RENCANA AKSI KEGIATAN TAHUN 2015-2019 DIREKTORAT BINA KESEHATAN JIWA
DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHAYAN JAKARTA
1
KATA PENGANTAR Dengan mengucap Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan YME, buku Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Tahun 2015-2019 ini dapat disusun untuk menjadi pedoman bersama dalam mewujudkan outcome Direktorat Bina Kesehatan Jiwa. Buku ini memuat tujuan, sasaran, arah kebijakan, stretegi, indikator, dan target Direktorat Bina Kesehatan JIwa selama lima tahun mendatang (2015-2019) yang harus dijadikan acuan bagi setiap pemangku kegiatan Direktorat Bina Kesehatan JIwa . Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Bina Kesehatan JIwa akan memberikan panduan dalam penyusunan rencana kerja tahunan masing-masing Sub Direktorat Bina Kesehatan Jiwa sekaligus menjadi salah satu dokumen sumber dalam pelaksanaan penilaian Akuntabilitas Kinerja . Kami meyakini, bahwa Rencana Aksi Kegiatan ini belum sempurna dan terus akan di-up date untuk mengakomodir perkembangan kondisi internal dan eksternal pembangunan kesehatan di bidang Kesehatan jiwa dan Napza. Oleh karena itu, masukan dari semua pihak untuk perbaikannya sangat dibutuhkan. Kepada seluruh penyusun buku ini, kami mengucapkan terima kasih atas segala upayanya. Semoga Rencana Aksi Kegiatan ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Jakarta, 24 November 2014 Direktur Bina Kesehatan Jiwa,
dr. Eka Viora,SpKJ NIP. 195806301987092001
2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pembangunan
kesehatan
diselenggarakan
secara
bertahap
dan
berkesinambungan yang mengacu pada arah dan kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (2004-2025) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang disusun dalam 5 tahunan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2006 tentang tata cara menyusun rencana pembangunan nasional, perlu memperhatikan beberapa hal antara lain sasaran program prioritas presiden, konsistensi kebijakan dan program pemerintah dengan yang tertuang dalam RPJMN, sinergisitas output dan outcome program dengan dokumen RPJMN, serta sumberdaya yang layak menurut kerangka ekonomi makro dalam dokumen RPJMN. Dalam bidang kesehatan, Kepmenkes No. 375/MENKES/SK/V/2009 telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025 yang menjadi acuan dalam penyusunan perencanaan jangka menengah (lima tahunan). Kesehatan Jiwa merupakan amanah dari Undang-Undang No.18
Tahun
2014 Tentang Kesehatan Jiwa. Pasal 1 menyatakan bahwa Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan/stress, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kesehatan jiwa dipandang penting karena permasalahan kesehatan jiwa sangat besar dan menimbulkan beban pembangunan yang signifikan. Jika permasalahan kesehatan jiwa tidak ditanggulangi akan menurunkan status kesehatan fisik, menurunkan produktivitas kerja dan kualitas sumber daya manusia, sehingga menimbulkan disharmoni keluarga,
permasalahan
psikososial dan menghambat pembangunan bangsa. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya dalam bidang kesehatan jiwa yang meliputi: promotif,
preventif,
kuratif
dan
rehabilitatif
secara
terintegrasi
komprehensif dan berkesinambungan sepanjang siklus kehidupan manusia. Upaya tersebut dilaksanakan di lingkungan keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan,
fasilitas
pelayanan,
lembaga
keagamaan,
lembaga
pemasyarakatan serta melibatkan berbagai sumber daya yang ada di masyarakat. 3
Maka untuk mendukung dan memandu implementasi program kesehatan jiwa di tingkat nasional dan daerah perlu disusun Rencana
Aksi Kegiatan
Direktorat BIna Kesehatan Jiwa 2015 – 2019 yang merupakan perumusan mengenai kesehatan jiwa untuk mengimplementasikan aksi-aksi
kegiatan
dalam mendukung promosi kesehatan jiwa, prevensi terhadap gangguan jiwa, serta kurasi dan rehabilitasi. Sesuai
dengan
Peraturan
Menteri
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 5 tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan dan Penelaahan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra K/L) Tahun 2015-2019, dokumen Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Bina
Kesehatan Jiwa 2015-2019 merupakan
penjabaran visi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dilengkapi dengan rencana sasaran nasional bidang kesehatan yang hendak dicapai dalam rangka mencapai sasaran program prioritas presiden. Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Bina Kesehatan Jiwa tahun 2015-2019 terkait dengan RPJMN, karena penyusunannya berpedoman pada RPJMN dan visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatannya merupakan penjabaran RPJMN,
juga terkait dengan visi dan misi presiden, karena
penyusunannya memperhatikan pula kesesuaiannya dengan visi dan misi (platform) presiden terpilih. Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Bina Kesehatan Jiwa tahun 2015-2019 memuat tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan kesehatan jiwa sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
B. Kondisi Umum, Pontensi dan Permasalahan Prevalensi gangguan jiwa di Indonesia, berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, didapatkan angka yang cukup signifikan. Prevalensi gangguan mental emosional (gejala-gejala depresi dan ansietas), sebesar 6% untuk penduduk berusia 15 tahun ke atas. Hal ini berarti lebih dari 14 juta jiwa penduduk Indonesia menderita gangguan mental emosional. Sedangkan untuk gangguan jiwa berat seperti gangguan psikosis, prevalensinya adalah 1,7 per 1000 penduduk. Dengan jumlah penduduk
4
kurang lebih 240 juta jiwa pada tahun 2013, maka diperkirakan terdapat lebih dari 400.000 orang menderita gangguan jiwa berat (psikosis).
Data pengguna Napza juga tidak kalah penting dalam mempengaruhi besarnya masalah kesehatan jiwa di Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional tahun 2011, dalam 1 (satu) tahun terakhir terdapat kurang lebih 2,2% dari penduduk menggunakan napza. Hal ini berarti ada sekitar 3,8 juta jiwa pengguna Napza di Indonesia, dengan 1,8 juta diantaranya merupakan pengguna reguler. Gangguan jiwa dan Penyalahgunaan Napza juga berkaitan dengan masalah perilaku yang membahayakan diri, seperti bunuh diri. Bunuh diri bisa
5
terjadi pada gangguan depresi, gangguan psikotik atau gangguan jiwa yang lain. Berdasarkan laporan dari Mabes Polri pada tahun 2012 ditemukan bahwa angka bunuh diri sekitar 0.5 % dari 100.000 populasi, yang berarti ada sekitar 1.170 kasus bunuh diri yang dilaporkan dalam satu tahun. Masalah lain yang juga tidak kalah penting adalah pemasungan. Data yang dihimpun dalam Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyebutkan bahwa angka pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa berat
(Psikotk)
adalah sebesar 14,3% atau sekitar 57.000 kasus gangguan jiwa yang mengalami pemasungan.
Sementara itu kesenjangan pengobatan (treatment gap) terhadap gangguan jiwa di Indonesiapun mencapai lebih dari 90%. Hal ini berarti bahwa hanya sekitar 10% orang dengan gangguan jiwa yang mendapatkan layanan kesehatan jiwa. Tuntutan internasional baik global maupun regional juga semakin kuat terutama dalam menurunkan kesenjangan pengobatan gangguan jiwa, penyediaan layanan kesehatan jiwa yang komprehensif dan kontinyu, peningkatan upaya kesehatan jiwa melalui pemberdayaan masyarakat, serta penyediaan data dalam rangka penyusunan kebijakan dan strategi kesehatan jiwa di tiap-tiap Negara. Hal ini antara lain tersebut dalam Resolusi WHO (World Health Assembly
65.4 tahun 2012), WHO Global
Mental Health Action Plan 2013 – 2020, serta target dan indikator kinerja ASEAN melalui ASEAN Mental Health Taskforce. Selain itu kesehatan jiwa saat ini telah menjadi fokus perhatian Asia-Pacific Economic Cooperation
6
(APEC) akibat beban ekonomi yang ditimbulkannya. World Health Organization (WHO) mengestimasikan depresi sebagai penyebab beban akibat penyakit no.2 terbesar pada tahun 2020, dan menjadi no.1 pada tahun 2030 berdasarkan DALY’s (Global Burden of Disease, 2004). Tingginya angka komordibitas gangguan jiwa pada penderita gangguan medik umum juga merupakan suatu masalah. Pada pasien-pasien yang sedang dalam pengobatan medis ditemukan 25% diantaranya mengalami depresi dengan berbagai variasinya. Prevelensi depresi tinggi pada penyakit-penyakit kronis seperti penyakit arteri koroner (18-23%), infark miokard 25%, stroke 37,8%, diabetes militus 9-27%, penyakit Parkinson 251%, HIV-AIDS 4-18%, kanker 6-25 % dan epilepsy 40-60%. (Januzi ZL) . Terdapat hubungan yang bermakna antara depresi dengan penyakit kronis (jantung, asma, artritis) di masyarakat, dan penyakit jantung memiliki hubungan yang terkuat (Idaiani S., Bisara D., 2009 – berdasarkan data Surkesnas). Jumlah layanan kesehatan jiwa di Indonesia yang terbatas, distribusi tidak merata dan kualitas yang bervariasi. Saat ini fasilitas pelayanan kesehatan yang member pelayanan kesehatan dalam bidang keswa Terdiri dari: 50 RSJ dan 1 RSKO yang terdapat di 26 dari 34 provinsi di Indonesia (8 provinsi tanpa RSJ), 151 dari 445 RSU dengan layanan jiwa atau berjumlah 33 % RSU, dan 1934 (21,47%) dari 9005 puskesmas yang melayani kesehatan jiwa. B. POTENSI DAN TANTANGAN Undang-Undang No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mengatur tentang tugas, tanggung jawab dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah pada pasal 75 menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki tugas, dan tanggung jawab terhadap penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa. Hal ini menjadi potensi utama dalam pengembangan upaya kesehatan jiwa. Potensi yang dimiliki saat ini dalam pengembangan upaya kesehatan jiwa adalah: a. Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat, ketersediaan tenaga kesehatan puskesmas yang terlatih kesehatan jiwa merupakan kekuatan yang cukup besar. Diharapkan dengan adanya
pelatihan
tersebut
dapat
meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan tenaga kesehatan dalam menangani masalah kesehatan jiwa, 7
sehingga pasien dengan gangguan jiwa bisa mendapatkan pelayanan yang berkualitas dengan akses yang lebih mudah, meningkatkan jejaring dan sistem rujukan secara berjenjang. b. Upaya kesehatan jiwa saat ini juga mulai didukung oleh multidisiplin, tidak hanya dari disiplin ilmu kesehatan jiwa saja. Hal ini merupakan bukti semakin meningkatnya pemahaman akan pentingnya kesehatan jiwa. Dukungan organisasi profesi juga merupakan modal yang sangat penting dalam pelaksanaan upaya kesehatan jiwa di masyarakat. Di beberapa daerah di Indonesia saat ini telah tersedia layanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat dasar. Hal ini merupakan perkembangan yang penting dalam meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat, dan merupakan bukti meningkatnya pemahaman lintas program akan pentingnya kesehatan jiwa. Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat dasar juga merupakan tempat pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS. Dalam peningkatan pelayanan kesehatan jiwa, kerjasama ini sangat membantu dalam peningkatan cakupan pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat, meningkatkan kerjasama dalam sistem rujukan dan rujukan balik untuk pasien gangguan jiwa, sehingga pasien gangguan jiwa peserta JKN bisa mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa yang lebih luas dan mudah dijangkau. c. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan Rumah Sakit Rujukan Regional. Pembangunan dan penyediaan Rumah Sakit Rujukan Regional berarti menyediakan sumber daya manusia yang kompeten dalam bidang kesehatan jiwa dan penyediaan sarana dan prasarana perawatan kesehatan jiwa. Hal ini berdampak terhadap meluasnya cakupan pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat. d. Dalam aspek pembiayaan kesehatan jiwa, potensi yang dimiliki adalah adanya dukungan pemerintah untuk menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam layanan kesehatan termasuk kesehatan jiwa dalam mencapai Universal Coverage pada tahun 2019. Hal ini merupakan potensi yang cukup besar untuk menjamin orang dengan gangguan jiwa dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat. Selain potensi yang tersebut diatas terdapat beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan upaya kesehatan jiwa, diantaranya: peningkatan kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa, baik di lintas sektor maupun di masyarakat, adanya upaya kesehatan jiwa berbasis 8
masyarakat yang telah dikembangkan di beberapa daerah, dan adanya kesempatan dalam kerjasama program serta bantuan sumberdaya. Beberapa daerah telah terbentuk kelompok peduli kesehatan jiwa yang tentunya akan sangat mendukung upaya kesehatan jiwa di masyarakat. Upaya-upaya promosi dan prevensi di bidang kesehatan jiwa merupakan bagian yang penting dari upaya kesehatan jiwa, dan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif.Di fasilitas pelayanan kesehatan primer di beberapa wilayah telah menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa melalui kegiatan promosi dan prevensi, baik melalui kegiatan penyuluhan, edukasi, deteksi dini maupun kegiatan lain dalam berbagai setting pelayanan. Di tingkat nasional, beberapa program kesehatan jiwa telah terintegrasi dalam program nasional kesehatan. Dukungan pemerintah juga dapat dilihat dari usaha pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sumber daya yang diperlukan khususnya untuk peningkatan upaya kesehatan jiwa. Peluang-peluang untuk memperbaiki kurikulum sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dan
sesuai
standar
merupakan
peluang
yang
bisa
dimanfaatkan.Di samping itu, adanya penyelenggaraan pendidikan untuk berbagai profesi terkait kesehatan jiwa, tersedianya beasiswa untuk pendidikan
kesehatan
jiwa,
adanya
peluang
untuk
pembaharuan
kompetensi, dukungan dari masyarakat dan yang tidak kalah penting untuk peningkatan
pemenuhan
sumberdaya
yang
berkualitas
adalah
terakreditasinya program studi dan pelatihan kesehatan jiwa. .Diharapkan dengan terpenuhinya kebutuhan sumberdaya tersebut dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan jiwa pada masyarakat. Dalam rangka pengembangan upaya kesehatan jiwa untuk tahun 2015-2019 ditemukan tantangan meliputi: 1. tenaga kesehatan rendahnya rasio tenaga kesehatan dan masyarakat yang membutuhkannya serta sebaran yang tidak merata dapat menyebabkan upaya kesehatan jiwa tidak dapat dikembangkan secara optimal di berbagai Provinsi dan Kabupaten/Kota.
9
2. Fasilitas pelayanan di bidang kesehatan jiwa Fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa secara kuantitatif masih sangat terbatas. Hanya 21,47% Puskesmas yang menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa dan hanya 33 % RSU yang memberikan layanan kesehatan jiwa, di samping itu masih ada 8 Provinsi yang tidak memiliki RSJ, selain itu mutu pelayanan kesehatan jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan juga masih sangat terbatas dalam memberikan pelayanan terhadap ODMK/ODGJ. Kementerian Sosial hanya memiliki 3 (tiga) Panti Rehabilitasi terhadap ODMK/ODGJ dan banyak Provinsi serta Kabupaten/Kota yang tidak memiliki fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan. 3. Permasalahan
dalam
jenis,
jumlah
dan
ketersediaan
yang
berkesinambungan obat psikotropik di puskesmas. Hal ini perlu mendapat perhatian, mengingat penatalaksanaan gangguan jiwa yang sebagian besar bersifat kronis, memerlukan ketersediaan obat secara kontinyu. 4. Anggaran di bidang kesehatan jiwa juga masih sangat rendah karena lebih diutamakan anggaran untuk kesehatan fisik, maupun penyediaan sarana dan prasarana kesehatan. Hal ini menyebabkan terbatasnya kegiatan dan program kesehatan jiwa yang dapat dilaksanakan. 5. Regulasi tentang kesehatan jiwa di tingkat daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota masih kurang karena program kesehatan jiwa belum menjadi program prioritas dan kebijakan otonomi daerah. Adanya otonomi daerah memungkinkan pengambil keputusan mengambil kebijakkan yang dapat merugikan pelaksanaan upaya kesehatan jiwa. Selain itu pergantian pimpinan di tingkat daerah dapat mengganggu keberlangsungan program kesehatan jiwa akibat kebijakkan yang disusun oleh pimpinan sesaat. 6. Adanya stigma terhadap kesehatan jiwa juga mengganggu pelaksanaan upaya kesehatan jiwa. Keengganan masyarakat membawa Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
mencari pengobatan medik, rendah utilisasi fasyankes di bidang kesehatan serta rendahnya minat menjadi tenaga kesehatan jiwa adalah akibat dari stigma tersebut.
10
Analisis situasi kesehatan jiwa merupakan suatu langkah awal yang krusial dalam penyusunan rencana
aksi kegiatan. Analisis situasi ini mengkaji
kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), kesempatan (opportunities) dan ancaman (threaths) yang berhubungan dengan layanan dan program kesehatan jiwa terkini, sehingga akan diperoleh pemahaman mengenai sumber-sumber daya, kebutuhan, dan langkah-langkah ke depan. Kekuatan (Strengths) merupakan modal dasar yang dimiliki untuk mengembangkan strategi dalam penyusunan rencana strategis. Dari kekuatan tersebut dapat diperkirakan strategi apa yang paling tepat dalam pengembangan kesehatan jiwa masyarakat di Indonesia. Kelemahan
(weaknesses)
merupakan
aspek
penting
yang
harus
diperhatikan, yang bisa menjadi penghambat dalam penyusunan peta strategi kesehatan jiwa masyarakat. Dengan mengenali kelemahan dan ancaman, maka akan dapat disusun suatu strategi yang dapat meminimalisir kelemahan tersebut. Berdasarkan data-data tersebut diatas telah dilakukan analisis SWOT sebagai berikut:
11
Topik Regulasi dan Kebijakan
No. 1 2 3 4 5
Pembiayaan
6
SDM
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Layanan
18 19 20
Lintas Program dan Lintas Sektor
21 22 23 24
Infrastruktur
25
Sistem informasi dan penelitian
26 27
28 29 30
Kekuatan UU Keswa No. 18 Tahun 2014 UU CRPD No. 19 Tahun 2011 RPJMN tahun 2015-2019 Pengalaman pembuatan kebijakan terdahulu Telah terbitnya berbagai regulasi terkait layanan keswa (Permenkes) Jaminan kesehatan nasional menanggung juga layanan kesehatan jiwa Anggaran kesehatan jiwa Jumlah tenaga kesehatan jiwa terus meningkat Adanya organisasi konsumer dan keluarga Tenaga-tenaga kesehatan terlatih di PPK Adanya tenaga spesialis dan subspesialis Adanya kader kesehatan jiwa Modul pelatihan bagi tenaga kesehatan di layanan primer dan layanan sekunder tersedia Kurikulum dan standar kompetensi sudah terbentuk Adanya organisasi profesi Jumlah program studi dengan akreditasi A Adanya kesadaran bahwa masalah keswa bukan monopoli tenaga kesehatan di bidang keswa Layanan unggulan di berbagai institusi Regulasi rujukan balik yang memfasilitasi tersedianya obat Adanya panduan pelayanan kedokteran tingkat satu untuk puskesmas Adanya DSSJ Terakreditasinya sebagian besar RS Adanya integrasi keswa di berbagai program Adanya sistem pengembangan kerjasama antar kementerian atau dinas dalam bentuk MoU Ketersediaan obat-obat esensial jiwa dalam formularium nasional Adanya LSM dan CSR Adanya sistem pelaporan dari Puskesmas/RSU/RSJ ke dinkes/pusat secara berkala Adanya unit penelitian di tingkat pusat dan daerah Adanya riskesdas dan risfaskes Adanya sumber daya di institusi pendidikan kesehatan untuk melakukan penelitian
7.
Weakness 1
Bobot
Skema pembiayaan yang belum tepat 2
Bobot 8 3 3 1
Nilai 5 3 4 1
Skor 0.4 0.09 0.12 0.01
2
2
0.04
5 3 5 5 4 3 3
5 4 4 5 5 3 3
0.25 0.12 0.2 0.25 0.2 0.09 0.09
4
4
0.16
4 3 2
4 3 2
0.16 0.09 0.04
2 3
2 2
0.04 0.06
3
3
0.09
3 3 3 3
3 4 2 3
0.09 0.12 0.06 0.09
3
3
0.09
5 2
5 3
0.25 0.06
5
4
0.2
2 3
2 2
0.04 0.06
2 100
2
0.04 3.6
Nilai
Skor
(1-5)
(BxN)/100
-3
-0.06
-4
-0.12
-4
-0.08
penghitungannya 2
Kapasitas PJ program kesehatan jiwa 3 dalam menyusun perencanaan dan pembiayaan kesehatan jiwa
3
Tidak menjadi program prioritas 2
12
sehingga sumber daya yang tersedia juga minimal 4
Pola layanan di PPK 1, 2, dan 3 masih 2
-3
-0.06
-3
-0.06
-2
-0.06
-3
-0.09
-5
-0.15
-4
-0.08
-4
-0.12
-3
-0.06
belum jelas 5
Organisasi
profesi
belum 2
memberikan kesempatan dalam hal pendelegasian wewenang 6
Diseminasi informasi dan rencana 3 implementasi UU Keswa belum ada
7
Terbatasnya
jumlah
layanan 3
kesehatan jiwa di masing-masing tingkat layanan 8
Kesenjangan pengobatan yang masih 3 tinggi
9
Sarana dan prasarana yang tidak 2 memadai misalnya alat fiksasi yang aman
10
Tingkat
pengetahuan
yang
masih
mengakibatkan
masyarakat 3
rendah
yang
kesalahan
dan
keterlambatan terapi 11
Layanan kesehatan jiwa belum cukup 2 komprehensif terutama pada pasien dengan gangguan jiwa yang memiliki masalah kesehatan fisik
12
Keterbatasan infrastruktur
2
-3
-0.06
13
Perlakuan salah pada orang dengan 3
-4
-0.12
-4
-0.12
-3
-0.03
-4
-0.08
gangguan jiwa masih tinggi 14
Belum
adanya
penerapan
standar
kurikulum
untuk 3
pendidikan
nakes 15
Diseminasi regulasi dan kebijakan 1 yang masih rendah karena tidak ada akses
16
Keengganan
SDM
untuk 2
menyelenggarakan layanan keswa
13
17
Proses pembuatan kebijakan dan 1
-3
-0.03
-4
-0.12
-5
-0.15
-4
-0.08
-2
-0.02
-5
-0.1
2
-5
-0.1
perencanaan 2
-4
-0.08
-4
-0.12
-5
-0.2
-4
-0.16
untuk 2
-3
-0.06
Sistem supervisi nakes masih belum 3
-4
-0.12
regulasi
yang
belum
menjawab
urgensi permasalahan 18
Belum adanya program promosi dan 3 prevensi
yang
bersifat
nasional,
multisektor, dan terkait populasi umum dan kelompok rentan 19
Belum lengkapnya data kesehatan 3 jiwa nasional
20
Belum adanya pedoman rehabilitasi 2 psikososial yang bersifat multisektor
21
Kurangnya dukungan dari pengambil 1 keputusan mengakibatkan integrasi lintas program kurang optimal
22
Masih ada obat esensial yang tidak 2 tercantum di formularium nasional terutama di puskesmas
23
Tidak tersedianya obat secara reguler
24
Kurang
idealnya
pengembangan SDM tingkat nasional dan daerah 25
Kurangnya
jumlah
dan
kualitas 3
program
studi
penyelenggara
pendidikan dokter, spesialistik dan subspesialistik
berpengaruh
pada
kualitas lulusan 26
Kurikulum pendidikan nakes yang 4 disusun tidak menjawab kebutuhan layanan
27
Sebagian besar proses pendidikan 4 diselenggarakan di RSU dan RSJ yang sebagian besar penyakitnya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
29
Kurangnya
dana
pengembangan SDM 30
baik
14
31
Rendahnya
reward
untuk 1
-3
-0.03
program 2
-3
-0.06
Kegiatan advokasi masih merupakan 1
-2
-0.02
-2
-0.02
-2
-0.02
-3
-0.06
-3
-0.09
-4
-0.16
-4
-0.12
-3
-0.09
-4
-0.12
-2
-0.02
sulit 1
-1
-0.01
dinas 2
-3
-0.06
Terbatasnya data keswa di setiap 2
-4
-0.08
menyediakan layanan keswa 32
Kemampuan
pelaksanan
melakukan advokasi kurang 33
kegiatan insidentil 34
Konsep tradisional dalam manajemen 1 klinis yang belum melibatkan pasien maupun keluarga dalam pengambilan keputusan
35
Tidak semua daerah mengembangkan 1 kolaborasi lintas sektor
36
Kurang
dilaksakannya
tugas
dan 2
fungsi masing-masing sektor terkait dalam upaya kesehatan jiwa 37
Kualitas pelayanan keswa di PPK 3 1,2,3 belum terstandar
38
Tenaga kesehatan belum terlatih 4 keswa secara adekuat
39
Sistem pelaporan yang berjalan masih 3 terbatas pada institusi pemerintah
40
Format pelaporan belum seragam 3 dan belum sesuai dengan kebutuhan (cth bunuh diri)
41
Kurangnya tentang
pemahaman
sistem
petugas 3
pencatatan
dan
pelaporan 42
Penelitian keswamas tidak sebanyak 1 penelitian klinis
43
Penelitian
keswamas
lebih
karena melibatkan banyak pihak 44
Kurangnya
monev
dari
kesehatan 45
level 100
-3.65
15
No
1
Peluang
Bobot
Kesempatan
untuk
perbaikan
melakukan
dalam
Nilai
Skor
(1-5)
(BxN)/100
6
5
0.300
3
3
0.090
3
3
0.090
7
5
0.350
4
4
0.160
sistem
pembiayaan (JKN) 2
Tingginya gangguan
angka jiwa
komorbiditas
pada
gangguan
penyakit fisik kronik 3
Kebutuhan berjejaring antar tenaga profesional kesehatan jiwa
4
Peningkatan partisipasi organisasi konsumen dan keluarga
5
Semakin
banyak
program
pendidikan
yang
menyelenggarakan
pendidikan
kesehatan jiwa 6
RPJMN 2015 -2019
1
4
0.040
7
Penganggaran semakin meningkat
4
4
0.160
3
4
0.120
3
3
0.090
RS
3
4
0.120
lintas
3
3
0.090
2
4
0.080
1
4
0.040
di beberapa daerah 8
Masih
adanya
tingkat
layanan
kesehatan yang berpotensi untuk dikembangkan 9
Kerjasama BPJS dengan semua tingkat layanan
10
Kebijakan
pengembangan
Rujukan Regional 11
Peningkatan
kesadaran
sektor dan lintas program akan pentingnya kesehatan jiwa 12
Modul
pelatihan
bagi
tenaga
kesehatan di layanan primer dan layanan sekunder tersedia 13
Peluang
untuk
memerbaiki
kurikulum dan standar kompetensi sesuai kebutuhan masyarakat
16
14
Beasiswa untuk pendidikan jiwa
2
3
0.060
15
Pergeseran paradigma dari kuratif
2
3
0.060
6
5
0.300
3
4
0.120
4
5
0.200
3
3
0.090
ke prevensi dan promosi 16
Integrasi kesehatan jiwa dalam program
kesehatan
dan
lintas
sektor 17
Kerjasama dan kolaborasi lintas sektor
18
Kesempatan
untuk
menambah
jumlah dan jenis obat esensial dalam formularium nasional 19
Kerjasama dan partisipasi pihak swasta (obat dan program)
20
Peningkatan keterampilan advokasi
3
3
0.090
21
Keterlibatan media
3
4
0.120
22
Peluang
3
4
0.120
2
3
0.060
3
5
0.150
3
4
0.120
4
5
0.200
posisi
2
3
0.060
Semakin tinggi kesadaran akan
2
3
0.060
1
2
0.020
2
3
0.060
untuk
peraturan
masuk
dalam
perundang-undangan
sektor lain 23
Adanya
kesempatan
untuk
melakukan riset di bidang keswa 24
Penambahan jenis gangguan jiwa yang masuk dalam program rujuk balik
25
Terbukanya
kesempatan
untuk
bergabung dalam sistem informasi kesehatan nasional 26
Masalah pelanggaran HAM mulai menjadi perhatian pada ODGJ
27
Keswa
masih
memiliki
sebagai direktorat 28
pentingnya KIE 29
Konsep
pemulihan
yang
mulai
tumbuh
dan
diterapkan
dalam
profesi 30
Dukungan internasional
17
31
Peluang
pengembangan
tugas
bidang keswa sudah
di
gugus
2
3
0.060
3
5
0.150
2
2
0.040
2
2
0.040
sampai di menkokesra 32
Sistem kapitasi dan paket INA-CBGs akan mendorong sistem informasi kesehatan jiwa lebih baik
33
Adanya dukungan dari organisasi dan
institusi
pendidikan
internasional 34
Adanya resolusi tingkat global dan nasional 100
Threat 1
Bobot
Masih kuatnya
pendapat
organisasi 7
3.910
Nilai
Skor
(1-5)
(BxN)/100
-4
-0.28
-4
-0.2
-4
-0.28
-3
-0.21
-5
-0.75
-3
-0.21
-3
-0.15
-3
-0.21
-4
-0.4
profesi yang menolak adanya delegasi wewenang 2
Pengambil keputusan tidak menyadari 5 bahwa keputusan yang diambil kurang mendukung program keswa
3
Otonomi daerah memungkinkan daerah 7 untuk
mengambil
kebijakan
yang
merugikan keswa 4
Keberlanjutan layanan keswa di lintas 7 sektor
dan
di
masyarakat
masih
bergantung pada kepemimpinan saat itu 5
Stigma
dan
diskriminasi
terhadap 15
kesehatan jiwa dan ODGJ 6
Rendahnya minat untuk menjadi tenaga 7 kesehatan jiwa
7
Tidak
ada
dukungan
yang
stabil 5
terutama untuk organisasi konsumen dan keluarga 8
Pergantian kabinet à perbedaan interest
9
Pemahaman
sektor
lain
7
tentang 10
18
kesehatan jiwa masih rendah 10
Tingkat kepatuhan pada standar dan 12
-4
-0.48
sistem 4
-4
-0.16
Kurangnya nakes di fasyankes membuat 4
-3
-0.12
-2
-0.1
-2
-0.1
etika profesi rendah 11
Desentralisasi
membuat
pelaporan tidak berjalan 12
rangkap
jabatan
yang
menghambat
program keswa 13
Format pelaporan data terlalu rumit 5 sehingga mempersulit petugas
14
Mahalnya biaya penelitian keswamas
5 100
Y
0-T
3.91
-3.65
0.26
X
S-W
3.6
-3.65
-0.05
-3.65
19
A. LINGKUNGAN STRATEGIS 1. Lingkungan Strategis Nasional Perkembangan Penduduk. Pertumbuhan penduduk Indonesia ditandai dengan adanya window opportunity di mana rasio ketergantungannya positif, yaitu jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dari pada yang usia non-produktif, yang puncaknya terjadi sekitar tahun 2030. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 adalah 256.461.700 orang. Dengan laju pertumbuhan sebesar 1,19% pertahun, maka jumlah penduduk pada tahun 2019 naik menjadi 268.074.600 orang. Jumlah wanita usia subur akan meningkat dari tahun 2015 yang diperkirakan sebanyak 68,1 juta menjadi 71,2 juta pada tahun 2019. Penduduk usia kerja yang meningkat dari 120,3 juta pada tahun 2015 menjadi 127,3 juta pada tahun 2019. Penduduk berusia di atas 60 tahun meningkat, yang pada tahun 2015 sebesar 21.6 juta naik menjadi 25,9 juta pada tahun 2019. Jumlah lansia di Indonesia saat ini lebih besar dibanding penduduk benua Australia yakni sekitar 19 juta. Implikasi kenaikan penduduk lansia ini terhadap sistem kesehatan adalah (1) meningkatnya kebutuhan pelayanan sekunder dan tersier, (2) meningkatnya kebutuhan pelayanan home care dan (3) meningkatnya biaya kesehatan. Konsekuensi logisnya adalah pemerintah harus juga menyediakan fasilitas yang ramah lansia dan menyediakan fasilitas untuk kaum disable mengingat tingginya proporsi disabilitas pada kelompok umur ini.
20
Masalah penduduk miskin yang sulit berkurang akan masih menjadi masalah penting. Secara kuantitas jumlah penduduk miskin bertambah, dan ini menyebabkan permasalahan biaya yang harus ditanggung pemerintah bagi mereka. Tahun 2014 pemerintah harus memberikan uang premium jaminan kesehatan sebanyak 86,4 juta orang miskin dan mendekati miskin. Data BPS menunjukkan bahwa ternyata selama tahun 2013 telah terjadi kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dari 1,75% menjadi 1,89% dan indeks keparahan kemiskinan dari 0,43% menjadi 0,48%. Hal ini berarti tingkat kemiskinan penduduk Indonesia semakin parah, sebab semakin menjauhi garis kemiskinan, dan ketimpangan pengeluaran penduduk antara yang miskin dan yang tidak miskin pun semakin melebar. Tingkat pendidikan penduduk merupakan salah satu indikator yang menentukan Indeks Pembangunan Manusia. Di samping kesehatan, pendidikan memegang porsi yang besar bagi terwujudnya kualitas SDM Indonesia. Namun demikian, walaupun rata-rata lama sekolah dari tahun ke tahun semakin meningkat, tetapi angka ini belum memenuhi tujuan program wajib belajar 9 tahun. Menurut perhitungan Susenas Triwulan I tahun 2013, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia adalah 8,14 tahun. Keadaan tersebut erat kaitannya dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS), yakni persentase jumlah murid sekolah di berbagai jenjang pendidikan terhadap penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai. Disparitas Status Kesehatan. Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat, akan tetapi disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan-pedesaan masih cukup tinggi. Angka kematian bayi dan angka kematian balita pada golongan termiskin hampir empat kali lebih tinggi dari golongan terkaya. Selain itu, angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan lebih tinggi di daerah pedesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat pendidikan rendah. Persentase anak balita yang berstatus gizi kurang dan buruk di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Disparitas Status Kesehatan Antar Wilayah. Beberapa data kesenjangan bidang kesehatan dapat dilihat pada hasil Riskesdas 2013. Proporsi bayi lahir pendek, terendah di Provinsi Bali (9,6%) dan tertinggi di Provinsi NTT (28,7%) atau tiga kali lipat dibandingkan yang terendah. Kesenjangan yang cukup memprihatinkan terlihat pada bentuk partisipasi masyarakat di bidang kesehatan, antara lain adalah keteraturan penimbangan balita (penimbangan balita >4 kali ditimbang dalam 6 bulan terakhir). Keteraturan penimbangan balita terendah di Provinsi Sumatera Utara (hanya 12,5%) dan tertinggi 6 kali lipat di Provinsi DI Yogyakarta (79,0%). Ini menunjukkan kesenjangan aktivitas Posyandu antar provinsi yang lebar. Dibandingkan tahun 2007, kesenjangan ini lebih lebar, ini berarti selain aktivitas Posyandu makin menurun, variasi antar provinsi juga semakin lebar.
21
Diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Menurut peta jalan menuju Jaminan Kesehatan Nasional ditargetkan pada tahun 2019 semua penduduk Indonesia telah tercakup dalam JKN (Universal Health Coverage - UHC). Diberlakukannya JKN ini jelas menuntut dilakukannya peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan, baik pada fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, serta perbaikan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Untuk mengendalikan beban anggaran negara yang diperlukan dalam JKN memerlukan dukungan dari upaya kesehatan masyarakat yang bersifat promotif dan preventif agar masyarakat tetap sehat dan tidak mudah jatuh sakit. Perkembangan kepesertaan JKN ternyata cukup baik. Sampai awal September 2014, jumlah peserta telah mencapai 127.763.851 orang (105,1% dari target). Penambahan peserta yang cepat ini tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah fasilitas kesehatan, sehingga terjadi antrian panjang yang bila tidak segera diatasi, kualitas pelayanan bisa turun. Kesetaraan Gender. Kualitas SDM perempuan harus tetap perlu ditingkatkan, terutama dalam hal: (1) perempuan akan menjadi mitra kerja aktif bagi laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik; dan (2) perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerus karena fungsi reproduksi perempuan berperan dalam mengembangkan SDM di masa mendatang. Indeks Pemberdayaan Gender (IPG) Indonesia telah meningkat dari 63,94 pada tahun 2004 menjadi 68,52 pada tahun 2012. Peningkatan IPG tersebut pada hakikatnya disebabkan oleh peningkatan dari beberapa indikator komponen IPG, yaitu kesehatan, pendidikan, dan kelayakan hidup. Berlakunya Undang-Undang Tentang Desa. Pada bulan Januari 2014 telah disahkan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Sejak itu, maka setiap desa dari 77.548 desa yang ada, akan mendapat dana alokasi yang cukup besar setiap tahun. Dengan simulasi APBN 2015 misalnya, ke desa akan mengalir rata-rata Rp 1 Miliar. Kucuran dana sebesar ini akan sangat besar artinya bagi pemberdayaan masyarakat desa. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan pengembangan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) akan lebih mungkin diupayakan di tingkat rumah tangga di desa, karena cukup tersedianya sarana-sarana yang menjadi faktor pemungkinnya (enabling factors). Menguatnya Peran Provinsi. Dengan diberlakukannya UU Nomor 23 tahun 2014 sebagai pengganti UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Provinsi selain berstatus sebagai daerah juga merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan yang telah diatur oleh Menteri Kesehatan, maka UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang baru ini telah memberikan peran yang cukup kuat bagi provinsi untuk mengendalikan daerah-daerah kabupaten dan kota di wilayahnya. Pengawasan pelaksanaan SPM bidang Kesehatan dapat diserahkan sepenuhnya kepada provinsi oleh Kementerian Kesehatan, karena provinsi telah diberi kewenangan untuk memberikan sanksi bagi Kabupaten/Kota berkaitan dengan pelaksanaan SPM.
22
Berlakunya Peraturan Tentang Sistem Informasi Kesehatan. Pada tahun 2014 juga diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tentang Sistem Informasi Kesehatan (SIK). PP ini mensyaratkan agar data kesehatan terbuka untuk diakses oleh unit kerja instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang mengelola SIK sesuai dengan kewenangan masing-masing. 2. Lingkungan Strategis Regional Saat mulai berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) secara efektif pada tanggal 1 Januari 2016. Pemberlakukan ASEAN Community yang mencakup total populasi lebih dari 560 juta jiwa, akan memberikan peluang (akses pasar) sekaligus tantangan tersendiri bagi Indonesia. Implementasi ASEAN Economic Community, yang mencakup liberalisasi perdagangan barang dan jasa serta investasi sektor kesehatan. Perlu dilakukan upaya meningkatkan daya saing (competitiveness) dari fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan dalam negeri. Pembenahan fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan yang ada, baik dari segi sumber daya manusia, peralatan, sarana dan prasarananya, maupun dari segi manajemennya perlu digalakkan. Akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dan lainlain) harus dilakukan secara serius, terencana, dan dalam tempo yang tidak terlalu lama. Hal ini berkaitan dengan perjanjian pengakuan bersama (Mutual Recognition Agreement - MRA) tentang jenis-jenis profesi yang menjadi cakupan dari mobilitas. Dalam MRA tersebut, selain insinyur, akuntan, dan lain-lain, juga tercakup tenaga medis/dokter, dokter gigi, dan perawat. Tidak tertutup kemungkinan di masa mendatang, akan dicakupi pula jenis-jenis tenaga kesehatan lain. Betapa pun, daya saing tenaga kesehatan dalam negeri juga harus ditingkatkan. Institusi-institusi pendidikan tenaga kesehatan harus ditingkatkan kualitasnya melalui pembenahan dan akreditasi. 3. Lingkungan Strategis Global Dengan akan berakhirnya agenda Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, banyak negara mengakui keberhasilan dari MDGs sebagai pendorong tindakan-tindakan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pembangunan masyarakat. Khususnya dalam bentuk dukungan politik. Kelanjutan program ini disebut Sustainable Development Goals (SDGs), yang meliputi 17 goals. Dalam bidang kesehatan fakta menunjukkan bahwa individu yang sehat memiliki kemampuan fisik dan daya pikir yang lebih kuat, sehingga dapat berkontribusi secara produktif dalam pembangunan masyarakatnya. Aksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau. Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan respon global yang paling kuat terhadap tembakau dan produk tembakau (rokok), yang merupakan penyebab berbagai penyakit fatal. Sampai saat ini telah ada sebanyak 179 negara di dunia yang meratifikasi FCTC tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara penggagas dan bahkan turut merumuskan FCTC. Akan
23
tetapi sampai kini justru Indonesia belum mengaksesinya. Sudah banyak desakan dari berbagai pihak kepada Pemerintah untuk segera mengaksesi FCTC. Selain alasan manfaatnya bagi kesehatan masyarakat, juga demi menjaga nama baik Indonesia di mata dunia. Liberalisasi perdagangan barang dan jasa dalam konteks WTO - Khususnya General Agreement on Trade in Service, Trade Related Aspects on Intelectual Property Rights serta Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklores (GRTKF) merupakan bentuk-bentuk komitmen global yang juga perlu disikapi dengan penuh kehati-hatian. Prioritas yang dilakukan adalah mempercepat penyelesaian MoU ke arah perjanjian yang operasional sifatnya, sehingga hasil kerja sama antar negara tersebut bisa dirasakan segera.
24
BAB II TUJUAN DAN SASARAN STRATEGIS DIT BINA KESWA A. Tujuan Secara umum tujuan pembangunan kesehatan jiwa kurun waktu 2015-2019 adalah menuju masyarakat Indonesia yang sehat jiwa. Secara khusus tujuan pembangunan kesehatan jiwa kurun waktu 20152019 adalah sebagai berikut: 1. Menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu Kesehatan Jiwa; 2. Menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi kecerdasan; Memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan Kesehatan Jiwa bagi ODMK,
ODGJ
dan orang dengan gangguan
penggunaan Napza berdasarkan hak asasi manusia; 3. Memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi ODMK, ODGJ dan orang dengan gangguan penggunaan Napza; 4. Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam Upaya Kesehatan Jiwa; 5. Meningkatkan
mutu
Upaya
Kesehatan
Jiwa
sesuai
dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan 6. Memberikan kesempatan kepada ODMK, ODGJ dan orang dengan gangguan penggunaan Napza untuk dapat memperoleh haknya sebagai Warga Negara Indonesia. B. Sasaran strategis Dalam rangka mencapai tujuan Direktorat Bina Kesehatan Jiwa tersebut di atas, ditetapkan sasaran-sasaran strategis sebagai berikut: 1.
Terwujudnya upaya kesehatan jiwa yang lebih responsive, menyeluruh, terpadu, berkesinambungan dan terukur..
2. Terwujudnya layanan kesehatan jiwa dan NAPZA yang lebih terstruktur dan terstandar.
25
3.
Terwujudnya program promosi dan prevensi kesehatan jiwa dan NAPZA
4.
Terwujudnya sistem koordinasi dan kolaborasi dengan para pemangku kepentingan kesehatan jiwa dan NAPZA
5.
Terwujudnya sistem informasi dan monitoring evaluasi kesehatan jiwa dan NAPZA
6. Terwujudnya SDM kesehatan jiwa dan NAPZA yang kompeten dan berbudaya kinerja. 7. Terwujudnya sarana dan prasarana kesehatan jiwa dan NAPZA sesuai standar. 8.
Terwujudnya dukungan regulasi dan kebijakan kesehatan jiwa dan NAPZA.
9.
Terwujudnya data kesehatan jiwa dan NAPZA yang terpadu.
10. Terwujudnya penganggaran yang optimal dan berkelanjutan bidang kesehatan jiwa dan NAPZA
26
BAB III ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI DAN KERANGKA KELEMBAGAAN A. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL Arah kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan nasional 2015-2019 merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang Kesehatan (RPJPK) 2005-2025, yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik lndonesia. Sasaran pembangunan kesehatan jiwa pada RPJMN 2015-2019 adalah Meningkatnya Mutu dan Akses Pelayanan Kesehatan Jiwa dan NAPZA yaitu: 1. Persentase Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) pecandu Narkotika yang aktif 2. Jumlah
Kabupaten/Kota
yang
memiliki
Puskesmas
yang
menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa 3. Persentase RS Umum rujukan regional yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan jiwa/psikiatri
B. KERANGKA REGULASI Meningkatkan Akses dan Mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan Jiwa dan Napza Untuk meningkatkan akses dan mutu Fasilitas Kesehatan Jiwa dan Napza Tingkat Pertama (FKTP), maka upaya yang akan dilakukan adalah:
27
1. Mewujudkan ketepatan alokasi anggaran dalam rangka pemenuhan sarana prasarana dan alat kesehatan yang sesuai standar 2. Optimalisasi fungsi FKTP, dimana tiap kecamatan memiliki minimal satu Puskesmas dengan layanan jiwa 3. Mewujudkan dukungan regulasi yaitu melalui penyusunan kebijakan dan NSPK FKTP. 4. Mewujudkan sistem kolaborasi pendidikan nakes antara lain melalui penguatan konsep dan kompetensi Dokter Layanan Primer (DLP) serta nakes strategis. 5. Mewujudkan penguatan mutu advokasi, pembinaan dan pengawasan ke Pemerintah Daerah dalam rangka penguatan manajemen Puskesmas oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. 6. Mewujudkan sistem manajemen kinerja FKTP melalui instrumen penilaian kinerja. Untuk meningkatkan akses dan mutu fasilitas pelayanan kesehatan rujukan, maka strategi yang akan dilakukan adalah: 1. Mewujudkan ketepatan alokasi anggaran dalam rangka pemenuhan sarana prasarana dan alat kesehatan di RSJ yang sesuai standar. 2. Mewujudkan penerapan sistem manajemen kinerja RSJ sehingga terjamin implementasi Patient Safety, standar pelayanan kedokteran dan standar pelayanan keperawatan. 3. Mewujudkan penguatan mutu advokasi, pembinaan dan pengawasan untuk percepatan mutu pelayanan kesehatan Jiwa 4. Mewujudkan berbagai layanan unggulan pada Rumah Sakit rujukan nasional secara terintegrasi 5. Mewujudkan penguatan sistem rujukan dengan mengembangkan sistem regionalisasi rujukan pada tiap provinsi (satu rumah sakit rujukan regional untuk beberapa kabupaten/kota) dan sistem rujukan nasional (satu Rumah Sakit rujukan nasional untuk beberapa provinsi).
28
6. Mewujudkan kemitraan yang berdaya guna tinggi melalui program sister hospital, kemitraan dengan pihak swasta, KSO alat medis, dan lain-lain. 7. Mewujudkan sistem kolaborasi pendidikan tenaga kesehatan Jiwa. C. KERANGKA KELEMBAGAAN Desain organisasi yang dibentuk memperhatikan mandat konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan, perkembangan dan tantangan lingkungan strategis di bidang pembangunan kesehatan jiwa, Sistem Kesehatan Nasional, pergeseran dalam wacana pengelolaan kepemerintahan (governance issues), kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, dan prinsip reformasi birokrasi (penataan kelembagaan yang efektif dan efisien). Fungsi pemerintahan yang paling mendasar adalah melayani kepentingan rakyat. Kementerian Kesehatan akan membentuk pemerintahan yang efektif melalui desain organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing), menghilangkan tumpang tindih tugas dan fungsi dengan adanya kejelasan peran, tanggung jawab dan mekanisme koordinasi (secara horisontal dan vertikal) dalam menjalankan program-program Renstra 2015-2019. Kerangka
kelembagaan
terdiri
dari:
1)
sinkronisasi
nomenklatur
kelembagaan dengan program Kementerian Kesehatan; 2) penguatan kebijakan kesehatan untuk mendukung NSPK dan pengarusutamaan pembangunan
berwawasan
kesehatan;
3)
penguatan
pemantauan,
pengendalian, pengawasan dan evaluasi pembangunan kesehatan; 4) penguatan
bisnis
internal
Kementerian
Kesehatan
yang
meliputi
pembenahan SDM Kesehatan, pembenahan manajemen, regulasi dan informasi kesehatan; 5) penguatan peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan; 6) penguatan sinergitas pembangunan kesehatan; 7) penguatan program prioritas pembangunan kesehatan ; dan 8) penapisan teknologi kesehatan.
29
BAB IV TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN
Memperhatikan rancangan awal RPJMN 2015-2019, visi dan misi, tujuan, strategi dan sasaran strategis sebagaimana diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka disusunlah target kinerja dan kerangka pendanaan program-program 2015-2019. A.
TARGET KINERJA Target kinerja merupakan penilaian dari pencapaian program yang diukur secara berkala dan dievaluasi pada akhir tahun 2019. Sasaran kinerja dihitung secara kumulatif selama lima tahun dan berakhir pada tahun 2019. Sasaran program pembinaan upaya kesehatan adalah meningkatnya akses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang berkualitas bagi masyarakat. Indikator pencapaian sasaran tersebut adalah: a. Jumlah kecamatan yang memiliki minimal 1 Puskesmas yang tersertifikasi terakreditasi sebanyak 5.600 kecamatan. b. Jumlah kab/kota yang memiliki minimal 1 RSUD yang tersertifikasi akreditasi nasional sebanyak 481 kabupaten/kota. Untuk mencapai sasaran hasil tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan adalah: 1) Pembinaan Pelayanan Kesehatan Jiwa Sasaran kegiatan ini adalah meningkatnya mutu dan akses pelayanan kesehatan jiwa dan Napza. Indikator pencapaian sasaran tersebut adalah: a) Persentase Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) pecandu narkotika yang aktif sebesar 50%. b) Jumlah
kabupaten/kota
yang
memiliki
Puskesmas
yang
menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa sebanyak 280 kab/kota. c) Persentase RS Umum Rujukan Regional yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan jiwa/psikiatri sebesar 60%.
30
B.
KERANGKA PENDANAAN Kerangka pendanaan meliputi peningkatan pendanaan dan efektifitas pendanaan. Peningkatan pendanaan kesehatan jiwa dilakukan melalui peningkatan proporsi anggaran kesehatan secara signifikan sehingga mencapai 5% dari APBN pada tahun 2019. Peningkatan pendanaan kesehatan jiwa
juga melalui dukungan dana dari Pemerintah Daerah, swasta dan
masyarakat serta sumber dari tarif/pajak maupun cukai. Guna meningkatkan efektifitas
pendanaan
pembangunan
kesehatan
jiwa
maka
perlu
mengefektifkan peran dan kewenangan Pusat-Daerah, sinergitas pelaksanaan pembangunan kesehatan Pusat-Daerah dan pengelolaan dana Dekonsentarsi dan DAK yang lebih tepat sasaran. Dalam upaya meningkatkan efektifitas pembiayaan kesehatan maka pendanaan kesehatan jiwa diutamakan untuk peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan jiwa bagi masyarakat miskin melalui program Jaminan Kesehatan Nasional, penguatan kesehatan pada masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan, penguatan sub-sub sistem dalam Sistem Kesehatan Nasional untuk mendukung upaya penurunan Angka Kematian Ibu, Bayi, Balita, peningkatan gizi masyarakat dan pengendalian penyakit dan serta penyehatan lingkungan. Untuk mendukung upaya kesehatan jiwa di daerah, Kementerian Kesehatan memberikan porsi anggaran lebih besar bagi daerah melalui DAK, TP, Dekonsentrasi, Bansos dan kegiatan lain yang diperuntukkan bagi daerah.
31
BAB V PENUTUP
Rencana Aksi Kegiatan Direktorat Bina Kesehatan JIwa tahun
2015-2019 ini
disusun untuk menjadi acuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian upaya Pembinaan Bidang Kesehatan Jiwa dan Napza dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Dengan demikian Direktorat Bina Kesehatan JIwa, Unit Eselon 2 dari Unit Kerja Ditjen Bina Upaya Kesehatan di lingkup Kementerian Kesehatan mempunyai target kinerja yang telah ditetapkan dan akan dievaluasi pada pertengahan (2017) dan akhir periode 5 tahun (2019) sesuai ketentuan yang berlaku. Jika di kemudian hari diperlukan adanya perubahan pada Rencana Aksi Kegiatan Direktorat
Bina
Kesehatan
tahun
2015-2019,
maka
akan
dilakukan
penyempurnaan sebagaimana mestinya.
32
33
34
35