Resiliensi, Tipe Nilai dan Hubungan Antara Keduanya pada Anak Jalanan Peserta Didik Nonformal Viola, Julia Suleeman Psikologi Reguler, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang resiliensi dan tipe nilai serta melihat hubungan antara kedua variabel tersebut pada anak jalanan peserta didik nonformal. Gambaran resiliensi yang dipakai merujuk pada tiga karakteristik resiliensi Grotberg (2005), yaitu I Am, I Have, dan I Can. Skor resiliensi diperoleh dengan menggunakan alat ukur CD-RISC 10 item. Gambaran tipe nilai merujuk pada 10 tipe nilai dasar Schwartz (2012), yaitu universalism value, benevolence value, power value, self direction value, stimulation value, hedonism value, achievement value, security value, tradition value, dan conformity value. Gambaran tipe nilai diperoleh dengan menggunakan alat ukur Portrait Values Questionnaire (PVQ) 40 item. Penelitian ini dilakukan di wilayah Jakarta Depok, dan Tangerang. Partisipan penelitian berjumlah 111 orang dan 3 orang diantaranya diwawancara secara mendalam. Rentang usia partisipan berkisar mulai dari 12 hingga 18 tahun. Melalui penelitian ini didapatkan tiga hasil penelitian. Pertama, anak jalanan peserta didik nonformal memiliki karakteristik dan kemampuan resiliensi yang baik. Kedua, tipe nilai yang paling penting pada anak jalanan peserta didik nonformal adalah conformity value, sedangkan power value berada di urutan terendah. Ketiga, terdapat hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dengan security value, universalism value, stimulation value dan self direction value. Kata kunci: Anak jalanan; peserta didik nonformal; resiliensi; tipe nilai
Resilience, Type of Values and Relationship Between Them among Street Children of nonformal learners Abstract The major purposes of this study were to get an overview of resilience and type of values as well as to determine the relationship between the two variables on the street children of nonformal learners. The definition of resilience refered to the three characteristics of resilience from Grotberg (2005), which were: I Am, I Have, and I Can. Resilience score was measured by the Connor Davidson Resilience Scale 10 items measurement. Type of values refered to the typology of Schwartz’s 10 basic values (2012), which were: universalism value, benevolence value, power value, self-direction value, stimulation value, hedonism value, achievement value, security value, tradition value, and conformity value. Values were measured by the Portrait Values Questionnaire (PVQ) 40 items measurement. This study was conducted in Jakarta, Depok and Tangerang. In all, 111 persons, age 12 to 18 years old participated in the study and 3 persons were interviewed in depth. Through this study, the three research results. First, street children of nonformal learners had resilience capability and showed the characteristic of resilience. Second, the most important type of values in the street children of nonformal learners was conformity value, while the power value was in the lowest order. Third, there was significant positif relationship between the resilience and the security value, Universalism value, self-direction and stimulation value. Keywords: Nonformal learners; Resilience; street children; type of values
1 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
Pendahuluan Fenomena anak jalanan sudah bukan hal yang asing lagi di telinga masyarakat, khususnya warga Ibukota Jakarta. Dinas Sosial DKI Jakarta menyebutkan bahwa pada tahun 2013 jumlah anak jalanan di Jakarta berjumlah 6.631 anak. Jumlah tersebut adalah jumlah yang terdata, sedangkan diyakini bahwa banyak anak jalanan yang masih tidak terdata sehingga jumlahnya dapat lebih dari itu. Aktivitas yang sehari-hari mereka lakukan di jalanan adalah untuk mencari uang, baik dengan cara mengamen, meminta-minta, menjadi ojek payung, menyemir sepatu, menjual koran, menjual makanan/minuman ringan, menjual rokok, memulung, mencuci bus, dan lain-lain. Anak jalanan yang tersebar di Jakarta pun sudah tidak lagi mengenal batas umur. Peneliti tidak jarang menemukan anak jalanan berusia di bawah 10 tahun yang sedang mengamen di bus, menjual tisue, dan menjual koran di sekitar kampus peneliti, yakni Universitas Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan dalam peraturan terbaru, yakni Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 4 Tahun 2013 tentang kesejahteraan sosial, menyebutkan bahwa anak jalanan merupakan salah satu sasaran yang berhak mendapatkan kesejahteraan dan pelayanan sosial. Namun, peraturan bukanlah jaminan yang pasti untuk menekan bertumbuhnya jumlah anak jalanan. Seiring pertumbuhan jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun, anak jalanan sudah seperti komunitas yang kian membesar di sudut-sudut kota besar seperti Jakarta. Hidup di jalanan seperti berada di medan pertempuran baru bagi anak-anak jalanan. Untuk dapat bertahan, seringkali mereka hidup berkelompok dengan teman-teman sebaya atau yang lebih tua. Ancaman-ancaman yang selalu menaungi anak-anak jalanan pun bisa berasal dari lingkungan tempat mereka berada, teman-teman sesama anak jalanan, dan keluarga mereka sendiri. Kushartati (2004) menyebutkan bahwa anak jalanan rentan mendapatkan situasi yang buruk seperti menjadi korban eksploitasi, kekerasan fisik, kekerasan seksual, penjerumusan ke tindakan kriminal, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya. Hal ini diperkuat oleh Kristiyadi dan Rianto (2006, dalam Sakalasastra & Herdiana; 2012) bahwa kondisi di jalanan seperti ketiadaan pengawasan orang tua, ketiadaan tempat untuk berlindung, kehidupan yang bebas dan lain-lain membuat anak jalanan semakin rentan dengan kasus pelecehan seksual. Selain itu sudah bukan rahasia umum jika anak-anak jalanan seringkali dieksploitasi oleh preman yang mengaku sebagai pelindung mereka (Demartoto, 2012). Tidak jarang pula pergaulan di kalangan anak jalanan, tindakan eksplorasi, dan rasa frustasi, mengarahkan mereka kepada obat-obatan terlarang atau zat-zat adiktif lainnya seperti lem industri, bensin, dan alkohol (Demartoto, 2012). 2 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
Dari segala latar belakang yang menyebabkan seseorang menjadi anak jalanan, berjuang hidup bertahun-tahun lamanya untuk menghadapi berbagai ancaman kekerasan di jalan, dan pandangan negatif yang diterima anak jalanan, ternyata masih ada sebagian dari mereka yang menaruh harapan untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Dalam segala keterbatasan ekonomi atau putus sekolah, ada yang berusaha mencari pengetahuan di sekolah kesetaraan atau sekolah kejar paket yang tergolong sebagai pendidikan nonformal. Dari fenomena tersebut, muncul pertanyaan di benak peneliti, bagaimana bisa seseorang yang mengalami stressor serupa, dapat bertahan dan justru mau menyisihkan sebagian waktunya untuk mengembangkan dirinya melalui sektor pendidikan, dikala yang lainnya mengalami frustasi atau menyerah? Apakah anak-anak jalanan yang tetap bertahan dan mampu berkembang menjalani kehidupannya tersebut dapat dikatakan memiliki resiliensi? Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi atau bangkit kembali setelah mengalami kesulitan (Wagnild & Collins, 2009). Pandangan resiliensi yang serupa juga dikemukakan oleh Grotberg (1995) yang menyatakan bahwa resiliensi merupakan kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan diperkuat oleh pengalaman-pengalaman hidup yang sulit. Resiliensi ini penting sekali untuk dimiliki anak-anak jalanan untuk tetap bangkit dan berkembang, karena setiap harinya mereka berhadapan dengan kemiskinan, hal-hal yang mengancam, dan penderitaan. Penelitian yang dilakukan oleh Grotberg (2005) mengenai resiliensi anak jalanan di Peru menghasilkan kesimpulan bahwa anak-anak jalanan ternyata memiliki kemampuan resiliensi yang baik. Verma, Sta. Maria, Morojele (2011) juga menyatakan bahwa anak-anak jalanan yang mengikuti pendidikan ternyata menyadari bahwa melalui pendidikanlah mereka dapat keluar dari kemiskinan dan keluar dari jalanan. Penemuan tersebut senada dengan penelitian resiliensi anak jalanan yang dilakukan oleh Syarif dan Suleeman (2013), yaitu anak jalanan ternyata menyadari pentingnya sekolah dan menyadari bahwa sekolah merupakan gerbang menuju ke masa depan yang cerah. Selain itu, anak-anak jalanan yang resilien dan mau menempuh pendidikan juga dapat dikatakan memiliki orientasi masa depan yang baik. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ardias (2008) yang menunjukan bahwa orientasi masa depan di bidang pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap resiliensi pada remaja miskin. Dengan demikian pendidikan atau dalam hal ini sekolah, menjadi tempat yang memegang peranan penting dalam membentuk resiliensi seorang anak jalanan. Sekolah menjadi tempat yang paling memungkinkan anak-anak yang berisiko seperti anak-anak jalanan yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah untuk dapat mengembangkan resiliensi sehingga 3 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
dirinya bisa berkembang dengan lebih maksimal (Henderson & Milstein, 2003). Namun, karena keterbatasan ekonomi, pada akhirnya pendidikan yang paling dekat dan mampu diikuti oleh anak-anak jalanan bukanlah pendidikan formal, melainkan pendidikan nonformal. Oleh karena itu, peneliti memilih untuk melakukan penelitian terhadap anak-anak jalanan yang mengikuti pendidikan nonformal sebagai edukasi alternatif dari sekolah formal. Berbicara tentang resiliensi, dalam resiliensi terdapat juga peran dari nilai atau values yang dimiliki seseorang untuk membantu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi (Eggerman & Brick, 2010). Hal ini juga ditemukan pada penelitian mengenai resiliensi anak Amerika-Meksiko yang ternyata dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya setempat (Consoli & Llamas, 2013). Schwartz (2012) mengartikan nilai sebagai hal yang dianggap penting atau tidaknya sesuatu dalam kehidupan. Schwartz juga menambahkan bahwa suatu hal yang dianggap penting atau bernilai bagi satu orang, dapat dianggap tidak penting bagi orang lain (2012). Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan prioritas pada tipe-tipe nilai dasar yang terdapat pada diri setiap orang. Selain itu, nilai juga merupakan salah satu faktor protektif yang mempengaruhi resiliensi, sehingga nilai berfungsi untuk memotivasi individu dan memperkuat ketahanannya dalam menghadapi segala permasalahan yang ada. Untuk menemukan ada atau tidaknya hubungan antara resiliensi dan nilai yang dimiliki anak jalanan peserta didik nonformal, maka peneliti merasa perlu melakukan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan bagi instansi-instansi pendidikan nonformal untuk mengembangkan kurikulum pendidikan atau model pembelajaran yang turut membantu membentuk kemampuan resiliensi pada anak jalanan yang sesuai pula dengan tipe nilai yang dimiliki oleh anak-anak jalanan. Selain itu, hasil skor resiliensi yang didapatkan dalam penelitian ini dapat menggambarkan apakah anakanak jalanan peserta didik nonformal memang menunjukan resiliensi yang baik atau justru cenderung rendah.
Tinjauan Teoritis Anak Jalanan: Penggolongan Anak Jalanan dan Faktor yang Mempengaruhi Individu Menjadi Anak Jalanan Grundling et al., (2005) membedakan anak jalanan berdasarkan dua kategori : a. Children on the street. Children on the street merupakan anak jalanan yang memiliki rumah dan berada di jalan untuk membantu ekonomi keluarga. 4 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
b. Children off the street. Children off the street merupakan anak jalanan yang sudah tidak lagi atau jarang sekali berhubungan atau melakukan kontak dengan keluarga dan berada di jalanan untuk tetap bisa melanjutkan hidupnya (Richter, 1991; Schurink, 1993). Penelitian yang dilakukan Demartoto (2012) menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi individu menjadi anak jalanan, yaitu : a. Factors at the macro level. Pada tingkat makro, hal yang mempengaruhi individu menjadi anak jalanan berasal dari lingkungan yang lebih luas. Contohnya adalah faktor politik, krisis ekonomi, pengangguran, serta urbanisasi. b. Factors at the meso (family) level. Pada tingkat meso, hal yang mempengaruhi individu menjadi anak jalanan berasal dari keluarga. Contohnya antara lain, kerusakan pada struktur keluarga, keluarga dengan orang tua tunggal, pernikahan kembali, kemiskinan yang dialami keluarga, kekerasan terhadap anak, penelantaran terhadap anak, kekerasan dalam keluarga. c. Factors at the micro level. Pada tingkat mikro, faktor yang mempengaruhi untuk menjadi anak jalanan berasal dari individu itu sendiri. Contohnya seperti lari atau keluar dari situasi kelaparan, kabur dari rumah untuk bertualang, kegagalan dalam akademis di sekolah, kekurangan biaya hidup, perasaan seperti tidak diinginkan atau dijauhi dari keluarga. Definisi Resiliensi Banyak peneliti terdahulu yang sudah berusaha mendefinisikan resiliensi dengan bahasa masing-masing sehingga lebih mudah untuk dipahami. Namun, tidak ada definisi resiliensi yang universal walaupun hampir semua definisi tersebut hampir serupa (Henderson & Milstein, 2003). The Wolins (1993, dalam Henderson & Milstein, 2003, hal.7) mengartikan resiliensi sebagai “capacity to bounce back, to withstand hardship, and to repair yourself”. Resiliensi dalam hal ini dilihat sebagai suatu kapasitas atau kemampuan yang dimiliki individu. Berbeda dengan pengertian sebelumnya, Schoon (2006, hal. 6) mendefinisikan resiliensi sebagai “…a dynamic process whereby individuals show adaptive functioning in the face of significant adversity.” Dalam hal ini Schoon melihat resiliensi sebagai suatu proses. Richardson et al (1990) mendefinisikan resiliensi sebagai suatu proses yang akan selalu berjalan selama individu masih hidup karena resiliensi itu sendiri merupakan sebuah proses kehidupan (dalam Henderson & Milstein, 2003). Menambahkan pandangan (Richardson et al, 5 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
1990; Schoon, 2006) yang menganggap resiliensi sebagai suatu proses, Higgins (1994) menyimpulkan resiliensi sebagai “process of self righting and growth” (dalam Henderson & Milstein, 2003, hal.7). Dalam hal ini definisi resiliensi sebagai suatu proses, bertambah maknanya dengan karakteristik berkembang atau growth. Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dari berbagai kesulitankesulitan hidup dan keterpurukan, serta mampu untuk mengembangkan kompetensi diri menjadi lebih baik. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Terdapat dua faktor yang mempengaruhi resiliensi, yakni risk factors dan protective factors (Nasution, 2011). “Risk factors are individual or enviromental characteristics, conditions, or behaviors that increase the likelihood that a negative outcome will occur” (Centers for Disease Control and Prevention, 2009, hal.3). Faktor risiko dalam kehidupan seseorang dapat bersumber baik dari internal, keluarga, dan sumber eksternal (Grotberg, 1999). Faktor-faktor risiko dapat menjadi suatu bentuk penderitaan (adversity) apabila seseorang mempersepsikan pengalaman hidupnya tersebut sebagai sesuatu yang menghambat dirinya. Ketika seseorang mengalami pengalaman yang menyebabkan ia merasa takut, takut dilukai, merasa terasing, dan merasa mendapatkan tekanan yang sangat hebat, maka orang tersebut mempersepsikan pengalamannya itu sebagai suatu bentuk penderitaan (Grotberg, 1999). Dengan adanya faktor-faktor risiko selama seseorang menjalani hidupnya, mereka diharapkan mampu bangkit dan memiliki resiliensi (Schoon, 2006). Protective factors merupakan faktor-faktor yang berperan dalam memodifikasi efek negatif lingkungan yang merugikan hidup dan membantu menguatkan resiliensi (Nasution, 2011). Schoon (2006) menyebutkan bahwa protective factors dapat dipahami sebagai sumber daya psikososial yang mendukung atau mampu meningkatkan perkembangan adaptif individu. Sama perihalnya dengan risk factors, banyak atau sedikitnya protectitve factors yang dimiliki individu dipengaruhi oleh persepsi. Semakin banyak hal yang dipersepsikan sebagai protective factors dibandingkan dengan risk factors, maka semakin banyak sumber daya pribadi dan sosial yang mendukung dirinya untuk melakukan coping terhadap adversity. Karakteristik Resiliensi Grotberg (2005) dalam berbagai penelitiannya menjabarkan 3 komponen yang terdapat pada remaja yang resilien, yakni I Have, I Am, dan I Can. Pertama, “I Have” merupakan halhal yang tersedia atau dimiliki oleh seorang anak untuk menunjang hidupnya. “I Am” 6 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
merupakan kekuatan dalam diri yang berkembang seperti kepercayaan diri, rasa optimis, respect dan empati. “I Can” merupakan kemampuan interpersonal dan kemampuan memecahkan masalah (Grotberg, 2005). Individu dapat dikatakan resilien apabila memenuhi ketiga komponen di atas (Grotberg, 2005). Nilai: Definisi dan Tipe Nilai Nilai pada diuraikan sebagai dorongan, tujuan yang bersifat trans-situasional, yang berbeda-beda pada tingkat kepentingan, yang berfungsi sebagai pedoman atau prinsip dalam hidup seseorang (Barnea & Schwartz, 1998). Acuan teoritis nilai yang diteliti Schwartz berdasarkan motivasi manusia. Hal ini dikarenakan motivasi merupakan kriteria yang digunakan seseorang untuk menyeleksi dan membenarkan tindakan serta mengevaluasi situasi, diri mereka sendiri, dan orang lain (Scwartz, 2012). Schwartz (2012) menyebutkan sepuluh tipe nilai dasar yang berlaku universal, yaitu: a. Self direction. Apa yang diutamakan didasarkan pada pemikiran dan tindakan yang independen dalam memilih, menciptakan, dan mengeksplorasi. b. Stimulation. Apa yang diutamakan didasarkan pada kegembiraan, novelty, dan tantangan dalam hidup. c. Hedonism. Apa yang diutamakan didasarkan pada kesenangan dan sensasi kepuasan diri sendiri. d. Achievement. Apa yang diutamakan didasarkan pada kesuksesan pribadi yang ditunjukan dari kompetensi yang sesuai dengan standar sosial. e. Power. Apa yang diutamakan didasarkan pada status sosial, prestise, kontrol atau dominansi terhadap orang lain dan sumber daya. f. Security. Apa yang diutamakan didasarkan pada keamanan, harmoni, stabilitas masyarakat, stabilitas dalam hubungan, dan stabilitas diri. g. Conformity. Apa yang diutamakan didasarkan pada penahanan diri dari tindakan, kecenderungan, dan dorongan-dorongan yang bersifat merugikan orang lain, melanggar atau tidak sejalan dengan norma-norma sosial dan harapan. 7 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
h. Tradition. Apa yang diutamakan didasarkan pada respect, komitmen, dan penerimaan atas kebiasaan atau ide-ide yang terdapat pada budaya seseorang atau agama. i. Benevolence. Apa yang diutamakan didasarkan pada pertahanan dan peningkatan kesejahteraan dalam kelompok. j. Universalism. Apa yang diutamakan didasarkan pada pemahaman, apresiasi, toleransi, dan perlindungan untuk kesejahteraan semua orang dan alam. Dinamika Hubungan Antara Resiliensi dan Tipe Nilai Anak jalanan rentan mendapatkan risiko-risiko buruk seperti kekerasan fisik, eksploitasi, kekerasan seksual, penjerumusan ke tindakan kriminal, dan penyalahgunaan narkoba (Kushartati, 2004). Risiko kian bertambah pada anak jalanan yang berada pada tahapan usia remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa yang melibatkan banyak perubahan yang cukup signifikan, seperti perubahan biologis, sosial, dan kognitif (Santrock, 2007). Santrock menambahkan bahwa perubahan yang kompleks pada masa remaja tersebut dapat menempatkan mereka pada kondisi yang berisiko untuk mengalami penyimpangan perkembangan terutama jika tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari lingkungannya (2007). Selain itu, pada masa remaja, individu lebih dekat dan menjadikan teman atau sahabat sebagai sumber utama dukungan sosial bagi anak (Santrock, 2007). Padahal, lingkungan sosial salah satunya pergaulan, merupakan faktor negatif yang mempengaruhi anak jalanan untuk terjatuh dalam penyimpangan sosial (Demartoto, 2012). Banyaknya risiko-risiko yang dihadapi oleh anak jalanan khususnya pada usia remaja, menjadikan resiliensi penting untuk dimiliki agar mereka dapat bertahan dan bangkit (Reivich & Shatte, 2002, dalam Nasution 2011). Selain itu kemampuan resiliensi dapat membantu individu mencapai tujuan hidupnya (Nasution, 2011). Istilah yang lahir dari studi mengenai resiliensi pada anak jalanan, salah satunya “street-smart”, merupakan kemampuan individu menggunakan berbagai strategi guna bertahan hidup ditengah berbagai tekanan yang harus dihadapinya (Banaag, 1997, dalam Nasution, 2011). Dalam membangun resiliensi, terdapat peran dari nilai yang dimiliki individu (Eggerman & Brick, 2010). Menurut Schwartz (2012), nilai yang diinternalisasi akan berbeda pada masing-masing individu berdasarkan apa yang dianggap penting oleh individu. Nilai yang diyakini oleh individu tersebut akan mendorongnya untuk semakin resilien, karena nilai berperan untuk memotivasi, 8 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
meningkatkan ketahanan individu, dan membantu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi (Eggerman & Brick, 2010).
Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Partisipan dalam penelitian adalah anak jalanan yang sedang menempuh pendidikan nonformal di Jakarta, Depok, dan Tangerang yang berusia 12 – 18 tahun. Pengambilan data dilakukan menggunakan teknik accidental sampling untuk data kuantitatif dan teknik purposive sampling untuk data kualitatif. Metode penelitian kualitatif yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah wawancara. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 111 orang yang terdiri dari 69 laki-laki dan 42 perempuan. Alat Ukur Alat ukur resiliensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur CD-RISC (Connor Davidson – Resilience Scale) yang awalnya dibuat oleh Connor dan Davidson (2003) dan diperbaharui oleh Campbell dan Stein (2007) menjadi 10 item. Alat ukur CD-RISC 10 item ini sudah diadaptasi ke dalam bahasa indonesia oleh Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI (2011). CD-RISC 10 item berupa skala likert dengan 5 pilihan respon dari 1 hingga 5. Skala 1 untuk “tidak pernah sama sekali”, 2 untuk “hampir tidak pernah”, 3 untuk “sesekali”, 4 untuk “sering”, dan 5 untuk “hampir selalu”. Semua item dalam CD-RISC 10 item merupakan itemitem favourable. Untuk mendapatkan gambaran tipe nilai yang dimiliki anak jalanan peserta didik nonformal, digunakan alat ukur Schwartz (2006), yaitu Portrait Values Questionnaire (PVQ). Alat ukur PVQ terdiri dari 40 item dengan 6 pilihan respon dari skala 1 hingga 6. Skala 1 untuk “sangat tidak sesuai hingga 6 untuk “sangat sesuai”. Prosedur Pengambilan data dilakukan selama 3 minggu, mulai dari Mei 2014 hingga Juni 2014. Panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk mengambil data dikarenakan ketidakpastian jumlah partisipan ketika ditemui akibat tingginya mobilitas dan jadwal belajar yang sebagian besar berlangsung pada akhir pekan dan malam hari. Prosedur pengolahan data kuantitatif menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS) dengan teknik statistic berupa analisis statistik deskriptif, Pearson Correlation Coefficient (r), dan independent sample t-test.
9 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
Prosedur pengolahan data kualitatif menggunakan analisis intrasubjek dan analisis intersubjek.
Hasil Penelitian Gambaran Umum Partisipan Penelitian Tabel 1. Gambaran Umum Karakteristik Partisipan Penelitian (N=111)
Jenis Kelamin Usia
Pekerjaan
Lama Hidup di Jalan
Lama Pendidikan Partisipan
Lama Pendidikan Ayah
Lama Pendidikan Ibu
Data Partisipan Laki-laki Perempuan 12 tahun 13-15 tahun 16-18 tahun Asisten Pengajar Joki 3 in 1 Loper Koran Montir Ojek Payung Pembantu Pengamen Penjual Asongan Siswa/Tidak Bekerja Tukang Parkir >1 tahun 1-2 tahun 3-4 tahun 5-6 tahun <6 tahun Tidak Pernah 2-6 tahun 7-9 tahun 10-13 tahun Tidak Sekolah 2-6 tahun 7-9 tahun 10-12 tahun 17 tahun Tidak Tahu Tidak Sekolah 2-6 tahun 7-9 tahun 10-13 tahun 15 tahun Tidak Tahu
Frekuensi 69 42 11 44 56 1 2 2 1 14 2 30 3 52 4 7 16 11 4 4 69 46 32 33 12 44 16 34 1 4 20 7 66 14 1 3
Persentase 62,2% 37,8% 9,9% 39,6% 50,4% 0,9% 1,8% 1,8% 0,9% 12,6% 1,8% 27% 2,7% 46,8% 3,6% 6,3% 14,4% 9,9% 3,6% 3,6% 62,2% 41,4% 28,8% 29,7% 10,8% 39,6% 14,4% 30,6% 0,9% 3,6% 18% 6,3% 59,4% 12,6% 0,9% 2,7%
Tabel 2. Gambaran Umum Karakteristik Partisipan Wawancara (N=3) Karakteristik Jenis kelamin Usia Agama Suku Bangsa
Partisipan 1 Laki-laki 17 tahun Islam Jawa
Partisipan 2 Laki-laki 15 tahun Islam Sunda
10 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
Partisipan 3 Laki-laki 17 tahun Islam Betawi
Pendidikan Pekerjaan Lama Hidup di Jalan Nilai Resiliensi
Paket C Pengamen 1 bulan 44 (tinggi)
Paket B Montir 2 bulan 37 (sedang)
Paket C Penjual Tas Keliling Tidak Pernah 35 (sedang)
Gambaran Skor Resiliensi Partisipan Tabel 3. Gambaran Umum Resiliensi Partisipan (N=111) Kategori Resiliensi Tinggi Sedang Rendah
Skor Resiliensi 42 - 50 31 - 41 10 - 30
n 16 82 13
Persentase 14,41% 73,87% 11,71%
Berdasarkan tabel di atas, sebagian besar (73.87%) anak jalanan peserta didik nonformal memiliki resiliensi yang tergolong sedang. Sebanyak 16 anak jalanan peserta didik nonformal memiliki resiliensi yang tergolong tinggi dan hanya 13 anak jalanan yang memiliki resiliensi rendah. Tabel 4. Perbandingan Resiliensi Partisipan Berdasarkan Usia (N=111) Usia n Mean 12 - 14 41 33,95 15 - 18 70 37,37 **Signifikan pada Los .01
p
Nilai Minimum 22 27
,001**
Nilai Maksimum 45 46
Berdasarkan tabel di atas, terdapat perbedaan mean yang signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan mean score yang signifikan antara kelompok partisipan dengan rentang usia 12-14 tahun (remaja awal) dan partisipan dengan rentang usia 15-18 tahun (remaja menengah) terhadap resiliensi. Mean resiliensi paling tinggi terdapat pada kelompok dengan rentang usia 15 hingga 18 tahun (remaja menengah). Tabel 5. Perbandingan Resiliensi Partisipan Berdasarkan Jenis Kelamin (N=111) Jenis Kelamin
n
Mean
Laki-laki
69
36,07
Perempuan
42
36,17
p ,926
Nilai Minimum
Nilai Maksimum
22
45
25
46
Berdasarkan tabel di atas, tidak terdapat perbedaan mean yang signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan mean score yang signifikan antara kelompok partisipan laki-laki dan partisipan perempuan terhadap resiliensi. Kelompok partisipan perempuan memiliki nilai mean yang sedikit lebih tinggi dibandingkan nilai mean kelompok laki-laki. 11 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
Gambaran Karakteristik Resiliensi Partisipan Wawancara Tabel 6. Gambaran Karakteristik Resiliensi Partisipan Wawancara (N=3) Karakteristik Resiliensi
I Have
Partisipan 1
Partisipan 2
Partisipan 3
Dukungan dan bantuan dari orang tua, temanteman sekolah, temanteman kerja, guru, memiliki harapan masa depan.
Dorongan dan dukungan dari ibu, teman sekolah, lingkungan belajar yang mendukung, guru yang kompeten, memiliki harapan masa depan. Optimis, berorientasi ke masa depan, percaya diri, dan menghormati orang tua.
Dukungan dari ibu, teman-teman sekolah, dan guru, lingkungan sekolah yang positif, memiliki harapan akan masa depan
Optimis, bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan, kuat, menyayangi orang tua, mandiri, berorientasi ke masa depan.
I Am
I Can
Cara Memandang Masalah
Alasan Menempuh Pendidikan
Perubahan Setelah Menempuh Pendidikan Orientasi Masa Depan
Menyelesaikan masalah, mencari bantuan ketika ada masalah, keluar dari situasi yang merusak diri, dan bangkit dari pengalaman buruk.
Menyelesaikan masalah, mencari bantuan ketika ada masalah, beradaptasi dengan lingkungan baru, menghindari diri dari risiko kriminalitas di jalanan.
Dijadikan pembelajaran dan tahapan menuju kesuksesan.
Dipandang secara positif dengan menjadikannya suatu proses pembelajaran
Intrinsik: niat dari dalam diri, ingin membuka lembaran baru, dan menuju kehidupan yang lebih baik. Ekstrinsik: dorongan orang tua Pengetahuannya berkembang, memiliki orientasi masa depan, yakin bahwa pendidikan adalah jembatannya menuju kesuksesan. Kuliah dan menjadi pengusaha.
Intrinsik: ingin merubah hidup menjadi lebih baik. Ekstrinsik: dorongan ibu, membahagiakan orang tua, dan agar tidak dipandang sebelah mata. Meningkatnya kepercayaan diri, memiliki orientasi masa depan, memiliki penguat motivasi dari lingkungan sekolah. Kuliah dan menjadi dokter
Cepat tanggap dalam melihat situasi dan menghadapi masalah, menyayangi dan menghormati ibunya, berorientasi ke masa depan. Menyelesaikan masalah, mampu membagi waktu antara bekerja dan sekolah, mencari bantuan ketika ada masalah, mampu memilih solusi terbaik dalam menghadapi masalah. Dipandang sebagai sesuatu yang wajar untuk dijalani karena dengan menjalaninya maka masalah akan selesai. Intrinsik: meraih ijazah untuk memperoleh pekerjaan sebagai karyawan di perusahaan. Ekstrinsik: ingin membanggakan orang tua. Lebih bahagia karena banyaknya dukungan dari lingkungan sekolah dan jadi punya penguat motivasi untuk menuju hidup yang lebih baik. Kuliah dan menjadi karyawan perusahaan
Dari tabel di atas, ketiga partisipan memiliki ketiga karakteristik resiliensi (I Have, I Am, dan I Can) yang menunjang diri partisipan dalam menghadapi berbagai masalah dalam 12 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
hidupnya. Dengan adanya ketiga karakteristik tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ketiga partisipan adalah individu yang resilien (Grotberg, 2005). Hasil wawancara ini sesuai dengan perhitungan kuantitatif yang menunjukan skor resiliensi tinggi pada partisipan 1 dan skor resiliensi sedang pada partisipan 2 dan partisipan 3. Pada komponen I Have, ketiga partisipan sama-sama memiliki orang yang mendukung dan membantunya dalam menjalani hidup. Ketiga partisipan juga memiliki sumberdaya dukungan dari sekolah baik dari teman-teman sekolah, guru, dan lingkungan belajar yang positif. Selain itu, ketiga partisipan juga memiliki harapan akan masa depannya, dibuktikan dengan adanya cita-cita untuk menempuh pendidikan lanjutan dan pekerjaan yang lebih baik. Pada komponen I Am, terlihat perbedaan masing-masing partisipan. Hal ini dikarenakan I Am merupakan kekuatan yang ada pada karakteristik personal individu sehingga satu individu akan berbeda dengan yang lainnya (Grotberg, 2005). Persamaan yang ada pada ketiga partisipan yakni sama-sama merupakan individu yang menyayangi dan menghormati orang tua mereka. Ketiga partisipan juga merupakan individu yang berorientasi ke masa depan sehingga mereka memiliki cita-cita akan apa yang akan mereka lakukan kemudian harinya. Sedangkan perbedaan pada ketiganya adalah sebagai berikut, partisipan 1 adalah orang yang optimis, kuat, mandiri, dan bertanggung jawab. Partisipan 2 adalah orang yang optimis dan percaya diri. Sedangkan kekuatan diri partisipan 3 yang tidak dimiliki oleh partisipan lainnya adalah cepat tanggap dalam melihat situasi dan menghadapi masalah. Pada komponen I Can, ketiga partisipan sama-sama mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan mampu mencari bantuan apabila ada masalah yang tidak bisa diselesaikan sendiri. Pada partisipan 1, ia mampu keluar dari situasi yang merusak dirinya ketika 1 bulan tinggal di jalanan, lalu ia juga mampu bangkit dari pengalaman buruk untuk mencapai apa yang diinginkannya. Partisipan 2 mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya, yakni kehidupan di jalanan dan mampu menghindarkan diri dari risiko-risiko yang mengancam di jalanan. Pada partisipan 3, ia mampu membagi waktunya antara bekerja berjualan tas keliling dengan tetap bersekolah sehingga ia tidak harus berhenti sekolah. Ia juga mampu memilih solusi yang terbaik bagi dirinya sendiri, nampak pada caranya yang lebih memilih emotional focused coping dengan bermain dengan teman-temannya daripada kabur dari rumah dalam perasaan sedihnya menghadapi pertengkaran orang tuanya. Dalam memandang suatu masalah, ketiga partisipan memiliki cara pandang yang agak berbeda. Pada partisipan 1, ia melihat masalah sebagai suatu proses pembelajaran dan tahapan-tahapan untuk menuju kesuksesan. Pada partisipan 2, ia memandang masalah dengan menjadikannya lebih positif, yakni sebagai pengalaman pembelajaran. Sedangkan pada 13 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
partisipan 3, ia memandang masalah sebagai hal yang wajar untuk dijalani karena dengan dijalani, maka masalah tersebut akan selesai dengan sendirinya. Hal yang melatarbelakangi ketiga partisipan untuk menempuh pendidikan, sama-sama berasal dari motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Pada partisipan 1, motivasi intrinsik adalah adanya niat dari dalam diri untuk membuka lembaran baru ke arah kehidupan yang lebih baik. Sedangkan motivasi ekstrinsik berasal dari dorongan orang tua untuk melanjutkan pendidikan dan rasa untuk membahagiakan orang tua. Pada partisipan 2, motivasi intrinsik dalam menempuh pendidikan adalah untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik. Sedangkan motivasi ekstrinsik muncul dari dorongan ibunya untuk melanjutkan pendidikan, ingin membahagiakan orang tua, dan tidak ingin dipandang sebelah mata oleh orang lain. Pada partisipan 3, motivasi intrinsik yang memacunya untuk terus bersekolah adalah untuk meraih ijazah paket C agar bisa melamar pekerjaan yang lebih baik, yakni karyawan suatu perusahaan. Sedangkan motivasi ekstrinsik tidak jauh berbeda dengan dua partisipan sebelumnya, yaitu untuk membanggakan orang tuanya. Selanjutnya ketiga partisipan sama-sama merasakan adanya perubahan setelah menempuh pendidikan ke arah yang lebih positif. Pada partisipan 1, ia merasa bahwa setelah menempuh pendidikan, pengetahuannya menjadi lebih berkembang. Ia pun jadi punya orientasi masa depan, yakni berupa menempuh kuliah dan menjadi pengusaha. Bagi partisipan 1, ia yakin bahwa pendidikan adalah jembatannya menuju kesuksesan. Pada partisipan 2, perubahan yang dirasakannya antara lain meningkatnya kepercayaan diri, semakin kuatnya motivasi untuk mencapai cita-citanya untuk bisa kuliah dan menjadi dokter. Sedangkan pada partisipan 3, ia merasa lebih bahagia karena adanya banyak dukungan dari teman-teman sekolah dan gurunya yang senantiasa memotivasinya untuk hidup lebih baik. Ia pun memiliki orientasi masa depan, yakni bisa mencapai jenjang perkuliahan dan bekerja sebagai karyawan perusahaan tertentu. Gambaran Tipe Nilai Partisipan Penelitian Tabel 7. Prioritas Tipe Nilai Partisipan Penelitian (N=111) Urutan 1 2 3 4 5 6 7 8
Tipe Nilai Conformity Benevolence Tradition Universalism Security Self Direction Stimulation Achievement
14 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
Mean Skor 5,03 4,99 4,98 4,92 4,87 4,79 4,64 4,62
9 10
Hedonism Power
4,54 4,16
Urutan tipe nilai anak jalanan peserta didik nonformal dari yang paling penting hingga yang tidak penting adalah conformity value, benevolence value, tradition value, universalism value, security value, self direction value, stimulation value, achievement value, hedonism value, dan power value. Sehingga dapat disimpulkan bahwa conformity value merupakan nilai yang dianggap paling penting bagi anak jalanan peserta didik nonformal, sedangkan power value merupakan nilai yang urutannya terendah dibanding nilai-nilai lainnya. Hubungan Resiliensi dan Tipe Nilai Tabel 8. Korelasi Skor Resiliensi dan Skor Tipe Nilai (N=111) Tipe Nilai Benevolence
Resiliensi ,124
Universalism
,252**
Self Direction
,330**
Stimulation
,224*
Hedonism
,090
Achievement
,016
Power
,176
Security
,227*
Conformity
,092
Tradition
,120
*correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed) **correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)
Dari tabel hasil korelasi diatas, menunjukan bahwa resiliensi berkorelasi secara signifikan dengan empat tipe nilai, yakni universalism, self direction, stimulation, dan security. Sedangkan untuk tipe nilai lainnya tidak didapatkan korelasi yang signifikan dengan resiliensi. Arah hubungan antara resiliensi dan keempat tipe nilai adalah positif, sehingga semakin tinggi kemampuan resiliensi maka semakin bernilai keempat values tersebut bagi anak jalanan peserta didik nonformal.
Pembahasan Pada penelitian ini terdapat dua teknik pengambilan data untuk menggambarkan resiliensi yang dimiliki partisipan, yaitu skala resiliensi CD-RISC 10 dan wawancara. 15 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
Keduanya saling melengkapi dalam menggambarkan kemampuan resiliensi dan karakteristik resiliensi berdasarkan Grotberg (2005). Partisipan yang memiliki skor resiliensi tinggi dan sedang berdasarkan perhitungan CD-RISC juga menunjukan karakteristik individu yang resilien yang diajukan oleh Grotberg. Sehingga dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki kesesuaian dengan karateristik yang diajukan Grotberg akan lebih resilien daripada individu yang tidak memiliki kesesuaian dengan karakteristik tersebut. Salah satu karakteristik resiliensi Grotberg (2005) yakni “I Am” yang merupakan kekuatan-kekuatan dalam diri individu yang mendukung individu tersebut menghadapi permasalahannya, turut mendukung pernyataan Connor dan Davidson (2003) yang menyebutkan bahwa kualitas pribadi individu mendukung berkembangnya kemampuan menghadapi masalah. Menurut Grotberg (2005), resiliensi diperkuat dengan adanya permasalahan-permasalahan yang dihadapi individu. Pernyataan tersebut juga diungkapkan oleh Connor dan Davidson (2003) bahwa masalah-masalah yang dihadapi individu akan membuatnya semakin kuat. Pada hasil gambaran resiliensi berdasarkan usia, ditemukan adanya perbedaan nilai resiliensi antara partisipan dengan rentang usia 15-18 tahun (remaja menengah) memiliki resiliensi yang lebih tinggi dibandingkan partisipan dengan rentang usia 12-14 tahun (remaja awal). Hal ini dimungkinkan karena pada masa remaja awal, menurut Santrok (2007) perubahan-perubahan yang signifikan dari masa kanak-kanak menuju dewasa seperti perubahan biologis dan psikososial baru saja terjadi sehingga remaja awal masih belum siap terhadap perubahan signifikan tersebut. Padahal dalam resiliensi, kemampuan yang baik dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi merupakan salah satu pendukung kualitas resiliensi individu (Connor & Davidson, 2003). Selain itu, menurut Erikson, remaja awal baru saja dihadapkan oleh krisis identitas sehingga individu masih belum seutuhnya memahami dirinya sendiri dan masih mencari-cari siapa jati dirinya (dalam Santrock, 2007). Padahal dalam karakteristik resiliensi Grotberg (2005), pemahaman individu terhadap dirinya sendiri merupakan hal yang penting sehingga individu mampu mengetahui kekuatan-kekuatan apa saja yang ia miliki yang mampu membantunya menghadapi permasalahan dan membentuk resiliensi. Dari hasil gambaran nilai, urutan prioritas nilai bagi partisipan mulai dari yang dianggap paling penting hingga tidak penting, yaitu conformity value, benevolence value, tradition value, universalism value, security value, self direction value, stimulation value, achievement value, hedonism value, dan power value. Prioritas nilai tersebut ternyata menurut Schwartz (2006) dipengaruhi oleh mudah atau tidaknya mencapai tujuan dari apa yang ingin dicapai oleh masing-masing tipe nilai. Individu akan menganggap suatu nilai semakin penting jika hal 16 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
tersebut mudah untuk diraih dan akan menganggap nilai tersebut semakin tidak penting jika mereka kesulitan dalam mencapai nilai tersebut (Schwartz, 2006). Berdasarkan hasil prioritas nilai, konformitas adalah nilai yang paling penting bagi partisipan. Hasil tersebut sangat mungkin terjadi mengingat lebih seringnya anak jalanan menghabiskan waktunya di jalanan bersama teman-temannya (Demartoto, 2012). Menurut Santrock (2007), partisipan yang berada dalam usia remaja akan lebih dekat kepada teman-temannya dan menjadikan mereka sebagai sumber utama dukungan sosial. Hal ini senada dengan temuan Verma, Sta. Maria, dan Morojele (2011) yang menyebutkan bahwa peer group merupakan dukungan utama bagi anak jalanan. Oleh karena itu penting bagi remaja untuk diterima di dalam kelompok pergaulannya, salah satunya adalah dengan mengikuti apa yang dilakukan oleh kelompok. Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa suatu nilai akan dianggap semakin penting jika semakin mudah dalam mencapai nilai tersebut, namun ternyata hal tersebut tidak berlaku pada tipe nilai security (Schwartz, 2006). Pada security value justru yang terjadi adalah sebaliknya. Ketika terjadi hambatan atau kesulitan dalam mencapai rasa aman, maka individu akan menganggap security values adalah hal yang penting, sebaliknya jika rasa aman tersebut mudah diraih maka individu akan menganggap semakin tidak pentingnya security values (Schwartz, 2006). Individu yang hidup di dalam lingkungan yang rentan kriminalitas akan menganggap security value sebagai sesuatu yang penting dibandingkan individu yang hidup dalam kondisi yang aman dan nyaman (Schwartz, 2006). Oleh karena itu hal ini sesuai dengan letak security value yang dianggap penting oleh partisipan penelitian ini, yaitu anak jalanan yang hidup dalam lingkungan yang rentan dengan risiko kriminalitas. Setelah hasil gambaran nilai, hasil penelitian selanjutnya adalah hasil korelasi antara resiliensi dengan tipe nilai. Didapatkan hasil yang menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara resiliensi dengan tipe self direction value, stimulation value, dan security value. Pada self direction value, hal yang diutamakan adalah pemikiran dan tindakan yang independen dalam memilih, menciptakan, dan mengeksplorasi (Schwartz, 2012). Schwartz menyebutkan salah satu contoh nilai pada tipe self direction value adalah kemandirian (2012). Penelitian yang dilakukan Alimi (2005) terhadap resiliensi remaja, ditemukan bahwa otonomi turut mempengaruhi perkembangan resiliensi. Otonomi yang dimaksud adalah kapasitas untuk membuat keputusan secara mandiri dan mengelola tugastugas tanpa bergantung kepada orang lain (Shaffer, 1999, dalam Alimi, 2005) sehingga tidak jauh berbeda dengan tujuan dan kemandirian pada self direction value menurut Schwartz. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa nilai kemandirian yang ada pada tipe self direction value berpengaruh pada perkembangan resiliensi. 17 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
Pada stimulation value, contoh nilainya adalah kehidupan yang bervariasi, kehidupan yang menarik, dan keberanian (Schwartz, 2012). Hal yang diutamakan pada stimulation value salah satunya adalah tantangan dalam hidup (Schwartz, 2012). Menurut Kobasa (1979) orang yang cenderung mencari pengalaman baru yang menarik dan menantang merupakan orang yang menunjukan karakteristik resiliensi (dalam Connor & Davidson, 2003). Dikatakan resilien, karena individu tersebut lebih melihat perubahan-perubahan yang ada sebagai sesuatu yang biasa terjadi, seuatu yang menantang dan menarik dibandingkan sebagai sesuatu yang menimbulkan tekanan (Kobasa 1979, dalam Connor & Davidson, 2003). Pada security value, hal yang diutamakan adalah keharmonisan dan keamanan (Schwartz, 2012). Pada partisipan penelitian wawancara, terdapat satu partisipan yang tidak merasa aman berada di rumahnya sendiri karena seringkali mengalami kekerasan fisik yang dilakukan orang tuanya, sehingga ketika ia sudah merasa tidak tahan terhadap apa yang dianggapnya sebagai penderitaan (adversity), ia memutuskan untuk kabur dari rumah dan menjadi anak jalanan. Hal ini menunjukan bahwa ketiadaan rasa aman (security value) dapat dianggap sebagai suatu bentuk penderitaan (adversity). Menurut Schoon (2006) tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kekerasan memang merupakan salah satu faktor risiko yang mempengaruhi resiliensi. Oleh karena itu, ketika individu dihadapkan dengan sesuatu yang dianggapnya sebagai penderitaan (adversity), dalam hal ini kekerasan fisik atau tidak adanya rasa aman, maka hal itu akan mempengaruhi kemampuan resiliensinya. Selanjutnya, hasil penelitian berdasarkan wawancara ditemukan bahwa faktor keluarga merupakan faktor utama mereka menjadi anak jalanan. Faktor keluarga tersebut diantaranya adalah kondisi ekonomi keluarga yang rendah, perceraian orang tua, dan physical abuse yang dilakukan ayah tiri terhadap anaknya. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Siregar, Rani, dan Suriadi (2006) yang menemukan bahwa faktor dominan seorang anak menjadi anak jalanan di Kota Medan adalah faktor keluarga, diantaranya ekonomi yang rendah, perceraian orang tua, merasa tidak dihargai di dalam keluarga, dan perasaan tidak diterima di dalam keluarga. Permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam keluarga, menyebabkan disorganisasi. Semakin tinggi disorganisasi keluarga maka semakin tinggi peluang anak menjadi anak jalanan, sebaliknya semakin rendah disorganisasi keluarga maka semakin rendah peluang anak menjadi anak jalanan (Siregar, Rani, Suriadi, 2006). Berdasarkan analisis wawancara, hal yang melatarbelakangi partisipan mau menempuh pendidikan nonfomal, yaitu adanya keinginan dari diri sendiri untuk merubah hidup menjadi lebih baik. Partisipan percaya bahwa dengan cara menempuh pendidikan nonformal mereka bisa mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi, yaitu kuliah dan bisa meraih 18 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
pekerjaan yang lebih layak sesuai dengan cita-cita mereka. Ardias (2008) menyatakan bahwa anak-anak jalanan yang mau menempuh pendidikan dan memiliki orientasi masa depan yang baik dapat dikatakan sebagai anak jalanan yang resilien. Hal ini juga sesuai dengan temuan Verma, Sta. Maria, Morojele (2011) yang menyatakan bahwa anak-anak jalanan yang mengikuti pendidikan ternyata juga menyadari bahwa melalui pendidikanlah mereka dapat keluar dari kemiskinan dan keluar dari jalanan. Dari hasil uji reliabilitas internal consistency pada masing-masing tipe nilai dalam alat ukur PVQ, didapatkan bahwa dari 10 tipe nilai, hanya 1 tipe nilai, yaitu universalism value yang memiliki reliabilitas yang baik. Sedangkan 9 tipe nilai lainnya tidak tergolong reliabel jika mengacu pada batas reliabilitas 0,7 (Kaplan & Saccuzzo, 2005). Tetapi bukan berarti langsung bisa disimpulkan bahwa alat ukur PVQ tidak reliabel. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Soetjipto dan Hakim (2011) terhadap uji reliabilitas PVQ Schwartz, ditemukan hasil bahwa koefisien reliabilitas PVQ ternyata dipengaruhi oleh karakteristik sampel, yakni jenis kelamin perempuan. Proporsi jenis kelamin perempuan memberi pengaruh signifikan yang arah hubungannya negatif terhadap koefisien reliabilitas PVQ, sehingga semakin besar proporsi partisipan perempuan maka koefisien reliabilitas PVQ semakin rendah (Soetjipto & Hakim, 2011). Pada penelitian ini, jumlah partisipan perempuan adalah 42 partisipan (37,8%) sehingga proporsi tersebut mempengaruhi rendahnya koefisien reliabilitas PVQ.
Kesimpulan Anak jalanan peserta didik nonformal memenuhi ketiga komponen karakteristik resiliensi (I Have, I Am, I Can) dan memiliki kemampuan resiliensi yang tergolong sedang sehingga mereka dapat dikatakan resilien. Artinya, mereka mempunyai ketangguhan dan mampu bangkit dari segala permasalahan yang dihadapi. Ada perbedaan kemampuan resiliensi antara remaja menengah dibandingkan dengan remaja awal. Kemampuan resiliensi pada remaja menengah lebih tinggi dibandingkan remaja awal. Dari penelitian, tidak ditemukan adanya perbedaan kemampuan resiliensi antara perempuan dan laki-laki. Jika dilihat menurut jenjang nilai yang ada pada anak jalanan peserta didik nonformal, maka urutan nilai mulai dari yang dianggap paling penting hingga yang paling tidak penting adalah conformity value, benevolence value, tradition value, universalism value, security value, self direction value, stimulation value, achievement value, hedonism value, dan power value.
19 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
Resiliensi memiliki hubungan dengan empat tipe nilai, yaitu universalism value, self direction value, stimulation value, dan security value. Arah hubungan antara resiliensi dengan keempat tipe nilai tersebut adalah positif. Artinya, semakin tinggi nilai tersebut dianggap penting oleh anak jalanan peserta didik nonformal maka semakin tinggi pula kemampuan resiliensi yang dimiliki.
Saran 1. Untuk meningkatkan reliabilitas alat ukur PVQ, untuk penelitian selanjutnya sebaiknya memperhatikan proporsi jumlah partisipan perempuan. 2. Dalam penelitian ini, jumlah partisipan wawancara adalah tiga orang. Untuk penelitian selanjutnya, jumlah partisipan wawancara dapat disesuaikan dengan kebutuhan informasi yang ingin digali. 3. Penelitian terkait resiliensi anak jalanan masih sangat perlu dilakukan, yakni dengan memperluas karakteristik usia sampel partisipan di bawah 12 tahun. Hal ini berdasarkan fenomena yang peneliti amati selama pengambilan data bahwa ternyata banyak sekali anak-anak yang masih di bawah usia 12 tahun tapi sudah turun ke jalanan. 4. Berdasarkan hasil wawancara, ternyata partisipan merasakan adanya perubahan hidup ke arah yang lebih baik setelah menempuh pendidikan nonformal. Oleh karena itu penting bagi sekolah-sekolah nonformal untuk tidak hanya memberikan bekal pengetahuan akademis saja, namun juga dapat memperkuat motivasi mereka dalam mencapai cita-cita. 5. Dari penelitian ini terlihat bahwa faktor keluarga merupakan faktor dominan yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan karena tidak adanya security value yang dirasakan anak di dalam keluarga. Maka penting bagi keluarga untuk menjalankan fungsinya dalam menciptakan rasa aman dan harmonisasi di dalam keluarga.
Kepustakaan Alimi, R.M. (2005). Resiliensi remaja “high risk” ditinjau dari faktor protektif. Tesis. Depok: Universitas Indonesia Ardias, W.S. (2008). Pengaruh orientasi masa depan di bidang pekerjaan, pendidikan, dan pernikahan terhadap resiliensi pada remaja miskin. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. Barnea, M.F., & Schwartz, S.H. (1998). Values and voting. Political Psychology, Vol 19, 1740. 20 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
Centers for Disease Control and Prevention. (2009). School connectedness: strategies for increasing protective factors among youth. Atlanta: U.S.Departement of Health and Human Services. Retrieved March 26, 2014, from www.cdc.gov/HealthyYouth. Connor, K.M., & Davidson, J.R.T. (2003). Development of a new resilience scale: the connor-davidson resilience scale. Depression & Anxiety, Vol 18, 76-82. Demartoto, A. (2012). Need based street children management in Surakarta City of Central Java Province of Indonesia. Asian Social Science, Vol 8, 107-118. Eggerman, M., & Brick, C.P. (2010). Suffering, hope, and entrapment: Resilience and cultural values in Afghanistan. Soc Sci Med, 71-83. Grotberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. Http://resilnet.uiuc.edu/library/grotb95b.html. Diunduh pada 20 Februari 2014. Grotberg, E. (2005). Resilience for Tomorrow. Http://resilnet.uiuc.edu/librarv/grotberg2005 resilience-for-tomorrow-brazil.pdf. Diunduh pada 20 Februari 2014. Grundling, J. & Grundling, I. (2005). The concrete particulars of the everyday realities of street children. Human Relations, 173-190. Henderson, N., & Milstein, M.M. (2003). Resiliency in schools: making it happen for students and educators. California: Corwin Press, Inc. Kaplan, R. & Saccuzzo, D. (2005). Psychological testing: principles, applications, and issues (6th edition). Belmont: Thomson Wadsworth. Kushartati, S. (2004). Pemberdayaan anak jalanan. Humanitas: indonesian Psychological Journal, Vol 1, 45-54. Nasution, S.M. (2011). Resiliensi: daya pegas menghadapi trauma kehidupan. Meda: USU Press. Sakalasastra, P.P. & Herdiana, I. (2012). Dampak psikososial pada anak jalanan korban pelecehan seksual yang tinggal di Liponsos Anak Surabaya. Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial, Vol 1, 1-6. Santrock, J.W. (2007). Adolescence 7th. New York: McGraw Hill. Siregar, H., Rani, Z., & Suriadi, A. (2006). Faktor dominan anak menjadi anak jalanan di Kota Medan. Jurnal Studi Pembangunan, Vol 1, 22-31. Schoon, I. (2006). Risk and resilience: adaptation in changing times. New York: Cambridge University Press Schwartz, S.H. (2006). Basic human values: theory, measurement, and applications. Revue francaise de sociology, 42, 249-288.
21 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014
Schwartz, S.H. (2012). An overview of the Schwartz theory of basic values. Online Readings in Psychology and Culture, 2. http://dx.doi.org/10.9707/2307-0919.1116. Soetjipto, H.P., & Hakim, M.A. (2011). Koefisien reliabilitas sebagai karakteristik sampel: pengujian dengan instrument Potrait Values Questionnare (PVQ) dari Schwartz. Jurnal Psikologi Islam, Vol 8, 1-14. Syarif, A., & Suleeman, J. (2013). Resiliensi Pada Anak Jalanan. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Verma, S., Sta. Maria., Morojele, N. (2011). A Cross Cultural View to the Study of Resilience among Street Children. International Society for the Study of Behavioral Development, 59, 11-14 Wagnid, G.M., & Collins, J.A. (2009). Assessing resilience. Journal of Psychosocial Nursing, Vol 47, 28-33.
22 Resiliensi tipe…, Viola, FPsi UI, 2014