Dalam catatan explorasi sebelumnya ( Pemberontakan Pengetahuan Melawan Rejim Baru), kita telah tiba pada semacam persimpangan untuk meninggalkan atau melanjutkan "ekonomisme" dalam menganalisa kekuasaan. Perkembangan teknologi kekuasaan terlihat terlalu kompleks untuk dianalisa melalui kacamata "ekonomisme" yang mengandaikan kekuasaan adalah hasil dari transaksi (teori kontrak sosial) maupun sebatas alat produksi dan reproduksi relasi ekonomi kapitalisme (konsepsi umum Marxisme tentang kekuasaan). Keteteran dalam menganalisa ini terlihat dalam kegagalan pemikiranpemikiran tersebut dalam memberi inspirasi untuk menggagalkan kebangkitan Nazisme maupun Stalinisme. Di Indonesia sendiri, para pemikir liberal tahun 1960an dengan pendekatan kedaulatan hak gagal menganalisa kekuasaan yang berlangsung pada masa kepresidenan Soekarno yang mereka anggap otoriter/diktator dan dengan naif mendukung dan bekerja sama dengan para pengembang teknologi anti kebebasan sipil. Saya merasa agak beruntung dalam melanjutkan bagian kedua eksplorasi Foucault dan Kekuasaan ini menemukan contoh praktisnya. Pertama, dilarangnya pemutaran film Balibo oleh Lembaga Sensor Film. Kedua, masih soal breidel membreidel, Kejaksaan Agung baru saja memutuskan pelarangan lima buku atas nama ketertiban umum. Sebenarnya bukan karena dua peristiwa itu menunjukkan represifnya rejim baru yang saya jelaskan dalam catatan pertama, tetapi justru contoh tersebut ditunjukkan di saat berbincang-bincang dengan kawan-kawan yang terlibat dalam (embrio) gerakan mencabut wewenang pelarangan buku yang kini di tangan Kejaksaan Agung. Setidaknya terdapat dua posisi dalam memandang persoalan ini. Di satu sisi, ada yang berpandangan bahwa segala bentuk pelarangan buku (dan juga tentunya sensor dalam berbagai bentuk media) harus ditolak. Masyarakat berkedaulatan untuk menentukan pandanganpandangannya mengenai sebuah persoalan. Di sisi lain, contoh-contoh naiknya Nazi di Jerman atau genosida di Rwanda dan Burundi yang mengandalkan buku dan media massa mengisyaratkan bahwa ada halhal tertentu yang harus dibatasi melalui kekuasaan Negara. Studi geopolitik yang lebih mendalam, seperti yang dilakukan oleh Online Encyclopedia of Genocide dalam melihat kasus Rwanda, memperlihatkan bahwa relasi antara hatespeech dan genosida bukanlah sesuatu yang langsung. Ternyata masih ada beberapa hal lain yang jauh lebih signifikan dan jauh lebih berpengaruh dibandingkan media ataupun buku. Posisi kekuasaan, kerakusan, representasi dari konflik di masa silam, dendam dan faktorfaktor lain ternyata menjadi penyebab domin an dibanding hatespeech yang disebar media. Dinamika mobilisasi lokal juga lebih besar pengaruhnya dalam rentetan kekejaman yang terjadi.
Kembali ke pendekatan kedaulatanhak dan turunannya teori kontrak sosial, yang kini menjadi sumber ide berbagai tuntutan gerakan Hak Asasi Manusia, kedua posisi yang disebut di atas terlihat secara bersamaan bisa benar sekaligus salah. Artinya, jika kita berkehendak untuk membangun sebuah analisa atas rejim baru tadi, sangat mungkin teori kedaulatanhak memiliki keterbatasanketerbatasan. Dan kini dari dunia di luar penjelajahan literatur, pengetahuanpengetahuan lokal mengenai praktek praktek terus bermunculan, selalu memberi tantangan terbuka atas teori kedaulatan hak dan segala aplikasi turunannya dalam analisa politik. Dalam catatan sebelumnya, muncul sebuah hipotesa yang sekaligus juga sebuah pertanyaan dalam melakukan analisa politik: Dapatkah kita temukan melalui model peperangan sebuah prinsip yang dapat membantu kita memahami dan menganalisa kekuasaan politik, menerjemahkan kekuasaan politik dalam bentuk bentuk perang, pergulatan, dan konfrontasi? Relevansi Catatan Eksplorasi Ini Untuk memulai, perlu dicatat bahwa eksplorasi ini memiliki "bias" Barat yang cukup besar. Studi yang dilakukan Foucault soal kekuasaan memang sedari awal dipaku pada perkembangan kekuasaan di Eropa, karena itu kehati-hatian juga diperlukan terutama untuk mencerna penjelasan-penjelasan kesejarahan yang jelas berbeda perkembangannya di Indonesia. Namun, kita tetap dapat menjadikan eksplorasi ini sebagai landasan pengembangan analisa-analisa politik yang baru, karena hubungan-hubungan kolonial yang terjadi selama ratusan tahun telah memperkecil pengaruh perkembangan kekuasaan yang terjadi sebelum penjajahan Eropa dan mengimpor (tentunya dengan berbagai modifikasi kolonial) perkembangan kekuasaan yang lahir di Eropa.