eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3 (4) 1265-1280 ISSN 2477-2623 (online), ISSN 2477-2615 (print), ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2015
RESPON INDONESIA TERHADAP PEREDARAN PRODUK GENETICALY MODIFIED FOODS (GMF) KEDELAI AMERIKA SERIKAT Hendra Suryanata1 Nim. 0902045094 Abstract Geneticaly Modified Food (GMF) derived from Geneticaly Modified Organisms (GMO) or Genetically Modified Organisms, which organism the genetic material (DNA) has been altered or modified in a way that is not natural, for example through the introduction of genes from different organisms. The purpose of this study is to know how to describe Indonesia Response to Product Geneticaly Modified Foods (GMF) Soybean from United States (2000-2014). This study is a qualitative research. It uses the library research method by taking the data from books, journals, articles and the internet. Indonesia Response to Product Geneticaly Modified Foods (GMF) Soybean from United States namely with to create a soybean import policy set out in regulation Number: 133/PMK.011/2013 on Classification System of Goods and Imposition of Import Duty on Imported Goods from 5% to 0 % which is then amplified by the rules Minister of Trade Number: 45/M-DAG/KEP/8/2013 which states that the policy of import duty of 0 % only short term. Meanwhile, to prevent the collapse of the local soybean prices while encouraging farmers to plant soybean interested, has been published Permendag Number: 59/M-DAG/PER/9/2013, which sets the purchase price for soybean farmers harvest season (October 2013 until December 2014) amounted to Rp. 7.400/kg. Keywords: Indonesia Response, The Product of GMF Soybean. Pendahuluan Kegiatan perdagangan merupakan kegiatan yang sangat kompleks, terus menerus, dan berkelanjutan karena adanya saling ketergantungan antara produsen dan konsumen. Kegiatan dimulai dari produksi yang dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar. Dari produksi tersebut menghasilkan produk-produk yang kemudian dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang sebelumnya dilakukan melalui rantai distribusi / pengiriman, salah satunya adalah kegiatan perdagangan kedelai. Dari total produksi kedelai di dunia, 75% berupa kedelai transgenik, dimana negara dengan produksi kedelai transgenik terbesar adalah Amerika Serikat yaitu produksi pertahun mencapai 31 juta ton, sebagai negara penghasil kedelai terbanyak di dunia (80% dari total 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1265-1280
produksi dunia) lebih dari 90% petaninya membudidayakan kedelai transgenik, yang keduaBrazil sebesar 24 juta ton dan Argentina sebesar 9 juta ton per tahun. Produk rekayasa genetika (transgenik) merupakan produk yang dihasilkan dari teknologi memanipulasi sifat baka atau gen (DNA) suatu organisme dengan sifatsifat sesuai dengan yang ditentukan. Produk pertanian yang menggunakan teknik rekayasa genetika ini menghasilkan panen lebih banyak, lebih besar, dan tahan lama, dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan produk pertanian konvensional. Monsanto merupakan perusahan terbesar di Amerika Serikat sebagai penghasil kedelai terbesar namun kedelai hasil dari negara tersebut adalah kedelai rekayasa genetika, besarnya produksi kedelai tersebut mendorong negara Amerika Serikatuntuk mengeskpor hasil produksinya ke negara lain seperti Cina, Meksiko, Jepang, Jerman dan Indonesia. Di negara berkembang seperti Indonesia produksi kedelai masih sangat minim sehingga masih mengandalkan impor dari luar negeri. Kedelai (glycine max (L.) merr) menjadi komoditas pangan yang telah lama dibudidayakan di Indonesia, yang saat ini tidak hanya diposisikan sebagai bahan baku industri pangan, namun juga ditempatkan sebagai bahan baku non pangan. Beberapa produk yang dihasilkan antara lain tempe, tahu, dan susu kedelai. Sifat kedelai yang multi guna menyebabkan tingginya permintaan akan kedelai didalam negeri. Tabel Produksi, Kebutuhan dalam Negeri, dan Impor Kedelai AS ke Indonesia Tahun 2000-2014 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Produksi (ton) 1,017,634 826,932 673,056 671,600 723,483 808,353 747,611 592,534 775,710 974,512 907,031 851,286 843,153 933,699 1,024,721
Kebutuhan dalam Negeri (ton) 2,295,319 1,965,351 2,038,308 1,864,317 1,839,276 3,791,339 4,026,868 2,033,460 1,939,871 2,317,521 2,682,816 2,976,798 2,128,763 2,262,395 2.738,803
Impor Kedelai AS (ton) 1,277,685 1,138,419 1,365,252 1,192,717 1,115,793 2,982,986 3,279,257 1,440,926 1,164,161 1,343,009 1,775,785 2,125,512 1,285,610 1,328,696 1,714,082
Sumber: http://beritabumi.or.id/policy-brief-kedelai-impor-melangkahiregulasi-keamanan-hayati-indonesia/
1266
Respon Indonesia Terhadap Peredaran Produk GMF Kedelai AS (Hendra Suryanata)
Namun, seperti yang kita ketahui bahwa negara Indonesia merupakan negara agraris terkaya akan sumber daya alamnya tetapi kebutuhan dalam negeri seperti kedelai masih belum bisa terpenuhi, hal ini di karenakan adanya permintaan pasar yang cukup tinggi oleh sebab itulah pemerintah Indonesia melakukan impor kedelai dari luar salah satunya Amerika. Dapat dilihat tabel diatas pada tahun 2000 produksi kedelai di Indonesia mencapai 1.017.634 ton namun produksi kedelai tersebut mengalami fluktuatif di setiap tahun nya dan pada tahun 2014 titik tertinggi produksi kedelai mencapai hingga 1.024.721 ton. Sedangkan kebutuhan dalam negeri Indonesia terhadap kedelai di tahun 2000 mencapai 2.295.319 ton dan mencapai di titik tertinggi pada tahun 2006 mencapai 4.026.868 ton dan di tahun-tahun berikutnya di tahun 2014 mencapai 2.738.803 ton jelas berbanding terbalik dengan produksi dalam negeri. Kebutuhan impor kedelai Indonesia membawa dampak positif serta dampak negatif terhadap perekonomian serta kesehatan masyarakat di Indonesia, dampak positif yang diperoleh dengan adanya kedelai impor dari Amerika Serikat membuat kebutuhan dalam negeri menjadi tercukupi dan masyarakat Indonesia dapat membeli kedelai dengan harga yang relatif murah. Sedangkan dampak negatif yang diperoleh akibat impor kedelai transgenik Amerika Serikat dari segi kesehatan dapat menimbulkan alergi dan keracunan makanan dari segi perekonomian mengalami defisit karena melakukan impor serta dapat merugikan petani dalam negeri karena harga yang di tawarkan di relatif murah dibanding harga lokal. Hal ini membuat pemerintah Indonesia lebih intens terhadap pengawasan bahan pangan impor kedelai transgenik melalui BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), namun dengan adanya impor tersebut kementrian dalam negeri Indonesia membuat pengawasan produk pangan impor transgenik menjadi melemah dikarenakan adanya kegiatan tersebut. Kerangka Dasar Teori dan Konsep Konsep Kebijakan Impor Kegiatan menjual barang atau jasa ke negara lain disebut ekspor, sedangkan kegiatan membeli barang atau jasa dari negara lain disebut impor, kegiatan demikian itu akan menghasilkan devisa bagi negara. Devisa merupakan masuknya uang asing kenegara kita yang dapat digunakan untuk membayar pembelian atas impor dan jasa dari luar negeri. Kegiatan impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Produk impor merupakan barang-barang yang tidak dapat dihasilkan atau negara yang sudah dapat dihasilkan,tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan rakyat. Untuk melindungi produksi dalam negerinya dari ancaman produk sejenis yang diproduksi di luar negeri, maka pemerintah suatu negara biasanya akan menerapkan atau mangeluarkan suatu kebijakan perdagangan internasional di bidang impor. Kebijakan ini, secara langsung maupun tidak langsung pasti akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan kelancaran usaha untuk mendorong/melindungi pertumbuhan industri dalam negeri (domestik) dan penghematan devisa negara. Kegiatan impor di satu pihak sangat dibutuhkan oleh suatu negara untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi di lain pihak dapat merugikan perkembangan industri dalam negeri. Agar tidak merugikan produk dalam negeri diperlukan adanya kebijakan
1267
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1265-1280
impor untuk melindungi produk dalam negeri (proteksi) dengan cara berikut: Pengenaan Bea Masuk, Kuota Impor, Pengendalian Devisa, Substitusi Impor, dan Devaluasi. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif, yaitu berupaya untuk menggambarkan respon Indonesia terhadap peredaran produk Geneticaly Modified Foods (GMF) kedelai Amerika Serikat (2000-2014). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah, tinjauan pustaka (library research) dengan mengumpulkan data-data sekunder yang bersumber dari buku-buku, artikel, dan datadata dari internet yang tingkat kapabilitasnya terhadap permasalahan yang dihadapi dan validitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Teknik analisis data yang telah digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yang menjelaskan kerangka pemikiran konseptual yakni teknik analisis dengan menggunakan teori. Hasil Penelitian Produk Kedelai GMF Amerika Serikat di Indonesia Di Indonesia kedelai digunakan untuk berbagai hal misalnya pemanfaatan kedelai untuk membuat tahu, tempe, minyak kedelai, tepung kedelai untuk pembuatan susu kedelai, kecap, tauco, kue yang mengandung kedelai dan Biji kedelai goreng. Sebagian besar kedelai digunakan untuk pembuatan tahu dan tempe yang dikonsumsi rumah tangga sebagai pendamping nasi dan camilan, utamanya di pulau Jawa. Kecap banyak dikonsumsi rumah tangga, restoran, industri makanan (mie instant), dan lainlain. Dari pengolahan tahu dapat diperoleh hasil sampingan (ampas/onggok) yang dapat digunakan untuk pakan ternak sapi dan makanan manusia (oncom, gembus). Demikian pula dari pengolahan minyak kedelai diperoleh hasil sampingan berupa bungkil kedelai yang banyak digunakan sebagai bahan pembuatan konsentrat pakan ternak bermutu tinggi. Sementara itu, daun kedelai dapat digunakan sebagai pakan ternak, sementara batang kedelai yang sudah kering dapat digunakan sebagai bahan bakar. Perkembangan konsumsi total di dalam negeri selama 2008-2012 terus meningkat dengan rata-rata 12,89%/tahun. Pada tahun 2012, konsumsi total kedelai mencapai sekitar 2,95 juta ton, jauh lebih besar daripada konsumsi total pada tahun 2008 yang hanya 1,72 juta ton. Genetically Modified Food (GMF)/Pangan Rekayasa Genetika (PRG) berasal dari Genetically Modified Organisms (GMO) atau Organisme Rekayasa Genetika, yaitu organisme yang materi genetiknya (DNA) telah diubah atau dimodifikasi dengan cara yang tidak alami, misalnya melalui pengenalan gen dari organisme yang berbeda. Teknologi ini sering disebut “bioteknologi modern” atau “teknologi gen”, kadang-kadang juga “teknologi DNA rekombinan” atau “rekayasa genetika”. Hal ini memungkinkan gen individu terpilih dapat ditransfer dari satu organisme ke yang lain, juga antar spesies yang tidak terkait satu sama lain. Intinya adalah dapat memindahkan gen-gen dari satu spesies mahluk hidup ke spesies yang lain, ataupun memodifikasi gen-gen dalam satu spesies. Produk transgenik mencakup obat-obatan (sebagai alat diagnosis & obat seperti misalnya insulin), tanaman yang tahan hama, penyakit dan herbisida, enzim untuk pengolahan makanan (keju), bahan bakar dan pelarut (ethanol). Tanaman transgenik untuk bahan pangan yang telah dikembangkan antara lain: beras, kedelai, kentang, jagung, minyak lobak, tomat, bit gula dan labu.
1268
Respon Indonesia Terhadap Peredaran Produk GMF Kedelai AS (Hendra Suryanata)
Hingga saat ini, sudah ratusan gen dari berbagai sumber yang berhasil dipindahkan ke tanaman dan memunculkan ratusan jenis varietas tanaman baru yang disebut tanaman transgenik. Namun sebagian besar tanaman transgenik tersebut belum dipasarkan. Hingga tahun 2000 baru 24 jenis tanaman transgenik yang dikomersialisasikan di Amerika, diantaranya termasuk empat kelompok tanaman transgenik utama yaitu: Pertama, kedelai transgenik yang menguasai 36% dari 72 ha area global tanaman kedelai. Kedua, kapas transgenik mencakup 36% dari 34 juta ha. Ketiga, kanola transgenik 11% dari 25 juta ha. Dan keempat, jagung transgenik 7% dari 140 juta ha. Tanaman transgenik direkayasa pertama kali pada tahun 1980-an, yakni melalui proses mentransfer gen b–faseolin dari kacang-kacangan ke kromosom bunga matahari. Perkembangan lebih lanjut telah memungkinkan untuk melakukan transformasi genetik ke eksplan yang mampu beregenerasi seperti daun, batang dan akar. Terobosan terakhir dalam hal meregenarasikan tanaman monokot transgenik telah menghilangkan penghambat utama dalam usaha untuk perbaikan sifat tanaman serealia. Tanaman transgenik pada tahun 1980-an menjadi “penyelamat” di dunia di tengah-tengah krisis pangan dunia. Tanaman transgenik dipercayakan akan bermanfaat bagi lingkungan dengan mengurangi penggunaan herbisida dan insektisida, membantu petani memecahkan krisis pangan, menyelesaikan masalah kelaparan dengan meningkatkan lahan tanaman, dan meningkatkan nutrisi pangan. Kelebihan dan Kekurangan Kacang Kedelai GMF Kelebihan tanaman transgenik dalam bidang pertanian adalah dengan mengaplikasikan teknologi DNA rekombinan di bidang pertanian berkembang pesat dengan dimungkinkannya transfer gen asing ke dalam tanaman dengan bantuan bakteri Agrobacterium tumefaciens. Melalui cara ini telah berhasil diperoleh sejumlah tanaman transgenik seperti tomat dan tembakau dengan sifat-sifat yang diinginkan, misalnya perlambatan kematangan buah dan resistensi terhadap hama dan penyakit tertentu. Pada dasarnya rekayasa genetika di bidang pertanian bertujuan untuk menciptakan ketahanan pangan suatu negara dengan cara meningkatkan produksi, kualitas, dan upaya penanganan pascapanen serta prosesing hasil pertanian. Peningkatkan produksi pangan melalui revolusi gen ini ternyata memperlihatkan hasil yang jauh melampaui produksi pangan yang dicapai dalam era revolusi hijau. Di samping itu, kualitas gizi serta daya simpan produk pertanian juga dapat ditingkatkan sehingga secara ekonomi memberikan keuntungan yang cukup nyata. Adapun dampak positif yang sebenarnya diharapkan akan menyertai penemuan produk pangan hasil rekayasa genetika adalah terciptanya keanekaragaman hayati yang lebih tinggi. Sedangkan di bidang peternakan hampir seluruh faktor produksi telah tersentuh oleh teknologi DNA rekombinan, misalnya penurunan morbiditas penyakit ternak serta perbaikan kualitas pakan dan bibit. Vaksin-vaksin untuk penyakit mulut dan kuku pada sapi, rabies pada anjing, blue tongue pada domba, white-diarrhea pada babi, dan fish-fibrosis pada ikan telah diproduksi menggunakan teknologi DNA rekombinan. Di samping itu, juga telah dihasilkan hormon pertumbuhan untuk sapi (recombinant bovine somatotropine atau rBST), babi (recombinant porcine somatotropine atau
1269
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1265-1280
rPST), dan ayam (chicken growth hormone). Penemuan ternak transgenik yang paling menggegerkan dunia adalah ketika keberhasilan kloning domba Dolly diumumkan pada tanggal 23 Februari 1997. Pada bidang kesehatan, rekayasa genetika terbukti mampu menghasilkan berbagai jenis obat dengan kualitas yang lebih baik sehingga memberikan harapan dalam upaya penyembuhan sejumlah penyakit di masa mendatang. Bahan-bahan untuk mendiagnosis berbagai macam penyakit dengan lebih akurat juga telah dapat dihasilkan. Teknik rekayasa genetika memungkinkan diperolehnya berbagai produk industri farmasi penting seperti insulin, interferon, dan beberapa hormon pertumbuhan dengan cara yang lebih efisien. Hal ini karena gen yang bertanggung jawab atas sintesis produk-produk tersebut diklon ke dalam sel inang bakteri tertentu yang sangat cepat pertumbuhannya dan hanya memerlukan cara kultivasi biasa. Sedangkan kekurangan tanaman transgenik terlihat dalam aspek sosial, yaitu penggunaan gen yang berasal dari babi untuk memproduksi bahan makanan dengan sendirinya akan menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemeluk agama Islam. Demikian pula, penggunaan gen dari hewan dalam rangka meningkatkan produksi bahan makanan akan menimbulkan kekhawatiran bagi kaum vegetarian, yang mempunyai keyakinan tidak boleh mengonsumsi produk hewani. Sementara itu, kloning manusia, baik parsial (hanya organ-organ tertentu) maupun seutuhnya, apabila telah berhasil menjadi kenyataan akan mengundang kontroversi, baik dari segi agama maupun nilai-nilai moral kemanusiaan universal. Demikian juga, xenotransplantasi (transplantasi organ hewan ke tubuh manusia) serta kloning stem cell dari embrio manusia untuk kepentingan medis juga dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap norma agama. Dalam aspek ekonomi, berbagai komoditas pertanian hasil rekayasa genetika telah memberikan ancaman persaingan serius terhadap komoditas serupa yang dihasilkan secara konvensional. Penggunaan tebu transgenik mampu menghasilkan gula dengan derajad kemanisan jauh lebih tinggi daripada gula dari tebu atau bit biasa. Hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran bagi masa depan pabrik-pabrik gula yang menggunakan bahan alami. Begitu juga, produksi minyak goreng canola dari tanaman rapeseeds transgenik dapat berpuluh kali lipat bila dibandingkan dengan produksi dari kelapa atau kelapa sawit sehingga mengancam eksistensi industri minyak goreng konvensional. Di bidang peternakan, enzim yang dihasilkan oleh organisme transgenik dapat memberikan kandungan protein hewani yang lebih tinggi pada pakan ternak sehingga mengancam keberadaan pabrik-pabrik tepung ikan, tepung daging, dan tepung tulang. Sedangkan dalam bidang kesehatan, terjadinya transfer genetik di dalam tubuh organisme transgenik akan muncul bahan kimia baru yang berpotensi menimbulkan pengaruh toksisitas pada bahan pangan. Sebagai contoh, transfer gen tertentu dari ikan ke dalam tomat, yang tidak pernah berlangsung secara alami, berpotensi menimbulkan risiko toksisitas yang membahayakan kesehatan. Rekayasa genetika bahan pangan dikhawatirkan dapat mengintroduksi alergen atau toksin baru yang semula tidak pernah dijumpai pada bahan pangan konvensional. Di antara kedelai transgenik, misalnya, pernah dilaporkan adanya kasus reaksi alergi yang serius.
1270
Respon Indonesia Terhadap Peredaran Produk GMF Kedelai AS (Hendra Suryanata)
Begitu pula, pernah ditemukan kontaminan toksik dari bakteri transgenik yang digunakan untuk menghasilkan pelengkap makanan (food supplement) triptofan. Kemungkinan timbulnya risiko yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan terkait dengan akumulasi hasil metabolisme tanaman, hewan, atau mikroorganisme yang dapat memberikan kontribusi toksin, alergen, dan bahaya genetik lainnya di dalam pangan manusia. Beberapa organisme transgenik telah ditarik dari peredaran karena terjadinya peningkatan kadar bahan toksik. Kentang Lenape (Amerika Serikat dan Kanada) dan kentang Magnum Bonum (Swedia) diketahui mempunyai kadar glikoalkaloid yang tinggi di dalam umbinya. Demikian pula, tanaman seleri transgenik (Amerika Serikat) yang resisten terhadap serangga ternyata memiliki kadar psoralen, suatu karsinogen, yang tinggi. Penolakan Eropa Terhadap Kedelai GMF Masyarakat Uni Eropa jauh-jauh hari mengharuskan produk transgenic dalam hal ini adalah kacang kedelai diberi label. Bukan rahasia lagi, produk transgenik tidak populer di Eropa. Bahkan terhadap produk transgenik, sejumlah negara Eropa khawatir dan bahkan melarang (membatasi) penanaman dan mengimpor makanan transgenic yang kemudian dijuluki “frankenfood”. Mereka juga secara keras memberi nama Monsanto, produsen utama GMO dengan nama Monsatan. Sikap skeptis Eropa didasari oleh tiga hal, yakni manipulasi gen bertentangan dengan kodrat alami dan tidak etis, hasilnya berbahaya bagi manusia, dan berdampak buruk bagi lingkungan. Begitu pula di Jepang. Pemerintah Jepang mewajibkan pelabelan pada 28 produk yang mengandung makanan rekayasa genetika. Kekhawatiran terhadap produk transgenik memunculkan “Surat Terbuka Ilmuwan Dunia kepada Seluruh Pemerintah Dunia”. Surat tertanggal 21 Oktober 1999 itu ditandatangani 136 ilmuwan dari 27 negara. Isinya, antara lain meminta penghentian segera seluruh pelepasan tanaman rekayasa genetika (Genetically Modified Crops) dan juga produk rekayasa gen (Genetically Modified Products). Alasannya, tanaman transgenik tidak memberikan keuntungan. Hasil panennya secara signifikan rendah dan butuh lebih banyak herbisida. Makin memperkuat monopoli perusahan atas bahan pangan dan memiskinkan petani kecil. Mencegah perubahan mendasar pada upaya pertanian berkelanjutan yang dapat menjamin keamanan pangan dan kesehatan dunia. Sebenarnya sudah ada perjanjian internasional mengenai perdagangan produk pertanian transgenik, yang tertuang dalam Convention of Bio Diversity atau Konvensi mengenai Keragaman Hayati. Namun, karena Amerika Serikat tidak mau menandatangani konvensi tersebut, negara itu tidak bisa diikat dengan konvensi ini. Kebijakan merupakan salah satu alat pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan yang seimbang dalam masyarakat. Berbagai kebijakan terkait kedelai dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas kedelai di Indonesia yaitu peningkatan produksi, perbaikan tataniaga, perbaikan harga produsen dan yang pasti mengurangi jumlah impor. Kedelai transgenik merupakan tanaman hasil proses rekayasa genetika atau biologi molekuler yang dikenal dengan Genetically Modified Food (GMF), sebagai sebuah proses dalam dunia kedokteran untuk mendapatkan bentuk-bentuk baru yang lebih bernilai atau memiliki sifat unggul yang lebih baik dari tanaman sebelumnya. Respon Indonesia terhadap peredaran produk Geneticaly
1271
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1265-1280
Modified Foods (GMF) Kedelai Amerika Serikat terkait banyaknya peredaran kedelai Geneticaly Modified Foods (GMF) tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan beberapa kebijakan yaitu: Kebijakan Pengembangan Kedelai Nasional Ada beberapa program kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengembangan (peningkatan) kedelai nasional yaitu: 1. Program Kedelai Mandiri Tahun 2000 (Prokema 2000) Program ini berawal dari adanya Keputusan Menteri Pertanian dan Ketua Badan Pengendali Bimas Nomor 102/SK/Mentan/Bimas/IV/1998 tanggal 15 April 1998, yaitu mengenai pembentukan kelompok kerja yang terdiri dari kelompokkelompok petani guna peningkatan produksi kedelai. Pengembangan kualitas kelompok tani ini diharapkan dapat terciptanya kekompakan antar anggota dalam kelompok dan peningkatan kerjasama antar kelompok petani kedelai yang lebih baik. Program tersebut tentang pembuatan rencana pengembangan kedelai lokal dan impor dengan menggunakan sarana produksi pertanian sampai dengan tahun 2003. Sasaran program Prokema 2000 adalah menghilangkan peranan impor dan meningkatkan produksi, sehingga tercapai surplus kedelai. Berikut disajikan sasaran produksi dan peranan impor Indonesia pada tabel program Prokema 2000. Tabel Program Prokema 2000: Sasaran Produksi dan Peranan Impor Indonesia Tahun 1998-2003 No Keterangan 1998 1999 2000* 2001* 2002* 2003* 1
Produksi
1.306
1.383
2.252
2.475
2.578
2.705
2
Konsumsi
1.649
2.684
2.240
2.275
2.308
2.345
3
Surplus
-343
-1.301
12
200
270
360
4
Kebutuhan Impor
343
1.301
0
0
0
0
5
Peranan Impor
Ada
Ada
Tda
tda
Tda
tda
Sumber : Departemen Pertanian diolah Prokema 2000 Keterangan: *) Angka Sasaran Berdasarkan tabel di atas, pemerintah menargetkan pada tahun 2000, Indonesia sudah bisa bebas dari peranan impor kedelai. Diharapkan juga pada tahun 2000, Indonesia sudah bisa memproduksi kedelai sebanyak 2.252 ribu ton. Surplus produksi kedelai pun ditargetkan pada tahun 2003 sudah bisa mencapai 360 ribu ton. Merujuk kepada konsep kebijakan impor, kegiatan impor di satu pihak sangat dibutuhkan oleh suatu negara untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi di lain pihak dapat merugikan perkembangan industri dalam negeri. Hal ini terlihat pada kenyataannya, program ini belum mampu mencapai sasaran dan target pemerintah.
1272
Respon Indonesia Terhadap Peredaran Produk GMF Kedelai AS (Hendra Suryanata)
Tabel Hasil Perbandingan Program Prokema dengan Perkembangan Riil Kedelai di Indonesia, Tahun 1998-2003 No Keterangan 1998 1999 2000 2001 2002 2003 1 2 3 4 5 6
Realisasi Produksi Selisih dengan Kondisi Riil Realisasi Konsumsi Selisih dengan Kondisi Riil Surplus
1.306
1.383
1018
827
673
671
0
0
1.234
1.648
1.905
2.033
1.649
2.684
2.264
1.960
2.017
2.016
0
0
24
-315
-291
-329
-343
-1.301
-1.246
-1.133
-1.344
-1.344
1.301
1.246
1.133
1.344
1.344
Ada
Ada
Ada
Ada
ada
Kebutuhan 343 Impor Riil 7 Peranan Impor Ada Riil Sumber: Departemen Pertanian
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa realisasi produksi pada kondisi riil perkembangan kedelai di Indonesia semakin menurun sampai tahun 2003. Sementara, realisasi konsumsi menunjukan perkembangan yang fluktuatif dan terus meningkat jauh di atas realisasi produksi kedelai pada kondisi rill dengan rata-rata di atas 2 juta ton per tahun sampai 2003. Hal ini justru semakin membuat Indonesia defisit rata-rata di atas 1 juta ton per tahun untuk pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri. Sehingga, kebutuhan akan impor kedelai semakin meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut juga terlihat pada kenyataannya di lapangan yang menunjukkan bahwa adopsi teknologi produksi kedelai oleh petani masih dihadapkan pada beberapa hambatan, antara lain persepsi petani terhadap teknologi, kemampuan modal petani yang terbatas, skala usaha yang sempit dan terpencar, risiko kegagalan panen yang besar, dan kecilnya insentif bagi petani. Dikarenakan belum tercapainya tujuan yang diinginkan Pemerintah Indonesia untuk mengurangi impor pada tahun-tahun diatas, maka Pemerintah Indonesia membuat suatu program lanjutan yakni “Program Bangkit Kedelai Tahun 2008”. 2. Program Bangkit Kedelai Tahun 2008 Pada tahun 2006, pemerintah mulai mencanangkan program “Bangkit Kedelai”, yang merupakan singkatan dari Pengembangan Khusus dan Intensif Kedelai. Program ini bertujuan untuk membangkitkan semangat para petani dalam mengembangkan kedelai melalui upaya peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, kemitraan, dan lain-lain. Kemudian pada tahun 2008, Program Bangkit Kedelai ini dibuat oleh Pemerintah melalui Departemen Pertanian untuk menyikapi kegagalan Prokema 2000 dengan Rencana Aksi Percepatan Peningkatan Produksi Kedelai Tahun 2008. Sasaran program bangkit kedelai tahun 2008 adalah meningkatkan produksi nasional mencapai 1,2 juta ton per tahun, dengan target meningkatkan luas tanam mencapai 1 juta hektar melalui
1273
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1265-1280
perkiraan luas panen mencapai 760 ribu hektar dan rata-rata produktivitas 1,54 ton per hektar. Strategi yang dilakukan pemerintah dalam mencapai sasaran dan target pada program ini adalah melalui aksi percepatan produksi kedelai tahun 2008 yaitu peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, penguatan kelembagaan dan dukungan pembiayaan. Program Bangkit Kedelai tahun 2008 direncanakan pada luasan 649.500 ha yang terdiri dari: 1. 24.500 hektar pada pusat pertumbuhan di 19 propinsi/49 kabupaten dengan kegiatan berupa dem area, 2. 595.000 hektar merupakan pengembangan usaha di 30 propinsi/seluruh kabupaten dengan kegiatan berupa pembinaan pengembangan produksi kedelai, 3. 30.000 hektar merupakan pengembangan kemitraan di 9 propinsi/19 kabupaten dengan kegiatan koordinasi instansi terkait dan pembinaan. Pemerintah Indonesia juga menerapkan langkah-langkah operasional Program Bangkit Kedelai berupa: perencanaan, penetapan lokasi/petani, penetapan teknologi, penggunaan benih bermutu varietas unggul, pemupukan berimbang (pupuk organik dan pupuk bio), pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), dan kemitraan. Untuk mendorong keberhasilan Program Bangkit Kedelai ini perlu adanya dukungan kebijakan dari sesi: 1. Hulu berupa ketersediaan sarana produksi dan pengairan, 2. On-farm berupa lahan, pengairan, benih, pupuk, pengendalian OPT, panen, pasca panen, dan kemitraan, 3. Hilir berupa harga, subsidi, pembatasan impor, tarif impor kedelai, pelabelan transgenik, dan permodalan. Langkah-langkah operasional program percepatan produksi kedelai pada tahun 2008 adalah yang pertama, peningkatan produktivitas untuk luas tanam 500 ribu hektar melalui bantuan benih untuk luas tanam 210.000 hektar dan optimalisasi pembinaan untuk luas tanam 290.000 hektar. Kedua, perluasan areal tanam untuk areal tanam baru seluas 500 ribu hektar untuk sekolah lapang pengolahan tanaman terpadu (SL_PTT) di daerah yang belum pernah tanam kedelai sebanyak 200 ribu hektar dan upaya khusus peningkatan produksi kedelai sebanyak 200 ribu hektar, serta pola kemitraan dengan bulog, INKOPTI, Swasta, BUMN (CSR) dan Perbankan sebanyak 100 ribu hektar. Namun program ini pun belum memenuhi target sasaran pemerintah, hal ini dikarenakan keterbatasan lahan yang tidak sesuai dengan target yang telah direncanakan. 3. Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Pertanian 2010-2014 Mengenai Pencapaian Swasembada Kedelai 2014 Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Pertanian (2010-2014) ini disusun dalam rangka memenuhi amanat Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan mengacu dan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJMN 20102014 merupakan tahap kedua dari RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2005-2025 yang ditetapkan melalui Undang-Undang No. 17
1274
Respon Indonesia Terhadap Peredaran Produk GMF Kedelai AS (Hendra Suryanata)
Tahun 2007. Dan pada tanggal 3 Februari 2010, Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014 diterbitkan melalui Rapat Kerja Pemerintah dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010. Salah satu dari empat target utama Kementrian Pertanian adalah pencapaian swasembada kedelai. Dimana kedelai merupakan salah satu dari lima komoditas unggulan nasional di samping padi, jagung, gula, daging sapi yang ingin dipacu peningkatan produksinya di antara ke-39 komoditas nasional lainnya yang terdiri dari 7 komoditas pangan, 10 komoditas hortikultura, 15 komoditas perkebunan, dan 7 komoditas peternakan. Dengan sasaran produksi sebesar 2,7 ton di tahun 2014 dan dukungan perluasan lahan baru 2 juta ha selama 2010-2014. Selain itu, dilakukan peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor pada komoditas kedelai. Strategi yang dilakukan pemerintah dalam mencapai sasaran dan target melalui 7 Gema Revitalisasi, yaitu revitalisasi lahan, revitalisasi perbenihan dan perbibitan, revitalisasi infrastuktur dan sarana, revitalisasi SDM, revitalisasi pembiayaan petani, revitalisasi kelembagaan petani, dan revitalisasi teknologi dan industri hilir. Dalam proses perjalanannya kebijakan ini pun belum memenuhi target pemerintah. Ratifikasi Protocol Cartagena Tahun 2004 Protocol Cartagena adalah kesepakatan antara berbagai pihak yang mengatur tatacara gerakan lintas batas negara secara sengaja termasuk penangananan dan pemanfaatan suatu organisme hidup yang dihasilkan oleh bioteknologi modern Organisme Hasil Modifikasi Genetik (OHMG) dari suatu ke negara lain oleh seseorang atu badan. Protocol Cartagena bertujuan untuk menjamin tingkat proteksi yang memadai dalam hal persinggahan (transit), penanganan, dan pemanfaatan yang aman dari pergerakan lintas batas OHMG. Tingkat proteksi dilakukan untuk menghindari pengaruh merugikan terhadap kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, serta resiko terhadap kesehatan manusia. Beberapa dasar pertimbangan perlunya diatur pergerakan lintas batas OHMG dengan protokol khusus, diantaranya: a. Perlu pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) yang terkandung dalam Prinsip 15 Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Rio Declaration on Environment and Development). b. Menyadari pesatnya kemanjuan bioteknologi modern dan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap potensi pengaruhnya yang merugikan terhadap keanekaragaman hayati, dengan juga mempertimbangkan resikonya terhadap manusia. c. Mengakui bahwa teknologi memiliki potensi yang besar bagi kesejahteraan bagi umat manusia jika dikembangkan dan dipergunakan dengan perlakukan yang aman bagi lingkungan hidup dan kesehatan manusia. d. Mengakui bahwa sangat pentingnya pusat-pusat asal usul (centers of origin) dan pusat keanekaragaman genetik (centers of genetic diversity) bagi umat manusia. e. Mempertimbangkan terbatasnya kemampuan banyak negara, khususnya negaranegara sedang berkembang, untuk dapat menangani sifat dan skala resiko potensial dan resiko yang telah diketahui dari OHMG. Berkaitan dengan hal itu, maka dibentuklah Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG) berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia
1275
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1265-1280
Nomor 39 Tahun 2010 tentang Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. KKH PRG memiliki beberapa tugas diantaranya: Pertama, memberikan rekomendasi keamanan hayati. Kedua, memberikan sertifikasi hasil uji keamanan lingkungan, keamanan pangan atau pakan. Ketiga, memberikan saran dan pertimbangan, serta membantu Menteri Lingkungan Hidup, Menteri yang berwenang, dan kepala lembaga pemerintah non kementerian yang berwenang dalam melaksanakan pengawasan terhadap pemasukan dan pemanfaatan produk rekayasa genetik (PRG). Pemberlakuan Tarif Impor Kedelai Dalam tujuan peningkatan produksi kedelai dalam negeri ternyata tidak dapat terpenuhi, bahkan dapat dikatakan Indonesia mengalami defisit sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia menyikapinya dengan memberlakukan penggunaan tarif impor kedelai sebagai alternatif untuk melindungi produsen kedelai dalam negeri. Dengan tingkat tarif bea masuk tertentu akan dapat dibentuk tingkat harga yang tidak akan menyaingi harga kedelai lokal. Pengenaan tarif untuk kedelai impor Indonesia dikenal dengan tarif ad-valorem. Dimana pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor (misalnya, Indonesia memungut tarif 10 persen atas total nilai impor kedelai). Berdasarkan konsep kebijakan impor, kuota impor merupakan suatu kebijakan untuk membatasi jumlah barang impor yang masuk ke dalam negeri. Dengan dibatasinya jumlah produk impor mengakibatkan harga barang impor tetap mahal dan produk dalam negeri dapat bersaing dan laku di pasaran. Tarif impor kedelai dimulai sejak tahun 1974 sampai 1982 sebesar 30 persen. Pada tahun 1983 sampai 1993 tarif impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen, kemudian pada tahun 1994 sampai 1996 tarif diturunkan kembali menjadi 5 persen dan pada tahun 1997 menjadi 2,5 persen. Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 543/KMK01/1997 ditetapkan mulai 1 Januari 1998 terhadap importir kedelai yang dilakukan oleh importir umum dikenakan bea masuk 20 persen. Namun, berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 444/KMK.01/1998 terhitung 29 September 1998, tarif bea masuk kedelai impor dihilangkan menjadi 0 persen sampai tahun 2003 sesuai dengan kesepakatan IMF yang tertuang dalam LOI (Letter of Intent), dimana Indonesia wajib sepenuhnya mematuhi ketentuan yang lebih berat dari ketentuan WTO, seperti penghapusan monopoli impor kedelai yang semula dilakukan oleh BULOG diubah menjadi dilakukan oleh importir umum dan penurunan tarif bea masuk yang semula 20 persen menjadi setinggi-tingginya 5 persen. Ketentuan ini berlaku bagi barang impor yang dokumen pemberitahuan impor barangnya (PIB) telah mendapat nomor pendaftaran dari kantor pelayanan Ditjen Bea dan Cukai. Alasan pemerintah menerapkan tarif rendah adalah untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Namun, kebijakan tersebut justru memberikan dampak memacu peningkatan impor kedelai dari Amerika Serikat dalam jumlah besar dan mempengaruhi kestabilan harga kedelai domestik. Sebaliknya, harga kedelai di tingkat petani menjadi turun dan industri pengolahan kedelai dapat menikmati murahnya kedelai impor dengan kualitas pasokan yang lebih menjamin kontinuitas produknya. Dampak yang lebih buruk lagi adalah akan mempengaruhi motivasi petani produsen untuk menanam kedelai yang berakibat pada menurunnya produksi
1276
Respon Indonesia Terhadap Peredaran Produk GMF Kedelai AS (Hendra Suryanata)
kedelai nasional. Maka melalui keputusan Menteri Keuangan No. 557/KMK.01/2003 tentang perubahan tarif bea masuk dan penyempurnaan klasifikasi atas impor untuk beberapa produk tertentu maka diputuskan bahwa tarif bea masuk kedelai menjadi 15 persen. Keputusan tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan stok kedelai di dalam negeri, peningkatan konsumsi dan semakin tingginya harga kedelai di dalam negeri. Pada tahun 2004 tarif impor kedelai kembali diturunkan menjadi 5 persen dan diperbaharui kembali melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 110/PMK.010/2006 tentang Penetapan Sistem, Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor menjadi 10 persen pada tahun 2006. Namun, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.001/2008 pada tanggal 18 Januari 2008 tarif impor kedelai diubah kembali menjadi 0 persen. Untuk kali ini bukan hanya melalui satu keputusan menteri saja, melainkan juga dikeluarkannya Keputusan Presiden dari Presiden. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan stok kedelai di dalam negeri, semakin meningkatnya konsumsi dan tingginya harga kedelai di dalam negeri dengan perubahan mencapai lebih dari 100 persen dari harga sebelumnya. Namun, di Amerika Serikat harga kedelai hanya naik sekitar 30 persen. Tarif bea masuk 10 persen akan kembali diterapkan apabila harga kedelai di luar negeri sudah turun dikarenakan mayoritas kedelai dalam negeri disuplai dari kedelai impor. Dan sejak tahun 2010, tarif impor kedelai diperbaharui kembali menjadi 10 persen. Penerapan tarif impor kedelai sebesar 10 persen ini tidak mengurangi ketergantungan terhadap impor kedelai Indonesia . Impor kedelai pada tahun 2010 justru meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2011, Kementrian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 13/PMK. 011/2011 yang menetapkan tarif bea masuk kedelai dan tepung terigu 0 persen sejak 31 Maret 2011 hingga 31 Desember 2011. Dengan demikian setiap impor kedelai dan tepung terigu dibebaskan dari pungutan bea masuk hingga 31 Desember 2011. Seperti halnya tahun 2008, penurunan tarif impor kedelai sampai 0 persen ini tidak hanya dilakukan untuk menjaga kestabilan harga kedelai dalam negeri tapi juga sebagai antisipasi dampak yang lebih parah akibat kenaikan harga kedelai internasional. Dampak lain yang ditimbulkan adalah impor kedelai Indonesia justru semakin meningkat dengan penetapan tarif impor kedelai 0 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya sementara produksi kedelai nasional terus menurun. Oleh karena itu, sejak tanggal 1 Januari 2012 dalam PMK No 13/PMK.011/ 2011 Pasal 2 Ayat 2 ditetapkan tarif bea masuk kedelai kembali dinaikkan menjadi 5 persen. Sejak 2013 mulai dikeluarkan Peraturan No. 133/PMK.011/2013 tentang perubahan atas peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang penetapan sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor. Bahwa berdasarkan Nomor 942 Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor, telah ditetapkan bea masuk terhadap impor barang berupa kacang kedelai dengan pos tarif 1201.90.00.00 sebesar 5 persen dalam rangka menjaga stabilitas harga kacang kedelai di dalam negeri dengan tetap memperhatikan kepentingan petani dan konsumen, perlu dilakukan penyesuaian
1277
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1265-1280
terhadap pembebanan tarif bea masuk atas barang impor berupa kacang kedelai. Aturan tersebut Menetapkan tarif bea masuk atas impor barang berupa kacang kedelai dengan pos tarif (HS) 1201.90.00.00 sebagaimana dimaksud dalam Nomor 942 Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor dari 5 % menjadi 0%. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas harga kacang kedelai di dalam negeri dengan tetap memperhatikan kepentingan petani dan konsumen. Kemudian Menteri Perdagangan juga menerbitkan aturan baru tentang impor kedelai Nomor 45/M-DAG/KEP/8/2013 tanggal 28 Agustus 2013 ini merupakan Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER/5/2013 tentang Impor Dalam Rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai. Selain itu, perubahan aturan ini disebut sebagai tindak lanjut paket kebijakan penyelamatan ekonomi yang telah diumumkan oleh Pemerintah pada tanggal 23 Agustus 2013. Ada beberapa pokok perubahan pengaturan sebagai berikut: Pertama, mekanisme importasi dapat dilakukan melalui Importir Terdaftar (IT) dan Importir Produsen (IP), serta penambahan BUMN sebagai importir kedelai yang ikut dalam Program Stabilisasi Harga Kedelai. Dengan demikian, dibuka kesempatan kepada BUMN lain selain Perusahaan Umum Bulog untuk ikut dalam Program Stabilisasi Harga Kedelai. Kedua, Sistem periodisasi pengajuan permohonan dilakukan per semester seperti Persetujuan Impor Periode Semester Pertama (Januari-Juni) dapat diajukan dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir bulan November, persetujuan Impor Periode Semester Kedua (JuliDesember) dapat diajukan dalam 10 (sepuluh) hari kerja terakhir bulan Mei dan Persetujuan Impor berlaku selama 6 (enam) bulan. Sistem periodisasi pengajuan permohonan tersebut di atas berlaku pada tanggal 1 November 2013. Ketiga, Perum Bulog dan IT kedelai yang telah memperoleh Persetujuan Impor wajib merealisasikan impor kedelai paling sedikit 70 persen dari realisasi pada semester berjalan dan kontrak dari sisa persetujuan impor yang belum direalisasikan. Keempat, Kewajiban Laporan Surveyor sebagai dokumen pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan di bidang impor mulai berlaku 1 Oktober 2013. Kelima, IT kedelai dapat dibekukan apabila tidak melaksanakan kewajiban untuk melakukan realisasi impor kedelai paling sedikit 70 persen dari realisasi pada semester berjalan dan kontrak dari sisa Persetujuan Impor yang belum direalisasikan. Dan keenam, Bulog dan IT kedelai wajib menyerap kedelai lokal serta menjual kedelai lokal kepada pengrajin tahu dan tempe dengan jumlah yang telah ditentukan, sehingga melalui kebijakan Stabilisasi Harga Kedelai tersebut petani mau menanam dan meningkatkan produksi kedelainya. Namun, kebijakan tarif impor atas kedelai tersebut hanya bersifat jangka pendek dan dapat dievaluasi kembali sesuai dengan perkembangan harga kedelai dan kondisi perekonomian Indonesia. Sementara untuk mencegah jatuhnya harga kedelai lokal sekaligus mendorong petani untuk tertarik menanam kedelai, telah terbit Permendag No: 59/M-DAG/PER/9/2013, yang menetapkan harga pembelian kedelai petani untuk masa panen raya (Oktober 2013-Desember 2014) sebesar Rp 7.400/kg.
1278
Respon Indonesia Terhadap Peredaran Produk GMF Kedelai AS (Hendra Suryanata)
Kesimpulan Kedelai transgenik merupakan tanaman hasil proses rekayasa genetika atau biologi molekuler yang dikenal dengan Genetically Modified Food (GMF), sebagai sebuah proses dalam dunia kedokteran untuk mendapatkan bentuk-bentuk baru yang lebih bernilai atau memiliki sifat unggul yang lebih baik dari tanaman sebelumnya. Tanaman yang dihasilkan melalui teknik rekayasa genetika dapat diproduksi dalam waktu singkat, sehingga produktivitasnya lebih baik. Rata-rata produktivitas kedelai transgenik sekitar 30-40% lebih tinggi daripada kedelai biasa. Sehingga sangat menguntungkan bagi negara yang memiliki tingkat konsumsi kedelai yang tinggi seperti di Indonesia. Respon Pemerintah Indonesia dalam menangani masalah tersebut diantaranya untuk masalah ketersediaan kedelai pemerintah memiliki kebijakan pengembangan kedelai nasional. Tujuan dari kebijakan ini adalah agar Indonesia dapat mencapai swasembada kedelai nasional. Sedangkan masalah keamanan produk kedelai transgenik pemerintah memiliki kebijakan produk rekayasa genetik. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk melindungi masyarakat terhadap produk kedelai transgenik yang masuk ke Indonesia. Dan untuk kebijakan impor kedelai diatur dalam Peraturan No. 133/PMK.011/2013 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor dari 5% menjadi 0% yang kemudian dikuatkan dengan aturan Menteri Perdagangan nomor 45/MDAG/KEP/8/2013 yang menyatakan bahwa kebijakan bea masuk 0% hanya bersifat jangka pendek. Sementara untuk mencegah jatuhnya harga kedelai lokal sekaligus mendorong petani untuk tertarik menanam kedelai, telah terbit Permendag No: 59/MDAG/PER/9/2013, yang menetapkan harga pembelian kedelai petani untuk masa panen raya (Oktober 2013-Desember 2014) sebesar Rp 7.400/kg. Daftar Pustaka Buku Ariani, Mewa. 2006. Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan" Dalam: Suradisastra dkk (Penyunting). Diversifikasi Usahatani Dan Konsumsi: Suatu Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. Monograph Series 27 Badan Pusat Statistik. 2008. Negara Pengekspor Kedelai ke Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2010. Produsen Kedelai Dalam Negeri. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2012. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, Produksi Kedelai Menurut Wilayah Tahun 2005-2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Departemen Pertanian. 2009. Peningkatan Produksi Komoditas Tanaman Pangan Utama Tahun 2010-2014. Jakarta: Departemen Pertanian.
1279
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 4, 2015: 1265-1280
Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2012. Perkembangan Volume Ekspor, Impor, Neraca Perdagangan Kedelai Tahun 2005-2011. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jendral Tanaman Pangan. Sitepoe, Mangku. 2001. Rekayasa Genetika., Jakarta: Grasindo. Smith JE. 2004. Biotechnology; Studies in Biology. Cambridge: Inggris U.S. Departement Of Agriculture (USDA). 2012. World Soybean Production 20102011. Online Book. Dalam: http://www.usda.gov/wps/ portal/ usda/ usdahome. Website Evaluasi Kebijakan Insentif Bea Masuk Kedelai, (terdapat di http://www.kemenkeu.go.id/Kajian/evaluasi-kebijakan-insentif-bea-masukkedelai. Pada Juli 2016) Genetically Modified Food (GMF) Menurut WHO Tahun 2002, (terdapat di http://www.who.int. Pada Juni 2016) Kedelai transgenik dan Kontroversinya, (terdapat https://www.ratihkurniasih./2010/02/28/kedelai-transgenik-dankontroversinya/. Pada Juni 2016)
di
Komisi
di
Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, http://indonesiabch.or.id/kkh-prg/. Pada Juli 2016)
(terdapat
Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kedelai Dengan Kebijakan Impor, (terdapat di http://www.pse.litbang.pertanian.go.id. Pada Juni 2016) Peraturan No. 133/PMK.011/2013, (terdapat di http://ews.kemendag.go.id/kebijakan/PolicyDetail.aspx?v_kebijakan=287. Pada Juli 2016) Policy brief : kedelai impor melangkahi reguasi keamananhayati Indonesia, (terdapat di http://beritabumi.or.id/policy-brief-kedelai-impor-melangkahi-regulasikeamanan-hayati-indonesia/. Pada Desember 2015) Polemik Konsumsi Kedelai Transgenik, (terdapat di http://health.detik.com. Pada Juli 2014) RPJM
1280
bidang pangan dan pertanian – Bappenas, (terdapat di http://www.bappenas.go.id/files/3713/9346/9271/RPJMN_Bidang_Pangan_da n_Pertanian_2015-2019.pdf. Pada Juli 2016)