RENCANA PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KOMODITAS UNGGULAN BERBASIS ANALISIS MULTI-OBJECTIVE LAND ALLOCATION DI KABUPATEN CIANJUR
WISTHA NOWAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rencana Penggunaan Lahan untuk Komoditas Unggulan Berbasis Analisis Multi-Objective Land Allocation di Kabupaten Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2015 Wistha Nowar NIM A156130234
RINGKASAN WISTHA NOWAR. Rencana Penggunaan Lahan untuk Komoditas Unggulan Berbasis Analisis Multi-Objective Land Allocation di Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BOEDI TJAHJONO. Pengembangan suatu wilayah hendaknya dilakukan dengan memberi konsentrasi yang lebih besar kepada sektor basis atau komoditas yang menjadi unggulan di wilayah tersebut. Kabupaten Cianjur memiliki potensi yang besar pada sektor pertanian, hal ini dapat dilihat dari share terhadap PDRB yang mencapai lebih dari 40%. Pengembangan sektor pertanian sangat bergantung kepada ketersediaan lahan yang sesuai bagi berbagai komoditasnya. Penggunaan lahan yang tidak mempertimbangkan aspek kesesuaian lahan akan menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan sehingga bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mensyaratkan terwujudnya lingkungan yang lestari sehingga tidak merugikan kepentingan generasi masa yang akan datang. Bagi sektor pertanian penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik yang dimiliki lahan disamping dapat merusak lingkungan juga akan menyebabkan menurunnya produktivitas dari tanaman tersebut, oleh karenanya diperlukan suatu mekanisme dalam mengalokasikan lahan untuk berbagai tujuan penggunaannya. Pengalokasian sumberdaya lahan untuk berbagai tujuan penggunaan hendaknya berdasarkan berbagai aspek pertimbangan sehingga diharapkan dapat memberi hasil yang optimal dari pemanfaatan suatu lahan. Tujuan penelitian: 1) Menentukan sektor / subsektor basis dan komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur; 2) Menganalisis kesesuaian lahan untuk komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur; 3) Menyusun arahan alokasi lahan untuk komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Cianjur dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dan pengamatan lapang. Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi terkait. Teknik analisis yang digunakan adalah; Location Quotient (LQ), Differential Shift (DS), Analisis Spasial (matching), AHP dan Multi-Objective Land Allocation (MOLA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanian merupakan sektor basis dengan indeks LQ sebesar 3.47, tanaman bahan makanan merupakan subsektor basis dengan indeks LQ sebesar 1.01. Sementara itu melalui analisis LQ dan DS diperoleh komoditas unggulan adalah kacang tanah, kedelai dan padi sawah. Sebagian besar lahan di Kabupaten Cianjur untuk padi sawah, kacang tanah, dan kedelai masuk ke dalam ordo tidak sesuai (N) yaitu sebesar 238,400 ha (67.94%), sisanya 112,478 ha (32.06%) masuk ke dalam ordo sesuai (S). Alokasi lahan untuk padi sawah seluas 58,566 ha tersebar di 32 kecamatan sebagian besar di Cianjur Utara dan Tengah, kacang tanah tersebar di 28 kecamatan mayoritas di Cianjur Selatan dengan luas seluruhnya 24,161 ha. Sementara kedelai tersebar di 23 kecamatan mayoritas berada di Cianjur Selatan dan Tengah dengan luas seluruhnya 14,420 ha. Kata kunci: analisis kesesuaian lahan, komoditas unggulan, MOLA, sektor basis
SUMMARY WISTHA NOWAR. Land Use Planning for Leading Commodities Based Analysis of Multi-Objective Land Allocation in Cianjur Regency. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO and BOEDI TJAHJONO. Regional development can be carried out with an emphasis on the basic sectors or leading commodities. Cianjur regency has a great potential in the agricultural sector as indicated by Its high GDP share (>40%). The development of the agricultural sector relies heavily on the availability of suitable land for many kind of commodities. Otherwise, land use does not consider aspects of land suitability will lead to environmental degradation so contrary to the principles of sustainable development which requires the establishment of a sustainable environment so as not to harm the interests of future generations. For agricultural land use that is not in accordance with the characteristics of the land not only harming the environment but also lead to decreased productivity of the plant, therefore we need a mechanism to allocate land for any purposes of use. The allocation of land resources for set of plan land use, must be made base on multiple of aspects of the considerations that are expected to provide optimal results from the use of the land. The purpose of this study is threefold: 1) To determine the sector / subsector basis and leading commodity in Cianjur regency; 2) To analyze the suitability of land for leading commodities in Cianjur regency; 3) To develop land allocation for leading commodities in Cianjur regency. This research was conducted in Cianjur regency by using primary and secondary data. Primary data were obtained from interviews and field observations. Secondary data were obtained from the relevant agencies. The analysis technique used were LQ, DS, Spatial Analysis (matching), AHP and Multi-Objective Land Allocation (MOLA). The results showed that agriculture is a sector basis with a number of LQ is 3.47, the food crops is subsector basis with a number of LQ is 1.01. Meanwhile through LQ analysis and DS obtained leading commodities are peanuts, soybeans and rice paddies. For paddy, peanuts, and soybean most of the land into the Order does not match (N) in the amount of 238,400 hectares (67.94%), the remaining 112,478 hectares (32.06%) into the appropriate Order (S). Allocation of land for paddy area is 58,566 hectares, spread over 32 districts mostly in North and Central Cianjur, peanut spread over 28 districts in South Cianjur majority with a total area is 24,161 hectares. While soybean is spread in 23 sub-districts are mostly in Central and South Cianjur with a total area is 14,420 hectares. Key words: basic sector, land suitability analysis, leading commodities, MOLA
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RENCANA PENGGUNAAN LAHAN UNTUK KOMODITAS UNGGULAN BERBASIS ANALISIS MULTI-OBJECTIVE LAND ALLOCATION DI KABUPATEN CIANJUR
WISTHA NOWAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Widiatmaka, DAA
Judul Tesis : Rencana Penggunaan Lahan untuk Komoditas Unggulan Berbasis Analisis Multi-Objective Land Allocation di Kabupaten Cianjur Nama : Wistha Nowar NIM : A156130234
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Ketua
Dr Boedi Tjahjono, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 23 Maret 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah rencana penggunaan lahan, dengan judul Rencana Penggunaan Lahan untuk Komoditas Unggulan Berbasis Analisis Multi-Objective Land Allocation di Kabupaten Cianjur. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc dan Bapak Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Widiaatmaka, DAA yang telah banyak memberi saran. Penghargaan penulis juga sampaikan kepada Bapak Dr. Ir Ernan Rustiadi, Ir Homzar Effendi, MP dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Cabang Cianjur, Bapak Ir. H. Arifin, MM, Ibu Nina Priyantina, SP, MP, Bapak Ir M. Sobur dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur serta Ibu Ir. Hermin Patriyana M.Si dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Kabupaten Cianjur beserta stafnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas) atas kesempatan untuk melanjutkan pendidikan magister di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB. Selanjutnya penulis ucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB atas bimbingan dan arahannya selama menjalani perkuliahan Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bunda, adik Dian, Mirdha dan isteriku tercinta Satriani Wulandari serta anak-anakku Muhammad Dzakiy Wardari, Ayesha Raqiyya Wardari dan Radhwa Syarafana Wardari atas do’a, dukungan, ketabahan, kesabaran dan pengorbanan kalian selama ini. Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa program kelas khusus Bappenas angkatan 2013 dan rekan-rekan mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana Aceh (IKAMAPA) atas bantuan dan dukungannya selama menjalani perkuliahan sampai penyusunan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2015 Wistha Nowar
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran
1 1 2 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Basis Ekonomi Komoditas Unggulan Evaluasi Kesesuaian Lahan Arahan Alokasi Penggunaan Lahan
6 6 8 11 15 19
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis Data dan Alat Metode Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data
22 22 23 23
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Kondisi Administratif Kondisi Fisik Wilayah Karakteristik Demografi Keadaan Perekonomian
33 33 35 39 40
HASIL DAN PEMBAHASAN Sektor, Subsektor Basis dan Komoditas Unggulan Kesesuaian Lahan Padi Sawah, Kacang Tanah dan Kedelai Arahan Alokasi Penggunaan Lahan
44 44 46 52
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
78 78 78
DAFTAR PUSTAKA
79
LAMPIRAN
83
RIWAYAT HIDUP
85
DAFTAR TABEL 1 Hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran 2 Nilai Random Index (RI) 3 Pembagian wilayah administrasi Kabupaten Cianjur 4 Distribusi persentase share PDRB Kabupaten Cianjur atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha Tahun 2008 - 2012 5 Laju pertumbuhan (%) PDRB Kabupaten Cianjur atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha Tahun 2008 - 2012 6 Indeks LQ sektor ekonomi Kabupaten Cianjur Tahun 2011 - 2013 atas dasar Harga Konstan 2000 7 Indeks LQ subsektor pada sektor pertanian di Kabupaten Cianjur Tahun 2011-2013 atas dasar harga konstan 2000 8 Analisis komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur Tahun 2011 - 2013 9 Kesesuaian lahan padi sawah, kacang tanah dan kedelai di Kabupaten Cianjur 10 Distribusi Ordo, Kelas dan Subkelas kesesuaian lahan padi sawah, kacang tanah dan kedelai di Kabupaten Cianjur 11 Komponen data untuk menghitung kebutuhan luas lahan 12 Uji kebaikan model pendugaan pertumbuhan penduduk 13 Luas panen, B/C ratio dan pola tanam padi sawah, kacang tanah, dan kedelai di Kabupaten Cianjur 14 Distribusi kelas kesesuaian lahan komoditas unggulan berdasarkan jenis penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur 15 Pembobotan kesesuaian lahan untuk padi sawah 16 Pembobotan kesesuaian lahan untuk kacang tanah 17 Pembobotan kesesuaian lahan untuk kedelai 18 Distribusi alokasi lahan untuk padi sawah, kacang tanah, dan kedelai berdasarkan analisis MOLA di Kabupaten Cianjur 19 Perbandingan distribusi alokasi lahan saat ini dan alokasi lahan MOLA 20 Distribusi alokasi lahan untuk komoditas unggulan berdasarkan analisis MOLA dan pergiliran tanam antara padi sawah & kedelai di Kabupaten Cianjur 21 Wilayah pengembangan padi sawah berdasarkan skala prioritas 22 Wilayah pengembangan kacang tanah berdasarkan skala prioritas 23 Wilayah pengembangan kedelai berdasarkan skala prioritas
24 31 34 41 42 44 44 46 47 51 53 54 59 62 63 63 64 66 67
70 72 74 76
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Kerangka pemikiran penelitian Teknik pendekatan dalam evaluasi lahan Peta batas administrasi Kabupaten Cianjur Hierarki penentuan bobot prioritas komoditas unggulan Analisis arahan alokasi lahan menggunakan MOLA Peta administrasi Kabupaten Cianjur Jenis tanah di Kabupaten Cianjur
5 18 22 30 32 33 37
8 Sebaran kelas curah hujan di Kabupaten Cianjur 9 Distribusi jumlah tenaga kerja berdasarkan lapangan usaha utama di Kabupaten Cianjur 10 Share sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Cianjur Tahun 2008-2012 11 Perbandingan laju pertumbuhan PDRB sektor pertanian dan PDRB Kabupaten Cianjur Tahun 2008 - 2012 12 Perbandingan laju pertumbuhan dan share PDRB sektor pertanian di Kabupaten Cianjur Tahun 2008 - 2012 13 Share subsektor terhadap PDRB sektor pertanian Tahun 2011 - 2013 di Kabupaten Cianjur 14 Kesesuaian lahan untuk padi sawah di Kabupaten Cianjur 15 Kesesuaian lahan untuk kacang tanah di Kabupaten Cianjur 16 Kesesuaian lahan untuk kedelai di Kabupaten Cianjur 17 Grafik uji kebaikan model eksponensial (a), model linear (b), model kuadratik (c) dan model power (d) 18 Hirarki penentuan bobot prioritas komoditas unggulan menggunakan pendekatan AHP 19 Bobot prioritas komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur menggunakan pendekatan AHP 20 Konflik kepentingan penggunaan lahan antara padi sawah, kacang tanah dan kedelai 21 Alur analisis arahan alokasi penggunaan lahan menggunakan MOLA 22 Arahan alokasi lahan untuk padi sawah, kacang tanah dan kedelai di Kabupaten Cianjur berdasarkan analisis MOLA 23 Alokasi lahan untuk komoditas unggulan berdasarkan analisis MOLA dan pergiliran tanam antara padi sawah dan kedelai 24 Wilayah prioritas pengembangan padi sawah 25 Wilayah prioritas pengembangan kacang tanah 26 Wilayah prioritas pengembangan kedelai
39 40 41 43 43 45 48 49 50 54 55 58 60 61 65 69 71 73 75
DAFTAR LAMPIRAN 1 Distribusi luas penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur 2 Distribusi luas Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cianjur
83 84
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Salah satu tujuan pembangunan yang hendak dicapai oleh Kabupaten Cianjur sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) tahun 2005-2025 adalah meningkatkan pendapatan masyarakat melalui perluasan usaha dan peningkatan produktivitas usaha di bidang perekonomian. Sasaran yang ingin dicapai berdasarkan tujuan tersebut adalah berkembangnya agribisnis yang mampu menghasilkan produk dan industri pertanian yang berdaya saing. Oleh karenanya untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut dibutuhkan sebuah perencanaan yang tepat dan komprehensif. Keberhasilan perencanaan pembangunan di suatu daerah sangat berkaitan dengan kualitas perencanaan pembangunan yang disusun oleh daerah tersebut. Perbedaan Kondisi daerah akan membawa implikasi bahwa corak pembangunan yang diterapkan perlu berbeda pula. Karena potensi pembangunan yang dimiliki setiap daerah sangat bervariasi, maka setiap daerah harus menentukan kegiatan sektor ekonomi yang dominan (Sjafrizal,1997). Glasson (1977) mengatakan bahwa untuk menjelaskan adanya pertumbuhan pada suatu wilayah dengan menekankan pada hubungan antar sektor yang terdapat dalam perekonomian dan kekuatan-kekuatan pendorong dari satu sektor ke sektor lainnya (baik langsung maupun tidak langsung) sering menggunakan teori perencanaan pembangunan wilayah. Salah satu pendekatan yang relatif sederhana adalah teori basis ekonomi (economic base theory). Sektor basis memiliki peran penting untuk menentukan pola kebijakan dalam pembangunan regional. Sektor basis pada suatu daerah tertentu berimplikasi pada adanya endowment factor yang melimpah atau dukungan sumberdaya manusia, sehingga daerah tersebut mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi pada sektor tertentu. Dengan melihat sektor basis sebagai komoditas ekspor ke daerah lain, dapat diperoleh pola hubungan yang berkaitan antar wilayah serta potensi pengembangan untuk masing-masing wilayah (Richardson,1997). Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), setiap daerah mempunyai sektor-sektor unggulan yang memberikan dampak signifikan terhadap pengembangan ekonomi wilayah, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam kaitannya dampak langsung maupun tidak langsung maka pengembangan terhadap sektor-sektor unggulan ini akan menyebabkan pengembangan sektor-sektor lainnya yang berkaitan dalam suatu wilayah tertentu. Dengan demikian pengembangan wilayah perlu memperhatikan sektor-sektor unggulan yang ada dalam rangka penentuan prioritas sehingga menjadi lebih terfokus. Sektor unggulan akan menghasilkan barang dan jasa melebihi permintaan lokal dalam wilayahnya sehingga dapat dipasarkan ke daerah lain, maka penjualan ke daerah lain tersebut akan menghasilkan pendapatan bagi daerah tersebut. Terjadinya arus pendapatan dari luar daerah ini menyebabkan terjadinya kenaikan konsumsi dan investasi di daerah tersebut dan pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja baru. Peningkatan pendapatan tersebut tidak hanya menaikkan permintaan terhadap sektor unggulan, tetapi juga
2
menaikkan permintaan akan sektor non unggulan. Oleh karena itu menurut (Arsyad, 1999) sektor unggulanlah yang harus dikembangkan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Berdasarkan data share distribusi produk domestik regional bruto (PDRB) sejak tahun 2007 - 2011, sektor pertanian selalu memberi kontribusi paling besar yakni berada lebih dari 40% sehingga dapat dikatakan bahwa Kabupaten Cianjur memiliki potensi yang cukup besar pada sektor pertanian. Pengembangan sektor pertanian sangat bergantung kepada ketersediaan lahan yang sesuai untuk berbagai komoditasnya. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan ekonomi maka kebutuhan lahan baik untuk penggunaan pertanian maupun non pertanian juga semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan naiknya permintaan konsumsi produk-produk pertanian sehingga menyebabkan meningkatnya pula kebutuhan lahan untuk pertanian, disamping itu pertumbuhan penduduk juga akan menyebabkan naiknya pula kebutuhan lahan untuk keperluan perumahan, pabrik, sekolah dan lain – lain. Kondisi ini menjadikan sumberdaya lahan semakin hari semakin langka serta melahirkan konflik kepentingan didalam penggunaannya. Pengalokasian sumberdaya lahan untuk berbagai tujuan penggunaan harus dilakukan dengan cara yang benar dan tepat. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya tidak saja mengurangi daya produktivitasnya, namun juga akan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Paradigma pembangunan saat ini berfokus kepada prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dimana tujuan pembangunan yang ingin dicapai saat ini tidak boleh sampai merugikan kepentingan generasi pada masa yang akan datang. Oleh karena itu penggunaan suatu lahan harus memperhatikan aspek kesesuaian atau karakteristik lahan.
Perumusan Masalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) tahun 2005-2025 mengamanahkan kepada Pemerintah Kabupaten Cianjur untuk meningkatkan pendapatan masyarakat melalui perluasan usaha dan peningkatan produktivitas usaha di bidang perekonomian dengan sasaran yang ingin dicapai adalah berkembangnya agribisnis yang mampu menghasilkan produk dan industri pertanian yang berdaya saing. Tujuan tersebut memerlukan sebuah konsep arah pembangunan yang jelas dan terarah. Selama ini pengembangan sektor pertanian belum berfokus kepada komoditas yang menjadi unggulan, sehingga pemilihan komoditas yang akan dikembangkan diserahkan sepenuhnya kepada petani. Padahal sejumlah teori menyebutkan bahwa pembangunan atau pengembangan suatu wilayah hendaknya dilakukan dengan memberi konsentrasi yang lebih kepada sektor basis atau komoditas yang menjadi unggulan dari wilayah tersebut. Kondisi ini menyebabkan belum adanya pengaturan alokasi lahan yang sesuai dan terencana, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan produksi suatu komoditas tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pertumbuhan jumlah penduduk dan ekonomi menyebabkan meningkatnya pula konsumsi masyarakat terhadap komoditas pertanian, sehingga menyebabkan bertambahnya kebutuhan luas lahan pertanian dan non pertanian. Situasi ini melahirkan konflik kepentingan penggunaan suatu lahan baik sesama komoditas
3
pertanian, maupun antara pertanian dan non pertanian. Konflik kepentingan penggunaan lahan ini perlu ditata dengan baik agar dapat memberikan manfaat yang paling optimal dari penggunaan suatu lahan. Penggunaan suatu lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan tidak saja menyebabkan menurunnya tingkat produktivitas tetapi juga akan menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya yang terencana dalam pengalokasian lahan dengan memperhatikan berbagai aspek. Berdasarkan uraian di atas, maka disusun pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut: 1) Sektor / subsektor apa yang menjadi basis dalam kerangka perekonomian di Kabupaten Cianjur serta apa komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur? 2) Bagaimana kesesuaian lahan dalam menunjang pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur? 3) Bagaimana arahan alokasi lahan untuk pengembangan komoditas unggulan ?
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan yang telah disusun tersebut, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut: 1) Menganalisis sektor, subsektor basis dan komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur. 2) Menganalisis kesesuaian lahan untuk komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur. 3) Menyusun arahan alokasi penggunaan lahan untuk komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur.
Manfaat Penelitian Hasil dari kajian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada: 1) Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun agenda pembangunan. 2) Pemerhati pengembangan wilayah.
Kerangka Pemikiran Pembangunan dan pengembangan suatu wilayah merupakan sebuah proses yang terus menerus dilakukan guna menyesuaikan dengan perkembangan zaman serta guna mencapai tingkat kemajuan ekonomi secara lebih baik lagi. Perbedaan Kondisi daerah akan membawa implikasi bahwa corak pembangunan yang diterapkan berbeda pula. Terkait dengan potensi pembangunan yang dimiliki setiap daerah sangat bervariasi, maka setiap daerah harus menentukan kegiatan sektor ekonomi yang dominan (Sjafrizal,1997). Para pakar pengembangan wilayah menyatakan bahwa pembangunan dan pengembangan suatu wilayah harus diawali dengan pengembangan sektor atau subsektor ataupun komoditas yang menjadi unggulan pada masing-masing wilayah. Beranjak dari konsep pemikiran tersebut, maka proses identifikasi sektor adu subsektor/komoditas unggulan menjadi sangat penting dalam menentukan arah
4
pengembangan wilayah yang nantinya akan dilakukan. Komoditas unggulan paling tidak memiliki ciri-ciri basis dan berdaya saing baik, yakni unggul secara komparatif dan kompetitif. Kabupaten Cianjur memiliki potensi yang cukup besar pada sektor pertanian, hal ini terlihat dari share PDRB yang mencapai lebih dari 40% selama 10 Tahun terakhir. Sebagai sektor yang berbasis lahan, pengembangan sektor pertanian sangat membutuhkan keberadaan lahan yang sesuai untuk berbagai komoditasnya. Penggunaan lahan yang tidak sesuai menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan, bagi sektor pertanian penggunaan lahan yang tidak sesuai bukan hanya menyebabkan kerusakan lingkungan tetapi juga menyebabkan menurunnya produktivitas suatu tanaman yang pada akhirnya keuntungan yang didapatkan oleh petani menjadi rendah. Oleh karena itu diperlukan evaluasi kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditas sektor pertanian agar terwujud pembangunan berkelanjutan dan memberi keuntungan yang optimal bagi petani. Evaluasi kesesuaian lahan, ketersediaan lahan dan arahan alokasi sumberdaya lahan kini dapat dengan mudah dilakukan dengan bantuan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) yang ada sekarang. Akinci et al. (2013) menyebutkan bahwa Geographical Information System (GIS) dapat menentukan kesesuaian lahan untuk pertanian dan hal-hal lain. Evaluasi kesesuaian lahan terhadap beberapa komoditas pertanian menunjukkan bahwa suatu lahan dapat digunakan secara bersama-sama oleh lebih dari satu jenis komoditas karena kriteria kesesuaian lahannya tidak jauh berbeda. Hal tersebut melahirkan konflik kepentingan antar komoditas didalam memanfaatkan suatu lahan. Oleh karena itu didalam perencanaan perlu dilakukan upaya arahan alokasi lahan secara lebih detil dan dapat dinilai secara kuantitatif. Arahan alokasi lahan secara spasial dapat dilakukan dengan pendekatan teknologi sistem informasi geografi (SIG), yakni analisis Multi-Objective Land Allocation (MOLA). Analisis MOLA mampu menjadi solusi terhadap konflik kepentingan pemanfaatan lahan antar komoditas pertanian karena didalam mengalokasikan suatu lahan terhadap beberapa tujuan penggunaannya tersebut mempertimbangkan kesesuaian lahan, bobot prioritas serta kebutuhan luas lahan dari masing-masing komoditas pertanian yang akan dikembangkan. Analisis ini sudah digunakan dalam beberapa penelitian di dunia antara lain oleh Mwasi (2001), Hajehforooshnia et al. (2011) dan Alexander et al. (2012). Peta kesesuaian lahan yang dibutuhkan untuk analisis MOLA ini didapat dari hasil evaluasi kesesuaian lahan dengan mempertimbangkan juga kondisi penggunaan lahan saat ini (current land use) serta aspek Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur (RTRW). Bobot prioritas terhadap masing-masing komoditas diperoleh melalui pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP), yaitu suatu analisis yang dikembangkan oleh Saaty (1980). Sementara itu kebutuhan luas lahan masing-masing komoditas dihitung berdasarkan proyeksi kebutuhan luas lahan pada Tahun 2020, karena arahan alokasi lahan yang akan disusun adalah untuk Tahun 2020. Kerangka pikir penelitian ini dapat diilustrasikan melalui Gambar 1.
5
Teori pengembangan wilayah
Mengembangkan sektor basis / komoditas unggulan
Pengembangan wilayah
Potensi sektor pertanian cukup besar
Sektor pertanian Membutuhkan lahan yang sesuai
Produktivitas optimal
Evaluasi kesesuaian lahan
Kriteria kesesuaian lahan
Pembangunan berkelanjutan
Lahan sesuai untuk beberapa komoditas
Kondisi penggunaan lahan saat ini Kesesuaian lahan
Konflik kepentingan penggunaan lahan Kebutuhan lahan
Analisis alokasi pemanfaatan lahan
Peraturan Daerah
Arahan alokasi pemanfaatan lahan Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Tingkat kepentingan pengggunaan lahan
6
TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Wilayah menurut Undang-undang nomor 26 tahun 2007 diartikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Dimensi wilayah sangat penting dan merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam menganalisis dan menentukan dimana suatu suatu program atau proyek diletakkan dalam perencanaan pembangunan (Adisasmita, 2008). Konsep pengembangan wilayah yang dikaitkan dengan aspek penataan ruang telah diperkenalkan oleh Hirschman (1958) dan Myrdall (1957), konsep ini mengatakan adanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dalam suatu wilayah (growth pole). Djakapermana (2010) mengatakan konsep pengembangan wilayah telah mengalami perkembangan dan saling koreksi. Beberapa ahli pengembangan wilayah seperti Rondinelli, Ruddle, Rostow, Friedman, Perroux, Lewis, Hilhorts, Isard, dan lainnya telah melahirkan berbagai konsepsi yang dilatari oleh teori tahapan pertumbuhan Rostow. Di era tahun 2000 teori pengembangan wilayah memadukan aspek ekonomi, pertumbuhan dan lingkungan. McCann dalam Djakapermana (2010) telah membuat model kuantitatif ekonomi wilayah yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan, khususnya dalam menghitung nilai sewa lahan untuk suatu wilayah yang mengalokasikan ruang terbuka hijau (green belt) antara kota dan pedesaannya (hinterland) yang berfungsi untuk preservasi kawasan pedesaan. Konsep pengembangan wilayah di Indonesia juga mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Mulai dari pengembangan wilayah secara sektoral dan parsial, kutub pertumbuhan (growth pole) yang lebih mengutamakan infrastruktur, regionalisasi dengan basis wilayah fungsional (fuctional region) yaitu membagi wilayah Indonesia dengan satuan-satuan wilayah ekonomi (SAE), sampai dengan konsep pengembangan wilayah pada era tahun 2000-an dengan pendekatan lingkungan, khususnya dengan lahirnya Undang-undang nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang yang saat ini diganti dengan Undang-undang nomor 26 tahun 2007. Kini konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia harus mengikuti kaidah penataan ruang seperti yang dinyatakan didalam Undang-undang nomor 17 tahun 2006. Perencanaan Pengembangan Wilayah menurut Rustiadi et al. (2011) diartikan sebagai suatu bidang kajian yang bersifat multidisiplin meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi, hingga manajemen. Studi perencanaan pengembangan wilayah memiliki sifat-sifat yang berorientasi pada kewilayahan, futuristik dan berorientasi publik. Selain mengkaji seluruh aspek-aspek kewilayahan baik interaksi maupun interelasinya, dengan sifat futuristiknya membuat prediksi dan peramalan yang dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan publik. Pilar-pilar yang menunjang perencanaan pengembangan wilayah meliputi: 1) inventarisasi, klasifikasi dan evaluasi sumberdaya; 2) aspek ekonomi; 3) aspek kelembagaan (institusional); dan 4) aspek lokasi/spasial (Sitorus, 2013). Sumberdaya adalah segala bentuk input yang dapat menghasilkan manfaat (utilitas) proses produksi, atau penyediaan barang dan jasa. Sumberdaya memiliki sifat langka dan terbatas sehingga dalam pemanfaatannya memerlukan sistem alokasi tertentu. Secara spasial sumberdaya
7
tersebar secara tidak merata baik kualitas maupun kuantitasnya. Sementara itu pada dasarnya manusia memiliki keinginan yang tak terbatas sehingga sebelum sumberdaya dapat dimanfaatkan perlu dilakukan inventarisasi, klasifikasi dan evaluasi sumberdaya sampai dapat diketahui persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Hasil dari suatu evaluasi sumberdaya menjadi dasar bagi tahap-tahap selanjutnya dalam perencanaan dan pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Dalam pengembangan wilayah, perlu terlebih dahulu dilakukan perencanaan penggunaan lahan yang strategis yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi wilayah (strategic land-use development planning) (Djakapermana 2010). Sementara itu menurut Rustiadi et al. (2011) Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektoral, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah. Konsep pembangunan daerah yang berbasis pada sektor/komoditas unggulan ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai motor penggerak pembangunan suatu daerah, antara lain: mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan ke depan dan belakang (Forward dan backward linkage) yang kuat, mampu bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain, mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu tertentu, berorientasi pada kelestarian sumber daya alam dan lingkungan serta tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal. Pengembangan wilayah hakikatnya bertujuan agar suatu wilayah berkembang sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada secara sinergis, serasi, terpadu dan bersifat komprehensif yang mencakup aspek sosial, ekonomi, budaya, fisik serta lingkungan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Perencanaan pengembangan wilayah menuntut dilakukannya proses penataan ruang yang tepat, yakni proses yang dimulai dari penyusunan rencana tata ruang dengan mengalokasikan rencana ruang untuk sumberdaya alam secara optimal. Dalam proses penataan ruang sangat dibutuhkan keakuratan rencana yang ingin dicapai serta informasi dasar mengenai sumberdaya alam. Menurut Rustiadi et al. (2011) strategi pengembangan wilayah dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok strategi, yaitu demand side strategy dan supply side strategy. Strategi dari sisi demand (permintaan) adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang dan jasa masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal, yang bertujuan meningkatkan taraf hidup penduduk yang baru dipindahkan ke wilayah baru. Strategi dari sisi supply (penawaran) merupakan strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan produksi yang berorientasi keluar. berdasarkan pengertian dua strategi pengembangan wilayah tersebut, penelitian ini lebih condong menggunakan strategi pengembangan
8
wilayah dari sisi supply (penawaran). Alasannya adalah penelitian ini diharapkan menghasilkan arahan-arahan rencana penggunaan lahan yang akan digunakan untuk optimalisasi produksi dari komoditas unggulan di wilayah Kabupaten Cianjur.
Basis Ekonomi Analisis basis ekonomi pertama sekali dikembangkan oleh Robert Murray Haig dalam karyanya tentang Rencana Wilayah New York pada tahun 1928. Secara singkat, berpendapat bahwa kegiatan di sebuah wilayah dibagi menjadi dua kategori yaitu basis dan nonbasis. Industri basis adalah industri yang mengekspor keluar wilayah dan membawa kekayaan dari luar, sementara nonbasis (atau jasa) industri mendukung industri basis. Pada awalnya teori basis ekonomi ini menggunakan data jumlah tenaga kerja untuk mengetahui apakah sebuah industri tersebut masuk kategori basis atau tidak. Teori ini juga dikenal dengan analisis location quotient (LQ). Adapun rumusannya adalah sebagai berikut:
dimana: ei = Jumlah tenaga kerja industri i di tingkat lokal e = Total tenaga kerja lokal Ei = Jumlah tenaga kerja industri i di tingkat wilayah yang dijadikan referensi E = Total tenaga kerja di wilayah yang dijadikan referensi Location Quotient (LQ) merupakan metode analisis yang umum digunakan sebagai penentu analisis ekonomi basis yang dikembangkan oleh Rubert Murray Haig pada tahun 1928 (Quintero, 2007). Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Metode ini lebih bersifat analisis dasar yang dapat memberikan gambaran tentang pemusatan aktifitas atau sektor basis saat ini. Richardson (1977) mengatakan meskipun teori basis ekonomi memiliki kelemahan, namun teori ini dapat digunakan untuk mengetahui struktur ekonomi suatu wilayah dalam kategori basis dan bukan basis bukan sebagai alat proyeksi jangka pendek ataupun jangka panjang. Selanjutnya Richardson menjelaskan beberapa metode yang digunakan untuk mengkategorisasikan basis atau bukan basis, baik dengan cara langsung maupun tidak langsung. Cara langsung adalah dengan survei, cara ini membutuhkan waktu yang panjang dan juga biaya yang besar. Metode yang paling populer dan sederhana adalah Location Quotient (LQ), sektor yang memiliki nilai LQ lebih dari satu maka dapat dikategorikan sebagai sektor basis. Sebaliknya sektor yang bernilai kurang atau sama dengan satu maka bukan termasuk sektor basis. Menurut Galambos dan Schreiber (1978) metode basis ekonomi merupakan cara yang tepat untuk mengetahui keadaan ekonomi lokal. Basis ekonomi merupakan metode yang sistematis untuk melihat setiap lapangan usaha di suatu wilayah dan mengklasifikasikannya ke dalam dua cara. Pertama lapangan usaha yang masuk kategori ekspor (lapangan usaha yang memproduksi barang atau jasa
9
dan menjualnya keluar wilayah), atau kedua lapangan usaha bukan termasuk kategori ekspor dimana produknya hanya untuk pasar lokal saja. Galambos dan Schreiber (1978) mengemukakan, meskipun metode langsung memberi keakuratan yang lebih baik namun mereka tidak menyarankannya karena membutuhkan waktu yang lebih lama, tenaga yang lebih banyak serta biaya yang jauh lebih besar. Untuk menghindari tiga keterbatasan metode langsung tersebut, Dinc (2005) menyarankan untuk menggunakan metode tidak langsung yang paling umum digunakan untuk mengklasifikasi lapangan usaha yaitu Location Quotient (LQ). Penelitian lain terkait dengan basis ekonomi ini pernah dilakukan oleh Kiser (1992) dan Quintero (2007). Kiser (1992) melakukan penelitian diwilayah Texas Amerika Serikat dalam rangka menyusun tesis. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui basis ekonomi diwilayah Texas dengan menggunakan LQ dan SSA. Data yang dipergunakan adalah data ketenagakerjaan. Penelitian ini dilakukan dengan cara membagi Texas ke dalam 10 wilayah (region) yaitu High Plains, Northwest Texas, The Metroplex, Upper East Texas, Southeast Texas, The Gulf Coast, Central Texas, South Texas, West Texas dan wilayah Upper Rio Grande. Untuk wilayah High Plains, industri primary copper menjadi kelompok industri yang paling dominan dengan nilai LQ sebesar 45.9. Sementara itu dari sisi tingkat pertumbuhan, industri business services adalah yang paling unggul dengan nilai SSA sebesar 1.00. Wilayah Northwest Texas memiliki keunggulan spesialisasi pada kelompok industri plumbing fixtures dengan LQ sebesar 20. Sementara itu dari industri aircraft menjadi yang paling kompetitif dengan nilai SSA sebesar 0.469. Selanjutnya wilayah The Metroplex memiliki keunggulan komparatif pada lapangan usaha adminitrasi of economic programs dengan nilai LQ sebesar 11.0 Sementara keunggulan kompetitifnya ada pada lapangan usaha business services dengan nilai SSA sebesar 14.733. Region Upper East Texas lapangan usaha basis adalah industri tanks and tanks components dengan nilai LQ sebesar 125.2 sedangkan lapangan usaha yang menunjukkan pertumbuhan terbaik adalah lapangan usaha health services dengan nilai SSA sebesar 1.083. Untuk wilayah Southeast industri synthetic rubber adalah paling dominan dengan nilai LQ sebesar 29.4 sedangkan industri yang memiliki nilai SSA tertinggi adalah heavy construction sebesar 3.815. Kemudian untuk wilayah Gulf Coast industri basisnya adalah oil and gas field machinery yakni nilai LQ sebesar 21.9. Sedangkan untuk industri yang paling kompetitif adalah special trade contractor dengan nilai SSA sebesar 19.260. Selanjutnya wilayah Central Texas memiliki keunggulan kompetitif dalam hal administration of economic programs dengan nilai LQ sebesar 37.6, sedangkan yang memiliki tingkat pertumbuhan terbaik adalah industri electronic computers dengan nilai SSA sebesar 6.764. Selanjutnya wilayah South Texas memiliki keunggulan spesialisasi pada industri administration of economic programs yang ditunjukkan oleh nilai LQ sebesar 9.8, sedangkan general merchandise stores merupakan industri yang memiliki competitive share terbesar yakni dengan bobot 4.752. West Texas terspesialisasi pada industri house slippers dengan nilai LQ sebesar 43.2 dan memiliki keunggulan kompetitif (pertumbuhan) pada industri special trade contractors dengan bobot 0.762. Terakhir wilayah Upper Rio Grande memiliki keunggulan spesialisasi pada industri primary copper dengan nilai LQ sebesar 94.8 dan memiliki keunggulan kompetitif pada industri health services dengan bobot 1.945.
10
Quintero (2007) dalam rangka nmenyusun tesis melakukan penelitian diwilayah Hays County Texas Ameika Serikat dengan judul “Regional Economic Development: An economic Base Study and Shift-Share Analysis of Hays County, Texas”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekonomi dari wilayah Hays County, Texas dengan menggunakan pendekatan basis ekonomi untuk menentukan struktur dan komposisi pasar lokal setempat. Metode yang digunakan adalah teknik Location Quotient sehingga dapat diketahui subsektor industri unggulan yang “menggerakkan” ekonomi lokal. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan menganalisis ekonomi wilayah Hays County dengan menggunakan Shift Share Analysis (SSA) untuk membandingkan pertumbuhan ekonomi lokal dengan nasional. SSA merupakan metode analisis data tambahan untuk memperkuat kesimpulan penelitian basis ekonomi. Namun demikian baik LQ maupun SSA juga memiliki keterbatasan seperti teknik-teknik analisis lainnya. Menurut Isserman (1978) keterbatasan dari analisis LQ adalah produktivitas tenaga kerja di seluruh wilayah nasional sama, pola konsumsi masyarakat di suatu wilayah terhadap produk industri i sama dengan pola konsumsi masyarakat di tingkat nasional terhadap produk industri i dan produk yang dihasilkan oleh sebuah industri i di suatu wilayah sama dengan produk yang dihasilkan oleh sebuah industri i di tingkat nasional. Dalam bahasa lain asumsi yang dibangun oleh teknik LQ ini adalah permintaan produk oleh masyarakat akan dipenuhi dulu dari industri di wilayahnya, kekurangannya akan diimpor dari wilayah lain. oleh karena itu analisis LQ tidak bisa dilakukan pada asumsi ataupun fakta adanya perbedaan pola permintaan masyarakat dan produksi disuatu wilayah dan di tingkat nasional. Sementara itu keterbatasan SSA menurut Galambos dan Schereiber (1978) tidak menjelaskan alasan mengapa perubahan pekerjaan terjadi. Beberapa kelemahan lain dari SSA adalah hanya dapat digunakan untuk analisis ex-post, masalah benchmark berkenaan dengan homothetic change, apakah t atau (t+1) tidak dijelaskan dengan baik, ada data periode tertentu ditengah periode pengamatan yang tidak terungkap, tidak bisa digunakan untuk kajian keterkaitan antar sektor dan tidak ada keterkaitan daerah. Dalam literatur yang lain disebutkan keunggulan Shift Share Analysis diantaranya adalah digunakan untuk memperoleh gambaran rinci mengenai pergeseran struktur ekonomi, menggambarkan posisi relatif masing-masing sektor perekonomian daerah terhadap wilayah acuan, menggambarkan sektor-sektor unggulan yang dapat dipacu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menggambarkan sektor yang posisinya relatif lemah, namun dianggap strategis untuk dipacu (pertimbangan penyerapan tenaga kerja). Kelemahannya adalah asumsi yang digunakan bahwa sektor-sektor ekonomi acuan tumbuh dengan tingkat yang sama dan pergeseran posisi sektor dianggap linier. Dalam penelitian ini teori basis ekonomi digunakan untuk melihat sektor dan subsektor basis dan juga komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur. Untuk mengetahui sektor dan subsektor basis maka digunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Cianjur tahun 2011 - 2013 dan Provinsi Jawa Barat tahun 2011 - 2013 sebagai wilayah acuan atau referensinya. Sementara itu untuk mengetahui komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur digunakan data luas panen pada subsektor yang menjadi basis.
11
Komoditas Unggulan Komoditas unggulan sangat erat kaitannya dengan metode basis ekonomi, seperti yang dikemukakan oleh Lailia dan Santoso (2014) komoditas unggulan memiliki ciri sebagai komoditas basis, berdaya saing baik, pertumbuhan cepat dan merupakan komoditas yang progresif dan maju. Oleh karena itu komoditas unggulan dapat dirumuskan sebagai komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Menurut Syafaat dan Supena (2000) dalam Hendayana (2003) langkah menuju efisiensi pembangunan pertanian dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi, dan sosial ekonomi (penguasaan teknologi, kemampuan sumber daya manusia, adat istiadat, dan infrastruktur) petani di suatu wilayah, sedangkan dari sisi permintaan komoditas unggulan dicirikan dari kuatnya permintaan di pasar baik pasar domestik maupun internasional. Menurut Badan Litbang Pertanian (2003), komoditas unggulan merupakan komoditas andalan yang memiliki posisi strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah yang penetapannya didasarkan pada berbagai pertimbangan baik secara teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya, manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2014 memberi batasan bahwa produk unggulan merupakan produk, baik berupa barang maupun jasa, yang dihasilkan oleh koperasi, usaha skala kecil dan menengah yang potensial untuk dikembangkan dengan memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki oleh daerah baik sumber daya alam, sumber daya manusia dan budaya lokal, serta mendatangkan pendapatan bagi masyarakat maupun pemerintah yang diharapkan menjadi kekuatan ekonomi bagi daerah dan masyarakat setempat sebagai produk yang potensial memiliki daya saing, daya jual, dan daya dorong menuju dan mampu memasuki pasar global. Komoditas unggulan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sektor unggulan. Pendekatan sektoral dibutuhkan untuk menentukan sektor unggulan yang memiliki keterkaitan antar sektor yang kuat dalam menopang perekonomian suatu wilayah. Suatu sektor dikatakan sebagai sektor kunci atau sektor unggulan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang relatif tinggi; 2) menghasilkan output bruto yang relatif tinggi sehingga mampu mempertahankan final demand yang relatif tinggi pula; 3) mampu menghasilkan penerimaan bersih devisa yang relatif tinggi; dan 4) mampu menciptakan lapangan kerja yang relatif tinggi (Arief, 2004). Pada lingkup kabupaten/kota, komoditas unggulan kabupaten diharapkan memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) mengacu kriteria komoditas unggulan nasional; 2) memiliki nilai ekonomi yang tinggi di kabupaten; 3) mencukupi kebutuhan sendiri dan mampu menyuplai daerah lain/ekspor; 4) memiliki pasar yang prospektif dan merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; 5) memiliki potensi untuk di tingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri; dan 6) dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten. Setiap daerah mempunyai
12
karakteristik wilayah, penduduk, dan sumberdaya yang berbeda-beda. Hal ini membuat potensi masing-masing daerah akan menjadi berbeda pula dan akan mempengaruhi arah kebijakan pengembangan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas yang mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain adalah komoditas yang secara efisien diusahakan dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Penentuan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi perdagangan. Langkah menuju efisiensi dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah (Hendayana 2003). Bachrein (2003) penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas yang mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama di wilayah lain adalah komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Selain itu kemampuan suatu wilayah untuk memproduksi dan memasarkan komoditas yang sesuai dengan kondisi lahan dan iklim di wilayah tertentu juga sangat terbatas. Lebih lanjut Bachrein (2003) menyatakan bahwa penetapan komoditas unggulan perlu dilakukan sebagai acuan dalam penyusunan prioritas program pembangunan oleh penentu kebijakan mengingat berbagai keterbatasan sumberdaya yang dimiliki baik sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya lahan. Selain itu, keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan juga diharapkan akan lebih baik karena kegiatan yang dijalankan lebih terfokus pada program yang diprioritaskan. Batasan wilayah dalam penetapan komoditas unggulan biasanya merupakan wilayah administrasi baik di tingkat nasional, Provinsi, maupun kabupaten (Hendayana, 2003; Bachrein 2003). Ada beberapa metode yang umum digunakan untuk menentukan komoditas unggulan, diantaranya adalah metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Menurut Kiser (1992), untuk menemukan keunggulan atau keuntungan komparatif suatu wilayah dapat menggunakan teknik Location Quotient (LQ), sedangkan untuk mengetahui keunggulan atau keuntungan kompetitif sebuah wilayah maka dapat digunakan Shift Share Analysis (SSA). Menurut Tarigan (2012) analisis Location Quotient (LQ) dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu wilayah terhadap wilayah lainnya, Shift Share Analysis (SSA) dapat digunakan untuk melihat keunggulan kompetitif suatu wilayah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lailia dan Santoso (2014) di Kabupaten Probolinggo, LQ dan SSA digunakan untuk menentukan komoditas unggulan dengan memanfaatkan data produksi pertanian. Selain itu penelitian tentang komoditas unggulan juga dilakukan oleh Hendayana (2003) dimuat di jurnal Informatika Pertanian Volume 12 Desember 2003 yang berjudul “Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) Dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komoditas unggulan pertanian secara
13
nasional. Data yang digunakan untuk komoditas yang berbasis lahan adalah luas area panen, sementara untuk komoditas yang tidak berbasis lahan menggunakan data populasi (ekor). Beberapa penelitian lain terkait dengan komoditas unggulan telah pernah dilakukan di antaranya oleh Hardison (2003), Setiawan (2010), Sari (2008), Baehaqi (2010), dan Happy (2009). Quintero (2007) menggunakan data tenaga kerja dari berbagai sektor lapangan usaha (industri) dalam melakukan analisis LQ dengan rumus sebagai berikut:
Jika nilai LQ lebih besar dari satu maka sebuah industri diidentifikasikan sebagai sebuah industri ekspor atau basis, sementara jika hasil perhitungan kurang atau sama dengan satu maka industri tersebut merupakan industri impor atau bukan basis. Billings dan Johnson (2012) juga menggunakan LQ didalam penelitiannya yang berjudul The Location Quotient as an Estimator of Industry Concentration untuk menentukan pemusatan aktifitas industri di Amerika serikat. Selain itu Morrissey (2014) didalam penelitiannya yang berjudul Producing Regional Production Multipliers for Irish Marine sector Policy: A Location Quotient Approach, menggunakan LQ untuk menganalisis produk regional dominan di Irlandia. Selain metode LQ, Shift Share Analysis (SSA) juga dapat digunakan untuk mengetahui komoditas unggulan dari sisi pertumbuhannya dari waktu ke waktu. SSA dapat digunakan untuk mengetahui potensi pertumbuhan produksi sektor di suatu wilayah (Rustiadi, 2011). Shift Share Analysis (SSA) adalah sebuah alat analisis penentu ukuran dan sangat berguna untuk permasalahan-permasalahan ekonomi dan analisis spasial (Chen dan Xu, 2007). Sejak pertama sekali dikembangkan oleh Dunn dan Perloff tahun 1960, SSA telah digunakan secara luas dalam berbagai disiplin ilmu. SSA sangat populer bagi para perencana, ahli geografi dan peneliti wilayah (Chen dan Xu, 2007). SSA telah digunakan dalam bidang ekonomi politik (Harrison dan Kuluver, 1989) dan (Markusen dan Carlson,1989), perdagangan eceran (Andrikopoulos et al. 1990), analisis perpindahan penduduk (Huff dan Sherr , 1967) dan (Plane dan Rogerson, 1989) serta analisis pertumbuhan wilayah (Barff dan Knight, 1988) dan (Claster, 1989). Menurut Dinc (2004) SSA merupakan analisis yang sangat praktis dalam menduga pengaruh dari struktur perindustrian pada tingkat perekonomian wilayah dan lokal dan memberi petunjuk perindustrian yang tepat dan oleh karena itu dapat menghasilkan sebuah kontribusi yang signifikan untuk memahami dan memilih industri unggulan dalam suatu wilayah, yang dapat membantu membentuk kerjasama industri lokal. Chen dan Xu (2007) mengemukakan bahwa SSA adalah sebuah metode yang sangat bermanfaat untuk meneliti apakah sebuah sektor produktif dalam satu wilayah tumbuh dengan baik. Hasil SSA menjelaskan kinerja (performance) suatu aktivitas di suatu subwilayah dan membandingkan kinerjanya dengan pertumbuhan wilayah. Analisis shift-share mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktivitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu: 1) sebab yang berasal dari dinamika lokal (subwilayah); 2) sebab dari dinamika aktivitas/sektor (total wilayah); dan 3) sebab dari dinamika wilayah
14
secara umum. Melalui analisis SSA akan diketahui yang menjadi penyebab utama pergeseran (peningkatan / penurunan) tersebut (Panuju dan Rustiadi, 2012). Rustiadi (2012) mengemukakan SSA merupakan salah satu analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi (wilayah yang lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil SSA juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah yang lebih luas. Hasil analisis Shift Share menjelaskan kinerja (performancei) suatu aktivitas di subwilayah dan membandingkannya dengan wilayah total. Analisis Shift Share mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktivitas di suatu wilayah yang terbagi ke dalam tiga bagian yaitu sebab yang berasal dari dinamika lokal (subwilayah), sebab dari dinamika aktivitas/sektor (total wilayah) dan sebab dari dinamika wilayah secara umum. Shift Share Analysis terdiri dari 3 komponen yaitu komponen Share, komponen Proportional Shift dan komponen Diferential Shift dengan persamaan sebagai berikut: 𝑋..(𝑡1)
SSA = ( 𝑋..
(𝑡0)
𝑋
− 1) +(𝑋𝑖(𝑡1) −
a
𝑖(𝑡0)
b
𝑋..(𝑡1) 𝑋..(𝑡0)
𝑋
) + (𝑋𝑖𝑗(𝑡1) − 𝑖𝑗(𝑡0)
𝑋𝑖(𝑡1) 𝑋𝑖(𝑡0)
)
c
dimana: a = komponen regional share b = komponen proportional shift c = komponen deferential shift X.. = nilai total aktifitas agregrat wilayah X.i = nilai total aktifitas tertentu secara agregrat Xij = nilai aktifitas tertentu dalam unit wilayah tertentu t1 = titik tahun akhir t0 = titik tahun awal a. Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah. b. Komponen Pergeseran Proporsional (komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah. c. Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas/sektor tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika keunggulan atau ketidakunggulan suatu sektor tertentu di subwilayah tertentu terhadap sektor tersebut di subwilayah lain. Chen dan Xu (2007) membagi hasil SSA ke dalam empat kuadran sebagai berikut: Kuadran 1 : Diferential shift positif dan Proportional Shift positif , bermakna komponen kompetitif dan struktural memiliki kenerja yang baik. Kuadran 2 : Diferential shift negatif dan Proportional Shift positif, bermakna struktur industri baik, tetapi lemah dalam tingkat pertumbuhan.
15
Kuadran 3
: Diferential shift negatif dan Proportional Shift negatif, bermakna kondisi tidak baik, karena kedua komponen baik struktur maupun kompetitif lemah. Kuadran 4 : Diferential shift positif dan Proportional Shift negatif, bermakna industri dalam wilayah ini memerlukan penelitian lebih lanjut terkait dengan infrastruktur. Dalam penelitian ini Shift Share Analysis digunakan untuk mengetahui keunggulan kompetitif komoditas tanaman pangan di Kabupaten Cianjur. Data yang dipergunakan adalah luas panen (ha) komoditas tanaman pangan tahun 2013 dan 2011. Penggunaan data luas panen dimaksudkan lebih merepresentasikan economics land rent.
Evaluasi Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian suatu lahan dapat berbeda tergantung tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan (Djaenuddin et al., 2000). Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertanian yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi. Pada proses matching hukum minimum dipakai sebagai parameter dalam evaluasi lahan antara lain: kemiringan lereng, temperatur udara, drainase, tekstur, alkalinitas, bahaya banjir/genangan. Menurut Sitorus (2004) dan Hardjowigeno dan Widiatmaka (2011), evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Kebijakan penggunaan lahan didasarkan pada berbagai aspek, yaitu : 1) Aspek teknis, yang menyangkut potensi sumberdaya lahan yang dapat diperoleh dengan cara mengevaluasi kesesuaian lahan; 2) Aspek lingkungan, yaitu dampaknya terhadap lingkungan; 3) Aspek hukum, yaitu harus sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku; 4) Aspek sosial, menyangkut penggunaan lahan untuk kepentingan sosial. 5) Aspek ekonomi, yaitu penggunaan lahan yang optimal yang memberi keuntungan setinggi-tingginya tanpa merusak lahannya sendiri serta lingkungannya; 6) Aspek politik dan kebijakan pemerintah. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2011) logika dilakukannya evaluasi lahan adalah : 1) Sifat lahan beragam, sehingga perlu dikelompokkan ke dalam satuan-satuan yang lebih seragam, yang memiliki potensi yang sama. 2) Keragaman ini mempengaruhi jenis-jenis penggunaan lahan yang sesuai untuk masing-masing satuan lahan. 3) Keragaman ini bersifat sistematik sehingga dapat dipetakan.
16
4)
Kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dapat dievaluasi dengan ketepatan tinggi bila data yang diperlukan untuk evaluasi cukup tersedia dan berkualitas baik. 5) Pengambilan keputusan atau penggunaan lahan dapat menggunakan peta kesesuaian lahan sebagai salah satu dasar untuk mengambil keputusan dalam perencanaan tata guna lahan. Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaiannya untuk tujuan penggunaan tertentu. Pengelompokan ini biasanya dilakukan oleh ilmuwan tanah dengan menggunakan satuan peta tanah (SPT) atau satuan peta lahan (SPL). Evaluasi lahan menggunakan sebuah prosedur ilmiah adalah penting dalam menaksir potensi dan yang tidak bisa digunakan dari sebidang lahan untuk pertanian (Rossiter,1996). Elaalem (2013) mengemukakan evaluasi lahan adalah proses penilaian kemampuan lahan ketika digunakan untuk keperluan khusus (tertentu), dengan kata lain evaluasi lahan adalah proses menaksir karakteristik tanah yang tepat ketika akan digunakan untuk sebuah tujuan penggunaan, dalam pengertian ini evaluasi lahan dapat diterima sebagai sebuah alat untuk membuat keputusan tentang lahan. Menurut Dent dan Young (1981) tujuan utama evaluasi lahan adalah untuk menilai potensi lahan untuk berbagai macam alternatif penggunaan lahan dengan membandingkan secara sistematik antara persyaratan dari penggunaan lahan dengan sumberdaya lahan yang ada. Inti evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Inti prosedur evaluasi lahan adalah mula-mula menentukan tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaannya) yang akan diterapkan, kemudian menentukan persyaratan dan pembatas pertumbuhannya dan membandingkan persyaratan penggunaan lahan (pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan masing-masing satuan peta lahan, sehingga didapat kelas kesesuaian lahannya secara fisik. Seperti dijelaskan dalam Baja (2001), metode klasik yang umum dipakai adalah kerangka kerja evaluasi lahan (framework for land evaluation) yang diperkenalkan oleh FAO (1976). Dalam kerangka kerja tersebut diperkenalkan dua macam pendekatan evaluasi lahan: pendekatan dua tahap (two stage approach) dan pendekatan paralel (parallel approach). Pada pendekatan pertama, evaluasi aspek biofisik (tanah, iklim, dll.) dilakukan terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan analisis sosio-ekonomi lahan, sedangkan pada pendekatan kedua, evaluasi aspek biofisik dan sosio-ekonomi lahan dilakukan secara simultan. Model evaluasi lahan yang menonjol selama ini adalah yang menggunakan pendekatan pertama. Namun, dengan semakin berkembangnya sistem komputerisasi yang memfasilitasi metodemetode analisis berkriteria ganda (multiple criteria), banyak penelitian, akhir-akhir ini diarahkan kependekatan paralel (lihat antara lain Bojorquez-Tapia et al. 2001; Malczewski et al. 1997; dan Tiwari et al. 1999). Metodenya dikenal dengan istilah pengambilan keputusan berkriteria ganda atau multiple criteria decision making, (MCDM). Sistem informasi geografi (SIG) sangat besar peranannya dalam
17
pengelolaan basis data, analisis berbasis spasial, penampilan luaran hasil analisis, serta beberapa fungsi SIG lainnya (Burrough dan McDonnell, 1998). Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu : 1) Ordo, keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N). 2) Kelas, keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu : lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3). Lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. 3) Subkelas, keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat. Faktor pembatas ini sebaiknya dibatasi jumlahnya, maksimum dua pembatas. 4) Unit, adalah keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Sementara itu pembagian kelas kesesuaian lahan menurut FAO 1976 dalam Widiatmaka et al. (2007) adalah sebagai berikut: 1. Kelas S1 Sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau mempunyai pembatas yang secara tidak nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. 2. Kelas S2 Cukup sesuai (Moderatly suitable). Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan. 3. Kelas S3 Sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembataspembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan. 4. Kelas N1 Tidak sesuai (Curently not suitable). Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan diatasi tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal norma. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. 5. Kelas N2 Tidak sesuai selamanya (permanently not suitable). Lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Berdasarkan FAO (1976) evaluasi lahan dapat dilakukan menurut dua strategi (Gambar 2):
18
1.
Pendekatan dua tahap (two stage approach). Tahapan pertama terutama berkenaan dengan evaluasi lahan yang bersifat kualitatif, yang kemudian diikuti dengan tahapan kedua yang terdiri dari analisis ekonomi dan sosial. 2. Pendekatan sejajar (parallel approach). Analisis hubungan antara lahan dan penggunaan lahan berjalan secara bersama-sama dengan analisis-analisis ekonomi dan sosial. Ciri dari proses evaluasi lahan adalah tahapan di mana persyaratan yang dibutuhkan suatu penggunaan lahan dibandingkan dengan kualitas lahan. Fungsi dari evaluasi lahan adalah memberikan pengertian tentang hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana perbandingan serta alternatif pilihan penggunaan yang diharapkan berhasil (FAO, 1976).
Konsultasi Awal
Pendekatan Dua Tahap Survei dasar
Pendekatan Sejajar
Survei dasar
Tahap Pertama Klasifikasi lahan Kualititatif Analisis sosial dan ekonomi
Klasifikasi lahan kualititatif dan kuantitatif
Analisis sosial dan ekonomi
Tahap Kedua Klasifikasi lahan
Keputusankeputusan perencanaan
Gambar 2 Teknik pendekatan dalam evaluasi lahan Perencanaan penentuan wilayah pengembangan komoditas tertentu dalam proses evaluasi lahan dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Untuk keperluan tersebut maka perlu diketahui peta-peta seperti : peta lereng, peta status lahan dan peta penutupan lahan. Operasi selanjutnya adalah overlay berbagai peta tersebut sehingga dapat diperoleh lokasi yang sesuai dengan persyaratan komoditas yang bersangkutan (Barus dan Wiradisastra, 2000). Kamkar et al. (2014) mengemukakan SIG sebuah alat yang mampu menilai secara cepat kemampuan untuk mengolah agro-ecosystem seperti pendekatan secara sistematik menghemat waktu dan mengurangi biaya yang akan sangat berguna bagi pembuat kebijakan dan petani. Berbagai penelitian terkait dengan penggunaan ilmu Geographical Information System (GIS) dalam evaluasi kesesuaian lahan telah banyak dilakukan di berbagai negara di dunia, seperti Elaalem (2013) yang melakukan penelitian di wilayah Libya. Dalam penelitian ini Elaalem melakukan perbandingan metode evaluasi kesesuaian lahan antara metode Parametrics dan metode Fuzzy MCE untuk menentukan lokasi pengembangan (kesesuaian lahan) zaitun di dataran Jeffara Libya. Hasilnya metode Fuzzy MCE lebih baik dari pada metode
19
Parametrics karena metode Fuzzy MCE mampu mengakomodasi sifat kontinu dari berbagai atribut tanah dan menghasilkan lebih banyak intuitive distributions nilai kesesuaian lahan untuk zaitun. Hasil dari metode Fuzzy MCE menunjukkan sebagai besar dari wilayah studi (penelitian) merupakan lahan kelas satu (highly suitable) bagi tanaman zaitun. Walke et al (2012) melakukan penelitian evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kapas di DAS Ringanbodi India dengan teknik Geographic Information System (GIS) dengan pendekatan teknik analisis multictriteria overlay. Data yang digunakan adalah kemiringan lereng, ke dalaman tanah, erosi tanah, drainase, tekstur tanah, bebatuan permukaan, CaCO3 dan data iklim. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada lahan di DAS Ringanbodi yang dikategorikan lahan kelas S1 (sangat sesuai). Mayoritas adalah lahan yang tergolong ke dalam kelas S2 (cukup sesuai) yakni seluas 966.7 ha (49.1%). Kelas S3-S2 (hampir cukup sesuai) seluas 469.9 ha (23.8%). Kelas S3 (sesuai /marjinal sedikit) 35.2 ha (1.8%) serta sisanya seluas 326.9 ha (16.6%) adalah kelas N2 (tidak sesuai). Selanjutnya Walke et al (2012) menyimpulkan bahwa penggunaan GIS dan Multicriteria Overlay Analysis sangat besar manfaatnya didalam analisis yang terintegrasi seluruh parameter lahan pada evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kapas ini. Kamkar et al (2014) melakukan studi di wilayah Provinsi Golestan Iran untuk menilai kesesuaian lahan tanaman canola dan kedelai. Data yang digunakan diantaranya adalah curah hujan, suhu, kemiringan lereng, tekstur tanah, pH tanah, serta daya hantar listrik. Penelitian ini menilai kesesuaian lahan untuk digunakan secara bergantian antara tanaman canola dengan kedelai, dimana setelah tanaman canola baru kemudian digunakan untuk tanaman kedelai demikian seterusnya. Hasilnya menunjukkan 4,536.8 ha (11.82%) sangat sesuai, 2,475.2 ha (6.45%) sesuai, 13,882.76 (36.17%) cukup sesuai, 4,139.32 ha (34.78%) kurang sesuai dan 4,139.32 ha (10.78%) sangat tidak sesuai. Penelitian ini juga memberi fakta bahwa keseluruhan area yang ditanami kedelai, sebanyak 29.4 ha berada pada kelas yang tidak sesuai untuk kedelai. Lebih lanjut disebutkan dua faktor utama yang menentukan batasan kesesuaian lahan untuk rotasi canola dengan kedelai adalah daya hantar listrik dan pengairan lahan. Dalam penelitian kami evaluasi kesesuaian lahan ditujukan untuk menilai potensi lahan yang terdapat di Kabupaten Cianjur untuk penggunaan komoditas tanaman pangan yang menjadi unggulan (dianalisis dengan LQ dan SSA). Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan teknik overlay berbagai peta tematik yang terdapat pada software GIS. Data yang digunakan beberapa di antaranya sama dengan data-data yang dipakai pada berbagai penelitian terdahulu, seperti curah hujan, suhu, kelembaban, kemiringan lereng, tekstur tanah, kedalaman tanah, dan penggunaan lahan. Selain data tersebut, ada penambahan satu data lagi yaitu RTRW. Penambahan data RTRW dimaksudkan agar arahan penggunaan lahan di Indonesia tidak hanya sesuai dengan faktor fisik lahan semata tetapi juga harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Arahan Alokasi Penggunaan Lahan Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya yang terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Berbagai aktivitas manusia sampai saat ini mayoritas masih berbasis lahan. Peningkatan jumlah penduduk dan perekonomian masyarakat telah
20
mengakibatkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk non pertanian sekaligus juga untuk pertanian. Sementara pada sisi yang lain mengakibatkan semakin langkanya sumberdaya lahan yang dapat digunakan untuk sektor pertanian khususnya tanaman pangan. Kondisi ini menimbulkan konflik kepentingan penggunaan lahan untuk berbagai komoditas Menurut Mwasi (2001), geographic information system dengan teknik decision support system dapat digunakan untuk memecahkan masalah konflik penggunaan lahan. Teknik ini mempertimbangkan berbagai macam tujuan penggunaan lahan, luasan kebutuhan lahan yang dapat digunakan bersama sesuai dengan syarat ekologisnya. Salah satu alat analisis yang bisa digunakan dalam menyelesaikan konflik lahan ini adalah decision support system modul yang terdapat pada IDRISI. Dalam penelitian yang dilakukannya pada tahun 2001 di Baringo Kenya, Mwasi mengamati konflik penggunaan lahan akibat adanya perubahan cara hidup masyarakat dari budaya penggembalaan kepada hidup yang menetap. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan meluas dari area vegetasi menjadi permukaan yang hampir gundul yang terdiri atas kebun, lahan penggembalaan, dan perumahan penduduk terlihat dengan jelas. Proses hidup menetap terjadi dengan cepat di wilayah ini, yang sebagian besar ditempati oleh padang penggembalaan, hal ini menimbulkan dua tipe konflik penggunaan lahan. Pertama, konflik lingkungan yang timbul dari alih fungsi lahan untuk penggunaan yang tidak kompatibel dengan karakteristiknya. Kedua konflik yang tercipta dari persaingan lahan oleh berbagai macam penggunaan lahan seperti padang penggembalaan, pertanian menetap, hutan tanaman industri dan konservasi. Lebih lanjut Mwasi mengemukakan bahwa konflik-konflik ini dapat dihindari melalui perencanaan dan kontrol terhadap perubahan sistem produksi dengan membuat pilihan dan alokasi penggunaan lahan yang konsisten dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Janssen dan Rietveld (1990) mengemukakan bahwa GIS memiliki keterbatasan dalam hal membuat keputusan. Carver dalam Mwasi (2001) menyatakan kebanyakan GIS tidak menyediakan tool yang khusus kepada pengguna untuk evaluasi dan membuat keputusan terhadap masalah-masalah yang bersifat multi kriteria dan tujuan berlawanan. Prosedur tambahan berdasarkan teknik multi-criteria evaluation (MCE) diperlukan untuk mengevaluasi kesesuaian sebuah tempat dalam daerah-daerah yang teridentifikasi layak menggunakan analisis GIS standar (Carver, 1991). Menurut Mwasi (2001) solusi konflik penggunaan lahan diperlukan karena dari beberapa tujuan penggunaan lahan yang saling bertentangan hanya satu yang dapat dialokasikan pada satu waktu dan tempat yang sama. Mwasi ingin menentukan alokasi penggunaan lahan berdasar delapan tujuan penggunaan lahan yang berbeda sesuai dengan jumlah kebutuhan luas lahan. Delapan tujuan tipe penggunaan lahan tersebut adalah jagung, sorgum, kacang tanah, sisal, irigasi, padang pengembalaan, perkotaan, dan mencegah erosi. Untuk kriteria masingmasing tujuan penggunaan lahan tersebut dibuat dengan analisis kesesuaian lahan yang bersifat multi kriteria. Kriteria diidentifikasi dengan melakukan wawancara terhadap para ahli berbagai disiplin ilmu seperti ahli ekonomi, kependudukan dan ilmuwan satwa liar. Untuk memperoleh prioritas penggunaan dan kesesuaian lahan Mwasi menggunakan teknik multi-criteria evaluation (MCE) yang berbasis pada analytic hierarchy process (AHP) yang dikembangkan oleh Saaty (1980). Ada 11
21
faktor yang menjadi pertimbangan yaitu kepadatan penduduk, kemampuan lahan, kemiringan lereng, curah hujan, jarak dari sungai, tingkat (banyaknya) batuan permukaan, luas wilayah yang terkena erosi, kapasitas tukar kation (KTK), jarak dari jalur listrik, jarak dari jalan raya dan jarak biaya ke pusat perkotaan. Selanjutnya untuk alokasi penggunaan lahan dilakukan melalui analisis multiobjective land allocation (MOLA). Di akhir penelitiannya Mwasi menyimpulkan bahwa decision support system GIS yang berupa analisis multi-objective land allocation (MOLA) dapat digunakan untuk memecahkan masalah akibat terbatasnya lahan sementara kebutuhan lahan tidak terbatas. Selain itu, analisis MOLA juga sangat baik karena melibatkan berbagai pemangku kepentingan didalam arahannya. Selanjutnya Mwasi (2001) menyarankan untuk hasil yang lebih baik harus teliti dalam menetapkan kriteria penggunaan lahan, artinya buat peta kriteria yang akurat dan gunakan secara flexible tetapi sesuai dengan bobot kriteria tujuan dan sistem prioritas tujuan. Sejauh ini masih sangat sedikit publikasi ilmiah terkait dengan penggunaan analisis MOLA di dalam penelitian-penelitian yang bertema alokasi penggunaan lahan baik di Indonesia maupun dunia. Selain Mwasi (2001), Hajehforooshnia et al (2011) juga menggunakan MOLA di dalam penelitiannya yang berjudul “Multiobjective land allocation (MOLA) for zoning Ghamishloo Wildlife Sanctuary in Iran”. Perbedaan metodologi penelitian yang dilakukan Hajehforooshnia et al (2011) dengan yang dilakukan terdahulu oleh Mwasi (2001) terletak pada penambahan metode analisis fuzzy untuk menentukan tingkat atau derajat kesesuaian lahan. Penelitian yang dilakukan oleh Hajehforooshnia et al (2011) ini bertujuan membuat zonasi wilayah dilindungi agar menurunkan konflik antara berbagai kemungkinan penggunaan lahan di wilayah cagar alam Ghamishloo Iran. Untuk melakukan zonasi cagar alam pada penelitian ini menggunakan MultiCriteria Evaluation (MCE) dan Multi-Objective Land Allocation (MOLA). Kriteria yang menjadi pertimbangan adalah habitat hewan liar, tutupan tumbuhan (vegetasi), tanah, jarak dari tempat bersejarah, sumber air, jalan, lanskap pemandangan alam, pemukiman penduduk dan zona inti. Untuk mendapatkan bobot dari setiap kriteria digunakan teknik AHP, selanjutnya untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan menggunakan fungsi fuzzy. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi citra AWIFS dari satelit IRS6, peta topografi skala 1:50,000, digital elavation model (DEM), hasil cek lapangan terhadap klasifikasi penggunaan lahan serta data foto udara. Cagar alam Sactuary terbagi ke dalam empat wilayah zonasi yaitu zona konservasi, zona rekreasi, zona rehabilitasi dan zona budidaya. Hasil penelitian menetapkan pembagian alokasi penggunaan lahan dengan persentase sebagai berikut; zona konservasi 69%, zona rekreasi 21%, zona rehabilitasi 9.5% dan zona budidaya 0.5%. Hajehforooshnia et al. (2011) menyimpulkan bahwa penggunaan teknik MCE dan MOLA dalam penelitian ini sangat baik dan dapat diterima oleh manajemen perencanaan, sehingga disarankan untuk digunakan bagi para peneliti atau pembuat kebijakan yang menghadapi kesulitan didalam alokasi penggunaan lahan terhadap berbagai tujuan. Keberhasilan penggunaan metode ini sangat bergantung kepada kelengkapan, kedetilan dan keakuratan data dan informasi yang tersedia.
22
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kabupaten Cianjur secara geografis terletak pada 6021” -7025” Lintang Selatan dan 106042” 107025” Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Cianjur berbatasan di sebelah Utara dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta, sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Garut, dan bagian Selatan merupakan wilayah Samudera Indonesia (Gambar 3). Wilayah Kabupaten Cianjur meliputi areal seluas 361.851 ha terdiri dari 32 Kecamatan, 6 Kelurahan dan 354 Desa. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 4 (empat) bulan dimulai sejak bulan Juni sampai dengan September 2014.
Gambar 3 Peta batas administrasi Kabupaten Cianjur
23
Jenis Data dan Alat Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa data permintaan komoditas unggulan dan data persepsi para ahli mengenai urutan prioritas komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur. Data sekunder yang digunakan berupa data tabulasi seperti data PDRB Kabupaten Cianjur dan Provinsi Jawa Barat tahun 2011-2013, data luas panen komoditas subsektor tanaman pangan Kabupaten Cianjur dan Provinsi Jawa Barat, data produksi dan produktivitas subsektor tanaman pangan Kabupaten Cianjur Tahun 2011-2013, data jumlah penduduk. Selain itu, penelitian ini menggunakan juga beberapa peta dasar dan peta tematik seperti peta administrasi, peta RTRW, peta penggunaan lahan, peta curah hujan, peta suhu, peta erosi, peta kelas lereng, peta jenis tanah dan satuan peta tanah. (Tabel 1). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kamera digital, alat petunjuk lokasi (GPS), laptop yang telah terinstall software Microsoft Office, ArcGIS, Global Mapper dan IDRISI.
Metode Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data Pengumpulan data primer pada penelitian ini dilakukan melalui pendekatan survei lapang dan wawancara. Survei lapang dilakukan dengan cara mendatangi langsung lokasi yang menjadi sentra produksi komoditas unggulan dan dengan cara memfaaatkan citra satelit Google Earth untuk mengetahui kondisi lapang terkini Kabupaten Cianjur, tujuannya adalah untuk memvalidasi terhadap data sekunder yang ada. Selain itu survei lapang dilakukan untuk mengetahui kondisi land use eksisting, yaitu dengan cara mengambil 64 titik lokasi yang akan divalidasi dengan bantuan alat GPS. Sementara itu wawancara dilakukan untuk memperoleh bobot menurut persepsi pakar pertanian atau perencanaan wilayah yang memahami permasalahan pengembangan komoditas unggulan untuk mendukung pengembangan wilayah sehingga menghasilkan urutan prioritas pengembangan komoditas unggulan. Wawancara dilakukan terhadap 6 (enam) orang responden sebagai pakar (expert) guna memperoleh bobot kepentingan masing-masing komoditas unggulan, dimana responden tersebut ditentukan dengan teknik Purposive Sampling. Pakar (expert) yang dijadikan sebagai responden tersebut terdiri dari unsur Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Bidang Penyuluhan, Bidang Tanaman Pangan dan Bidang Bina Usaha Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur mewakili latar belakang birokrasi. Selain unsur yang berlatar belakang birokrasi juga terdapat unsur yang memiliki latar belakang praktisi yakni Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) cabang Kabupaten Cianjur, dan yang terakhir unsur dengan latar belakang akademisi yaitu dosen pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. Berikut pada Tabel 1 dapat dilihat secara lebih rinci mengenai hubungan antara tujuan penelitian yang akan dilakukan dengan data serta teknik analisis yang akan digunakan.
24
Tabel 1 Hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data, teknik analisis, dan keluaran No 1
Tujuan Penelitian Menganalisis sektor, subsektor basis dan komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur.
Jenis Data
Sumber Data
PDRB Kabupaten Cianjur dan Provinsi Jawa Barat tahun 20112013 Data luas panen subsektor basis di Kabupaten Cianjur tahun 2011-2013
BPS Kabupaten Cianjur dan Jawa Barat
Syarat kesesuaian lahan komoditas unggulan, peta jenis tanah, satuan peta tanah (data ke dalaman efektif, drainase, tekstur, solum, batuan permukaan, singkapan batuan), peta suhu, peta curah hujan, peta kelas lereng, peta erosi, 3 Menyusun arahan Peta kesesuaian alokasi penggunaan lahan masinglahan untuk masing komoditas komoditas unggulan. unggulan di Data kebutuhan Kabupaten Cianjur. lahan masingmasing komoditas unggulan. Bobot prioritas unggulan. Peta Penggunaan Lahan, Peta RTRW
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007), Bappeda Kabupaten Cianjur,; hasil olah data
2 Menganalisis kesesuaian lahan untuk komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur.
Hasil analisis tujuan kedua wawancara terhadap pakar AHP, hasil penelitian terdahulu (Rahmawati, 2012), di update dengan citra Google Earth 2013. Bappeda
Teknik Analisis Data Analisis Location Quotient (LQ) dan Differential Shift (DS)
Analisis spasial GIS (reclassify, query matching)
Menghitung proyeksi penduduk menggunakan model power, menghitung kebutuhan luas lahan, AHP, MOLA, Overlay
Keluaran Sektor, subsektor basis dan komoditas unggulan Kabupaten Cianjur
Peta kesesuaian lahan dan data ketersediaan lahan komoditas unggulan
Peta arahan alokasi lahan komoditas unggulan Kabupaten Cianjur
Menentukan Sektor, Subsektor Basis dan Komoditas Unggulan Untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama digunakan analisis Location Quotient (LQ). Teknik ini sudah banyak digunakan dalam berbagai penelitian didunia, seperti yang dilakukan oleh Kiser (1992) menganalisis basis ekonomi di wilayah Texas Amerika Serikat dan Quintero (2007) menganalisis basis ekonomi di wilayah Hays County di Amerika Serikat. Sementara itu di Indonesia juga sudah sangat banyak penelitian yang menggunakan pendekatan LQ dalam menentukan basis ekonomi suatu wilayah antara lain Marfiani (2007), Baehaqi (2010) dan Sari (2008). Location Quotient merupakan sebuah teknik yang secara matematika memberi index ekonomi suatu wilayah yang dapat dijadikan referensi ekonomi utama yang telah digunakan secara meluas oleh para peneliti ekonomi geografi dan ekonomi wilayah sejak tahun 1940 (Kiser, 1992). Gibson, Miller dan Wright (1991)
25
menyatakan Location Quotient dikenal didalam literatur ilmiah sebagai cara yang efektif menggambarkan struktur ekonomi dari sebuah wilayah. Sementara itu Isserman (1977) mengemukakan bahwa teknik LQ menjadi sangat populer karena data dan keahlian analisisnya yang relatif kecil serta dapat dilakukan secara cepat dan lebih murah. Dalam penelitian ini, LQ digunakan untuk menetapkan sektor dan subsektor basis di Kabupaten Cianjur dengan menggunakan data PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 - 2013. Sektor-sektor perekonomian yang menjadi pembentuk PDRB Kabupaten Cianjur adalah sebagai berikut: 1) Pertanian; 2) Pertambangan dan Penggalian; 3) Industri Pengolahan; 4) Listrik, Gas dan Air Bersih; 5) Bangunan; 6) Perdagangan, Hotel dan Restoran; 7) Pengangkutan dan Komunikasi; 8) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; dan 9) Jasa-jasa. Setelah melakukan analisis untuk menentukan sektor yang menjadi basis dan mendapatkan hasilnya, maka langkah selanjutnya menganalisis subsektor yang menjadi basis dari sektor basis tersebut dengan menggunakan data PDRB subsektor yang terdapat pada sektor yang telah ditetapkan sebagai sektor basis dalam analisis sebelumnya . Adapun rumus LQ adalah sebagai berikut: 𝒑𝒊/𝒑𝒕
LQ = 𝑷𝒊/𝑷𝒕 dimana: LQ = Indeks LQ Kabupaten Cianjur pi = PDRB sektor/subsektor perekonomian Kabupaten Cianjur pt = Total PDRB sektor/subsektor perekonomian Kabupaten Cianjur Pi = PDRB sektor/subsektor perekonomian Provinsi Jawa Barat Pt = Total PDRB sektor/subsektor perekonomian Provinsi Jawa Barat Nilai LQ yang diperoleh akan berada dalam kisaran < 1, = 1, atau > 1, atau dengan kata lain 1≥LQ>1. Kisaran nilai tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: LQ = 0 atau ≤1: bukan sektor/subsektor basis, karena konsentrasi sektor / subsektor i di Kabupaten Cianjur di bawah atau sama dengan di Jawa Barat; LQ > 1 : sektor basis, karena karena konsentrasi sektor/subsektor i di Kabupaten Cianjur lebih besar dari pada di Jawa Barat Besaran nilai LQ menunjukkan besaran derajat spesialisasi atau konsentrasi dari suatu sektor/subsektor tersebut di Kabupaten Cianjur relatif terhadap wilayah Jawa Barat Semakin besar nilai LQ di suatu wilayah maka semakin besar pula derajat konsentrasinya di wilayah tersebut. Dalam menentukan sektor dan subsektor basis menggunakan nilai LQ rata-rata Tahun 2009 – 2013. Langkah selanjutnya setelah mengetahui subsektor basis di Kabupaten Cianjur maka berikutnya menentukan komoditas yang menjadi unggulan didalam subsektor basis tersebut. Komoditas unggulan Kabupaten Cianjur ditentukan dengan menggunakan 2 (dua) alat analisis yaitu Location Quotient (LQ) dan Differential Shift (DS). Penetapan komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai LQ dan nilai DS. Indeks LQ dibagi ke dalam 3 (tiga) kriteria yaitu > 1, 1 dan < 1. Indeks LQ lebih dari 1 (satu) diberi skor 3, indeks LQ sama dengan 1 (satu) diberi skor 2 dan indeks LQ lebih dari 1 (satu) diberi skor 3. Sedangkan indeks DS dibagi ke dalam 2 (dua) kriteria yaitu > 0 dan < 0. Indeks DS lebih besar dari 0 (nol) diberi skor 2, sedangkan indeks DS kurang dari 0 (nol)
26
diberi skor 1. Komoditas unggulan terpilih adalah yang memiliki nilai akhir (hasil penjumlahan LQ dan DS) 3 (tiga) tertinggi. Differential Shift (DS). merupakan teknik analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif (competitiveness) suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas, berdasarkan kinerja sektor lokal (local sector) di wilayah tersebut. Wilayah yang dimaksud bisa berupa wilayah Provinsi dalam cakupan wilayah agregat nasional, atau wilayah Kabupaten/Kota dalam cakupan wilayah agregat Provinsi, dan seterusnya. Oleh karenanya DS dapat digunakan sebagai salah satu dari teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di Kabupaten Cianjur dibandingkan dengan wilayah Provinsi Jawa Barat. Data yang digunakan untuk analisis ini adalah data luas panen subsektor basis di Kabupaten Cianjur dalam cakupan Provinsi Jawa Barat tahun 2013 (tahun akhir data) dan 2011 (tahun awal data). Persamaan DS tersebut adalah sebagai berikut: 𝑋𝑖𝑗(𝑡1)
DS = (𝑋
𝑖𝑗(𝑡0)
−
𝑋𝑖(𝑡1) 𝑋𝑖(𝑡0)
)
dimana: DS = Indeks Differential shift Xi = Luas panen total komoditas i di Jawa Barat Xij = Luas panen komoditas i di Kabupaten Cianjur t1 = titik tahun akhir t0 = titik tahun awal Menurut Quintero (2007) komponen differential shift (DS) adalah komponen yang paling penting karena hanya komponen ini yang terkena dampak langsung dari kebijakan di tingkat lokal. Rumusan DS mampu menganalisis besarnya pergeseran suatu komoditas di Kabupaten Cianjur dengan acuan komoditas yang sama di Jawa Barat. Jika komponen ini memiliki nilai positif maka dapat disimpulkan bahwa suatu komoditas memiliki kemampuan berkompetisi yang baik di Kabupaten Cianjur atas dasar keunggulan komoditas tersebut baik di tingkat Kabupaten Cianjur maupun di tingkat Provinsi Jawa Barat. Penetapan komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai LQ dan nilai DS. Indeks LQ dibagi ke dalam 3 (tiga) kriteria yaitu > 1, 1 dan < 1. Indeks LQ lebih dari 1 (satu) diberi bobot 3, indeks LQ sama dengan 1 (satu) diberi bobot 2 dan indeks LQ lebih dari 1 (satu) diberi bobot 3. Indeks DS dibagi ke dalam 2 (dua) kriteria yaitu > 0 dan < 0. Indeks DS lebih besar dari 0 (nol) diberi bobot 1, sedangkan indeks LQ kurang dari 0 (nol) diberi bobot 1, sedangkan indeks DS lebih besar dari 0 (nol) diberi bobot 2. Menganalisis Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Unggulan Analisis kesesuaian lahan bagi komoditas unggulan ini dilakukan secara spasial dengan memanfaatkan ilmu geographic information systems (GIS). Mekanisme yang dilakukan adalah dengan cara membuat peta kesesuaian lahan untuk masing-masing komoditas unggulan. Setiap komoditas mempunyai syarat kesesuaian lahan masing-masing meskipun beberapa kriterianya memiliki kesamaan, hal ini memungkinkan lokasi yang sama dapat digunakan oleh lebih dari satu jenis komoditas. Persyaratan (land requirements) tersebut dapat dirujuk kepada Hardjowigeno dan Widiatmaka (2011). Data spasial yang diperlukan untuk evaluasi
27
kesesuaian lahan secara spasial adalah: 1) Peta jenis tanah, diperoleh dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Cianjur. Peta jenis tanah ini dibuat pada skala 1:250,000; 2) Satuan peta tanah (SPT), diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimatologi yang dibuat pada skala 1:250,000; 3) Peta suhu, dibuat dengan memanfaatkan data DEM (Digital Elevation Model) dan menggunakan pendekatan rumus Braak (Ritung et al, 2007). Peta suhu dibuat pada skala 1:50,000. Rumus Braak tersebut adalah sebagai berikut: T = 26.3 - (0.01 x E x 0.6) dimana: T = Suhu (0C) E = Ketinggian lokasi (m) Selanjutnya 4) Peta lereng, dibuat dengan memanfaatkan data DEM dengan bantuan tools yang terdapat pada ArcGIS lalu dibuatkan kelas lereng (reclassify) sesuai dengan persyaratan kesesuaian lahan yang dibutuhkan yaitu 0 – 3%; 3 – 8%; 8 – 15%; 15 – 25%; 25 – 45% dan >45%; 5) Peta curah hujan, diperoleh dari Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappeda) Kabupaten Cianjur. Peta ini mengandung informasi jumlah curah hujan dalam 1 (satu) tahun; 6) Peta erosi, dibuat dengan menggunakan rumus universal soil loss equation (USLE) (Wischmeier et al, 1978) sebagai berikut: A = R x K x LS x C x P dimana: A : Jumlah erosi (ton/ha/tahun) R : Faktor erosivitas hujan K : Faktor erodibiltas tanah LS : Faktor panjang dan kemiringan lereng C : Faktor tanaman (penggunaan lahan) P : Faktor teknik konservasi tanah Faktor erosivitas hujan (R) dapat dihitung dengan beberapa rumus, penggunaan rumus tersebut harus mempertimbangkan tipe data curah hujan yang tersedia. Menurut Sukmana dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) maka sebaiknya menggunakan rumus Lenvain karena lebih mudah dan mendekati kenyataan Faktor erodibilitas tanah (K) diperoleh dari Arsyad (2010). Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS), parameter yang digunakan hanya kemiringan lereng saja karena sulitnya memperoleh data panjang lereng. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) “apabila sulit untuk mendapatkan/menghitung panjang lereng, maka pengaruh panjang lereng dapat diabaikan dan yang berpengaruh hanya kemiringan lereng (kemiringan lereng berpengaruh 3X panjang lereng terhadap erosi. Faktor konservasi tanah diperoleh dari Sinukaban (1986). Selanjutnya nilai besaran erosi (A) dibandingkan dengan tebal solum tanah untuk mendapatkan kelas tingkat bahaya erosi (TBE) Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007). Kesesuaian lahan yang dibuat menggunakan pendekatan kerangka FAO 1976 yakni membagi kelas kesesuaian lahan kepada kelas yang sesuai dan tidak sesuai. kelas sesuai terdiri atas 3 (tiga) kelas yaitu S1, S2 dan S3. Sedangkan kelas lahan tidak sesuai terbagi ke dalam N1 dan N2. Kelas menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan. Jika evaluasi lahan menganalisis faktor penghambat pada setiap kelas
28
maka kesesuaian lahan yang dibuat sudah masuk ke dalam subkelas. Subkelas menujukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas (FAO 1976 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Arsyad (1979) menguraikan faktor penghambat sebagai berikut: tekstur tanah (t), permeabilitas (p), lereng (l), drainase tanah (d), erosi (e), batu-batuan serta ancaman banjir. Tahapan dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan secara spasial di ArcGIS adalah melakukan overlay peta suhu, peta erosi, peta curah hujan, peta kelas lereng dan satuan peta tanah. setelah itu membagi lahan ke dalam unit-unit yang yang memiliki karakter homogen (satuan peta tanah). Satuan peta tanah sebenarnya sudah ada, namun karena kita telah melakukan overlay dengan beberapa peta tadi maka perlu dibuat SPT yang baru. Setelah mendapatkan SPT, maka selanjutnya melakukan analisis terhadap masing-masing SPT tersebut sesuai dengan persyaratan kesesuaian lahan terhadap masing-masing komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur. Menyusun Arahan Alokasi Penggunaan Lahan untuk Komoditas Unggulan. Pada tujuan penelitian yang terakhir ini ingin diketahui bagaimana alokasi penggunaan lahan terhadap komoditas unggulan secara spasial dengan menggunakan pertimbangan berbagai aspek. Analisis ini perlu dilakukan karena dari hasil analisis kesesuaian lahan, suatu lahan dapat dimanfaatkan lebih dari satu jenis komoditas. Penyusunan arahan alokasi penggunaan lahan dilakukan dengan pendekatan multi-objective land allocation (MOLA), sebuah teknik analisis yang dilakukan secara spasial melalui software IDRISI. Analisis multi-objective land allocation (MOLA) membutuhkan peta kesesuaian lahan masing-masing komoditas, data kebutuhan lahan masing-masing komoditas serta bobot prioritas masing-masing komoditas. Persiapan data yang dibutuhkan dalam melakukan analisis MOLA adalah sebagai berikut. a) Peta Kesesuaian lahan Data kesesuaian lahan berupa peta kesesuaian lahan diperoleh dari hasil analisis yang dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian kedua. Peta kesesuaian lahan dibuat untuk masing-masing komoditas unggulan. b) Kebutuhan lahan Kebutuhan luas lahan untuk masing-masing komoditas (padi sawah, kacang tanah dan kedelai) dihitung dengan menggunakan rumusan sebagai berikut (Sumarlin, 2008): KP =
(KKP x (100%+%f+%s+%w+%c+%e)) 𝑅
dimana: KP : Kebutuhan produksi pangan GKP(ton/tahun) KKP : Kebutuhan ketersediaan pangan (ton/tahun) f : Penggunaan untuk pakan ternak (%) s : Penggunaan untuk bibit (%) w : Tercecer (%) c : Cadangan (%) R : Konversi perubahan bentuk input menjadi output (%) Setelah diperoleh kebutuhan produksi pangan per tahun maka dapat ditentukan pula kebutuhan luas lahannya sebagai berikut.
29
𝐾𝑃
KLL = (𝐼 𝑥 𝑌) 𝑥 (100 + 𝐺𝑃) dimana: KLL : KP : I : Y :
Kebutuhan luas lahan (ha) Kebutuhan produksi pangan (ton/tahun) Indeks pertanaman (%) Produktivitas lahan komoditas pangan per musim tanam (ton/ha/musim) GP : Gagal panen (%) Untuk menghitung kebutuhan lahan komoditas kedelai dan kacang tanah komponen pakan untuk ternak (f) tidak digunakan, karena karena kedua komoditas tersebut tidak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Sementara itu untuk kacang tanah ditambah dengan komponen ekspor. c) Bobot prioritas komoditas unggulan Data terakhir yang dibutuhkan untuk menjawab tujuan penelitian yang ketiga ini adalah data bobot terhadap masing-masing komoditas unggulan. Bobot ini didapat dengan menggunakan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP) yang dikembangkan oleh Saaty (1980). Teknik AHP melibatkan berbagai ahli yang dirasa memiliki kapasitas dalam menjawab pertanyaan terkait pengembangan wilayah Kabupaten Cianjur dengan cara mengembangkan komoditas unggulan. Analytical hierarchy process (AHP) sebuah alat analisis yang bisa digunakan untuk memberi solusi terhadap permasalahan yang kompleks, dengan aspek atau kriteria yang dipertimbangkan cukup banyak. Kompleksitas permasalahan tersebut dapat disebabkan oleh kerangka permasalahan yang belum jelas, ketidakpastian persepsi pengambil keputusan serta tidak tersedianya data yang akurat. Teknik AHP mampu memecahkan masalah yang disebabkan oleh adanya berbagai tujuan dan kriteria berdasarkan perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hierarki. Oleh karenanya teknik AHP merupakan cara pengambilan keputusan yang menyeluruh (komprehensif). Pengambilan keputusan dalam teknik AHP berdasarkan tiga prinsip dasar, yakni penyusunan hierarki, penentuan prioritas dan konsistensi logis. Tiga prinsip dasar tersebut diimplementasikan dengan cara menyatukan dua aspek pengambilan keputusan, yaitu: secara konseptual dan kuantitatif. Secara konseptual artinya AHP merumuskan permasalahan dari penilaian untuk mendapat pemecahannya, sedangkan secara kuantitatif maksudnya menerjemahkan permasalahan dan penilaian secara matematis untuk menghasilkan solusi. Secara umum tahapan AHP menurut Saaty (1980) adalah : 1) Mengidentifikasi/menetapkan masalah-masalah yang muncul; 2) Menetapkan tujuan, kriteria dan hasil yang ingin dicapai; 3) Mengidentikasi kriteria-kriteria yang mempunyai pengaruh terhadap masalah yang ditetapkan; 4) Menetapkan struktur hierarchy; 5) Menentukan hubungan antara masalah dengan tujuan, hasil yang diharapkan, pelaku/objek yang berkaitan dengan masalah, nilai masingmasing faktor; 6) Membandingkan alternatif-alternatif (comparative judgement); 7) Menentukan faktor-faktor yang menjadi prioritas (synthesis of priority); dan
30
8) Menentukan urutan alternatif-alternatif dengan memperhatikan logical consistency. Dasar pertimbangan dirumuskan melalui kajian literatur terhadap penelitian terdahulu serta dari hasil wawancara terhadap ahli atau pihak yang memahami permasalahan pengembangan komoditas unggulan didalam mendukung pengembangan wilayah. Literatur ilmiah yang dirujuk terkait dengan prioritas komoditas unggulan ini adalah tesis yang disusun oleh Sari (2008). Sementara itu ahli atau responden yang ditetapkan dalam penelitian ini sebanyak 6 orang dengan latar belakang birokrasi, praktisi dan akademisi, yaitu: 1) Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda); 2) Bidang Penyuluhan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura; 3) Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura; 4) Bidang Bina Usaha Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura; 5) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) cabang Kabupaten Cianjur; 6) Dosen pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. Salah satu bagian yang terpenting dari proses AHP adalah pembobotan terhadap aspek dan kriteria serta alternatif yang akan dicarikan solusinya dari sebuah permasalahan kompleks yang sedang diteliti. Metode AHP sangat tepat digunakan untuk menentukan urutan prioritas komoditas unggulan berdasarkan berbagai aspek dan kriteria yang menjadi pertimbangan. Aspek dan kriteria tersebut diperoleh berdasarkan hasil wawancara terhadap para ahli yang kompeten terhadap pengembangan pengembangan wilayah yang berbasis pada komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur. Penentuan ahli yang dilibatkan dalam wawancara mengikuti kaidah teknik purposive sampling, dimana pemilihan responden berdasarkan pertimbangan tertentu dari peneliti didalam mencapai tujuan penelitiannya. Penyusunan hierarki guna memperoleh skala prioritas komoditas unggulan dalam penelitian ini seperti ilustrasi pada Gambar 4. Tujuan
Prioritas komoditas unggulan
Aspek
X1
A1
X2
X3
A2
X4
X5
X6
An
X7
X8
X9
X10
Kriteria
Komoditas 1
Komoditas 2
Komoditas 3
Alternatif
Gambar 4 Hierarki penentuan bobot prioritas komoditas unggulan
Xn
31
Setelah menentukan hierarki maka langkah selanjutnya adalah menentukan bobot untuk masing-masing aspek dan kriteria dengan cara melakukan wawancara terhadap pakar dengan menggunakan kuesioner. Teknik AHP menggunakan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dengan skala 1 sampai 9, masing-masing nilai tersebut memiliki makna sebagai berikut: 1 = sama penting (equal importance); 3 = sedikit lebih penting (moderate more importance); 5 = cukup lebih penting (essential, strong more importance); 7 = jauh lebih penting (demonstrated importance); 9 = mutlak lebih penting (absolutely more importance); 2, 4, 6, 8 = nilai-nilai antara yang memberikan kompromi (grey area). Kuesioner perbandingan berpasangan AHP yang digunakan dalam penelitian ini seperti ilustrasi berikut : X1
C 9
9 8
9 7
7 6
6 5
5 4
4 3
3 2
2 1
1 2
2 3
3 4
4 5
5 6
6 7
7 8
8
9 X2
9
Berdasarkan ilustrasi tersebut, kriteria X1 sedikit lebih penting dibandingkan dengan kriteria X2 maka diberikan nilai 3 pada kolom sebelah kriteria X1. Jika kriteria yang digunakan didalam penelitian ini ada sebanyak n kriteria maka akan terdapat perbandingan berpasangan sebanyak (n(n-1))/2. Menurut Saaty (1980) perlu juga dihitung rasio konsistensi (consistency ratio) dari setiap persepsi yang diberikan oleh pakar (responden), dengan cara sebagai berikut: 𝐶𝐼
CR = 𝑅𝐼 dimana: CR = ratio konsistensi CI = indeks konsistensi RI = indeks random Selanjutnya nilai CI diperoleh dengan cara perhitungan sebagai berikut: CI =
𝜆 max − 𝑛 𝑛−1
dimana: CI = Indeks konsistensi λmax = nilai eigen (eigen value) terbesar, akar karakteristik dari matriks n = jumlah kriteria Sementara itu nilai RI dapat dilihat pada tabel berikut sesuai dengan n kriteria yang digunakan (Saaty,1980). Tabel 2 Nilai Random Index (RI) n RI
1 0
2 0
3 0.58
4 0.9
5 1.12
6 1.24
7 1.32
8 1.41
9 1.45
10 1.49
11 1.51
12 1.48
13 1.56
14 1.57
15 1.59
Saaty (1980) mengemukakan bahwa nilai CR tidak boleh lebih dari 0.1, jika nilai lebih dari 0.1 maka perlu dilakukan pembobotan ulang oleh pakar (responden). Jika nilai CR telah memenuhi syarat (≤ 0.1) maka sudah layak untuk dianalisis lebih lanjut guna mendapatkan skala prioritas komoditas unggulan. Bobot urutan prioritas diperoleh dengan memadukan seluruh bobot aspek dan kriteria.
C
32
Urutan prioritas ditentukan berdasarkan alternatif yang memiliki bobot terbesar sampai yang terkecil, atau dalam bahasa lain alternatif yang memiliki bobot terbesar merupakan prioritas pertama demikian selanjutnya sampai dengan alternatif yang memiliki bobot terkecil menjadi prioritas yang terakhir. Alat bantu yang dapat digunakan untuk perhitungan AHP adalah microsoft excel atau melalui software expert choice. Arahan alokasi lahan yang disusun berdasarkan analisis MOLA, didalam analisisnya selain peta kesesuaian lahan juga menggunakan peta penggunaan lahan (land use) dan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur Tahun 2011-2031. Peta penggunaan lahan (landuse) diperoleh dari hasil penelitian Rahmawati (2012), yang dibuat berdasarkan Citra Ikonos tahun 2011. Peta penggunaan lahan ini diperbaharui dengan memanfaatkan data citra google earth tahun 2013. Jenis penggunaan lahan yang diidentifikasi adalah: 1) Belukar/semak; 2) Hutan; 3) Kebun; 4) Kebun Campuran; 5) Lahan terbuka; 6) Pasir; 7) Pemukiman; 8) Rumput; 9) Sawah irigasi; 10) Sawah tadah hujan; 11) Tegalan; dan 12) Tubuh air. Peta penggunaan lahan ini dibuat pada skala 1:50,000. Peta RTRW diperoleh dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Cianjur, dibuat pada skala 1:50,000. Peta RTRW memuat 8 kawasan yaitu: 1) Budidaya kehutanan; 2) Budidaya non pertanian; 3) Budidaya pertanian; 4) Kawasan lindung geologi; 5) Kawasan perlindungan kawasan bawahan; 6) Kawasan perlindungan setempat; 7) Kawasan SA, CA dan CB; dan 8) Lindung non hutan. Secara ringkas analisis multi-objective land allocation (MOLA) dapat diterangkan melalui Gambar 5. Peta Kesesuaian Lahan
+
Peta Penggunaan Lahan
Peta RTRW
+
Overlay Bobot prioritas
MOLA
Kebutuhan luas lahan
Peta arahan alokasi lahan MOLA
Gambar 5 Analisis arahan alokasi lahan menggunakan MOLA Peta kesesuaian lahan padi sawah, kacang tanah dan kedelai dioverlay dengan peta penggunaan lahan (land use) dan peta RTRW Kabupaten Cianjur sehingga menghasilkan peta yang akan dianalisis dengan MOLA. Selanjutnya untuk memperoleh arahan alokasi lahan dengan menggunakan MOLA maka diperlukan bobot prioritas dan kebutuhan luas lahan (ha) masing-masing komoditas tersebut. Analisis MOLA membagi alokasi lahan berdasarkan data kesesuaian lahan, bobot dan kebutuhan luas lahan masing-masing tujuan penggunaan lahan. Jika suatu lahan memiliki tingkat kesesuaian lahan yang sama bagi masing-masing tujuan penggunaannya maka lahan tersebut akan dialokasikan untuk tujuan penggunaan lahan yang memiliki bobot dan kebutuhan luas lahan lebih besar dari komoditas lainnya.
33
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Kondisi Administratif Berdasarkan letak geografisnya Kabupaten Cianjur berada pada 6°21’-7°25’ Lintang Selatan dan 106°42’-107°25’ Bujur Timur. Kabupaten Cianjur memiliki luas ± 361,944 ha (RTRW Kabupaten Cianjur 2012) dengan batas-batas wilayah sebagai berikut (Gambar 6): Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta Sebelah Timur : Berbatasan Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Garut Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Samudera Hindia Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor
Gambar 6 Peta administrasi Kabupaten Cianjur Kabupaten Cianjur merupakan kabupaten nomor 2 (dua) terluas di Provinsi Jawa Barat yang memiliki 26 kabupaten / kota yaitu mencapai 9,68% dari luas keseluruhan wilayah Jawa Barat. Secara administrasi Kabupaten Cianjur dibagi ke dalam 32 kecamatan, 354 desa dan 6 kelurahan yang berada di wilayah kota Cianjur (Tabel 3). Secara umum Kabupaten Cianjur terbagi ke dalam 3 (tiga) wilayah, yaitu Cianjur Utara, Tengah dan Selatan. Wilayah yang paling luas di Kabupaten Cianjur
34
adalah bagian Cianjur Selatan yang terdiri dari atas 6 (enam) kecamatan dengan luas 40,80% dari total luas wilayah Kabupaten Cianjur. Berikut distribusi luas Kabupaten Cianjur berdasarkan wilayah kecamatan.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Tabel 3 Pembagian wilayah administrasi Kabupaten Cianjur Jumlah Luas Kecamatan desa/kelurahan ha % Bojongpicung 11 desa 8.813 2,43 Cianjur 5 desa 2.609 0,72 6 kelurahan Cibeber 18 desa 12.443 3,44 Cikalongkulon 18 desa 14.423 3,98 Cilaku 10 desa 5.241 1,45 Cipanas 7 desa 6.713 1,85 Ciranjang 9 desa 3.476 0,96 Cugenang 16 desa 7.596 2,10 Gekbrong 8 desa 5.05 1,40 Haurwangi 8 desa 4.607 1,27 Karangtengah 16 desa 4.841 1,34 Mande 12 desa 9.853 2,72 Pacet 7 desa 4.16 1,15 Sukaluyu 10 desa 4.791 1,32 Sukaresmi 11 desa 9.194 2,54 Warungkondang 11 desa 4.51 1,25 Jumlah 177 desa 6 Kel. 108.320 29.92 Campaka 11 desa 14.34 3,96 Campakamulya 5 desa 7.41 2,05 Cijati 10 desa 4.854 1,34 Kadupandak 14 desa 10.438 2,88 Pagelaran 14 desa 19.904 5,50 Pasirkuda 9 desa 11.483 3,17 Sukanagara 10 desa 17.365 4,80 Takokak 9 desa 14.184 3,92 Tanggeung 12 desa 5.967 1,65 Jumlah 94 desa 105.945 29.27 Agrabinta 11 desa 9.72 5,45 Cibinong 14 desa 23.486 6,49 Cidaun 14 desa 29.857 8,25 Cikadu 10 desa 18.821 5,20 Leles 12 desa 11.403 3,15 Naringgul 11 desa 28.022 7,74 Sindangbarang 11 desa 16.37 4,52 Jumlah 83 desa 147.679 40.8 Total desa/kel. 354 desa/ 361.944 100,00 6 kelurahan
Sumber: BPS Kabupaten Cianjur (2013)
Wilayah
Utara
Tengah
Selatan
35
Kondisi Fisik Wilayah Wilayah Kabupaten Cianjur tersebar dalam rentang ketinggian yang sangat bervariatif yakni 7 – 2.962 mdpl. Cianjur utara pada umumnya adalah dataran tinggi dengan ketinggian mencapai 2.962 mdpl yang terletak di kaki Gunung Gede, di wilayah ini banyak dijumpai perkebunan dan persawahan. Cianjur tengah berupa daerah berbukit kecil dengan struktur tanah agak labil, di wilayah ini kerap terjadi bencana tanah longsor. Dekat perbatasan dengan Kabupaten Bogor terdapat Gunung Salak yang merupakan gunung api termuda, sebagian besar permukaannya ditutupi bahan vulkanik. Wilayah Cianjur tengah merupakan daerah perbukitan, namun juga terdapat dataran rendah persawahan, perkebunan yang dikelilingi oleh bukit-bukit kecil yang tersebar dengan keadaan struktur tanah yang labil. Wilayah Cianjur selatan pada umumnya adalah dataran rendah yang terdiri dari bukit-bukit kecil yang diselingi oleh pegunungan-pegunungan yang melebar hingga ke Samudera Hindia, di antara bukit-bukit dan pegunungan tersebut terdapat juga persawahan dan ladang huma. Wilayah Cianjur tengah dan selatan sering terjadi bencana alam berupa tanah longsor. Dataran terendah di Cianjur terletak pada ketinggian 7 mdpl. Secara fisiologi wilayah Kabupaten Cianjur secara umum terbagi ke dalam 5 (lima) pengelompokan yaitu dataran, berombak, bergelombang, berbukit dan bergunung serta kombinasinya. (Bappeda Kabupaten Cianjur, 2008). Berdasarkan karakteristik topografi yang dimilikinya, Kabupaten Cianjur dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Dataran Daerah dengan kemiringan lereng antara 0 – 8%, dataran ini berada di daerah pantai, alluvial sungai dan dataran lahar. Daerah dataran jarang terjadi erosi (tingkat erosinya rendah). Daerah dataran terdapat di wilayah Kecamatan Sukaresmi, Cikalongkulon, Cianjur, Ciranjang, Bojongpicung, sebelah utara Cibeber, Pagelaran, Tanggeung, Kadupandak dan sepanjang pantai selatan mulai dari Agrabinta sampai Cidaun. 2. Perbukitan berelief halus Mempunyai bentuk permukaan yang bergelombang halus dengan kemiringan lereng 8 – 15%. Wilayah perbukitan berelief halus banyak dijumpai di sebelah utara Kecamatan Pacet, sebelah barat Kecamatan Takokak, sebelah timur Kecamatan Sindangbarang serta juga di wilayah Kecamatan Warungkondang dan Cidaun. 3. Perbukitan berelief sedang Memiliki kemiringan lereng antara 15 – 25% dengan permukaan permukaan yang bergelombang sedang. Bentuk permukaan ini tersebar di daerah utara Kecamatan Mande, sebelah selatan Kecamatan Kadupandak dan Cibeber. 4. Perbukitan berelief agak kasar Permukaan bergelombang agak kasar dengan kemiringan lereng 24 – 40%, bentuk permukaan ini terdapat di Kecamatan Takokak, bagian selatan dan utara dari Kecamatan Kadupandak, bagian utara Kecamatan Sukanagara, Agrabinta, sebelah utara Kecamatan Cidaun, sebelah selatan Kecamatan Pagelaran dan sebelah barat Tanggeung. 5. Perbukitan berelief kasar Mempunyai permukaan yang bergelombang kasar sampai dengan sangat kasar, kemiringan lerengnya lebih dari 40%. Bentuk permukaan ini tersebar di
36
daerah selatan Kecamatan Sukaresmi, sebelah selatan Kecamatan Bojongpicung, Sukanagara, daerah Gunung Buleud, sebelah timur Kecamatan Takokak dan Gunung Sambul, sebelah Kecamatan Pagelaran, sebelah selatan dan utara Kecamatan Kadupandak serta Karangtengah yang membentuk gawir gerakan tanah yang tegak lurus, daerah Gunung Pangrango, Pasir Beser, Pasir Taman sampai Pasir Gambir, Pasir Negrog, Gunung Pondokcabang, Gunung Berenuk dan Pasir Gook. Wilayah Kabupaten Cianjur pada umumnya terdiri dari sistem dataran, sistem perbukitan, dan sistem volkan. Sistem dataran dijumpai di sekitar Kecamatan Cianjur dan Ciranjang serta di sepanjang jalur aliran sungai. Sistem perbukitan umumnya terdapat di wilayah bagian tengah dan selatan Kabupaten Cianjur, sedangkan sistem volkan terutama di wilayah utara Kabupaten Cianjur yang merupakan lereng timur Gunung Gede. Sistem dataran terdiri dari dataran volkan yang cukup luas di sebelah barat Cianjur sampai Ciranjang serta dataran alluvial berupa cekungan dan teras sungai di sepanjang jalur aliran sungai Citarum, Cikundul, Cisokan, dan Cibuni. Dataran terbentuk dari bahan endapan sungai, breksi, dan lahar Gunung Gede yang bersifat basal dan intermediet. Sistem perbukitan mempunyai penyebaran cukup luas di bagian tengah dan selatan Kabupaten Cianjur, berupa bukit lipatan dengan bentuk wilayah bergelombang, berbukit, dan bergunung. Sistem perbukitan terbentuk dari batuan sedimen tua tersier dari Formasi Bentang Atas dan Bentang Bawah, tersusun terutama atas batu pasir bertufa dan batu liat. Formasi Bentang Atas tersusun atas batu pasir bertufa berlapis, breksi tufa batu apung dan breksi tufa andesit, sedangkan Formasi Bentang Bawah tersusun atas batu pasir tufa berlapis, tufa batu apung dengan sisipan liat bernapal dan breksi andesit. Sistem volkan terutama terdapat di sebelah barat Cianjur yang merupakan bagian timur Gunung Gede dan juga di sekitar Gunung Wayang. Sistem volkan berdasarkan ketinggian, lereng, dan pola alirannya dibedakan menjadi lereng bawah, lereng tengah, dan lereng atas (kerucut volkan dan kaldera). Lereng atas Gunung Gede terbentuk dari bahan volkan muda yang tersusun dari lava breksi dan lahar bersifat andesitik dari Gunung Gede, bentuk wilayahnya bergunung, lereng lebih dari 35% dan merupakan lungur-lungur yang runcing, terjal, dan lembah yang dalam. Lereng atas Gunung Wayang tertutup oleh bahan volkan dari Gunung Kendeng berupa lahar dan lava bersifat andesitik yang menyebar sampai ke lereng bawahnya. Lereng tengah dan lereng bawah Gunung Gede terbentuk oleh bahan volkan muda dan bahan volkan lebih tua dengan susunan bahan yang hampir sama berupa lava, breksi, dan lahar andesitik dari Gunung Gede. Lereng bawah mempunyai bentuk wilayah berombak sampai bergelombang dengan lereng 5 – 15%, sedangkan pada lereng tengah mempunyai bentuk wilayah bergelombang, berbukit sampai bergunung, lereng 15 – 35% dan merupakan lungur-lungur volkan dengan punggung membulat, lembah-lembah terjal dan dalam.. Jenis tanah di wilayah Kabupaten Cianjur cukup beragam, paling tidak ada 7 (tujuh) jenis tanah menurut sistem klasifikasi Dudal dan Soepraptohardjo (1957) yang paling dominan yaitu aluvial, regosol, andisol, mediteran, latosol, podsolik merah kuning dan grumosol dengan persebarannya seperti yang tertera pada Gambar 7. Jenis tanah yang paling dominan di Kabupaten Cianjur adalah latosol dengan luas ± 217.205 ha (62,03%) dan podsolik merah kuning. Tanah latosol menyebar hampir merata mulai dari bagian utara (Cikalongkulon) sampai dengan
37
bagian selatan (Agrabinta dan Sindangbarang). Sementara tanah podsolik merah kuning banyak terdapat di bagian tengah dan selatan Cianjur. Permukaan tanah di Kabupaten Cianjur sebagian besar tertutup oleh batuan sedimen, terutama di wilayah Cianjur Selatan, sedangkan di wilayah Cianjur Utara banyak mengandung vulkanik. Jenis batuan lainnya adalah batuan alluvial yang tersebar di sepanjang Pantai Selatan, mulai dari Kecamatan Sindangbarang, Cibeber bagian Timur dan Bojong Picung yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat.
Gambar 7 Jenis tanah di Kabupaten Cianjur Sumberdaya air di Kabupaten Cianjur tersedia dalam ukuran yang sangat banyak (melimpah). Sumberdaya air merupakan salah satu faktor yang sangat penting didalam mendukung berbagai macam kegiatan pembangunan, contoh pemanfaatan air dalam sektor pertanian, industri dan lain-lain. Berdasarkan hidrogeologinya sumber air dapat dibedakan menjadi air permukaan, mata air dan air tanah. Kabupaten Cianjur memiliki potensi air permukaan yang sangat besar, contohnya adalah curah hujan, sungai, rawa dan daerah resapan air. Curah hujan tersedia hampir sepanjang tahun dengan bulan bulan 10 - 11 bulan (hampir tanpa bulan kering), karena curah hujan yang cukup tinggi tidak ada sungai yang mengalami kekeringan pada musim kemarau sekalipun. Sungai Citarum merupakan sungai utama yang mengalir dari wilayah Cianjur utara dan bermuara di laut Jawa. Sungai Citarum membentuk daerah aliran sungai (DAS) Citarum, yang terdiri atas
38
subsub DAS yang terbentuk dari Sungai Cibeet, Cikundul, Cibalagung dan Sungai Cisokan. Pada wilayah selatan Cianjur terdapat sub DAS Cibuni-Cilaki yang terdiri atas Sungai Cibuni, Sungai Cisokan, Sungai Cisadea, Sungai Ciujung dan Sungai Cilaki. Sub Das Cibuni-Cilaki bermuara di Samudera Hindia (bagian selatan Cianjur). Selain membentuk DAS, Sungai Citarum dimanfaatkan untuk waduk Jatiluhur, Cirata dan Saguling. Sementara itu daerah rawa terdapat di Kecamatan Pagelaran, Tanggeung, Cibinong dan Kadupandak dengan luas seluruhnya ± 33,5 ha sehingga dapat mengairi sawah seluas ± 1.431 ha. Daerah resapan air terdapat di bagian lereng pegunungan dan perbukitan, yang tersebar mulai dari daerah utara (puncak) sampai ke selatan. Mata air yang paling utama berada di sebelah timur lereng Gunung Gede, air dari sumber mata air ini ditampung oleh sungai Cilaku, Cisarua, Cicaringin dan Cikundul. Selain itu juga terdapat sumber mata air di daerah dataran tinggi Sukanagara – Campaka. Bentuk ketersediaan sumberdaya air yang terakhir adalah potensi air tanah, meliputi air tanah bebas dangkal, air tanah bebas dalam, air tanah langka dan air tanah dangkal pantai. Air tanah bebas dangkal umumnya merupakan daerah pendataran lembah dan pantai serta daerah depresi (Depresi Cianjur, Depresi Pagelaran, Depresi Kadupandak, dan lain-lain). Air tanah bebas dangkal tersebut terdapat hampir di semua pendataran dan sudah banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik. Air tanah bebas dalam (TMA lebih dari 10 meter) terutama pada daerah perbukitan yang berada di antara wilayah mata air. Air tanah langka terdapat pada daerah perbukitan dengan batuan sedimen massif. Air tanah dangkal pantai meliputi pendataran sekitar pantai laut Samudera Indonesia dan Waduk Cirata. Pada zona ini bermuara sejumlah sungai yang senantiasa mengendapkan partikel-partikel hasil erosi dalam berbagai ukuran dan mengandung air. Air dangkal pantai ini tersebar di sepanjang pantai selatan Cianjur. Terdapat dua cekungan air tanah di wilayah Cianjur, yaitu Cekungan Utuh Kabupaten (CAT Cianjur) dan Cekungan Lintas Kabupaten (CAT Cibuni). Daerah imbuhan pada CAT Cianjur adalah daerah perbukitan yang diupayakan sebagai daerah konservasi air tanah, sedang daerah produksi air tanah terdapat pada pusat cekungan air tanah di Kecamatan Cianjur dan sekitarnya. Pada CAT Cibuni keterdapatan air tanah di kabupaten Cianjur lebih cenderung sebagai daerah imbuhan saja. Berdasarkan kondisi iklim, secara umum Kabupaten Cianjur beriklim tropis lembab dengan suhu udara minimum 18º yang biasanya terjadi pada bulan Maret – April, sedangkan suhu maksimal adalah 24º yang biasanya terjadi pada bulan Oktober – November dengan kelembaban nisbi berkisar antara 80 – 90%. Pada bulan November – Maret, angin bertiup ke arah tenggara yang biasanya berkaitan dengan musim hujan dan pada bulan Mei – September bertiup dari arah barat laut yang biasanya berkaitan dengan musim kemarau. Musim kemarau terjadi pada bulan Agustus sedangkan puncak musim hujan terjadi pada bulan Desember – Januari.. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, Kabupaten Cianjur beriklim basah yaitu Tipe A (daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropika) dan Tipe B (daerah basah dengan vegetasi hutan hujan tropika) dan sebagian kecamatan mempunyai Tipe C (daerah agak basah dengan vegetasi hutan rimba, di antaranya terdapat jenis vegetasi yang daunnya gugur pada musim kemarau) dan Tipe D (daerah sedang dengan vegetasi hutan musim). Kondisi curah hujan di Kabupaten Cianjur sangat bervariasi. Curah hujan rata-rata di wilayah pesisir berkisar antara 2000 mm/tahun sampai dengan 3500 mm/tahun Wilayah yang memiliki curah
39
hujan paling tinggi adalah Kecamatan Sukanagara, Pagelaran dan sedikit di wilayah Kecamatan Kadupandak yakni dengan tingkat curah hujan 4000 – 4500mm/tahun. Sementara Kecamatan yang paling rendah curah hujannya adalah Kecamatan Cibinong dan Cidaun dengan tingkat curah hujan sebesar 2000 – 2500 mm/tahun (Gambar 8).
Gambar 8 Sebaran kelas curah hujan di Kabupaten Cianjur
Karakteristik Demografi Menurut data BPS Kabupaten Cianjur tahun 2013 jumlah penduduk Kabupaten Cianjur adalah sebesar 2,231,107 jiwa yang terdiri atas 1,153,993 jiwa laki-laki dan 1,077,144 jiwa perempuan dengan kepadatan penduduk rata-rata 617 jiwa/Km2. Konsentrasi penduduk terbesar ada di Kecamatan Cianjur yaitu 162,714 jiwa (7.29%). Sedangkan jumlah penduduk paling sedikit ada di Kecamatan Campakamulya dan Leles. Jika di breakdown ke dalam kecamatan, maka Kecamatan Cianjur memiliki angka kepadatan penduduk tertinggi yaitu sebesar 6.223 jiwa/Km2, sementara kecamatan dengan angka kepadatan penduduk paling rendah adalah Kecamatan Naringgul yakni jiwa/Km2. Berdasarkan data survei tenaga kerja nasional (Sakernas) jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah sebanyak 899,502 jiwa dari keseluruhan 1,013,648 jiwa, sedangkan sisanya sebanyak 114,146 jiwa berstatus sebagai pengangguran.
40
Sementara itu berdasarkan lapangan kerja utama penduduk Kabupaten Cianjur dapat dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kelompok utama (Gambar 9) yaitu kelompok pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan, kelompok industri pengolahan, kelompok perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel, kelompok jasa kemasyarakatan dan kelompok lainnya (pertambangan dan penggalian, listrik, gas & air, bangunan, angkutan, pergudangan, dan komunikasi, keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan).
14%
13% 20%
45% 8%
Pertanian, Kehutanan, Perburuan, dan Perikanan Industri Pengolahan Perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel Jasa kemasyarakatan
Lainnya
Gambar 9 Distribusi jumlah tenaga kerja berdasarkan lapangan usaha utama di Kabupaten Cianjur Mayoritas penduduk di Kabupaten Cianjur bekerja di lapangan usaha pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan, sementara penduduk paling sedikit bekerja di lapangan industri pengolahan. Sementara itu berdasarkan tingkat pendidikan mayoritas penduduk yaitu sebanyak 615,069 adalah tamatan SD, lalu diikuti dengan tamatan SMP sebesar 142,246, tidak tamat SD 110,490 orang, tamatan SMA 99,286 orang dan terakhir tamatan perguruan tinggi 46,557.
Keadaan Perekonomian Kondisi perekonomian suatu daerah atau wilayah dapat dianalisis dari seberapa besar perubahan tingkat pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Pertumbuhan ekonomi memberi petunjuk adanya perubahan ekonomi ke arah yang lebih baik di suatu wilayah dalam satu periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi juga mengindikasikan kenaikan kapasitas produksi pada sebuah sektor perekonomian sehingga dapat dianggap sebagai sebuah keberhasilan pembangunan dari sudut pandang tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dengan cara melakukan analisis sederhana menggunakan data produk domestik regional bruto (PDRB) pada titik waktu tertentu. Produk domestik regional bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh aktivitas seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Sebagai sebuah wilayah yang memiliki potensi sumberdaya alam di bidang pertanian yang cukup menonjol, perekonomian Kabupaten Cianjur didominasi oleh sektor pertanian dengan tingkat distribusi sebesar 42.16% sampai dengan 44.77%. urutan kedua adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, ketiga adalah sektor jasa-jasa masing-masing dengan share sebesar 27.72% dan 10.15% pada tahun 2012. Selain memiliki potensi pada sektor pertanian yang cukup besar, Kabupaten Cianjur juga memiliki potensi pariwisata yang cukup baik, seperti: Kebun Raya
41
Cibodas,Taman Nasional Gede Pangrango, Taman Bunga Nusantara Danau Cirata, Ziarah Makam Dalem Cikundul dan wisata bahari di wilayah pantai Cianjur Selatan. Distribusi produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Cianjur dari tahun 2008 - 2012 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Distribusi persentase share PDRB Kabupaten Cianjur atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2008 - 2012 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
2008 44.77 0.12 2.74 0.77 3.15 25.91 7.31 5.29 9.92
2009 43.79 0.13 2.83 0.79 3.22 26.42 7.53 5.32 9.98
2010 44.47 0.12 2.78 0.79 3.14 26.30 7.50 5.06 9.84
2011 43.51 0.12 2.82 0.82 3.24 26.96 7.38 5.21 9.93
2012 42.16 0.12 2.93 0.85 3.35 27.72 7.57 5.15 10.15
Sumber BPS Kabupaten Cianjur Tahun 2009-2013
Persentase
Sektor pertanian merupakan sektor yang paling besar dalam memberi kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Cianjur yaitu berkisar antara 42.16% sampai dengan 44.77%, lalu di ikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan share 25.91 – 27.72%., kemudian sektor jasa-jasa sebesar 9.92 sampai 10.15%. Sementara itu sektor ekonomi lainnya jauh berada di bawah share kedua sektor tersebut. Sektor yang memiliki share paling kecil adalah sektor pertambangan dan penggalian, yaitu sebesar 0.12% sampai dengan 0.13%. Dengan demikian sektor pertanian adalah sektor yang yang paling utama di Kabupaten Cianjur karena memiliki share paling besar dalam pembentukan PDRB di Kabupaten Cianjur. Namun persentase kontribusinya terus mengalami penurunan dari Tahun 2008 sampai 2012 (Gambar 10). 45.00 44.50 44.00 43.50 43.00 42.50 42.00 41.50 41.00 40.50
Pertanian
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 10 Share sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Cianjur tahun 2008 - 2012 Pada tahun 2008 share sektor pertanian dalam pembentukan PDRB Kabupaten Cianjur mencapai angka 44. 77%, kemudian pada tahun 2009 share tersebut mengalami penurunan menjadi 43. 79 atau berkurang sekitar 0.98%. tahun
42
2010 mengalami kenaikan sebesar 0.68% dari tahun sebelumnya menjadi 44.47%. namun secara perlahan kontribusi dari sektor pertanian kembali mengalami penurunan masing-masing menjadi 43.51% dan 42.16% pada tahun 2011 dan 2012. Jika dilihat dalam interval waktu 5 (lima) tahun share dari sektor pertanian mengalami penurunan sebesar 2.61%. Menurunnya angka kontribusi PDRB tidak mengakibatkan sektor pertanian mengalami pertumbuhan negatif, malah berdasarkan laju pertumbuhan PDRB sektor pertanian menunjukkan adanya kenaikan pertumbuhan meskipun juga sempat mengalami penurunan. Selama 5 (lima) tahun data PDRB yang diamati, sektor pertanian mengalami penurunan laju pertumbuhan sebanyak 2 (dua) kali dan mengalami kenaikan laju pertumbuhan juga 2 (dua) kali. Pada tahun 2012 laju pertumbuhan sektor pertanian sebesar 4.56% sedikit di bawah laju pertumbuhan PDRB total Kabupaten Cianjur sebesar 5.08% (Tabel 5). Tabel 5 Laju pertumbuhan (%) PDRB Kabupaten Cianjur atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2008 - 2012 Lapangan Usaha
2008
2009
2010
2011
2012
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total laju pertumbuhan PDRB
1.76 5.52 7.22 6.47 6.40 6.05 7.12 4.65 4.66 4.04
5.55 2.73 2.21 4.45 1.23 3.49 3.50 (1.27) 2.47 3.93
2.27 (2.18) 6.07 9.06 8.00 7.15 2.89 7.66 5.57 4.53
1.50 8.08 8.87 7.61 8.26 7.68 7.46 3.53 7.02 4.74
4.56 (2.40) 6.15 4.23 8.52 5.85 5.54 5.20 3.41 5.08
Sumber : BPS Kabupaten Cianjur Tahun 2009 – 201
Secara umum kondisi perekonomian Kabupaten Cianjur relatif stabil, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan total PDRB kabupaten yang hampir selalu mengalami kenaikan. Secara umum sektor-sektor perekonomian di Kabupaten Cianjur memberikan kinerja yang baik, ini ditandai dengan nilai laju pertumbuhan yang positif. Laju pertumbuhan PDRB dapat mengukur tingkat kemajuan ekonomi suatu wilayah, sehingga dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur tingkat kemakmuran masyarakatnya. Jika dibandingkan laju pertumbuhan sektor pertanian dengan laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Cianjur (Gambar 11) terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Cianjur lebih stabil dari pada sektor pertanian. Pada tahun 2008 laju pertumbuhan sektor pertanian sebesar 1.76% , pada tahun 2009 naik menjadi 5.55%. Namun pada tahun 2010 turun menjadi 2.27%, lalu pada tahun 2011 kembali turun menjadi 1.50%. Tahun 2012 laju pertumbuhan sektor pertanian mengalami kenaikan menjadi 4.56%. Sementara itu laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Cianjur tahun 2008 sebesar 4.04%, lalu turun menjadi 3.93% pada tahun 2010. Tahun 2011 naik menjadi 4.74%, kemudian tahun 2012 naik lagi menjadi 5.08%. Dengan demikian laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Cianjur lebih stabil karena hanya mengalami penurunan satu kali dan tidak terlalu signifikan, sedangkan laju pertumbuhan sektor pertanian mengalami penurunan sebanyak dua kali dalam jumlah yang signifikan.
Laju Pertumbuhan (%)
43
6.00
5.00 4.00 3.00
Pertanian
2.00
Total PDRB
1.00 0.00 2008 2009 2010 2011 2012
Gambar 11 Perbandingan laju pertumbuhan PDRB sektor pertanian dan PDRB Kabupaten Cianjur tahun 2008-2012 Perbandingan antara laju pertumbuhan dengan share sektor pertanian menunjukkan kondisi yang berbeda (Gambar 12). Share sektor pertanian menunjukkan grafik yang semakin menurun sedangkan laju pertumbuhannya menunjukkan grafik yang lebih fluktuatif dengan kecenderungan yang semakin meningkat. 50.00
Persentase
40.00
Pertanian Laju pertumbuhan
30.00 20.00
Pertanian Share
10.00 0.00 2008 2009 2010 2011 2012
Gambar 12 Perbandingan laju pertumbuhan dan share PDRB sektor pertanian di Kabupaten Cianjur tahun 2008 - 2012 Melalui Gambar 12 dapat dilihat bahwa, pada tahun 2008 laju pertumbuhan sektor pertanian sebesar 1.76%, sedangkan share sektor pertanian sebesar 44.77%. Tahun 2009 laju pertumbuhan naik menjadi 5.55%, namun share sektor pertanian turun menjadi 43.79% . Tahun 2010 laju pertumbuhan turun menjadi 2.27, namun share sektor pertanian justru naik menjadi 44.47%. Tahun 2011, baik laju pertumbuhan maupun share mengalami penurunan masing-masing menjadi 1.50% dan 43.51%. Tahun 2012 laju pertumbuhan meningkat menjadi 4.56%, sebaliknya share sektor pertanian turun menjadi 42.16%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, semenjak tahun 2010 sampai 2012 laju pertumbuhan sektor pertanian mengalami kenaikan, sedangkan share sektor pertanian dalam kurun waktu yang sama mengalami penurunan. Kondisi ini memberi indikasi bahwa, pertumbuhan sektor-sektor lain di Kabupaten Cianjur relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sektor pertanian. Oleh karena itu pertumbuhan yang tercipta pada sektor pertanian, tidak mampu meningkatkan share sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB di Kabupaten Cianjur.
44
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sektor, Subsektor Basis dan Komoditas Unggulan Hasil analisis Location Quotient (LQ) terhadap data PDRB Kabupaten Cianjur dan Provinsi Jawa Barat tahun Tahun 2011 - 2013 atas dasar harga konstan 2000 tertera pada Tabel 6. Tabel 6 Indeks LQ sektor ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2011 - 2013 atas dasar Harga Konstan 2000 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
2011
2012
2013
Rataan
3.33 0.05 0.07 0.36 0.89 1.24 1.55 1.59 1.46
3.44 0.06 0.07 0.39 0.85 1.26 1.47 1.47 1.48
3.66 0.06 0.07 0.38 0.82 1.20 1.40 1.42 1.43
3.47 0.06 0.07 0.38 0.85 1.23 1.47 1.49 1.45
Sumber : BPS Kabupaten Cianjur dan Jawa Barat 2012-2014; data diolah
Hasil rata-rata yang diperoleh dari analisis LQ selama (tiga) tahun terakhir 2011 - 2013, terdapat 5 (lima) sektor yang masuk ke dalam kategori basis di Kabupaten Cianjur karena memiliki nilai LQ > 1. Kelima sektor tersebut adalah: 1) Pertanian; 2) Perdagangan, hotel dan restoran; 3) Pengangkutan dan Komunikasi; 4) Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan 5) Jasa-jasa. Indeks LQ lebih besar dari satu memberi makna bahwa konsentrasi sektor tersebut di Kabupaten Cianjur lebih besar dari rata-rata konsentrasi sektor yang sama di Provinsi Jawa Barat. Sektor pertanian dipilih sebagai sektor basis di Kabupaten Cianjur karena memiliki nilai LQ paling besar dan sangat signifikan dibanding dengan 4 (empat) sektor lain yang juga memiliki indeks LQ > 1. Sektor pertanian terdiri dari 5 (lima) subsektor yaitu subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Selanjutnya dari 5 subsektor tersebut dianalisis untuk menentukan subsektor yang menjadi basis. Metode analisis yang diterapkan sama dengan metode dalam menentukan sektor basis, yaitu menggunakan LQ. Data yang dipergunakan untuk menganalisis subsektor basis adalah data PDRB subsektor pada sektor pertanian Tahun 2011 2013. Hasil analisis tersebut dapat dilihat Tabel 7. Tabel 7 Indeks LQ subsektor pada sektor pertanian di Kabupaten Cianjur tahun 2011 - 2013 atas dasar harga konstan 2000 Lapangan Usaha Tanaman Bahan Makanan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan
2011
2012
2013
Rataan
1.02 0.47 1.07 0.84 1.02
1.01 0.48 1.17 1.18 1.00
1.00 0.46 1.20 1.25 1.01
1.01 0.47 1.15 1.09 1.01
Sumber : BPS Jawa Barat tahun 2012 - 2014 (data diolah)
45
Hasil analisis LQ terhadap data PDRB subsektor pada sektor pertanian Kabupaten Cianjur tahun 2011-2013 secara rata-rata menunjukkan ada 4 (empat) subsektor yang dikategorikan sebagai subsektor basis dengan nilai LQ > 1 yaitu: 1) tanaman bahan makanan; 2) peternakan; 3) kehutanan dan; 4) perikanan. Indeks LQ dari 4 (empat) subsektor basis tersebut tidak signifikan perbedaannya. Namun jika ditinjau berdasarkan share terhadap pembentukan PDRB sektor pertanian dari keempat subsektor itu hasilnya menunjukkan bahwa subsektor tanaman bahan makanan memiliki share paling besar sejak Tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 seperti yang tersaji pada Gambar 13.
80.00 70.00 60.00 Tanaman Bahan Makanan
50.00
Peternakan
40.00
Kehutanan
30.00
Perikanan
20.00 10.00 0.00 2011
2012
2013
Gambar 13 Share subsektor terhadap PDRB sektor pertanian tahun 2011 - 2013 di Kabupaten Cianjur Share subsektor tanaman bahan makanan terhadap PDRB sektor pertanian Kabupaten Cianjur dalam rentang waktu tahun 2011 - 2013 secara berurutan sebesar 77.76, 75.83 dan 75.34%. Subsektor peternakan, kehutanan dan perikanan berada jauh di bawah subsektor tanaman bahan makanan. Subsektor peternakan memberikan share tidak sampai 16%, sedangkan subsektor perikanan dan kehutanan di bawah 6%, sehingga dapat dikatakan bahwa subsektor tanaman bahan makanan merupakan subsektor pada sektor pertanian yang paling penting karena selain termasuk ke dalam subsektor basis juga memiliki share yang paling besar dalam pembentukan PDRB sektor pertanian. Share yang besar menunjukkan pula angka produksi yang besar, sedangkan produksi dalam konteks pertanian sangat erat kaitannya dengan jumlah tenaga kerja. Semakin besar tingkat produksi maka semakin besar pula jumlah tenaga kerja yang terlibat. Berdasarkan kondisi tersebut maka subsektor tanaman bahan makanan yang dipilih sebagai subsektor basis dari sektor pertanian di Kabupaten Cianjur. Penentuan komoditas unggulan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kombinasi analisis LQ dan DS. Data yang digunakan untuk menentukan komoditas unggulan adalah data luas panen (ha) komoditas tanaman bahan makanan Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Cianjur tahun 2011 - 2013 seperti yang terlihat pada Tabel 8.
46
Tabel 8 Analisis komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur tahun 2011-2013 Komoditas Tanaman Bahan Makanan Padi Sawah Jagung Ubi Kayu Kedelai Kacang Hijau Kacang Tanah Ubi Jalar
Location Quotient Indeks Skor Nilai 0.98 1.00 0.49 0.54 1.00 0.27 0.91 1.00 0.46 1.07 3.00 1.60 0.37 1.00 0.19 3.19 3.00 4.78 0.70 1.00 0.35
Differential Shift Indeks Skor Nilai 0.05 2.00 0.05 0.07 2.00 0.07 (0.10) 1.00 (0.10) 0.58 1.00 0.29 (0.08) 1.00 (0.04) 0.20 2.00 0.20 (0.11) 1.00 (0.06)
Nilai Akhir 0.54 0.34 0.36 1.89 0.14 4.99 0.29
Keterangan: Nilai LQ = Indeks x Skor/2; Skor 1 untuk Indeks LQ<1, Skor 2 untuk Indeks LQ=1, Skor 3 untuk Indeks >1 Nilai DS = Indeks x Skor/2; Skor 1 untuk Indeks DS<0, Skor 2 untuk Indeks DS>0 Nilai akhir = Nilai LQ + DS
Subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Cianjur terdiri dari 7 komoditas yaitu: 1) padi sawah; 2) jagung; 3) ubi kayu; 4) kedelai; 5) kacang hijau; 6) kacang tanah; dan 8) ubi jalar. Selanjutnya dari 7 komoditas tersebut dipilih 3 komoditas yang memiliki nilai akhir paling tinggi dari hasil penjumlahan nilai LQ dan DS untuk ditetapkan sebagai komoditas unggulan Kabupaten Cianjur. Berdasarkan Tabel 9 maka hasilnya adalah kacang tanah, kedelai dan padi, masingmasing dengan nilai akhir 4.99, 1.89 dan 0.54. Jika dilihat dari hasil analisis LQ, padi sawah memiliki nilai indeks LQ tidak lebih dari 1 atau tidak memiliki keunggulan komparatif. Namun Kabupaten Cianjur merupakan daerah yang memiliki ciri khas sebagai wilayah pertanian padi sawah. Mayoritas petaninya merupakan petani padi sawah, oleh karena itu tidak tepat perencanaan pengembangan wilayah di Kabupaten Cianjur mengabaikan komoditas padi sawah. Dengan demikian komoditas padi sawah ditetapkan sebagai salah satu komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur.
Kesesuaian Lahan Padi Sawah, Kacang Tanah dan Kedelai Tujuan penelitian kedua adalah menganalisis potensi pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur, yaitu: padi sawah, kacang tanah, dan kedelai berdasarkan pada aspek kesesuaian lahan. Padi sawah, kacang tanah dan kedelai merupakan komoditas yang berbasis lahan, sehingga pengembangannya sangat bergantung kepada keberadaan lahan yang sesuai. Penggunaan lahan yang tidak sesuai peruntukannya tidak saja akan mengakibatkan menurunnya produktivitas tetapi juga dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan. Adapun paradigma pembangunan saat ini adalah sangat menitik beratkan pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Oleh karena itu, agar pemanfaatan suatu lahan sesuai dengan karakteristik dan peruntukannya maka diperlukan analisis atau evaluasi kesesuaian lahan. Tanpa ada kegiatan evaluasi kesesuaian lahan, maka sangat sulit sekali mengalokasikan suatu lahan untuk suatu komoditas yang sesuai dengan karakteristiknya. Hasil analisis atau evaluasi kesesuaian lahan untuk padi sawah, kacang tanah, dan kedelai secara spasial terhadap 63 karakteristik satuan peta tanah (SPT), menghasilkan kelas kesesuaian lahan aktual seperti tertera pada Tabel 9.
47
Tabel 9 Kesesuaian lahan padi sawah, kacang tanah dan kedelai di Kabupaten Cianjur Komoditas
Kelas
Padi Sawah
S1 S2 S3
Subkelas S2re S3e S3r S3re S3tr S3tre N1e N2e
Faktor Pembatas
Media perakaran, erosi Erosi Media perakaran Media perakaran, erosi Temperatur, media perakaran Temperatur, media perakaran, erosi N1 Erosi N2 Erosi Jumlah Kacang Tanah S1 S2 S2e Erosi S2r Media perakaran S2twe Temperatur, ketersediaan air, erosi S2we Ketersediaan air, erosi S3 S3e Erosi S3re Media perakaran, erosi S3tw Temperatur, ketersediaan air S3twe Temperatur, ketersediaan air, erosi S3w Ketersediaan air S3we Ketersediaan air, erosi Ketersediaan air, media perakaran, S3wre erosi N1 N1e Erosi N2 N2e Erosi Jumlah Kedelai S1 S2 S2e Erosi S2twe Temperatur, ketersediaan air, erosi S2we Ketersediaan air, erosi S3 S3re Media perakaran, erosi S3tw Temperatur, ketersediaan air S3twe Temperatur, ketersediaan air, erosi S3we Ketersediaan air, erosi S3wr Ketersediaan air, media perakaran Ketersediaan air, media perakaran, S3wre erosi N1 N1e Erosi N2 N2e Erosi Jumlah Keterangan: S1 = Sangat sesuai; S2 = Cukup sesuai; S3 = Sesuai Marginal; N1= Tidak sesuai saat ini; N2 = Tidak sesuai selamanya
Luas (ha) 155 12,272 28,083 39,442 31,197 396 933 157,22 2 81,178 350,87 86,504 155 9,265 15,959 26,786 4,928 396 933 22,799 24,137 616 157,22 2 81,178 350,87 814,908 49,624 2,090 986 396 933 38,829 155 4,557 157,22 2 81,178 350,87 8
% 0.04 3.50 8.00 11.24 8.89 0.11 0.27 44.81 23.14 100.0 01.85 0.04 2.64 4.55 7.63 1.40 0.11 0.27 6.50 6.88 0.18 44.81 23.14 100.0 04.25 14.14 0.60 0.28 0.11 0.27 11.07 0.04 1.30 44.81 23.14 100.0 0
Berdasarkan Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa lahan terluas yang sesuai untuk pengembangan padi sawah adalah lahan subkelas S3r yaitu 39,442 ha atau 11.24%, kemudian subkelas S3re yaitu 31,197 ha atau 8.89% dan lahan subkelas S3e yaitu 28,083 ha atau 8% dari total luas lahan di dalam penelitian. Lahan terluas yang sesuai untuk pengembangan kacang tanah adalah subkelas S3e yaitu 26,786 ha atau 7.63%, diikuti lahan subkelas S3we yaitu 24,137 ha atau 6.88% dan subkelas S3w yaitu 22,799 ha atau 6.5%. Lahan yang sesuai untuk pengembangan
48
kedelai paling luas adalah subkelas S2twe yaitu 49,624 ha atau 14.14% selanjutnya subkelas S3we yaitu 38,829 ha atau 38,829 ha atau 11.07% dan subkelas S2e yaitu 14,908 ha atau 4.25%. Berdasarkan Tabel 9 pada umumnya lahan di Kabupaten Cianjur memiliki faktor pembatas media perakaran (r), bahaya erosi (e), temperatur (t) dan ketersediaan air (w). Beberapa pembatas lahan tersebut masih bisa diperbaiki seperti erosi, ketersediaan air dan media perakaran (drainase). Usaha perbaikan lahan terhadap faktor pembatas erosi antara lain pembuatan teras, pembuatan guludan dan guludan bersaluran menurut kontur, pengolahan tanah menurut kontur dan tanaman penutup tanah. Untuk faktor pembatas media perakaran (drainase) jenis usaha perbaikan yang dapat dilakukan di antaranya adalah perataan tanah, guludan, saluran terbuka dan perbaikan sistem drainase. Faktor pembatas ketersediaan air dapat diperbaiki dengan pembuatan sistem irigasi (Arsyad, 2010). Sementara itu faktor pembatas temperatur tidak dapat diperbaiki. Faktor pembatas lahan untuk padi sawah sebagian besar bisa diperbaiki yaitu drainase (media perakaran) dan bahaya erosi. Sementara itu kelas kesesuaian lahan untuk kacang tanah dan kedelai terdapat faktor pembatas yang tidak dapat diperbaiki yaitu temperatur, hal ini disebabkan karena terdapat wilayah dengan suhu kurang dari 20 0C. Berdasarkan kenyataan itu maka pengaruh kondisi alam terhadap pengembangan kacang tanah dan kedelai lebih besar dari pada padi sawah. Secara spasial hasil analisis kesesuaian lahan padi, kacang tanah dan kedelai dapat dilihat pada Gambar 14, 15 dan 16.
Gambar 14 Kesesuaian lahan untuk padi sawah di Kabupaten Cianjur
49
Gambar 14 menunjukkan bahwa lahan yang paling sesuai (kelas S1 dan S2) untuk padi sawah berada di Cianjur Utara, sedangkan untuk kelas S3 tersebar dari Cianjur Utara sampai Cianjur Selatan. Lahan Kelas S1 terdapat di Kecamatan Cikalongkulon dan Sukaresmi, Kelas S2 terdapat di Kecamatan Sukaluyu, Karangtengah, Ciranjang, Warungkondang, Cilaku, Cibeber dan Bojongpicung. Kelas S3 antara lain terdapat di Kecamatan; Cianjur, Warungkondang, Gekbrong, Haurwangi, Ciranjang, Cikadu, Cibinong, Kadupandak dan Sindangbarang. Berdasarkan data di lapangan wilayah yang menjadi basis keberadaan padi sawah sebagian besar terdapat di Cianjur Utara seperti di Kecamatan; Cibeber, Ciranjang, Sukaluyu, Karangtengah, Sukaresmi. Padi sawah juga terdapat di Cianjur Tengah yaitu di Kecamatan; Takokak dan Pagelaran, selain itu terdapat juga di banyak tempat lain seperti di Kecamatan; Cibinong, Naringgul dan Cikadu. Total seluruh lahan padi sawah yang ada saat ini adalah 40,561 ha. Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk kacang tanah secara spasial ditunjukkan oleh Gambar 15.
Gambar 15 Kesesuaian lahan untuk kacang tanah di Kabupaten Cianjur Lahan yang paling sesuai untuk kacang tanah yaitu kelas S2 mayoritas berada di wilayah Cianjur Selatan yaitu di Kecamatan Sindangbarang, selain itu Kelas S2 juga terdapat di Cianjur Utara seperti di Kecamatan Karangtengah, Sukaluyu, Warungkondang dan Bojongpicung. Kelas S3 tersebar di bagian Utara, Tengah dan juga Selatan antara lain di Kecamatan Ciranjang, Haurwangi, Kadupandak, Cijati, Cibinong, Cikadu, Naringgul dan Agrabinta. Menurut data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur Tahun 2013 dan hasil
50
pengamatan langsung di lapangan, wilayah utama budidaya kacang tanah ada di bagian Cianjur Selatan yaitu Kecamatan Sindangbarang, Cidaun, Agrabinta dan Naringgul yakni seluas 10,556 ha. Melalui Gambar 14 dan 15 dapat dilihat bahwa pada lokasi yang sama di Cianjur Utara terdapat lahan yang masuk ke dalam Kelas S2 baik untuk padi sawah maupun kacang tanah, hal ini disebabkan pada area lahan tersebut padi sawah memiliki faktor pembatas media perakaran sedangkan bagi kacang tanah memiliki faktor pembatas ketersediaan air (curah hujan tinggi).
Gambar 16 Kesesuaian lahan untuk kedelai di Kabupaten Cianjur Sementara itu penyebaran kelas kesesuaian lahan S2 untuk kedelai (Gambar 16) sebagian besar berada di daerah Cianjur Utara dan Selatan, sedangkan sebagian kecil terdapat juga di Cianjur Tengah. Kelas S3 juga dominan terdapat di Cianjur Utara dan Selatan. Wilayah dengan kelas kesesuaian lahan terbaik bagi kedelai antara lain di Kecamatan; Karangtengah, Ciranjang, Sukaluyu, Haurwangi, Cilaku, Kadupandak dan Sindangbarang. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur Tahun 2013 dan hasil pengamatan langsung di lapangan wilayah utama pengembangan kedelai ada di Kecamatan Ciranjang dan Sukaluyu yaitu sebesar 2,392 ha sisanya tersebar merata hampir di seluruh kecamatan dengan luas 50 - 600 ha. Berdasarkan Gambar 14, 15 dan 16 dapat disimpulkan bahwa terdapat lebih dari satu komoditas yang bisa dikembangkan pada lokasi lahan yang sama, meskipun memiliki faktor pembatas yang berbeda, oleh karena itu diperlukan
51
mekanisme penentuan prioritas pengalokasian lahan yang tepat untuk pengembangan padi sawah, kacang tanah dan kedelai. Secara umum hasil analisis kesesuaian lahan di Kabupaten Cianjur dapat dikelompokkan ke dalam Ordo, Kelas dan Subkelas. Adapun pada kategori Subkelas dapat dikelompokkan ke dalam lahan dengan faktor pembatas yang bisa diperbaiki dan tidak bisa diperbaiki (Tabel 10). Tabel 10 Distribusi Ordo, Kelas dan Subkelas kesesuaian lahan padi sawah, kacang tanah dan kedelai di Kabupaten Cianjur Ordo/Kelas/Subkelas N S Jumlah N1 N2 S1 S2 S3 Jumlah N1 (A) N1 (B) N2 (A) N2 (B) S2(A) S2(B) S3(A) S3(B) Jumlah
Padi Sawah ha 238,40 0 112,47 8 350,87 8 157,22 2 81,178
% 67.94 32.06 100.0 0 44.81
Kacang Tanah ha 238,40 0 112,47 8 350,87 8 157,22 2 81,178
% 67.94 32.06 100.0 0 44.81
Kedelai Ha % 238,400 67.94 112,478 32.06 350,878 100.00 157,222 44.81 81,178 23.14 66,622 18.99 45,856 13.07 350,878 100.00 157,222 44.83 81,178 23.15 14,908 4.25 51,714 14.74 986 0.28 44,870 12.79 350,878 100.00
23.14 23.14 155 0.04 12,272 3.50 31,883 9.09 100,05 28.51 80,595 22.97 1 350,87 100.0 350,87 100.0 8 0 8 0 157,22 44.83 157,22 44.83 2281,178 23.15 81,178 23.15 12,272 3.50 6,659 1.90 25,224 7.19 98,722 28.15 31,714 9.04 1,329 0.38 48,881 13.93 350,72 100.0 350,87 100.0 3 0 8 0 Berdasarkan kategori Ordo sebagian besar lahan yang ada masuk ke dalam Ordo Tidak sesuai (N) yaitu seluas 238,400 ha (67.94%), sedangkan sisanya yaitu seluas 112,478 ha (32.06%) masuk ke dalam Ordo Sesuai (S) baik untuk padi sawah, kacang tanah maupun kedelai. Berdasarkan kategori Kelas, padi sawah memiliki Kelas S1 seluas 155 ha, sedangkan untuk kacang tanah dan kedelai tidak terdapat Kelas S1, namun kedelai memiliki jumlah lahan Kelas S2 lebih besar daripada S3 yaitu 66,622 ha berbanding 45,856 ha sedangkan untuk padi sawah dan kacang tanah luas lahan Kelas S3 lebih besar daripada S2. Berdasarkan Subkelas S2 dengan faktor pembatas yang bisa diperbaiki (A) padi sawah memiliki lahan seluas 12,272 ha, kacang tanah seluas 6,659 ha dan kedelai seluas 14,908 ha. Sementara itu Subkelas S2 dengan faktor pembatas yang tidak bisa diperbaiki (B) lahan untuk kacang tanah seluas 25,224 ha yaitu subkelas S2twe, kedelai 51,714 ha yaitu subkelas S2twe, sedangkan untuk padi sawah tidak terdapat lahan yang memiliki faktor pembatas yang tidak dapat diperbaiki pada kategori Subkelas S2.
52
Pada tingkat Subkelas S3 dengan faktor pembatas yang bisa diperbaiki (A) jumlah lahan untuk padi sawah adalah 98,722 ha, kacang tanah 31,714 ha dan kedelai 986 ha. Pada tingkat Subkelas S3 dengan faktor pembatas yang tidak bisa diperbaiki (B) luas lahan untuk padi sawah sebesar 1,329 ha yaitu Subkelas S3tr dan S3tre, kacang tanah seluas 48,881 ha yaitu Subkelas S3tw dan S3twe, dan kedelai sebesar 44,870 ha yaitu Subkelas S3tw dan S3twe. Oleh karena itu dari hasil evaluasi kesesuaian lahan dapat disimpulkan, bahwa potensi pengembangan padi sawah di Kabupaten Cianjur lebih baik dari pada kacang tanah dan kedelai karena lahan padi sawah yang memiliki faktor pembatas yang tidak bisa diperbaiki hanya sebesar 1,329 ha atau 0.38%, sedangkan lahan kacang tanah memiliki faktor pembatas yang tidak bisa diperbaiki seluas 73,105 ha atau 21.12%, sementara itu lahan untuk kedelai memiliki faktor pembatas yang tidak bisa diperbaiki seluas 96,584 ha atau 27.53%.
Arahan Alokasi Penggunaan Lahan Untuk arahan alokasi pemanfaatan lahan dalam penelitian ini digunakan analisis MOLA, karena dari hasil evaluasi kesesuaian lahan menunjukkan bahwa suatu lahan dapat dimanfaatkan oleh lebih dari satu komoditas. Analisis MOLA membagi suatu unit lahan untuk padi sawah, kacang tanah dan kedelai berdasarkan: 1) kebutuhan luas lahan masing-masing komoditas; 2) bobot dari masing-masing komoditas; dan 3) peta kesesuaian lahan masing-masing komoditas. Kebutuhan luas lahan yang akan dianalisis untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Cianjur pada tahun 2020, khusus kacang tanahmemperhitungkan kebutuhan untuk ekspor karena kacang tanah sebagian besar pasarnya berada di luar Kabupaten Cianjur. Perhitungan kebutuhan luas lahan untuk padi sawah, kacang tanah dan kedelai di Kabupaten Cianjur dilakukan dengan rumusan sebagai berikut (Sumarlin et al. 2008): KPP =
(KP x (100%+%f+%s+%w+%c)) 𝑅
dimana: KPP : Kebutuhan produksi pangan GKP (ton/tahun) KP : Kebutuhan pangan (ton/tahun) f : Penggunaan untuk pakan ternak (%) s : Penggunaan untuk bibit (%) w : Tercecer (%) c : Cadangan (%) R : Konversi perubahan bentuk input menjadi output (%) Untuk menghitung kebutuhan luas lahan kedelai dan kacang tanah komponen penggunaan untuk pakan (f) tidak digunakan, khusus kacang tanah ditambah komponen penggunaan untuk ekspor (e) karena 90% produksi kacang tanah diekspor keluar wilayah Kabupaten Cianjur. Perhitungan kebutuhan pangan (KP) dihitung dengan cara berikut: KP = K x P x 365
53
dimana: KP : Kebutuhan pangan (ton/tahun) K : Tingkat konsumsi riil penduduk Kabupaten Cianjur (gr/kapita/hari) P : Jumlah penduduk Kabupaten Cianjur Tahun 2020 365 : Jumlah hari selama 1 tahun Setelah memperoleh angka kebutuhan pangan (KP) maka dapat dihitung pula kebutuhan produksi pangan (KPP) dan selanjutnya dapat hitung kebutuhan luas lahan (KLL) untuk padi sawah, kacang tanah dan kedelai pada tahun 2020 di Kabupaten Cianjur. 𝐾𝑃𝑃
KLL = (𝐼 𝑥 𝑌) 𝑥 (100 + 𝐺𝑃) dimana: KLL : Kebutuhan luas lahan (ha) KPP : Kebutuhan produksi pangan (ton/tahun) I : Indeks pertanaman (%) Y : Produktivitas lahan per musim tanam (ton/ha/musim) GP : Gagal panen (%) Data yang diperlukan untuk menghitung kebutuhan luas lahan komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur tertera pada Tabel 11. Tabel 11 Komponen data untuk menghitung kebutuhan luas lahan Padi Kacang Uraian Kedelai Sawah Tanah Persentase untuk pakan (f) 2 Persentase untuk benih (s) 20 20 20 Persentase tercecer (w) 10 15 10 Persentase cadangan (c) 10 10 10 Persentase ekspor (e) 90 Persentase konversi (R) 53.96 70 70 Konsumsi riil (kg/kap/hari) 0.3283 0.005525 0.011 Indeks pertanaman (IP) 2.17 0.61 0.61 Produktivitas lahan (ton/ha/tahun) 6.2 1.2 1.2 Persentase gagal panen (G) 10 15 10 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur 2013 & Badan Ketahanan Pangan Daerah Kabupaten Cianjur 2013
Arahan alokasi lahan yang disusun dalam penelitian ini adalah untuk tahun 2020, oleh karenanya dalam menghitung kebutuhan pangan (KP) maka perlu dilakukan perhitungan proyeksi jumlah penduduk pada tahun 2020. Proyeksi jumlah penduduk ini dilakukan dengan menggunakan model pendugaan pertumbuhan penduduk. Uji kebaikan model menggunakan data penduduk Kabupaten Cianjur selama 13 tahun, yaitu sejak tahun 2001 - 2013 diperoleh hasil seperti yang tertera pada Gambar 17.
54
a)
c)
b)
d)
Gambar 17 Grafik uji kebaikan model eksponensial (a), model linear (b), model kuadratik (c) dan model power (d) Kriteria yang digunakan dalam uji kebaikan model adalah R-square atau koefisien determinan (R2) dan min Square eror (eror kuadrat) seperti yang tertera pada Tabel 12. Tabel 12 Uji kebaikan model pendugaan pertumbuhan penduduk Ukuran Kebaikan Eksponensial Liniear Kuadratik Power Model R-square 0,9242 0,9248 0,9820 0,9831 MSE 0,0065 0,0001 0,00004 0,00003 Berdasarkan Gambar 17 dan Tabel 12, model yang paling baik untuk digunakan dalam proyeksi jumlah penduduk adalah model power karena memiliki nilai R-square paling tinggi dan nilai min square error paling kecil. Berdasarkan persamaan model power diperoleh proyeksi jumlah penduduk Kabupaten Cianjur 2020 adalah 2,271,602 jiwa, sehingga hasil perhitungan kebutuhan luas lahan (KLL) pada Tahun 2020 di Kabupaten Cianjur untuk padi sawah sebesar 58,566 ha. Kebutuhan luas lahan kacang tanah adalah sebesar 24,161 ha. Sementara itu kebutuhan luas lahan untuk kedelai adalah 14,420 ha. Jumlah seluruh kebutuhan luas lahan untuk pengembangan ketiga komoditas unggulan tersebut adalah 97,147 ha. Komponen berikutnya yang dibutuhkan untuk analisis MOLA adalah bobot prioritas komoditas unggulan, yang diperoleh dengan pendekatan Analitycal Hierarchy Process (AHP). Adapun hirarkinya seperti yang tertera pada Gambar 18.
55
Prioritas Komoditas Unggulan
Ekonomi
E1
E2
E3
Padi
Sosial
E4
S1
S2
Kacang Tanah
Teknis
S3
T1
T2
T3
T4
Kedelai
Gambar 18 Hirarki penentuan bobot prioritas komoditas unggulan menggunakan pendekatan AHP Penetapan prioritas terhadap ketiga komoditas tersebut dilakukan berdasarkan hasil wawancara terhadap para responden yang dianggap memahami pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan dalam mendukung pengembangan wilayah Kabupaten Cianjur. Kriteria yang diperoleh ada 3 (tiga) yaitu; ekonomi, teknis dan sosial. Sementara itu subkriterianya ada 11 yang terbagi ke dalam masing-masing kriteria. Subkriteria dari kriteria ekonomi adalah; 1) Ketersediaan pasar (E1); 2) Kontribusi terhadap pendapatan petani (E 2); 3) Kontribusi terhadap PDRB (E3); dan 4) Ketersediaan modal (E4). Subkriteria dari kriteria sosial adalah: 1) Penyerapan tenaga kerja (S1); 2) Kebijakan/program pemerintah (S2); dan 3) Kebiasaan petani (S3). Adapun subkriteria dari kriteria teknis adalah: 1) Kesesuaian lahan (T 1); 2) Ketersediaan teknologi budidaya (T 2); 3) Ketersediaan sarana dan prasarana produksi (T3) dan; 4) Kelestarian lingkungan (T4). Masing-masing kriteria dan subkriteria dilakukan pembobotan. Berikut penjelasan terhadap tolok ukur dari subkriteria yang digunakan dalam penentuan bobot prioritas komoditas unggulan Ketersediaan pasar (E1) Ketersediaan pasar diartikan sebagai seberapa besar peluang atau kemampuan pasar dalam menyerap produk yang dihasilkan dari ketiga komoditas tersebut. Padi sebagai sumber pangan utama tentunya memiliki daya serap pasar yang sangat besar, dimana seluruh penduduk pasti memerlukan beras (produk akhir padi). Sementara itu kacang tanah bukan merupakan komoditas pangan utama, namun kacang tanah memiliki kelebihan karena di seluruh wilayah Jawa Barat, hanya kacang tanah dari Cianjur produksinya sangat dominan. Atau dengan kata lain produksi kacang tanah di Kabupaten Cianjur jauh lebih besar dibanding wilayah kabupaten lain di Jawa Barat. Selain itu produksi kacang tanah Kabupaten Cianjur sebagian besar diserap oleh pabrik kacang garuda. Kondisi ini menyiratkan bahwa
56
kacang tanah memiliki potensi pasar yang cukup baik sehingga peluang pengembangannya sangat besar. Sementara itu kedelai memiliki tantangan pasar yang cukup berat karena banyaknya jumlah kedelai impor yang beredar di pasar ditambah lagi dengan preferensi masyarakat yang sebagian besar lebih menyukai kedelai impor daripada kedelai lokal. Kontribusi terhadap pendapatan petani (E2) Subkriteria ini membuat penilaian terhadap ketiga komoditas tersebut berdasarkan tingkat keuntungan yang bisa diperoleh oleh petani dari mengusahakan padi, kacang tanah atau kedelai. Komoditas yang memberi keuntungan paling besar terhadap petani diberi bobot paling besar. Kontribusi terhadap PDRB (E3) Ketiga komoditas unggulan ini juga merupakan penyusun terhadap nilai PDRB subsektor tanaman bahan makanan Kabupaten Cianjur. Nilai PDRB yang lebih tinggi mencerminkan harga dan jumlah produksi yang lebih besar. Semakin besar nilai PDRB yang disumbangkan maka semakin besar pula bobot yang diberikan terhadap komoditas tersebut. Ketersediaan modal (E4) Subkriteria ini memberi penilaian seberapa besar ketergantungan komoditas padi, kacang tanah dan kedelai terhadap adanya ketersediaan modal didalam melakukan usaha tani. Semakin kecil modal yang diperlukan maka semakin besar pula bobot prioritasnya. Hal ini menunjukkan bahwa komoditas dengan kebutuhan modal paling kecil ataupun ketergantungan modal yang relatif lebih sedikit dibanding dengan komoditas lainnya memiliki kesempatan untuk dikembangkan lebih besar dari komoditas yang lain. Penyerapan tenaga kerja (S1) Penyerapan tenaga kerja merupakan salah satu hal yang cukup penting dijadikan pertimbangan untuk menentukan skala prioritas dari suatu komoditas. Masing-masing komoditas unggulan ini memiliki daya serap tenaga kerja yang berbeda-beda. Komoditas yang mampu menyerap tenaga kerja lebih besar dari komoditas lainnya memiliki bobot prioritas yang lebih besar untuk dipertimbangkan karena dengan demikian memberi kesempatan yang jauh lebih besar kepada masyarakat untuk memperoleh pendapatan yang pada akhirnya mampu mengurangi pengangguran. Kebijakan / program pemerintah (S2) Tingkat prioritas untuk mengembangkan komoditas unggulan tidak bisa terlepas dari peran pemerintah (kebijakan) yang dirancang untuk masing-masing komoditas. Pengembangan sebuah komoditas yang tidak sesuai dengan program kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah akan menyebabkan terjadinya beberapa hambatan seperti benih, sumberdaya air, pupuk serta peralatan mekanisasi pertanian. Kebiasaan petani (S3) Menentukan prioritas pengembangan komoditas unggulan pada subsektor tanaman bahan makanan juga harus memperhatikan bagaimana kebiasaan petani pada suatu wilayah. Jenis komoditas yang telah biasa diusahakan seyogianya mendapat pertimbangan lebih, karena petani telah memiliki pengetahuan yang lebih baik dibanding dengan komoditas yang belum pernah diusahakan sehingga peluang keberhasilan menjadi lebih besar.
57
Kesesuaian lahan (T1) Setiap jenis tanaman memiliki syarat kesesuaian lahan tertentu, meskipun demikian bisa saja beberapa jenis tanaman memiliki syarat kesesuaian lahan yang sama atau mendekati. Kesesuaian lahan perlu dipertimbangkan karena bila tanaman dibudidayakan pada lahan yang tidak atau kurang sesuai maka akan mengakibatkan menurunnya produktivitas dari tanaman itu sendiri. Selain itu penggunaan lahan yang tidak sesuai untuk peruntukannya bisa menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dalam jangka waktu yang panjang. Ketersediaan teknologi budidaya (T2) Ketersediaan teknologi budidaya adalah pertimbangan berikutnya untuk memutuskan tingkat prioritas dari setiap komoditas. Komoditas / tanaman yang telah memiliki dan mengadopsi teknologi budidaya dengan baik tentu akan menjadi pertimbangan utama untuk dikembangkan. Padi adalah salah satu tanaman yang telah banyak mengadopsi teknologi dalam budidayanya seperti pengelolaan tanaman terpadu (PTT) sawah. Komponen teknologi dasar dalam PTT meliputi: 1) penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan atau bernilai ekonomi tinggi; 2) benih bermutu dan berlabel; 3) pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah / spesifik lokasi; 4) pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT). Selain komponen teknologi dasar, PPT padi sawah juga memiliki komponen teknologi pilihan yaitu: 1) penambahan bibit umur muda dengan jumlah bibit terbatas yaitu antara 1-3 bibit per lubang; 2) peningkatan populasi tanaman; 3) penggunaan kompos bahan organik dan atau pupuk kandang sebagai pupuk dan pembenah tanah; 4) pengaturan pengairan dan pengeringan berselang; 5) pengendalian gulma; 6) panen tepat waktu; dan 7) perontokan gabah sesegera mungkin. Selain penerapan PTT, teknologi lainnya kini yang telah dapat diadopsi pada tanaman padi adalah pemberian pupuk organik azzola, yaitu sejenis tanaman paku air yang dapat bersimbiosis dengan tumbuhan ganggang hijau untuk mereduksi nitrogen dari udara menjadi amonia melalui enzim denitrogenase. Selanjutnya untuk tanaman padi juga terdapat teknologi budidaya System of Ice Intensification (SRI), yaitu sebuah teknologi yang bertujuan meningkatkan produktivitas padi secara organik yang mampu menghemat kebutuhan sumberdaya terutama air. Kacang tanah juga memiliki teknologi budidaya yang harus diadopsi agar mendapatkan hasil yang lebih baik yaitu: (1) Pemilihan benih, yakni menggunakan varietas unggul diantarnya varietas Jerapah, Kancil, Kelinci, Bima, Bison, Tuban, dan Singa; (2) Penyiapan lahan, yakni pembuatan bedengan saluran air, penggemburan dan membajak serta membersihkan dari gulma; (3) Cara tanam, jarak tanam 40x20 cm dengan kedalaman 3 cm; (4) Pemupukan; (5) Pengapuran; (6) Penyiangan dan pembubunan; (7) Pengairan; dan (8) Panen dan pasca panen. Sementara itu tanaman kedelai dapat tumbuh di berbagai agro ekosistem dengan jenis tanah, kesuburan tanah, iklim dan pola tanam yang berbeda sehingga kendala antara satu agroekosistem satu dengan lainnya berbeda pula. Tanaman kedelai termasuk tanaman yang memiliki varietas yang sangat banyak, tercatat sejak tahun 1984 sampai dengan 2004 tidak kurang 46 jenis varietas telah diluncur di Indonesia. Teknologi budidayanya juga tersedia cukup baik seperti: (1) Pemilihan benih; (2) Persiapan lahan; (3) Penanaman; (4) Pemeliharaan; dan (5) Pengendalian penyakit dan hama tanaman. Kedelai merupakan tanaman yang membutuhkan penyinaran
58
matahari yang panjang, sehingga untuk wilayah yang kurang panjang sinar matahari dan sering berawan sulit mendapatkan hasil yang memuaskan. Ketersediaan sarana produksi (T3) Benih, pupuk, pestisida dan berbagai macam peralatan selama ini bisa dipenuhi dari kios-kios penyedia sarana produksi (saprodi) pertanian yang ada di wilayah Cianjur. Benih unggul dan pupuk merupakan saprodi yang paling sulit untuk diperoleh oleh petani. Untuk benih, petani menyiasatinya dengan cara membuat penangkaran benih sendiri, sementara kelangkaan pupuk tidak dapat diatasi atau dicari solusinya oleh petani. Komoditas yang lebih mudah mendapatkan saprodi mendapat bobot lebih besar dibanding komoditas yang sulit untuk memperoleh saprodi. Kelestarian lingkungan (T4) Terakhir untuk penentuan urutan prioritas komoditas unggulan adalah terkait dengan kelestarian lingkungan. Komoditas yang bersifat ramah lingkungan atau tidak merusak lingkungan mendapat bobot yang lebih besar didalam pertimbangan perencanaan pengembangan, sebaliknya komoditas yang tidak ramah lingkungan mendapatkan bobot yang lebih kecil. Dampak keberadaan suatu komoditas 4/19/2015 10:37:02 AM bisa dari sifat tanamannya atau pun juga dari Page 1cara of 1 terhadap lingkungan pengelolaannya. Hal ini perlu dimasukkan ke dalam pertimbangan karena prinsip pembangunan haruslah memperhatikan aspek keberlanjutan, sehingga proses pembangunan yang saat ini dilakukan tidak akan merugikan generasi selanjutnya pada masa yang akan datang. ModelUrutan Name: prioritas PRIORITASditentukan KOMODITAS UNGGULAN SUBbobot SEKTOR berdasarkan nilai yangTANAMAN tertinggiBAHAN sampai yang paling rendah, hasil analisis yang diperoleh dari persepsi pakar dengan MAKANAN KABUPATEN CIANJUR TAHUN 2013 menggunakan teknik AHP untuk kriteria dan subkriteria tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.
Synthesis: Summary
Combined instance -- Synthesis with respect to: Goal: prioritas komoditas unggulan Overall Inconsistency = .01 .518 Padi Sawah Kacang Tanah .276 .207 Kedelai Gambar 19 Bobot prioritas komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur menggunakan pendekatan AHP Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa padi sawah merupakan komoditas yang menjadi urutan pertama untuk pemilihan prioritas pengembangan komoditas unggulan dengan bobot 0.518. Kacang tanah urutan kedua dengan bobot 0.276, sementara kedelai menjadi urutan ketiga dengan bobot 0.207. Nilai
59
inkonsistensinya adalah 0.01, hasil AHP ini sudah dapat digunakan karena telah memenuhi persyaratan inkonsistensi yang ditetapkan oleh Saaty (1980) yaitu tidak lebih dari 0.1. Jika dihubungkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Cianjur dan Universitas Padjajaran pada pada Tahun 2013, maka hasil persepsi pakar ini sudah sesuai dengan hasil penelitian tersebut seperti data pada Tabel 13. Tabel 13 Luas panen, B/C ratio dan pola tanam padi sawah, kacang tanah, dan kedelai di Kabupaten Cianjur Komoditas Unggulan Padi sawah Kacang tanah Kedelai
Luas Panen (ha)
B/C Ratio
Pola Tanam
160,339 12,621 5,202
2.12 1.88 0.73
Tanaman utama Tanaman utama Tanaman selingan
Sumber: Bappeda Kabupaten Cianjur Tahun 2013; data diolah
Tabel 13 menjelaskan perbandingan suatu komoditas antara padi sawah, kacang tanah dan kedelai dari sisi luas panen, keuntungan bagi petani (B/C rasio), dan pola tanam yang dilakukan oleh petani. Luas panen dapat memberi petunjuk keuntungan (land rent) dari pengelolaan suatu komoditas, dimana komoditas yang memiliki luas panen yang besar cenderung memberi keuntungan kepada petani lebih baik karena secara logika tidak mungkin petani bertahan dan mengusahakan suatu komoditas bila tidak mendapatkan keuntungan ekonomi. Kemudian dari sisi keuntungan yang diperoleh oleh petani dapat dilihat dari sisi B/C rasio, dimana semakin besar nilai rasio B/C maka semakin tinggi pula keuntungan yang diperoleh. Terakhir dari sisi pola tanam yang dilakukan oleh petani secara umum terbagi kepada 2 (dua) kelompok yaitu tanaman utama dan tanaman selingan. Tanaman utama biasanya adalah tanaman yang secara konsisten terus diusahakan oleh petani sepanjang tahun, sedangkan tanaman selingan adalah tanaman yang ditanam oleh petani disela-sela waktu menunggu masa penanaman tanaman utama dan jumlah serta ketersediaannya tidak dapat dipastikan (berubah-ubah). Komoditas padi sawah merupakan pilihan pertama bagi petani dalam melakukan usaha tani, sedangkan kacang tanah dan kedelai merupakan pilihan kedua dan ketiga bagi petani di kabupaten Cianjur. Kondisi ini sesuai dengan persepsi pakar AHP yang mengindikasikan bahwa padi sawah sebagai komoditas unggulan prioritas pertama, lalu kacang tanah, dan kedelai masing-masing menjadi prioritas kedua dan ketiga. Komponen data terakhir yang dibutuhkan dalam analisis MOLA adalah peta kesesuaian lahan dari masing-masing komoditas. Peta kesesuaian lahan ini didapat dari hasil tujuan penelitian yang kedua. Peta kesesuaian lahan yang akan digunakan harus mempertimbangkan aspek penggunaan lahan saat ini (current land use) dan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur terkait dengan penataan ruang (RTRW). Kelas kesesuaian lahan yang dipilih adalah yang masuk ke dalam Kelas S1, S2, S3 dan Kelas S3 potensial (N1 dengan faktor pembatas yang bisa diperbaiki). Kelas S3 potensial tetap dipilih karena luas lahan pada Ordo Sesuai (S) yang menurut penggunaan lahan saat ini bisa digunakan untuk lahan pertanian dan masuk ke dalam kawasan budidaya pertanian baru mencapai seluas 57,913 ha, sedangkan kebutuhan luas lahan seluruhnya lebih besar, yaitu 97,147 ha.
60
Konflik Kepentingan Penggunaan Lahan Pengalokasian suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu dengan menggunakan analisis Multi-Objective Land Allocation (MOLA) menjadi lebih mudah, hal ini mengacu pada studi yang dilakukan oleh Alexander et al (2012) terkait alokasi kebutuhan luas lahan untuk kawasan pemukiman, pertokoan, industri dan kawasan wisata (rekreasi). Konflik kepentingan dari empat tipe penggunaan lahan tersebut diselesaikan dengan menggunakan analisis MOLA, dengan cara memilih lokasi terbaik untuk dialokasikan bagi kawasan pemukiman, pertokoan, industri dan wisata. Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa analisis Multi-Objective Land Allocation (MOLA) diperlukan karena berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan, suatu lahan memiliki tingkat kesesuaian yang tidak jauh berbeda baik untuk padi sawah, kacang tanah, maupun kedelai, sehingga diperlukan suatu analisis yang lebih rinci dalam mengalokasi suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu. Berdasarkan hasil analisis konflik kepentingan penggunaan lahan antara padi sawah, kacang tanah, dan kedelai terdapat 19 titik unit lahan yang menjadi konflik kepentingan penggunaan lahan (Gambar 20).
Gambar 20 Konflik kepentingan penggunaan lahan antara padi sawah, kacang tanah dan kedelai Hal ini dikarenakan untuk masing-masing komoditas memiliki kesesuaian lahan yang sama, yaitu untuk padi sawah, kacang tanah dan kedelai, namun dengan tingkat kesesuaian lahan yang berbeda atau memiliki faktor pembatas yang berbeda.
61
Sebagai contoh area diberi warna biru yang terdapat di bagian Selatan. Lahan tersebut masuk ke dalam subkelas S3r untuk padi sawah dengan faktor pembatas media perakaran, untuk kacang tanah lahan tersebut masuk ke dalam subkelas S2r dengan faktor pembatas media perakaran, sedangkan untuk kedelai lahan tersebut masuk ke dalam subkelas S2twe dengan faktor pembatas temperatur, ketersediaan air (kelebihan) dan bahaya erosi. Kondisi tersebut memberi peluang dan kesempatan yang tidak terlalu berbeda bagi tanaman padi sawah, kacang tanah maupun kedelai untuk dikembangkan pada lahan tersebut, sehingga perlu dicari solusinya yaitu dengan memilih prioritas. Pemanfaatan lahan untuk keperluan budidaya pertanian selama ini menyerahkan sepenuhnya kepada petani atau masyarakat setempat. Hal ini bisa menyebabkan tingkat produksi kurang ideal, baik menjadi kekurangan ataupun berlebihan karena tidak memperhitungkan kebutuhan permintaan dari masingmasing komoditas tersebut. Oleh karena perlu dilakukan suatu arahan alokasi lahan yang tepat dan komprehensif berbasis pada tingkat kesesuaian lahan, tingkat kepentingan dan kebutuhan luas lahan. Secara konseptual alur analisis arahan alokasi penggunaan lahan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 21.
Peta Kesesuaian Lahan (S1, S2, S3 & N1)
+
Peta Penggunaan Lahan (Belukar/semak, Lahan terbuka, Kebun campuran, Rumput, Sawah irigasi, Sawah tadah hujan & Tegalan
+
Peta RTRW (Kawasan Budidaya pertanian)
Overlay Peta wilayah analisis
Ranking
Bobot prioritas
Pembobotan
Peta bobot wilayah
MOLA
Kebutuhan luas lahan
Peta arahan alokasi lahan MOLA
Gambar 21 Alur analisis arahan alokasi penggunaan lahan menggunakan MOLA Arahan alokasi lahan yang disusun ditujukan untuk tahun 2020, dengan asumsi bahwa pada tahun tersebut kondisi penggunaan lahan saat ini belum banyak
62
berubah secara signifikan dan dari sisi RTRW masih sesuai dengan perencanaan ruang yang berlaku sampai tahun 2031. Tipe land use yang dimungkinkan untuk digunakan sebagai lahan sawah adalah belukar/semak, lahan terbuka, rumput, sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Tipe land use yang dapat digunakan untuk lahan kacang tanah adalah belukar/semak, kebun campuran, lahan terbuka, rumput, sawah tadah hujan dan tegalan. Sementara itu tipe land use untuk kedelai adalah belukar/semak, kebun campuran, lahan terbuka, rumput, sawah tadah hujan, sawah irigasi dan tegalan. Dari sisi pola ruang (RTRW) seluruh lahan yang dialokasikan untuk ketiga komoditas tersebut harus berada di dalam kawasan budidaya pertanian. Untuk peta kesesuaian lahan aktual (padi sawah, kacang tanah, dan kedelai) yang dihasilkan dari analisis sebelumnya dipilih lahan yang termasuk ke dalam kelas S1, S2, S3, dan S3 potensial, sedangkan Kelas N2 tidak dimasukkan ke dalam lahan yang akan dianalisis. Pemilihan Kelas S1 hingga S3 (kesesuaian lahan aktual) dan S3 potensial tersebut disebabkan jika hanya mengambil Ordo Sesuai (S) saja hanya mencapai 57,913 ha (Tabel 14), sedangkan kebutuhan luas lahan sebesar 97,147 ha. Oleh karena itu perlu dimasukkan juga lahan pada Kelas N1 dengan faktor pembatas yang masih mudah untuk diatasi, sehingga menjadi lahan S3 potensial. Tabel 14 Distribusi kelas kesesuaian lahan komoditas unggulan berdasarkan jenis penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur Jenis Penggunaan Lahan Belukar/Semak Kebun Campuran Lahan Terbuka Rumput Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Tegalan Jumlah
Kesesuaian Lahan Kelas Kesesuaian Lahan Kelas S1, S1, S2 & S3 (ha) S2, S3 & S3 potensial (ha) 3,790 13,289 2,533 626 20,829 10,251 6,595 57,913
17,260 31,992 7,880 645 23,992 25,839 24,413 132,021
Sesuai dengan alur penelitian pada Gambar 21, maka wilayah-wilayah yang terpilih untuk kesesuaian lahannya selanjutnya di overlay dengan peta penggunaan lahan dan RTRW sehingga menghasilkan peta wilayah yang akan dianalisis. Masing-masing kelas tersebut diberi bobot berdasarkan tingkat kesesuaian lahan dan tipe penggunaan lahan. Semakin tinggi Kelas kesesuaiannya maka akan semakin besar bobot yang diberikan, semakin mudah tipe penggunaan lahan saat ini dikonversi menjadi lahan untuk masing-masing komoditas maka semakin besar bobot yang diberikan. Metode pembobotan ini dimaksudkan agar lahan yang paling sesuai untuk suatu komoditas, akan menjadi prioritas pertama dalam pengalokasian lahan bagi komoditas tersebut. Selain itu lahan yang paling mudah dikonversi penggunaannya untuk suatu komoditas juga akan menjadi prioritas pertama dalam pengalokasian lahan bagi komoditas tersebut. Pembobotan lahan untuk masingmasing komoditas dapat dilihat pada Tabel 15, 16, dan 17.
63
Tabel 15 Pembobotan kesesuaian lahan untuk padi sawah Penggunaan Lahan Subkelas Padisawah S3e potensial S1 S2re S3e S3r S3re S3tr S3tre
Belukar/ Semak
Kebun Campuran
Lahan Terbuka
Rumput
Sawah Irigasi
2 5 4 3 3 3 3 3
1 1 1 1 1 1 1 1
3 6 5 4 4 4 4 4
3 6 5 4 4 4 4 4
6 9 8 7 7 7 7 7
Sawah Tadah Hujan 3 6 5 4 4 4 4 4
Tegalan 1 1 1 1 1 1 1 1
Sawah irigasi eksisting diberi bobot yang besar 6-9 tujuannya agar dijadikan pilihan utama sebagai lahan yang akan dialokasikan untuk padi sawah. Sementara itu kebun campuran dan tegalan merupakan lahan-lahan yang paling sulit dikonversi menjadi padi sawah sehingga diberi bobot paling kecil. Dengan demikian berdasarkan jenis penggunaan lahan ini menjadi alternatif terakhir untuk dipilih sebagai lahan yang akan dialokasikan untuk padi sawah. Kemudian dari sisi tingkat kesesuaian lahan, kelas atau subkelas yang paling sesuai diberi bobot lebih besar sehingga kelas S1 memiliki bobot terbesar sedangkan Subkelas S3e potensial memperoleh bobot paling kecil. Tabel 16 Pembobotan kesesuaian lahan untuk kacang tanah Penggunaan Lahan Subkelas Kacangtanah S3e potensial S2e S2r S2twe S2we S3e S3re S3tw S3twe S3w S3we S3wre
Belukar/ Semak 2 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3
Kebun Lahan Campuran Terbuka 3 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 4
3 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 4
Rumput 3 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 4
Sawah Irigasi 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sawah Tadah Hujan 3 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 4
Tegalan 3 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 4
Aturan pembobotan berdasarkan tingkat kesesuaian lahan sama seperti padi sawah. Jenis penggunaan lahan saat ini (current land use) yang memiliki bobot paling besar untuk kacang tanah adalah tegalan, sawah tadah hujan, lahan terbuka, rumput dan kebun campuran. Sementara itu lahan yang memiliki bobot paling kecil adalah sawah irigasi. Berdasarkan tingkat kesesuaian lahan, maka lahan Subkelas
64
S2e merupakan lahan yang memiliki bobot paling besar, sedangkan lahan Subkelas S3e potensial adalah lahan yang memiliki bobot paling kecil. Tabel 17 Pembobotan kesesuaian lahan untuk kedelai Penggunaan Lahan Subkelas Kedelai S3e potensial S2e S2twe S2we S3re S3tw S3twe S3we S3wr S3wre
Belukar /Semak
Kebun Campuran
Lahan Terbuka
Rumput
Sawah Irigasi
2 4 4 4 3 3 3 3 3 3
3 5 5 5 4 4 4 4 4 4
3 5 5 5 4 4 4 4 4 4
3 5 5 5 4 4 4 4 4 4
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sawah Tadah Hujan 3 5 5 5 4 4 4 4 4 4
Tegalan 3 5 5 5 4 4 4 4 4 4
Prinsip pembobotan untuk kedelai sama dengan kacang tanah, sehingga lahan yang akan menjadi prioritas (bobot lebih besar) untuk dialokasikan adalah lahan dengan jenis penggunaan saat ini berupa tegalan, sawah tadah hujan, rumput, lahan terbuka, kebun campuran dan belukar/semak yang memiliki tingkat kesesuaian lahan lebih baik. Sementara itu lahan yang menjadi alternatif pilihan paling akhir adalah sawah irigasi. Berdasarkan tingkat kesesuaian lahan, maka lahan Subkelas S2e merupakan lahan yang memiliki bobot paling besar, sedangkan lahan Subkelas S3e potensial adalah lahan yang memiliki bobot paling kecil. Khusus untuk kedelai, pengalokasian lahannya disamping menggunakan analisis MOLA juga dapat dibuat berdasarkan prinsip pergiliran tanam dengan komoditas padi sawah, hal ini karena mempertimbangkan bahwa kedelai di Kabupaten Cianjur sebagian besar ditanam pada lahan basah atau lahan padi sawah. Tahap selanjutnya peta wilayah analisis yang telah diberi bobot tersebut di ranking berdasarkan bobotnya, bobot terbesar mendapat ranking terbaik dengan prinsip descending. Semakin besar bobotnya semakin kecil nilai rankingnya, ranking terbaik adalah lahan yang memiliki ranking terkecil (mendekati nol). Selanjutnya peta wilayah analisis yang telah diberi ranking tersebutlah akan digunakan dalam analisis MOLA. Setelah mendapatkan 3 (tiga) komponen data yang diperlukan untuk analisis alokasi lahan menggunakan MOLA yaitu: 1) Peta kesesuaian lahan padi sawah, kacang tanah dan kedelai; 2) Kebutuhan luas lahan padi sawah sebesar sebesar 58,566 ha, kacang tanah 24,161 ha, kedelai 14,420 ha; 3) Bobot prioritas padi sawah 0.518, kacang tanah 0.276 dan kedelai 0.207, maka analisis MOLA mengalokasikan lahan dengan cara memilih lahan dengan ranking terbaik untuk masing-masing komoditas (tujuan penggunaan lahan), jika suatu lahan memiliki nilai ranking yang sama terhadap padi sawah, kacang tanah atau kedelai maka MOLA akan mengalokasikan lahan tersebut untuk komoditas yang memiliki bobot prioritas lebih besar dan kebutuhan luas lahan yang lebih besar. Dengan demikian analisis MOLA memiliki keunggulan dalam mengalokasikan suatu lahan untuk sebuah tujuan penggunaan yaitu dengan
65
melakukan kompromi antar aspek kesesuaian lahan, kepentingan dan kebutuhan luas lahan sehingga dapat memberi arahan pemanfaatan suatu lahan secara lebih baik dan komprehensif. Kelebihan lain dari analisis MOLA adalah bisa dilakukan secara kuantitatif sehingga dapat menghindari subjektivitas dalam pemilihan lahan. Selain dengan menggunakan analisis MOLA, pengalokasian suatu lahan untuk berbagai tujuan penggunaannya dapat dilakukan secara lebih cepat dan biaya yang lebih sedikit. Alokasi Lahan untuk Padi Sawah, Kacang Tanah dan Kedelai di Kabupaten Cianjur Rencana alokasi penggunaan lahan berdasarkan analisis MOLA untuk padi sawah, kacang tanah, dan kedelai di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22 Arahan alokasi lahan untuk padi sawah, kacang tanah dan kedelai di Kabupaten Cianjur berdasarkan analisis MOLA Gambar 22 menjelaskan bahwa wilayah yang dialokasikan untuk pengembangan padi sawah sebagian besar berada Cianjur Utara, selain itu juga terdapat di bagian Tengah dan Selatan. Kacang tanah mayoritas dialokasikan di wilayah Cianjur Selatan, selain itu juga terdapat sedikit di wilayah Utara dan Tengah. Sementara itu kedelai dominan dialokasikan di wilayah Tengah Cianjur dan di wilayah Selatan Cianjur. Hasil analisis MOLA tersebut dapat diterapkan atau diimplementasikan dalam rencana penggunaan lahan untuk padi sawah, kacang
66
tanah, dan kedelai di Kabupaten Cianjur, karena telah mempertimbangkan tingkat kesesuaian lahan bagi ketiga komoditas tersebut, kondisi penggunaan lahan saat ini dan RTRW, sehingga secara teknis arahan alokasi ini sangat mungkin untuk diwujudkan. Distribusi alokasi lahan untuk komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur berdasarkan analisis MOLA dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Distribusi alokasi lahan untuk padi sawah, kacang tanah, dan kedelai berdasarkan analisis MOLA di Kabupaten Cianjur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Kecamatan Agrabinta Bojongpicung Campaka Campakamulya Cianjur Cibeber Cibinong Cidaun Cijati Cikadu Cikalongkulon Cilaku Cipanas Ciranjang Cugenang Gekbrong Haurwangi Kadupandak Karangtengah Leles Mande Naringgul Pacet Pagelaran Pasirkuda Sindangbarang Sukaluyu Sukanagara Sukaresmi Takokak Tanggeung Warungkondang Jumlah
Padi Sawah ha % 3,764 6.43 2,656 4.53 1,023 1.75 909 1.55 45 0.08 2,610 4.46 3,559 6.08 1,185 2.02 390 0.67 1,435 2.45 2,026 3.46 1,307 2.23 677 1.16 1,931 3.30 2,458 4.20 870 1.49 1,631 2.78 2,920 4.99 2,781 4.75 935 1.60 1,529 2.61 1,182 2.02 1,445 2.47 3,368 5.75 666 1.14 1,876 3.20 2,985 5.10 1,365 2.33 3,351 5.72 4,100 7.00 745 1.27 843 1.44 58,566 100
Keterangan: ( - ) lahan tidak dialokasikan
Komoditas Kacang Tanah Kedelai Grand Total ha % ha % 0.43 0.002 2,457 17.04 6,221 140 0.58 67 0.47 2,863 380 1.57 679 4.71 2,081 103 0.43 1,012 94 0.39 139 1,031 4.27 207 1.44 3,848 3,022 12.51 178 1.23 6,759 5,707 23.62 1,677 11.63 8,568 1,724 11.96 2,114 2,120 8.77 1 0.01 3,556 1,004 4.16 219 1.52 3,249 2 0.01 1,309 773 3.20 1,450 4 0.02 9 0.06 1,944 477 1.97 2,935 1,281 5.30 2,151 134 0.55 90 0.62 1,854 240 0.99 1,821 12.63 4,981 52 0.36 2,833 210 0.87 346 2.40 1,491 853 3.53 4 0.03 2,387 215 0.89 1,155 8.01 2,552 658 2.72 2,103 810 5.62 4,178 74 0.31 77 0.53 817 3,466 14.34 1,388 9.62 6,729 56 0.23 14 0.10 3,055 101 0.42 3 0.02 1,470 1,260 5.21 4,611 61 0.25 510 3.54 4,671 931 6.46 1,676 696 2.88 1,538 24,161 100 14,420 100 97,147
67
Melalui Tabel 18 dapat dijelaskan bahwa lahan untuk pengembangan padi sawah dialokasikan di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Cianjur, dengan konsentrasi paling luas adalah; di Kecamatan Takokak seluas 4,100 ha, Agrabinta seluas 3,764 ha, Cibinong seluas 3,559 ha, Pagelaran seluas 3,368 ha, Sukaresmi seluas 3,351 ha, Sukaluyu seluas 2,985 ha, Kadupandak seluas 2,920 ha, Karangtengah 2,781 ha, Bojongpicung 2,656 ha, Cibeber seluas 2,610 ha, Cugenang seluas 2,458 ha, Cikalongkulon seluas 2,026 ha, dan Ciranjang seluas 1,931 ha. Lahan untuk Kacang tanah dialokasikan di 28 Kecamatan, mayoritas adalah; di Kecamatan Cidaun seluas 5,707 ha, Sindangbarang seluas 3,466 ha, Cibinong seluas 3,022 ha, dan Sukaresmi seluas 1,260 ha. Sementara itu lahan untuk kedelai tersebar di 23 kecamatan yang sebagian besar dialokasikan di Kecamatan Agrabinta seluas 2,457 ha, Kadupandak seluas 1,821 ha, Cijati seluas 1,724 ha, Cidaun seluas 1,677 ha, Sindangbarang seluas 1,388 ha, dan Naringgul seluas 1,155 ha. Jika mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan lahan, maka lahan yang dialokasikan dengan luas kurang dari 1 ha dapat diabaikan, seperti lahan yang dialokasikan untuk kacang tanah di Kecamatan Agrabinta seluas 0.43 ha. Namun jika lahan dengan luas kurang dari 1 ha tidak digunakan maka terjadi kekurangan lahan untuk pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Cianjur. Hasil analisis arahan alokasi lahan menggunakan MOLA ini, secara prinsip sebagian besar tidak terlalu berbeda dengan kondisi penggunaan lahan saat ini. Perbandingan alokasi lahan berdasarkan analisis MOLA dengan alokasi lahan saat ini berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Perbandingan distribusi alokasi lahan saat ini dan alokasi lahan MOLA Kecamatan Agrabinta Bojongpicung Campaka Campakamulya Cianjur Cibeber Cibinong Cidaun Cijati Cikadu Cikalongkulon Cilaku Cipanas Ciranjang Cugenang Gekbrong Haurwangi Kadupandak
Luas lahan Tahun 2013 (ha) Padi Kacang Kedelai sawah Tanah 68 2,602 130 2,586 5 610 1,172 164 1,420 1,090 2,790 23 1,409 179 56 1,169 2,572 870 1,178 204 40 1,853 40 77 2,018 67 82 2,565 1 694 145 1,846 352 2,017 1,216 1,356 1,000 2,316 874 300
Alokasi lahan MOLA (ha) Padi Kacang Kedelai sawah Tanah 3,764 0.43 2,457 2,656 140 67 1,023 380 679 909 103 45 94 2,610 1,031 207 3,559 3,022 178 1,185 5,707 1,677 390 1,724 1,435 2,120 1 2,026 1,004 219 1,307 2 677 773 1,931 4 9 2,458 477 870 1,281 1,631 134 90 2,920 240 1,821
68
Karangtengah Leles Mande Naringgul Pacet Pagelaran Pasirkuda Sindangbarang Sukaluyu Sukanagara Sukaresmi Takokak Tanggeung Warungkondang Jumlah
1,954 131 1,092 2,096 453 2,872 979 125 2,638 510 2,460 1,347 242 1,860 46,973
Tabel 19 (Lanjutan) 76 2,781 186 4 1,459
520
-
-
29 61 4,030 5
14 15 170 825
-
-
5 15 183 5 12,713
20
635 1 6,487
935 1,529 1,182 1,445 3,368 666 1,876 2,985 1,365 3,351 4,100 745 843 58,566
210 853 215 658
74 3,466 56 101 1,260 61
52 346 4 1,155
810 77 1,388 14 3
-
-
510 931
696 24,161
14,420
-
Keterangan: ( - ) lahan tidak dialokasikan
Hasil perbandingan antara sebaran alokasi lahan saat ini dengan hasil analisis menggunakan MOLA menunjukkan bahwa, untuk padi sawah secara umum tidak banyak mengalami perbedaan. Penggunaan lahan untuk padi sawah saat ini tersebar di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Cianjur yaitu 32 kecamatan, sama dengan hasil analisis MOLA. Perbedaan yang signifikan dari sisi luas lahan terdapat di Kecamatan Agrabinta, yakni dari 68 ha berdasarkan data penggunaan lahan saat ini menjadi 3,764 ha berdasarkan hasil analisis MOLA, sedangkan di kecamatan lain penambahan atau pengurangan alokasi lahan tidak mengalami perbedaan secara signifikan. Jumlah total lahan padi sawah saat ini adalah sebesar 46,973 ha sedangkan berdasarkan analisis MOLA jumlah alokasi lahan sebesar 58,566 ha, hal ini disebabkan analisis MOLA memperhitungkan kebutuhan luas lahan untuk padi sawah pada tahun 2020. Sebaran lahan untuk kacang tanah saat ini terdapat di 23 kecamatan, sedangkan berdasarkan analisis MOLA tersebar di 28 kecamatan. Berdasarkan data penggunaan lahan saat ini, sebagian besar penggunaan lahan untuk kacang tanah adalah; di Kecamatan Sindangbarang seluas 4,030 ha, Agrabinta seluas 2,602 ha, Cidaun seluas 2,572 ha dan Naringgul 1,459 ha. Sementara itu berdasarkan hasil analisis MOLA, alokasi lahan untuk kacang tang sebagian besar tersebar di Kecamatan Cidaun seluas 5,707 ha, Sindangbarang seluas 3,466 ha, Cibinong seluas 3,022 ha, Cikadu seluas 2,120 ha, Gekbrong 1,281 ha, Cibeber 1,031 ha dan di Kecamatan Cikalongkulon seluas 1,004 ha. Sementara itu sebaran lahan untuk kedelai terjadi perbedaan yang signifikan, penggunaan lahan saat ini mayoritas terdapat di Cianjur Utara seperti di Kecamatan Haurwangi seluas 1,000 ha, Cilaku seluas 694 ha, Sukaluyu seluas 825 ha, dan Bojongpicung seluas 610 ha. Sementara itu berdasarkan analisis MOLA mengalami pengurangan luas lahan di setiap kecamatan tersebut, hal ini disebabkan karena kedelai di wilayah tersebut selama ini ditanam sebagai tanaman selingan dari padi sawah. Wilayah Cianjur Utara banyak terdapat lahan eksisting padi sawah irigasi, sehingga lahan di wilayah Cianjur Utara sebagian besar dialokasikan untuk padi sawah.
69
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka alokasi lahan untuk kedelai dapat pula disusun dengan menggabungkan hasil analisis MOLA dengan mekanisme penggunaan lahan saat ini untuk kedelai, yaitu dengan cara pergiliran tanam antara kedelai dengan padi sawah. Kedelai dan padi sawah ditanam pada lahan yang sama dengan indeks pertanaman (IP) 1 untuk kedelai dan 2 untuk padi sawah. Dengan demikian, akan terdapat lahan yang digunakan secara bersama dengan sistem pergiliran tanam antara kedelai dan padi sawah dan lahan yang dialokasikan khusus untuk masing-masing komoditas tersebut. Sementara itu alokasi lahan untuk komoditas kacang tanah tidak mengalami perubahan. Secara spasial alokasi lahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23 Alokasi lahan untuk komoditas unggulan berdasarkan analisis MOLA dan pergiliran tanam antara padi sawah dan kedelai Melalui Gambar 23 dapat dilihat bahwa lahan yang dialokasikan secara bersama untuk digunakan oleh padi sawah dan kedelai terdapat di wilayah Cianjur Utara. Wilayah tersebut berdasarkan data penggunaan lahan saat ini, merupakan lahan eksisting padi sawah yang digunakan secara bersama antara tanaman padi sawah dan kedelai dengan mekanisme pergiliran tanam. Padi sawah ditanam sebanyak dua kali dalam satu tahun, sedangkan kedelai ditanam sebanyak satu kali dalam satu tahun. Pengalokasian lahan untuk kedelai dengan cara seperti ini perlu dilakukan, karena produktivitas kedelai di lahan basah lebih baik daripada di lahan kering. Selain lahan di wilayah Cianjur Utara tersebut (berwarna hijau terang), lahan yang lain tetap dialokasikan khusus untuk masing-masing komoditas.
70
Sementara itu, alokasi lahan untuk kacang tanah tidak mengalami perubahan, sama dengan hasil analisis MOLA sebelumnya. Distribusi alokasi lahan untuk padi sawah, kacang tanah dan kedelai dengan cara menggabungkan hasil analisis MOLA dengan pola pergiliran tanam antara padi sawah dan kedelai di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Distribusi alokasi lahan untuk komoditas unggulan berdasarkan analisis MOLA dan pergiliran tanam antara padi sawah & kedelai di Kabupaten Cianjur Komoditas No
Kecamatan
Kacang Tanah
ha % Agrabinta 0.43 0.002 Bojongpicung 140 0.58 Campaka 380 1.57 Campakamulya 101 0.42 Cianjur 94 0.39 Cibeber 1,031 4.27 Cibinong 3,022 12.51 Cidaun 5,705 23.62 Cijati Cikadu 2,120 8.77 Cikalongkulon 1,004 4.16 Cilaku 2 0.01 Cipanas 773 3.20 Ciranjang 4 0.02 Cugenang 477 1.97 Gekbrong 1,280 5.30 Haurwangi 134 0.55 Kadupandak 240 0.99 Karangtengah Leles 210 0.87 Mande 853 3.53 Naringgul 215 0.89 Pacet 658 2.73 Pagelaran Pasirkuda 74 0.31 Sindangbarang 3,465 14.35 Sukaluyu 56 0.23 Sukanagara 101 0.42 Sukaresmi 1,260 5.22 Takokak 61 0.25 Tanggeung Warungkondang 696 2.88 Jumlah 24,156 100 Keterangan: ( - ) lahan tidak dialokasikan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Kedelai ha 2,457 678 178 1,677 1,724 1 1,821 346 4 1,155 810 77 1,388 3 510 931 13,761
% 17.85 4.93 1.29 12.18 12.53 0.01 13.23 2.51 0.03 8.39 5.89 0.56 10.09 0.02 3.71 6.77 100
Padi Sawah & Kedelai ha % ha % 3,764 9.90 0.00 2,723 12.83 1,023 2.69 908 2.39 45 0.21 2,817 13.28 3,559 9.37 1,184 3.12 390 1.03 1,435 3.78 2,244 10.57 1,307 6.16 677 1.78 1,940 9.14 2,458 6.47 869 4.10 1,631 4.29 90 0.42 2,920 7.69 2,833 13.35 935 2.46 1,529 4.02 1,182 3.11 1,445 3.80 3,368 8.86 666 1.75 1,875 4.93 2,999 14.13 1,365 3.59 3,351 15.79 4,097 10.78 745 1.96 843 2.22 38,000 100 21,218 100 Padi Sawah
71
Jika dibandingkan dengan Tabel 18, maka terjadi perubahan distribusi alokasi lahan untuk padi sawah dan kedelai, sedangkan untuk kacang tanah tidak terjadi perubahan alokasi lahan (Tabel 20). Lahan yang dialokasikan khusus untuk kedelai berkurang dari 14,420 ha menjadi 13,761 ha, sedangkan untuk padi sawah dari 58,566 ha menjadi 38,000 ha. Lahan yang dialokasikan untuk digunakan secara bersama antara kedelai dan padi sawah adalah seluas 21,218 ha. Dengan demikian baik kedelai dan padi sawah tidak mengalami kekurangan lahan, bahkan kedua komoditas ini mengalami penambahan lahan karena adanya penggabungan lahan yang bisa digunakan secara bersama antara kedelai dan padi sawah. Wilayah Prioritas Pengembangan Padi Sawah, Kacang Tanah dan Kedelai Hasil analisis arahan alokasi lahan menggunakan MOLA untuk padi sawah, kacang tanah dan kedelai selanjutnya dapat dibagi ke dalam wilayah berdasarkan skala prioritas untuk pengembangannya. Wilayah prioritas pengembangan dibagi ke dalam 3 kelompok yaitu wilayah prioritas I (satu), II (dua) dan tiga (III). Penentuan wilayah prioritas dibuat berdasarkan Bobot nilai tingkat kesesuaian lahan peta wilayah analisis yang telah disusun sebelumnya. Untuk padi sawah, lahan yang memiliki bobot 1 - 3 masuk ke dalam wilayah prioritas III, lahan yang memiliki bobot 4 - 6 masuk ke dalam wilayah prioritas II, sedangkan lahan yang memiliki bobot 7 - 9 masuk ke dalam wilayah prioritas I. Pembagian wilayah pengembangan untuk padi sawah berdasarkan skala prioritasnya dapat dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24 Wilayah prioritas pengembangan padi sawah
72
Wilayah prioritas I pengembangan padi sawah hampir seluruhnya berada di Cianjur Utara, selain itu juga terdapat di wilayah Cianjur Tengah dalam jumlah yang jauh lebih kecil. Wilayah prioritas II tersebar dalam jumlah yang lebih mulai dari Cianjur Utara sampai dengan Cianjur Selatan. Sementara wilayah prioritas III sebagian besar terdapat di Cianjur Tengah dan Selatan, namun sebagian kecil juga terdapat di Cianjur Utara. Sementara itu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Cianjur Nomor 520/Kep.240-Distan/2012, padi sawah diprioritaskan untuk dikembangkan di seluruh wilayah Kabupaten Cianjur kecuali di Kecamatan Cipanas dan Pacet. Sebaran wilayah pengembangan padi sawah berdasarkan skala prioritasnya dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Wilayah pengembangan padi sawah berdasarkan skala prioritas No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Kecamatan Agrabinta Bojongpicung Campaka Campakamulya Cianjur Cibeber Cibinong Cidaun Cijati Cikadu Cikalongkulon Cilaku Cipanas Ciranjang Cugenang Gekbrong Haurwangi Kadupandak Karangtengah Leles Mande Naringgul Pacet Pagelaran Pasirkuda Sindangbarang Sukaluyu Sukanagara Sukaresmi Takokak Tanggeung Warungkondang Jumlah
I ha 2,305 93 3 2,207 675 1,201 201 1,931 1,592 380 1,149 139 2,780 1,068 240 404 2,961 41 801 36 56 720 20,983
Keterangan: ( - ) lahan tidak dialokasikan
% 10.98 0.44 0.01 10.52 3.22 5.73 0.96 9.20 7.59 1.81 5.48 0.66 13.25 5.09 1.14 1.92 14.11 0.20 3.82 0.17 0.27 3.43 100
Wilayah Prioritas II ha % 13 0.27 35 0.73 63 1.32 0.46 0.01 3 0.07 161 3.37 449 9.40 249 5.21 0.43 0.01 275 5.76 588 12.30 96 2.00 51 1.07 331 6.92 88 1.85 40 0.83 484 10.12 0.24 0.01 18 0.37 93 1.94 302 6.32 139 2.90 557 11.65 52 1.08 165 3.44 20 0.41 0.19 0.00 259 5.41 165 3.45 51 1.07 33 0.69 4,779 100
III ha 3,750 316 867 908 39 242 3,110 936 389 1,160 763 10 425 1 536 401 442 2,297 1 917 369 880 1,067 2,407 614 1,711 4 1,324 2,291 3,898 637 90 32,803
% 11.43 0.96 2.64 2.77 0.12 0.74 9.48 2.85 1.19 3.54 2.33 0.03 1.30 0.00 1.63 1.22 1.35 7.00 0.00 2.80 1.13 2.68 3.25 7.34 1.87 5.22 0.01 4.04 6.98 11.88 1.94 0.27 100
73
Luas lahan untuk pengembangan padi sawah sebagian besar berada pada wilayah prioritas III yaitu seluas 32.803 ha, adapun wilayah prioritas I seluas 20.983 ha dan wilayah prioritas II seluas 4.779 ha. Wilayah pengembangan prioritas I mayoritas berada di 4 kecamatan yaitu di Kecamatan; Sukaluyu seluas 2,960 ha, lalu diikuti Karangtengah seluas 2,780 ha, Bojongpicung seluas 2,305 ha, dan Cibeber seluas 2,207 ha. Wilayah prioritas II terbesar di Kecamatan Cikalongkulon seluas 588 ha dan Pagelaran seluas 557 ha. Sementara itu wilayah pengembangan prioritas III terbesar ada di 6 (enam) kecamatan yaitu; Kecamatan Takokak seluas 3,898 ha, lalu diikuti Agrabinta seluas 3,750, Cibinong seluas 3,110 ha, Pagelaran seluas 2,407 ha, Kadupandak seluas 2,297 ha dan Sukaresmi seluas 2,291 ha. Untuk pembagian wilayah prioritas pengembangan kacang tanah secara spasial dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25 Wilayah prioritas pengembangan kacang tanah Secara spasial terlihat pembagian wilayah pengembangan kacang tanah berdasarkan tingkat prioritasnya didominasi oleh wilayah prioritas II dan I. Wilayah prioritas I mayoritas terdapat di bagian Selatan dari Kabupaten Cianjur. Sementara itu wilayah prioritas II tersebar mulai dari Cianjur bagian Utara sampai dengan Cianjur bagian Selatan. Sedangkan wilayah prioritas III hanya ada di Cianjur bagian Utara dalam jumlah yang sangat kecil. Hasil analisis MOLA untuk alokasi lahan kacang tanah, tidak jauh berbeda dengan data penggunaan lahan saat ini untuk kacang tanah, yakni saat ini kacang tanah mayoritas dikembangkan di wilayah
74
Cianjur bagian Selatan. Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Cianjur Nomor 520/Kep.240-Distan/2012, wilayah yang dijadikan kawasan pengembangan kacang tanah adalah: Kecamatan Tanggeung, Sindangbarang, Agrabinta, Cidaun, Naringgul, Leles dan Pasirkuda. Wilayah pengembangan tersebut, beberapa di antaranya berbeda dengan hasil alokasi lahan menggunakan analisis MOLA. Sebaran wilayah pengembangan kacang tanah berdasarkan skala prioritasnya dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Wilayah pengembangan kacang tanah berdasarkan skala prioritas Wilayah Prioritas No Kecamatan I II III ha % ha % ha % 1 Agrabinta 0.38 0.00 0.05 0.00 2 Bojongpicung 24 0.24 110 0.78 6 5.46 3 Campaka 11 0.11 369 2.59 4 Campakamulya 103 0.73 5 Cianjur 92 0.64 2 1.79 6 Cibeber 41 0.41 989 6.96 0.88 0.77 7 Cibinong 3,022 21.25 8 Cidaun 5,589 56.88 118 0.83 0.1 0.09 9 Cikadu 660 6.72 1,459 10.26 0.63 0.55 10 Cikalongkulon 6 0.06 988 6.95 10 9.10 11 Cilaku 2 0.01 0.14 0.12 12 Cipanas 757 5.32 16 14.26 13 Ciranjang 3 0.03 0.25 0.00 0.32 0.28 14 Cugenang 464 3.26 13 11.19 15 Gekbrong 1,271 8.94 10 8.71 16 Haurwangi 13 0.13 113 0.80 7 6.48 17 Kadupandak 240 1.69 0.01 0.01 18 Leles 210 1.47 19 Mande 10 0.10 834 5.86 10 8.44 20 Naringgul 57 0.58 157 1.11 21 Pacet 653 4.59 6 4.82 22 Pasirkuda 74 0.52 23 Sindangbarang 3,373 34 92 0.65 0.59 0.51 24 Sukaluyu 13 0.13 40 0.28 4 3.10 25 Sukanagara 101 0.71 0.14 0.12 26 Sukaresmi 25 0.25 1,215 8.54 20 17.55 27 Takokak 61 0.43 28 Warungkondang 688 4.84 8 6.65 Jumlah 9,826 100 14,220 100 115 100 Keterangan: ( - ) lahan tidak dialokasikan
Sebaran wilayah pengembangan kacang tanah sebagian besar didominasi oleh wilayah prioritas pengembangan II yaitu seluas 14,220 ha, lalu wilayah prioritas I seluas 9,826 ha dan terakhir wilayah prioritas III seluas 115 ha. Wilayah prioritas I sebagian besar terdapat di Kecamatan Cidaun dan Sindangbarang masing-masing seluas 5,589 ha dan 3,373 ha. Wilayah prioritas II sebagian besar terdapat di Kecamatan Cibinong seluas 3,022 ha, lalu diikuti Cikadu 1,459 ha, Gekbrong 1,271 ha dan Sukaresmi 1,215 ha. Sementara itu wilayah prioritas III terbesar ada di Kecamatan Sukaresmi seluas 20 ha. Untuk wilayah prioritas pengembangan kedelai
75
disusun selain berdasarkan bobot tingkat kesesuaian lahan juga berdasarkan pemilihan lahan yang dialokasikan untuk padi sawah dan eksisting sudah ditanami kedelai. Secara spasial wilayah prioritas pengembangan untuk kedelai dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26 Wilayah prioritas pengembangan kedelai Wilayah prioritas untuk pengembangan kedelai disusun berdasarkan pembobotan dalam analisis MOLA yang digabungkan dengan lokasi eksisting kedelai saat ini, yaitu yang terdapat pada lahan padi sawah. Wilayah prioritas pengembangan kedelai sebagian besar masuk ke dalam wilayah prioritas I dan wilayah prioritas II. Wilayah prioritas I umumnya berada di Cianjur bagian Utara, yang mana pada wilayah ini banyak terdapat land use eksisting berupa sawah irigasi. Wilayah prioritas I adalah wilayah yang berdasarkan hasil analisis MOLA dialokasikan untuk tanaman padi sawah, sedangkan pengembangan kedelai di Kabupaten Cianjur pada umumnya dilakukan di lahan padi sawah dengan sistem pergiliran tanam antara kedelai dengan padi sawah. Oleh karena itu, lahan padi sawah pada wilayah Cianjur Utara tersebut dapat dimanfaatkan sebagai lahan untuk pengembangan kedelai juga. Kedelai biasanya ditanam di sela waktu antara penanaman padi sawah yang pertama dengan yang kedua. Sejauh ini kedelai dominan dibudidayakan di wilayah Cianjur Utara yaitu; di Kecamatan Haurwangi, Sukaluyu, Ciranjang, dan Cilaku. Wilayah prioritas II dominan terdapat di bagian Tengah dan Selatan yaitu; di Kecamatan Agrabinta, daun, Cijati, Kadupandak,
76
Naringgul, dan Sindangbarang. Untuk wilayah prioritas III sebagian besar terdapat di bagian Tengah Cianjur, yaitu; di Kecamatan Takokak, Campaka, dan Cianjur. Sementara itu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Cianjur Nomor 520/Kep.240-Distan/2012, kedelai diprioritaskan untuk dikembangkan di Kecamatan Cilaku, Ciranjang, Sukaluyu, Bojongpicung, Karangtengah, Tanggeung, Haurwangi, Cidaun, dan Leles. Distribusi sebaran wilayah pengembangan untuk kedelai, berdasarkan skala prioritasnya dapat dilihat pada Tabel 23.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Tabel 23 Wilayah pengembangan kedelai berdasarkan skala prioritas Wilayah Prioritas Kecamatan I II III ha % ha % ha % Agrabinta 2,414 18.78 43 2.77 Bojongpicung 2,305 10.98 65 0.50 3 0.18 Campaka 93 0.44 0.00 679 43.29 Campakamulya Cianjur 3 0.01 Cibeber 2,207 10.52 207 13.23 Cibinong 172 1.34 6 0.38 Cidaun 1,668 12.97 9 0.57 Cijati 1,699 13.22 25 1.61 Cikadu 1 0.01 0 0.01 Cikalongkulon 675 3.22 207 1.61 11 0.72 Cilaku 1,201 5.73 Cipanas 201 0.96 Ciranjang 1,931 9.20 8 0.06 1 0.05 Cugenang 1,592 7.59 Gekbrong 380 1.81 Haurwangi 1,149 5.48 85 0.66 4 0.28 Kadupandak 139 0.66 1,781 13.86 39 2.51 Karangtengah 2,780 13.25 50 0.39 2 0.16 Leles 336 2.61 10 0.66 Mande 1,068 5.09 4 0.03 0 0.02 Naringgul 1,142 8.89 13 0.81 Pacet 240 1.14 Pagelaran 404 1.92 790 6.15 20 1.28 Pasirkuda 74 0.58 3 0.17 Sindangbarang 1,375 10.70 13 0.83 Sukaluyu 2,961 14.11 13 0.10 1 0.08 Sukanagara 41 0.20 3 0.02 0.32 0.02 Sukaresmi 801 3.82 Takokak 36 0.17 63 0.49 448 28.57 Tanggeung 56 0.27 903 7.02 28 1.79 Warungkondang 720 3.43 Jumlah 20,983 100 12,853 100 1,567 100
Keterangan: ( - ) lahan tidak dialokasikan
77
Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat sebaran wilayah prioritas pengembangan untuk kedelai, yang sebagian besar didominasi oleh wilayah prioritas I yaitu seluas 20,983 ha, lalu wilayah prioritas II sebesar 12,853 ha, dan wilayah prioritas III seluas 1,567 ha. Wilayah prioritas I mayoritas terdapat di 9 (sembilan) kecamatan yaitu; di Kecamatan Bojongpicung seluas 2,305 ha, Cibeber seluas 2,207 ha, Cilaku seluas 1,201 ha, Ciranjang seluas 1,931 ha, Cugenang seluas 1,592 ha, Haurwangi seluas 1,149 ha, Karangtengah 2,780 ha, Mande seluas 1,068 ha, dan Sukaluyu seluas 2,961 ha. Wilayah prioritas II dominan terdapat; di Kecamatan Agrabinta seluas 2,414 ha, Cidaun seluas 1,668 ha, Cijati seluas 1,699 ha, Kadupandak 1,781 ha, Naringgul 1,142 ha, dan Sindangbarang 1,375 ha. Sementara itu wilayah prioritas III mayoritas terdapat di Kecamatan Campaka seluas 679 ha, Cibeber seluas 207 ha, dan di Kecamatan Takokak seluas 448 ha.
78
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
Sektor basis dalam perekonomian daerah Kabupaten Cianjur adalah pertanian, sedangkan subsektor basisnya adalah tanaman bahan makanan. Sementara itu komoditas unggulannya adalah padi, kacang tanah dan kedelai. Oleh karena itu pengembangan wilayah hendaknya memberi fokus pada sektor pertanian terutama subsektor tanaman bahan makanan dengan komoditas yang mendapat prioritas lebih adalah padi sawah, kacang tanah dan kedelai. Hasil evaluasi kesesuaian lahan di Kabupaten Cianjur menunjukkan bahwa lahan yang sesuai baik untuk padi sawah, kacang tanah, maupun kedelai adalah sebesar 112,478 ha. Untuk padi sawah lahan yang sesuai terdiri dari Kelas S1 seluas 155 ha, Kelas S2 seluas 12,272 ha, dan Kelas S3 seluas 100,051 ha. Untuk kacang tanah lahan yang sesuai terdiri dari Kelas S2 seluas 31,883 ha, dan Kelas S3 seluas 80,595 ha. Sementara itu untuk kedelai lahan yang sesuai terbagi atas Kelas S2 seluas 66,622 ha, dan Kelas S3 seluas 45,856 ha. Lahan yang tidak sesuai untuk ketiga komoditas unggulan tersebut adalah sebesar 238,400 ha. Jika dilihat dari sisi faktor pembatas lahan yang ada, maka pengembangan padi sawah memiliki potensi lebih baik karena lahan yang memiliki faktor pembatas yang tidak dapat diatasi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lahan untuk kacang tanah dan kedelai. Analisis Multi-Objective Land Allocation (MOLA), menunjukkan bahwa lahan yang dialokasikan untuk padi sawah tersebar di seluruh kecamatan (32 kecamatan) umumnya berada di Kecamatan; Agrabinta, Bojongpicung, Cibeber, Cibinong, Cikalongkulon, Ciranjang, Cugenang, Kadupandak, Karangtengah, Pagelaran, Sukaluyu, Sukaresmi, dan Takokak dengan luas lahan seluruhnya 38,508 ha. Untuk kacang tanah dialokasikan di 28 kecamatan, sebagian besar terdapat di Kecamatan; Cibinong, Cidaun, Sindangbarang, dan Sukaresmi dengan jumlah seluas 13,455 ha. Sementara itu, untuk kedelai dialokasikan di 23 kecamatan, mayoritas terdapat di Kecamatan; Agrabinta, Cidaun, Cijati, Kadupandak, Naringgul, dan Sindangbarang seluas 10,222 ha. Saran
1. 2.
Penelitian dengan tema seperti ini akan memberikan hasil lebih baik lagi bila ditunjang dengan data-data yang lebih detil. Analisis perubahan penggunaan lahan dapat dilakukan untuk memberi hasil lebih baik lagi terkait dengan proyeksi kebutuhan lahan pada Tahun 2020.
79
DAFTAR PUSTAKA [FAO] Food and Agriculture Organization. 1976. A Framework For Land Evaluation. Soil Resources Management And Conservation Service Land And Water Development Devision. FAO Soil Bulletin No. 32. Italy (IT): FAO-UN. [Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri. 2014. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan Daerah. Jakarta (ID): Kemendagri. [Puslittanak] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2011. Peta Sumberdaya Tanah Pulau Jawa dan Madura. Bogor (ID): Puslittanak. [RI] Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): RI. Adisasmita R. 2008. Pengembangan Wilayah. Konsep dan Teori. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Akinci A, Ozalp AY, Turgut B. 2013. Agricultural Land Use Suitability Analysis Using GIS And AHP Technique. Computers and Electronics in Agriculture. 97: 71-82 Alexander KW, Benjamin M, Grephas OP. 2012. Urban Landuse Suitability Assessment Using Geoinformation Techniques For Kisumu Municipality In Kenya. International Journal of Research and Reviews in Applied Science. 13(2): 522-530. Andrikopoulos A, Brox J, Carvalho E. 1990. Shift-Share Analysis and The Potential for Predicting Regional Growth Patterns: Some Evidence for The Region of Quebec. Quebec (GD). Anwar A, Rustiadi E. 2000. Masalah Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Kebijaksanaan Ekonomi Bagi Pengendalian Terhadap Kerusakannya. Lokakarya Nasional Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pengelolaan Sumberdaya Alam; 2000 Okt 17; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): PEMDBappenas. Arief D. 2004. Keunggulan Daya Saing dan Teknik Identifikasi Komoditas Unggulan dalam Mengembangkan Potensi Ekonomi Regional. AGRIMEDIA. 9(2): 51-62. Arsyad L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta (ID): BPFE Yogyakarta. Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah & Air. Ed ke-2. Bogor (ID). IPB Pr. Bachrein, S. 2003. Penetapan Komoditas Unggulan Provinsi. Working Paper. Bogor (ID): Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. hlm 117. Baehaqi A. 2010. Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan di Kabupaten Lampung Tengah [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Barff RA, Knight PL. 1988. The Role Of Federal Military Spending in The Timing of The New England Employment Turnaround. Papers of the Regional Science Association. 65:151–166. Barus B, Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografi Sarana Manajemen Sumberdayai. Bogor (ID): Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB.
80
Billings SB, Johnson EB. 2012. The Location Quotient As An Estimator Of Industrial Concentration. Journal Regional Science and Urban Economics. 42: 642–647. Burrough PA, McDonnel RA. 1998. Principles of Geographical Information Systems. Oxford (UK): Oxford University Pr. Chen W, Xu J. 2007. An Application Of Shift-Share Model To Economic Analysis Of County. World Journal of Modelling and Simulation. 3 (2): 90-99. Claster SD. A Theoretical Context for Shift and Share Analysis. Regional Studies. 23: 43–48. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2012. Laporan Akhir Tahunan. Cianjur (ID): Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Cianjur. Dinc M, Haynes K. 1999. Sources of Regional inefficiency: An easures. Land Economics 50(3): 297-301 Dinc M, Haynes K. 1998. A Comparative Evaluation of Shift-Share Models and Their Extensions. Australasian Journal of Regional Studies. 4: 275–299. Djaenudin D, Marwan H, Subagjo H dan A. Hidayat. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor (ID): Badan Litbang Pertanian. Djaenudin D, Sulaeman Y, Abdurachman A. 2002. Pendekatan Pewilayahan Komoditas Pertanian Menurut Pedo-Agroklimat di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 21(1):1-10. Djakapermana RD. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Pr. Elaalem, M. 2013. A Comparison of Parametric and Fuzzy Multi-Criteria Methods for Evaluating Land Suitability for Olive in Jeffara Plain of Libya. AsiaPacific Chemical, Biological & Environmental Engineering Society. 5:405–409. Galambos E, Schreiber A. 1991. An Evaluation of The Economic Impact of The Sematech Research . Journal Geographical Review. 51(4): 593-594. Hajehforooshnia S, Soffianian A, Mahiny AS, Fakheran S. 2011. Multi Objective Land Allocation (MOLA) for Zoning Ghamishloo Wildlife Sanctuary in Iran. Journal for Nature Conservation. 19:254-262. Hall P, Jones MT. 2011. Urban and Regional Planning. New York (US): Routledge Taylor & Francis Group. Happy A. 2009. Peran dan Identifikasi Komoditas Pertanian Unggulan di Kabupaten Wonogiri. Jurnal Embryo. 6(2): 126-132. Hardison. 2003. Analisis Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan di Kabupaten Siak Propinsi Riau [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Pr. Harrison B, Kuluver J. 1989. Reassessing The Massachusettes Miracle. Environment and Planing. 21: 771–801. Hendayana, R. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) Dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian. 12(2):1-21. Hirschman A. 1958. The Strategy of Economic Development. Yale (US): Yale University Pr.
81
Huff D, Sherr L. 1967. Measure for Determing Differential Growth Rates of Markets. Journal of Market Geography. 4: 391–395. Isserman, Andrew M. 1977. The Location Quotient Approach for Estimating Regional Economic Impacts. Journal of American Institute of Planners. 43(1): 33-41. Kamkar B, Dorri MA, Silva JAT. 2014. Assessment Of Land Suitability And The Possibility And Performance Of A Canola (Brassica Napus L.) – Soybean (Glycine max L.) Rotation In Four Basins Of Golestan Province, Iran. The Egyptian Journal Of Remote Sensing And Space Sciences. 17:95-104. Kiser D. 1992. A Location Quotient and Shift Share Analysis of Regional Economies in Texas. [Tesis]. Texas (US): Department of Political Science Texas State University. Lailia FN, Santosos EB. 2014. Penentuan Kawasan Agroindustri Berbasis Komoditas Unggulan Sektor Pertanian di Kabupaten Probolinggo. Jurnal Publikasi Ilmiah Online Mahasiswa ITS. 3(2):142 – 147. Markusen A, CarlsonV. Deindustrialization in The American Midwest: Causes and Reponses. Boston (US). Miller MM, Gibson JL, Wright GN. 1991. Location Quotient Basic Tool for Economic Development Analysis. Journal Economic Development Review. 9(2): 65-73. Morrissey K. 2014. Producing Regional Production Multipliers for Irish Marine Sector Policy: A Location Quotient Approach. Journal Ocean & Coastal Management. 91: 58-64. Mwasi B. 2001. Land Use Conflicts Resolution in A Fragile Ecosystem Using Multi-Criteria Evaluation (MCE) And A Gis-Based Decision Support System (DSS). International Conference on Spatial Information for Sustainable Development; 2001 Oct 2-5; Nairobi, Kenya. Nairobi (KE): University School Of Environmental Studies Pr. pp. 1-11 Myrdal G. 1957. Economic Theory and Underdeveloped Regions. London (UK): Duckworth. Plane DA, Rogerson P. 1989. U.S Migration Pattern Responses to The Oil Glut and Recession of The Early 1980s: An Application of Shift-Share and Causative Matrix Techniques. Advances in Regional Demography. London (UK). Belhaven Pr Quintero, JP. 2007. Regional Economic Development: An Economic Base Study And Shift-Share Analysis Of Hays County, Texas. An Applied Research Project. [Tesis]. Texas (US): Department of Political Science Texas State University. Rachmawati N. 2014. Arahan Pengembangan Wilayah Berbasis Budidaya Lebah Madu di Kabupaten Cianjur [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Richardson HW. 1997. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional. Terjemahan Oleh Paul Sihotang. Fakultas Ekonomi. Jakarta (ID): Indonesia Univ Pr. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Saaty TL. 1980. The Analytic Hierarchy Process: Planning, Priority Resource Allocation. New York (US): Mc Graw-Hill.
82
Sari DR. 2008. Pemodelan Multi-Kriteria untuk Pengembangan Wilayah Berbasis Komoditas Unggulan di Kabupaten Lampung Timur [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Setiawan I. 2010. Arahan Pengembangan Sektor Pertanian Kabupaten Sumbawa Berbasis Komoditas Unggulan Daerah [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sinukaban N. 1986. Dasar-Dasar Konservasi Tanah Dan Perencanaan Pertanian Konservasi. Bogor (ID): Jurusan Tanah IPB. Sitorus, SRP. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung (ID): Tarsito. Sitorus, SRP. 2013. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Kuliah Umum Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Bogor (ID): Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat. LP3ES. 3:57-60. Sumarlin, Baliwati YF, Rustiadi E. 2008. Analisis Kebutuhan Luas Lahan Basah Pertanian Pangan Dalam Pemenuhan Kebutuhan Pangan Penduduk Kabupaten Lampung Barat. Jurnal Gizi dan Pangan. 3(3):198-204. Tarigan, R M.R.P. 2012. Ekonomi Regional. Teori dan Aplikasi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Walke N, Reddy GPO, Maji AK, Thayalan S. 2012. GIS-Based Multicriteria Overlay Analysis in Soil-Suitability Evaluation for Cotton (Gossypium Spp.): A Case Study in The Black Soil Region of Central India. Journal Computers & Geosciences. 41: 108-118. Wischmeier WH, Smith DD. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. Agric Handb.527. Agriculture Research Service. Washington DC (US).
83
Lampiran 1 Distribusi luas penggunaan lahan di Kabupaten Cianjur Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
Belukar/Semak Hutan Kebun Kebun Campuran Lahan Terbuka Pasir Pemukiman Rumput Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Tegalan Tubuh Air Jumlah
43,840 72,384 62,261 44,834 10,908 796 12,718 870 32,610 33,606 36,054 11,066 361,944
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Cianjur (2012); data diolah
84
Lampiran 2 Distribusi luas Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cianjur Kawasan Budidaya Kehutanan Budidaya Non Pertanian Budidaya Pertanian Kaw. Lindung Geologi Kaw. Per. Kaw. Bawahannya Kaw. Perlindungan Setempat Kaw. SA, CA, CB Lindung Non Hutan Jumlah
Luas (Ha) 50,997 20,702 218,167 4,731 25,863 8,327 20,932 12,226 361,944
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Cianjur (2012); data diolah
85
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kampung Cot, Kabupaten Aceh Barat pada tanggal 12 Agustus 1980 dari pasangan orang tua Bapak Adnan Muhammad (Alm) dan Ibu Mirdas. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar hingga menengah atas penulis tempuh di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Tahun 1998 penulis lulus dari SMUN 1 Meulaboh dan kemudian melanjutkan pendidikan sarjana ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di Jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan dan menyelesaikan studi jenjang sarjana pada tahun 2005. Selama menjadi mahasiswa S1 penulis aktif menjadi pengurus di berbagai organisasi baik di dalam maupun di luar kampus. Sejak pertengahan Tahun 2005 sampai dengan awal Tahun 2009 penulis bekerja di dua perusahaan swasta nasional, kemudian pada Tahun 2009 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Aceh Barat. Pada Tahun 2013 penulis mendapat beasiswa S2 dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas) dan diterima di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB. Karya ilmiah penulis yang berjudul “Analisis Kesesuaian Lahan Komoditas Unggulan dan Arahan Pengembangannya di Wilayah Kabupaten Cianjur” akan diterbitkan di Jurnal Tataloka pada volume 17 No. 2 Mei Tahun 2015.