rusa yang dalam kondisi sulit untuk dikendalikan dan sering membuat rusa lainnya yang telah jinak sering terusik, inipun tetap dikeluarkan dan dikembalikan pada kelompok asalnya. Pada akhirnya diperoleh jumlah rusa (enam ekor) yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Beberapa sifat rusa yang perlu diperhatikan untuk menghindari kecelakan baik terhadap rusa itu maupun bagi perawatnya (pegawai) yaitu, sifat rusa yang begitu peka/curiga terhadap perubahan-perubahan di lingkungannya. Perawat yang sudah terbiasa dengan warna pakaian yang sama sepanjang proses penanganan rusa akan dengan mudah dikenali oleh rusa. Sebaliknya dengan kondisi pakaian yang berbeda dengan perawat yang sama tetap akan memberikan reaksi tertentu dari rusa, misalnya kecenderunga n sifat liarnya muncul dengan menabrak dinding kandang untuk mencari jalan keluar atau dengan meloncat setinggi-tingginya dan ini akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan rusa. Akibatnya rusa akan mengalami luka dan rontoknya bulu dalam jumlah yang banyak akibat benturan-benturan. Kondisi rusa yang selalu panik akibat kesalahan yang sekecil apapun selalu berakibat fatal pada kondisi tubuh rusa.
36
Dengan penanganan yang tekun dan sabar, proses adaptasi terhadap rusa bisa dilaksanakan dengan cara memahami karakter dari rusa itu sendiri. Beberapa kiat yang bisa dilakukan antara lain adalah (1) rusa dipuasakan pada saat pertama memasuki kandang penelitian (adaptasi) dengan harapan pada saat membutuhkan makanan rusa telah mengenal perawat yang datang dengan membawa makanan; (2) diusahakan kandang yang digunakan tidak terlalu luas untuk menghindari ruang gerak dari rusa, sehingga dalam kondisi tersebut rusa tidak mempunya i kesempatan untuk menabrak dinding kandang; (3) beberapa hari pertama dikandang adaptasi selalu tersedia pakan yang cukup dan air minum secara adlibitum; (4) tidak melakukan gerakan-gerakan yang dapat membuat rusa curiga; (5) berusaha untuk selalu memegang punggung rusa atau kepalanya (dalam kandang) untuk mempermudah penaganan setela h dikandang yang lebih luas; (6) menggunakan peralatan kandang yang sama setiap hari dengan warna yang cenderung gelap; (7) menyediakan tempat kubangan pada kandang yang lebih luas, ini berhubungan dengan sifat rusa itu sendiri yang selalu berkubang pada kondisi cuaca panas; (8) hijauan yang diberikan diusahan dalam bentuk segar, hijauan yang segar akan selalu merangsang konsumsi hijauan yang baik pada rusa; (9) pemberian pakan tambahan (konsentrat) maupun jenis kacang-kacangan dan ubi- ubian sangat membantu pemenuhan kebutuhan nutrisi rusa dalam kandang adaptasi; (10) sesering mungkin berada disekitar kandang rusa untuk lebih membiasakan rusa mengenal perawat dan (11) melakukan adaptasi rusa yang paling efektif agar mudah penanganannya adalah dengan memisahkan anak-anak rusa yang masih berumur dua bulan dan ditempatkan dalam kandang tersendiri, sehingga akan diperoleh rusa yang jinak karena penangan yang lebih awal. Pengaruh Pemberian Hormon Progesteron dan Kombinasinya dengan PMSG Respons Timbulnya Estrus Gejala yang muncul pada betina yang berada pada fase estrus dan siap untuk dikawinkan, baik secara alamiah maupun dengan IB adalah merupakan tingkah laku estrus. Sedangkan respons timbulnya estrus dapat didefinisikan sebagai persentase betina ya ng estrus yang dicapai serta kecepatan munculnya
37
estrus (onset) yang teramati sejak pencabutan hormon progesteron sampai betina menunjukkan gejala-gejala klinis awal seperti pembengkakan pada vulva, keluarnya lendir, diam bila dinaiki dan menaiki betina la innya. Estrus itu sendiri merupakan suatu kegiatan fisiologik pada hewan betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan gejala keinginan kawin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG memberikan respons estrus yang cukup baik. Dari enam ekor rusa betina yang digunakan dalam penelitian ini semuanya memperlihatkan gejala estrus yang hampir sama dengan gejala estrus pada ternak sapi dan domba/kambing. Rataan persentase betina estrus yang diperoleh adalah sebesar 100% atau keseluruhan betina yang diberi perlakuan menunjukkan gejala estrus yang sama meskipun gejala estrus yang teramati tidak muncul secara bersamaan (Tabel 3). Tingginya respons estrus yang diakibatkan oleh perlakuan hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG dapat dipahami karena progesteron yang diberikan akan menghambat lonjakan LH dari hipofisis anterior melalui mekanisme umpan balik negatif, dan setelah hormon progesteron dilepas akan terjadi pelepasan LH yang menstimulir pematangan folikel. Demikian halnya dengan PMSG yang memiliki aktivitas FSH tinggi sehingga mampu merangsang pertumbuhan maupun pematangan folikel, disamping itu PMSG juga memiliki aktivitas LH yang akan secara sinergis mempengaruhi folikel ovarium mencapai ukuran matang (Turner dan Bagnara 1988). Hal ini sesuai dengan pernyataan Kaneko et al. (1991) bahwa percobaan dengan menggunakan hormon progesteron eksogenus dalam bentuk apa saja, jika dilakukan lebih dari tujuh hari (antara 12 sampai 16 hari atau rata-rata 14 hari) akan menghasilkan respons sinkronisasi estrus yang lebih bagus, bahkan mencapai persentase estrus pada ternak sebesar 100%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P < 0,05) terhadap persentase estrus. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilaporkan oleh Asher (1998) pada sinkronisasi estrus pada rusa fallow yang menggunakan hormon yang sama memiliki respons estrus yang tinggi (98 - 100%). Perlakuan sinkronisasi
38
estrus menggunkan hormon progesteron tunggal pada rusa merah ternyata kurang efektif dan dilaporkan 75% gagal berespons (Asher et al. 1992). Pada rusa totol yang dilaporkan oleh Mylrea et al. (1992) menunjukkan sinkronisasi dengan hormon yang sama memberikan respons estrus hanya 60%. Sedangkan rataan respons estrus pada rusa timor yang dilaporkan Nalley (2006) dengan menggunakan hormon progesteron sebesar 82,22% lebih rendah dari hasil yang diperoleh dari penelitian ini. Tabel 3 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap persentase estrus
Jumlah rusa (ekor)
Perlakuan Progesteron (P4) P4 + PMSG 150 IU P4 + PMSG 300 IU
2 2 2
Estrus
Persentase estrus Tidak estrus ……(n, %)……
2 (100)a 2 (100)b 2 (100)c
-
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil superscript yang tidak sama menunjukkan beda nyata (P < 0,05).
Untuk memperoleh hasil sinkronisasi estrus yang maksimal pada rusa sebaiknya dikombinasikan dengan preparat hormon lain (Asher et al. 1992). Namun pendapat ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Jabbour
(1993)
bahwa
sinkronisasi
estrus
pada
rusa
dengan
cara
mengkombinasikan hormon progesteron dengan hormon lain belum tentu memberikan respons estrus yang lebih baik. Hal ini terbukti dari respons estrus yang muncul dengan menggunakan hormon progesteron memberikan respons estrus sebesar 100%, sedangkan dikombinasikan dengan PMSG 50 IU menunjukkan respons estrus yang lebih rendah, yaitu 90%. Kenyataan pada hasil penelitian ini dengan me nggunakan hormon progesteron tunggal maupun dikombinasikan dengan PMSG memberikan respons yang tinggi 100%. Kemungkinan disebabkan dosis PMSG yang digunakan lebih tinggi (150 IU dan 300 IU). Apabila dibandingkan dengan ternak domba (Feradis 1999) dan pada kambing (Ngangi 2002) dilaporkan bahwa penggunaan hormon progesteron
39
dengan atau tanpa kombinasi dengan hormon lain dapat me mberikan respons estrus yang tinggi hingga 100%. Onset (timbulnya) estrus pada ketiga perlakuan dalam penelitian ini adalah 22 - 24 jam atau rata-rata 23,33 jam (Tabel 4). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P < 0,05) terhadap onset estrus. Angka ini lebih lama dibandingkan dengan onset estrus pada rusa fallow yang dilaporkan oleh Jabbour et al. (1992) yang rata-rata 20,0 jam. Akan tetapi hasil penelitian ini lebih cepat dibandingkan dengan penelitian pada rusa timor yang dilaporkan oleh Nalley (2006) dengan rataan onset estrus sebesar 25,33 jam dan rata-rata 24 jam pada rusa ekor putih (Anonimous 2004). Sedangkan Jabbour et al. (1994) melaporkan bahwa pada rusa merah onset estrus lebih lama dan dapat mencapai rata-rata 43,6 jam dan 34,5 - 42,14 jam pada rusa
yang
sama
dilaporkan
oleh
Argo
dan
Loudon
(1992) dengan
mengkombinasikan CIDR-G dan estrumate (PGF 2 a). Pada rusa sambar, onset estrus terjadi rata-rata 54 jam setelah pencabutan CIDR-G (Semiadi et al. 1998). Tabel 4 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap onset (timbulnya) estrus
Perlakuan
Jumlah rusa (ekor)
< 24 jam
Progesteron (P4) P4 + PMSG 150 IU P4 + PMSG 300 IU
2 2 2
2 (100)c
Onset estrus (jam) 24 - 30 jam >30 jam ……(n, %)…… 2 (100)a 2 (100)b -
-
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil superscript yang tidak sama menunjukkan beda nyata (P < 0,05).
Pemberian hormon progesteron secara tunggal dan kombinasinya dengan PMSG telah memberikan hasil yang diharapkan (estrus). Fenomena ini menggambarkan bahwa selama pemberian hormon progesteron (eksogenus) berlangsung cukup menekan aktivitas estrus pada rusa betina percobaan. Pada pemberian hormon progesteron selama 14 hari telah mampu menekan lonjakan LH (pematangan folikel) dan estrogen, sehingga estrogen yang bertanggung jawab
40
terhadap timbulnya manifestasi tingkah laku estrus dalam konsentrasi yang rendah. Sebaliknya ketika hormon progesteron dilepas, maka konsentrasi estrogen akan meningkat dalam waktu yang sangat singkat dan hambatan terhadap lonjakan LH akan hilang. Apabila rusa percobaan berada dalam kondisi memiliki CL dan bersamaan dengan pemberian perlakuan, berarti pada saat bersamaan pula rusa-rusa tersebut memiliki progesteron endogen. Dengan demikian progesteron endogen dan eksogen akan bekerja sama dalam menekan estrus tanpa melihat seberapa lama progesteron eksogen diberikan. Progesteron dari CL akan bereaksi bersama progesteron eksogen melalui penekanan pada output gonadotropin dari hipofisis anterior. Sehingga perlakuan progesteron eksogen akan memberi peluang hidup bagi CL lebih panjang. Penghilangan perlakuan akan berakibat pada beregresinya CL secara spontan. Proses hilangnya CL diantara perlakuan yang relatif hampir bersamaan menyebabkan respons estrus pada masing- masing perlakuan relatif hampir sama. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat onset estrus relatif lebih lama pada perlakuan hormon progesteron tunggal dan kombinasinya dengan PMSG 150 IU (24 jam) dibandingkan perlakuan dengan kombinasi PMSG 300 IU sebesar 22 jam (Gambar 5). Progesteron (P4)
P4 + PMSG 150 IU
P4 + PMSG 300 IU
24.5 24
24
Onset etrus (jam)
24 23.5 23 22.5 22 22 21.5 21 Perlakuan
Gambar 5 Rataan onset (timbulnya) estrus pada setiap perlakuan
41
Munculnya estrus akan cenderung lebih cepat dengan intensitas lebih tinggi apabila hormon progesteron dikombinasikan dengan PMSG dua hari sebelum hormon progesteron dilepas. Hal ini diduga karena secara kimiawi PMSG mempunyai struktur yang mirip dengan FSH dan LH. PMSG merupakan hormon glikoprotein dengan berat molekul 60.000 Dalton yang terdiri atas dua sub unit, yaitu sub unit a dan sub unit ß. PMSG memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi terutama pada gugus asam sialat. Konsentrasi asam sialat yang tinggi ini diduga menyebabkan masa paruh PMSG cukup panjang bila dibandingkan dengan hormon gonadotropin yang lainnya (Reeves 1987). Perlakuan hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG yang dapat menyebabkan tingginya respons estrus dapatlah dipahami karena pregesteron yang diberikan secara otomatis akan menghambat pelepasan LH dari hipofisis anterior melalui umpan balik negatif dan setelah hormon progesteron dilepas akan terjadi lonjakan LH yang menstimulir pematangan folikel de Graff. Perkembangan folikel dari primer menjadi sekunder berlangsung satu sampai tiga hari (Adams et al. 1992). Demikian halnya dengan PMSG yang memiliki aktivitas FSH yang tinggi dan sedikit LH akan mampu me rangsang perkembangan maupun pematangan folikel. Progesteron dan kombinasinya dengan PMSG meningkatkan konsentrasi FSH dan LH yang bekerja secara sinergis dalam pertumbuhan dan pematangan folikel kemudian menghasilkan konsentrasi estrogen yang tinggi dan pada akhirnya menimbulkan gejala- gejala estrus. Akan tetapi hal ini tergantung pada konsentrasi gonadotropin (FSH dan LH) dalam plasma darah, sehingga saat hormon progesteron dilepas folikel sekunder akan semakin meningkat oleh karena efek hambatan dari progesteron hilang bersamaan dengan estrogen mulai disintesis yang akan mempercepat timbulnya estrus dan terjadi ovulasi Fortune (1993) dan Savio et al. (1995). Pada umumnya PMSG memiliki efek sekitar tiga sampai empat hari sesudah penyuntikan (Dielemen et al 1993), sedangkan produksi gonadotropin in vivo akan terjadi dua atau tiga hari setelah hormon progesteron dilepas. Dengan demikian PMSG yang diberikan secara eksogen akan memperlihatkan pengaruh yang bersamaan waktunya bahkan lebih memperjelas kerja hormon go nadotropin in vivo yang disekresikan setelah perlakuan hormon progesteron dilepas. Efek
42
ganda dari dua sumber gonadotropin tersebut akan merangsang secara intensif terjadinya proses pertumbuhan dan perkembangan folikel yang berakhir dengan timbulnya estrus dan ovulasi. Sebaliknya apabila pemberian PMSG baru dilakukan setelah perlakuan hormon progesteron dilepas, maka gonadotropin yang dihasilkan oleh hilangnya umpan
balik
negatif
progesteron
akan
terlebih
dahulu
menyebabkan
perkembangan beberapa folikel dalam waktu dua sampai tiga hari, sedangkan gonadotropin yang berasal dari PMSG baru akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan folikel satu atau dua hari kemudian, sehingga akan mengacaukan onset estrus dengan intensitas yang rendah. Lama Estrus dan Intensitas Estrus Lama estrus dapat dihitung sejak rusa menunjukkan gejala klinis, terutama gejala perubahan pada vulva sampai pada gejala tingkah laku (gejala diam dinaiki) tidak terlihat lagi atau jarak antara waktu timbulnya estrus dengan berakhirnya estrus yang dihitung dalam jam. Tabel 5 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap lama estrus
Perlakuan Progesteron (P4) P4 + PMSG 150 IU P4 + PMSG 300 IU
Jumlah rusa (ekor) 2 2 2
Kisaran lama estrus (jam) < 24 jam 24 - 30 jam >30 jam ……(n, %)…… -
2 (100)a 2 (100)b -
2 (100)c
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil superscript yang tidak sama menunjukkan beda nyata (P < 0,05).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan hormon progesteron tunggal dan kombinasinya dengan PMSG 150 IU memberikan hasil yang sama dengan lama estrus 30 jam, sedangkan pada perlakuan hormon progesteron yang dikombinasikan dengan PMSG 300 IU selama 34 jam (Tabel 5). Secara keseluruhan diperoleh lamanya estrus berkisar antara 30 sampai 34 jam dengan rataan 31,33 jam. Adanya kesamaan lama estrus pada perlakuan pertama dan
43
kedua kemungkinan disebabkan oleh rendahnya dosis PMSG (150 IU) yang dikombinasikan dengan hormon progesteron, sehingga hasil yang diperoleh tidak berbeda (sama), dimana dosis yang dianjurkan untuk ternak kambing atau domba yang menjadi acuan penggunaan bagi rusa adalah antara 300 - 600 IU. Hasil
analisis
statistik
menunjukkan
bahwa
pemberian
hormon
progesteron dan kombinasinya dengan PMSG memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P < 0,05) terhadap lamanya estrus. Hasil ini lebih lama bila dibandingkan dengan hasil penelitian pada rusa timor yang dilaporkan oleh Nalley (2006) yang memperoleh rataan lama estrus 28 jam dan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Guiness et al. (1971) pada rusa merah yang sering melebihi 24 jam. Sedangkan menurut Fennesy et al. (1985) bahwa lama estrus pada rusa berkisar antara 12 sampai 14 jam. Lama estrus pada rusa timor hasil penelitian ini lebih singkat dibandingkan dengan lama estrus pada rusa fallow, yakni selama 34,1 – 46,0 jam (Asher et al. 1990). Pada rusa sambar dilaporkan oleh Semiadi et al. (1998) yakni rata-rata 48 jam dan rusa bawean yang disuntik dengan PGF 2a dilaporkan oleh Rukman (1990) mencapai lama estrus lebih dari 24 jam. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat lama estrus relatif
lebih tinggi (34 jam) pada
perlakuan hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG 300 IU dibandingkan perlakuan hormon progesteron tunggal dan kombinasinya dengan PMSG 150 IU yang hanya 30 jam (Gambar 6). Progesteron (P4)
P4 + PMSG 150 IU
P4 + PMSG 300 IU
35 34
Lama etrus (jam)
34 33 32 31 30
30
30
29 28 Perlakuan
Gambar 6 Rataan lama estrus pada setiap perlakuan
44
Intensitas estrus dapat didefenisikan sebagai penentuan taraf aktivitas tingkah laku kawin yang muncul dan nampak dari luar selama proses estrus berlangsung akibat adanya perlakuan terhadap rusa-rusa percobaan. Pada penelitian ini, intensitas estrus dikategorikan dalam tiga tingkatan, yaitu (1) intensitas rendah (skor satu), rusa tidak memperlihatkan sebagian besar tandatanda estrus;
(2) intensitas sedang (skor dua), rusa memperlihatkan beberapa
tanda-tanda estrus kecuali gejala diam dinaiki; (3) intensitas tinggi (skor tiga), rusa memperlihatkan semua tanda-tanda estrus terutama diam dinaiki. Gejala yang terakhir ini merupakan patokan untuk mengidentifikasi ternak yang standing heat. (Lampiran 2). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG secara umum pada rusa percobaan menimbulkan estrus dengan gejala- gejala yang jelas, berkisar pada skor dua sampai tiga, sedangkan intensitas estrus dengan skor satu tidak terlihat. Secara umum intensitas estrus pada rusa penelitian cukup baik tanpa ada perbedaan yang berarti diantara perlakuan (Tabel 6). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua rusa yang memperoleh perlakuan hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG menampakkan intensitas estrus dalam dua kategori saja (sedang dan tinggi). Rusa dengan perlakuan hormon progesteron tunggal dan kombinasinya dengan PMSG 150 IU menunjukkan kategori dengan intensitas sedang (skor 2) masing- masing dua ekor. Sedangkan pada perlakuan hormon progesteron yang dikombinasikan dengan PMSG 300 IU memperlihatkan hasil intensitas estrus dengan kategori tinggi (skor 3) sebanyak 2 ekor. Tabel 6 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap intensitas estrus
Perlakuan Progesteron (P4) P4 + PMSG 150 IU P4 + PMSG 300 IU
Jumlah rusa (ekor) 2 2 2
Intensitas estrus Rendah Sedang Tinggi ……(n, %)…… -
2 (100) 2 (100) -
2 (100)
Keterangan: Rendah (skor 1); Sedang (skor 2) dan Tinggi (skor 3).
45
Baik tidaknya penampakan tingkah laku kawin yang dimanifestasikan dalam bentuk fenomena biologis maupun fisiologis (tingkah laku estrus) tersebut secara langsung dipengaruhi oleh mekanisme hormonal ovarium. Level progesteron turun yang dikuti naiknya level estrogen untuk menstimulir ovulasi dan menggertak pelepasan LH dari hipofisis anterior. Frekuensi pulsa LH meningkat pada saat terjadi penurunan konsentrasi progesteron dan peningkatan estrogen. Akibat turunnya progesteron akan meningkatkan rangsangan terhadap sekresi hormon endogen yang selanjutnya dapat menimbulkan lonjakan sekresi LH yang diperlukan untuk ovulasi. Mekanisme FSH dalam ovarium yaitu dengan jalan mengaktivkan reseptor-reseptor untuk FSH sendiri dan reseptor LH pada sel-sel granulosa. FSH akan berikatan dengan reseptornya yang nantinya akan mengaktifkan enzim adenilat siklase sehingga cAMP intraseluler meningkat. Meningkatnya cAMP ini akan mengaktifkan protein kinase yang dibutuhkan untuk berlangsungnya sintesis hormon steroid (estrogen) yang sangat dibutuhkan untuk tingkah laku estrus. Reseptor progesteron itu sendiri ditemukan dalam sitoplasma sel sasaran diantaranya saluran telur, uterus, vagina dan sistem reproduksi lainnya pada hewan betina (Norman dan Litwack 1987).
46
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan: 1. Pemberian hormon progesteron (CIDR-G) dan kombinasinya dengan PMSG pada rusa timor (Cervus timorensis) memberikan respons estrus yang baik. 2. Onset (timbulnya ) estrus beberapa jam lebih awal (rata-rata 22 jam) diperoleh pada perlakuan hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG 300 IU dibandingkan dengan rata-rata onset estrus pada dua perlakuan lainnya (perlakuan hormon progesteron tunggal dan kombinasinya dengan PMSG 150 IU) yakni sebesar 24 jam. 3. Seluruh rusa betina yang memperoleh ketiga perlakuan hormon menghasilkan persentase estrus tertinggi (100%). 4. Lama estrus pada pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG 300 IU masih lebih lama (rata-rata 34 jam) dibanding dengan dua perlakuan lainnya yang rata-rata 30 jam. 5. Kombinasi hormon progesteron dengan PMSG 300 IU memiliki intensitas estrus dengan kategori tinggi atau skor 3 (seluruh gejala estrus terlihat dengan jelas terutama standing heat) dan pemberian hormon progesteron tunggal serta kombinasinya dengan PMSG 150 IU memiliki skor 2 atau dengan kategori intensitas sedang (sebagian besar gejala estrus cukup terlihat dengan jelas kecuali standing heat). Saran Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu cara atau metode dalam upaya menjadikan rusa timor sebagai salah satu alternatif komoditas baru di bidang peternakan dengan meningkatkan efisiensi reproduksi melalui sinkronisasi estrus. Berkenaan dengan hal ini, maka perlu disarankan: 1. Untuk efektifnya sinkronisasi estrus pada rusa, sebaiknya penggunaan hormon progesteron dikombinasikan dengan PMSG 300 IU dua hari sebelum hormon progesteron dilepas.
47
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai penggunaan PMSG dengan dosis yang lebih tinggi dari 300 IU dan kombinasinya dengan hormon lain untuk memperoleh hasil yang lebih baik 3. Untuk lebih mengoptimalkan hasil dalam sinkronisasi estrus sebaiknya dilanjutkan dengan pelaksanaan IB.
48
DAFTAR PUSTAKA Adams GP, RL Matteri, OJ Ginther. 1992. Effect of progesterone on ovarian follicles emergence of follicular waves and circulating hormone in heifers. J. Reprod. Fert. 96 : 627-640. Adam CL, Kyle CE, Young P. 1994. Influence of prenatal photoperid on postnatal Productive development in male red deer (Corpus elaphus). J. Reprod. Fert. 100 : 607-611. Alfuraiji M, T Atkinson, PJ Broadbent, JSM Hutchinson. 1993. Superovulation in cattle using PMSG followed by PMSG- monoclonal antibodies. J. Anim. Reprod. Sci. 33 : 99-109. Allen WR, F Steward. 1978. The Biology of Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG). In : JR Sreenan, ed. Control of Reproduction in the Cow. Martins Nijhoff the Hague/Boston/Lomdon. Pp : 50-72. [Anonim] 1995. Artificial Insemination in red deer. AgFACT. No : 48 November ISSN 1172-2088. [Anonim] 1996. Controlled Breeding and Reproductive Management. Eazi- Breed CIDR. Hamilton New Zealand. [Anonim] 2004. Biology of the White – tailed deer (Odocoileus virginanus). New Jersey Divition of Fish and Wildlife.http:/www.state.nj.us/fgw/deerbiol. htm [5 Juli 2005] Argo CM, Loudon ASI. 1992. Effect of age an time of day on the timing of the surge in luteinizing hormone, behavioural oestrus and mating in red deer hinds (Cervus elaphus). J. Reprod. Fert. 96 : 667-672. Asher GW, Smith JF. 1987. Induction of oestrus and ovulation in farmed fallow deer (Dama dama) by using progesterone and PMSG treatment. J. Reprod. Fert. 81 : 113-118. Asher GW. 1989. Fallow deer research in new zealand. The federal Deer Breeder Vol. 8 : 20-25. Asher GW, Fisher MW, Jabbour HN, Smith JF, Mulley RC, Marrow CJ, Langridge M. 1992. Relationship between the onset of oestrus, the preovulatory surge in luteinizing hormone and ovulation follo wing oestrus synchronization and superovulation of farmed red deer (Cervus elaphus). J. Reprod. Fert. 96 : 261-273. Asher GW, Fisher MW, Fennessy PF, Mackintosh CG, Jabbour HN, Marrow CJ. 1993. Oestrous synchronization, semen collection and artificial
49
insemination of farmed red deer (Cervus elaphus) and fallow deer (Dama dama). J. Anim. Reprod. Sci. 33 : 241-265. Asher GW, Berg DK, Evans G. 2000. Storage of semen and artificial ins emination in deer. J. Anim. Reprod. Sci. 62 : 195-211. Austine CR, Short RS. 1985. Reproduction in Mammaals. Book 4. Reproductive Fitness. Cambridge University Press. Cambridge. 133-175. Barros CM, GR Newton, WW Tacher, C Plante, PJ Hansen. 1992. Effect of bovine interveron I on pregnancy rate in heifers. J. Anim. Reprod. Sci. 70 : 1471-1477. Beal WE. 1996. Application of knowledge about corpus luteum function in control of estrus and ovulation in cattle. Theroigenolgy 45 : 1399-1411. Beard AP, MG Hunter, GE Lamming. 1994. Quantitative control of oxytosinindused PGF 2a release by progesterone and oestradiol in ewes. J. Reprod. Fert. 100 : 143-150. Bergfelt DR, JP Kastelic, OJ Ginther. 1991. Continued periodic emergence of follicular waves in non-bred progesterone-treated heifers. J. Anim. Reprod. Sci. 24 : 193-204. Bo GA, GP Adams, M Caccia, M Martinez, RA Pierson, RJ Mapletoft. 1995. Ovarian follicular wave emergence after treatment with progesteron and estradiol in cattle. J. Anim. Reprod. Sci. 39 : 193-204. Bodensteiner KJ, MC Witibank, DR Bergfelt, OJ Ginter. 1996. Alteration of follicular estradiol and gonadotropin receptors during development of bovine antral follicles. Theriogenology 54 : 499-512. Davis JS, JV May, BA Keel. 1996. Mechanism of hormone and growth factor action in bovine corpus luteum. Theriogenology. 45 : 1351-1380. Der Zon APM. 1979. Mammals of Indonesia. FAO. Bogor. Pp : 130-132. Dieleman SJ, MM Bevers, PLAM Vos, FA de Lois. 1993. PMSG/anti-PMSG in cattle : A simple and efficient superovulatory treatment. Theriogenology 39 : 25-41. Drew KR, Wilson PR, Taber RD, Fitzi H. 1982. Deer Farming. FAO Favero
R. 2000. Preparing for the artificial insemination http://www.wapin.net/ 27 Agustus 2000 nonport ctaal 1993.
season
50
Fennessy PF, Suttie JM, Fisher MW. 1985. Anthler growth: Nutritional and endocrine factor. In: Biology of Deer Production. Edit: PF Fennessy and KR Drew. Bulletin. 22 : 239-250. Feradis. 1999. Penggunaan Antioksidan dalam Pengencer Semen Beku dan Metode Sinkronisasi Estrus pada Program Inseminasi Buatan Domba St. Croix. [Disertasi] Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Flint APF. 1995. Interferon, the oxytocin receptor and the maternal recognition of pregnancy in ruminants and non-ruminants : a comparative approach. J. Reprod. Fert. Dev. 7 : 313-318. Fortune JE. 1993. Follicular dynamics during the bovine oestrus cycle: A limiting factor in improvement of fertility. J. Anim. Reprod. Sci. 33 : 111-125. Frandson RD. 1992. Anantomi dan Fisiologi ternak. (terjemahan) Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press. Yokyakarta. Gordon I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embryos. Biotechnology In Agriculture Series. Dublin-Ireland. Grodsky GM. 1984. Kimia dan Fungsi Hormon. Dalam : Biokimia harper (terjemahan) Edisi ke-22. Penerbit Buku Kedokteran-EGC. Guinness F, Lincoln GA, Short RV. 1971. The reproductive cycle of the female red deer (Cervus elaphus). J. Reprod. Fert. 27 : 427-438. Hafez ESE. 1993. Anatomy of Male Reproduction. In: Reproduktion in Farm Animal. Lea and Febiger. Philadelphia. 17-34. Hansen PJ. 1997. Interactions between the immune system and the bovine conceptus. Theriogenology. 47 : 121-130. Hansen PJ, WJ Liu. 1996. Immunological aspects of pregnancy : concepts and speculation using the sheep as a model. J. Anim. Reprod. Sci. 42 : 483493. Hardjosentono P. 1978. Mammals of Indonesia. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Bogor. 367-37. Hendrics DM, JR Hill. 1978. Effect of pregnant mares serum gonadotrophin hormones and reproduction in the beef heifer. J. Anim. Reprod. Sci. 46 : 1309-1316. Hunter RHF. 1995. Teknik modifikasi siklus berahi. Dalam : Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Penerbit ITB dan Universitas Udayana. pp : 40-66.
51
Jabbour HM, Asher GW, Smith JF, Morrow CJ. 1992). Effect of progesterone and oestrodiol benzoate on oestrus behaviour and secretion of luteinizing hormone in ovariectomized fallow deer (Dama-dama). J. Reprod. Fert. 94 : 353-361. Jabbour HM, Valehuizen FA, Green G, Asher GW. 1993. Endocrine responses and Conception votes in follow deer (Dama-dama) following oestrous synchronization and cervical insemination with fresh or frozen-thawed spermatozoa. J. Reprod. Fert. 98 : 495-502. Jabbour HM, Agro CMcG, Brinklow BB, Hooton J, Londont ASI. 1994. Conception rate following intrauterine insemination of European (Dama-dama) follow deer does wiyh fresh of frozen-thawed Mesopotamin (Dama damamesopotamin) fallow deer spermatozoa. J. Zoo. 230 : 379-384. Jochle W. 1993. Forty years of control of the oestrus cycle in ruminants : Program made, unresolved problems and the potential impact of sperm encapsulation technology. J. Reprod. Fert. Dev. 5 : 587-594. Kaneko H, T Terada, K Taya, G Watanabe, S Sasamoto, Y Hasegawa, M Igarashi. 1991. Ovarian follicular dynamics and concentration of estradiol-17ß, progesterone, luteinizing hormone and follicle stimulating hormone during the preovulatory phase of the estrous cycle in the cow. J. Reprod. Fert. Dev. 3 : 529-535. Kelly RW, McNatty KP, Moore GH, Ross D, Gibb M. 1982. Plasma Concentration of LH, prolactin, oestradiol and progesterone in female red deer (Cervus elaphus) during pregnancy. J. Reprod Fert. 64 : 475483. Kinder JE, FN Kojima, EGM Bergfeld, ME Weinman, KE Fike. 1996. Progestin and estrogen regulation of pulsatile LH release and development of persistent ovarian follicles in cattle. J. Anim. Reprod. Sci. 74 : 14241440. Kyle R. 1994. New species for meat production. Journal of Agricultural Science (Cambridge). 123 : 1-8. Macmillan KL, AJ Peterson. 1993. A new intravaginal progesterone releasing device for cattle (CIDR-B) for estrus synchronization, increasing pregnancy rate and the treatment of postpartum anestrus. J. Anim. Reprod. Sci. 33 : 1-25. Macmillan KL, VK Taufa, DR Barnes, AM Day. 1991. Plasm progesterone concentration in heifers and cow treated with new intravaginal device. J. Anim. Reprod. Sci. 26 : 25-40.
52
Mann GE, GE Lamming. 1995. Progesterone inhibition of the development of the luteolytic signal in cows. J. Reprod. Fert. 104 : 1-5. Margawati ET, Mulyaningsih N. 1996. Superovulasi pada mencit dara strain CBR dengan berbagai dosis PMSG. Jurnal Biologi Indonesia. Vol. I No. 4 : 19-23. McDonald LD. 1989. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Fourth Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. London. McG Agro, Jabbour CHM, Goddard PJ, Webb R, London ASI. 1994. Superovulation in red deer (Cervus elaphus) and Pere David-s deer (Elaphurus davidianus) and fertilitation rates following artificial insemination with Pere David-s deer semen. J. Reprod. Fert. 100 : 629636. Moore NW. 1984. Manipulation of Reproduction in the Goat. In. : Copland JW : Goat Production and Research in the Tropics. Proc. of a Workshop, held at the University of Queensland. Brisband. Australia. 6-8 February. Mylrea GE, English AW, Mulley RC, Evans G. 1992. Artificial insemination of farmed Chital Deer. Dalam The biology of deer Springer- verlag. New York Berlin Heidelberg London Paris Tokyo Hongkong Barcelona Budapest. Pp 334-337. Nalley WMM. 2006. Kajian Biologi Reproduksi dan Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan pada Rusa Timor (Cervus timorensis). [Disertasi] Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ngangi LR. 2002. Efektivitas Lama Pemberian Implan Progesteron Intravaginal dan Waktu Inseminasi terhadap Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Etawah. [Tesis] Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Norman A, Litwack WG. 1987. Hormones. Academic Press Inc. New York. Odde KG. 1990. A review on synchronization of estrus in postpartum cattle. J. Anim. Reprod. Sci. 68 : 817-830. Papkoff H. 1978. Relations of PMSG to the pituitary gonadotrophins. In : JR Sreenan ed. Control of Reproduction in the Cow. Martins Nijhoff. the Hague/Boston/London. pp 73-86. Partodihardjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Peterseon AJ, HV Henderson. 1990. Plasm progesterone concentration in ovariectomised dairy cows treated with a CIDR-B breeding device. J. Reprod. Fert. Suppl. 43 : 308.
53
Pineda MH, RA Bowen. 1989. Embryo Transfer in Domestic Animals. In : McDonald LE (ed) Veterinary Endocrinology and reproduction. 4th Ed. Lea and Febiger. Philadelp hia. Reeves JJ. 1987. Endocrinology of Reproduction. In : ESE Hafez (Ed) Reproduction in farm Animal. 5th . Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. Rukman D. 1990. Pengaruh Prostaglandin F2a terhadap Respons Estrus Rusa Bawean (Axis kuhlii Muller dan Schelegel) di Kebun Binatang Ragunan Jakarta. Santoso WB. 2002. Potensi penangkaran rusa dalam rangka peningkatan nilai guna pemanfaatan rusa. Makalah. Workshop Potensi Pengembangan Ternak Rusa. Dirjen Bina Produksi Peternakan. Jakarta 10 September 2002. Savio JD, WW Thatcher, GR Morris, K Entwistle, M Drost, MR Mattiacci. 1993. Effects of induction of low plasma progesterone concentrations with a progesterone-releasing intravaginal device on follicular turnover and fertility in cattle. J. Reprod. Fert. 98 : 77-84. Semiadi G, PD Muir, TN Barry. 1994. General biology of Sambar deer (Cervus unicolor) in captivity. N. Z. J. Agric. Res. 37 : 79-85. Semiadi G. 1998. Pola Kelahiran rusa Timorensis di Nusa Tenggara Timur. Hayati 5 : 22-24. Semiadi G, RTP Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharan Rusa Tropis. Puslit Biologi-LIPI Indonesia. Bogor. Senger PL. 1999. Pathways to Pregnancy and Paturation. Current Conception Inc. Washington State University. pp : 116-129. Sirois J, JE fortune. 1990. Lengthening the bovine estrous cycle with low levels of exogenous progesterone : a model for studyng ovarian follicular dominance. Endocrinology. 127 : 916-925. Stanbenfeldt GH, LE Edqvist. 1997. Female Reproductive Processes. In : Veterinary Drugs Registration. InterAg. New Zealand. 798-832. Stock AE, JE Fortune. 1993. Ovarian follicular dominance in cattle. Relationship between prolonged growth of the ovulatory follicle and endocrine parameters. Endocrinology. 132 : 1108-1114. Syarif A. 1974. Kemungkinan Pembinaan Rusa di Indonesia. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Bo gor.
54
Steel RGD, JH Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. (terjemahan) Edisi kedua. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Susmianto A. 2002. Pemanfatan satwa liar berpotensi menurut peraturan perundangan. Makalah. Potensi Pengembangan Ternak Rusa. Dirjen Bina Produksi Peternakan. Jakarta 10 September 2002. Takandjandji M, Sutrisno E, Garnadi D. 1997. Prospek Budidaya Rusa timor (Cervus timorensis) Sebagai Ternak. Prosiding Diskusi Hasil- hasil Penelitian BPK. Kupang. Toelihere M.R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung. Toelihere MR. 1997. Increasing the Success Rate and Adoption of Artificial Insemination for Genetic Improvement of Bali Cattle. Makalah Workshop on Strategis Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia. PUSLIBANGNAK dan ACIAR di Denpasar Bali. Tomaszewska MW, Sutama IK, Putu IG, Chaniago TO. 1991. Reproduksi, Tingkah laku dan Reproduksi Ternak Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Turner CD, Bagnara JT. 1988. Endokrinologi Umum. Terjemahan dari General Endocrinology. Airlangga University Press. Surabaya. Wehrman ME, MS Roberson, SA Cupp, FN Kojima, TT Stumpf, LA Werth, MW Wolfe, RJ Kittok, JE Kinder. 1993. Increasing exogenous estradiol 17-ß and increases conception in cow. Biol. Reprod. 49 : 214-220.
55
LAMPIRAN
56
Lampiran 1 Jadual penelitian di lokasi Taman Margasatwa Ragunan (TMR) Jakarta
Kegiatan
JanApril
MeiJuni
M 18
S 19
S R 20 21
K 22
Juni J S M S 23 24 25 26
Juli S 27
R 28
K 29
J 30
S 1
M 2
S 3
S 4
R 5
Pembuatan kandang Adaptasi awal Adaptasi secara Intensif Perlakuan CIDR-G Perlakuan CIDR+PMSG 150 IU (H-2) Perlakuan CIDR+PMSG 300 IU (H-2) Pengamatan Respons Estrus
57
K 6
Keterangan: Januari 2006 Pembuatan kandang kelompok Januari - April 2006 Adaptasi rusa pada kandang kelompok yang baru Mei - 17 Juni 2006 Adaptasi secara intensif untuk membiasakan penanganan rusa dalam kandang jepit 18 Juni - 2 Juli 2006 (14 hari) Perlakuan CIDR untuk 2 ekor rusa (Perlakuan I) 18 Juni - 2 Juli 2006 (14 hari) Perlakuan CIDR untuk 2 ekor rusa + PMSG 150 IU (H-2) 30 Juni 2006 (Perlakuan II) 24 Juni - 2 Juli 2006 (14 hari) Perlakuan CIDR untuk 2 ekor rusa + PMSG 300 IU (H-2) 30 Juni 2006 (Perlakuan III) 3 - 6 Juli 2006 (4 hari) Pengamatan respons estrus
58
Lampiran 2 Respons intensitas estrus setelah perlakuan
Nomor urut
Banyaknya rusa (ekor, %)
Tanda-tanda estrus
Total (ekor)
1
Nafsu makan menurun
R- 1 2 (100)
R- 2 2 (100)
R- 3 2 (100)
6
2
Mendekati betina lain
2 (100)
2 (100)
2 (100)
6
3
Mengeluarkan suara khas
0 ( 0)
1 ( 50)
2 (100)
3
4
Urinasi
2 (100)
2 (100)
2 (100)
6
5
Mengintip pejantan (kandang lain)
2 (100)
2 (100)
2 (100)
6
6
Vulva merah, bengkak dan basah
2 (100)
2 (100)
2 (100)
6
7
Lendir transparan
2 (100)
2 (100)
2 (100)
6
8
Jika dipegang punggung diam (menaiki betina lain)
2 (100)
2 (100)
2 (100)
6
9
Tidak menolak jika vulva dipegang
2 (100)
2 (100)
2 (100)
6
10
Diam dinaiki sesama rusa lain
0 ( 0)
0 ( 0)
2 (100)
2
Keterangan: R-1 Progesteron 14 hari; R-2 Progesteron 14 hari + PMSG 150 IU H-2; R-3 Progesteron 14 hari + PMSG 300 IU H-2
59
Lampiran 3 Hasil pengamatan gejala estrus pada rusa timor betina selama 4 hari berturut-turut (06.00 - 18.00) yang diberi perlakuan hormon progesteron 14 hari Keterangan (gejala yang muncul) No urut
Hari ke-
Jam pengamatan (WIB)
0
09.30 – 10.00
CIDR-G dilepas
-
CIDR-G dilepas
-
06.00 – 07.00 07.00 – 08.00
Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan turun Tenang Mengintip rusa lain
1 2 1 2 4 5 1 5
Nafsu makan menurun Tenang Masuk kubangan Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Menjilati rusa lain
1 4 5 1 -
Nafsu makan menurun Tenang
1 -
Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan turun Masuk kubangan Mendekati betina lain (gelisah) Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Masuk kubangan Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Mengintip rusa lain Diam dijilat rusa lain Nafsu makan menurun Tenang
1 2 1 2 4 5 1 2 5 1 4 5 1 5 1 -
08.00 – 09.00 1 09.00 – 10.00
10.00 – 11.00
11.00 – 12.00
12.00 – 13.00
13.00 – 14.00
R-1.1
R-1.2
No urut
60
14.00 – 15.00
15.00 – 16.00
16.00 – 17.00
2
17.00 – 18.00
06.00 – 07.00
07.00 – 08.00
08.00 – 09.00
Masuk kubangan Mengintip rusa lain
4 5
Nafsu makan menurun Mendekati rusa lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Mengintip rusa lain
1 2 4 5 1 5
Nafsu makan menurun Tenang Urinasi
1 4
Nafsu makan menurun Tenang
1 -
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Mengintip rusa lain
1 2 5
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Mengintip rusa lain
1 2 5
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Masuk kubangan Mengintip rusa lain Vulva merah, bengkak dan basah Lendir transparan (pakai spekulum) Menaiki betina lain (pegang punggung diam) Tidak menolak vulva dipegang
1 2 5 6 7 8 9
Dinaiki rusa lain Masuk kubangan Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Diam dinaiki rusa lain Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Menggigit rusa lain Menaiki rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Menggigit rusa lain Menaiki rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Menaiki rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Mengintip rusa lain Menaiki rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Menggigit rusa lain Digigit rusa lain Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Masuk kubangan Mengintip rusa lain Vulva merah, bengkak dan basah Lendir transparan (pakai spekulum) Menaiki betina lain (pegang punggung diam) Tidak menolak vulva dipegang
4 5 1 5 1 8 1 8 1 8 1 2 5 8 1 2 5 1 2 5 6 7 8 9
61
09.00 – 10.00
3
10.00 – 11.00
11.00 – 12.00
12.00 – 13.00
13.00 – 14.00
14.00 – 15.00
15.00 – 16.00 16.00 17.00 06.00 07.00
– 17.00 – 18.00 – 07.00 – 08.00
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain
1 2 4 5
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain
1 2 4 5
Nafsu makan menurun Tenang Masuk kubangan Dinaiki rusa lain Urinasi Nafsu makan menurun Tenang Urinasi Mengintip rusa lain
1 4 1 4 5
Nafsu makan menurun Masuk Kubangan Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Nafsu makan menurun Tenang Masuk kubangan Digigit rusa lain
1 2 4 1 -
Nafsu makan mulai meningkat Tenang Tenang/tidak terlihat gejala estrus Tenang/tidak terlihat gejala estrus Tenang/tidak terlihat gejala estrus Tenang/tidak terlihat gejala estrus
-
Nafsu makan menurun Masuk kubangan Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Masuk kubangan Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Masuk kubangan Tenang Mengintip rusa lain
1 2 4 5 1 2 4 5 1 5
Nafsu makan menurun Masuk kubangan Tenang Digigit rusa lain Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Masuk kubangan Tenang Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Menggigit rusa lain Masuk Kubangan Urinasi Nafsu makan mulai meningkat Tenang Tenang/tidak terlihat gejala estrus Tenang/tidak terlihat gejala estrus Tenang/tidak terlihat gejala estrus Tenang/tidak terlihat gejala estrus
1 4 5 1 2 5 1 4 -
62
08.00 – 09.00 09.00 – 10.00
Tenang/tidak terlihat gejala estrus Tenang/tidak terlihat gejala estrus
-
Tenang/tidak terlihat gejala estrus Tenang/tidak terlihat gejala estrus
-
Keterangan: R-1.1 Perlakuan progesteron 14 hari untuk ulangan 1 R-1.2 Perlakuan progesteron 14 hari untuk ulangan 2
63
Lampiran 4 Hasil pengamatan gejala estrus pada rusa timor betina selama 4 hari berturut-turut (06.00 – 18.00) yang diberi perlakuan hormon progesteron 14 hari + PMSG 150 IU (H-2) Hari ke-
Jam pengamatan (WIB)
0
09.30 – 10.00
06.00 – 07.00 07.00 – 08.00 1
08.00 – 09.00
09.00 – 10.00
10.00 – 11.00
11.00 – 12.00
12.00 – 13.00
13.00 – 14.00
R-2.1 CIDR-G dilepas
Keterangan (gejala yang muncul) No urut
R-2.2
No urut
-
CIDR-G dilepas
-
-
-
-
Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan turun Masuk kubangan Tenang Mengintip rusa lain
1 2 1 2 4 5 1 5
Nafsu makan menurun Tenang Mengintip rusa lain Masuk kubangan Nafsu makan menurun Tenang Masuk kubangan
1 5 1 -
Nafsu makan menurun Tenang Masuk kubangan
1 -
Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan turun Masuk kubangan Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Diam dijilat rusa lain Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Mengintip rusa lain Diam dijilat rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Mengintip rusa lain
1 2 1 2 4 5 1 2 4 5 1 5 1 5 1 5
-
64
14.00 – 15.00
15.00 – 16.00
16.00 – 17.00
2
17.00 – 18.00
06.00 – 07.00
07.00 – 08.00
08.00 – 09.00
Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati rusa lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain
4 5 1 2 4 5
Nafsu makan menurun Tenang Masuk kubangan
1 -
Nafsu makan menurun Tenang Menggigit rusa lain
1 -
Nafsu makan menurun Tenang Menaiki rusa lain Nafsu makan menurun Masuk kubangan Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain
1 8 1 2 4 5 1 2 4 5
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain
1 2 4 5
Nafsu makan menurun Mendekati rusa lain (gelisah) Masuk kubangan Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Masuk kubangan Urinasi Nafsu makan menurun Tenang Menggigit rusa lain Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Menaiki rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Masuk kubangan Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Masuk kubangan Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Masuk kubangan Urinasi Mengintip rusa lain Vulva merah, bengkak dan basah Lendir transparan (pakai spekulum) Menaiki betina lain (pegang punggung diam)
1 2 4 5 1 4 1 5 1 8 1 2 4 5 1 2 4 5 1 2 4 5 6 7 8
65
09.00 – 10.00
10.00 – 11.00
11.00 – 12.00
3 12.00 – 13.00
13.00 – 14.00
14.00 – 15.00
15.00 – 16.00 16.00 – 17.00
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Masuk kubangan Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Masuk kubangan Urinasi Menaikii rusa lain
1 2 4 5 1 2 5 1 4 8
Nafsu makan menurun Tenang Urinasi Mengintip rusa lain
1 4 5
Nafsu makan menurun Masuk Kubangan Mendekati betina lain (gelisah)
1 2
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Vulva merah, bengkak dan basah Lendir transparan (pakai spekulum) Menaiki betina lain (pegang punggung diam) Tidak menolak vulva dipegang Nafsu makan mulai meningkat Tenang Tenang/tidak terlihat gejala estrus
1 2 4 5 6 7 8 9 -
Tidak menolak vulva dipegang Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Mengintip rusa lain
9 1 2 5
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Masuk kubangan Tenang Mngeluarkan suara khas Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Masuk kubangan Tenang Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Masuk kubangan Tenang Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Mengintip rusa lain
1 2 5 1 3 4 5 1 4 5 1 2 4 5 1 5
Nafsu makan mulai meningkat Tenang Tenang/tidak terlihat gejala estrus
-
66
17.00 – 18.00 Tenang/tidak terlihat gejala estrus 06.00 – 07.00 Tenang/tidak terlihat gejala estrus 07.00 – 08.00 Tenang/tidak terlihat gejala estrus 08.00 – 09.00 Tenang/tidak terlihat gejala estrus 09.00 – 10.00 Tenang/tidak terlihat gejala estrus Keterangan: R-2.1 Perlakuan progesteron 14 hari + PMSG 150 IU (H-2) untuk ulangan 1 R-2.2 Perlakuan progesteron 14 hari + PMSG 150 IU (H-2) untuk ulangan 2
Tenang/tidak Tenang/tidak Tenang/tidak Tenang/tidak Tenang/tidak
terlihat terlihat terlihat terlihat terlihat
gejala gejala gejala gejala gejala
estrus estrus estrus estrus estrus
-
67
Lampiran 5 Hasil pengamatan gejala estrus pada rusa timor betina selama 4 hari berturut-turut (06.00 – 18.00) yang diberi perlakuan hormon progesteron 14 hari + PMSG 300 IU (H-2) hari ke
Jam pengamatan (WIB)
0
09.30 – 10.00
06.00 – 07.00 07.00 – 08.00 1
08.00 – 09.00
09.00 – 10.00
10.00 – 11.00
11.00 – 12.00
12.00 – 13.00
R-3.1
Keterangan (gejala yang muncul) No urut
CIDR-G dilepas
R-3.2
No urut
CIDR-G dilepas
Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Masuk kubanagan Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Mengeluarkan suara khas Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Mengintip rusa lain Masuk kubangan
1 2 1 2 1 2 1 2 4 5 1 3 2 4 5 1 5 -
Nafsu makan menurun Tenang Diam dijilat rusa lain
1 -
Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Masuk kubanagan Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan turun Mendekati betina lain (gelisah) Mengintip rusa lain Masuk kubangan
1 2 1 2 1 2 1 2 4 5 1 2 5 -
Nafsu makan menurun Tenang Masuk kubangan Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Mengintip rusa lain
1 4 5 1 5
68
13.00 – 14.00
14.00 – 15.00
15.00 – 16.00
16.00 – 17.00 2
17.00 – 18.00
06.00 – 07.00
07.00 – 08.00
Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Urinasi Mengintip rusa lain Menaiki rusa lain Nafsu makan menurun Masuk kubangan Mendekati rusa lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Menaiki rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Mengeluarkan suara khas Urinasi Menaiki rusa lain Diam dinaiki sesama rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Mengeluarkan suara khas Urinasi Vulva merah bengkak dan basah Diam dinaiki sesama rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Urinasi Diam dinaiki sesama rusa lain
5 1 4 5 8 1 2 4 5 8 1 3 4 8 10 1 3 4 6 10 1 10
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Dinaiki rusa lain Masuk kubangan Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah)
1 2 4 5 1 2
Nafsu makan menurun Tenang Mengintip rusa lain Menaiki rusa lain Diam dijilat rusa lain Nafsu makan menurun Masuk kubangan Mendekati rusa lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Menaiki rusa lain Nafsu makan menurun Tenang Urinasi Menaiki rusa lain Diam dinaiki sesama rusa lain
1 5 8 1 2 4 5 8 1 4 8 10
Nafsu makan menurun Tenang Mengeluarkan suara khas Urinasi Diam dinaiki sesama rusa lain
1 3 4 10
Nafsu makan menurun Tenang Mengeluarkan suara khas Menaiki rusa lain
1 3 8
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Dinaiki rusa lain Mengintip rusa lain
1 2 4 5
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah)
1 2
69
08.00 – 09.00
09.00 – 10.00
10.00 – 11.00
11.00 – 12.00
12.00 – 13.00 3 13.00 – 14.00 14.00 – 15.00
Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Mengintip rusa lain Vulva merah, bengkak dan basah Lendir transparan (pakai spekulum) Menaiki betina lain (pegang punggung diam) Tidak menolak vulva dipegang
4 5 1 2 5 6 7 8 9
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Masuk kubangan Mengintip rusa lain Vulva merah, bengkak dan basah Menaiki betina lain (pegang punggung diam) Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Digigit rusa lain Urinasi Mengintip rusa lain
1 2 5 6 8 1 2 4 5
Nafsu makan menurun Masuk kubangan Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Masuk kubangan Menjilat rusa lain Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Nafsu makan menurun
1 4 5 1 5 1 2 4 1
Masuk kubangan Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Masuk kubangan Urinasi Mengintip rusa lain Vulva merah, bengkak dan basah Lendir transparan (pakai spekulum) Menaiki betina lain (pegang punggung diam) Tidak menolak vulva dipegang Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Masuk kubangan Vulva merah, bengkak dan basah Menaiki betina lain (pegang punggung diam)
5 1 2 4 5 6 7 8 9 1 2 6 8
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Digigit rusa lain Menggigit rusa lain Masuk kubangan Urinasi Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Mengintip rusa lain
1 2 4 5 1 5
Nafsu makan menurun Masuk kubangan Mengintip rusa lain
1 5
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Nafsu makan menurun
1 2 4 1
70
15.00 – 16.00
Mendekati betina lain (gelisah) Mengintip rusa lain Menaiki betina lain
2 5 8
Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah)
1 2
Nafsu makan menurun 1 Mengintip rusa lain 5 Nafsu makan mulai meningkat 17.00 – 18.00 Tenang Urinasi 4 06.00 – 07.00 Tenang/tidak terlihat gejala estrus 07.00 – 08.00 Tenang/tidak terlihat gejala estrus 08.00 – 09.00 Tenang/tidak terlihat gejala estrus 09.00 – 10.00 Tenang/tidak terlihat gejala estrus Keterangan: R-3.1 Perlakuan progesteron 14 hari + PMSG 300 IU (H-2) untuk ulangan 1 R-3.2 Perlakuan Progesteron 14 hari + PMSG 300 IU (H-2) untuk ulangan 2 16.00 – 17.00
Mendekati betina lain (gelisah) Urinasi Mengintip rusa lain Menaiki betina lain Nafsu makan menurun Mendekati betina lain (gelisah) Mengintip rusa lain Nafsu makan menurun Mengintip rusa lain Nafsu makan mulai meningkat Tenang Mengintip rusa lain Tenang/tidak terlihat gejala estrus Tenang/tidak terlihat gejala estrus Tenang/tidak terlihat gejala estrus Tenang/tidak terlihat gejala estrus
2 4 5 8 1 2 5 1 5 5 -
71
Lampiran 6 Hasil analisis statistik dan uji lanjut untuk persentase estrus Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class Levels PERL
3
Values
R1 R2 R3
Number of observations in data set = 6 Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: PERSEN Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model
F Value
Pr > F
2
0
0
Error
3
0
0
Corrected Total
5
0
R-Square
C.V.
Root MSE
PERSEN Mean
0.000000
0
0
100.00000000
Source
DF
Anova SS
Mean Square
PERL
2
0
0
.
F Value .
.
Pr > F .
Analysis of Variance Procedure Level of
------------PERSEN-----------
PERL
N
Mean
SD
R1
2
100.0000000
0.00000000
R2
2
100.0000000
0.00000000
R3
2
100.0000000
0.00000000
Analysis of Variance Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: PERSEN NOTE : This test controls the type I comparisonwiseerror rate, not the experimentwise error rate Alpha = 0.05
df = 3
MSE = 0
Number of
Means 2
3
Critical
Range
0
0
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
PERL
A
100.0
2
R1
B
100.0
2
R2
C
100.0
2
R3
72
Lampiran 7 Hasil analisis statistik dan uji lanjut untuk onset (timbulnya) estrus Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class
Levels Values
PERL
3
R1 R2 R3
Number of observations in data set = 6 Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: ONSET Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value Pr > F
Model
2
5.33333333
2.66666667
99999.99 0.0001
Error
3
0.00000000
0.00000000
Corrected Total
5
5.33333333
R-Square
C.V.
1.000000
0
0
Source
DF
Anova SS
Mean Square
F Value
Pr > F
PERL
2
5.33333333
2.66666667
99999.99
0.0001
Root MSE
ONSET Mean 23.33333333
Analysis of Variance Procedure Level of
------------ONSET------------
PERL
N
Mean
SD
R1
2
24.0000000
0.00000000
R2
2
24.0000000
0.00000000
R3
2
22.0000000
0.00000000
Analysis of Variance Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: ONSET NOTE : This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha = 0.05 df = 3 MSE = 0 Number of Means
2
3
Critical
0
0
Range
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
PERL
A
24.00
2
R1
B
24.00
2
R2
C
22.00
2
R3
73
Lampiran 8 Hasil analisis statistik dan uji lanjut untuk lama estrus
Analysis of Variance Procedure Class Level Information Class
Levels Values
PERL
3
R1 R2 R3
Number of observations in data set = 6 Analysis of Variance Procedure Dependent Variable: LAMA Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
2
21.33333333
10.66666667 99999.99
0.0001
Error
3
0.00000000
Corrected Total
5
21.33333333
R-Square
C.V.
Root MSE
LAMA Mean
1.000000
0
0
31.33333333
Source
DF
Anova SS
Mean Square
PERL
2
21.33333333
0.00000000
F Value
Pr > F
10.66666667 99999.99
0.0001
Analysis of Variance Procedure Level of
-------------LAMA------------
PERL
N
Mean
SD
R1
2
30.0000000
0.00000000
R2
2
30.0000000
0.00000000
R3
2
34.0000000
0.00000000
Analysis of Variance Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable : LAMA NOTE : This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rat e Alpha = 0.05 df = 3 MSE = 0 Number of Means
2
3
Critical
0
0
Range
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
PERL
A
34.00
2
R3
B
30.00
2
R2
C
30.00
2
R1
74
Lampiran 9 Keadaan lokasi dan rusa timor penelitian
75
76
Lampiran 10 Pemasangan implan hormon progesteron (CIDR-G) pada rusa timor
77
78
79
80