RELEVANSI PENGGUNAAN TEKNIK INTERSEPSI ATAU PENYADAPAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Nu'man Aunuh Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Email :
[email protected]
Abstraksi Penyadapan atau Intersepsi yang dilakukan oleh instansi penegak hukum di Indonesia merupakan kewenangan yang telah diamanatkan oleh undang-undang, namun dilain pihak, penyadapan merupakan bagian dari pendholiman bagi orang-orang yang disadap. tulisan ini mengedepankan relevansi penyadapan dalam pemberantasan korupsi yang dihadapkan pada corak keberagaman berpendapat masyarakat indonesia. Masyarakat Indonesia yang terlalu plural menyebabkan penyadapan atau intersepsi berada pada titik terjauh antara pihak yang sependapat dan tidak sependapat terhadap penerapan penyadapan perkara korupsi. Corak masyarakat indonesia yang terlalu plural tidak bisa dipersalahkan terhadap tajamnya kontroversi penggunaan penyadapan di Indonesia. Kata Kunci : Relevansi, Penyadapan, Pemberantasan, Korupsi Abstract Wiretapping or interception by law enforcement agencies in Indonesia is the authority that has been mandated by law, but on the other hand, intercepts a part of pendholiman for people who bugged. This paper emphasizes the relevance of tapping in combating corruption faced complexion diversity found Indonesian society. Pluralistic in Indonesian society causes wiretapping or interception is at the furthest point between those who agree and do not agree to the application of a corruption case wiretaps. Shape pluralistic Indonesian society can not be blamed for the sharp controversy over the use of wiretaps in Indonesia. Key Word: Relevance, Tapping, Eradication, Corruption
PENDAHULUAN Penyadapan merupakan tindakan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan / atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. penyadapan sendiri di Indonesia adalah suatu hal yang bersifat legal asalkan dilakukan oleh lembaga atau institusi tertentu yang diberikan kewenangan oleh
hukum untuk melakukan penyadapan, salah satu lembaga atau institusi tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak dapat dipungkiri bahwa Teknik pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK dengan cara melakukan Intersepsi atau Penyadapan cukup ampuh dalam mengungkap terjadinya kasus Korupsi, misalkan saja kasus mengenai peyadapan yang menjadi pembicaraan publik pada tahun 2008 lalu yaitu kasus Artalyta Suryani alias Ayin, Artalyta adalah seorang 52
pengusaha Indonesia yang dikenal karena keterlibatannya dalam kasus penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Artalyta dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara pada tanggal 29 Juli 2008 atas penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dolar AS. Kasus ini mendapat banyak perhatian karena melibatkan pejabat-pejabat dari kantor Kejaksaan Agung, dan menyebabkan mundur atau dipecatnya pejabat-pejabat negara. Kasus ini juga melibatkan penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan hasil penyadapan tersebut diputar di stasiun-stasiun televisi nasional Indonesia.1 Penyadapan adalah teknik yang sampai saat ini menjadi hal yang kontroversial untuk dilakukan baik bagi pandangan masyarakat maupun para ahli hukum, meskipun penyadapan sendiri telah diatur dalam hukum negara ini, namun banyak kalangan menilai bahwa penyadapan adalah melanggar hak asasi manusia karena orang merasa dizhalimi dengan adanya penyadapan tersebut. Namun akhir-akhir ini yakni menjelang akhir tahun 2012, santer terdengar bahwa akan ada revisi oleh DPR RI terhadap UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang didalamnya memberikan kewenangan pada KPK untuk melakukan Penyadapan dan merekam pembicaraan. RUMUSAN MASALAH Artikel ini berusaha membahas mengenai apakah Teknik Intersepsi atau penyadapan cocok digunakan dalam kasus pemberantasan Korupsi di Indonesia?
1
PEMBAHASAN GAMBARAN UMUM TENTANG KORUPSI DI INDONESIA Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian yang sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas bumi ini. Masalah utama yang dihadapi adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan pengalaman memperlihatkan semakin maju pembangunan suatu bangsa semakin meningkat juga kebutuhan mendorong orang untuk melakukan korupsi. Orang yang berkorupsi tidak perlu merasa malu ataupun takut akan sanksi dari peraturanperaturan yang telah ada. Membudayanya korupsi dalam kehidupan bernegara tidak memungkinkan pemberantasan terhadap hal tersebut dilakukan sekali waktu selesai. Korupsi dapat dikikis secara berangsur-angsur sehingga akhirnya korupsi tersebut dapat diberantas atau sekurangkurangnya dapat ditekan sampai tingkat serendah mungkin. Korupsi di indonesia memiliki banyak bentuk sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-undang, Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Berdasarkan penafsiran terhadap ketentuanketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.
Penyadapan, http://id.wikipedia.org. diakses pada tanggal 1 September 2012
53
Kategorisasi pertama ini lebih mengacu terhadap pelaku tindak pidana korupsi, baik pelaku utama maupun pelaku yang sekedar memberikan bantuan sehingga memungkinkan terjadinya korupsi. Perincian dari kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut2: a. Korupsi yang terjadi antara pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan pihak non penyelenggara negara berupa pemberian atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (vide Pasal 5 ayat (1)); b. Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan yang dapat mempengaruhi putusan perkara, dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim (vide Pasal 6 ayat (1)); c. Korupsi yang terjadi di lingkungan kegiatan pemborongan, pembangunan, dan pengadaan barang (vide Pasal 7 ayat (1)). d. Penggelapan uang atau surat berharga yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu (vide Pasal 8); e. Pemalsuan yang dilakukan oleh pegawai ne-geri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu (vide Pasal 9); 2
Tintin Sri Murtinah dan Rusma Dwiyana, Tinjauan Konseptual Yuridis Terhadap Korupsi, www.docstoc.com, Jakarta, (tanpa tahun), hlm. 3.
f. Gratifikasi (pemberian uang, barang, rabat / diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan lain sebagainya) yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara berkaitan dengan jabatan dan kewajibannya (vide Pasal 11 dan 12); g. Pemberian hadiah atau pegawai negeri karena kedudukannya (Pasal 13);
janji kepada jabatan atau
h. Pelanggaran terhadap ketentuan undangundang lain baik secara formal maupun materiil yang mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14); i. Perbuatan percobaan pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15); j. Perbuatan, yang terjadi di dalam wilayah Republik Indonesia, memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16). Berdasarkan hasil survei oleh Transparency International3, Indonesia memiliki CPI (Corruption Perception Index 2009 ) 2,8 . Skor ini dapat dibaca bahwa Indonesia masih dipandang rawan korupsi oleh para pelaku bisnis maupun pengamat/analis negara. Skor Indonesia yang sangat rendah menunjukkan bahwa usaha pemberantasan korupsi masih jauh dari berhasil dan komitmen pemerintah terhadap terbentuknya tata kelola pemerintahan yang lebih baik harus dipertanyakan. sangat memprihatinkan apalagi bila skor Indonesia dibandingkan dengan negaranegara tetangga seperti Singapura, Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,5), dan Thailand (3,3). 3
.Hasil Survei TI, http://infokorupsi.com, diakses pada 4 November 2012.
54
Berdasarkan pengalaman empiris selama ini terlihat bahwa di dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan tindak pidana korupsi memerlukan dukungan dan wewenang yang bersifat extra ordinary (luar biasa), profesional dan dukungan biaya yang besar, serta tersedianya waktu untuk penyelidikan dan penyidikan yang cukup. Kendala utama yang dihadapi selama penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dalam penanganan tindak pidana korupsi yaitu kurangnya dukungan anggaran, sumber daya manusia yang masih belum memadai dan hambatan-hambatan penyidikan terhadap pejabat-pejabat negara, sulitnya menembus rahasia bank, hukum acara pidana yang tidak efektif dan efisien, serta rendahnya dukungan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat sendiri. Reformasi mengandung arti perubahan untuk perbaikan, maka di dalam era reformasi ini perlu adanya penegakan supremasi hukum di segala aspek kehidupan, termasuk juga perbaikan kinerja lembaga-lembaga hukum dan aparat penegak hukum. Mencermati perkembangan birokrasi atau pemerintahan di Indonesia sejak zaman orde lama, orde baru hingga orde reformasi, selalu tidak pernah lepas dari persoalan internal berupa praktek pemerintahan yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Praktek KKN telah merasuk keseluruh sendi kehidupan masyarakat dan merusak mental masyarakat. Para pejabat pemerintahan dari tingkat pusat sampai ketingkat daerah, dari eselon yang paling tinggi sampai pesuruh kantor terlibat korupsi, seluruh harta kekayaan Negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat digerogoti, ditumpuk, disimpan diluar negeri untuk kepentingan pribadi dan menjamin kelangsungan kejayaan keluarga.4 Tindak pidana korupsi yang terjadi secara 4
.Benedictus Bosu, 2004 Menuju Indonesia Baru – Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bayumedia, Malang, hlm. 1.
menyeluruh yang tidak hanya terjadi di pemerintahan pusat, akan tetapi juga terjadi di setiap wilayah otonom di Indonesia menjadikan kerugian Negara semakin meningkat dan sulit untuk di kontrol berkenaan dengan lemahnya pengawasan oleh aparat penegak hukum serta apatisnya mayoritas masyarakat. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga pelanggaran ini harus dikategorikan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa, salah satu cara tersebut adalah dengan teknik penyadapan atau intersepsi. Dalam pandangan internasional, kejahatan korupsi dikategorikan sebagai white collar crime dan memiliki dampak yang begitu kompleks. Kongres PBB ke-8 mengenai “Prevention Of Crime And Treatment Of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption in Goverment” di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi, yakni : 1. Korupsi dikalangan pejabat publik dapat berakibat : dapat menghancurkan efektifitas potensial dari semua jenis program pemerintah, dapat menghambat pembangunan, menimbulkan korban individu kelompok masyarakat. 2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram. Dalam ketentuan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga untuk memberantasnya diperlukan tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Untuk penindakan (law enforcement) saja tidak cukup dengan institusi yang ada (Kepolisian dan Kejaksaan), tapi dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan untuk mengadili pun harus dibentuk peradilan khusus yaitu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 55
Korupsi sendiri oleh banyak pakar dianggap akan selalu ada bilamana kesejahteraan pegawai masih rendah. Pemenuhan ‘kebutuhan hidup’ dianggap menjadi alasan utama orang melakukan tindakan korupsi (bribery). Berangkat dari teori itulah pemerintah era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemudian mengambil kebijakan menaikkan gaji pengawai negeri sipil (PNS) dan pejabat negara secara drastis dan berkelanjutan, meski kebijakan ini pada akhirnya memunculkan kecemburuan pada pegawai swasta (buruh pabrik) yang masih berkutat pada tataran ‘upah minimum’. Khusus untuk pegawai negeri atau pejabat yang bekerja di instansi strategis yang rawan terjadi korupsi, bahkan diambil kebijakan dinaikkan gaji dan tunjangannya lebih tinggi (remunerasi). berikut ini adalah Kondisi yang mendukung munculnya korupsi5 : a. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezimrezim yang bukan demokratik. b. Kurang transparansi dipengambilan keputusan pemerintah. c. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal. d. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar. e. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama". f. Lemahnya ketertiban hukum. g. Lemahnya profesi hukum. h. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa. i. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil. j. Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal 5
Korupsi, Www.wikipedia.com/korupsi, diakses pada 4 Nopember 2012
memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum. k. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye". Sudah saatnya pemerintah mulai memikirkan sistem pengawasan yang lebih terstruktur dan transparan. Seyogyanya, sistem negara dibentuk dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh, tidak hanya sekedar dibuat regulasinya lantas dibiarkan begitu saja. Karena sebagaimana diungkapkan oleh pimpinan KPK, tindak pidana korupsi yang banyak ditangani tidak hanya berkaitan dengan kerugian negara, namun justru sebagian besar berkaitan dengan perilaku Penyuapan (bribery). Sedangkan perilaku sendiri sangat berkaitan erat dengan moralitas, kepribadian dan hak asasi manusia. Di era globalisasi seperti sekarang, tentu tidak mudah menyuruh pegawai agar bergaya hidup sederhana, memiliki moral yang baik dan bersikap alim. Gaya hidup adalah bagian dari hak asasi yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun. Alternatifnya, opini umum dan para pakar yang menginginkan adanya pembuktian kasus korupsi dipergunakan beban pembuktian terbalik (Omkering van het Bewijslat atau Reversal Burden of Proof / Onus of Proof) layak dipertimbangkan. Hal ini dapat dilakukan secara khusus terhadap kasus-kasus korupsi (terutama suap) yang sulit dalam pembuktian. KPK sendiri dalam mencari alat bukti korupsi (bribery) harus melakukan berbagai penyadapan, meski kemudian berujung pada pro dan kontra. Belakangan ini kasus korupsi yang paling marak dan banyak menjadi sorotan adalah mengenai gratifikasi dan suap. Banyak media memberitakan mengenai pejabat baik ditingkat pusat maupun daerah dan aparat penegak hukum terlibat dalam perkara gratifikasi dan tindak pidana suap. Kecenderungan memberikan sesuatu sebagai wujud penghormatan memang sudah berakar kuat pada budaya Indonesia, yang 56
menjadi masalah ialah bahwa suap di Indonesia sudah memiliki akar budaya yang demikian dalam. Kosakata suap dalam bahasa Indonesia salah satunya adalah upeti, upeti berasal dari kata utpatti dalam bahasa Sansekerta yang kurang lebih berarti bukti kesetiaan. Menurut sejarah, upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk, dalam budaya birokrasi di Indonesia ketika kebanyakan pemerintahan masih menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda, upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai simbiosis mutualisme. Sistem kekuasaan yang mengambil pola hierarkhi ini ternyata mengalami adaptasi di dalam sistem birokrasi modern di Indonesia. Wujud perilaku korupsi di indonesia adalah bagaikan semut hitam yang berjalan di batu hitam ketika malam, sehingga untuk mencium bau korupsi saja sangat sulit, tidak heran bila perkara korupsi harus diberantas dengan cara-cara yang luar biasa, salah satu cara tersebut adalah dengan cara intersepsi atau Penyadapan. KEWENANGAN PENYADAPAN OLEH KPK Kewenangan penyadapan di indonesia sebenarnya terbilang cukup banyak otoritas dan hukum yang mengatur penyadapan. Otoritas yang memberikan izin untuk dilakukannya penyadapan di Indonesia sangat beragam dan berbeda-beda tergantung sasarannya. Padahal umumnya di negara lain, izin penyadapan hanya dimiliki oleh satu otoritas saja. Ada yang menggunakan model yang izinnya diberikan oleh pemerintah (executive authorisation), ada yang menggunakan model yang izinnya diperoleh dari pengadilan (judicial authorisation), dan model yang diizinkan oleh hakim komisaris (investigating magistrate). Indonesia justru menganutnya secara campur sari, tanpa adanya mekanisme pengawasan yang jelas. Sebut saja Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan
hanya atas izin ketua pengadilan negeri, UndangUndang Psikotropika membolehkan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dengan izin Kepala Polri, Undang-Undang Narkotika membolehkan Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan penyadapan dengan izin ketua pengadilan negeri, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengizinkan penyadapan atas permintaan penyelidikan aparat hukum yang didasarkan Undang-Undang dan Undang-Undang KPK memperbolehkan melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi berdasarkan keputusan KPK. Berikut peraturan terkait penyadapan di indonesia: Peraturan Terkait Kewenangan Penyadapan 1. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika 2. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (diubah dengan UU No 35 Tahun 2009) 3. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4. UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi 5. PP No. 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 6. Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 7. UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat 8. PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi 9. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 10. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 11. KUHP Pasal 430 ayat 2 12. Permenkominfo No. 11 Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi Undang-Undang telah memberikan Penjelasan terkait definisi intersepsi atau penyadapan yakni pada pasal 31 ayat (1) UU No 57
1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, intersepsi atau penyadapan adalah6 : “Kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi" Terkait kewenangan KPK dalam rangka pemberantasan korupsi, maka undang-undang memberi kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyadapan, sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa7: ”Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”. Kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan yang diberikan oleh Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya cukup disebut UU KPK), tidak menjelaskan dengan rinci mekanisme dan batasan mengenai pelaksanaan penyadapan tersebut. Adanya Ketidakjelasan mengenai mekanisme dan batasan kewenangan penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut memunculkan asumsi publik bahwa kewenangan penyadapan 6
..Undang-Undang
Informasi & Transaksi Elektronik, 2009, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jogjakarta : Pustaka Yustisia, hlm. 70 7 .Citra Mandiri, Himpunan Peraturan PerundangUndangan Republik Indonesia 2002 (Jilid III), Jakarta: CV. Citra Mandiri, hlm. 245.
oleh KPK tersebut telah melanggar hukum bahkan melanggar HAM yakni melanggar hak privasi seseorang. Pandangan tersebut seharusnya tidak diarahkan pada KPK namun diarahkan pada Hukum yang menjadi landasan bagi kewenangan KPK dalam melakukan Penyadapan, serta bahwa penyadapan yang dilakukan oleh KPK tidak melanggar HAM, oleh karena ditentukan dalam pasal 73 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi dapat dibatasi dengan undang-undang dan Penyadapan KPK juga tidak melanggar UUD 1945, oleh karena pasal 28 J UUD 1945 menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. RELEVANSI PENERAPAN PENYADAPAN BAGI USAHA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Di Indonesia, tindakan komunikasi antara orang yang satu dengan orang yang lainnya pada dasarnya adalah merupakan hal yang pribadi, semisal pada percakapan melalui alat komunikasi telphone, pengiriman pesan melalui short message service (SMS), pengiriman berkas melalui electronic mail / e-mail, pesan chat melalui sarana jejaring sosial serta model-model komunikasi lainnya. model-model komunikasi seperti ini adalah model komunikasi berjarak yang melibatkan sarana teknologi yang rentan untuk di sadap baik oleh perorangan atau oleh lembaga instansi penegak hukum. Seseorang secara hukum telah dilarang melakukan penyadapan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)8, Pasal 31 ayat (1) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dalam suatu Komputer dan / atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain”, ayat (2) “ Setiap orang dengan sengaja dan tanpa 8
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
58
hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan / atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan / atau penghentian Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan; ayat (3) kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan / atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undangundang; ayat(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Dalam Pasal 31 dapat dijelaskan bahwa setiap orang yang melakukan penyadapan terhadap orang lain dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum itu dilarang sedangkan penyadapan untuk penegakan hukum itu dibolehkan sepanjang diatur oleh undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 31 ayat (3) kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan / atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Melihat gambaran menakutkannya tindak pidana korupsi di indonesia dengan dihubungkan dengan penjelasan undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) sehingga untuk memberantasnya diperlukan tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures) maka Pada dasarnya penyadapan sangat diperlukan untuk mendapatkan bukti dalam kasus kejahatan “kerah putih” (korupsi) ini, oleh karena sulitnya
mendapatkan bukti dalam perkara ini termasuk kendalanya adalah jarangnya saksi dan tanda bukti (kwitansi) sehingga cara konvensional dianggap sudah tidak lagi efektif digunakan. KPK dalam melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan untuk mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa melakukan ijin dari instansi pengadilan dan izin tersebut berasal dari pimpinan KPK yang memang telah diamanatkan oleh undang-undang yakni pada pasal 12 ayat (1) a yang berbunyi : 1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; Hal ini menjadi persoalan bagi masyarakat bahwa dengan penyadapan akan menimbulkan pelanggaran atas hak privasi seseorang, seperti hak privasi yang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 G ayat (1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Dari pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas perlindungan diri pribadi dari segala hal ancaman ketakutan. Demikian juga telah disebutkan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang dalam pasal 17 ayat (1) Kovenan tersebut menyatakan tidak boleh seorang pun yang dengan sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampurtangani perihal kepribadiannya, keluarganya, rumah tangganya 59
atau surat-menyuratnya, demikian pula tidak boleh dicemari kehormatannya dan nama baiknya secara tidak sah. Ayat (2) menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau pencemaran kehormatan demikian. Ketentuan di atas dapat dijelaskan bahwa hak pribadi setiap orang itu dilindungi oleh hukum berdasarkan konvenan internasional tentang hak sipil dan politik. Dalam Konvenan Sipil dan Politik hak hak dibagi menjadi 2 jenis yaitu hak-hak yang tidak boleh dibatasi (non-derogable rights) dan hak-hak yang boleh dibatasi (derogable rights). Hak-hak yang tidak boleh dibatasi antara lain hak untuk hidup (rights to life), hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture), hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery), hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang), hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subjek hukum, hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama.9 Hak- hak yang boleh dibatasi (derogable rights) antara lain : hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota sarekat buruh, dan hak atas menyatakan kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan)10. Hak atas perlindungan diri pribadi termasuk dalam hak hak yang boleh dibatasi (derogable rights) yang dapat diartikan sebagai hakhak yang masih dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara dalam kondisi tertentu11. Selanjutnya Sesuai dengan Pasal 28J Ayat
(2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. sehingga menurut hemat penulis, Hak Asasi Manusia sifatnya adalah tidaklah mutlak, karena jika bersifat mutlak maka akan berbenturan dengan Hak Asasi Manusia lainnya, sehingga sudah tepat bangsa ini meletakkan substansi dalam pasal 28J ayat 2 tersebut dalam Konstitusi negara ini. Bila dibandingkan dengan Negara lain pengaturan tentang penyadapan lebih rapi dan teratur seperti pada Negara-Negara di Eropa dan Amerika menganut 2 standar umum penyadapan yaitu : 1. European Telecommunications Standards Institute (ETSI), berbasis di Prancis. 2. Communications Assistance for Law Enforcement Act (Calea), berbasis di USA.12 Di Amerika Serikat Penyadapan hanya boleh dilakukan atas seizin pengadilan setempat jika dianggap bukti-bukti lain tidak akan mampu membuktikan adanya suatu tindak pidana. Otoritas yang mengurusi izin penyadapan adalah United States Foreign Intelligence Surveillance Court yang dibentuk berdasarkan United States Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA). 13 Penyadapan di indonesia harusah dilakukan sebagai tindakan terakhir oleh penegak hukum dalam upaya mencari alat bukti, menurut hemat penulis, teknik penyadapan yang
9
...Hak Sipil Dan Politik, .http://yancearizona. wordpress.com, Diakses pada 20 Agustus 2012 10 Ibid. 11 ..Apakah Derogable Rights dan Non Derogable Rigts Itu, http://legal.daily-thought.info, Diakses pada tanggal 20 Agustus 2012.
12
..Lawfull Interception, http://panca.wordpress. com, Diakses pada 20 Agustus 2012 13 .Penyadapan,.http://.hukumonline.com. Diakses pada 9 Juni 2010
60
digunakan haruslah memiliki syarat-syarat yang antara lain : 1. Metode investigasi kriminal yang dilakukan oleh aparat penegak hukum telah mengalami kegagalan. hal ini berarti bahwa aparat penegak hukum kita telah sampai pada batas-batas cara konvensional dalam pencarian alat bukti, sehingga karena telah sampai pada batasbatas tertentu maka, sangat cocok digunakannya teknik penyadapan atau intersepsi untuk menggali informasi dalam mengungkap terjadinya kejahatan korupsi, hal ini bisa disebut sebagai progresifitas dalam upaya penegakan hukum. sudah saatnya bangsa ini meninggalkan caracara konvensional dan beralin ke cara-cara modern dalam pengungkapan suatu kejahatan. 2. Tiada cara lainnya yang dapat di gunakan selain penyadapan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. 3. Penyadapan yang dilakukan harus memiliki alasan dan pertimbangan yang sangat kuat. Alasan-alasan dan pertimbangan yang dijadikan dasar untuk dilakukannya penyadapan haruslah logis dan masuk akal serta ada keterkaitan antara tindakan penyadapan dan perkara yang sedang dihadapi oleh aparat penegak hukum. ketika tidak ada hubungan antara obyek penyadapan dan perkara yang sedang ditangani oleh aparat penegak hukum, maka penyadapan tersebut semestinya dan seharusnya tidak bisa dilakukan. 4. Penyadapan dilakukan guna menjaga keamanan dan stabilitas negara Keamanan dan Stabilitas negara merupakan hal yang panting untuk dilakukan oleh salah satunya adalah aparat penegak hukum, ketika negara sedang dalam kondisi terancam dari segi keamanan dan stabilitasnya, maka teknik penyadapan
menjadi sangat relevan untuk dilakukan tidak hanya pada perkara korupsi saja, melainkan pada perkara lain semisal saja adanya upaya pembunuhan terhadap presiden, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa penyadapan adalah melanggar hak asasi manusia. 5. Hasil Penyadapan yang tidak berhubungan dengan suatu perkara yang sedang di selidiki harus di hapus atau dilenyapkan. menurut hemat penulis, setiap hasil penyadapan yang tidak ada kaitanya dengan perkara yang diselidiki haruslah dihapus, hal ini agar menjaga kewenangan yang diberikan oleh undang-undang tidak disalahgunakan. Relevansi digunakannya teknik intersepsi atau penyadapan sudah sangat cocok untuk digunakan di Indonesia jika dihubungkan dengan kendala-kendala secara teknis yang dihadapi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah : 1. Tidak adanya Saksi Dalam kasus gratifikasi (bagian dari korupsi), seringkali dilakukan secara diamdiam atau bahkan ditempat-tempat tertentu yang terbebas dari pandangan umum, seperti halnya di kamar hotel, di rumah pribadi, dll. Sehingga dari model seperti inilah yang menjadikan kasus gratifikasi seringkali susah untuk dicari saksi terhadap kasus tersebut. KPK berpendapat, dari semua perbuatan korupsi, gratifikasi merupakan perbuatan korupsi yang sulit dibuktikan. Hal ini yang menyebabkan KPK melakukan penyadapan telepon supaya bisa menangkap basah ketika terjadi peristiwa serah-terima gratifikasi seperti halnya pada kasus Artalyta Suryani dan Jaksa Urip, kemudian suap yang dilakukan oleh Pengacara Adner Sirait kepada Hakim PTUN Ibrahim yang proses pemberian suapnya dilakukan di dalam mobil Ibrahim di pinggir jalan di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, dan 2 61
jam kemudian Ibrahim ditangkap oleh Tim KPK.
terungkapnya tindak pidana gratifikasi atau penyuapan.
Tidak adanya saksi dalam kasus gratifikasi merupakan hambatan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia, namun guna menutupi celah ini, KPK menggunakan cara yang sama dilakukan dengan Intelejen, yakni dengan melakukan penyadapan secara elektronik seperti halnya yang diamanatkan dalam pasal 26A UU No 20 Tahun 2001 yang berbunyi :
Seperti halnya dalam kasus suap yang dilakukan oleh artalyta suryani terhadap Jaksa Urip dan Pengacara Adner Sirait kepada Hakim PTUN yang tentunya tidak memakai tanda bukti dalam serah terima uang suapnya (gratifikasi)
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. 2. Tidak adanya Tanda Bukti Dalam tindak pidana gratifikasi atau suap, pihak yang melakukan suap kepada apositif aparat atau pejabat tidak memerlukan tanda bukti semacam kwitansi atau tanda terima, dikarenakan antara pihak penyuap dan yang disuap tentunya memahami bahwa apabila serah terima uang atau barang dengan maksud suap menggunakan tanda bukti serah terima, tentunya akan menimbulkan jejak bagi
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk saat ini penyadapan yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang di legalkan secara normatif dalam bentuk undang-undang adalah relevan untuk digunakan karena dipandang perlu untuk dilakukan demi melawan sifat kejahatan korupsi yang disebut sebagai kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime, maka cara melawannya juga harus menggunakan cara yang luar biasa yang salah satunya adalah dengan menggunakan teknik penyadapan. SARAN Sebagai saran Negara harus tetap memberikan support secara berlanjut kepada komisi pemberantasan korupsi dalam melakukan penyadapan karena memberikan efek yang positif terhadap Negara yakni semakin berkurangnya pelaku korupsi dan semakin berkurangnya kerugian uang Negara.
DAFTAR PUSTAKA Bosu, Benedictus, 2004, Menuju Indonesia Baru Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bayumedia, Malang. Citra Mandiri, 2002, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia (Jilid III), Jakarta, CV. Citra Mandiri. Pustaka Yustisia, 2009 Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronik, Undang-Undang 62
No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jogjakarta, Pustaka Yustisia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik http://panca.wordpress.com/2006/07/17/lawfullinterception/. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b34d 3deb69c6/penyadapan. http://yancearizona.wordpress.com/2008/06/05/ha k-sipil-dan-politik http://legal.daily-thought.info/2007/03/apakah derogable-rights-dan-non-derogable-rightsitu www.wikipedia.com/korupsi http://infokorupsi.com www.docstoc.com. Tintin Sri Murtinah dan Rusma Dwiyana, Tinjauan Konseptual
Yuridis Terhadap Korupsi, Jakarta, (tanpa tahun) http://id.wikipedia.org/wiki/Artalyta_Suryani
63