BAB III ANALISIS DATA
A. ANALISIS PUISI
1. Puisi TAN AH AIR MATA
(Karya Sutardji Calzoum Bachri) 1. Tanah airmata tanah tumpah dukaku 2. Mata air airmata kami 3. Airmata tanah air kami 4. di sinilah kami berdiri
5. menyanyikan airmata kami 6. 7. 8. 9.
di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami di balik etalase megah gedung-gedungmu kami coba sembunyikan derita kami
10. kami coba simpan nestapa 11. kami coba kuburkan dukalara
12. tapi perih tidak bisa sembunyi 13. ia merebak ke mana-mana
14. bumi memang tak sebatas pandang 15. dan udara luas menunggu 16. namun kalian takkan bisa menyingkir 17. ke mana pun melangkah 18. kalian pijak air mata kami 19. ke mana pun terbang 20. kalian kan hinggap di airmata kami 21. ke mana pun berlayar 22. kalian arungi airmata kami
23. kalian sudah terkepung 24. takkan bisa mengelak 25. takkan bisa kemana pergi 26. menyerahlah pada kedalaman airmata kami
(Republika, 15 Maret 1998)
n
7Q>
a. ANALISIS UNSUR PUISI
Puisi ini merupakan sajak kritik sosial tentang keperihan dan kesedihan yang terdapat di tanah air tercinta. Banyak kiasan tentang kepedihan dan kesenjangan sosial yang ada. Kata-kata yang digunakan di
antaranya: tanah air, airmata,
tanah tumpah dukaku, perih, di balik
etalase, gedung megah, derita, nestapa, kuburkan duka lara, terkepung, dan menyerah pada kedalaman airmata.
1) Denotasi dan Konotasi Pada larik 1 /tanah airmata tanah tumpah dukaku/ frase tanah air
mata merupakan gabungan kata tanah dan air mata. Secara denotasi, tanah berarti permukaan bumi yang di atas sekali, keadaan bumi di suatu tempat, atau daratan (KBBI:893); sedangkan airmata berarti air yang
meleleh dari mata (ketika menangis dsb) (KBBL12). Selain itu, frase tersebut mengandung makna konotatif atau makna tambahan bahwa tanah
merupakan kiasan dari negeri dimana
kita
menjadi warga
negaranya (KUNGBL261) sementara tanah itu dipenuhi dengan kesedihan dan penderitaan yang dikiaskan dengan adanya airmata. Selanjutnya pada frase lain, tanah tumpah dukaku merupakan kiasan dari tanah atau
negeri tempat menumpahkan atau mengadukan segala kedukaan. Pada larik ini ada permainan kata yang sengaja diciptakan oleh penyair untuk menambah keindahan bahasa puisinya. Frase tanah air dan frase airmata yang sudah kita kenal dipadukan hingga menjadi tanah airmata, demikian pula dengan frase tanah tumpah dukaku merupakan permainan kata dari
'*» 77
frase yang sudah biasa dikenal orang yakni tanah tumpah darahku yang merupakan frase pengganti dari tanah air yang tercinta. Pada larik 2 /mata air airmata kami/, frase mata air selain
mempunyai makna denotatif sumber air atau tempat air yang mengalir dari batuan atau tanah ke permukaan tanah secara alamiah (KBBL565) juga
dapat diartikan sebagai sumber kehidupan. Secara konotasi larik 2 dapat mengasosiasikan responsi emosional yang mengiaskan bahwa sumber kehidupan itu kini merupakan sumber airmata atau penderitaan yang memilukan.
Pada larik 3 /airmata tanah air kami/ kata airmata selain berarti air
yang meleleh dari mata ketika menangis juga mengandung arti tambahan sebagai kiasan dari kesedihan dan penderitaan, sedangkan tanah air berarti tanah tumpah darah atau negeri tempat kelahiran (KBBL894). Jadi, secara keseluruhan larik 3 menerangkan bahwa airmata atau kesedihan merupakan tanah air atau kehidupan bagi kami. Pada larik 4 dan 5 /di sinilah kami berdiri, menyanyikan airmata
kami/ tidak hanya memberikan makna denotatif bahwa mereka berdiri menyanyikan suatu lagu yang menumpahkan airmatanya melainkan
bermakna lain yang berupa kiasan bahwa di tanah kelahirannya tersebut mereka menyanyikan atau meneriakkan kepedihannya.
Larik 6-7 /di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami/ dan larik 8-9 /di balik etalase megah gedung-gedungmu kami coba sembunyikan derita kami/ menjelaskan bahwa di balik segala kesuburan,
m
kemakmuran, dan kemewahan yang ada dan dikandung tanah air masih
banyak juga rakyat yang menderita.
Kata gembur sesuai makna
kamusnya berarti berderai-derai tidak keras dan tidak padat (tentang
tanah) (KBBL267) sedangkan subur berarti gemuk (tentang tanah, yaitu banyak mengandung zat yang baik untuk tumbuh-tumbuhan) (KBBL862). Ada ungkapan ironis pada larik 6-7 ini bahwa di balik tanah yang gembur dan
subur
itu
yang
semestinya
kebahagiaan tetapi justru
menjadi
mengandung
tempat
kemakmuran
dan
menyimpan perih atau
kepedihan rakyat. Demikian juga dengan larik 8-9, etalase yang berarti tempat memamerkan barang-barang yang dijual (KBBL237) merupakan suatu tempat yang menawarkan segala kemewahan dan kemegahan
dengan segala barang dan gedung yang mewah pula. Etalase dan gedung yang megah merupakan lambang dari kemewahan,
yang
semestinya
kemajuan peradaban dan
menggambarkan
kemakmuran
dan
kebahagiaan tetapi justru mendatangkan perih dan penderitaan. Larik 10,11,12, dan 13 /kami coba simpan nestapa, kami coba
kuburkan dukalara, tapi perih tak bisa sembunyi, ia merebak ke manamana/ mengungkapkan bahwa mereka mencoba menyimpan kepedihan dan menguburkan duka lara namun usaha itu tidak berhasil bahkan
semakin merambat ke mana-mana. Kata nestapa berarti sedih sekali atau
susah hati (KBBI:613) yang digunakan merupakan ungkapan kesedihan yang dalam. Penggunaan kata merebak yang berarti menjalar, tersebar atau tersiar, dan meluas atau merembet (KBBL733) juga makin
-•.79
memperjelas arti bahwasanya kepedihan itu semakin meluas ke berbagai segi kehidupan.
Larik 14,15, dan 16 /bumi memang tak sebatas pandang, dan udara luas menunggu, namun kalian takkan bisa menyingkir/ mengiaskan bahwa biar bagaimana luasnya dunia ini tapi para penindas itu tidak akan bisa
melarikan diri. Ungkapan bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu mengiaskan keluasan dunia ini yang tidak hanya sebatas pandangan mata bahkan udara pun luas tak berbatas namun tetap saja tidak ada tempat untuk menyingkir dari si kami.
Larik 17-22 /ke mana pun melangkah, kalian pijak airmata kami, ke mana pun terbang, kalian kan hinggap di airmata kami, ke mana pun
beriayar, kalian arungi airmata kami/ mengiaskan bahwa kemana pun mereka melangkah ataupun pergi
mereka akan tetap melihat dan
berhadapan dengan kepedihan rakyat.
Penggunaan kata melangkah-
memijak, terbang-hinggap, dan berlayar-arungi merupakan kiasan dari berbagai cara mereka untuk melepaskan diri, baik melalui jalan darat, udara, dan laut namun tetap saja mereka selalu melihat airmata atau kepedihan.
Pada larik 23, 24, dan 25 /kalian sudah terkepung, takkan bisa
mengelak, takkan bisa ke mana pergi/, kata terkepung berarti dikelilingi sesuatu sehingga yang ada di dalamnya tidak dapat meloloskan diri
(KBBL422) dan kata mengelak berarti menghindar supaya jangan kena
dan melepaskan diri dari tuduhan (KBBL224). Ungkapan kalian sudah
STJ
terkepung, takkan bisa mengelak, takkan bisa kemana pergi untuk menyatakan bahwa mereka sudah tidak dapat meloloskan diri lagi atau pun menghindar serta pergi ke mana pun lagi. Untuk itu mereka harus
menyerah pada kedalaman airmata kami (larik 26). Menyerah berarti
berserah, pasrah, memberikan diri kepada yang berwenang, dan menurut saja (tidak melawan) (KBBL822) sedangkan arti mengaku
kalah
(tidak akan
melawan
lagi)
kiasannya adalah
(KBBL822).
Larik ini
mengiaskan bahwa mereka sudah seharusnya memahami arti kepedihan yang diderita rakyat dan sudah sepatutnya mereka memberikan bantuan.
2) Bahasa Kiasan Larik 1, 2, dan 3 menggunakan bahasa kiasan metafora yang merupakan kiasan langsung tanpa menyebutkan objek yang dikiaskan dan tanpa memakai istilah perbandingan. Tanah airmata merupakan kiasan dari tanah tempat hidup yang penuh penderitaan, tanah tumpah dukaku
merupakan kiasan dari tempat untuk mengadu dan menumpahkan segala duka, mata air merupakan perlambang dari sumber kehidupan, kiasan dari penderitaan,
dan airmata
airmata
tanah air kami melambangkan
kepedihan kini merupakan teman hidup mereka. Personifikasi merupakan gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda tak bemyawa, ide yang abstraks, atau hewan dan tumbuhan.
Personifikasi terdapat pada larik 6-9 dan larik 10-13.
Dinyatakan bahwa di balik gembur suburnya tanah dapat menyimpan keperihan, dan di balik etalase megah dari gedung-gedung yang mewah
81
telah menyembunyikan derita rakyat.
Demikian juga pada
larik
menyimpan nestapa, menguburkan duka lara, perih tidak bisa sembunyi, dan perih yang merebak ke mana-mana. Nestapa, duka lara, dan perih dianggap sebagai insan yang dapan disimpan, dikuburkan, sembunyi, dan merebak.
Larik 14 merupakan simile yang membandingkan bumi dengan
suatu hal yakni bumi adalah tempat yang luas yang tak sebatas mata memandang. Larik 15 menggunakan personifikasi dimana udara luas dikiaskan dapat menunggu seperti layaknya manusia. Larik 17-18 merupakan metafora yang mengiaskan bahwa
mana pun mereka melangkah mereka
menemukan penderitaan rakyat.
pasti
ke
berhadapan dan
Ungkapan memijak airmata kami
merupakan metafora dari penyaksian atas penderitaan dan kepedihan
yang ada. Larik 17-18 ini mempunyai makna yang sama dengan makna yang terdapat pada larik 19-20 serta larik 21-22. Sementara itu larik 26 yang menutup puisi ini menggunakan bahasa kiasan metafora, dimana ungkapan kedalaman airmata kami
merupakan perlambang dari betapa beratnya penderitaan yang mereka alami selama ini. Ungkapan menyerahlah pada kedalaman airmata kami mengiaskan bahwa hendaknya mereka menaruh simpati dan seharusnya
mempunyai sikap peduli kepada penderitaan yang mereka alami.
82
3) Citraan Larik 1,2, dan 3 /tanah airmata tanah tumpah dukaku, mata air
airmata kami, airmata tanah air kami/ mengandung citraan intelektual
yang menyiratkan bahwa tanah air yang mereka diami ini adalah tempat menumpahkan segala duka dan banyak kepedihan yang ada di sana.
Larik 4 merupakan citraan visual yang memperlihatkan bahwa mereka berdiri di atas tanah kelahiran mereka. Larik 5 mengandung
citraan auditory karena memperdengarkan nyanyian kesedihan yang penuh airmata. Larik 6 dan 8 merupakan citraan visual yang menggambarkan tentang betapa gembur dan suburnya tanah kelahiran mereka serta
kemewahan yang terdapat pada etalase megah di gedung-gedung di kota. Larik 7 dan 9 merupakan citraan Gustatory (rasa) yang mengungkapkan
betapa
perih
dan
pedih
dari
penderitaan
yang
dirasakan
dan
disembunyikan oleh mereka. Larik 10-13
mengandung citraan visual yang memperlihatkan
bagaimana sulitnya mereka
dalam menyimpan kedukaan, menguburkan
dukalara, menyembunyikan perih, yang justru makin merambat kemanamana.
Larik 17-22 merupakan citraan intelektual yang menyiratkan bahwa tetap
kemanapun mereka
melangkah, terbang, dan beriayar mereka
tidak bisa lepas dari menyaksikan penderitaan yang ada, yang
dikiaskan dengan citraan kata 'kalian pijak airmata kami'.
82
Larik 23-25 merupakan citraan visual yang menggambarkan bahwa mereka dalam keadaan yang terkepung, tak bisa mengelak, dan
tak bisa pergi kemana pun. Mereka terkepung tanpa ada kesempatan untuk meloloskan diri.
Larik penutup, larik 26, merupakan citraan intelektual yang
mengisyaratkan agar mereka menyerah pada kenyataan yang ada bahwa rakyat yang hidup di tanah air ini banyak yang mengalami penderitaan yang sangat hebat dan menyiksa dengan ungkapan 'menyerahlah pada kedalaman airmata kami'.
4) Gaya bahasa dan Sarana Retorika
Gaya bahasa Tautologi terdapat pada bait pertama puisi, yakni ada pengulangan kata yang mempunyai arti yang hampir sama, yakni tanah air mata dan tanah tumpah dukaku, yang kedua frase itu
menunjukkan
arti
bahwa
tanah
air
itu merupakan
tanah
yang
mendatangkan banyak kesedihan atau tanah tempat menumpahkan segala duka. Adapun maksud penggunaan kedua frase ini oleh pengarang adalah untuk menyatakan suatu keadaan secara lebih mendalam.
Gaya bahasa Kiasmus, yakni sarana retorika untuk menyatakan sesuatu dengan pengulangan dan salah satu bagian kalimat dibalik posisinya, terdapat pada bait kedua. Kata air mata pada larik kedua digunakan sebagai kata awal pada larik ketiga dan tidak hanya ada pengulangan kata tetapi juga penekanan bahwa mata air atau sumber
&\
kehidupan itu adalah airmata bagi mereka dan airmata atau kepedihan itulah yang menjadi tanah air atau menjadi teman hidup mereka. Gaya bahasa sinisme tampak pada bait ketiga yang tampak
merupakan sindiran terhadap kehidupan yang timpang, dimana mereka menyatakan bahwa di sinilah kami berdiri, menyanyikan airmata kami. Sedangkan pada bait keempat terdapat gaya bahasa Sarkasme yang merupakan sindiran pedas dan tajam. Mereka menyatakan bahwa di balik gembur subur tanahmu kami menyimpan perih kami, dan di balik etalase megah di gedung-gedung itujustru tersembunyi penderitaan kami. Sarana retorika repetisi yang termasuk Paralelisme paling banyak
digunakan. Banyak pengulangan kata-kata, baik di awal (anafora) ataupun di akhir lariknya (epistrofa) seperti yang terdapat pada bait-bait berikut ini. Kata kami pada bait kedua, klitika -mu dan kata kami pada bait keempat, serta frase air mata kami pada
bait keenam (larik 18, 20,dan 22)
merupakan epistrofa atau pengulangan kata di akhir larik. Sementara itu anafora atau pengulangan kata atau frase di awal kalimat meliputi pengulangan kata di balik dan kami pada bait keempat, frase kami coba pada bait kelima (larik 10-11), kata ke mana pun (larik 17, 19, 21) dan kalian (larik 18, 20, 22, 23), dan kata takkan bisa (larik 24,25).
Puisi ditutup dengan larik yang menggunakan gaya bahasa
sarkasme yang menyindir secara tajam seperti pada larik: menyerahlah pada
kedalaman
airmata
kami,
yang
menyiratkan
makna
agar
85
ditumbuhkan rasa peduli pada penguasa terhadap penderitaan yang diderita oleh rakyatnya.
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks dalam puisi Tanah Air Mata karya Sutardji Calzoum Bachri ini adalah tanah air dan air mata. Kedua kata ini saling
berkaitan erat dengan pokok masalah yakni tanah air yang dipenuhi oleh airmata atau kepedihan. Tanah air yang merupakan tanah kelahiran dan tanah tumpah darah yang harusnya dicintai dan dijaga dengan segenap jiwa dan raga, serta tempat mencari kehidupan yang aman sentosa, temyata merupakan tanah tempat menumpahkan segala duka, air mata,
dan kepedihan dan tempat untuk merasakan segala kesedihan dan kesengsaraan hidup. 2) Pembacaan Heuristik Pembacaan heuristik
adalah pembacaan sajak berdasarkan
konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa
sebagai sistem semiotik tingkat pertama atau pembacaan menurut struktur
normatif bahasa. Pembacaan heuristik puisi Tanah Air Mata adalah sebagai berikut. Bait Pertama
Tanah (yang dipenuhi oleh) air mata (ini adalah) tanah (tempat me-) ) tumpah (-kan segala) dukaku. (Bagaikan) mata air (banyaknya) air mata
• 86
kami. (Sekarang tanah yang penuh) air mata (itu yang menjadi) tanah air kami. Bait Kedua
Di sinilah kami berdiri (untuk) menyanyikan airmata kami. Bait Ketiga Di balik (ke-)gembur(-an dan ke-) subur (an) tanahmu, kami (me-)
simpan (ke-) perih (-an) kami. Di balik etalase megah (yang ada di)
gedung-gedungmu, kami (men-) coba (me-) sembunyikan derita kami. Bait Keempat
Kami (men-) coba (me-) simpan nestapa, kami (men-) coba (me-) kuburkan duka lara, tapi (perasaan) perih (itu) tidak bisa (di-) sembunyikan (sehingga) ia merebak ke mana-mana. Bait Kelima
(Kami tahu), bumi (ini) memang tak sebatas pandang (-an mata) dan udara (yang) luas (telah) menunggu, namun kalian takkan bisa menyingkir (dari
kami). Ke mana pun melangkah, kalian (me-) pijak
airmata kami. Ke mana pun terbang, kalian (a-) kan hinggap di (atas genangan) airmata kami. Ke mana pun berlayar, kalian (pun meng-) arungi airmata kami. Bait Keenam
Kalian sudah terkepung. (Kalian) takkan bisa mengelak dan takkan
bisa (pergi) kemana (pun kalian ingin) pergi. (Kalian) menyerahlah pada kedalaman airmata kami.
•87
Dari hasil pemaknaan puisi dengan cara pembacaan heuristik atau pembacaan sajak berdasarkan konvensi bahasa didapatkan beberapa keterangan.
Kurangnya pemakaian imbuhan baik itu awalan, akhiran, atau pun gabungan antara awalan-akhiran seperti: me-, me-kan, ke-an, di-, di-kan. Sementara itu juga ada kekurangan penggunaan unsur pola kalimat baik subjek, predikat, objek, atau pun keterangan pada beberapa kalimat
lariknya. Perlu penambahan kata penghubung (adalah, untuk, sehingga), kata depan (di atas), dan kata bantu perbandingan (bagaikan).
3) Pembacaan Retroaktif (Hermeneutik) Pembacaan retroaktif adalah pembacaan ulang dari awal sampai
akhir dengan penafsiran atau pembacaan hermeneutik. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (puisi). Bait Pertama
Dalam bait pertama ini dijelaskan tentang keberadaan tanah tumpah darah
dan
tanah
kelahiran
yang
dipenuhi
olah
kepedihan
dan
kesengsaraan. Ungkapan pada bait ini merupakan ironi yang menyatakan
bahwa tanah yang bagaikan basah karena penuh tumpahan airmata itu
merupakan tanah tempat menumpahkan segala dukaku. Segala duka, kepedihan, dan lara yang ada itu menyebabkan banyak airmata yang menggenang sehingga penuh bagai genangan mata air. Sekarang tanah
yang penuh air mata dan kepedihan itulah yang menjadi tanah air yang
kami tinggali dan tempat kami hidup.
88.
Bait Kedua
Di tanah yang sangat mereka cintai inilah mereka berdiri untuk
menyanyikan airmata atau mengadukan segala kedukaan dan kepedihan yang mereka alami. Bait ketiga
Kepada tanah air yang tercinta ini mereka mengadukan kedukaan
yang tampak kontras dengan kenyataan yang ada. Mereka mengatakan bahwa di balik kegemburan dan kesuburan tanah tercinta ini mereka justru
tidak dapat menikmatinya bahkan mereka justru merasakan segala keperihan karenanya. Juga ketika pembangunan semakin menjamur di mana-mana
dengan
berdirinya
gedung-gedung
bertingkat
serta
kemodeman dan kemewahan lainnya, di antaranya dengan semakin merebaknya kemewahan yang ditampilkan di balik etalase-etalase yang
menggiurkan membuat
penderitaan yang mereka alami seolah dapat
disembunyikan. Bait keempat Walaupun segala cara telah mereka lakukan, seperti mencoba
menyimpan nestapa dan menguburkan duka lara namun perasaan perih itu tidak bisa disembunyikan sehingga ia merebak kemana-mana dan
semakin memenuhi segala bidang kehidupan. Bait kelima
Mereka menyadari bahwa bumi ini sangat luas yang tidak hanya sebatas mata dapat memandang dan udara pun sangat luas dan bebas,
ay' •
namun hal itu bukan alasan bagi para penguasa dan penghianat bangsa
untuk bisa bebas atau menyingkir begitu saja dari segala kepedihan yang ada.
Ke manapun mereka melangkah, terbang, ataupun beriayar atau
apa pun yang mereka lakukan, mereka tetap tak bisa melepaskan diri dari kesengsaraan yang telah ditimbulkan oleh mereka. Bait keenam
Mereka mengatakan bahwa para penguasa dan penghianat bangsa itu sudah terkepung, tidak bisa mengelak, dan tidak bisa pergi kemana pun mereka ingin pergi. Secara hati nurani, mereka sepenuhnya meminta agar mereka dapat tersentuh akan penderitaan mereka, memiliki tenggang rasa dan rasa kasih sayang kepada saudara sebangsa, dan turut
merasakan kedukaan yang saudaranya alami itu.
2. Puisi MENGHANYUTKAN DONGENG DI BENGAWAN SOLO
Karya: Mustafa W. hasyim 1.
Membendung arus
2.
Sambil menebang pohon
3. 4.
Tanah terkelupas Mengalir ke sungai
5. 6.
Dongeng Hanyut
7. 8.
Racun pabrik Menyentuh ikan
9. Jangan bernyanyi 10. Di sini pemakaman
90
11. Seorang Gesang 12. Melawan masa depan 13. Anak-anak
14. Melupakan waktu (Republika, 1 Maret1998) a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi Kata-kata yang dipakai dalam puisi ini menggambarkan suasana
sungai, seperti: arus, mengalir, membendung, hanyut, racun pabrik, dan ikan.
Kata-kata itu ada yang bermakna denotasi dan ada pula yang
bermakna konotasi.
Larik 1 mengandung makna denotatif. Kata membendung berarti
mengempang aliran (sungaij sehingga airnya tertahan atau terkumpul untuk disalurkan ke tempat lain (KKBL101) dan arus berarti gerak air yang mengalir (KKBI.50). Ungkapan membendung arus berarti menahan aliran atau gerakan air sungai yang biasanya dilakukan pada sungai-sungai yang deras untuk menghindarkan erosi.
Sementara larik 2 juga bermakna denotasi yang menjelaskan bahwa untuk membendung arus itu dilakukan usaha dengan cara menebang pohon.
Larik 3 dan 4 bermakna denotasi. Kata terkelupas bermakna terkuliti atau teriepas kulitnya (KBBL413), jadi tanah terkelupas bermakna tanah menjadi terkuliti atau teriepas dari daratannya dan jatuh terbawa
arus ke dalam sungai.
91'
Larik 5-6 merupakan konotasi. Kata dongeng pada puisi ini bukan dimaknakan sebagai sebuah cerita yang tidak benar-benar terjadi
(KBBL212) melainkan
lebih
pada
cerita
yang
dikaitkan
dengan
kemegahan dan kemashuran Bengawan Solo pada masa dahulu. Pada zaman dulu kemashuran sejarah Bengawan Solo sering dijadikan
dongeng pengantar tidur bagi anak-anak yang membuat mereka makin
mencintai kota kelahirannya. Pada larik 5-6 ini,
dongeng hanyut,
merupakan konotasi bahwa dongeng-dongeng tentang kemegahan dan kemashuran Bengawan Solo itu telah hilang. Pada larik 7-8, kata racun bermakna denotatif zat yang dapat
menyebabkan sakit atau mati (kalau dimakan atau dihirup) (KBBL718),
juga merupakan konotasi yang menyiratkan bahwa limbah pabrik yang dibuang ke sungai
telah menyebabkan ikan-ikan menjadi musnah dan
menyebabkan ekosistem sungai
menjadi
terganggu.
Racun pabrik
merupakan konotasi dari limbah pabrik , dan kata menyentuh untuk menggantikan ungkapan membunuh atau memusnahkan. Larik 9-10 juga merupakan konotasi. Sehubungan dengan larik
ini.ada nyanyian yang sudah terkenal sejak dulu tentang kemashuran Bengawan Solo yang diciptakan oleh Gesang.
Sering kali orang
menyanyikan lagu tersebut untuk mengungkapkan keindahan sungai ini. Ungkapan jangan menyanyi, di sini pemakaman merupakan kiasan agar jangan menyanyikan keindahan tentang Bengawan Solo lagi karena
sekarang sungai tersebut sudah tercemar dan tak indah lagi, bahkan
92
sudah menguburkan banyak kenangan hingga dikiaskan sebagai sebuah pemakaman.
Larik 11-12 mengungkapkan konotasi tentang seorang Gesang
yang
dianggap telah mencoba melawan masa depan sehubungan
dengan hal-hal yang dituturkannya dalam lagu Bengawan Solo. Dalam
lagu tesebut Gesang mengungkapkan indahnya Bengawan Solo
yang
menjadi perhatian insani. Di musim kemarau tak seberapa airnya,
sedangkan di musim hujan airnya meluap sampai jauh.
Mata airnya
berasal dari kota Solo yang terkurung gunung Seribu yang mengalir ke laut. Yang dulu banyak perahu-perahu yang digunakan oleh para pedagang yang berlabuh di sana telah membuat sungai itu ramai dan semarak. Yang kemudian semakin membuat kota Solo (dulu Keraton Solo) makin terkenal. Larik akhir, larik 13-14,
bahwa anak-anak melupakan waktu
merupakan konotasi. Anak-anak merupakan konotasi dari generasi muda. Ungkapan melupakan waktu merupakan kiasan bahwa generasi muda itu makin tidak peduli pada peninggalan atau kekayaan masa lalu. Mereka mulai melupakan kemashuran dan kekayaan bangsa yang semestinya hingga kini tetap harus diwarisi dan dijaganya.
2) Bahasa Kiasan
PuisiuMenghanyutkan Dongeng di Bengawan Solo" menggunakan beberapa metonimia.
bahasa kiasan, seperti: personifikasi, metafora, ironi, dan
93
Gaya bahasa personifikasi
terdapat pada
larik 5-6 /dongeng
hanyut/. Pada larik ini dongeng diumpamakan sebagai ide abstrak yang memiliki dan berbuat seolah-olah insan yang dapat hanyut. Larik dongeng
hanyut ini mengiaskan
bahwa
dongeng tentang kemashuran dan
kemegahan Bengawan Solo ini telah pudar bahkan hilang dan tidak dikenal lagi.
Gaya bahasa personifikasi juga terdapat pada larik 7-8, dimana racun pabrik dikenakan sifat seperti manusia yakni dapat menyentuh ikan. Selain itu juga terdapat metafora karena racun pabrik merupakan kiasan dari limbah industri yang dibuang ke sungai secara sembarangan dan
ikan merupakan perlambang dari komunitas sungai secara keseluruhan yang diwakili oleh kata ikan. Kata menyentuh yang digunakan untuk
menggantikan kata memusnahkan atau meracuni merupakan eufimisme dengan maksud untuk memperhalus ucapan. Gaya bahasa ironi yang mengungkapkan suatu perbandingan yang
tampak bertentangan dengan kenyataan
terdapat pada larik 9-10 dan
larik 13-14. Larik Ijangan bernyanyi, di sini pemakaman/ merupakan
pernyataan Bengawan
sindiran agar tidak bernyanyi Solo)
karena
di
sungai
itu
(berkaitan sekarang
dengan lagu sudah
menjadi
pemakaman. Pemakaman pada larik ini juga merupakan metafora dari tempat penguburan ikan dan komunitas sungai lainnya yang sudah mati karena tercemar limbah pabrik. Larik /anak-anak melupakan waktu/ juga
merupakan sindiran terhadap keadaan anak sekarang yang mulai tidak
94
mengingat sejarah bangsanya lagi. Anak-anak merupakan metafora dari
generasi muda zaman sekarang dan melupakan waktu merupakan kiasan atas kealpaan dan keengganan generasi muda dalam
memelihara
warisan kekayaan budaya bangsanya di masa lampau.
Pada larik 11 digunakan gaya bahasa metonimia, yakni gaya bahasa yang memakai nama ciri atau hal yang ditautkan dengan suatu
hal.
Ungkapan seorang Gesang
merupakan
metonimia untuk
menggantikan atau menautkan bahwa nama Gesang ada kaitannya
dengan Bengawan Solo. Gesang adalah pencipta lagu Bengawan Solo yang mengisahkan tentang keindahan dan kemashuran sungai tersebut. Lagu ini cukup populer di Indonesia, bahkan Gesang pernah mendapat kehormatan untuk tampil di Jepang
untuk membawakan lagunya ini.
Sudah menjadi suatu hal yang cukup umum, bila orang membicarakan
Bengawan Solo maka orang akan ingat Gesang, sebaliknya orang akan
mengingat Bengawan Solo bila mendengar nama Gesang. 3) Citraan
Citraan visual dapat kita nikmati pada larik 1-2 dan 3-4. Melalui larik-larik puisi /membendung arus sambil menebang pohon/ dan ftanah
terkelupas, mengalir ke sungai/ kita seolah dapat melihat arus sungai yang sangat deras sehingga perlu di bendung. Kita juga dapat melihat pohonpohon yang ditebang untuk membendung arus tersebut. Selanjutnya kita
juga seolah dapat melihat tanah-tanah yang terkelupas atau terkikis karena derasnya arus tersebut hingga akhirnya tanah mengalir ke sungai.
%
Pada larik 9-10
terdapat citraan auditory
sehingga kita
merasakan suasana yang hening dan mencekam tanpa adanya suara. Hal
ini terungkap dari larik /jangan menyanyi, di sini pemakaman/ yang bermaksud melarang bernyanyi karena di situ daerah pemakaman. Citraan intelektual terdapat pada larik 5-6, 7-8, 11-12, dan 13-14.
/Dongeng hanyut/, /racun pabrik menyentuh ikan/, /seorang Gesang melawan masa depan/, dan /anak-anak melupakan waktu/ merupakan
citraan angan yang mengiaskan sesuatu makna. Dongeng hanyut tidak bisa diartikan kita melihat sebuah dongeng hanyut di sungai melainkan gambaran intelektual dari hilangnya dongeng tentang kebesaran nama
Bengawan Solo.
Racun pabrik pun tidak dapat disaksikan sedang
menyentuh ikan melainkan citraan yang diperhalus untuk menyatakan bahwa racun tersebut telah mencemari ekosistem sungai.
Seorang
Gesang juga tidak dapat dilihat sedang melawan atau bertarung dengan masa depan atau anak-anak melupakan waktu seperti lupa waktu belajar
ataupun sholat. Kesemuanya hanya citraan angan yang melambangkan makna bahwa Gesang tampak bersusah payah mempertahankan lagunya yang mengungkapkan tentang keindahan Bengawan Solo di masa lalu
sedangkan di masa sekarang (mungkin di masa depan) keindahan itu sudah dilupakan orang atau generasi muda bangsa. 4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Gaya bahasa dan sarana retorika yang digunakan dalam puisi ini sebagian besar adalah Enumerasi. Enumerasi atau penjumlahan adalah
3fc
gaya bahasa memecah hal atau cerita menjadi beberapa bagian dengan tujuan untuk memperjelas hal tersebut. Enumerasi terdapat pada bait pertama, bait kedua, bait ketiga, bait keempat, bait keenam, dan bait ketujuh. Gabungan dari bait-bait itu menuturkan sebuah cerita tentang keadaan Bengawan Solo di masa sekarang yang memprihatinkan dan kemashurannya dulu tinggal menjadi kenangan indah. Selain itu, bait kelima menggunakan gaya bahasa ironi yang merupakan sindiran dengan cara berolok-olok. Dikatakan agar jangan
bernyanyi (jan9an menyanyikan tentang keindahan Bengawan Solo seperti syair yang terdapat dalam lagu yang diciptakan oleh Gesang) karena sekarang sungai ini hanya merupakan sebuah pemakaman atau
tempat mengubur ikan-ikan dan kejayaan yang telah musnah.
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks dalam puisi Menghanyutkan Dongeng di Bengawan Solo adalah keberadaan Bengawan Solo itu sendiri. Yakni,
keadaan dan eksistensi Bengawan Solo pada masa sekarang ini, yang tentunya
mengalami
banyak
perubahan,
baik
keadaan
maupun
kemegahannya, dari sungai yang terkenal di jaman dahulu menjadi sungai yang penuh kenangan saja di masa sekarang.
9?
B. Pembacaan Heuristik
Bait pertama
(Mereka) membendung arus (di sungai) sambil menebang pohon (yang ada di sana). Bait kedua
Tanah terkelupas, dan mengalir ke (dalam) sungai. Bait ketiga
Dongeng (tentang keindahan dan kemegahan sungai itu pun ikut) hanyut. Bait keempat
Racun
(yang
berasal dari
limbah)
pabrik,
menyentuh
(dan
memusnahkan komunitas) ikan (yang hidup di sungai itu). Bait kelima
Jangan bernyanyi, (karena) di sini (tempat) pemakaman! Bait keenam
Seorang (pencipta lagu yang bernama) Gesang, (telah) melawan masa depan.
Bait ketujuh Anak-anak (pun mulai) melupakan waktu ( tentang kemegahan
masa lalu). Pada pembacaan heuristik ini ada beberapa hal yang perlu
ditambahkan, terutama kelengkapan
unsur kalimat seperti:
subjek,
predikat, keterangna, dan anak kalimat pengganti subjek. Perlu pula
"98
kiranya ditambahkan kata bantu (dalam dan tempat), namun pemakaian imbuhan pada kata-katanya tidak memerlukan penambahan karrena katakatanya sudah memakai awalan yang lengkap.
C. Pembacaan Retroaktif
Secara keseluruhan puisi ini merupakan sebuah ironi. Judulnya, Menghanyutkan Dongeng di Bengawan Solo, sudah mengisyaratkan bahwa sebuah dongeng tentang kemashuran Bengawan Solo di masa lalu
kini seolah hilang dan ikut terhanyut di kederasan aliran sungai tersebut. Diceritakan dalam puisi ini bahwa untuk membendung arus yang mengalir deras di sungai itu dilakukan dengan cara menebang pohon yang
ada di sana. Cara seperti ini menyebabkan tanah menjadi terkelupas dan mengalir ke dalam sungai sehingga dapat menyebabkan erosi. Dan
dongeng tentang keindahan dan kemegahan sungai itu pun ikut pula terhanyut.
Selain itu, racun yang datang melalui limbah pabrik tampak
menyentuh dan membuat komunitas dan perkembangan ikan dan kehidupan di sungai itu ikut musnah. Ada seruan, jangan bernyanyi atau di larang bernyanyi di sini (di sungai ini) karena kini sungai tersebut
merupakan sebuah tempat pemakaman bagi kehidupan sungai dan bagi kemashuran sungai tersebut.
Gesang, seorang pencipta lagu, yang menciptakan lagu 'Bengawan Solo'. Lagu ini tidak hanya terkenal di dalam negeri dan menjadi lagu yang melegenda tetapi juga dikenal di negara lain, seperti Jepang, Malaysia,
dan Singapura. Pada beberapa tahun yang lalu, Gesang bahkan pernah
'99
mendapat penghargaan dari pemerintah Jepang atas lagunya ini. Lagu ini menceritakan tentang keindahan Bengawan Solo pada masa lampau. Pada masa sekarang, cerita tentang keindahan sungai ini tampak hanya
tinggal cerita dan kenangan yang indah saja. Hal ini diibaratkan bahwa Gesang telah melawan masa depan. Anak-anak atau generasi muda bahkan telah lupa dan tidak lagi mengenai kemashuran sejarah masa silam bangsanya sendiri.
3.
Puisi KREMATORIUM MATAHARl
Karya: Soni Farid Maulana 1. Bergetarjaringan urat syaraf 2. Yang kau arsir di sekujur tubuh dengan halus tanganmu. 3. Sorot matamu, sekalipun tampak berkabut terasa api. 4. Mencairkan darahku yang beku.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Bagai dinding kelam. Membatu. 0, dusta yang mengambang di hati. Alangkah racun bagai kata-kata berbunga. Mekar di saku baju dan celana. Sarat bon utang juga alamat terlupa. Tak kutahu maut beriayar di situ. Memulas langit dengan warna lipstick yang aneh. Dan di lantai ini, di ruang yang sarat dengan musik. Cahaya tampak berlintasan.
14. Mengerat bijimataku.
(Republika, 8 Februari 1998) a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Puisi ini menggunakan beberapa istilah yang sudah cukup dikenal seperti: krematorium, matahari, jaringan urat syaraf, arsir, sorot mata,
100
berkabut, api, mencairkan darah, dinding, membatu, racun, mekar, berbunga, maut, beriayar, langit, lipstick, musik, cahaya, dan biji mata.
Puisi ini berjudul Krematorium Matahari.
Krematorium adalah
suatu tempat untuk membakar mayat sehingga menjadi abu (perabuan) (KBBI:465).
Matahari secara denotasi berarti benda angkasa atau titik
pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan panas pada bumi siang hari (KBBI:565). Judul Krematorium Matahari merupakan sebuah ungkapan dari
suatu alat yang dapat membakar
dengan panas yang sama dengan panasnya matahari.
Puisi ini, selain menggunakan kata-kata yang bermakna denotasi juga banyak menggunakan kata bermakna konotasi. Larik 1 bermakna denotasi yang menyatakan getaran jaringan urat syaraf karena sesuatu hal. Kata arsir secara denotasi bermakna tarikan garis-garis sejajar atau silang menyilang, yang biasanya digunakan sebagai istilah dalam bidang
matematika atau melukis (KBBL49) juga mengandung makna konotasi menyentuh. Kedua larik tersebut menyatakan bahwa getaran jaringan urat syaraf
yang terasa itu disebabkan karena ada seseorang (dia) yang
mengarsir
atau
menyentuh
sekujur
tubuhnya
dengan
kehalusan
tangannya.
Pada larik 3 /sorot mata sekalipun tampak berkabut namun terasa
bagaikan api/, kata sorot bermakna sinar atau cahaya (KBBI:855) hingga sorot mata dapat diartikan sebagai sinar mata atau pandangan mata; kata berkabut bermakna denotasi ada kabutnya, agak gelap, serta tidak nyata
to:t
dan bermakna konotasi sedih suram (KBBL373); dan kata api bermakna denotasi panas dan cahaya yang berasal dari sesuatu yang terbakar
sedangkan makna konotasinya adalah semangat dan perasaan yang
menggelora (KBBL45). Larik ini mengiaskan bahwa pandangan mata yang tampak sedih dan suram itu terasa tetap menyiratkan perasaan yang menggelora. Hal ini dapat /mencairkan darah yang semula beku/ (larik 4) yang bermakna menimbulkan kembali semangat hidup yang semula sirna. Pada larik 5 Ibagai dinding kelam, dan membatu/, kata kelam
bermakna agak gelap, kurang terang, dan suram (KBBL407) dan kata membatu bermakna denotasi menyerupai batu dan keras seperti batu sedangkan makna konotasinya diam saja dan membisu (KBBI.86). Larik ini merupakan ungkapan dari keadaan yang sangat gelap, suram, kaku,
keras, dan dingin membisu sebagaimana kakunya sebuah dinding. Pada larik 6 ungkapan l-ol rintihan,
merupakan sebuah seruan atau
dusta berarti bohong atau tidak benar (KBBL216), dan kata
mengambang bermakna denotasi terapung dan melayang sedangkan makna konotasi tidak jelas dan tidak mengena (KBBL26). Larik ini mengungkapkan seruan tentang suatu dusta atau kebohongan yang terasa mengambang di hati yang menimbulkan rasa nelangsa.
Pada larik 7 lalangkah racun terasa bagaikan kata-kata yang berbunga/, kata racun berarti zat yang menyebabkan sakit atau mati dan makna konotasinya merusakkan batin (KBBI:718), kata berbunga secara
denotatif berarti mempunyai bunga atau mempunyai hiasan yang bagus
\02
(KBBL137) dan konotatifnya menyatakan kiasan terhadap suatu keadaan yang indah atau menyenangkan hati. Adapun makna larik ini
bahwa
karena dusta dan kebohongan yang ada maka racun yang dapat menyebabkan rasa sakit, kematian, dan merusakkan batin itu justru terasa
bagaikan kata-kata yang indah dan menyenangkan hati. Pada larik 8-9 /mekar di saku baju dan celana, sarat bon utangjuga
alamat terlupal, kata mekar bermakna berkembang, menjadi terbuka, dan menjadi tambah besar dan luas (KBBL570) dan ungkapan saku baju dan
celana yang sarat dengan bon utang dan alamat terlupa menyatakan keadaan
seseorang
yang
sedang
tidak
mempunyai
uang
karena
kantongnya kosong dan isinya hanya bon utang dan alamat-alamat yang
tak berarti. Ungkapan pada larik 8-9 itu merupakan kiasan bahwa katakata bujukan dapat menguras kantong atau menguras uang sedangkan
keadaan orang yang terkuras pun sebenarnya tidak terialu baik karena justru penuh dengan libatan utang. Pada larik 10 /tak kutahu maut beriayar di situl, kata maut merupakan perlambang dari kematian atau ajal (KBBI:568) dan kata beriayar secara denotasi berarti mengarungi lautan dan konotasinya berarti meninggal dunia (KBBI:505). Larik ini dapat diartikan bahwa si aku
tidak mengetahui bahwa ada kematian yang sedang mendekatinya. Pada larik 11 Imemulas langit dengan warna lipstik yang aneh/, kata memulas berarti mengoles jadi memulas langit berarti memoles atau mengecat langit yang biasanya identik dengan warna biru, kini dipulas
105
dengan
warna
lipstick
yang
aneh.
Bila
dihubungkan
dengan
perkembangan alat kecantikan sekaran, warna lipstiks yang biasanya identik dengan warna merah namun kini mengalami perubahan karena
sekarang warna aneh lipstik itu ada yang kelabu, ungu, bahkan hitam dan wama-warna yang agak tidak biasa lainnya. Pada larik 12-13 /di lantai dan di ruang yang penuh dengan musik,
cahaya tampak berlintasanl, kata berlintasan dapat diartikan sebagai berjalan atau berlalu dengan cepat (KBBI:527), jadi cahaya berlintasan dapat diartikan sebagai cahaya yang memancar dan berlalu dengan cepat. Melalui larik ini dapat dikonotasikan bahwa lantai dan ruang yang penuh musik dan lintasan cahaya tersebut adalah ruang diskotik atau pub. Keadaan yang ada di sana tampak menyiksa si aku, di mana ia
mengungkapkan pada larik 14 bahwa cahaya yang berlintasan itu tampak mengerat biji matanya. Kata mengerat yang digunakan terasa sangat pas walaupun kata ini juga sama artinya dengan kata mengiris, memotong, memenggal, atau melubangi (KBBL425). Biji mataku secara denotatif
bermakna bulatan di rongga mata dan konotasinya merupakan ungkapan untuk menyatakan pandangan (KBBI:115).
2) Bahasa Kiasan Personifikasi terdapat pada larik 1-2
dimana
getaran jaringan
urat syaraf dikiaskan dapat diarsirkan di sekujur tubuh dengan kehalusan tangan si kekasih.
Larik ini
mengungkapkan bahwa
si aku merasa
bergetar sekujur tubuhnya karena rayuan dan sentuhan sang kekasih.
104
Larik 3-5 menggunakan bahasa kiasan simile yang memperbandingkan sorot mata yang berkabut dengan suatu benda yang terasa
panas bagaikan api sehingga mencairkan darah si aku yang sebelumnya terasa beku. Keadaan yang dialami si aku itu diperbandingkan dengan dinding kelam yang membatu.
Larik 6, 7, 8, dan 9 menggunakan gaya bahasa personifikasi, simile, dan metafora.
yang
Dusta diumpamakan sebagai ide yang abstrak
dapat mengambang sebagaimana sebuah
benda,
dan
hati
diumpamakan sebagai kolam atau genangan air yang dapat membuat sesuatu menjadi mengambang. Racun merupakan perlambang dari dusta yang menyebabkan sakit bahkan kematian. Karena Rayuan sang kekasih, kata-kata dusta yang beracun justru terasa bagai kata-kata berbunga yang indah dan mennyenangkan
hati, yang merupakan simile dengan
menggunakan kata bagaikan. Dusta dan rayuan itu sampai pada tahap menguras isi kantong yang memang dalam keadaan tipis dan banyak utang. Hal ini dengan manis diungkapkan dengan perbandingan sebagai kata berbunga yang mekar di saku baju dan celana yang sarat dengan bon utang dan kumpulan alamat saja.
Larik 10, 11, 12, 13, dan 14 menggunakan gaya bahasa metafora.
Ungkapan maut beriayar di situ merupakan perlambang dari
kematian
atau kejatuhan yang membayangi kehidupannya. Maut itu memulas langit dengan warna-warna yang menyeramkan yang diperlambangkan sebagai
warna lipstick yang aneh.
Dalam ruangan dan di lantai di mana si aku
105
berada tampak dipenuhi hingar bingar musik dan lintasan cahaya. Kesemuanya itu, terutama cahaya yang berlintasan, telah menyiksa pandangan si aku. Pada larik ini terdapat personifikasi dimana cahaya yang berlintasan dapat mengerat biji mata. 3) Citraan
Citraan organik dan tactual terasa pada larik 1-2 yang
menyatakan tentang gerakan yang dirasakan si aku yakni bergetarnya jaringan urat syaraf yang terasa di sekujur tubuhnya karena sentuhan tangan sang kekasih yang halus. Selanjutnya pada larik 3 ada citraan
tactual yang menyatakan bahwa sorot atau tatapan mata sang kekasih terasa panas bagaikan api walaupun tampak berkabut atau kelam. Sementara itu pada larik 4 ada citraan visual
yang memperlihatkan
sorot mata yang panas itu mencairkan kebekuan darah si aku seperti sebongkah es yang sedang mencair.
Larik 5-9 mengandung citraan intelektual yang mengandung gambaran ide yang abstrak. Melalui larik-larik tersebut dinyatakan keadan yang dialami si aku bagai dinding yang kelam dan membatu yang penuh
kekejaman. Kata dusta yang menyentuh hati bagaikan racun yang justru
dirasakan kata yang indah berbunga, yang menaburkan rayuan sehingga menguras kantong. Larik 10-11 mengandung citraan visual yang memperlihatkan seolah maut itu beriayar di sekitar si aku dan memulas langit dengan warna-warna yang aneh. Melalui citraan ini dapat dibayangkan warna
\0h
langit yang dipenuhi warna lipstick yang aneh, yang mungkin biru, ungu, kelabu, bahkan hitam atau keemasan.
Melalui citraan auditory pada larik 12 dapat didengar dan dibayangkan suatu lantai atau ruangan yang penuh dengan musik yang
hingar bingar. Sementara itu
pada larik 13 ada citraan visual yang
memperlihatkan suatu ruangan yang dipenuhi oleh kilatan cahaya yang tampak
berlintasan.
Akhirnya
pada
larik
14,
citraan
tactual
menggambarkan perasaan perih karena lintasan cahaya itu dirasakan mengiris atau menyiksa pandangan mata.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Gaya bahasa dan sarana retorika yang digunakan dalam puisi ini didominasi oleh Hiperbola dan Sinisme. Hiperbola merupakan gaya
bahasa
yang
melebih-lebihkan
sesuatu
hal
atau
keadaan
untuk
menyangatkan, untuk intensitas, ataupun untuk ekspresivitas. Kata-kata
yang beriebihan itu tedapat pada bait pertama, bait ketiga, dan bait keempat. Sarana retorika ini menyebabkan suasana yang ditampilkan
tampak lebih terasa, lebih menyentuh, dan lebih mencekam. Kata-kata
tersebut misalnya: bergetarnya jaringan urat syaraf karena kau arsir di sekujur tubuh dengan kehalusan tanganmu, sorot mata terasa bagaikan
api yang dapat mencairkan darah yang beku, maut beriayar dan memulas
langit dengan warna lipstick yang aneh, serta hingar bingar musik dan cahaya yang berlintasan telah mengerat biji mata.
•W>7
Pada bait kedua terdapat gaya bahasa Sinisme yang merupakan sindiran terhadap peristiwa kehidupan yang pahit dimana dusta yang ada di hati membuat racun seolah kata indah dan berbunga yang mekar di saku baju yang telah sarat dengan bon utang. b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks dalam puisi Krematorium Matahari
ini
terietak pada si kamu (perempuan) yang dianggap membawa dusta dan
racun bagi si aku. Si kamu yang dijumpainya ditempat yang sarat dengan musik dan cahaya itu telah merayunya, menebarkan kata-kata dusta dan berbunga hingga terasa menyiksa si aku.
B, Pembacaan Heuristik
Bait pertama
"(Serasa) bergetar (seluruh) jaringan urat syaraf ku, yang kau arsir (-kan) di sekujur tubuh (ku) dengan (ke-) halus (-an) tanganmu. Sorot matamu, sekalipun tampak berkabut (namun) terasa (panas bagaikan) api (sehingga) mencairkan darahku yang beku." Bait kedua
"(Engkau) bagaikan (sebuah) dinding kelam (yang) membatu. -o,
dusta yang mengambang di hati, alangkah (ber-) racun bagai kata-kata
(indah dan) berbunga (yang) mekar di saku baju dan (saku) celana (yang
VOft
sebelumnya sudah) sarat (dengan) bon utang , juga (kertas) alamat yang terlupa."
Bait ketiga "(Sungguh) tak (a-) ku (ke-) tahu (-i bahwa) maut beriayar di situ,
(sehingga ia) memulas langit (yang biru) dengan warna lipstick yang aneh.
Dan di lantai ini, di ruang yang sarat dengan musik (itu), cahaya (pun) tampak berlintasan." Bait keempat
"(Semua hal yang kusaksikan ini terasa) mengerat biji mataku." Lariknya ada yang menggunakan pola kalimat inversi, yakni predikat mendahului subjek. Beberapa larik juga perlu penambahan unsur
kalimat, yakni subjek, predikat, dan objek. Perlu penambahan kata penghubung (namun, sehingga, dengan, dan bahwa), kata ganti milik (ku), serta kata bantu bilangan (seluruh, sebuah). Beberapa katanya perlu penambahan imbuhan ke-l, ke-an, dan -kan.
C. Pembacaan Retroaktif
Puisi ini menceritakan bahwa bujuk rayu dan tebaran kata dusta dan berbunga terasa menyiksa di aku. Tampaknya puisi ini ingin
mengibaratkan
bahwa
keadaan
terpanggang dalam sebuah
yang
dialaminya
itu bagaikan
ia
krematorium yang panasnya sepanas
matahari. Krematorium adalah sebuah alat untuk membakar mayat hingga menjadi abu.
109
Bait pertama
Diceritakan bahwa si aku merasakan seluruh jaringan urat
syarafnya serasa bergetar karena sentuhan atau elusan halus tangan si wanita yang menggodanya. Sorot mata si wanita, walaupun tampak berkabut dan dingin namun tetap terasa panas bagaikan api sehingga dirasakan si aku telah mencairkan darahnya yang beku atau telah menghangatkan kebekuan hatinya. Bait kedua
Si wanita diumpamakannya bagai sebuah dinding kelam yang membatu seolah tidak mempunyai perasaan. Karena hal itu, segala dusta
terasa mengambang di hati dan kata-kata yang berbunga pun seolah menebarkan racun. Si wanita hanya menginginkan uangnya saja, yang
dikiaskan dengan kata-kata berbunga di saku baju dan celana. Keadaan si
aku yang sudah sengsara itu karena pertemuannya dengan si wanita makin membuat dia semakin menderita.
Bait ketiga dan keempat
Si aku yang tampak lugu ini tidak menyadari bahwa ada maut atau
celaka yang akan ditemuinya sehingga tampak olehnya seolah maut beriayar di situ dan memulas langit yang biasanya biru tampak berwama aneh. Di tempat mereka bertemu itu, di ruang yang penuh dengan musik
dan cahaya yang berlintasan, si aku merasa tersiksa, seakan mengerat biji matanya.
lit)
4. Puisi FRAGMENTASI
Karya: Dedi Apriadie Raswin
1. Kau hanyutkan kesunyianmu di tepi taman kota
2. Yang letih menyimpan gerak hidupmu dalam ranjang penuh kesakitan ini
3. Seperti cahaya matahari yang robek di sela kamar 4. Sudut ruang segalanya bermula 5. Serupa legenda kota yang aneh
6. Segalanya menimbunmu dengan kecemasan dan keterasingan 7. Mengoyak bingkai pagi
8. Di sudut-sudut kota, cahaya meledak dalam tangis hujan
9. Mengguyurmu lewat fantasi dan lirik sunyi yang dikirimkan aroma kelam seribu puisi 10. Menyala di langit-langit malam 11. Membaringkan beribu luka menganga 12.-entah bagi siapa
13.Kubaringkan sakit hatialam ini dalam metamorfosa kelam 14. Epitaf-epitaf seribu purnama tersaruk di sudutmalam 15. Melayani solitude, mitologi kelam-Heaven's Gate, Sollar Temple 16. Beriayar serupa Descartes aku tersaruk dan melayang ke ruang-ruang hampa 17. Meninabobokkan kefanaan.
(Republika, 25 Januari 1998)
a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Puisi ini banyak menggunakan kosa kata yang mengungkapkan
tentang kehidupan kota, seperti: taman kota, legenda kota, sudut-sudut kota, berikut pelik-pelik kehidupan kota. Istilah yang dipakai selain kata-
kata yang terdapat dalam
bahasa sehari-hari juga menggunakan
beberapa istilah asing dan istilah yang diserap dari bahasa asing, seperti:
111.
fragmentasi, fantasi, metamorfosa, epitaf, solitude, mitologi, heaven's gate, sollar temple, dan Descartes.
Penggunaan kata fragmentasi untuk judul puisi tentunya
mengandung maksud tersendiri untuk mengungkapkan keseluruhan isi puisi. Kata fragmen secara denotasi berarti cuplikan cerita atau bagian/pecahan sesuatu sedangkan fragmentasi adalah pencuplikan cerita dsb (KBBL244), dan secara konotatif berarti suatu cuplikan dari sebuah cerita, yang pada puisi ini merupakan cerita tentang kehidupan. Kata hanyut bermakna terbawa arus oleh ombak dan banjir, atau
terbawa mengalir dan mengandung makna konotasi terharu, habis,
hilang, lenyap, atau terialu asyik (KBBL296). Kata kau hanyutkan pada larik 1 dilekatkan pada kata kesunyian sehingga menimbulkan makna konotasi membuat hanyut atau membuang kesunyian yang ada.
Selanjutnya pada larik 2, Itepi taman kota telah letih menyimpan
gerak hidupmu dalam ranjang penuh kesakitan/, kata letih bermakna tidak bertenaga, capek, dan lelah sekali (KBBI:520) dan kata ranjang bermakna alat rumah tangga yang terbuat dari besi dsb yang biasanya dipakai untuk tempat tidur (KBBI:727). Larik 2 ini mengandung kiasan bahwa taman kota merupakan saksi abadi yang mungkin telah letih dan lelah menyaksikan gerak kehidupan yang penuh penderitaan dan kesulitan. Pada larik 3 Iseperti cahaya matahari yang robek di sela kamar/,
cahaya matahari selain bermakna sinar atau terang yang berasal dari matahari (KBBL145) juga merupakan konotasi dari kilauan, kehidupan,
Ill
dan kebahagiaan, sedangkan robek berarti sobek atau mengharu biru (KBBI:751)juga merupakan konotasi dari keadaan yang menemui kefatalan atau penuh hambatan. Larik 3 ini merupakan ungkapan bahwa
kehidupan itu kini mengalami kegagalan dan penuh hambatan di tempat yang ruang geraknya sempit, yakni di sela kamar. Walaupun ruang
tersebut sempit dan terbatas, yang dilambangkan dengan ungkapan sudut
ruang, namun disitulah segala gerak dan kehidupan bermula (larik 4). Pada larik 5-7 keadaan penuh hambatan dan kegagalan itu
digambarkan sebagai legenda kota yang penuh dengan berbagai cerita yang terkadang aneh, yang makin menimbunnya dengan kecemasan dan keterasingan hingga mengoyak bingkai pagi. Pada frase mengonyak bingkai pagi, secara denotatif kata mengoyak berarti mencabik, memecahkan, dan mengganggu (KBBL464), kata bingkai bermakna bilah
yang dipasang di keliling suatu benda supaya kuat (KBBI:118), sedangkan mengoyak bingkai pagi merupakan konotasi keadaan yang mencabik dan mengganggu suasana saat pagi menjelang yang biasanya berisi banyak harapan dan kebahagiaan.
Pada larik 8, kata cahaya bermakna sinar atau terang (KBBL145)
merupakan konotasi dari kebahagiaan dan pengharapan, kata meledak bermakna pecah dan meletup dengan kuat (KBBL508), dan tangis hujan
merupakan konotasi dari keadaan yang sangat menyedihkan. Larik ini mengungkapkan bahwa di sudut kota, ada kebahagiaan yang terhenti dalam keadaan yang sangat menyedihkan karena suatu hal.
113
Melalui larik 9, keadaan itu /mengguyurmu lewat fantasi dan lirik sunyi yang dikirimkan aroma kelam seribu puisi/. Fantasi adalah khayalan atau gambaran angan (KBBL240) dan llirik bermakna denotatif karya
sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi atau susunan kata sebuah nyanyian (KBBI:528) sedangkan frase lirik sunyi merupakan makna konotasi dari puisi atau nyanyian yang mengungkapkan tentang
kesepian.
Kata aroma yang berarti bau-bauan yang berasal dari
tumbuhan atau akar-akaran atau bahan pewangi makanan atau minuman (KBBL49) kali ini kata aroma dihubungkan dengan keadaan cuaca (aroma kelam) hingga menimbulkan makna kiasan dari keadaan yang gelap dan menyeramkan. Sementara itu seribu puisi merupakan perlambang dari beribu perasaan dan curahan hati. Larik ini mengungkapkan tentang
keadaan yang penuh kegagalan dan hambatan itu menyentuhnya melalui khayalan dan nyanyian tentang kesepian yang datang melalui keadaan
yang menyeramkan dan dipenuhi berbagai curahan dan perasaan hati. Hal-hal yang terjadi di atas telah membuat keadaan malam yang gelap dan dingin menjadi panas seolah terbakar sehingga semakin membuat luka dan penderitaan makin bertambah berat seperti yang
terungkap dalam larik 10-12 /tampak menyala atau menerangi bahkan membakar langit malam yang biasanya gelap gulita dan dingin, yang
membaringkan
beribu
membaringkan yang
luka
menganga-entah
bermakna
denotasi
bagi
meletakkan
siapa/.
Kata
merata
atau
menidurkan (KBBL81) pada ungkapan membaringkan beribu luka
114
menganga berarti mencoba sejenak beristirahat dari segala rasa luka dan kesedihan yang pemah dialaminya.
Pada larik 13 terungkap konotasi
bahwa si aku
mencoba
menghibur kepedihan dan penderitaan yang ada (kubaringkan sakit hati
alam ini) dalam metamorfosa kelam. Kata metamorfosa (di dalam kamus tertulis metamorfosis) berarti perubahan bentuk atau susunan (KBBI:580) dalam frase metamorfosa kelam merupakan konotasi dari perubahan susunan kelam atau gelap yang memungkinkan timbulnya kebahagiaan. Kata epitaf
berarti tulisan singkat pada batu nisan untuk
mengenang orang yang dikubur di situ atau pernyataan singkat pada sebuah monumen (KBBI:234). Pada nisan di Eropa atau Amerika
biasanya dituliskan epitaf "rest in peace" yang artinya 'beristirahat dalam damai'.
Pada larik 14 /epitaf seribu purnama tersaruk di sudut malam/
ungkapan epitaf seribu purnama dapat diartikan sebagai
ukiran seribu
keindahan yang kemudian hilang di telan oleh berbagai penderitaan. Larik 15 yang menyatakan tentang mitologi atau cerita mitos tentang kegagalan dan penderitaan tampak pada cerita tentang Heaven's Gate dan Sollar Temple.
Seperti diketahui bahwa Heaven's Gate
(Gerbang Surga) adalah nama sebuah sekte yang hidup di Amerika
Serikat yang merupakan suatu aliran sesat yang menyebabkan banyak pengikutnya yang mengorbankan jiwa karena ajarannya itu, demikian juga dengan Sollar Temple.
113
Pada larik 16-17 dinyatakan bahwa si aku tersungkur dan jatuh
dalam keadaan yang tanpa daya dan kekuatan seperti pelayaran Descartes, yang merupakan konotasi dari keadaan seseorang yang tanpa
daya dan kekuatan sehingga ia tak mampu berbuat apa-apa lagi. 2) Bahasa Kiasan
Larik 1 menggunakan bahasa kiasan personifikasi yang membuat kesunyian sebagai suatu benda abstrak seolah konkrit dan bersifat insani. Kesunyian
dianggap sebagai sebuah benda yang dapat dihanyutkan,
namun benda yang dihanyutkan itu biasanya dilakukan di sungai atau di laut tapi pada larik ini kesunyian itu dihanyutkan di tepi taman kota. Larik ini mengungkapkan bahwa seseorang
mencoba
membuang
atau
melepaskan kesunyian yang dideritanya dengan mencari kebahagiaan di tepi taman kota yang biasanya ramai.
Metafora dan personifikasi pada larik 2 akan memperjelas larik 1.
Ranjang penuh
kesakitan merupakan perlambang
tempat beristirahat
yang tidak nyaman. Personifikasi yang menyatakan bahwa tepi taman kota telah letih menyimpan gerak hidup membuat tepi taman kota itu
seolah manusia yang dapat menyimpan suatu memori dalam dirinya. Secara umum larik ini mengiaskan bahwa tepi taman kota telah cukup
lama menjadi saksi dari kehidupan yang tidak nyaman dan penuh penderitaan.
Sementara itu pada larik 3-4 dan 5 terdapat simile, yakni bahasa kiasan yang menyatakan perbandingan dengan menggunakan kata bantu
116
perbandingan, yang pada larik ini digunakan kata seperti dan serupa. Kehidupan yang dialami oleh si aku pada larik 1-2 digambarkan seperti cahaya matahari yang robek di sela kamar, sudut ruang segalanya bermula. Hal ini mengiaskan bahwa kehidupan tersebut seperti sebuah
kebahagiaan dan kecerahan yang mengalami hambatan di tempat yang sempit
dan
terbatas,
tempat
yang
dahulu
segalanya
berawal.
Kehidupannya itu juga seperti cerita yang aneh dan membingungkan. Kenyataan kehidupan yang sulit itu diperjelas pada larik 6-7. Bahasa kiasan personifikasi membuat gambaran pada larik sebelumnya
menjadi jelas. Segala yang terjadi pada si aku semakin membuatnya menderita kecemasan dan keterasingan. Kata menimbunmu membuat
segala kejadian yang menimpa si aku seolah sebagai seonggok benda, apalagi yang menimbun itu adalah kecemasan dan keterasingan. Juga,
pada larik mengoyak bingkai pagi
yang membuat pengertian yang
beriebihan karena pagi itu dianggap sebagai sebuah bingkai lukisan yang dapat dikoyak atau dirobek. Metafora dan personifikasi
tampak pada larik 8-12. Cahaya
merupakan metafora dari kebahagiaan dan keceriaan, tangis hujan merupakan
metafora dari keadaan yang menyedihkan dan sangat
memilukan, fantasi dan lirik sunyi metafora dari gambaran angan dan nyanyian tentang kesepian, aroma kelam seribu puisi merupakan metafora dari
curahan hati
dan perasaan yang pedih dan menyeramkan, dan
beribu luka menganga merupakan metafora dari penderitaan yang begitu
117
menyiksa. Ungkapan cahaya meledak, cahaya menyala di langit-langit malam, dan membaringkan beribu luka menganga membuat gambaran
penderitaan si aku semakin tampak tragis.
Larik-larik ini juga
menggunakan personifikasi yang menginsankan benda-benda yang abstrak, seperti cahaya dapat meledak, mengguyur dengan fantasi dan lirik sunyi, serta beribu luka menganga yang dapat dibaringkan.
Selanjutnya, larik 13-17 lebih banyak merupakan metafora dan personifikasi, di samping penggunaan eponim dan beberapa istilah asing. Ungkapan sakit hati alam ini merupakan perasaan penderitaan yang bersifat universal, metamorfosa kelam merupakan metafora dari suatu
perubahan
bentuk atau susunan
penderitaan, epitaf seribu purnama
merupakan lukisan kebahagiaan, dan tersaruk dan melayang ke ruang hampa merupakan kiasan dari
keadaan yang tanpa daya dan tanpa
kekuatan. Personifikasi nampak dari larik-larik tersebut bahwa si aku
membaringkan sakit hati alam ini dalam metamorfosa kelam seolah sakit hati alam itu merupakan seorang insan, purnama pun dapat tersaruk (tersungkur) di sudut malam, serta kefanaan pun dapat dininabobokkan. Pada larik 15 terdapat istilah asing, yakni Heaven's gate (gerbang surga) dan Sollar Temple
yang merupakan suatu mitologi kelam atau
cerita buruk tentang sebuah aliran sesat yang banyak menyebabkan tewasnya para
panganutnya.
Eponim adalah
gaya bahasa
yang
menggunakan nama seseorang untuk menyatakan suatu sifat atau
ITS
keadaan tertentu. Penggunaan eponim beriayar serupa Descartes adalah untuk menyatakan kegagalan suatu perjalanan (larik 16).
3) Citraan Citraan intelektual dapat dilihat pada keseluruhan bait pertama
dari larik 1 sampai larik 7. Larik-larik ini menggambarkan ide abstrak yang menyatakan bahwa si aku mencoba menghilangkan kesunyian di tengah keramaian taman kota yang selama ini hidup dalam kepedihan, seperti kegembiraan yang hilang, cerita tentang kehidupan kota yang
penuh
keganjilan, hidup yang penuh kecemasan dan terasing dalam kesunyian sendiri, sehingga membuat harapan-harapannya menjadi musnah. Pada bait kedua, larik 8-12 terdapat citraan visual, auditory, dan
juga intelektual. Larik-larik ini mampu memperlihatkan gambaran bahwa di sudut kota ada cahaya yang meledak, cahaya itu menyala di langit malam yang gelap, hujan mengguyur si aku, dan ada ribuan luka yang menganga. Pada larik 8
dan 9 kita dapat merasakan kepedihan dan
seolah dapat mendengar tangisan hujan dan lirik atau nyanyian tentang
kesunyian melalui alunan seribu puisi. Bait ketiga, larik 13-17, sebagian besar berupa citraan intelektual
dan ada juga citraan kinaesthetik. Gerakan si aku membaringkan sakit
hati alam dalam kegelapan malam, purnama yang tersaruk di sudut malam, si aku tersaruk dan melayang ke ruang-ruang hampa, dan meninabobokkan kefanaan. Keseluruhan larik menggambarkan ide bahwa
si aku mencoba sejenak melupakan
kesedihannya dalam kepekatan
U9
malam, walaupun akhirnya ia tersungkur dan gagal sehingga kefanaan atau kegagalan tetap mengikuti jalan hidupnya.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Puisi ini merupakan puisi yang menggunakan sarana retorika
berupa gaya bahasa Hiperbola atau gaya bahasa yang beriebihan. Hiperbola ini tampak pada hampir keseluruhan larik seperti: cahaya matahari robek di sela kamar, menimbunmu dengan kecemasan dan
keterasingan, mengoyak bingkai pagi,
cahaya meledak dalam tangis
hujan, menyatakan langit-langit malam, aku tersaruk dan melayang ke ruang-ruang hampa. Hiperbola ini bertujuan untuk membuat gambaran lebih hidup, lebih mencekamn dan lebih terasa menyentuh perasaan. b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks dalam puisi ini adalah kota dengan segala
gambaran kehidupannya. Gambaran hidup yang penuh kesakitan, keanehan, kecemasan, keterasingan, luka, sakit hati, serta kefanaan.
B. Pembacaan Heuristik
Bait pertama
(Akhirnya) kau (meng-) hanyutkan kesunyianmu di tepi taman kota,
yang (telah) letih menyimpan gerak hidupmu dalam (sebuah) ranjang (yang) penuh kesakitan ini. (Keadaan ini) seperti cahaya matahari yang robek di sela kamar. Sudut ruang (tempat) segalanya bermula. Serupa
lie
legenda kota yang aneh. Segalanya (yang telah dialami itu) menimbunmu dengan kecemasan dan keterasingan (seolah-olah) mengoyak (-kan) bingkai pagi. Bait kedua
Di sudut-sudut kota itu, cahaya (laksana) meledak dalam tangis
(-an) hujan. (Mereka) mengguyurmu lewat fantasi dan lirik sunyi yang dikirimkan (oleh) aroma kelam seribu puisi. (Mereka) menyala di langit-
langit malam (dan) membaringkan beribu luka menganga-(yang) entah (ditujukan) bagi siapa. Bait ketiga
Aku (mem-) baringkan sakit hati alam ini dalam metamorfosa kelam. Epitaf-epitaf seribu purnama (tampak) tersaruk di sudut malam
(yang) melayani solitude (serta) mitologi (yang) kelam-(seperti cerita) Heaven's Gate dan Sollar Temple. (Aku) beriayar serupa Descartes
(sehingga) aku tersaruk dan melayang ke ruang-ruang hampa, (yang terasa bagaikan) meninabobokkan kefanaan.
Dari hasil pembacaan heuristik yang telah dilakukan di atas diketahui bahwa ada beberapa kata yang perlu dilengkapi dengan
imbuhan, seperti: awalan mem- dan meng-, serta akhiran -an dan -kan.
Selain itu beberapa lariknya juga perlu penambahan unsur kalimat baik
subjek,
predikat,
dan
anak kalimat pengganti subjek.
Perlu
pula
penambahan kata penghubung (yang, serta, sehingga) dan kata bantu perbandingan (seolah-olah, bagaikan).
12!
C. Pembacaan Retroaktif
Kata Fragmen yang dijadikan judul pada puisi ini berarti cuplikan cerita dari sebuah cerita yang panjang. Adapun cerita yang dimaksudkan
adalah cerita tentang kehidupan. Jadi, yang akan dipaparkan melalui puisi ini adalah sebuah episode kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat. Bait pertama
Sering kali terjadi, justru di tengah keramaian kota terkadang kita merasakan kesepian, keterasingan, dan juga keputusasaan menghadapi kegagalan hidup. Seseorang yang digambarkan dalam puisi ini tampak mencoba
menghilangkan
kesunyiannya
di
tepi
taman
kota
yang
sesungguhnya telah letih menyimpan segala gerak hidup yang penuh
kepenatan. Harapan pun tampak robek atau hilang. Disela kamar atau di
sudut ruang yang sempit ini segala kegiatan bermula. Legenda kota ini pun seolah telah menimbun kita dengan kecemasan dan keterasingan di tengah keramaian sehingga keindahan pagi dan harapan yang datang bersamanya seolah hilang juga. Bait kedua
Di sudut kota yang biasanya merupakan tempat rakyat kecil dan
kaum rendahan bertempat tinggal, tampak banyak peristiwa pahit tersedia. Harapan dan kebahagiaan serta pengharapan kini menghilang karena
diguyur hujan atau badai kehidupan sehingga menghadirkan sebuah kesedihan yang panjang yang membuat luka semakin dalam dan menganga, yang entah ditujukan bagi siapa.
121
Bait ketiga Si Aku mencoba beristirahat dan sejenak melupakan segala
kesedihan dan kegetiran hidup sambil berharap hal itu bisa berganti dengan kebahagiaan namun nyatanya hal itu tampak seperti mitos yang
menakutkan. Akhirnya ia tersaruk dan menyerah kalah atas penderitaan yang tak kunjung selesai itu.
5. Puisi JEMBATAN
Karya: Sutardji Calzoum Bachri 1. Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa 2. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi, dalam teduh pakewuh, dalam isyarat dan kilah tanpa makna 3. Maka akupun pergi menatap pada wajah orang berjuta 4. Wajah orang jalanan yang berdirisatu kaki dalam penuh sesak bis kota 5. Wajah orang tergusur 6. Wajah yang ditilang malang 7. Wajah para muda yang matanya letih menyimak daftar lowongan kerja 8. Wajah yang tercabik dalam pengap pabrik 9. Wajah yang disapu sepatu 10. Wajah legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan 11. Wajah yang hanya mampu menjadi sekadar penonton etalase indah di berbagai plaza 12. Wajah yang diam-diam menjerit, melengking, melolong, dan mengucap 13. Tanah air kita satu, bangsa kita satu, bahasa kita satu, bendera kita satu!
14. Tapi wahai saudara satu bendera, kenapa kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?
15. Sementara jalan-jalan mekar di mana-mana menghubungkan kotakota
16.Jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada 17. Tapi siapakah yang akan mampu menjembatanijurang di antara kita? 18.DI lembah-iembah kusam pada pucuk tulang kersang dan otot linu mengerang
12i
19. Mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara
20. Gerimis tak mampu menguncupkan kibarannya 21. Lalu tanpa tangis mereka menyanyi: padamu negeri, airmata kami. (Republika, 15 Maret 1998)
a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Puisi Jembatan karya Sutardji Calzoum
Bachri ini
banyak
menggunakan kosa kata yang mengungkapkan tentang kritik sosial
terhadap ketimpangan atau ketidakadilan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Ungkapan tersebut di antaranya: air mata bangsa, orang jalanan, berdiri satu kaki, sesak bis kota, orang tergusur, lowongan kerja, pengap pabrik, para pemulung, remah pembangunan, ketidakpedulian
pada saudara, koyak-moyak bendera hati, dan menyanyitanpa tangis. Kata jembatan yang digunakan sebagai judul puisi bermakna
denotasi sebagai titian besar atau jalan dari kayu (beton dsb) yang direntangkan di atas sungai (junarig, tepi pangkalan, dsb) sedangkan
makna konotatifnya adalah perantara atau penghubung (KBBL357). Larik 1, sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa, merupakan konotasi yang mengiaskan bahwa sajak dianggap sebagai suatu wadah yang dalam yang dapat menampung airmata dan
kesedihan rakyat. Air mata bermakna air yang meleleh dari mata (ketika menangis dsb) (KBBM2) sedangkan ungkapan airmata bangsa kiasan
dari kesedihan rakyat yang ingin diungkapkan meskipun lewat sajak.
124
Larik 2 bermakna
denotasi , kata-kata telah lama terperangkap
dalam basa-basi, dalam teduh pakewuh, dalam isyarat, dan kilah tanpa makna dimana kata-kata yang selama ini kita dengar atau kita pergunakan
lebih merupakan basa-basi, isyarat, bahkan ucapan tanpa makna.
Larik 3 lakupun pergi menatap pada wajah orang berjuta/, ungkapan wajah orang berjuta merupakan konotasi dari gambaran masyarakat kebanyakan yang menunjukkan bahwa si aku mempunyai kepedulian terhadap masyarakat kebanyakan yang ada di sekelilingnya.
Larik 4-11 merupakan gambaran wajah-wajah yang merupakan wajah orang kebanyakan. Wajah-wajah tersebut adalah wajah orang ja/anan yang akhirnya berdiri di atas satu kaki karena berdesakan dalam bis yang penuh sesak; wajah orang yang tergusur (terusir dari tempat semula atau terpaksa dipindahkan dari tempatnya
(KBBI:289)); wajah
orang yang kena tilang yang malang; wajah para pemuda yang matanya letih karena terialu sering membaca daftar lowongan kerja (dapat diartikan sebagai pengangguran yang masih berusaha mencari kerja); wajah para
buruh yang makin tercabik oleh pengapnya pabrik; wajah orang yang tertindas yang selalu disiksa majikan yang dikonotasikan sebagai wajah
yang disapu sepatu; wajah para pemulung yang memungut remah-remah
pembangunan yang hasil pembangunan itu sendiri belum sempat dinikmatinya; wajah yang hanya mampu menjadi penonton etalase di berbagai plaza yang menawarkan banyak keindahan dan kemewahan tanpa mempunyai kesanggupan untuk membelinya.
123
Larik 12-13 cukup pedih mengungkapkan wajah yang meneriakkan slogan kebengisan dengan rasa yang penuh penderitaan. Digambarkan wajah
yang
diam-diam
menjerit,
melengking,
melolong,
untuk
mengucapkan slogan ; tanah air kita satu-bangsa kita satu-bahasa kita
satu-bendera kita satu! yang semestinya diucapkan dengan penuh kobaran semangat kebangsaan dan kegagahan.
Pada larik 14 muncul pertanyaan cukup menggugah perasaan yang mempertanyakan
tentang
persaudaraan
di
bawah
satu
bendera
kebangsaan. Kata persaudaraan berarti persahabatan yang sekarib saudara atau pertalian persahabatan yang serupa dengan pertalian saudara (KBBL788) dan frase bendera kebangsaan bermakna bendera
yang dipakai sebagai tanda atau lambang suatu negara atau bangsa
(KBBI:101). Larik ini mempertanyakan tentang adanya jalinan kesamaan rasa yang erat sesama saudara ternyata ada perbedaan di antara mereka.
Larik 15-16 merupakan detonasi yang menyatakan tentang
kemajuan
yang
ada
dimana jalan-jalan
yang
dibangun
dapat
menghubungkan kota demi kota dan jembatan pun dibangun untuk
merentangi sungai dan lembah yang ada, sehingga tidak ada lagi tempat
yang tidak dapat dijangkau dan tidak ada lagi sungai dan jurang yang memisahkannya jalinan persaudaraan mereka.
Larik 17 merupakan pertanyaan yang cukup bernada putus asa
mengingat jalan dan jembatan yang ada menghubungkan
berbagai
tempat
tetapi
itu dianggap mampu ternyata
diragukan
UG
kebergunaannya itu seperti yang dipertanyakan oleh larik /tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita?/. Kata jurang
bermakna lembah yang dalam dan sempit serta dindingnya curam (KBBI:370). Jurang yang dimaksudkan dalam larik ini adalah jurang pemisah yang merupakan batas yang memisahkan si miskin dan si kaya atau orang tertindas dan penguasa, yang terasa semakin lebar dan terpisah (KBBI:370).
Pada larik 18-19 /di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang dan otot linu mengerang, mereka pancangkan koyak-moyak
bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara/, lembah-lembah yang kusam merupakan kiasan dari kehidupan yang penuh kepedihan, kegelapan, dan erangan penderitaan. Tempat itu merupakan tempat
masyarakat kebanyakan itu tinggal dan hidup, dan justru di sana pula mereka (para penguasa) memancangkan bendera hati yang telah koyakmoyak yang membuat mereka makin tidak peduli pada saudaranya (yang satu bangsa dan satu bendera).
Larik 20 merupakan konotasi bahwa ungkapan /gerimis tak mampu
menguncup kibarannya/ adalah gambaran rintihan kepedihan saudaranya tak mampu membuat mereka tergugah hati untuk menolong dan merasa
peduli pada nasib mereka. Gerimis secara denotatif bermakna hujan rintikrintik (KBBL273) dan mengandung makna tambahan sebagai kiasan dari
keadaan yang penuh kepedihan dengan rinainya itu. Gerimis yang berupa
ill
hujan kecil-kecil itu tentu saja tidak akan mampu menguncupkan kibaran bendera hati yang koyak-moyak itu. Larik 21 /lalu tanpa tangis mereka menyanyi: padamu negeri, airmata kami/ merupakan konotasi yang bernada ironi dimana mereka menyanyikan penderitaan tanpa tangis. Pada ungkapan padamu negeri-
airmata kami terdapat perubahan kata dari ungkapan yang sudah dikenal umum. Ungkapan yang biasanya berbunyi padamu negeri jiwa raga kami diubah menjadi padamu negeri airmata kami. Penggantian kata jiwa raga dengan airmata tentunya merupakan kesengajaan yang dilakukan oleh penyair untuk lebih memperdalam makna kata dalam larik-larik itu secara
keseluruhan. Larik ini merupakan tumpahan keluh kesah bahwa hanya kepada tanah air dan tanah tumpah darah inilah mereka dapat menyampaikan segala airmata dan kepedihannya.
2) Bahasa Kiasan
Larik 1 menggunakan bahasa kiasan metafora. Kata diperbandingkan
sebagai
sebuah
wadah
yang
dalam
dan
sajak dapat
menampung airmata. Sementara itu airmata bangsa juga merupakan
metafora dari kepedihan yang diderita oleh rakyat. Pada larik ini dikiaskan bahwa bagaimanapun dalamnya sebuah sajak, ia tak akan pernah mampu menampung airmata bangsa atau penderitaan rakyat. Larik 2 merupakan sinisme yang berupa sindiran terhadap
kebiasaan yang ada di dalam masyarakat selama ini. Sudah merupakan
suatu kebiasaan bila dalam penyampaian sesuatu pembicaraan selalu banyak basa-basi, penuh isyarat, bahkan ungkapan yang tanpa makna. Larik 3, 4, 5 dan 6 menggunakan metafora. Ungkapan akupun pergi menatap menunjukkan adanya suatu rasa peduli pada diri si aku,
sedangkan wajah orang berjuta merupakan metafora dari masyarakat kebanyakan yang tergolong kelas bawah dan biasa-biasa saja. Jadi ada
rasa peduli si aku terhadap masyarakat yang tergolong rendah. Wajah orang berjuta itu terungkap dalam larik selanjutnya. Pada larik 4,
ungkapan
wajah orang jaianan merupakan metafora dari orang yang
sering dalam perjalanan yang penuh perjuangan dan melelahkan yang sering memaksa mereka berdiri satu kaki dalam sesaknya bis kota sebagai sarana angkutan yang sering mereka gunakan. Wajah orang tergusur merupakan metafora dari keadaan masyarakat yang terpaksa
pindah dari tempatnya semula, serta wajah yang ditilang malang merupakan metafora dari orang yang sering tertimpa kemalangan.
Larik 7 menggunakan bahasa kiasan sinekdok-sebagian untuk seluruhnya yang menggambarkan para pemuda yang matanya letih
dalam menyimak daftar lowongan kerja sedangkan yang sesungguhnya adalah pengungkapan keletihan dan rasa penantian yang panjang yang
dialami oleh para pemuda yang lama menganggur yang sudah begitu lama merindukan suatu pekerjaan.
Larik 8 merupakan metafora di mana ungkapan wajah yang tercabik dalam pengap pabrik merupakan ungkapan keadaan buruh
Ul»
pekerja pabrik. Biasanya kata tercabik digunakan untuk mengiaskan keadaan terluka karena adanya perbedaan tajam dan gerakan yang kasar dan liar. Wajah yang tercabik merupakan ungkapan keadaan buruh yang menderita, apalagi tercabik oleh pengapnya pabrik. Demikian juga dengan larik 9, metafora tampak pada larik wajah yang disapu sepatu yang merupakan kiasan penindasan dan penghinaan oleh kaum penguasa (atasan) terhadap kaum rendahan (bawahannya)
dimana wajah seseorang tidak ada harganya lagi, hingga wajah itu seolah disapu oleh sepatu atau disepakkan dengan sepatu. Larik 10, ungkapan wajah legem para pemulung merupakan metafora dari keadaan pemulung yang sarat dengan perjuangan hidup yang keras. Remah-remah adalah benda-benda sisa yang tak berarti dan tidak terpakai lagi, sehingga remah pembangunan merupakan metafora
dari benda-benda hasil pembangunan yang sudah dibuang atau sudah jelek yang kemudian dipungut oleh pemulung, yang semestinya mereka pun dapat turut menikmati hasil pembangunan itu. 3) Citraan
Citraan intelektual tampak dalam larik 1-2 , sajak dan kata-kata sebagai benda abstrak diibaratkan sebagai sebuah benda yang konkrit
yang dapat menampung airmata
dan terperangkap dalam basa-basi.
Larik 19 juga mengandung citraan intelektual, bendera hati yang koyakmoyak dipancangkan
untuk mengungkapkan penindasan dan rasa
ketidakpedulian terhadap orang lain. Selanjutnya larik 20, gerimis tak
mampu menguncupkan kibarannya merupakan gambaran angan bahwa
keadaan yang pedih dan memilukan yang diderita oleh rakyat tidak membuat timbul rasa peduli di hati mereka bahkan mereka tambah kokoh dan berkuasa.
Citraan kinaesthetik pada larik 3 memperlihatkan gerakan si aku yang pergi untuk menatap wajah orang berjuta. Citraan visual tampak pada larik 4-7, larik 10-11, dan larik 15-17
yang merupakan penggambaran dari wajah orang berjuta. Melalui lariklarik itu kita seolah dapat melihat wajah meringis orang yang terpaksa berdiri di atas satu kaki karena keadaan bis yang penuh sesak, wajah
murung orang yang tergusur, wajah
sedih orang yang ditimpa
kemalangan, wajah letih para pemuda yang lelah mencari lowongan kerja, wajah pemulung yang legam karena terpaksa memungut sisa-sisa barang hingga terba
kar matahari,
wajah penonton etalase.yang memajang
barang mewah namun mereka tak mampu membelinya. Selain itu kita juga dapat melihat jembatan dan jalan-jalan yang banyak dibangun untuk menghubungkan kota-kota , sungai, dan lembah.
Citraan auditory terdapat pada larik 12-13 dan 21. larik tersebut
Melalui larik-
kita seolah dapat mendengar jeritan, lengkingan, dan
lolongan rakyat sambil mengucapkan slogan Sumpah Pemuda. Kita juga dapat mendengar nyanyian lagu Padamu Negeri tanpa menangis.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika Puisi ini lebih didominasi oleh gaya bahasa yang bersifat sindiran,
baik sindiran yang halus, tajam, bahkan cenderung kasar sehingga sarana retorika yang digunakan banyak berupa ironi, sinisme, dan sarkasme. Bait pertama merupakan ironi.yang mengungkapkan kata-kata kini sudah tak berarti lagi karena sudah terperangkap dalam basa-basi dan
kilah yang tak bermakna. Juga pada larik 10-11 yang menyindir kehidupan para pemulung dan orang kecil yang hanya mampu menjadi penonton segala kemewahan yang ada seperti yang teriihat pada larik /wajah legem para pern, ulung,yang memungut remah-remah pembangunan, wajah yang
hanya mampu menjadi sekadar penonton etalase indah di berbagai plaza/. Larik-larik 4-6 merupakan sinisme yang merupakan sindiran
terhadap kepedihan dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat rendah, yakni mereka yang tergusur, yang. ditimpa kemalangan, dan para pengangguran yang sulit mendapat lowongan kerja walau telah berusaha. Sindiran yang lebih tajam atau sarkasme terdapat pada larik 8-9 dan 18-19. Gambaran kehidupan para buruh yang tercabik-cabik dalam pengapnya pabrik sedangkan upah mereka tidak sesuai dengan tenaga yang mereka keluarkan, wajah para pembantu yang disapu oleh sepatu majikannya, dan di lembah kusam dengan otot linu mengerang (kehidupan
yang
penuh
kepedihan)
para
penguasa
justru
kesombongan dan rasa ketidakpedulian pada saudaranya.
memancangkan
152
Gaya bahasa tautologi
atau penggunaan kata-kata yang
mempunyai pengertian yang hampir sama untuk penegasan terdapat pada
larik 12 yakni: kata menjerit, melengking, dan melolong dalam larik /wajah yang diam-diam menjerit, melengking, melolong, dan mengucap/. Paralelisme atau persejajaran terdapat pada sebagian besar larik yang berupa repetisi kata-katanya, baik di awal ataupun di akhir larik.
Anafora (repetisi di awal kalimat) terdapat pada larik 4-11
yang
menggunakan frase wajah orang dan wajah yang pada setiap awal kalimatnya, sedangkan epistrofa terdapat pada larik 13 dimana pada setiap akhir frasenya menggunakan kata yang sama yakni: kita satu.
Larik akhir merupakan ironi yang mengatakan bahwa mereka menyanyikan sebuah lagu tanpa tangis padahal lagu tersebut merupakan ungkapan kepedihan mereka seperti terdapat pada syairnya: padamu negeri, air mata kami.
b, PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks pada puisi Jembatan karya Sutardji Calzoum Bachri ini adalah kata jembatan itu sendiri. Jembatan .yang secara
denotatif
berarti
sebuah
benda
yang
digunakan
untuk
menghubungkan suatu tempat dengan tempat yang lainnya, misalnya karena terpisah oleh adanya sungai, jurang, ataupun tempat yang sulit dijangkau lainnya. Pada puisi ini, jembatan yang dimaksud adalah sebuah
jembatan yang abstrak yang ditujukan untuk menghubungkan dua
'33
masyarakat yang mengalami perbedaan status kehidupan (ada yang berstatus tinggi dan rendah) sehingga terjadi kesenjangan sosial yang meruncing. Besar harapan jembatan yang diidamkan itu dapat benarbenar menjembatani segala perbedaan yang ada.
2) Pembacaan Heuristik
Bait pertama
Sedalam-dalamnya (sebuah) sajak tak (a-), kan mampu menam pung airmata bangsa. Kata-kata (yang terucap selama ini) telah lama terperangkap dalam basa-basi, dalam teduh pakewuh, dalam (suatu) isyarat, dan kilah (pun terasa) tanpa makna. Bait kedua
(Karena keadaan itu).maka aku pun pergi menatap pada wajah orang berjuta (yang terdapat pada kehidupan masyarakat kebanyakan). (Yakni) wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis
kota, wajah orang (yang) tergusur (dari tempat kediamannya selama ini), wajah (orang) yang ditilang (oleh ke-) malang (-an), wajah para muda yang matanya letih menyimak daftar lowongan kerja (yang tak kunjung
didapatkannya), wajah (para buruh) yang tercabik dalam pengap (-nya ba.u) pabrik, wajah (orang tertindas dan terhina) yang disapu (oleh) sepatu
(majikannya), wajah legam para pemulung yang (tampak letih) memungut
(barang bekas berupa) remah-remah pembangunan, wajah yang hanya mampu menjadi sekadar penonton etalase indah di berbagai plaza, wajah
»34
yang diam-diam menjerit, melengking, melolong, dan mengucap (slogan): tanah air kita satu-bangsa kita satu-bahasa kita satu-bendera kita satu! Bait ketiga
Tapi wahai saudara satu bendera, kenapa kini ada sesuatu yang terasa jauh (ber-) beda di antara kita? Sementara jalan-jalan (semakin) mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota dan jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada. Tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang.di antara kita? Bait keempat
Di lembah-lembah kusam pada pgcuk tulang kersang dan otot linu mengerang, mereka (me-) pancangkan koyak-moyak bendera hati (yang
telah) dipijak (oleh rasa) ketidakpedulian pada saudara (-nya sendiri). Bait kelima
Gerimis (yang turun pun) tak mampu menguncupkan kibarannya.
Lalu tanpa (ratap) tangis mereka menyanyikan (lirik lagu): padamu negeriairmata kami,
Larik-larik puisi ini sebagian besar telah menggunakan unsur
kalimat yang lengkap yang sekurang-kurangnya memiliki subjek dan predikat, walaupun pada beberapa larik unsur subjeknya perlu mendapat penambahan kata lain sebagai anak kalimat pengganti subjek, dan ada pula unsur predikat yang kurang lengkap.
Kata-kata.yang digunakan dalam puisi telah memiliki imbuhan yang lengkap dan hanya kekurangan imbuhan me- dan ke-an pada kata
135
memancang dan kemalangan. Ada sebuah frase yang mengalami penyingkatan yakni tidak akan dituliskan menjadi takkan dan ada pula penggunaan kata yang tidak baku yakni kenapa yang seharusnya
mengapa. Selain itu banyak penambahan kata-kata lain yang dianggap masih berhubungan dan diperiukan untuk kelengkapan kalimat, seperti: bau pabrik, barang bekas, slogan, yang turun, ratap tangis, dan lirik lagu. Ada pula penambahan kata penghubung (yakni, yang, oleh) dan kata bantu bilangan (sebuah, semakin).
3) Pembacaan Retroaktif Bait pertama Bagaimana pun kata-kata yang diucapkan atau disusun dengan
indah tetap takkan mampu meredakan tangis kedukaan yang ada di tanah
air ini. Hal ini disebabkan kata-kata yang terucap selama ini hanya bersifat
basa-basi bahkan berupa ucapan tanpa makna apa pun. Bait kedua
Si Aku merasa bosan berada dalam keadaan yang demikian.
Akhirnya dia pergi dan melihat dunia sekitarnya yang dipenuhi orangorang susah, sengsara, putus asa, dan tertindas sebagai wajah atau
cerminan
masyarakat
kebanyakan.
la
menyaksikan
orang
yang
berdesakan dalam bis kota, orang-orang yang tergusur dari tanah dan
tempat tinggalnya, orang yang selalu ditimpa kemalangan, para pemuda yang bosan hidup sebagai pengangguran namun tetap saja lowongan tak
tersedia untuknya, para buruh pabrik yang diperas tenaganya namun upah
\IC
yang diterimanya tidak seimbang, para pembantu dan pegawai rendahan yang ditindas majikan, para pemulung yang cuma bisa memunguti sampah-sampah sisa, serta orang-orang yang hanya bisa menjadi
penonton dari kemewahan yang ada di sekitarnya tanpa ada kesempatan untuk menikmatinya. Mereka semua menderita dan terpuruk dalam kepedihan. Mereka ingin menjerit dan melolong sambil mengucapkan slogan tentang kebersatuan, bahwa kita satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa, dan satu bendera.
Bait ketiga
Walaupun ada rasa persamaan sebagai sesama saudara yang sebangsa dan sebendera, tetap saja ada kesenjangan atau perbedaan di dalam kehidupan mereka. Diantara mereka tetap tercipta jurang yang membedakan si kaya dan si miskin, penguasa dan rakyat jelata, dan kaum
penindas dan yang ditindas. Walaupun jalan dan jembatan telah menghubungkan berbagai kota, sungai, dan lembah, tetap saja jurang di antara kedua gap atau golongan itu kian menganga. Bait keempat Jangankan di tempat yang memang menawarkan kebahagiaan dan kemewahan, di tempat yang penuh penderitaan pun mereka tetap
memancangkan bendera hati yang telah koyak-moyak. Mereka sama sekali tidak mempunyai rasa kepedulian terhadap saudaranya walaupun mereka satu bangsa dan satu bendera.
137
Bait kelima
Mereka
semakin
sombong
dengan
segala
kelebihan
dan
keberadaan yang mereka miliki. Hujan dan gerimis serta jerit dan tangis saudaranya
tetap
tidak
mampu
menghalau
kesombongan
dan
ketertutupan hati mereka. Akhirnya mereka berusaha menguatkan diri
sendiri walaupun sangat sulit. Tanpa ratap tangis mereka akhirnya berkata dengan pasrah bahwa hanya kepadamu negeri yang tercinta semua kepedihan, penderitaan, dan air mata kami ini.
6. Puisi PADAMU NABI
Karya: Juftazani 1. 2. 3. 4.
Ingin kuikutijejak air matamu Dengan langkah duka Seperti gelombang menari Aku ruku dan sujud seraya memuji
5. 6. 7. 8.
Karavan para musafir Menaiki menuruni bukit ungu Debu berkobar mengejar kumparan waktu Mencari cinta dalam genangan air matamu
9.
Ya Thaha
10. Milyaran manusia memukul genderang 11. Mencari biasjemarimu 12. Di lautan kasihnya 13. Ingin kudekap jemari lembutmu
14. Menciumnya sepanjang masa 15. Wangi tubuhmu dihiasjubah suci 16. Aku sujud pada llahi 17. Menitikasihmu yang sejati 18. Ya Yasin
19. Tangisjiwa manusia tiada henti 20. Bagai puput nurani kehilangan nyali 21. Ulurkan ujung serbanmu
138
22. Menampung airmata umat manusia 23. Yang tak seberapa 24. Genangan tangismu seluas telaga 25. Kuingin berwudu 26. Di telaga airmatamu. (Republika, 15 Februari 1998)
a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Puisi ini merupakan puisi keagamaan yang memuji kebesaran seorang rasul atau nabi. Kosa kata yang digunakan adalah kata-kata yang bernuansa keagamaan (nuansa Islami), seperti: ruku, sujud, musafir,
kasih-Nya, jubah suci, ilahi, serban, berwudu dan juga kata-kata dalam bahasa Arab, yakni Thaha dan Yasin (nama sebutan untuk Rasulullah). Kata Nabi yang digunakan dalam puisi Padamu Nabi merupakan
titik pusat penceritaan puisi. Kata nabi secara denotatif mempunyai pengertian orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya untuk kepentingan dirinya dan ia tidak diwajibkan meneruskan wahyu itu kepada orang lain (KBBI:605). Di dalam agama Islam, lebih condong
digunakan pilihan kata rasul dibandingkan dengan kata nabi, walaupun kedua kata ini selalu digunakan. Kata rasul berarti orang yang menerima
wahyu Tuhan untuk disampaikannya kepada manusia (KBBL730). Bila dikaji secara keseluruhan isi puisi ini, kata nabi yang digunakan dalam puisi ini merupakan kata pengganti untuk
Muhammad SAW yang
tentunya lebih diakui sebagai rasul bagi seluruh umat manusia dan bukan
139
hanya sebagai nabi. Berdasarkan tinjauan tersebut, rasanya lebih tepat bila kata rasul yang digunakan dibandingkan dengan kata nabi. Jejak secara denotasi berarti bekas tapak kaki atau bekas langkah
sedangkan secara konotatif berarti tingkah laku atau perbuatan yang menjadi teladan (KBBL355) dan jejak airmata bermakna teladan yang baik dari pengalaman yang penuh liku-liku kehidupan. Pada larik 1 ungkapan
ingin kuikuti jejak airmatamu dikiaskan sebagai keinginan untuk mengikuti perbuatan teladan yang dicontohkan oleh sang nabi. Sementara itu larik 2, dengan langkah duka, merupakan konotasi dari jalan atau langkah yang tidak mudah dan penuh rintangan. Istilah ruku' dan sujud pada larik 4 merupakan istilah gerakangerakan dalam shalat yang dikerjakan oleh umat Islam. Ruku' adalah
sikap membungkuk pada waktu sembahyang, yaitu membungkuk dengan tangan ditekankan di lutut
sehingga punggung dan kepala sama rata
(KBBL757) dan sujud adalah gerakan berlutut serta meletakkan dahi ke lantai bertelekan dengan kedua tangan (KBBI:864) ketika shalat. Pada bait kedua, yakni larik 5-8, ada beberapa kata yang perlu
dijelaskan. Kata karavan berarti rombongan orang (pedagang, haji, peziarah makam) yang melakukan perjalanan bersama demi keselamatan
atau sebuah kereta bertufup yang berfungsi sebagai tempat tinggal
(KBBI:390). Musafir adalah orang yang berpergian jauh meninggalkan negerinya dalam waktu yang lama atau sebutan untuk kaum pengembara
(KBBI:601). Ungkapan bukit ungu merupakan kiasan tentang medan yang
140 :4
berat yang penuh perjuangan, kepedihan, dan duka. Warna ungu merupakan ungkapan dari warna kesedihan, dukacita, dan kekelaman.
Pada bait ketiga, ungkapan ya Thaha merupakan ungkapan pujian
kepada Sang Nabi (Rasulullah). Larik 10, ungkapan milyaran manusia memukul genderang
mengiaskan
bahwa
milyaran
berkumpul dan melakukan kegiatan bersama.
umat
manusia
Sementara larik 11-12,
ungkapan mencari bias jemarimu dilautan kasih-Nya mengiaskan mencari
bekas dan sisa-sisa belaian dan ajaran yang baik dari begitu luasnya kasih sayang Allah. Bait keempat, larik 13-17, sebagian besar bermakna konotasi. Ungkapan ingin kudekap jemari lembutmu merupakan kiasan keinginan umat manusia untuk
merasakan kedekatan dengan nabi (rasul)nya.
Ungkapan jemari lembutmu merupakan kiasan tentang kasih sayang dan
kecintaan nabi kepada umatnya. Ungkapan menciumnya sepanjang masa bermakna merasakan kecintaan itu selamanya. Larik 15, wangi tubuhmu dihiasjubah sua, betapa suci, agung dan menyenangkannya sosok sang nabi bagi umatnya. Kecintaan mereka kepada sang nabi dan karena kasih sayang sejati sang nabi kepada umatnya,
semakin membuat
mereka
bersujud atau cinta kepada llahi.
Ungkapan Ya Yasin pada larik 18 merupakan seruan pujian kepada
kebesaran Sang Nabi atau Rasul yang menjadi utusan Allah. Kata tangis berarti ungkapan perasaan sedih (kecewa, menyesal dsb) dengan mencucurkan airmata dan mengeluarkan suara (tersedu-sedu dsb)
144
berat yang penuh perjuangan, kepedihan, dan duka. Warna ungu merupakan ungkapan dari warna kesedihan, dukacita, dan kekelaman.
Pada bait ketiga, ungkapan ya Thaha merupakan ungkapan pujian
kepada Sang Nabi (Rasulullah). Larik 10, ungkapan milyaran manusia memukul genderang
mengiaskan
bahwa
milyaran
berkumpul dan melakukan kegiatan bersama.
umat
manusia
Sementara larik 11-12,
ungkapan mencari bias jemarimu di lautan kasih-Nya mengiaskan mencari bekas dan sisa-sisa belaian dan ajaran yang baik dari begitu luasnya kasih sayang Allah.
Bait keempat, larik 13-17, sebagian besar bermakna konotasi. Ungkapan ingin kudekap jemari lembutmu merupakan kiasan keinginan umat manusia untuk
merasakan kedekatan dengan nabi (rasul)nya.
Ungkapan jemari lembutmu merupakan kiasan tentang kasih sayang dan kecintaan nabi kepada umatnya. Ungkapan menciumnya sepanjang masa
bermakna merasakan kecintaan itu selamanya. Larik 15, wangi tubuhmu dihiasjubah suci, betapa suci, agung dan menyenangkannya sosok sang nabi bagi umatnya. Kecintaan mereka kepada sang nabi dan karena kasih sayang sejati sang nabi kepada umatnya,
semakin membuat
mereka
bersujud atau cinta kepada llahi.
Ungkapan Ya Yasin pada larik 18 merupakan seruan pujian kepada
kebesaran Sang Nabi atau Rasul yang menjadi utusan Allah. Kata tangis berarti ungkapan perasaan sedih (kecewa, menyesal dsb) dengan mencucurkan airmata dan mengeluarkan suara (tersedu-sedu dsb)
141
(KBBL899) sedangkan ungkapan tangis jiwa manusia tiada henti merupakan ungkapan penyesalan manusia yang dalam(larik 19). Pada
larik 20 /bagai puput nurani kehilangan nyali/, kata puput berarti teriepas atau tanggal (KBBL711), nurani merupakan perasaan hati yang murni yang sedalam-dalamnya dan nyali berarti perasaan atau keberanian (KBBL619). Larik ini bermakna bagaikan hilang
hati nurani karena
kehilangan keberanian yang dimiliki.
Serban adalah kain pengikat kepala yang dipakai atau dikenakan
oleh orang Arab atau oleh haji (KBBI:825).
Ungkapan ulurkan ujung
serbanmu pada larik 21 merupakan kiasan dari pengharapan umat akan
uluran kasih sayang dari Sang Nabi. Sementara larik 22-23 /menampung airmata umat manusia, yang tak seberapa/ berkaitan dengan larik 21 yang menyatakan besarnya uluran rasa cinta dan kasih sayang Nabi untuk
menghibur dan menampung kesedihan dan keluh kesah yang dialami umat manusia
yang sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan
pahit dan beratnya perjuangan Nabi menghadapi umatnya terdahulu. Kata telaga bermakna danau, kolam, perigi, atau sumur (KBBI:917).
Pada larik 24, ungkapan genangan tangismu seluas telaga mengiaskan betapa berat dan penuh pengorbanan kehidupan Nabi ketika menegakkan agama Allah. Kata berwudu berarti menyucikan diri sebelum sembahyang
dengan membasuh muka, tangan, dan kaki (KBB1:1013). Larik akhir 25-26 Ikuingin berwudu di telaga airmatamu/ mengiaskan keinginan untuk menjaga kesucian niat diri dengan mengikuti jejak teladan sang Nabi.
14Z a
2) Bahasa Kiasan Bahasa kiasan dalam puisi Padamu Nabi ini
simile, dan personifikasi.
adalah metafora,
Banyak sekali metafora-metafora yang
digunakan, baik untuk memperjelas maksud maupun untuk memperindah bahasa.
Pada larik 1-2, /ingin kuikuti jejak airmatamu dengan langkah dukal jejak air mata merupakan metafora dari suri teladan tentang ketabahan
nabi dan langkah duka metafora dari usaha yang penuh pengorbanan dan penderitaan. Larik ini merupakan personifikasi yang membuat
airmata seolah sebagai langkah manusia yang meninggalkan jejak yang dapat diikuti. Larik 3-4 /seperti gelombang menari, aku ruku' dan sujud seraya memuji/ merupakan simile, yakni gaya bahasa perbandingan yang mempergunakan
kata
bantu
perbandingan
seperti.
Larik
ini
mengumpamakan
perbuatan ruku dan sujud seperti gelombang yang
sedang menari yang tampak indah dipandang.
Larik 5-6 digambarkan /rombongan para musafir
menaiki dan
menuruni bukit ungu/ Bukit ungu merupakan metafora dari suatu medan atau tempat yang penuh bahaya dan rintangan yang berat.
Demikian
juga
larik7-8,
yang
merupakan
gaya
bahasa
personifikasi, yang membuat debu menjadi berkobar laksana api dan dapat mengejar kumparan waktu. Mereka mencoba mencari cinta dalam
ketabahan yang dicontohkan oleh sang Nabi. Larik 9-12 juga merupakan
143
personifikasi
yang menyatakan bahwa milyaran umat manusia yang
bersama-sama mencari
sisa-sisa atau jejak kasih sayang dari begitu
luasnya kasih sayang Allah. Larik 13-14 mengandung metafora,
jemari lembutmu yang
mengiaskan besarnya kasih sayang dan kecintaan Nabi kepada umatnya
yang menyebabkan mereka ingin merasakannya sapanjang masa.
Ungkapan wangi tubuhmu dihias jubah suci merupakan metafora dari keagungan dan keharuman nama sang Nabi dikarenakan teladan-teladan
sucinya (larik 15). Ungkapan
meniti kasihmu merupakan personifikasi
karena biasanya yang dititi adalah jembatan atau penyeberangan. Larik 16-17 mengiaskan mereka bersujud kepada llahi karena mengikuti ajaran sang Nabi.
Bait kelima, larik 18-26,
banyak menggunakan metafora, simile,
personifikasi, dan juga hiperbola.
Larik 19-20 merupakan simile yang
menggunakan kata bantu perbandingan bagai. yang
merupakan
metafora
dari
rasa
Tangisan jiwa manusia
penyesalan
yang
dalam
dibandingkan dengan keadaan hilangnya hati nurani karena kehilangan keberanian. Dalam larik 21-23, ujung serban merupakan metafora dari sentuhan ajaran-ajaran yang suci dari nilai-nilai keagamaan, airmata umat
manusia yang tak seberapa merupakan penyesalan dan taubat yang dilakukan belum cukup sesuai bila dibandingkan dengan kesalahan yang mereka perbuat.
\>w
Lank 24, genangan tangismu seluas telaga, merupakan simile yang memperbandingkan genangan tangis atau airmata sehingga tampak
seperti luasnya sebuah telaga. Pada larik akhir, larik 25-26, berwudu merupakan metafora dari keinginan untuk mensucikan diri dari dosa-dosa dan telaga airmatamu
merupakan metafora dari cerminan ketabahan
sang Nabi yang sudah sepatutnya diteladani umatnya.
3) Citraan
Citraan visual tampak jelas pada bait pertama,
larik 1-4.
Tergambar melalui larik-larik tersebut visualisasi tentang ada jejak atau bekas air mata, orang yang melangkah dengan kedukaan, gelombang yang menari, dan kegiatan ruku' dan sujud ketika memuji Allah. Pada bait kedua terdapat citraan visual
juga terutama pada
ungkapan /karavan musafir yang naik turun bukit ungu/ dan /debu yang berkobar mengejar waktu/. Citraan kinaesthetik atau gerak terdapat pada larik mencari cinta dalam genangan airmatamu. Bait keempat merupakan bait yang banyak menggunakan citraan,
ada tactual, olfactory, dan kinaesthetic. Citraan tactual pada larik 13 menyebabkan kita dapat merasakan lembutnya jemari dalam sebuah
dekapan.
Citraan
olfactory
terdapat
pada
mengungkapkan keinginan mencium wangi tubuh
Sementara itu
larik
14-15
yang
yang dihiasi jubah.
citraan kinaesthetik terasa pada larik 16-17 yang
menyatakan bahwa si aku (umat manusia) bersujud kepada llahi dan meniti jembatan kasih-Nya.
ws
Pada bait kelima, citraan auditory tergambar pada larik 19 yang
menyebutkan /tangis jiwa manusia tiada henti/ yang membuat kita seolah
mendengar isak tangis yang panjang dan penuh penyesalan. Citraan
tactual pada larik 20 menggambarkan rasa takut dan kecut karena bagai puput nurani karena kehilangan nyali. Sementara itu citraan kinaestetik tampak pada larik 21-22 /ulurkan ujung serbanmu untuk menampung
airmata umat, kuingin berwudu di telaga air matamu/. Citraan visual pada larik 24 memperlihatkan genangan tangis yang seluas telaga. 4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Pada beberapa larik puisi ini menggunakan gaya bahasa hiperbola dan ada juga yang menggunakan Oksimoron.
Hiperbola terdapat pada larik 7-8, 10-12, dan 19-24. Hiperbola ini digunakan
untuk
lebih
mengekspresifkan
gambaran
yang
ingin
diungkapkan penyair. Pada larik 7-8 dikatakan bahwa debu tampak berkobar (seperti bara api) karena mengejar kumparan waktu dalam mencari cinta sang Nabi; pada larik 10-12 ada milyaran manusia (yang
tentunya bukan jumlah yang sedikit) dalam mencari bias jemari di lautan kasih, dan pada larik 19-24 yang menggambarkan bahwa tangis manusia tiada berhenti yang menyebabkan nurani yang puput kehilangan nyali, ulurkan serban untuk menampung airmata umat manusia, sedangkan
genangan tangis digambarkan seluas telaga (sebanyak air telaga).
14^
Gaya bahasa Oksimoron atau gaya bahasa yang mengandung kata-kata yang berlawanan dalam suatu frase yang sama terdapat pada larik 5-6, yakni; karavan para musafir menaiki menuruni bukit ungu. b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks pada puisi Padamu Nabi adalah nabi itu sendiri beserta segala kebesaran dan kemuliaannya di mata umat manusia. Keseluruhan puisi mengisahkan tentang kemuliaan sang nabi
karena begitu besar kasih sayang dan jasanya kepada umatnya sehingga membuat umatnya itu merasakan kerinduan akan kehadiran atau kasih sayang yang ditaburkan oleh sang nabi di hati mereka. 2) Pembacaan Heuristik Bait pertama
Ingin (a-)ku (meng-)ikuti jejak air matamu dengan langkah duka.
Seperti gelombang (yang sedang) menari, aku ruku dan sujud (dalam sholatku) seraya memuji (kemuliaan-Mu). Bait kedua
Karavan para musafir (yang) menaiki (dan) menuruni bukit ungu
(menyebabkan) debu (-debu pun seperti) berkobar mengejar kumparan waktu. (Semuanya) mencari cinta dalam genangan air matamu.
147
Bait ketiga
Ya Thaha, milyaran (umat) manusia (seolah) memukul genderang (untuk) mencari bias jemarimu di lautan kasih-Nya. Bait keempat
Ingin (a-)ku (men-)dekap jemari lembutmu (dan) menciumnya
sepanjang masa. Wangi (terpancar dari) tubuhmu (yang selalu) dihias jubah suci. Aku (ber-) sujud pada llahi (untuk) meniti kasihmu yang sejati. Bait kelima
Ya Yasin, tangis (-an) jiwa manusia (seakan) tiada henti, (hingga) bagai puput (hati) nurani (karena) kehilangan nyali. Ulurkan (-lah) ujung serbanmu (untuk) menampung airmata umat manusia yang tak seberapa.
(Ya nabi), genangan tangismu (tampak) seluas telaga (sehingga) (a-) ku ingin berwudu di (genangan) telaga air matamu.
Larik-larik puisi ini sebagian besar telah memiliki unsur kalimat yang
lengkap, hanya pada beberapa larik yang perlu penambahan unsur subjek dan predikatnya. Pemakaian imbuhan juga sebagian besar sudah benar, namun pada beberapa kata perlu ditambahkan imbuhan (meng-, men-, ber-, -an) dan partikel -lah. Kata aku sering disingkat menjadi ku.
Ada beberapa kata lain yang penting dan perlu ditambahkan seperti: dalam sholatku, kemuliaan-Mu, umat, hati, nabi, dan genangan.
Juga perlu ditambahkan kata penghubung (yang, dan, untuk, sehingga, karena) dan kata bantu perbandingan (seolah-olah, seakan, seperti).
^2
I4.&
3) Pembacaan Retroaktif Bait pertama
Si Aku sangat memuji kebesaran rasulnya. la ingin mengikuti jejak
pengorbanan dan kecintaan sang rasul kepada umatnya dengan tindakan
yang lebih tafakur. la melakukan rukuk dan sujud atau melaksanakan sholat dengan sempurna untuk memuji kemuliaan Allah dan rasulnya. Bait kedua
Seluruh umat seolah berpacu dengan waktu dengan mencari kedamaian dan kecintaan akan sang rasul. Mereka berusaha sangat keras
bagaikan karavan para musafir yang naik turun bukit mengejar kumparan waktu dalam mencari kedamaian seperti yang tersirat dari genangan air mata sang rasul.
Bait ketiga dan keempat
Milyaran umat manusia yang mencoba mencari bias kasih sayang di lautan kasih sang rasul. la rasanya ingin mendekat dan merasakan
kasih sayang yang terpancar dari jemari lembutnya dan mencium dengan sepenuh rasa. Ingin pula ia mencium bau tubuh yang selalu dihias jubah suci itu sebagai tanda kecintaan kepada rasul. Untuk itu si aku bersujud kepada llahi sesuai dengan ajaran yang diajarkan rasul bagi umatnya. Bait kelima
Si aku mengungkapkan kenyataan yang ada di sekelilingnya yang
penuh tangisan jiwa manusia. la mengharapkan uluran kasih sang rasul untuk menampung segala keluh kesah dan penyesalan akan dosa-dosa
149
mereka. Dari riwayat sang rasul untuk menegakkan agama Allah, beliau dengan penuh pengorbanan dan penuh kecintaan kepada umatnya, sehingga hendaknya umat manusia dapat meniru suri tauladan yang diajarkannya bagi kehidupan. 7. Puisi RUDAPAKSA PERSALINAN
Karya: Soni Farid Maulana 1. Ini janin dari rahim kebenaran untukmu
2. Kenapa kau rudapaksa persalinan? 3. Kenapa tidak kau biarkan ia tumbuh hingga dewasa 4. Hingga bisa menghitung dan membaca bahkan berkata
5. Bahwa dua adalah dua bukannya empat atau delapan 6. Mengapa demi menghapus aib dalam batinmu 7. Kau rudapaksa janin kebenaran dari rahimmu? 8. Ada seribu ibu bahkan berjuta perempuan di bumi 9. Yang merindukan tangis bayi 10. Merindukannya tumbuh jadi orang dewasa 11. Bisa mengeja dan mengaji bahwa keadilan adalah keadilan
12. Bukannya perselingkuhan antara gelap dan terang 13. Yang melahirkan bayang-bayang kelam 14. Ya, inijanin untukmu dari rahim kebenaran 15. Biarkan ia tumbuh dewasa
16. Membaca kitab-kitab-Nya
17. Juga menghayati kisah Udin dan Marsinah dalam keheningan 18. Saat sepertiitu jangan kau usikia dengan kekerasan 19. Agar bulan dan matahari tidak meledakditerjang duka 20. Yang begitu sempurna.
(Republika, 8 Februari 1998)
150
a, ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Kosa
kata
yang
digunakan
adalah
kata
dan
istilah
yang
berhubungan dengan kehidupan ibu dan anak, yakni: janin, rahim, persalinan, tumbuh dewasa, ibu, perempuan, dan tangis bayi. Selain kata bermakna denotasi, kata-kata yang digunakan banyak bermakna konotasi.
Ungkapan rudapaksa persalinan yang digunakan
sebagai judul dapat menggambarkan isi puisinya. Rudapaksa menurut pengertian denotasi adalah perbuatan yang dilakukan dengan paksa (KBBL756), sementara persalinan adalah perihal bersalin atau melahirkan anak (KBBL772).
Ungkapan rudapaksa persalinan mengiaskan tentang
persalinan yang dilakukan dengan paksa untuk tujuan yang biasanya kurang baik.
Di dalam kehidupan masyarakat kita biasanya mengenai istilah ini dengan ungkapan aborsi atau pengguguran kandungan secara paksa. Biasanya aborsi dilakukan oleh para medis dengan mempertimbangkan keselamatan ibu dan anak, namun sekarang sebab-sebab aborsi lebih
merujuk pada perbuatan amoral, seperti hamil di luar nikah atau akibat seks bebas yang biasanya terjadi pada anak usia remaja.
Puisi ini muncul beberapa saat setelah merebaknya berita tentang ramainya praktek aborsi terbongkarnya
sejak
dibicarakan di media massa.
ditemukannya
beberapa
kasus
Kasus ini aborsi
pembunuhan bayi tak berdosa di tempat-tempat yang malpraktek.
dan
15!
Kata janin masih berhubungan dengan istilah persalinan, yakni bakal bayi yang masih dalam kandungan (rahim) atau embrio setelah melebihi umur dua bulan (KBBL350) sedangkan rahim secara denotatif berarti peranakan atau kandungan, belas kasihan, dan penyayang (KBBI.720) adalah istilah lain dari kandungan. Ungkapan rahim kebenaran pada larik 1 merupakan kiasan dari sesuatu yang mengandung kebenaran atau ketidakberdosaan.
Pada
larik 2
muncul pertanyaan yang masih berkaitan dengan
larik 1, yakni bila janin itu tidak berdosa mengapa harus terjadi rudapaksa persalinan. Dan mengapa pula janin itu tidak dibiarkan tumbuh dan berkembang hingga dewasa (larik 3-5).
Pada larik 6, ungkapan aib dalam batinmu dapat diartikan bahwa janin yang dikandung tersebut merupakan perbuatan aib yang menyiksa batin si ibu. Kata aib itu sendiri berarti suatu kesalahan, cela, malu, nama
buruk (KBBL11).
Larik 6-7
mengiaskan
bahwa terjadi
rudapaksa
persalinan itu karena oknumnya ingin menghapus aib yang membuat batinnya malu dan tercela. Larik
8-10
mengungkapkan
bahwa
masih
banyak perempuan (ibu) di bumi ini yang justru mendambakan kehadiran seorang anak tetapi mereka tidak mendapatkannya.
Larik /bisa mengeja dan mengaji bahwa keadilan adalah keadilan,
bukannya perselingkuhan antara gelap dan terang, yang melahirkan
bayang-bayang kelam/ pada larik 11-13 adalah pesan yang ingin
disampaikan penyair melalui puisinya ini bahwa bayi atau janin itu pada
1S2
masa yang akan datang mungkin saja bisa menegakkan keadilan di atas ketidakadilan yang ada sekarang dan bukannya membuat ketidakadilan itu
makin meraja tela. Kata mengeja bermakna melafalkan huruf-huruf satu demi satu (KBBL219) dan mengaji berarti membaca Alquran, belajar membaca tulisan Arab, atau mempelajari (KBBL378). Ungkapan mengeja
dan mengaji bahwa keadilan adalah keadilan bermakna memeriksa dan mempelajari dengan tekun tentang penegakan keadilan. Demikian juga larik 16-20 yang mengungkapkan agar bayi atau
janin itu bila dewasa nanti akan membaca kitab-kitab yang diturunkan Allah sehingga ia mengetahui tentang segala kebenaran yang ada. Salah satu contoh kasus yang dipaparkan adalah kasus Udin dan Marsinah yang
menjadi korban justru bukan karena kesalahan mereka melainkan karena ketidakadilan yang kurang ditegakkan. (Beberapa waktu yang lalu kasus mereka cukup ramai dibicarakan di media massa.) Diharapkan pula agar
mereka dibiarkan menghayati kisah tersebut dengan baik , jangan sampai terusik atau terganggu oleh banyak hal, apalagi oleh kekerasan.
Ungkapan agar bulan dan matahari tidak meledak di terjang duka,
yang begitu sempurna pada larik 19-20 mengiaskan makna konotasi. Pasangan bulan dan matahari merupakan
pasangan alam yang
kemunculan mereka dapat membedakan keadaan hari, antara malam dan
siang, yang dapat pula mengiaskan gelap dan terang. Kata ini dipakai dalam ungkapan yang mengiaskan agar
keadaan yang mempunyai
perbandingan terialu jauh layaknya siang dan malam , tidak menjadi
153
sesuatu yang dapat mendatangkan luka mendalam yang diumpamakan sebagai duka yang begitu sempurna.
2) Bahasa Kiasan
Metafora digunakan
pada beberapa larik puisi. Pada larik 1,
ungkapan janin tidak hanya mengacu kepada bakal bayi sebenarnya melainkan juga metafora dari titipan atau kepercayaan yang diberikan Tuhan kepada seseorang.
Demikian juga rahim kebenaran merupakan
kandungan kebenaran atau kehamilan itu bukanlah suatu aib, hanya perbuatan dosanya sajalah yang merupakan aib.
Pada larik 7, janin kebenaran merupakan metafora dari sesuatu yang sebenarnya merupakan titipan Tuhan yang mengandung kebenaran
dan bukan untuk disia-siakan. Ungkapan bayang-bayang kelam pada larik 13
adalah
metafora
dari
keadaan
yang
penuh
kejahatan
dan
kegelapan/kesesatan.
Ungkapan kitab-kitabNya merupakan metafora dari kebenaran yang difirmankan Tuhan melalui ajaran dalam kitab-kitab yang diturunkannya
sehingga bisa membawa kebahagiaan bagi umat manusia (larik 16). Ungkapan bulan dan matahari juga merupakan metafora dari kehidupan
yang terdapat perbedaan jauh layaknya bagai malam dan siang (larik 19). Personifikasi terdapat pada larik
12-13, perselingkuhan antara
gelap dan terang, yang melahirkan bayang-bayang kelam. Gelap dan terang yang merupakan kata keterangan keadaan yang diumpamakan sebagai insan konkrit yang dapat berselingkuh. Keadaan tersebut juga
154
dianggap memiliki sifat-sifat insan yang dapat melahirkan, walaupun yang dilahirkan hanya berupa bayang-bayang kelam.
Pada larik 19, bulan dan matahari dianggap sebagai benda yang
dapat meledak karena diterjang oleh sesuatu yang justru abstrak, yakni kedukaan yang begitu sempurna adanya.
Bahasa kiasan Metonimia yang menggunakan nama, ciri, atau hal-
hal yang berhubungan dengan suatu benda terdapat pada larik 17 /menghayati kisah Udin dan Marsinah dalam keheningan/ dimana Udin adalah seorang wartawan dan Marsinah adalah buruh yang berusaha
menegakkan kebenaran tetapi justru menjadi korban tindak kekerasan dan kekejaman penguasa yang menerapkan hukum secara tidak adil. 3) Citraan
Citraan tactual terdapat pada larik 2 dan 7, sehingga kita pun turut
merasakan bagaimana sakit yang diakibatkan oleh adanya rudapaksa
dalam persalinan itu. Janin yang semestinya tumbuh dengan subur dan akan lahir pada masanya nanti justru mengalami perasaan sakit yang luar biasa karena adanya perbuatan rudapaksa tersebut.
Selain itu, pada larik 8 kita turut merasakan bagaimana kerinduan
yang dirasakan oleh beribu bahkan berjuta ibu (perempuan) di muka bumi
ini yang begitu mendambakan hadirnya seorang anak dan merasakan
sempurnanya rasa keperempuanannya karena ia dapat hamil dan melahirkan, sementara karena beberapa alasan mereka tidak dapat merasakan atau mengalaminya sendiri.
155
Citraan visual dan auditory tampak pada larik 3-5. Melalui lariklarik itu kita dapat membayangkan seorang janin yang lahir sebagai bayi kemudian membesar menjadi anak dan kemudian tumbuh makin dewasa. Kita seolah dapat menyaksikan anak tersebut mulai belajar menghitung dan membaca bahkan berkata-kata tentang kebenaran. Pada larik 16 kita seolah menyaksikan si anak juga mulai tumbuh
diajarkan untuk
membaca
kitab
dewasa
dan
mulai
Allah (Al Quran). Pada larik 17-18
kita juga merasakan keheningan dan keadaan sepi yang tidak terusik atau terganggu karena adanya kekerasan atau suara yang membisingkan.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Puisi
ini
cenderung
menggunakan
sarana
retorika
dengan
menggunakan gaya bahasa paralelisme, yakni pengulangan beberapa kata pada beberapa larik puisi. Paralelisme itu misalnya pada kata janin,
persalinan, rudapaksa, dan rahim kebenaran. Paralelisme pada awal kata (anafora) terdapat pada kata kenapa pada larik 2 dan 3, dan frase biarkan ia tumbuh hingga dewasa sebagai epistrofa pada akhir larik 3,10, dan 14.
Gaya mengandung
bahasa
pleonasme
keterangan
berulang
merupakan yang
gaya
sebenarnya
bahasa
yang
sudah
dapat
dijelaskan pada kata atau frase yang pertama. Pleonasme ini terdapat pada larik 4-5, yakni: hingga (ia) bisa menghitung dan membaca bahkan berkata bahwa dua adalah dua, bukannya empat atau delapan. Frase bukannya empat atau delapan itu hanya berfungsi sebagai penekanan yang kesannya sudah terdapat pada frase yang pertama.
156
Hiperbola yang merupakan sarana retorika yang berlebih-lebihan
dengan maksud untuk menyangatkan dan ekspresifitas tampak pada larik 12-13 dan larik 18-20. Pada larik 12-13, penggunaan hiperbola yang
menyatakan adanya perselingkuhan antara gelap dan terang yang
akhirnya melahirkan bayang-bayang kelam akan membuat ekspresi menjadi lebih menonjol bahwa ada ketidakadilan dalam kehidupan yang
akhirnya mendatangkan penderitaan. Sementara itu pada larik 18-20
hiperbola terkesan lebih menyatakan keadaan yang mencekam atau untuk menyangatkan seperti yang terungkap dari larik fdia jangan kau usik dengan kekerasan, agarbulan dan matahari tidak meledak diterjang duka yang begitu sempurna/.
Selain itu, gaya bahasa sinisme terdapat pada larik 10-13 yang
merupakan sindiran terhadap keadilan yang sering kali tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Larik-larik ini menyindir dengan ungkapan bahwa satu saat janin akan tumbuh menjadi orang dewasa yang dapat mengkaji dan menegakkan bahwa keadilan itu adalah keadilan dan bukannya perselisihan antara kejahatan dan kebaikan yang dapat membuat penderitaan bagi orang yang mungkin saja tidak bersalah. b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks dalam puisi Rudapaksa Persalinan adalah
kata rudapaksa persalinan, rahim kebenaran, dan janin. Kisah yang
dituturkan melalui puisi ini adalah kisah seputar persalinan yang dilakukan
157
dengan paksa padahal setiap janin itu adalah suci yang dilahirkan dari rahim kebenaran seorang ibu.
2) Pembacaan Heuristik
Bait pertama Ini (adalah) janin dari rahim kebenaran (yang diberikan-Nya) untukmu, (tetapi) kenapa kau (melakukan) rudapaksa persalinan? Kenapa
tidak kau biarkan ia tumbuh hingga (menjadi) dewasa. Hingga (dia) bisa menghitung dan membaca, bahkan berkata (tentang kebenaran) bahwa dua adalah dua (dan) bukannya empat atau delapan. Bait kedua
Mengapa demi menghapus aib dalam batinmu, kau rudapaksa janin kebenaran dari rahimmu? Ada seribu ibu, bahkan berjuta perempuan di bumi (ini) yang merindukan tangis bayi (yang lahir dari rahimnya), serta merindukannya tumbuh (men-) jadi orang dewasa.
Bait ketiga (Agar mereka) bisa mengeja dan mengaji bahwa keadilan adalah keadilan, (dan) bukannya perselingkuhan antara gelap dan terang, yang melahirkan bayang-bayang kelam. Ya, ini janin untukmu dari rahim kebenaran (maka) biarkan ia tumbuh dewasa. Bait keempat
(Biarkan mereka) membaca kitab-kitab-Nya, juga menghayati kisah Udin dan Marsinah dalam keheningan. (Pada) saat seperti itu jangan kau
158
(meng-) usik ia dengan kekerasan, agar bulan dan matahari tidak meledak (karena) diterjang duka yang begitu sempurna.
Larik-larik puisi ini sudah lengkap unsur-unsur kalimatnya, baik subjek, predikat, objek, atau pun keterangan.
Kata-katanya pun hampir
semuanya sudah benar penulisannya, kecuali pada kata jadi dan usik yang memerlukan penambahan awalan men- dan meng-. Ada sebuah kata yang tidak baku yang digunakan, yakni kata kenapa yang semestinya dituliskan mengapa. Selain itu perlu penambahan kata penghubung
(adalah, tetapi, yang, agar, dan, maka, karena), kata depan (pada), dan kata ganti (ini).
3) Pembacaan Retroaktif Puisi ini muncul beberapa saat setelah merebaknya berita tentang
terungkapnya beberapa kasus malpraktek dan praktek aborsi dibicarakan di media massa. Kasus ini terbongkarnya sejak ditemukannya beberapa
kasus aborsi dan pembunuhan bayi tak berdosa pada tempat-tempat yang terhitung malpraktek. Di dalam kehidupan masyarakat, kita mengenai istilah aborsi atau
pengguguran kandungan. Biasanya aborsi itu dilakukan oleh para medis
dengan mempertimbangkan keselamatan ibu dan anak, namun kini sebab-sebab orang untuk melakukan aborsi itu lebih mengarah kepada
perbuatan amoral, seperti: karena tidak tahan menanggung malu karena hamil di luar nikah atau karena ia menjalani seks bebas yang biasanya
159
terjadi pada anak usia remaja. Istilah aborsi ini juga dipakai untuk merujuk kepada istilah rudapaksa persalinan atau persalinan yang dilakukan
dengan paksa untuk tujuan atau alasan yang kurang baik bahkan cenderung tak bermoral.
Sebenarnya peristiwa kehamilan atau persalinan merupakan suatu
berkah yang patut disyukuri karena janin yang dikandung tersebut merupakan sesuatu yang suci dan mengandung kebenaran. Tapi kini karena adanya pergeseran moral, terkadang orang seenaknya saja melakukan aborsi atau rudapaksa persalinan tanpa memikirkan akibatnya yang terkadang justru merenggut nyawa si ibu atau si calon ibu itu sendiri.
Bait pertama
Ada sebuah himbauan atau pertanyaan yang dilontarkan kepada para ibu atau oknum yang tega melakukan aborsi. Janin yang kau
kandung itu merupakan janin dari rahim kebenaran yang diberikan oleh Allah sebagai rahmat untukmu, tetapi mengapa kau mengenyahkannya dengan cara rudapaksa? Mengapa kita tidak membiarkannya tumbuh
hingga dewasa hingga akhirnya ia akan menjadi manusia yang pandai dan dapat berkata tentang kebenaran di masa yang akan datang? Bait kedua
Kau harusnya segera bertaubat atas segala aib yang pernah
kaulakukan, dan bukannya melakukan kesalahan yang bertambah besar. Mengapa demi menghapus aib dalam batinmu ini kau melakukan rudapaksa terhadap janin yang menunjukkan kebenaran dari rahimmu?
160 •'54
Tidakkah engkau mengetahui dan menyadari ada seribu bahkan berjuta ibu dan perempuan di dunia ini yang merindukan tangisan bayi yang lahir dari rahimnya dan merindukan mereka tumbuh menjadi dewasa dalam asuhan mereka sedangkan mereka tidak diberi keberuntungan untuk
mendapatkannya. Sementara kau yang diberinya keberuntungan itu justru menyia-nyiakannya. Bait ketiga
Bila nanti si janin dewasa maka ia akan bisa mengeja dan mengaji bahwa keadilan adalah keadilan dan
perselingkuhan
antara
kebajikan
mengakibatkan
penderitaan.
bukan sebuah ajang untuk
dan
Janinmu
keburukan
itu merupakan
yang
dapat
petunjukkan
kebenaran nantinya maka biarkanlah ia tumbuih dewasa. Bait keempat
Biarkan ia mencari kebenaran dan petunjuk dengan membaca
kitab-kita Allah. Biarkan ia menghayati peristiwa ketidakadilan dan
ketidakbenaran yang ada di sekelilingnya dalam keheningan dan kelembutan. Jangan ajarkan kepadanya kekerasan tapi ajarkan kebajikan dan kasih sayang agar ia dapat menjadi manusia yang arif, sehingga dunia tidak menjadi hancur karena banyaknya kebatilan yang sudah merajalela.
161
8. Puisi RUMAH BIRU
Karya: Endang Supriadi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Rumah yang biru itu diberipintu dari cahaya Pabila malam tiba tak sulit mencarinya Sebab selalu terang di mana-mana Aku bawa masuk pikiran-pikiran ke dalam Sejumlah obsesi dan motivasi yang tak bisa kuselesaikan Kubiarkan menempatkan diri di sudut-sudut ruang Kubiarkan pula mataku buta di dalamnya Sebab aku percaya: daricahaya pintu itu Aku sudah bisa tahu bahwa itu Engkau yang datang.
(Republika, 18 Januari 1998) a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan konotasi
Ungkapan rumah biru yang
digunakan sebagai judul puisi
merupakan ungkapan yang mengandung makna konotasi. denotasi kata rumah berarti
Secara
sebuah tempat untuk beristirahat atau
bertempat tinggal (KBBI:757), sedangkan kata biru merupakan ungkapan warna yang sering dipakai untuk
melambangkan ketenangan atau
kepasrahan, kelembutan, dan cenderung gelap atau kelam. Jadi, ungkapan rumah biru mengiaskan tentang sebuah rumah atau sebuah tempat yang mendatangkan ketenangan atau kelembutan bila berada di dalamnya.
Larik 1-3 merupakan konotasi dari keberadaan sebuah rumah.
Sebuah rumah biru yang diberi pintu dari cahaya hingga bila pada malam hari mencarinya tidak sulit sebab selalu terang dimana-mana. Pintu dari cahaya
mengiaskan bagian dari sebuah rumah yang
memancarkan
162
suasana terang atau
kebenaran. Malam yang biasanya mengiaskan
kegelapan dan sulit menemukan sesuatu dalam kegelapannya kini terasa tidak sulit lagi karena selalu terang dimana-mana.
Larik 4-6 mengiaskan bahwa ke tempat yang penuh ketenangan itu
ia juga membawa segala pikiran, juga sejumlah obsesi dan motivasi yang belum bisa diselesaikannya. Obsesi merupakan sebuah gangguan jiwa
berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan (KBBL623) sedangkan motivasi adalah dorongan yang timbul dalam diri seseorang, sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu
tindakan dengan tujuan tertentu (KBBL593). Si aku membiarkan segala obsesi dan motivasi itu memenuhi rumah, dengan ungkapan kubiarkan
menempatkan diri di sudut-sudut ruang (larik 6).
Larik selanjutnya, ungkapan kubiarkan matamu buta di dalamnya
(larik 7) mengiaskan bahwa ia juga membiarkan dirinya tidak dapat melihat apa pun kecuali cahaya yang terpancar dari dalam rumah itu,
sebab ia percaya bahwa segala sinar kebahagiaan yang terpancar dari cahaya pintu itu merupakan pertanda bahwa itu adalah rahmat yang datang dengan pertolongan Allah (aku tahu bahwa itu Engkau yang datang) (larik 8-9).
2) Bahasa Kiasan
Metafora, personifikasi, dan simile merupakan gaya bahasa yang digunakan dalam puisi ini.
1«
Rumah biru merupakan metafora dari
tempat yang penuh
kedamaian dan ketenangan sehingga orang yang tinggal di dalamnya menjadi betah. Pintu dari cahaya merupakan metafora dari pintu yang memancarkan sinar terang atau kebenaran dari dalam rumah hingga
cahaya terang itu memancar ke sekelilingnya. Sudut-sudut ruang merupakan metafora dari segala tempat yang
ada di dalam rumah, mulai dari yang gampang teriihat maupun tempat yang tersembunyi.
Mata buta merupakan metafora dari
keadaan
seseorang yang tidak dapat atau tidak mau melihat hal lain di se
kelilingnya selain cahaya atau kebenaran yang terpancar dari rumah itu. Personifikasi tampak pada larik 4 dimana pikiran yang merupakan benda abstrak dianggap sebagai benda konkrit yang bisa dibawa masuk seperti layaknya membawa buku. Sejumlah obsesi dan motivasi pun dianggap sebagai benda konkrit yang bisa menempatkan diri di sudutsudut ruang di dalam rumah tersebut.
Simile terdapat pada larik akhir, larik 8-9, yang memperbandingkan suatu benda dengan benda lain, yakni cahaya pintu merupakan kiasan dari kedatangan si Engkau (Tuhan).
Secara keseluruhan, ungkapan rumah biru itu merupakan sebuah ungkapan tentang keberadaan Tuhan yang
memberikan pancaran
kebenaran, kedamaian, dan ketenangan bagi orang-orang yang datang kepada-Nya. Ungkapan rumah biru ini juga dapat diumpamakan dengan
MA
rumah Tuhan (Ka'bah) yang membuat setiap umat Islam berkeinginan mendatanginya.
3) Citraan
Hampir keseluruhan larik-larik puisi ini mengandung citraan visual yang membuat gambaran yang lebih jelas tentang keberadaan rumah biru itu beserta berbagai gambaran lainnya.
Digambarkan adanya sebuah rumah yang biru yang pintunya terbuat dari cahaya yang memancarkan cahaya itu ke alam sekitamya. Apabila malam hari dan suasana gelap datang, kita tetap tidak akan kesulitan dalam mencari atau menemukan rumah itu karena
rumah itu
selalu terang dimana-mana.
Ke dalam rumah itu kita dapat melihat si aku membawa masuk
segala pikiran, sejumlah obsesi dan motivasi, sehingga kesemuanya itu menempati tempat-tempat atau sudut ruang yang terdapat dalam rumah tersebut.
Si aku juga membiarkan matanya buta di dalam rumah itu akan segala hal yang lain, sebab ia percaya dari cahaya yang terpancar itu
menunjukkan cahaya llahi yang berarti si Engkau (Tuhan) akan datang. 4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika Puisi ini merupakan enumerasi atau penjumlahan dari beberapa
peristiwa sehingga membuat urut-urutan bagian itu membentuk sebuah cerita. Puisi ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni: larik 1-3, larik 4-6, dan
\i>5
larik 7-9. Bagian pertama menceritakan tentang keadaan rumah, bagian kedua tentang perilaku si aku yang membawa pikiran dan obsesinya ke
rumah itu, dan bagian ketiga kepercayaan si aku akan ketenangan di rumah itu karena ada si Engkau yang pasti datang ke sana. Repetisi kata awal larik 6-7 merupakan paralelisme dengan
adanya pengulangan kata kubiarkan pada awal kedua larik itu. Sementara itu, pada larik 7-9 digunakan gaya bahasa Paradoks yang mengatakan sesuatu secara berlawanan padahal sebetulnya tidak. Pada larik 7 si aku membiarkan matanya menjadi buta di dalam rumah itu,
tetapi pada larik 8-9 diterangkan bahwa si aku justru percaya bahwa
dengan melihat cahaya pintu itu ia yakin si Engkaulah yang datang. Hal ini tampak berlawanan antara kebutaan dan penglihatannya akan cahaya.
b. PEMAKNAAN PUSI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks dalam puisi Rumah Biru ini adalah kata rumah biru itu sendiri.
Adapun rumah biru yang dimaksudkan di sini
adalah rumah yang dianggap mendatangkan harapan dan ketenangan.
Rumah biru dapat dikiaskan sebagai rumah Tuhan (mesjid), yakni tempat
dimana si Engkau (Tuhan) akan selalu datang hingga si aku mendapatkan ketenangan berada di dalamnya dan selalu merasa ingin berada di sana.
166
2) Pembacaan Heuristik
Puisi ini hanya terdiri dari satu bait saja, yakni sebagai berikut. Rumah yang biru itu diberi pintu dari cahaya, sehingga (a-) pabila malam tiba (kita) tak (akan) sulit mencarinya, sebab (rumah itu) selalu terang di mana-mana. Aku (pun mem-) bawa masuk pikiran-pikiranku ke
dalam (-nya). Sejumlah obsesi dan motivasi yang tak bisa kuselesaikan, kubiarkan menempatkan diri di sudut-sudut ruang (-nya). Kubiarkan pula
mataku buta di dalamnya. Sebab aku percaya: dari cahaya (yang terang dari) pintu itu aku sudah bisa tahu bahwa itu Engkau yang datang. Larik-larik puisi sebagian besar sudah merupakan sebuah bangun
kalimat yang lengkap yang memiliki sedikitnya subjek dan predikat, hanya ada dua larik yang kurang sempurna karena tidak mempunyai subjek. Pada puisi ini ada beberapa kata yang perlu diperbaiki, seperti: kata pabila seharusnya apabila, kata bawa harus mendapat awalan mem- kata tak
seharusnya tidak, dan perlu penambahan kata ganti milik -nya. 3) Pembacaan Retroaktif
Rumah adalah sebuah tempat tinggal sedangkan warna biru mengisyaratkan ketenangan, kelembutan, dan kepasrahan. Rumah biru
merupakan kiasan dari sebuah tempat yang dapat mendatangkan
ketenangan, kepasrahan, dan harapan. Dalam interpretasi ini rumah biru itu diumpamakan sebagai rumah Tuhan dimana si Engkau (Tuhan) akan
selalu datang ke sana dan kita akan mendapatkan ketenangan bersamaNya dan ada perasaan untuk selalu berada di sana. Sudah menjadi fitrah
167
manusia untuk mendapatkan ketenangan batin, terutama ketenangan karena merasa dekat dan dapat memasrahan hidupnya kepada Tuhan
yang Maha Kuasa. Melalui puisi ini diceritakan tentang keberadaan sebuah rumah
yang berwama biru yang tentunya mendatangkan ketenangan. Rumah itu diberi pintu dari cahaya agar dapat memancarkan sinar dari dalamnya sehingga biar pun malam gelap telah tiba kita tidak akan sulit mencarinya karena cahaya terangnya terpancar kemana-mana.
Aku datang ke
dalamnya untuk mencari kehangatan dan kedamaian. Aku membawa
masuk segala pikiranku, sejumlah obsesi dan motivasi, sehingga mereka menempatkan diri di keseluruhan rumah itu. Aku membiarkan mataku buta
dan tak melihat apapun lagi karena aku menyadari aku akan mendapatkan
penglihatan dari cahaya yang terpancar dari rumah itu.
Aku sangat
percaya bahwa dari cahaya yang terpancar dari pintu itu bahwa itu karena Engkau datang, yang tentunya akan membuat kita semakin dekat.
9. Puisi LAGU PAGI YANG ANEH
Karya: lyut Fitra -telegram dari kota 1. Kekasih, sudahkah kau baca deritaku 2. Tentang perjalanan sebuah kereta panjang 3. Yang berangkat dengan iringan lagu-lagu merah putih 4. Kemudian tersungkur antara stasiun-stasiun lama
5. 6.
Seperti gerilya-gerilya yang kalah Dan menyerahkan nasibnya pada penungguan tanah kelahiran
7. 8. 9.
Kekasih, inilah pagi yang paling menggelisahkan Dalam setiap penantian yang tak kunjung usai Sungguh, matamu lebih indah dari nyanyian negeri ini
10. Begitulah, aku sering lebih rindu bau nafasmu 11. Daripada nasib yang terbengkalai 12. Di antara slogan-slogan yang dijanjikan
13. Kekasih, sudahkah kau baca kejujuran negeri ini. (Republika, 11 Januari 1998)
a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi Kata-kata yang digunakan ada yang berkaitan dengan perjalanan kereta dan rasa kebangsaan seperti: perjalanan, sebuah kereta panjang, berangkat, iringan lagu merah putih, stasiun lama, gerilya yang kalah, nyanyian negeri, nasib terbengkalai, slogan yang dijanjikan, dan kejujuran negeri ini.
Kata kekasih
(larik 1, 7, dan 13) bermakna orang yang dicintai,
buah hati, atau orang yang paling dikasihi (KBBL394). Pada puisi ini, kekasih yang dimaksud adalah penyair,
orang
yang
dengan
seseorang yang sangat berarti bagi penuh
perhatian
dan
kesabaran
mendengarkan segala keluh kesah dan keprihatinan yang dirasakannya. Pada bait pertama, larik sudahkah kau baca deritaku, seolah
menggambarkan kegiatan membaca kisah tentang derita yang dialami
penyair. Penyair mengibaratkan penderitaannya itu sebagai sebuah cerita perjalanan sebuah kereta pada masa perang revolusi. berangkat dengan iringan lagu merah putih
Kereta tersebut
tapi kemudian tersungkur
pada stasiun lama seperti gerilya yang kalah. Jadi, penderitaan tersebut layaknya sebuah perjalanan hidup yang panjang dan penuh perjuangan
169
yang semula berawal dengan semangat membara yang dilambangkan dengan ungkapan berangkat dengan iringan lagu merah putih tapi
kemudian mengalami kegagalan dengan ungkapan
tersungkur pada
stasiun lama seperti gerilya yang kalah. Kemudian perjalanan hidup itu harus
menyerah
dengan
pasrah
seperti
ungkapan
pada
larik
menyerahkan nasib pada penungguan tanah kelahiran.
Pada bait kedua,
penyair mengatakan bahwa
pagi yang
dialaminya hari itu merupakan pagi yang paling menggelisahkan, karena berada dalam penantian panjang yang tak kunjung selesai. Penantian
panjang bermakna masa menunggu yang memerlukan waktu yang lama sedangkan penantian itu tak kunjung selesai. Selanjutnya pilihan kata dan ungkapan yang digunakan penyair dalam membandingkan keindahan dan kecantikan
sang
kekasih
dengan
keadaan
negerinya
yang
memprihatinkan dengan menggunakan ungkapan yang sederhana namun terasa mendalam. Seperti ungkapan dimana penyair lebih mengagumi
keindahan mata sang kekasih dibandingkan dengan nyanyian negerinya yang dirasakannya menyakitkan. Penyair lebih tertarik untuk merindukan
harum nafas kekasihnya daripada
melihat nasib yang terbengkalai di
antara slogan yang dijanjikan (penderitaan yang ada di sekelilingnya).
Pada larik ketiga yang memuat larik 13, penyair mempertanyakan kepada sang kekasih apakah ia sudah membaca tentang kejujuran yang ada di negeri ini, yang tentunya dia sendiri masih meragukannya.
170
2) Bahasa Kiasan
Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi ini adalah personifikasi, metafora, dan simile.
Larik 1 menggunakan gaya bahasa personifikasi. Derita dianggap
sebagai benda konkrit (buku misalnya) sehingga bisa dibaca pada larik /kekasih, sudahkah kau baca deritaku/.
Selanjutnya, larik 2-6 merupakan keterangan dari larik 1. Pada bait pertama ini, derita yang dialami oleh si aku diperumpamakan sebagai
perjalanan sebuah kereta. Larik-larik tersebut menggunakan metafora dan simile. Perjalanan sebuah kereta panjang merupakan metafora dari panjangnya penderitaan yang dialami oleh si aku. Iringan lagu-lagu merah putih merupakan metafora dari timbulnya sebuah semangat baru yang dilambangkan oleh warna merah putih. Kereta itu tersungkur antara
stasiun-stasiun lama seperti gerilya-gerilya yang kalah, yang kemudian menyerahkan perjalanan nasibnya pada penungguan tanah kelahiran.
Pada larik 7, ungkapan inilah pagi yang paling menggelisahkan merupakan personifikasi dimana pagi yang merupakan keterangan waktu
dianggap sebagai benda konkrit yang dapat membuat perasaan gelisah. Larik 9-12 merupakan simile, yakni gaya bahasa perbandingan
yang memperbandingkan dua buah benda dengan menggunakan kata
bantu perbandingan. Pada larik 9, keindahan mata dibandingkan dengan keindahan nyanyian negeri ini. Larik 10-12, kerinduan akan bau nafas
\71
sang kekasih dibandingkan dengan nasib yang terbengkalai di antara slogan-slogan yang dijanjikan.
Larik akhir, larik 13 merupakan personifikasi dimana kejujuran negeri ini dianggap sebagai benda (seperti buku) yang bisa dibaca.
3) Citraan
Citraan visual tampak pada larik 2-3 yang memperlihatkan gambaran tentang sebuah kereta panjang yang berangkat dengan iringan lagu-lagu merah putih (lagu kebangsaan). Juga pada larik 9 yang
mengungkapkan tentang indahnya mata sang kekasih. Citraan kinaesthetik terdapat pada larik 4-5 yang membuat kita turut merasakan bagaimana kereta itu tersungkur di stasiun lama seperti gerilya yang kalah. Citraan gustatory membuat kita turut merasakan
bahwa pagi yang dialami oleh penyair adalah pagi yang paling menggelisahkan dalam kehidupannya. Citraan olfaktory membuat kita
turut dapat mencium harumnya nafas sang kekasih yang sering dirindukan oleh sang penyair.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Sarana retorika yang digunakan dalam puisi ini di antaranya adalah
paralelisme atau persejajaran, dengan adanya pengulangan kata-kata yang hampir sama antara larik awal dan larik akhir yakni: kekasih, sudahkan kau baca deritaku dengan kekasih, sudahkah kau baca kejujuran negeri ini.
m
Gaya sindiran ironi tampak pada larik 9 yang menyatakan bahwa mata sang kekasih lebih indah dibandingkan dengan nyanyian tentang
keindahan negeri ini. Gaya sindiran lebih keras dengan menggunakan gaya bahasa sinisme tampak pula pada larik 10-12 yang mengatakan bahwa si aku lebih sering merindukan harumnya nafas sang kekasih
daripada kerinduaanya akan negeri ini karena keaadaan di negerinya itu dipenuhi oleh penderitaan dan nasib rakyat yang terbengkalai sementara pemerintah dan penguasa negeri hanya memberikan janji-janji manis saja. Pada larik 4-5 dipergunakan gaya bahasa hiperbola yang mempergunakan gaya bahasa yang berlebih-lebihan untuk menyatakan bahwa penderitaan yang dialaminya sangat berat bagaikan sebuah kereta yang tersungkur diantara stasiun-stasiun lama seperti gerilya yang kalah.
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks dalam puisi Lagu Pagi yang Aneh ini adalah penderitaan yang dialami oleh si aku, seperti yang diceritakannya
kepada sang kekasih, dimana penderitaan si aku itu juga mewakili penderitaan masyarakat pada umumnya. 2) Pembacaan Heuristik
Bait pertama
(Datang sebuah) telegram dari kota (dan isinya sebagai berikut). Kekasih, sudahkah kau (mem-)baca (semua ungkapan pen-) derita (-an)
17*
ku. (Yakni laksana sebuah cerita) tentang perjalanan sebuah kereta
panjang yang berangkat dengan iringan lagu-lagu merah putih (yang) kemudian tersungkur (di) antara stasiun-stasiun lama seperti gerilyagerilya yang kalah, dan menyerahkan nasibnya pada penungguan tanah kelahiran. Bait kedua
Kekasih, inilah pagi yang paling menggelisahkan dalam setiap penantian yang tak kunjung usai. Sungguh (kekasih), matamu lebih indah
dari nyanyian negeri ini. Begitulah, aku sering lebih (me-) rindukan bau nafasmu daripada (menyaksikan) nasib yang terbengkalai di antara slogan-slogan yang dijanjikan (oleh para penguasa). Bait ketiga
Kekasih, sudahkah (eng-) kau (mem-) baca (dan memahami) kejujuran (yang ada di) negeri ini.
Larik-larik puisi ini sudah menggunakan unsur pola kalimat yang lengkap, baik subjek, predikat, atau pun objek.
Ada penambahan
beberapa kata untuk memperjelas makna puisi secara keseluruhan. Ada
pula beberapa kata dalam larik puisi yang perlu mendapat penambahan
imbuhan mem-, me-, dan pe-an serta kata kau yang seharusnya engkau. 3) Pembacaan Retroaktif
Sebuah telegram datang dari kota yang dikirim oleh si aku kepada sang kekasih. Isi telegram inilah yang menjadi isi cerita puisi ini.
\n
Bait pertama
"Kekasih,
apakah
engkau
sudah
mengetahui
semua
penderitaanku?" begitu kira-kira kalimat pembuka yang ditanyakan si aku kepada sang kekasih melalui telegramnya ini. Penderitaan yang dialami oleh si aku ini laksana sebuah cerita tentang perjalanan sebuah kereta panjang yang berangkat dengan penuh semangat dan kebanggaan tetapi
kemudian tersungkur di stasiun lama seperti gerilya yang kalah. Hal ini mengiaskan tentang perjalan hidup yang panjang dan penuh perjuangan yang dialami oleh si aku. Semula perjalan hidup itu dijalaninya dengan penuh semangat tetapi kemudian ia menemui kegagalan hingga akhirnya ia menyerah dan pasrah. Bait kedua
Si aku mengatakan dalam telegramnya
bahwa pagi yang
dialaminya hari itu merupakan pagi yang paling menggelisahkan karena ia
berada dalam penantian panjang yang tak kunjung selesai. la lebih mengagumi keindahan mata sang kekasih dibandingkan dengan nyanyian negerinya yang dirasakannya sangat menyakitkan.
la juga
lebih
merindukan harumnya nafas sang kekasih daripada melihat nasib bangsanya yang terbengkalai di antara slogan kosong yang dijanjikan oleh para penguasa.
175
Bait ketiga
Menutup telegramnya si aku kembali bertanya kepada sang
kekasih, apakah dia sudah menemukan kejujuran dan keadilan di negeri ini yang dia sendiri masih meragukannya.
10. Puisi DI DISKOTIK
1. Lampu berputar memajang nama-nama 2. Hentakan lagu membungkus dunia: indah 3. Asap yang melintas besarkan kabut 4. Dalam gelas anggur sudah semaput 5. "Tingal setengah, setengahnya lupakan dunia!" 6. Ketika akan kugenapi kemarau menjanda 7. Matamu masuk dalam gelas resah 8. Seperti lamparkan sawah minta diolah 9. Berbaris srigala-srigala malam menujah 10.Aku kernyitkan mata antara bayang 11. Tetapijustru dirimu masuk gelas
12. Mengajakku berenang, dan mengajak berenang 13. - tiang ingatkan pada ketakbisaanku berenang 14. Kucoba teguk anggur gelas lain 15. Agar tiada bersalah tak menatapmu 16. Berkali gelas pecah di genggaman 17. (Nama samardan mata itu kembali hadirkan janjipada rumah) 18. Denting piano menyeret tulang belakangku 19. Wafi, aku sudah pulang begitu pergi. a. ANALISIS UNSUR PUISI
1)Corak Kosa Kata
Kata-kata yang digunakan berhubungan dengan kegiatan atau hal-
hal yang terdapat di diskotik, seperti: lampu berputar, hentakan lagu, asap melintas, kabut, gelas anggur,
gelas resah, gelas pecah di
genggaman, denting piano. Frase 'Di diskotik' yang digunakan sebagai judul puisi merupakan sentral cerita dalam puisi.
176
Kata diskotik yang dimaksudkan di dalam puisi ini diistilahkan dengan kata diskotek dalam istilah kamusnya, yang berarti kelab malam tempat muda-mudi berkumpul mendengarkan musik atau menari irama
disko, atau ruang/gedung hiburan tempat mendengarkan musik atau berdansa mengikuti irama musik (KBBI:208).
Pilihan kata dalam larik-larik puisi
Di diskotik menggambarkan
keadaan di dalam sebuah diskotek lengkap dengan suasana dan berbagai benda yang biasa
terdapat di sana, seperti: lampu sorot, lampu yang
remang-remang, dan juga lampu berputar yang memajang nama-nama.
Ungkapan hentakan lagu menyatakan musik yang keras dan hingar
bingar. Kata lagu yang biasanya identik dengan alunan musik yang lembut, indah, dan syahdu, tetapi karena dipadukan dengan kata hentakan yang bermakna menyentak keras maka istilah hentakan lagu diibaratkan pada alunan lagu yang menghentak-hentak atau keras. Larik2,
/hentakan lagu membungkus dunia: indah/, menyatakan bahwa
lagu
dengan alunan musik yang menyentak itu memenuhi seluruh ruang disko hingga terasa indah dan bergelora. Ungkapan membungkus dunia berarti memenuhi ruangan diskotik.
Larik 3, asap yang melintas besarkan kabut, merupakan ungkapan bahwa asap rokok yang dihembuskan terasa memenuhi ruangan.
Penggunaan kata melintas yang berarti berlalu dengan cepat (KBBL527) yang dihubungkan dengan kata asap
dan kabut
suasana menjadi tampak lebih menarik dan hidup.
membuat gambaran
\77
Ungkapan anggur sudah semaput di dalam gelas (larik 4) bermakna konotasi. Anggur secara denotatif adalah buah pohon anggur atau minuman yang berasal dari sari anggur yang difermentasikan secara ilmiah (KBBL36) namun secara konotatif diartikan sebagai minuman keras
yang dapat memabukkan dan kata semaput berarti dalam keadaan tidak
sadar akan diri atau pingsan (KBBI:805). Ungkapan tersebut di atas mengiaskan bahwa dengan meminum anggur itu membuat si peminumnya hampir pingsan atau mabuk.
Larik 5-6 masih berhubungan dengan larik 4, yakni anggur tersebut sudah habis setengah gelas, dan bila dihabiskan yang setengahnya lagi akan dapat melupakan dunia, namun ketika akan dihabiskan timbul
perasaan kering dan sepi. Ungkapan lupakan dunia merupakan konotasi dari melupakan kepedihan dan kesusahan di dunia dengan cara mabuk. Kemarau berarti musim kering kerontang karena sudah lama tidak
turun hujan (KBBL414) sedangkan menjanda adalah kehidupan seorang wanita yang kembali merasakan kesendirian dan kesepian karena ditinggalkan suaminya (KBBL349). Frase kemarau menjanda bermakna kehidupan yang sepi, kering, dan menyakitkan.
Larik 7-9 Imatamu masuk dalam gelas resah, seperti lamparkan
sawah
minta
diolah,
berbaris
menggunakan beberapa ungkapan.
srigala-srigala
malam
menujahl
Ungkapan matamu merupakan
kiasan dari pandangan dan gelas resah konotasi dari kumpulan segala
keresahan dan kegundahan hati. Srigala malam adalah binatang liar
178
seperti anjing yang buas dan biasanya
muncul pada malam hari
(KBBL826) dan menujah adalah kegiatan menusuk dengan tombak atau lembing ke arah bawah (KBBL965). Ungkapan berbaris serigala malam menujah kiasan dari kebuasan keadaan yang diumpamakan dengan kebuasan serigala yang mampu merobek atau menujah seseorang. Pada larik 10-13 laku kernyitkan mata antara bayang, tetapi justru
dirimu masuk gelas, mengajakku berenang dan mengajak berenang, tiang ingatkan pada ketakbisaanku berenangl, ungkapan aku kernyitkan mata antara bayang berarti memicingkan mata di antara penglihatan yang
samar-samar dan mengajak berenang merupakan kiasan dari menggoda. Secara keseluruhan larik-larik ini mengiaskan bahwa si aku mencoba
memicingkan matanya di antara bayang-bayang yang samar karena keadaannya yang sudah limbung dan mabuk, tetapi justru ia melihat bayangan yang menggodanya walaupun sebenarnya ia tak menginginkan dirinya sampai tergoda karena bayangan tersebut.
Larik selanjutnya, larik 14-16
mengungkapkan bahwa si aku
mencoba meneguk anggur dari gelas yang lain agar tidak timbul perasaan
bersalah karena menatap sosok yang ditemuinya namun berkali-kali pula gelas itu pecah di genggamannya karena ia mencoba menahan diri agar
tidak tergoda. Ungkapan meneguk anggur dari gelas yang lain bermakna si
aku
berusaha
melakukan
perhatiannya dan mencoba
berbagai
cara
untuk
menghilangkan rasa
mengalihkan
bersalahnya dan
179
ungkapan berkali-kali gelas pecah di genggaman bermakna bahwa usahanya itu tidak mudah.
Larik 17-19 mengungkapkan
bahwa sosok yang ditemuinya di
diskotik itu justru mengingatkannya untuk segera pulang dan kembali menemui istrinya kembali (yang bernama Wati). Ungkapan nama samar
menunjukkan bahwa di diskotik banyak sekali ditemukan kepura-puraan hingga nama pun disamar atau tidak jelas. Ungkapan kembali hadirkan
janji pada rumah merupakan kiasan datangnya keinginan si aku untuk
segera pulang ke rumah. Denting piano yang mengalun tambah mengingatkannya kepada rumah dan menambah keinginannya untuk pulang.
Pada larik akhir si aku mengungkapkan rasa penyesalan dan
perasaan bersalahnya pada sang isteri bahwa sebenarnya ia tidak begitu berkeinginan pergi ke diskotik , yang diungkapkan lewat larik Wati, aku sudah pulang begitu pergi. 2) Bahasa Kiasan Personifikasi tampak pada beberapa larik. Larik 2, hentakan lagu
diumpamakan sebagai benda konkrit yang dapat membungkus dunia. Asap pun diinsankan hingga asap seolah dapat melintas dan dapat membesarkan kabut (larik 3). Larik 4, anggur seolah dapat semaput, pada
larik 6 kemarau seolah mengalami nasib menjanda layaknya keadaan
yang dialami seorang wanita, dan pada larik 7 mata dianggap sebagai benda yang dapat dimasukkan ke dalam gelas.
180
Personifikasi juga terdapat pada larik 9, serigala malam seolah dapat menujah seolah manusia, larik 11-12 dirimu masuk gelas dan mengajak berenang, dan larik 18 menyiratkan denting piano dapat menyeret tulang belakang.
Pada larik 7-8 terdapat simile dengan menggunakan kata bantu seperti dimana mata yang masuk dalam gelas resah diumpamakan seperti melemparkan sawah yang minta diolah. Pada larik 13, /tiang seolah mengingatkan akan ketidakbisaannya berenang/. Terdapat perbandingan yang menggunakan kata perbandingan seperti dan seolah.
Metafora terdapat pada beberapa larik-larik, seperti: kemarau metafora dari keadaan yang kering dan menyiksa, kiasan kemarau menjanda digunakan untuk menyatakan ungkapan
keadaan sepi
sehingga terasa kering dan menyiksa. Gelas resah adalah metafora dari kumpulan keresahan, serigala merupakan lambang dari kebuasan atau
keliaran, dan menujah kiasan dari perbuatan yang menusuk hati nurani. Berenang (yang dikaitkan dengan anggur di dalam gelas) merupakan kiasan dari kegiatan mabuk-mabukan atau lupa diri.
3) Citraan
Citraan visual membuat kita seolah dapat melihat sendiri suasana di
diskotik yang dipenuhi cahaya dengan adanya lampu-lampu yang berputar, asap yang mengepul seolah ada kabut, malam yang liar seolah menujah.
dan barisan serigala
181
Citraan auditory
membuat kita seolah dapat mendengarkan
hentakan lagu dengan musik yang keras, serta dentingan piano yang membuat dia teringat kepada istrinya.
Citraan kinaesthetik
tampak pada larik yang menyatakan aku
kernyitkan mata di antara bayang-bayang, dirimu masuk gelas, mengajak berenang sementara dia tidak bisa berenang, kucoba teguk anggur gelas lain, dan berkaligelas pecah di genggaman. 4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika Puisi
ini
didominasi
oleh
gaya
bahasa
hiperbola
yang
mempergunakan kata-kata yang beriebihan untuk lebih menimbulkan
suasana atau untuk mengekspresifkan. Hiperbola itu terdapat pada: larik
3-4
yang
menyatakan
bahwa asap
rokok yang melintas dapat
membesarkan kabut hingga memenuhi ruangan dan di dalam gelas minuman anggur dikatakan telah semamput untuk menyatakan bahwa
keadaan si aku sudah sempoyongan karena meminum anggur tersebut. Pada larik 7-9 hiperbola tampak ketika dinyatakan bahwa matamu masuk
dalam gelas resah, seperti melemparkan sawah yang minta diolah atau seperti mata serigala malam yang berbaris dengan pandangan tajam menujah.
Pada larik 10-12 menyatakan bahwa ketika dia mengemyitkan mata
diantara bayang-bayang samar (karena sudah mabuk) la justru melihat si wanita makin menawarkan kenikmatan segelas anggur kepadanya
dengan ungkapan justru dirimu masuk ke dalam gelas mengajakku
185
Citraan auditory
membuat kita seolah dapat mendengarkan
hentakan lagu dengan musik yang keras, serta dentingan piano yang membuat dia teringat kepada istrinya.
Citraan kinaesthetik
tampak pada larik yang menyatakan aku
kernyitkan mata di antara bayang-bayang, dirimu masuk gelas, mengajak berenang sementara dia tidak bisa berenang, kucoba teguk anggur gelas lain, dan berkali gelas pecah di genggaman.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika Puisi
ini
didominasi
oleh
gaya
bahasa
hiperbola
yang
mempergunakan kata-kata yang beriebihan untuk lebih menimbulkan
suasana atau untuk mengekspresifkan. Hiperbola itu terdapat pada: larik
3-4
yang
menyatakan
bahwa asap
rokok yang
melintas dapat
membesarkan kabut hingga memenuhi ruangan dan di dalam gelas minuman anggur dikatakan telah semamput untuk menyatakan bahwa keadaan si aku sudah sempoyongan karena meminum anggur tersebut. Pada larik 7-9 hiperbola tampak ketika dinyatakan bahwa matamu masuk
dalam gelas resah, seperti melemparkan sawah yang minta diolah atau seperti mata serigala malam yang berbaris dengan pandangan tajam menujah.
Pada larik 10-12 menyatakan bahwa ketika dia mengemyitkan mata
diantara bayang-bayang samar (karena sudah mabuk) la justru melihat si
wanita makin menawarkan kenikmatan segelas anggur kepadanya dengan ungkapan justru dirimu masuk ke dalam gelas mengajakku
182
berenang. Hiperbola juga nampak dalam larik 18 yang menyatakan bahwa denting piano menyeret tulang belakangku yang merupakan kiasan bahwa
ia teringat pada rumah dan ingin segera pulang menemui istrinya kembali. Pararelisme terdapat pada larik 12-13 /mengajakku berenang, dan
mengajak berenang, -tiang ingatkan pada ketakbisaanku berenang/ yang menggunakan pengulangan kata berenang sampai tiga kali. Gaya bahasa oksimoron tampak pada larik 19 yang menggunakan kata-kata yang berlawanan arti: aku sudah pulang begitu aku pergi. b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks pada puisi Di Diskotik adalah kata Diskotik itu sendiri. Diskotik adalah sebuah tempat
mencari hiburan atau kelab
malam tempat muda-mudi mencari hiburan, mendengarkan musik, dan menari irama disko. Melalui puisi ini digambarkan keadaan diskotik yang
dipenuhi lampu berputar, hentakan lagu, asap rokok, minuman (anggur), rayuan perempuan, serta dentingan piano.
2) Pembacaan Heuristik
Puisi ini hanya terdiri dari satu bait, yakni sebagai berikut.
"Lampu berputar memajang nama-nama. Hentakan lagu (terasa bagaikan) membungkus dunia (hingga terasa menjadi) indah. Asap yang
melintas (makin mem-) besar (hingga suasana tampak ber-) kabut. (Di) dalam gelas anggur sudah semaput, (seolah berkata) "tinggal setengah,
183
(dan dengan) setengahnya (itu kita) lupakan dunia!", (dan) ketika akan kugenapi kemarau (makin kering dan sepi laksana) menjanda. Matamu
(yang seolah) masuk (ke) dalam gelas (tampak) resah, seperti (me-) lemparkan sawah (yang) minta diolah, (bahkan tampak seperti) berbaris (-
nya) srigala-srigala malam (dengan pandangan) menujah. Aku (me-) kernyitkan mata (di) antara bayang (-bayang) tetapi justru dirimu (seolah
yang) masuk (ke dalam) gelas, mengajakku berenang dan (makin) mengajakku berenang, (untung) -tiang (yang menahan tubuhku yang limbung meng-) ingatkan pada ketakbisaanku berenang. Ku coba (me-) teguk anggur gelas lain, agar (aku merasa) tiada bersalah (karena) tak menatapmu (yang berada di depan mataku namun) berkali (-kali pula) gelas (itu) pecah di genggaman (tanganku). (Tahukah engkau), nama (yang samar (-samar kudengar) dan (pandangan) mata itu kembali (meng-
) hadirkan janji (-ku untuk kembali) pada (ketentraman di dalam) rumah. Denting piano (itu terasa seolah) menyeret tulang belakangku. Wati, aku (merasa) sudah pulang (ke rumah) begitu (aku baru akan) pergi. Sebagian besar larik-larik puisi sudah mempunyai pola kalimat
yang lengkap, kecuali beberapa larik yang perlu dilengkapi dengan subjek dan predikat. Ada beberapa kata yang perlu mendapat penambahan awalan ber-, me-, mem-, dan meng-. Selain itu perlu pula mendapat penambahan kata penghubung dan, yang, untuk, dan karena serta penambahan kata depan di, ke, dan ke dalam.
1M
3) Pembacaan Retroaktif Sebagaimana judulnya 'Di Diskotik' yang tentunya memaparkan
keadaan atau suasana yang terjadi di sebuah diskotik Diskotik adalah sebuah tempat hiburan tempat muda-mudi atau tempat orang mencari kesenangan dan hiburan sambil mendengarkan musik dan menari disko. Diskotik biasanya juga dilengkapi dengan kilatan cahaya, lampu remangremang, hentakan musik keras, serta rayuan perempuan.
Melalui puisi ini diceritakan pengalaman seseorang berada di
diskotik. Mungkin orang ini (si aku) tidak terbiasa datang sehingga ia agak menyesali kedatangannya di tempat itu dan merasa bersalah karenanya.
Di diskotik tampak lampu-lampu berputar sambil memajang namanama,
yang biasanya nama perempuan yang bisa dipesan atau
diistilahkan 'perempuan panggilan'. Selain itu hentakan lagu dan musik terasa membuat dunia ini menjadi dipenuhi oleh keindahan. Asap yang memenuhi ruangan makin membesar bahkan berkabut. Si aku mengamati lingkungannya itu. la pun mulai mereguk anggurnya hingga habis setengah gelas, dan bila dihabiskannya setengahnya lagi maka ia akan segera lupa diri atau semaput, namun hal itu tidak jadi dilakukannya karena ia mendadak merasakan tenggorokannya kering.
Pandangan
seorang
wanita yang
bersamanya
itu
seolah
memancarkan keresahan dan memandang tajam seolah menujah. Si aku mencoba mengemyitkan mata untuk mengalihkan perhatiannya namun si
wanita seolah menggodanya dan mengajaknya bersenang-senang sambil
185
minum-minum hingga akhirnya si aku menjadi limbung. Tiba-tiba antara sisa-sisa kesadarannya, si aku mendengar sebuah nama disebutkan dan
pandangan mata itu telah mengingatkan akan kesalahannya itu. Terlebih ketika ia mendengar dentingan piano maka ia kembali teringat pada
istrinya di rumah dan menyeretnya untuk segera pulang. Sambil menyesal si aku berucap, "Wati (istriku), aku merasa sudah pulang begitu aku pergi",
yang mengiaskan bahwa ia sebenarnya menyesali kepergiannya ke diskotik itu sehingga ia merasa bersalah telah berkhianat dan meninggalkan istrinya. 11. Puisi SESAAT SEBELUM KEBAKARAN HUTAN
Karya: Agus R. Sarjono
1. Kita seperti puisi ya? bisik embun di sela daun 2. Pada kabut yang perlahan turun bersama senja 3. Matahari tinggaljejak kemerahan di cakrawala
4. Beberapa kelefawar melintas di antara pohonan dan rembang senja 5. 6. 7. 8.
Bukankah kita sepertipuisi! tanya embun di sela daun Pada dingan yang menari bersama angin di sela bunga Beberapa kunang-kunang berkerlipan menggaris malam Apa kita tidak seperti puisi? atau setidaknya kenangan
9. Ucap embun yang hampir menetes di sela daun 10. Kepada cahaya bulan yang baru tiba di hamparan rumputan 11. Beberapa ikan berkecipak malas, dalam kolam. 12. Rasanya kita seperti pembangunan
13. Kata setumpuk bate dan batu-batu sambil tersenyum-senyum dan membagi kartu
14. Tentu saja kita pembangunan! 15. Bukankah kita merdeka dan mandiri seperti sebuah kota
16. Coba bikin api unggun dari pohon, ranting, dan daun-daun 17. Biar kabut dan dingin berangkat 18. Biar malam sedikit lebih hangat!
19. Kabut, dingin, dan cahaya bulan sating berpandangan 20. Termangu.
J
'
186
21. Malam berjalan, selapis demi sela pis 22. Kelelawar, kunang, dan ikan-ikan melintas lamban 23. Apakah kita ....
24. Tapi embun itu takberani lagi bertanya 25. la pun menetes seperti mata air. (Media Indonesia, 15 Maret 1998) a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Kosa kata yang terdapat dalam puisi Sesaat Sebelum Kebakaran Hutan merupakan kosa kata yang menggambarkan tentang lingkungan dan alam sekitar.
Kata-kata tersebut
yang mengungkapkan tentang
keindahan alam ketika senja turun dan ketika malam menjelang, yang
disertai pula dengan segala kegiatan atau aktifitas alam ketika itu. Pengungkapan tentang keindahan dan keadaan alam tersebut
tampak begitu romantis karena pilihan kata-katanya yang sederhana namun karena dijalin sedemikian rupa sehingga menjadi suatu paduan
kiasan yang indah dan bermakna yang dalam. Kosa kata yang digunakan di antaranya: embun sela daun, kabut, senja, matahari, cakrawala, kelelawar, pohonan, rembang senja, dingin, angin, bunga, kunang-
kunang, berkerlipan, cahaya bulan, hamparan rumput, ikan berkecipak, kolam, setumpuk bata, batu-batu, api ungun, ranting, dan mata air.
Judul puisi Sesaat Sebelum Kebakaran Hutan
merupakan
ungkapan dari suasana yang terjadi beberapa saat sebelum terjadinya kebakaran hutan. Kebakaran hutan di Indonesia yang terjadi pada
beberapa waktu yang lalu telah menimbulkan hujan abu dan kabut asap di
187
mana-mana bahkan sampai ke negara tetangga. Hal ini bukan hanya menjadi masalah nasional melainkan menjadi masalah dunia. Kebakaran hutan ini memusnahkan lingkungan alam yang indah
dengan lenyapnya embun di sela daun, memusnahkan keindahan alam menjelang senja turun dan ketika bulan datang menjelang malam, sehingga kita tidak bisa lagi menikmati kabut, jejak kemerahan di cakrawala senja, kerlipan kunang-kunang, kecipak ikan, dan keindahan
alam yang lain yang turut hilang bersama terjadinya kebakaran hutan itu. Berikut ini ungkapan dan kata-kata yang mengandung makna denotasi.
Beberapa kelelawar melintas di antara pohon dan rembang
senja (larik 4), beberapa kunang-kunang berkerlipan (larik 7), beberapa
ikan berkecipak malas dalam kolam (larik 11), coba bikin api unggun dari pohon, ranting, dan daun (larik 16), biar malam sedikit lebih hangat (larik
18), kelelawar, kunang, dan ikan melintas lamban (larik 22), dan la pun (embun) menetes seperti mata air (larik 25). Selebihnya,
sebagian besar puisi
merupakan kata-kata
dan
ungkapan yang bermakna konotasi seperti: bisik embun di sela daun, pada kabut yang perlahan turun bersama senja, matahari tinggal jejak kemerahan di cakrawala, tanya embun di sela daun, pada dingin yang
menari bersama angin di sela bunga,
kunang-kunang berkerlipan
menggaris malam, ucap embun yang hampir menetes di sela daun, cahaya bulan yang baru tiba di hamparan rumputan, kata setumpuk beta
dan batu-batu sambil tersenyum-senyum dan membagi kartu, biar kabut
188
dan dingin berangkat,
kabut, dingin, dan cahaya bulan saling
berpandangan, malam berjalan selapis demi selapis, dan tapi embun itu tak berani lagi bertanya.
Kata bisik berarti suara desis perlahan (KBBL121), kabut adalah
awan lembab yang melayang di dekat permukaan tanah (KBBL373) dan cakrawala merupakan lengkung langit atau kaki langit (KBBL147). Senja adalah waktu atau hari setengah gelap sesudah matahari terbenam
(KBBL817) sehingga rembang senja dapat diartikan sebagai keadaan hari ketika menjelang petang.
Jejak kemerahan merupakan ungkapan dari bekas warna cahaya matahari yang kemerahan ketika menjelang malam. Melintas secara
denotasi dapat diartikan berlalu dengan cepat atau memintas. Berkerlipan hampir sama pengertiannya dengan berkedip-kedip (cahaya, mata, bintang) (KBBL429). Menggaris malam adalah cahaya yang gemerlap
yang dipancarkan oleh bintang, kunang-kunang, atau benda lainnya yang
bercahaya sehingga seolah membuat garis di kegelapan malam. Cahaya bulan yang baru tiba merupakan ungkapan dari sinar bulan yang tampak terang karena muncul di kegelapan malam.
Berkecipak merupakan ungkapan untuk tiruan bunyi permukaan air
yang ditampar dengan telapak tangan dan berbunyi kecipak-kecipak (KBBI:403). Api unggun adalah api yang menyala pada tumpukan kayu (yang mengunggun/mengonggok) (KBBL991). Kabut dan dingin berangkat mengiaskan suasana hangat karena tidak ada kabut, gelap, dan suasana
189
yang dingin lagi. Termangu adalah dalam keadaan termenung dan terdiam (karena sedih, kecewa, dan terkejut) (KBBL556). Serta malam berjalan selapis-selapis mengiaskan malam yang berjalan lambat dan dinikmati keberlaluannya.
2) Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan yang digunakan
dalam puisi Sesaat Sebelum
Kebakaran Hutan merupakan suatu rangkaian personifikasi.
Benda-
benda alam yang abstrak dan statis dijadikan seolah-olah benda konkrit dan dinamis dengan menyertakan peniruan tingkah laku yang biasanya dilakukan oleh manusia.
Personifikasi pada larik-larik puisi itu adalah sebagai berikut.
Embun dianggap dapat berbisik pada kabut. Kabut pun turun (berjalan perlahan) bersama senja. Embun yang ada di sela daun bertanya kepada dingin. Dingin menari bersama angin di sela-sela bunga. Kunang-kunang berkerlipan menggaris malam.
Embun berucap kepada cahaya bulan
ketika cahaya bulan itu baru tiba (datang) di hamparan rumput. Demikian pula, setumpuk bata dan batu-batu berkata sambil tersenyum-senyum.
Kabut dan dingin berangkat hingga membuat malam menjadi lebih hangat.
Kabut, dingin, dan cahaya bulan saling berpandangan. Malam berjalan selapis demi selapis. Embun tidak berani lagi bertanya. Selain
itu
terdapat
memperbandingkan dua
pula
gaya
bahasa
simile
yang
benda dengan menggunakan kata
bantu
perbandingan. Simile terdapat pada larik-larik 1, 5, dan 8 dimana embun,
190
kabut, dingin, dan cahaya bulan mengumpamakan diri mereka seperti sebuah puisi. Pada larik 12-13 serta 15, setumpuk bata dan batu-batu
mengiaskan diri mereka seperti pembangunan, dan mereka merdeka dan mandiri seperti sebuah kota. Larik terakhir, larik 25, embun yang menetes
diumpamakan seperti tetesan mata air. 3) Citraan Citraan visual pada larik-larik puisi ini akan memberikan gambaran
kepada kita sehingga kita seolah dapat ikut menyaksikan keindahan yang terjadi di alam sekitar kita ketika rembang senja dan malam menjelang. Kita ikut menyaksikan adanya embun di sela daun, jejak kemerahan yang
ditinggalkan matahari ketika menjelang malam, indahnya keriipan kunangkunang yang menggarisi malam yang gelap, pancaran cahaya bulan yang
menerangi hamparan rumput yang memadukan warna terang keemasan dengan hijaunya rerumputan.
Citraan auditory membuat kita seolah dapat mendengar suara yang terdapat pada larik yang mengungkapkan tentang bisikan embun di sela daun dan kecipak ikan di dalam kolam. Larik-larik tersebut menambah keromantisan suasana alam sewaktu menjelang malam. Citraan
kinaesthetik
membuat
kita
seolah
turut
merasakan
gerakan dari benda-benda yang tampak pada larik-larik, seperti: gerakan
kabut yang turun secara perlahan, kelelawar yang melintas di antara pepohonan, dingin menari bersama angin, kunang-kunang berkerlipan, embun yang hampir menetes di sela daun, gerakan ikan di dalam kolam
191
yang
berkecipak dengan malas, setumpuk bate dan batu-batu yang
tersenyum-senyum, malam yang berjalan selapis-selapis, beberapa kelelawar, kunang, dan ikan yang melintas lamban. Citraan tactual
membuat kita
seolah
merasakan
dinginnya
suasana dan panasnya api unggun membuat malam menjadi semakin hangat.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Sarana retorika yang digunakan pada puisi ini lebih didominasi oleh
gaya bahasa paralelisme, yakni pengulangan beberapa bagian kata yang sama pada beberapa larik puisi baik di awal maupun di akhir larik.
Frase kita seperti puisi dan frase embun di sela daun pada larik 1 diulang lagi pada larik 5 dan 8-9. Kata depan dan kata sambung pada,
yang, dan bersama pada larik 2 mendapat pengulangan pada larik 6 dan 10. Kata beberapa pada larik 4 diulang lagi pada awal larik 7 dan 11. Pada larik 17-18 terdapat pengulangan awal katanya yakni kata biar.
Kedua larik
ini menggunakan
gaya bahasa Tautologi
yang
menyatakan dua hal secara dua kali dengan maksud keterangan tentang hal itu akan lebih mendalam. Kedua larik ini walaupun menggunakan kata
yang berbeda tetap kedua larik ini prinsipnya mempunyai pengertian yang
sama bahwa ketika kabut dan dingin berangkat (pergi) maka malam akan
menjadi sedikit hangat.
192
Selain itu banyak kata-kata yang digunakan diulang kembali pada bagian yang lain, seperti: kita, puisi, embun, daun, kabut, senja, kelelawar, dingin, ikan, dan kunang-kunang.
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks pada puisi ini adalah penggambaran
tentang suasana atau keadaan alam sesaat sebelum terjadinya peristiwa kebakaran hutan (secara
nasional).
Keadaan
alam
yang
indah,
bersahabat, tentram, damai, dan saling menghargai terjalin di antara
penghuni alam ini seakan terusik (bahkan musnah) karena adanya musibah kebakaran hutan secara besar-besaran yang juga menyebabkan
timbulnya kabut asap yang menimbulkan banyak korban. 2) Pembacaan Heuristik Bait pertama
Kita (ini) seperti puisi ya?, bisik embun di sela daun pada kabut yang perlahan turun bersama senja. Matahari (pun hanya) tinggal jejak kemerahan di cakrawala. Beberapa kelelawar melintas di antara pohonan dan rembang senja. Bait kedua
Bukankah kita (ini) seperti puisi! tanya embun di sela daun pada dingin yang menari bersama angin di sela bunga-bunga. Beberapa
kunang-kunang berkerlipan (hingga seolah membuat) garis (pada) malam.
193
Bait ketiga
Apa (-kah) kita (ini) tidak seperti puisi? atau setidaknya kenangan,
ucap embun yang hampir menetes di sela daun kepada cahaya bulan yang baru tiba di hamparan (re-) rumputan. Beberapa ikan berkecipak malas dalam kolam.
Bait keempat
Rasanya kita (ini) seperti (sebuah) pembangunan, kata setumpuk bata dan batu-batu sambil tersenyum-senyum dan membagi kartu. Tentu
saja kita (ini merupakan) pembangunan! Bukankah kita (telah) merdeka dan (bisa) mandiri seperti sebuah kota. Coba (kita) bikin api unggun dari pohon, ranting, dan daun-daun, biar kabut dan dingin (segera) berangkat, biar malam (menjadi) sedikit lebih hangat! Bait kelima
Kabut, dingin, dan cahaya bulan saling berpandangan. (Mereka) termangu. (Sementara) malam berjalan selapis demi selapis. Kelelawar,
kunang (-kunang), dan ikan-ikan melintas lamban. Apakah kita ... tapi embun itu tak berani lagi bertanya. la pun menetes seperti mata air. Larik-larik puisi seperti layaknya sebuah rangkaian cerita yang
kalimat-kalimatnya enak dibaca dan jelas. Secara keseluruhan lariknya
mempunyai pola kalimat yang lengkap unsurnya, baik subjek, predikat,
objek, dan keterangan. Ada beberapa kata yang perlu dilengkapi seperti: penambahan partikel -kah pada kata apa, penambahan unsur re- pada kata rumputan, dan kata kunang merupakan kata ulang semu kunang-
194
kunang. Perlu penambahan kata penghubung hingga, kata depan pada, dan kata penunjuk ini.
3) Pembacaan Retroaktif
Beberapa saat yang lalu terjadi sebuah peristiwa kebakaran hutan
yang mencakup skala yang cukup besar di tanah air kita ini yakni kebakaran hutan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan hampir di seluruh
wilayah Indonesia. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya kabut asap dan hujan abu yang dapat mengganggu pernafasan, dan mengganggu kehidupan masyarakat.
Bukan hanya masyarakat Indonesia yang
terganggu tetapi juga masyarakat di beberapa negara tetangga, seperti di Malaysia dan Singapura, sehingga menjadi perhatian dunia intemasional. Kebakaran hutan ini menimbulkan banyak kerugian, baik kerugian hasil
hutan, kerusakan lingkungan alam, korban jiwa dan benda, serta
musnahnya sebagian besar kekayaan alam Indonesia beserta lenyapnya hutan-hutan itu. Puisi yang dibicarakan ini muncul sebagai reaksi atas peristiwa tersebut dengan menceritakan betapa banyak keindahan alam yang ada yang diceritakannya sesaat sebelum terjadinya kebakaran hutan, namun setelah terjadinya peristiwa itu segala keindahan itu ikut musnah.
Bait pertama
Pada
larik-lariknya
diungkapkan
banyak
keindahan
alam.
Dilukiskan betapa akrabnya embun dengan kabut sehingga embun yang berada di sela daun tampak berbisik pada kabut yang turun perlahan
105
seiring senja. Matahari yang terik di siang hari maka pada saat senja menjelang ia hanya meninggalkan jejak kemerahan di cakrawala. Kelelawar pun sebagai binatang malam tampak melintas di antara pepohonan. Keadaaan yang tergambar betapa damai dan tenang suasana menjelang senja itu. Bait kedua
Ketika malam mulai datang, embun tampak bertanya kepada dingin
yang sedang menari bersama angin di sela bunga-bunga. Kunang-kunang yang muncul sebagai cahaya yang berkerlipan di tengah kegelapan malam tampak makin menambah semaraknya keindahan malam. Bait ketiga
Embun yang hampir menetes di sela daun tampak bercengkrama dengan cahaya bulan yang tampak mriah ketika jatuh ke atas hamparan
rumput yang hijau. Ikan di dalam kolam pun ikut menikmati keindahan malam dengan berkecipak malas di dalam kolam. Semuanya ini menggambarkan akan keindahan malam yang disinari cahaya bulan. Bait keempat
Di tempat lain tampak setumpuk bata bercakap-cakap dan saling tersenyum dengan batu-batu. Mereka mulai merasakan dinginnya malam
dan merindukan kehangatan. Mereka akan membuat api unggun untuk menghangatkan suasana dari ranting, pohon, dan daun, yang akan segera mengusir kabut dan dingin. Di satu sisi kehangatan ini diperiukan tetapi di
sisi lain telah menyebabkan penderitaan bagi bagian alam yang lain,
196
sehingga kabut dan dingin menjadi terusir dan pohon, ranting, dan daun juga dikorbankan untuk dijadikan kayu bakar. Bait kelima
Sementara malam terus berjalan selapis demi selapis. Kabut,
dingin, dan cahaya bulan saling berpandangan karena begitu pagi menjelang maka mereka akan musnah dan tersingkir karena datangnya sinar matahari. Kelelawar, kunang-kunang, dan ikan pun tampaknya
menyadari hal ini. Sementara itu embun yang ada di sela-sela daun tidak berani lagi bersuara dan akhirnya menetes menjadi mata air dan tentunya akan menghilang tanpa bekas karena terbakar panasnya sinar mentari. Kesemua peristiwa yang dipaparkan pada puisi itu menggambarkan akan keindahan alam pada saat senja, malam menjelang, malam yang pekat dan dingin dengan berbagai aktifitas alam yang ada di dalamnya. 12. Puisi INDONESIA, SEBUAH SISA
Karya: Agus R. Sarjono 1. Kubaca dan kubaca lagi 2. Kejumawaan yang sedih di koran-koran 3. Orang-orang mengepakkan bulu-bulu pikiran seperti kupu-kupu malam
4. Beterbangan di antara kata-kata penuh tengkar dan curiga 5. Ada disebutnya sejumlah pikiran atau dugaan dalam luka dan putus asa
6. Juga buku dan istilah asing dengan ejaan yang salah tapi begitu yakin 7. Begitu sedih 8. Ibu, mengapa anak-anakmu tak pernah mandi dan mencuci hatinya 9. Sebelum menanam kata-kata dalam perjumpaan-perjumpaan kami 10. Hari-haripun menjadi pengap dan berlumut 11. Mulutitu terus saja mengeluarkan suara-suara berembun 12. berseberangan dengan angin dan guguran daun 13. Maka, aku titipkan salam dari hatiku padamu, anak-anak ibuku 14. Biar saat kita bertemu, tak kutemui lagi pisau di matamu
197
15. 16. 17. 18. 19.
Atau hama dan cinta berlebih penuh karat kepada diri sendiri Aku tanam bunga di kedua tangan Datanglah ke dalam rumah Biar kusuguhkan secangkir teh Atau sebaris puisi sambil bercakap menikmati dunia yang pedih ini.
(Media Indonesia, 22 Februari 1998)
a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Kata-kata yang digunakan pada puisi ini banyak menggunakan kiasan untuk mengungkapkan tentang keadaan yang penuh luka, derita,
kepedihan, dan juga rasa dendam seperti: Indonesia-sebuah sisa, mengepakkan bulu-bulu pikiran, kupu-kupu malam, kata-kata penuh tengkar, curiga, luka, putus asa, sedih, tak pernah mandi dan mencuci hati, menanam kata-kata, pengap, berlumut, suara berembun, guguran
daun, pisau di matamu, hama dan cinta berlebih, penuh karat, dan menikmati dunia yang pedih.
Judul puisi, yakni: Indonesia, Sebuah Sisa
merupakan suatu
ungkapan yang mengandung kiasan tentang keadaan Indonesia kini. Sisa menurut arti kamus dapat diartikan sebagai apa yang tertinggal atau
merupakan kelebihan (setelah dimakan, diambil, diserap dll) (KBBI:848).
Jadi, ungkapan Indonesia, sebuah sisa dapat diartikan bahwa Indonesia yang dulu dikenal sebagai
negara yang kaya dan damai sentosa kini
hanyalah sebuah negara yang memprihatinkan laksana sebuah sisa dari segala kejayaan, kemakmuran, dan kedamaian yang pernah ada.
198
Kata mengepakkan berarti mengibaskan sayap (KBBL420). Kata mengepakkan yang biasanya merupakan paduan dari kata mengepakkan
sayap, pada larik ini dipadukan dengan mengepakkan bulu-bulu pikiran. Bulu-bulu pikiran merupakan kiasan dari pikiran pendek yang mungkin tidak berguna.
Orang-orang mengepakkan bulu-bulu pikiran seperti kupu-kupu
malam yang beterbangan di antara kata-kata penuh tengkar dan curiga. Kupu-kupu malam merupakan perlambang yang diperuntukkan bagi wanita malam atau wanita tuna susila (WTS). Para WTS ini selalu
memeriahkan malam seperti kupu-kupu yang berterbangan
dengan
segala ulah, tingkah, dan rayuannya kepada orang-orang yang ditemuinya di jalan. Terkadang ada pertengkaran dan rasa curiga yang timbul di antara mereka.
Larik yang mempertanyakan: Ibu, mengapa anak-anakmu tak pernah mandi dan mencuci hatinya sebelum menanam kata-kata dalam perjumpaan kami banyak menggunakan konotasi yang mengiaskan makna tambahan. Ungkapan mandi dan mencuci hati merupakan kiasan dari
membersihkan hati dari pikiran dan niat jahat yang kotor dan
menanam kata-kata merupakan kiasan dari berbicara atau memberikan
nasihat. Kata ibu merupakan simbol dari ibu periiwi dan anak-anakmu merupakan simbol dari generasi penerus.
Kata pengap berarti serasa penuh sesak seperti di dalam kamar sempit yang tidak berjendela (KBBL664) dan berlumut berarti ada
199
lumutnya
(KBBL537).
IHari-hari
menjadi
pengap
dan berlumut/
merupakan kiasan dari hari-hari yang tidak menyenangkan, menyesakkan, dan lembab. Mulut mengeluarkan suara berembun dan berseberangan
dengan angin dan guguran daun merupakan kiasan dari keadaan yang
penuh rayuan dan kekacauan. Embun merupakan kiasan dari kesejukan demikian juga angin sementara guguran daun perlambang dari kegagalan atau kepedihan.
Larik aku titipkan salam dari hatiku padamu, anak-anak ibuku mengiaskan suatu nasihat yang baik kepada para generasi penerus. Salam dari hati merupakan perlambang dari nasehat atau teguran yang tulus dan anak-anak ibu merupakan perlambang dari putera pertiwi atau para penerus bangsa.
Kata pisau berarti sebilah besi tipis dan tajam yang bertangkai sebagai alat pengiris dsb (KBBI:688) dan ungkapan pisau di matamu pada larik 14 merupakan kiasan dari pandangan tajam, sinis, dan menggores hati. Hama dan cinta berlebih merupakan kiasan dari
rasa yang
menyakitkan dan rasa sayang yang beriebihan menimbulkan perasaan
yang tidak baik dan menyiksa diri sendiri. Larik aku tanam bunga di kedua tangan merupakan kiasan dari harapan yang indah di atas kekuasaan dan kesempatan yang ada.
2) Bahasa Kiasan
Personifikasi terdapat pada larik 3-4. Orang-orang diumpamakan seperti burung yang dapat mengepakkan bulu-bulunya, yang pada larik 3
2O0
dikiaskan sebagai bulu-bulu pikiran. Kupu-kupu malam juga beterbangan di antara kata-kata yang penuh tengkar dan curiga seolah kata-kata tersebut merupakan sebuah benda konkrit. Larik ini juga mengandung simile yang memperbandingkan keadaan orang yang mengepakkan bulubulu pikiran seperti kupu-kupu malam yang beterbangan.
Kata ibu dan anak-anak ibuku merupakan metafora dari ibu pertiwi dan generasi penerus bangsa atau putera pertiwi. Demikian juga mata
pisau di matamu merupakan metafora dari pandangan yang tajam, sinis, dan merobek hati. Pada larik kutanam bunga di kedua tangan terdapat
metafora, yakni bunga perlambang dari harapan dan kedua tangan merupakan kiasan dari kekuatan atau kekuasaan.
3) Citraan Citraan kinaesthetik membuat kita dapat merasakan gerakan-
gerakan dari
orang mengepakkan bulu-bulu pikiran seperti
kupu-kupu
malam yang beterbangan, mandi dan mencuci hati sebelum menanam kata-kata, menanam bunga di kedua tangan, dan menyuguhkan secangkir teh dan sebaris puisi sambil bercakap-cakap.
Citraan tactual membuat kita dapat merasakan dengan melihat
gambaran angan tentang kejumawaan yang sedih di koran-koran,
sejumlah pikiran dan dugaan dalam tumbuh dalam keadaan luka dan putus asa, rasa sedih memikirkan generasi penerus yang tidak pernah mencuci hatinya. Kita pun dapat turut merasakan betapa hari-hari menjadi
201
pengap dan berlumut, tajamnya pisau dalam tatapan mata,
ataupun
kesedihan dalam menikmati dunia yang pedih.
Citraan auditory pada larik 4 membuat kita seolah mendengar
pertengkaran yang bercampur nada curiga, sedangkan larik 11-12 membuat kita seolah mendengar suara-suara berembun yang dikeluarkan sebuah mulut, juga suara angin dan guguran daun.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Puisi ini menggunakan sarana retorika berupa gaya bahasa Ironi dan Hiperbola.
Ironi tampak pada larik 8-9, yakni: ibu, mengapa anak-anakmu tak pernah mandi dan mencuci hatinya sebelum menanam kata-kata dalam perjumpaan-perjumpaan kami. Larik ini merupakan sindiran terhadap
generasi muda yang mempunyai hati yang kotor dan penuh curiga sehingga dalam berbicara terkadang menyakitkan orang lain. Hiperbola tampak pada larik 10-12 yang mengungkapkan bahwa hari-hari
terasa pengap dan berlumut,
mulut mengeluarkan suara
berembun yang berseberangan dengan angin dan guguran daun yang mengiaskan hari yang terasa menyiksa karena banyaknya rayuan dan
kekacauan. Pada larik 14 dikatakan bahwa semoga saat kita bertemu, tak kutemui lagi pisau di matamu sedangkan pada larik 16 dikatakan aku
tanam bunga di kedua tanganku.
202
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks dalam puisi Indonesia, Sebuah Sisa adalah
kata anak-anak ibuku yang merupakan kiasan dari generasi muda sebagai
putera-puteri pertiwi. Keadaan negeri yang dipenuhi jerit penderitaan dan mental para pemuda yang perlu dibenahi dan dididik sehingga mereka dapat menjadi harapan bangsa yang benar-benar handal merupakan harapan yang tersirat dari puisi ini.
2) Pembacaan Heuristik Bait pertama
(Ketika) kubaca dan kubaca lagi kejumawaan yang sedih (seperti yang tertulis) di koran-koran (aku merasa terharu). Orang-orang (tampak) mengepakkan bulu-bulu (yang mengganggu) pikiran (mereka) seperti kupu-kupu malam (yang) berterbangan di antara (suasana dan) kata-kata penuh (per-) tengkar (-an) dan (rasa) curiga. (Dalam kata-kata yang terucap itu) ada disebutnya sejumlah pikiran atau dugaan dalam (nada)
duka dan putus asa, juga (dibicarakan tentang) buku dan istilah asing
dengan ejaan yang salah tapi (mereka tetap saja merasa) begitu yakin. Begitu (meny-) sedih (-kan keadaan ini). Ibu, mengapa anak-anakmu tak pernah mandi dan mencuci hatinya sebelum (mereka) menanam (-kan) kata-kata (yang berarti) dalam perjumpaan-perjumpaan kami.
203
Bait kedua
(Kini) hari-hari pun menjadi (terasa) pengap dan berlumut. Mulut itu
terus saja mengeluarkan suara-suara (yang dingin dan lembab seperti) berembun, yang berseberangan dengan (hembusan) angin dan guguran daun (-daun). Bait ketiga
Maka, aku (pun me-) titipkan salam dari hatiku padamu, anak-anak ibuku. Biar saat kita bertemu (nanti) tak kutemui lagi pisau di matamu,
atau hama dan cinta (yang) berlebih (-an hingga terasa) penuh (perasaan yang ber-) karat kepada diri sendiri. Aku (berusaha menanamkan kebaikan laksana me-) tanam bunga (melalui) kedua tangan (-ku). Datanglah ke dalam rumah biar (nanti akan) kusuguhkan secangkir teh atau (hanya) sebaris puisi sambil bercakap menikmati dunia yang pedih.
Larik-larik puisinya sudah menggunakan pola kalimat yang lengkap
sehingga tidak perlu menambahkan unsur-kalimat lain. Ada beberapa kata yang
perlu
(pertengkaran),
mendapat
me-kan
penambahan
(menyedihkan),
imbuhan
seperti:
me-
(menanam),
per-an
me-
(menitipkan), ber-an (beriebihan), ber- (berkarat). Perlu penambahan klitika -ku serta kata penghubung tentang, yang, dan.
204
3) Pembacaan Retroaktif Bait pertama Si aku merasa terharu ketika membaca tentang penderitaan dan
kesedihan yang menimpa tanah air tercinta ini seperti yang banyak tertulis di koran-koran. Banyak orang yang berusaha melepaskan pikiran-pikiran yang mengganggu tanpa berusaha mencari jalan keluarnya. Hal ini tampak dalam pembicaraan mereka yang terkadang penuh tengkar dan rasa curiga. Dalam kata-kata yang terucap itu juga terselip pikiran dan dugaan yang bernada duka dan keputusasaan. Mereka tetap kokoh pada keyakinan mereka yang sebetulnya salah. Si aku sangat menyayangkan
generasi muda (putra pertiwi) yang memiliki hati dan jiwa yang kotor yang bila berbicara atau mengeluarkan pendapat sering kali menyakitkan orang lain.
Bait kedua
Kini hari-hari yang dilalui terasa pengap dan berlumut. Suara yang terucap dari mulut pun hanya berupa kata-kata yang dingin dan lembab, penuh rayuan, dan kadang kata-kata yang pedas menyakitkan. Bait ketiga
Melihat keadaan ini si aku mencoba menyadarkan mereka. la
menitipkan pesan kepada generasi muda penerus bangsa agar bersikap lebih arif. Semoga dalam pertemuan berikutnya tidak ada lagi dendam atau pun cinta yang palsu atau sifat yang mementingkan diri sendiri. Si aku mencoba menanamkan kebaikan dan kelemahlembutan dengan cinta
205
kasih laksana menanam bunga di kedua tangannya. la sangat menyambut kedatangan dan silaturahmi yang menyiratkan ada rasa cinta kasih di antara sesama saudara. Semoga dengan adanya cinta kasih ini akan menimbulkan dan terjalinnya rasa persaudaraan yang erat sehingga biarpun banyak kepedihan tetapi hati yang bersih dan lapang akan membantu memecahkan berbagai persoalan hidup tersebut.
13. Puisi KUPANGGIL NAMAMU BERKALI-KALI
Karya: Eddy Pumawadi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11 12.
Kupanggili namaMu berkali-kali Debur ombak memecah sepi Bulan muncul di punggung samudra Namun Engkau tak pernah menyahut Kupanggili namaMu berkali-kali Kemarau panjang mencekik bunga-bunga di taman Ranting-ranting pohon terbungkus debu Dan Engkau tak juga menjawab Kupanggili namaMu berkali-kali Darah mengalir terasa begitu deras Membekukan kerinduan di lautan jiwaku Tapi Engkau tak juga muncul.
(Pikiran Rakyat, 18 Januari 1998)
a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Kosa kata yang digunakan adalah kata-kata yang terdapat dalam bahasa sehari-hari, namun dikemas dalam rangkaian kata-kata yang
indah, yang bisa menimbulkan efek romantis namun tetap realistis. Katakata yang digunakan di antaranya: debur ombak, memecah sepi, bulan muncul, samudra, kemarau panjang, bunga, taman, ranting pohon, debu,
206
darah, kerinduan, dan jiwa. Corak kosa kata tersebut mencerminkan gambaran tentang alam atau kedekatan dengan alam.
Judul puisi Kupanggili NamaMu Berkali-kali menyiratkan makna konotasi. Kata memanggil bukan hanya berarti meminta datang sambil
menyerukan suatu nama (KBBI:643) tetapi lebih berarti sengaja mengajak dan memohon kedatangan-Mu. Perbuatan ini tidak hanya dilakukan sekali
saja melainkan dilakukan berkali-kali. Larik ini selain dipakai sebagai judul puisi, juga digunakan sebagai larik-larik puisi, seperti yang terdapat pada larik 1, larik 5, dan larik 9. Pada Iarik2, debur ombak memecah sepi, kata memecah yang
berarti menjadi pecah-pecah, merusak, dan mengganggu (KBBL656)
pada
larik ini mengiaskan makna bahwa deburan ombak telah
menghilangkan kesunyian atau membuat suasana sepi menjadi ramai. Kata punggung yang biasanya digunakan untuk menyebut bagian belakang tubuh manusia atau hewan (KBBL710) namun pada larik 3 ini dirangkaikan
dengan
kata
samudera
hingga
menjadi
punggung
samudera, yang dapat diartikan sebagai bagian sebelah atas samudera atau bagian samudera yang menyerupai punggung (misalnya punggung
gunung) seperti pada larik 3 bahwa bulan muncul di punggung gunung.
Penggunaan kata Engkau
pada puisi ini tentu saja untuk
menggantikan kata Tuhan. Demikian pula dengan klitika -Mu yang melekat pada kata nama-Mu untuk menggantikan nama Tuhan.
20?
Pada larik 6 /kemarau panjang mencekik bunga-bunga di taman/, kata mencekik secara denotatif dapat diartikan mencekam leher hingga
tidak dapat bemafas dan secara konotatif berarti kiasan mematikan atau menindas (KBBL156). Pada larik 11 Imembekukan kerinduan di lautan
jiwaku/, kata membekukan di sana bukan berarti
menjadikan beku
melainkan berarti membuat jiwa tak lagi rindu (KBBI.93), sedangkan kata
lautan pada lautan jiwaku digunakan untuk menggambarkan betapa luas dan dalamnya jiwa manusia.
Kata-kata pada larik lainnya tidak terialu sulit dipahami karena tiap kata dapat dipahami makna denotasinya,
seperti:
ranting pohon
terbungkus debu, darah mengalir begitu deras, engkau tak menyahut, tak menjawab, ataupun muncul.
2) Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan yang digunakan dalam puisi ini sebagian besar
adalah gaya bahasa personifikasi, namun terdapat juga metafora. Personifikasi tampak pada larik 2, 3, 6,
dan 7. Debur ombak
diumpamakan sebagai insan yang dapat melakukan kegiatan memecah walaupun yang dipecahkan adalah benda abstrak yakni sepi. Bulan pun dapat muncul atau datang
di punggung samudera, kemarau panjang
melakukan perbuatan mencekik terhadap bunga-bunga di taman, dan
debu
pun
membungkusi
ranting-ranting
pohon.
Larik-larik
ini
20%
mengungkapkan sudah banyak peristiwa yang terjadi dan begitu panjang waktu yang digunakan namun usaha yang dilakukan belum juga berhasil. Ungkapan nama-Mu dan Engkau merupakan metafora dari Tuhan
yang MahaKuasa seperti yang terdapat pada larik 1, 4, 5, 8, 9, dan 12. Pada
larik 1, 5, dan 9, kupanggili nama-Mu berkali-kali, mengiaskan
seolah si aku memanggili nama seseorang (yang konkrit) secara berkalikali, seolah si -Mu itu memang berada dan nyata
ada di sekitamya.
Sementara itu, pada larik 4, 8, dan 12, si Engkau yang dipanggili oleh si aku tadi tidak pernah menyahut (larik 4), tidak pernah menjawab (larik 8), dan bahkan tidakjuga muncul (larik 12). Larik 10-11 Idarahku mengalir terasa begitu deras, membekukan kerinduan di lautan jiwaku/ merupakan personifikasi, dimana darah yang
mengalir deras dapat membekukan kerinduan jiwa dan darah mengalir begitu deras itu seperti aliran air yang deras saja.
c) Citraan
Citraan auditory terdapat pada larik 1, 2, 4, 5, 8, dan 9. Melalui larik-larik itu kita seolah dapat mendengar suara si aku memanggili nama Mu berkali-kali, dapat mendengarkan kerasnya suara deburan ombak
yang memecah, serta keadaan sunyi tanpa suara karena si Engkau tidak menyahut dan tidak menjawab panggilan si aku.
20(5
Citraan visual dapat membuat gambaran seolah kita dapat melihat
bulan yang diam-diam muncul di atas punggung samudera dan melihat ranting-ranting pohon yang kusam karena terbungkus oleh debu. Citraan tactual atau rasa terdapat pada larik 10 sehingga kita
dapat turut merasakan darah yang mengalir deras sebagaimana derasnya aliran air.
Selain itu melalui citraan kinaesthetik kita dapat merasakan
gerakan suatu benda yang sesungguhnya tidak bergerak tetapi dilukiskan seolah dapat bergerak yang membuat puisi menjadi hidup dan gambaran menjadi dinamis. Citraan gerak seperti terdapat pada larik 2, 3, 6, 11, dan 12. Deburan ombak seolah melakukan gerakan memecah sepi, bulan
muncul atau bergerak datang, kemarau panjang bergerak mencekik bunga-bunga di taman, gerakan membekunya kerinduan
jiwa, serta
ketidakmunculan atau ketidakdatangan si Engkau yang mendatangkan suasana sunyi.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Sarana retorika yang berupa Enumerasi tampak dalam puisi ini.
Enumerasi adalah gaya bahasa yang memecah sebuah hal menjadi beberapa bagian dengan maksud untuk lebih memperjelas keterangan
tentang hal yang dibicarakan tersebut. Enumerasi pada puisi ini terbagi
menjadi
tiga
bagian
yang
masing-masing
bagian
menceritakan
bagaimana usaha keras si aku untuk berdialog dengan Tuhannya namun
2fD
usahanya itu tetap menemui rintangan dan belum juga menemukan hasil hingga akhirnya si aku menjadi pasrah.
Gaya bahasa Paralelisme ditandai dengan adanya pengulangan kata bahkan larik-lariknya. Larik 1 mendapat pengulangan utuh pada larik
5 dan 9 yang menyatakan bahwa si aku telah memanggil nama-Mu
(Tuhan) berkali-kali. Pengulangan juga terdapat pada beberapa kata pada larik 4,8, dan 12, yakni pengulangan kata Engkau tak juga menyahut, menjawab, ataupun muncul.
Sarana retorika Hiperbola juga terdapat pada larik 6 yang
menyatakan bahwa kemarau panjang telah mencekik bunga-bunga di taman dan pada larik 10-11 yang mengatakan bahwa darah yang mengalir terasa sangat deras hingga membekukan kerinduan di lautan jiwa. Kata mencekik dan darah yang mengalir membekukan kerinduan tampak mengandung makna yang beriebihan.
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks pada puisi Kupanggil Namamu Berkali-kali adalah si Engkau (atau -Mu) yang tentunya berarti Tuhan Yang
Mahakuasa. Dengan berbagai cara dilakukan oleh si aku dalam memanggil nama tuhannya berkali-kali namun Tuhan itu tetap tidak juga menyahut atau pun muncul.
211
b) Pembacaan Heuristik Bait pertama
Kupanggil
namaMu
berkali-kali,
(sampai)
debur
ombak
memecahkan sepi dan bulan (pun) muncul di punggung samudra, namun Engkau (tetap) tak pernah menyahut. Bait kedua
Kupanggili namaMu berkali-kali, (hingga aku bagaikan) kemarau
panjang (yang) mencekik bunga-bunga di taman dan ranting-ranting pohon (penuh) terbungkus debu, dan Engkau tak juga menjawab. Bait ketiga
Kupanggili namaMu berkali-kali, (hingga) darah (-ku) mengalir begitu deras (dan) membekukan kerinduan di lautan jiwaku, tapi Engkau tak juga muncul.
Keseluruhan
larik
sudah
merupakan
kalimat-kalimat
yang
mempunyai unsur dan pola kalimat yang lengkap. Hanya memerlukan beberapa penambahan kata, seperti: kata penghubung dan, hingga, yang. Kata tak seharusnya dituliskan tidak agar menjadi baku.
c) Pembacaan Retroaktif Bait pertama
"Bait pertama ini menceritakan bagaimana usaha keras yang dilakukan oleh si aku untuk memanggil nama si Engkau (Mu). Adapun -
Mu yang dimaksudkan dalam larik ini adalah Tuhan Yang Mahakuasa.
212
Usaha ini terus dilakukan si aku tanpa jemu sampai debur ombak di lautan memecahkan sepi dan sampai bulan pun muncul di punggung samudera. Hal ini dilakukan oleh si aku dengan sabar walaupun si
Engkau tetap dianggapnya tidak juga menyahut atau menjawab panggilannya." Bait kedua
"Si aku masih juga memanggil nama Tuhan berkali-kali tanpa jemu namun kali ini usaha yang dilakukannya terasa makin berat hingga si aku merasakan keadaannya saat itu bagaikan kemarau panjang yang
mencekik bunga-bunga di taman dan keadaan itu beriangsung cukup lama sampai ranting-ranting pohon pun penuh terbungkus debu. Namun walaupun berat usaha yang sudah dilakukan si aku tetap saja si Engkau tak juga menjawab." Bait ketiga
" Kali ini, si aku tetap juga memanggil nama Tuhan berkali-kali, dengan tenaga yang masih tersisa demi usaha si aku untuk berdialog atau bertemu dengan Tuhannya. Usaha yang dilakukannya sangat berat
hingga dia merasakan darahnya mengalir begitu deras dan segala kekecewaan karena tidak juga mampu bertemu dengan si Engkau telah membekukan kerinduan di lautan jiwanya. Walau bagaimana pun usaha
yang dilakukannya tetap saja si Engkau (Tuhan) tidak juga dapat ditemuinya."
213
Keseluruhan puisi ini
(yang
menggambarkan tentang usaha manusia
diwakili oleh si aku) untuk menjumpai, berdialog, atau lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa dengan berbagai cara
namun ternyata membutuhkan usaha yang keras dan kesabaran karena hal itu tentu saja tidak dapat tercapai dengan mudah. 14. Puisi KASIDAH ANGIN
Karya: M. Haryadi Hadi Pranoto
1. Tak ada satupun kabarmawaryang kubawa pulang 2. Untuk kupersembahkan kepadamu 3. Cuaca benar-benar terasa sangat kejam hari inibagi hidup kita 4. Dan terik matahari yang demikian menyengat 5. Menjadikan seluruh rambutku mengering karenanya 6. Harapan bagai ditegakkan lalu seperti diruntuhkan 7. Dan di sepanjang trotoar-trotoar kota tak kudapatkan 8. Jawaban atas kecemasan serta kepenatan hidup kita 9. Menjadikan hidup terasa benar hanya sebatas kamar 10.Demikian sempitnya demikian sulitnya untuk bergerak 11.Lalu apalagi yang masih dapat kuharapkan 12.Dari kegaduhan dan ketidakpastian hidup ini 13. Dijalanan selalu kudengar orang-orang mengeluh 14.Dan teriakan para pecundang yang tiba-tiba menyeruak 15. Mempersatu dengan nasib yang membungkus hidup kita 16.Jika hidup terus seperti inidan tak mau berubah 17.Barangkali tiupan angin tak akan berarti bagi kita 18. Takakan mampu memberikan kesejukan bagijiwa 19. Tetapibarangkali seperti inilah warna kehidupan 20. Dan barangkali inilah nikmatnya sebuah kepasrahan (Pikiran Rakyat, 18 Januari 1998)
214
a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Pilihan kata, seperti: kejam ditegakkan, diruntuhkan, kecemasan, kepenatan,
kegaduhan,
ketidakpastian,
mengeluh,
menyeruak,
dan
kepasrahan, sangat mendukung gambaran yang ingin dikemukakan penyair tentang sulit dan beratnya suasana kehidupan kota besar. Kemudian pilihan kata-kata seperti: matahari, trotoar, kamar, jalanan, dan kehidupan turut memperkuat gambaran suasana kota besar tersebut. Judul puisi kasidah angin merupakan ungkapan yang bermakna
konotasi. Kasidah menurut arti kamus adalah sejenis sastra Arab (puisi) yang
berisi satire atau ajaran agama yang biasanya dinyanyikan
(KBBI:394), sehingga di dalam kehidupan masyarakat dikenal adanya irama kasidah. Ungkapan kasidah angin adalah kiasan untuk nyanyian angin atau irama yang ditimbulkan oleh angin yang berarti larik-larik puisi tersebut seumpama nyanyian angin. Ungkapan kabar mawar pada larik 1 bukan berarti kabar tentang
bunga mawar melainkan
kabar baik dan menyenangkan layaknya
seindah dan seharum bunga mawar. Ungkapan yang lain, seperti: cuaca
yang kejam, terik matahari yang menyengat, harapan yang ditegakkan kemudian runtuh, hidup sebatas kamar, orang-orang yang mengeluh, teriakan pecundang, dan tiupan angin yang tidak memberi kesejukan lagi merupakan konotasi-konotasi yang membuat suasana kehidupan kota makin terasa pahit, pedih, dan mencekam. Secara keseluruhan, larik-larik
215
puisi ini merupakan larik-larik yang tidak mengandung konotasi yang sulit sehingga tidak terialu sulit pula untuk memahaminya. 2) Bahasa Kiasan
Metafora terdapat pada beberapa larik puisi seperti: kabar mawar
(larik 1) yang merupakan kiasan dari kabar yang indah dan menyenangkan atau berita gembira, tiupan angin (larik 17) merupakan
perumpamaan dari suasana yang dapat memberi kesegaran hidup, dan warna kehidupan (larik 19) merupakan kiasan akan keberanekaragaman kehidupan yang ada di dunia.
Simile atau perumpamaan terdapat pada larik 6, harapan bagai
ditegakkan lalu seperti diruntuhkan, yang membuat harapan itu dikiaskan seperti bangunan yang dapat ditegakkan (dibangun) dan kemudian dapat diruntuhkan. Simile juga terdapat pada larik 9-10, yang menggambarkan
hidup yang terasa hanya sebatas kamar, yang sempit dan membuat sulit bergerak.
Personifikasi tampak pada beberapa larik yang lain. Larik 1, tak ada satu pun kabar mawar yang kubawa pulang,
kabar mawar
diumpamakan sebagai sebuah benda konkrit yang dapat dibawa-bawa dan dipersembahkan. Cuaca sangat kejam (larik 2) membuatnya seolah
mempunyai sifat seperti manusia yang dapat bersifat kejam dan bengis demikian pula dengan terik matahari yang dapat menyengat (larik 4). Pada larik 7-8, jawaban atas kecemasan dan kepenatan hidup yang
216
semula abstrak digambarkan seperti benda konkrit yang tidak dapat
ditemukan di sepanjang trotoar kota. Pada larik 15, nasib dianggap dapat membungkus hidup kita dan larik 17-18, tiupan angin tak mampu lagi memberi kesejukan bagi jiwa, dimana jiwa diumpamakan sebagai anggota
tubuh yang konkrit yang dapat merasakan kesejukan tiupan angin. Demikian juga kepasrahan dianggap sebagai sesuatu kenikmatan kepuasan dalam menikmati makanan yang lezat (larik 20). 3) Citraan
Citraan visual tampak pada larik 1-2 yang memperlihatkan
kepulangan seseorang dengan tangan hampa tanpa sesuatu yang dibawa dan dapat dipersembahkan
(walaupun hanya berupa kabar saja).
Tampak dalam gambaran angan sosok yang teriihat lelah dan pasrah. Citraan tactual
pada larik 3-5 membuat kita turut dapat
merasakan buruknya cuaca yang terasa sangat kejam, terik matahari
yang menyengat, sehingga rambut pun mengering karenanya. Selain itu, pada larik 17-18 kita juga dapat merasakan tiupan angin yang biasanya
sejuk dan segar kini terasa kering. Tiupan angin itu kini seolah tidak lagi berarti karena tidak lagi mampu memberi kesejukan bagi jiwa. Dan pada larik 20, kita turut merasakan nikmatnya sebuah kepasrahan. Citraan kinaesthetik pada larik 9-10 membuat imaji gerak yang
membuat kita dapat merasakan suatu hidup yang sempit dan sesak yang
217
hanya sebatas kamar
sehingga yang berada di dalamnya merasa
kesempitan dan sulit untuk bergerak.
Citraan auditory pada
larik 13-14 membuat kita seolah dapat
mendengar keluhan orang-orang dan juga teriakan para pecundang di jalan. Hal ini menggambarkan betapa ramai dan riuhnya suasana jalan pada saat itu. Sementara itu citraan intelektual terdapat pada larik 6-8 yang
mengiaskan harapan yang susah diraih. Harapan yang sudah ditegakkan lalu seperti diruntuhkan lagi. Jawaban atas kepenatan hidup pun sulit didapatkan.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Enumerasi
(penjumlahan)
merupakan
suatu
rangkaian
keterangan yang dapat menjelaskan makna puisi itu. Pada larik 1-2 tentang kekecewaan karena tidak berhasil membawa kabar baik ketika pulang. Cuaca yang terik menyiksa, harapan yang terombang-ambing, serta kehidupan yang terasa sangat sempit terdapat pada larik 3-10.
Selanjutnya kehidupan itu terasa makin gaduh dan tidak pasti bahkan angin pun tidak lagi dapat menyejukkan (larik 11-18). Akhirnya dia
menyadari bahwa begitulah kehidupan yang penuh warna hingga akhirnya ia bisa menikmatinya sebagai sebuah kepasrahan kepada-Nya.
218
Gaya bahasa Oksimoron terdapat pada larik 6 yang mengandung
kata-kata yang berlawanan dimana harapan dikatakan bagai ditegakkan lalu seperti diruntuhkan.
Gaya bahasa Tautologi yang menjelaskan suatu hal secara berulang dengan kata yang tidak sama namun mengandung pengertian
yang sama terdapat pada larik 16 yang menyatakan bahwa hidup terus saja seperti ini dan tak mau berubah yang menyatakan makna bahwa hidup itu tetap bertahan tanpa ada perubahan.
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks dalam puisi Kasidah Angin ini adalah kota
dan kehidupannya. Puisi ini menggambarkan tentang kekejaman kota,
kepenatan dan ketidakpastian hidup, kecemasan, dan juga kepasrahan. 2) Pembacaan Heuristik Bait pertama
Tak ada satu pun kabar mawar yang (dapat) kubawa pulang untuk kupersembahkan kepadamu. Cuaca benar-benar terasa sangat kejam hari ini bagi hidup kita. Dan terik matahari yang demikian menyengat
menjadikan seluruh rambutku mengering karenanya. Harapan (terasa)
bagai ditegakkan lalu seperti diruntuhkan (lagi). Dan di sepanjang trotoartrotoar kota tak kudapatkan jawaban atas kecemasan serta kepenatan
219
hidup kita. (Hal ini) menjadikan hidup terasa benar hanya sebatas kamar, yang demikian sempitnya (hingga) demikian sulitnya untuk bergerak. Bait kedua
Lalu apa (-kah) lagi yang masih dapat kuharapkan dari kegaduhan dan ketidakpastian hidup ini. Di jalanan selalu kudengar orang-orang
mengeluh dan (juga) teriakan para pecundang yang tiba-tiba menyeruak
(dalam kehidupan kita hingga) mempersatu (-kannya) dengan nasib yang membungkus hidup kita. Jika hidup terus seperti ini dan (tetap) tak mau berubah, barangkali tiupan angin (pun) seakan tak akan berarti bagi kita
(karena ia) tak akan mampu memberikan kesejukan bagi jiwa (kita yang terianjur gersang). Tetapi barangkali (memang) seperti inilah warna kehidupan (yang harus kita jalani di dunia ini). Dan barangkali, inilah nikmatnya sebuah kepasrahan (di tengah kerasnya hidup yang ada di sekeliling kita).
Sebagian besar larik puisi memiliki pola kalimat yang lengkap, kecuali beberapa larik yang perlu penambahan unsur subjek, predikat, dan objek. Perlu penambahan kata penghubung hingga dan karena, kata keterangan lagi, juga, dan pun. Perlu penambahan partikel -kah pada
kata apa dan penambahan akhiran -kan pada kata mempersatu.
220
3) Pembacaan Retroaktif
Bait pertama Puisi ini menggambarkan tentang keadaan seseorang yang cukup penat dan keras dalam menghadapi kehidupan kota yang penuh dengan cobaan. Pada bait pertama ini digambarkan bagaimana kekecewaan si
aku
karena
ia
tidak
berhasil
membawa
satu
pun
kabar
yang
menyenangkan untuk diceritakan kepada istrinya. Si aku merasakan bahwa cuaca sangat kejam menyiksanya dan terik matahari pun terasa
menyengat. la merasa terombang-ambing di antara harapan-harapan yang ada. Atas segala kepedihan, kepenatan, dan kecemasan hidup itu si
aku tetap tidak menemukan jawaban sehingga ia makin merasakan betapa sempitnya kehidupannya di kota ini yang membuatnya makin susah bergerak karena hidup itu dirasakannya hanya sebatas kamar. Bait kedua
Pada
bait
ini
si
aku
makin
merasakan
kegundahan akan ketidakpastian hidup ini. la
kekecewaan
dan
menemukan banyak
pengalaman atas pemandangan yang dilihatnya, tentang keluhan orang-
orang di jalanan dan teriakan para
pecundang yang merupakan
gambaran kehidupan kota yang sangat sulit. Si aku makin mengeluh bahwa jika hidup tetap seperti ini dan tak mau berubah maka kita tidak
akan dapat merasakan kesejukan tiupan angin bagi jiwa kita. Segala hal ini membuat si aku tersadar bahwa kehidupan ini memang harus berjalan seperti ini yang dipenuhi dengan berbagai peristiwa yang mewamai
221
kehidupan itu. Si aku lebih merasakan segala hal tersebut sebagai sebuah kenikmatan atas segala kepasrahan kepada ketentuan Yang Mahakuasa di tengah kerasnya kehidupan yang ada di sekeliling kita.
15. Puisi DI ATAS SAJADAH
Karya: Soni Farid Maulana
1. Angin
dingin
atau hembusan sayap
malaikat Jibrilkah yang
menyelusup ke dalam kalbuku? 2. AllahuAkbar
3. Hanya Engkau Yang Maha Mengetahui 4. Kehidupan yang kutempuh ke muka sarat pertikaian 5. Gelap dan terang silih menyilih 6. Menampakkan pesonanya di hadapanku tanpa henti 7. Dan aku berlindung padaMu 8. Dari segala tipu daya kehidupan 9. Ya Allah Yang Maha Lembut 10. Mata batinku menangkap bayang-bayang 11.Ribuan orang yang mencari nafkah dijalan 12. Dengan lancip belati sarat darah 13. Di manakah kasih sayang 14. Yang diserukan para Nabi dan Rasul 15.Jika yang mereka nyanyikan 16. Melulu larik-larik Firiaun?
17. Tanah lapang dan uang 18. Juga pesawahan hanya ditumpuk 19. Di balik laci kekuasaan
20. Sedang petani dan penggarap 21. Dibiarkan gutung tikar 22. Seperti semak belukar liar 23. Yang kering dihisap kemarau 24. Lalu musnah dimakan api 25. Ya Allah Yang Maha Pengasih 26. Di atas sajadah ini
27. Aku berserah diri padaMu 28. Jangan biarkanpikiranku 29. Membusukjuga hatiku 30. Jangan biarkan diriku 31. Jadi musuh yang nyata bagiMu 32. Kau adzab sepanjang masa 33. Demi keagunganMu
222
34. Jaga tidahku dari 35. Segala ucapan kotor 36. Juga fitnah yang keji 37. Aku beriindung padaMu 38. Semata padaMu 39. Wahai muara segala harap 40. Tumpuan segala rindu 41. La ilaha illallah.
(Pikiran Rakyat, 25 Januari 1998)
a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Kata-kata yang digunakan penyair di dalam puisinya kebanyakan kata-kata yang bernuansa Islami yang mencerminkan ajaran keagamaan atau hal-hal yang bersifat ritual
bagi umat Islam.
Kata-kata tersebut
misalnya: malaikat, Jibril, Allahu Akbar, nabi, rasul, Firaun, Ya Allah, sajadah, dan La ilaha illallah.
Puisi Di Atas Sajadah, selain mengandung makna denotasi , juga
mengandung makna konotasi. Bahkan banyak kata-kata dan ungkapan yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah saja melainkan harus
dilihat lagi makna tambahan atau makna kiasannya. Sajadah menurut arti kamusnya adalah alas atau tikar untuk
sembahyang (KBBL767). Jadi ungkapan di atas sajadah mengiaskan perenungan atau mungkin doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah
sehabis si aku melaksanakan shalat yang dilakukannya ketika masih berada di atas sajadah.
225
Pada larik 1, ungkapan angin dingin masih bisa dimaknai secara denotasi yang bermakna angin yang terasa dingin hembusannya. Namun, ungkapan hembusan sayap malaikat Jibril tidak lagi dapat dimaknai sebagai makna biasa karena ungkapan ini lebih mengacu kepada makna
kiasan pada wahyu atau sapaan atau teguran dari Allah yang tampak lembut menyelusup ke dalam kalbuku. Di dalam ajaran agama Islam,
malaikat Jibril adalah malaikat yang bertugas untuk menyampaikan wahyu dari Allah kepada nabi dan Rasul. Jadi, pada larik 1 tersebut timbul suatu
pertanyaan dalam diri si aku
tentang apa yang telah menyelusup ke
dalam kalbunya, apakah hanya angin yang dingin ataukah wahyu Allah? Ucapan atau sebutan Allahu Akbar (larik 2) dan La ilaha illallah (larik 41) merupakan kalimat puji-pujian kepada Allah Swt. Allahu Akbar (Allah Mahabesar) adalah pujian atas kebesaran Allah dan La ilaha
illallah (tiada Tuhan selain Allah) adalah pengakuan atas keesaan Allah. Larik-larik 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 merupakan larik-larik yang dapat diterjemahkan sebagi larik biasa yang tidak memerlukan penafsiran
tambahan karena larik-larik tersebut sudah jelas maknanya dengan gabungan denotasi-denotasi yang terangkai tersebut.
Melalui larik-larik
ini dapat ditangkap makna bahwa kehidupan itu penuh pertikaian yang
gelap dan terang (susah dan senang). Menyadari banyaknya warna kekerasan dalam kehidupan ini maka si aku memohon perlindungan Allah
Yang Mahalembut agar ia terhindar dari segala tipu daya kehidupan.
224
Larik 10, 11, dan 12 merupakan konotasi. Si aku melihat dan
merasakan (mata batinku menangkap bayang-bayang) adanya kehidupan keras dimana ribuan orang mencari nafkah di jalan dengan cara yang kejam, yakni menggunakan tikaman belati yang penuh darah. Pada larik 13, 14, 15, dan 16 si aku mempertanyakan dimanakah beradanya rasa kasih sayang dan keadilan yang dulu selalu diserukan oleh para Nabi dan Rasul kepada umatnya sementara mereka makin
asyik dengan segala kezaliman dan keangkuhan dirinya, yang terungkap dari ungkapan yang mereka nyanyikan melulu larik-larik fir'aun. Yang
dimaksudkan dengan larik-larik Fir'aun adalah hal-hal yang berhubungan dengan kezaliman dan kesewenang-wenangan, sebab di dalam sejarah Islam (zaman nabi Musa) Fir'aun dikenal sebagai raja yang lalim, kejam, atheis bahkan mengangkat dirinya sebagai Tuhan bagi rakyatnya. Larik-larik 17-24 mengungkapkan konotasi bahwa tanah, uang, dan
kekayaan alam (pesawahan) yang merupakan rahmat Tuhan kepada umat manusia hanya dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat saja (para penguasa) yang diungkapkan lewat larik ditumpuk di balik lad
kekuasaan. Sementara itu petani dan penggarap yang telah bersungguhsungguh mengoiah sawah dan ladangnya dan mengharap dapat memetik
hasil dari cucuran keringatnya itu justru dibiarkan gulung tikar (bangkrut) dan mati kelaparan, bahkan tidak ada satu pun harapan yang masih tersisa seperti semak belukar liar yang kering dihisap kemarau lalu musnah dimakan api.
225
Larik 25, 26, dan 27 mengungkapkan penyerahan diri si aku
kepada Allah Yang Maha Pengasih
berdasarkan hasil perenungan-
perenungan yang dilakukannya di atas sajadah.
Larik 28-36 merupakan larik yang penuh permohonan dari si Aku
kepada Allah dari segala perbuatan jahat. la memohon agar diri, pikiran,
hati, dan lidahnya selalu dijaga dari segala kejahatan dan fitnah yang keji. Hal ini terungkap pada larik: jangan biarkan pikiranku membusuk, demikian juga hatiku, jangan biarkan dirikujadi musuh yang nyata bagiMu,
dan demi keagunganMu, jaga lidahku dari segala ucapan kotor dan juga fitnah yang keji.
Larik 37-41 si aku mengakui bahwa tiada yang lain tempat ia
berlindung kecuali kepada Allah, tempat ia menumpahkan segala harapan dan rasa rindunya seperti yang terungkap dalam larik: aku berlindung padaMu, semata padaMu, wahai muara segala harap dan tumpuan
segala rindu. Pada larik akhir, ucapan la ilaha illallah merupakan pengakuan yang sakral bahwa tiada Tuhan yang lain selain Allah. 2) Bahasa Kiasan
Personifikasi tampak pada larik 1 puisi ini. Angin dingin dan
hembusan sayap malaikat jibril dianggap sebagai sesuatu benda yang konkrit yang dapat menyelusup ke dalam kalbu. Angin dingin maupun hembusan sayap malaikat Jibril merupakan metafora dari perasaan yang sangat menyentuh
bagian hati yang terdalam yakni kalbu. Larik ini
22C5
merupakan ungkapan perasaan si aku yang merasakan ada sesuatu yang menyentuh kalbunya hingga ia mempertanyakan apakah itu hanya hembusan angin yang terasa dingin ataukah bisikan atau sapaan Allah yang dikirimkannya melalui perantara malaikat Jibril yang merupakan bisikan yang mengajak kepada suatu perenungan atau kebajikan. Pada larik 10-11 mata batin dianggap sebagai benda konkrit yang
dapat menangkap sesuatu, apalagi yang ditangkap adalah bayangbayang. Jadi gaya bahasa Personifikasi pada larik ini membuat seolah mata batin dapat melakukan aktifitas yang konkrit selayaknya manusia. Selain itu, larik ini juga mengandung Sinekdok, yakni sinekdok pars pra
toto (sebagian untuk seluruhnya). Mata batinku merupakan bagian dari tubuh yang pada larik itu sebenarnya digunakan untuk menggantikan keseluruhan tubuh lahir dan batin si aku.
Metafora juga tampak pada larik 5 , dimana kata gelap dan terang merupakan metafora dari keadaan yang penuh kebahagiaan dan kesengsaraan. Belati sarat darah pada larik 12 merupakan metafora dari
kekerasan dan kekejaman. Pada larik 16, larik-larik Firaun merupakan metafora dari kalimat-kalimat yang sangat jauh dari kalimat Tauhid, yakni
perkataan yang penuh kejahatan dan bahkan merupakan metafora dari hal-hal yang berhubungan dengan kelaliman dan atheisme. Simile tampak pada larik 17-24 yang mengungkapkan gambaran
perbandingan antara kehidupan para penguasa yang senang dan makmur dengan kehidupan petani penggarap yang sangat menyedihkan
m
bahkan memprihatinkan. Simile tampak jelas pada larik 20-24, yakni: petani penggarap dibiarkan gulung tikar/ seperti semak belukar liar yang kering dihisap kemarau lalu musnah dimakan api. Ironi dan sarkasme tampak pada larik 11-16. Sindiran yang cukup pedas terhadap kenyataan kehidupan yang pahit dinyatakan dalam ungkapan ribuan orang mencari nafkah di jalan dengan lancip belati sarat
darah.
Larik selanjutnya, sindiran terhadap keadaan yang teriihat
kontras, yang mempertanyakan kasih sayang yang diserukan nabi dan
rasul (sebagai utusan Allah di muka bumi ini) yang semestinya dapat mendatangkan kebahagiaan bagi umat manusia tetapi yang ada justru kelaliman dan kesengsaraan hidup. Bila nyanyian biasanya dikonotasikan pada untaian irama dengan larik-larik yang indah, tetapi pada larik 15-16,
yang dinyanyikan justru larik-larik yang penuh kekejaman (larik-larik Fir'aun).
3) Citraan Citraan Tactual pada larik 1-2 membuat kita dapat merasakan
angin dingin dan hembusan sayap yang menyelusup kalbu. Melalui larik ini kita seolah merasakan dinginnya angin dan hembusan sayap ke kulit dan kalbu yang menimbulkan perasaan tentram dan damai.
Citraan Auditory tampak pada larik 13-16, seolah kita kehilangan suara seruan nabi dan rasul yang menyerukan tentang kasih sayang dan
228
sebagai gantinya kita justru mendengar alunan nyanyian yang berisi lariklarik yang menyesakkan dada (larik-larik Fir'aun). Citraan Visual paling banyak digunakan pada puisi Di Atas
Sajadah ini. Larik 10-12 memvisualkan bayangan ribuan orang yang mencari nafkah di jalan-jalan sambil memegang belati lancip yang penuh dengan darah. Hal ini merupakan gambaran tentang kehidupan yang penuh perjuangan keras bahkan penuh kekejaman.
Larik 17-24 merupakan visualisasi dari perbedaan hidup yang kontras
antara kesenangan dan kemakmuran yang dialami
para
penguasa dengan kehidupan yang sengsara dan memprihatinkan yang dialami oleh para petani penggarap. Melalui larik-larik tersebut kita turut
nmenyaksikan luasnya tanah, pesawahan, dan juga uang yang bertumpuk
yang dimiliki oleh para penguasa. Kita turut pula menyaksikan kehidupan petani yang gulung tikar (bangkrut) tanpa memiliki tanah ataupun kekayaan bagaikan semak belukar kering karena kemarau yang kemudian musnah dilalap api.
Larik-larik 25-40 merupakan visualisasi dari penyerahan diri yang
total dari si aku kepada Allah yang MahaKuasa. Si aku mengharap agar
dirinya selalu dijaga, baik pikiran, hati, lidah, dan ucapan oleh Allah yang merupakan muara harapan dan tumpuan rindu. Melalui larik-larik tersebut
kita dapat menyaksikan si aku bersujud di atas sajadah, berserah diri dengan tawakal, dan memohon perlindungan-Nya.
229
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Larik pertama puisi ini menggunakan gaya bahasa Hiperbola dimana dikatakan bahwa angin dingin dan hembusan sayap malaikat Jibril
menyelusup ke dalam kalbu. Demikian juga pada larik 28-29 yang menyatakan bahwa si aku berharap agar pikiran dan juga hatinya tidak dibiarkan membusuk.
Tautologi tampak pada larik 34-36 yang menggunakan kata yang hampir sama maknanya, yakni jaga lidahku dari segala ucapan kotor dan fitnah yang keji.
Sinisme yang merupakan sindiran terhadap betapa kerasnya kehidupan dinyatakan dengan ungkapan mata batinku menangkap
bayang-bayang ribuan orang yang mencari nafkah dijalan dengan lancip belati yang sarat darah (larik 10-12). Ironi terasa pada larik 13-16 yang mempertanyakan kasih sayang yang diserukan para nabi dan rasul
sedangkan yang ada justru nyanyian tentang kekejaman dan kepahitan hidup yang dikiaskan dengan larik-larik Fir'aun.
Sementara itu enumerasi dan sekaligus berupa Sarkasme atau
sindiran pedas dan tajam terhadap perilaku penguasa terhadap para
petani tampak pada larik 17-24. Dikatakan bahwa tanah lapang, uang,
dan persawahan hanya ditumpuk di balik meja kekuasaan oleh para penguasa tanpa mempedulikan nasib masyarakat kecil seperti petani dan penggarap. Rakyat kecil itu dibiarkan gulung tikar seperti semak belukar
230
liar yang kering karena terbakar kemarau panjang dan kemudian musnah karena dimakan api.
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks pada puisi Di Atas Sajadah ini adalah berpusat pada kepasrahan si aku kepada Tuhannya (Allah) dimana segala permohonan, harapan, periindungan, dan kepasrahan hanya diperuntukkan bagi Rabbinya yang MahaEsa, Allahu Akbar. 2) Pembacaan Heuristik
Bait pertama
(Apakah hanya tiupan) angin dingin atau (-kah) hembusan sayap
malaikat Jibril yang menyelusup ke dalam kalbuku? Allahu Akbar (Allah MahaBesar), hanya Engkau (-lah) Yang Maha Mengetahui (segala yang kurasakan). Bait kedua
Kehidupan yang kutempuh ke muka (di masa yang akan datang) sarat dengan pertikaian. (Peristiwa dan harapan yang) gelap dan terang,
(datang) silih menyiiih (menggoda dan) menampakkan pesonanya di hadapanku tanpa henti. Bait ketiga
Dan aku berlindung padaMu dari segala tipu daya kehidupan, Ya
Allah Yang Maha Lembut. Mata batinku (serasa) menangkap bayang-
231
bayang ribuan orang yang mencari nafkah di jalan dengan belati (yang) sarat darah (karena kehidupan yang keras menantang mereka sementara mereka harus bertahan hidup). Bait keempat
Di manakah kasih sayang yang diserukan (oleh) para Nabi dan Rasul (untuk umatnya selama ini) jika yang mereka nyanyikan melulu
larik-larik
(yang
penuh
kekerasan
dan
kekejaman
seperti
yang
dicontohkan oleh) Fir'aun. Bait kelima dan keenam
(Tidakkah kau tahu bahwa) tanah
lapang dan uang juga
pesawahan, hanya ditumpuk di balik laci kekuasaan (para pejabat dan penguasa), sedang petani dan penggarap dibiarkan gulung tikar. (Hal ini)
seperti semak belukar liar yang kering (karena) dihisap kemarau (yang
panjang) lalu musnah (tanpa ada yang tersisa karena) dimakan api. Bait ketujuh, kedelapan, dan kesembilan Ya Allah Yang Maha Pengasih, di atas sajadah ini aku berserah
diri padaMu. Jangan biarkan pikiranku membusuk, juga hatiku. Jangan biarkan diriku (men-) jadi musuh yang nyata bagiMu. (Jangan sampai) kau adzab (aku) sepanjang masa. Demi keagunganMu, jaga lidahku dari
segala ucapan kotor, juga fitnah yang keji.
232
Bait kesepuluh dan kesebelas
Aku berlindung padaMu, Ya Allah. Semata (hanya) padaMu, wahai
muara segala harap (-an dan) tumpuan segala (ke-) rindu (-an). La ilaha illallah (Tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah). Ada beberapa larik yang perlu penambahan unsur kalimat agar
larik-lariknya lengkap, seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan. Perlu penambahan kata penghubung dan, yang, karena, oleh, untuk. Perlu penambahan imbuhan men- (menjadi), -an (harapan), dan ke-an (kerinduan), serta penambahan partikel -kah dan -lah pada kata atau dan engkau hingga menjadi ataukah dan engkaulah. 3) Pembacaan Retroaktif Bait pertama
Ketika si aku merasakan suatu rasa yang sejuk di hatinya ia bertanya apakah hal itu hanya sebuah tiupan angin saja ataukah sebuah hembusan sayap malaikat Jibril yang menyelusup ke dalam kalbunya. la mempertanyakan apakah itu hanya sebuah perasaan yang biasa saja yang mengganggu jiwanya ataukah sebuah petunjuk dari Allah Swt. Untuk
itu ia menyebut kebesaran lllahi (Allahu Akbar) bahwa hanya Dialah yang maha mengetahui segala yang dirasakan oleh setiap insannya. Bait kedua
Si aku menyadari bahwa kehidupannya di masa yang akan datang akan semakin berat dan sarat dengan pertikaian atau perjuangan hidup.
23J
Harapan yang gelap dan terang, atau yang baik dan buruk, datang silih berganti menampakkan pesonanya seakan menggodanya tanpa henti. Bait ketiga
Si aku menyadari akan segala kekerasan hidup yang dihadapinya dan ada di sekitamya.
la menyaksikan bagaimana ribuan orang yang
berusaha mencari kehidupan dan mempertahankan hidupnya telah berusaha
dan
mencari
nafkah
dengan
jalan
kekerasan,
yang
dikiaskannya dengan mencari nafkah di jalan dengan belati yang sarat
darah. Untuk segala kekerasan hidup itu ia memohon periindungan kepada lllahi dari segala tipu daya kehidupan itu karena ia yakin bahwa hanya Dia (Allah) yang Maha memiliki kelembutan. Bait keempat
Si aku mempertanyakan kasih sayang yang diserukan oleh para nabi dan rasul untuk umatnya, di mana mereka dulu selalu mengajarkan segala kebajikan dan mengajarkan untuk saling menyayangi sesama manusia, yang kini telah hilang bahkan telah berganti dengan larik-larik Fir'aun. Adapun larik Firaun yang dimaksudkan adalah kiasan dari
kehidupan yang penuh kekerasan, kesombongan, dan kekejaman yang dicontohkan oleh Fir'aun. Seperti kita ketahui, menurut sejarah Islam, Fir'aun adalah raja yang hidup pada jaman nabi Musa yang memiliki sifat
congkak dan kejam karena ia mengangkat dirinya sebagai raja dan sekaligus sebagai Tuhan yang harus disembah oleh rakyatnya.
VA
Bait kelima dan keenam
Si aku mengadu kepada llahi akan segala kepedihan hidup yang dilihatnya dari sisi kehidupan petani. Diceritakannya bahwa tanah lapang dan uang juga pesawahan yang hanya ditumpuk di balik laci kekuasaan
para pejabat dan
penguasa tanpa
memperhatikan kesejahteraan
rakyatnya. Di satu sisi kehidupan para penguasa itu dipenuhi oleh berbagai fasilitas, materi, dan kehidupan yang mewah sementara di sisi
lain petani dan penggarap dibiarkan gulung tikar. Kehidupan para petani itu laksana semak belukar yang kekeringan karena dihisap kemarau
panjang, lalu musnah pula dimakan api dan menghilang tanpa bekas. Bait ketujuh, kedelapan, dan kesembilan
Si aku di atas sajadah berserah diri kepada Allah yang Maha
Pengasih. la memohon agar pikirannya jangan membusuk, terlebih lagi hatinya. la juga memohon agar Allah tidak membiarkan dirinya menjadi musuh yang nyata bagi Allah dan jangan pula karena hal itu ia diazab
sepanjang masa. la memohon agar lidahnya terjaga dari segala ucapan kotor, fitnah, dan keji, semata-mata demi keagungan Allah. Bait kesepuluh dan kesebelas
Akhirnya si aku memohon periindungan kepada Allah semata
karena ia yakin bahwa hanya Allah muara segala harapan dan tumpuan segala kerinduan. la lalu mengucapakan kalimat 'La ilaha illallah' yang mengatakan bahwa ia mengakui bahwa tiada tuhan yang lain yang patut disembah kecuali Allah.
2i5
16. Puisi TOBAT
Karya: Egi Bagia Sajati
1. Sepanjang sungai waktu 2. Aku berjalan dalam hujan gerimis 3. Menginjakikerikil bebatuan 4. Tersesat keasingan 5. Terseret kegelapan
6. Ya Allah, Ya Rabbi, Maha Pengampun 7. Dalam perjalanan menuju puncakMu 8. Dengarlah jerit penyesalanku 9. Berilah sepercik cahayaMu 10. Agar sepatu bajuku 11. Yang basah dan berlumpurini 12. Kembali mengering dan bersih memutih 13. Seputih melati di taman surgawi.
(Pikiran Rakyat, 8 Februari 1998) a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Kosa kata yang digunakan bernuansa ritual keagamaan (nuansa
Islami) seperti: Ya Allah, Ya Rabbi, Maha Pengampun,
puncak-Mu,
cahaya-Mu, tobat, dan surgawi. Puisi ini berjudul Tobat. Kata tobat atau taubat ini secara denotasi
berarti sadar dan menyesal akan dosanya (perbuatan yang salah atau
jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatannya,
kembali kepada Tuhan dan agama (jalan, hal) yang benar, serta jera (tidak akan berbuat lagi) (KBBL954).
Ungkapan sepanjang sungai waktu pada larik 1 merupakan
konotasi rentang waktu kehidupan. Kata sungai yang berarti aliran air
2B>6
atau kali yang biasanya buatan alam (KBBL869), pada larik ini dipadukan
dengan kata waktu sehingga kita dapat mengartikan sepanjang perjalanan waktu yang mengalir atau bergulir dalam kehidupan. Dalam larik 2-5, kita menemukan kata-kata berjalan dalam hujan
gerimis, menginjak kirikil bebatuan, tersesat, keasingan, dan kegelapan. Hujan gerimis secara harfiah berarti hujan rintik-rintik, kerikil adalah
butiran batu yang lebih besar dari pasir dan lebih kecil daripada kerakal
(KBBL427). Kata tersesat secara denotatif berarti salah jalan atau
kesasar sedangkan makna konotatifnya salah, keliru, dan menyimpang dari kebenaran (KBBI:831). Kegelapan berarti tertimpa atau mengalami keadaan gelap, tempat yang gelap, kericuhan dan keadaan yang sulit mencari jalan pemecahan dan keasingan berarti mengalami perasaan
terasing, aneh dan tidak biasa, terpencil, dan terpisah dari yang lain.
Secara konotatif larik 1-5 itu mengungkapkan kehidupan yang dijalani seseorang yang melalui banyak rintangan, cobaan, bahkan kepedihan. Selanjutnya pada larik 6, ungkapan Ya Allah, Ya Rabbi, dan Maha
Pengampun merupakan ungkapan untuk menyatakan keyakinan akan keesaan dan kekuasaan Tuhan. Allah dan Rabbi merupakan nama Tuhan dalam ajaran agama Islam.
Larik-larik 7-13 mengandung konotasi yang mengungkapkan tentang usaha si aku dalam menemui Tuhannya yang penuh rintangan
dan cobaan. la mengharapkan ada sepercik cahaya atau petunjuk agar keadaaan dirinya yang kotor, hina, dan menderita ini dapat menjadi bersih
23?
dan bahagia sehingga ia dapat mencapai Rabbinya. Kata puncak merupakan bagian tertinggi dari suatu benda (KBBI.709) sehingga
ungkapan puncakMu menyatakan ungkapan bahwa Allah itu merupakan zat yang tertinggi dari segala puncak yang ada. Ungkapan basah dan berlumpur tidak hanya dapat diartikan dalam keadaan basah, kotor, dan lembab tetapi juga mengandung konotasi tentang keadaan yang hina, penuh dosa, dan kehilafan. Demikian juga ungkapan mengering dan bersih memutih mengungkapkan konotasi
keadaan yang baik, sempurna, dan penuh kesucian. Larik akhir, seputih melati di taman surgawi, merupakan konotasi tentang keadaan yang membahagiakan. Melati merupakan perlambang
dari bunga yang suci, bersih, dan harum. Kehadiran bunga Melati yang melambangkan selalu kebersihan hati selalu ditunggu apalagi bila Melati
itu dari taman surgawi yang merupakan tempat idaman yang ingin digapai oleh seluruh makhluk Allah, yang penuh dengan kebahagiaan dan kesempumaan.
2) Bahasa Kiasan Metafora merupakan gaya bahasa yang paling banyak digunakan
dalam puisi ini. Bait 1, larik 1-5,
merupakan metafora dari kehidupan
yang penuh liku, kepahitan, dan kesedihan. ISepanjang sungai waktul merupakan metafora dari perjalanan waktu dalam kehidupan di dunia, /berjalan dalam hujan gerimis! merupakan metafora dari perjalanan yang
238
berat dan kedinginan, /Menginjak kerikil bebatuanl merupakan metafora dari keadaan yang perih dan kesakitan, dan /Tersesat keasingan dan
kegelapan/ merupakan metafora dari kehidupan yang telah salah jalan atau menyimpang dari
kebenaran sehingga menemui
kesulitan,
kesusahan, dan perasaan aneh dan terasing sendiri.
Bait kedua, larik 6-13 juga mengandung metafora. Larik 7-8, /dalam perjalanan menuju puncakMu dengarlah jerit penyesalankul, merupakan kiasan dari perjalanan hidup yang penuh penyesalan untuk menggapai ridho Allah. PuncakMu merupakan metafora dari keridhoan
atau penerimaan Allah atas ibadah dan ketakwaan umatnya. Dalam larik
9-13,
sepercik cahayaMu merupakan metafora dari sedikit petunjuk
kebenaran, sepatu dan baju merupakan metafora dari langkah dan jiwa raga, basah dan berlumpur metafora dari keadaan yang kotor dan banyak kesalahan, dan mengering dan bersih memutih merupakan metafora dari keadaan yang baik, bersih, dan suci. Simile terdapat pada larik 12-13, yakni ada perbandingan antara keadaan yang bersih memutih
seperti putihnya bunga melati di taman
surgawi dengan menggunakan kata bantu perbandingan seperti.
3) Citraan
Citraan organik dan tactual terdapat pada larik 2-3 membuat kita seolah turut merasakan dinginnya cuaca yang sedang hujan gerimis,
letihnya langkah kaki berjalan dalam menempuh keadaan yang sedang
239
hujan, serta pedih dan sakit yang dirasakan telapak kaki ketika menginjak kerikil bebatuan yang tajam.
Citraan visual tampak pada larik-larik lainnya. Kita seolah dapat melihat kegelapan dan mengalami suasana asing dan aneh pada larik 45, melihat gambaran angan dari sepercik cahayaNya dapat membuat sepatu dan baju yang basah dan berlumpur hingga menjadi kering dan memutih, seputih melati di taman surgawi (larik 9-13).
Citraan auditory pada larik 7-8 membuat kita seolah dapat mendengarkan jerit penyesalan yang diteriakkan oleh si aku.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Sarana retorika Enumerasi berupa penjumlahan hal-hal yang ada dalam puisi terbagi menjadi tiga bagian, yakni: larik 1-5 menyatakan
tentang perjalanan yang sulit dan penuh tantangan yang dialami oleh si aku, larik 6-8 si aku memohon kepada Tuhannya agar mendengar jerit penyesalan dalam perjalanannya mencari ridha Allah, dan pada larik 9-13
si aku
memohon sepercik cahaya-Nya agar ia dapat menggapai
harapannya itu.
Pleonasme atau penggunaan keterangan berulang dimana makna kata berikutnya sebenarnya sudah terdapat dalam kata pertama. Pleonasme terdapat pada larik 2-3, laku berjalan dalam hujan gerimis menginjaki kerikil bebatuan/. Kata hujan dan gerimis sudah mengandung suatu pengertian yang sama yang lebih merujuk pada kata hujan dan kata
240
kerikil bebatuan juga mempunyai makna yang sama dimana kerikil sudah termasuk dalam kelompok bebatuan.
Tautologi atau penggunaan kata yang mempunyai arti yang hampir bersamaan terdapat pada larik 6, dimana Allah, Rabbi, dan Yang Maha Pengampun merupakan kata yang mempunyai arti yang sama menunjuk kepada nama Tuhan.
Oksimoron pada larik 11-12 mengandung kata yang berlawanan yakni kata basah dan berlumpur tampak berlawanan arti dengan kata mengering dan bersih memutih.
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks Kata kunci atau matriks dalam puisi ini adalah kata tobat itu sendiri, yakni kesadaran dan penyesalan akan segala dosa dan kesaiahan dan berjanji untuk memperbaikinya serta tidak akan mengulanginya lagi.
Melalui
puisi
ini,
si
aku
menceritakan
penyesalannya serta berharap
segala
pengalaman
dan
Allah akan memberikan pengampunan
kepadanya.
2) Pembacaan Heuristik
Bait pertama
(Di) sepanjang sungai waktu (yang terus mengalir), aku berjalan dalam hujan gerimis. (Kakiku) menginjaki kerikil bebatuan (hingga perih
241
dan berdarah). (Aku) tersesat (dalam) keasingan, (aku juga) terseret (dalam) kegelapan. Bait kedua
Ya Allah, Ya Rabbi, Maha Pengampun. Dalam perjalanan menuju
puncak (taubat-) Mu, dengarlah jerit penyesalanku (ini). Berilah sepercik cahayaMu, agar sepatu (dan) bajuku yang basah dan berlumpur ini
kembali mengering dan bersih memutih, seputih Melati (yang tumbuh) di taman surgawi.
Pada larik-larik puisi ini ada kekuranglengkapan unsur kalimat yakni kurangnya beberapa unsur subjek, sedangkan unsur kalimat yang
lainnya ada. Tidak banyak penambahan kata karena kata-kata yang tersusun dalam larik puisi sebagian besar dapat dipahami. Sedikit ada penambahan kata penghubung dan, dalam, hingga dan kata depan di.
Penulisan kata yang menggunakan kata ganti untuk tuhan (puncakMu
dan cahayaMu) yang seharusnya dituliskan dengan memakai garis penghubung hingga menjadi puncak-Mu dan cahaya-Mu.
3) Pembacaan Retroaktif
Kata tobat yang digunakan sebagai judul ini turut memperjelas
makna puisi hingga dapat lebih mudah diungkapkan. Tobat yang berarti sadar atau menyesal akan segala dosa dan kesaiahan yang pernah diperbuat dan berjanji untuk memperbaikinya dan tidak akan mengulangi
perbuatan itu lagi. Adapun pengalaman atau perjalanan hidup yang dilalui
242
sampai pada keinginan bertobat dan harapan yang ingin dicapai tampak pada larik-larik puisi ini. Bait pertama
Bait ini menceritakan tentang perjalanan yang berat dan penuh tantangan yang dialami oleh si aku dalam rangka taubatnya itu. Banyak hal pahit dan pedih yang dialaminya seperti: berjalan dalam hujan
gerimis, menginjak kerikil dan bebatuan hingga tapak kaki terasa perih berdarah, tersesat dalam keasingan, dan juga terseret dalam kegelapan. Bait kedua
Bait ini menceritakan tentang permohonan si aku kepada Allah dan Rabbinya yang Maha Pengampun atas segala kesaiahan. perjalanan bertaubat itu ia memohon agar Allah
Dalam
mendengar jerit
penyesalannya dan menerima taubatnya. Selanjutnya ia mengharapkan Allah
memberinya
sepercik
cahaya
untuk
mengeringkan
serta
membersihkan baju dan sepatunya yang basah dan berlumpur hingga
seputih Melati di taman surgawi. Hal ini merupakan kiasan dirinya yang hina dan penuh dosa ini datang menghadap untuk mengharapkan sepercik kasih dan rahmat Allah hingga ia bisa bertaubat untuk membersihkan dosa-dosanya itu hingga ia terbebas dari dosa dan
selanjutnya berusaha berbuat kebaikan-kebaikan.
243
17. Puisi IN THE BUILDING
Karya: Adi Amir Zainun 1.
Kata-kata mencair
2. 3. 4. 5.
Menggenang sepanjang museum peradaban Ujung menara menitik langit Patung-patung meretak ditikam angin Dan kesunyian pun mengepul dari sela-selanya
6.
Lukisan musim semi menularkan rindu
7. Ketika kelopak matamu menelanjangi 8. Bahasa isyarat—tapi bukanlah syarat 9. Arakan awan di langit-yang melekat di dinding tua 10. Bangunan pemujaan para satria 11. Telunjukmu terus memanjang 12. Ke sebuah gang yang menyimpan kebisuan 13. Huruf-huruf sakral lahir dari bongkahan puing 14. Kita minum bergelas-gelas gelisah 15. Yang disediakan masa silam. (Pikiran Rakyat, 1 Maret 1998)
a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Frase In The Building yang dipakai sebagai judul puisi merupakan ungkapan dalam bahasa Inggris yang berarti dalam sebuah gedung. Kata-kata yang dipergunakan dalam puisi ini banyak berkaitan
dengan hal atau seluk-beluk yang berhubungan dengan keberadaan
sebuah gedung yang menyimpan banyak cerita sejarah masa silam yakni: museum, menara, patung, lukisan, dinding tua, bangunan pemujaan, gang, bongkahan puing, dan masa silam.
Pada larik 1-2 terdapat ungkapan kata-kata mencair, menggenang sepanjang museum peradaban yang mengandung makna konotasi.
2AA
Museum secara harfiah berarti gedung tempat pameran tetap bendabenda bersejarah, seni, atau keilmuan (KBBL601); sedangkan peradaban berarti kemajuan lahir batin atau hal-hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan (KBBI:5). Ungkapan museum peradaban dalam larik ini dapat diartikan sebagai bangunan atau tempat menyimpan dan mempertunjukkan kemajuan dan kebudayaan dari zaman ke zaman.
Pada larik 3, ujung menara menitik langit, kata menara berarti bangunan yang tinggi (KBBL572), sehingga larik tersebut dapat diartikan bahwa puncak gedung yang tinggi akan dapat menggapai atau menitik (membuat titik) pada langit.
Pada
larik 4-5,
patung-patung
meretak
ditikam angin dan
kesunyian pun mengepul dari sela-selanya, mengiaskan keadaan patungpatung yang terdapat dalam museum itu dalam keadaan retak karena
pengaruh angin dan cuaca yang kejam bagaikan menikam sehingga makin menambah suasana yang sunyi dan menyedihkan. Musim semi adalah musim bunga, yakni
musim yang terindah
yang dipenuhi oleh berseminya bunga-bunga dan suasana yang ceria.
Lukisan musim bunga menularkan rindu merupakan ungkapan yang mengiaskan suasana dan keceriaan yang menyertai datangnya musim
bunga akan menambah perasaan rindu dan cinta ketika pandangan mata menatap sangat tajam seperti kelopak mata yang menelanjangi (larik 6-7). Hal tesebut merupakan bahasa isyarat (pertanda) tetapi bukanlah suatu syarat atau ketentuan.
245
Larik 13 yang berisi ungkapan huruf-huruf sakral lahir dari
bongkahan puing dapat diartikan sebagai prasasti yang ditulis dari
bongkahan puing. Dari larik terakhir, larik 14-15, kita minum bergelasgelas gelisah yang disediakan masa silam, mengandung makna bahwa kita hanya bisa menyaksikan hal-hal yang menyedihkan atas keadaan atau kejadian yang menimpa keagungan atau kejayaan masa silam. 2) Bahasa Kiasan
Metafora tampak pada larik 1-2 dimana kata-kata mulai mencair
yang diibaratkan bagai es yang mencair menjadi air yang kemudian menggenangi sepanjang museum peradaban, yang merupakan kiasan
dari banyaknya kata dan ucapan hingga memenuhi atau mempengaruhi peradaban dan kebudayaan manusia. Huruf-huruf sakral merupakan metafora dari prasasti dan gelas-gelas gelisah yang disediakan masa
silam merupakan metafora dari keadaan yang menyedihkan dari hilangnya kejayaan dan keagungan masa silam. Personifikasi
terdapat pada sebagian besar puisi. Kata-kata
dianggap sebagai benda konkrit (dalam hal ini ibarat sebongkah es) yang dapat mencair dan menggenang, ujung menara dapat membuat titik
(menitik) pada langit, angin dapat menikam seperti manusia sehingga menyebabkan patung-patung menjadi retak, demikian juga dengan
kesunyian yang dianggap sebagai benda konkrit (seperti asap atau embun) yang dapat mengepul. Personifikasi juga terdapat pada larik
246
selanjutnya, lukisan dapat menularkan rindu seperti seseorang yang menularkan penyakit, kelopak mata dapat menelanjangi, arakan awan dapat melekat di dinding tua, gang dapat menyimpan kebisuan, hurufhuruf sakral lahirdari bongkahan puing.
3) Citraan
Citraan visual pada puisi ini membuat kita seolah dapat melihat
dan menyaksikan sendiri bagaimana kata-kata mencair dan menggenang di sepanjang museum peradaban seperti kita menyaksikan mencairnya
sebongkah es dan menggenangi daerah sekitarnya (larik1-2). Kita pun seolah dapat melihat bagaimana ujung menara yang sangat tinggi menjulang menitik (membuat titik) pada langit, patung-patung yang sudah mulai retak-retak karena pengaruh angin dan cuaca, dan kepulan dari
sela-sela keretakan itu (larik 3-5) serta arakan awan di langit melekat di dinding tua (larik 9).
Citraan Auditory pada larik 12 membuat kita turut merasakan suasana sunyi di sebuah gang yang menyimpan kebisuan tanpa mendengar suara sedikit pun. Serta citraan organik yang membuat kita
merasakan gerakan anggota badan yang terdapat pada larik 14-15, yakni kita minum bergelas-gelas gelisah yang disediakan masa silam seperti layaknya kita minum bergelas-gelas air karena dahaga.
247
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika Puisi ini didominasi oleh sarana retorika atau penggunaan gaya bahasa Hiperbola dimana kata-kata yang digunakan dalam puisi ini bermakna berlebih-lebihan. Larik-larik yang menggunakan gaya bahasa tersebut adalah: kata-kata mencair dan menggenang di sepanjang museum peradaban, ujung menara menitik langit, patung meretak ditikam
angin, kesunyian mengepul dari sela-selanya, lukisan menularkan rindu, kelopak mata menelanjangi, huruf-huruf sakral lahir dari bongkahan puing, dan minum bergelas-gelas gelisah yang disediakan masa silam.
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks pada puisi In The Building ini ada pada
kata museum dengan segala bagian atau benda yang terdapat di
dalamnya. Puisi ini berkisah tentang sebuah museum (bangunan) yang termasuk bangunan tua yang menyimpan banyak sekali kenangan, sejarah, dan benda-benda yang berharga dari suatu peradaban. 2) Pembacaan Heuristik Bait pertama
(Sudah terialu banyak) kata-kata (yang terucap hingga) mencair (dan) menggenang (di) sepanjang museum (yang menyimpan sejarah) peradaban (manusia). Ujung menara (-nya sangat tinggi hingga seolah
dapat) menitik langit. Patung-patung (yang terdapat di dalamnya tampak)
Mi
meretak (karena) ditikam angin dan kesunyian pun mengepul dari selaselanya. Bait kedua
Lukisan musim semi (yang indah dan membahagiakan seakan) menularkan (perasaan) rindu ketika kelopak matamu (menatap seolah) menelanjangi.
(Ini
merupakan)
bahasa
isyarat—tapi
bukanlah
(merupakan) syarat. Arakan awan di langit—yang (tampak) melekat di dinding tua (dari sebuah) bangunan pemujaan para satria. Bait ketiga
(Untuk membuktikan segala peristiwa itu) telunjukmu (pun tampak)
terus memanjang (hingga ke sebuah gang yang menyimpan kebisuan. (Di sana) huruf-huruf sakral (suci) lahir (dan muncul) dari bongkahan puing.
(Akhirnya) kita (hanya dapat) minum bergelas-gelas gelisah yang disediakan (oleh sejarah) masa silam.
Larik-larik puisi sebagian besar memerlukan penambahan katakata lainnya agar pembacaan heuristiknya dapat dilakukan, karena
banyak kata-kata yang dijalin dalam larik tersebut yang mengandung
makna kiasan sehingga sulit dipahami dengan hanya sekali baca saja. Perlu penambahan kata penghubung yang, hingga, karena, dan, dari serta kata depan di dan di sana.
249
3) Pembacaan Retroaktif Bait pertama
Pada masa kini banyak kata-kata yang keluar yang terasa terbuang percuma karena tanpa usaha yang menyertainya. Museum yang
dulu merupakan bangunan megah tetap menyimpan segala peninggalan bersejarah dari peradaban manusia kini tampak hampir binasa. Patungpatung yang terdapat di dalamnya kini meretak karena ditikam angin dan
yang ada di sana kini tinggal kesunyian belaka (tanpa pengunjung yang berminat mendatanginya). Bait kedua
Lukisan yang inah-indah dan mempesona yang terdpat dalam museum atau bangunan itu tampak menularkan perasaan rindu dan
tampak menatap tajam seolah menelanjangi ketidakpedulian kita kepada keberhargaannya. Bait ketiga
Untuk membuktikan segala peristiwa dan kejadian itu tampak seolah ada telunjuk yang terus memanjang yang memandu kita hingga
mencapai sebuah gang yang menyimpan kebisuan. Di sana terdapat relief atau prasasti dan huruf-huruf sakral
yang dipahat di atas bong
kahan atau puing bebatuan yang kemudian berguna bagi kehidupan manusia. Kita hanya dapat merasakan kegelisahan atau pun kehidupan yang terjadi dahulu sebagai sebuah catatan sejarah di masa silam.
250
Orang-orang banyak berbicara tentang budaya dan peradaban serta pentingnya pel;estariannya, namun museum yang sudah (terianjur)
ada tetap tidak dapat menampilkan fungsinya sebagai pusat budaya
karena orang-orang lebih tertarik untuk pergi ke tempat hiburan daripada pergi ke museum. Sekarang museum itu hanya tinggal bangunan bersejarah yang hampir dilupakan orang tentang keberadaannya. 18. Puisi SAJAK SATU ANGKA
Karya: Uki F. Marzuki
1. Seribu kunang-kunang menghantam kepala 2. -Aku lepas 3. Seribu kata menyerbu mendesak 4.
Sesakkan aorta
5.
-Aku kandas
6. .Seribu bayang musnahkan ujud 7. Menyesakkan mimpidalam dunia kosong 8.
-Akutuntas
9. Seribu mimpi tak pernah selesai 10. Mendesak membum bidik
11. -Aku patah 12. Seribu tuangan jagat 13. Menggerayangi tubuh 14. Mengganyang hidup 15. Seribu ayunan lepas 16. Menghadang pusaran 17. Lepas 18. Kandas
19. Turnpas 20. (kemarin Tuhan bertanya, tapi aku diam, 21. sekarang aku bicara Tuhan diam) 22. Seribu bayang-bayang melepas pandang 23. Dalam bayang bumi gelisah 24. -Tuhan, dimanakah mimpi pernah berjudi 25. Lalu siapa pemenangnya 26. Kau atau aku?
(Pikiran Rakyat, 15 Maret 1998)
251
a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Kunang-kunang adalah binatang kecil yang tampak bercahaya di
kegelapan malam (KBBL475). Kunang-kunang ini sering digunakan dalam kiasan
berkunang-kunang yakni
keadaan
yang
pusing
sehingga
pandangan tidak jelas seperti dikerumuni oleh ribuan kunang-kunang. Jadi pada larik 1, seribu kunang-kunang menghantam kepala merupakan kiasan
dari
keadaan yang
sangat memusingkan sehingga dapat
menghantam kepala atau membuat kepala menjadi terasa sakit seperti kena hantaman sehingga si aku menjadi lepas atau hilang kendali atau goyah (larik 2).
Pada bait kedua, larik 3-5, terdapat beberapa kata yang harus
diungkapkan maknanya baik secara denotasi maupun konotasinya. Kata aorta secara harfiah berarti pembuluh nadi besar yang pangkalnya pada
bilik kiri jantung namun pada larik ini aorta merupakan konotasi dari usaha atau jalan yang sangat penting dalam kehidupan (KBBL44). Kata kandas yang bermakna denotasi sebuah keadaan yang terlanggar atau terantuk pada dasar laut, sungai dsb yang biasanya digunakan untuk
menyatakan keadaan sebuah kapa! dan bermakna konotasi suatu
kegiatan yang tidak berhasil, gagal, atau terhenti aktifitasnya (KBBI:385). Jadi, larik /seribu kata menyerbu mendesak, sesakkan aorta, aku kandas/ ini secara keseluruhan dapat menunjukkan
makna kiasan dari begitu
banyaknya kata atau ucapan yang terasa menyerang dan menyesakkan
252
sehingga
menghentikan
segala
aktifitas
kehidupan
utama
dan
menyebabkan si aku menjadi menyerah pada ketidakberhasilannya.
Bait ketiga, larik 6-8, ada beberapa kata yang harus diungkapkan
maknanya terlebih dahulu. Bayang-bayang bermakna denotatif ruang yang tidak terkena sinar karena terlindung suatu benda, gambar pada cermin, rupa/wujud yang kurang jelas dalam gelap sedangkan makna kiasan adalah gambar dalam pikiran atau angan-angan ataupun sesuatu
yang tak nyata (KBBL88). Kata mimpi berarti sesuatu yang teriihat atau dialami dalam tidur dan arti kiasannya angan-angan (KBBI:583), dunia
kosong kiasan dari kenyataan yang hampa, dan tuntas dapat diartikan selesai atau berakhir. Bait /seribu bayang musnahkan ujud, menyesakkan
mimpi dalam dunia kosong, aku tuntas/ dapat diartikan sebagai bayang-
bayang yang tak berujud justru memusnahkan ujud yang telah nyata ada, membuat keadaan yang semula berisi harapan makin menyesakkannya ke dalam kenyataan hidup yang hampa sehingga membuat si aku menjadi tuntas atau menyerah dan mengakhiri perjuangannya.
Bait keempat, larik 9-11,
kata mimpi merupakan konotasi dari
angan-angan atau harapan yang indah, bidik adalah sasaran, dan patah berarti putus (tentang barang yang kera atau kaku yang biasanya tidak
sampai bercerai atau putus sama sekali) dan makna konotasinya terhenti atau tidak dapat dilanjutkan lagi (KBBI:653). Bait /seribu mimpi tak pernah selesai, mendesak memburu bidik, aku patah/ merupakan ungkapan yang
mengiaskan mimpi atau harapan yang tidak juga selesai atau habis
253
semakin mendesak untuk mencari sasaran bidikan yang membuat si aku menjadi patah. Bait kelima merupakan bait terpanjang yang berisi 10 larik, larik
12-21. Ada beberapa kata yang harus dimaknai secara jelas agar dapat memberi
gambaran
yang
jelas,
yakni:
jagat,
menggerayangi,
menggayang, lepas, kandas, dan tumpas. Jagat berarti bumi atau alam tempat manusia hidup (KBBL343). Ada dua kata yang agak vulgar yang digunakan, yang dalam bahasa sehari-hari keduanya merupakan kata
yang mempunyai nilai rasa yang kurang baik yakni kata menggerayangi dan mengganyang. Kata menggerayangi berarti meraba-raba, merabai, memegang-megang, atau mendatangi untuk maksud jahat (KBBL272) dan mengganyang berarti memakan sampai habis, menghancurkan, mengikis
habis, dan mengalahkan lawan dalam pertandingan (KBBI:254).
2) Bahasa Kiasan
Puisi yang berjudul Sajak Satu Angka ini merupakan puisi yang banyak menggunakan bahasa kiasan personifikasi, yakni merupakan
ungkapan yang membuat benda atau ide yang abstrak dapat berbuat seolah-olah manusia atau insan.
Personifikasi ini tampak pada sebagian besar larik-lariknya, seperti: seribu kunang-kunang menghantam kepala-aku lepas, seribu kata menyerbu
mendesak
sesakkan
aorta-aku
kandas,
seribu
bayang
musnahkan ujud menyesakkan mimpi dalam dunia kosong-aku tuntas,
25*1
seribu mimpi tak pernah selesai mendesak memburu bidik-aku patah. Pada larik-larik itu, kunang-kunang dapat menghantam kepala, kata-kata dapat menyerbu dan menyesakkan aorta, bayang-bayang menyesakkan mimpi ke dalam dunia kosong, dan mimpi pun mendesak yang membuat
si aku patah, padahal benda-benda tersebut merupakan benda abstrak yang tentunya tidak dapat melakukan perbuatan seperti layaknya perbuatan manusia.
Pada bait kelima, personifikasi juga tampak seperti pada larik: seribu tuangan jagat dapat menggerayangi tubuh dan menggayang hidup
dan ayunan yang lepas pun menghadang pusaran yang membuat keadaan menjadi lepas, kandas, dan tumpas.
Bait terakhir pun
menggunakan personifikasi dimana seribu
bayang-bayang dapat melepaskan pandang dan mimpi pun pernah
berjudi padahal bayang dan mimpi itu pun merupakan benda abstrak yang tentunya tidak dapat melakukan perbuatan seperti layaknya benda konkrit seperti manusia.
3) Citraan
Citraan kinaesthetik pada puisi ini membuat kita seolah dapat
merasakan gerakan-gerakan yang ada.
Pada larik-larik puisi,
kita
merasakan gerakan seribu kunang-kunang yang menghantam kepala,
gerakan
seribu
kata
ketika
menyerbu
hingga
mendesak
untuk
menyesakkan aoria, gerakan bayang yang menyesakkan mimpi dalam
2*5
dunia kosong, gerakan tuangan jagat yang mengganyang hidup, gerakan
ayunan yang lepas hingga menghadang pusaran. Citraan tersebut membuat kita seolah dapat merasakan sendiri bayangan angan di dalam puisi seolah benar-benar bergerak dan beraktifitas. Citraan organik membuat kita dapat merasakan gerakan tubuh seolah kita merasakan sendiri gerakan tersebut. Pada larik: aku lepas, aku kandas, aku tuntas, aku patah, dan jagat menggerayangi tubuh.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Paralelisme yang diwakili oleh anafora atau perulangan di awal kalimat tampak pada sebagian puisi. Seperti kata seribu pada larik 1,3,6,9,12,15, dan 22; kata aku pada larik 2,5,8, dan 11; serta pada kata lepas kandas, dan tumpas pada larik 2,5,8,17,18, dan 19. Perulangan tersebut menyebabkan permainan bunyi pada puisi itu menjadi menarik. Gaya bahasa Kiasmus terdapat pada larik 20-21. Pada larik 20
disebutkan kemarin Tuhan bertanya tapi aku diam diulang kembali pada larik berikutnya dengan cara membalik bagian kalimat itu hingga menjadi sekarang aku bicara Tuhan diam.
Hiperbola tampak pada beberapa bagian puisi yakni: seribu
kunang-kunang menghantam kepala hingga aku lepas (larik 1-2), seribu kata menyerbu mendesak menyesakkan aorta membuat aku kandas (larik 3-5), serta seribu tuangan jagat menggerayangi tubuh dan mengganyang hidup (larik 12-14).
2«6
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks pada puisi Sajak Satu Angka ini adalah
perasaan si aku yang merasa gagal dalam kehidupannya sehingga ia
mengumpamakan dirinya telah lepas, kandas, tuntas, tumpas, dan patah. la pun mempertanyakan mimpi-mimpi yang pernah dibangunnya, apakah dia yang menang ataukah Tuhan.
2) Pembacaan Heuristik Bait pertama dan kedua
(Aku merasakan ada) seribu kunang-kunang menghantam kepala,
(sehingga) aku lepas. (Kurasakan juga ada) seribu kata (yang datang) menyerbu (dan) mendesak (aku hingga meny-) sesakkan aorta, (dan) aku (pun merasa) kandas. Bait ketiga dan keempat
(Ada) seribu bayang (-bayang yang hadir dan me-) musnahkan ujud. (la juga) menyesakkan mimpi dalam dunia kosong, (hingga) aku
tuntas. (Ada pula) seribu mimpi (yang) tak pernah selesai (hingga terasa) mendesak (dan) memburu bidik (sasaran yang membuat) aku patah. Bait kelima
(Aku merasakan ada) seribu tuangan (cobaan di) jagat (ini hingga
terasa) menggerayangi tubuh (serta) mengganyang hidup (ku). (Juga ada) seribu ayunan (yang ter-) lepas (hingga) menghadang pusaran,
257
(yang membuat aku) lepas, kandas, (dan) tumpas. (Aku pun bergumam), kemarin Tuhan bertanya (te-) tapi aku diam, sekarang (ketika) aku bicara Tuhan (yang) diam. Bait keenam
(Aku merasakan ada) seribu bayang-bayang (yang) melepas (-kan) pandang (-nya) dalam bayang (-an) bumi (yang selalu) gelisah. (Akhirnya aku bertanya), "Tuhan- dimanakah mimpi (dan harapanku) pernah berjudi, lalu siapa (-kah) pemenangnya (di antara kita berdua), Kau atau aku?" Larik-lariknya sebagian besar telah memiliki kelengkapan unsur kalimat. Penambahan imbuhan perlu dilakukan pada beberapa kata,
yakni: meny- (menyesakkan), me- (memusnahkan), ter- (teriepas), me-kan
(melepaskan), -an (bayangan), penambahan partikel -kah pada kata siapa, te- pada kata tapi, dan klitika-nya pada pandangnya. Selain itu perlu pula penambahan kata penghubung dan, hingga, ketika, yang serta
penambahan kata depan di dan di antara. Kata bayang seharusnya dituliskan bayang-bayang karena merupakan kata ulang semu.
3) Pembacaan Retroaktif Bait pertama, kedua, ketiga, dan keempat
Ada banyak kegagalan yang dialami si aku di dalam kehidupannya. la merasakan seribu kunang-kunang menghantam kepala yang membuat
dia pusing dan merasa lepas. la juga merasakan juga ada banyak kata ataupun cercaan yang datang kepadanya hingga ia merasa sesak dan
25ft
akhirnya ia merasa kandas. la merasakan banyak bayang-bayang atau khayalan yang memusnahkan ujud atau kenyataan yang ada. Hal ini membuat ia makin banyak berkhayal tentang impian kosong hingga ia merasa tuntas. Mimpi-mimpi itu tidak pernah selesai dan menjadi kenyataan hingga ia menjadi patah atau putus asa. Bait kelima
Si aku merasakan ada banyak cobaan di dunia/jagat ini hingga terasa mengganggu dan mengganyang hidupnya hingga lumat. la seolah
terlempar dari ayunan yang lepas hingga membuat ia makin putus asa, lepas, kandas, dan tuntas. la hanya bisa terdiam dan merasa makin jauh
dan tidak ada komunikasi dengan Tuhannya. Bait keenam
Si aku merasakan ada seribu bayang-bayang yang melepaskan pandangnya di dunia gelisah dan penuh cobaan ini. Akhirnya ia bertanya
dan mencoba mencari Tuhannya. la mempertanyakan tentang mimpi dan harapannya
yang
tidak
diketahuinya
apakah
menanggapinya dan memperoleh kebahagiaan.
ia
akan
mampu
B. Pembahasan
1. Denotasi dan Konotasi (Pilihan Kata)
Setiap puisi pilihan katanya meliputi kata yang mengandung makna denotasi dan konotasi. Pada puisi yang dianalisis sebagian besar lariklariknya mengandung makna konotasi atau makna tambahan berdasarkan
asosiasi walaupun pada larik-larik puisi yang lain juga terdapat kata-kata yang mengandung makna denotasi.
Dari tabel 2 tentang pilihan kata di atas dapat dilihat kata-kata atau larik puisi yang mempunyai makna denotasi dan yang mempunyai makna konotasi. Ada puisi yang penggunaan kata bermakna denotasi dan
konotasinya berimbang, ada yang lebih dominan kata bermakna denotasi, dan ada pula yang lebih dominan makna konotasinya.
Pada puisi Rudapaksa Persalinan, Kasidah Angin, dan Di Atas Sajadah pilihan kata yang lebih dominan digunakan adalah
kata yang
bermakna denotatif, sedangkan pada puisi-puisi yang lain kata yang
bermakna konotatiflah yang lebih dominan, bahkan pada puisi Kupanggil Namamu Berkali-kali dan puisi In The Building, hampir keseluruhan lariknya mengandung makna konotatif. Pilihan kata yang digunakan dalam puisi-puisi koran ini adalah kata-
kata umum yang sudah dikenal dalam bahasa sehari-hari sehingga
penafsiran terhadap makna konotatif dan juga denotatif dalam puisi tidak terialu sulit dilakukan.
.2 GO
Tabel 1. Pilihan Kata Judul Puisi
Pilihan Kata (Diksi) Denotasi
1
Tanah Air Mata
tanahair, airmata, mata air, perih, etala
-.Konotasi
se, gedung, megah, subur, terkepung,
tanah airmata,tanah tumpah duka, menya nyikanairmata, menyimpan, nestapa,
mengelak
menguburkan duka lara, udara luas me
nunggu, kalian pijak airmata kami, hinggap di air mata,terbang, beriayar, arungiair mata, menyerah pada kedalaman airmata
2. Menghanyutkan Dongeng di Bengawan Solo
membendung arus, menebang pohon,
dongeng hanyut, racun pabrik, menyen
tanah terkelupas, anak-anak, Gesang
tuh ikan, pemakaman, melawan masa de pan, melawan waktu
3. Krematorium Matahari
dinding kelam, membatu, mengambang, lantaidan ruang penuh musik, cahaya
krematorium matahari, arsir, sorot mata
berlintasan
yang semula beku, racun bagai kata ber
berkabut, bagaikan api, mencairkan darah
bunga, mekar di saku baju, maut beriayar memulas langitdengan warna lipstikaneh serta mengerat bijimata 4. Fragmentasi
tepi taman kota, sudut kota, metamor
fosa kelam, ruang hampa
hanyutkan kesunyian, letih menyimpan gerak hidup, ranjang penuh kesakitan, cahaya mataku robek di sela kamar, ca
haya meledak, mengoyakbingkai pagi, ta ngis hujan, membaringkan beribu luka me nganga, sakit hati alam, purnama tersa ruk di sudut malam, meninabobokkan ke fanaan
5. Jembatan
sajak, kata, basa-basi, wajah, orang jalanan, orang tergusur, orang malang,
menampung airmata bangsa, wajah orang berjuta, wajah tercabikdalam pengap a-
pemulung, etalase, plaza, jalan, kota, jembatan, sungai, lembah, gerimis
remah pembangunan, saudara satu ben
sap pabrik, wajah disapu sepatu, remah-
dera, mereka pancangkan koyak moyak bendera hati, padamu negeri airmata kami 6. Padamu Nabi
langkah duka, ruku, sujud, gelombang
jejak airmata, menaikimenuruni buWt ungu,
menari, karavan, musafir, ujung sorban,
mencari cinta dalam genangan airmata,
berwudhu, nabi
mencari bias jemarimu, lautan kasihnya, genangan tangis seluas telaga, menam pung airmata umat
7. Rudapaksa persalinan
8. Rumah Biru
janin, rahim, rudapaksa, persalinan, de
rahim kebenaran, janin kebenaran, per
wasa, tumbuh, menghitung, membaca,
ibu, perempuan, merindukan tangis bayi
selingkuhanantara gelap dan terang, bu lan dan mataharitidak meledak diterjang
kisah Udindan Marsinah, keheningan
duka, mengaji kitab-kitab-Nya
sudut ruang, sejumlah obsesi dan mo
rumah biru, pintu dari cahaya, aku bawa masuk piMranku ke dalamnya, kubiarkan
tivasi yang tak bisa diselesaikan
mataku buta di dalamnya, Engkau datang 9. Lagu pagi yang aneh
derita, perjalanan kereta, pagi mengge
iringan lagu merah putih,seperti gerilya
lisahkan, matamu lebih indah, rindu bau
yang kalah, nyanyian negeri ini, nasib ter-
nafasmu, slogan yang dijanjikan
yang terbengkalai
2&(
Judul Puisi
Pilihan Kata (Diksi)
.
- Denotasi
10. Di Diskotik
Konotasi
lampu berputar, hamparan sawah min
hentakan lagu membungkus dunia, asap
ta diolah, srigala malam, aku teguk ang
melintas, anggur sudah semaput, kema
gur yang lain, denting piano
rau menjanda, matamu masuk ke dalam
gelas resah, mengajak berenang, justru dirimu masuk gelas, gelas pecah di geng gaman, menyeret tulang belakang 11. Sesaat Sebelum Kebakaran Hutan
kelelawar melintas, rembang senja, ku
kita seperti puisi, bisik embun, kabut per
nang-kunang berkerlipan, embun hampir
lahan turun, dingin menari bersama angin,
menetes di sela daun, ikan berkecipak
menggaris malam, cahaya bulan baru tiba
dalam kolam, api unggun, malam sedikit
di hamparan rumputan, malam berjalan
hangat, batu, senja, cakrawala
selapis demi selapis, embun tak berani la gi bertanya
12. Indonesia,Sebuah Sisa
buku dan istilah asing dengan ejaan
orang mengepakkan bulu-bulu pikiran,
yang salah, sedih, hari-hari pengap,
seperti kupu-kupu malam berterbangan,
titipkan salam dari hatiku, datanglah ke
ibu, anak-anakmu, anak-anak ibuku, mandi
rumah, kusuguhkan secangkir the
dan mencuci hati, menanam kata-kata,
suara berembun, pisau di matamu, aku ta-
nam bunga di kedua tangan, dunia pedih 13. Kupanggili Namamu Berkalj-kali
kupanggil namamu berkali-kali, engkau
debur ombak memecah sepi, ranting po
tak menyahut, darah mengalir terasa
hon terbungkus debu, bulan muncul di
begitu deras
punggung samudera, kemarau panjang mencekik bunga di taman, membekukan kerinduan di lautan jiwa
14. Kasidah Angin
cuaca terasa sangat kejam, terik mata
kabar mawar, harapan bagai ditegakkan
hari menyengat, seluruh rambutku
dan diruntuhkan, nasib membungkus hi
mengering, trotoar kota, orang menge
dup, hidup sebatas kamar, tak mampu
luh, tiupan angin tak berarti lagi bagi
memberi kesejukan jiwa
kita, pecundang
15. Di Atas Sajadah
angin dingin, engkau Maha Mengetahui,
hembusan sayap malaikat Jibril, menya
kehidupan sarat pertikaian, ribuan o-
nyikan larik Firaun, datam laci kekuasaan.
rang mencari nafkah di jalan, lancip be
aku berserah diri padaMu, jaga lidah dari
latisarat darah, tanah lapang, dan uang
ucapan kotor, muara segala harap, tum
hanya ditumpuk, petani dan penggarap,
puan segala rindu
gulung tikar, di atas sajadah 16. Tobat
berjalan dalam hujan gerimis, menginjak
sungai waktu, tersesat keasingan, terse
kerikil, dengarlah jerit penyesalanku
ret kegelapan, perjalanan menuju puncak Mu, cahaya-Mu, seputih Melati di taman surgawi
17. In The Building
patung meretak, bangunan pemujaan
kata-kata mencair, ujung menara menitik
para satria, masa silam
langit, ditikam angin, lukisan musim semi
menularkan rindu, arakan awan di langit melekat di dinding bangunan, huruf sakral
lahir dari bongkahan puing, minum berge las-gelas gelisah, museum peradaban 18. Sajak Satu Angka
lepas, sesakkan aorta, patah, kandas, tuntas, menggerayangi tubuh
seribu kunang-kunang menghantam kepa la, seribu bayang memusnahkan ujud, ba yang bumi gelisah, menyesakkan mimpi dalam dunia kosong, mengganyang hidup
2
X.
Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan (figuratif Language) yang sering digunakan dalam
sebuah karya sastra (terutama puisi) adalah: simile, metafora, epic simile, personifikasi, metonimia, sineksdoks, dan alegori. Berdasarkan hasil
analisis data, puisi-puisi itu sebagian besar menggunakan tiga atau empat jenis bahasa kiasan, walaupun ada yang menggunakan dua jenis saja, bahkan pada puisi Sajak Satu Angka hanya digunakan satu jenis bahasa kiasan saja, yakni bahasa kiasan personifikasi.
Bahasa kiasan personifikasi, metafora, dan simile merupakan bahasa kiasan yang paling banyak digunakan, sedangkan bahasa kiasan epic simile dan allegori tidak/jarang dipakai. Ada pun peringkat atau
frekuensi kehadiran masing-masing bentuk itu dalam keseluruhan puisi koran adalah sebagai berikut. 1. Personifikasi
=
106 buah
2. Metafora
=
98 buah
3. Simile
=
31 buah
4. Metonimia
=
5. Sinekdoks
6. Epic simile
7. Allegori
2
buah
=
2
buah
=
-
buah
=
-
buah
Personifikasi paling banyak digunakan dalam puisi Sesaat Sebelum
Kebakaran Hutan, In The Building, serta Fragmentasi, Metafora banyak digunakan dalam puisi Jembatan dan Indonesia, Sebuah Sisa, serta Simile paling banyak dalam puisi Sesaat Sebelum Kebakaran Hutan.
263
Tabel X. Bahasa Kiasan
Bahasa Kiasan (Figurative Language)
Judul Puisi Simile
Metafora
EpicSimile
Personifikasi
Metonimia
Sinekdoks
1. Tanah Air Mata
1
7
0
6
0
0
0
2. Menghanyutkan Dongeng di B. Solo
0
1
0
2
1
0
0
3. Krematorium Matahari
2
6
0
3
0
0
0
4. Fragmentasi
3
9
0
11
1
0
0
5. Jembatan
0
12
0
3
0
1
1
6. Padamu Nabi
3
6
0
5
0
0
0
7. Rudapaksa persalinan
0
5
0
3
0
0
0
8. Rumah Biru
2
2
0
1
0
0
0
9. Lagu pagi yang aneh
3
4
0
3
0
0
0
10. Di Diskotik
3
5
0
8
0
0
0
11. Sesaat Sebelum
7
0
0
18
0
0
0
12. Indonesia,Sebuah Sisa
1
12
0
2
0
0
0
13. Kupanggil Namamu
0
6
0
6
0
0
0
14. Kasidah Angin
2
3
0
6
0
0
0
15. Di Atas Sajadah
3
6
0
7
0
1
0
16. Tobat
1
9
0
0
0
0
0
17. In The Building
0
5
0
13
0
0
0
18. Sajak Satu Angka
0
0
0
9
0
0
0
31
98
0
106
2
2
0
. Ategori
Kebakaran Hutan
Berkali-kali
J u m la h
2(oq
3. Citraan
Citraan atau gambaran imaji ada bermacam-macam, baik visual,
auditory, tactile dan Iain-Iain. Berdasarkan hasil analisis data didapatkan frekuensi penggunaan bentuk-bentuk pencitraan sebagai berikut. 1. Visual
=
92
2. Kinaesthetik
=
47
3. Auditory
=
33
4. Intelektual
=
33
5. Tactile
=
25
6. Organik
=
11
7. Olfaktory
=
5
8. Gustatory
=
1
Hampir semua bentuk pencitraan digunakan oleh penyair di dalam puisi-puisinya itu. Citraan yang paling sering digunakan adalah citraan
visual dan kinaesthetik, sedangkan yang paling jarang digunakan adalah
citraan gustatory dan olfaktory. Jadi, puisi koran lebih cenderung menggunakan citraan visual yang membuat gambaran seolah pembaca melihat sendiri hal dan kejadian yang dilukiskan penyair di dalam puisinya.
Citraan visual paling banyak terdapat pada puisi Diatas Sajadah,
Tanah Air Mata, Padamu Nabi, Jembatan, dan In The Building, sedangkan citraan kinaesthetik paling banyak terdapat pada puisi Sesaat Sebelum
Kebakaran Hutan. Keseluruhan puisi sebagian besar menggunakan empat atau lima jenis pencitraan, walaupun ada yang hanya menggunakan tiga jenis saja, bahkan pada puisi Rumah Biru dan Sajak Satu Angka hanya terdapat dua jenis citraan saja.
<2<2>5
Tabel -3. Citraan
. Citraan (Imagery)
Judul Puisi
,;.....
Visual
Auditory
Olfaktory
Gustatory
Tactile
Organik
1. Tanah Air Mata
9
1
2
0
0
0
0
7
2. Menghanyutkan Dongeng di B. Solo
2
1
0
0
0
0
0
4
3. Krematorium Matahari
4
1
0
0
2
2
0
4
4. Fragmentasi
7
1
0
0
0
1
3
9
5. Jembatan
8
3
0
0
0
0
1
2
6. Padamu Nabi
9
1
2
0
1
0
6
0
7. Rudapaksa Persalinan
3
3
0
0
3
0
0
0
8. Rumah Biru
6
0
0
0
0
0
0
3
9. Lagu pagi yang aneh
3
0
1
1
0
0
2
0
10. Di Diskotik
5
2
0
0
0
0
5
0
11. Sesaat Sebelum
4
5
0
0
2
0
10
0
12. Indonesia,Sebuah Sisa
0
3
0
0
6
0
5
0
13. Kupanggil Namamu
2
6
0
0
1
0
5
0
2
2
0
0
6
0
2
3
14
2
0
0
1
0
0
0
16. Tobat
6
1
0
0
2
2
0
0
17. In The Building
8
1
0
0
1
1
0
1
18. Sajak Satu Angka
0
0
0
0
0
5
8
0
92
33
5
1
25
11
47
33
Kinaesthetik Intelektusl
Kebakaran Hutan
Berkali-kali
14. Kasidah Angin 15. Di Atas Sajadah
J u m Ia h
-.
•266
A. Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Dari hasil analisis data didapatkan frekuensi penggunaan gaya bahasa dan sarana retorika sebagai berikut. 1. Hiperbola
=
49
2. Paralelisme
=
31
3. Enumerasi
=
19
4. Sarkasme
=
11
5. Ironi
=
9
6. Sinisme
=
9
7. Tautologi
=
8
8. Oksimoron
=
5
9. Pleonasme
=
3
10. Kiasmus
=
2
11. Paradoks
=
2
12. Retorik Retisense
=
_
Gaya bahasa atau sarana retorika yang paling sering digunakan penyair di dalam puisi koran adalah hiperbola dan paralelisme, sedangkan
kiasmus, paradoks, dan retorik retisense sangat jarang digunakan. Sebagian besar puisi menggunakan empat atau tiga jenis gaya bahasa,
walaupun pada puisi Tanah Air Mata digunakan lima jenis dan paling banyak menggunakan paralelisme, serta pada puisi Fragmentasi dan In
The Building hanya menggunakan satu jenis gaya bahasa saja yakni hiperbola. Gaya bahasa hiperbola paling banyak terdapat pada puisi In The Building dan Di Diskotik.
20,7
"abel 4. Gaya Bahasa dan Sarana Retorika Gaya Bahasa dan Sarana Retorika Judul Puisi
. Tanah Air Mata
Ironi Sinisme
Sarkas
Tauto
me
logi
Pleo nasme
Parale
Kias
Oksi
Hiper
Para
Enume
Retorik
lisme
mus
moron
bola
doks
rasi
retisense
0
1
2
1
0
7
1
0
0
0
0
0
!. Menghanyutkan Dongeng di B. Solo
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
J. Krematorium Matahari
0
3
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
t. Fragmentasi
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
0
0
5. Jembatan
3
0
4
1
0
2
0
0
0
0
0
0
5. Padamu Nabi
0
0
0
0
0
0
0
1
5
0
0
0
1. Rudapaksa Persalinan
0
3
0
0
1
5
0
0
3
0
0
0
3. Rumah Biru
0
0
0
0
0
1
0
0
0
2
3
0
3. Lagu Pagi yang Aneh
1
2
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
10. Di Diskotik
0
0
0
0
0
1
0
1
7
0
0
0
11. Sesaat Sebelum
0
0
0
1
0
5
0
0
0
0
0
0
12. Indonesia,Sebuah Sisa
2
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
13. Kupanggil Namamu
0
0
0
0
0
4
0
0
2
0
3
0
14. Kasidah Angin
0
0
0
1
0
0
0
1
0
0
4
0
15. Di Atas Sajadah
2
0
5
2
0
0
0
0
2
0
0
0
16. Tobat
0
0
0
2
2
0
0
2
0
0
3
0
17. In The Building
0
0
0
0
0
0
0
0
9
0
0
0
18. Sajak Satu Angka
0
0
0
0
0
5
1
0
4
0
0
0
9
9
11
8
3
31
2
5 j 49
2
19
0
Kebakaran Hutan
Berkali-kali
Jumlah
5.
Matriks
Matriks atau kata kunci atau key words dalam puisi-puisi koran tersebut bermacam-macam. Ada matriks yang mudah ditemukan karena
puisinya bersifat yang agak transparan ataupun karena penggunaan katakata tersebut secara berulang-ulang, tetapi ada juga matriks yang sulit ditemukan karena bahasa puisinya yang banyak bersifat konotatif ataupun
karena beragamnya kata-kata yang digunakan dalam puisi itu. Untuk menentukan matriks pada puisi yang demikian dapat dilakukan dengan menentukan sentral cerita atau titik pusat pengisahan pada puisi itu dan hal tersebutlah dianggap sebagai matriksnya. Berikut ini akan dikemukakan matriks-matriks atau kata kunci yang
terdapat pada puisi-puisi koran tersebut.
269
Tabel 5. Matriks Judut Puisi
Matriks
1. Tanah Air Mata
Tanah air dan air mata
2. Menghanyutkan Dongeng di B. Solo
Bengawan Solo dan Gesang
3. Krematorium Matahari
Si kamu (perempuan penggoda)
4. Fragmentasi
Sudut kota dan kehidupannya
5. Jembatan
Jembatan (penghubung antara dua gap)
6. Padamu Nabi
Nabi (kebesaran dan kemuliaan-Nya dimata umat manusia)
7. Rudapaksa persalinan
Janin, rahim kebenaran, rudapaksa persalinan
8. Rumah Biru
Rumah biru (tempat yang mendatangkan ketenangan)
9. Lagu pagi yang aneh
Penderitaan si Aku dan penderitaan negeri ini
10. Di Diskotik
Diskotik (lengkap dengan settingnya)
11. Sesaat Sebelum
Suasana alam sesaat sebelum terjadinya kebakaran hutan
Kebakaran Hutan
12. Indonesia.Sebuah Sisa
Anak-anak ibuku (generasi muda atau putra Pertiwi)
13. Kupanggil Namamu
Si Engkau (-Mu) yakni Tuhan Yang MahaKuasa
Berkali-kali
14. Kasidah Angin
Kota dengan segala warna kehidupannya
15. Di Atas Sajadah
Kepasrahan si Aku kepada Tuhannya
16. Tobat
Taubat (sadar akan dosanya dan berjanji memperbaiki diri)
17. In The Building
Museum (dengan berbagai benda dan sejarahnya)
18. Sajak Satu Angka
Si Aku dengan segala kegagalan dan kepahitan kehidupan
/'(>
6. Pembacaan Heuristik dan Retroaktif
Pembacaan heuristik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa. Pembacaan heuristik terhadap
sebuah puisi dilakukan dengan penambahan imbuhan (awalan, akhiran,
sisipan, ataupun gabungan awalan-akhiran), penambahan kata-kata lain (misalnya kata penghubung, kata depan, atau penambahan unsur kalimat (subjek, predikat, objek, atau keterangan) sehingga membuat puisi itu tersusun menjadi sebuah urutan kalimat yang jelas dan dapat dipahami. Proses pembacaan heuristik dapat ditinjau dari segi kerapatan dan
kerenggangan hubungan kata, frase, ataupun larik-larik puisi. Pada puisi
yang rapat, penambahan unsur-unsur sintaksis tidak begitu banyak, sedangkan pada puisi yang renggang sangat banyak membutuhkan penambahan unsur kebahasaan untuk membantu mempermudah proses pemaknaan puisi pada tahap pembacaan retroaktif selanjutnya.
Puisi koran cenderung memiliki kerapatan hubungan antarkata,
frase, dan larik-lariknya sehingga tidak membutuhkan banyak kata untuk ditambahkan. Pembacaan heuristik pada puisi-puisi koran yang dianalisis
ini ada yang hanya mendapat penambahan imbuhan, penambahan unsur kalimat,
perubahan
atau
penghubung, kata depan,
penyingkatan
kata,
penambahan
dan unsur kebahasaan
lainnya.
kata
Dari
pembacaan heuristik inilah sebuah puisi akan dapat dibaca secara kontekstual.
.'71
Penambahan imbuhan paling banyak dilakukan pada puisi Tanah
Air Mata, Fragmentasi, Di Diskotik, Indonesia Sebuah Sisa, dan Sajak Satu Angka yang meliputi imbuhan me-, meny-, mem-, meng-, me-kan, dikan, ke-an, pe-an, per-an, ber-an, dan Iain-Iain.
Penambahan unsur
kelengkapan kalimat paling banyak terdapat pada puisi Tanah Air Mata, Menghanyutkan Dongeng di Bengawan Solo,, Kasidah Angin, dan Di Atas Sajadah yang meliputi unsur subjek, predikat, objek, dan keterangan. Penambahan kata penghubung dilakukan pada keseluruhan puisi kecuali puisi Rumah Biru. Penambahan kata depan terdapat pada beberapa puisi,
demikian juga dengan penambahan kata
bantu
perbandingan dan kata bantu bilangan, penambahan partikel -lah dan -kah, serta kata ganti milik
(ku dan nya). Ada beberapa kata yang
mengalami penyingkatan kata, penggunaan kata yang tidak baku, ataupun kekurangan tanda baca.
Setelah melalui berbagai proses penginterpretasian simbol-simbol
dan maknanya, mulai dari tahap analisis unsur puisi, penentuan matriks, sampai kepada pembacaan heuristik yang mampu menggambarkan
struktur bahasa yang jelas maka pembacaan retroaktif akan mudah dilakukan. Pada sebagian besar puisi koran, pembacaan retroaktif tidak terialu sulit dilakukan.
279.
Tabel g. Pembacaan Heuristik
•-:•' Pembacaan Heuristik Judul Puisi
1. Tanah Air Mata
Penambahan Penambahan Penambahan •' iJmbuhan" ; -"-Uhsur •" ' Kata" • fcaamat penghMbUng
Penambahan
me-, meny-,
subjek
adalah, untuk,
diatas
di-, me-kan,
predikat
sehingga
ke-an, -an,
objek
di-kan
keterangan
2. Menghanyutkan
subjek
Dongeng di B. Solo
-
Penyirvgkatan
:Kata
Lain - tain
aepari
takkan
kata bantu perbandingan (bagaikan), kata bantu bi
langan (segala)
karena
ke dalam
predikat
keterangan 3. Krematorium Matahari
4. Fragmentasi
5. Jembatan
6. Padamu Nabi
7. Rudapaksa Persalinan
subjek
namun, se
predikat
hingga, de
kata bantu bilangan: se
objek
ngan, bahwa
buah, seluruh
men-, -an
subjek
yang, serta,
kata bantu perbandingan:
meng-,-kan
predikat
sehingga
seolah-olah, bagaikan
subjek
yakni, yang,
predikat
oleh
ke-an, -kan
me-, ke-an
tak
takkan
kata ganti milik: ku
kata bilangan: sebuah kata tidak baku: kenapa
meng-, men-
subjek
yang, untuk,
ber-,-an
predikat
dan, karena,
seolah-olah, seakan, se
sehingga
perti, partikel -lah
men-, meng-
adalah, teta
ku
pada
kata bantu perbandingan:
kata tidak baku: kenapa
pi, karena,
kata penunjuk: ini
yang, agar,
dan, maka 8. Rumah Biru
mem-
subjek
pabila
kata ganti milik: nya
tak
9. Lagu Pagi yang Aneh
10. Di Diskotik
mem-, me-,
yang, yakni,
pe-an
oleh, dan
di
ber-, meng-,
subjek
dan, untuk,
di, ke da
me-, mem-
predikat
yang, karena
lam, ke
hingga
pada
11. Sesaat Sebelum Keba
kau
partikel -kah, re (rerum-
karan Hutan
putan, kata penunjuk: ini, kata ulang kunang-kunang
12. indonesia.Sebuah Sisa
per-an, ber-,
tentang, dan,
me-kan, me-,
yang
klitika: ku
ber-an
13. Kupanggil Namamu Berkali-kali
hingga, dan, yang
tak
5?3
. Pembacaan Heuristik. Judul Puisi
14. Kasidah Angin
Penambahan
Penambahan
Imbuhan
Unsur
-•-•
kalimat
penghubung
kan
Penambahan Kata
Penambahan • Kata
Penyingkatan-kata
subjek
hingga
partikel -kah
predikat
karena
kata keterangan; lagi, ju
objek
15. Di Atas Sajadah
-•Lain-lain
depan
ga, pun
men-, -an,
subjek
dan, karena,
ke-an
predikat,
untuk, yang,
objek
oleh
partikel -kah dan -lah
keterangan 16. Tobat
-
subjek
dan, dalam,
di
-
hingga
17. In The Building
-
penulisan kurang tanda (-) cahayaMu, puncakMU
dan, hingga,
di, dari,
karena, yang
disana
-
banyak penambahan kata untuk memahami puisi
merupakan
18. Sajak Satu Angka
meny-, me-,
me-kan, -an, ter-
-
dan, hingga, ketika, yang
di, di antara
tapi
partikel -kah, klitika -nya,
.'/4
C. Hasil Analisis
1. Hasil Kajian Semiotik terhadap Struktur dan Pemaknaan Puisi Koran
a. Struktur puisi koran terdiri dari unsur-unsur pembangun puisi yang
lengkap sesuai dengan konvensi puisi. Struktur puisi koran itu tidak berbeda jauh dengan puisi nonkoran yang terdiri dari unsur pilihan kata bermakna denotasi dan konotasi, bahasa kiasan, citraan, serta gaya bahasa dan sarana retoris.
b. Pilihan kata lebih banyak bermakna konotatif namun karena pilihan
kata yang digunakan adalah kata-kata umum yang sudah dikenal dalam bahasa sehari-hari maka penafsiran terhadap makna konotatif dalam puisi koran menjadi tidak terialu sulit.
c. Bahasa kiasan yang paling dominan digunakan dalam puisi koran
adalah personifikasi, metafora, dan simile. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa kiasan yang digunakan adalah bahasa kiasan yang lebih bersifat perbandingan. Personifikasi adalah bahasa kiasan yang memperbandingkan suatu benda atau ide abstrak dengan manusia sehingga seolah-olah mereka memiliki sifat-sifat insani. Sementara itu, bahasa kiasan metafora dan simile merupakan bahasa kiasan yang
memperbandingkan suatu benda dengan benda lain, baik secara langsung ataupun tidak, baik menggunakan kata bantu perbandingan ataupun tidak.
!7i>
d. Hampir semua jenis citraan digunakan dalam puisi koran. Hal ini menunjukkan kekayaan puisi koran akan unsur citraan. Citraan yang paling dominan digunakan adalah citraan visual dan kinestetik yang dapat menggambarkan sesuatu seolah pembaca dapat melihat atau
merasakan sendiri gerakan yang dilukiskan penyair dalam puisinya.
e. Gaya bahasa dan sarana retoris yang dominan digunakan dalam puisi koran adalah hiperbola dan paralelisme. Puisi koran cenderung
menggunakan gaya bahasa yang melebih-lebihkan sesuatu hal
dengan tujuan untuk menyangatkan, untuk intensitas, dan untuk ekspresifitas sehingga terasa lebih mendalam atau lebih mencekam. Sementara itu, gaya bahasa paralelisme mengandung persejajaran
atau perulangan beberapa bagian kalimat yang sama. Hal ini selain menambah
keindahan
bahasa
puisi,
juga
mengandung
suatu
penekanan atau pementingan suatu bagian hingga dapat menyiratkan makna yang jelas.
f.
Dari segi kerapatan dan kerenggangan hubungan kata, frase, ataupun
larik-larik puisi diperoleh hasil pembacaan heuristik yang berbeda. Pada puisi yang rapat, penambahan unsur-unsur sintaksis (baik berupa kata atau frase) tidak begitu banyak, sedangkan pada puisi
yang renggang sangat banyak membutuhkan penambahan unsurunsur untuk membantu proses pemaknaan puisi. Puisi koran lebih
cenderung memiliki hubungan kata dan larik yang rapat sehingga tidak terialu banyak kata lain yang perlu ditambahkan.
' IU
g. Dari hasil pembacaan heuristik pada puisi koran dapat diungkapkan hal-hal yang perlu ditambahkan dalam sebuah puisi. Penambahan itu
meliputi penambahan unsur sintaksis (imbuhan, unsur pembentuk kalimat, kata penghubung, kata depan, partikel -lah dan -kah) serta
perubahan tatabahasa yang disesuaikan dengan ejaan (karena masih terdapat beberapa penyingkatan kata, pemakaian kata tidak baku, dan kurangnya pemakaian tanda baca).
h. Dari segi pembacaan retroaktif dapat dikatakan bahwa bila makna ataupun simbol-simbol dalam sebuah puisi (baik yang terdapat pada kata, frase, ataupun larik) telah dapat diinterpretasikan, matriks sudah
dapat ditentukan, serta pembacaan heuristik dapat dilakukan dengan lengkap hingga mampu menggambarkan puisi dalam struktur bahasa
yang jelas maka pembacaan retroaktif dapat dilakukan dengan mudah. 2. Hasil Kajian Semiotik terhadap Puisi Koran sebagai Suatu Altematif Pemilihan bahan Ajar.
a. Dari sudut aspek sastra, puisi koran mengandung nilai-nilai sastra dan unsur puisi yang lengkap sebagaimana struktur unsur sebuah puisi berdasarkan konvensi sastranya. Puisi koran mengandung unsur-
unsur puitis seperti: pilihan kata yang cenderung konotatif dengan
interpretasi yang tidak terialu sulit, penggunaan bahasa kiasan, citraan, serta gaya bahasa dan sarana retoris yang bervariasi. Jadi, jika ditinjau dari sudut nilai-nilai kesastraan,
puisi koran memenuhi kritena
.'//
pemilihan bahan ajar puisi karena mengandung unsur-unsur yang telah ditentukan.
b. Hasil kajian puisi koran dari aspek bahasa adalah sebagai berikut. 1) Pilihan kata atau kosa kata yang digunakan dalam puisi koran adalah kosa kata yang berasal dari kata dan ungkapan dalam bahasa sehari-hari sehingga siswa tidak terialu sulit memahami
makna kata-katanya atau dapat dikatakan kosakatanya komunikatif.
2) Kata bermakna konotatif yang digunakan juga tidak terialu sulit dipahami.
3) Walaupun di dalam puisi koran terdapat kosa kata baru atau pun kosa kata dari bahasa asing namun kata-kata tersebut sudah sering
didengar siswa sehingga siswa tidak terialu asing untuk mempelajari atau memahaminya. Di dalam puisi koran tidak ditemukan kata-kata yang absurd dan aneh sebagaimana sering didapati pada puisi kontemporer.
4) Struktur hubungan kata-kata dan larik-larik puisi koran bersifat rapat sehingga tidak membutuhkan penambahan kata-kata lain yang banyak pada larik aslinya. Jadi, susunan kata-kata atau satuan sintaksis dalam puisi koran tidak terialu sulit dipahami.
5) Penambahan unsur kebahasaan pada larik-larik puisi koran (seperti
yang tampak pada pembacaan heuristik) dapat memotivasi siswa untuk lebih meningkatkan penguasaan bahasanya.
IV.
c. Ditinjau dari aspek psikologis, siswa SLTA sudah memasuki tahap generalisasi dalam perkembangan jiwa anak. Sesuai dengan ciri pada tahap ini maka siswa dapat menggeneralisasi hal-hal yang praktis dan berminat menemukan konsep abstrak dengan menganalisis fenomena
serta menemukan penyobab fenomena untuk menentukan keputusan
moral dalam dirinya. Puisi koran yang menyajikan tema dan masalah aktual dan terkini yang diangkat dari masalah kehidupan dapat memenuhi kriteria pada aspek psikologis ini yakni menarik minatnya
untuk mengenai hal-hal praktis dan mendorongnya menemukan konsep serta fenomena yang ada disekitar kehidupannya.
d. Dari segi aspek latar belakang budaya, tema, masalah, dan kosa kata
yang disajikan dalam puisi koran lebih variatif dan akrab dengan lingkungan latar belakang budayanya. Puisi koran lebih memasyarakat karena ia banyak memaparkan hal-hal yang banyak terjadi dalam realita kehidupan yang berkaitan dengan budaya, moral, etika,
pendidikan, serta agama. Banyak nilai religi, nilai moral dan etika, ataupun ajaran-ajaran hidup yang dapat ditarik dari puisi koran itu.