RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Deskriptif tentang Respon Pedagang Terhadap Relokasi Pedagang Kaki Lima dari Kenjeran ke Pasar Sentra Ikan Bulak) Abstrak Ketertarikan peneliti dalam mengambil topik relokasi pedagang kaki lima karena sudah banyak sekali pedagang kaki lima yang di relokasi oleh pemerintah karena lokasi pedagang kaki lima yang mengganggu keindahan dan ketertiban kota Surabaya. Meski sudah ada pelarangan berdagang di fasilitas umum, pedagang kaki lima masih nekat untuk menjajakan dangannya di tempat yang sudah dilarang oleh pemerintah. Saat ini sudah banyak sentra PKL yang di bangun oleh pemerintah kota Surabaya. Namun pembangunan tersebut tidak di sambut baik oleh PKL karena menurutnya sentra yang dibangun oleh pemerintah tidak menguntungkan bagi pedagang kaki lima. Fokus penelitian respon pedagang Kenjeran terhadap relokasi yang dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya. Menganalisa realitas ini peneliti menggunakan tipe deskriptif dengan menggunakan data-data kualitatif dengan teori difusi inovasi Evertt M. Rogers. Penelitian mengulas bagaimana respon yang diberikan pedagang di Kenjeran mengenai relokasi yang dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya. Dalam penelitian ini, informan mengetahui bahwa tempat berdagang yang dahulu merupakan tempat ilegal sehingga pemerintah kota surabaya akan merelokasi pedagang ke tempat yang lebih baik dan tidak menggunakan lahan atau fasilitas umum. Inovasi yang diberikan oleh pemerintah untuk pedagang kaki lima agar proses jual beli berjalan dengan nyaman, aman, bersih dan tidak mengganggu pengguna jalan yang lain. Pembangunan pasar Sentra Ikan Bulak ini tidak berada jauh dari tempat wisata Pantai Ria Kenjeran dan pasar juga berada di wilayah pemukiman warga. Adanya inovasi ini mendapat berbagai respon dari pihak pedagang kaki lima ada yang menerima relokasi ada pula yang menolak relokasi ke pasar Sentra Ikan Bulak. Pedagang yang menolak inovasi ini dikarenakan fasilitas yang masih kurang dari jumlah pedagang kaki lima yang ada jadi tidak semua pedagang dapat menikmati fasilitas tersebut. Kata Kunci : pedagang kaki lima, relokasi pedagang, teori difusi inovasi
ABSTRACT Researchers interest in taking a cadger relocation topic because for a lot of a cadger in relocation by the government because lokasi a cadger disturbing wonderfulness surabaya city and order.Although there are restrictions, trade in public facilities a cadger still lengths to peddle dangannya on-scene already prohibited by the government.Already many sentra pkl in surabaya up by a city government.But would not welcome development in both by pkl because its sentra built by government unfavorable to a cadger.Centrarte response to relocate kenjeran traders research conducted by a city government surabaya. Analyzes this reality researchers used type descriptive by using data qualitative with the theory of diffusion of innovation evertt m.Rogers.Research covers how response given traders in kenjeran about relocation done by the government of Surabaya In this research, an informer know that a trading place which the ancients is the illegal so that the government will relocate its city surabaya a trader to a better place and not to use land or public facilities.Innovation given by the government to street vendors as to process it sales-and- walk comfortably, safe, clean and not to disturb road users another.Market development sentral fish bulak this is not being away from a place wisata pantai ria kenjeran being in the region and market and residential areas.The presence of this innovation gets various a response from the street vendors there are those who receive the relocation there is also a who rejects the relocation to market sentral fish bulak.A merchant who rejects any innovation this is because of the facilities still less than the number of street vendors who are so not all traders can enjoy the facility. Keywords : Street traders, Traders Relocation, Diffusion of innovation theory
Pendahuluan Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah sebuah pekerjaan akibat semakin sempitnya lapangan pekerjaan di sektor formal sehingga sebagian masyarakat beralih ke sektor informal demi kelangsungan hidupnya. Menurut McGee dan Yeung (1977:25), PKL mempunyai pengertian yang sama dengan “hawkers”, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Sektor informal biasanya digunakan untuk menunjukkan aktivitas ekonomi berskala kecil dan sering mengalami banyak kesulitan untuk menjalin hubungan secara resmi. Sektor informal yang dimaksud di sini adalah suatu kegiatan berskala kecil yang bertujuan untuk mendapatkan kesempatan kerja. Elemen yang umumnya termasuk dalam sektor ini adalah yang berpendidikan kurang, keterampilan kurang dan umumnya para pendatang. Pengertian tersebut sebagai gabaran tentang sektor informal. Hal ini tergantung dari sudut pandang operasional maupun penelitian (Manning-Tadjuddin,1996:90-91)
Di Surabaya, menurut data Bagian Perekonomian Pemerintah Kota saat ini jumlah Pedagang Kaki Lima yang ada diperkirakan telah mencapai 70 ribu orang lebih. Padahal, daya tampung daerah-daerah strategis yang ada di kota dikalkulasi hanya sekitar 5-10 ribu PKL. Ini berarti telah terjadi kelebihan PKL hingga puluhan kali lipat, sehingga wajar jika kemudian berdampak buruk bagi banyak pihak. Di tempat-tempat PKL biasa mangkal, lalu lintas acapkali macet dan semrawut, kegiatan usaha lain juga terganggu karena di depan tempat 3
usahanya dipenuhi PKL, dan persaingan di antara para PKL sendiri juga makin tidak sehat karena jumlahnya makin banyak (Suyanto dkk, 2002:2) Secara struktural hubungan antara Pemerintah Kota Surabaya dengan Pedagang Kaki Lima bersifat vertikal. Artinya Pemerintah Kota Surabaya sebagai aparatur pemegang kekuasaan berada di posisi paling atas, dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya mempunyai kekuasaan mengatur rakyatnya termasuk pedagang kaki lima melalui kebijakan-kebijakan yang sudah ditentukan. Menurut Perda 17 tahun 2003, Pemerintah Kota Surabaya bertanggung jawab untuk membina dan memberdayakan PKL, tujuannya adalah semata-mata demi mensejahterakan dan kemajuan. Keberadaan PKL tidak dibiarkan menjamur, biaya sewa stan tidak terlalu mahal, PKL perlu pembinaan dan lahan buat berdagang. Itulah yang menjadi kewajiban Pemerintah Kota Surabaya yang harus dijalankan (Afandy, 2010:1) Penertiban PKL di Surabaya selama tahun 2008 kemarin terbilang eskalatif, bahkan cenderung represif. Sesungguhnya, hal yang tampak nyata dari strategis tersebut adalah perlakukan diskriminatif yang dilakukan aparat negara terhadap warganya yang miskin, yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya yang dikuasai negara. Dikatakan diskriminatif karena persoalan keindahan kota dan kemacetan bukan hanya disebabkan karena keberadaan PKL. Papan-papan reklame yang bertebaran di berbagai sudut kota Surabaya, justru membuat pemandangan langit-langit kota Surabaya menjadi tidak indah. Mengenai kemacetan, minimnya akses jalan alternatif yang dibangun pemerintah kota juga
4
menjadi
salah
satu
penyebab
kemacetan
di
kota
Surabaya.
(http://www.berdikarionline.com/) Pada tahun 2010 Pemerintah Kota Surabaya membangun 7 sentra PKL di antaranya adalah Sentra Tambaksari, Sentra Ketabang, Sentra Taman Prestasi, Sentra Wiyung, Sentra Gayungan, Sentra Indrapura dan Sentra Sukomanunggal.
Kerangka Teori dan Konseptual Konsep Sektor Informal Kota Konsep sektor informal mulai dikenal sejak Keith Hart seorang antropolog Inggris dari University of Menchester menerbitkan tulisannya pada tahun 1973. Keith Hart pertama kali menggunakan istilah sektor informal ketika melakukan penelitian tentang peranan wiraswasta ukuran kecil di kota Accra dan Nima, Ghana. Menurut Keith Hart kesempatan memperoleh penghasilan di kota dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu formal, informal, sah dan tidak sah (Manning dan Effendi, 1991: 78 dalam Karnaji, 2005: 19). Dari hasil penelitian ini konsep sektor informal kemudian dikembangkan dan diterapkan oleh International Labour Office (ILO) dalam penelitian di delapan kota Dunia Ketiga yaitu Free Town (Siera Leone), Lagos dan Kana (Nigeria), Kumasi (Ghana), Kolombo, Jakarta, Manila, Kordoba, dan Campina (Brazil) (Sethuraman, 1981: 188 dalam Mustafa, 2008: 3). Definisi yang dikemukakan Hidayat (1979: 53 dalam Karnaji, 2005: 21), menjelaskan sektor informal dari tiga sudut pandang. (1) Sektor yang tidak
5
menerima bantuan atau proteksi ekonomi dari pemerintah, seperti perlindungan tarif terhadap barang dan jasa, pemberian kredit dengan bunga rendah, pembimbingan teknis, perlindungan dan perawatan tenaga kerja, hak paten; (2) sektor yang belum mempergunakan bantuan ekonomi pemerintah meskipun bantuan telah tersedia dan (3) sektor yang telah menerima dan menggunakan bantuan atau fasilitas yang disediakan oleh pemerintah tetapi bantuan tersebut belum sanggup membuat unit usaha berdikari. Sementara itu Alisjahbana mencoba mengidentifikasi ciri-ciri sektor informal lebih terinci dan luas. Menurut Alisjahbana (2003: 20 dalam Karnaji, 2005: 28) bahwa ciri-ciri sektor informal adalah skala usaha kecil dan tidak berbadan hukum, sifat usaha seadanya, tidak ada pembukuan usaha, perencanaan usaha sambilan, modal kecil, sumber modal dari diri sendiri, perputaran modal lambat, tidak ada perlindungan hukum, tidak ada bantuan negara, ijin usaha tidak resmi, ijin hanya dari RT/RW, unit usaha mudah berganti, kegiatan usaha kurang terorganisir, organisasi usaha bersifat kekeluargaan, teknologi sederhana dan padat karya, tidak membutuhkan pendidikan formal, jam kerja tidak tentu, stok barang umumnya sedikit, omzetnya tidak tentu, melayani kalangan menengah bawah, jumlah karyawan di bawah 5 orang, tempat usaha berpindah-pindah, mudah dimasuki. Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan bagian dari sektor informal. Menurut Evers dan Korff (2002 dalam Mustafa, 2008:42) pedagang kaki lima adalah bagian dari sektor informal kota yang mengembangkan aktivitas produksi barang dan jasa di luar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar. Rata-rata pedagang
6
kaki lima menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang atau dipindahkan dan sering kali menggunakan fasilitas umum sebagai tempat usahanya. Menurut Bromley (1979 dalam Mustafa, 2008:43) di antara berbagai usaha sektor informal usaha pedagang kaki lima, tampaknya merupakan jenis pekerjaan yang penting dan relative khas dalam sektor informal di kota. Kekhususan tersebut dikarenakan usaha ini relatif paling mudah dimasuki serta berhadapan langsung dengan kebijaksanaan perkotaan. Adapun pengertian pedagang kaki lima sebagai bagian dari sektor informal dapat dijelaskan melalui ciri-ciri secara umum yang dikemukakan oleh Kartono (1980 dalam Mustafa, 2008:25) sebagai berikut; pertama, merupakan pedagang yang kadang-kadang juga sekaligus berarti produsen. Kedua, ada yang menetap pada lokasi tertentu, ada yang bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau stan yang tidak permanen serta bongkar pasang). Ketiga, menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainnya yang tahan lama secara eceran. Keempat, umumnya bermodal kecil, kadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan atau jerih payahnya. Kelima, kualitas barang yang diperdagangkan relative rendah dan biasanya tidak berstandar. Keenam, volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli umumnya merupakan pembeli yang berdaya beli rendah. Ketujuh, usaha skala kecil bisa berupa family enterprise, di mana ibu dan anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Kedelapan, tawar-menawar antara penjual dan pembeli
7
merupakan relasi ciri khas pada usaha perdagangan kaki lima. Kesembilan, dalam melakukan pekerjaannya ada yang secara penuh, sebagian lagi melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang dan ada pula yang melaksanakan secara musiman. Kesepuluh, seringkali barada dalam suasana psikologis tidak tenang, diliputi perasaan takut kalau tiba-tiba kegiatan mereka dihentikan oleh Tim Penertiban Umum (TEBUM) dan Satpol PP sebagai aparat Pemerintah Daerah. Konsep Disversifikasi Diversifikasi ialah usaha memperluas macam barang yang akan dijual. Ini merupakan usaha yang berlawanan dengan spesialisasi. Ada berbagai alas analasan yang mendorong suatu perusahaan mengadakan diversifikasi produk. Keinginan mengadakan perluasan usaha menjadi pendorong utama. Kegiatan menjadi serba besar, kemungkinan mendapatkan keuntungan juga akan lebih besar, karena diproduksikan sejumlah besar barang yang dibutuhkan konsumen atau paling tidak pendapatan stabil, sebab kerugian menjual barang yang satu dapat ditutup dengan keuntungan menjual barang yang lain. Diversifikasi produk merupakan salah satu cara untuk meningkatkan volume penjualan yang dapat dilakukan oleh perusahaan terutama jika perusahaan tersebut telah berada dalam tahap kedewasaan. Dengan diversifikasi produk, suatu perusahaan tidak akan bergantung pada satu jenis produknya saja. Tetapi perusahaan juga dapat mengandalkan jenis produk lainnya (produk diversifikasi). Karena jika salah satu jenis produknya tengah mengalami penurunan, maka akan dapat teratasi dengan produk jenis lainnya. Divesifikasi produk ini diperlukan
8
kreatifitas, inovasi, penelitian, modal, promosi atau komunikasi pemasaran, bantuan dari pemerintah untuk usaha kecil dan menegah. Produk makanan tradisonal umumnya tidak menggunakan teknologi tinggi, yang sangat berperan disini adalah kreatifitas, inovasi, jeli melihat peluang pasar, berani memulai, dan berpromosi. Kelompok ini sangat cocok untuk industri mikro/kecil/menegah, baik dikota maupun didesa, yang peting instansi Pembina tingkat kabupaten kota bersedia mendampinggi sebagai kosultan teknis produksi, manajemen, membantu promosi, memediasi kemitraan dan sumber permodalan. Teori Difusi Inovasi Evertt M. Rogers Berbicara tentang proses penyebaran teknologi baru maupun ide baru di dalam sistem sosial, tidak terlepas dari pembicaraan tentang proses penerapan teknologi baru atau ide baru tersebut. Untuk lebih sederhananya, pengertian teknologi baru dan ide baru itu disebut inovasi yang berasal dari kata “inovation”, sedangkan pengertian proses penerapan sering pula disebut proses adopsi yang berasal dari kata “Adoption Process”. Proses adopsi inovasi dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan untuk menggunakan/penerapan inovasi secara penuh oleh seseorang (individu). Berbeda dengan proses difusi inovasi yang terjadi di dalam sistem sosial, maka proses adopsi inovasi merupakan proses mental yang terjadi di dalam diri seseorang. Di dalam proses pengambilan keputusan untuk menggunakan sesuatu inovasi oleh seseorang (individu) biasanya diperlukan waktu. Hampir tidak pernah terjadi seseorang secara langsung mengadopsi sesuatu inovasi dalam waktu yang
9
sangat singkat. Hal ini disebabkan oleh adanya tahap-tahap yang perlu dilalui oleh seseorang sebelum sampai kepada tingkat adopsi inovasi. Menurut para ahli sebelum sampai kepada tingkat adopsi inovasi, terlebih dahulu akan melalui beberapa tahap yaitu: 1. Tahap sadar (awarness stage) yaitu tahap di mana sesorang (individu) mulai menyadari adanya sesuatu yang baru (pembaruan) baik berupa teknologi baru maupun ide baru. Pada tahap ini biasanya informasi tentang hal-hal yang baru itu masih sangat sedikit. 2. Tahap menarik perhatian (interest stage) yaitu tahap di mana seseorang mulai tertarik perhatiannya terhadap sesuatu inovasi sehingga sesalu berusaha untuk mencari informasi yang lebih banyak tentang inovasi tersebut. 3. Tahap penilaian (evaluation stage) yaitu tahap di mana seseorang mulai menggunakan kemampuan mentalnya untuk mempertimbangkan apakah akan menggunakan inovasi itu atau tidak. 4. Tahap mencoba (trial stage) yaitu tahap di mana individu telah memulai menggunakan inovasi, tetapi dalam ukuran yang kecil atau penggunaan inovasi itu belum sepenuhnya. 5. Tahap penerapan (adoption stage) yaitu tahap di mana individu telah menggunakan hal-hal yang baru itu (inovasi) sepenuhnya dan secara berkesinambungan untuk periode waktu yang relatif lama sampai ditemukan kembali hal-hal yang baru yang lebih baik.
10
Dalam kenyataannya waktu yang diperlukan oleh masing-masing individu di dalam sistem sosial sejak tahap sadar sampai tahap adopsi tidak selalu sama. Mungkin individu yang satu lebih cepat dari pada individu yang lain atau sebaliknya. Hal ini tergantung kemampuan mental maupun fisik individu yang bersangkutan.
Metode Penelitian Tipe penelitian deskriptif dengan menggunakan data-data kualitatif, data yang dikumpulkan berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep dan keterangan yang berbentuk uraian dalam mengungkapkan masalah. Sehingga peneliti diharapkan dapat mengolah informasi yang diperoleh dari informan secara mendetail. Jika dilihat berdasarkan permasalahan yang diambil, maka peneliti diharapkan dapat mengolah informasi yang diperoleh dari informan secara mendetail dan diharapkan dapat mengungkap masalah ketidakinginan pedagang adanya relokasi pedagang kaki lima Kenjeran ke Pasar Sentra Ikan Bulak sehingga menimbulkan konflik antara pedagang yang berada di Pasar Sentra Ikan Bulak dan pedagang kaki lima di Kenjeran. Penelitian deskriptif ini digunakan karena peneliti ingin menjelaskan dan menggambarkan suatu permasalahan yang dianggap menarik. Pada metode deskriptif ini informasi yang diperoleh dapat dieksplore dan disesuaikan dengan teori yang digunakan, yaitu teori Difusi Inovasi dari Evertt M. Rogers. Lokasi penelitian berada di Objek Wisata Pantai Ria Kenjeran yang berada di wilayah kecamatan Bulak kota Surabaya ini merupakan tempat wisata
11
yang murah meriah. Wisata bagi kalangan menengah kebawah dan tempat wisata yang banyak dikunjungi oleh anak dan penduduk luar kota Surabaya. Di mana lokasi ini juga terkenal oleh-oleh olahan ikannya. Seperti kerupuk dan dan ikan asapnya. Secara khusus, terdapat dua lokasi yang digunakan, yaitu Pasar Sentra Ikan Bulak dan daerah penjualan di sekitar Pantai Kenjeran. Alasan peneliti memilih lokasi ini adalah, lokasi ini paling banyak mengalami perubahan pada kota Surabaya. Di mana wilayah Pantai Kenjeran mengalami banyak perubahan seperti semakin lebarnya jalan. Berkurangnya jumlah pedagang kaki lima di kawasan Pantai Ria Kenjeran. Dalam studi ini, pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling. mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang di teliti. Dalam informan yang terpilih adalah empat (4) pedagang pasar Sentra Ikan Bulak yang bersedia adanya relokasi Pemerintah Kota Surabaya dan dua (2) pedagang kaki lima di Kenjeran yang menolak adanya relokasi dari Pemerintah kota Surabaya. Analis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Artinya bahwa data yang didapat berupa deskriptif, kata-kata dan kalimat yang dapat menjadi kunci terhadap masalah yang akan di teliti. Data yang didapat kemudian akan diseleksi dipetakan, diklasifikasi dan dianalisis dengan menggunakan acuan kerangka teoritik. Data yang diperoleh barupa narasi, catatan lapangan atau ringkasan dari wawancara yang telah dilakukan selama pengamatan dilakukan, yang mencakup perubahan dalam daftar pertanyaan, karakteristik partisipan, frase dan
12
kata-kata deskriptif yang digunakan partisipan dalam mendiskusikan pertanyaan, tema-tema yang muncul sebagai respon dari pertanyaan, antusiasme dari partisipan, bahasa tubuh hingga suasana wawancara dan pengamatan. Data ditulis ulang secara tertulis dan diinterpretasikan oleh peneliti. Data ini kemudian dikelompokkan kedalam kategorisasi tema untuk memudahkan peneliti untuk melihat realitas yang ada dalam penelitian. Tema-tema yang muncul tetap dibatasi oleh permasalahan yang diangkat oleh peneliti.
Respon Pedagang terhadap Relokasi Pedagang Kaki Lima dari Kenjeran ke Pasar Sentra Ikan Bulak Di dalam proses pengambilan keputusan untuk menggunakan sesuatu inovasi oleh seseorang (individu) biasanya diperlukan waktu. Hampir tidak pernah terjadi seseorang secara langsung mengadopsi sesuatu inovasi dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini disebabkan oleh adanya tahap-tahap yang perlu dilalui oleh seseorang sebelum sampai kepada tingkat adopsi inovasi. 1. Tahap sadar (awarness stage) yaitu tahap di mana sesorang (individu) mulai menyadari adanya sesuatu yang baru (pembaruan) baik berupa teknologi baru maupun ide baru. Pada tahap ini biasanya informasi tentang hal-hal yang baru itu masih sangat sedikit. 2. Tahap menarik perhatian (interest stage) yaitu tahap di mana seseorang mulai tertarik perhatiannya terhadap sesuatu inovasi sehingga sesalu berusaha untuk mencari informasi yang lebih banyak tentang inovasi tersebut.
13
3. Tahap penilaian (evaluation stage) yaitu tahap di mana seseorang mulai menggunakan kemampuan mentalnya untuk mempertimbangkan apakah akan menggunakan inovasi itu atau tidak. 4. Tahap mencoba (trial stage) yaitu tahap di mana individu telah memulai menggunakan inovasi, tetapi dalam ukuran yang kecil atau penggunaan inovasi itu belum sepenuhnya. 5. Tahap penerapan (adoption stage) yaitu tahap di mana individu telah menggunakan hal-hal yang baru itu (inovasi) sepenuhnya dan secara berkesinambungan untuk periode waktu yang relatif lama sampai ditemukan kembali hal-hal yang baru yang lebih baik. Pedagang kaki lima yang menerima inovasi dari pemerintah untuk melakukan relokasi pedagang dari Kenjeran ke pasar Sentra Ikan Bulak sebelumnya juga membutuhkan beberapa waktu untuk mempertimbangkan memindahkan barang dagang mereka. Pemerintah juga berupaya semaksimal mungkin
untuk
melakukan
sosialisasi
kepada
pedagang
agar
mereka
menggunakan lahan yang telah disediakan oleh pemerintah kota. Sampai saat ini jumlah pedagang ada di pasar Sentra Ikan Bulak hanya berjumlah sembilan orang untuk stan penjual ikan asap, enam orang untuk pedagang kerupuk, tiga belas orang untuk pedagang makanan dan minuman, untuk stan ikan segar dan stan kerang hias belum ada yang menempati. Dari seluruh pedagang yang ada di pasar Sentra Ikan Bulak menurutnya mereka menerima inovasi yang diberikan oleh pemerintah karena pemerintah membangun pasar tersebut menggunakan uang negara sayang sekali bila fasilitas tersebut tidak
14
digunakan semaksimal mungkin, meski saat ini belum ada penarikan biaya stan selama dua tahun. Penarikan biaya stan akan dilakukan bila pasar tersebut sudah beroperasi dengan baik. Pedagang MN juga menjelaskan dirinya dan juga temantemannya yang berdagang ikan asap di pinggir jalan bersedia memindahkan barang dagang mereka ke pasar Sentra Ikan Bulak bila fasilitas yang ada di pasar sudah dipenuhi oleh pengelola dan penarikan biaya stan tidak terlalu mahal. Lokasi pasar yang memiliki lahan cukup luas dimanfaatkan oleh pemerintah menggunakan lahan tersebut sebagai tempat untuk diadaknnya acaraacara dari pemeritah kota Surabaya hal ini dilakukan juga untuk mempromosikan pasar Sentra Ikan Bulak sebagai pasar dengan berbagai macam olahan ikannya. Dengan adanya acara tersebut juga menambah pendapatan yang diterima oleh pedagang pasar Sentra Ikan Bulak. Dalam data tersebut, pedagang kaki lima yang menerima inovasi tersebut sudah mencapai pada tahap penerapan (adoption stage) yaitu tahap di mana individu telah menggunakan hal-hal yang baru itu (inovasi) sepenuhnya dan secara berkesinambungan untuk periode waktu yang relatif lama sampai ditemukan kembali hal-hal yang baru yang lebih baik. Sejak tahun 2014 hingga sekarang pedagang kaki lima yang bersedia menerima inovasi dari pemerintah kota meski keadaan pasar masih sepi, untuk itu dibutuhkan inovasi kembali dari pengelola untuk mempromosikan pasar tersebut sebagai tempat oleh-oleh ciri khas dari Pantai Ria Kenjeran. Pedagang yang ada di pasar Sentra Ikan Bulak menginginkan adanya koperasi simpan pinjam, karena pendapatan yang mereka terima di sana masih sedikit dibandingkan dengan
15
pendapatan mereka berdagang di pinggir jalan untuk itu membutuhkan modal untuk menutupi kebutuhan mereka. Pedagang yang ada di pasar Sentra Ikan Bulak menginginkan pemerintah segera melengkapi fasilitas yang ada di pasar serta memperbaiki akses jalan menuju pasar seperti pembebasan bangunan liar yang menuju pasar Sentra Ikan Bulak sehingga seluruh pedagang kaki lima yang ada di obyek wisata Pantai Ria Kenjeran bersedia memindahkan barang dagang mereka, sehingga tidak ada perbedaan pendapat lagi antara pedagang pasar dengan pedagang kaki lima. Pedagang yang menolak atau memberi respon negatif dengan adanya inovasi dari pemerintah, pedagang kaki lima di Kenjeran menilai relokasi ini ada karena ada campur tangan dari pihak lain yang merasa terganggu dengan adanya pedagang kaki lima di Kenjeran. Pedagang kaki lima di Kenjeran juga menilai lokasi pasar Sentra Ikan Bulak berada cukup jauh dari tempat wisata Pantai Ria Kenjeran, fasilitas yang masih dalam jumlah terbatas belum mencukupi seluruh pedagang, serta akses jalan menuju pasar Sentra Ikan Bulak yang masih sempit menjadi pertimbangan para pedagang kaki lima di Kenjeran. Pemerintah saat ini berupaya untuk menambah jumlah fasilitas yang ada di pasar Sentra Ikan Bulak, agar pedagang yang ada di Kenjeran bersedia merelokasi barang dagang mereka ke pasar, serta pemerintah berupaya untuk membebaskan bangunan liar yang berada di wilayah Kenjeran, pembebasan bangunan ini untuk pelebaran jalan, agar jalan untuk menuju pasar Sentra Ikan Bulak tidak lagi sempit dan kendaraan besar yang membawa rombongan wisatawan bisa berkunjung di pasar Sentra Ikan Bulak.
16
Pedagang kaki lima di Kenjeran saat ini dalam tahap penilaian (evaluation stage) yaitu tahap di mana seseorang mulai menggunakan kemampuan mentalnya untuk mempertimbangkan apakah akan menggunakan inovasi itu atau tidak. Dibutuhkan sosialisasi kepada pedagang kaki lima yang lebih intensif agara inovasi yang berlangsung dapat berjalan dengan baik, serta untuk para pembeli untuk tidak lagi membeli di pedagang kaki lima selain karena kualitas yang tidak menjamin serta adanya pedagang kaki lima membuat kemacetan di wilayah tersebut. Dalam kenyataannya waktu yang diperlukan oleh masing-masing individu di dalam sistem sosial sejak tahap sadar sampai tahap adopsi tidak selalu sama. Mungkin individu yang satu lebih cepat dari pada individu yang lain atau sebaliknya. Hal ini tergantung kemampuan mental maupun fisik individu yang bersangkutan. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini untuk menjawab fokus permasalahan pengetahuan pedagang mengenai tata kota yang ada di wilayah Kenjeran di mana seluruh pedagang mengetahui tentang tata kota yang ada di Surabaya. Pedagang kaki lima yang berada di obyek wisata Pantai Kenjeran juga mengetahui bahwa lokasi berdagang merupakan akses untuk pelebaran jalan yang akan dilakukan oleh pihak pemerintah kota Surabaya. Respon negatif dengan adanya relokasi pedagang kaki lima diberikan oleh pedagang kaki lima di Kenjeran, baginya pasar Sentra tidak mendapatkan pendapatan yang maksimal, fasilitas pasar yang jumlahnya terbatas untuk pedagang. Lokasi pasar Sentra Ikan Bulak yang berada
17
cukup jauh dari tempat wisata Pantai Ria Kenjeran juga menjadi alasan bagi para pedagang kaki lima menetap di pinggir jalan dengan fasilitas yang sederhana. Sebaliknya respon positif dari para pedagang kaki lima dengan adanya inovasi dari pemerintah dengan adanya relokasi pedagang kaki lima ke pasar Sentra Ikan Bulak meski pedagang melalui tahap-tahap adaptasi untuk berdagang di tempat baru. Pedagang ikan asap yang mayoritas merupakan wanita menjadi alasan mereka memindahkan barang dagang karena keterbatasan tenaga yang dimiliki. Alasan pedagang kaki lima yang bersedia memindahkan barang dagangnya ke pasar Sentra Ikan Bulak karena lokasi yang lama sudah dibongkar oleh Satpol PP, fasilitas pasar yang sudah lebih baik meski dalam jumlah terbatas, masih belum ada penarikan biaya stan, tempat cuci ikan yang tidak berkolompok atau sudah sendiri-sendiri. Walaupun sekarang pasar Sentra Ikan Bulak sudah dihuni oleh pedagang kaki lima, pedagang pasar tetap menginginkan pihak pengelola atau pemerintah melakukan penertiban dengan tegas pedagang kaki lima yang masih berdagang di pinggir jalan, serta pedagang di pasar menginginkan pemerintah melakukan pembangunan fasilitas yang kurang dan pedagang pasar menginginkan pengelola melakukan pemasaran yang optimal agar pasar tersebut ramai dikunjungi oleh para wisatawan agar pasar berjalan dengan optimal. Berbagai respon yang diberikan oleh pedagang mengenai relokasi pedagang kaki lima baik dari respon positif maupun respon negatif. Dari respon positif mereka menganggap inovasi yang diberikan oleh pemerintah saat ini demi kelangsungan
hidup
para
pedagang
maupun
masyarakat.
Pemerintah
menginginkan proses jual beli dilakukan di lokasi yang nyaman, aman dan bersih.
18
Respon negatif juga diberikan oleh pedagang dengan adanya inovasi tersebut, mereka menganggap relokasi yang dilakukan karena adanya pihak lain yang merasa terganggu dengan adanya pedagang kaki lima. Namun dari pihak pemerintah menyangkal bahwa relokasi ini dilakukan untuk penertiban PKL yang semakin tumbuh banyak di kota khususnya kota Surabaya. Diperlukan pemasaran dari pihak pengelola agar pasar Sentra Ikan Bulak ramai dengan pengunjung, sehingga pendapatan mereka stabil seperti di tempat lama mereka berjualan. Pedagang kaki lima yang berada di pasar Sentra Ikan Bulak mereka sudah dalam tahap penerapan di mana individu telah menggunakan hal-hal yang baru itu (inovasi) sepenuhnya dan secara berkesinambungan untuk periode waktu yang relatif lama sampai ditemukan kembali hal-hal yang baru yang lebih baik. Selain itu perlu adanya diversifikasi guna meningkatkan daya jual mereka dan membedakan barang dagang di pasar dengan barang dagang yang ada di pinggir jalan.
Daftar Pustaka
Literatur Buku Aditya, Rangga Bisma. 2011. Dinamika Konflik Pedagang Kaki Lima Pasar Keputran dengan Pemerintah Kota Surabaya. Surabaya. Skripsi. Universitas Airlangga Surabaya Afandy, Aswin. 2009. Kekerasan Pada Pedagang Kaki lima. Surabaya. Skripsi. Universitas Airlangga Bogdan dan Taylor. 1984. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional Evers, Hans Dieter dan Rudiger Korff. 2002. Urbanisme Di Asia Tenggara Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial. Jakarta: Obor Indonesia Hasansulama, M.I dkk. 1983. Sosiologi Pedesaan. Jakarta: U. Suryadi
19
Karnaji. 2005. Kalangan Marginal di Perkotaan Study Kasus Perlawanan Ex Pedagang Kaki Lima Taman Surya Surabaya. Surabaya. Tesis. Fisip Universitas Airlangga Mustafa, Ali Achsan DR. 2008. Transformasi Sosial Masyarakat Marginal: Mengukuhkan Eksistensi Pedagang Kaki Lima dalam Pusaran Modernitas. Malang. InTrans kerja sama dengan INSPIRE Ritzer, George dan Godman Douglas J. 2004. Teori Sosial Modern. Jakarta: Kencana Suyanto, Bagong dkk. 2002. Menata PKL dan Bangunan Liar. Surabaya: Pemerintah Kota Surabaya Internet http://handuk-qu.blogspot.com/ diakses pada tanggal 5 Juli 2014 pukul 22.07 http://www.berdikarionline.com/ diakses pada tanggal 5 Juli 2014 pukul 22.35 http://www.lensaindonesia.com/2013/12/06/pantai-kenjeran-surabaya-bakaldisulap-seperti-phuket-thailand.html diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 08.24 http://www.merdeka.com/peristiwa/lokalisir-pedagang-liar-wali-kota-surabayaresmikan-sentra-pkl.html diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 08.56 http://www.centroone.com/news/2013/10/1y/dikritik-dewan-pemkot-tetapbangun-sentra-pkl/ diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 09.00 http://www.transsurabaya.com/2011/01/pemkot-surabaya-bangun-11-sentra-pkl/ diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 09.09 http://dinkop-umkm.surabaya.go.id/index.php/web/view/surabaya-jadi-acuanpenataan-pkl-kota-kota-di-indonesia.html diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pada pukul 09.13 http://www.centroone.com/news/2012/05/5y/penataan-pkl-di-surabaya-dapatpujian/ diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pada pukul 10.12 http://id.shvoong.com/business-management/management/2084016-pengertiandiversifikasi/#ixzz3D208gkZJ diakses pada tanggal 29 Agustus 2014 pada pukul 08.29 http://indraprayoga.wordpress.com/2009/11/18/diversifikasi-produk/ diakses pada tanggal 29 Agustus 2014 pada pukul 08.35 Sumber Lembaran Negara Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003
20