Release And Discharge Dalam Perspektif Hukum Keuangan Publik Erna Herlinda Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perbincangan mengenai pemberian surat jaminan pembebasan dari segala proses dan tuntutan hukuman (release and discharge) terhadap para pengutang kelas kakap terus bergulir (Suara Merdeka, edisi Minggu, 22 Desember 2002). Kebijakan pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) memberikan jaminan pembebasan kepada para obligor yang telah memenuhi kewajibannya menimbulkan kontroversi. Yang menjadi kontroversi adalah apakah pembebasan tersebut hanya sebatas lingkup perdata atau juga membebaskan dari proses pidana. Sebahagian kalangan berpendapat bahwa pemberian release and discharge tidak menghapuskan tuntutan hukum dari aspek pidananya, sementara sebahagian lagi berpandangan bahwa pemberian release and discharge tidaklah bertentangan dengan tujuan pemidanaan maupun asas demi kepentingan umum dimana situasi keuangan negara membutuhkan dana segar.1 Bagi yang setuju pemberian pembebasan penuntutan di muka sidang melihat pemberian release and discharge sebagai suatu solusi yang dianggap terbaik untuk kondisi saat ini. Hal yang penting bagi Mereka adalah uang negara kembali dan terselamatkan. Perumusan Masalah Dari uraian di atas yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana release and discharge dalam perspektif hukum keuangan publik.
1
Mengenai hal ini terjadi perdekatan antara 2 Menteri dalam Kabinet Gotong Royong. Menteri BUMN Laksamana Sukardi dan Kwik Kian Gie (Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Laksamana Sukardi menjelaskan bahwa Release and Discharge sudah sesuai dengan Ketetapan MPR, GBHN, Undang-Undang serta Program Pembangunan Nasional. Sementara Kwik Kian Gie menyatakan ketidak setujuannya terhadap upaya penyelesaian di luar jalur hukum kepada para konglomerat bermasalah. Lihat Tempo edisi 20 Desember 2002, 2 Maret 2003, lihat juga Harian Suara Merdeka, edisi Minggu, 22 Desember 2002.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
1
BAB II PEMBAHASAN A. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan Beban Keuangan Negara Munculnya bisnis konglomerat dalam sistem perbankan nasional menimbulkan lahan subur bagi praktek manipulasi seperti Penyaluran kredit kepada perusahaan-perusahaan yang mempunyai kaitan kepemilikan dengan kelompok usaha yang bersangkutan dimana kelompok usaha itu adalah pemilik dari unit perbankan yang menyalurkan kredit. Dalam Perkembangan selanjutnya bias diperkirakan bahwa sebahagian besar bisnis konglomerat sangat tergantung pada proteksi pemerintah seperti monopoli, tata niaga, subsidi maupun Fasilitas khusus lainnya dari pemerintah. Bisnis konglomerat dipastikan hampir mencengkeram semua Cabang produksi yang ada, mulai dari bahan pokok, hutan, real estate, industri otomotif, media massa sampai perbankan. Pada saat terjadinya krisis moneter sejak pertengahan 1997,2 kepercayaan masyarakat luas terhadap kinerja perbankan semakin menurun sehingga mendorong adanya penarikan dana yang tersimpan di bank secara besar-besaran (rush). Reaksi ini menyebabkan kolapsnya dunia perbankan Indonesia sehingga mendorong dilaksanakannya sidang kabinet terbatas 3 September 1997 untuk memberikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan harapan dapat menolong bankbank nasional dari kehancuran yang lebih dalam. Pada akhirnya pemberian BLBI ditengarai sebagai salah satu sumber permasalahan utang konglomerat dalam skema Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Bisnis para konglomerat terbukti dibangun di atas pondasi yang keropos, bisnis tersebut bukan dibangun dengan sebuah ketekunan dan keberhasilan menciptakan etos kerja yang kuat melainkan berkat kemampuan memanipulasi laporan keuangan agar lebih mudah menyerap dana dari pasar modal dan mendapat suntikan kredit dari pemerintah. BLBI yang menghabiskan dana ratusan triliun rupiah ini menimbulkan permasalahan yang kompleks dan rumit. Ironisnya beban keuangan negara yang demikian berat ini harus ditanggung oleh rakyat dalam bentuk hilangnya subsidi dan meningkatnya pajak. Belakangan bantuan likuiditas yang diberikan kepada konglomerat pemilik bank diketahui telah diselewengkan pemilik bank itu sendiri dan digunakan untuk modal lain serta tidak sedikit yang diinvestasikan di luar negeri. Malangnya lagi para pelaku kejahatan ekonomi yang menyebabkan terpuruknya perekonomian Indonesia tidak kunjung meringkuk di penjara. Para pengutang kelas kakap tersebut seolah-olah bebas dari tuntutan hukum bahkan pemerintah melalui BPPN lebih memprioritaskan penyelesaian tunggakan konglomerat pemilik bank tersebut melalui proses negosiasi dan dimusyawarahkan baik-baik.
2 Menurut M. Ihsan rapuhnya sendi perekonomian Indonesia sejak akhir 1997 lalu memberikan implikasi yang cukup luas bagi arah kebijakan nasional. Salah satu yang terpenting adalah akibat melemahnya sistem keuangan perbankan nasional. Lihat majalah Tempo edisi 1 Desember 2002.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
2
Oleh karena itu para konglomerat Meminta jaminan agar apabila melakukan pembayaran mendapat jaminan untuk tidak dituntut atau diproses hukum (release and discharge). B. Release and Discharge Istilah release and discharge sebenarnya tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia.3 release and discharge (disingkat menjadi R & D) termuat dalam perjanjian antara BPPN dengan para konglomerat/obligor yang mempunyai kewajiban kepada BPPN berdasarkan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), baik yang berbentuk MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement-Perjanjian Penyelesaian BLBI dengan jaminan aset), MRNIA (Master of Refinancing and Note Issuance Agreement-Perjanjian Penyelesaian BLBI dengan jaminan asset dan jaminan pribadi), dan/atau Akta Pengakuan Utang (APU). Maksud dan tujuan pemberian R & D yang terkandung dalam MSAA tersebut adalah penyelesaian utang BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dengan pembebasan dari semua tuntutan hukum, termasuk aspek pidananya. Kesepakatan MSAA merupakan maksud baik pemerintah dalam mencari solusi penyelesaian utang BLBI dan pelanggaran BMPK dengan menuntut niat baik obligor secara out of court settlement yang mungkin lebih efektif. Pemerintah sepertinya lebih memilih penyelesaian di luar pengadilan. Secara politik dan hukum pilihan ini jelas sangat eksplosif. Keputusan untuk memberikan release and discharge (pembebasan dari proses tuntutan dan proses hukum) dilaksanakan melalui Sidang Kabinet Terbatas di Istana Negara, Senin 18 Nopember 2002 yang lalu. Release and Discharge tersebut diberikan kepada 4 (empat) pengutang kelas kakap, yaitu Ibrahim Risjad, Sudwikatmono, The Ning King dan Hendra Liem. Ibrahim Risjad (Bank Risjad Salim Internasional/RSI) dan Sudwikatmono (Bank Surya) adalah 2 (dua) obligor penandatangan MSAA, sementara The Ning King (Bank Dana Hutama) dan Hendra Liem (Bank Budi Internasional) merupakan 2 (dua) obligor yang telah menandatangani APU. Uniknya, keputusan R & D tersebut dikeluarkan berdasarkan argumen bahwa Mereka dianggap telah melunasi kewajibannya sekalipun melewati batas waktu yang telah ditentukan. Hal yang lebih menarik lagi bahwa penertiban R & D dikuatkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002. Alasan pemerintah menerbitkan Inpres tersebut sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/2001 yang memerintahkan untuk konsisten terhadap kesepakatan penyelesaian utang para konglomerat melalui mekanisme MSAA atau perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan asset. Alasan lain Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
3
Menurut Jusuf L. Indradewa di Indonesia yang dikenal dan biasa digunakan adalah pemberian acqint et decharge (A & D) dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris PT yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan undang-undang hukum pidana. Lebih lanjut lihat Jusuf L. Indradewa, Inpres No 8/2002 & Penyelesaian Release and Discharge, dalam Harian Kompas edisi 14 Januari 2003.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
3
Pembangunan Nasional menuntut pemerintah memberikan intensif kepada para obligor yang kooperatif.4 Sementara itu Dradjad H Wibowo, ekonomi senior INDEF menyebutkan semestinya pemerintah tidak mengeluarkan keputusan pembebasan.5 Alasannya pemerintah harus konsisten dengan MSAA. Padahal MSAA adalah produk hukum yang belum lengkap bahkan cacat hukum. Dalam kesepakatan mengenai pengembalian utang itu belum terdapat tanda tangan Jaksa Agung sebagai pihak yang dalam salah satu klausulnya disebut harus memberikan persetujuan sebagai tanda pengakuan dan penerimaan. Dalam lembar persetujuan itu hanya terdapat tanda tangan Ketua BPPN, Menteri Keuangan dan para obligor. Alasan lain disebutkannya, kalau pemerintah memang benar-benar konsisten, maka butir-butir klausul dalam MSAA yang terpenting menyebutkan bahwa pembebasan akan diberikan hanya jika para obligor itu menyelesaikan kewajibannya. Dari sisi perdata, maka bias dilepas kalau sudah memenuhi kewajibannya tetapi pelanggaran pidananya tidak bias dilepaskan begitu saja. Kalau itu terjadi maka keluarnya R & D akan sangat menyinggung rasa keadilan masyarakat. Pemberian R & D harus transparan. Publik harus tahu Prosedur, proses dan standarstandar yang dipakai dalam penetapan seorang obligor berhak mendapat R & D. Seluruh proses yang dilakukan harus dibuka dan bias diperdebatkan secara terbuka. Publik harus tahu apa yang terjadi sebelum R & D dikeluarkan. Apakah prosedurnya sesuai dengan Prosedur baku, apakah kriteria-kriterianya dipenuhi, bagaimana proses penyelesaiannya dan apa yang telah dipenuhi oleh obligor tersebut, semuanya harus jelas dan terbuka karena menyangkut uang rakyat. Menurut Luhut MP Pangaribuan ada 2 (dua) kategori yang sama sekali tidak layak mendapatkan R & D. Pertama, bankir yang terlibat dalam pelanggaran BMPK dan kedua, peserta program APU. 6 Pelanggaran BMPK jelas merupakan tindak pidana yang dilarang UndangUndang Perbankan, pelakunya harus dijebloskan ke penjara. Sedangkan peserta program APU tidak bias mendapat R & D karena memang tidak ada klausul dalam APU yang mengaturnya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam dunia hukum ada prinsip yang berlaku universal yaitu penyelesaian perdata tidak bias menghilangkan delik pidana. Undang-Undang Pidana adalah undang-undang yang berhubungan dengan ketertiban umum sehingga tidak dapat ditiadakan oleh sebuah perjanjian meskipun negara menjadi pihak dalam perjanjian tersebut. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 50 A secara eksplisit menyebutkan pelanggaran terhadap BMPK diancam dengan pidana penjara.
4
Harian Suara Merdeka, edisi 22 Desember 2002.
5
Ibid, lihat juga Dradjat H Wibowo, “Sebuah Tragedi Ekonomi Bernama Release and Discharge”, dalam harian Kompas, 23 Nopember 2002. 6
Luhut MP Pangaribuan, “Simalakama Release and Dischargea” dalam Majalah Tempo, edisi 2 Maret 2003.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
4
Dalam kesepakatan MSAA ini ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Perbankan tersebut dianggap tidak ada. Dalam salah satu pasal MSAA dicantumkan bahwa mantan pemilik bank itu dibebaskan dari pelanggarannya terhadap ketentuan BMPK yang dalam Undang-Undang Perbankan adalah pelanggaran pidana. Dengan demikian pemberian R & D mengesampingkan undang-undang, padahal asas penuntutan hukum pada Kasus pidana tidak otomatis dihentikan sekalipun si tersangka telah menutupi kerugian negara karena perbuatan pidananya telah dilakukan. Oleh karena itu perlu dipahami bahwa ketentuan pidana merupakan ketentuan yang berhubungan dengan ketertiban umum sehingga tidak dapat ditiadakan oleh sebuah perjanjian, meskipun negara (dalam hal ini BPPN mewakili pemerintah) menjadi pihak dalam perjanjian tersebut.
BAB III KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Dari perspektif hukum perdata, kebijakan R & D dipandang sebagai suatu hal yang wajar. Ini berarti bahwa BPPN dipandang berhak melakukan perjanjian dengan pihak obligor. Mengingat perjanjian yang telah dibuat adalah kesepakatan dari para pihak yang mengikatkan diri maka perjanjian tersebut sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 2. Dari segi hukum pidana harus dilaksanakan proses sebagaimana mestinya. Dalam hal ini dikenal prinsip umum yang menyebutkan bahwa penyelesaian perdata tidak dapat menghilangkan delik pidana. Oleh karena itu Jaksa Agung tidak berhak untuk mendeponir masalah ini, BPPN juga tidak berwenang menghapus tuntutan pidana. Dengan kata lain, jika kebijakan R & D terlalu dipaksakan, maka hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip yang berlaku universal. 3. Dalam perspektif hukum keuangan publik, bila kebijakan R & D dipandang sangat perlu maka tidak bias hanya diputuskan oleh pemerintah. Meskipun pemerintah (dalam hal ini BPPN) menganggap beberapa obligor layak mendapatkannya, mereka harus mendapat persetujuan dari DPR, karena DPR merupakan respresentasi dari rakyat, dan uang yang digunakan oleh para obligor tersebut adalah uang rakyat.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
5
DAFTAR PUSTAKA Dradjat H Wibowo, “Sebuah Tragedi Ekonomi Bernama Release and Discharge”, dalam Harian Kompas, 23 Nopember 2002. Jusuf L Indradewa, “Inpres No. 8/2002 & Penyelesaian R & D”, dalam Harian Kompas, 14 Januari 2003. M. Ihsan, Tempo, 1 Desember 2002 Harian Suara Merdeka, 22 Desember 2002 Tempo 20 Desember 2002, 2 Maret 2003.
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
6