RESILIENSI REMAJA BERDASARKAN JENIS KELAMIN, JENIS SEKOLAH DAN TIPOLOGI WILAYAH
KENTY MARTIASTUTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Resiliensi berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis Sekolah dan Tipologi Wilayah adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Kenty Martiastuti NIM. I251090061
ABSTRACT
KENTY MARTIASTUTI. Resilience of Adolescent based on Gender, Type of School and Regional Typology. Under direction of EUIS SUNARTI and MELLY LATIFAH. The purpose of this study was to see the difference in resilience based on gender, type of school and regional typology and determine the factors that affect the adolescent’s resilience. Resilience is the ability to bounce back successfully despite exposure to severe risk. Resilience is determined by two factors, namely a protective factor and risk factors. Protective factors help to protect adolescent from the negative effects of risk factors. Adolescent resilience is considered important because resilient adolescents would not easily give up and fall into maladaptive behaviors. The study was carried out with 89 males and 92 females from senior high school in Kabupaten and Kota Bogor. Within the scope of the study “Resilience and Youth Development Module (48 items, α = 0.758 – 0.869)”, “Family Environment Scale (90 items, α = 0.885)”, “Risk Factor Inventory (15 items, α = 0.623” and “Resilience Scale (25 items, α = 0.768)” were used. The study results showed significant differences in peers protective factor and risk factor among males and females (p<0.05). Based on the school type, there were differences in the risk factors (p <0.05) and in terms of regional typology some differences were also seen in the risk factors (p <0.10) and community’s protective factors (p <0.05). The Pearson correlation test showed a positive correlations of internal factors, family factors, school factors, peer factors and community factors with resilience. Multiple regression test showed that the factors affecting the adolescent resilience were internal factors, family factors and peer factors with the adjusted R square of 0.474. Keywords: adolescent, resilience, risk factor, protective factor
RINGKASAN KENTY MARTIASTUTI. Resiliensi Remaja Berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis Sekolah dan Tipologi Wilayah. Dibimbing oleh EUIS SUNARTI dan MELLY LATIFAH. Remaja adalah individu yang berada dalam masa peralihan dan masa konflik akibat banyaknya perubahan dan permasalahan yang dihadapi. Permasalahan dan kesulitan hidup adalah fenomena yang akan selalu dihadapi. Berbagai macam cara dilakukan oleh remaja dalam menyikapi kesulitan hidup yang tidak jarang dapat berujung pada permasalahan sosial seperti perilaku seks bebas, penggunaan narkoba, tawuran bahkan bunuh diri. Oleh karena itu, resiliensi remaja menjadi suatu hal yang penting karena remaja yang resilien tidak mudah menyerah dan terjerumus ke dalam perilaku maladaptive karena resiliensi atau daya lenting merupakan kemampuan individu untuk bangkit dari kesulitan yang dihadapi dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Resiliensi ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor protektif (pelindung) dan faktor resiko. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis perbedaan faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah serta mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada resiliensi remaja. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang dilakukan di sekolah menengah tingkat atas di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposive. Sekolah yang dipilih adalah SMAN 5 Bogor dan SMKN 1 Bogor yang mewakili wilayah perkotaan serta SMAN 1 Ciomas dan SMKN 1 Ciomas yang mewakili wilayah pedesaan. Contoh adalah siswa kelas X yang berasal dari keluarga utuh dan berjumlah 181 orang (89 laki-laki dan 92 perempuan). Contoh dipilih secara proportional random sampling. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik contoh dan keluarga, faktor protektif internal, faktor protektif keluarga, faktor protektif sekolah, faktor protektif teman sebaya, faktor protektif masyarakat, faktor resiko dan resiliensi remaja. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang sebelumnya telah diujicoba dan memperoleh nilai alpha cronbach yang berkisar antara 0.623 sampai dengan 0.885 untuk instrument yang digunakan. Data sekunder meliputi data siswa dan kondisi umum sekolah. Pengolahan dan analisis data menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS 16.0 for Windows. Data selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif. Untuk melakukan analisis uji beda digunakan Independent t test dan Mann-Whitney, uji korelasi digunakan Pearson Correlation dan untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh pada resiliensi remaja digunakan Multiple Regression. Prosentase terbesar contoh berusia 16 tahun (61.3%) dan merupakan anak sulung (49.2%). Sebanyak 45.9 persen ayah dan 41.4 persen ibu contoh berpendidikan SLTA. Persentase terbesar jenis pekerjaan ayah adalah wiraswasta (34.8%) sedangkan sebanyak 72.4 persen ibu contoh adalah ibu rumah tangga. Sebanyak 35.4 persen ayah contoh berpendapatan di bawah Rp.1.000.000,00 dan sebanyak 11.0 persen ibu contoh yang bekerja memiliki pendapatan di bawah Rp. 1.000.000,00. Untuk mengidentifikasi faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi yang dimiliki contoh dilakukan kategorisasi. Secara umum pengkategorian yang digunakan adalah rendah (skor<33.3), sedang (skor 33.4-66.7) dan tinggi (skor
66.8-100). Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh memiliki faktor protektif internal, keluarga, sekolah, teman sebaya dan masyarakat kategori sedang, faktor resiko kategori rendah dan resiliensi kategori sedang. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa perempuan memiliki aspek empati (faktor internal) dan faktor teman sebaya yang lebih tinggi daripada lakilaki (p<0.05), sebaliknya laki-laki memiliki aspek partisipasi masyarakat dan faktor resiko yang lebih tinggi daripada perempuan (p<0.05). Dalam hal ini, perempuan lebih memahami perasaan dan pikiran orang lain dan lebih merasakan bahwa teman merupakan bagian penting dalam hidupnya. Sebaliknya laki-laki lebih berpartisipasi aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Laki-laki juga memiliki faktor resiko yang lebih tinggi daripada perempuan. Berdasarkan jenis sekolah ditemukan bahwa contoh yang bersekolah di SMA memiliki aspek tujuan (faktor internal) dan kohesi (faktor keluarga) yang lebih tinggi daripada contoh yang bersekolah di SMK (berbeda signifikan pada p<0.05). Sebaliknya, contoh yang bersekolah di SMK memiliki aspek konflik (faktor keluarga) dan faktor resiko yang lebih tinggi daripada contoh yang bersekolah di SMA (berbeda signifikan pada p<0.05). Berdasarkan tipologi wilayah ditemukan bahwa contoh yang tinggal di perkotaan memiliki aspek tujuan (faktor internal) dan orientasi budaya (faktor keluarga) yang lebih tinggi daripada contoh yang tinggal di pedesaan (berbeda signifikan pada p<0.05). Sebaliknya, contoh yang tinggal di pedesaan memiliki aspek konflik (faktor keluarga) dan faktor protektif masyarakat yang lebih tinggi daripada contoh di perkotaan (berbeda signifikan pada p<0.05). Penelitian ini menemukan adanya korelasi positif antara faktor internal, faktor protektif keluarga, faktor protektif sekolah, faktor protektif teman sebaya, faktor protektif masyarakat dan resiliensi, namun tidak ditemukan korelasi antara faktor resiko dan resiliensi remaja. Hasil uji regresi berganda menunjukkan bahwa faktor internal, faktor protektif keluarga dan faktor protektif teman sebaya merupakan faktor yang berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap resiliensi remaja. Nilai adjusted R square adalah 0.474 menunjukkan bahwa 47.4 persen resiliensi remaja dipengaruhi oleh faktor internal, faktor protektif keluarga dan faktor protektif teman sebaya, sedangkan sebesar 52.6 persen, resiliensi dipengaruhi oleh faktor lain. Penelitian ini menunjukkan bahwa resiliensi terbentuk dari berkembangnya faktor internal yang dimiliki individu seperti kemampuan untuk bekerjasama, memecahkan masalah, memiliki rasa empati, self awareness, selfefficacy dan tujuan. Berkembangnya faktor internal ini didukung oleh faktor eksternal seperti adanya hubungan yang baik, harapan yang tinggi dari lingkungan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam lingkungan keluarga dan teman sebaya, sehingga faktor eksternal dapat menjadi faktor pelindung (protektif) terhadap efek negatif dari faktor resiko yang dimiliki individu. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan pada orang tua untuk selalu memberi dukungan pada anak-anaknya agar faktor internal dapat berkembang maksimal. Sekolah mengaktifkan kembali kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan resiliensi seperti kepramukaan, OSIS, paskibra dan berbagai macam lomba untuk menumbuhkan jiwa kompetisi dan tidak mudah menyerah. Pemerintah melalui lembaga terkait, hendaknya mengadakan sosialisasi lebih intensif tentang program atau kebijakan yang mendukung perkembangan resiliensi remaja. Kata kunci: remaja, resiliensi, faktor protektif, faktor resiko
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan
sumbernya.
Pengutipan
hanya
untuk
kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RESILIENSI REMAJA BERDASARKAN JENIS KELAMIN, JENIS SEKOLAH DAN TIPOLOGI WILAYAH
KENTY MARTIASTUTI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Diah Krisnatuti P. MS
Judul Tesis
: Resiliensi Remaja berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis Sekolah dan Tipologi Wilayah
Nama
: Kenty Martiastuti
NIM
: I251090061
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Euis Sunarti, MS Ketua
Ir. Melly Latifah MSi Anggota
Diketahui
Koordinator Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc
Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 21 November 2011
Tanggal lulus:
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sekaligus tesis ini. Penulisan tesis ini tentu tidak terlepas dari dorongan semangat dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: 1.
Dr. Ir. Euis Sunarti, MS dan Ir. Melly Latifah, MSi. selaku komisi pembimbing atas bimbingan, waktu, nasehat, kesabaran, kesempatan, dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.
2.
Dr. Ir. Diah Krisnatuti MS dan Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc atas kesediaan dan waktunya untuk menjadi penguji pada ujian tesis.
3.
Rekan-rekan di TK Islam AULIA dan SDN Pondok Petir 03 atas segala pengertiannya dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi.
4.
Kepala Sekolah dan seluruh jajaran guru/staf serta siswa kelas X (tahun pelajaran 2010-2011) SMAN 5 Bogor, SMKN 1 Bogor, SMAN 1 Ciomas dan SMKN 1 Ciomas atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian.
5.
Seluruh keluarga, terutama suami dan anak-anak tercinta (Risyda, Azka, Difa dan Nayla), yang telah mencurahkan cinta, kasih sayang, do’a, semangat, pengorbanan moril dan materil untuk keberhasilan penulis menyelesaikan studi ini, serta Papa dan Ibu, yang selalu mendo’akan penulis dan siap membantu menjaga si kecil penuh kasih sayang. Terlebih pada Mama tercinta (almh) atas cintanya yang menjadi motivasi penulis untuk selalu berbuat yang terbaik.
6.
Teman-teman IKA angkatan 2009, Ilham, Dian, Mulyati, Wiwik, Nia dan Puji, yang telah menemani hari-hari indah penuh makna selama menjalani studi ini serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas pelajaran kehidupan yang telah diberikan selama menjalani studi ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat. Bogor, Januari 2012 Kenty Martiastuti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 18 Maret 1972. Penulis anak ketiga dari tiga bersaudara. Lahir dari pasangan Bapak Mohammad Toto Kosasih dan ibu Sri Soehardini. Penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas Negeri 12 Jakarta pada tahun 1990. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1995. Sejak tahun 1996 penulis mengelola Yayasan Al Firdaus Jakarta yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Pada tahun 2001 penulis menjadi Kepala TK Islam AULIA sampai saat ini dan pada tahun 2005 – 2010 menjadi guru wiyatabakti di SDN Pondok Petir 03.
Penulis berkesempatan menjadi
Pengajar pada program diploma di PGTK Al Istiqomah Bintaro tahun 2004 – 2006 dan menjadi Tutor pada program S-1 PGSD Universitas Terbuka sejak tahun 2011. Pada tahun 2009, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak (IKA), Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................
xi
PENDAHULUAN .............................................................................................. Latar Belakang ........................................................................................ Perumusan Masalah ............................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian ..................................................................................
1 1 4 6 6
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... Remaja. ................................................................................................... Pengertian dan Karakteristik Remaja ................................................. Rentang Usia Remaja ........................................................................ Perubahan yang Terjadi pada Masa Remaja ..................................... Permasalahan yang Dihadapi Remaja ............................................... Resiliensi ................................................................................................. Pengertian Resiliensi .......................................................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi ..................................... Lingkungan Keluarga ......................................................................... Perkembangan Resiliensi pada Individu ............................................ Penelitian tentang Resiliensi .............................................................. Pengukuran Resiliensi .......................................................................
9 9 9 10 11 13 14 14 16 20 22 25 27
KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................
31
METODE PENELITIAN .................................................................................... Disain, Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... Contoh dan Cara Pengambilan Contoh .................................................. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ........................................................ Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ Definisi Operasional ................................................................................
35 35 35 37 38 42
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ Keadaan Umum Sekolah ........................................................................ Karakteristik Contoh ................................................................................ Usia .................................................................................................... Jenis Kelamin ..................................................................................... Urutan Kelahiran................................................................................. Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga .................................................. Pendidikan Orang Tua........................................................................ Pekerjaan Orang Tua ......................................................................... Pendapatan Orang Tua ...................................................................... Faktor Protektif Internal ........................................................................... Faktor Protektif Keluarga ........................................................................ Faktor Protektif lingkungan ..................................................................... Faktor Protektif Sekolah ..................................................................... Faktor Protektif Teman Sebaya .......................................................... Faktor Protektif Masyarakat................................................................
45 45 46 46 47 47 48 48 50 51 53 58 65 66 68 70
vi
Halaman Faktor Resiko .......................................................................................... Resiliensi ................................................................................................. Hubungan Variabel Penelitian dengan Resiliensi ................................... Karakteristik Individu dan Resiliensi ................................................... Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga dan Resiliensi ....................... Faktor Protektif Internal dan Resiliensi ............................................... Faktor Protektif Keluarga dan Resiliensi ............................................ Faktor Protektif Sekolah dan Resiliensi .............................................. Faktor Protektif Teman Sebaya dan Resiliensi .................................. Faktor Protektif Masyarakat dan Resiliensi ........................................ Faktor Resiko dan Resiliensi .............................................................. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Remaja............................. Pembahasan Umum …………………………………………………………
73 76 79 79 79 80 81 82 83 84 85 86 89
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 95 Simpulan ................................................................................................. 95 Saran ....................................................................................................... 96 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 99 LAMPIRAN ....................................................................................................... 107
vii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Definisi resiliensi dari berbagai sumber………………………………
15
2
Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi………………………..
19
3
Perbandingan beberapa alat ukur resiliensi…………………………
29
4
Jumlah sampel pada masing-masing sekolah……………………..
36
5
Jenis data penelitian …………………………………….……………..
37
6
Nilai alpha croncach instrumen penelitian……………………………
38
7
Keadaan umum sekolah……………………………………………….
45
8
Sebaran contoh berdasarkan usia dan urutan kelahiran (%)……..
48
9
Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah dan ibu (%)………
49
10
Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu (%)………..
51
11
Sebaran contoh berdasarkan pendapatan ayah dan ibu (%)……..
52
12
Sebaran contoh menurut komponen faktor internal berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah (%)………………
54
Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor internal Berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah…..
55
14
Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor internal (%)...............
58
15
Sebaran contoh menurut komponen faktor keluarga dimensi relationship yang dimiliki oleh kurang dari 75% contoh……………
59
Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif keluarga dimensi relationship ……………………………………………………
60
Sebaran contoh menurut komponen faktor keluarga dimensi personal growth yang dimiliki oleh kurang dari 75% contoh………
62
Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif keluarga dimensi personal growth………………………………………………
63
Sebaran contoh menurut komponen faktor keluarga dimensi system maintenance yang dimiliki oleh kurang dari 75% contoh…..
64
Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif keluarga dimensi system maintenance…………………………………………
65
21
Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor keluarga……………
65
22
Sebaran contoh menurut komponen faktor protektif sekolah…….
66
23
Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif sekolah..
67
13
16 17 18 19 20
viii
Halaman
24
Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor protektif sekolah……..
68
25
Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor teman sebaya (%)…..
68
26
Sebaran contoh menurut komponen faktor protektif teman sebaya berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah……
69
Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif teman sebaya berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan wilayah…..
70
Sebaran contoh menurut komponen faktor protektif masyarakat berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan wilayah……………
71
Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor masyarakat berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan wilayah……………
72
30
Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor protektif masyarakat….
73
31
Sebaran contoh menurut komponen faktor resiko berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan wilayah…………………………….
74
32
Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor resiko……………
75
33
Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor resiko………………..
76
34
Sebaran contoh menurut komponen resiliensi yang dimiliki oleh kurang dari 75 persen contoh berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah……………………………………………
77
Sebaran rataan indeks dan hasil uji coba resiliensi berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah………………….
77
36
Sebaran contoh berdasarkan kategori resiliensi (%)……………….
78
37
Hasil uji korelasi antarvariabel penelitian……………………………
80
38
Model regresi berganda faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi………………………………………………………………..
87
27 28 29
35
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Sistem lapisan dalam teori ekologi Bronfenbrenner ………………
25
2
Kerangka pemikiran penelitian…………………………………………
33
3
Bagan cara pengambilan contoh…………………………………………
36
4
Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan jenis sekolah di pedesaan dan perkotaan…………………………………………………
47
5
Sebaran contoh total berdasarkan faktor protektif internal……………
57
6
Sebaran contoh total berdasarkan faktor resiko………………………… 75
7
Sebaran contoh total berdasarkan tingkat resiliensi……………………
X
x
78
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Hasil uji beda pendapatan dan pendidikan orang tua berdasarkan jenis sekolah …..………………………………………
2
3
Hasil uji beda pendapatan dan pendidikan orang tua berdasarkan tipologi wilayah…………………………………………
107
Hasil uji korelasi antarvariabel penelitian……………………………
108
xi
107
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Remaja merupakan kelompok individu yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, baik dalam hal fisik, mental, intelektual maupun sosial emosional (Hurlock 1991, yang diacu dalam Ali & Asrori 2009).
Ditinjau
dari segi fisiknya, remaja sudah tidak termasuk kelompok anak-anak, namun belum dapat diperlakukan sebagai orang dewasa. Sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja seperti memiliki banyak idealisme dan angan-angan, besarnya keinginan untuk berpetualang, rasa ingin tahu yang tinggi serta besarnya keinginan untuk mencoba segala sesuatu, membuat para remaja seringkali terjerumus ke dalam kegiatan atau perilaku negatif (Ali & Asrori 2009).. Data Badan Pusat Statistik (BPS), Bappenas dan UNFPA tahun 2010 menyatakan bahwa separuh dari 63 juta jiwa remaja berusia 10 sampai 24 tahun di Indonesia rentan berperilaku tidak sehat. Masalah yang paling menonjol di kalangan remaja saat ini, adalah masalah seksualitas (hamil di luar nikah, aborsi, terinfeksi penyakit menular seksual ) serta penyalahgunaan narkoba. Disinyalir sebanyak 34.7 persen remaja putri dan 30.9 persen remaja putra yang berusia 14 – 19 tahun pernah melakukan hubungan seksual. Bahkan berdasarkan penelitian Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora selama 3 tahun (1999-2002) pada tempat kos mahasiswa di Yogyakarta menunjukkan 97,05 persen dari 1660 mahasiswa yang diteliti pernah berhubungan seksual (Antara News, 2010). Kasus aborsi di kalangan remaja juga tinggi, yaitu sebanyak 27 persen dari 2,5 juta wanita yang melakukan aborsi adalah dari kalangan remaja. Pada kasus narkoba diketahui bahwa 1,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau 3,2 juta jiwa adalah pengguna narkoba dan dari jumlah tersebut, sebanyak 78 persen berasal dari kalangan remaja. Untuk di DKI Jakarta, dari sekitar 300 ribu pengguna narkoba sekitar 45 persen di antaranya adalah pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan, prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar mencapai 4,7 persen dari jumlah pelajar dan mahasiswa atau sekitar 921.695 orang (Antara News, 2010). Remaja termasuk kelompok yang harus dilindungi hak-haknya karena menurut Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
2 yang termasuk dalam kategori anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Berdasarkan batasan tersebut, remaja termasuk dalam kategori anak yang perlu dilindungi oleh Negara. Perlindungan anak itu sendiri menurut undang-undang adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Bukan saja karena secara yuridis, remaja termasuk kelompok yang harus dilindungi hak-haknya, namun lebih dari itu karena masa depan negeri ini berada di atas pundak mereka sebagai generasi penerus pembangunan. Remaja saat ini adalah pemimpin masa depan, yang bertanggungjawab atas maju mundurnya peradaban negeri ini, apalagi mengingat jumlahnya yang mencapai 26.8 persen dari 233 juta jiwa penduduk Indonesia atau sekitar 63 juta jiwa (Antara News 2010). Berdasarkan salah satu indikator keberhasilan pembangunan yaitu Human Development Index (HDI), Indonesia berada pada urutan ke-111 dari 182 negara, bahkan tertinggal jauh dengan negara tetangga terdekat yaitu Malaysia (urutan ke-66) dan Singapura (urutan ke-23) pada tahun 2009 (Akhwan 2010). Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan langkah dan strategi yang tepat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia karena jika tidak dibarengi dengan kualitas yang baik dan penanganan yang serius, maka jumlah remaja yang cukup besar ini tidaklah memberikan makna yang berarti bagi pembangunan. Salah satu aspek penting yang menentukan kualitas sumber daya manusia adalah kemampuan untuk menghadapi tantangan, perubahan maupun situasi
sulit
yang
tidak
mungkin
dihindari
dalam
kehidupan
manusia.
Kemampuan ini akan membuat seseorang mampu bertahan dan bahkan dapat tetap bergerak maju dalam kondisi sulit sekalipun.
Kemampuan inilah yang
disebut dengan resiliensi (Ungar 2008). Perlu penanganan yang komprehensif untuk dapat mempersiapkan mereka menjadi seorang manusia yang dapat mandiri, berdiri sendiri dan mampu bertahan dengan baik dalam berbagai situasi dan kondisi, termasuk apabila remaja itu mengalami berbagai permasalahan dan kesulitan hidup, yang tentu akan memiliki dampak pada lingkungan di sekitarnya (Ali & Asrori 2009).
3 Resiliensi pada remaja menjadi suatu hal yang penting karena dengan resiliensi yang baik maka seseorang akan memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi berat dalam hidupnya.
Ada orang yang
menyikapi kesulitan hidup, dengan memilih jalan yang negatif seperti halnya menjadi pesimis, frustasi, putus asa hingga melakukan bunuh diri. Di sisi lain, orang yang resilien akan berusaha dengan sekuat tenaganya untuk bangkit dan menghadapi kesulitan hidupnya ini dengan sikap positif, ia bahkan mampu mengatasi kesulitannya dan mengubahnya menjadi sesuatu yang positif (Sanni 2009). Pada umumnya, resiliensi ditandai dengan adanya hasil yang baik meskipun dalam kondisi kesulitan, mampu untuk tetap memiliki kompetensi walaupun berada di bawah tekanan ataupun adanya proses pemulihan dari trauma (Masten dan Coatsworth 1998 diacu dalam Kalil, 2003). Resiliensi tidak bersifat statis, tetapi dinamis dengan adanya sebuah proses yang dapat berubah seiring dengan waktu dan keadaan (Cicchetti & Toth 1998 diacu dalam Kalil 2003). Dalam memahami resiliensi, ada 2 faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu faktor resiko (risk factor) dan faktor protektif (protective factor).
Faktor
protektif merupakan karakteristik individu, keluarga dan lingkungan yang dapat membantu melindungi seseorang dari efek negatif faktor resiko. memang tidak terbentuk secara otomatis pada diri seseorang.
Resiliensi
Kemampuan
tersebut mulai terbentuk sejak usia dini dan terus berkembang seiring dengan pengalaman hidup yang dialami seseorang.
Dalam hal ini, keluarga sebagai
lingkungan sosial utama, paling berperan dalam membentuk resiliensi remaja (Davis 1999). Berdasarkan penelitian Dahesihsari (1996), remaja yang berasal dari keluarga dengan kondisi yang kondusif ternyata mampu bereaksi secara konstruktif dalam menganggulangi masalahnya. Melalui penelitian ini akan dilakukan kajian resiliensi remaja sebagai sebuah prediksi berdasarkan faktor protektif (internal dan eksternal) serta faktor resiko, sehingga dapat memberikan gambaran lebih mendalam tentang resiliensi remaja. Resiliensi ini bersifat investasi yang diharapkan akan dapat muncul pada saat remaja mengalami kesulitan. Dengan mengetahui resiliensi sebagai sebuah investasi maka dapat dilakukan langkah intervensi dalam upaya peningkatannya seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Luvaas (2010). Dalam penelitian Luvaas tersebut terbukti bahwa setelah dilakukan intervensi,
4 terlihat ada peningkatan yang signifikan pada resiliensi siswa. Hal ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan resiliensi remaja bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Dengan adanya upaya preventif ini diharapkan dapat meminimalisir tindakan-tindakan antisosial yang kini banyak terjadi di masyarakat dan memaksimalkan potensi remaja sebagai generasi penerus bangsa. Perumusan Masalah
Permasalahan yang dihadapi remaja memiliki karakteristik yang agak berbeda dengan kelompok individu pada rentang usia lainnya karena dapat menimbulkan permasalahan sosial berupa perilaku negatif yang bukan hanya merugikan diri sendiri, namun juga orang-orang yang ada di sekitarnya. Perilaku negatif ini antara lain tawuran, pemakaian obat-obatan terlarang, seks bebas, dan perilaku lainnya yang bersifat destruktif. Adanya kesulitan hidup yang dihadapi akan dapat meningkatkan potensi terjadinya perilaku destruktif ini. Kesulitan hidup dapat berupa bencana atau kejadian tidak terduga lainnya, adanya lingkungan yang mendorong terjadinya perilaku negatif ataupun perubahan-perubahan dalam situasi sosial dan ekonomi. Dalam kaitannya dengan resiliensi sebagai kemampuan individu bangkit dari kesulitan maka seseorang yang resilien akan mampu menjawab tantangan dan kesulitan yang dihadapi dengan bersikap positif atau bahkan lebih baik dari sebelumnya. Individu yang resilien adalah individu yang dapat menghindarkan diri dari melakukan perilaku negatif dan memberikan peluang bagi dirinya untuk meneruskan tugas-tugas perkembangan selanjutnya dan meraih masa depan yang lebih baik (Kalil 2003).
Kemampuan untuk menghindari perilaku
bermasalah ini merupakan indikator penting bagi resiliensi remaja, sehingga penting pula untuk meneliti resiliensi ini sebagai bagian dari tugas perkembangan remaja. Pada dasarnya penelitian tentang resiliensi di Indonesia masih relatif baru. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, resiliensi dapat diukur pada individu yang berada dalam kesulitan, misalnya korban bencana alam (Volia 2007), individu yang mengalami depresi (Erdem 2008), pengguna narkoba (Fergus & Zimmermann 2004), anak yang memiliki keterbatasan fisik atau penyakit berat (Alriksson-Schmidt AI et al.
2007) dan anak yang pernah
mengalami abuse atau neglect di masa kecilnya (Yuliatin 2007). Pada kelompok
5 individu ini, resiliensi dilihat sebagai sebuah hasil dari proses panjang yang dialami individu berdasarkan pengalaman-pengalaman atau kejadian-kejadian yang berlangsung dalam hidupnya. Penelitian resiliensi juga dapat dilakukan pada kelompok individu yang berada dalam kondisi normatif. Dalam hal ini, resiliensi dilihat sebagai sebuah investasi yang dimiliki individu yang diharapkan akan muncul pada saat individu tersebut mengalami kesulitan hidup (Kaya 2007; LaFromboise et al. 2006). Penelitian resiliensi juga dapat dilakukan sebagai upaya intervensi dalam rangka meningkatkan resiliensi melalui kegiatan-kegiatan yang positif (Luvaas 2010). Jika dikaitkan dengan beberapa model atau pendekatan penelitian terdahulu, maka penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan yang memandang bahwa resiliensi merupakan sebuah investasi dan dapat diprediksi berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah faktor protektif dan faktor resiko. Faktor protektif yang berasal dari individu disebut dengan faktor internal, sedangkan faktor protektif yang berasal dari lingkungan di luar individu disebut dengan faktor eksternal. Faktor protektif eksternal terdiri atas faktor keluarga, faktor sekolah, faktor teman sebaya dan faktor masyarakat. Faktor resiko juga dapat berasal dari individu, keluarga dan lingkungan (Benard 2004; Gizir 2004). Dengan penelitian ini diharapkan akan diperoleh informasi yang lebih komprehensif terutama yang berkaitan dengan kondisi remaja saat ini dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi. Lebih lanjut lagi, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan untuk meminimalisir permasalahan remaja yang kerap terjadi. Perbedaan jenis kelamin sebagai sebuah faktor bawaan (nature) dimungkinkan dapat menimbulkan perbedaan pada resiliensi (Kaya 2007). Perbedaan wilayah dengan perbedaan faktor sosial budaya dimungkinkan akan menghasilkan resiliensi yang berbeda pula (Ungar 2008). Perbedaan resiliensi remaja juga kemungkinan akan dapat dilihat berdasarkan jenis sekolah. Oleh karena itu, dengan pertimbangan akan dapat terlihat data dan fakta yang beragam, maka penelitian ini menggunakan faktor jenis kelamin, jenis sekolah (SMA dan SMK) dan tipologi wilayah (pedesaan dan perkotaan) sebagai variabel yang diteliti.
6 Secara garis besar, ada beberapa permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu: 1.
Bagaimanakah
faktor
protektif,
faktor
resiko
dan
resiliensi
remaja
berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah? 2.
Apakah terdapat perbedaan faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi remaja berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah?
3.
Apakah terdapat pengaruh faktor protektif dan faktor resiko terhadap resiliensi remaja?
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi resiliensi remaja berdasarkan faktor protektif dan faktor resiko berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah.
Tujuan Khusus 1.
Mengidentifikasi faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi remaja berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah.
2.
Menganalisis perbedaan faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi remaja, berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah
3.
Mengetahui pengaruh karakterististik individu, karakteristik sosial ekonomi, faktor protektif dan faktor resiko terhadap resiliensi remaja.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi kepada para orang tua mengenai kualitas lingkungan keluarga yang baik bagi perkembangan anak khususnya remaja.
Langkah selanjutnya, orang tua diharapkan dapat
memberikan lingkungan yang kondusif bagi terbentuknya resiliensi remaja. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan masukan kepada pihak sekolah untuk lebih meningkatkan resiliensi remaja melalui kegiatan-kegiatan intra dan ekstrakurikuler. Berbagai langkah preventif khususnya yang berkaitan dengan program ketahanan keluarga dan ketahanan remaja diharapkan juga dapat dilakukan oleh pemerintah dan lembaga terkait informasi dari penelitian ini.
dengan mendapatkan
7 Penelitian ini diharapkan juga dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu keluarga dan perkembangan anak. Lebih jauh lagi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk pelaksanaan penelitianpenelitian lanjutan, baik tentang kualitas lingkungan keluarga maupun tentang resiliensi remaja di masa yang akan datang.
8
9 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas tentang remaja dan resiliensi. Pada sub bab remaja akan dibahas tentang pengertian dan karakteristik remaja, rentang usia remaja, perubahan yang terjadi pada masa remaja dan permasalahan yang dihadapi remaja.
Pada sub bab resiliensi akan dibahas tentang pengertian
resiliensi, faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi, perkembangan resiliensi pada individu, penelitian tentang resiliensi dan pengukuran resiliensi. Remaja Pada sub bab remaja akan dibahas tentang pengertian dan karakteristik remaja serta rentang usia remaja. Dalam sub-sub bab perubahan yang terjadi pada masa remaja akan dibahas perubahan fisik, perubahan kognitif dan perubahan psikososial. Selanjutnya akan dibahas pula tentang permasalahan yang dihadapi remaja. Pengertian dan Karakteristik Remaja Remaja atau dalam bahasa Inggris disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitif memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu bereproduksi (Ali dan Asrori 2009). Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental. emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget, yang mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah masa usia di mana terjadi integrasi individu ke dalam kelompok masyarakat dewasa yang mengandung banyak aspek afektif, lebih atau kurang dari usia pubertas (Hurlock 1993). Menurut Steinberg (1993) masa remaja merupakan suatu masa yang menyenangkan dalam rentang kehidupan manusia, mereka menjadi individu yang telah dapat membuat keputusan-keputusan yang baik bagi dirinya sendiri dipandang telah mampu untuk bekerja serta mempersiapkan perkawinan. Masa
remaja
merupakan
masa
yang
sangat
penting
dalam
perkembangan individu karena merupakan jembatan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa ini disebut sebagai masa peralihan karena individu yang berada pada masa ini akan meninggalkan sikap dan tingkah laku yang biasa ditampilkan pada masa kanak-kanak dan mulai belajar menyesuaikan diri dengan tata cara hidup orang dewasa (Ali dan Asrori 2009).
10 Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa.
Hal tersebut dikemukakan oleh Erikson, yang diacu dalam Hurlock
(1993) yang menamakan proses tersebut sebagai proses pencarian diri sendiri. Monks (1989) diacu dalam Ali dan Asrori (2009) juga mengungkapkan hal senada yaitu bahwa remaja sebetulnya tidak memiliki tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase ‘topan dan badai”. Fase topan dan badai (storm and stress) ini juga digunakan oleh Stanley Hall yang terkenal sebagai bapak studi ilmiah remaja. Konsep Hall tentang remaja ditandai sebagai masa goncangan yang penuh dengan konflik dan perubahan suasana hati (Santrock 2003). Beberapa karakteristik remaja adalah (1) keadaan emosi yang labil (2) sikap menentang dan orang lain maupun orang dewasa lainya (3) pertentangan dalam
dirinya
menjadi
sebab
pertentangan
dengan
orang
tuanya
(4)
eksperimentasi atau keinginan yang besar dari remaja untuk melakukan kegiatan orang dewasa yang dapat ditampung melalui saluran ilmu pengetahuan (5) eksplorasi atau keinginan untuk menjelajahi lingkungan alam sekitar yang sering disalurkan melalui penjelajahan atau petualangan (6) banyaknya fantasia atau khayalan dan bualan (7) kecenderungan membentuk kelompok dan melakukan kegiatan berkelompok (Gunarsa dan Gunarsa, 1995).
Rentang Usia Remaja Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Batas usia tidak dirinci dengan jelas dan terdapat beberapa
perbedaan dalam menentukan rentang usia remaja. Menurut Atkinson (1983), remaja berada dalam rentang usia 12 sampai dengan akhir belasan tahun ketika pertumbuhan jasmani hampir selesai, sedangkan menurut Hurlock (1981) usia remaja adalah 12 – 18 tahun. Menurut Monks (2000), rentang usia remaja adalah antara 12 sampai dengan 21 tahun, sedangkan menurut Stanley Hall, remaja berada dalam rentang usia 12 – 23 tahun (Santrock, 2003).
Seifert dan Hoffnung (1987)
menyatakan usia remaja berkisar antara 12 – 20 tahun. Dari beberapa pendapat para ahli tersebut, terlihat bahwa usia permulaan remaja adalah sama yaitu 12
11 tahun, namun ada perbedaan dalam menentukan usia akhir dalam rentang masa remaja (Desifa, 2010). Sedikit berbeda, Davidoff mengatakan bahwa rentang usia remaja berada dalam kisaran 13 – 18 tahun yang ditandai dengan perubahan yang pesat dalam dimensi fisik (tubuh), kematangan seksual, kemampuan kognitif serta harapan dan permintaan dari keluarga, teman dan masyarakat yang juga berbeda dari sebelumnya (Davidoff 1981).
Perubahan yang Terjadi Pada Masa Remaja Pada masa remaja inilah terjadi perubahan yang pesat, baik perubahan secara fisik, kognitif maupun sosial emosional (Seifert dan Hoffnung 1987). Begitu pula menurut Papalia, Olds dan Feldman (2008) bahwa masa remaja merupakan masa transisi seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, kognitif dan psikososial. Perubahan dalam perkembangan seorang remaja merupakan hasil dari proses biologis (fisik), kognitif dan sosial yang saling terjalin secara erat. Proses sosial membentuk proses kognitif, proses kognitif mengembangkan atau menghambat proses sosial dan proses biologis juga mempengaruhi proses kognitif. Oleh karenanya semua itu harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dari diri seorang manusia yang terintegrasi, yang hanya mempunyai satu badan dan satu jiwa yang saling tergantung (Santrock 2003). Perubahan yang terjadi pada remaja, antara lain adalah: 1) perubahan fisik, 2) perubahan kognitif dan 3) perubahan psikososial. Perubahan fisik. Pada aspek fisik, seorang anak yang mulai memasuki periode
remaja,
ditandai
dengan
terjadinya
pubertas.
Pubertas
ini
mengakibatkan pertumbuhan pada tinggi dan berat badan, perubahan pada bentuk dan proporsi tubuh serta kematangan organ seksual. Perubahan fisik pada masa pubertas termasuk pertumbuhan payudara, tumbuhnya bulu ketiak dan bulu pubik, perubahan suara yang lebih berat serta perkembangan otot-otot. Selain itu, kematangan organ reproduksi mengakibatkan terjadinya menstruasi pertama kali pada wanita serta produksi sperma pada pria (Papalia et al. 2008). Produksi menyebabkan
kelenjar timbulnya
hormonal jerawat
bagi pada
sementara bagian
remaja
wajah
juga
yang
dapat
seringkali
menimbulkan kegelisahan, terutama pada remaja putri. Pertumbuhan fisik yang cepat pada remaja sangat membutuhkan zat-zat pembangun yang diperoleh dari makanan sehingga remaja pada umumnya memiliki nafsu makan yang tinggi (Ali
12 dan Asrori 2009).
Masa pubertas dan menarche (menstruasi pertama)
seringkali dideskripsikan sebagai peristiwa utama dalam sejarah kehidupan remaja.
Secara mendasar, pandangan ini mengisyaratkan bahwa perubahan
pada masa puber dan kejadian-kejadian seperti menarche menyebabkan perbedaan tubuh yang menuntut perubahan yang cukup bermakna dalam konsep diri, yang mungkin dapat menyebabkan krisis identitas (Santrock 2003). Perubahan kognitif. Perubahan dari masa kanak-kanak menjadi remaja akan
membuat
perubahan
pada
kemampuan
kognitifnya
diungkapkan oleh Piaget sebagai tahap formal operational.
yang
sering
Pada tahap ini,
remaja membangun kapasitasnya untuk menggunakan alasan-alasan ilmiah dan menjelaskan berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam membuktikan sebuah hipotesis serta menjelaskan sesuatu yang sifatnya abstrak. Hasilnya, pemikiran dan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah jauh lebih baik ketimbang beberapa tahun sebelumnya saat masih berada dalam tahap concreteoperational (Hall 1983).
Menurut teori Moral Reasoning Kohlberg, remaja
berada dalam tahapan perkembangan Conventional Stage dimana moral yang baik tercapai jika seseorang disukai oleh orang lain (interpersonal conformity) dan jika moral baik tersebut sah atau legal sesuai dengan hukum atau aturan yang berlaku (law and order) (Hastuti 2008).
Pada tahapan ini, remaja
cenderung untuk mendukung konvensi sosial, mendukung status quo dan melakukan hal yang benar untuk mematuhi peraturan atau untuk membuat orang lain merasa senang (Papalia et al. 2008). Perubahan psikososial.
Menurut teori perkembangan psiko-seksual
yang dikemukakan oleh Sigmund Freud dikenal adanya 5 tahapan yaitu: (1) oral, (2) anal, (3) phallic, (4) laten, (5) genital. Dalam hal ini remaja termasuk ke dalam tahapan kelima, yaitu tahapan genital yang berlangsung mulai masa puber yang ditandai dengan keinginan seksual yang mulai bangkit (Seifert dan Hoffnung 1987).
Adapun berdasarkan tahapan psiko-sosial dari Erik Erikson
yang dikenal dengan Erikson’s the Psychosocial Stages, remaja termasuk dalam tahapan identity versus identity confusion. Pada tahap ini remaja berada dalam tahapan pencarian identitas diri dengan mengintegrasikan beragam identitas yang mereka bawa sejak masa anak-anak menjadi suatu identitas yang semakin lengkap. Dalam tahap perkembangan ini, sebagian besar remaja menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan teman sebaya dibandingkan dengan orang
13 tua. Remaja mendapatkan sumber afeksi, simpati, pengertian dan bimbingan moral dari teman sebayanya (Papalia et al. 2008). Berdasarkan teori belajar sosial (social learning theory) dari Albert Bandura, dinyatakan bahwa anak-anak belajar bersosialisasi melalui pengamatannya pada orang lain. Melalui belajar dengan melakukan observasi ini (imitasi atau meniru), anak secara kognitif mempresentasikan tingkah laku orang lain yang kemudian tingkah laku ini diadopsi ke dalam tingkah laku dirinya sendiri. Dalam perkembangan sosial ini diperlukan adanya self efficacy, yaitu kepercayaan akan adanya kemampuan diri untuk menghasilkan hal-hal yang positif. Selain itu diperlukan juga kepercayaan diri (confidence) dengan cara meyakinkan diri sendiri untuk dapat mengatasi atau melakukan suatu tindakan (Puspitawati 2009).
Bagi seorang remaja yang
sedang dalam masa pencarian identitas diri, kepercayaan diri dan memahami jati diri memegang peranan yang amat penting agar kelak dapat memainkan peran sosial yang positif dalam masyarakat (Hastuti 2008).
Banyak kasus
menunjukkan bahwa anak remaja yang kehilangan jati diri akan melakukan perbuatan yang antisosial untuk menunjukkan eksistensi dirinya agar diakui oleh lingkungannya (Puspitawati 2009). Kemampuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk menghadapi situasi atau tantangan yang sulit yang ditemui remaja dalam rentang kehidupannya. Dalam hal ini diperlukan sebuah proses adaptasi yang kemudian dikenal dengan resiliensi. Permasalahan yang dihadapi Remaja Adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh remaja dan juga perubahan lingkungan yang menuntut remaja untuk menjadi dewasa seperti yang diharapkan lingkungan dapat membuat remaja mengalami kebingungan yang pada
awalnya
hanyalah
permasalahan
pribadi,
namun
akhirnya
dapat
berkembang menjadi masalah sosial. Santrock (2003) menyebut sebuah istilah abnormal behaviour atau tingkah laku abnormal yang berarti sebuah tingkah laku yang mal-adaptif serta berberbahaya dan bukan sekedar tingkah laku yang berbeda dengan orang lain pada umumnya.
Tingkah laku seperti ini tidak
mampu mendukung kesejahteraan, perkembangan dan pemenuhan masa remaja. Tingkah laku mal-adaptif antara lain seperti bunuh diri, mengalami depresi, memiliki keyakinan yang aneh dan tidak rasional, menyerang orang lain (berkelahi/tawuran), mengalami ketergantungan pada obat-obatan terlarang. Tingkah laku abnormal seperti ini mempengaruhi kemampuan remaja untuk
14 dapat berfungsi secara efektif dan juga dapat membahayakan orang lain (Santrock 2003). Permasalahan lain yang kerap terjadi adalah konflik dengan orang tua. Konflik yang paling sering terjadi dalam keluarga biasanya ditemui pada saat anak dalam keluarga tersebut berada di awal masa remaja ketika emosi negatif mencapai puncaknya.
Akan tetapi konflik akan semakin intens pada
pertengahan masa remaja (Papalia, Olds dan Feldman 2008).
Dalam
penelitiannya, Aufseeser, Jekjelek dan Brown (2006) menyatakan bahwa remaja usia 15 tahun paling sering ditemukan kesulitan dalam hal menceritakan hal-hal yang mengganggu dirinya pada ayah maupun ibunya.
Resiliensi Pada sub bab resiliensi akan dibahas tentang pengertian resiliensi, faktorfaktor yang mempengaruhi resiliensi, perkembangan resiliensi pada individu, penelitian tentang resiliensi dan pengukuran resiliensi. Lingkungan keluarga sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi dibahas juga dalam subsub bab tersendiri dengan mempertimbangkan kedalaman dan keluasan variabel ini. Dalam sub-sub bab penelitian tentang resiliensi juga akan dibahas tentang penelitian berdasarkan jenis kelamin dan juga penelitian yang berlatar belakang budaya. Pengertian Resiliensi Resiliensi didefinisikan dengan beberapa cara yang berbeda. definisi
resiliensi
meliputi
kapasitas
untuk
menghadapi
kesanggupan untuk menghadapi berbagai kesulitan.
Semua
tantangan
dan
Sebagian besar definisi
menekankan bahwa resiliensi bukan sekedar atribut yang menetap, tetapi merupakan sebuah proses yang dipengaruhi oleh keputusan harian (Masten 2001 diacu dalam LaFromboise et al. 2006). Menurut Kalil (2003), resiliensi adalah sebuah proses dinamis yang mengarah pada adaptasi positif dalam menghadapi situasi yang sulit Definisi ini tidak hanya berimplikasi pada tindakan individu menghadapi situasi sulit agar memperoleh
kesejahteraan,
namun
juga
bagaimana
individu
tersebut
menunjukkan kompetensinya dalam menghadapi kesulitan atau tantangan tersebut. Resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan mengembalikan diri dari kesulitan dan perubahan yang terjadi kepada fungsi sebelumnya dan bergerak
15 maju menuju perbaikan. Orang yang dikatakan resilien dapat mengatasi dan beradapatasi secara efektif terhadap tekanan dan tantangan yang dihadapi serta belajar dari pengalamannya agar dapat mengelola sebuah situasi secara efektif, dan mampu mengatasi tekanan dan tantangan di masa yang akan datang. Tabel 1. Definisi resiliensi menurut beberapa sumber Teori Gail Wagnild and Heather Young
Sumber
Definisi
Wagnild, G., & Young, H. (1993). Development and psychometric evaluation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 1(2), 165-178
Keberhasilan seseorang untuk mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan
Montheit & Gilboa
Hutapea EA. 2010. Gambaran resiliensi pada mahasiswa perantau tahun pertama perguruan tinggi di asrama UI: menggunakan resilience scale. Tesis UI
Karakteristik seseorang untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi terhadap situasisituasi berat dalam hidupnya
Michael Ungar
Ungar M. 2008. Resilience across culture. British Journal of Social Work 38, 218-235
Kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan melanjutkan perkembangan normalnya seperti semula
Ariel Kalil
Kalil A. 2003. Family Resilience and Good Child Outcomes. http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc
Sebuah proses dinamis yang mengarah pada adaptasi positif dalam mengahadapi situasi sulit dan bergerak menuju perbaikan
Edith Grothberg
Grothberg, E. 1995. A Guide to Promoting Resilience in Children. The Hague: Benard van Leer Voundation http://resilnet.uiuc.edu/library/grotb9
Kapasitas individu untuk menghadapi, mengatasi bahkan menjadi lebih kuat dalam tekanan hidup yang sulit
Bonnie Benard
Benard B. 2004. The Foundations of the Resiliency Framework From Research to Practice http://www.resiliency.com/htm/
Kemampuan untuk bangkit kembali dari kondisi yang sulit
Froma Walsh
Walsh, F. (2006) Strengthening Family Resilience (Second Edition). New York: The Guilford Press http://winnebago.uwex.edu/files/201 1/03/FR-KeystoResilience.pdf
kemampuan untuk pulih dari kesulitan dan melakukan perubahan positif untuk mengatasi tantangan secara lebih efektif
Menurut Ungar (2008), resiliensi memiliki makna sebagai suatu kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan melanjutkan perkembangan normalnya seperti semula.
resiliensi dapat dipahami dengan pemahaman
sebagai berikut, pertama, mengarahkan (navigate) sumberdaya fisik, psikologi dan
sosial
budaya
untuk
mempertahankan
kesejahteraan
dan
kedua,
16 merundingkan (negotiate) sumberdaya yang dimiliki tersebut untuk memperoleh sesuatu yang bermakna secara budaya. Wagnild dan Young (1993) menyatakan bahwa resiliensi adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata lain resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk. Dari sejumlah definisi yang ada, definisi resiliensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mampu bertahan dalam situasi yang kurang menguntungkan atau penuh tekanan dan menjalani hidup secara positif bahkan lebih baik dari sebelumnya. Resiliensi itu sendiri dapat diprediksi dengan memperhatikan faktor-faktor protektif yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini pernah dilakukan oleh Kaya (2007) pada siswa sekolah dasar di Regional Boarding Elementary School Ankara.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Menurut Barankin dan Khanlou (2009) ada dua hal yang harus diperhatikan untuk memahami resiliensi.
Kedua faktor tersebut adalah faktor
resiko (risk factor) dan faktor protektif (protective factor).
Faktor protektif
merupakan faktor yang bersifat menunda, meminimalisir bahkan menetralisir hasil akhir yang negatif. Faktor protektif juga membantu melindungi anak dan remaja dari efek-efek negatif faktor resiko. Faktor resiko terdapat pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat, yang merupakan prediktor awal dari sebuah hasil yang tidak menguntungkan dan sesuatu yang membuat orang menjadi rentan (Kaplan 1999) atau variabel yang mengarah
pada
ketidakmampuan
(Rutter
1990)
atau
mediator
yang
menyebabkan terjadinya perilaku bermasalah (Luthar 1999 yang diacu dalam Kalil 2003).
Alimi (2005) menyatakan bahwa faktor resiko adalah variabel-
variabel yang secara langsung bisa memperbesar dosis potensi resiko bagi individu dan sekaligus meningkatkan kemungkinan berkembangnya perilaku dan gaya hidup yang mal-adaptif. Beberapa hal yang termasuk dalam faktor resiko adalah: kemiskinan (status sosial ekonomi yang rendah), ketidaknyamanan akibat perubahan fisik yang terjadi, penerimaan yang rendah dari peers, efek kumulatif dari ketidakberuntungan, adanya hambatan dalam perkembangan. Secara umum, Gizir (2004) mengelompokkan faktor resiko menjadi tiga kelompok besar berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yaitu yang berasal
17 dari individu, keluarga dan lingkungan. Faktor resiko yang berasal dari individu antara lain seperti kelahiran prematur, penyakit kronis atau kejadian buruk yang dialami dalam kehidupannya.
Faktor resiko yang berasal dari keluarga antara
lain seperti penyakit yang dialami orang tua, perceraian atau perpisahan orang tua, orang tua tunggal, dan ibu yang masih remaja, sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain adalah status sosial ekonomi yang rendah, peperangan, kesulitan ekonomi dan kemiskinan. Faktor protektif dibagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal (Benard 1995 yang diacu dalam Alimi 2005).
Faktor internal adalah ketrampilan dan
kemampuan sehat yang dikuasai individu, sedangkan faktor eksternal adalah karakteristik tertentu dari lingkungan yang dapat menjadikan individu mampu menghindar dari tekanan hidup dan mampu bertahan kendati berada dalam kondisi beresiko tinggi. Faktor protektif internal terdiri atas (1) kompetensi sosial (ketrampilan sosial dan empati), (2) ketrampilan menyelesaikan masalah (membuat keputusan dan berpikir kritis), (3) otonomi (self esteem, self efficacy, locus of control), (4) memiliki tujuan. Faktor eksternal yang dimaksud adalah berupa kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam aktivitas kelompok, hubungan yang hangat dan harapan yang tinggi dari lingkungan (Benard 1995, diacu dalam Alimi 2005). Menurut Sun dan Stewart (2007), faktor internal atau karakteristik individu yang berpengaruh pada resiliensi, terdiri atas (1) komunikasi dan kerjasama; (2) self-esteem; (3) empati; (4) help seeking behavior; dan (5) tujuan dan aspirasi, sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah: (1) dukungan keluarga; (2) dukungan sekolah; (3) dukungan masyarakat; (4) autonomy experience; (5) hubungan dengan teman sebaya; (6) partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler dan (7) dukungan teman sebaya. California Healthty Kids Survey menggunakan The Resilience and Youth Development Module (RYDM) untuk mengukur faktor internal (personal strength) dan faktor ekstenal (developmental support and opportunities). Faktor internal terdiri atas 18 item dibangun untuk mengukur 6 aspek inti yang terdapat dalam Benard’s Resilience Model (Benard & Slade 2009, diacu dalam Furlong et al 2009). Asset internal dalam Resilience and Youth Development Module adalah (1) kerjasama dan komunikasi,(2) self efficacy, (3) empati, (4) problem solving, (5) self-awareness, (6)
tujuan dan aspirasi.
Faktor eksternal dalam RYDM
18 meliputi hubungan yang baik, harapan yang tinggi dan partisipasi dalam aktivitas di rumah, sekolah, teman sebaya dan masyarakat. Dengan demikian secara garis besar, dapat dikatakan bahwa faktor protektif yang mempengaruhi resiliensi terbagi menjadi 2, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu (faktor individu), sedangkan faktor eksternal (faktor di luar individu), yaitu keluarga dan lingkungan (sekolah, teman sebaya dan masyarakat). Pada Tabel 2 disajikan beberapa pendapat ahli mengenai faktor yang mempengaruhi resiliensi. Penelitian
ini
akan
menggunakan
faktor
internal
dan
eksternal
berdasarkan acuan dari Resilience and Youth Development Module (Austin et al. 2010). Ada enam faktor internal, yaitu: kerjasama dan komunikasi, self-efficacy, empati, kemampuan memecahkan masalah, self-awareness dan memiliki tujuan dan aspirasi. Kerjasama dan komunikasi yaitu kompetensi sosial yang mengarah pada fleksibilitas dalam menjalin hubungan, kemampuan untuk bekerja secara efektif dengan orang lain, mampu saling bertukar informasi dan gagasan serta mengekspresikan perasaan pada orang lain.
Kemampuan individu untuk
bekerjasama dan berkomunikasi ini dapat menjadi sebuah kekuatan dalam membentuk hubungan yang baik (caring relationship).
Sebaliknya, kurangnya
kompetensi sosial ini dapat menyebabkan terjadi kriminalitas, penyakit mental dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Self-efficacy
berhubungan
dengan
kepercayaan
seseorang
akan
kompetensi yang dimilikinya untuk membuat sesuatu yang berbeda, seperti kemahirannya dalam melakukan pekerjaan dan kemampuan untuk bekerja dengan baik. Empati merupakan kemampuan untuk memahami dan peduli
pada
perasaan orang lain dan apa yang dialami orang lain. Empati ini merupakan akar dari moralitas dan rasa menghormati.
Daniel Goleman (1995) menyatakan
bahwa “Empathy is the single human quality that leads individuals to override self-interest and act with compassion and altruism.”
Penelitian pada bayi
menemukan bahwa bayi berusia dua tahun sudah dapat mengetahui bahwa perasaan orang lain mungkin saja berbeda dengan dirinya.
Kurangnya rasa
empati berhubungan dengan banyaknya tindakan plagiat, bullying, mengganggu orang lain dan bentuk kekerasan lainnya.
1. Kesempatan untuk berpartisipasi 2. Hubungan yang hangat 3. Harapan yang tinggi
Faktor Eksternal (lingkungan):
Faktor Internal (individu): 1. Kompetensi Sosial (ketrampilan sosial dan empati) 2. Ketrampilan menyelesaikan masalah (membuat keputusan dan berpikir kritis) 3. Otonomi (self esteem, self efficacy, locus of control) 4. Memiliki tujuan (optimisme, motivasi untuk berprestasi, minat, keyakinan)
Bonnie Benard Faktor Protektif ada dua yaitu internal dan eksternal
3. I Can Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian dari faktor ini adalah mengatur berbagai perasaan dan rangsangan, mencari hubungan yang dapat dipercaya, keterampilan berkomunikasi, mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain, kemampuan memecahkan masalah.
2. I Have Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Faktor I Have terdiri dari memberi semangat agar mandiri, struktur dan aturan rumah, Role Models, adanya hubungan.
Grotberg 1. I Am Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab.
Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi
2. Faktor Keluarga: Hubungan yang dekat, kepedulian, perhatian, pola asuh yang hangat, hubungan yang harmonis 3. Faktor Masyarakat: Perhatian dari lingkungan, aktif dalam organisasi kemasyarakatan
Masten & Coastworth Ada 3 faktor pelindung: 1.Faktor individu Kemampuan intelektual, sociable, self confident, self efficacy, memiliki bakat
Faktor internal: 1. Kerjasama dan komunikasi 2. Self efficacy 3. Empati 4. Problem solving 5. Self awareness 6. Tujuan dan aspirasi
RYDM Ada 2 komponen yang mempengaruhi resiliensi yaitu aset internal dan asset eksternal.
1. Dukungan keluarga 2. Dukungan sekolah Faktor eksternal: 3. Dukungan 1. Hubungan yang masyarakat baik 4. Autonomy . 2. Harapan yang experience tinggi 5. Hubungan . 3. Partisipasi dengan teman . Dari keluarga, teman, sebaya 6. Partisipasi dalam sekolah dan masyarakat kegiatan 7. Dukungan teman sebaya
Faktor eksternal:
Sun &Stewart Faktor individu: 1. Komunikasi dan kerjasama 2. Self esteem 3. Empati 4. Help seeking behavior 5. Tujuan dan aspirasi
19
19
20 Kemampuan
memecahkan
masalah
adalah
kemampuan
untuk
merencanakan, memberdayakan, berpikir kritis dan kreatif serta menggunakan perspektif yang beragam sebelum mengambil keputusan atau melakukan tindakan. Penelitian tentang resiliensi menunjukkan adanya identitas problem solving yang secara konsisten terlihat pada orang-orang dewasa yang sukses. Self-awareness adalah kemampuan untuk mengetahui dan memahami diri sendiri. Self-awareness merupakan tanda orang yang sukses yang memiliki perkembangan yang sehat. Kemampuan ini juga termasuk pada pemahaman bahwa pemikiran yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi tingkah laku dan perasaannya. Dalam hal ini pula, seseorang memiliki kesadaran akan kekuatan dan tantangan yang dihadapinya. Tujuan dan aspirasi mengarah kepada mimpi, visi, rencana yang dimiliki seseorang untuk fokus pada masa depannya, serta memiliki ekspetasi (harapan) yang tinggi pada dirinya. Tujuan dan aspirasi merupakan motivasi intrinsik yang dimiliki oleh individu yang menuntunnya pada makna dari kehidupan yang dijalaninya.
Penelitian yang dilakukan oleh National Longitudinal Study of
Adolescent Health (1999), diacu dalam Austin et al (2010) mengidentifikasikan bahwa individu yang memiliki tujuan dan aspirasi akan membangun hubungan mendalam (deep connectedness) yang merupakan sebuah kekuatan pelindung dari perilaku negatif.
Perilaku negatif yang
dimaksud antara lain adalah
kehamilan usia remaja, putus sekolah, tekanan emosional, bunuh diri, kekerasan dan keterlibatan dengan alkohol atau obat-obatan terlarang. Faktor eksternal yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi faktor eksternal keluarga dan faktor eksternal lingkungan.
Faktor eksternal
keluarga akan dibahas tersendiri dalam sub bab lingkungan keluarga, sedangkan faktor eksternal lainnya, yaitu sekolah, teman sebaya dan masyarakat dilihat berdasarkan kesempatan untuk dapat berpartisipasi (participation) dalam aktivitas kelompok, hubungan yang hangat (caring relationship) dan harapan yang tinggi (high expectations) dari lingkungan kepada individu (Austin 2010).
Lingkungan Keluarga Keluarga didefinisikan sebagai sekelompok orang yang mempunyai tingkat hubungan spesifik melalui pernikahan, adopsi dan hubungan darah (Rice & Tucker, 1986). Menurut Burges dan Locke dalam Puspitawati (2009), ada 4 ciri keluarga yaitu: (a) keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan
21
oleh ikatan perkawinan (pertalian antar suami dan istri), darah (hubungan antara orang tua dan anak) atau adopsi; (b) anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga; (c) keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial; (d) keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama pembangunan sumber daya manusia.
Pertama adalah karena dalam keluargalah, seorang individu
tumbuh berkembang, dimana tingkat pertumbuhan dan perkembangan tersebut menentukan kualitas individu yang kelak akan menjadi pemimpin masyarakat bahkan pemimpi negara. Alasan kedua adalah karena di keluargalah aktivitas utama kehidupan seorang individu berlangsung (Sunarti 2008). Sehubungan dengan kesehatan reproduksi remaja (KRR) diketahui bahwa akses remaja terhadap peningkatan pengetahuan tentang masalah reproduksi lebih banyak diperoleh dari media elektronik, media cetak dan teman sebaya dibandingkan dari orang tua atau keluarga, padahal pesan tentang kesehatan reproduksi remaja dari orang tua dinilai lebih baik karena mengikutsertakan nilai moral dan agama (Sunarti 2008). Orang tua sebagai pengasuh anak akan memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan anak.
Orang tua yang permisif akan
menghasilkan anak yang memiliki regulasi emosi yang rendah, pemberontak, menunjukkan tingkah laku yang antisocial dan memiliki ketahanan yang rendah dalam menghadapi hal-hal yang menantang, sementara itu orang tua yang otoritatif akan menghasilkan anak bahagia, memiliki rasa percaya diri, memiliki regulasi emosi dan kemampuan sosial yang baik (Brooks 2001). Moos dan Moos (2009) membagi lingkungan keluarga dalam 3 dimensi utama dan 10 sub skala.
Tiga dimensi yang dimaksud adalah dimensi
hubungan, perkembangan personal dan sistem pemeliharaan.
Dimensi
hubungan (relationship) merupakan evaluasi lingkungan keluarga dalam hal hubungan antar anggota keluarga yang terdiri dari 3 sub skala yaitu: (1) Kohesi (cohesion) yang menunjukkan komitmen dan dukungan antaranggota keluarga; (2) Ekspresif (expressiveness) yang berhubungan dengan tindakan anggota keluarga untuk mengekspresikan perasaan mereka secara langsung, dan (3) Konflik (conflict) yang berhubungan dengan tindakan anggota keluarga
22 mengungkapkan secara terbuka perasaan tidak senang, kemarahan dan ketidaksetujuannya. Dimensi perkembangan personal (personal growth) merupakan evaluasi lingkungan
keluarga
dalam
hubungannya
dengan
pertumbuhan
dan
perkembangan pribadi yang terdiri atas 5 sub skala yaitu: (1) Kebebasan (independence) berarti tingkat dimana anggota keluarga memiliki ketegasan dan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri; (2) Orientasi untuk berprestasi (achievement orientation) berhubungan dengan aktivitas anggota keluarga yang mengarah pada pencapaian prestasi atau berkompetisi; (3) Orientasi pada intelektual dan budaya (intelectual-cultural orientation) berhubungan dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan politik, kemasyarakatan, budaya dan intelektual; (4) Orientasi pada rekreasi aktif (active-recreational orientation) berhubungan dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan rekreasi; (5) Penanaman moral agama (moral-religion emphasis) berhubungan dengan etika, nilai-nilai dan moral agama dalam keluarga Dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance) berhubungan dengan sistem pemeliharaan nilai-nilai dan aturan dalam keluarga. Dimensi ini terdiri atas dua sub skala, yaitu: (1) Organisasi (organization) yaitu tingkat perencanaan dan pengaturan kewajiban dalam keluarga dan (2) Kontrol (control) yaitu seberapa banyak peraturan dan prosedur digunakan dalam kehidupan keluarga.
Perkembangan Resiliensi pada Individu Sesungguhnya tidak ada alasan sederhana yang menjelaskan mengapa seseorang begitu ulet dan tangguh (resilien), sementara yang lainnya tidak demikian padahal mereka hidup dan dibesarkan dalam situasi dan lingkungan yang sama.
Faktor resiko dan faktor pelindung ini tidak terbentuk di ruang
hampa ataupun bersifat independen satu sama lain. Resiliensi ini terbentuk dari hubungan saling mempengaruhi antara karakteristik individu, karakteristik keluarga dimana individu ini hidup di dalamnya dan karakteristik lingkungan baik fisik maupun sosial. Contohnya, tinggal dengan orang tua yang utuh merupakan faktor pelindung bagi anak atau remaja.
Namun jika salah satu orang tua
bertindak kasar, maka tinggal dengan orang tua akan menjadi faktor resiko dan sebaliknya, tidak tinggal dengan orang tua akan menjadi faktor pelindung (Barankin dan Khanlou 2009).
23
Lingkungan yang berperan secara signifikan dalam perkembangan individu adalah lingkungan mikrosistem yang mencakup keluarga, sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Kebutuhan psikologis pada individu dapat terpenuhi dengan adanya dukungan yang memadai dari lingkungan berupa hubungan yang hangat, peraturan dan batasan, dukungan untuk mandiri, dukungan untuk berprestasi dan role model yang positif (Kalil 2003). Bronfenbrener, pencetus teori ekologi menyatakan bahwa lingkungan sosiokultural anak sangat mempengaruhi perkembangan anak. Lingkungan itu dimulai dari lingkungan yang sangat dekat dengan anak yaitu hubungannya dengan keluarga, meluas pada teman sebaya, sekolah, dan masyarakat; bagaimana pengalaman yang anak alami dalam lingkungan-lingkungan tersebut; bagaimana interaksi antara lingkungan-lingkungan itu mempengaruhi anak dan kemudian meluas pada bagaimana kebudayaan dalam lingkungan tempat tinggal anak mempengaruhi perkembangannya.
Teori ekologi Bronfrenbrenner ini
merupakan suatu pandangan sosiokultural tentang perkembangan yang terdiri dari lima sistem lingkungan, dari mulai lingkungan yang terdekat dan berinteraksi secara langsung sampai lingkungan yang sangat luas. Kelima sistem dalam teori ekologi
Bronfenbrenner
adalah:
mikrosistem,
mesosistem,
eksosistem,
makrosistem dan kronosistem (Santrock 2003). Bronfenbrenner (2002) menyatakan bahwa mikrosistem adalah tempat dimana individu tinggal, termasuk di dalamnya yaitu keluarga (orang tua), teman sebaya, tetangga, kehidupan sekolah.
Sistem ini membantu perkembangan
seorang anak melalui interaksi secara langsung. Mesosistem meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau hubungan antara beberapa konteks. Hubungan ini dapat terbentuk dari kehidupan sekolah dengan kehidupan yang ada dalam keluarga atau juga tetangga sekitarnya. Sebagai contoh, lingkungan teman sebaya dapat mempengaruhi tingkah laku individu di sekolahnya atau bahkan juga mempengaruhi hubungan individu tersebut dengan keluarganya. Eksosistem yaitu sebuah sistem dimana terjadi interaksi tidak langsung antara individu dengan setting sosial lainnya dimana individu tidak memiliki peran aktif di dalamnya, namun memiliki dampak pada individu tersebut.
Misalnya
kebijakan yang ada di lingkungan tempat bekerja orang tua, akan memberikan dampak pada anak.
Atau pengalaman kerja istri dapat mempengaruhi
hubungannya
suami
dengan
dan
atau
anaknya.
Makrosistem
meliputi
kebudayaan dimana individu hidup. Kebudayaan mengacu pada pola perilaku,
24 keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Contohnya adalah ideologi, agama, etnik. Sistem
yang
kelima
dalam
teori
ekologi
bronfenbrenner
adalah
kronosistem yang meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan-keadaan sosiohistoris.
Dengan
kata lain, sistem ini merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman individu semasa hidupnya termasuk kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan dan transisi dalam kehidupan serta sejarah individu itu sendiri. Misalnya, dengan mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah perceraian dan dampaknya lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan (Hetherington 1989, diacu dalam Bronfenbrenner 2002). Resiliensi berhubungan dengan sumber-sumber faktor pelindung dan peningkatan kesehatan yang mencakup kesempatan yang dimiliki oleh individu, hubungan kekerabatan keluarga yang erat dan kesempatan individu dan orang tua dalam mendapatkan dukungan dari lingkungan masyarakat (Wolfe & Mash 2005, diacu dalam Nurfadillah 2006). Hal ini sejalan dengan teori ekologi yang menekankan bahwa seseorang tidak dianggap terpisah dari lingkungannya, melainkan merupakan bagian yang integral dari lingkungan dimana ia berada. Faktor resiko yang saling terkait dan bertumpuk-tumpuk semakin memudahkan berkembangnya permasalahan dan akan semakin menyulitkan individu untuk mendapatkan pijakan yang positif dalam rangka membalikkan keadaan negatif menjadi potensi yang menguntungkan bagi dirinya.
Jika
pengalaman ini terus berlangsung maka akumulasi resiko semakin bertambah sehingga akan semakin memperburuk kondisi remaja (Davis 1999). Faktor internal yang berkembang pada individu sesuai dengan dukungan dari lingkungan maupun karakteristik pada individu yang bersifat genetik kemudian berinteraksi dengan faktor protektif eksternal untuk membentuk suatu mekanisme
perlindungan
dan
meningkatkan
resiliensi
individu
terhadap
pengaruh negatif dari faktor resiko (Craig 1999, diacu dalam Chugani 2006).
25
Gambar 1. Sistem lapisan dalam teori ekologi Bronfenbrenner (Sumber: http://www.des.emory.edu/mfp) Penelitian tentang Resiliensi Pada awalnya penelitian tentang resiliensi terfokus pada faktor resiko, defisiensi dan patologis seperti anak-anak yang lahir pada kondisi yang beresiko tinggi, yakni keluarga yang mengkonsumsi minum minuman keras, cenderung melakukan abuse terhadap anak, melakukan tindakan kriminal, pada masyarakat miskin atau pada situasi perang. Namun pada saat ini fokus riset mengenai resiliensi telah beralih dan menekankan pada identifikasi proses yang dapat meningkatkan resiliensi ketika berada dalam kondisi normatif (Davey et al. 2003). Menurut Neil (2006) diacu dalam Sanni (2009) resiliensi bukanlah suatu kebetulan yang menguntungkan, resiliensi muncul pada orang yang telah terlatih keras, mempunyai sikap yang istimewa, kemampuan kognitif yang baik, emosi dan ketetapan hati yang teguh untuk mengatasi tantangan berat. Ada beberapa faktor yang berperan dalam pengembangan resiliensi antara lain adalah social support yang termasuk di dalamnya pengaruh budaya, community support dan personal support. Budaya dan komunitas dimana seseorang itu tinggal sangat mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang.
Para remaja sadar akan
pentingnya kebudayaan sebagai tolak ukur terhadap tingkah laku sendiri. Kebudayaan
memberikan
pengaruh
pada
perkembangan
remaja.
Pada
gilirannya akan terjadi remaja yang berbeda-beda pola tingkah lakunya antara
26 satu masyarakat dengan masyarakat yang lain (Holaday & McPhearson 1997, diacu dalam Santrock 2003). Dukungan sosial termasuk dukungan keluarga memberikan manfaat bagi remaja antara lain meningkatkan kesejahteraan psikologis dan penyesuaian diri dengan menyediakan rasa memiliki, memperjelas identitas diri, menambah harga diri dan mengurangi stress. Meningkatkan dan memelihara kesehatan fisik. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima seorang remaja, semakin besar resiliensi remaja tersebut (Johnson & Johnson 1991, diacu dalam Sanni 2009). Orang tua, anak dan remaja berlatar belakang penghasilan rendah, beresiko tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental (McLoyd 1993). Kesulitan dalam adaptasi sosial dan masalah sosial dan masalah psikologis seperti depresi, rendah diri, konflik dengan teman sebaya dan kenakalan remaja lebih banyak terjadi pada remaja miskin dibanding dengan yang lebih berada (Gibbs dan Huang 1989 diacu dalam Santrock 2003). psikologis lebih sering terjadi
Meskipun masalah
pada remaja miskin, fungsi intelektual dan
psikologis mereka cukup bervariasi. Misalnya, ketika remaja miskin memperoleh prestasi di sekolah, adalah umum bila ditemukan bahwa orang tuanya berkorban cukup banyak untuk menghidupi keluarga dan mendukung keberhasilan sekolah anaknya. Hal ini dapat diartikan bahwa lingkungan keluarga yang dimiliki remaja tersebut mendukung untuk terpenuhinya hak-hak anak yang menyebabkan ia mampu untuk berprestasi walau dalam kondisi yang sulit. Menurut Werner dan Smith (1982) dalam Benard (2007), hasil penelitian longitudinal yang dilakukan selama 50 tahun tentang resiliensi di pulau Kauai, faktor protektif dalam diri individu (temperamen dan
kemampuan nalar yang
baik, self-esteem, dan internal locus control) secara konsisten cenderung memberikan dampak yang lebih besar pada kualitas koping wanita dibanding pada laki-laki.
Pada saat remaja, perempuan memiliki lebih beragam faktor
protektif seperti kemampuan memecahkan masalah, ukuran keluarga yang lebih kecil dan memiliki ibu yang “gainfully and steadily employed”.
Pada usia 17-18
tahun memiliki rencana pendidikan dan vokasional dan konsep diri yang positif menjadi faktor yang terpenting. Dalam keluarga, remaja memiliki status urutan kelahiran sebagai anak tunggal, sulung, tengah dan bungsu yang memiliki karakteristik yang berbeda.
Namun dalam penelitian Rosyidah (2010) tidak
terlihat perbedaan resiliensi remaja berdasarkan urutan kelahiran.
27
Berdasarkan hasil penelitian Yuliatin (2007), diperoleh kesimpulan bahwa subyek yang mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak ternyata mampu terhindar dari perbuatan yang menyimpang secara norma. Dengan kata lain, subyek tersebut mampu resilient dengan didukung faktor protektif resilience, berupa: pertama, faktor instrinsik, yaitu: kekuatan diri yang solid, keoptimisan, percaya diri, konsep diri yang jelas, kontrol diri yang bagus dan sensitifitas terhadap lingkungan sosial; kedua, faktor ekstrinsik, yaitu: penanaman falsafah hidup dari orang tua dan kerabat, pertemanan yang solid dan positif, aktifitas sekolah yang menyenangkan dan teladan dari seorang guru, serta komunitas yang responsif terhadap subjek.
Sehubungan dengan resiliensi, hasil survey
terhadap 524 eksekutif senior dari 20 negara, dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan dianggap lebih resilien dibanding laki-laki (Wen 2010). Riset selama 30 tahun mengungkapkan bahwa individu yang resilien adalah individu yang tampak sehat, berumur panjang, jarang mengalami depresi, bahagia dan berprestasi baik di tempat kerja maupun di sekolah. Individu yang resilien dapat terlihat pada sebuah studi longitudinal yang dilakukan pada tahun 1955 terhadap 833 anak dan 698 anak diantaranya ditelusuri perkembangannya sejak masih dalam kandungan. Individu yang yang resilien antara lain dapat mengembangkan sense of efficacy dengan baik, menjadi orang dewasa yang sangat mendukung dan mau mencoba kesempatan kedua (Reivich & Shatte 2002, diacu dalam Nurfadillah 2006). Menurut Barankin dan Khanlou (2009), ciri-ciri anak yang resilien antara lain adalah mampu berempati atau dapat memahami dan bersimpati terhadap perasaan orang lain, dapat menjadi komunikator yang baik dalam memecahkan masalah, memiliki minat yang kuat di sekolah, dan berdedikasi untuk belajar, memiliki dorongan kuat untuk mencapai tujuan, selalu terlibat dalam kegiatan yang bermakna, selalu memiliki harapan dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain serta hidup dengan perasaan aman di keluarga maupun masyarakatnya.
Pengukuran Resiliensi Pengukuran resiliensi dapat dilakukan dengan beberapa alat ukur atau instrument, yaitu antara lain Baruth Protective Factors Inventory (BPFI), ConnorDavidson Resilience Scale (CD-RISC), Resilience Scale for Adults (RSA), Adolescent Resilience Scale (ARS), Brief-Resilient Coping Scale (BRCS) dan
28 Resilience Scale (RS). Ahern (2006) melakukan perbandingan diantara alat-alat ukur resiliensi tersebut berdasarkan beberapa indicator seperti dasar teori yang digunakan, target populasi dan seting penelitian, bidang atau konstruk yang diukur serta kelebihan dan kekurangan yang dimiliki alat ukur tersebut. Perbandingan domain yang digunakan dan beberapa karakteristik lainnya yang terdapat pada beberapa alat ukur disajikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4. Hasil review yang dilakukan oleh Ahern (2006) menemukan bahwa BPFI dan BRCS tidak tepat diadministrasikan pada populasi remaja, sedangkan ARS, CD-RISC dan RSA membutuhkan studi lebih lanjut jika ingin diadministrasikan untuk remaja. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan untuk mengukur skala resilien adalah Resilience Scale (RS) yang dikembangkan oleh Wagnild and Young karena beberapa pertimbangan sebagai berikut: (1) dinilai sebagai intrumen yang paling sesuai untuk digunakan pada berbagai jenis kelamin, kelompok etnis, dan kelompok usia (termasuk remaja); (2) banyak digunakan dalam berbagai penelitian; (3) memiliki reliabilitas yang tinggi (0.91) dan (4) memiliki kualitas pengukuran yang baik dibanding instrument lainnya (Ahern 2006). Skala Resilien atau Resilience Scale (RS) dipublikasikan tahun 1993 (Wagnild & Young, 1993) yang pada awalnya terdiri dari 50 item pertanyaan yang menggambarkan 5 karakteristik dari resilien yaitu: (1) meaningful life; (2) perseverance; (3) self reliance; (4) equanimity dan (5) coming home to yourself (existensial aloneness).
Setelah dilakukan faktor analisis, Skala Resilien ini
diindikasikan memiliki 2 faktor yaitu personal competence (yang berindikasi pada keyakinan diri, kemandirian, tekad, penguasaan, akal) dan acceptance of self and life (yang berindikasi pada adaptasi, keseimbangan, fleksibilitas, perspektif seimbang terhadap kehidupan (Wagnild & Young 1993). Skala resiliensi yang dibuat oleh Wagnild dan Young ini pernah digunakan oleh Skehil (2001) untuk melihat resiliensi remaja yang berusia 12 sampai 18 tahun.
Dalam penelitian tersebut Skehil menggunakan 15 item
pertanyaan. Pada penelitian lainnya, Skehil juga pernah menggunakan 10 item pertanyaan dari Resilience Scale ini. Skala resiliensi ini mempunyai reliabilitas 0.91 dan berkorelasi secara signifikan dengan alat ukur yang berhubungan erat dengan konstruk resiliensi (Ahern 2006). Hal tersebut membuktikan bahwa skala resiliensi yang dikembangkan oleh Wagnild dan Young ini terbukti memiliki keterandalan dan dapat mengukur resiliensi seseorang (Ardias 2008).
29
Tabel 3. Perbandingan beberapa alat ukur resiliensi berdasarkan domain Instrumen
Resilience Scale
ConnorDavidson Resilience Scale (CD-RISC)
Baruth Protective Factor Inventory (BPFI)
Resilience Scale for Children and Adolescent (RSCA) 1. Sense of mastery 2. Sense of relatedness 3. Emotional reactivity
Domain *)
1.Personal Competence 2.Acceptance of Self and Life
1. Personal Competence 2. tolerance of negative effect 3.Positive Acceptance of change and secure relationship 4.Control 5.Spiritual Influences
1. Adaptable personality 2. Supportive environment 3. Fewer stressor 4.Compensating experiences
Reliabilitas**)
0.91
0.89
0.83
0.93
Jumlah Item **) Kelebihan **)
25
25
16
20
Dapat diaplikasikan pada berbagai usia, etnis, jenis kelamin dengan reliabitas yang baik serta banyak ditemukan dalam berbagai jenis penelitian
Diujicobakan pada populasi umum dan pada populasi klinis dan kurang tepat digunakan pada remaja
Dapat digunakan oleh para pendidik dan konselor namun kurang tepat diaplikasikan pada remaja
Spesifik digunakan untuk anak dan remaja namun tidak banyak digunakan dalam penelitian
Kualitas**)
Baik
Cukup
Kurang
---
Keterangan: *) sumber : Wagnild( 2010); **) sumber: Ahern (2006)
30
31 KERANGKA PEMIKIRAN
Permasalahan, tantangan dan kesulitan merupakan fenomena hidup yang tidak bisa dihindari. Reaksi setiap orang dalam menghadapi berbagai tantangan, permasalahan atau situasi yang berat dalam hidup juga sangat beragam. Resiliensi menjadi suatu hal yang penting karena dengan resiliensi, seseorang akan mampu mengatasi kesulitan dan melanjutkan perkembangan normalnya seperti semula (Ungar 2008). Banyaknya fenomena antisosial yang terjadi di kalangan remaja seperti tawuran, kehamilan dan aborsi di luar nikah, penggunaan obat-obatan terlarang, seks komersil bahkan bunuh diri (Austin et al (2010) menunjukkan lemahnya resiliensi dalam diri remaja.
Padahal masa remaja adalah sebuah masa
persiapan untuk melangkah ke masa dewasa dengan tantangan yang lebih beragam, sehingga resiliensi menjadi sesuatu hal yang amat diperlukan. Ada dua faktor yang berpengaruh pada resiliensi, yaitu faktor resiko dan faktor protektif. Faktor resiko merupakan kejadian hidup atau pengalaman yang berhubungan dengan peningkatan permasalahan perilaku, sedangkan faktor protektif adalah faktor-faktor yang dapat membantu melindungi remaja dari efekefek negatif yang ditimbulkan dari adanya faktor resiko. Individu yang mampu mencapai resiliensi didukung adanya faktor-faktor protektif yang ada pada dirinya (internal), yaitu faktor individual, dan faktor eksternal yaitu keluarga, teman sebaya, sekolah dan masyarakat di sekitarnya (Barankin dan Khanlou 2009). Faktor resiko terdapat pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat (Kalil 2003). Faktor resiko dapat berupa kejadian atau peristiwa yang membuat orang menjadi rentan,dan mengarah pada ketidakmampuan. Faktor resiko jug merupakan mediator yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku bermasalah atau maladaptif (Alimi 2005). Faktor protektif internal adalah faktor dalam diri individu yang meliputi enam aspek atau domain.
Keenam aspek tersebut adalah kemampuan
seseorang untuk berkomunikasi dan bekerjasama, memiliki self-efficacy dan selfawareness, memiliki rasa empati dan kemampuan memecahkan masalah serta memiliki tujuan atau aspirasi (Sun & Stewart 2007). Keluarga sebagai faktor protektif eksternal yang merupakan tempat pertama dan utama bagi seseorang untuk dapat melaksanakan tugas perkembangannya dengan baik termasuk dalam hal resiliensi.
Interaksi dan
32 transfer nilai-nilai dalam keluarga juga akan mempengaruhi resiliensi seseorang. Setiap dimensi dalam lingkungan keluarga, baik itu dimensi hubungan, pertumbuhan personal maupun sistem pemeliharaan, dimungkinkan akan memiliki kontribusi yang berbeda-beda dalam membentuk resiliensi remaja. Faktor protektif eksternal lainnya, yaitu teman sebaya, sekolah dan masyarakat termasuk nilai sosial budaya yang ada di dalamnya juga turut memiliki andil dalam pembentukan resiliensi. Adanya kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam aktivitas kelompok, hubungan yang hangat dan harapan yang tinggi dari lingkungan sekolah, teman sebaya dan masyarakat menjadi faktor protektif yang mendukung terbentuknya resiliensi. Adanya perbedaan dalam hal sosial, budaya, ekonomi dan teknologi antara daerah perkotaan dan pedesaan diprediksi akan memberikan perbedaan dalam membentuk resiliensi remaja. Begitu pula perbedaan jenis sekolah, yaitu SMA dan SMK yang memberikan warna berbeda dalam perkembangan remaja. Setiap faktor tersebut tentunya memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Faktor lainnya yang juga akan diteliti adalah karakteristik individu, yaitu jenis kelamin dan urutan kelahiran serta karakteristik sosial ekonomi keluarga. Karakteristik sosial ekonomi keluarga dalam penelitian ini adalah pendidikan orang tua dan pendapatan orang tua.
Faktor Resiko
Faktor masyarakat: -. Hubungan -. Harapan yang tinggi -. partisipasi
Faktor teman sebaya: -. Hubungan -. Harapan yang tinggi -. partisipasi
Faktor sekolah: -. Hubungan -. Harapan yang tinggi -. partisipasi
Faktor keluarga: -. Hubungan -. Pertumbuhan personal -. Sistem pemeliharaan
Faktor Internal: -. Kerjasama dan komunikasi -. Self-efficacy -. Empati -. Self-awareness -. Problem Solving -. Tujuan dan aspirasi
p r o t e k t i f
F a k t o r
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Karakteristik sosial ekonomi :- Pendidikan orang tua -. Pendapatan orang tua
Resiliensi: -. Kompetensi personal -. Penerimaan diri dan kehidupan
Karakteristik individu: -. Jenis kelamin -. Urutan kelahiran
31
33
35
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain penelitian adalah cross sectional study.
Penelitian ini dilakukan
di Kota Bogor untuk mewakili wilayah perkotaan dan Kabupaten Bogor untuk mewakili wilayah pedesaan. Pada masing-masing wilayah, dipilih satu SMA dan satu SMK untuk memperoleh data yang lebih beragam Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan diperoleh data bahwa SMA Negeri yang ada di Kota Bogor ada 10 sekolah, sedangkan di Kabupaten Bogor ada 35 sekolah. SMK Negeri di Kota Bogor ada 5 sekolah, begitu pula dengan SMK di Kabupaten Bogor, ada 5 sekolah. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposive dengan beberapa pertimbangan seperti misalnya bukan termasuk sekolah yang berstandar internasional (SBI) sehingga status sosial ekonominya lebih beragam dan juga karena alasan ketersediaan data dan kesediaan pihak sekolah untuk bekerjasama. Untuk wilayah Kota Bogor dipilih SMAN 5 Bogor dan SMKN 1 Bogor, sedangkan untuk wilayah Kabupaten Bogor dipilih SMAN 1 Ciomas dan SMKN 1 Ciomas.
Penelitian dilakukan sejak bulan Maret hingga Desember
2011 mulai dari penulisan proposal, penyusunan instrument, survei lapang, pengambilan data, analisis data dan penulisan tesis. Contoh dan Cara Pengambilan Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah remaja yang berada di kelas X SLTA dengan pertimbangan bahwa siswa kelas X berada dalam kondisi peralihan dari SLTP sehingga masih memerlukan proses adaptasi. Kondisi ini diasumsikan lebih sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat resiliensi remaja. Kerangka sampling adalah siswa kelas X dari keluarga utuh.
Untuk
wilayah perkotaan dan pedesaan, dilakukan penentuan secara cluster dimana masing-masing wilayah diambil 100 sampel. Teknik pengambilan sampel setiap wilayah digunakan Proporsional Random Sampling, yaitu selain anggota populasi memiliki kesempatan yang sama, juga pengambilan sampel diambil secara proporsional dengan pertimbangan bahwa setiap sekolah memiliki jumlah siswa yang berbeda.
Jumlah keseluruhan sampel yang direncanakan dari kedua
wilayah adalah 200 siswa.
36 Jumlah sampel yang diambil untuk setiap sekolah di sebuah wilayah (perkotaan atau pedesaan) mengikuti rumus berikut ini: x 100
n = . jumlah siswa di sekolah tersebut jumlah siswa di semua sekolah dalam satu wilayah
Pedesaan
Perkotaan
Kabupaten Bogor
Kota Bogor
SMAN 1 Ciomas
SMKN 1 Ciomas
n
n
n
SMAN 5 Bogor
SMKN 1 Bogor
n
Proporsional Random Sampling
Gambar 3. Bagan cara pengambilan contoh Data jumlah siswa kelas X yang berasal dari keluarga utuh, sampel yang diambil berdasarkan rumus untuk menentukan sampel secara proporsional dan jumlah akhir sampel yang memenuhi kriteria disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah sampel pada masing-masing sekolah Wilayah/Sekolah Kota Bogor 1. SMAN 5 Bogor 2. SMKN 1 Bogor Kabupaten Bogor 1. SMAN 1 Ciomas 2. SMKN 1 Ciomas Jumlah
Jumlah siswa kelas X
Sampel berdasarkan rumus
Sampel akhir
333 389
46 54
45 48
103 130 955
44 56 200
44 44 181
Sampel akhir yang digunakan dalam penelitian berkurang dari sampel yang telah ditentukan sebelumnya, antara lain disebabkan karena data yang diberikan oleh contoh, tidak lengkap atau contoh berasal dari keluarga yang tidak utuh (orang tua bercerai atau meninggal). Dari 200 contoh yang direncanakan, tersisa 181 contoh yang terdiri dari 93 contoh di wilayah Kota Bogor dan 88 contoh di wilayah Kabupaten Bogor.
37
Jenis dan Cara Pengambilan Data Pada penelitian ini, jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer
dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan cara mengisi kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data yang dikumpulkan mencakup (1) karakteristik individu (usia, jenis kelamin, urutan kelahiran); (2) karakteristik sosial ekonomi (pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua); (3) faktor internal; (4) faktor eksternal keluarga; (5) faktor eksternal sekolah; (6) faktor eksternal teman sebaya; (7) faktor eksternal masyarakat; (8) faktor resiko; (9) resiliensi remaja.
Data sekunder meliputi data siswa, keadaan
umum
sekolah serta dokumentasi yang terkait dengan topik penelitian Tabel 5. Jenis data penelitian No 1.
Variabel Karakteristik Individu
2.
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga
3.
Faktor Protektif Internal
4.
Faktor Protektif Eksternal a. Keluarga
b. Sekolah c. Teman Sebaya d. Masyarakat 5.
Faktor Resiko
6.
Resiliensi
Jenis Informasi usia, jenis kelamin, dan urutan kelahiran pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua dan pendapatan orang tua komunikasi dan kerjasama, self efficacy, empati, , problem solving, self awareness tujuan dan aspirasi. Dimensi Relationship, Personal Growth dan System Maintenance
Instrumen Ketentuan Peneliti Ketentuan Peneliti
Hubungan, harapan dan partisipasi Hubungan, harapan dan partisipasi Hubungan, harapan dan partisipasi
Modifikasi dari RYDM Modifikasi dari RYDM Modifikasi dari RYDM
Pengalaman yang dapat meningkatkan perilaku bermasalah dari individu, keluarga atau masyarakat Personal competence dan acceptance of self and life
Ketentuan peneliti berdasarkan teori Resilience Scale (Wagnild and Young)
Resilience and Youth Development Module (RYDM) Family Environment Scale (Moos and Moos)
38 Dalam menentukan kualitas data dilakukan uji reliabilitas kuesioner yang dilakukan dengan metode Cronbach’s Alpha. Tabel 6 menyajikan hasil uji realibilitas masing-masing instrumen. Tabel 6. Nilai alpha cronbach instrumen penelitian yang digunakan No 1. 2.
3.
4. 5.
Instrumen Faktor Protektif Internal (RYDM) Faktor Eksternal Keluarga (Family Environment Scale) a. Dimensi Relationship b. Dimensi Personal Growth c. Dimensi System Maintenance Faktor Eksternal Lingkungan a. Sekolah b. Teman Sebaya c. Masyarakat Faktor Resiko Resiliensi (Resilience Scale)
Jumlah item pertanyaan 18
Cronbach Alpha (α) 0.722
27 45 18
0.885 0.835 0.745 0.736
10 10 10 15 25
0.869 0.772 0.858 0.758 0.623 0.768
Pengolahan dan Analisis Data Faktor protektif internal diukur dengan menggunakan instrumen The Resilience Youth Development Module (RYDM) yang dikeluarkan oleh California Healthy Kids Survey (Austin, 2010). RYDM mencakup 6 aspek atau domain, yaitu (1) komunikasi dan kerjasama; (2) self efficacy; (3) empati; (4) problem solving; (5) self awareness; (6) tujuan dan aspirasi (Kaya 2007). Instrumen ini terdiri atas18 item pertanyaan yang kesemuanya digunakan dalam penelitian ini. Jawaban menggunakan 4 skala Likert yaitu sangat tidak sesuai (1) sampai sangat sesuai (4). Faktor protektif eksternal terdiri dari faktor keluarga dan lingkungan. Faktor protektif keluarga diukur dengan menggunakan Family Environment Scale dari Moos and Moos (2002) yang didefinisikan sebagai interaksi antara orang tua dan anak serta anggota keluarga lainnya yang diukur melalui persepsi dari anak dalam keluarga tersebut. Alasan pemilihan Family environment Scale sebagai instrument adalah: (1) Pentingnya keluarga dalam perkembangan anak dan remaja; (2) Disiplin ilmu yang mendasari penelitian ini adalah ilmu keluarga; (3) Dapat melihat interaksi atau pola hubungan dalam keluarga secara lebih mendalam. Instrumen Family Environment Scale (FES) yang digunakan dalam penelitian ini dimodifikasi dalam sistem skoring yang digunakan yaitu dari (1) ya dan (2) tidak, menjadi 4 skala Likert yaitu (1) sangat tidak sesuai; (2) tidak
39
sesuai; (3) sesuai (4) sangat sesuai untuk pertanyaan yang favourable, sedangkan (1) sangat sesuai; (2) sesuai; (3) tidak sesuai dan (4) sangat tidak sesuai untuk pertanyaan yang unfavourable. Family Environment Scale (FES) terdiri dari 3 dimensi dan 10 sub skala yang masing-masing memiliki 9 pertanyaan sehingga total pertanyaan adalah 90 item yang kesemuanya digunakan dalam penelitian ini. (relationship)
terdiri
atas
3
sub
skala
(27
item
Dimensi hubungan
pertanyaan),
dimensi
perkembangan personal (personal growth) terdiri atas 5 sub skala (45 item pertanyaan) dan dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance) terdiri atas 2 sub skala (18 item pertanyaan). Faktor protektif eksternal lainnya yaitu lingkungan, berupa partisipasi aktif, hubungan dan harapan yang tinggi dari sekolah, teman sebaya dan masyakarat sekitar. Instrumen yang digunakan untuk mengukur faktor protektif eksternal disusun oleh peneliti berdasarkan faktor eksternal yang disampaikan oleh Benard (Benard 1995 diacu dalam Alimi 2006) dan dimodifikasi juga dari Resilience and Youth Development Module-California Healthy Kids Survey yang dikeluarkan oleh California Departement of Education (2004) yang diacu dalam Sun & Stewart (2007). Instrumen meliputi pertanyaan-pertanyaan favourable tentang partisipasi, hubungan dan adanya harapan yang tinggi dari sekolah, teman sebaya dan masyarakat sekitar.
Masing-masing terdiri dari 10 pertanyaan
dengan 4 skala Likert dari (1) sangat tidak sesuai sampai (4) sangat sesuai. Faktor Resiko merupakan kejadian atau pengalaman yang dapat meningkatkan perilaku bermasalah masyarakat.
yang berasal dari individu, keluarga atau
Ada 15 item pertanyaan yang menggambarkan faktor resiko
dengan jawaban 1 (ya) yang menunjukkan kondisi yang pernah atau sedang dialami atau 0 (tidak) yang menunjukkan kondisi yang tidak pernah atau tidak sedang dialami oleh contoh. Semakin besar skor total maka berarti semakin banyak faktor resiko yang dimiliki oleh contoh. Resiliensi Remaja diukur menggunakan instrument The Resilience Scale (RS) oleh Wagnild dan Young (1993).
Resilience Scale digunakan untuk
mengukur resiliensi berdasarkan 2 faktor utama yaitu personal compentence (kompetensi personal) dan acceptance of self and life (penerimaan terhadap diri dan kehidupan). Resilience Scale (skala resilien) ini terdiri atas 25 item pertanyaan yang semuanya berupa pertanyaan positif dengan menggunakan 7 skala Likert dengan skor antara 25 – 175. Skor di atas 145 diindikasi memiliki
40 resiliensi tinggi, skor antara 125 – 145 reseliensi sedang dan skor di bawah 125 resiliensi rendah (Wagnild 2009). Dalam penelitian ini, instrumen resilience scale diadaptasi sepenuhnya (25 pertanyaan), namun menggunakan 4 skala Likert dari (1) sangat tidak sesuai, (2) tidak sesuai, (3) sesuai, dan (4) sangat sesuai. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan untuk memudahkan contoh dalam memilih jawaban seperti yang pernah dilakukan Alimi (2005), Ardias (2008) dan Sari (2009).
Alimi (2005)
mengubah jawaban dari 7 skala Likert menjadi 4 skala Likert karena pada saat try out , ditemukan banyaknya jawaban mengumpul di tengah karena responden merasa bingung dengan alternatif jawaban yang terlalu banyak. Ahern et al. (2006) dalam Luvaas (2010) menemukan bahwa RS memiliki keandalan yang sangat baik dengan koefisien Cronbach Alpha 0.91, sedangkan Alimi (2005) menemukan reliabilitas skala resiliensi ini sebesar 0.76. Dalam analisis deskriptif untuk mengetahui kecenderungan sebaran contoh
dalam
menjawab
pertanyaan,
dilakukan
crosstab.
Jawaban
dikelompokkan menjadi dua skor yaitu (0) untuk jawaban “tidak” yang berasal dari jawaban “sangat tidak sesuai” dan “tidak sesuai” serta (1) untuk jawaban “ya” yang berasal dari jawaban “sesuai” dan “sangat sesuai”.
Data yang
ditabulasikan adalah persentase contoh yang menjawab “ya” berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah. Sebelum dilakukan uji statistik, dilakukan skoring dengan pertimbangan bahwa jawaban “sesuai” dan “sangat sesuai” tidak dapat dijumlahkan dengan jawaban “tidak sesuai” dan “sangat tidak sesuai” karena merupakan data yang diskrit. Oleh karena itu, jawaban “sangat tidak sesuai” dan “tidak sesuai” diberi skor (0), “sesuai” diberi skor (1) dan “sangat sesuai” diberi skor (2). Untuk menyamakan satuan yang digunakan maka semua skor yang diperoleh dikonversi dalam bentuk persen (0-100).
Adapun rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Y
=
X – nilai minimum X ______________________________ Nilai maksimum X - nilai minimum X
Keterangan: Y= skor dalam persen X= skor yang diperoleh untuk setiap contoh
x 100
41
Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan skor skala resiliensi, faktor
internal, faktor ekternal lingkungan menjadi tiga kategori, yaitu tinggi, sedang dan rendah.
Kategori jenjang bertujuan untuk menempatkan individu ke dalam
kelompok-kelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasarkan atribut yang diukur (Azwar, 1999 dalam Sanni, 2009). Komposit skor yang diperoleh dikategorikan ke dalam tiga kategori yakni rendah, sedang dan tinggi (Budikusumo, 2009).
Secara umum pengkategorian yang digunakan
adalah rendah (skor<33.3), sedang (skor 33.4-66.7) dan tinggi (skor 66.8-100). Selanjutnya data yang dianalisis meliputi data karakteristik keluarga dan individu, faktor protektif internal, faktor protektif eksternal keluarga dan lingkungan, faktor resiko dan resiliensi remaja. Untuk melihat perbedaan dari faktor internal, faktor eksternal dan resiliensi pada remaja laki-laki dan perempuan dilakukan uji beda t. Begitu pula untuk melihat perbedaan variabelvariabel tersebut pada contoh di SMA dan SMK serta di wilayah perkotaan dan pedesaan. Untuk melihat perbedaan pendapatan dan pendidikan orang tua berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah menggunakan uji Mann Whitney. Uji korelasi bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel yang tidak
menunjukkan
hubungan
fungsional
(berhubungan
bukan
berarti
disebabkan). Uji korelasi menggunakan Pearson Correlation karena jika sampel data lebih dari 30 (sampel besar) dan kondisi data normal, sebaiknya menggunakan korelasi Pearson (Nugroho, 2005). Untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi remaja, digunakan uji regresi berganda dengan model persamaannya sebagai berikut: Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ……..+ β14X14 + ε Y
= resiliensi
x7
= pendapatan ayah
α
= konstanta
x8
= pendapatan ibu
β
= koefisien regresi
x9
= faktor internal
x1
= jenis kelamin
x10
= faktor eksternal keluarga
x2
= jenis sekolah
x11
= faktor eksternal sekolah
x3
= tipologi wilayah
x12
= faktor eksternal teman sebaya
x4
= urutan kelahiran
x13
= faktor eksternal masyarakat
x5
= pendidikan ayah
x14
= faktor resiko
x6
= pendidikan ibu
ε
= galat (error)
42 Definisi Operasional Remaja adalah siswa laki-laki dan perempuan yang duduk di kelas X sekolah lanjutan tingkat atas. Pendidikan ayah adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh ayah contoh Pendidikan ibu adalah jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh oleh ibu contoh Pekerjaan ayah adalah jenis pekerjaan utama yang dilakukan oleh ayah contoh sebagai sumber mata pencaharian untuk membiayai kebutuhan keluarga. Pekerjaan ibu adalah jenis pekerjaan utama yang dilakukan oleh ibu contoh sebagai sumber mata pencaharian untuk membiayai kebutuhan keluarga. Pendapatan ayah adalah perkiraan besarnya nominal uang yang diterima ayah dari pekerjaannya dalam satuan rupiah/bulan menurut persepsi anak Pendapatan ibu adalah perkiraan besarnya nominal uang yang diterima ibu dari pekerjaannya dalam satuan rupiah/bulan menurut persepsi anak Urutan kelahiran adalah urutan kelahiran contoh dalam keluarga inti (anak pertama, anak tengah atau anak bungsu). Faktor protektif adalah segala sesuatu yang berasal dari individu, keluarga dan masyarakat yang dapat melindungi seseorang dari efek-efek negatif faktor resiko dan membentuk resiliensi. Faktor protektif terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Protektif Internal adalah faktor pelindung yang berasal dari dalam diri individu Faktor Protektif Eksternal adalah faktor pelindung yang berasal dari luar individu, yaitu dari keluarga dan lingkungan sekitar termasuk teman sebaya, sekolah dan masyarakat di sekitar tempat tinggal Lingkungan Keluarga adalah interaksi antara orang tua dan anak serta anggota keluarga lainnya berdasarkan persepsi remaja yang terdiri dari 3 dimensi yaitu hubungan (relationship), perkembangan personal (personal growth) dan sistem pemeliharaan (system maintenance). Dimensi Hubungan (relationship) dalam lingkungan keluarga adalah segala sesuatu yang mengarah pada kohesi, ekspresi dan konflik. Kohesi (Cohesion) adalah kewajiban, bantuan dan dukungan di antara anggota keluarga
43
Ekspresi (expressiveness) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan anggota keluarga untuk mengekspresikan perasaan mereka secara langsung Konflik (conflict) adalah sesuatu yang berhubungan dengan tingkat dimana anggota keluarga mengekspresikan secara terbuka perasaan tidak senang, kemarahan dan ketidaksetujuannya. Dimensi Perkembangan Personal (personal growth) adalah evaluasi lingkungan keluarga dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang terdiri dari 5 sub komponen, yaitu kebebasan, orientasi untuk berprestasi, orientasi pada budaya, orientasi pada rekreasi aktif dan moral religius Kebebasan (independence) adalah tingkat dimana anggota keluarga memiliki keinginan, harapan dan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri Orientasi untuk berprestasi (achievement orientation) adalah kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas dalam keluarga yang mengarah pada pencapaian prestasi atau berkompetisi Orientasi pada intelektual dan budaya (intelectual-cultural orientation) adalah kegiatan yang berhubungan dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan politik, kemasyarakatan, budaya dan intelektual Orientasi pada rekreasi aktif (active-recreation orientation) adalah kegiatan yang berhubungan dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan rekreasi Pemahaman moral agama (moral-religion emphasis) adalah kegiatan yang berhubungan dengan penerapan nilai, moral dan agama dalam keluarga Dimensi Sistem Pemeliharaan (system maintenance)adalah kegiatan yang berhubungan dengan sistem pemeliharaan nilai-nilai dalam keluarga yang terdiri dari organisasi dan kontrol. Organisasi (organization) adalah tingkat perencanaan dan pengaturan kewajiban dalam keluarga Kontrol (control) adalah seberapa banyak peraturan dan prosedur digunakan dalam kehidupan keluarga Dukungan Lingkungan adalah faktor protektif eksternal yang meliputi hubungan, harapan yang tinggi dan partisipasi dari lingkungan (teman sebaya, sekolah dan masyarakat sekitar)
44 Faktor Resiko adalah segala sesuatu yang berasal dari individu, keluarga dan masyarakat yang dapat membuat orang menjadi rentan atau menyebabkan terjadinya perilaku bermasalah. Resiliensi adalah prediksi terhadap kemampuan yang dimiliki individu untuk mampu bertahan dalam situasi yang kurang menguntungkan atau penuh tekanan yang diukur dari aspek kompetensi personal dan penerimaan atas diri dan kehidupan. Kompetensi
personal
(Personal
Competence)
adalah
keyakinan
diri,
kemandirian, tekad, penguasaan, akal Penerimaan diri dan kehidupan (Acceptance of self and life) adalah kemampuan untuk melakukan adaptasi, fleksibilitas dan memiliki perspektif yang seimbang terhadap kehidupan
45 HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan diuraikan keadaan umum sekolah, karakteristik contoh, karakteristik sosial ekonomi keluarga, faktor protektif internal, faktor protektif eksternal, faktor resiko dan resiliensi remaja serta hubungan di antara variabel-variabel tersebut berikut faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi remaja. Keadaan Umum Sekolah Semua sekolah yang dijadikan tempat penelitian adalah sekolah negeri sehingga berstatus milik pemerintah. Keadaan umum sekolah meliputi lokasi sekolah, luas tanah dan bangunan, jumlah siswa, jumlah guru serta rasio guru dan siswa. Tabel 7. Keadaan umum sekolah Keadaan Sekolah
SMAN 1 Ciomas
SMKN 1 Ciomas
SMAN 5 Bogor
SMKN 1 Bogor
Lokasi
Jl. Cibinong Ciomas Ds. Sukaharja Kab. Bogor 10.000 m2
Jl. Laladon Kec. Ciomas Kab.Bogor
Jl. Heulang No.6 Tanah Sareal Bogor
6.500m2
Jl. Manunggal No.22 Menteng Bogor Barat 3.920 m2
Luas Bangunan
1.500m2
1.220m2
3.450 m2
4.320m2
Jumlah
316 siswa
328 siswa
1.080 siswa
1.401 siswa
Jumlah Guru
31 orang
29 orang
60 orang
64 orang
Rasio Guru:Siswa
1 : 10
1 : 11
1 : 18
1 : 22
Luas Tanah
5.885m2
Siswa
Semua sekolah tempat penelitian dipimpin oleh seorang kepala sekolah. Dalam melaksanakan tugasnya, kepala sekolah dibantu oleh beberapa wakil kepala sekolah, yaitu wakil bidang kurikulum, wakil bidang kesiswaan, wakil bidang sarana dan prasarana serta wakil bidang hubungan masyarakat. Fasilitas yang dimiliki oleh sekolah di wilayah perkotaan lebih memadai dibandingkan dengan fasilitas sekolah di wilayah pedesaan.
Secara umum,
fasilitas ruang/bangunan sekolah di wilayah perkotaan, yaitu di SMAN 5 Bogor dan SMKN 1 Bogor, terdiri dari ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang wakil
46 kepala sekolah, ruang guru, ruang komputer, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang BP/BK, ruang dapur, laboratorium komputer, laboraorium IPA, ruang PSB, Musholla, ruang OSIS, ruang koperasi, ruang UKS, ruang PMR, ruang pramuka, gudang, WC siswa, WC guru, dan kantin sekolah serta lapangan upacara/olahraga. Sekolah di wilayah pedesaan, yaitu SMAN 1 Ciomas dan SMKN 1 Ciomas, secara umum memiliki jumlah ruangan yang lebih sedikit dengan kondisi yang lebih minim dibanding sekolah di wilayah perkotaan. Jumlah ruang kelas ada 7 ruang di SMAN 1 Ciomas dan 10 ruang di SMKN 1 Ciomas. Masingmasing memiliki ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang wakil kepala sekolah, ruang tamu,ruang TU, WC guru dan WC siswa. Ruang perpustakaan belum dimiliki oleh kedua sekolah tersebut.
begitu pula dengan kantin dan ruang
koperasi. Ruang OSIS dan ruang khusus untuk masing-masing ekstrakurikuler, seperti pramuka dan PMR, juga belum dimiliki oleh kedua sekolah tersebut. SMAN 1 Ciomas sudah memiliki lapangan upacara/olahraga dengan kondisi yang cukup baik, namun tidak demikian halnya dengan SMKN 1 Ciomas yang belum memiliki lapangan upacara/olahraga memadai.
Karakteristik Contoh Dalam sub bab ini akan dibahas usia, jenis kelamin dan urutan kelahiran. Untuk jenis kelamin akan dibahas kembali dalam setiap variabel yang diteliti bersamaan dengan jenis sekolah dan tipologi wilayah. Usia Usia contoh berkisar antara 14-18 tahun dengan persentase terbesar adalah usia 16 tahun yaitu sebesar 61.3 persen dari jumlah contoh total dan hanya 0.6 persen yang berusia 14 tahun serta 1.1 persen yang berusia 18 tahun (Tabel 8). Arnett (2007) mengelompokkan remaja dalam tiga periode yaitu early adolescence (10 – 14 tahun), late adolescence (15 – 18 tahun dan emerging adulthood (18 – 25 tahun), sedangkan Hurlock (1993) menyatakan bahwa kelompok remaja tengah (madya) yaitu remaja yang berusia antara 13 atau 14 tahun sampai 17 tahun.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian
besar contoh dalam penelitian ini berada dalam periode late adolescence (Arnett 2007) atau kelompok remaja madya (Hurlock 1993).
47 Jenis Kelamin Berdasarkan jenis kelamin, seperti terlihat pada Gambar 4, contoh tersebar merata. Jumlah laki-laki 89 orang atau 49.2 persen dan perempuan 92 orang atau 50.8 persen. Contoh laki-laki dan perempuan di kedua wilayah yaitu pedesaan dan perkotaan juga menyebar merata, yaitu masing-masing 88 orang (48.6%) dan 93 orang (51.4%). Demikian pula untuk di SMA dan SMK, contoh menyebar merata, yaitu masing-masing 89 orang (49.2%) dan 92 orang (50.8%).
48
48
47
47
46
46 45 44
45 45
44
44
43
DESA KOTA
43 42 41 40 SMA
SMK
LAKI‐LAKI
PEREMPUAN
Gambar 4. Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan jenis sekolah di pedesaan dan perkotaan Urutan Kelahiran Urutan kelahiran menjadi perhatian khusus dalam mengidentifikasi karakteristik yang berkaitan dengan keluarga. Anak sulung digambarkan sebagai orang yang lebih dewasa, penolong, dapat mengontrol diri,lebih cemas dan kurang agresif dibanding saudara-saudaranya. Harapan dan standar tinggi yang ditetapkan oleh orang tua menjadikan anak sulung biasanya memiliki prestasi akademik dan kemampuan profesional yang lebih tinggi dibanding saudarasaudatanya (Santrock 2003).
Anak kedua digambarkan sebagai anak suka
berpetualang, senang berkelompok dan cenderung lebih independen dari harapan orang tua, sedangkan anak bungsu digambarkan sebagai pribadi yang spontan dan mempunyai jiwa yang lebih bebas (Rahmarina 2010). Berdasarkan urutan kelahiran, contoh dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu anak sulung (pertama), anak tengah (anak di antara anak pertama dan terakhir) dan anak bungsu (anak terakhir). Tabel 8 menunjukkan bahwa
48 persentase terbesar contoh merupakan anak sulung (49.2%). Dari 49.2 persen contoh yang merupakan anak sulung, sebagian besarnya adalah laki-laki (25.4%), bersekolah di SMK (28.2%) dan tinggal di wilayah perkotaan (28.2%), sedangkan selebihnya adalah perempuan (23.8%), bersekolah di SMA (21.0%) dan tinggal di wilayah pedesaan (21.0%). Tabel 8. Sebaran contoh berdasarkan usia dan urutan kelahiran (%) Karakteristik Individu Usia 14 Tahun 15 Tahun 16 Tahun 17 Tahun 18 Tahun Total Urutan Kelahiran Sulung Tengah Bungsu Total
Jenis Kelamin Lk Pr T
Jenis Sekolah SMA SMK T
13.8 27.6 6.6 1.1 49.2
0.6 13.8 33.7 2.8 50.8
0.6 27.6 61.3 9.4 1.1 100.0
0.6 15.5 30.4 2.8 49.2
12.2 30.9 6.6 1.1 50.8
0.6 27.6 61.3 9.4 1.1 100.0
25.4 12.2 11.6 49.2
23.8 15.5 11.6 50.8
49.2 27.6 23.2 100.0
21.0 14.9 13.3 49.2
28.2 12.7 9.9 50.8
49.2 27.6 23.3 100.0
Wilayah Kota
T
14.9 27.1 6.6 48.6
0.6 12.7 34.3 2.8 1.1 51.4
0.6 27.6 61.3 9.4 1.1 100.0
21.0 15.5 12.2 51.5
28.2 12.2 11.0 51.5
49.2 27.6 23.2 100.0
Desa
Keterangan: Lk= laki-laki; Pr = perempuan; T = total
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Karakteristik sosial ekonomi keluarga menggambarkan kondisi sosial ekonomi ayah dan ibu contoh. Pada sub bab ini akan dibahas tentang pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, pendapatan ayah dan pendapatan ibu. Pendidikan Orang Tua Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang kualitas sumber daya manusia. Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan mempengaruhi dan membentuk pola, cara dan pemahaman. Oleh karena itu, secara langsung maupun tidak langsung, tingkat pendidikan akan menentukan baik buruknya pola komunikasi antara anggota keluarga (Gunarsa & Gunarsa, 1995) yang pada akhirnya juga akan memberikan pengaruh terhadap terbentuknya resiliensi remaja. Guhardja et al. (1992) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orangtua merupakan aspek yang mempengaruhi keefektifan komunikasi dalam keluarga. Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan mempengaruhi dan membentuk
49 cara, pola dan karakter berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian. Hal tersebut merupakan satu kesatuan yang dapat menjadi faktor penentu dalam berkomunikasi dalam keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua cukup bervariasi. Ada orangtua yang tidak tamat SD, namun ada pula yang sampai dengan tamat perguruan tinggi (Tabel 9). Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah dan ibu (%) Jenis Kelamin
Pendidikan Ayah Tidak Sekolah SD
Jenis Sekolah
Lk
Pr
T
SMA
-
0.6
-
-
SMK
0.6
Wilayah T
Desa
0.6
0.6
Kota
-
T
0.6
7.2
9.4
16.6
8.3
8.3
16.6
13.8
2.8
16.6
SLTP
5
5.5
10.5
1.7
8.8
10.5
7.2
3.3
10.5
SLTA
23.8
22.1
45.9
18.8
27.1
45.9
22.7
23.2
45.9
Diploma
2.2
2.2
4.4
2.2
2.2
4.4
1.1
3.3
4.4
3.3
S-1
9.4
8.8
18.2
14.9
3.3
18.2
14.9
18.2
S-2
1.1
2.2
3.3
2.8
0.6
3.3
-
3.3
3.3
S-3
0.6
-
0.6
0.6
-
0.6
-
0.6
0.6
Total
49.2
50.8
100
49.2
50.8
100
48.6
51.4
100
Ibu Tidak Sekolah
0.6
1.7
2.2
0.6
1.7
2.2
1.7
0.6
2.2
SD
6.6
11.6
18.2
7.2
11
18.2
14.9
3.3
18.2
SLTP
11.6
10.5
22.1
6.1
16
22.1
14.4
7.7
22.1
SLTA
22.7
18.8
41.4
20.4
21
41.4
15.5
26
41.4
Diploma
2.2
2.2
4.4
4.4
4.4
0.6
3.9
4.4
S-1
5.5
6.1
11.6
10.5
1.1
11.6
1.7
9.9
11.6
Total
49.2
50.8
100
49.2
50.8
100
48.6
51.4
100
-
Keterangan: Lk = laki-laki; Pr = perempuan; T = total Persentase terbesar ayah contoh adalah pada kelompok SLTA
yaitu
sebesar 45.9 persen. Dari persentase tersebut, sebagian besarnya berasal dari wilayah perkotaan yaitu 23.2 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan ayah di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan.
Kondisi ini
didukung pula oleh data yang menunjukkan bahwa ayah contoh di perkotaan mencapai tingkat pendidikan sarjana sebesar 14.9 persen, sementara di pedesaan hanya 3.3 persen.
Di perkotaan, sebesar 3.3 persen ayah
berpendidikan sampai S-2 dan 0.6 persen S-3, sedangkan di pedesaan, pendidikan tertinggi hanya sampai S-1.
50 Pada kelompok ayah contoh yang berpendidikan SLTA (45.9%), sebesar 23.8 persen berasal dari contoh laki-laki dan sebesar 27.1 persen berasal dari contoh yang bersekolah di SMK (27.1%). Namun bagi ayah yang berpendidikan tinggi, persentase terbesar adalah ayah dari contoh yang bersekolah di SMA yaitu sebanyak 14.9 persen sarjana dan 2.8 persen berpendidikan S-2. Ayah contoh yang bersekolah di SMK tidak ada yang berpendidikan sampai S-3, sedangkan ayah contoh yang bersekolah di SMA ada sebesar 0.6 persen yang berpendidikan S-3. Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang bersekolah di SMA secara umum memiliki ayah yang berpendidikan lebih tinggi daripada contoh yang bersekolah di SMK.
Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada pendidikan ayah berdasarkan jenis sekolah dan wilayah (Lampiran1 dan 2). Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
41.4
persen
ibu
contoh
berpendidikan SLTA yang persentase terbesarnya berasal dari contoh laki-laki (22.7%)
dan dari contoh yang bersekolah di SMK (21.0%) serta bertempat
tinggal di wilayah perkotaan (26.0%). Ibu dari contoh yang bersekolah di SMA ada yang berpendidikan diploma yaitu sebesar 4.4 persen dan sarjana yaitu sebesar 10.5 persen. Begitu pula di daerah perkotaan, pendidikan ibu contoh lebih tinggi daripada di pedesaan, yaitu 3.9 persen berpendidikan diploma dan 9.9 persen berpendidikan sarjana. Hal ini diperkuat dengan hasil uji beda yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara pendidikan ibu berdasarkan jenis sekolah dan tipologi wilayah (Lampiran 1 dan 2).
Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua contoh sangat beragam, yaitu sebagai buruh (termasuk buruh bangunan, pembantu rumah tangga, supir, tukang ojeg), karyawan, wiraswasta, guru/dosen, petani, PNS/ABRI.
Persentase pekerjaan
ayah yang terbesar dari keseluruhan contoh adalah berwiraswasta yaitu sebanyak 34.8 persen dan sebagian besarnya merupakan ayah dari contoh lakilaki (18.2%) dan contoh yang bersekolah di SMK (22.7%). Sebanyak 32.0 persen ayah contoh bekerja sebagai karyawan yang sebagian besarnya (19.3%) adalah ayah dari contoh yang bersekolah di SMA dan sebagian besarnya pula (21.5%) tinggal di perkotaan. Tidak ada satupun ayah dari contoh dalam penelitian ini yang tidak memiliki pekerjaan.
Hal ini
51 menunjukkan bahwa contoh dalam penelitian secara status sosial ekonomi dapat dikatakan cukup baik karena bukan berasal dari keluarga yang menganggur dan tidak berpenghasilan. Ibu dari keseluruhan contoh lebih banyak berperan sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 72.4 persen seperti disajikan dalam Tabel 10. Persentase pekerjaan ibu yang terbesar adalah berwiraswasta yaitu sebanyak 12.7 persen yang sebagian besarnya berasal dari contoh yang bersekolah di SMA (7.7%) dan sebagian besar pula berada di perkotaan (7.2%). Tabel 10. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu (%) Jenis Kelamin
Pekerjaan
Jenis Sekolah
Lk
Pr
T
Wiraswasta
18.2
16.6
Karyawan
15.5
16.6
Guru/Dosen
3.9
Buruh
7.2
Petani
Wilayah
SMA
SMK
T
Desa
Kota
T
34.8
12.2
22.7
34.8
17.1
17.7
34.8
32
19.3
12.7
32
10.5
21.5
32
2.8
6.6
4.4
2.2
6.6
2.2
4.4
6.6
8.3
15.5
6.1
9.4
15.5
12.2
3.3
15.5
1.7
1.1
2.8
1.7
1.1
2.8
2.8
-
2.8
PNS/ABRI
2.8
5.5
2.8
5.5
2.8
8.3
3.9
4.4
8.3
Tidak Bekerja
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Ayah
Total
49.2
50.8
100
49.2
50.8
100
48.6
51.4
100
Wiraswasta
7.7
5
12.7
7.7
5
12.7
5.5
7.2
12.7
Karyawan
2.2
2.2
4.4
2.8
1.7
4.4
1.7
2.8
4.4
Guru/Dosen
2.2
2.8
5
3.9
1.1
5
1.7
3.3
5
Buruh
2.2
1.1
3.3
1.1
2.2
3.3
1.7
1.7
3.3
PNS
1.1
1.1
2.2
1.7
0.6
2.2
1.1
1.1
2.2
Ibu RT
33.7
38.7
72.4
32
40.3
72.4
37
35.4
72.4
Total
49.2
50.8
100
49.2
50.8
100
48.6
51.4
100
Ibu
Keterangan: Lk= laki-laki; Pr = perempuan; T = total Pendapatan Orang Tua Keadaan ekonomi keluarga mempunyai peranan terhadap tingkah laku anak. Keadaan ekonomi yang baik, tentunya akan memberi kesempatan luas pada
anak
untuk
mengembangkan
bermacam-macam
kecakapan
dan
kesempatan pendidikan yang lebih baik (Gerungan, 1999 diacu dalam Ruhidawati, 2005). Sebaran contoh berdasarkan pendapatan ayah disajikan pada Tabel 11. Pendapatan ayah contoh sebagian besar berada pada kisaran di bawah 1 juta rupiah per bulan, yaitu sebesar 35.4 persen yang sebagian besarnya adalah
52 ayah dari contoh laki-laki (19.9%), bersekolah di SMK (24.9%) dan tinggal di wilayah pedesaan (23.8%). Kisaran pendapatan ayah di kota lebih beragam di perkotaan daripada di pedesaan, begitu pula untuk contoh yang bersekolah di SMA dibandingkan dengan SMK. Sebanyak 2.8 persen ayah contoh berpenghasilan antara 9 – 10 juta rupiah/bulan yang sebagian besarnya merupakan ayah dari contoh laki-laki (1.7%), bersekolah di SMA (2.2%) dan tinggal di daerah perkotaan (2.8%). Tabel 11. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan ayah dan ibu (%) Pendapatan (Rp/bln)
Jenis Kelamin Lk
Pr
Jenis Sekolah
T
SMA
SMK
Wilayah T
Desa
Kota
T
Ayah <1 juta
19.9
15.5
35.4
10.5
24.9
35.4
23.8
11.6
35.4
1 – 2 juta
14.4
17.7
32
12.7
19.3
32
18.8
13.3
32
2 – 3 juta
7.2
8.8
16
12.2
3.9
16
5
11
16
3 – 4 juta
2.2
3.9
6.1
4.4
1.7
6.1
--
6.1
6.1
4 – 5 juta
0.6
0.6
1.1
0.6
0.6
1.1
0.6
0.6
1.1
5 – 6 juta
1.1
1.7
2.8
2.8
--
2.8
--
2.8
2.8
6 – 7 juta
1.7
1.1
2.8
2.8
--
2.8
--
2.8
2.8
7 – 8 juta
0.6
0.6
1.1
1.1
--
1.1
0.6
0.6
1.1
8 – 9 juta
--
--
--
--
--
--
--
--
9 – 10 juta
1.7
1.1
2.8
2.2
0.6
2.8
--
2.8
49.2
50.8
100
100
48.6
33.7
39.2
72.9
< 1 juta
8.8
2.2
1 – 2 juta
2.8
6.1
2 – 3 juta
2.8
1.1
3 – 4 juta
--
4 – 5 juta 5 – 6 juta
Total
49.2
50.8
--
51.4
2.8 100
Ibu Tidak ada
32
40.9
11
4.4
6.6
11
6
5
11
8.8
6.1
2.8
8.8
4.4
4.4
8.8
3.9
3.3
0.6
3.9
0.6
3.3
3.9
0.6
0.6
0.6
--
0.6
--
0.6
0.6
0.6
--
0.6
0.6
--
0.6
--
0.6
0.6
0.6
--
0.6
0.6
--
0.6
--
0.6
0.6
6 – 7 juta
--
1.1
1.1
1.1
--
1.1
--
1.1
1.1
7 – 8 juta
--
--
--
--
--
--
--
--
72.9
37.6
35.4
72.9
--
8 – 9 juta
--
--
--
--
--
--
--
--
9 – 10 juta
--
0.6
0.6
0.6
--
0.6
--
0.6
0.6
49.2
50.8
100
49.2
50.8
100
48.6
51.4
100
Total
--
Keterangan: Lk= laki-laki; Pr = perempuan; T = total Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada pendapatan ayah contoh yang bersekolah di SMA dan di SMK, dimana ayah contoh yang bersekolah di SMA memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi
53 (p<0.05) daripada SMK (Lampiran 1). Begitu pula berdasarkan tipologi wilayah, ayah contoh di perkotaan memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan ayah contoh di pedesaan (Lampiran 2) Hasil penelitian menunjukkan bahwa para ibu contoh sebagian besar tidak memiliki pendapatan yaitu sebesar 72.9 persen. Hal ini dapat disebabkan karena ibu dari contoh sebagian besar tidak bekerja atau berperan sebagai ibu rumah tangga. Untuk ibu yang bekerja, pendapatan yang diperoleh sebagian besar di bawah 1 juta rupiah/bulan yaitu sebanyak 11.0 persen yang sebagian besarnya adalah ibu dari contoh laki-laki (8.8%), bersekolah di SMK (6.6%) dan tinggal di wilayah pedesaan (6.0%). Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada pendapatan ibu contoh yang bersekolah di SMA dan di SMK, dimana ibu contoh yang bersekolah di SMA memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi (p<0.05) daripada SMK (Lampiran 1).
Begitu pula berdasarkan tipologi wilayah, ibu
contoh di perkotaan memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi (p<0.10) dibandingkan dengan ibu contoh di pedesaan (Lampiran 2)
Faktor Protektif Internal Faktor protektif internal adalah ketrampilan dan kemampuan sehat yang dikuasai individu yang terdiri dari kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama, self efficacy, empati, kemampuan memecahkan masalah, self awareness dan memiliki tujuan. Oleh karena itu faktor protektif internal didefinisikan sebagai hasil positif dari perkembangan dan kekuatan personal yang juga berhubungan dengan kesehatan dan keberhasilan proses perkembangan (Austin, Bates & Duerr, 2010). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa lebih dari 75 persen contoh menyatakan
senang
bekerjasama
dengan
teman
dan
tetap
dapat
mempertahankan pendapat tanpa menjatuhkan orang lain, dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi dan dapat melakukan banyak hal jika mau mencoba, dapat memahami perasaan dan pikiran orang lain, memiliki teman yang dapat diajak bicara dan dimintai bantuan, memiliki tujuan hidup dan rencana masa depan serta memahami mood atau perasaannya sendiri. Hanya tiga dari delapan belas komponen dari faktor internal (16.7%) yang dimiliki oleh kurang dari 75 persen contoh. Komponen tersebut adalah bekerjasama dengan
54 orang yang berbeda pendapat, mengerjakan banyak hal dengan baik serta mengatasi masalah dengan membicarakan atau menulis tentang apa yang dialami (Tabel 12).
Secara umum dapat dikatakan bahwa contoh dalam
penelitian ini telah memiliki faktor internal yang baik karena lebih dari tiga perempat contoh telah memenuhi 83.3 persen komponen faktor internal. Semua komponen faktor internal ini akan menjadi modal utama bagi terbentuknya resiliensi pada remaja dengan dukungan dari faktor eksternal yang dimiliki oleh contoh. Tabel 12. Sebaran contoh menurut komponen faktor internal berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah (%) No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komponen faktor internal
Jenis kelamin
Jenis sekolah
Wilayah
Total
Lk
Pr
SMA
SMK
Desa
Kota
51.7
60.9
53.9
58.7
44.3
67.7
56.4
97.8
100
100
97.8
98.9
98.8
98.9
85.4
78.3
79.8
83.7
77.3
86.0
81.8
Mampu mengatasi masalah 84.3 Mampu melakukan banyak hal 96.6 Mengerjakan banyak hal dengan baik 64.0
82.6 97.8
76.4 95.5
90.2 98.9
81.8 96.6
84.9 97.8
83.4 97.2
63.0
59.6
67.4
61.4
65.6
63.5
Dapat bekerjasama walaupun berbeda pendapat Senang bekerjasama Mempertahankan pendapat tanpa menjatuhkan oranglain
Merasa sedih jika seseorang terluka
77.5
96.7
86.5
88.0
83.0
91.4
87.3
Memahami apa yang dialami orang lain
78.7
95.7
87.6
87.0
81.8
92.5
87.3
Memahami perasaan dan pikiran orang lain
71.9
90.2
83.1
79.3
79.5
82.8
81.2
10. Ada teman bicara 11. Ada teman yang membantu 12. Mengatasi masalah dengan membicarakan atau menulis apa yang dialami
88.8 89.9
79.3 80.4
88.8 86.5
79.3 83.7
85.2 85.2
82.8 84.9
84.0 85.1
47.2
75.0
58.4
64.1
71.6
51.6
61.3
13. Memiliki tujuan hidup 14. Memahami mood (perasaan) 15. Memahami alasan untuk melakukan sesuatu
98.9 91.0
96.7 73.9
97.8 80.9
97.8 83.7
97.7 86.4
97.8 78.5
97.8 82.3
89.9
89.1
88.8
90.2
90.9
88.2
89.5
16. Memiliki rencana masa depan 95.5 17. Yakin untuk lulus sekolah 100 18. Rencana untuk kuliah 80.9
96.7 100 92.4
94.4 100 94.4
97.8 100 79.3
98.9 100 77.3
93.5 100 95.7
96.1 100 86.7
8. 9.
Keterangan: Lk = laki-laki; Pr = Perempuan Kemampuan
berempati
merupakan
kemampuan
mengetahui
dan
memahami bagaimana perasaan orang lain. Kemampuan ini merupakan modal dasar untuk mengembangkan diri dan mendapatkan informasi yang lebih banyak.
55 Empati juga berarti mampu menerima dan menghargai sudut pandang orang lain (Goleman, 1999). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sun dan Stewart (2007) yang menemukan bahwa perempuan memiliki skor yang lebih tinggi dalam komunikasi, empati dan aspirasi. Sejalan dengan itu pula, perbedaan yang terlihat antara laki-laki dan perempuan dalam studi yang dilakukan oleh Broderick dan Korteland (2002); Hampel dan Petermann (2005) yang diacu dalam Sun & Stewart (2007) mengindikasikan munculnya karakteristik individual yang spesifik pada usia sekolah, seperti misalnya anak perempuan yang memiliki tingkat yang lebih baik dalam perkembangan sosial emosional dan hubungan yang baik dengan orang dewasa dibanding anak lakilaki. Tabel 13. Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor internal berdasarkan Jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah Variabel dan aspek
Jenis kelamin Lk
Pr
SMA
SMK
Desa
Kota
Faktor Internal Komunikasi 1 & kerjasama
59.72
0.328
59.86
57.76
0.276
57.89
59.65
0.363
51.87
52.17
0.912
51.12
52.9
0.516
50.00
53.94
0.148
2
Self efficacy
50.00
47.64
0.410
47.57
50.00
0.394
48.11
49.46
0.636
3
Empati Problem Solving Self awareness Tujuan dan Aspirasi
45.88
63.22
0.000**
54.68
54.71
0.994
51.70
57.53
0.098*
52.99
55.07
0.549
55.06
53.08
0.568
56.63
51.61
0.147
67.04
60.69
0.072*
64.61
63.04
0.659
65.53
62.19
0.345
79.21
79.53
0.912
86.14
72.83
0.000*
75.38
83.15
0.006**
5 6
Keterangan: * signifikan pada p<0.10;
p value
Wilayah
57.83
4
p value
Jenis Sekolah
p value
** signifikan pada p<0.05
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa secara umum, rataan indeks faktor internal perempuan (59.72) lebih tinggi dibanding laki-laki (57.83), namun hasil uji beda tidak menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p>0.05). Skor rata-rata faktor internal siswa SMA (59.86) lebih tinggi daripada siswa SMK (57.76), dan contoh di perkotaan (59.65) juga memiliki faktor internal lebih tinggi dibanding contoh di pedesaan (57.89), namun hasil uji beda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada faktor internal secara umum baik berdasarkan jenis sekolah maupun tipologi wilayah (p>0.05). Jika faktor internal dianalisis berdasarkan dimensinya, maka akan terlihat perbedaan dalam dimensi empati antara laki-laki dan perempuan (p<0.05). Perempuan memiliki rasa empati yang lebih tinggi dibanding laki-laki yang antara lain digambarkan dengan pertanyaan “aku ikut merasa sedih, jika ada seseorang yang terluka perasaannya”, “aku mencoba untuk memahami apa yang dialami
56 oleh orang lain” dan “ aku mencoba untuk memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain”. Penelitian terdahulu tentang faktor protektif internal dalam hubungannya dengan resiliensi telah dilakukan oleh Alimi (2005). Dalam penelitian Alimi di daerah Johar Baru, Jakarta Pusat, ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara
remaja
laki-laki
dan
remaja
perempuan
pada
faktor
keterampilan sosial dan autonomi. Remaja perempuan memiliki keterampilan sosial dan autonomi yang lebih baik dibandingkan remaja laki-laki. Miller (1986), yang diacu dalam Sun & Stewart (2007) berpandangan bahwa perempuan lebih cenderung untuk menjalin hubungan dengan orang di sekitarnya dan juga untuk menjalin koneksi yang empatik daripada mengisolasi diri.
Miller juga menyatakan bahwa aspek psikologis yang mendasar dari
seorang perempuan adalah melihat keberadaan dirinya sendiri dengan menjalin sebuah hubungan yang sesungguhnya. Individu yang mempunyai aspirasi yang tinggi terhadap suatu objek akan mempunyai kekuatan atau mendorong untuk melakukan serangkaian tingkah laku untuk mendekati atau mendapatkan objek tersebut. Kesulitan yang timbul tidakmenyurutkan
langkahnya
tetapi
justru
membuat
individu
semakin
berkeinginan untuk mengatasi kesulitan tersebut dengan menggunakan potensi kreativitas agar tercapai hasil kerja yang baik (Ardi, 2008). Penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan dalam dimensi tujuan dan aspirasi antara siswa SMA dan SMK dengan p<0.05 (Tabel 13). Siswa SMA memiliki skor yang lebih tinggi dalam tujuan dan aspirasi dibanding siswa SMK.
Perbedaan ini terlihat dalam rencana yang dimiliki untuk masa
depan, termasuk tujuan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dapat dimengerti karena pada umumnya siswa yang masuk SMA lebih siap untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi dibanding siswa SMK yang lebih berorientasi untuk dapat masuk ke dunia kerja setelah menyelesaikan studinya. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya perbedaan dalam dimensi tujuan dan aspirasi (p<0.05), pada remaja yang tinggal di perkotaan dan pedesaan (Tabel 13). Perbedaan ini terlihat dari keinginan untuk dapat lulus dari sekolah menengah dan juga adanya rencana untuk melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi.
Lebih tingginya keinginan atau rencana untuk melanjutkan
kuliah pada contoh diperkotaan, kemungkinan disebabkan karena kemampuan
57 ekonomi yang lebih mendukung pada contoh di perkotaan.
Hal ini sejalan
dengan pendapat Issusilaningtyas (1991) yang diacu dalam Ardi (2008) mengatakan bahwa aspirasi yang ada harus dipadukan dengan suatu harapan yang logis dan realistis, sehingga menjadi sesuatu yang berarti bagi dirinya. Agar individu dapat mempersiapkan tujuannya secara realistis dalam menentukan aspirasinya, dibutuhkan adanya pertimbangan dari segi fisik, mental maupun lingkungan.
24.9%
3.3%
71.8%
Gambar 5. Sebaran contoh total berdasarkan faktor protektif internal Pada selang kepercayaan 90 persen (p<0.10) terlihat adanya perbedaan dalam aspek empati berdasarkan tipologi wilayah. Contoh di perkotaan (rataan indeks 57.53) memiliki rasa empati yang lebih tinggi dibanding contoh yang tinggal di pedesaan (rataan indeks 51.70). Hal ini berarti contoh di perkotaan lebih memiliki kemampuan untuk memahami dan peduli pada perasaan orang lain dan apa yang dialami orang lain daripada contoh di pedesaan. Implikasinya dapat dilihat pada resiliensi yang dimiliki oleh contoh di perkotaan yang ternyata memiliki skor lebih tinggi daripada contoh di pedesaan, walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Pada p<0.10 terlihat perbedaan aspek self awareness berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki (rataan indeks 67.04) memiliki self awareness yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (rataan indeks 60.69). Hal ini berarti laki-laki kemampuan yang lebih baik untuk mengetahui dan memahami diri sendiri. Kemampuan ini juga termasuk pada pemahaman bahwa pemikiran yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi tingkah laku dan perasaannya. Dalam hal ini
58 pula, seseorang memiliki kesadaran akan kekuatan dan tantangan yang dihadapinya. Impilikasinya dapat terlihat pada resiliensi yang dimiliki oleh lakilaki (rataan indeks 49.19) yang ternyata lebih tinggi daripada perempuan (47.85), walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Tabel 14. Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor internal (%) Kategori Jenis Kelamin Jenis Sekolah Wilayah faktor _____________________________________________________ internal Lk Pr T SMA SMK T Desa Kota T Rendah 1.1 2.2 3.3 1.7 1.7 3.3 2.2 1.1 3.3 Sedang 39.2 32.6 71.8 34.3 37.6 71.8 34.8 37.0 71.8 Tinggi 8.8 16.0 24.9 13.3 11.6 24.9 11.6 13.3 24.9 Total 49.2 50.8 100.0 49.2 50.8 100.0 48.6 51.4 100.0 Keterangan: Lk = laki-laki; Pr = Perempuan; T = total Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki faktor internal kategori sedang (71.8%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
contoh
sudah
cukup
memiliki
kemampuan
berkomunikasi
dan
bekerjasama, self efficacy, empati, kemampuan memecahkan masalah, self awareness dan memiliki tujuan yang baik. Dari Tabel 14 diketahui bahwa contoh yang memiliki faktor internal sedang ini sebagian besarnya adalah laki-laki (39.2%), bersekolah di SMK (37.6%) dan tinggal di perkotaan (37.0%). Namun sebaliknya, yang memiliki faktor internal tinggi, sebagian besarnya adalah perempuan dan bersekolah di SMA. Faktor Protektif Keluarga Keluarga merupakan lingkungan primer yang dimiliki individu. Sebagai lingkungan primer, hubungan antarmanusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga.
Sebelum mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari
masyarakat umum, pertama kali yang diserap adalah norma dan nilai yang berlaku dalam keluarganya sehingga norma dan nilai itu akan menjadi bagian dari kepribadian seseorang (Sarwono, 1989). Faktor protektif keluarga adalah karakteristik tertentu dari lingkungan keluarga yang dapat menjadikan individu mampu menghindar dari tekanan hidup dan mampu bertahan kendati berada dalam kondisi beresiko tinggi. Lingkungan keluarga dalam penelitian ini merupakan interaksi antara orang tua dan anak serta anggota keluarga lainnya yang diukur melalui persepsi dari anak dalam keluarga tersebut.
Dimensi yang diukur dalam lingkungan keluarga adalah
59 dimensi hubungan (relationship), dimensi perkembangan personal (personal growth), dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance). membuktikan
adanya
perbedaan
faktor protektif
keluarga
Penelitian
pada
selang
kepercayaan 90 persen berdasarkan jenis sekolah (Tabel 16). Dimensi hubungan (relationship) Berdasarkan dimensi relationship, interaksi keluarga dilihat dari tiga sub skala (aspek).
Sub skala tersebut adalah kohesi atau keterpaduan yang
merupakan bentuk hubungan berupa adanya bantuan dan dukungan di antara anggota keluarga, ekspresi yaitu segala tindakan anggota keluarga untuk mengekspresikan perasaan secara langsung, serta konflik yang berhubungan dengan ungkapan dari rasa marah, tidak senang atau ketidaksetujuan. Tabel 15. Sebaran contoh menurut komponen faktor protektif keluarga dimensi Relationship yang dimiliki oleh <75% contoh berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Komponen dimensi relationship Menghabiskan waktu di rumah Tidak seenaknya dalam berbicara Menumpahkan keluh kesah tanpa menyinggung Membicarakan masalah yang dihadapi Mengkritik satu sama lain Membicarakan masalah keuangan secara terbuka Berani mengemukakan pendapat Tidak suka bertengkar Tidak pernah mengamuk Tidak marah jika dikomplain Dapat menjadi diri sendiri tanpa menyakiti perasaan orang lain Tidak perlu menaikkan suara jika menginginkan sesuatu Jarang marah
Jenis kelamin Lk Pr 68.5 80.4 38.2 32.6
Jenis sekolah SMA SMK 79.8 69.6 31.5 39.1
32.6
41.3
40.4
33.7
45.5
29.0
37.0
61.8 65.2
63 77.2
58.4 66.3
66.3 76.1
62.5 69.3
62.4 73.1
62.4 71.3
58.4
60.9
57.3
62
69.3
50.5
59.7
57.3 78.7 47.2 57.3
58.7 59.8 39.1 50.0
57.3 77.5 46.1 57.3
58.7 60.9 40.2 50.0
55.7 59.1 37.5 50.0
60.2 78.5 48.4 57.0
58.0 69.1 43.1 53.6
42.7
46.7
52.8
37
35.2
53.8
44.8
70.8
60.9
62.9
68.5
64.8
66.7
65.7
38.2
26.1
34.8
29.3
28.4
35.5
32.0
Wilayah Desa Kota 70.5 78.5 29.5 40.9
Total 74.6 35.4
Keterangan: Lk = Laki-laki; Pr = perempuan Ada beberapa komponen dari dimensi relationship yang telah dimiliki oleh sekitar 75 persen contoh atau lebih.
Komponen tersebut antara lain adalah
selalu memberi dukungan, ada kebersamaan dalam keluarga, saling melindungi, saling membantu jika ada masalah yang datang dan anggota keluarga saling mendukung
untuk
mempertahankan
haknya
masing-masing.
Dimensi
relationship juga terlihat dari adanya anggota keluarga yang selalu berhati-hati dalam berbicara, tidak saling memukul, saling menjaga perasaan dan berusaha menyelesaikan permasalahan dalam suasana damai.
60 Dimensi relationship terdiri atas tiga sub skala yaitu cohesion, expresiveness dan conflict. Tabel 15 menunjukkan bahwa di antara tiga sub skala tersebut, maka sub skala cohession merupakan sub skala yang paling banyak dimiliki oleh contoh. Hanya satu dari sembilan komponen cohesion yang belum dimiliki oleh tiga perempat contoh yaitu sering menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah. Dalam sub skala expressiveness, masih terlihat bahwa contoh dalam penelitian ini belum sepenuhnya dapat mengekspresikan perasaan mereka secara langsung, misalnya dalam menyampaikan pendapat, memberi kritikan secara langsung, membicarakan secara terbuka masalah keuangan atau masalah lain yang dihadapi ataupun menumpahkan uneg-uneg dan keluh kesah pada anggota keluarga lainnya. Begitu pula dengan conflict, masih terlihat adanya pertengkaran dalam keluarga atau adanya anggota keluarga yang marah jika dikomplain dan bahkan ada yang sampai mengamuk. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Phayungkij (2004) bahwa sub skala cohesion paling dominan ditemukan di antara sub skala lainnya pada dimensi relationship. Tabel 16. Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif keluarga dimensi relationship berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah Variabel Lk
Jenis kelamin p Pr value
SMA
Jenis Sekolah p SMK value
Desa
Wilayah p Kota value
Faktor Keluarga
45.96
45.97
0.994
47.31
44.67
0.067*
44.97
46.91
0.179
Dimensi Relationship
47.67
47.16
0.804
49.31
45.57
0.066*
46.53
48.25
0.400
1. 2. 3.
61.54 39.95 41.51
60.81 42.21 38.47
0.794 0.313 0.261
64.86 40.32 42.76
57.61 41.84 37.26
0.010** 0.497 0.041**
60.29 42.36 36.93
62.00 39.90 42.83
0.545 0.273 0.029*
Kohesi Ekspresi Konflik
Keterangan: * signifikan pada p<0.10; ** signifikan pada p<0.05 Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi relationship pada laki-laki dan perempuan (Tabel 16).
Hal ini
menunjukkan laki-laki dan perempuan memiliki persepsi yang relatif sama dalam dimensi
relationship.
Dalam
hubungannya
dengan
lingkungan
keluarga
berdasarkan perspektif gender, penelitian yang dilakukan oleh Tung dan Dhillon (2006) menemukan dilaporkan bahwa perempuan memiliki lingkungan keluarga yang lebih kohesif dan lebih religius dibanding laki-laki. Penelitian berdasarkan perbedaan gender dalam perkembangan kemandirian terdapat beberapa inkonsistensi.
Douvan dan Adelson (1966) menemukan bahwa laki-laki lebih
61 pesat dalam hal kemandirian tingkah laku dibanding perempuan, namun di sisi lain Steinberg dan Silverberg (1986) menemukan bahwa kemandirian emosi selama masa remaja awal lebih terlihat pada perempuan (Tung & Dhillon, 2006). Persepsi perempuan terhadap lingkungan keluarga lebih kohesif, ekspresif, mendukung pengambilan keputusan, lebih berorientasi pada kegiatan intelektual, budaya dan rekreasi.
Remaja putri lebih dekat pada orang tua
terutama pada ibu, sementara remaja putra lebih banyak terlibat konflik dengan orang tuanya (Douvan & Adelson, 1966). Remaja putra lebih merasa bebas dari pengawasan
orang
tua
dan
menganggap
bahwa
lingkungan
keluarga
mengekangnya dan tidak memberi mereka kebebasan (Tung & Dhillon, 2006). Analisis berdasarkan jenis sekolah menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam aspek kohesi antara remaja SMA dan SMK (p<0.05).
Remaja yang
bersekolah di SMA memiliki skor rata-rata kohesi yang lebih tinggi daripada remaja yang bersekolah di SMK (Tabel 16).
Kohesi ini menunjukkan
keterpaduan dalam keluarga yang antara lain adanya sikap saling tolong menolong dan memberi dukungan satu sama lain, memiliki perasaan kebersamaan, saling melindungi, rukun dan selalu menjaga kedamaian dalam keluarga. Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi relationship antara contoh yang bersekolah di SMA dan SMK.
Contoh di SMA menunjukkan
relationship yang lebih baik daripada contoh yang bersekolah di SMK.pada p<0.10. Perbedaan yang signifikan juga terlihat pada sub skala konflik antara contoh yang bersekolah di SMA dan di SMK (p<0.05), demikian pula antara contoh di pedesaan dan perkotaan. Sub skala konflik ini menunjukkan tingkat dimana anggota keluarga mengekspresikan secara terbuka perasaan tidak senang, kemarahan dan ketidaksetujuannya.
Dalam hal ini, skor tinggi
menunjukkan rendahnya tingkat konflik dalam keluarga. Contoh di SMA memiliki nilai yang lebih tinggi daripada contoh di SMK. Hal ini berarti bahwa tingkat konflik dalam keluarga contoh di SMA lebih rendah daripada di SMK.
Dimensi perkembangan personal (personal growth) Dimensi personal growth menunjukkan adanya interaksi anggota keluarga berupa adanya motivasi untuk berprestasi dan melakukan kegiatan intelektual, budaya, dan rekreasi aktif serta penanaman nilai moral religius. Dalam penelitian
62 ini, komponen-komponen dari dimensi personal growth yang telah dimiliki oleh tiga perempat contoh atau lebih adalah bermusyawarah dalam membuat keputusan, selalu melakukan yang terbaik dalam pekerjaan yang dilakukan, berusaha keras untuk sukses dan melakukan tugas yang telah diberikan. Menjadi lebih maju dalam kehidupan dan mempelajari hal baru atau berbeda juga menjadi bagian dari dimensi personal growth yang dimiliki oleh contoh. Di sisi lain, walaupun sebagian besar contoh (lebih dari 75%) menyatakan tertarik pada kegiatan seni, menyukai musik dan bahan bacaan, namun tidak banyak (di bawah 75%) yang suka memainkan alat musik, pergi ke bioskop atau mengunjungi perpustakaan. Tabel 17. Sebaran contoh menurut komponen faktor protektif keluarga dimensi personal growth yang dimiliki oleh <75% contoh berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah (%) No
Komponen dimensi Personal growth
1
Tidak hanya memikirkan hal-hal pribadi saja
2
Tidak melakukan sesuatu dengan seenaknya
3 4
Senang berkompetisi Memperhatikan promosi jabatan atau prestasi di sekolah
5
Berbincang tentang masalah politik dan sosial
6
Pergi ke tempat kursus, tempat bermain atau konser
Jenis kelamin Lk Pr
Jenis sekolah SMA SMK
Wilayah Desa
Total
Kota
58.4
57.6
56.2
59.8
46.6
68.8
58.0
64.0
56.5
65.2
55.4
59.1
61.3
60.2
66.3
50.0
49.4
66.3
60.2
55.9
58.0
59.6
73.9
69.7
64.1
65.9
67.7
66.9
49.4
51.1
48.3
52.2
53.4
47.3
50.3
56.2
53.3
66.3
43.5
58.0
51.6
54.7
7
Suka berdiskusi intelektual
69.7
70.7
71.9
68.5
64.8
75.3
70.2
8
Suka main musik
65.2
57.6
64.0
58.7
54.5
67.7
61.3
9
Memiliki satu atau dua hobi
50.6
50.0
64.0
37.0
34.1
65.6
50.3
10
Mengikuti kegiatan rekreasi
43.8
42.4
48.3
38.0
38.6
47.3
43.1
di luar pekerjaan atau sekolah 11
Mengunjungi perpustakaan
30.3
29.3
30.3
29.3
35.2
24.7
29.8
12
Sering bepergian
39.3
47.8
43.8
43.5
37.5
49.5
43.6
Keterangan:
Lk = Laki-laki; Pr = perempuan
Penelitian ini menemukan bahwa sebanyak 2.2 persen dari total contoh menyatakan tidak percaya adanya surga dan neraka.
Sebanyak 2.2 persen
menyatakan tidak ada yang diyakini dalam hidup ini dan sebanyak 6.6 persen menyatakan tidak yakin bahwa jika berdosa maka seseorang akan mendapat hukuman. Fenomena ini menggambarkan adanya ketidakpercayaan atau paling
63 tidak keragu-raguan bahwa ada Zat Yang Maha Kuasa dan bahwa kelak manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di akhirat.
Fakta ini
tentu tidak dapat diabaikan begitu saja, mengingat hal ini sebenarnya adalah gambaran dari nilai yang melekat pada diri individu yang akan dapat terus dibawa hingga ia dewasa kelak.
Nilai-nilai ini bukan tidak mungkin akan
diturunkan kepada generasi berikutnya dan lebih jauh akan mempengaruhi sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada dimensi personal growth antara laki-laki dan perempuan, begitu pula pada sub skala yang terdapat di dalamnya (Tabel 18). Perbedaan yang terlihat adalah pada sub skala independensi
(p<0.10) dan orientasi budaya
(p<0.05) antara contoh di pedesaan dan perkotaan. Sebagai contoh, remaja di perkotaan lebih sering melakukan lebih suka memainkan alat musik dan memiliki satu atau dua hobi dibanding remaja di pedesaan. Hal ini kemungkinan juga berkaitan dengan kemampuan ekonomi dan sosial dari orang tua sehingga dapat mendukung kegiatan berorientasi budaya yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hasil uji beda menunjukkan perbedaan signifikan (p<0.01) pada pendapatan dan pendidikan orang tua berdasarkan tipologi wilayah (Lampiran 1 dan 2). Tabel 18. Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif keluarga dimensi personal growth berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan wilayah Jenis kelamin Lk Pr sign
Variabel
Jenis Sekolah SMA SMK sign
Desa
Wilayah Kota
sign
Dimensi Personal Growth 46.22
46.67
0.748
47.55
45.37
0.119
45.18
47.65
0.077
1. Independensi 2. Prestasi 3. Budaya 4. Rekreasi aktif 5. Moral Religius
41.18 50.54 37.50 33.82 70.29
0.566 0.610 0.802 0.233 0.531
41.64 50.69 39.14 33.71 72.60
39.61 49.34 36.47 31.88 69.57
0.322 0.532 0.246 0.291 0.222
38.70 49.87 35.23 32.13 69.95
42.41 50.12 40.20 33.39 72.10
0.068* 0.910 0.030** 0.467 0.387
40.01 49.44 38.08 31.71 71.85
Keterangan: * signifikan pada p<0.10; ** signifikan pada p<0.05 Dimensi pemeliharaan sistem (system maintenance) Dimensi system maintenance dalam lingkungan keluarga berkaitan dengan sistem pemeliharaan nilai-nilai dalam keluarga. Dimensi ini terdiri dari dua sub skala yaitu organisasi yang berkaitan dengan perencanaan dan pengaturan kewajiban dalam keluarga, serta sub skala kontrol yang berkaitan dengan penerapan aturan sekaligus pengawasan terhadap pelaksanaan aturanaturan tersebut.
64 Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tiga perempat contoh atau lebih, memiliki tujuan hidup yang jelas, secara umum rapi dan tertib, menangani uang dengan hati-hati dan tepat waktu. Komponen dari system maintenance yang sudah terbentuk dengan baik seperti memiliki tujuan hidup yang jelas (dimiliki oleh 90 persen lebih contoh) akan memberikan kontribusi yang baik pada pembentukan resiliensi. Peraturan yang diterapkan di rumah tidak kaku, dan ada dorongan yang kuat dalam mengikuti aturan dalam keluarga, namun masih terdapat kekurangan dalam menerapkan peraturan dalam keluarga, perencanaan dalam melakukan aktivitas, kejelasan tugas dalam keluarga, peletakan barang sesuai tempatnya, adanya aturan tertentu untuk melakukan pekerjaan di rumah, serta merapikan barang, peralatan atau tempat setelah digunakan. Tabel 19. Sebaran contoh menurut komponen faktor protektif keluarga dimensi system maintenance yang dimiliki oleh <75% contoh berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah (%) No 1 2 3 4 5 6
Jenis kelamin
Komponen dimensi
Lk
System maintenance Perencanaan dalam melakukan aktivitas Mudah menemukan barang jika dibutuhkan Tidak pernah memerintah Tidak sering berubah pikiran Penerapan aturan dalam keluarga Kejelasan tugas dalam keluarga
Keterangan: Dalam
Jenis sekolah
Pr
Wilayah
SMA
SMK
Desa
Kota
Total
58.4
57.6
57.3
58.7
61.4
54.8
58.0
56.2
48.9
57.3
47.8
39.8
64.5
52.5
18.0 41.6
12.0 33.7
14.6 40.4
15.2 34.8
20.5 37.5
9.7 37.6
14.9 37.6
60.7
69.6
66.3
64.1
60.2
69.9
65.2
77.5
70.7
74.2
73.9
75.0
73.1
74.0
Lk = Laki-laki; Pr = perempuan dimensi
system
maintenance
tidak
ditemukan
perbedaan
signifikan baik diantara laki-laki dan perempuan, contoh yang bersekolah di SMA dan SMK, maupun di pedesaan dan perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam sistem pemeliharaan nilai-nilai dalam keluarga, baik dalam hal perencanaan dan pengaturan kewajiban dalam keluarga, maupun dalam hal peraturan dan prosedur digunakan dalam kehidupan keluarga. Berdasarkan faktor protektif keluarga, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 87.3 persen contoh berada dalam kategori sedang (Tabel 21). Selebihnya, contoh memiliki faktor lingkungan keluarga kategori tinggi yaitu 3.3 persen dan kategori rendah 9.4 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa secara
umum interaksi antar anggota keluarga contoh sudah cukup baik.
65 Tabel 20. Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif keluarga dimensi system maintenance berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah Jenis kelamin p Lk Pr value
Variabel Dimensi System
42.76
42.45
SMA
0.875
Jenis Sekolah p SMK value
Desa
Wilayah p Kota value 43.07
0.624
43.7
41.55
0.272
42.11
Maintenance 1. Organisasi
46.75
44.08
0.294
47.07
43.78
0.196
45.52
45.28
0.926
2. Kontrol
38.76
40.82
0.286
40.32
39.31
0.600
38.7
40.86
0.263
Keterangan:
Lk = Laki-laki; Pr = perempuan
Penelitian terdahulu tentang lingkungan keluarga yang juga diukur dengan family environment scale telah dilakukan oleh Gillum et al (1984). Penelitian dilakukan antara lain untuk melihat perbedaan lingkungan keluarga berdasarkan ras (budaya) yaitu antara anak-anak sekolah kulit putih dan kulit hitam di Minneapolis. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan pada dimensi relationship, personal growth dan system maintenance antara anak kulit putih dan kulit hitam. yang lebih baik
Black families menunjukkan orientasi untuk berprestasi
dan penekanan yang lebih baik dalam aktivitas moral
keagamaan (dimensi personal growth) dengan p<0.01 dibandingkan dengan Dalam dimensi system maintenance, ditemukan bahwa black
white families. families
lebih terorgaisasi dan lebih
terkontrol dibandingkan white families
(p<0.05). Tabel 21. Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor keluarga(%) Kategori Faktor Keluarga
Jenis Kelamin Lk
Pr
T
Rendah Sedang Tinggi
5.0 42.5 1.7
4.4 44.8 1.7
87.3 3.3
Total
49.2
50.8
100
9.4
Jenis Sekolah SMA
Wilayah
SMK
T
Desa
Kota
T
3.9 43.6 1.7
5.5 43.6 1.7
87.3 3.3
5.0 42 1.7
4.4 45.3 1.7
87.3 3.3
49.2
50.8
100
48.6
51.4
100
9.4
9.4
Faktor Protektif Lingkungan Faktor protektif eksternal lainnya selain keluarga adalah lingkungan sekitar yang termasuk di dalamnnya yaitu lingkungan sekolah, teman sebaya dan masyarakat.
Faktor protektif lingkungan dapat diketahui dengan menggunakan
indikator kesempatan untuk dapat berpartisipasi (participaton) dalam aktivitas kelompok, hubungan yang hangat (caring relationship) dan harapan yang tinggi (high expectation) dari lingkungan.
66 Faktor Protektif Sekolah Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Bagi remaja yang sudah duduk di bangku SMA, umumnya menghabiskan waktu sekitar tujuh jam sehari di sekolahnya. Ini berarti bahwa hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan remaja di sekolah, sehingga sekolah memiliki pengaruh atau andil yang besar dalam perkembangan jiwa remaja (Sarwono, 1989). Tabel 22. Sebaran contoh menurut komponen faktor protektif sekolah berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah (%) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komponen faktor protektif sekolah Merasa bahagia saat berada di sekolah Merasa dekat dengan orang-orang yang ada di sekolah Aku adalah bagian dari sekolah ini Ada guru atau orang dewasa di sekolah yang peduli padaku Ada guru atau orang dewasa di sekolah yang menginginkan untuk selalu berbuat yang terbaik Ada guru atau orang dewasa di sekolah yang percaya bahwa aku bisa sukses Ada guru atau orang dewasa di sekolah yang mau mendengarkan Aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, sanggar atau OSIS Suka memutuskan sesuatu untuk kemajuan kelas /sekolah Melakukan kegiatan yang menarik di sekolah
Jenis kelamin
Jenis sekolah
Wilayah
Total
Lk
Pr
SMA
SMK
Desa
Kota
84.3
88.0
86.5
85.9
84.1
88.2
86.2
94.4
83.7
92.1
85.9
88.6
89.2
89.0
93.3
92.4
96.6
89.1
88.6
96.8
92.8
92.1
91.3
93.3
90.2
88.6
94.6
91.7
98.9
91.3
94.4
95.7
94.3
95.7
95.0
94.4
91.3
95.5
90.2
88.6
96.8
92.8
84.3
83.7
80.9
87.0
87.5
80.6
84.0
40.4
55.4
48.3
47.8
37.5
58.1
48.1
56.2
57.6
53.9
59.8
54.5
59.1
56.9
60.7
59.8
53.9
66.3
56.8
63.4
60.2
Keterangan: Lk = Laki-laki; Pr = perempuan Tabel 22 menunjukkan bahwa aspek yang belum cukup terpenuhi pada faktor protektif sekolah adalah participation, yang hanya dimiliki oleh kurang dari 60 persen contoh. Dalam hal terjalinnya hubungan yang baik antara contoh dan sekolah atau adanya harapan yang tinggi dari sekolah terhadap contoh, telah terpenuhi oleh lebih dari 80 persen contoh. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah dapat menjadi faktor protektif yang baik bagi remaja, walaupun masih perlu upaya maksimal agar remaja mau lebih terlibat dalam kegiatan di sekolah seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, OSIS dan sanggar serta melakukan kegiatankegiatan yang menarik di sekolah. Secara umum, tidak ditemukan adanya perbedaan pada faktor eksternal sekolah baik berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah,
67 namun pada p<0.10 terlihat perbedaan dalam aspek participation (Tabel 23). Perempuan lebih aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, sanggar atau OSIS dan lebih senang melakukan sesuatu untuk kemajuan kelas atau sekolah dibandingkan dengan laki-laki. Demikian pula contoh di perkotaan yang lebih banyak terlibat dalam kegiatan di sekolah dibandingkan dengan contoh di pedesaan (p<0.10). Tabel 23. Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif sekolah berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan wilayah Jenis kelamin Variabel
Lk
Faktor protektif sekolah 1. Relationship 2.High Expectation 3. Participation
49.78 57.11 59.83 29.03
Jenis Sekolah
Wilayah
Pr
p value SMA
SMK
p value Desa
Kota
p value
51.63 59.06 58.15 35.51
0.473 0.559 0.592 0.070*
50.27 56.52 58.29 33.33
0.725 0.333 0.655 0.566
52.26 60.22 59.01 35.30
0.220 0.190 0.986 0.086*
51.18 59.74 59.69 31.27
49.09 55.87 58.95 29.17
Keterangan: * signifikan pada p<0.10 Dalam aspek relationship dan high expectation, tidak terlihat adanya perbedaan berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa aspek hubungan dan adanya harapan yang tinggi dari sekolah kepada contoh tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan, antara contoh di SMA dan SMK maupun antara contoh di pedesaan dan perkotaan. Tabel 24 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh berada dalam kategori sedang untuk faktor protektif sekolah yaitu sebesar 71.3 persen dan selebihnya adalah kategori tinggi (16.6%) dan rendah (12.2%).
Menurut
Santrock (1996), sekolah memiliki pengaruh yang besar bagi anak-anak dan remaja dan pengaruhnya pada saat sekarang ini lebih kuat dibandingkan pada generasi-generasi sebelumnya karena lebih banyak individu yang lebih lama menghabiskan waktunya di sekolah.
Sehubungan dengan hal tersebut,
penelitian ini menemukan bahwa pada umumnya siswa merasa nyaman dan bahagia berada di sekolah (aspek relationship )serta ada guru-guru yang peduli dan meyakinkan bahwa contoh mampu melakukan yang terbaik (aspek high expectations).
Hanya aspek participations yang nampaknya masih kurang
dimana hanya sekitar 50 persen yang menyatakan bahwa mereka aktif dalam kegiatan-kegiatan di sekolah.
68 Tabel 24. Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor sekolah (%) Kategori Jenis Kelamin Jenis Sekolah Wilayah faktor _____________________________________________________ sekolah Lk Pr T SMA SMK T Desa Kota T Rendah 5.0 7.2 12.2 5.5 6.6 12.2 6.6 5.5 12.2 Sedang 38.1 33.1 71.3 34.3 37.0 71.3 34.3 37.0 71.3 Tinggi 6.1 10.5 16.6 9.4 7.2 16.6 7.7 8.8 16.6 Total 49.2 50.8 100.0 49.2 50.8 100.0 48.6 51.4 100.0 Keterangan: Lk = Laki-laki; Pr = perempuan; T = total
Faktor Protektif Teman Sebaya Teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama.
Salah satu fungsi utama dari teman
sebaya adalah menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan yang dimiliki.
Anak-anak menghabiskan semakin banyak waktu
dalam interaksi teman sebaya pada pertengahan masa anak-anak dan akhir masa anak-anak serta masa remaja (Santrock, 2003). Tabel 25. Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor teman sebaya (%) Jenis Kelamin
Kategori Faktor Teman Sebaya
Lk
Pr
Jenis Sekolah T
Wilayah
SMA
SMK
T
Desa
Kota
T
Rendah
2.8
0.6
3.3
1.7
1.7
3.3
1.7
1.7
3.3
Sedang
32.0
28.2
60.2
27.6
32.6
60.2
30.9
29.3
60.2
Tinggi
14.4
22.1
36.5
19.9
16.6
36.5
16.0
20.4
36.5
Total
49.2
50.8
100
49.2
50.8
100
48.6
51.4
100
Keterangan: Lk = Laki-laki; Pr = perempuan; T = total Penelitian ini menemukan bahwa semua komponen faktor protektif teman sebaya dipenuhi oleh lebih dari 75 persen contoh. Hal ini berarti bahwa contoh dalam penelitian ini memiliki hubungan yang baik dengan teman sebaya dan sebaliknya teman sebaya juga memberikan harapan yang tinggi kepada contoh. Oleh karena itu, jelaslah fakta yang menemukan bahwa contoh dalam penelitian ini memiliki faktor protektif teman sebaya dengan kategori tinggi sebanyak 36.5 persen, yang merupakan persentase terbesar di antara faktor protektif lainnya (Tabel 25). Hal ini sejalan dengan Santrock (1996) yang mengatakan pada remaja, teman sebaya merupakan aspek terpenting dalam kehidupannya. Dalam kaitannya dengan peers ini, Hightower (1990) yang diacu dalam Santrock (2003) menyatakan bahwa hubungan yang harmonis dengan teman
69 sebaya pada masa remaja berhubungan dengan kesehatan mental yang positif pada usia pertengahan. Jean Piaget (1932) dan Sullivan (1953) menekankan bahwa melalui interaksi teman sebayalah, anak-anak dan remaja belajar mengenai pola hubungan timbal balik dan setara. Remaja juga belajar untuk mengamati minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan proses penyatuan diri ke dalam aktivitas teman sebaya yang sedang berlangsung (Santrock, 2003). Tabel 26. Sebaran contoh menurut komponen faktor eksternal teman sebaya berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah (%) NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Komponen faktor protektif teman sebaya Ada teman yang dapat diajak bicara Ada teman yang menganggap sebagai sahabat Ada teman yang membuat nyaman saat gelisah Ada teman yang mengajak bermain ke rumahnya Ada teman yang menolong saat sakit Ada teman yang menceritakan Rahasianya Ada teman yang berbagi barang atau makanan Ada teman yang kehilangan saat aku tidak ada Ada teman yang mengatakan bahwa aku melakukan hal baik Ada teman yang menjelaskan sesuatu yang kurang dipahami tentang pelajaran atau permainan
Keterangan:
Jenis kelamin Lk Pr
Jenis sekolah SMA SMK
97.8
96.7
97.8
96.7
96.6
97.8
97.2
96.6
97.8
94.4
100.0
97.7
96.8
97.2
86.5
93.5
91.0
89.1
87.5
92.5
90.1
91.0
96.7
94.4
93.5
92.0
95.7
93.9
83.0
93.5
91.0
85.9
85.2
91.4
88.4
83.1
95.7
87.6
91.3
85.2
93.5
89.5
95.5
98.9
95.5
98.9
95.5
98.9
97.2
70.8
87.0
80.9
77.2
79.5
78.5
79.0
91.0
93.5
94.4
90.2
87.5
96.8
92.3
87.6
98.9
94.4
92.4
89.8
96.8
93.4
Wilayah Desa
Total
Kota
Lk = Laki-laki; Pr = Perempuan
Menurut penelitian Condry, Simon & Bronfenbrenner (1968), hubungan teman sebaya bagi remaja merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya.
Selama
satu
pekan,
remaja
laki-laki
dan
perempuan
menghabiskan waktu 2 kali lebih banyak dengan teman sebaya daripada dengan orang tuanya (Santrock, 2003). Tabel 27 menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0.05) antara lakilaki dan perempuan dalam faktor ekternal teman sebaya. Perempuan memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
Skor rata-rata
yang lebih tinggi pada perempuan ini terihat pada semua aspek, baik aspek relationship, high expectation dan participation. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan lebih merasakan bahwa teman menjadi bagian penting dalam
70 hidupnya, antara lain bahwa ada teman yang dapat diajak bicara dan mengganggapnya sebagai sahabat, ada yang membuatnya merasa nyaman dan menolongnya saat membutuhkan dan ada teman yang memberi harapan bahwa mereka bisa melakukan hal yang baik. Tabel 27. Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif teman sebaya berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan wilayah Variabel
Jenis kelamin Lk
Faktor Protektif Teman sebaya
Pr
p value
57.30 66.52 0.001**
1. Relationship 57.72 2. High Expectation 50.94 3. Participation 63.11
67.26 0.005** 62.32 0.000** 69.75 0.036**
Jenis Sekolah SMA
SMK
Wilayah
p value Desa
Kota
p value
63.43 60.60
0.322
59.72
64.14
0.121
63.62 61.55 59.36 54.17 67.23 65.76
0.541 0.101 0.644
60.37 55.11 63.45
64.65 58.24 69.35
0.206 0.324 0.062*
Keterangan: * signifikan pada p<0.10; ** signifikan pada p<0.05 Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara remaja yang bersekolah di SMA dan SMK dalam faktor eksternal teman sebaya. Pada contoh yang berasal dari pedesaan dan perkotaan juga tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam faktor protektif teman sebaya, kecuali pada aspek participation dengan p<0.10.
Faktor Protektif Masyarakat Masyarakat adalah kelompok individu yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Ariyanto 2010). Penelitian ini menunjukkan lebih dari 75 persen contoh menyatakan senang tinggal di lingkungan tempat tinggalnya saat ini, ada orang dewasa atau tetangga yang peduli, senang memberi pujian dan dimintai tolong saat dibutuhkan serta ada orang dewasa yang memberikan high expectations terhadap contoh untuk melakukan yang terbaik. Keberadaan tetangga atau orang dewasa di lingkungannya yang memberikan support dan keyakinan bahwa remaja dapat melakukan yang terbaik akan membuat remaja merasa nyaman, aman dan memiliki keyakinan pula bahwa ia dapat melakukan yang baik dan pada akhirnya semua ini akan dapat melindungi remaja dari perilaku maladaptif yang tidak diinginkan.
Beberapa
71 komponen yang masih kurang terpenuhi dari faktor protektif masyarakat antara lain adalah partisipasi aktif remaja dalam kegiatan-kegiatan di sekitar lingkungan. Hasil uji beda menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan pada faktor protektif masyarakat secara umum (p<0.05). Namun terlihat perbedaan yang signifikan pada aspek participation, dimana laki-laki lebih banyak mengikuti kegiatan di masyarkakat termasuk dimintai tolong untuk kegiatan di lingkungan sekitarnya seperti RT, RW ataupun mesjid dan termasuk pula lebih banyak mengikuti kegiatan olahraga, musik, pecinta alam dan lain-lain. Tabel 28. Sebaran contoh menurut komponen faktor protektif masyarakat berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah (%) No 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7. 8. 9. 10.
Komponen faktor protektif Masyarakat Ada tetangga atau orang dewasa di sekitar rumah yang peduli Ada tetangga atau orang dewasa di sekitar rumah yang dipercaya Ada tetangga atau orang dewasa di sekitar rumah yang memuji saat berbuat baik Ada tetangga atau orang dewasa di sekitar rumah yang menghibur saat sedih Ada tetangga atau orang dewasa di sekitar rumah yang dapat dimintai tolong dalam Kesulitan Ada tetangga atau orang dewasa di sekitar rumah yang menginginkan aku melakukan yang terbaik Senang berada di lingkungan tempat tinggal sekarang Ikut klub olahraga atau kursus music, pecinta alam, dll Sering dimintai tolong untuk membantu kegiatan di sekitar rumah (RT, RW, mesjid) Ikut perkumpulan agama seperti remaja mesjid/gereja
Keterangan:
Jenis sekolah
Wilayah
Total
Jenis kelamin Lk
Pr
SMA
SMK
87.6
90.2
87.6
90.2
92.0
86.0
89.0
74.2
64.1
60.7
77.2
73.9
64.5
69.1
80.9
87.0
78.7
89.1
83.0
84.9
84.0
46.1
50.0
39.3
56.5
52.3
44.1
48.1
83.1
89.1
86.5
85.9
83.0
89.2
86.2
83.1
84.8
80.9
87.0
87.5
80.6
84.0
85.4
85.9
89.9
81.5
85.2
86.0
85.6
59.6
20.7
38.2
41.3
45.5
34.4
39.8
43.8
31.5
32.6
42.4
45.5
30.1
37.6
49.4
45.7
43.8
51.1
60.2
35.5
47.5
Desa
Kota
Lk = Laki-laki; Pr = Perempuan
Berdasarkan jenis sekolah, siswa SMK memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa SMA yaitu pada aspek relationship, high expectations dan participation. Hal ini mungkin disebabkan karena remaja di SMK lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat dalam kegiatan pembelajaran
72 yang dilakukannya seperti kegiatan magang atau praktek kerja lapang. Namun hasil uji beda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam faktor eksternal masyarakat berdasarkan jenis sekolah (Tabel 29). Berdasarkan tipologi wilayah, penelitian ini menemukan bahwa ada perbedaan signifikan pada faktor protektif masyarakat (p=0.037). Hal ini berarti remaja di pedesaan dapat hidup dan bekerjasama sebagai satu kesatuan sosial dalam masyarakat.
Remaja di pedesaan lebih sering dimintai bantuan oleh
masyarakat sekitarnya baik untuk kegiatan di lingkungan RT, RW atau Mesjid dan lebih banyak mengikuti kegiatan dalam perkumpulan di lingkungan masyarakatnya terutama di mesjid sekitar tempat tinggalnya. Tabel 29. Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif masyarakat berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah Jenis kelamin Variabel
Lk
Pr
Faktor protektif masyarakat
42.98 39.62 0.194
p value
1. Relationship 45.69 47.10 0.664 2. High Expectation 48.17 48.23 0.984 3. Participation 33.33 20.65 0.001**
Jenis Sekolah
Wilayah
SMA
SMK
p value
Desa
Kota
p value
39.78
42.72
0.256
44.03
38.66
0.037**
46.25 46.07 24.91
46.56 50.27 28.80
0.926 0.167 0.317
46.78 50.43 32.77
46.06 46.10 21.33
0.824 0.155 0.003**
Keterangan: ** signifikan pada p<0.05 Berdasarkan kategorinya, contoh dalam penelitian ini memiliki faktor eksternal masyarakat yang beragam dari kategori rendah, sedang dan tinggi, namun sebagian besar berada dalam kategori sedang (60.8%). Lebih banyak remaja laki-laki yang memiliki faktor eksternal masyarakat kategori sedang dan sebaliknya lebih banyak perempuan yang memiliki faktor ekternal masyarakat kategori rendah (Tabel 30). Hal ini disebabkan karena lebih banyak laki-laki yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dibandingkan dengan perempuan. Begitu pula, lebih banyak remaja di pedesaan yang memiliki faktor protektif masyarakat kategori sedang dan tinggi karena lebih banyak remaja pedesaan yang aktif dalam kegiatan di masyarakat daripada di perkotaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Snider & Miller (1993) menunjukkan bahwa organisasi pemuda dapat memiliki pengaruh yang penting terhadap perkembangan remaja. Erickson (1982) juga berpendapat bahwa para remaja yang bergabung dengan kelompok seperti itu terlihat lebih mau berpartisipasi dalam aktivitas masyarakat pada masa dewasanya dan memiliki harga diri yang lebih tinggi, berpendidikan lebih baik dan berasal dari keluarga dengan tingkat
73 perekonomian yang lebih tinggi daripada rekan remajanya yang tidak berpartisipasi dalam organisasi kemasyarakatan (Santrock, 2003). Tabel 30. Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor masyarakat (%) Kategori Jenis Kelamin Jenis Sekolah Wilayah faktor _______________________________________________________ masyarakat Lk Pr T SMA SMK T Desa Kota T Rendah 13.8 17.7 31.5 17.7 13.8 31.5 11.6 19.9 31.5 Sedang 31.5 29.3 60.8 27.1 33.7 60.8 32.0 28.7 60.8 Tinggi 3.9 3.9 7.7 4.4 3.3 7.7 5.0 2.8 7.7 Total 49.2 50.8 100.0 49.2 50.8 100.0 48.6 51.4 100.0 Keterangan: Lk = laki-laki; Pr = perempuan; T = total
Faktor Resiko Faktor resiko itu adalah prediktor awal dari sebuah hasil yang tidak menguntungkan dan sesuatu yang membuat orang menjadi rentan atau mediator yang menyebabkan terjadinya perilaku bermasalah.
Menurut Masten (1994),
faktor resiko merupakan suatu karakteristik yang terdapat pada sekelompok individu terutama anak dan remaja, yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku yang tidak diharapkan seperti kenakalan atau keluar dari sekolah.
Faktor resiko dapat juga disebut dengan faktor kerentanan
(vulnerability) yang termasuk didalamnya kondisi genetik, biologis, tingkah laku, sosial budaya, kondisi demografi dan karakteristik individu (Gizir, 2004). Secara umum, Gizir (2004) mengelompokkan faktor resiko menjadi tiga kelompok besar berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yaitu yang berasal dari individu, keluarga dan lingkungan. Faktor resiko yang berasal dari individu antara lain seperti kelahiran prematur, penyakit kronis atau kejadian buruk yang dialami dalam kehidupannya.
Faktor resiko yang berasal dari keluarga antara
lain seperti penyakit yang dialami orang tua, perceraian atau perpisahan orang tua, orang tua tunggal, dan ibu yang masih remaja, sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain adalah status sosial ekonomi yang rendah, peperangan, kesulitan ekonomi dan kemiskinan. Adanya fakta bahwa remaja berada pada lingkungan yang dapat mendorongnya untuk merokok, melakukan tawuran atau minum minuman keras merupakan sebuah fenomena yang harus diwaspadai.
Apalagi fenomena ini
dialami oleh semua golongan, baik itu laki-laki atau perempuan, bersekolah di SMA atau SMK maupun yang tinggal di pedesaan atau perkotaan.
Hal ini
74 sejalan dengan pendapat Santrock (1996) yang menyatakan bahwa pengaruh teman sebaya dapat menjadi positif dan negatif. Melalui teman sebaya, remaja akan belajar mengenai prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, minat dan bagaimana menjalin hubungan yang akrab dan semua itu akan terbawa sampai dewasa kelak. Sebaliknya teman sebaya juga dapat mengenalkan remaja dengan alcohol, obat-obatan, kenakalan dan bentuk tingkah laku lain yang dianggap oleh orang dewasa sebagai perilaku maladaptif. Tabel 31. Sebaran contoh menurut komponen faktor resiko berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah (%) No
1 2
Komponen faktor resiko Mengalami pertengkaran di rumah
4
Mengalam Kesulitan keuangan Lingkungan mendorong untuk merokok Lingkungan mendorong untuk tawuran
5
Lingkungan mendorong
3
untuk minum minuman keras
Jenis kelamin
Jenis sekolah
Wilayah Kota
Total
Lk
Pr
SMA
SMK
Desa
36.0
54.3
37.1
53.3
50
40.9
45.3
61.8
62.0
49.4
73.9
69.3
54.8
61.9
57.3
9.8
27.0
39.1
38.6
28.0
33.1
32.6
1.1
13.5
19.6
19.3
14.0
16.6
24.7
3.3
10.1
17.4
17
10.8
13.8
43.8
29.3
23.6
48.9
40.9
32.3
36.5
6
Dijauhi teman-teman
7
Mengalami pelecehan seksual Ditinggal oleh orang yang dikasihi Mengalami musibah atau bencana
4.5
6.5
3.4
7.6
8.0
3.2
5.5
77.5
70.7
70.8
77.2
73.9
74.2
74.0
61.8
35.9
43.8
53.3
43.2
53.8
48.6
10
Menderita penyakit berat
31.5
23.9
29.2
26.1
34.1
21.5
23.8
11
Mengalami abuse (kekerasan)
20.2
5.4
12.4
13
15.9
9.7
12.7
8 9
12
Pernah tinggal kelas
6.7
2.2
3.4
5.4
8.0
4.4
4.4
13
Pernah dihukum guru
94.4
50.0
68.5
75.0
69.3
74.2
71.8
14
Memiliki kekurangan fisik
31.5
23.9
29.2
26.1
34.1
21.5
27.6
15.7
13
14.6
14.1
15.9
12.9
14.4
yang menghambat aktivitas 15
Tinggal di lingkungan yang rawan kejahatan/kriminalitas
Keterangan: Lk = Laki-laki; Pr = Perempuan Gambar 6 menunjukkan bahwa sebanyak 66.3 persen contoh memiliki faktor resiko rendah dan hanya 3.3 persen yang memiliki faktor resiko tinggi. Hal ini berarti bahwa contoh pada penelitian ini bukanlah termasuk remaja beresiko. Namun bagaimanapun juga fakta-fakta yang ditemukan dapat menjadi masukan bagi keluarga, sekolah dan masyarakat.
75 3.3% 30.4%
66.3%
Gambar 6. Sebaran contoh total berdasarkan faktor resiko (%) Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada faktor resiko berdasarkan jenis kelamin (p<0.05), jenis sekolah (p<0.05) dan tipologi wilayah (p<0.10).
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih beresiko
ditinjau dari adanya teman atau lingkungan yang mendorongnya untuk merokok, minum minuman keras dan tawuran.
Laki-laki
juga lebih banyak mendapat
hukuman dari guru, mengalami kekerasan dan dijauhi oleh teman-teman. Tabel 32. Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor resiko berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan wilayah Jenis kelamin
Jenis Sekolah
Wilayah
Variabel Lk
Pr
p value
SMA
SMK
p value
Desa
Kota
p value
Faktor Resiko
40.00
25.58
0.000**
28.39
36.81
0.001**
35.08
30.39
0.056*
1. Individu
36.80
28.26
0.009**
30.62
34.24
0.270
34.66
30.38
0.192
2. Keluarga
53.18
50.72
0.576
43.45
60.14
0.000**
54.17
49.82
0.323
3. Lingkungan
36.66
14.81
0.000**
21.63
29.35
0.010**
28.13
23.12
0.096*
Keterangan: * signifikan pada p<0.10; ** signifikan pada p<0.05 Remaja yang bersekolah di SMK lebih sering mengalami situasi pertengkaran di rumahnya dan lebih sering mengalami kesulitan keuangan dalam keluarganya. Remaja yang bersekolah di SMK dan yang hidup di pedesaan lebih berresiko dalam hal merokok, tawuran atau minum minuman keras karena adanya teman atau lingkungan yang mendorong remaja untuk melakukan perilaku tersebut. Tabel 33 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki faktor resiko sedang dan hanya 3.3 persen yang memiliki faktor resiko tinggi. Dari 66.3
76 persen contoh berresiko rendah ini, sebagian besarnya adalah perempuan (41.4%), bersekolah di SMA (37.6%) dan tinggal di perkotaan (35.4%), sedangkan contoh yang memiliki faktor resiko kategori tinggi ada sebanyak 3.3 persen, yang seluruhnya adalah berjenis kelamin laki-laki dan tinggal di pedesaan. Tabel 33. Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor resiko (%) Kategori faktor
Jenis Kelamin Lk
Pr
T
Jenis Sekolah SMA
SMK
Wilayah T
Desa Kota
Rendah 24.9 41.4 66.3 37.6 28.7 66.3 30.9 Sedang 21.0 9.4 30.4 11.0 19.3 30.4 14.4 Tinggi 3.3 -3.3 0.6 2.8 3.3 3.3 Total 49.2 50.8 100.0 49.2 50.8 100.0 48.6 Keterangan: Lk = laki-laki; Pr = perempuan; T = total
35.4 16.0 -51.4
T 66.3 30.4 3.3 100.0
Resiliensi Resiliensi merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk mampu bertahan dalam situasi yang kurang menguntungkan atau penuh tekanan dan menjalani hidup secara positif bahkan lebih baik dari sebelumnya. Pada Tabel 34 dapat terlihat bahwa contoh dalam penelitian ini sudah memiliki aspek personal competence dan acceptance of self and life yang cukup baik. Personal competence mengukur keyakinan individu terhadap kemampuan sendiri, sikap mandiri, berpendirian dan kegigihan dalam menghadapi rintangan. Hal ini dapat dilihat dari adanya sikap focus, berhati-hati, dan bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu, memiliki kemampuan untuk mengelola sesuatu dengan berbagai cara dan menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Aspek personal competence yang masih kurang terlihat pada contoh adalah kemampuan untuk melakukan segala sesuatu sendiri dan dengan tenang, mengerjakan banyak hal dalam satu waktu dan disiplin. Acceptance of self and life mengukur pandangan individu yang seimbang mengenai hidup, kemampuan beradaptasi dan bersikap fleksibel dalam hidup. Semua komponen dalam aspek acceptance of self and life sudah dipenuhi oleh lebih dari tiga perempat contoh. Dalam hal ini, contoh memiliki keyakinan diri yang tinggi, bangga pada apa yang telah didapatkan dalam hidup, dan selalu berusaha berdamai dengan diri sendiri. Penerimaan terhadap diri dan kehidupan (acceptance of self and life) ini juga terlihat dari adanya kepercayaan diri yang
77 membuat contoh dapat melewati masa sulit,dan memiliki keyakinan bahwa hidup penuh arti. Komponen dari aspek acceptance of self and life yang paling sedikit dimiliki oleh contoh di antara komponen lainnya adalah kemampuan untuk menghibur diri (74.6% contoh) dan penerimaan bahwa kadang ada orang lain yang mungkin tidak menyukai kita (75.1% contoh). Tabel 34. Sebaran contoh menurut komponen resiliensi yang dimiliki oleh kurang dari 75 persen contoh berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah (%) No
Jenis kelamin
Komponen resiliensi
1
Lk
2
Dapat melakukan apapun sendiri Melakukan sesuatu dengan tenang
3
Dapat mengerjakan banyak hal dalam satu waktu
Jenis sekolah
Pr
Wilayah
SMA
SMK
Desa
Kota
Total
62.9
67.4
62.9
67.4
65.9
64.5
65.2
78.7
68.5
75.3
71.7
73.9
73.1
73.5
48.3
35.9
40.4
43.5
45.5
38.7
42.0
4
Jarang mempertanyakan tentang sesuatu secara berlebihan
66.3
65.2
69.7
62.0
70.5
61.3
65.7
5
Disiplin
59.6
51.1
46.1
64.1
60.2
50.5
55.2
6
Mampu melihat sesuatu
67.4
71.7
68.5
70.7
62.5
76.3
69.6
52.8
38.0
47.2
43.5
51.1
39.8
45.3
dari berbagai sudut pandang 7
Tidak memikirkan sesuatu yang memang tidak dapat dilakukan
Keterangan: Lk = Laki-laki; Pr = Perempuan Dari dua puluh lima komponen resiliensi, hanya tujuh komponen yang belum dapat dipenuhi oleh sekurangnya tiga perempat contoh. Artinya, sebesar 72 persen komponen resiliensi telah dipenuhi oleh lebih dari tiga perempat contoh dalam penelitian. Bahkan sebelas komponen diantaranya telah dipenuhi oleh 85 persen contoh.
Hal ini menunjukkan bahwa resiliensi remaja pada
penelitian ini cukup memadai. Tabel 35. Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda resiliensi berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah Variabel
Resiliensi 1. Personal Competence 2.Acceptance of Self and Life
Jenis kelamin Lk
Pr
p value
Jenis Sekolah SMA
SMK
Wilayah
p value
Desa
Kota
p value
49.19
47.85
0.515
48.45
48.57
0.955
48.34
48.67
0.875
44.71
44.69
0.993
44.71
44.69
0.993
44.72
44.69
0.988
58.71
54.55
0.135
56.39
56.79
0.885
56.04
57.12
0.697
Keterangan: Lk = Laki-laki; Pr = Perempuan .Dari Tabel 35 diketahui bahwa rataan indeks personal competence perempuan dan laki-laki relatif sama, sehingga dapat dikatakan bahwa laki-laki
78 dan perempuan memiliki keyakinan yang relatif sama terhadap kemampuan dirinya, sedangkan dari aspek acceptance of self and life, laki-laki lebih memiliki pandangan yang seimbang mengenai hidup dan kemampuan beradaptasi daripada perempuan, walaupun tidak berbeda signifikan. 8.8% 11.6%
79.6%
Gambar 7. Sebaran contoh total berdasarkan tingkat resiliensi Hampir tidak ada perbedaan dalam skor rata-rata resiliensi untuk remaja SMA dan SMK dengan p=0.955, begitu pula dalam aspek personal competence dan acceptance of self and life dengan nilai p masing-masing 0.993 dan 0.885. Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang bersekolah di SMA dan SMK memiliki resiliensi yang relatif sama.
Begitu pula berdasarkan tipologi wilayah, hasil
penelitian tidak menunjukkan adanya perbedaan resiliensi total, maupun dari aspek personal competence dan acceptance of self and life. Tabel 36. Sebaran contoh berdasarkan kategori resiliensi (%) Jenis Kelamin
Kategori
Pr
Jenis Sekolah T
SMA
Wilayah
Resiliensi
Lk
SMK
T
Desa
Kota
T
Rendah
4.4
4.4
8.8
5.0
3.9
8.8
5
3.9
8.8
Sedang
39.2
40.3
79.6
37.6
42.0
79.6
39.2
40.3
79.6
Tinggi
5.5
6.1
11.6
6.6
5.0
11.6
4.4
7.2
11.6
Total
49.2
50.8
100
49.2
50.8
100
48.6
51.4
100
Keterangan: Lk = Laki-laki; Pr = Perempuan; T = Total Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki resiliensi kategori sedang yaitu 79.6 persen yang relatif tersebar merata baik berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah. Sebanyak 11.6 persen memiliki relisiensi tinggi dan 8.8 persen dari total contoh yang memiliki resiliensi kategori rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa secara umum contoh
memiliki resiliensi yang baik. Dengan demikian diharapkan resiliensi ini akan
79 muncul dan berkembang pada saat mereka menghadapi kesulitan karena menurut Masten dan Reed (2002), seseorang dikatakan resilien jika orang tersebut telah mengalami berbagai resiko dan kesulitan (Gizir, 2004).
Hubungan Variabel Penelitian dengan Resiliensi Uji korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan antara variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut adalah karakteristik individu (jenis kelamin, urutan kelahiran), karakteristik sosial ekonomi keluarga (pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan ayah dan pendapatan ibu), faktor internal, faktor keluarga, faktor sekolah, faktor teman sebaya, faktor masyarakat, faktor resiko dan resiliensi.
Karakteristik Individu dan Resiliensi Karakteristik individu dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin dan urutan kelahiran. Berdasarkan hasil analisis korelasi Pearson diketahui bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara karakteristik individu dengan resiliensi. Hal ini berarti bahwa tidak berarti semakin tinggi usia semakin baik resiliensi, walaupun hal ini dapat disebabkan karena usia contoh tidak beragam dan sebagian besar (61.3%) berusia 16 tahun. Jenis kelamin dan urutan kelahiran contoh tidak berkorelasi dengan resiliensi remaja.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian LaFrombrose et al
(2006) yang menemukan bahwa tidak ada korelasi antara jenis kelamin dan resiliensi. Penelitian terdahulu juga menemukan tidak adanya korelasi antara urutan kelahiran dengan resiliensi (Rosyidah 2010).
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga dan Resiliensi Karakteristik
sosial
ekonomi
keluarga
meliputi
pendidikan ibu, pendapatan ayah dan pendapatan ibu.
pendidikan
ayah,
Hasil uji korelasi
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara karakteristik sosial ekonomi keluarga dengan resiliensi remaja. Ini berarti semakin tinggi pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan ayah dan pendapatan ibu tidak berarti resiliensi akan meningkat pula. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata aspek-aspek yang tercakup dalam karakterisitik individu dan karakteristik sosial ekonomi tidak
80 berhubungan dengan resiliensi remaja. Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan resiliensi disajikan dalam Tabel 37.
Faktor Protektif Internal dan Resiliensi Hasil uji korelasi pada Tabel 37 menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara faktor protektif internal dan resiliensi remaja (r= 0.619; p<0.01). Hal ini berarti pada penelitian ini ditemukan 61.9 persen data variabel faktor protektif internal dan resiliensi berhubungan erat (Nugroho 2005). Korelasi positif yang signifikan ini menunjukkan bahwa semakin baik faktor protektif internal seorang remaja maka akan semakin baik pula resiliensi remaja tersebut.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kaya (2007) bahwa
terdapat korelasi positif antara self esteem dan hope dengan resilensi anak sekolah dasar di Regional Boarding Elementary School di Ankara. Tabel 37. Hasil uji korelasi antar variabel dan koefisien korelasi Variabel 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Faktor internal Faktor keluarga Faktor sekolah Faktor teman Faktor masyarakat Faktor resiko Resiliensi
Keterangan:
1
2
3
4
‐‐ 0.526** 0.463** 0.452**
‐‐ 0.482** 0.414**
‐‐ 0.583**
‐‐
0.326** ‐0.092 0.619**
0.482** ‐0.208** 0.507*
0.357** 0.014 0.445**
0.306** ‐0.126 0.495**
5
6
‐‐ 0.062 ‐‐ 0.414** 0.027
1 = faktor internal; 2 = faktor keluarga; 3 = faktor sekolah 4 = faktor teman; 5 = faktor masyarakat; 6 = faktor resiko **) signifikan pada p<0.01
Menurut Benard (2004), resiliensi terbentuk sebagai proses dari berkembangnya faktor protektif internal yang dimiliki individu. terbentuk
sesuai
pengalaman-pengalaman
individu
dalam
Resiliensi konteks
lingkungannyan dan dapat berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Faktor protektif internal ini menjadi bagian penting dalam membentuk resiliensi karena merupakan ketrampilan dan kemampuan sehat yang dimiliki individu yang dapat membalikkan pengaruh negatif yang akan muncul dan menjadikan individu tersebut mampu menghindar dari tekanan hidup serta mampu bertahan dalam kondisi sulit (Kalil 2003)..
81 Faktor Protektif Keluarga dan Resiliensi Hasil uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara faktor protektif keluarga dan resiliensi remaja (r= 0.507) pada p<0.01. Hal ini berarti pada penelitian ini ditemukan 50.7 persen data variabel faktor protektif keluarga dan resiliensi berhubungan erat (Nugroho 2005). Korelasi positif yang signifikan ini menunjukkan bahwa semakin baik faktor protektif keluarga seorang remaja maka akan semakin baik pula resiliensi remaja tersebut. Faktor
protektif
keluarga
dalam
penelitian
ini
diukur
dengan
menggunakan Family Environment Scale yang didefinisikan sebagai interaksi antara orang tua dan anak serta anggota keluarga lainnya yang diukur melalui persepsi dari anak dalam keluarga tersebut. Interaksi antaranggota keluarga ini menjadi salah satu aspek penting yang dapat mempengaruhi perilaku remaja. Keharmonisan
interaksi
antaranggota
keluarga
akan
mempengaruhi
perkembangan sosial remaja yang ada di dalam keluarga. Gardner (1983) yang diacu dalam Ali (2009), melalui penelitiannya menemukan bahwa interaksi antaranggota keluarga yang tidak harmonis merupakan suatu korelat yang potensial menjadi penghambat perkembangan sosial remaja. Remaja yang memiliki persepsi positif tentang interaksi di dalam keluarganya akan melahirkan sikap dan perilaku yang positif pula. Dalam teori Social Learning, Albert Bandura menjelaskan bahwa suatu rangsangan dipersepsi oleh individu, lalu dimaknai berdasarkan struktur kognitif yang dimiliki. Jika sesuai, rangsangan tersebut lalu dihayati dan terbentuklah sikap. Sikap inilah yang secara kuat memberikan bobot kepada perilaku individu.
Teori
Bandura ini berlaku juga bagi persepsi remaja terhadap kehidupan dalam keluarganya, yang kemudian mempengaruhi perkembangan sosialnya (Ali 2009). Dalam memahami pengaruh keluarga terhadap anggota keluarga termasuk remaja, maka keluarga harus dipandang sebagai sebuah sistem. Hal ini berarti orang tua tidak dengan mudahnya membentuk anak. Sekecil apapun elemen dalam keluarga dapat mempengaruhi elemen lainnya (Duffy 2004). Kebutuhan psikologis pada individu dapat terpenuhi dengan adanya dukungan yang memadai dari lingkungan berupa hubungan yang hangat, peraturan dan batasan, dukungan untuk mandiri, dukungan untuk berprestasi dan role model yang positif (Kalil 2003).
82 Dalam hubungannya dengan resiliensi, peran keluarga menjadi begitu penting.
Remaja akan belajar untuk memiliki kemampuan bersikap mandiri,
berpendirian, berani mengambil kepututsan dan gigih dalam menghadapi rintangan dari internalisasi nilai-nilai, sikap dan pengalaman yang ada di dalam keluarganya. Penelitian LaFromboise, Hoyt, Oliver dan Whitbeck pada tahun 2006 tentang pengaruh keluarga, masyarakat dan sekolah terhadap resiliensi remaja Indian Amerika juga menunjukkan bahwa kehangatan ibu dalam keluarga berkorelasi positif dengan resiliensi. Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini adalah bahwa interaksi yang baik dalam keluarga akan mengurangi kemungkinan penggunaan obat-obatan terlarang (Hawkins, Catalano dan Miller 1992). Begitu pula penelitian Klarreich (1998), yang diacu dalam LaFromboise et al.( 2006) menemukan bahwa interaksi yang baik dalam keluarga akan dapat mempertahankan resiliensi dan meminimalisir kerentanan
Faktor Protektif Sekolah dan Resiliensi Salah satu konteks yang penting dalam proses belajar adalah sekolah. Sekolah bukan hanya tempat di mana proses belajar secara akademis mendominasi, namun merupakan sebuah tempat di mana siswa dapat berpikir, melakukan penalaran, sekaligus menjadi arena sosial yang memiliki makna besar bagi perkembangannya (Santrock 2003). Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan (p<0.01) antara faktor protetif sekolah dan resiliensi remaja dengan r=0.445. Ini berarti semakin baik faktor protektif sekolah maka semakin baik pula resiliensi remaja.
Faktor protektif sekolah dalam penelitian ini menggunakan indikator
kesempatan untuk dapat berpartisipasi (participaton) dalam aktivitas kelompok, hubungan yang hangat (caring relationship) dan harapan yang tinggi (high expectation) dari lingkungan (Austin 2010), termasuk juga adanya guru yang selalu mendukung dan percaya bahwa remaja dapat melakukan hal yang terbaik dalam hidupnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Erik Erikson (1968) dalam Santrock (2003) bahwa guru yang baik adalah guru yang dapat menghasilkan perasaan mampu (sense of industry) dan bukan rasa rendah diri pada murid-muridnya.
83 Faktor Protektif Teman Sebaya dan Resiliensi Teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang relatif sama. Salah satu fungsi teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Bagi remaja, hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya. Pada sebuah penelitian disimpulkan bahwa selama satu minggu, remaja laki-laki dan perempuan menghabiskan waktu dua kali lebih banyak dengan teman sebaya daripada waktu dengan orang tuanya (Condry, Simon dan Bronfenbrenner 1968 yang diacu dalam Santrock 2003). Demikian pula menurut Crikhtenmihalyi dan Larson (1984) diacu dalam Agustiani (2006) menjelaskan bahwa bagi remaja, waktu dengan teman merupakan bagian penting bagi remaja dalam kesehariannya. Teman bagi remaja merupakan tempat menghabiskan waktu, berbicara, berbagi kesenangan dan kebebasan. Uji korelasi dalam penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara faktor protektif teman sebaya dan resiliensi remaja (r = 0.495 dan p<0.01). Ini berarti semakin baik faktor protektif teman sebaya maka semakin baik pula resiliensi remaja.
Hal ini sejalan dengan sudut pandang yang
menganggap bahwa kelompok teman sebaya memberikan pengaruh yang baik. Selain itu, relasi dengan teman sebaya akan mengembangkan kematangan dari “self” seorang remaja (Younis & Smollar 1985 diacu dalam Agustiani 2006), yang dalam hal ini berkaitan pula dengan resiliensi yang dimilikinya. Namun sebaliknya, teman sebaya dapat menjadi kelompok yang memberikan pengaruh negatif terhadap remaja terutama pada remaja yang kurang mendapat pengarahan dari orang tua (Downs 1985; Snyder, Dishion dan Patterson 1986 diacu dalam Agustiani 2006). Sampai saat ini ada pendapat yang mengatakan bahwa orang tua dan teman sebaya digambarkan sebagai sesuatu yang terpisah, bahkan berlawanan. Remaja menunjukkan motivasi yang kuat untuk dapat bersama dengan teman sebaya dan kemudian menjadi mandiri.
Namun bukan berarti keterlibatan
dengan teman sebaya dan otonomi atas diri sendiri tidak berkaitan dengan hubungan antara orang tua dan remaja. Penelitian terbaru menguatkan bahwa para remaja hidup dalam dunia orang tua dan teman sebaya yang saling
84 berhubungan (Allen, Bell & Hopkin, 1994; Brown & Huang, 1995;Ladd & Le Sieur, 1995; Silberseisen, 1995 yang diacu dalam Santrock, 2003). Hal tersebut juga dibuktikan dengan hasil penelitian ini yang menemukan hubungan yang signifikan antara faktor protektif keluarga dan faktor protektif teman sebaya dengan r=0.414 pada p<0.01 yang berarti semakin baik interaksi dalam keluarga maka semakin baik pula interaksi dengan teman sebaya. Ada banyak cara yang membuat dunia orang tua dan teman sebaya saling berhubungan. Pilihan orang tua atas lingkungan rumah, tetangga, dan sekolah akan mempengaruhi remaja untuk memilih teman-temannya (Cooper dan Ayer-Lopez 1985 diacu dalam Santrock 2003). Cara lain adalah orang tua memberikan contoh atau petunjuk kepada anak remaja mengenai cara-cara mereka berhubungan dengan teman sebaya mereka, seperti yang ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Rubin & Sloman, 1984 (Santrock, 2003), di mana orang tua menyarankan beberapa strategi spesifik kepada anak remaja dengan tujuan membangun hubungan yang lebih positif dengan teman sebaya.
Faktor Protektif Masyarakat dan Resiliensi Salah satu masalah yang dihadapi remaja dalam proses sosialisasinya adalah adanya inkonsistensi sikap masyarakat terhadap remaja. Pada satu sisi, remaja dianggap sudah dewasa, namun pada kenyataannya di sisi lain mereka tidak diberi kesempatan atau peran penuh sebagaimana orang dewasa, padahal iklim kehidupan dalam masyarakat yang kondusif sangat berperan dalam menentukan keberhasilan perkembangan sosial remaja (Ali dan Asrori 2009). Siagian (1985) menegaskan bahwa masa
remaja
adalah masa
menentukan identitas, tetapi masa yang sulit ini menjadi bertambah sulit dengan adanya kontradiksi dalam masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan karena kurangnya keteladanan sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan hubungan sosial (Ali dan Asrori 2009). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang erat (r=0.414) antara faktor protektif masyarakat dan resiliensi remaja pada p<0.01 (Tabel 37). Dengan kata lain, semakin baik faktor protektif masyarakat maka akan semakin baik pula resiliensi remaja.
Faktor protektif masyarakat dalam penelitian ini
diukur dari adanya hubungan yang baik antara remaja dan masyarakat (caring relationship),
keterlibatan
atau
partisipasi
remaja
dalam
kegiatan
85 kemasyarakatan (participation), dan harapan yang tinggi dari masyarakat (high expectation) terhadap remaja. Sejalan dengan hasil penelitian ini, LaFromboise et al (2006) juga menemukan bahwa remaja yang memiliki dukungan masyarakat yang tinggi 1.56 kali lebih resilien dibandingkan remaja yang tidak mendapatkan dukungan masyarakat (community support). Penelitian Kaya (2007) juga menemukan bahwa community caring relationship and high expectations merupakan prediktor resiliensi pada siswa di sekolah dasar yang juga sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya. Adanya kepedulian dan dukungan dari orang dewasa di luar keluarga akan membantu terbentuknya resiliensi pada anak dan remaja (Benard 1991; Masten & Coatsworth 1998; Werner & Smith 1982 yang diacu dalam Kaya 2007). Menurut Fuller (2006) anak-anak akan mendapat manfaat dari orang dewasa di sekitar lingkungannya sebagai role models, yang peduli dan mengharapkan anak-anak tersebut dapat sukses di kemudian hari. Garmezy (1993) yang diacu dalam Satrock (2003) menggambarkan suatu situasi di lingkungan Harlem di kota New York untuk mengilustrasikan resiliensi. Masyarakat di
lingkungan tersebut menunjukkan kepedulian yang tinggi
terhadap anak dan remaja dengan memasang foto-foto mereka di serambi gedung apartemen dan mengimbau pada siapa saja yang melihat anak-anak tersebut agar melaporkan atau membawa kembali mereka ke apartemen tersebut.
Garmezy mengatakan bahwa ini adalah contoh yang baik sekali
mengenai kompetensi orang dewasa dan perhatian akan keselamatan dan kesejahteraan anak-anak di lingkungannya.
Faktor Resiko dan Resiliensi Tingkah laku adaptif merupakan interaksi dari kombinasi faktor-faktor yang diprediksikan akan menimbulkan hasil akhir negatif (faktor resiko) dengan kombinasi faktor-faktor yang menetralkan atau memperbaiki hasil akhir dari resiko yaitu adanya faktor pelindung. Faktor resiko dapat berasal dari aspek biologis, ekologi ataupun biopsikososial dan dapat menunjukkan adanya suatu korelasi, penyebab ataupun prediksi terhadap sesuatu (Fraser dan Richman 2003 yang diacu dalam Nurfadillah 2006). Dalam penelitian ini, faktor resiko dikelompokkan menjadi faktor resiko yang berasal dari individu, keluarga dan lingkungan (Kalil, 2003).
86 Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya korelasi yang signifikan antara faktor resiko dan resiliensi remaja. Maknanya adalah bahwa apabila faktor resiko meningkat maka tidak berarti resiliensi remaja menurun atau sebaliknya. Namun dalam penelitian ini ditemukan bahwa faktor protektif keluarga berkorelasi negatif signifikan (p<0.01) dengan faktor resiko (r = -0.208).
Korelasi negatif ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi faktor protektif keluarga maka semakin rendah faktor resiko yang dialami remaja atau sebaliknya, semakin rendah faktor protektif keluarga maka semakin tinggi resiko yang dialami oleh remaja (Tabel 30). Hal ini membuktikan bahwa keluarga dapat menjadi pelindung terhadap terjadinya resiko atau berbagai hal negatif pada remaja yang secara tidak langsung akan mempengaruhi resiliensi. Telah banyak penelitian membuktikan bahwa keluarga menjadi protektif terhadap perilaku negatif yang dilakukan oleh remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Widom & Kuhns (1996) membuktikan bahwa anak korban sexual abuse di masa kecilnya memiliki 2.54 kali dan anak yang mengalami neglect memiliki 2.58 kali kemungkinan untuk melakukan prostitusi pada saat remaja. Abar, Carter dan Winsler (2008) menemukan adanya korelasi antara pengasuhan yang autoritatif dengan kemampuan akademik yang tinggi dan ketrampilan yang baik. Pengasuhan ibu berpengaruh pada tingkat religiusitas anak dan anak-anak yang memiliki tingkat religiusitas tinggi ini menunjukkan prestasi akademik yang baik, tekun dalam belajar dan memiliki perilaku berresiko yang lebih sedikit dibanding anak-anak yang kurang komitmen dalam agama. Beberapa penelitian yang dirangkum oleh US Departemen of Health and Human Services pada tahun 2009 (aspe.hhs.gov/hsp/08/relationshipstrength/ report.pdf) menyatakan antara lain adanya korelasi antara hubungan orangtuaanak yang positif dengan self-esteem yang tinggi, kepuasan hidup, kebahagiaan, rendahnya gejala stress (Sobolewski & Amato, 2007) dan keinginan untuk bunuh diri (Resnick, 1997).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Remaja Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi remaja adalah karakteristik individu (usia, jenis kelamin, urutan kelahiran), karakteristik sosial ekonomi (pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan ayah, pendapatan ibu, jenis sekolah, tipologi wilayah), faktor protektif internal, faktor protektif keluarga
87 (dimensi relationship, personal growth, system maintenance), faktor protektif lingkungan (sekolah, teman sebaya, masyarakat) dan faktor resiko. Berdasarkan hasil uji regresi berganda pada Tabel 38 menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap resiliensi remaja adalah faktor protektif internal (β=0.407), faktor
protektif keluarga (β
=0.161) dan faktor protektif teman sebaya(β =0.259). Nilai adjusted R square hasil analisis tersebut adalah 0.474 yang berarti 47.4 persen resiliensi remaja dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, sedangkan sebesar 52.6 persen resiliensi dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak teramati pada penelitian ini. Tabel 38. Model regresi berganda faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi
Model (Constant) Jenis kelamin Wilayah Jenis sekolah Urutan kelahiran Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pendapatan ayah Pendapatan ibu Faktor internal Faktor keluarga Faktor sekolah Faktor teman sebaya Faktor masyarakat Faktor resiko
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta -1.232 3.738 -1.336 .884 -.097 -.762 .955 -.055 .835 .936 .061 .118 .494 .014 .023 .399 .005 .489 .460 .087 -.058 .249 -.017 -.401 .309 -.081
T -.330 -1.512 -.798 .892 .239 .057 1.063 -.232 -1.299
Sig. .742 .132 .426 .374 .812 .954 .289 .817 .196
.603 .064 -.014
.103 .030 .148
.407 .161 -.007
5.865 2.098 -.092
.000 .037 .927
.468 .230 .134
.132 .134 .186
.259 .116 .048
3.548 1.717 .719
.001 .088 .473
Keterangan: adjusted R squared = 0.474 Faktor internal mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap resiliensi remaja (p=0.000) artinya semakin baik faktor internal maka semakin baik pula resiliensi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Benard (2004) bahwa resiliensi
terbentuk sebagai proses dari berkembangnya faktor protektif internal yang dimiliki individu. Kalil (2003) juga mengatakan bahwa faktor protektif internal dapat menjadikan individu mempu bertahan dalam kondisi yang sulit atau kondisi yang tidak menguntungkan. Benard (2004) juga menyatakan pentingnya faktor internal dalam pembentukan resiliensi karena resiliensi terbentuk sesuai
88 pengalaman-pengalaman individu dalam konteks lingkungannyan dan dapat berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Menurut Craig (1999) yang diacu dalam Chugani (2006), aset internal yang berkembang pada individu sesuai dukungan dari lingkungan dan karakteristik individu yang bersifat genetik akan berinteraksi dengan faktor protektif eksternal untuk membentuk suatu mekanisme perlindungan yang dapat meningkatkan resiliensi individu terhadap pengaruh negatif dari faktor resiko. Meichenbaum (2006) menyatakan bahwa faktor internal seperti memiliki rasa empati, rasa humor, kemampuan memecahkan masalah, self awareness, memiliki tujuan, self-esteem dan juga motivasi untuk berprestasi akan dapat melindungi seseorang untuk bisa resilien dan berkembang ke arah yang lebih baik. Faktor protektif keluarga berpengaruh positif signifikan terhadap resiliensi remaja (p=0.037), artinya semakin baik faktor protektif keluarga maka akan semakin baik pula resiliensi. Menurut Kalil (2003), kebutuhan psikologis pada individu dapat terpenuhi dengan adanya dukungan yang memadai dari lingkungan berupa hubungan yang hangat, peraturan dan batasan, dukungan untuk mandiri, dukungan untuk berprestasi dan role model yang positif. Remaja yang memiliki persepsi positif tentang interaksi di dalam keluarganya akan melahirkan sikap dan perilaku yang positif pula. Dalam teori Social Learning, Albert Bandura menjelaskan bahwa suatu rangsangan dipersepsi oleh individu, lalu dimaknai berdasarkan struktur kognitif yang dimiliki. Jika sesuai, rangsangan tersebut lalu dihayati dan terbentuklah sikap. Sikap inilah yang secara kuat memberikan bobot kepada perilaku individu.
Teori
Bandura ini berlaku juga bagi persepsi remaja terhadap kehidupan dalam keluarganya, yang kemudian mempengaruhi perkembangan sosialnya (Ali 2009). Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat Amerika Serikat menyebutkan bahwa remaja yang memiliki persepsi positif terhadap hubungannnya dengan orang tua akan melindunginya dari perilaku yang negatif seperti merokok, minum minuman beralkohol dan penggunaan mariyuana (Resnick, et al. 1997).
Remaja yang
memiliki hubungan keluarga yang hangat, terutama memiliki kedekatan dengan ibu, lebih memiliki keyakinan yang baik dalam beragama (Granqvist 2002) dan lebih berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan (Clark & Worthington 1990).
89 Penelitian juga menemukan bahwa dukungan dan keterlibatan orang tua dalam kegiatan remaja di sekolah berhubungan secara signifikan dengan prestasi remaja di sekolah (Woolley & Bowen 2007). Faktor protektif keluarga yang ditunjukkan dengan adanya hubungan atau interaksi yang baik sesama anggota, dukungan terhadap sikap mandiri, intelektual, pencapaian prestasi, penanaman nilai moral dan agama serta penerapan dan pengawasan terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam keluarga, tidak diragukan lagi sangat memegang peranan penting dalam pembentukan resiliesi remaja. Hal ini dapat dimengerti karena keluarga adalah lingkungan pertama dan utama yang akan mempengaruhi perkembangan seorang anak. Iklim kehidupan keluarga yang sehat akan menghasilkan anakanak yang sehat pula, baik secara fisik maupun mental. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1995), sehat tidaknya iklim kehidupan keluarga banyak bergantung pada harmonis tidaknya hubungan antar anggota keluarga. Faktor protektif teman sebaya juga ditemukan memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap resiliensi (p=0.001). Hal ini berarti bahwa semakin baik faktor protektif teman sebaya maka akan semakin baik pula resiliensi. Teman sebaya memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangandiri remaja dan sebagai persiapan bagi kehidupan di masa yang datang serta berpengaruh pula pada pandangan dan perilaku remaja (Darajat, 1985 yang diacu dalam Ruhidawati, 2006). Dalam kaitannya dengan pengaruh positif dan negatif dari teman sebaya (Santrock, 1996), maka dalam penelitian ini ditemukan bahwa teman sebaya memberikan pengaruh positif bagi resiliensi remaja. Pengaruh positif ini dapat berupa pembelajaran tentang prinsip-prinsip kehidupan yang mengarah pada terbentuknya kompetensi diri (personal competence) dan penerimaan terhadap diri dan kehidupan (acceptance of self and life) sebagai bagian penting dari resiliensi remaja. Pembahasan Umum Penelitian tentang resiliensi telah mendapat perhatian cukup besar selama kurang lebih empat dekade, namun penelitian ini relatif cukup baru di Indonesia.
Pada awalnya penelitian resiliensi berfokus pada faktor atau
karakteristik yang dapat membantu individu untuk berhasil mengatasi kesulitan hidup yang dihadapi (Garmezy 1991, diacu dalam Ahern 2007). Selanjutnya,
90 penelitian resiliensi beralih ke arah mencari pemahaman tentang mekanisme yang melindungi individu dari resiko sehingga dapat dikembangkan cara-cara untuk melakukan intervensi yang dapat meningkatkan resiliensi pada kondisi yang normatif (Luthar 1991, diacu dalam Ahern 2007). Bukti empiris menunjukkan bahwa resiliensi berkembang secara nature (alamiah) dan nurture (dipengaruhi lingkungan).
Berbagai variabel telah
dipelajari untuk memperjelas konsep resiliensi pada remaja, namun masih ditemukan penemuan-penemuan yang inkonsistensi.
Ada juga bukti dalam
literatur yang menemukan bahwa terdapat kontradiksi mengenai efek dukungan sosial pada proses resiliensi (Ahern 2007). Namun setelah dilakukan reviu dari sifat psikometrik dari beberapa instrumen yang ada, ditemukan bahwa resilience scale memiliki keandalan dan validitas terbaik untuk populasi remaja di antara instrumen resiliensi lainnya (Ahern 2006). Oleh karena alasan itulah instrumen resilience scale juga digunakan dalam penelitian ini. Resiliensi merupakan sebuah proses dinamis yang melibatkan interaksi antara faktor resiko dan faktor protektif, baik internal maupun eksternal yang dapat mengurangi efek yang merugikan dari kesulitan hidup yang dihadapi terutama bagi remaja yang berada dalam periode “rentan”. Faktor-faktor lain yang terkait dengan karakteristik individu adalah usia, jenis kelamin dan urutan kelahiran, selain itu juga jenis sekolah (SMA atau SMK) dan wilayah tempat individu berada (pedesaan dan perkotaan). Lingkungan keluarga dalam penelitian ini merupakan interaksi antara orang tua dan anak serta anggota keluarga lainnya yang diukur melalui persepsi dari anak dalam keluarga tersebut. Lingkungan keluarga dapat menjadi faktor protektif bagi remaja jika di dalamnya terjadi interaksi positif yang saling membangun antar anggota keluarga. Dimensi yang diukur dalam lingkungan keluarga adalah dimensi hubungan (relationship), dimensi perkembangan personal (personal growth), dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance). Penelitian ini menemukan bahwa secara umum lingkungan keluarga tidak berbeda pada laki-laki dan perempuan serta pada remaja di pedesaan dan perkotaan.
Namun perbedaan jenis sekolah menunjukkan perbedaan pada
lingkungan keluarga (signifikan pada p<0.10). Penelitian serupa yang dilakukan oleh Phayungkij 2004 tidak menemukan perbedaan pada dimensi relationship, personal growth dan system maintenance berdasarkan status perkawinan orang
91 tua, jumlah saudara kandung dan tipe keluarga serta kebangsaan orang tua (Thai dan Non-Thai).
Namun demikian, terlihat adanya perbedaan dalam
lingkungan keluarga berdasarkan agama dan pengambil keputusan dalam keluarga (p<0.05). Pada penelitian yang dilakukan di Thailand ini ditemukan bahwa lingkungan keluarga Muslim paling baik dibandingkan dengan penganut agama lainnya. Perbedaan paling signifikan terlihat pada dimensi pertumbuhan personal (personal growth) dimana sub skala religius terdapat di dalamnya. Selanjutnya, dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa lingkungan keluarga paling baik ditemukan pada keluarga yang ayah dan ibu sama-sama berperan dalam pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan yang baik antara ayah dan ibu termasuk dalam mengambil keputusan sangat diperlukan demi terciptanya interaksi baik dalam keluarga. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance) memiliki skor paling rendah dibandingkan dengan dimensi hubungan (relationship) dan dimensi perkembangan personal (personal growth). Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan dalam penerapan aturan-aturan dalam keluarga dan pengawasan dalam pelaksanaan aturanaturan tersebut.
Jika dikaitkan dengan penelitian Phayungkij (2004), maka
rendahnya dimensi pemeliharaan sistem ini kemungkinan dapat disebabkan karena adanya dominasi ayah atau dominasi ibu dalam pengambilan keputusan. Penerapan aturan dan pengawasan dalam pelaksanaan aturan akan berjalan dengan baik jika ayah dan ibu memiliki peran yang seimbang terutama dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan pemeliharaan sistem keluarga. Dalam pandangan McCubbin et al. (1997) yang diacu dalam Kalil (2003), resiliensi (ketahanan) di tingkat keluarga dapat meningkatkan resiliensi anak melalui serangkaian proses, ritual dan sistem nilai yang dianut dalam keluarga. Secara khusus, ketahanan keluarga dilihat sebagai dua proses yang berbeda tetapi saling terkait, yaitu: (1) adjustment, di mana keluarga berusaha mempertahankan faktor-faktor protektif dengan memelihara integritas, fungsi dan pemenuhan tugas perkembangan dalam rangka menghadapi risiko, dan (2) adaptation, di mana keluarga melakukan pemulihan faktor-faktor protektif agar memiliki kemampuan untuk "bangkit kembali" dan dapat beradaptasi dalam situasi krisis yang dihadapi keluarga.
92 Dalam kaitannya dengan ketahanan keluarga, hasil penelitian Sunarti (2001) menyimpulkan bahwa ukuran ketahanan keluarga yang sahih adalah yang menunjukkan kapasitas keluarga dalam memenuhi ketahanan fisik, ketahanan psikologis dan ketahanan sosial. Ketahanan sosial meliputi orientasi terhadap nilai agama, efektivitas berkomunikasi, tingkat komitmen keluarga dan hubungan sosial serta mekanisme coping, sedangkan ketahanan psikologis konsep diri dan pengendalian emosi.
meliputi
Konsep tersebut sejalan dengan
instrument yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan family environment scale. Jika pada penelitian yang dilakukan Sunarti (2001) menemukan bahwa aspek-aspek dalam ketahanan keluarga secara signifikan (p<0.05) mempengaruhi penambahan berat badan ibu hamil, maka pada penelitian ini ditemukan bahwa faktor keluarga dapat menjadi faktor pelindung dan mempengaruhi resiliensi remaja. Hal ini tentu saja menunjukkan betapa pentingnya keluarga dalam perkembangan individu bahkan sejak di dalam kandungan. Faktor lingkungan yang erat kaitannya dengan perkembangan remaja selain lingkungan keluarga adalah sekolah, teman sebaya dan masyarakat. Terciptanya hubungan yang baik, adanya harapan yang tinggi dari lingkungan kepada remaja dan partisipasi atau keterlibatan remaja dalam kegiatan di lingkungannya akan mendukung tercapainya tugas-tugas perkembangan remaja termasuk resiliensinya. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat korelasi positif antara faktor internal dan faktor eksternal dengan resiliensi, serta korelasi positif antara faktor internal
dan
masyarakat).
faktor
eksternal
(keluarga,
sekolah,
temann
sebaya
dan
Hal ini sesuai dengan teori ekologi Bronfenbrenner yang
menyebutkan bahwa microsistem memiliki dampak terbesar pada perkembangan anak.
Selain itu terdapat adanya interaksi dari komponen di dalam lapisan
mikrosistem yang juga dibuktikan melalui penelitian ini.
Penelitian serupa yang
dilakukan oleh LaFromboise et al (2006) tentang pengaruh keluarga, masyarakat dan sekolah terhadap resiliensi remaja menemukan bahwa
kehangatan ibu
dalam keluarga dan dukungan masyarakat mempengaruhi resiliensi remaja yang ditandai dengan adanya perilaku pro-sosial dan minimnya perilaku bermasalah. Penelitian ini membuktikan adanya pengaruh faktor internal, faktor teman sebaya dan faktor keluarga (p<0.05) dan faktor masyarakat (p<0.10) terhadap
93 resiiensi remaja. Dalam hubungannya dengan resiliensi, peran keluarga menjadi begitu penting.
Keluarga dapat memberikan dukungan bagi berkembangnya
faktor internal dalam diri individu sehingga dapat menjadi kekuatan personal yang juga cermin dari bentuk keberhasilan proses perkembangan. Remaja akan belajar untuk dapat mandiri, memiliki pendirian yang kuat, dapat mengambil keputusan dan tidak mudah menyerah dari internalisasi nilai-nilai, sikap dan pengalaman yang ada di dalam keluarganya. Penelitian pada remaja Indian Amerika menunjukkan bahwa kehangatan ibu dalam keluarga berkorelasi positif dengan resiliensi remaja (LaFromboise, et al. 2006). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa interaksi yang baik dalam keluarga akan mengurangi kemungkinan penggunaan obat-obatan terlarang (Hawkins, Catalano dan Miller 1992) dan dapat mempertahankan resiliensi dan meminimalisir kerentanan (Klarreich 1998, yang diacu dalam LaFromboise et al. 2006). Keluarga juga berperan dalam terjalinnya hubungan yang baik antara remaja dengan teman sebaya dan masyarakat di sekitarnya. Pilihan orang tua atas lingkungan rumah dan sekolah akan mempengaruhi remaja untuk memilih teman-temannya.
Orang tua juga akan memberikan contoh atau petunjuk
tentang cara putra putrinya membangun hubungan dengan teman sebaya, guru, tetangga atau masyarakat di sekitarnya. Menurut Masten (1994), yang diacu dalam Davis (1999), faktor resiko merupakan suatu karakteristik yang terdapat pada sekelompok individu terutama anak dan remaja, yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku yang tidak diharapkan seperti kenakalan atau keluar dari sekolah.
Pada
penelitian ini faktor resiko laki-laki berbeda dengan perempuan, namun tidak ada perbedaan dalam resiliensi yang dimiliki.
Hal ini kemungkinan disebabkan
karena mekanisme terbentuknya resiliensi pada laki-laki berlangsung lebih dinamis. Sebagai contoh, pada saat remaja, perempuan menjadi lebih rentan dibanding laki-laki dimana autonomy dan sikap asertif bukan lagi dianggap sebagai suatu aset yang menguntungkan sehingga mereka biasanya mulai tidak yakin lagi dengan dirinya. Sebaliknya, saat memasuki usia remaja, laki-laki lebih mampu melakukan coping sehingga pengalaman masa lalu tidak berdampak signifikan pada dirinya.
94 Pendekatan yang dilakukan pada penelitian resiliensi remaja dan yang membedakannya dengan kelompok individu lainnya adalah pendekatan pada upaya membangun resiliensi dari faktor-faktor yang mempengaruhinya sehingga resiliensi dapat dilihat sebagai sebuah investasi. Hal ini dapat menjelaskan tidak ditemukannya korelasi antara faktor resiko dan resiliensi pada penelitian ini. Resiliensi pada penelitian ini merupakan sebuah prediksi berdasarkan faktor potektif dan faktor resiko yang dimiliki oleh individu. Hal ini juga digambarkan dari penggunaan instrumen dari Resilience Youth Development Module yang mengukur aset yang dimiliki oleh individu berdasarkan faktor internal dan eksternal.
Dalam penelitian dapat dibuktikan bahwa aset tersebut dapat
berkembang menjadi faktor protektif (pelindung) bagi terbentuknya resiliensi sehingga resiliensi tersebut menjadi sebuah investasi yang sewaktu-waktu dapat dimunculkan apabila individu mengalami kondisi sulit.
95 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Resiliensi remaja dalam penelitian ini sudah cukup baik.
Sebanyak 72
persen komponen resiliensi telah dipenuhi oleh lebih dari tiga perempat contoh dalam penelitian.
Namun demikian, masih terdapat beberapa komponen
resiliensi yang perlu ditingkatkan antara lain
kemampuan untuk melakukan
sesuatu sendiri, ketenangan dalam melakukan pekerjaan, kemampuan untuk mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, kedisiplinan dan kemampuan melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang. Kemampuan untuk dapat bekerjasama dengan orang yang berbeda pendapat dan kemampuan mengatasi masalah dengan membicarakan atau menulis tentang apa yang dialami serta kemampuan melakukan banyak hal dengan baik, termasuk komponen faktor internal yang masih perlu ditingkatkan. Berkaitan dengan faktor protektif keluarga, maka dimensi system maintenance merupakan dimensi yang paling memerlukan perhatian karena masih kurangnya perencanaan dan peraturan yang diterapkan dalam keluarga. Berdasarkan kategorinya, prosentase terbesar contoh dalam penelitian ini memiliki faktor protektif internal dan faktor protektif eksternal (keluarga, sekolah, teman sebaya dan maayarakat) kategori sedang. Prosentase terbesar contoh memiliki faktor resiko rendah dan resiliensi kategori sedang. Perempuan memiliki faktor protektif teman sebaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, sebaliknya laki-laki memiliki faktor resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Remaja yang bersekolah di SMK memiliki faktor resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang bersekolah di SMA. Remaja di pedesaan memiliki faktor protektif masyarakat yang lebih tinggi daripada remaja di perkotaan. Analisis resiliensi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan resiliensi adalah faktor internal, faktor protektif keluarga, faktor protektif sekolah, faktor protektif teman sebaya dan faktor protektif masyarakat. Analisis regresi berganda menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap resiliensi remaja adalah faktor protektif internal, faktor protektif keluarga dan faktor protektif teman sebaya.
96 Saran Penelitian ini menunjukkan adanya korelasi positif antara faktor internal, faktor protektif keluarga, faktor protektif sekolah, faktor protektif teman sebaya, faktor protektif masyarakat dan resiliensi. Oleh karena itu disarankan beberapa hal kepada para peneliti, orang tua, remaja, sekolah, masyarakat dan pemerintah serta lembaga terkait dalam rangka meningkatkan resiliensi remaja. Bagi para peneliti, diperlukan kajian lanjutan yang lebih mendalam mengenai lingkungan keluarga dan resiliensi yang dikaitkan dengan aspek perkembangan lainnya, misalnya keterkaitan antara motivasi dan aktivitas remaja dengan resiliensi. Penelitian dapat dilakukan juga pada individu yang beresiko tinggi seperti pada anak-anak jalanan, anak-anak broken home atau anak-anak korban bencana. Bagi orang tua, perlu memperkuat ketahanan keluarga baik secara fisik maupun non fisik. Diperlukan perhatian, bimbingan dan dukungan yang lebih maksimal kepada para remaja agar faktor-faktor internal dalam dirinya dapat berkembang dengan baik dan dapat menjadikan remaja lebih resilien serta siap menghadapi kesulitan dan tantangan di masa yang datang. Bagi sekolah, hendaknya memperkuat sistem kelembagaan yang mengarah kepada terciptanya suasana sekolah yang nyaman, aman dan saling mendukung antarwarga sekolah.
Sekolah juga hendaknya mengakomodasi
kegiatan-kegiatan yang positif untuk mendukung terbentuknya remaja yang resilien, tidak mudah menyerah dan kuat menghadapi kesulitan.
Dengan
demikian diharapkan akan mengurangi faktor resiko yang mungkin akan terjadi. Bagi masyarakat, hendaknya menghidupkan kembali kegiatan-kegiatan remaja
seperti
karang
taruna,
remaja
mesjid
dan
kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan yang melibatkan remaja yang bersifat kreatif dan inovatif. Hal ini diperlukan agar masyarakat dapat menjadi pelindung bagi remaja terhadap intervensi hal-hal negatif yang semakin hari semakin banyak terjadi. Bagi pemerintah dan lembaga terkait, perlu memberikan dukungan terhadap penguatan ketahanan keluarga melalui program Pembangunan Pendidikan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera dengan adanya optimalisasi fungsi keluarga,yaitu fungsi sosialisasi, edukasi dan cinta kasih.
Dengan
demikian diharapkan faktor internal dan faktor eksternal yang ada, dapat menjadi
97 faktor protektif yang akan melindungi remaja dari efek negatif faktor resiko. Lebih jauh lagi, remaja sebagai generasi penerus bangsa dapat menyelesaikan tugastugas perkembangannya dengan optimal dan siap menjalankan roda kehidupan bangsa ini.
99
DAFTAR PUSTAKA Abar B, Carter KL, Winsler A. 2008. The effects of maternal parenting style and religious commitment on self-regulation, academic achievement and risk behavior among African-American parochial college student. Pennsylvania: The Association for Professionals in Services for Adolescents. [terhubung berkala]. www.elsevier.com [03 Agustus 2011] Agustiani H. 2006. Psikologi Perkembangan : Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: Refika Aditama Ahern NR. 2006. A review of instruments measuring resilience. Issues in comprehensive pediatric nursing Vol 29, 103-125. [terhubung berkala] http://www.proquest.com. [19 April 2011] Ahern. NR. 2007. Resiliency in adolescent college students. [thesis] etd.fcla.edu/CF/CFE0001627. [19 April 2011] Akhwan F. 2010. HDI Indonesia lebih rendah daripada Palestina. http://okefarid.wordpress.com. [22 Maret 2011] Ali M, Asrori, M. 2009. Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Aksara. Alimi RM. 2005. Resiliensi remaja high risk ditinjau dari faktor protektif (Studi di Kelurahan Tanah Tinggi Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat) [tesis]. Jakarta : Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Alriksson-Schmidt AI, Wallander J, Biasini F. 2007. Quality of life and resilience in adolescents with a mobility disability. Journal of Pediatric Psychology 32(3) pp. 370–379, 2007 Antara News 4 Juni 2010. Waspadai anak, hampir separuh penguna narkoba adalah pelajar. http://www.antaranews.com/. [10 Maret 2011] Ardi P. 2008. Hubungan antara citra diri (self image) dengan aspirasi kerja pada salesman [skripsi]. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah. [terhubung berkala]. http://etd.eprints.ums.ac.id [20 Oktober 2011] Ardias WS. 2008. Pengaruh orientasi masa depan di bidang pekerjaan, pendidikan dan pernikahan terhadap resiliensi pada remaja miskin [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia. Ariyanto. 2010. Masyarakat pedesaan dan perkotaan. [terhubung berkala] http://community.gunadarma.ac.id/. [21 April 2011] Arnett, JJ. 2007. Adolescence and Emerging Adulthood: a Cultural Approach. New Jersey: Pearson Education.
100
Atkinson RL., Atkinson RC, Hilgard ER. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
1983.
Introduction to Psychology.
Aufseeser D, Jekjelek S, Brown B. 2006. The family environment and adolescent well-being: exposure to positive and negative family influences. [terhubung berkala]. http://www.childtrends.org/Files/. [11 November 2010] Austin B, Bates S & Duerr M. 2010. Guidebook to the California Healthy Kids Survey 2010-2011 Edition. http://chks.wested.org/resources. [19 Mei 2011] Barankin T, Khanlou N. 2009. The power of resilience. [terhubung berkala] http://www.camh.net/ [30 Mei 2011] Benard B. 2004. Resiliency: what we have learned (Book overview, pdf version) [terhubung berkala]. www.proquest.com. [8 Agustus 2011] Benard B. 2007. Resiliency and Gender. Di dalam: Henderson N, editor. Resiliency in Action: Practical Ideas for Overcoming Risks and Building Strengths in Youth, Families and Communities. California: Resiliency in Action, Inc. Benard B, Slade S. 2009. Listening to students: Moving from resilience research to youth development practice and school connectedness. New York: Routledge. Brooks JB. 2001. Parenting. Ed ke-3. California: Mountain View. Bronfenbrenner U. 2002. Ecological theory. http://www.des.emory.edu. [20 Februari 2011]
[terhubung
berkala]
Budikusumo RA. 2009. Peran gender dalam strategi koping dan pengambilan keputusan serta hubungannya dengan kesejahteraan keluarga petani padi dan hortikultura di daerah pinggiran perkotaan [tesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Clark CA, Worthington EL. 1990. Family variables affecting the transmission of religious values from parents to adolescents: A review. In B. K. Barber & B. C. Rollins (Eds.), Parent-adolescent relationships (pp. 154-184). Lanham, Maryland: University Press of America. Chugani SD. 2006. Resiliensi ditinjau dari keterkatan antara faktor protektif eksternal dan asset internal. [tesis]. Jakarta : Universitas Indonesia Desifa. 2010. Teenagers and their problems. http://desifa.com/teenagers- andtheir-problems.html. [23 November 2010] Dahesihsari R. 1996. Keluarga sebagai pondasi ketahanan remaja dalam menanggulangi masalah. Jakarta, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. http:// isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/91964153.pdf [15 Januari 2011]
101
Davey M, Eater DW & Walters LH. 2003. Resilience processes in adolescent: personality profiles, self worth and coping. Journal of Adolescent Research (18), 4, 347-362. Davidoff LL. 1981. Introduction to Psychology. Ed ke 2. Tokyo : McGraw Hill-Kagakusha Davis N J. 1999. Subtance Abuse and Mental Health Services Administration Center for Mental Health Services Division of Program Development, Special Populations & Projects Special Programs Development Branch (301), pp.4432844. Status of Research and Research-based Programs. http://mentalhealth.samhsa.gov/schoolviolence/. [10 Maret 2011] Duffy KG. 2004. Adolescent Psychology. Iowa: McGraw-Hill. Erdem G. 2008. Test of resiliency models on depressive symptomatology among substance abusing runaways.[terhubung berkala]. http://rave.ohiolink.edu/etdc [29 Desember 2011]. Eshelman JR. 1991. Family. Boston: Allyn and Bacon Inc. Fergus S, Zimmerman MA. 2005. Adolescent resilience: a framework for understanding healthy development in the face of risk. Annu. Rev. Public Health 2005. 26:399–419 Furlong MJ, Ritchey KM, O’Brennan LM. Developing norms for California Resilience Youth Development Module: internal assets and school resources subscales [terhubung berkalat]. http://www.wesed/org/hks [23 Januari 2011]. Gillum RF, Gomez-Marin O, Prineas RJ. Racial differences in personality, behavior, and family environment in Minneapolis school children. Journal of the NationalMedical Association Vol 76, No 11, 1984. Gizir CA. 2004. Academic resilience: an investigation of protective factor contributing to the academic achievement of eigth grade student in poverty. [tesis]. The Graduate School of Social Sciences of Middle East Technical University. Goleman D. 1999. Kecerdasan Emosional. Hermaya T, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari : Emotional Intelligence. Granqvist, P. (2002). Attachment and religiosity in adolescence: Cross-sectional and longitudinal evaluations. Personality and Social Psychology Bulletin, 28, 260-270. Grothberg, E. 1995. A guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. The Series Early Childhood Development : Practice and Reflections. The Hague : Benard van Leer Voundation.
102
Guhardja S, Puspitawati H, Hartoyo, Hastuti D. 1992. Manajemen Sumberdaya Keluarga. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Bogor : Institut Pertanian Bogor
Gunarsa SD, Gunarsa Y. 1995. Psikologi Praktis: Anak Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia Hastuti D. 2008. Pengasuhan: Teori dan Prinsip serta Aplikasinya di Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hall, E. 1983. Psychology Today: An Introduction. Ed ke-5. Random House
New York :
Henderson N. 2007. Resiliency in Action : Practical Ideas for Overcoming Risks and Building Strengths in Youth, Families and Communities. California: Resiliency in Action, Inc. Hurlock EB. 1993. Psikologi Perkembangan. penerjemah. Jakarta: Erlangga.
Istiwidayanti & Sujarwo.
Hutapea EA. 2010. Gambaran resiliensi pada mahasiswa perantau tahun pertama perguruan tinggi di asrama UI : menggunakan resilience scale [tesis]. Depok: Universitas Indonesia. Kalil A. 2003. Family Resilience and Good Child Outcomes. A Review of a Literature. Wellington: Centre for Social Research and Evaluation. http://www.citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/ [23 November 2010] Kaplan HB. 1999. Toward an Understanding of Resilience: A Critical Review of Definitions and Models in Resilience and Development: Positive Life Adaptations. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers. Kaya, NG. 2007. The role of self esteem, hope ang external factors in predicting resilience among Regional Boarding Elementary School students. [terhubung berkala]. www.etd.lib.metu.edu.tr/. [ 23 Januari 2011] Krovetz ML. 1999. Fostering Resiliency. California: Corwin Press . LaFromboise TD, Hoyt DR, Oliver L, Whitbeck LB. 2006. Family, community and school influences on resilience among American Indian adolescent in the Upper Midwest. Journal of Community Psychology 34 (2), 193-209. Luvaas EL. 2010. Resilience in youth at-risk: challenge courses as interventions. Chico: California State University.[terhubung berkala] http://www.csuchico-dspace.calstate.edu/. [23 November 2010] Masten AS. 2001. Ordinary magic: Resilience processes in development. Journal of American Psychologist 56, 227-238
103
Megawangi R. 1999. Membiarkan Berbeda? Relasi Gender. Bandung: Mizan Pustaka
Sudut Pandang Baru tentang
Moos BS, Moos RH. 2009. Family environment scale. California: Mind Garden. [terhubung berkala]. www.mindgarden.com/products/fescs.htm [20 Januari 2011] Nugroho BA. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian Dengan SPSS. Yogyakarta: Andi. Nurfadillah. 2006. Pelatihan mengidentifikasi sumber-sumber resiliensi. [tesis]. Depok: Universitas Indonesia. Oktan V. 2010. Analysis of adolescent’resilince who are prepared for university exam. Educational Research-International [terhubung berkala]. http://www.interesjournals.org/ER [17 Maret 2011] Papalia DE, Olds SW, Feldman RD. 2008. Human Development. New York: Mc-Graw Hill Companies Phayungkij N. 2004. The family environment of bi-cultural adolescent at International Schools in Bangkok and Periphery. Bangkok : Mahidol University. [terhubung berkala]. www.li.mahidol.ac.th/thesis/ [23 November 2010] Puspitawati H. 2009. Kenakalan Pelajar Dipengaruhi oleh Sistem Sekolah dan Keluarga. Bogor: IPB Press. Rahmarina A. 2010. Pengaruh urutan kelahiran dengan kepribadian [terhubung berkala]. http://nulisdanmimpi.wordpress.com [06 Januari 2012] Reivich K, Shatte. 2002. The Resilience Factor. New York: Broadway Books Resnick MD, Bearman PS, Blum RW, Bauman KE, Harris KM, Jones J, Tabor J, Beuhring T, Sieving R, Shew M, Ireland M, Bearinger LH, & Udry R. 1997. Protecting adolescents from harm: Findings from the National Longitudinal Study on Adolescent Health. Journal of the American Medical Association, 278, 823-832. Rice N, Tucker SM. 1986. Family Life Management. New York: Macmilian Publishing Company. Robinson JP, Shaver PR. 1980. Measures of Social Psychological Attitudes. Michigan: Survey Research Center. Institute for Social Research. Rosyidah N. 2010. Perbedaan tingkat resiliensi pada remaja ditinjau dari urutan kelahiran [skripsi]. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. http://www.alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/ [23 November 2010] Ruhidawati C. 1995. Pengaruh pola pengasuhan, kelompok teman sebaya dan aktivitas remaja terhadap kemandirian [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor
104
Sanni IK. 2009. Hubungan dukungan sosial dengan resiliensi pada remaja SMU 1 Pangkah Tegal. Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. http://www.rac.uii.ac.id/.../pdf [30 November 2010] Santrock JW. 2003 Adolescence. Ed ke-6. Alih Bahasa: Adelar SB. Jakarta: Erlangga Sari Y. 2009. Pengaruh self esteem terhadap resiliensi pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia Sarwono SW. 1989. Psikologi Remaja. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Seifert KL, Hoffnung RJ. 1987. Child and Adolescent Development. Boston: Houghton Mifflin Company. Setyowati A. 2010. Hubungan antara kecerdasan emosional dengan resiliensi pada penghuni rumah damai [skripsi]. Semarang : Universitas Diponegoro. eprints.undip.ac.id/24783. [20 Agustus 2011] Steinberg L. 1993. Adolescence. Ed ke-3. New York: McGraw-Hill, Inc. Sunarti E. 2001. Studi ketahanan keluarga dan ukurannya: telaah kasus pengaruhnya terhadap kualitas kehamilan [disertasi]. Bogor : Institut Petanian Bogor Sunarti E. 2008. Program Pemerintah Terkait Penanggulangan Kemiskinan, Peningkatan Kesejahteraan dan Pemberdayaan Keluarga. Bahan Kuliah KKP, Departemen IKK, FEMA-IPB. Sun J dan Stewart D. 2007. Age and gender effects on resilience in children and adolescents. [terhubung berkala]. www.ingentaconnect.com/content/ [30 November 2010]. Tung S, Dhillon R. 2006. Emotional autonomy in relation to family environment: A gender perspective. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology Vol. 32 No.3, 201-212. [terhubung berkala] http://www.medind [2 Januari 2011] Turner JS, Helms DB. 1991. Lifespan Development. Florida: Holt, Rineart & Winstons Inc. Undang-Undang Republik Indonesia No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Ungar M. 2008. Resilience across Culture. British Journal of Social Work 38, 218-235 [4 Jan 2011]. Ungar, M. 2007. Contextual and cultural aspects of resilience in child welfare settings. [terhubung berkala]. www.uregina.ca/spr/prairechild/index.html [12 Januari 2011]
105
US Departement of Health and Human Services. 2009. aspe.hhs.gov/hsp/08/relationshipstrength/ report.pdf [03 Agustus 2011] U-Wen L. 2010. Women more resilient than men. [terhubung berkala]. http.www.Asiaone.com/Business/News/Office/Story/ [ 12 Januari 2011] Volia MS 2007. Gambaran resilience pada remaja korban bencana alam di Rumah Anak Madani. [tesis] Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. [terhubung berkala]. http://www.repository.usu.ac.id [29 Desember 2011] Wagnild GM. Young HM. 1993. Development and psychometric evaluation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement vol 1 No 2, 167-168. Wagnild GM. 2009. A review of Resilince Scale. Journal of Nursing Measurement. [terhubung berkala]. findarticfles.com/p/articles [20 Maret 2011] Wagnild GM. 2010. Discovering your resilience core. [terhubung berkala] http://www. Resiliencescale.com/papers/resilience_core.html [21 April 2011] Walsh, F. (2006) Strengthening Family Resilience (Second Edition). New York: The Guilford Press. [terhubung berkala]. http://winnebago.uwex.edu/ [20 Maret 2011] Widom CS, Kuhns JB. 1996. Childhood victimization and subsequent risk for promiscuity: prostituion and teenage pregnancy: A prospectictive study. American Journal Public Health 1996: 86: 1607 – 1612 Woolfolk AE. 1998. Education Psychology. Ed ke-7. Ohio: Allyn and Bacon. Woolley ME & Bowen GL. 2007. In the context of risk: Supportive adults and the school engagement of middle school students. Family Relations, 56, 92-104. Yuliatin. 2007. Resilience pelecehan seksual yang terjadi pada masa anakanak (childhood sexual abuse). [skripsi]. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. [terhubung berkala]. http://skripsi.umm.ac.id [30 November 2010]`
106
LAMPIRAN
107 Lampiran 1. Hasil uji beda pendapatan dan pendidikan orang tua berdasarkan jenis sekolah PDKAY
PDKIB
PENAY
PENIB
Mann-Whitney U
2.810E3 2.529E3 2.230E3 3.328E3
Wilcoxon W
7.088E3 6.807E3 6.508E3 7.606E3
Z
-3.859
-4.654
-5.521
-2.785
Asymp. Sig. (2.000 .000 .000 .005 tailed) Keterangan: PDKAY = pendidikan ayah; PDKIB = pendidikan ibu PENAY = pendapatan ayah; PENIB = pendapatan ibu
Lampiran 2. Hasil uji beda pendapatan dan pendidikan orang tua berdasarkan wilayah PDKAY
PDKIB
PENAY
PENIB
Mann-Whitney U
2.026E3 2.043E3 2.232E3 3.630E3
Wilcoxon W
5.942E3 5.959E3 6.148E3 7.546E3
Z
-6.212
-6.095
-5.507
-1.681
Asymp. Sig. (2.000 .000 .000 .093 tailed) Keterangan: PDKAY = pendidikan ayah; PDKIB = pendidikan ibu PENAY = pendapatan ayah; PENIB = pendapatan ibu
Resiliensi
Faktor resiko
Faktor masyarakat
Faktor teman sebaya
Faktor sekolah
Faktor keluarga
Faktor internal
Pendapatan ibu
Pendapatan ayah
Pendidikan ibu
Pendidikan ayah
Urutan lahir
Jenis sekolah
Wilayah
Jenis Kelamin
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation
1
0.515
-0.049
0
-.438
**
0.194
-0.097
0.001
.241
**
0.473
0.054
0.994
0.001
0.328
0.073
0.745
0.024
0.808
0.018
0.257
-0.085
0.52
-0.048
0.731
0.026
0.603
-0.039
0.936
-0.006
Jenis Kelamin
**
**
**
**
0.875
0.012
0.056
-0.142
0.037
-.155
*
0.121
0.116
0.22
0.092
0.179
0.1
0.363
0.068
0.009
.194
0
.384
0
.439
0
.463
0.211
-0.093
0.829
0.016
1
0.936
-0.006
Wilayah
0.955
0.004
0.001
.256
**
0.256
0.085
0.322
-0.074
0.725
-0.026
0.067
-0.136
0.276
-0.081
0.001
**
-.253
0
**
-.373
0
**
-.354
0
**
-.292
0.096
-0.124
1
0.829
0.016
0.603
-0.039
Jenis Sekolah
Lampiran 3. Hasil uji korelasi antar variabel penelitian
0.823
0.017
0.98
-0.002
0.529
0.047
0.918
-0.008
0.828
-0.016
0.239
0.088
0.757
0.023
0.841
0.015
0.341
-0.071
0.005
**
-.209
0.004
**
-.215
1
0.096
-0.124
0.211
-0.093
0.731
0.026
Urutan Lahir
**
**
**
**
0.84
0.015
0.31
-0.076
0.251
-0.086
0.124
0.115
0.042
.152
*
0.123
0.115
0.775
-0.021
0
.294
0
.482
0
.675
1
0.004
**
-.215
0
**
-.292
0
.463
0.52
-0.048
Pendidikan ayah
**
**
**
**
0.922
0.007
0.631
-0.036
0.029
-.163
*
0.414
0.061
0.368
0.067
0.788
0.02
0.91
-0.008
0
.380
0
.397
1
0
.675
0.005
**
-.209
0
**
-.354
0
.439
0.257
-0.085
Pendidikan ibu
**
**
**
**
0.533
-0.047
0.001
-.244
**
0.253
-0.085
0.141
0.11
0.771
-0.022
0.082
0.13
0.613
-0.038
0
.405
1
0
.397
0
.482
0.341
-0.071
0
**
-.373
0
.384
0.808
0.018
Pendapatan ayah
**
**
**
**
0.803
-0.019
0.117
-0.117
0.708
0.028
0.086
0.128
0.669
0.032
0.389
0.064
0.47
0.054
1
0
.405
0
.380
0
.294
0.841
0.015
0.001
**
-.253
0.009
.194
0.745
0.024
Pendapatan ibu
0
.619
**
0.218
-0.092
0
.326
**
0
.452
**
0
.463
**
0
.526
**
1
0.47
0.054
0.613
-0.038
0.91
-0.008
0.775
-0.021
0.757
0.023
0.276
-0.081
0.363
0.068
0.328
0.073
Faktor internal
0
.507
**
0.005
-.208
**
0
.482
**
0
.414
**
0
.482
**
1
0
.526
**
0.389
0.064
0.082
0.13
0.788
0.02
0.123
0.115
0.239
0.088
0.067
-0.136
0.179
0.1
0.994
0.001
Faktor keluarga
*
0
.445
**
0.852
0.014
0
.357
**
0
.583
**
1
0
.482
**
0
.463
**
0.669
0.032
0.771
-0.022
0.368
0.067
0.042
.152
0.828
-0.016
0.725
-0.026
0.22
0.092
0.473
0.054
Faktor sekolah **
0
.495
**
0.09
-0.126
0
.306
**
1
0
.583
**
0
.414
**
0
.452
**
0.086
0.128
0.141
0.11
0.414
0.061
0.124
0.115
0.918
-0.008
0.322
-0.074
0.121
0.116
0.001
.241
Faktor teman sebaya
0
.414
**
0.409
0.062
1
0
.306
**
0
.357
**
0
.482
**
0
.326
**
0.708
0.028
0.253
-0.085
0.029
*
-.163
0.251
-0.086
0.529
0.047
0.256
0.085
0.037
*
-.155
0.194
-0.097
Faktor masyarakat **
**
0.717
0.027
1
0.409
0.062
0.09
-0.126
0.852
0.014
0.005
-.208
**
0.218
-0.092
0.117
-0.117
0.001
**
-.244
0.631
-0.036
0.31
-0.076
0.98
-0.002
0.001
.256
0.056
-0.142
0
-.438
Faktor resiko
**
**
**
**
**
1
0.717
0.027
0
.414
0
.495
0
.445
0
.507
0
.619
0.803
-0.019
0.533
-0.047
0.922
0.007
0.84
0.015
0.823
0.017
0.955
0.004
0.875
0.012
0.515
-0.049
resiliensi
108