RESPON MORFOFISIOLOGI TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DI KAWASAN AGROFORESTRI SEKITAR TAMAN NASIONAL LORELINDU SULAWESI TENGAH INDONESIA
ERMA PRIHASTANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Respon Morfofisiologi Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Cekaman Kekeringan Di Kawasan Agroforestri Sekitar Taman Nasional Lorelindu Sulawesi Tengah Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi dimana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2009
Erma Prihastanti G361050031
iii
ABSTRACT ERMA PRIHASTANTI. Morphophysiological Response of Cocoa (Theobroma cacao L.) to Dessication Stress in The Agroforestry at Margin Lore Lindu National Park Central Sulawesi Indonesia. Under direction of SOEKISMAN TJITROSEMITO DIDY SOPANDIE and IBNUL QAYIM . The objective of the research is to analyze morphophysiological response of cocoa trees in the cocoa agroforestry before and during water deficit stress experiment. Observations were done to learn about changes in soil water content, root water potential, root hydraulic conductivity, percentage of root embolism, anatomy of xylem root from root system of cocoa and Gliricidia sepium. Besides, the study also analyzed changes in nonstructural carbohydrate content, biomass and vitality of cocoa fineroot, N and P leaf content, resorption percentage of N and P leaf, and trichomata type and density of cocoa leaf. The reseach was conducted in O’o Village, South Kulawi District, Donggala Regency, which was around Lore Lindu National Park area, Central Sulawesi province, at 585 metres above sea level, and with a coordinate of 1.5524o North latitude and 120.0206o East longitude. The research was conducted from June 2006 to May 2008. The result showed that TDE system used was effective to reduce water infiltration down to 79%. The decrease in throughfall was followed by the decrease in soil water content at the depth 20 cm around cocoa and G. sepium trees. At this soil the decrease of water content around cacao tree was faster than around G.sepium tree. The root of cacao tree also grew more than that of G.sepium. Stress of water deficit for 13 months reduced water potential of cocoa and G. sepium root. At daytime, cocoa root water potential was lower than that G.sepium, but at predawn water potential of both cocoa and G.sepium root to 0,5 Bar. This indicated that process of nocturnal hydraulic lift took place in deeper level of soil at night. This condition is useful for cocoa which is short off water during the day. The difference of root water potential between cocoa and G.sepium against water stress is assumed to due to the difference in osmotic adjustment. The effect of stress water deficit for 13 months on root proline content of cocoa root and G. sepium was not significant, but it was significant with time. The proline content on cocoa and G. sepium fineroot showed a difference in changes where in cocoa root proline content increased 11,59 times, while in G sepium fineroot did only 5,44 times. Based on root hydraulic conductivity, cocoa root had low capacity in distributing water than that of G. sepium. This characteristic was shown in hydraulic conductance value, embolism percentage, structure of smaller xylem diameter and xylem pit membrane than that of G. sepium root. Nonstructural carbohydrate concentration of cocoa fineroot decreased along with the increase of research time.The decrease in nonstructural carbohydrate concentration was higher in cocoa with lower soil water content, but the carbohydrate content can still support the growth of cocoa fineroot.That was obvious with the increasing growth of live fineroot and the deacreasing dead fineroot. The changes in leaf of N and P content, N and P leaf resorption, SLA, and in leaf trichomata number that occurred for 13 months in water deficit stress with TDE were not significant, but the tendency was declining along with the increasing research time.
iv
Keyword : cacao agroforestry, TDE systems, root water potential, total root proline, hydraulic conductivity, root embolism, leaf N and P resorption, specific leaf area, soluble carbohydrates, biomass and vitality of fineroot, leaves trichomes.
v
RINGKASAN ERMA PRIHASTANTI. Respon Morfofisiologi Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Cekaman Kekeringan Di Kawasan Agroforestri Sekitar Taman Nasional Lorelindu Sulawesi Tengah Indonesia. Dibimbingan oleh SOEKISMAN TJITROSEMITO, DIDY SOPANDIE dan IBNUL QAYIM. Tanaman kakao merupakan salah satu tanaman tahunan paling penting di dunia. Sebanyak 3,5 ton biji kakao dunia dihasilkan pada tahun 2006. (ICCO 2007). Kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004). Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produksi kakao adalah curah hujan (Zuidema et al. 2005). Tanaman kakao menghendaki sebaran hujan yang relatif merata sepanjang tahun tanpa bulan kering. Daerah produsen kakao umumnya memiliki curah hujan antara 1250-3000 mm tiap tahun. Adanya pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan iklim seperti terjadinya musim kering yang panjang yang berasosiasi dengan ENSO (El Nino Southern Oscillation). Para ahli klimatologi memperkirakan peristiwa tersebut akan lebih sering terjadi di masa yang akan datang (Nepstad et al. 2007). Penelitian sosio-ekonomi tentang akibat kekeringan yang berasosiasi dengan ENSO terhadap produksi kakao di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa peristiwa tersebut dapat menurunkan produksi kakao sebesar 62 % (Keil et al. 2008). Penelitian pengaruh kekeringan karena ENSO secara langsung agak sulit dilakukan, karena hal itu tidak dapat diprediksikan dengan tepat kapan dan dimana terjadinya. Salah satu alternatif untuk melakukan simulasi ENSO adalah dengan menggunakan sistem atap (roofing) atau disebut throughfall displacment experiment (TDE) selama periode waktu tertentu. Penelitian cekaman kekeringan terhadap tanaman kakao dengan sistem TDE merupakan bagian dari penelitian ‘The Sulawesi Throughfall Displacement Experiment- Ecosystem and Economic responses to ENSO droughts in rainforest and agroforest” dari program penelitian “Stability of Rainforest Margins in Indonesia’ (STORMA) yang dibiayai oleh German Research Foundation (DFG-SFB 552). Penelitian tentang respons cekaman kekeringan tanaman kakao sudah banyak dilakukan terutama pada tanaman muda/semai. Namun demikian informasi tentang respons tanaman kakao dewasa (pohon) terhadap cekaman kekeringan tersebut masih sangat sedikit. Pada umumnya tanaman kakao ditanam pada sistem agroforestri dengan beberapa pohon pelindung seperti Gliricidia sepium. Selama ini belum banyak informasi tentang fungsi pohon pelindung khususnya dalam penyediaan air bagi tanaman kakao saat kondisi lingkungan mengalami cekaman kekeringan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa respons morfofisiologi tanaman kakao pada sistem agroforestri sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE yaitu dengan mengkaji perubahan status air tanah dan akar serta kandungan proline fineroot, perubahan hydraulic conductivity dan persentase embolisme akar serta menganalisa anatomi akar dari akar kakao dan G. Sepium. Selain itu juga dikaji perubahan kandungan karbohidrat (glukosa, sukrosa dan pati), pertumbuhan dan vitalitas akar fineroot kakao, kandungan dan nilai resorpsi N dan P, specific leaf area, jumlah dan tipe trikomata daun kakao. Penelitian dilakukan di Desa O’o, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Donggala yang merupakan daerah di sekitar kawasan Taman Nasional Lore
vi
Lindu, Propinsi Sulawesi Tengah, dengan ketinggian 585 m diatas permukaan laut, serta koordinat 1.5524o Lintang Utara dan 120.0206o Bujur Timur. Sedangkan tempat penelitian untuk pengamatan seedling kakao dilakukan di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan mulai Juni 2006 sampai dengan Mei 2008 yang meliputi survey lokasi, pembuatan plot penelitian, pembuatan konstruksi untuk sistem TDE (throughfall displacement experiment), pembangunan stasiun mikroklimat serta pengukuran variabel. Adapun pengukuran variabel dimulai sebelum periode roofing yaitu bulan Desember 2006-Februari 2007. Pengamatan selama periode roofing dilakukan setelah 5-7 bulan dan 13 bulan roofing. Periode 5-7 bulan roofing diduga tanaman telah mengalami cekaman ringan, sedangkan periode setelah 13 bulan diduga tanaman telah mengalami cekaman kekeringan yang berat. Penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap. Masing-masing tahap percobaan diuraikan sebagai berikut: Penentuan dan pembuatan plot penelitian, pembuatan konstruksi dan pemasangan roofing, pengukuran throughfall dan cuaca. Adapun pengamatan variabel meliputi pengukuran kandungan air tanah di bawah pohon dilakukan dengan menggunakan tensiometer, pengukuran potensial air akar pohon kakao dan G. sepium diukur dengan menggunakan Scholander Pressure Bomb, pengukuran hydraulic conductivity dilakukan dengan menggunakan metode Sperry et al. (1988), pengukuran proline total akar berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Bates et al. (1973), pengukuran glukosa dilakukan dengan metode fenol dan untuk sukrosa dilakukan dengan menggunakan metode Lane-Eynon. Penetapan pati digunakan metode hidrolisis asam. Pengukuran kadar N dilakukan dengan metode Kjedhal, pengukuran P dilakukan dengan metode Morgan Wolf. Pengamatan pertumbuhan akar kakao dan G. sepium digunakan metode ingrowth dan soil core. Perubahan pertumbuhan daun kakao diamati dengan pengukuran spesific leaf area (SLA) serta pengamatan trikomata daun. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan SAS (Shapiro-Wilk Statistic). Hasil penelitian menunjukkan sistem TDE yang dipergunakan efektif mengurangi infiltrasi air sebesar 79%. Penurunan troughfall diikuti dengan penurunan kandungan air tanah pada lapisan tanah kedalaman 20 cm disekitar pohon kakao dan G. sepium. Penurunan kandungan air tanah lebih cepat terjadi pada tanah disekitar pohon kakao dan tanah disekitar pohon G.sepium. Cekaman kekeringan selama 13 bulan menurunkan potensial air akar kakao dan akar G. sepium. Pada waktu siang hari, potensial air akar menurun dimana potensial air akar kakao lebih rendah daripada akar G.sepium, namun demikian pada saat pagi hari potensial air akar keduanya naik kembali mencapai -0,5 Bar. Hal tersebut menunjukan telah terjadi proses nocturnal hydraulic lift dimana air diambil oleh perakaran G.sepium dari lapisan tanah yang lebih dalam saat malam hari dan dibawa keatas dan dimanfaatkan oleh akar kakao. Kondisi ini sangat bermanfaat bagi tanaman kakao yang mengalami kekurangan air pada waktu siang hari. Cekaman kekeringan selama 13 bulan pada tanaman kakao umur 7 tahun tidak meningkatkan kandungan proline fineroot kakao dan G.sepium. Tetapi menunjukkan perbedaan peningkatan dimana pada akar kakao meningkat 11,59 kali, sedangkan pada fineroot G. sepium hanya 5,44 kali. Berdasarkan sifat konduktivitas perakaran, akar tanaman kakao mempunyai kapasitas yang rendah dalam mengalirkan air dibanding G. sepium. Sifat-sifat itu ditunjukkan pada nilai hydraulic conductance, persentase embolisme, struktur diameter xilem dan lubang membran antar xilem yang lebih kecil dari akar G. sepium. Keadaan ini diduga sebagai adaptasi dari tanaman
vii
kakao yang mempunyai perakaran dangkal dalam menghadapi perubahan air tanah yang cenderung lebih cepat berkurang. Pada lapisan tanah 20 cm, fineroot hidup kakao meningkat secara signifikan seiring bertambahnya waktu diikuti penurunan kandungan pati, glukosa dan sukrosa pada finerootnya. Perubahan kandungan N dan P, resorpsi N dan P, nilai SLA serta jumlah trikomata daun yang yang terjadi selama 13 bulan pada cekaman kekeringan dengan TDE tidak signifikan, namun demikian cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Keyword : cacao agroforestry, TDE systems, root water potential, root proline total, hydraulic conductivity, root embolism, leaf N and P resorption, specific leaf area, soluble carbohydrates, biomass and vitality of fineroot, leaves trichomes.
viii
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ix
RESPON MORFOFISIOLOGI TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DI KAWASAN AGROFORESTRI SEKITAR TAMAN NASIONAL LORELINDU SULAWESI TENGAH INDONESIA
ERMA PRIHASTANTI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
x
Penguji pada Ujian Tertutup
:
Dr. Ir.Hamim,MSi Dr. Ir.Nurul Khumaida,MSi
Penguji pada Ujian Terbuka
:
Dr. Diah Ratnadewi Dr. Ir.Siswanto,DEA
xi
LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi
:
Nama NIM
: :
Respon Morfofisiologi Tanaman Kakao (Theobroma Cacao L.) Terhadap Cekaman Kekeringan Di Kawasan Agroforestri Sekitar Taman Nasional Lorelindu Sulawesi Tengah Indonesia Erma Prihastanti G361050031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Soekisman Tjitrosemito Ketua
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr. Anggota
Dr. Ir. Ibnul Qayim Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Biologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 09 Oktober 2009
Tanggal Lulus :
xii
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Disertasi berjudul Respon Morfofisiologi Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Cekaman Kekeringan di Kawasan Agroforestri Sekitar Taman Nasional Lorelindu Sulawesi Tengah Indonesia, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor UNDIP, Dekan FMIPA UNDIP, Ketua Jurusan Biologi FMIPA UNDIP yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. Dr. Soekisman Tjitrosemito, Prof. Dr.Ir. Didy Sopandie, M.Agr., Dr. Ibnul Qayim sebagai Komisi Pembimbing, yang sejak awal penulis menjalani tugas belajar di Program Studi Biologi selalu memberikan semangat, motivasi belajar serta arahan. Prof. Dr. Christoph Leuschner yang telah memberikan ide dalam proposal penelitian. Pemberi beasiswa seperti BPPS, STORMA, BMZ, yang telah memberikan dana selama penelitian. Dr. Gerald Moser, Michael Köhler, Bernhard Schulzt, Daniela Luitner, Dr. Luitgard Schwendenmann yang telah membantu dalam diskusi dan pengumpulan data. Staf STORMA di Palu dan Bogor,para asisten lapangan yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data di lapangan. Dina Mayasari SPi MSi, Anolita Dewi SP MSi, Herna Hamidu, Adnan SP MSi, Moch. Abdul Mukid Ssi.MSi, Riska Hastari dalam pengumpulan dan analisis data. Staf Lab. Analisis Kimia STORMA Palu, Student Office STORMA Palu, Staf Lab Biokimia PAU IPB, Staf Lab. Biokimia Tanah IPB, Staf Bag. Mikroteknik Tumbuhan BIOTROP, Lab.Anatomi dan Fisiologi BDP Faperta IPB, Lab Hama Terpadu Universitas Tadulako yang telah membantu dalam analisis. Bogor, Agustus 2009 Erma Prihastanti
xiii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyumas pada tanggal 19 Februari 1968 sebagai anak sulung dari pasangan Kotjosuchedi dan Soliyah. Pendidikan sarjana ditempuh pada Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1996, penulis diterima di Jurusan Biologi Program pascasarjana UGM dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Biologi diperoleh pada tahun 2005 pada IPB dengan beasiswa BPPS dari DIKTI, dan BMZ dari pemerintah Jerman. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Bilogi FMIPA UNDIP Semarang mulai tahun 1991 sampai sekarang, dan ditempatkan pada laboratorium struktur dan fungsi tumbuhan dan sebagai Tim pengelola Institut Obat dari Bahan Alam Lembaga penelitian UNDIP sampai tahun 2011. Selama S3 di IPB penulis menjadi salah satu mahasiswa yang melakukan penelitian di bawah organisasi “Stability of Rainforest Margins in Indonesia” (STORMA) yang merupakan kolaborasi penelitian antara Institut Pertanian Bogor, Universitas Tadulako Sulawesi Tengah dan Gottingen University serta Kassel University di Jerman. Di samping itu dalam penelitian saya juga mendapat beasiswa dari BBPS Dikti dan BMZ dari pemerintah Jerman. Makalah yang berjudul “Perubahan Struktur dan Kepadatan Trikomata Non Glanduler serta Luas Daun Kakao (Theobroma Cacao L.) Pada Perlakuan Stres Kekurangan Air telah diterbitkan pada Jurnal Sains dan Matematika (Journal of Sciences & Mathematics) Vol 17,No 1, Januari 2009. Masih pada jurnal yang sama ada satu makalah yang sudah siap terbit dengan judul “Measurement Hydraulic Conductivity And Xylem Embolism on Cacao (Theobroma Cacao L. ) Root” pada Oktober 2009. Dua makalah lain yaitu “Remarkable Drought Tolerance Of Cacao Trees (Theobroma Cacao) During A 13-Months Desiccation Experiment In Central Sulawesi, Indonesia” dan “Seasonality of growth, productivity and aboveground/belowground biomass partitioning in a shaded cacao agroforest system in a perhumid climate (Sulawesi, Indonesia)” masih dalam bentuk manuscript sebagai co- author. Kegiatan ilmiah yang pernah diikuti selama S3 di antaranya adalah workshop tentang Suistainable Resource Management Under Global ChangeWhat Can Researchers Tell Decision Makers? yang diselenggarakan oleh Indonesian Institute of sciences (LIPI) dan Stability of Rainforest Margins in Indonesia (STORMA) di Jakarta Februari 2007 dan Simposium Internasional tentang Tropical Rainforest and Agroforests under Global Change sebagai penyaji poster Oktober 2008 di Bali Indonesia. Bogor, Agustus 2009 Erma Prihastanti
xiv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................ Tujuan ............................................................................................. Hipotesis ......................................................................................... Manfaat Penelitian .......................................................................... Novelity Penelitian...........................................................................
1 3 4 4 5
BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian ............................................................................. Waktu Penelitian ............................................................................. Metode Penelitian ...........................................................................
6 8 8
PERUBAHAN STATUS AIR TANAH DAN AKAR SERTA KANDUNGAN PROLINE AKAR KAKAO DAN Gliricidia sepium PADA CEKAMAN KEKERINGAN ...........................................................................................
14
PERUBAHAN NILAI HYDRAULIC CONDUCTANCE DAN PERSENTASE EMBOLISME AKAR KAKAO DAN Gliricidia Sepium PADA CEKAMAN KEKERINGAN .............................................................
35
KANDUNGAN PATI DAN KARBOHIDRAT TERLARUT SERTA PERTUMBUHAN FINEROOT KAKAO PADA CEKAMAN KEKERINGAN .........................................................................................
46
PERUBAHAN KANDUNGAN DAN RESORPSI N DAN P, SPECIFIC LEAF AREA (SLA) SERTA TRIKOMATA DAUN KAKAO PADA CEKAMAN KEKERINGAN ..........................................
56
PEMBAHASAN UMUM .............................................................................
66
SIMPULAN ................................................................................................
76
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
78
xv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Persentase penurunan throughfall pada plot penelitian................
19
2. Lokasi, karakteristik tanah dan klimatologi pada agroforestri kakao di Marena, Sulawesi Tengah ...............................................
20
3. Tekstur tanah dan bulk density pada plot penelitian ......................
21
4. Kandungan C, N dan C/N ratio tanah pada plot penelitian ............
22
5. Potensial air akar kakao dan G. sepium yang diukur pada pukul 04.00-05.00 WITA pada bulan September 2007 .........................
29
6. Kandungan Proline Total akar fineroot kakao dan G. sepium........
30
7. Kandungan Proline Total semai kakao (μg/berat kering) ..............
31
8. Nilai hydraulic conductance akar kakao sebelum dan selama periode roofing (Kg.m.MPa-1.S-1) ...................................................
40
9. Nilai hydraulic conductance akar G. sepium sebelum dan selama periode roofing (Kg.m.MPa-1.S-1) ...................................................
41
10. Persentase Embolisme pada Akar Kakao dan G. sepium .............
41
11. Kandungan karbohidrat terlarut akar semai kakao umur 12 bulan
53
12. Fineroot kakao hidup dan mati (g/m3) sebelum dan selama selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE ........
53
13. Kandungan C, N dan P serta C/N ratio tanah pada kedalaman 20 cm ..................................................................................................
58
14. Kandungan N dan P pada daun kakao selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE .....................................
59
15. Presentase Resorpsi N dan P pada daun kakao ...........................
60
16. Rerata SLA Daun Kakao…………………………… .......................
61
17. Jumlah trikomata daun sun leaves kakao sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan ………………...............................
64
18. Jumlah trikomata daun shade leaves kakao sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan ………………...............................
64
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Peta lokasi penelitian (tanda panah) Desa O’o Kecamatan Kulawi Selatan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah ..........................
6
2. Gambar peta lokasi penelitian yang diambil dari satelit Quickbird pada bulan Mei 2007 ...................................................................
7
3. Skema plot penelitian.....................................................................
9
4. Pembuatan kontruksi dan pemasangan roofing ............................
11
5. Pengukuran throughfall dan cuaca ................................................
13
6. a.Tabung baja, pemukul karet, pipa plastik b. Pengambilan sampel akar c-d. Pemisahan akar dari tanah e. pemasukan tanah ke dalam lubang f. Penandaan lubang tanah dengan pipa plastik.............................................................................................
17
7. Data curah hujan bulanan mulai Februari 2007 (F 07) sampai dengan Mei 2008 di plot penelitian Marena, Sulawesi Tengah .........................................................................................
21
8. Kandungan air tanah (%) pohon kakao ........................................
22
9. Kandungan air tanah (%) pohon G. sepium .................................
23
10. Biomassa fineroot kakao................................................................
24
11. Biomassa fineroot G. Sepium .......................................................
25
12. Sistem perakaran pada pohon G. Sepium .....................................
25
13. Potensial air akar kakao (Bar)........................................................
26
14. Potensial air akar G. sepium (Bar) .................................................
27
15. Sistem Sperry untuk mengukur hydraulic conductivity akar...........
37
16. Nilai hydraulic conductance akar kakao.........................................
39
17. Nilai hydraulic conductance akar G. sepium .................................
40
18. Korelasi antara diameter akar kakao dengan nilai hydraulic conductivity (a) dan korelasi diameter akar dengan persentase embolisme akar kakao (b)..............................................................
43
19. Jaringan xilem pada stele akar kakao dan G. sepium ...................
44
20. Lubang pembuluh membran pada xilem akar kakao dan G. sepium ...........................................................................................
44
xvii
21. a Tabung baja dan pemukul dari karet, b. Pengambilan sampel tanah. c-f Pencucian, g-l Pemisahan,pengeringan dan penimbangan sampel fineroot kakao dan G. sepium.....................
49
22. Kandungan pati fineroot kakao ......................................................
50
23. Kandungan glukosa fineroot kakao................................................
51
24. Kandungan sukrosa fineroot kakao ...............................................
51
25. Letak trikomata pada daun kakao (a) dan trikomata tipe stellate daun kakao ....................................................................................
63
26. Pembentukan trikomata daun kakao .............................................
63
PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu tanaman tahunan paling penting di dunia. Sebanyak 3,5 juta ton biji kakao dunia dihasilkan pada tahun 2006 (ICCO 2007). Kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin (DEPTAN 2006). Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Di Indonesia, tanaman kakao lebih banyak ditanam oleh petani kecil (87%), dengan melibatkan sekitar 1.098.488 kepala keluarga petani, sisanya oleh pihak swasta (5%) dan oleh BUMN (8%) (Damarjati 2005). Kakao banyak ditanam di Pulau Sulawesi seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping itu tanaman ini juga dibudidayakan oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Keberhasilan
perluasan
areal
tersebut
menunjukkan
bahwa
Indonesia
sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia, apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dan agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara baik. Indonesia masih memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk pengembangan kakao yaitu lebih dari 6,2 juta Ha terutama di Papua, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku dan Sulawesi Tenggara. Di samping itu kebun yang telah dibangun masih berpeluang untuk ditingkatkan produktivitasnya karena produktivitas ratarata saat ini kurang dari 50% potensinya (Goenadi et al. 2005). Mulai tahun 2009 pemerintah akan melaksanakan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional di 9 provinsi dan di 40 kabupaten. Gerakan yang dilaksanakan sampai tahun 2011 ini bertujuan untuk mempercepat peningkatan
produktivitas
memberdayakan/melibatkan
dan secara
mutu
kakao
nasional
optimal
seluruh
potensi
dengan pemangku
kepentingan (stakeholder) perkakoan nasional. Indonesia adalah negara produsen kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai Gading, dengan luas areal 1.563.423 ha dan produksi 795.581 ton. Sungguhpun Indonesia dikenal sebagai negara produsen kakao terbesar di dunia, tapi produktivitas dan
2
mutunya masih sangat rendah. Rata-rata produktivitasnya hanya 660 kg/ha, sedangkan Pantai Gading produktivitasnya sudah mencapai 1,5 ton/ha. Tingkat produktivitas saat ini 660 kg/ha atau turun sekitar 40% dari produktivitas yang pernah dicapai yaitu sebesar 1.100 kg/ha/th. Hal ini berarti ada kehilangan hasil sebesar 198.000 ton/th atau setara dengan Rp 3,96 triliyun. Penyebab utama rendahnya produktivitas dan mutu adalah karena serangan hama Penggerek Buah
Kakao
(PBK)
dan
penyakit
Vascular
Streak
Dieback
(VSD)
(http://www.indonesia.go.id/id). Di samping itu faktor penting lain yang berpengaruh terhadap produksi kakao adalah curah hujan (Zuidema et al. 2005). Tanaman kakao menghendaki sebaran hujan yang relatif merata sepanjang tahun tanpa bulan kering. Daerah produsen kakao umumnya memiliki curah hujan antara 1250-3000 mm tiap tahun. Adanya pemanasan global
menyebabkan terjadinya perubahan iklim
seperti terjadinya musim kering yang panjang yang berasosiasi dengan ENSO (El Nino Southern Oscillation). Para ahli klimatologi memperkirakan peristiwa tersebut akan lebih sering terjadi di masa yang akan datang (Nepstad et al. 2007). Penelitian sosio-ekonomi tentang akibat kekeringan yang berasosiasi dengan
ENSO terhadap produksi kakao di Sulawesi Tengah menunjukkan
bahwa peristiwa tersebut dapat menurunkan produksi kakao sebesar 62 % (Keil et al. 2008). Penelitian pengaruh kekeringan karena ENSO secara langsung agak sulit dilakukan, karena hal itu tidak dapat diprediksikan dengan tepat kapan dan dimana terjadinya. Salah satu alternatif untuk melakukan simulasi ENSO adalah dengan
menggunakan
sistem
atap
(roofing)
atau
disebut
throughfall
displacement experiment (TDE) selama periode waktu tertentu. Metode ini sudah banyak dilakukan di negara-negara sub tropika dan tropika, namun di Indonesia sendiri belum pernah dilakukan. Sistem TDE dilakukan dengan cara membuat atap yang dapat dibuka/ditutup dan ditempatkan di bawah kanopi pohon untuk dapat mengurangi infiltrasi air ke dalam tanah sehingga dapat mencerminkan kondisi kekeringan karena lama dan intensitasnya dapat diatur. Selama dekade tahun terakhir ini beberapa penelitian telah dilakukan dengan menggunakan metode ini seperti pada hutan tropis di wilayah Tengah dan Bagian Timur Amazonia (Stokstad 2005). Penelitian tentang respon cekaman kekeringan pada tanaman kakao sudah banyak dilakukan terutama pada tanaman muda/semai. Namun demikian
3
informasi tentang respon tanaman kakao yang telah berproduksi (TM) masih sangat sedikit. Selama ini penelitian yang telah dilakukan pada pohon difokuskan pada status air daun, pertumbuhan dan fenologi daun serta efeknya pada fotosintesis, efisiensi penggunaan air dan konduktansi daun (Wullschleger and Hanson 2006). Pada kenyataannya akar juga memegang peran penting dalam merespon stres kekeringan (Becker and Castillo 1990). Penelitian ini akan lebih banyak difokuskan pada respon sistem perakaran dari tanaman kakao terutama yang disebabkan karena cekaman kekeringan seperti sifat hydraulic conductivity akar. Steudle (2000) menyatakan hydraulic conductivity akar mempunyai respon yang berbeda baik terhadap faktor eksternal seperti kekeringan dan salinitas maupun faktor internal tanaman seperti status nutrien dan status air tanaman; atau kebutuhan air pucuk tanaman. Namun demikian mekanisme peristiwa tersebut masih sangat sedikit yang telah diketahui. Demikian juga perubahan fineroot menyumbang bagian yang penting pada siklus nutrien dalam sistem agroforestri dimana pada sistem tersebut terjadi kompetisi kebutuhan air dan nutrien (Bolte & Villanueva 2006). Pada umumnya tanaman kakao ditanam pada sistem agroforestri dengan beberapa pohon pelindung seperti Gliricidia sepium, kelapa (Cocos sp), kaliandra, dan lain-lain. Pohon pelindung umumnya digunakan untuk mengurangi intensitas cahaya matahari serta penyediaan hara untuk tanaman kakao. Seiring dengan bertambahnya umur tanaman kakao, petani biasanya melakukan pengurangan jumlah pohon pelindung yang ditujukan untuk meningkatkan produksi. Di beberapa daerah banyak pula ditemukan kebun kakao tanpa pohon pelindung. Selama ini belum banyak informasi tentang fungsi pohon pelindung khususnya dalam penyediaan air bagi tanaman kakao saat kondisi lingkungan mengalami cekaman kekeringan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikaji juga beberapa sifat biologi dari pohon G.sepium yang merupakan tanaman pelindung paling dominan di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Penelitian cekaman kekeringan terhadap tanaman kakao dengan sistem TDE ini merupakan bagian
dari penelitian ‘The Sulawesi
Throughfall Displacement Experiment - Ecosystem and Economic responses to ENSO droughts in rainforest and agroforest” dari program penelitian “Stability of Rainforest Margins in Indonesia” (STORMA) yang dibiayai oleh German Research Foundation (DFG-SFB 552).
4
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa respons morfofisiologi tanaman kakao pada sistem agroforestri sebelum dan selama
perlakuan
cekaman kekeringan dengan sistem TDE dengan : 1. Mengkaji perubahan status air tanah dan akar serta kandungan proline akar kakao dan G. sepium 2. Mengkaji perubahan nilai hydraulic conductance dan persentase embolisme akar serta menganalisa anatomi akar dari tanaman kakao dan G. sepium 3. Mengkaji perubahan kandungan karbohidrat (glukosa, sukrosa dan pati), pertumbuhan fineroot 4. Mengkaji perubahan kandungan dan nilai resorpsi N dan P, specific leaf area, tipe dan kerapatan trikomata daun kakao. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini didasarkan pada asumsi bahwa sistem TDE dapat menurunkan infiltrasi air ke dalam tanah sehingga dapat menyebabkan kandungan air tanah turun. Penurunan kandungan air tanah di sekitar tanaman kakao akan mempengaruhi proses-proses fisiologi sehingga dapat menurunkan pertumbuhannya. Manfaat Penelitian Setelah mengetahui sifat
biologi antara pohon kakao dan G. sepium
pada perlakuan cekaman kekurangan air dan fluktuasi musimannya, informasi ini dapat digunakan dalam pengaturan sistem agroforestri kakao khususnya pada saat musim kemarau panjang.
Novelity Penelitian Penelitian
tentang
pengaruh
simulasi
ENSO
terhadap
tanaman
perkebunan agroforestri kakao dengan menggunakan sistem TDE belum pernah dilakukan, hal ini dibuktikan dengan belum didapatkannya suatu publikasi tentang hal ini. Penutupan dengan panel plastik ini meliputi kebun kakao seluas 1 Ha, dan hal ini merupakan penutupan terluas yang pernah dilakukan di dunia. Penelitian tentang cekaman kekeringan pada tanaman kakao sudah banyak dilakukan dan dipublikasikan, tetapi umumnya pada tanaman yang berupa semai. Sementara penelitian
ini dilakukan pada pohon kakao yang
5
berumur 6 tahun (TM) dan pohon pelindung yaitu G. sepium yang berumur 7 tahun di lapangan dengan analisis ekofisiologi. Dari hasil penelitian ini ditemukan fungsi lain tanaman pelindung G. sepium sebagai penyedia air bagi tanaman kakao terutama pada saat kondisi tanah mengalami kekurangan air.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di perkebunan kakao Marena Desa O’o, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Donggala, yang merupakan daerah di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Propinsi Sulawesi Tengah (Gambar 1). Tempat ini berada pada o
koordinat 1.5524
ketinggian 585 m di atas permukaan laut, dengan
Lintang Utara dan 120.0206o Bujur Timur. Sementara
penelitian untuk pengamatan semai kakao dilakukan di daerah Banyumas, Jawa Tengah.
. Gambar 1 Peta lokasi penelitian (tanda panah) Dusun Marena, Desa O’o Kecamatan Kulawi selatan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah
Pemilihan area agroforestri kakao didasarkan pada keseragaman tanaman kakao, lokasi penelitian dekat dengan sumber air (area ini berada 30 m di atas sungai) serta dekat dengan jalan raya (Gambar 2).
7
Gambar 2 Gambar peta lokasi penelitian yang diambil dari satelit Quickbird pada bulan Mei 2007 (tanda panah putih).
Menurut pemilik kebun, pembuatan agroforestri kakao dimulai pada bulan Desember 2000. Sebelumnya area ini digunakan untuk lahan penanaman padi dan jagung. Tanaman kakao yang digunakan berasal bibit kakao yang berasal dari Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Pohon pelindung yang ditanam adalah
G. sepium dan
kelapa dimana keduanya ditanam satu tahun lebih
dahulu sebelum penanaman kakao. Adapun pengurangan jumlah pohon pelindung G. sepium dilakukan mulai tahun ke-6. Pada tahun 2006 jumlah pohon kakao dalam plot penelitian adalah 1030 ± 61 pohon/ha, pohon G.sepium 325 ± 59 pohon/Ha serta kelapa 23 ± 25 pohon/Ha, dengan tinggi pohon kakao 4,5 ±1,1 m, pohon G. sepium 9,5 ± 2,2 m dan kelapa 11,2 ± 2,5 m. Selama penelitian pemangkasan pohon kakao dilakukan pada bulan Juli 2007 dan November 2007. Penggunaan pupuk dan insektisida dihentikan mulai bulan September 2007, namun pengendalian gulma tetap dilakukan.
8
Waktu Penelitian Penelitian dimulai pada bulan
Juni 2006 sampai dengan Mei 2008.
Tahapan penelitian meliputi survey lokasi, pembuatan plot penelitian, pembuatan konstruksi dan panel atap untuk sistem TDE, pembangunan stasiun mikroklimat, pemasangan atap, serta pengukuran variabel. Pengukuran variabel dimulai sebelum periode roofing yaitu pada bulan Desember 2006-Februari 2007. Adapun pengamatan selama periode roofing dilakukan setelah 5-7 bulan dan 13 bulan roofing. Periode 5-7 bulan roofing diduga tanaman telah mengalami cekaman kekeringan ringan, sedangkan periode setelah 13 bulan diduga tanaman telah mengalami cekaman kekeringan yang lebih berat.
Metode Penelitian Penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap. Masing-masing tahap percobaan diuraikan sebagai berikut:
Penentuan dan pembuatan plot penelitian Kurang lebih satu hektare area kebun kakao dengan kemiringan tanah 8o
12 , dibagi menjadi enam plot, sehingga masing-masing plot berukuran 35 m x 40 m. Selanjutnya secara acak ditentukan tiga plot sebagai kontrol (plot non roofing), dan tiga plot ditetapkan sebagai plot roofing. Di dalam setiap plot dibuat tiga buah transek yang dipergunakan sebagai area
pengambilan dan
pengukuran sampel serta penempatan alat-alat untuk mengukur beberapa variabel (Gambar 3).
9
Gambar 3 Skema plot penelitian Pembuatan Konstruksi dan Pemasangan roofing 1. Pembuatan rangka dari bambu dan kayu Pembuatan talang kayu dan rangka
bambu dimulai pada bulan
September 2006 sampai Februari 2007. Tinggi talang kayu dan rangka atap 1,2 m atau disesuaikan dengan bagian bawah kanopi pohon kakao maupun kemiringan tanah
pada plot
penelitian. Fungsi dari talang kayu di samping
10
sebagai saluran air juga merupakan penyangga bagi rangka bambu. Jarak antar talang kayu adalah 4,5 m. (Gambar 4a, 4b). Agar air tidak merembes ke tanah, talang kayu dilapisi dengan plastik Polyethylene. Aliran air dari talang-talang di dalam plot roofing ditampung pada sebuah talang kayu yang besar yang pada akhirnya di keluarkan ke dalam saluran air ke luar plot penelitian (Gambar 4d, 4f, 4h).
2. Pembuatan saluran air Untuk menghindari aliran air masuk dari plot kontrol ke dalam plot roofing, maka di bagian pinggir dari plot roofing dibuat suatu saluran tanah yang dilapisi dengan plastik. Saluran ini mempunyai kedalaman 40 cm yang ditujukan juga untuk mencegah
pengambilan air oleh fineroot yang terdapat pada lapisan
permukaan atas tanah (Gambar 4e). Saluran air ini juga berakhir pada saluran besar yang menuju ke sungai.
3. Pembuatan dan pemasangan panel atap Panel atap terbuat dari panel-panel bambu yang dilapisi dengan plastik Polyethylene (PE) low density. Ukuran panel atap standar adalah 5 m x 0.5 m, disamping itu juga dibuat panel - panel atap yang lebih kecil dengan ukuran 30 cm x 60 cm (atau disesuaikan dengan kebutuhan) (Gambar 4c ). Pemasangan panel atap dimulai pada tanggal 1 Maret 2008. Panel atap dipasang mengikuti arah kemiringan tanah seperti yang terlihat pada Gambar 4. Satu persatu panel standar dipasang di atas rangka bambu (Gambar 4g, 4i). Setelah panel standar terpasang semua baru di pasang panel-panel kecil untuk menutup bagian di sekitar batang pohon.
4. Pemeliharaan rangka serta atap Pemeliharaan rangka dan panel atap mutlak dilakukan selama penelitian. Disamping itu dilakukan pembersihan atap dari serasah daun yang jatuh keatasnya. Kegiatan ini dilakukan rutin satu minggu sekali dalam keadaan tidak hujan (Gambar 4j).
11
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
Gambar 4. Pembuatan kontruksi dan pemasangan roofing 4a-b rangka bambu dan kayu, c panel-panel bambu yang dilapisi dengan plastik PE , 4d, 4f, 4h talang kayu yang dilapisi plastik yang berfungsi sebagai penopang atap dan saluran air, 4e saluran air dengan kedalaman 40 cm yang dilapisi plastik, 4g-4i proses pemasangan atap dan keadaan plot saat atap sudah terpasang sempurna, 4j pemeliharaan konstruksi dan atap.
12
Pengukuran throughfall dan cuaca 1. Pengukuran throughfall Pengukuran throughfall pada plot roofing dilakukan dengan menggunakan corong plastik berdiameter 25 cm. Corong ini diletakan di atas dan di bawah atap. Untuk yang di atas , corong diletakan pada ketinggian 150 cm, sedangkan di bawah atap, corong diletakkan pada ketinggian 50 cm atau disesuaikan dengan tinggi atap. Semua corong dihubungkan dengan slang plastik ke dalam jirigen plastik berukuran 20 liter (Gambar 5a). Letak antar jirigen adalah 5 m, sehingga tiap plot terdapat 42 buah jerigen. Pengukuran throughfall di plot kontrol menggunakan talang plastik berdiameter 25 cm dan panjang 4 m yang diletakkan di bawah kanopi pohon pada ketinggian 50 cm dan 120 cm. Air yang mengalir dari talang tersebut ditampung pada jirigen yang diberi corong plastik. Pada setiap plot kontrol mempunyai 6 buah talang dengan jarak antaranya adalah 15 m (Gambar 5b tanda panah merah). Pengukuran volume air pada jirigen diukur setiap satu minggu sekali atau bila jirigen sudah hampir penuh, dan hal ini sangat tergantung pada tingginya curah hujan. Oleh karena itu pengecekan jirigen dilakukan setiap hari.
2. Pengukuran cuaca Temperatur dan kelembaban di bawah kanopi pohon kakao diukur dengan menggunakan Hobo yang diletakkan pada tiang kayu pada ketinggian 80 cm dan 200 cm (Gambar 5c). Untuk mengukur temperatur dan kelembaban udara serta curah hujan harian di lokasi penelitian dibangun sebuah stasiun cuaca yang terletak 20 m di samping kanan plot penelitian dengan tinggi 5 m (Gambar 5d). Temperatur dan kelembaban udara relatif diukur menggunakan CS 215, Campbell Scientific Inc., Logan, UT USA, sementara curah hujan diukur dengan menggunakan ARG 100, Campbell. Data terekam pada interval waktu lima detik disimpan dalam data logger CR800 (Campbell) setiap 30 menit sekali
13
a
b
c
d
Gambar 5 Pengukuran throughfall dan cuaca. 5a Pengukuran throughfall di atas atap pada plot roofing. 5b Jirigen dan talang plastik untuk mengukur trhroughfall di di plot kontrol (tanda panah merah), 5c Hobo untuk mengukur suhu dan kelembaban di bawah kanopi (tanda panah merah) dan 5d Stasiun cuaca pada plot penelitian (tanda panah merah)
PERUBAHAN STATUS AIR TANAH DAN AKAR SERTA KANDUNGAN PROLINE AKAR KAKAO DAN Gliricidia sepium PADA CEKAMAN KEKERINGAN Pendahuluan Air merupakan salah satu senyawa yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Air dibutuhkan untuk bermacam-macam fungsi tanaman, yaitu : (1) pelarut dan medium untuk reaksi kimia, (2) medium untuk transpor zat terlarut organik dan anorganik, (3) zat yang memberikan turgor pada sel tanaman, (4) hidrasi dan netralisasi muatan pada molekul-molekul koloid, (5) bahan baku untuk fotosintesis, proses hidrolisis dan reaksi-reaksi kimia lainnya dalam tumbuhan, (6) transpirasi untuk mendinginkan tanaman (Gardner et al.1991). Cekaman kekeringan
didefinisikan
sebagai kondisi menurunnya
potensial air tanah sehingga fungsi tanaman di bawah optimum. Cekaman kekeringan merupakan faktor yang paling umum menjadi pembatas untuk pertumbuhan vegetasi tanaman (Kozlowski et al. 1991). Cekaman kekeringan atau “drought stress” dapat terjadi karena beberapa hal yaitu : (1) tingginya kecepatan evapotranspirasi yang melebihi persediaan air tanah ke akar yang akan mengakibatkan penurunan potensial air, (2) adanya senyawa yang bersifat osmotik, seperti pada tanah salin, yang menurunkan pengambilan air sehingga terjadi penurunan potensial osmosis dan menyebabkan akar tidak cukup menyerap air tanah (Borges 2003). Pada keadaan normal tanaman membutuhkan keseimbangan potensial air antara tanah-akar-daun-atmosfir. Keseimbangan ini berarti menunjukkan adanya gradien potensial air antara bagian-bagian tersebut yang memungkinkan tanaman untuk melakukan transpor air dan hara dari akar ke daun. Air akan mengalir dari potensial air tinggi ke potensial air rendah, sehingga potensial air di tanah haruslah lebih tinggi dibandingkan dengan potensial air di akar, daun dan atmosfer yang dipengaruhi oleh proses transpirasi (Taiz & Zeiger 1991). Sedikit saja terjadi ketidakseimbangan air di dalam tubuh tanaman akan mengakibatkan defisit air sehingga menyebabkan terganggunya sejumlah proses selular. Oleh karena itu tanaman harus memelihara perimbangan antara pengambilan dan penguapan air, hal ini menjadi tantangan yang serius bagi tanaman darat (Nobel 1983). Potensial air merupakan ukuran bagi energi bebas air per satuan volume -3
(J.m ). Satuan ini setara dengan satuan tekanan Pascal, yang merupakan
15
satuan ukuran yang umum bagi potensial air. Potensial air menggambarkan tingkat hidrasi tumbuhan, dengan demikian dapat menunjukkan indeks relatif stres air yang dialami tanaman (Tyree & Zimmermann 2002). Adanya cekaman kekeringan akan mengakibatkan rendahnya laju penyerapan air oleh akar tanaman (Kramer & Boyer 1995). Ketidakseimbangan antara penyerapan air oleh akar dan kehilangan air akibat transipirasi dari daun membuat tanaman menjadi layu. Beberapa tanaman dapat mempertahankan tekanan turgor yang tinggi pada potensial air yang agak rendah dengan cara meningkatkan potensial osmotik melalui akumulasi zat terlarut yang meningkat di dalam sel. Proses ini disebut penyesuaian osmotik (osmotic adjustment) atau regulasi osmotik. Adanya penyesuaian osmotik, berarti menjaga turgor sel sehingga berarti pula menjaga integritas dan proses fisiologi sitoplasma. Penyesuaian osmotik berpotensi menjaga proses fotosintesis dan pertumbuhan tanaman (Riduan 2007). Potensial air daun total dapat dipelihara selama cekaman kekeringan sedang, melalui penyesuaian osmotik dengan melibatkan senyawa osmotik kompatibel. Senyawa organik terlarut yang terlibat pada penyesuaian osmotik bervariasi, antara lain gula-gula, asam organik, asam amino, dan senyawa terlarut kompatibel (Sanchez et al. 1998).
Bahan Dan Metode Tanaman kakao berumur kurang lebih 6 tahun (tanaman sudah menghasilkan = TM) serta tanaman G.sepium yang berumur 7 tahun. Semai kakao berumur 12 bulan. Tanaman kakao yang digunakan dalam penelitian ini adalah klon hibrida.
Pengukuran kandungan air tanah Pengukuran kandungan air tanah di sekitar pohon dilakukan dengan menggunakan tensiometer (Tensio 100 UGT WIKAI). Pengukuran kandungan air tanah dilakukan antara jam 12.00-14.00. Cara pengukurannya adalah dengan cara memasukkan dengan hati-hati ujung logam tensiometer ke dalam tanah pada kedalaman 10-15 cm pada jarak 1 m dari
batang pohon. Pengukuran
dilakukan selama kurang lebih 30-60 detik atau sampai jarum penunjuk sudah tidak bergerak lagi. Skala angka yang dipergunakan adalah dalam satuan
16
kikopascal (KPa).
Angka yang didapat dimasukkan dalam rumus : (-0,0663-
0,0063*(1/G2*1000)+0,0007*(1/G2*1000) ^2*100, dimana G2 merupakan angka yang terukur pada tensiometer. Rumus ini merupakan hasil kalibrasi yang dilakukan oleh M.Kohler di Universitas Gottingen, Jerman. Setiap plot dipilih 6 pohon kakao dan 3 pohon G. Sepium, dan masing-masing pohon dilakukan pengukuran sebanyak empat kali yaitu di sebelah utara, selatan, barat dan timur dari pohon tersebut.
Pengukuran pertumbuhan akar Untuk menentukan pertumbuhan biomassa akar kakao dan G. sepium digunakan metode ingrowth. Metode ingrowth digunakan untuk mengetahui pertumbuhan biomasa akar. Alat yang digunakan berupa tabung silinder baja dengan diameter 7 cm (Gambar 6a). Alat tersebut untuk membuat lubang sedalam 20 cm pada tanah (Gambar 6b). Selanjutnya tanah yang ada di dalam tabung
dikeluarkan
dan
diletakkan
di
atas
lembaran
plastik.
Dengan
menggunakan pinset dilakukan pemisahan akar dari tanah. Akar dimasukkan dalam kantong plastik dan disimpan dalam cooler box bersuhu 20 oC. Sementara itu,
tanah yang sudah tidak
lubang
mengandung akar,
dimasukkan lagi ke dalam
semula hingga rapat (Gambar 6e). Untuk memudahkan pengamatan
pada sekeliling lubang diberi tanda dengan pipa plastik berwarna-warni (Gambar 6f).
17
Gambar 6
a
b
c
d
e
f
a.Tabung baja, pemukul karet, pipa plastik b. Pengambilan sampel akar c-d. Pemisahan akar dari tanah e. Pemasukan tanah ke dalam lubang f. Penandaan lubang tanah dengan pipa plastik.
Pengamatan biomassa akar dilakukan dua kali yaitu
setelah 6 bulan
(Agustus 2007) dan 13 bulan perlakuan roofing (Maret 2008), dengan cara memasukkan tabung baja ke dalam lubang yangsama, bertanda pipa plastik warna warni, lalu akar dimasukkan ke dalam plastik dan disimpan pada cooler box dan di bawa ke laboratorium untuk pengamatan. Di laboratorium akar dicuci, setelah itu dilakukan pemisahan antara akar tanaman kakao TM dengan G. sepium maupun akar lain. Akar yang diperoleh dikeringkan pada 60 OC (sampai bobot konstan), kemudian ditimbang.
Pengukuran potensial air akar Potensial air akar pohon kakao dan G. sepium diukur dengan menggunakan Scholander Pressure Bomb (PMS intrument Co, Corvallis Oregon USA) yang dihubungkan dengan tabung udara bertekanan 200 Bar. Pengukuran potensial air akar dilakukan pada pukul 12.00-14.00, saat cuaca cerah. Adapun pengukuran pada saat sebelum matahari terbit (pukul 04.00-05.00 WITA) hanya dilakukan satu kali yaitu pada bulan September 2007.
18
Sampel akar yang diukur potensial air adalah perakaran yang pangkal akarnyanya
mempunyai diameter 3-5 mm. Akar yang telah
diperoleh
dimasukkan dalam plastik rapat dan segera dilakukan pengukuran dengan cara dimasukkan kedalam tutup tabung Scholander. Agar tidak terjadi kebocoran udara diberi perekat yang terbuat dari campuran wax dan karet. Apabila akar sudah terpasang dengan kuat pada tutup tabung, selanjutnya dialirkan udara bertekanan tinggi kedalam tabung tersebut. Setelah tampak titik-titik air pada permukaan potongan akar, aliran udara dihentikan. Nilai tekanan pada saat cairan mulai tampak keluar disebut nilai potensial air akar yang dinyatakan dalam Bar.
Penanaman semai kakao Untuk
mendapatkan
tanaman
kakao
umur
12
bulan
dilakukan
penyemaian biji kakao terlebih dahulu. Biji kakao yang merupakan klon hibrida berasal dari buah kakao dari Desa O,o Kecamatan Kulawi Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Sebanyak 36 tanaman kakao berumur 12 bulan ditumbuhkan pada media tanah dalam polibag berukuran 30 cmx 30 cm x 45 cm. Media terdiri dari campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3 :1. Setiap polibag mempunyai berat media 12 kg. Ada tiga perlakuan kandungan air tanah dalam penelitian ini yaitu 75%, 50% dan 25%. Variabel yang diukur dari percobaan semai adalah kandungan proline total fineroot setelah dua bulan diberi perlakuan cekaman air.
Pengukuran proline total akar Pada penelitian ini, kajian perubahan proline total fineroot kakao dilakukan juga pada semai kakao umur 12 bulan. Hal ini dilakukan karena pada saat pengukuran proline total fineroot tanaman kakao menghasilkan (TM) pada periode lima bulan roofing tidak memperlihatkan perbedaan signifikan antara proline total kakao yang tumbuh di plot kontrol maupun plot roofing. Sampel
fineeroot
diambil
dengan
menggunakan
soil
core
pada
kedalaman tanah 20 cm. Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 12.00 14.00.
Kandungan
proline
bebas
dianalisis
berdasarkan
metode
yang
dikembangkan oleh Bates et al. (1973), dengan menggunakan spektrofotometer Beckman DB-G. Untuk menentukan kadar proline dalam sampel digunakan prolin murni sebagai standar. Asam-ninhydrin disiapkan sebagai pereaksi dengan
19
menghangatkan 1.25 g ninhydrin dalam 30 ml asam asetat glacial dan 20 ml 5 mol asam fosfat dengan cara dipanaskan sampai larut. Kemudian didinginkan dan disimpan pada suhu 4oC pereaksi ini telah siap setelah 24 jam. Kira-kira 0.5 g bahan tanaman diekstraksi dalam 10 ml asam sulfosalisilik 3% dan disaring dengan 2 lembar kertas saring whatman. Sebanyak 2 ml filtrat direaksikan dengan 2 ml asam ninhydrin dan 2 ml asam asetat glacial pada tabung reaksi selama 1 jam pada suhu 100oC, kemudian proses reaksi diakhiri dalam “ice – bath”. Campuran ini selanjutnya diekstraksi dengan 4 ml toluene, dikocok dengan kuat menggunakan ”test tube stirrer” selama 15-20 detik. Kromofor yang mengandung toluene diuapkan, dihangatkan pada suhu kamar. Kemudian diukur absorbansinya pada 520 nm dengan spektrofotometer. Untuk blanko digunakan toluene. Konsentrasi proline ditentukan dari kurva dan dihitung berdasarkan bobot kering.
Hasil Dan Pembahasan Analisa throughfall pada Sistem TDE dan Cuaca di Tempat Penelitian Hasil pengukuran throughfall pada sistem TDE yang dipergunakan untuk simulasi cekaman kekeringan pada agroforestri kakao selama 13 bulan (Maret 2007- Maret 2008) menunjukkan sistem TDE cukup efektif untuk mengurangi infiltrasi air hujan yang jatuh pada agroforestri kakao. Hal itu ditunjukkan dengan persentase penurunan bulan ke 4-13 sebesar 79% (Tabel 1). Tabel 1. Persentase penurunan throughfall pada plot penelitian Bulan ke-
Persentase penurunan throughfall
2 (April 2007)
52%
3 (Mei 2007)
41%
4-13 (Juni 2007-Maret 2008)
79%
Data G.Moser, Oktober 2008, komunikasi pribadi. Secara geografis lokasi penelitian berada pada ketinggian 585 m di atas permukaan laut, jumlah curah hujan 2844 mm per tahun, kelembaban udara rata-rata berkisar 79-84%, suhu udara di atas kanopi pohon rata-rata 24,4oC sedangkan dibawah kanopi pohon suhu udara lebih rendah yaitu 23,4oC (Tabel 2).
20
Tabel 2 Lokasi, karakteristik tanah dan klimatologi pada agroforestri kakao di Marena, Sulawesi Tengah Karakteristik klimatologi dan tanah Altitudea Sudut kemiringan tanaha Tipe tanahb Suhu udara rata-rata c Suhu udara rata-rata di sekitar pohona Suhu udara di Kecamatan Gimpue Kelembaban relatif rata-rata c Curah hujan per tahun c Curah hujan per tahun di Kecamatan Gimpue Keterangan :
585 m d.p.l. 8-12° Cambisol 24,4° C 23,4° C 25,5° C 79,0-84,0 % 2844 mm 2295 mm
a
Data G. Moser : suhu yang diukur dengan sensor Hobo per plot dengan tinggi 1 m dari tanah. Data air hujan diukur dari Maret 2007 sampai Februari 2008 (2008, belum dipublikasikan, komunikasi pribadi)
b
Data tipe tanah (Klasifikasi FAO) dari D. Leitner & M. Bealtzik (2008, belum dipublikasikan, komunikasi pribadi)
d
Data klimat agroforestri Marena periode Februari 2007 sampai Mei 2008 oleh M. Köhler 2008, belum dipublikasikan, komunikasi pribadi.
e
Data iklim periode 2002-2006 di daerah Gimpu (± 5 km dari Marena; 417 m d.p.l.) diukur oleh H. Kreilein, A. Oltchev & G. Gravenhorst (2008, belum dipublikasikan, komunikasi pribadi) Curah hujan yang terjadi dari bulan Februari 2007 sampai Mei 2008
menunjukkan penyebaran curah hujan yang hampir merata sepanjang tahun. Curah hujan yang paling rendah terjadi pada bulan Januari 2008 yaitu 44,18 mm. (Gambar 7). Kondisi curah hujan dapat mendukung pertumbuhan tanaman kakao meskipun curah hujan pada tahun 2007 dapat digolongkan tinggi. Hal ini mendukung pendapat
Witjaksana (1989) yang menyatakan bahwa tanaman
kakao dapat tumbuh baik pada ketinggian sampai 600 m dpl, berkisar 1500-2500 mm per tahun, o
udara ± 25 C.
kelembaban udara
curah hujan
50-60%, serta suhu
21
500 450
Curah Hujan (mm)
400 350 300 250 200 150 100 50 0 F 2007
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
J 2008
F
M
A
M
Bulan
Gambar 7
Data curah hujan bulanan mulai Februari 2007 (F 07) sampai dengan Mei 2008 di plot penelitian Marena, Sulawesi Tengah (Data M.Köhler 2008). Keterangan tanda lingkaran biru menunjukkan pengukuran variabel sebelum dilakukan perlakuan TDE, tanda merah menunjukkan pengukuran variabel setelah perlakuan 5, 6 dan 7 bulan roofing, tanda hijau pada saat pengukuran 13 bulan perlakuan, dan tanda hitam menunjukkan satu bulan setelah pembukaan roofing (khusus untuk pengukuran kandungan air tanah).
Analisa tanah menunjukkan jenis tanah pada lokasi penelitian adalah tipe Cambisol. Analisis pada kedalaman tanah 5 - 250 cm menunjukkan semakin dalam kedalaman tanah, semakin berkurang kandungan liatnya (Tabel 3). Tabel 3
Tekstur tanah dan bulk density pada plot penelitian sebelum perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE Tekstur Tanah (%)
Kedalaman Tanah (cm)
Pasir
Debu
Bulk density Liat
(g cm-3)
5 60,2±3,4 27,0±2,5 12,8±2,2 1,25±0,04$ 10 55,0±2,1 29,7±3,6 15,3±2,4 1,28±0,04$ 20 55,7±0,9 28,2±3,0 16,1±3,5 1,31±0,02$ $ 40 53,9±4,8 26,5±3,3 18,6±2,9 1,32±0,05 75 57,9±2,3 22,8±3,4 19,3±3,3 1,37±0,09$ 150 68,7±5,3 19,4±3,0 11,9±4,4 1,52±0,10$ 250 70,3±7,1* 22,8±6,4* 6,9±2,3* 1,60±0,06 (Data D. Leitner & B. Michalzik, (unpubl.). * n=5; $ n=12, Bulk density data O. van Straaten & E. Veldkamp (unpubl.komunikasi pribadi).
22
Demikian juga kandungan C, N dan C/N ratio tanah semakin menurun dengan semakin bertambahnya kedalaman tanah (Tabel 4). Tabel 4 Kandungan C, N dan C/N ratio tanah pada plot penelitian sebelum perlakuan stres kekeringan Kedalaman Tanah (cm)
N (%)
C (%)
C/N
pH (H2O)
5 0,15±0,02 1,65±0,31 10,9±0,9 5,88±0,35 10 0,11±0,03 1,26±0,40 11,2±0,8 6,00±0,44 20 0,06±0,01 0,70±0,14 10,9±0,6 6,12±0,42 40 0,04±0,003 0,44±0,05 10,2±0,7 5,87±0,20 75 0,03±0,004 0,33±0,04 8,9±0,6 5,86±0,31 150 0,02±0,003 0,19±0,05 6,7±1,1 5,93±0,20 # # # 250 0,02±0,002 0,08±0,01 3,9±0,5 6,08±0,73# # (Data D. Leitner & B. Michalzik, (unpubl.komunikasi pribadi). n=3.
Analisis Kandungan air tanah di sekitar pohon kakao dan G. Sepium Perubahan kandungan air tanah di sekitar pohon kakao dan G.sepium selama cekaman kekeringan dan satu bulan setelah pembukaan atap disajikan pada Gambar 8
Kandungan Air Tanah (% )
40 35 30 25
Kontrol
20
Roofing
15 10 5 0 Juli 07
Maret 08
(5 bulan roofing )
(13 bulan roofing )
Mei 08 (1 bulan setelah pembukaan atap)
Gambar 8 Kandungan air tanah (%) pohon kakao selama dan sesudah perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE Dari hasil analisis statistik terhadap kandungan air tanah (kedalaman tanah 20 cm) di sekitar pohon kakao menunjukkan bahwa perlakuan TDE dan bulan berpengaruh terhadap kandungan air tanah (p =0,0022). Pengukuran kandungan air tanah
di sekitar pohon kakao 5 bulan setelah roofing
menunjukkan plot roofing (20,38±3,67%) lebih rendah daripada plot kontrol
23
(28,89±3,63%) (p= 0,0001). Kandungan air tanah plot roofing 41% lebih rendah dari plot kontrol. Sementara itu, kandungan air tanah pada bulan ke 13 setelah roofing (Maret 2008) juga menunjukkan keadaan yang sama, dimana kandungan air tanah pada plot roofing (21,70±3,63%) masih lebih rendah dari plot kontrol (34,08±2,88%) kandungan air tanah plot roofing 57% lebih rendah dari plot kontrol). Setelah dilakukan pembukaan atap pada plot roofing selama ± satu bulan ( Mei 2008), kandungan air tanah di sekitar pohon kakao pada plot roofing (32,60±1,77%) dan plot kontrol (36,23±1,74%) sama.
Keadaan tersebut
disebabkan karena selama bulan April 2008 curah hujan relatif tinggi yaitu 353,22 mm, sehingga kandungan air tanah di plot roofing naik dan mencapai keadaan yang hampir sama dengan plot kontrol. Perbedaan kandungan air tanah antara
K a n d u n g a n A ir T a n a h (% )
kedua plot hanya 11%.
40 35 30 25
Kontrol
20
Roofing
15 10 5 0 Juli 07
(5 bulan roofing )
Gambar 9
Maret 08 (13 bulan roofing )
April 08 (1 bulan setelah pembukaan atap)
Kandungan air tanah (%) pohon G. sepium selama dan sesudah perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE
Analisis statistik terhadap kandungan air tanah (kedalaman tanah 20 cm) di sekitar pohon G. sepium juga menunjukkan perlakuan TDE dan
waktu
berpengaruh terhadap kandungan air tanah (p =0,0001). Berbeda dengan kandungan air tanah di sekitar pohon kakao, pada bulan ke 5 sesudah roofing kandungan air tanah di sekitar pohon G.sepium masih menunjukkan keadaan yang sama antara plot roofing (22,79±2,67%) dan plot kontrol (25,11±1,32%). Perbedaan kandungan air tanah di kedua plot 10%. Tetapi 13 bulan setelah
24
roofing (Maret 2008),
kandungan air tanah pada plot roofing
lebih rendah
(23,14±3,23 %) dibanding plot kontrol (34,08±2,88 %) (P=0,0001) (perbedaan kandungan air tanah antara kedua plot 47,27%). Sama halnya pada pohon kakao, satu bulan setelah pembukaan atap, kandungan air tanah di sekitar pohon G.sepium juga menunjukkan nilai yang sama antara plot roofing (33,39±1,74%) dan plot kontrol (36,32±1,78%), dimana perbedaan kandungan air tanah kedua plot tersebut adalah 8,7%.
Biomassa akar kakao dan G.sepium Hasil analisis statistik terhadap biomassa akar kakao menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara plot roofing dan kontrol (p= 0,9737), demikian juga biomassa bulan ke 6 dan 13 bulan setelah roofing adalah sama (p=0,4545). Pengamatan setelah 6 bulan roofing (Agustus 2007) pada plot kontrol 31,85±10 g/m3. dan plot roofing biomasa akar kakao 22,74±4,9 g/m3, dan pada bulan ke 13 (Maret 2008) menunjukkan pertumbuhan biomassa akar kakao plot kontrol
Biomasa Fineroot (g/m3)
24,83±4,6 g/m3 dan pada plot roofing 27,24±2,5 g/m3 dan (Gambar 10). 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Kontrol Roofing
Ags 07
(6 bulan roofing)
Maret 08
(13 bulan roofing)
Gambar 10 Biomassa fineroot kakao selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE Hasil analisis statistik terhadap biomassa akar G. sepium menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara plot roofing dan kontrol (p= 0,9737), namun demikian biomassa akar dipengaruhi oleh waktu (p=0,0017) (Gambar 11). Pertumbuhan akar G. sepium pada lapisan tanah 20 cm mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu penelitian, dimana biomasa akar G. sepium setelah 6 bulan (Agustus 2007) pada plot roofing adalah 24,50±4,9 g/m3
25
dan plot kontrol 19,43±10 g/m3. Namun pengamatan setelah 13 bulan (Maret 2008) menunjukkan penurunan yang relatif tajam dimana pertumbuhan akar pada plot roofing adalah 6,16±2,5 g/m3 dan plot kontrol 7,36±4,6 g/m3. Dari pengamatan morfologi perakaran tanaman G. sepium menunjukkan pada lapisan
Biomasa Fineroot (g/m3)
permukaan atas lebih didominasi coarse root (Gambar 12). 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Kontrol Roofing
Ags 07 (6 bulan roofing)
Gambar 11
Gambar 12
Maret 08 (13 bulan roofing)
Biomassa fineroot G. sepium kekeringan dengan sistem TDE
selama
perlakuan
cekaman
Sistem perakaran pohon G Sepium yang telah dibersihkan dari tanah. Tanda panah merah menunjukkan coarse root yang terdapat pada lapisan permukaan.
Analisis potensial air akar kakao dan G.sepium Hasil analisis statistik terhadap potensial air akar kakao menunjukkan perlakuan TDE dan waktu berpengaruh (p = 0,0001). Pengukuran potensial air akar pada kedalaman 20 cm, jam 12.00-14.00 ditunjukkan pada Gambar 13.
26
periode roofing
(sebelum roofing ) (5 bulan )
Feb 07
Juli 07
(6 bulan )
(7 bulan )
Ags 07
Sep 07
(13 bulan )
Mar 08
Pote nsial A ir (B ar)
0 -2
Kontrol
-4
Roofing
-6 -8 -10 -12
Gambar 13
Potensial air akar kakao (Bar) sebelum dan selama kekeringan dengan sistem TDE
cekaman
Dari gambar di atas menunjukkan potensial air akar kakao sebelum pemasangan atap (Februari 2007) menunjukkan nilai yang sama antara plot kontrol (-1,28 ± 0,1 Bar) dan plot roofing (-1,25 ± -0,09 Bar). Pada bulan ke 5 (Juli 2007) nampak bahwa potensial air akar kakao pada plot roofing mulai mengalami penurunan dimana pada plot roofing -3,88 ± -0,28 Bar, sedangkan plot kontrol -1,38 ± -0,1 Bar. Pengukuran bulan ke 6, potensial air akar kakao semakin menurun pada plot roofing (-5,88 ± -0,27) sedangkan potensial air akar tanaman kakao pada plot kontrol -1,51 ± -0,14 Bar. Saat bulan ke 7 (September 2007) terjadi penurunan potensial air akar kakao yang cukup tajam pada pada plot roofing yang mencapai -9,31 ± -0,47 Bar sedangkan pada plot kontrol (- 4,00 ± -0,26 Bar). Sementara itu potensial air akar saat pengukuran bulan ke 13, mengalami kenaikan yaitu -5,60 ± -0,71 Bar pada plot roofing dan -3,21 ± -0,47 Bar pada plot kontrol. Keadaan ini karena ada pengaruh lingkungan dimana curah hujan yang terjadi pada bulan Juli 2007 (116 mm), Agustus 2007 (238 mm) dan September 2007 (210 mm) relatif lebih rendah sehingga air yang ada di dalam tanah juga berkurang. Apabila dalam jangka waktu tertentu tidak ada penambahan air oleh hujan atau irigasi maka tanah akan mengering dan tanaman akan segera memperlihatkan pengaruhnya terhadap kekeringan tersebut. Pada bulan Maret 2008 curah hujan 345,68 mm lebih tinggi daripada
27
Juli, Agustus dan September 2007 sehingga menyebabkan potensial air akar kakao naik. Perubahan potensial air akar
G.sepium nampaknya berbeda dengan
akar kakao (Gambar 14). Hasil analisis statistik terhadap nilai potensial air akar G. sepium menunjukkan tidak dipengaruhi oleh perlakuan TDE (p = 0,1465) hanya dipengaruhi oleh musim (p = 0,0001). Selama penelitian potensial air akar G.sepium antara plot roofing dan kontrol sama. Potensial air akar G. sepium sebelum pemasangan atap (Februari 2007) adalah -1,72 ± -0,12 Bar pada plot kontrol dan -1,39 ± -0,14 Bar pada plot roofing. Sampai bulan ke 5 setelah ternyata nilai potensial air akar G.sepium belum mengalami penurunan dimana pada plot kontrol -1,32 ± -0,2 Bar
dan pada plot roofing
-1,10 ± -0,1 Bar.
Penurunan potensial air akar yang signifikan terjadi pada bulan ke 6 yaitu -2,22 ± -0,32 Bar ( plot kontrol) dan -2,11 ± -1,05 Bar (plot roofing). Potensial air akar G.sepium semakin turun pada bulan ke 7 -4,81 ± -0,86 Bar (plot kontrol) dan 4,89 ± -1,60 Bar (plot roofing). Sedangkan pada bulan ke 13 potensial air akar 3,36 ± -2,31 Bar (plot kontrol), dan -5,07 ± -1,24 Bar (plot roofing).
(sebelum roofing )
periode roofing (5 bulan )
Feb 07
Juli 07
(6 bulan )
Ags 07
(7 bulan )
Sep 07
(13 bulan )
Mar 08
Potensial Air (Bar)
0 Kontrol
-2
Roofing
-4 -6 -8 -10 -12
Gambar 14
Potensial air akar G. sepium (Bar) sebelum dan selama cekaman kekeringan dengan sistem TDE
Apabila ditinjau waktu penurunan potensial air akar, akar tanaman kakao mengalami penurunan lebih dahulu dibandingkan akar G.sepium (pada bulan ke 5 roofing kandungan air tanah di sekitar pohon G.sepium sama antara plot kontrol dan roofing). Demikian juga penurunan potensial air akar pada tanaman
28
kakao juga lebih tajam dibanding G. sepium karena pada saat potensial air akar kakao mencapai -9,31 ± -1,98 Bar potensial air akar G.sepium hanya - 4,85 ± 1,25 Bar. Penurunan potensial air akar kakao pada siang hari signifikan itu
yang cukup
menunjukkan tanaman tersebut telah mengalami cekaman.
Cekaman kekeringan dapat dibagi dalam tiga kelompok, (1) cekaman ringan : jika potensial air daun menurun -0,1 MPa (-10 Bar), (2) cekaman sedang : jika potensial air daun menurun 1,2 – 1,5 MPa dan (3) cekaman berat : jika potensial air daun menurun > 1,5 MPa. Potensial air daun kakao yang terukur berkisar 10 sampai -16 Bar (Data Michael Kohler, komunikasi pribadi), dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa tanaman kakao pada bulan September 2007 mengalami cekaman kekeringan sedang. Menurut Harjadi & Yahya (1988) bahwa cekaman air yang sedikit saja (-1 sampai -3 Bar) cukup menyebabkan pelambatan atau berhentinya pembelahan dan pembesaran sel. Cekaman kekeringan dengan TDE selama 13 bulan juga tidak berpengaruh nyata terhadap produksi buah kakao 10 %. Pada plot roofing produksi buah 10% lebih rendah dibanding plot kontrol. Namun demikian pengamatan produksi buah kakao selama periode rewetting
(Mei 2008) menunjukkan perbedaan nyata dimana produksi buah
kakao pada plot roofing 53% lebih rendah dari plot kontrol (Data Gerald Moser 2008, belum dipublikasikan). Akar kakao pada lapisan tanah 20 cm lebih sensitif terhadap perubahan kandungan air tanah dibanding G.sepium. Pada lapisan tanah 20 cm, air tanah di sekitar perakaran kakao lebih cepat turun, hal itu disebabkan pada lapisan ini merupakan zona perakaran aktif terbanyak
bagi tanaman kakao. Menurut
Zuidema et al. (2005) dan Susanto (1994) akar lateral kakao sebagian besar (sekitar 56%) tumbuh pada lapisan tanah atas sedalam 0-10 cm. Sedangkan 26% pada bagian lapisan yang lebih dalam (11-20 cm), dan sekitar 14% pada bagian yang lebih dalam lagi (21-30 cm), dan hanya sekitar 4,5% tumbuh pada kedalaman lebih dari 30 cm. Dengan demikian berkurangnya kandungan air tanah di sekitar perakaran kakao akan menurunkan kelembaban tanahnya oleh karena itu akar kakao harus mempunyai potensial air akar lebih rendah agar air dari tanah dapat masuk ke dalam akar. Pada saat air tanah di sekitar tanaman kakao berkurang/habis dan air hanya terdapat di lapisan yang lebih dalam lagi, maka akar-akar G.sepium yang masih dapat menyerapnya. Zona penyerapan air pada tanaman G.sepium oleh akar lebih luas dan dalam daripada akar kakao, oleh karenanya kelembaban
29
tanah di lapisan 20 cm penurunannya lebih lambat pada akar G.sepium daripada akar kakao. Fakta tersebut mendukung pendapat Dobrowolski et al. (1990) yang menyatakan bahwa tanaman dengan akar yang lebih dalam dapat mengambil air dari lapisan yang lebih dalam dan memelihara potensial air akarnya lebih tinggi. Meskipun penurunan potensial air pada tanaman kakao cukup signifikan namun potensial air akar kakao pada jam 04.00-05.00 menunjukkan kenaikan (Tabel 5). Pada waktu pagi hari nilai potensial air akar kakao naik hingga < –0,5 Bar, sementara pada jam 12.00-14.00 potensial akar kakao dapat mencapai -10 Bar. Demikian juga yang terjadi pada akar G.sepium, potensial air akarnya juga mengalami
kenaikan,
hanya
saja
potensial
air
akar
pada
siang
hari
penurunannya tidak setajam pada akar kakao. Naiknya potensial air akar pada pagi hari pada tanaman kakao dimungkinkan karena adanya peristiwa nocturnal hydraulic lift dari pohon G.sepium. Tanaman melakukan transpirasi pada waktu siang hari, sementara pada malam harinya ketika transpirasi menurun masih terjadi sisa tarikan transpirasi sehingga terjadi proses nocturnal hydraulic lift. Peristiwa nocturnal hydraulic lift merupakan suatu mekanisme gerakan pasif air pada xilem akar karena adanya perbedaan potensial air tanah. Karena potensial air tanah pada lapisan permukaan atas tanah lebih rendah dari lapisan tanah yang lebih dalam, maka terjadi aliran air dari dalam ke atas. Tabel 5
Potensial air akar kakao dan G. sepium yang diukur pada pukul 04.00 05.00 WITA pada bulan September 2007 Tanaman
Kakao
Plot Kontrol < -0,5 Bar
G sepium
Plot Roofing
(n=5)
< -0,5 – -0,5 Bar (n=5)
<< -0,5 – -0,5 Bar (n=4)
< -0,5 – -0,5 Bar (n=2)
Menurut Richards and Caldwell (1987); Dawson (1993); Yoder & Nowak (1999) hydraulic redistribution oleh akar tanaman biasanya terjadi pada malam hari ketika transpirasi berkurang, oleh karenanya disebut juga nocturnal hydraulic lift. Ditambahkan oleh Richards & Caldwel (1987) akar pohon yang berada di dalam tanah dapat mengangkut air secara hidrolik dari daerah yang letaknya beberapa meter di bawah permukaan tanah ke daerah yang lebih kering di atasnya dengan cara melepaskan air tersebut. Penelitian dari Burgess et al. 1998,; Schulze et al. 1998; Sakuratani et al. 1999; Smith et al. 1999, menunjukkan aliran getah akar tunggang dan akar lateral pohon dapat
30
meredistribusikan air ke arah bawah atau lateral dari lapisan tanah yang lembab ke tanah yang lebih kering. Menurut Amenu & Kumar ( 2007) peristiwa hydraulic redistribution ini dapat juga terjadi dari akar yang berada di lapisan dangkal ke lapisan dalam atau sebaliknya.
Analisis kandungan proline total fineroot kakao TM dan G.sepium Analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan proline total akar kakao dan akar G. sepium tidak dipengaruhi oleh perlakuan TDE (p dan p
akar G. sepium
akar kakao
= 0,1751
= 0,1093), namun dipengaruhi oleh waktu (p = 0,0002 untuk
akar kakao dan G. sepium) (Tabel 6). Tabel 6 Kandungan proline total akar fineroot kakao dan G. sepium (μg/bobot kering) selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE Pohon Kakao G sepium
Juli 07 (5 bulan roofing) Kontrol Roofing 0,47±0,15a 0,44±0,24a 1,75±1,25A 1,70±1,32A
Maret 08 (13 bulan roofing) Kontrol Roofing 3,76±2,56b 6,90±6,77b 11,70±6,73B 7,00±4,79B
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap baris menunjukkan berbeda nyata (Uji DMRT pada p<0,05). Kandungan proline total fineroot kakao maupun G.sepium pada plot roofing maupun kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, meskipun pada plot roofing kandungan air tanahnya lebih rendah dari plot kontrol. Hasil pengukuran kandungan proline total pada bulan ke 5 dari fineroot kakao adalah 0,47±0,15 μg/bobot kering (pada plot roofing) dan 0,44±0,25 μg/berat kering (pada plot kontrol) sedangkan fineroot G.sepium relatif lebih tinggi yaitu 1,75±1,25 μg/bobot kering (pada plot roofing) dan 1,70±1,32 μg/berat kering (pada plot kontrol). Pengukuran kandungan proline total fineroot kakao dan G.sepium pada bulan ke 13, menunjukkan peningkatan yang signifikan dibanding bulan ke 5. Kandungan proline total fineroot kakao meningkat menjadi 3,76±2,55 μg/bobot kering pada plot roofing dan plot kontrol 6,90±6,77 μg/bobot kering, sementara itu pada fineroot G.sepium naik menjadi 11,70±6,73 μg/bobot kering (pada plot roofing) dan 7,00±4,79 (pada plot kontrol). Apabila dilihat dari peningkatan kandungan proline fineroot nampak bahwa fineroot kakao mengalami peningkatan lebih tinggi dibanding fineroot G.sepium. Peningkatan proline total pada fineroot kakao mencapai 11,59 kali,
31
sedangkan pada fineroot G. sepium 5,44 kali. Perbedaan dalam peningkatan proline kedua
kemungkinan menyebabkan perbedaan dalam penyesuaian osmotik pohon
tersebut
sehingga
mempengaruhi
potensial
air
akarnya.
Peningkatan kandungan proline akar kakao yang relatif tinggi diibanding akar G.sepium
menunjukkan
tanaman
kakao
lebih
cepat
merespon
adanya
kekurangan air dibanding akar G.sepium. Kandungan air tanah pada lapisan 20 cm lebih rendah di sekitar akar kakao di banding akar G.sepium. Oleh karenanya potensial air akarnya lebih rendah. Tanaman yang toleran dan bertahan pada kondisi defisit air eksternal akan mempertahankan turgor agar tetap di atas nol, dengan cara potensial air jaringan tetap rendah dibanding potensial air eksternalnya sehingga tidak terjadi plasmolisis (Jones and Turner 1980). Meski demikian tidak semua tanaman mengembangkan penyesuaian osmotik sebagai respon terhadap cekaman kekeringan. Penyesuaian osmotik dipengaruhi oleh laju perkembangan cekaman, tingkat cekaman, kondisi lingkungan dan genotip tanaman. Hal serupa dikemukakan oleh Kirkham (1990) dan Yoshiba et al.(1997) yang menyatakan bahwa proline dijumpai terakumulasi lebih
banyak
pada
tanaman
yang
toleran
terhadap
stres
kekeringan
dibandingkan dengan tanaman yang peka. Pengukuran kandungan proline total fineroot juga dilakukan pada seedling kakao umur 12 bulan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan air tanah yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kandungan proline total fineroot semai kakao (p=0,1577). Namun demikian
kandungan
proline fineroot pada semai kakao (Tabel 7) yang tumbuh pada tanah dengan kandungan air 25% mempunyai proline tertinggi, diikuti oleh kandungan air 50% dan 75%. Tabel 7 Kandungan proline total semai kandungan air tanah yang berbeda
Proline total
kakao (μg/berat kering) pada
Kandungan air tanah 75% 50% 0,26±0,014 10,62± 9,26
25% 15,05± 3,06
Nampaknya penyesuaian osmotik tanaman terhadap adanya stres kekeringan dapat terlihat jelas pada semai kakao. Analisa diatas mendukung pendapat Nabil & Coudret (1995) yang menyatakan bahwa sewaktu tanah menjadi lebih kering, akan menyebabkan potensial air tanah turun, sel-sel hidup
32
akan menyesuaikan status air selnya
dengan cara mengakumulasi senyawa
aktif osmotik yang dapat mereduksi potensial osmotik dan hal ini akan membantu menjaga turgor sel. Sebagai akibat adanya
kenaikan konsentrasi larutan
osmotik, sel akan mempunyai turgor yang lebih tinggi ketika terjadi hidrasi. Ditambahkan oleh Hanson (1980) bahwa kemampuan tanaman merespon kondisi lingkungan yang kurang baik sangat ditentukan oleh spesies dan umur tanaman. Jika dibandingkan dengan proline total fineroot pohon, semai kakao umur 12 bulan (TBM) mempunyai pola yang jelas dimana proline total fineroot meningkat seiring dengan menurunnya kandungan air tanah. Sistem perakaran dan kanopi sangat berbeda antara pada pohon dan semai. Pohon kakao yang berumur 7 tahun mempunyai perakaran yang tersebar sampai kedalaman 160 cm, sehingga bila kekeringan terjadi dipermukaan tanah. Pada semai yang di tanamn dalam pot-pot sistem perakaran menjadi terbatas, oleh karenanya semai terlebih dahulu yang mengalami cekaman. Menurut Lampinen et al. (2007) menyatakan tanaman dewasa seperti pohon berkayu mempunyai sistem perakaran yang lebih banyak dibanding pada tanaman semai pada tanaman tahunan atau setahun, oleh karenanya pohon mempunyai kapasitas yang lebih besar dalam menyimpan nutrien, karbohidrat dan air sehingga lebih toleran terhadap kondisi yang merugikan. Simpulan 1. Cekaman
kekeringan
dengan
menggunakan
menurunkan kandungan air tanah
sistem
dapat
TDE
di sekitar tanaman kakao dan
G.sepium. Selama perlakuan roofing, kandungan air tanah di sekitar tanaman kakao pada plot roofing 41-57% lebih rendah dibandingkan plot kontrol. Sementara itu kandungan air tanah di sekitar tanaman G.sepium pada plot roofing 10-47% lebih rendah dibanding plot kontrol. 2. Penurunan kandungan air tanah kedalaman 20 cm di sekitar tanaman kakao lebih cepat dari kandungan air tanah di sekitar tanaman G.sepium karena air diambil oleh fineroot kakao lebih kuat (Ψ akar kakao lebih negatif),
potensial
pertumbuhannya
air
lebih
yang tinggi
lebih
negatif
(94,52-181,57
ditambah 3
g/m )
dengan
sehingga
akar
menyerap air lebih banyak dan lebih jauh Perakaran G.sepium lebih banyak mati, karena kalah berkompetisi dengan fineroot kakao; suplai air lebih banyak diambil dari lapisan yang lebih dalam.
33
3. Potensial air akar kakao selama roofing menunjukkan penurunan yang signifikan pada plot roofing, sedangkan pada akar G.sepium potensial air akarnya sama antara plot kontrol dan roofing. Nilai potensial air akar kakao terendah -9,31 Bar yang mengindikasikan adanya cekaman kekeringan ringan sedangkan potensial air akar G.sepium terendah adalah -4,81 Bar. 4. Selama cekaman kekeringan kandungan proline total fineroot kakao TM maupun G.sepium pada plot roofing maupun kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Proline total fineroot kakao TM mengalami kenaikan lebih tinggi dibanding fineroot G.sepium. Peningkatan proline total pada fineroot kakao mencapai 11,59 kali, sedangkan pada fineroot G. sepium 5,44 kali. 5. Proline total fineroot semai kakao umur 12 bulan cenderung meningkat seiring dengan menurunnya kandungan air tanah.
PERUBAHAN NILAI HYDRAULIC CONDUCTANCE DAN PERSENTASE EMBOLISME AKAR KAKAO DAN Gliricidia Sepium PADA CEKAMAN KEKERINGAN Pendahuluan Penelitian tentang respon cekaman kekeringan tanaman kakao sudah banyak dilakukan terutama pada semai. Namun demikian informasi tentang respon tanaman kakao menghasilkan (TM) masih
sangat sedikit. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan pada pohon difokuskan pada status air daun, pertumbuhan dan fenologi daun serta efeknya pada fotosintesis, efisiensi penggunaan air dan konduktansi daun (Wullschleger dan Hanson 2006). Pada kenyataannya akar juga memegang peran penting dalam merespon
stres
kekeringan (Becker and Castillo 1990). Pada umumnya tanaman kakao ditanam pada sistem agroforestri dengan beberapa pohon pelindung seperti Gliricidia sepium, kelapa (Cocos sp), kaliandra, dan lain-lain. Kohesi yang merupakan daya tarik menarik antar molekul sejenis ikut berperan dalam pergerakan air dalam lintasan mulai dari tanah, masuk ke epidermis, kortek, dan endodermis, masuk ke jaringan pembuluh akar, naik melalui unsur xilem, masuk ke daun, dan akhirnya ke stomata untuk kemudian ditranspirasikan ke atmosfer. Struktur khusus lintasan ini (diameter kecil dan dinding tebal yang mencegah kempesnya tabung pembuluh), potensial osmotik yang rendah pada sel batang dan daun, serta kemampuan hidrasi dinding sel terutama di daun membuat sistem ini berfungsi (Cruiziat et al. 2002). Studi cekaman kekeringan pada tumbuhan menggaris bawahi pentingnya perubahan adaptif dari sistem pembuluh xilem, yang memaksimalkan absorpsi air dan mengurangi defisist air. Respon plastis xilem terhadap hydraulic conductivity dan kemudahan terjadinya kavitasi dalam cekaman kekeringan mungkin merupakan karakter yang diturunkan. Pengetahuan tentang hydraulic conductivity diperlukan sebagai dasar untuk mempelajari kapasitas xilem seperti aliran mekanik, distribusi dan resistensi serta gradien dari transpor air pada pembuluh xilem. Stres kekeringan direspon oleh tanaman secara teoritis melalui : (1) pengurangan transpirasi dari daun dan (2) menaikkan laju absorpsi air oleh akar. Di antara dua hal itu terbentang jaringan pengangkut air, yaitu xilem yang berperan besar dalam transportasi air dari akar ke daun. Kemampuan melewatkan air dari akar ini
35
(Hydraulic conductivity) dibedakan antara radial hydraulic conductivity dan axial hydraulic conductivity. Hydraulic conductivity dalam penelitian ini yang diukur adalah axial hydraulic conductivity. Axial hydraulic conductivity diukur sebagai laju aliran (massa air per waktu) untuk setiap unit tekanan pada panjang segmen akar tertentu (MPa/m). Jadi hydraulic conductivity -1
ini dinyatakan sebagai
-1
kg.m.MPa .s . Apabila nilai ini dikonversikan untuk setiap luasan yang dilalui air, maka nilai itu disebut specific conductivity. Struktur pembuluh xilem merupakan faktor penting dalam penentuan keberadaan
embolisme yang diinduksi oleh cekaman kekurangan air dan
bervariasi dari satu jenis ke jenis lainnya. Embolisme adalah peristiwa terbentuknya gelembung-gelembung gas berupa uap air dan kemudian menjadi gelembung udara yang terperangkap dalam xilem dan hal ini akan membatasi aliran air yang melewatinya sehingga dapat menurunkan kapasitas tanaman untuk mengangkut air menuju kanopi. Kolom air dalam pipa tegak berukuran besar biasanya mudah membentuk rongga (Tyree et al. 1999). Embolisme terjadi saat tegangan air xilem naik melalui kenaikan transpirasi atau tanah yang kering. Keberadaan embolisme umum terjadi pada kondisi alami, hal ini bisa diketahui dan dihitung dengan berbagai macam metode eksperimen, di antara dengan metode dari Sperry et al. (1988). Embolisme yang ekstrim selain dapat menghambat aliran air dalam kolom itu, juga dapat menyebabkan kematian tajuk, cabang bahkan seluruh tanaman (Tyree et al. 1999). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis respon morfofisiologi tanaman kakao pada sistem agroforestri sebelum dan selama
perlakuan
cekaman kekeringan dengan sistem TDE dengan mengkaji perubahan hydraulic conductivity dan persentase embolisme akar
serta menganalisis anatomi akar
dari tanaman kakao dan G. Sepium menurut metode Sperry et al. 1988.
Bahan Dan Metode Pengukuran nilai hydraulic conductance dan persentase embolisme 1. Pengambilan sampel akar Pengambilan sampel dilakukan pada akar kakao dan G sepium yang mempunyai diameter 3-5 mm. Setiap pohon diambil tiga buah akar yang letaknya berbeda. Akar yang diperoleh dengan cepat dimasukkan ke dalam wadah berisi air. Hal itu dilakukan agar akar tidak terkena emboli dari udara. Selanjutnya akar dibersihkan dan dipotong dengan panjang kurang lebih 20 cm. Potongan akar
36
kemudian dimasukkan ke dalam plastik berukuran 3 cm x 30 cm yang telah diisi air terdeionisasi dan 0.0005% (v/v) ‘micropur’. Sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam container bersuhu 20oC dan dibawa ke laboratorium.
2. Pengukuran nilai hydraulic conductance akar di laboratorium Di laboratorium,
pengukuran hydraulic conductivity dilakukan dengan
menggunakan metode Sperry et al (1988). Gambar 14 memperlihatkan skema peralatan yang digunakan untuk mengukur konduktivitas akar. Prinsip kerja alat ini adalah menggunakan perbedaan gravitasi dan pompa. Seluruh air dalam sistem Sperry ini adalah air deionisasi yang dicampur dengan 0.0005% (v/v) ‘micropur’ serta sudah melewati filter (diameter pori adalah 0.22 μm). Fungsi ‘micropur’ adalah untuk membunuh bakteri dalam air. Sampel akar dari lapangan terlebih dahulu dipindahkan kedalam wadah berisi air (dipilih bagian akar yang tidak rusak). Selanjutnya akar dipotong rata pada ujungnya dengan menggunakan pisau tajam sehingga mempunyai panjang kurang lebih 5 cm (dilakukan pengukuran panjang akar setelah dilakukan pengukuran nilai hydraulic conductance). Bagian proksimal akar dimasukkan ke slang silikon, lalu dijepit pada tabung (adapter) agar tidak terlepas saat dilakukan flushing. Pengukuran nilai hydraulic conductance awal diperoleh dengan mengukur bobot air yang melewati segmen akar selama 5 menit hanya dengan diberi tekanan dari storage tank. Jarak vertikal antara tinggi air di storage tank dan ujung akar adalah 60 cm atau setara dengan tekanan 0,006 MPa. Pengukuran nilai hydraulic conductance awal dilakukan selama 5 menit. Volume air yang keluar melewati segmen akar ditampung dalam collect jar atau E-cup dan kemudian ditimbang bobotnya. Pengukuran nilai hydraulic conductance maksimum dilakukan setelah segmen akar diflushing. Flushing merupakan proses untuk membersihkan sisasisa embolisme dalam xilem akar dengan pemberian tekanan sebesar -0,12 MPa (Sperry et al. 1988).
Setelah flushing dilakukan pengukuran nilai hydraulic
conductance kembali. Proses flushing dilakukan sebanyak 2 kali. Nilai hydraulic conductance tertinggi setelah flushing inilah yang menggambarkan nilai hydraulic conductance maksimum.
37
Adapun rumus yang digunakan untuk perhitungan nilai hydraulic conductance adalah : Hydraulic conductance =
a [kg ] b [m] = kg . m . MPa −1 . s −1 c [MPa ] .d [s ]
[
]
dimana : a
= bobot air yang melewati xylem (kg)
b
= panjang akar (m)
c
= jarak akar dengan air pada tangki (storage tank)
d
= waktu yang diperlukan untuk melewatkan air pada segmen akar (detik) dalam penelitian ini d = 5 menit (300 detik) (Sperry et al. 1988),
Untuk menghitung persentase embolisme digunakan rumus sebagai berikut : Persentase embolisme = 100 (1- Khi/ Khf) dimana, Khi
= Hydraulic conductivity awal
Khf
= Hydraulic conductivity pada flushing maksimum
Gambar 15
Sistem Sperry untuk mengukur hydarulic conductivitance akar (Skema oleh B. Rewald, Gottingen University, Germany)
38
Selanjutnya akar yang telah diukur nilai hydraulic conductance di masukkan ke dalam alkohol 70% untuk selanjutnya dilakukan pengamatan anatomi.
Hasil Dan Pembahasan Analisis nilai hydraulic conductance akar Perubahan
nilai hydraulic conductance akar tanaman kakao pada
kedalaman tanah ± 20 cm sebelum dan selama roofing disajikan pada Gambar 15 dan Tabel 8. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan cekaman kekeringan dengan TDE tidak berpengaruh terhadap nilai hydraulic conductance akar kakao (p = 0,7224) dan G. sepium (p = 0,3857), namun demikian nilai
H y d r a u lic c o n d u c tiv ity (K g .M .M P a - 1 .S - 1
hydraulic conductance dipengaruhi oleh waktu (p = 0,0001).
0,00008 Kontrol
0,00006
Roofing
0,00004 0,00002 0 Des 06
Gambar 16
Feb 07
Jul 07
Sept 07
Maret 08
Nilai hydraulic conductance akar kakao sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan system TDE
Nilai hydraulic conductance akar kakao selama roofing lebih tinggi dari pada periode sebelum roofing (Desember 2006-Februari 2007). Selama periode roofing akar kakao mengalami penurunan hydraulic conductance terutama pada bulan ke 7 (September 2007), hal itu disebabkan kandungan air tanah mulai bulan ke 5-7 (Juli-September 2007) mulai berkurang. Curah hujan pada bulan Juli-Agutus 2007 relatif rendah dibanding curah hujan pada bulan Maret 2008.
39
Hydraulic Conductivity (Kg.M.MPa -1 .S -1 )
0,006 0,005 0,004 Kontrol
0,003
Roofing
0,002 0,001 0 Feb 07
Jul 07
Sept 07
Maret 08
(5 bulan)
(7 bulan)
(13 bulan)
(sebelum roofing )
Gambar 17
(periode roofing )
Nilai hydraulic conductance akar G. sepium sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE
Sementara itu perubahan nilai hydraulic conductivity akar G.sepium mempunyai pola yang berbeda dengan kakao (Gambar 17 dan Tabel 9). Hydraulic conductance akar sebelum roofing (Februari 2007) menunjukkan nilai yang sama dengan pada bulan ke 5 (Juli 2007) dan ke 13 (Maret 2008) roofing. Kenaikan
nilai hydraulic conductance yang tajam terjadi pada bulan ke 7
(September 2007), hal ini berlawanan dengan akar kakao yang justru mengalami penurunan pada bulan itu. Sifat hydraulic conductivity akar mempunyai respon yang berbeda terhadap faktor eksternal seperti kekeringan dan salinitas maupun faktor internal tanaman seperti status nutrien dan status air tanaman atau kebutuhan air dari pucuk tanaman (Steudle 2000). Ditinjau dari nilai hydraulic conductancenya, akar kakao mempunyai kisaran nilai yang lebih rendah. Pengukuran nilai hydraulic conductance pada akar kakao menunjukkan kisaran nilai antara 1,54.10-5 ± 3,4.10-6 – 6,19.10-5 ± 1,3.10-5 Kg.m.MPa-1.S-1 (Tabel 8) Tabel 8 Nilai hydraulic conductance akar kakao sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE (Kg.m.MPa-1.S-1 ) Plot Roofing Kontrol
Des 06
Feb 07
Jul 07
Sept 07
Maret 08
(Sebelum Roofing)
(Sebelum Roofing)
(5 Bln Roofing)
(7 Bln Roofing)
(13 Bln Roofing)
1,54.10-05 -06 ±3,4.10 c -05 1,75.10 -06 ±4,0.10 c
6,19.10-05 -05 ±1,3.10 a -05 4,97.10 -06 ±6,1.10 a
3,21.10-05 -06 ±5,5.10 b -05 3,20.10 -06 ±5,8.10 b
4,11.10-05 -06 ±6,8.10 b -05 2,75.10 -06 ±5,6.10 b
1,98.10-05 -06 bc ±2,7.10 -05 2,62.10 ±2,9.10-06 bc
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap baris menunjukkan berbeda nyata (Uji DMRT pada p<0,05).
40
Sementara itu nilai hydraulic conductance akar G.sepium mempunyai kisaran 2,4.10-5 ± 1,35.10-5 – 4,02.10-3 ± 2,89.10-3 Kg.m.MPa-1.S-1 (Tabel 9). Tabel 9 Nilai hydraulic conductance akar G. sepium sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE (Kg.m.MPa-1.S-1 ) Plot Roofing Kontrol
Feb 07
Jul 07
Sept 07
Maret 08
(Sebelum Roofing)
(5 Bln Roofing)
(7 Bln Roofing)
(13 Bln Roofing)
2,4.10-05 -05 ±1,35.10 b 4,45.10-05 ±1,5.10-05 b
1,22 .10-04 -05 ±9,29.10 b 9,73.10-05 ±2,9.10-05 b
4,02.10-03 -03 ±2,89. 10 a 3,21.10-03 ±1.10-03 a
3,06.10-05 -05 ±3,3.10 b 4,41.10-05 ±1,8.10-05 b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap baris menunjukkan berbeda nyata (Uji DMRT pada p<0,05). Nilai hydraulic conductance yang lebih rendah menunjukkan aliran air yang lebih kecil di dalam xilem akar (Jones 1990). Pada lapisan tanah 20 cm, kandungan air tanah di sekitar tanaman kakao lebih cepat menurun di banding G.sepium. Meskipun aliran air pada akar kakao relatif lambat namun karena sebagian besar perakaran kakao terletak dilapisan atas maka air tanah yang tersedia cepat berkurang. Dan hal tersebut menyebabkan potensial air akar kakao juga lebih rendah dibandingkan akar G.sepium. Pada musim kering, kehilangan konduktivitas xilem mencapai 80% pada siang hari ketika potensial air akar sekitar -26 Bar, dan diperbaiki menjadi 25-49%
pada pagi hari ketika
potensial akar -10 Bar. Pada saat pagi hari potensial air akar lebih rendah dari potensial air tanah dan menjadi lebih negatif lagi dari potensial air tanah pada musim kering (Domec et al. 2005).
Persentase embolisme akar Hasil analisis pada akar kakao dan G.sepium
menunjukkan bahwa
perlakuan TDE tidak berpengaruh terhadap persentase embolisme (p =0,2038) dan G. sepium (p=0,6581) namun dipengaruhi oleh waktu (P=0,0001) (Tabel 10). Tabel 10 Persentase embolisme pada akar kakao dan G. Sepium sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistemTDE Pohon Kakao G. sepium
Des 06 (Sebelum Roofing) Roofing Kontrol 22,89 20,50 ±13,56b ±11,35b
Feb 07 (Sebelum Roofing) Roofing Kontrol 18,71 21,42 ±12,05b ±9,83b 21,36 21,29 ±18,86C ±9,82C
Juli 07 (5 Bln Roofing) Roofing 32,58 ±11,58a 42,52 ±19,31B
Kontrol 36,98 ±18,50a 42,58 ±21,29B
Sept 07 (7 Bln Roofing) Roofing 30,21 ±17,76a 70,53 ±18,25A
Kontrol 44,23 ±21,98a 57,25 ±35,49A
Maret 08 (13 Bln Roofing) Roofing 25,25 ±12,51b 9,89 ±6,41C
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap baris berbeda nyata (Uji DMRT pada p<0,05)
Kontrol 21,39 ±20,78b 14,96 ±14,33C
41
Perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE selama 13 bulan belum menyebabkan perbedaan embolisme yang signifikan pada akar kakao. Persentase embolisme akar kakao yang terjadi pada plot roofing dan plot kontrol relatif sama. Fakta ini juga menujukkan penurunan air tanah pada plot roofing belum menyebabkan peningkatan embolisme akar kakao. Keberadaan embolisme umum terjadi pada kondisi alami. Embolisme sendiri terjadi saat tegangan air xilem naik yang disebakan adanya kenaikan transpirasi atau kondisi tanah yang kering. Pengamatan terhadap fluktuasi embolisme akar tanaman kakao menunjukkan kisaran 18-45% sedangkan pada akar G.sepium mempunyai fluktuasi yang lebih tinggi yaitu 9-71%. Hasil perhitungan persentase embolisme akar kakao menunjukkan embolisme akar sebelum roofing (Desember 2006 dan Februari 2007) sama dengan embolisme yang terjadi pada bulan ke 13. Sementara itu persentase embolisme akar tertinggi terjadi pada bulan ke 5 dan ke 7 (Juli 2007 dan September 2007). Kenaikan persentase embolisme akar kakao pada bulan Juli 2007 dan September 2007 dikarenakan bulan tersebut mempunyai curah hujan yang relatif lebih rendah jika dibanding bulan Februari 2007 dan Maret 2008. Peristiwa embolisme pada tanaman sangat berhubungan dengan struktur pembuluh xilem. Di atas telah diterangkan bahwa ukuran diameter lubang pori xilem pada akar kakao relatif lebih kecil dibanding akar G.sepium. Ukuran pori yang kecil berfungsi dalam meminimalkan pemasukan udara ke dalam xilem akar, sehingga volume air yang melewati relatif stabil. Embolisme sendiri merupakan strategi tanaman untuk membatasi penggunaan air selama kekeringan (Sperry & Ikada 1997). Pada umumnya akar mengalami embolisme karena adanya kekurangan air disekitar perakarannya, dan hal ini dapat berakibat terjadinya gelembung udara pada aliran air didalam xilemnya (Jarbeau et al. 1995).
Analisis Anatomi akar Hasil pengukuran diameter akar kakao yang diukur nilai hydraulic conductance dan persentase embolismenya adalah 2,76 - 5,35 mm. Pengukuran diameter dilakukan untuk mengetahui apakah perbedaan diameter akar berpengaruh terhadap nilai hydraulic conductance dan persentase embolisme akar kakao. Korelasi antara diameter akar kakao dengan nilai hydraulic
42
conductance (r2=0,1161, n=54) dan persentase embolisme (r2=0,0104, n=54), menunjukkan korelasi yang lemah (Gambar 18).
E m b o lis m e ( % )
H ydraulic conductivity -1 -1 ( K g.m.MPa .S )
0.000008 0.000007 0.000006 0.000005 2
0.000004
R = 0.1161
0.000003
100 90 80 70 60 50 40
R2 = 0.0104
30 20 10 0
0.000002 0.000001 0 0
1
2
3
4
5
6
Diameter akar (mm)
(a)
0
1
2
3
4
5
6
Diameter akar (mm)
(b)
Gambar 18 Korelasi antara diameter akar kakao dengan nilai hydraulic conductance (a) dan korelasi diameter akar dengan persentase embolisme akar kakao (b) Dari kenyataan di atas, akar yang mempunyai diameter yang sama belum tentu mempunyai nilai hydraulic conductance dan persentase embolisme yang sama. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Pammenter and Vander Willigen (1998) yang menyatakan bahwa diameter akar tidak selalu menunjukkan diameter xilem. Ukuran xilem lebih ditentukan oleh umur pohon, kemampuan akar dan diameter trakeid. Diameter xilem yang lebih kecil lebih efisien daripada diameter xilem yang lebih besar. Steudle (2000) menyatakan bahwa perubahan pada hydraulic conductivity akar juga ditentukan oleh perkembangan dan umur tanaman. Perubahan nilai hydraulic conductance selama 13 bulan karena cekaman kekeringan pada akar kakao dan G.sepium
ternyata belum menyebabkan
perubahan pada anatomi akarnya. Pengamatan anatomi akar kakao sebelum dan setelah roofing dari akar yang berasal dari plot roofing maupun kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan anatomi akar kakao (n=12 dan G.sepium (n=6)) yang menunjukkan rata-rata rasio area xilem dengan keseluruhan area akar (k) pada akar kakao adalah ± 0,70 sedangkan pada akar G.sepium
± 0,49 (Gambar 19 a-b). Nilai k yang lebih tinggi
menunjukkan akar kakao mempunyai sel-sel xilem yang lebih banyak dari akar G. Sepium.
43
Gambar 19
Jaringan xilem pada stele (garis putih) akar kakao (kiri) dan G. sepium (kanan) (Perbesaran 4 x 10 tanpa zoom)
(a)
(b)
Gambar 20 Lubang pembuluh membran pada xilem (tanda lingkaran putih) akar kakao (a) dan G. sepium (b) Perbesaran 40 x 10 (tanpa zoom) Sementara itu pengamatan terhadap diameter sel-sel xilem akar kakao (n=18) menunjukkan rata-rata sel-sel xilemnya berdiameter ± 1 μ. Panjang pembuluh xilem akar kakao adalah ± 5-10 μ dan diameter lubang pembuluh berkisar ± 0,25 μ (Gambar 20a). Sementara itu sel-sel xilem akar G.sepium (n=12) menunjukkan rata-rata diameter sel xilem akar adalah 1-3 μ, panjang pembuluh ± 15-25 μ serta lubang pembuluh berkisar ± 0,5 μ (Gambar 20b). Xilem akar kakao mempunyai diameter lubang pori lebih kecil dari akar G.sepium. Kenyataan ini mendukung fakta bahwa nilai hydraulic conductance pada akar kakao lebih rendah dari akar G.sepium. Struktur xilem dengan lubang pori yang kecil sangat bermanfaat karena lebih tahan terhadap kekeringan dari pada lubang pori besar. Nampaknya sifat ini merupakan strategi adaptasi tanaman kakao yang kebanyakan akarnya berada pada lapisan tanah atas, dimana pada lapisan ini kandungan air tanahnya mudah sekali mengalami penurunan.
44
Simpulan 1. Cekaman kekeringan dengan sistem TDE tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai hydraulic conductance dan persentase embolisme akar kakao dan G.sepium, namun perubahannya dipengaruhi oleh musim. 2. Nilai hydraulic conductance
akar kakao relatif lebih rendah dibanding
akar G. sepium. Nilai hydraulic conductance pada akar kakao menunjukkan kisaran nilai antara 1,54.10-5 ± 3,4.10-6 - 6,19.10-5 ± 1,3.10-5 Kg.m.MPa-1.S-1 sedangkan akar G.sepium mempunyai kisaran 2,4.10-5 ± 1,35.10-5 - 4,02.10-3 ± 2,9.10-3 Kg.m.MPa-1.S-1. 3. Cekaman kekeringan selama 13 bulan tidak berpengaruh terhadap persentase embolisme akar kakao dan G.sepium. Perubahan pada embolisme
akar
kakao
dan
G.sepium dipengaruhi
oleh
musim.
Embolisme yang terjadi pada akar kakao berkisar 18-45% sedangkan akar G. sepium 9-71%. 4. Cekaman kekeringan tidak berpengaruh terhadap perubahan rasio jaringan perisikel dengan diameter akar (k) pada tanaman kakao maupun G.sepium. Namun dapat diketahui bahwa akar kakao mempunyai sel-sel xilem lebih banyak dibanding akar G.sepium (k akar kakao ± 0,70 dan k akar G.sepium ± 0,49). Diameter sel-sel xilem akar kakao ± 1 μ, panjang pembuluh xilem akar kakao adalah
± 5-10 μ
dan diameter lubang
pembuluh berkisar ± 0,25 μ. Sementara itu sel-sel xilem akar G. sepium menunjukkan diameter sel xilem adalah 1-3 μ, panjang pembuluh ± 15-25 μ serta lubang pembuluh berkisar ± 0,5 μ.
KANDUNGAN PATI DAN KARBOHIDRAT TERLARUT SERTA PERTUMBUHAN FINEROOT KAKAO PADA CEKAMAN KEKERINGAN DENGAN SISTEM TDE Pendahuluan Tanaman merupakan organisme yang sangat penting dalam ekosistem karena dapat menangkap sinar matahari, CO2 dan menyerap air lalu mengubahnya menjadi karbohidrat melalui proses karboksilasi di dalam kloroplas pada proses fotosintesis. Karbohidrat paling penting sebagai cadangan makanan adalah gula, tepung, dekstrin (glukosa residu atau glukosan), inulin (fruktosa residu) dan fruktosa. Polisakarida yang lebih komplek seperti selulosa, hemiselulosa dan pentosa merupakan struktur materi primer dan tidak dapat digunakan sebagai cadangan makanan (Lambers & Pooter 1992). Glukosa, fruktosa dan sukrosa merupakan tiga konstituen cadangan makanan yang paling penting. Glukosa dan fruktosa sering terdapat pada jaringan tanaman sebagai gula bebas. Sukrosa merupakan disakarida yang umum pada tanaman dan sebagai gula utama yang ditranspor dalam tanaman. Pati/tepung merupakan karbohidrat dominan pada banyak spesies tanaman dan dibentuk dari gabungan unit glukosa (Cook & Trlica 2001). Cekaman lingkungan tidak hanya berpengaruh pada produk fotosintat tapi juga pada proses regulasi translokasi karbohidrat dari source ke sink (Chapin III et al. 2004). Akumulasi karbohidrat terlarut terjadi akibat pengaturan sintesis sukrosa dan translokasi untuk pemeliharaan. Pada kasus lain, induksi cekaman meningkatkan karbohidrat yang mencerminkan adaptasi/toleransi terhadap cekaman. Sebagai contoh karbohidrat siklik (cyclitols) terakumulasi selama cekaman kekeringan (Keller & Ludlow 1993; Wanek & Richter 1997). Ketika kekeringan parah akumulasi pati berkurang (Jose et al. 2003) sedangkan alkohol polihidrik linier dan manitol meningkat pada cekaman terhadap salinitas (Pharr et al. 1995). Senyawa-senyawa tersebut secara umum diduga bekerja sebagai larutan kompatibel atau osmoprotektan untuk memenuhi penyesuaian osmotik dari sel tanaman yang terkena cekaman kekurangan air, anti radikal bebas, proteksi dari fotoinhibisi dan detoksifikasi metabolit (Pharr et al. 1995) hal tersebut dapat membantu tumbuhan untuk mempertahankan diri dari cekaman lingkungan. Di samping itu, ada peranan non protektif yaitu berfungsi sebagai cadangan makanan selama cekaman (Hanson & Hitz 1982).
46
Sistem perakaran kakao sangat dangkal, sehingga sangat peka terhadap kekeringan. Hal ini menimbulkan masalah terutama pada saat musim kemarau karena ketersediaan air untuk tanaman kakao berkurang (Abdoellah, 1997). Di bawah cekaman kekeringan, produk dan partisi dari karbohidrat non struktural seperti gula, tepung dan gula alkohol dapat dibentuk melalui beberapa jalur metabolisme (Vyas et al. 1985; Keller & Ludlow 1993; Volaire & Thomas 1995). Menurut Pattana & Madore (1999) perubahan laju pertumbuhan juga menyebabkan perubahan partisi karbon antara source dan sink pada tumbuhan. Beberapa penelitian tentang pengaruh cekaman kekurangan air yang menginduksi stres terhadap kerusakan sistem biosintetis yang dibutuhkan untuk asimilasi fotosintesis karbon dan atau diubah menjadi bentuk metabolit yang siap digunakan.
Kekurangan
air
secara
tidak
langsung
berpengaruh
pada
pertumbuhan fineroot. Pada dasarnya cekaman kekeringan berpengaruh menurunkan kemampuan fotosintesis tanaman, Hal tersebut berpengaruh juga pada alokasi karbon menjadi
karbohidrat di dalam akar yang pada akhirnya
berpengaruh pada pertumbuhan akar-akar baru. Pada penelitian ini, kajian perubahan kandungan glukosa, sukrosa dan pati fineroot kakao dilakukan selain pada tanaman kakao menghasilkan (TM) juga pada semai kakao umur 12 bulan. Hal ini dilakukan karena pada saat pengukuran pati, glukosa dan sukrosa
fineroot tanaman kakao menghasilkan
(TM) pada periode lima bulan roofing tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antara kandungan pati, glukosa dan sukrosa
fineroot total kakao yang
tumbuh di plot kontrol maupun plot roofing.
Bahan Dan Metode Sampel fineroot kakao dan G.sepium yang akan dianalisis kandungan pati, glukosa dan sukrosa diambil dengan menggunakan soil core pada kedalaman tanah 20 cm. Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 12.00-14.00. Sampel yang diperoleh langsung dipanaskan pada suhu 600C selama 60 detik. Pengukuran glukosa dilakukan dengan metode fenol dan untuk sukrosa dilakukan dengan menggunakan metode Lane-Eynon. Penetapan pati digunakan metode hidrolisis asam.
47
Pengukuran fineroot hidup dan mati akar kakao Untuk menentukan fineroot hidup dan mati digunakan metode soil core. Metode ini digunakan untuk mengamati vitalitas fineroot. Alat yang digunakan berupa tabung silinder baja dengan diameter 3,5 cm dan panjang 40 cm. Dengan bantuan pemukul dari karet tabung silinder dimasukkan sedalam 20 cm, kemudian diangkat. Tanah yang berada dalam tabung dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam kantung plastik (Gambar 21 a-b) dan selanjutnya di bawa ke laboratorium di Palu dengan menggunakan cooler box pada suhu 20 oC untuk dilakukan pengamatan. Di laboratorium dilakukan pencucian sampel tanah pada air mengalir. Akar yang berukuran besar
(diameter > 2mm) dibuang. Untuk menghindari
hilangnya akar digunakan ayakan berukuran 0,25 mm X 0,25 mm. Selanjutnya sampel fineroot diamati dan dilakukan pemisahan di bawah mikroskop stereo (Zeiss KL 1500 LCD (W-P1 10XL23). Pengamatan dilakukan untuk membedakan antara fineroot kakao dan G sepium serta fineroot mati dan hidup (Gambar 21 ci). Perbedaan antara fineroot kakao dan G.sepium didasarkan pada warna dan tekstur. Fineroot kakao berwarna kecoklatan dengan tekstur agak keras sedangkan fineroot G.sepium berwarna keputihan sampai kekuningan dengan tekstur lembut. Untuk membedakan akar mati dan hidup digunakan mikropinset dimana akar-akar yang sudah mati akan retak atau hancur bila ditekan dengan alat tersebut. Selanjutnya fineroot yang diperoleh dikumpulkan pada cawan petri yang diberi alas kertas filter Whatman. Akar yang terkumpul dikeringkan pada suhu 60oC dengan oven sampai diperoleh bobot yang konstan. Sampel akar yang sudah kering ditimbang dengan timbangan analitik ( dengan ketepatan 0,0001 g) (Gambar 21 j-l). Pengamatan fineroot kakao dan G.sepium hidup dan mati dilakukan empat kali yaitu pada waktu sebelum periode roofing (Februari 2007) dan selama periode roofing (Juli 2007, September 2007 dan Maret 2008).
48
a
b
d
e
g
h
j
c
f
i
k
l
Gambar 21 a-l a. Tabung baja dan pemukul dari karet, b. Pengambilan sampel tanah. c-l Pencucian, pemisahan, pengeringan dan penimbangan sampel fineroot kakao dan G.sepium.
Hasil dan Pembahasan Perubahan pati, glukosa dan sukrosa pada tanaman kakao TM Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan pati fineroot tanaman kakao tidak dipengaruhi oleh perlakuan TDE (p = 0,0907) namun dipengaruhi oleh waktu (p = 0,0001) (Gambar 22). Nampaknya perubahan pati pada fineroot selama penelitian tidak dipengaruhi oleh cekaman kekeringan.
49
160 140
Pati (ppm)
120 100
Kontrol
80
Roofing
60 40 20 0 Januari 07
Juli 07
Maret 08
(5 bulan)
(13 bulan)
sebelum roofing periode roofing
Gambar 22
Kandungan pati fineroot kakao sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE
Kandungan pati fineroot sebelum periode roofing (Januari 2007) menunjukkan pada plot roofing 136,47±13 ppm sedangkan pada plot kontrol 114,62±4 ppm. Pada bulan ke 5 roofing kandungan pati fineroot
menurun
dimana pada plot roofing 86,13±3,6 ppm dan plot kontrol 88,93±2,9 ppm. Pada bulan ke 13 terjadi kenaikan kandungan pati menjadi 103,12±2,8 ppm pada plot roofing dan 92,53±4,8 plot kontrol. Bila dilakukan perbandingan kandungan pati fineroot sebelum roofing dan pati bulan ke 13, plot roofing mengalami penurunan sebesar 33,35 ppm sedangkan plot kontrol 22,09 ppm. Hal itu menunjukkan tanaman kakao yang hidup pada kondisi tanah yang kekurangan air, kandungan pati finerootnya turun. Hasil
analisis
statistik,
menunjukkan
perlakuan
TDE
dan
waktu
berpengaruh terhadap kandungan glukosa fineroot kakao (p = 0,0151) (Gambar 23), demikian juga hasil analisis statistik terhadap kandungan sukrosa fineroot kakao yang dipengaruh oleh perlakuan TDE dan waktu (p =0,0408) (Gambar 24). Pengukuran kandungan glukosa fineroot sebelum perlakuan roofing (Januari 2007) menunjukkan nilai yang hampir sama antara plot kontrol (23,17±2,4 ppm) dan plot roofing (24,12±1,8 ppm). Pada bulan ke 5 perlakuan roofing (Juli 2007), kandungan glukosa cenderung mengalami penurunan baik pada plot kontrol (19,92±1,6 ppm) dan plot roofing (22,89±1,6 ppm). Pengukuran pada bulan ke 13 (Maret 2008) menunjukkan kandungan glukosa semakin menurun dimana
50
penurunan pada plot roofing (5,02±0,93 ppm) lebih tajam dari pada plot kontrol (10,91±1,8 ppm).
Glukosa (ppm)
30 25 20 15 10
Kontrol Roofing
5 0 Januari 07 sebelum roofing
Juli 07
Maret 08
(5 bulan)
(13 bulan)
periode roofing
Gambar 23
Kandungan glukosa fineroot kakao sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE
Pengukuran kandungan sukrosa fineroot sebelum perlakuan roofing (Januari 2007) menunjukkan nilai yang hampir sama antara plot kontrol (11,14±1,1 ppm) dan plot roofing (11,58±1,5 ppm). Pada bulan ke 5 bulan perlakuan roofing (Juli 2007), kandungan sukrosa cenderung mengalami kenaikan pada plot roofing (13,98±1,3 ppm) sedangkan pada plot kontrol (10,28±1,5 ppm) cenderung menurun. Pengukuran pada bulan ke 13 (Maret 2008) menunjukkan kandungan sukrosa semakin menurun dimana penurunan pada plot roofing (1,49±0,81 ppm) lebih banyak dari pada plot kontrol (5,49±2,4 ppm) (Gambar 24).
Sukrosa (ppm)
25 20 15 Kontrol
10
Roofing
5 0
Januari 07
Juli 07
Maret 08
(5 bulan)
(13 bulan)
sebelum roofing periode roofing
Gambar 24
Kandungan sukrosa fineroot kakao sebelum dan selama selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE
51
Secara umum cekaman kekeringan dengan sistem TDE
menurunkan
kandungan glukosa dan sukrosa. Meskipun pada plot kontrol kandungan glukosa dan sukrosa fineroot juga mengalami penurunan namun penurunan pada plot roofing yang lebih tajam dibanding tanaman pada plot kontrol. Kenyataan ini menunjukkan kondisi tanah yang lebih kering menyebabkan penurunan fotosintat yang lebih banyak. Fakta tersebut menunjukkan defisit air yang terjadi pada tanaman kakao menyebabkan penurunan fotosintesis. Ketersediaan air dalam tanah akan mempengaruhi besarnya potensial air dalam daun. Hal ini berhubungan dengan kombinasi beberapa proses seperti; (1) penutupan stomata secara hidroaktif akan mengurangi suplai CO2, (2) dehidrasi kutikula, dinding epidermis dan membran sel sehingga mengurangi aviditas dan permeabilitas terhadap CO2 (3) bertambahnya tahanan sel mesofil daun terhadap pertukaran gas dan (4) menurunnya efisiensi fotosintesis (Haryadi & Yahya 1987). Pada dasarnya stres kekeringan berpengaruh menurunkan kemampuan fotosintesis tumbuhan, hal tersebut berpengaruh juga pada alokasi karbon menjadi karbohidrat di dalam akar. Menurut Jose et al. (2003) ketika terjadi kekeringan parah akumulasi pati berkurang. Penurunan karbohidrat fineroot kakao menunjukkan bahwa karbohidrat di akar tersebut digunakan untuk pertumbuhan akar baru. Menurut Dickson (1989; 1991) dan Friend et al. (1994) fotosintat yang disimpan
di akar digunakan
sebagai sumber energi untuk pertumbuhan akar.
Perubahan pati, glukosa dan sukrosa pada tanaman semai kakao Analisis glukosa, sukrosa dan pati pada semai kakao disajikan pada Tabel 11. Dari hasil perhitungan statistik, kadar air yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan glukosa (p=0,1214), sukrosa (p=0,6019) maupun pati (p=0,1666) akar semai kakao. Kandungan glukosa dan sukrosa fineroot kakao umur 12 bulan cenderung naik dengan semakin rendahnya kadar air tanah. Sementara itu pati fineroot semai menunjukkan pada kadar air tanah 50% tanaman cenderung mempunyai kandungan pati lebih tinggi dibanding kadar air tanah 75% dan kadar air tanah 25%.
52
Tabel 11
Kandungan karbohidrat terlarut akar pada kadar air tanah yang berbeda
Jenis Karbohidrat (ppm) Pati Glukosa Sukrosa
75% 89,09±7,11 14,81±3,72 9,90±4,12
semai kakao umur 12 bulan
Kadar air Tanah 50% 101,48±4,71 17,27±2,83 11,44±3,66
25% 94,73±11,73 20,28± 0,65 12,78± 2,69
Respon terhadap cekaman kekeringan berbeda antara tanaman kakao umur 7 tahun dengan tanaman kakao umur 12 bulan. Pada seedling kakao, kandungan glukosa dan sukrosa cenderung naik dengan semakin turunnya kandungan air tanah, sementara pada pohon justru mengalami penurunan. Pada seedling, nampaknya senyawa-senyawa seperti glukosa, sukrosa secara umum diduga bekerja sebagai larutan kompatibel atau osmoprotektan untuk memenuhi penyesuaian osmotik dari sel tanaman yang terkena stres kekurangan air, (Pharr et al. 1995) dan hal tersebut dapat membantu suatu tanaman untuk mempertahankan diri dari cekaman lingkungan.
Pertumbuhan fineroot kakao Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan TDE tidak berpengaruh terhadap fineroot kakao hidup (p=0,3761) dan fineroot mati (p=0,1961). Dinamika fineroot hidup dan mati kakao (p=0,0001) ( Tabel 12). Fineroot hidup kakao
dipengaruhi oleh waktu
mengalami kenaikan seiring
dengan bertambahnya waktu. Meskipun secara statistik pertumbuhan fineroot hidup di plot roofing dan kontrol tidak berbeda signifikan, namun bila diamati fineroot hidup kakao di plot roofing relatif lebih tinggi, hal itu terjadi pada saat pengamatan bulan ke 7 dan 13. Tabel 12
Fineroot kakao hidup dan mati (g/m3) sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE Sebelum roofing
Fineroot
Hidup Mati
Roofing
Kontrol
Juli 07 (5 bulan) Roofing Kontrol
94,52 ±2,74b 12,36 ±2,74B
138,31 ±2,74b 10,77 ±2,74B
102,46 ±2,74b 36,54 ±2,74A
Feb 07
145,71 ±2,74b 27,65 ±2,45A
Periode roofing Sept 07 (7 bulan) Roofing Kontrol
Maret 08 (13 bulan) Roofing Kontrol
132,05 ±2,45b 9,88 ±2,74BC
181,57 ±2,74 a 6,47 ±0,71BC
118,72 ±2,45b 4,09 ±2,16BC
165,52 ±2,74a 6,47 ±0,71BC
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap baris berbeda nyata (Uji DMRT pada p<0,05)
53
Pertumbuhan akar dan perluasan sistem perakaran
ditujukan untuk
memperluas daerah penyerapan air. Menurut Bolte & Villanueva (2006) kapasitas pohon dalam menyerap air dan nutrien tergantung beberapa faktor seperti dinamika fineroot (laju kematian dan pertumbuhan fineroot) yang bervariasi sepanjang waktu. Dinamika fineroot menyumbang proposi yang signifikan pada siklus nutrien dalam sistem agroforestri dimana pada sistem tersebut terjadi kompetisi dalam pemenuhan air dan nutrien. Meskipun
kandungan
pati
fineroot
kakao
cenderung
menurun,
nampaknya kondisi ini masih mencukupi untuk proses metabolisme akar. Hal ini terlihat pada pengamatan fineroot mati. Hasil pengamatan pada fineroot mati kakao menunjukkan pada bulan ke 5 menunjukkan kematian yang tertinggi. Namun pengamatan bulan ke 7 dan 13 menunjukkan penurunan kematian fineroot kakao (Tabel 12). Hal itu menunjukkan cekaman kekeringan selama 13 bulan belum menjadi pemicu kematian fineroot kakao. Pada keadaan cekaman kekeringan berat biasanya terjadi kematian akar yang tinggi. Menurut Guo et al. (2004) energi tersimpan seperti pati tersedia digunakan untuk metabolisme pada akar dan perbaikan pertumbuhan daun dengan cepat. Ditambahkan juga bahwa kematian akar sering terjadi jika energi tersimpan dan kapasitas fotosintesis rendah. Menurunnya
kematian
fineroot
kakao
selama
periode
cekaman
kekeringan juga dimungkinkan karena peranan pohon G.sepium. Pada sistem agroforestri kakao, pohon pelindung seperti G.sepium dapat mengurangi sinar matahari yang masuk ke pohon kakao, sehingga kondisi di bawah kanopi pohon kakao menjadi lebih lembab dan temperatur udara juga lebih rendah. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap pertumbuhan fineroot kakao yang sebagian besar terletak di permukaan tanah lapisan atas.
Simpulan 1. Cekaman kekeringan dengan sistem TDE selama 13 bulan tidak mempengaruhi kandungan pati fineroot kakao tapi berpengaruh terhadap penurunan kandungan glukosa dan sukrosa maupun pati fineroot kakao seiring dengan semakin lamanya cekaman diberikan. 2. Kandungan glukosa dan sukrosa fineroot kakao umur 12 bulan cenderung naik dengan semakin rendahnya kadar air tanah. Tanaman dengan
54
kandungan pati fineroot pada kadar air tanah 50% cenderung mempunyai kandungan pati lebih tinggi dibanding kadar air tanah 75% dan 25%. 3. Cekaman kekeringan tidak berpengaruh terhadap fineroot hidup dan fineroot mati kakao TM. Seiring bertambahnya waktu, biomassa fineroot hidup meningkat sedangkan fineroot mati menurun.
PERUBAHAN KANDUNGAN DAN RESORPSI N DAN P, SPECIFIC LEAF AREA (SLA) SERTA TRIKOMATA DAUN KAKAO PADA CEKAMAN KEKERINGAN DENGAN SISTEM TDE Pendahuluan Tanah merupakan sumber alami utama yang menyediakan faktor-faktor eksternal yang mengontrol pertumbuhan seperti udara, air dan hara (Poerwanto 2003). Ketersediaan hara dalam tanah sangat menentukan pertumbuhan dan produktivitas tanaman, karena struktur jaringan tanaman dibentuk dari unsurunsur. Hara tanah yang dapat diserap oleh tanaman hanya dalam bentuk-bentuk tertentu saja dan akan berperan dalam berbagai aktivitas metabolisme. Pengambilan hara dari tanah dibutuhkan untuk mengganti hara yang hilang melalui daun yang luruh. Selain dari tanah, pengambilan hara juga terjadi melalui peristiwa resorpsi di daun. Resorpsi merupakan proses pengambilan kembali hara dari daun sebelum absisi yang kemudian digunakan untuk membangun jaringan seperti daun dan struktur reproduktif ataupun disimpan (Wright & Westoby 2003 ; Bloom et al. 1985; Bormann et al. 1977). Resorpsi dapat terjadi selama daun masih hidup, terutama pada daun yang berubah fungsinya dari pengimpor (sink) menjadi pengekspor (source) (Ackerly & Bazzaz 1995; Hikosaka 1996). Resorpsi hara dari daun senesen merupakan kunci komponen strategi konservasi pada tumbuhan (Milla et al. 2005). Efisiensi resorpsi bervariasi antar tipe habitat. Pada habitat yang miskin hara, waktu tinggal hara diperpanjang melalui umur paruh daun yang panjang (Aerts 1996; Eckstein et al. 1999; Escudero et al. 1992). Lamanya hara berada pada tumbuhan menjadi keuntungan tersendiri pada habitat yang tidak subur (Aert & Van der Peijl 1993). Menurut Boerner (1985) cekaman kekeringan dapat menurunkan efisiensi resorpsi. Pada habitat yang tidak subur, N pada daun tua akan mengalami resorpsi lebih banyak dibanding pada habitat yang subur (Wright & Westoby 2003). Nitrogen (N) dan fosfor (P) mempunyai fungsi yang penting dalam fotosintesis daun, keduanya mempunyai sifat mudah diresorpsi terutama yang diisolir dari daun (Larcher 1995). Persentase dari hara yang diresorbsi, atau efisiensi resorpsi cenderung menunjukkan N > P > K >> Mg > Ca > Mn (Staaf 1982). Cekaman kekeringan dapat berpengaruh terhadap penurunan laju pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan seperti laju perluasan daun (Granier
56
& Tardieu 1999), rontoknya daun atau penundaan pertumbuhan serta pertambahan jumlah daun (Jones 1992), penurunan ketersediaan hara di daerah perakaran (Gutschick & Pushnilc 2005), serta menurunkan hasil (Bray 1997). Salah satu cara untuk mengamati pertumbuhan daun adalah dengan menghitung nilai specific leaf area (SLA) yang merupakan besaran luasan daun per unit massa daun (cm2/g). SLA dapat menggambarkan luas area daun untuk penangkapan cahaya dan CO2 per biomassa daun. Menurut Witkowski & Lamont (1991) ; Wilson et al. (1999) SLA menggambarkan suatu fungsi dari ketebalan dan kepadatan daun. Respon cekaman kekeringan juga dapat diamati dari perubahan trikomata daun. Menurut Bell (1991) salah satu bentuk adaptasi tanaman terhadap cekaman kekurangan air adalah dengan pembentukan struktur trikomata pada lapisan daun. Trikomata mempunyai peranan yang
sangat penting dalam
adaptasi radiasi pada spesies Bromeliaceae melalui strategi ekofisiologi yang berbeda. Salah satu fungsi trikomata adalah mengurangi transpirasi, dengan menyebabkan lembabnya keadaan lingkungan mikro pada daun (Fahn 1979) dan juga sebagai fotoproteksi (Benzing dan Renfrow, 1971; Luttge et al. 1986).
Bahan dan Metode Pengukuran kadar N dan P daun kakao Untuk mengukur kandungan N dan P daun kakao digunakan daun yang telah diukur luas dan bobot kering daunnya. Daun yang telah mencapai bobot kering konstan digiling kemudian dilakukan pengukuran kandungan total N dan P. Pengukuran kadar N dilakukan dengan metode Kjeldhal sedangkan P dilakukan dengan pengestrak Morgan-Wolf. Resorpsi N dihitung dengan rumus dari Singh et al. (2005) yaitu : Resorpsi (%) = N daun dewasa – N daun senesen/ N daun dewasa x 100%. Rumus tersebut juga digunakan dalam penghitungan resorpsi P.
Pengamatan Spesific Leaf Area (SLA) SLA merupakan nisbah antara luas permukaan daun dengan bobot kering daun tersebut. Pengukuran daun dilakukan dengan mengukur luas total daun dengan kertas blok milimeter. Selanjutnya daun dikeringkan dalam oven sehingga mendapat bobot keringnya. Nilai SLA
dinyatakan dalam cm2/g.
57
Pengukuran variabel dimulai sebelum roofing dan selama roofing yaitu pada 5 dan 13 bulan roofing.
Pengamatan Trikomata daun Pengamatan sampel dilakukan pada daun kakao yang akan diamati luas daunnya. Dengan menggunakan cutex bening yang dioleskan pada permukaan atas dan bawah daun kakao. Setelah kuitek mengering
lalu ditutup dengan
selotipe plastik bening. Trikomata yang sudah menempel pada selotip lalu ditempelkan pada gelas objek. Pengamatan jumlah dan tipe trikomata menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 4 x 10. Sampel diamati sebanyak lima kali bidang pandang. Pengukuran variabel dimulai sebelum roofing dan selama roofing yaitu pada 5 dan 13 bulan roofing.
Hasil Dan Pembahasan Analisis Kandungan N dan P kekeringan
tanah dan daun kakao selama cekaman
Hasil analisis kandungan N, P total tanah dan C organik menunjukkan penurunan
seiring dengan bertambahnya waktu penelitian, sementara itu
pengukuran rasio C/N tanah menunjukkan adanya kenaikan selama penelitian (Tabel 13). Tabel 13
Kandungan C, N dan P serta rasio C/N ratio tanah pada kedalaman 20 cm sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE
C organik (%) N total (%) C/N ratio P(ppm) (Mtd Bray I)
Januari 07 (sebelum roofing) Kontrol Roofing 2,37 0,26 9,11 0,48
Maret 08 (13 bulan roofing) Kontrol Roofing 2,51 1,63 0,17 0,12 14,77 13,58 0, 20 0, 59
Hasil analisis statistik terhadap kandungan N dan P daun kakao dewasa dan senesen ternyata tidak dipengaruhi oleh perlakuan TDE dan waktu (P>0,05). Namun demikian kandungan N dan P daun kakao dewasa maupun senesen dari bulan ke 5 dan 13
cenderung menunjukkan adanya penurunan baik pada plot
roofing maupun kontrol (Tabel 14).
58
Tabel 14
Kandungan N dan P pada daun kakao selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE
Kandungan (%) N P Kandungan (%) N P
Daun Dewasa Juli 07 Maret 08 (5 bulan roofing) (13 bulan roofing) Kontrol Kontrol Roofing Roofing 1,64±0,28 1,53±0,24 1,29±0,13 1,24±0,23 0,26±0,05 0,24±0,08 0,19±0,03 0,16±0,04 Daun Senesen Juli 07 Maret 08 (5 bulan roofing) (13 bulan roofing) Kontrol Kontrol Roofing Roofing 0,85±0,09 0,83±0,08 0,64±0,09 0,58±0,08 0,11±0,01 0,11±0,01 0,10±0,02 0,10±0,03
Penurunan kandungan N pada daun dewasa kakao cenderung lebih besar pada tanaman kakao TM yang mendapat cekaman kekeringan. Pada tanah kering, kehilangan ion berlangsung dengan cepat, dan difusi ion ke akar terhambat (Emermen 1996; Caldwell et al. 1998). Kemampuan akar menyerap hara dipengaruhi oleh daya serap akar, kemampuan metralokasikan dari akar ke daun dan kemampuan memperluas sistem perakaran. Marschner (1995) menyatakan di bawah beberapa kondisi iklim, ketersediaan hara pada permukaan tanah (top soil) banyak mengalami kemunduran. Hal tersebut dikarenakan rendahnya kandungan air tanah sehingga menghambat transpor hara ke permukaan akar. Penurunan kandungan N dan P daun ini terjadi karena selama penelitian berlangsung tidak dilakukan pemupukan terhadap tanaman kakao. Unsur hara yang diserap akar berasal dari unsur hara yang sudah ada sebelumnya dan dari proses dekomposisi serasah. Hasil analisis kandungan N , P total tanah dan C organik menunjukkan penurunan
seiring waktu penelitian. Apabila tidak ada
masukan bahan organik ke dalam tanah, terjadi masalah pencucian sekaligus kelambatan penyediaan hara. Pada kondisi seperti ini penyediaan hara hanya terjadi dari mineralisasi bahan organik yang masih terdapat dalam tanah, sehingga mengakibatkan cadangan total C tanah semakin berkurang (Hairiah, 1999). Pada kondisi cekaman kekurangan air yang berat tanaman akan memperlihatkan gejala senesensi dan kerontokan daun yang tinggi. Menurut Grabau (1995) dan Thimann (1980) beberapa faktor yang diketahui dalam proses senesensi adalah faktor genetik, cekaman N, radiasi, temperatur, kekeringan dan
59
patogen. Namun demikian, daun-daun pada tanaman tertentu yang mengalami defisiensi nutrisi masih mampu untuk melanjutkan fotosintesis pada kecepatan tinggi, sehingga pertumbuhan dapat berlangsung secara cepat. Pada keadaan tersebut akan terjadi defisiensi unsur-unsur hara mobil seperti N, P dan K pada daun tua, karena unsur itu ditranlokasikan ke daun muda, sehingga daun-daun muda masih tetap dapat melakukan proses fotosintesis.
Persentase resorpsi N dan P daun kakao selama cekaman kekeringan Setelah diketahui kandungan N dan P pada daun kakao dewasa dan senesen, dengan menggunakan rumus dari Singh et al (2005) dapat ditentukan persentase resorpsi daunnya. Hasil analisis statistik menunjukkan persentase resorpsi N dan P daun kakao tidak dipengaruhi oleh
perlakuan cekaman
kekeringan dengan TDE (p= 0,2380) dan waktu ( p= 0,9227). Tabel 15
Presentase resorpsi N dan P pada daun kakao selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE
Resorpsi (%) N P
Juli 07
Maret 08
(5 bulan roofing)
(13 bulan roofing)
Roofing 46,64±12,18 58,40±6,66
Kontrol 45,05±9,29 44,10±28,55
Roofing 50,63±4,29 47,98±15,64
Kontrol 52,97±6,54 36,64±18,59
Tanaman kakao yang mendapat cekaman kekeringan mempunyai kemampuan resorpsi N 46,64-50,63% dan P 47,98-58,40%, sementara pada plot kontrol kemampuan resorpsi N 45,05-52,97% dan P 36,64-44,10%. Meskipun tidak signifikan namun resorpsi N bulan ke 5 dan 13 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan, dimana pada tanaman kakao yang mengalami cekaman kekeringan peningkatannya lebih sedikit dibanding tanaman pada plot kontrol. Sementara itu resorpsi P pada bulan ke 5 dan 13 cenderung menunjukkan adanya penurunan baik pada plot roofing maupun plot kontrol (Tabel 15). Penurunan resorpsi P cenderung lebih tinggi pada tanaman yang terkena cekaman kekeringan. Menurut Boerner (1985) cekaman kekeringan dapat menurunkan efisiensi resorpsi. Menurut Aerts (1996); Aerts dan Chapin (2000) serta Lambers et al. (1998)
pada umumnya tanaman dapat
memanfaatkan sekitar 5-80% N daun dan 0-95% P daun melalui resorpsi. Proporsi unsur hara yang dimanfaatkan dari daun (efisiensi resorpsi) bervariasi antar spesies dan kondisi lingkungan.
60
Perubahan yang tidak signifikan pada kandungan dan resorpsi N dan P daun kakao, disebabkan belum terjadi penurunan N dan P tanah secara berarti. Pada agroforestri kakao keberadaan
pohon G.sepium mempunyai pengaruh
posistif pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan energi. Pengukuran rasio C/N tanah menunjukkan adanya kenaikan selama penelitian. C/N rasio tanah sebelum penelitian adalah 9,11 sedangkan pada bulan ke 13 naik menjadi 14,77 (plot roofing) dan 13,58 (plot kontrol) (Tabel 13). Rasio C/N tanah tersebut termasuk dalam kategori sedang, dimana kriteria sedang mempunyai kisaran 11-15 (Pusat Penelitian Tanah, 1983). Pada umumnya sistem agroforestri menghasilkan seresah yang dapat menutup permukaan tanah dan lapukannya dapat meningkatkan atau paling tidak mempertahankan kadar bahan organik di lapisan atas tanahnya. Bahan organik dan seresah dapat meningkatkan kehidupan fauna tanah, sehingga dapat memperbaiki struktur dan porositas tanah.
Perubahan Specific leaf area daun kakao selama cekaman kekeringan Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa TDE (p=0,2380) dan waktu (p=0,9955) tidak berpengaruh
terhadap SLA daun kakao (Tabel 16). Hasil
pengamatan terhadap perlakuan cekaman kekeringan dengan TDE dan juga musim yang berbeda juga tidak nyata terhadap SLA daun. Nilai SLA daun kakao menunjukkan nilai yang relatif sama pada waktu sebelum dan selama penelitian, baik pada plot roofing maupun kontrol. Tabel 16 Rerata SLA daun kakao (cm2/g) sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE Sebelum roofing Jan 07
Periode roofing Jul 07 Maret 08 (5 bulan roofing) (13 bulan roofing)
Roofing
Kontrol
Roofing
Kontrol
Roofing
Kontrol
119,12±24,66
126,08±20,08
109,65±19,39
102,81±14,24
120,89±25,97
113,22±18,02
Pada dasarnya nilai indeks luas daun merupakan ukuran perkembangan tajuk yang paling umum, sangat peka terhadap kekurangan air dan hal ini akan mengakibatkan penurunan dalam pembentukan dan perluasan daun dan mempercepat penuaan serta perontokan daun. Menurut Lambers et al. (1998), perluasan daun lebih peka terhadap kekurangan air daripada penutupan stomata atau fotosintesis, dan penuaan daun kurang peka dibanding perluasan daun.
61
Kondisi kekeringan dengan potensial air sel yang lebih rendah, dapat menyebabkan pembesaran sel terbatas sehingga menyebabkan pertumbuhan menurun. Pada umumnya tanaman yang kekurangan P akan menampakkan gejalagejala sebagai berikut : pertumbuhan lambat, lemah dan kerdil, berwarna hijau gelap, terjadi peningkatan pembentukan antosianin, proses pematangan buah dan biji lambat, pembentukan buah dan biji kurang sempurna, jumlah buah dan hasil (Marschner 1995). Pada kondisi defisiensi, penimbunan karbohidrat berlebihan pada sel-sel vegetatif yang berakibat terhadap penimbunan dinding sel, membatasi perubahan protoplasma, sukulensi berkurang, pertumbuhan berkurang. Pertumbuhan suatu tumbuhan harus mempunyai input energi bebas secara terus menerus untuk mensintesis makromolekul dari prekursor sederhana untuk transport aktif ion-ion dan sintesis bahan-bahan lainnya di seluruh bagian tanaman (Olson dan Kurtz 1985). Struktur dan kepadatan trikomata daun kakao daun kakao pada cekaman kekeringan Salah satu bentuk adaptasi tumbuhan terhadap cekaman kekeringan adalah dengan pembentukan struktur trikomata pada lapisan daun. Hasil pengamatan terhadap struktur trikomata daun kakao sebelum dan selama periode roofing menunjukkan tipe trikomanya adalah stellate (bentuk bintang) dan terletak pada tulang daun (Gambar 25a). Trikoma daun kakao mempunyai 8 tangkai apabila telah berkembang sempurna (Gambar 25b). Gambar 26 (a-i) menunjukkan tahapan pembentukan trikomata pada daun kakao. Trikomata stellate sangat bervariasi pada struktur meskipun semuanya berbentuk bintang. Trikomata ini dapat menempel, bertangkai atau berupa lembaran yang jumlahnya lebih dari lima buah ( Metcalfe and Chalk, 1979). Daun pada beberapa tumbuhan tertutup rapat oleh tikomata glanduler dan non glanduler (struktur uniseluler atau multiseluler ) berasal dari sel-sel epidermis (Werker 2000; Bell 1991).
62
(a) Gambar 25
(b)
(a) Letak trikomata pada daun kakao (tanda panah biru) dan (b) Trikomata tipe stellate daun kakao Keterangan : T = Trikomata
Gambar 26 a-i Pembentukan trikoma tipe stellate pada daun kakao
Perkembangan trikomata daun sering dimulai sejak tahapan awal perkembangan daun, kadang-kadang juga sebelum primordium daun dapat dibedakan. Pada beberapa tumbuhan trikomata dapat ditentukan selama diferensiasi daun, atau ketika trikoma baru yang
lain dibentuk pada semua
tahapan perkembangan daun (Turner et al. 2000).Trikomata pada umumnya berasal dari pembelahan asimetris dalam suatu sel induk protodermal tunggal, meskipun dalam beberapa hal, pembelahan pertama dari sel induk adalah simetris. Pada sel-sel rambut dewasa biasanya tanpa protoplasma tetapi
63
seringkali berupa sel-sel yang hidup (Dickison 2000). Luttge et al. 1986 menyatakan bahwa lapisan abaksial pinggiran daun Pitcairnia integrifolia selama musim kering membiaskan cahaya, dan hal ini diduga sebagai bentuk regulasi dari refleksi cahaya.
Kerapatan trikomata pada daun kakao yang ternaungi dan tidak ternaungi Hasil menunjukkan
analisis
terhadap
jumlah
trikomata
daun
tidak
ternaungi
TDE tidak berpengaruh (p= 0,7090), namun dipengaruhi oleh
waktu (p=0,0001). Tabel 17
Jumlah trikomata daun tidak ternaungi kakao (Jumlah trikomata/cm2) sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE
Jan 07 (Sebelum roofing) Kontrol Roofing 3,51 3,06 ±2,44b ±1,55b
Juli 07 (5 bulan roofing) Kontrol Roofing 1,54 1,62 ±1,05c ±1,26c
Maret 08 (13 bulan roofing) Kontrol Roofing 5,97 8,00 ±3,38a ±7,17a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap baris berbeda nyata (Uji DMRT pada p<0,05) Pengamatan kerapatan trikomata selama
daun tak ternaungi kakao sebelum
dan
cekaman kekeringan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata
antara plot roofing dan kontrol. Jumlah trikomata berfluktuasi
dimana
peningkatan yang nyata terjadi setelah 13 bulan perlakuan cekaman kekeringan (Maret 2008) (Tabel 17). Pengamatan terhadap jumlah trikomata daun ternaungi menunjukan TDE (p= 0,8407) dan waktu (p=0,2175) tidak berpengaruh terhadap jumlah trikomata. Sebelum pemasangan dan selama roofing menunjukkan jumlah trikomata daun ternaungi pada plot roofing dan kontrol relatif sama (Tabel 18). Tabel 18 Jumlah trikomata daun kakao ternaungi (Jumlah trikomata/cm2) sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE Jan 07 (Sebelum roofing) Kontrol Roofing 1.03 1,38 ±0,62 ±1,18
Juli 07 (5 bulan roofing) Kontrol Roofing 1,05 0,50 ±0,65 ±0,42
Maret 08 (13 bulan roofing) Kontrol Roofing 0,88 1,07 ±0,67 ±1,18
64
Pengamatan kerapatan trikomata pada daun kakao yang tidak ternauni menunjukkan jumlah yang lebih banyak dibanding pada daun kakao ternaungi (Tabel 17 dan 18). Jumlah trikomata akan lebih banyak menutupi stomata pada daun yang terkena cahaya matahari penuh. Trikomata membantu mengurangi penyerapan radiasi dan panas pada permukaan daun,
menyebabkan
berkurangnya kehilangan air oleh transpirasi karena kelembaban relatif di sekitar permukaan daun meningkat dan menyebabkan perbedaan potensial air antara jaringan daun dengan udara di sekitarnya berkurang (Ehleringer et al. 1976; Vogelmann 1993; Ehleringer 1984).
Simpulan 1. Cekaman kekeringan dengan sistem TDE tidak berpengaruh terhadap kandungan dan resorpsi N dan P daun kakao. Tanaman kakao yang mendapat cekaman kekeringan mempunyai kemampuan resorpsi N daun sebesar 46,64-50,63%, resorpsi P daun 47,98-58,40%, sedangkan pada plot kontrol resorpsi N daun 45,05-52,97% dan resorpsi P daun 36,6444,10%. 2. Cekaman kekeringan selama 13 bulan pada tanaman kakao juga tidak berpengaruh terhadap SLA dan kerapatan trikomata daun.
PEMBAHASAN UMUM Analisa Sistem TDE dan Data Cuaca Pada Tempat Penelitian Penelitian simulasi pengaruh cekaman kekeringan karena ENSO terhadap
tanaman
kakao
pada
agroforestri
kakao
dilakukan
dengan
menggunakan sistem TDE. Sistem TDE dengan menggunakan rangka bambu dan panel plastik di bawah kanopi pohon kakao dan pohon pelindungnya efektif menurunkan volume air hujan yang jatuh ke dalam plot sebesar 79%. Selama penelitian berlangsung, terjadi
curah hujan disertai kelembaban udara yang
tinggi pada lokasi penelitian sehingga panel-panel bambu mudah mengalami pelapukan. Demikian juga, adanya angin yang cukup kencang menyebabkan banyak cabang maupun ranting kayu G. sepium maupun kakao jatuh mengenai panel-panel plastik sehingga menimbulkan kerusakan. Kegiatan penting lainnya dalam pemeliharaan sistem TDE adalah membersihkan daun-daun luruh yang berjatuhan di atas atap maupun yang jatuh kedalam talang kayu atau saluran air. Kegiatan ini mutlak dilakukan setiap hari agar aliran air tidak tertahan. Penggunaan material bambu nampaknya juga kurang efisien dan ekonomis apabila sistem TDE ini digunakan dalam jangka waktu yang panjang (lebih dari 1 tahun) pada daerah hutan tropik basah. Sebaiknya konstruksi atap yang digunakan terbuat dari bahan seperti aluminium atau metal galvanis karena akan lebih kuat dan tahan lama. Sistem TDE dengan konstruksi dari metal galvanis pernah dilakukan oleh Wullschleger dan Hanson (2006) di hutan Eastern Tenesse Amerika Serikat. Keadaan
geografis lokasi dan karakteristik klimatologi di tempat
penelitian yang mempunyai ketinggian 585 m di atas permukaan laut, curah hujan 2844 mm per tahun, kelembaban udara 79 - 84%, suhu udara di atas kanopi rata-rata 24,4oC dan suhu udara di bawah kanopi pohon 23,4oC dapat mendukung pertumbuhan tanaman kakao dengan baik. Jumlah curah hujan turun hampir merata sepanjang tahun dari bulan Februari 2007 sampai Mei 2008. Curah hujan yang paling rendah hanya terjadi pada bulan Januari 2008 yaitu 44,18 mm. Pertumbuhan tanaman kakao membutuhkan sebaran hujan yang merata sepanjang tahun. Witjaksana (1989) yang menyatakan bahwa tanaman kakao dapat tumbuh baik pada ketinggian sampai 600 m dpl, berkisar 1500-2500 mm per tahun, o
suhu udara ± 25 C.
kelembaban udara
curah hujan
50,00-60,00%, serta
66
Respon Morfofisiologi Tanaman Kakao Dan G.sepium Terhadap Cekaman Kekeringan Cekaman
kekeringan
dengan
menurunkan kandungan air tanah
menggunakan
sistem
TDE
dapat
di sekitar tanaman kakao dan G.sepium.
Selama perlakuan roofing, kandungan air tanah di sekitar tanaman kakao pada plot roofing
41-57% lebih rendah dibandingkan plot kontrol. Sementara itu
kandungan air tanah di sekitar tanaman G.sepium pada plot roofing 10-47% lebih rendah dibanding plot kontrol. Namun demikian penurunan kandungan air tanah di sekitar tanaman kakao mengalami penurunan lebih dahulu dibanding kandungan air tanah di sekitar pohon G.sepium. Kandungan air tanah di sekitar tanaman kakao mengalami penurunan pada bulan ke 5 sementara di sekitar G.sepium pada waktu tersebut kandungan air tanah sama antara plot kontrol dan roofing. Pada lapisan tanah kedalaman 20 cm ini merupakan daerah dimana terjadi penyerapan air
terbanyak bagi tanaman kakao, oleh karena itu
kandungan air tanahnya cepat mengalami penurunan. Pada kedalaman tanah 20 cm tanaman kakao mempunyai fineroot hidup lebih tinggi daripada fineroot hidup G.sepium. Fineroot hidup kakao berkisar 94,52-181,57 g/m3 sedangkan fineroot hidup G. sepium 9,24-74,37 g/m3. Di samping itu pertumbuhan fineroot hidup kakao relatif stabil, sedangkan pertumbuhan fineroot hidup G.sepium cenderung menurun seiring dengan pertambahan waktu. Pada lapisan atas perakaran G.sepium lebih didominasi oleh coarse root. Dominansi akar fineroot pada lapisan tanah 20 cm pada tanaman kakao menyebabkan penyerapan air berlangsung lebih cepat sehingga kandungan air tanahnya lebih cepat menurun. Menurut Zuidema et al. (2005) dan Susanto (1994) akar lateral kakao sebagian besar (sekitar 56%) tumbuh pada lapisan tanah atas sedalam 0-10 cm. Sedangkan 26% pada bagian lapisan yang lebih dalam (11-20 cm), dan sekitar 14% pada bagian yang lebih dalam lagi (21-30 cm), dan hanya sekitar 4,5% tumbuh pada kedalaman lebih dari 30 cm. Dengan demikian berkurangnya kandungan air tanah di sekitar perakaran kakao akan menurunkan kelembaban tanahnya. Karena itu akar kakao harus mempunyai potensial air akar lebih rendah agar air dari tanah dapat masuk ke dalam akar. Demikian juga penurunan potensial air akar pada tanaman kakao juga lebih tajam dibanding G. sepium karena pada saat potensial air akar kakao mencapai -9,31 ± -1,98 Bar potensial air akar G.sepium hanya - 4,85 ± -1,25 Bar. Penurunan potensial air akar kakao pada siang hari yang cukup signifikan itu
menunjukkan tanaman tersebut telah mengalami cekaman. Cekaman
67
kekeringan dapat dibagi dalam tiga kelompok, (1) cekaman ringan : jika potensial air daun menurun -0,1 MPa (-10 Bar), (2) cekaman sedang : jika potensial air daun menurun 1,2 – 1,5 MPa dan (3) cekaman berat : jika potensial air daun menurun > 1,5 MPa. Potensial air daun kakao yang terukur berkisar -10 sampai -16 Bar (Data Michael Kohler, komunikasi pribadi), dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa tanaman kakao pada bulan September 2007 mengalami cekaman kekeringan sedang. Penurunan potensial air akar kakao pada siang hari
cukup signifikan
mencapai -10 Bar. Hal itu menunjukkan tanaman tersebut mengalami cekaman sedang. Bila tanaman mengalami cekaman air yang sangat berat deferiansi organ-organ baru
dan perluasan organ-organ yang sudah ada yang akan
terpengaruh pertama kali. Penutupan stomata
merupakan mekanisme utama
yang mengurangi fotosintesis karena cekaman kekeringan (Haryadi & Yahya, 1988; Salisbury & Ross, 1995). Dari pengamatan nilai potensial air akar kakao dan G. Sepium pada pagi hari (pukul 04.00-05.00) kenaikan hingga mencapai nilai < –0,5 Bar. Naiknya potensial air akar pada pagi hari pada tanaman kakao dimungkinkan karena adanya peristiwa nocturnal hydraulic lift dari pohon G.sepium. Tanaman melakukan transpirasi pada siang hari, sementara pada malam harinya ketika transpirasi menurun masih terjadi sisa tarikan transpirasi sehingga terjadi proses nocturnal hydraulic lift. Peristiwa nocturnal hydraulic lift merupakan suatu mekanisme gerakan pasif air pada xilem akar karena adanya
perbedaan
potensial air tanah. Dengan potensial air tanah pada lapisan permukaan atas tanah lebih rendah dari lapisan tanah yang lebih dalam, maka terjadi aliran air dari bawah ke atas. Dari fakta di atas dapat diketahui bahwa ada peranan penting dari tanaman pelindung G.sepium khususnya dalam menyediakan air bagi tanaman kakao saat kandungan air tanah di sekitar akar kakao berkurang. Apabila tanaman kakao dibudidayakan secara tunggal kemungkinan penurunan potensial air akar lebih banyak lagi karena tidak ada penyediaan air dari lapisan tanah yang lebih dalam. Menurut Richards and Caldwell (1987); Dawson (1993); Yoder & Nowak (1999) hydraulic redistribution oleh akar tanaman biasanya terjadi pada malam hari ketika transpirasi berkurang, oleh karenanya disebut juga nocturnal hydraulic lift. Ditambahkan oleh Richards & Caldwel (1987) akar pohon yang berada di dalam tanah dapat mengangkut air secara hidrolik dari daerah yang letaknya
68
beberapa meter di bawah permukaan tanah ke daerah yang lebih kering di atasnya dengan cara melepaskan air tersebut. Penelitian dari Burgess et al. 1998, 2001; Schulze et al. 1998; Sakuratani et al. 1999; Smith et al. 1999, menunjukkan aliran getah akar tunggang dan akar lateral pohon dapat meredistribusikan air ke arah bawah atau lateral dari lapisan tanah yang lembab ke tanah yang lebih kering. Menurut Amenu & Kumar ( 2007) menyatakan peristiwa hydraulic redistribution ini dapat juga terjadi dari akar yang berada di lapisan dangkal ke lapisan dalam atau sebaliknya. Berdasarkan sifat hydraulic conductivity dan persentase embolisme akar, baik tanaman kakao maupun G.sepium berfluktuasi karena perubahan musim. Perubahan nilai hydraulic conductance akar
belum menunjukkan pola yang
jelas, hal itu terlihat dengan naiknya nilai hydraulic conductance justru pada saat kandungan air tanahnya menurun. Penelitian ini belum dapat menjelaskan hubungan
antara faktor keadaan cuaca atau kandungan air tanah dengan
fluktuasi nilai hydraulic conductance akar tanaman kakao maupun G.sepium. Meskipun demikian diperoleh informasi bahwa akar kakao mempunyai
nilai
hydraulic conductance relatif lebih kecil dibanding akar G. sepium. Nilai hydraulic conductance pada akar kakao menunjukkan kisaran nilai antara 1,75.10-5 ± 1,68.10-5 - 6,19.10-5 ± 5,38.10-5 Kg.m.MPa-1.S-1 sedangkan akar G.sepium mempunyai kisaran 2,4.10-5 ± 1,35.10-5 - 4,02.10-3 ± 2,9.10-3 Kg.m.MPa-1.S-1. Nilai hydraulic conductance menggambarkan kemampuan akar pohon kakao menyalurkan air lebih kecil dibanding pohon G. sepium. Pohon kakao tumbuh dibawah pohon G. Sepium, hal ini akan menyebabkan naiknya kelembaban dan turunnya suhu di sekitar pohon kakao sehingga laju transpirasinya lebih kecil. Menurut Jones (1990) hydraulic conductance yang lebih rendah menunjukkan laju volume air yang lebih rendah. Meskipun aliran air pada akar kakao relatif lambat namun karena sebagian besar perakaran kakao terletak di lapisan atas maka air tanah yang tersedia cepat berkurang. Dan hal tersebut menyebabkan potensial air akar kakao juga lebih rendah dibanding akar G.sepium. Pengamatan terhadap anatomi akar menunjukkan akar kakao mempunyai sel-sel xilem yang lebih banyak dari akar G. Sepium. Di samping itu xilem akar kakao mempunyai
diameter lubang pori lebih kecil dari akar G.sepium,
kenyataan ini mendukung fakta bahwa nilai hydraulic conductance pada akar kakao lebih rendah dari akar G.sepium. Struktur xilem dengan lubang pori yang
69
kecil pada tanaman kakao hanya mampu mensuplai air sedikit, yang menjadi kendala fisiologis tanaman kakao. Nampaknya sifat ini merupakan strategi adaptasi tanaman kakao yang kebanyakan akarnya berada pada lapisan tanah atas, dimana pada lapisan ini kandungan air tanahnya mudah sekali mengalami penurunan. Pada kedalaman tanah 20 cm embolisme yang terjadi pada akar kakao berkisar 18 - 45% sedangkan akar G. sepium 9 - 71%. Nampaknya kondisi tersebut belum menunjukkan terganggunya suplai air ke pucuk tanaman yang nyata akibat embolisme akar, apalagi pada G.sepium yang mampu mengambil air dari lapisan tanah lebih dalam. Cekaman kekeringan dapat terjadi secara sektoral dimana ada satu zona akar yang mengalami kekurangan air, tetapi akar yang lain berada pada suplai air yang melimpah. Secara visual kondisi kanopi kedua pohon tersebut belum mengalami tanda-tanda adanya cekaman kekurangan air secara nyata. Embolisme sendiri merupakan strategi tanaman untuk membatasi penggunaan air selama kekeringan (Sperry & Ikeda,1997). Pada umumnya akar mengalami embolisme karena adanya kekurangan air di sekitar perakarannya, dan hal ini dapat berakibat terjadinya gelembung udara pada aliran air di dalam xilemnya (Jarbeau et al. 1995). Kandungan proline total fineroot kakao maupun G.sepium pada plot roofing maupun kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Meskipun pada plot roofing kandungan air tanahnya lebih rendah dari plot kontrol. Apabila dilihat dari peningkatan kandungan proline fineroot nampak bahwa fineroot kakao mengalami peningkatan lebih tinggi dibanding fineroot G.sepium. Peningkatan proline total pada fineroot kakao mencapai 11,59 kali, sedangkan pada fineroot G. sepium 5,44 kali. Perbedaan dalam peningkatan proline
kemungkinan
menyebabkan perbedaan dalam penyesuaian osmotik kedua pohon tersebut sehingga mempengaruhi potensial air akarnya. Peningkatan kandungan proline akar kakao yang relatif tinggi diibanding akar G.sepium menunjukkan tanaman kakao lebih cepat merespon adanya kekurangan air dibanding akar G.sepium. Kandungan air tanah pada lapisan 20 cm lebih rendah di sekitar akar kakao di banding akar G.sepium. Oleh karenanya potensial air akarnya lebih rendah. Tanaman yang toleran dan bertahan pada kondisi defisit air eksternal akan mempertahankan turgor agar tetap di atas nol, sehingga potensial air jaringan harus tetap rendah dibanding potensial air eksternalnya supaya tidak terjadi plasmolisis (Jones and Turner 1980).
70
Secara umum cekaman kekeringan menurunkan kandungan glukosa dan sukrosa maupun pati fineroot. Meskipun pada plot kontrol kandungan glukosa dan sukrosa maupun pati fineroot juga mengalami penurunan namun penurunan pada plot roofing yang
lebih tajam dibanding tanaman pada plot kontrol.
Karbohidrat pada fineroot kakao nampaknya digunakan untuk pertumbuhan akar dan perluasan sistem perakaran. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan fineroot hidup kakao
seiring dengan bertambahnya waktu. Hasil penelitian terhadap
produksi buah kakao menunjukkan cekaman kekeringan dengan TDE tidak berpengaruh nyata hal ini ditunjukkan pada produksi buah kakao di plot roofing hanya 10% lebih rendah dibanding plot kontrol. Namun demikian pengamatan produksi buah kakao selama periode rewetting
(Mei 2008) menunjukkan
perbedaan nyata dimana produksi buah kakao pada plot roofing 53% lebih rendah dari plot kontrol (Data Gerald Moser 2008, belum dipublikasikan). Meskipun terjadi penurunan karbohidrat fineroot akar, namun tidak diikuti oleh peningkatan kematian fineroot kakao. Hal itu menunjukkan cekaman kekeringan selama 13 bulan belum menjadi pemicu kematian fineroot kakao. Pada keadaan cekaman kekeringan berat biasanya terjadi kematian akar yang tinggi. Menurut Guo et al. (2004) bahwa energi tersimpan seperti pati tersedia digunakan untuk metabolisme akar dan perbaikan pertumbuhan daun dengan cepat. Ditambahkan juga bahwa kematian akar sering terjadi jika energi tersimpan dan kapasitas fotosintesis rendah. Menurunnya kematian fineroot kakao selama periode cekaman kekeringan juga dimungkinkan karena peranan pohon G.sepium. Pada sistem agroforestri kakao, pohon pelindung seperti G.sepium dapat mengurangi sinar matahari yang masuk ke pohon kakao, sehingga kondisi di bawah kanopi pohon kakao menjadi lebih lembab dan suhu udara juga lebih rendah. Hal ini ditunjukkan suhu udara rata-rata di plot penelitian 24,4o C sedangkan di bawah pohon 23,4o C. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap pertumbuhan fineroot kakao yang sebagian besar terletak di permukaan tanah lapisan atas. Hasil analisis kandungan N, P total tanah dan C organik menunjukkan penurunan
seiring dengan bertambahnya waktu penelitian, sementara itu
pengukuran rasio C/N tanah menunjukkan adanya kenaikan selama penelitian. Cekaman kekeringan tidak berpengaruh terhadap kandungan dan resorpsi daun kakao. Namun demikian penurunan kandungan N pada daun dewasa kakao cenderung lebih besar pada tanaman kakao TM yang mendapat
cekaman
71
kekeringan. Pada tanah kering, kehilangan ion berlangsung dengan cepat, dan difusi ion ke akar terhambat. Kemampuan akar menyerap hara dipengaruhi oleh daya serap, kemampuan menstralokasikan dari akar ke daun dan kemampuan memperluas sistem perakaran. Marschner (1995) menyatakan di bawah beberapa kondisi iklim, ketersediaan hara pada permukaan tanah (top soil) banyak
mengalami
kemunduran.
Hal
tersebut
dikarenakan
rendahnya
kandungan air tanah sehingga menghambat transpor hara ke permukaan akar. Tanaman kakao yang mendapat cekaman kekeringan mempunyai kemampuan resorpsi N daun sebesar 46,64 - 50,63%, resorpsi P daun 47,98 58,40%, sedangkan pada plot kontrol resorpsi N
daun 45,05 - 52,97% dan
resorpsi P daun 36,64 - 44,10%. Proporsi unsur hara yang dimanfaatkan dari daun (efisiensi resorpsi) bervariasi antar spesies dan kondisi lingkungan. Perubahan yang tidak signifikan dari kandungan dan resorpsi N dan P daun kakao, disebabkan belum terjadi penurunan N dan P tanah secara berarti. Pada agroforestri kakao keberadaan
pohon G.sepium mempunyai pengaruh pada
lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan energi. Pengukuran rasio C/N tanah menunjukkan adanya kenaikan selama penelitian. Pada umumnya sistem agroforestri menghasilkan seresah yang dapat menutup permukaan tanah dan lapukannya dapat meningkatkan atau paling tidak mempertahankan kadar bahan organik di lapisan atas tanahnya. Bahan organik dan seresah dapat meningkatkan kehidupan fauna tanah, sehingga dapat memperbaiki struktur dan porositas tanah. Berdasarkan nilai SLA daun kakao menunjukkan nilai yang relatif sama pada waktu sebelum dan selama penelitian. Demikian juga kerapatan trikomata pada daun kakao yang ternaungi dan daun yang tidak ternaungi kakao tidak menunjukkan perbedaan antara tanaman kakao yang mengalami cekaman kekurangan air dan tidak. Trikomata pada daun kakao ternaungi relatif sama jumlahnya sepanjang waktu penelitian, sedangkan trikomata daun yang tidak ternaungi berfluktuasi dan meningkat dengan semakin lamanya waktu penelitian. Jumlah trikomata pada daun kakao yang tidak ternaungi juga lebih banyak daripada daun yang ternaungi. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa daun kakao belum mengalami perubahan morfologi yang berarti dalam rangka proses adaptasi karena adanya stres kekurangan air. Respon tanaman terhadap cekaman kekeringan tergantung pada jumlah air yang hilang. Tingkat kerusakan
72
ditentukan oleh lama cekaman kekeringan, macam spesies dan genotip tanaman, umur dan fase perkembangan, tipe organ dan tipe sel (Bray,1997).
Respons fisiologi semai kakao umur 12 bulan terhadap cekaman kekeringan Respons fisiologi yang ditunjukkan oleh tanaman kakao umur 7 tahun (TM) berbeda dengan respons pada semai kakao yang berumur 12 bulan yang ditanam pada polibag. Jumlah defisit (cekaman) air yang dialami tanaman pada kondisi yang berbeda akan menunjukkan pengaruh yang berbeda pula. Tanaman kapas yang ditumbuhkan pada ”growth chamber” potensial daun -16 Bar yang mengakibatkan menutupnya stomata, namun bila ditanam pada lapangan terbuka potensial daunnya dapat mencapai -27 Bar dan belum menunjukkan menutupnya stomata (Yahya 1982 dalam Jumin, 1992). Kandungan proline total fineroot pada semai kakao cenderung meningkat dengan semakin menurunnya kandungan air tanah. Semai kakao yang ditanam pada
polibag
Nampaknya
mempunyai
penyesuaian
keterbatasan osmotik
dalam
tanaman
kekeringan dapat terlihat jelas pada semai
pertumbuhan
terhadap
adanya
akarnya. cekaman
kakao. Menurut Nabil & Coudret
(1995) menyatakan sewaktu tanah menjadi lebih kering, akan menyebabkan potensial air tanah tersebut turun, sel-sel hidup akan menyesuaikan status air selnya
dengan cara mengakumulasi senyawa aktif osmotik yang dapat
mereduksi potensial osmotik dan hal ini akan membantu menjaga turgor sel. Sebagai akibat adanya
kenaikan konsentrasi larutan osmotik, sel akan
mempunyai turgor yang lebih tinggi ketika terjadi hidrasi. Kandungan glukosa dan sukrosa fineroot seedling kakao umur 12 bulan cenderung naik dengan semakin rendahnya kandungan air tanah. Sementara itu fineroot seedling pada kandungan air tanah 50%
cenderung mempunyai
kandungan pati lebih tinggi dibanding kandungan air tanah 75% dan 25%. Pada semai kakao, kandungan glukosa dan sukrosa cenderung naik dengan semakin turunnya kandungan air tanah, sementara pada pohon justru mengalami penurunan. sukrosa
Pada semai, nampaknya senyawa-senyawa seperti glukosa, secara umum diduga bekerja sebagai larutan kompatibel atau
osmoprotektan untuk memenuhi penyesuaian osmotik dari sel tanaman yang terkena stres kekurangan air, (Pharr et al. 1995) dan hal tersebut dapat membantu suatu tanaman untuk mempertahankan diri dari cekaman lingkungan.
73
Umur tanaman yang berbeda menyebabkan respon yang berbeda pula. Tanaman kakao umur 7 tahun lebih tahan terhadap cekaman kekurangan air dari pada semai
kakao. Menurut Lampinen et al. (2007), tanaman dewasa
seperti pohon berkayu mempunyai sistem perakaran yang lebih banyak dibanding pada tanaman semai pada tanaman tahunan atau setahun. Oleh karenanya pohon mempunyai kapasitas yang lebih besar dalam menyimpan nutrien, karbohidrat dan air sehingga lebih toleran terhadap kondisi yang merugikan. Ditambahkan oleh Hanson (1980) bahwa kemampuan tanaman merespon kondisi lingkungan yang kurang baik sangat ditentukan oleh spesies dan umur tanaman.
Peranan G.sepium pada budidaya kakao Secara umum respon fisiologi tanaman kakao yang mengalami cekaman kekeringan dengan sistem TDE menunjukkan adanya cekaman sedang, hal itu dapat terlihat pada perubahan potensial air akar, penurunan karbohidrat fineroot akar, maupun dari penurunan kandungan N dan P daun. Demikian juga produksi buah kakao dari tanaman kakao yang mengalami cekaman kekeringan produksinya 10% lebih rendah dari tanaman pada plot kontrol (Data G.Moser 2008, komunikasi pribadi). Cekaman yang lebih berat pada tanaman kakao TM mungkin saja dapat terjadi apabila tanaman kakao ini dibudidayakan secara monokultur (tanpa pohon pelindung). Dari beberapa sifat biologis tanaman G.sepium nampaknya tanaman ini mempunyai sifat yang menguntungkan bagi tanaman kakao seperti perakaran yang dalam mencapai 275 cm (Data G.Moser 2008, komunikasi pribadi) sehingga dapat menyediakan air bagi tanaman kakao dengan proses nocturnal hydraulic lift; sistem kanopi yang dapat menyebabkan naiknya kelembaban dan turunnya suhu udara bagi tanaman kakao di bawahnya serta serasah daunnya yang dapat menambah kesuburan tanah di sekitarnya. Menurut Vandermeer & Perfecto (1998); Schroth et al. (2000), Bos et al. (2007), Dechert et al. (2005), Lobao et al.(2007), Muller & Gama Rodrigues (2007) beberapa manfaat pohon pelindung antara lain fungsi pada biodiversitas, kesuburan tanah, kontrol erosi, konsumsi air, kontrol penyakit dan produksi buah kakao. Budidaya kakao tanpa pohon pelindung mempunyai umur produksi yang lebih singkat, permintaan pupuk yang lebih tinggi (Owusu 1978), mempunyai resiko kekeringan yang lebih
74
tinggi (Ahenkorah et al.1987) sehingga secara umum menurunkan nilai ekonominya.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Penurunan troughfall diikuti dengan penurunan kandungan air tanah pada lapisan tanah kedalaman 20 cm disekitar pohon kakao dan G. sepium. Penurunan kandungan air tanah lebih cepat terjadi pada tanah di sekitar pohon kakao dan tanah disekitar pohon G.sepium. 2. Cekaman kekeringan selama 13 bulan menurunkan potensial air akar kakao dan akar G. sepium. Pada siang hari, potensial air akar menurun dimana potensial air akar kakao lebih rendah daripada akar G.sepium, namun demikian pada saat pagi hari potensial air akar keduanya naik kembali mencapai -0,5 Bar. Hal tersebut menunjukkan telah terjadi proses nocturnal hydraulic lift dimana air diambil oleh perakaran G.sepium dari lapisan tanah yang lebih dalam saat malam hari dan dibawa ke atas dan dimanfaatkan oleh akar kakao. Kondisi ini sangat bermanfaat bagi tanaman kakao yang mengalami kekurangan air pada siang hari. 3. Cekaman kekeringan
selama 13 bulan pada tanaman kakao umur 7
tahun tidak meningkatkan kandungan proline fineroot kakao dan G.sepium. Kedua tanaman menunjukkan perbedaan peningkatan dimana pada akar kakao meningkat 11,59 kali, sedangkan pada fineroot G. sepium hanya 5,44 kali. 4. Berdasarkan
sifat
konduktivitas
perakaran,
akar
tanaman
kakao
mempunyai kapasitas yang rendah dalam mengalirkan air dibanding G. sepium. Sifat-sifat itu ditunjukkan pada nilai hydraulic conductance, persentase embolisme, struktur diameter xilem dan lubang membran antar xilem yang lebih kecil dari akar G. sepium. Keadaan ini diduga sebagai adaptasi tanaman kakao yang mempunyai perakaran dangkal dalam menghadapi perubahan air tanah yang cenderung lebih cepat berkurang. 5. Pada lapisan tanah 20 cm, fineroot hidup kakao meningkat secara signifikan seiring bertambahnya waktu diikuti penurunan kandungan pati, glukosa dan sukrosa pada finerootnya.
76
6. Perubahan kandungan N dan P, resorpsi N dan P, nilai SLA serta jumlah trikomata daun yang yang terjadi selama 13 bulan
pada cekaman
kekeringan dengan TDE tidak signifikan, namun demikian cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Saran 1. Cekaman kekeringan yang mempunyai berbagai dampak merugikan bagi pertumbuhan tanaman merupakan ancaman dalam praktek budidaya tanaman terutama pada musim kemarau Sehubungan dengan
yang berkepanjangan.
hal tersebut, maka aplikasi tanaman pelindung
G.sepium pada agroforestri kakao ditinjau dari aspek peranannya terhadap peningkatan ketahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan merupakan suatu alternatif yang bisa dikembangkan untuk mengatasi permasalahan terbatasnya ketersediaan air bagi tanaman kakao. 2. Perlu dilakukan penelitian cekaman kekeringan pada budidaya kakao monokultur untuk mengetahui seberapa besar dampak kerugian yang ditimbulkannya.
DAFTAR PUSTAKA Abdoellah, S. 1997. Ancaman cekaman air di musim kemarau panjang pada tanaman kopi dan kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 13, 7782 Ackerly D D and Bazzaz F A. 1995. Leaf dynamics, selfshading and carbon gain in seedlings of a tropical pioneer tree. Oecologia. 101:289-298. Aerts R. 1996. Nutrient resorption from senescing leaves of perennials: are there general patterns. Journal of ecology. 84:597-608. Aerts R and Chapin F S. 2000. The mineral nutrition of wild plants revisited: a reevaluation of processes and patterns. Advances in Ecological Research 30:1-67. Aerts R and van der Peijl M J. 1993. A simple model to explain the dominance of low-productive perennials in nutrient-poor habitats. Oikos. 66:144-147. Ahenkorah, Y., Halm, B.J., Appiah, M.R., Akrofi, G.S., Yirenkyi, J.E.K., 1987. Twenty years’ results from a shade and fertilizer trial on Amazon cocoa (Theobroma cacao). Ghan. Exper. Agric. 23: 31-39. Amenu G G and P Kumar. 2007. A model for hydraulic redistribution incorporating coupled soil-root moisture transport. Hydrol. Earth Syst. Sci.: 4 :3719-3769, of the secretory product. Botanical Gazette 148: 221–227. Bates L S, Waldren R P, Teare I D. 1973. Rapid Determination of Free Proline for Water Stress Studies. J. Plant Soil 39:205-207. Becker P, Castillo A. 1990. Root architecture of shrubs and saplings in the understorey of a tropical moist forest in lowland Panama. J. Biotropica 22:242-249. Bell A D. 1991. Plant form: an illustrated guide to flowering plant morphology. Oxford University Press, UK. Benzing D H and A Renfrow. 1971. The Significance of photosynthetic efficiency to habitat preference and phylogeny among tillandsioid bromeliads. Botanical Gazette. 132: 19-30. Bloom A J, Chapin F S and Mooney H A. 1985. resource limitation in plants- an economic analogy. Annual review of Ecology and Systematics.16:363392. Boerner E E J. 1985. Foliar nutrient dynamics, growth, and nutrient use efficiency of Hamamelis virginiava in three forest microsites. Can. Journal Botani 63: 1476-1481. Bolte A, Villanueva I. 2006. Interspecific competition impacts on the morphology and distribution of fineroots in European beech (Fagus sylvatica L.) and Norway spruce (Picea abies (L.) KARST.). European Journal of Forest Research 125: 15-26. Borges R. 2003. How soybeans respond to drought stress. Issues in Agriculture. www.uwex.edu/ces/ag/issues/drought2003/soybeansrespondstress.html16k-Kamis 09 Maret 2006.
78
Bormann F H, Likens G E and Melillo J M. 1977. Nitrogen budget for an aggrading northern hardwood forest ecosystem. Science. 196:981-982. Bos, M.M., Steffan-Dewenter, I., Tscharntke, T., 2007. Shade tree management affects fruit abortion, insect pests and pathogens of cacao. Agric, Ecosys Environ 120: 201-205. Bray EA. 1997. Plant responses to water deficit. Trends in Plant Science. 2:4854. Burgess S S O, M A Adams, N C Turner and C K Ong. 1998. The redistribution of soil water by tree root systems. Oecologia. 115:306-311. Chapin III FS, Matson PA, Mooney HA, Caldwell. 2004. Principles of terrestrial ecosystems. Berlin, Germany:Springer. Cook W C and J Trlica. 2001. The Role of Carbohydrate reserves in managing range plants. Colorado State University. Cruiziat P, Cochard H and Améglio T. 2002. Hydraulic architecture of trees : Main concepts and results. Ann. For. Sci. In press. Darmajati D S. 2005. Indonesia cocoa : toward sustainable development. Director General Processing and Marketing of Agriculture Product. Ministri of Agriculture of Indonesia In Cocoa Symposium. Dawson T E. 1993. Hydraulic lift and water use by plants: implications for water balance, performance and plant-plant interactions. Oecologia. 95:565574. Dechert, G., Veldkamp, E., Brumme, R., 2005. Are partial nutrient balances suitable to evaluate nutrient sustainability of land use systems? Results from a case study in Central Sulawesi, Indonesia. Nutrient Cycling Agroecosys. 72: 201-212. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia 20032005: Kakao. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Dickson R E . 1989. Carbon and nitrogen allocation in trees. In:Dreyer E, Aussenac G, Bonnett-Masimbert M, Dizengremel P, Favre J M, Garrec J P, Le Tacon F, Martin F (eds) Forest tree physiology. Annual Science Forum 46(suppl.). Elsevier/INRA, Paris, pp 631s–647s. Dickson R E .1991. Assimilate distribution and storage. In: Raghavendra AS (ed) Physiology of trees. Wiley, New York,pp 51–85 Dickison W C. 2000. Integrative Plant Anatomy. Academic Press. San Diego. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004. Statistik Perkebunan Indonesia 2001-2003, Kakao. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta. Dobrowolski J P, Caldwell M M, Richards J H. 1990. Basin Hydrology and plant root system. In: Osmond C B, Pitelka L F, Hidy G M. (eds) Plant Biology of the Basin and Range. Ecological Studies Vol 80. 83:1637-1646 Springer. Berlin. Domec JC. FG Scholz. SJ Bucci, FC Meinzer, G Goldstein, R Villalobos-Vega. 2005. Diurnal and Seasonal Variation in root xylem embolism in
79
neotropical savanna woody species: impact on stomatal control of plant water status. Blacwell Publishing Ltd. Eckstein R I, Karlsson K P S and Weih M. 1999. Leaf life span and nutrient resorption as determinants of plant nutrient conservation in temperattearctic regions. New Phytologist. 143: 177-189. Ehleringer, J.R., Bjo¨rkman, O., Mooney, H.A., 1976. Leaf ubescence: effects on absorbance and photosynthesis in desert shrub. Science 192, 376–377. Ehleringer, J.R., 1984. Ecology and ecophysiology of leaf pubescence in North American desert plants. In: Rodriguez, E.,Healy, P.L., Mehta, I. (Eds.), Biology and Chemistry o of Plant Trichomes. Plenum Press, New York, pp. 113–132 Escudero A, del Arco J M, Sanz I and Ayala J. 1992. Effects of leaf longevity and retranslocation efficiency on the retention time of nutrients in the leaf biomass of different wood species. Oecologia. 90:80-87. Fahn A. 1979. Secretory Tissues in Plants. Academic Press Inc. London. Friend A L, Coleman M D, Isebrands J G. 1994. Carbon allocation to root and shoot systems of woody plants. In : Davis T D, Haissig B E (eds) Biology of adventitious root formation. Plenum, New York, pp 245-273. Gardner F P, Pearce R B, Mitchell R L. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya, Herawati Susilo, Penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia. Terjemahan dari Physiology of Crops Plants Grabau LJ. 1995. Physiological mechanisms of plants senescence. In: M. Pessarakli (Ed.) Hand book of Plant and Crop physiology. Marcel Dekker, New York, pp 483-496. Granier C, and Tardieu F. 1999. Water defiticit and spatial pattern of leaf development. Variability of responses can be simulated using a simple model of leaf development. Plant Physiology 119: 609-619. Goenadi DH, JB Baon, Herman. 2005. Prospek Dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao Di Indonesia. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Guo D L, Mitchell R J, Hendricks J J. 2004. Fine root branch orders respond differentially to carbon source-sink manipulations in a longleaf pine forest. Oecologia. 140:450-457. ICCO 2007. Annual report. 43 p Hanson A D. 1980. Interprenting the metabolic responses of plants to water stress. Hort. Sci. 15:623-629. Hanson A D and Hitz W D. 1982. Metabolic response of mesophytes to plant water deficits. Annu Rev Plant Physiol. 33:163-203. Haryadi S S dan S Yahya. 1988. Fisiologi Stres Lingkungan . PAU Bioteknologi. IPB.236 p. Hikosaka K. 1996. Effect of leaf age, nitrogen nutrition and photon flux density on organization of the photosynthetic apparatus in leaves oh a vine (ipomoea tricolor Cav.) grown horizontally to avoid mutual shading of leaves. Planta. 198: 144-150.
80
http://www.indonesia.go.id/id - REPUBLIK INDONESIA. 2009. Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional
Sosialisasi
Jarbeau JA, FW Ewers and Sd Davis. 1995. The mechanism of water stress induced xylem dysfunction in two species of chaparral shrubs. Plant Cell Environment. 18: 189-196. Jones H G C. 1990. Physiological aspects of the control of water status in horticultural crops. Hort. Sci. 25 : 19-26. Jones H G. 1992. Plants and microclimate, 2nd edition. Cambridge University Press. Cambridge. Jones MM and NC Turner. 1980. Osmotic adjusment in expanding and fully expanded leaves of sun flower in response to water deficits. Australia J. Plant Physiol. 7:181-192. Jose S, Merritt S, Ramsey C L. 2003. Growth, nutrition, photosynthesis and transpiration resposes of longleafpine seedlings to light, water and nitrogen. Forest Ecol Manage. 180:335-344. Jumin HB. 1992. Ekologi Tanaman suatu Pendekatan Fisiologi. Rajawali Press. Jakarta. Keller F and Ludlow M M. 1993. Carbohydrate metabolism in drought-stressed leaves of pigeon pea (Cajanus cajan L.). J Exp Bot.44:1351-1359. Keil A, Zeller M, Wida A. 2008. What determines farmers' resilience towards ENSO-related drought? An empirical assessment in central Sulawesi, Indonesia. Clim Change 86: 291-307. Kirkham,M.B.1990. Plant responses to water deficit. P 323-342. In : Stewart B.A., Nielsen D.R (Eds.) Irrigation of agricultural crops. Medison, Wisconsin, USA. Kozlowski T T, Kramer P J and Pallardy S G. 1991. The Physiological Ecological of Woody Plants. Academic Press. San Diego. 390 p. Kramer P J, Boyer J S. 1995. Water Relations of Plants and Soils. San Diego: Lambers H and Pooter H. 1992. Inherent variation in growth rate between higher plant: A search for physiological causes and ecological consequences. Adv. Ecol. Res. 22:187-261. Lambers H, Chapin F S and Pons T L. 1998. Plant Physiological Ecology. Springer-Verlag. New York. Lampinen, B, K Shackel and S Metcalf.2007. Using Midday Stem Water Potential to Refine Irrigation Scheduling in Almond.Department of Plant Sciences, UC Davis.(http://fruitsandnuts.ucdavis.edu/crops/pressurechamber.shtml). Larcher W. 1995. Physiological Plant Ecology. Springer-Verlag. New York. USA. Lobão, D.E., Setenta, W.C., Lobão, E.S.P., Curvelo, K., Valle, R.R., 2007. Cacau cabruca: sistema agrossilvicultural tropical. In: Valle, R.R. (Ed), Ciência, Tecnologia e Manejo do Cacaueiro, Gráfica e Editora Vital Ltda, Ilhéus, pp.290-323. Luttge U B, Klauke H, Griffiths J A C, Smith K, H Stimmel. 1986. Comparative ecophysiology of CAM and C3 bromeliads. Gas exchange and leaf
81
structure of the C3 bromeliad Pitcairnia integritolia. Plant, Cell and Environment, 9: 411-419. Marschner H.1995. Mineral Nutrition in High Plants. New York. Academic Press. Metcalfe C R and L Chalk. 1979. Anatomy of the Dicotyledons. Second Edition. Systematic anatomy of leaf and stem with a brief history of the subject. Vol I. Clarendon Press. Oxford. Milla R, P Castro-Diez, M Maestro-Martinez, G Montserrat-Marti.2005. Does the gradualness of leaf shedding govern nutrient resorption from senescing leaves in Mediterranean woody plants? Plant and Soil 278:303-313. Müller, M.W., Gama-Rodrigues, A.C., 2007. Sistemas agroflorestais com cacaueiro. In: Valle, R.R. (Ed), Ciência, Tecnologia e Manejo do Cacaueiro, Gráfica´e Editora Vital Ltda, Ilhéus, pp.246-271. Nabil, M and Coudret, A.1995. Effects of sodium chloride on growth, tissue elasticity and solute adjusments in two Acacia nilotica subspesies. Plant Physiol. 93:217-224. Nepstad D C, Tohver I M, Rav D, Moutinho P. 2007. Cardinot G. Mortality of large trees and lianas following experimental drought in an Amazon Forest. J. Ecology. 88(9) : 2259-2269. Nobel P S. 1983. Biophysical Plant. Physiology and Ecology. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs. New Jersey. Olson R A dan Kurtz L T. 1985. Crop nitrogen requirements, utilization and fertilization. Di dalam F.J Stevenson. Editor. Nitrogen in Agricultural soils. Madison, Wisconsin, USA. American society of Agronomy, Inc. Crop Science society of America, Inc. Soil Science society of America. Inc. publisher. Halaman 567-604. Owusu, J.K., 1978. Light requirements of cocoa: a review. In: Proc. Int. Conf. Cocoa and Coconuts, Kuala Lumpur, Malaysia, pp.112-121. Pammenter N W, Vander Willigen C. 1998. A mathematical and statistical analysis of the curves illustrating vulnerability of xylem to cavitation. Tree Physiol. 18: 589. Pharr D M, Stoop J M H, Williamson J D, Studer Feusi M E, Massel M O, Conkling M A. 1995. The dual of mannitol as osmoprotectant and Purwanto R.2003. Bahan ajar budidaya buah-buahan. Modul VII. Pengelolaan tanah dan pemupukan kebun buah-buahan. Program studi hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Richards J H and M M Caldwell. 1987. Hydraulic lift: Substantial nocturnal water transport between soil layers by Artemisia tridentata roots. Oecologia. 73:486-486. Riduan A. 2007. Toleransi kacang tanah dan tembakau terhadap stress kekeringan dengan over ekspresi gen 5PCS penyandi ensim kunci biosintesis prolina. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sakuratani T T Aoe and H Higuchi. 1999. Reverse flow in roots of Sebania rostrata measured using the constant power heat balance method. Plant Cell Environ. 22:1153-1160.
82
Salisbury, F.B. and Ross, C.W. 1992. Plant physiology, 4th edition. Wadsworth Publishing Company, Belmont, California Sanchez F J, Manzanares M, Deandress E F, Tenario J L, Ayerbe L. 1998. Turgor maintenance, osmotic adjusment and soluble sugar and proline accumulation in 49 pea cultivars in response to water stress. Field Crops res. 59:225-235. Schroth, G., Krauss, U., Gasparotto, L., Duarte Aguillar, J.A., Vohland, K., 2000. Pests and diseases in agroforestry systems of the humid tropics. Agrofor. Sys. 50: 199-241. Schulze E D, M M Caldwell, J Canadell, H A Mooney, R B Jakson, D Parson, R Scholes, O E Sala and P Trimbon. 1998. Downward flux of water through roots (i.e.) inverse hydraulic lift in dry Kalahari sands. Oecologia. 115:460462. Singh S P, K Bargali, A Joshi and S Chaudhry. 2005. Nitrogen resorption in leaves of tree and shurb seedlings in response to increasing soil fertility. Current Science. 89: 389-396. Smith D M, N A Jackson, J M Roberts and C K Ong. 1999. Reverse flow of sap in tree roots and downward siphoning of water by Grevillae robusta. Funct. Ecol. 13:256-264. Sperry J S, Donnelly J R, Tyree M T. 1988. A Method for measuring hydraulic conductivity and embolism in xylem. J. Plant, Cell and Environment 11:3540. Sperry JS, Ikeda T. 1997. Xylem cavitation in roots and stems of Douglas fir and White fir. Tree Physiology 17: 275-280. Staaf H. 1982. Plant nutrient changes in beech leaves during senescence as influenced by site characteristics. Asta Ecologia Plantarum. 3(17): 161170. Steudle E. 2000. Water uptake by plant roots: an integration of views. Plant and Soil 226: 45–56, Stokstad E. 2005. Ecology - Experimental drought predicts grim future for rainforest. Science 308 (5720): 346-347. Susanto F X. 1994. Tanaman Kakao, Budidaya dan Pengolahan Hasil. Penerbit Kanisius. Taiz L
and Zeiger E. 1991. Plant Physiology. California, The Benyamin Cummings Pub.
Thimann KV .1980. The senescence of leaves in KV Thimann (Ed). Senescence in Plants. CRC Press, Boca Raton, FL. P:85-115. Turner G W, Gershenzon J, Croteau R B. 2000. Distribution of peltate glandular trichomes on development leaves of peppermint. Plant Physiology. 124:655-663. Tyree M T and Zimmerman M H. 2002. Xylem Structure and the Ascent of Sap. Springer. Berlin. Tyree MT, Salleo S, Nardini A, Lo Gullo MA, Mosca R. 1999. Refilling of embolized vessels in young stems of laurel. Do we need a new paradigm? Plant Physiology. 82:597-599.
83
Vandermeer, J.H., Perfecto, I., 1998. Biodiversity and pest control in agroforestry systems. Agrofor. Forum 9: 2–6. Volaire F and Thomas H. 1995. Effects of drought on water relations, mineral uptake, water-soluble carbohydrate accumulation and survival of two contrasting populations of cocksfoot (Dactylis glomerata L.). Ann. Bot. 75:513-524. Vogelmann, T.C., 1993. Plant-tissue optics. Annu. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 44, 231–251. Vyas S P, Kathju S, Garg B K, Lahiri A N. 1985. Performance and metabolic alterations in Sesamum indicum under different intensities of water stress. Ann. Bot. 56:323-332. Wanek W and Richter A. 1997. Biosynthesis and accumulation of D-ononitol in Vigna umbellata in response to drought stress. Physiol Plant. 101:416424. Werker E. 2000. Trichome diversity and development. Advances in Botanical Research 31:1-35. Wilson P J, Thomson K, Hodgson J G. 1999. Specific leaf area and leaf dry matter content as alternative predictors of plant strategies. New Phytol. 143 : 155-162. Witjaksana. 1989. Tumpangsari Kelapa-kakao ditinjau dari segi kelapa sebagai tanaman utama. Kumpulan makalah seminar sehari tumpangsari kelapakakao. PTP II, VI dan VII. Pusat Penelitian Kelapa Sumatera Utara. Witkowski E T E, Lamont B B. 1991. Leaf specific mass confounds leaf density and thickness. Oecologia. 88: 486-493. Wright I J, Westoby M. 2003. Nutrient limitation, resorption and lifespan: leaf traits of Australian sclerophyll species. Ecol. Soc. 17:10-19. Wullschleger S D, Hanson P J. 2006. Sensitivity of canopy transpiration to altered precipitation in an upland oak forest: evidence from a long term field manipulation study. Global Change Biology. 12: 97-109. Yoder C K and R S Nowak. 1999. Hydraulic lift among native plant species in the Majove Desert. Plant Soil. 215:93-102. Yoshiba Y, T Kiyoue, K Nakashima, K Yamaguchi-Shinozaki, dan K Shinozaki. 1997. Regulation of levels of proline as an osmolyte in plants under water stress. Plant Cell Physiol 38:1095-1102. Zuidema , PA, P A Leffelaar ,W Gerritsma, L Mommer, N P.R. Anten. 2005. A physiological production model for cocoa (Theobroma cacao): model presentation, validation and application.Agricultural Systems 84 : 195–225