RELEVANSI ANTARA MAAL ADMINISTRATIF DAN UPAYA PENCIPTAAN GOOD GOVERNANCE Sayuti1 Abstract: A desire to create good governance is an old effort which is commonly required by many countries, especially for the modern law state (welfare state) that appears in XX century. However, the result of the implementation of the concept of good governance in the modern state may create wide intervention of the government in the aspects of people life. If this situation arises, the possibility of maal administrative would be great. Thus, there is a strong relevance between the maal administrative and the effort to create good governance. This relevance appears in the form of causality relationship in which if there is the maal administrative, the good governance cannot be established and vice versa. Therefore to create good governance, every act of the government should be based on laws and principles of good governance. Keywords: Good Governance, Maal Administrative.
Pandahuluan Keinginan untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik (good governance) merupakan cita-cita lama yang telah mengikuti langkah perkembangan kehidupan kenegaraan itu sendiri. Betapa tidak, sejak sekitar abad V SM di Yunani, gagasan-gagasan tersebut telah dimulai
1
Dosen HTN/HAN Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
1
lewat konsep atau cita negara hukum yang dikenal dengan polizeistaats, adapun di antara tokoh-tokonya seperti Plato dan Aristoteles. Demikian juga pada fase berikutnya, ketika timbul pemikiran untuk memisahkan (to separate) atau membagi (to distribute) kekuasaan penyelenggaraan negara kepada beberapa organ kekuasaan, meskipun dalam konsepnya yang masih statis (sebagaimana halnya nachtwachterstaat). Akan tetapi, berangkat dari konsep negara hukum yang statis ini, maka pada akhirnya muncullah pemikiran akan pentingnya menciptakan suatu negara di mana pihak pemerintahnya memiliki peranan yang penting dalam mensejahterakan kehidupan rakyatnya, atau apa yang dikenal sebagai konsep negara hukum modern yang dinamis, yaitu suatu bentuk negara kesejahteraan (welvaartstaats, welfare state). Jika secara detail kita mengikuti alur historis tersebut, maka dengan sendirinya akan ditemukan pemahaman bahwa keinginan untuk menciptakan good governance bukanlah hal yang baru, melainkan sebagai upaya lama yang selalu jadi tumpuan para negarawan. Lalu kemudian muncul suatu pertanyaan mengapa keinginan untuk mewujudkan upaya tersebut selalu menggelora? Jawabnya dikarenakan suatu good governance merupakan hal yang ideal bagi kehidupan manusia itu sendiri, meskipun dalam kenyataannya untuk mewujudkan keinginan tersebut bukanlah sesuatu yang gampang. Dengan tidak gampangnya untuk menciptakan suatu good governance, maka artinya upaya-upaya menuju ke sana mesti terus dilakukan. Oleh karena itu, tulisan singkat ini kembali mengetengahkan tema tersebut, tetapi penelaahan terhadap tema itu akan dihubungkan dengan masalah perbuatan-perbuatan maal administratif dalam menyelenggarakan pemerintahan. Melalui tema tersebut diambil beberapa permasalahan yang sekaligus menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini. Adapun rumusan masalahnya meliputi: Pertama, apakah yang dimaksud arti good governance? Kedua, apakah yang dimaksud dengan perbuatan maal administratif? Ketiga, bagaimana relevansi antara maal administratif dan upaya menciptakan good governance? Dengan ketiga rumusan masalah ini maka diharapkan dapat memberi jawaban secara umum terhadap permasalahan-permasalahan lain yang berada di sekitar tema tersebut.
2
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode dekriptif analitis, maksudnya menggambarkan atau melukiskan relevansi antara maal administratif dan upaya menciptakan good governance, melalui berbagai peraturan dan literatur. Adapun analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yang tidak membutuhkan angka-angka. Good Governance Dalam penghujung abad XX ditemukan berbagai persoalan yang sedang melanda berbagai negara penjuru dunia, terutama bagi negaranegara berkembang. Di antara persoalan tersebut adalah suatu persoalan apa yang disebut dengan good governance? Ada keinginan kuat untuk menciptakan good governance, namun kenyataannya untuk mewujudkan keinginan tersebut bukanlah hal yang gampang. Paling tidak ada suatu dilema untuk menciptakan good governance, yakni adanya intervensi pemerintah yang cukup luas terhadap aspek kehidupan masyarakat dan digunakannya asas diskresi, sebagai konsekuensi dari pelaksanaan bentuk negara kesejahteraan (welfare state). Apabila konsekuensi tersebut tidak dilaksanakan, maka fungsi administrasi akan terhambat. Tetapi sebaliknya, jika kedua konsekuensi tersebut dilaksanakan, lebih lagi jika tidak terkendali, maka akan mudah pula terjadi perbuatan pemerintah yang tercela yang tendensinya menimbulkan kerugian pada pihak tertentu.2 Ada pendapat yang mengatakan, bahwa peraturan yang buruk dijalankan oleh aparat yang baik akan lebih bagus hasilnya dari pada peraturan yang baik dijalankan oleh aparat yang tidak baik. Dengan demikian faktor oknum/pelaksana lebih dominan daripada faktor peraturan/perangkat. Ini berarti untuk mewujudkan good governance, terlebih dahulu harus diusahakan terwujudnya aparat yang baik, jujur serta berwibawa. Hal ini dapat tercipta apabila proses pengawasan serta pengendalian terhadap aparat tersebut bersifat kontinyu dan cukup berbobot. Inilah yang dikuatirkan Lord Action lewat pernyataan 2
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hlm. 14.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
3
‘’power tend to corrupt, and absolut power corrupts absolutely.” Dengan adanya estimet ini, maka pengawasan terhadap aparat pemerintah yang memiliki kekuasaan perlu ditingkatkan dan dijamin kontinuitasnya.3 Good governance merupakan bentuk tatanan hubungan dan keterkaitan yang seimbang dan berkeadilan di antara sektor-sektor negara, masyarakat bisnis, dan masyarakat madani. Dalam mewujudkan tatanan tersebut, paling tidak, menurut World Bank seharusnya meliputi hal-hal berikut: 1. Penitikberatan manajemen sektor publik pada perlunya memanfaatkan keuangan yang efektif dan manajemen sumberdaya manusia melalui perbaikan dan peningkatan anggaran, akutansi dan laporan, dan menghilangkan ketidakefisienan pada perusahaan Negara. 2. Akuntabilitas pada pelayanan publik, termasuk akuntansi yang efektif, auditing dan desentralisasi, serta menyadarkan pegawai pemerintah dalam pertanggungjawaban tindakan dan tanggapan mereka pada para konsumen. 3. Adanya peraturan di muka mengenai kerangka kerja hukum (legal), adanya tatanan judiciary yang independen dan dapat dipercaya, dan mekanisme penegakan hukum. 4. Tersedianya informasi dan transparansi dalam rangka meningkatkan analisis kebijakan, mengemukakan debat publik, dan menguragi resiko atas korupsi.4 Butir-butir sebagaimana dikemukakan di atas memberikan pandangan bahwa sektor publik sebagai bagian dari sistem dan tatanan good governance, mau tidak mau harus pula berubah, yang merupakan sebagai konsekuensi dari adanya perubahan lingkunganya. Perubahan lingkungan ini haruslah dicermati dan dianalisis dalam upaya untuk tetap dapat eksis dalam pergaulan dunia, dan dalam upaya untuk mencari strategi pembaharuan. Bagir Manan menambahkan, penyelenggaraan good governance tidak hanya berkenaan dengan fungsi administrasi negara, melainkan juga termasuk pada cabang-cabang kekuasaan negara yang lain seperti 3
Ibid, hlm 15. Tim Studi Pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Manajemen Pemerintahan Baru, (Jakarta: BPKP, 2000), hlm. iii. 4
4
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
pembentukan undang-undang dan penegakan hukum. Oleh karena itu, berbagai ungkapan teoritik sering dilekatkan pada bentuk dan isi penyelenggaraan good governance seperti: responsible, accountable, controlable, transparancy, limilable dan lain sebagainya.5 Bagi rakyat banyak, penyelenggaraan good governance adalah pemerintahan yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian dan bersih dalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-wenang baik atas diri, hak maupun harta bendanya. Dalam kaitan pelayanan dan perlindungan ini, ada dua bentuk instrumen pemerintahan yang berhubungan langsung dengan rakyat yaitu administrasi negara dan juga penegak hokum. Oleh karena itu sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan good governance terutama ditujukan pada pembaharuan administrasi negara dan pembaharuan penegakkan hukum. Konsep pemerintah yang mengabdi pada kebaikan dan kepentingan umum merupakan hal yang mendasar bagi pelaksanaan etis pemerintahan. Para aparat pemerintahan yang mengabaikan etika, di samping mereka yang memandang etika sebagai pola yang berkesinambungan, agaknya tidak mengabdi pada kebaikan umum atau kepentingan umum. Suatu sistem keyakinan yang secara etis didasarkan pada nilai-nilai etika akan menghasilkan prilaku yang mengutamakan kepentingan umum dan pelayanan umum dengan baik. Meskipun etika berdasarkan nilai-nilai yang mungkin menghasilkan prilaku yang keliru, namun prilaku yang demikian itu tidak pernah menyebabkan tindakan korupsi. Ada tiga pola perilaku yang dapat menggambarkan perilakuperilaku aparat pemerintahan yang dipilih, diangkat, dan meniti karier pada golongan perilaku yang tidak didasarkan pada etika, yaitu sikap yang diwakili oleh sang koruptor, perilaku yang netral nilai atau menganut paham relativisme yang diwakili oleh fungsionaris, dan perilaku yang didasarkan pada etika yang memajukan kebaikan umum dan kepentingan umum yang diwakili oleh sang penghayat etika.6 Perilaku yang tidak didasarkan pada etika, yaitu perilaku si 5
Bagir Manan, Good Governance Hindarkan Rakyat dari Tindakan Negara yang Merugikan, (Bandung: FH. UNPAD, 2000), hlm. 1. 6 Sheldon S. Steinberg & David T. Austern, Governments, Ethichs, and
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
5
koruptor tidak terpengaruh oleh komitmen etika atau moral. Orang ini tidak berprinsip, bila ia diberi kesempatan dan cukup rangsangan, maka ia akan memanfaatkan tiap lubang untuk memperoleh keuntungan pribadi. Perilaku sikoruptor mungkin saja dilapisi moralitas, tetapi, seperti yang telah ditunjukkan oleh para pejabat-pejabat negara dari segala tingkatan, perilaku itu seringkali berbeda jika mereka tidak berhadapan dengan publik. Perilaku netral nilai atau fungsionaris yang relativistis, orang ini berfungsi dengan cara yang netral atau berganti-ganti perilaku untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam kebudayaan yang ada—positif atau negatif—agar tidak menyebabkan gejolak. Fungsionaris ini tidak menentang kekuasaan, bahkan bila sudah jelas atau sedang terjadi suatu yang tidak beres, orang ini akan “ikut arus” dan “mematuhi perintah” meskipun secara pribadi ia mempunyai perasaan-perasaan tidak enak yang menunjukkan adanya masalah etika. Adapun perilaku etika yang memajukan kebaikan untuk kepentingan umum atau si penghayat etika, adalah bagian prinsip-prinsip dasar yang menegaskan pelaksanaan pemerintahan yang etis dalam masyarakat yang bebas. Para penghayat etika ini percaya bahwa tidak boleh melakukan sesuatu pada orang lain jika hal tersebut tidak ingin dialami olehnya. Ungkapan kuno itu mencakup ajaran pokok kehidupan yaitu, kesehatan, kebebasan individu, kejujuran, sikap adil, dan keadilan yang sama di bawah hukum. Para penghayat etika menganggap orientasi kepentingan umum merupakan tujuan intrensik pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai dalam masyarakat yang bebas. Oleh karena itu, pemerintah sebagai pengawal dan pengaman kepentingan umum, harus selalu mengarahkan segala tindakannya demi kepentingan umum tersebut. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa suatu pemerintahan yang dapat dikatakan sebagai good governance, apabila dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut terdapat unsur-unsur sebagai berikut: 1. Adanya akuntabilitas dan tanggung jawab publik (public accountability and responsibility), sehingga setiap perbuatan pemerintah Managers Penyelewengan Aparat Pemerintahan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 68.
6
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya di hadapan rakyat (public). 2. Adanya peraturan secara limitable yang menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk menjalankan tugas dan fungsinya, sehingga ada acuan yang jelas sebagai mekanisme penegakan hukum jika terjadinya pelanggaran. 3. Adanya kesempatan publik untuk melakukan pengawasan (control) terhadap perbuatan-perbuatan (policy) pemerintah, oleh karena itu penyediaan informasi (information) dan transparansi (transparency) dalam pemerintahan menjadi sangat penting. Good governance yang demikian itu merupakan perwujudan dari pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and strong government). Dikatakan sebagai pemerintahan yang bersih, apabila dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya, perbuatan-perbuatan pemerintah dapat dipertanggungjawabkan, dapat diawasi dan secara transparan dengan standar etika dan moral. Sedangkan dikatakan sebagai pemerintahan yang berwibawa apabila dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya, perbuatan-perbuatan pemerintah dapat memberikan berbagai kemudahan, kepastian, dan menyediakan pelayanan serta perlindungan bagi kepentingan umum berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Perbuatan Maal Administratif Maal administratif merupakan perbuatan-perbuatan pemerintah yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur menurut hukum, baik tertulis maupun tidak. Muchsan, dalam hal ini, menggunakan istilah Maal administratif dalam empat kategori perbuatan pemerintah, yaitu perbuatan pemerintah yang tercela atau sewenang-wenang, perbuatan pemerintah yang melawan kode etik administratif, perbuatan pemerintah yang janggal, dan perbuatan pemerintah yang amoral.7
7
Muchsan, Perbuatan-perbuatan Maal Administratif, Materi Perkuliahan Hukum Acara Administrasi, Program Magister (S2) Ilmu Hukum, (Yogyakarta: FH UII, 2003), hlm. 1-4.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
7
Perbuatan Pemerintah yang Tercela atau Sewenang-wenang Perbuatan pemerintah yang sewenang-wenang (willikeur/abus de droit) terjadi apabila suatu perbuatan dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.8 Perbuatan sewenang-wenang ini, frekuensinya lebih banyak terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat bebas (vrij bestuur). Dalam penyelenggaraan pemerintah yang bersifat mengikat (gebonden bestuur) perbuatan tersebut jarang terjadi.9 Apabila pemerintah memproduksi keputusan salah dalam mempertimbangkan kepentingan umum tersebut, sehingga keputusan yang dibuatnya lebih banyak merugikan kepentingan umum, di sinilah terjadinya perbuatan pemerintah yang sewenang-wenang. Perbuatan pemerintah yang sewenang-wenang dapat terjadi apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Pemerintah yang berbuat secara yuridis memiliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya). b. Dalam mempertimbangkan kepentingan terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan. c. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian kongkrit bagi pihak tertentu.10 Dalam teori Hukum Administrasi Negara, bentuk perwujudan perbuatan sewenang-wenang dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu: a. Perbuatan yang tidak tepat (Onjuist) Onjuistheid merupakan suatu perbuatan atau keputusan dari pemerintah yang menggunakan dasar pertimbangan yang salah (konsideran yang keliru), atau masalah interpretasi dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang disengketakan atau diselisihpahamkan.11 Misalnya suatu permohonan izin ditolak, padahal menurut pendapat si pemohon dia sudah memenuhi semua persya8
S. F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm. 372. 9 Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap…, Op. Cit, hlm. 14. 10 Ibid, hlm. 15. 11 Ibid, hlm. 33.
8
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
b.
ratan yang ditentukan. Ketidaktepatan ini dapat pula terjadi apabila dalam melakukan suatu perbuatan pemerintah menggunakan dasar pertimbangan yang salah atau keliru, baik berbentuk fakta maupun berbentuk peraturan-peraturan hukum yang mendasari dilakukannya perbuatan tersebut. Perbuatan pemerintah yang melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad) Arti tindakan pemerintah melawan hukum di negeri Belanda dapat dilihat dari beberapa keputusan Hoge Raad yang ada. Pengertian perbuatan melawan hukum tidak merupakan sesuatu yang statis, tetapi akan berubah-ubah sesuai dengan pandangan, kesadaran hukum dan keadilan yang selalu tumbuh berkembang dari masa ke masa. Ini dapat dilihat bahwa tindakan melawan hukum mula-mula diartikan sebagai perbuatan melawan undangundang yang tertulis, sebab menurut pandangan waktu itu, bahwa hukum ialah apa yang tertulis pada undang-undang. Pada awal abad XX pengertian melawan hukum diartikan secara luas, yaitu setiap berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan perbuatan itu, bertentangan dengan kesusilaan, asas-asas dalam pergaulan masyarakat yang harus diindahkan terhadap penghormatan orang lain ataupun barang orang lain. Hal ini dapat dilihat dari Hoge Raad Arrest tanggal 31 Januari 1919 (Drukkers-Arrest), kemudian diperluas lagi dengan adanya Arrest tanggal 20 November 1924 yang dikenal dengan Ostermann Arrest. Dengan adanya Arrest itu, maka hal-hal yang disebut perbuatan melawan hukum meliputi: 1) Pelanggaran terhadap aturan undang-undang baik larangan hukum publik maupun hukum privat. 2) Bertentangan dengan kewajiban selaku penguasa. 3) Bertentangan dengan sikap hati-hati yang harusnya dilakukan. 4) Bertentangan dengan kelayakan yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.12 12
Sri Sudyatmoko dan Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1996), hlm. 38-40.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
9
Senada dengan pendapat di atas, menurut Muchsan, perbuatan melawan hukum ini pertama kali dikenal dalam hukum perdata, dan telah mendapat kepastiannya dalam rumusan Pasal 1365 BW Indonesia dan 1401 BW Belanda. Pasal tersebut menyatakan: “Tiaptiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Jadi, terdapat dua unsur yang jadi patokan utama, yaitu unsur melawan hukum dan unsur kerugian.13 Berkaca pada yurisprudensi Belanda, maka perbuatan melawan hukum, menurut Muchsan, dapat dilihat dari pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, perbuatan melawan hukum dapat dikatakan suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif seseorang atau perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat.14 Jadi, perbuatan melawan hukum sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onrechtmatig sama dengan onwetmatig). Sedangkan dalam pengertian luas, perbuatan melawan hukum termasuk memperkosa hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau bertentangan dengan kesusilaan, atau dengan kepatutan (kepantasan) dalam hidup bermasyarakat. Pengertian secara luas ini memberikan unsur-unsur untuk adanya perbuatan melawan hukum, yaitu: melanggar suatu hak orang lain, melanggar kewajiban hukum sipelaku perbuatan tersebut, melanggar kesusilaan, dan melanggar kepatutan/kepantasan yang berlaku dalam masyarakat terhadap orang atau barang milik orang lain.15 Perbuatan melawan hukum oleh pemerintah yang berbentuk melanggar hak subyektif orang lain tidak hanya terbatas pada perbuatan yang bersifat privaatrechtelijk saja, akan tetapi juga termasuk perbuatan yang bersifat publiekrechtelijk. Pemerintah yang dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum tersebut, apabila: 1) pemerintah melakukan perbuatan yang bersumber pada hubungan hukum perdata serta melanggar ketentuan dalam kaidah 13
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap…, Op. Cit, hlm. 15. Ibid, hlm. 16-19. 15 Ibid. 14
10
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
hukum tersebut, 2) pemerintah melakukan perbuatan yang bersumber pada hukum publik serta melanggar ketentuan kaidah hukum tersebut.16 Philipus M. Hadjon mengutif pendapat J. In ‘t Veld, berkenaan dengan pemahaman perbuatan pemerintah melawan hukum ini, mengatakan: Een daad van een openbaar lichaam is onrechtmatig, wanner zij in strijd is met de wet of met de zorgvuldigheid, welke net openbaar lichaam betaamt ten aanzien van een anders persoon of goed (suatu perbuatan oleh badan hukum publik adalah melanggar hukum jika bertentangan dengan undang-undang atau dengan kecermatan patut oleh badan publik itu terhadap lain orang atau barang orang lain).17
Sedangkan menurut Oemar Seno Adji, sebagaimana yang dikutif oleh Johanes Usfunan, yang dikategorikan kepada perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad), ialah suatu penemuan dalam ilmu hukum (rechtsvinding) dengan menggunakan metode-metode interpretasi. Penggunaan metode interpretasi ini dikarenakan dalam Kitab Undang-Undang Perdata tidak satupun pasal yang menunjukkan jelas masalah onrechtmatige overheidsdaad. Kecuali sedikit disinggung dalam Pasal 1365 yang hanya mengatur mengenai perbuatan melanggar hukum, selengkapnya bunyi pasal adalah: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.”18 Uraian-uraian tersebut memberikan pemahaman bahwa suatu perbuatan pemerintah yang melawan hukum dapat terjadi, apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kesusilaan dan kecermatan. 2) Tanpa perbuatan tersebut tidak akan menimbulkan kerugian. 16
Ibid, hlm. 22. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 131. 18 Johanes Usfunan, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 86. 17
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
11
3)
c.
Perbuatan hukum tersebut disebabkan karena kesalahan pelakunya sendiri. Artinya tidak ada kehati-hatian untuk menghindari perbuatan tersebut. Dengan demikian berarti harus jelas pertentangannya dengan hukum, di mana tidak ditemukan adanya hukum yang mengatur mengenai perbuatan tersebut, baik tertulis maupun tidak, tetapi kenyataannya perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pada pihak lain. Perbuatan yang melawan undang-undang (onwetmatig) Perbuatan yang melawan undang-undang meliputi semua unsur dan aspek yang sama dengan perbuatan melawan hukum kecuali ruang lingkupnya yang lebih sempit, yaitu khususnya undang-undang. Perbuatan pemerintah yang tidak sesuai dengan undang-undang disebut perbuatan yang illegal atau onwetmatig. Undang- undang di sini harus diartikan secara luas, baik dalam pengertian formil (wet in formele zin) maupun dalam pengertian materiil (wet in materiele zin). Dalam arti formil adalah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara terjadinya (wijzetotstandkoming) dengan pihak lain (misalnya Presiden mendapat persetujuan DPR). Sedangkan dalam arti materiil adalah suatu penetapan kaidah hukum dengan tegas, sehingga kaidah hukum tersebut menurut sifatnya menjadi mengikat.19 Untuk adanya perbuatan onwetmatig diperlukan unsur-unsur, yaitu: 1) pemerintah melakukan suatu perbuatan yang memang termasuk dalam kewenangannya, menurut atau berdasarkan suatu ketentuan peraturan perundang- undangan, dan 2) perbuatan pemerintah tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar perbuatannya.20 Perbuatan wetmatig belum tentu merupakan perbuatan rechtmatig. Misalnya suatu perbuatan penggusuran pedagang kaki lima demi ketertiban, merupakan perbuatan wetmatig karena memang ada peraturan perudang-undangannya. Akan tetapi 19 20
12
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap…, Op. Cit, hlm. 32. Ibid, hlm. 33.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
perbuatan yang dilakukan dalam bentuk membuang dengan seenaknya terhadap barang milik si pedagang tersebut sehingga rusak merupakan perbuatan yang onrechtmatig. d. Perbuatan pemerintah yang tidak bermanfaat (ondoelmatig) Ondoelmatig berarti perbuatan pemerintah yang menggunakan dasar kebijakan yang salah. Hal ini bisa dipahami mengingat dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Tetapi apabila hasil dari pelaksanaan tugas tersebut ternyata tidak bermanfaat bagi masyarakat, maka perbuatan itu disebut perbuatan yang ondoelmatig. Dengan demikian untuk menetapkan ada tidaknya perbuatan yang ondoelmatig ini, bukan dilihat dari perbuatannya ansich, namun lebih ditekankan pada hasil yang diwujudkan sebagai akibat yang dilakukan.21 Sebagai contoh pemerintah membangun pemukiman bagi masyarakat ekonomi lemah, tetapi karena harganya tidak terjangkau oleh mereka maka akhirnya usaha tersebut sia-sia. Ukuran bermanfaat atau tidaknya suatu perbuatan adalah terletak pada kemampuan hasil perbuatan tersebut dalam memenuhi kepentingan umum yang dituju oleh perbuatan tersebut. e. Perbuatan yang menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir) Detournement de pouvoir adalah perbuatan aparat pemerintah yang sedang melaksanakan wewenangnya, tetapi tujuannya berbeda. Dengan kata lain penyalahgunaan wewenang terjadi, karena jika suatu wewenang dipergunakan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan semula diberikannya wewenang tersebut menurut peraturan perundang-undangan.22 Menurut W. F. Prins, sebagaimana dikutif Muchsan, pengertian detournement de pouvoir hanya dapat dipakai untuk menyatakan suatu kekurangan dalam suatu perbuatan yang diadakan administrasi negara. Perbuatan tersebut terjadi apabila pemerintah menggunakan wewenangnya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum yang lain daripada kepentingan umum yang 21 22
Ibid, hlm. 34. S. F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara…, Op. Cit, hlm. 370.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
13
dimaksud oleh peraturan yang menjadi dasar wewenang tersebut.23 Jelasnya detournement de pouvoir bukanlah perbuatan melawan hukum, karena secara formal di sini tidak ada kaidah hukum yang dilanggar. Di sini pemerintah menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk memenuhi kepentingan umum yang dikehendaki oleh peraturan dasar yang memberikan kewenangan tersebut. Perbuatan Pemerintah yang Melanggar Kode Etik Administratif Dalam konsep negara hukum modern baik rechtsstaat maupun rule of law dikenal beberapa asas yang menjadi landasan kinerja organisasi pemerintahan. Asas-asas itu dikenal dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak atau yang Baik (AAUPL/AAUPB atau algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Di Amerika, asas-asas ini berjumlah tujuh, sedangkan di Belanda berjumlah 13, yang meliputi: asas kepastian hukum (principle of legal security), asas keseimbangan (principle of proportionality), asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality), asas bertindak cermat (principle of carefulness), asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation), asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence), asas permainan yang layak (principle affair play), asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonable or prohabition of arbitrariness), asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation), asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an nuled decision), asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi (principle of protecting the personal way of life), asas kebijaksanaan (sapientia), dan asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).24 Menurut Muchsan, dari 13 asas tersebut di atas, maka paling kurang terdapat lima asas yang paling pokok, yaitu: a. Asas kepastian hukum (the principle of legal security), yaitu asas yang menghendaki aparat pemerintah selalu membuat keputusan yang sama terhadap kasus yang kondisinya sama. 23
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap…, Op. Cit, hlm. 35. Kontjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1978), hlm. 29-30. 24
14
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
b.
Asas permainan yang layak (the principle of fair play), yaitu asas yang menghendaki agar aparat pemerintah selalu memberikan informasi seluas mungkin kepada pihak yang terkait, baik diminta maupun tidak. c. Asas kecermatan (the principle of carefulness), yaitu asas yang menghendaki agar aparat pemerintah dalam melaksanakan fungsinya selalu menyelenggarakan koordinasi, integrasi dan sinkronosasi (KIS). d. Asas keseimbangan atau keadilan (the principle of proportionality or justice), yaitu asas yang menghendaki agar aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan selalu berusaha untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pihak yang dilayani. e. Asas ketepatan dalam mengambil keputusan (the principle of good object), yaitu asas yang menuntut agar dalam membuat keputusan aparat pemerintah berpikir lintas sektoral, sehingga keputusannya tidak merugikan atau dengan kata lain harus menguntungkan pihak lawan berbuat.25 Asas-asas umum pemerintahan yang layak/baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) sebagai aturan hukum yang tidak tertulis yang mengikat pemerintah dalam melaksanakan fungsinya. Oleh karena ia mengikat pada perbuatan-perbuatan pemerintah, maka sekaligus ia menjadi kode etik bagi pemerintah dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya. Jika asas-asas tersebut terlanggar maka berarti telah terlanggar pula kode etik pemerintahan. Perbuatan Pemerintah yang Janggal (In Iquity) Perbuatan pemerintah dalam bentuk ini dibagi dalam dua katagori, yaitu perbuatan pemerintah yang tidak taat asas dan perbuatan pemerintah yang tidak taat teori. Perbuatan yang tidak taat asas ialah perbuatan pemerintah yang melanggar asas-asas hukum, misalnya pemerintah mengeluarkan Keppres-Keppres yang berlawanan dengan asas salus populis suprema lex. Demikian juga perbuatan pemerintah yang tidak mentaati teori-teori hukum, 26 misalnya mengeluarkan keputusan 25 26
Muchsan, Perbuatan-perbuatan Maal Administratif, Op. Cit, hlm. 5-6. Ibid.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
15
(beschikking) yang bertentangan dengan teori hierarchy of norms (stufenbau des recht)—suatu teori yang dikemukan oleh Hans Kelsen—di mana suatu keputusan atau peraturan perundang-undangan harus sesuai atau tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.27 Perbuatan Pemerintah yang Amoral Perbuatan pemerintah yang amoral ini ialah suatu perbuatan pemerintah yang melanggar sumpah jabatan, di mana sumpah itu dilakukan ketika ia diangkat untuk menduduki atau menempati jabatan tertentu. Di Indonesia, dilakukannya sumpah jabatan merupakan suatu keharusan ketika seseorang dilantik untuk menduduki jabatan tertentu, mulai dari Presiden sampai kepada Pejabata/Pegawai yang paling bawah. Sebagai contoh Sumpah Presiden (Wakil Presiden) yang dituangkan dalam Pasal 9 ayat (l) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi: Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaikbaiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.
Dengan demikian, melalui sumpah tersebut dapat dilihat apakah perbuatan-perbuatan presiden atau pemerintah telah baik dan adil, atau telah menjalankan UUD dan peraturan perundang-undangan lainnya dengan selurus-lurusnya. Jika terbukti perbuatan pemerintah bertentangan dengan ketentuan yang seharusnya seperti dimuat dalam sumpah jabatannya, maka berarti telah terjadi suatu perbuatan yang amoral.
Relevansi antara Maal Adminisfratif dan Good Governance Harris G. Warren, Harry D. Leinenweber dan Ruth O. M. Andersen dalam bukunya yang berjudul Our Democracy at Work, mengatakan: The easiest way to define either political or student government is to call 27
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1973), hlm. 124.
16
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
it an organization wich, by means of its officer and laws, keeps order, and control and serves a group of people in a given area. The area may be as large as a nation or as small as a village.28
Lewat pandangan mereka tersebut dipahami bahwa pemerintahan merupakan suatu organisasi yang memerintah, mengawasi dan melayani sekelompok manusia dalam suatu wilayah yang ditentukan, dengan menggunakan petugas dan aturan-aturan hukum. Pandangan tersebut paling tidak memuat unsur penting yang mesti dilihat secara konkret dalam tulisan ini, yaitu suatu unsur di mana tugas pemerintahan adalah memerintah, mengawasi dan mengontrol rakyatnya, dan suatu unsur penggunaan sarana petugas dan aturan hukum. Artinya meskipun tugas pemerintahan itu adalah memerintah, mengawasi dan melayani masyarakat, namun tugas tersebut tidak diberikan serta merta begitu saja, melainkan dibatasi oleh suatu barometer hukum dan kebijaksanaan. Kebijaksanaan tersebut dapat terimplementasi dalam tindakantindakan para pejabat (petugas) aministrasi negara yang besangkutan. Tugas pemerintahan merupakan tugas-tugas aministrasi yang sangat luas, karena pihak pemerintah tidak saja bertugas untuk memerintah, tetapi ia juga bertugas untuk mengawasi bahkan melayani kepentingan masyarakat. Namun itulah konsekuensi dari pelaksanaan bentuk negara welfare state, di mana pihak pemerintahan tidak saja bertugas dalam menjamin ketenangan dan ketertiban (maintenance of peace and order) tetapi juga melayani berbagai kepentingan-kepentingan umum (public service atau bestuurszorg) lainnya. Catatan-catatan di atas memperlihatkan betapa luasnya tugas pemerintahan dalam suatu negara. Tugas tersebut akan berpeluang untuk tidak terpenuhi dalam pelaksanaanya tanpa diiringi dengan adanya pemberian wewenang. Oleh karena itu pemberian suatu wewenang kepada pihak pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu keharusan. Wewenang untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan, menurut Indroharto, adalah wewenang untuk menatapkan normanorma hukum positif di suatu bidang kehidupan dalam masyarakat serta mempertahankannya.29 Maksudnya untuk dapat menetapkan serta 28
Harris G. Warren, Harry D. Leinenweber & Ruth O. M. Andersen, Our Democracy at Work, (Englewood New York: Prentice-Hall INC, 1963), hlm 3.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
17
mempertahankan suatu hukum positif tersebut diperlukan adanya wewenang. Tanpa adanya wewenang tidak mungkin dilahirkan keputusan-keputusan yang sah. Pelaksanaan suatu wewenang pemerintahan dapat melahirkan norma- norma hukum material maupun formal. Jadi, wewenang pemerintahan dapat dianggap sebagai hak untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan. Wewenang pemerintahan menurut sifatnya selalu terikat kepada suatu masa waktu tertentu, tidak berlaku untuk selama-lamanya. Selain itu baik pemberian wewenang, maupun sifat serta luasnya wewenang pemerintahan serta pelaksanaannya dari suatu wewenang maupun pencabutannya, terdapat batasan-batasan hukum yang tertulis maupun tidak tertulis.30 Meskipun pada dasarnya wewenang pemerintahan selalu terikat kepada suatu masa waktu tertentu, namun dalam kondisi tertentu dasar wewenang tersebut tidak diberlakukan sebagaimana mestinya, bahkan pihak pemerintah diberikan suatu kemerdekaan atau kebebasan untuk bertindak dengan apa yang dikenal dengan discretionnare atau freies ermessen.31 Menurut Sjachran Basah bahwa discretionnare atau freies ermessen adalah kemerdekaan atau kebebasan yang diberikan kepada pemerintah, untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam penyelesaian soalsoal genting yang timbul secara tiba-tiba, sedangkan aturan penyelesaiaannya belum ada.32 Dalam hal demikian pemerintah atas nama negara dipaksa bertindak cepat, dan tidak perlu menunggu perintah dari badan-badan kenegaraan yang diserahi fungsi legislatif. 29
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hlm. 94. 30 Ibid, hlm. 96 31 Istilah freies ermessen berasal dari Bahasa Jerman. Kata freies diturunkan dari kata frei atau ferie yang artinya bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan orang bebas. Sedangkan kata ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, perimbangan dan keputusan. Jadi secara etimologis, freies ermessen dapat diartikan sebagai orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga dan bebas mengambil keputusan. Kata freies ermessen sepadan dengan kata pouvoir discretionnare. S. F. Marbun (ed), Dimensi-dimensi Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 108 32 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 12.
18
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
Muchsan menambahkan, bahwa asas diskresi (discretionnare atau freies ermessen) dalam penyelenggaraan pemarintah dilakukan berdasarkan Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/ 1966 sendiri, yang memuat tata urut peraturan perundang-undangan Indonesia terdiri dari: 1.UUD, 2. Undang-Undang, 3. Peraturan Pemerintah, 4. Keputusan Presiden, 5. Keputusan Menteri dan seterusnya ke bawah. Oleh karena menurutnya, jika dipandang dari sisi perumusannya maka kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan tersebut, dapat berbentuk: 1. Bersifat mengikat, artinya rumusan dalam peraturan perundangundangan sifatnya mendikte apa saja yang harus dilakukan oleh pemerintah yang bersangkutan. Pemerintah hanya diberi kewajiban untuk melaksanakan apa yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tanpa boleh menafsirkannya. 2. Bersifat bebas (discretionnare atau freies ermessen), yakni pemerintah diberi kebebasan untuk menentukan sendiri bagaimana mengartikan (menangkap maksud dan tujuan) dari kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang dibebankan kepadanya.33 Jelasnya wewenang yang bersifat merdeka atau bebas (discretionnare atau freies ermessen) itu diberikan kepada pihak pemerintahan, apabila aturan dasamya dapat ditafsirkan, sehingga pihak pemerintah dapat menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya. Tetapi sungguhpun adanya wewenang diskrenasi (discretionnare atau freies ermessen) yang diberikan pada pihak pemerintah dalam menyelenggaran tugasnya, namun wewenang tersebut tidak dapat dilakukan dengan seenaknya saja. Wewenang tersebut baru dapat dilakukan apabila telah memenuhi unsur-unsurnya, yaitu adanya masalah yang muncul dalam kondisi mendesak dan tidak terdapat aturan hukumnya. Dengan demikian, pelaksanaan tugas pemerintahan yang diutamakan adalah berdasarkan wewenang yang telah ditentukan oleh hukum. Oleh karena, selain jelas aturan mainnya, juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya perbuatan-perbuatan pihak pemerintah yang tidak diingini. Perbuatan-perbuatan pihak pemerintah yang tidak diingini itu, 33
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap…, Op. Cit, hlm. 13.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
19
dapat saja berupa perbuatan yang sewenang-wenang (willikeur/abus de droit), yakni suatu perbuatan dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau perbuatan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), yakni suatu wewenang dipergunakan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan semula diberikannya wewenang tersebut menurut peraturan perundangundangan.34 Sementara menurut penggolongan Muchsan, perbuatanperbuatan yang tidak diingini tersebut merupakan bagian dari perbuatan maal administratif (sebagaimana telah diuraikan sebelumnya). Untuk menghindari terjadinya perbuatan maal administratif, maka perbuatan pihak pemerintah diharapkan merupakan perbuatan yang berdasarkan atas hukum (rechtmatig), berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatig), atau perbuatan yang bermanfaat (doelmatig) bagi kepentingan umum lainnya. Oleh karena itu, perbuatan pemerintah harus dapat diuji dengan tolok ukur hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, yakni lewat peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis, yakni asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur atau the principles of good public administration). Adanya tolok ukur hukum baik tertulis maupun tidak tertulis itu adalah untuk menciptakan agar perbuatan pemerintah jangan sampai masuk kepada perbuatan-perbuatan yang tidak diingini (maal administratif) tersebut. Jelasnya dalam setiap tindak tanduknya yang berkaitan dengan tugasnya, pihak pemerintah selalu menggunakan asas legalitas dan yuridiknitas. Hal itu sangat penting untuk dilakukan dalam rangka menciptakan suatu good governance. Wujud good governance, di mana pihak pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi dan tugasnya, selain memiliki konsentrasi kekuasaan yang makin besar, juga bersentuhan langsung dengan rakyat. Tindakan-tindakan penertiban, perizinan dan berbagai pelayanan lainnya merupakan fungsi dan tugas pemerintah yang langsung berhubungan dengan rakyat. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan fungsi dan tugas tersebut, selain ia dituntut untuk melaksanakan ketentuanketentuan hukum yang telah digariskan, baik tertulis maupun tidak, 34
20
S. F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara…, Op. Cit, hlm. 370-372.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
juga dituntut untuk memberikan service yang baik terhadap masyarakat. Dituntut untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang telah digariskan, berarti perbuatan-perbuatan pemerintah jangan sampai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum tersebut. Sedangkan dituntut untuk memberikan service yang baik terhadap masyarakat, dimaksudkan agar jangan sampai melanggar hak-hak rakyat atau menimbulkan kerugian bagi rakyat (maal administratif). Dengan demikian terlihat bahwa relevansi antara maal administratif dan upaya menciptakan good governance merupakan suatu hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas. Dengan kata lain, adanya maal administratif dapat mengakibatkan tidak terciptanya suatu good governance, atau terciptanya suatu good governance adalah disebabkan terhindarinya maal administratif dalam pemerintahan. Hubungan sebab akibat tersebut dapat dilukiskan dalam gambar berikut ini: Gambar 1: Hubungan Kausalitas antara Maal Administratif dan Good Governance Sebab
Akibat
Terdapat
Tidak Tercipta
Maal Administratif Tidak Terdapat
Good Governance Tercipta
Maal Administratif
Good Governance
Ringkasnya, selama maal administratif masih ditemukan, maka selama itu pula upaya untuk menciptakan suatu good governance hanya tinggal angan-angan belaka. Bagaimana dapat dikatakan sebagai suatu good governance, kalau di dalamnya masih ditemukan perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum, atau perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap kepentingan umum. Sementara itu, pemerintah merupakan pihak yang bersentuhan langsung dengan rakyat, tentunya setiap perbuatan pemerintah akan langsung dirasakan oleh rakyat, baik sebagai perbuatan yang diharapkan—yakni perbuatan yang tidak bertentangan dengan ketentuan-
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
21
ketentuan hukum—maupun sebagai perbuatan yang tidak diingini (maal administratif). Guna untuk menciptakan perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu, maka tidak lain kecuali pihak pemerintah harus melaksanakan tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) sebagai hukum tertulis, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur atau the principles of good public administration) sebagai hukum yang tidak tertulis.
Penutup Sebagai penutup tulisan ini, dapat dilihat bahwa begitu berpengaruhnya maal administratif dalam menciptakan suatu good governance. Dengan kata lain harus diakui bahwa terdapat suatu relevansi yang kuat, dalam bentuk hubungan kausalitas, antara maal administratif dan upaya menciptakan suatu good governance. Perbuatan-perbuatan yang tergolong maal administratif akan menjadi penyebab tidak terciptanya suatu good governance. Oleh karena terciptanya suatu good governance tersebut, bilamana tidak ditemukan perbuatan-perbuatan pemerintah yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum, atau perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian terhadap kepentingan umum. Dengan demikian, untuk menciptakan suatu good governance, syarat utamanya ialah setiap perbuatan-perbuatan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) sebagai hukum tertulis, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur atau the principles of good public administration) sebagai hukum yang tidak tertulis. Bibliografi Bagir Manan, Good Governance Hindarkan Rakyat dari Tindakan Negara yang Merugikan, Bandung: FH. UNPAD, 2000. Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New York: Russell & Russell, 1973. Harris G. Warren, Harry D. Leinenweber & Ruth O. M. Andersen, Our Democracy at Work, Englewood New York: Prentice-Hall INC, 1963. Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata 22
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. Johanes Usfunan, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Jakarta: Djambatan, 2002. Kontjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1978. Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2000. Muchsan, Perbuatan-perbuatan Maal Administratif, Materi Perkuliahan Hukum Acara Administrasi, Program Magister (S2) Ilmu Hukum, Yogyakarta: FH UII, 2003. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987. S. F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997. S. F. Marbun, (ed), Dimensi-dimensi Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2001. Sheldon S. Steinberg & David T. Austern, Governments, Ethichs, and Managers Penyelewengan Aparat Pemerintahan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni, 1985. Sri Sudyatmoko dan Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara Sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1996. Tim Studi Pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Manajemen Pemerintahan Baru, Jakarta: BPKP, 2000.
AL-RISALAH
Jurnal Kajian Hukum Islam | Vol. 12, No. 1, Juni 2012
23