“RELEASE AND DISCHARGE” SIAPA YANG AKAN TANDA TANGAN? Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum.
PENDAHULUAN Isu seputar MSAA dan “Release and discharge” bagaikan sebuah kisah yang tak pernah berakhir dan selalu aktual. Bahkan akhir-akhir ini kisah itu muncul lagi, namun kali ini substansinya bukan pada mengapa ada klausul release and discharge dalam MSAA seperti ketika MSAA tersebut ditandatangani, melainkan siapa yang relevan menandatangi
release and discharge: apakah Presiden; Menko Ekuin;
Menteri Keuangan; Jaksa Agung; ataukah Kepala BPPN? dan sampai saat ini masih terjadi saling lempar tanda tangan dan menghindar. Dengan
adanya
adegan
seperti
itu,
maka
wajar
jika
Amin
Rais
mempertanyakan ada apa sebenarnya dengan release and discharge tersebut, jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres. Sebenarnya jika menelusuri sejenak riwayat perihal timbulnya klausul release and discharge adalah tidak terlepas dari keinginan pengembalian uang negara (rakyat) secepatnya yang telah dipakai oleh para debitur, yaitu melalui Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) atau perjanjian pengembalian dana BLBI dengan jaminan aset antara Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan debitur. Atas penandatanganan MSAA itu, pemerintah menerbitkan release and discharge yang menyatakan bahwa tagihan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi lunas dan tidak akan melakukan penuntutan pidana atas pelanggaran yang dilakukan oleh bank serta merelease semua jaminan yang dahulu diikat untuk BLBI. Sehubungan dengan kebijakan tersebut, maka kontan saja menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan bahwa pola perjanjian MSAA yang diterapkan oleh BPPN terhadap para debitur sangat merugikan negara. Hal itu diperkuat dengan hasil Kajian Tengah Tahunan (tahun 2000) yang dilakukan oleh lembaga Econit (Kompas, 2 Agustus 2002, hal. 13) yang dipublikasikan pada hari Selasa, 1 Agustus 2000, menyebutkan ada enam alasan MSAA cenderung lebih menguntungkan pihak debitur
1
dan merugikan negara, yaitu antara lain: 1). MSAA membebaskan debitur dari tindak pidana yang telah mereka lakukan, yaitu seperti pelanggaran BMPK; 2). Setelah MSAA ditandatangani, pemerintah tidak bisa menuntut debitur jika ternyata jaminan yang diserahkan kurang dari jumlah kewajiban yang seharusnya diserahkan; 3). Kepemilikan aset-aset yang diserahkan para debitur tetap atas nama mereka, BPPN hanya melakukan kontrol terhadap kegiatan operasional;4). Tidak ada sanksi yang tegas seandainya debitur melanggar MSAA. Sebagai contoh, tidak adanya sanksi atas pelanggaran terhadap batas waktu yang telah ditetapkan untuk menyerahkan aset, dan tidak adanya sanksi terhadap pemegang saham yang belum menyerahkan kewajiban tunai. Berdasarkan paparan Econit di atas, adalah jelas penyelesaian melalui MSAA sangat merugikan negara. Karena materinya sudah menyimpang dari asas-asas kepatutan. Pertanyaannya, mengapa perjanjian seperti itu bisa terjadi? Jawabannya, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Kwik Kian Gie, karena MSAA itu adalah produk dari pemerintahan lama dan Dana Moneter Internasional (IMF). Oleh karena itu, pemerintah cq. Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), berusaha membatalkan MSAA (Kompas, 25 Juli 2000, hal. 13). Bahkan menurut Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio B. Joedono, pemerintah telah menempuh cara yang melanggar hukum, yaitu dengan menghapuskan unsur pidana pada pelanggaran BMPK (Forum Keadilan, No. 22, 3 September 2000, hal. 21). Isu yang telah disampaikan oleh Ketua BPK tersebut merupakan persoalan yang perlu dicermati, sebab lemahnya penegakan hukum pidana dalam penyelesaian berbagai kasus kejahatan ekonomi di bidang perbankan, justru akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat, baik terhadap pemerintah, lembaga peradilan (yudikatif) maupun terhadap perbankan itu sendiri, yang pada akhirnya bermuara pada kepentingan nasional. Persoalannya sekarang, tidak hanya sekedar siapa yang berwenang membubuhkan tanda tangan, tapi lebih jauh dari itu karena menyangkut persoalan hukum pidana: apakah dengan mencantumkan klausul
release and risharge
persoalannya sudah dianggap selesai begitu saja, atau dengan kata lain apakah
2
dengan menerbitkan release and risharge dalam perjanjian melalui instrumen MSAA itu, maka unsur pidananya dapat ditiadakan?
MENIADAKAN UNSUR PIDANA? Dalam sidang kabinet terbatas yang membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, Kepala BPPN telah menyampaikan empat obligor (saat ini sudah berjumlah lima) yang telah menyelesaikan kewajibannya sebagai pemegang saham. Oleh karena itu, terhadap keempat obligor tersebut seharusnya berhak mendapatkan release and discharge sesuai janji pemerintah (hukumonline.com, Jum’at 22 Nopember 2002). Akan tetapi sebagaimana telah dipertanyaan di atas: apakah aspek pidananya dapat ditiadakan begitu saja? Sehubungan dengan hal itu, Kwik Kian Gie, pernah menyampaikan berkaitan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fred Tumbuan dan Kartini Mulyadi selaku penasehat hukum BPPN dalam penyelesaian perjanjian MSAA bahwa memang perlu diadakan revisi terhadap MSAA, karena yang namanya utang itu harus dibayar, termasuk bunganya. Demikian juga dengan rekomendasi yang menyatakan bahwa aspek pidana yang terjadi dalam perjanjian MSAA tidak bisa ditiadakan oleh sebuah perjanjian utang piutang yang sifatnya perdata, sebab ketentuan tentang release and discharge (pelunasan dan penghapusan) terhadap pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) itu harus batal demi hukum, karena bertentangan dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Oleh karena itu menurut Kwik, seharusnya para obligor penandatangan MSAA dan MRA (Master of Refinancing Agreement) layak diajukan ke meja hijau apabila dilihat dari pelanggaran BMPK-nya (hukumonline.com, 22 September 2002). Permasalahan itu kemudian membawa pemerintah pada dua alternatif penyelesaian yang sulit dilakukan, karena pelanggaran terhadap ketentuan BMPKmerupakan tindak pidana berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana dirubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Alternatif pertama, melakukan penyelesian melalui pengadilan (court
3
settlement). Sedangkan alternatif kedua, adalah penyelesian di luar pengadilan (out of court settlement). Keputusan penyelesaian di luar pengadilan itu berarti akan membuat pemerintah kurang berwibawa di hadapan hukum, karena dengan negosiasi, maka jika para konglomerat mau menyelesaikan kewajibannya, pemerintah akan mengampuni pelanggaran ketentuan BMPK yang dilakukan oleh mereka tersebut. Melihat penyelesaian seperti itu, Amin Rais menanggapinya dengan mengatakan agar pemerintah jangan main-main dalam memberikan release and discharge, karena itu menyangkut uang rakyat dan harus dipertanggung jawabkan. Disamping itu, dengan menyampingkan unsur pidananya justru bertentangan dengan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Karena dalam Pasal 4 ditentukan: pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Demikian juga halnya dengan Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam salah satu konsiderannya dikemukakan: permasalahan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
PENDEKATAN MELALUI JALUR SCHIKKING Schikking atau penyelesaian di luar acara, adalah penyelesaian perkara tanpa mengajukannya ke muka sidang pengadilan dengan pembayaran denda damai yang disepakati antara Kejaksanaan Agung dengan tersangka. Menurut Andi Hamzah, pembayaran denda damai itu maksudnya pembayaran sejumlah uang kepada negara sebagai ganti kerugian yang timbul akibat perbuatan tersangka. Adapun dasar hukum untuk penyelesaian di luar acara itu adalah asas opportunitas yang ada pada Jaksa Agung, kecuali jika Jaksa Agung melimpahkan wewenang kepada Jaksa Tinggi atau kepada Kepala Kejaksaan Negeri. Ini berarti, wewenang yang diberikan oleh asas opportunitas kepada penuntut umum untuk meniadakan 4
penuntutan hukum (pidana) terhadap seseorang atau korporasi yang dianggap telah melakukan suatu tindak pidana, dengan pertimbangan adalah lebih menguntungkan kepentingan umum jika tidak dilakukan penuntutan. Dengan demikian, alasan untuk menggunakan asas opportunitas tersebut adalah demi untuk kepentingan umum. Namun, alasan itu harus jelas (objektif dan dapat diterima), dan kaitannya dengan pemberian release and discharge kepada para obligor, maka kepentingan umum yang dimaksud seyogyanya dihubungankan dengan pertanyanyaan: apakah apabila para obligor dihukum, maka akan menggoyahkan perekonomian nasional, atau sebaliknya jika mereka tidak dihukum, kepentingan perekonomian nasional akan cepat pulih. Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tadi, tapi yang jelas penyelesaian perkara di luar persidangan pengadilan (out of court settlement) sebenarnya dalam instrumen internasional upaya-upaya seperti itu memang dapat dibenarkan, yaitu sebagaimana tercantum dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-9 Tahun 1995 di Kairo tentang The Crime Prevention and Treatment of Offenders, yaitu dalam Dokumen A/CONF. 169/6 bahwa untuk perkara-perkara pidana yang mengandung unsur fraud dan white-collar crime atau apabila terdakwanya korporasi, maka pengadilan seharusnya tidak menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi kemungkinan terjadinya pengulangan tindak pidana. Jika dalam schikking di atas yang dimaksudkan dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan itu adalah dengan pembayaran denda damai yang disepakati antara Jaksa Agung dengan tersangka, akan tetapi perjanjian yang dikemas dalam MSAA yang kemudian berujung dengan pemberian release and discharge adalah tidak hanya sekedar denda damai, tapi bagaimana uang negara itu dapat dikembalikan oleh obligor. Ini hanya sebagai catatan untuk diketahui, tapi yang penting sekarang ini adalah mencari dasar hukum yang berkaitan dengan penandatanganan surat pemberian release and discharge tersebut. Dengan demikian, apabila mengacu kepada jalur schikking dan Dokumen A/CONF. 169/6 adalah jelas, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
5
oleh pengambil keputusan dalam menentukan siapa yang paling tepat untuk memberikan tanda tangan. Demikian juga dasar diberikannya release and discharge.
PENUTUP Kembali kepada siapa yang akan membubuhkan tanda tangan sehubungan dengan pemberian release and discharge itu, maka dengan dasar asas opportunitas tersebut Jaksa Agung dapat melimpahkan wewenangnya kepada menteri keuangan dan selanjutnta menteri keuangan dapat melimpahkan lagi kapada Kepala BPPN dengan catatan semua perkembangan yang berkaitan dengan hal itu harus dilaporkan kepada Jaksa Agung.
6