RESILIENSI RELAWAN DI PENGUNGSIAN KONFLIK SAMPANG Oleh: Arianingsih
[email protected] Intan Rahmawati Ika Herani
Abstract Many conflicts happen in Indonesia mostly caused by cultural differences. Conflict of beliefs in Sampang, Madura is one of the incidents in 2012 which is now in the process of recovery. The important factor in the recovery process is the volunteers who have resilience, an ability to endure, survive, and overcome such difficult situations. Therefore, this research is aimed to provide overview about the resilience of the volunteers who are consistently helping Sampang’s victim. This research uses case study-qualitative approach of two participants. The data collection methods used are interview, observation, and documentation. Then, the data is analyzed using coding, including open coding, axial coding, and selective coding. The result showed that two participants have the capacities indicating resilience: emotional regulation and impulse control, optimism, causal analysis, empathy, self-efficacy, and reaching out. Also, different intentions are found between two participants. First participant develops resilience caused by the call to help others in need, while the second participant develops resilience caused by the need of personal satisfaction as the result of helping the victims. Though, those different intentions encourage each of them to be consistently helping the victim. Key words: resilience, volunteer, Sampang’s conflict Abstrak Beragam konflik terjadi di Indonesia yang disebabkan oleh perbedaan budaya. Konflik antar aliran di Sampang, Madura merupakan salah satu konflik pada tahun 2012 yang sampai saat ini masih dalam proses pemulihan. Faktor yang berperan penting dalam proses pemulihan tersebut adalah relawan yang resilien, memiliki kapasitas untuk pulih dan kemampuan bertahan dalam kondisi yang sulit. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang resiliensi relawan yang masih bertahan dalam membantu korban konflik Sampang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang melibatkan dua subjek. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan koding berupa koding terbuka, koding aksial, dan koding selektif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua subjek memiliki kemampuan yang menggambarkan adanya resiliensi yaitu: regulasi emosi dan kontrol impuls, sikap optimis, kausal analisis, empati, self-efficacy, dan reachingout pada diri subjek. Selain itu, ditemukan intensi yang berbeda pada kedua subjek. Subjek pertama mengembangkan sikap resilien karena adanya keinginan untuk berguna bagi orang lain dan pada subjek kedua ditemukan kebutuhan untuk merasakan kepuasan diri secara personal dengan membantu orang lain. Meskipun demikian, intensi yang berbeda tersebut yang mendorong kedua subjek untuk tetap bertahan menolong korban pengungsian. Kata Kunci: resiliensi, relawan, Konflik Sampang 1
Latar Belakang Sampang merupakan salah satu daerah kabupaten di Pulau Madura. Daerah ini merupakan salah satu daerah pesisir Indonesia yang kaya akan hasil laut. Karena demografis daerah ini adalah daerah pesisir, maka keadaan di Sampang sangat kering, panas, dan penuh batuan kapur, sehingga penduduk Sampang juga banyak yang bermatapencaharian sebagai petani tembakau. Selain menjadi daerah yang terkenal akan hasil laut dan komoditas tembakaunya, daerah ini merupakan salah satu daerah rawan konflik di Indonesia. Walaupun mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam, namun konflik antar aliran sesama umat Islam masih sering terjadi di Sampang seperti konflik antar aliran Syiah dan Sunni (Syahputra, 2012). Mulai tahun 2011 sudah terjadi kasus Sampang 1 dimana kaum minoritas yaitu Syiah mengalami diskriminasi yang terjadi di desa Karanggayam. Setelah kasus Sampang 1 mereda, pada tahun 2012 akhir Agustus terdapat pembakaran 2 desa di Karanggayam yang dilakukan oleh kelompok Sunni pada fasilitas pemeluk Syiah, sehingga mereka terpaksa mengungsi di Gedung Olahraga Sampang. Realitas kemanuasiaan ini menggugah banyak lembaga baik pemerintahan maupun non-pemerintahan (LSM) maupun lembaga yang lain seperti Universitas dan lembaga independen untuk turut serta membantu permasalahan di Sampang, sehingga banyak relawan yang turut serta dalam membantu proses pemulihan dan pengaturan pengungsi di dalam GOR Sampang. Relawan bergerak atas misi kemanusiaan dan Hak asasi Manusia (Wawancara dan Observasi, 1 September 2012). Relawan ini datang dari berbagai daerah baik relawan lokal daerah Sampang dan Madura serta dari daerah lainnya seperti Surabaya, Malang, Semarang, dan lainnya (Wawancara dan Observasi, 1 September 2012). Relawan yang ada saat ini sangat terbatas jumlahnya dan logistiknya. Banyak relawan dari lembaga dan kelompok sosial lainnya yang sudah tidak bertahan dikarenakan adanya berbagai tekanan yang dirasakan relawan. seperti adanya kecurigaan dari aparat yang berwenang dan masyarakat sekitar, kejenuhan atas kegiatan yang monoton, beban kerja yang bertambah, dan lainnya (Wawancara dan Observasi, 1 September 2013). Jika dilihat dari besarnya kemungkinan relawan mengalami tekanan, maka sudah menjadi kebutuhan bila 2
organisasi relawan yang ada mengambil langkah-langkah sistematis untuk mengurangi stres anggotanya (Halimah & Widuri, 2012). Beban kerja yang berlebihan berkaitan dengan tugas pendampingan yang dilakukan, pertemuan dengan korban yang mengalami trauma, dan banyaknya kasus yang harus ditangani dapat memberikan efek negatif pada para relawan. Disadari ataupun tidak, penanganan terhadap korban yang mengalami trauma dapat membawa dampak emosional yang signifikan pula bagi relawan yang mendampinginya (Halimah & Widuri, 2012). Salah satu yang mempengaruhi tingkat stres relawan di pengungsian adalah adanya resiliensi pada masing-masing individu. Resiliensi merupakan kemampuan individu dalam mengatasi tantangan hidup serta mempertahankan kesehatan dan energi yang baik sehingga dapat
melanjutkan hidup secara sehat (Setyowati, 2010). Sudaryono (2007)
menjelaskan bahwa orang yang resilien tahu bagaimana harus menghadapi suatu masalah dan menemukan penyelesaiannya. Mereka tetap berkembang walaupun lingkungan berubah terubah terus-menerus dan mereka dapat beradaptasi dengan cepat serta mau belajar dari pengalaman. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana gambaran resiliensi relawan yang masih bertahan di GOR Sampang, termasuk di dalamnya bagaimana upaya relawan mengembalikan semangat ketika menghadapi kejenuhan dan berbagai masalah di pengungsian. Rumusan Masalah Rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran resiliensi relawan yang masih bertahan di pengungsian konflik Sampang? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah gambaran resiliensi relawan yang masih bertahan di pengungsian konflik Sampang.
3
Kajian Pustaka A. Resiliensi 1.
Pengertian Resiliensi Resiliensi merupakan aspek positif yang dimiliki oleh setiap individu. Menurut Ong
(Rinaldi, 2010), resiliensi adalah keberhasilan menyesuaikan diri terhadap tekanan yang terjadi. Penyesuaian diri menggambarkan kapasitas untuk membangun hasil positif dalam peristiwa kehidupan yang penuh tekanan atau kapasitas untuk pulih dengan cepat dari stresor lingkungan. Penyesuaian diri adalah membangun daya tahan dan mempertahankan batas antara tingkat emosi positif dan negatif yang menggambarkan kekuatan yang mendasari individu dalam kelenturan menyesuaikan diri. Resiliensi merupakan suatu proses dinamis yang mempengaruhi kapasitas seseorang untuk beradaptasi dan berhasil dalam mengatasi tekanan yang kronis dan kesengsaraan. (Reivich&Shatte, 2002). 2.
Tujuh Kemampuan yang Menggambarkan Resiliensi Menurut Reivich dan Shatte (2002), terdapat tujuh kemampuan yang menunjukkan
adanya resiliensi, yaitu: a. Regulasi Emosi (Emotional Regulation) Kemampuan untuk tetap terkondisi dan tenang dalam mengahadapi berbagai masalah dan tekanan. Individu mampu menunjukkan ekspresi emosi yang tepat dalam menghadapi masalah yang ada. b. Kontrol Impuls (Impulse Control) Kontrol impuls sangat berkaitan erat dengan regulasi emosi. Pengendalian impuls ini berkaitan dengan kemampuan untuk mengontrol keinginan, dorongan, dan tekanan dari dalam diri. c. Optimistik (Optimism) Keyakinan akan kehidupan dan keadaan yang lebih baik dan masalah hanya sementara. Individu yang optimis memiliki harapan terhadap masa depan dan keyakinan bahwa ia mampu mengontrol dan mengarahkan hidupnya ke arah yang lebih baik. Individu ini akan cenderung lebih produktif, lebih sehat, dan bahagia karena tidak mudah putus asa. 4
d. Analisis Kausal (Causal Analysis) Kemampuan mengidentifikasikan secara tepat atau menganalisa penyebab masalahmasalah yang sedang dihadapi sehingga tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Cara berpikir yang fleksibel menempatkan individu lebih mudah menyesuaikan diri dengan masalah yang ada. e. Empati (Empathy) Adanya kemampuan untuk memahami dan memiliki kepedulian terhadap orang lain. Menggambarkan sebaik apa seseorang melihat petunjuk dari orang lain berkaitan dengan kondisi emosional orang lain tersebut. f. Self-Efficacy Menunjukkan adanya kepercayaan atau keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi. Semakin sering individu dapat memecahkan masalahnya dengan baik, maka keyakinan dirinya akan meningkat. g. Reaching Out Menggambarkan adanya kemampuan untuk mengambil hikmah atau makna dari setiap peristiwa atau masalah yang dihadapi. Menunjukkan adanya keberanian untuk melihat masalah sebagai tantangan bukan ancaman dan adanya kemampuan pada seseorang untuk mencapai keberhasilan di dalam hidupnya. B. Relawan Slamet (2009) mengemukakan relawan adalah orang yang tanpa dibayar menyediakan waktunya untuk mencapai tujuan organisasi, dengan tanggung-jawab yang besar atau terbatas, tanpa atau dengan sedikit latihan khusus, tetapi dapat pula dengan latihan yang sangat intensif dalam bidang tertentu, untuk bekerja sukarela membantu tenaga profesional. Relawan tidak tergantung dari asal kelompok masyarakat maupun wilayah tertentu karena relawan tidak memperjuangkan kepentingan kelompok, agama, maupun wilayah tertentu (Halimah & Widuri, 2012).
5
C. Konflik 1.
Pengertian Konflik Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang
memiliki karakteristik yang beragam, mulai perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama, ras, kepercayaan, aliran politik, serta budaya dan tujuan hidupnya (Wirawan, 2010). Konflik terjadi karena adanya perbedaan atau pertentangan kepentingan, nilai, kepercayaan, dan perbedaan lain antar individu maupun kelompok. 2.
Konflik Sampang Konflik Sampang merupakan pertentangan yang terjadi atas adanya perbedaan keyakinan
dalam hal ini adalah kelompok Sunni dan Syiah. Perbedaan ini pada dasarnya sudah lama berlangsung di Sampang tetapi baru terjadi pergolakan yang cukup kuat pada tahun 2011 dan 2012. Konflik ini mengisukan tentang adanya penyimpangan ajaran Islam yang dilakukan oleh kelompok Syiah sehingga menimbulkan kegelisahan masyarakat Sampang yang religius (Syahputra, 2012). Walaupun konflik ini berakar pada perbedaan aliran keyakinan, namun pada kasus Sampang 2012 hal ini dipicu oleh masalah pribadi (Antara, 2012). Puncak dari konflik ini adalah adanya pembakaran yang dilakukan oleh kelompok Sunni pada rumahrumah penganut ajaran Syiah di desa Karanggayam dan desa Bluuran Kabupaten Sampang pada 26 Agustus 2012. Akibat dari pembakaran ini adalah terdapat 2 orang yang tewas, dan sekitar 250 orang mengungsi di GOR Sampang (Ainun, 2012). D. Resiliensi Relawan di Pengungsian Konflik Sampang Resiliensi merupakan sutau kemampuan individu untuk mengatur atau mengontrol emosi serta daya lenting atau kemampuan untuk pulih sehingga ia dapat bangkit dari masalah atau stress yang ia hadapi dan dapat menyesuaikan diri dengan baik. Pada relawan yang masih bertahan di daerah konflik Sampang merupakan relawan yang pantang menyerah dan tidak mudah putus asa. Mereka memiliki motivasi yang kuat sehingga masih bertahan untuk membantu pengungsi Sampang. Enrehreich dan Elliot (2004) dalam studinya menemukan banyak relawan yang telah kembali dari tugas ternyata tidak mendapatkan dukungan simpatik terhadap distres yang mereka alami. Hal ini menunjukkan bahwa masih rendahnya 6
penanganan psikologis terhadap relawan. Padahal relawan merupakan salah satu aspek yang penting dalam pemulihan daerah bencana dan konflik. Oleh karena itu, penting diketahui bagaimana resiliensi mereka sehingga mampu bertahan di daerah konflik yang dapat secara fisik dan psikologis membahayakan mereka karena di bawah lingkungan yang tidak aman dan berubah-ubah. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi kasus merupakan salah satu pendekatan dalam penelitian kualitatif yang didasarkan pada suatu kasus tertentu, fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut tanpa ada upaya untuk menggeneralisasinya (Poerwandari, 2009). Fokus penelitian ini adalah melihat gambaran resiliensi relawan yang masih bertahan di GOR Sampang, Madura. Teknik pengambilan subjek menggunakan purposeful sampling, dengan criteria subjek sebagai berikut: a.
Relawan yang berada di dalam GOR Sampang
b.
Menjadi relawan sejak kasus Sampang 1 yaitu Desember 2011 sampai kasus Sampang 2, bulan Agustus sampai saat ini.
c.
Mengetahui seluk-beluk konflik Sampang 1 dan 2 dan kondisi di dalam maupun di luar pengungsian Sampang. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi. Kemudian untuk
analisa data menggunakan teknik coding dengan menggunakan open coding, axial coding, dan selective coding. Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa MH dan DP merupakan relawan yang membantu proses pemulihan kasus Sampang sejak tahun 2011. Pada kedua subjek ditemukan ketujuh kemampuan yang menunjukkan resiliensi yaitu: regulasi emosi dan kontrol impuls, kemampuan analisis kausal, sikap optimis dan empati terhadap orang lain, memiliki selfefficacy di dalam diri mereka, serta kemampuan untuk memaknai dan mengambil hikmah atas setiap masalah yang mereka hadapi (reaching out). Selain itu, terdapat motif yang berbeda pada kedua subjek untuk menjadi relawan yaitu: MH menjadi relawan karena adanya 7
rasa kemanusiaan dan keinginan untuk berguna bagi orang lain sedangkan pada subjek DP yang sudah seringkali menjadi relawan memiliki motif untuk merasakan kembali kepuasankepuasan personal yang subjek dapatkan dengan membantu orang lain. MH dan DP memiliki beban tugas dan tanggung-jawab yang berbeda di dalam pengungsian, namun keduanya sama-sama merasakan banyaknya tekanan dari pihak lain serta rasa jenuh yang terjadi akibat kegiatan yang monoton. Meskipun demikian mereka memiliki strategi masing-masing untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi sehingga mereka tetap bertahan di pengungsian Sampang. Pembahasan Resiliensi merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu. Reivich & Shatte (2002) menjelaskan bahwa resiliensi merupakan suatu proses dinamis yang mempengaruhi kapasitas seseorang untuk beradaptasi dan berhasil dalam mengatasi tekanan yang kronis dan kesengsaraan. Oleh karena itu, setiap orang memiliki tingkat resiliensi yang berbeda-beda
tergantung
pada
setiap
karakteristik
masing-masing
individu
dan
pengalamannya. Seperti halnya para relawan yang berada di Sampang, mereka memiliki tingkat resiliensi yang berbeda-beda sehingga ada yang mampu bertahan dan tidak sedikit yang menyerah. Relawan yang berada di lingkungan konflik Sampang mengalami banyak tekanan di daerah konflik yang masih belum jelas penyelesaiannya. Oleh karena itu, banyak relawan yang memilih untuk tidak kembali membantu di Sampang. Namun, masih terdapat beberapa relawan yang bertahan baik relawan seperti MH dan DP. MH dan DP memiliki resiliensi yang digambarkan dari kemampuan-kemampuan dasar yang dimiliki subjek yang menggambarkan resiliensi yaitu adanya regulasi emosi dan kontrol impuls,
sikap optimis, kemampuan analisis kausal, empati, self-efficacy, dan reaching out.
Ketujuh kemampuan tersebut menggambarkan bagaimana subjek mampu menghadapi masalah dan tekanan yang ada sebagai wujud dari tantangan serta mendapatkan makna yang positif yang dapat memberikan kepuasan dan mengubah hidup mereka menjadi individu yang lebih baik dengan menolong orang lain.
8
Relawan seringkali terlalu terikat dengan korban dan merasa bertanggung-jawab penuh untuk menanggulangi masalah korban. Berkaitan dengan hal tersebut adalah adanya vicarious trauma yang seringkali dialami oleh relawan setelah selesai dari tugasnya. Pearlman& McKay (Halimah&Widuri, 2011) menjelaskan bahwa vicarious trauma adalah proses perubahan yang terjadi karena rasa peduli yang berlebihan pada orang lain yang sedang terluka (sakit) dan merasa bertanggung-jawab untuk segera menolong mereka, dari waktu ke waktu, proses ini dapat berdampak pada perubahan psikis, fisik, dan kesejahteraan spiritual. Relawan di daerah konflik dengan banyaknya tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan juga sangat rentan untuk mengalami vicarious trauma. Oleh karena itu, resiliensi individu yang merupakan kemampuan diri yang dimiliki oleh seseorang akan menentukan apakah individu tersebut akan mampu menyesuaikan diri atau malah menjadi korban tidak langsung dari suatu konflik. MH dan DP menunjukkan sikap bahwa ia masih mampu untuk mengatur sikapnya dan meregulasi emosinya sehingga ia tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi suatu persoalan di pengungsian. Selain itu, MH dan DP tahu apa yang harus ia lakukan untuk menyalurkan emosi yang mereka rasakan. Hal ini menunjukkan bahwa strategi mengatasi emosi sangat penting dimiliki oleh individu sehingga tidak terjebak dalam perasaan emosional yang mendalam dan mengalami vicarious trauma. Oleh karena itu pada dasarnya resiliensi individu berkaitan dengan karakteristik dan pengalaman individu. Bagaimana cara individu tersebut menghadapi dan memandang suatu masalah sebagai suatu tantangan sehingga individu mampu bangkit dari suatu masalah yang ia hadapi dan justru meningkatkan kualitas hidup individu. Resiliensi dapat ditingkatkan dan dipelajari sehingga setiap orang mampu memiliki resiliensi yang baik. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa terdapat motif yang berbeda di antara kedua subjek. MH mengabdikan diri agar menjadi individu yang berguna bagi orang lain terutama bagi orangorang di sekitarnya yang subjek anggap saudara. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Compton, 2005: “...people tend to report feeling happier when they pursued goals that had meaning for them personally....if one of those goals was to be more involved in their communities, then people also tended to feel greater well-being.
9
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa setiap orang mendapatkan keberhasilan dalam hidupnya akan lebih berbahagia untuk dirinya sendiri. Namun, ketika keberhasilan tersebut dibagi dengan orang lain atau di dalam suatu kelompok atau komunitas, maka individu akan merasa jauh lebih baik dan terjadi peningkatan well-being. Hal ini terjadi karena adanya kesadaran bahwa berada di dalam kelompok akan meningkatkan kesadaran untuk saling berbagi. Oleh karena itu, inilah yang mendorong MH untuk menjadi relawan, dengan menjadi bagian dari suatu komunitas atau kelompok, maka sujek akan menjadi lebih dihargai dan lebih berguna karena dapat saling berbagi dan saling membantu. Meskipun motif atau intensi yang mendorong DP dan MH berbeda dalam menjadi relawan, namun kedua motif tersebut yaitu: berguna bagi orang lain maupun kepuasan personal mengarah kepada perbaikan hidup yang lebih baik menuju subjective well-being. Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang lebih bermakna dari sekedar merasa senang. Hal ini juga ditunjang oleh kekuatan-kekuatan khas dan resiliensi individu sebagai karakter personal individu yang mampu mendorong mereka menjadi individu yang lebih baik. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan a.
Relawan konflik Sampang memiliki ketujuh kemampuan yang
menggambarkan
resiliensi yaitu regulasi emosi dan kontrol impuls, optimistik, kemampuan analisis kausal, empati, self-efficacy, dan reaching out, sehingga mereka dapat dikatakan sebagai individu yang resilien, yang mampu bertahan di dalam kondisi yang tidak menentu dan mendapatkan hikmah dari setiap kesulitan yang dihadapi. b.
Relawan menggambarkan kemampuan regulasi emosi dan kontrol impuls dengan adanya kontrol emosi dan pengalihan ekspresi emosi yang tepat ketika berada di pengungsian.
c.
Relawan juga memiliki kemampuan analisis kausal mereka berdasarkan kemampuan melihat apa yang menjadi penyebab masalah dan memiliki strategi-strategi yang berbeda dalam menyelesaikan masalah.
d.
Relawan memiliki sikap empati dan optimis dimana mereka memiliki keyakinan akan penyelesaian masalah sehingga mampu memahami keadaan pengungsi dan membantu mereka. 10
e.
Relawan juga memiliki kepercayaan terhadap diri mereka sendiri bahwa mereka bisa membantu pengungsi dengan optimal yang menunjukkan adanya self-efficacy.
f.
Selain itu, relawan mampu memaknai dan mengambil hikmah dari setiap masalah yang mereka hadapi di pengungsian walaupun terdapat alasan yang berbeda dalam membantu. Hal ini menggambarkan adanya Reaching Out pada kedua subjek.
g.
Relawan mampu menjaga kesehatan fisik dan psikologis mereka yang tergambar dalam 7 kemampuan resiliensi sehingga terhindar dari vicarious trauma, yaitu trauma yang seringkali terjadi akibat tanggung-jawab berlebih yang dirasakan oleh relawan.
h.
Selain itu, ditemukan kekuatan khas yang dimiliki oleh masing-masing relawan seperti keberanian, bersyukur, harapan, kemanusiaan dan cinta, dan lainnya sehingga mendukung mereka untuk tetap bertahan.
B. Saran 1.
Setiap individu yang ingin menjadi relawan hendaknya mengikuti pelatihan resiliensi terlebih dahulu, sehingga setiap orang mendapatkan gambaran akan apa yang akan dihadapi dan bagaimana mengatur emosi dengan baik sehingga terhindar dari vicarious trauma dan masalah lainnya.
2.
Adanya penelitian yang lebih beragam mengenai relawan sehingga penanganan psikologis terhadap relawan menjadi lebih terorganisasi dengan baik.
3.
Bantuan untuk bencana alam maupun konflik sebaiknya menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan korban dan relawan.
Daftar Pustaka Abarbanel, Janice. (2010). Moving With Emotional Resilience Between And Within Cultures. Journal of Health and Social Behaviour, 15, 320–327. Ainun, Yatimul. (2012). Penyelesaian Konflik Sampang Kuncinya Ada di Kyai Madura. Diakses tanggal 20 November 2012, dari http://www.kompas.com/konflik/penyelesaian-konflik-sampang-kuncinya-ada-di-kyaimadura Anonymous. (2012). Konflik Sampang Bukan Sunni Lawan Syiah. Diakses tanggal 20 November 2012, dari http://www.antaranews.com/konflik/konflik-sampang-bukansunni-lawan-syiah
11
Bernard. (2008). Emotional Resilience. Journal of Experimental Social Psychology, 27, 324– 336. Compton, William C. (2005). Introduction To Positive Psychology. United States of America: Thomson Wadsworth Publishing. Ehrenreich, J.H & Elliot, T.L. (2004). Managing Stress in Humanitarian Aid Workers: A Survey of Humanitarian Aid Agencies’ Psychosocial Training and Support of Staff. Journal of Peace Psychology, 10(1), 5-66 Gross, J.J., & Thompson, R.A. (2006). Emotion regulation: Conceptual Foundations. Handbook of emotion regulation. New York: Guilford Press. Halimah, Siti Nur., & Widuri, Erlina Listyanti.(2011). Vicarious Trauma Pada Relawan Bencana Alam. Jurnal Humanitas,IX(1) Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika Meier, Stephen., & Stutzer, Alois. (2004). Is Volunteering Rewarding Itself?. Journal of Personality and Social Psychology, 66, 56–68. Miles, Matthew B., & Hubermen, Michael A. (1992). Analisis Data Kualitatif. (diterjemahkan oleh: Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press Moleong, Lexy J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Pickett, G.Y. (1998). Therapist in Distress: An Integrative Look at Burnout, Secondary Traumatic Stress and Vicarious Traumatization. Disertasi, tidak diterbitkan, University of Missouri-St. Louis. Poerwandari, Kristi. (2009). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 Rehberg, W. (2005). Altruistic individualists: Motivations for international volunteering among young adults in Switzerland. International Journal of Voluntary and Nonprofit Organizations , 16(2), 109-122. Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills For Overcoming Life's Inevitable Obstacles. New York: Random House, Inc. Rinaldi. (2010). Resiliensi Pada Masyarakat Kota Padang Ditinjau Dari Jenis Kelamin. Jurnal Psikologi 3(2) Seligman, Martin E.P. (2005). Authentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif. (diterjemahkan oleh: Eva Yulia Nukman). Bandung: Mizan Setyowati, Ana. (2010). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Resiliensi Pada Siswa Penghuni Rumah Damai. Jurnal Kapai Edisi 43. Diakses tanggal 20 November 2012, dari http://jurnalkapaiedisi43-paper1.blogspot.com/ 12
Slamet, M. (2009). Voluntary Organization. Diakses tanggal 19 November 2012, dari margonoipb.files.wordpress.com/2009/03/8. volunteersm.ppt. Sudaryono. (2007). Resiliensi dan Locus of Control: Guru dan Staf sekolah Pasca Gempa. Jurnal Kependidikan, XXXVII(1). Syahputra, Anugrah Roby. (2012). Melacak Akar Konflik Sampang. Diakses tanggal 20 November 2012, dari http://belukaraksara.blogspot.com/ Wirawan. (2010). Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika
13