Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015
RELATIONS OF NUTRITIONAL AND IMMUNIZATION STATUS WITH ACUTE RESPIRATORY INFECTION (ARI) ON UNDER-FIVE IN PUBLIC HEALTH CENTER CEMPAKA BANJARBARU 2014
Darmayanti1
ABSTRACT Background: Indonesia is one of the six countries in the world with the highest incidence of Acute Respiratory Infection (ARI) in children-under five which includes 44% (68.6 million) from 156 million cases in the world (Ministry of Health Republic of Indonesia, 2010). According Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, ARI is the second leading cause of all under five mortality in Indonesia is 15.5%. ARI is one of the main causes of patient visits in health centers (40-60%) and hospitals (15-30 %) ( Health Departement of Indonesia , 2012). Percentage of ARI in Cempaka Health Center was ranked first out of eight health centers located in the Banjarbaru District is 92.6 % (Public Health Office Banjarbaru, 2014). Three risk factors for ARI are environmental factors, individual factors of children, and behavioral factors. Individual factors include the child's age, birth weight, nutritional status, vitamin A, and immunization status ( Maryunani , 2010), while according to the Health Departement of Indonesia (2001) under-five who are at risk for respiratory infection is deficient in vitamin A, lived in the densely housing, malnutrition, did not receive exclusive breastfeeding, incomplete immunization, and the immunocompromised. Objective: The purpose of this study to determine the relationship of nutritional and immunization status with ARI in under-five, especially in Public Health Center Cempaka Banjarbaru 2014. Methods: This research method using analytic survey research with cross sectional approach. The population in this study were all sick under-five who visit Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Public Health Center Cempaka Banjarbaru in January-May 2014 as many as 1011 children. Saturated sampling technique. Instruments with secondary data based on registers data Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Public Health Center Cempaka Banjarbaru. The data analysis uses a chi-square test (α 0.05). Result: Research results is under-five who have ARI as many as 509(50.3%). Nutritional status of under-five with bad category as many as 104 children (10.3%) and less as many as 373 children (36.9%). Complete immunization status of sick under-five as many as 855 children (84.6%). The results of chi-square test variables associated with ARI in under-five is the nutritional status (p= 0.000) and immunization status (p = 0.000). Suggestions research is to increasing activities of health education to parents and the public about the causes and dangers of ARI,nutritional and immunization myths by using posters and leafleat. Key Words: Acute Respiratory Infection (ARI), nutritional status, immunization status
Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2014 151
Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015
HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI 1 DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS CEMPAKA BANJARBARU TAHUN 2014 Darmayanti1 INTISARI Latar Belakang: Indonesia merupakan salah satu dari enam negara di dunia dengan insiden ISPA pada anak-balita paling tinggi yaitu mencakup 44% (68,6 juta) dari 156 juta kasus di dunia (Kemenkes RI, 2010). Menurut Riskesdes tahun 2007, ISPA merupakan penyebab kedua dari seluruh kematian balita di Indonesia yaitu 15,5 %. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di puskesmas (40-60%) dan rumah sakit (15-30%) (Depkes RI, 2012). Persentasi kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka menduduki peringkat pertama dari 8 Puskesmas yang berada di Wilayah Kota Banjarbaru yaitu sebesar 92,6% (Dinkes kota Banjarbaru, 2014). Tiga faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A, dan status imunisasi (Maryunani, 2010), sedangkan menurut Depkes RI (2001) balita berisiko menderita ISPA yaitu kekurangan vitamin A, tinggal di lingkungan rumah padat, gizi buruk, tidak mendapat ASI Eksklusif, imunisasi tidak lengkap, dan daya tahan tubuh rendah. Tujuan: mengetahui hubungan status gizi dan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita khususnya di Puskesmas Cempaka Banjarbaru tahun 2014. Metode: jenis penelitian survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi adalah seluruh balita sakit yang berkunjung ke poli MTBS Puskesmas Cempaka Banjarbaru pada bulan Januari–Mei tahun 2014 sebanyak 1011 balita. Teknik sampling jenuh. Instrumen dengan data sekunder berdasarkan data register MTBS di Puskesmas Cempaka Banjarbaru. Analisis data dengan Uji chi-square (α 0,05). Hasil: Hasil penelitian 509 balita (50,3%) yang mengalami ISPA; Status gizi balita dengan kategori Gizi buruk 104 balita (10,3%), gizi kurang 373 balita (36,9%), gizi baik 521 balita (51,5% ) dan gizi lebih 13 balita (1,3%); Status imunisasi lengkap pada balita sakit yaitu sebanyak 855 balita (84,6%). Hasil uji chi-square variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita adalah status gizi (p = 0,000) dan status imunisasi (p = 0,000). Saran penelitian peningkatkan kegiatan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat (terutama orangtua balita dan kader) tentang penyebab dan bahaya penyakit ISPA, gizi balita dan imunisasi dengan menggunakan alat bantu lembar balik, poster dan leafleatSaran penelitian peningkatkan kegiatan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat (terutama orangtua balita dan kader) tentang penyebab dan bahaya penyakit ISPA, gizi balita dan imunisasi dengan menggunakan alat bantu lembar balik, poster dan leafleat.
Kata Kunci: ISPA, Status Gizi, Status Imunisasi 1
Politeknik Kesehatan Banjarbaru
PENDAHULUAN
Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2014
152
Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015
PENDAHULUAN Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan Angka Kematian Balita (AKABA) yaitu 40 per 1000 kelahiran hidup. Hasil ini menunjukkan sedikit sekali perbedaan dibandingkan dengan SDKI tahun 2007 yang sebesar 44 per 1.000 kelahiran hidup (BAPPENAS, 2010). AKABA di Indonesia adalah tertinggi di negara ASEAN atau Association of South East Asia Nation (Maryunani, 2010). Indonesia merupakan salah satu dari enam negara di dunia dengan insiden ISPA pada anak balita paling tinggi yaitu mencakup 44% (68,6 juta) dari 156 juta kasus di dunia (Kemenkes RI, 2010). ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di puskesmas (40-60%) dan rumah sakit (15-30%) (Kemenkes RI, 2012). ISPA merupakan penyebab kedua dari seluruh kematian balita di Indonesia yaitu 15,5 % dengan prevalensi nasional ISPA adalah 25,50%. Provinsi Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari 16 provinsi yang mempunyai prevalensi ISPA diatas prevalensi nasional (Kemenkes RI, 2010). Penyakit ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Kemenkes, 2013). Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita, karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah. Kejadian penyakit ISPA pada balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali per tahun, yang berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk-pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun (Kemenkes, 2013).
Secara umum terdapat tiga faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi (Maryunani, 2010). Faktor yang menyebabkan balita berisiko menderita ISPA yaitu kekurangan vitamin A, tinggal di lingkungan rumah padat, gizi buruk, tidak mendapat ASI Eksklusif, imunisasi tidak lengkap, dan daya tahan tubuh rendah (Depkes RI, 2001). Selain itu masih banyak faktor yang menurut kepustakaan berperan pada terjadinya ISPA, antara lain jenis kelamin, usia balita, status gizi, imunisasi, berat lahir balita, suplementasi vitamin A, riwayat pemberian ASI ekslusif, pendidikan dan prilaku ibu (Pediatri S, 2012). Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA (Maryunani, 2010). Jumlah kematian balita di Kalimantan Selatan tahun 2012 yaitu sebanyak 218 kasus kematian. Penyebab kematian anak adalah diare (25,2%), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (15,5%) dan enterokolitis (10,7%) (DinKes Prov.KalSel, 2013) Kasus ISPA pada balita di wilayah Kota Banjarbaru tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu sebanyak 14.428 kasus dari 20.955 jumlah balita diantaranya dengan pneumonia sebanyak 1.204 kasus (8,3%) dan penderita batuk bukan pneumonia sebanyak 13.224 kasus (91,7%). Kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka menduduki peringkat pertama dari 8 Puskesmas yang berada di wilayah Kota Banjarbaru yaitu sebesar 92,6% (Dinkes kota Banjarbaru, 2014).
Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2014
153
Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015
Berdasarkan data MTBS di Puskesmas Cempaka, balita sakit yang berkunjung pada tahun 2012 terdapat 1888 kasus ISPA pada balita (68,1%) dari 2771 balita dan pada tahun 2013 terdapat 1778 kasus ISPA pada balita (72,5%) dari 2453 balita. Hal ini menunjukkan bahwa kasus ISPA mengalami peningkatan 4,4% dan menempati urutan pertama penyakit yang menyerang balita di Puskesmas Cempaka tahun 2013.
meningkat sebesar 4,4%, status nutrisi pada balita ISPA meningkat pada katagori gizi kurang sebesar 1,7% dan gizi buruk sebesar 1,8% serta status imunisasi balita yang tidak lengkap meningkat sebesar 0,8% maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan status gizi dan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita khususnya di Puskesmas Cempaka Banjarbaru tahun 2014.
Tabel 1 Data Frekuensi Status Gizi Berdasarkan Kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka Kota Banjarbaru Tahun 2012 dan 2013
METODE PENELITIAN
Status Gizi Lebih Baik Kurang Buruk Jumlah
Tahun 2012 F 42 1062 665 119 1888
2013 % 2,3 56,2 35,2 6,3 100
f 31 948 656 143 1778
% 1,7 53,3 36,9 8,1 100
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa kasus ISPA dengan status gizi kurang dan buruk pada balita mengalami peningkatan dari tahun 2012 ke tahun 2013 yaitu sebanyak 1,7 % dengan gizi kurang dan 1,8 % dengan gizi buruk. Tabel 2 Data Frekuensi Status Imunisasi Berdasarkan Kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2012 dan 2013 Status Imunisasi Lengkap Tidak Lengkap Jumlah
Tahun 2012
2013 F % 1395 78,5
F 1497
% 79,3
391
20,7
383
21,5
1888
100
1778
100
Tabel 2 menunjukkan bahwa kasus ISPA pada balita dengan status imunisasi tidak lengkap dari tahun 2012 ke 2013 terjadi peningkatan sebesar 0,8%. Berdasarkan data register MTBS tahun 2012-2013 yaitu kejadian ISPA yang
Penelitian ini termasuk survei analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada waktu yang suatu saat/ point time approach. Artinya setiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita sakit yang berkunjung ke poli MTBS Puskesmas Cempaka Banjarbaru pada bulan Januari–Mei tahun 2014 sebanyak 1011 balita. Teknik pemilihan sampel penelitian menggunakan teknik sampling jenuh yaitu seluruh anggota populasi dijadikan sampel penelitian, sehingga sampel dalam penelitian ini adalah seluruh balita sakit yang berkunjung ke poli MTBS Puskesmas Cempaka Banjarbaru pada bulan Januari– Mei tahun 2014 sebanyak 1011 balita. Teknik pengumpulan data dengan study dokumentasi (data sekunder) dengan instrumen penelitian menggunakan data sekunder register MTBS di Puskesmas Cempaka Banjarbaru tahun 2014 (data kejadian ISPA, status gizi dan status imunisasi). Analisis data univariat dilakukan dengan cara setelah data terkumpul kemudian
Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2014
154
Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015
ditabulasi, dipersentasikan dan disajikan. dalam bentuk tabel distribusi frekuensi tentang data kejadian ISPA, status gizi dan status imunisasi. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi Square untuk mengetahui adanya hubungan variabel bebas dan variabel terikat yaitu untuk mengetahui adanya hubungan status gizi dengan ISPA; dan untuk mengetahui adanya hubungan status imunisasi dengan ISPA. HASIL Hasil penelitian yang didapatkan dari karakteristik responden sebagai berikut. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian berdasarkan Umur di Puskesmas Cempaka Kota Banjarbaru Tahun 2014 Umur 12 – 23 bulan 24 – 35 bulan 36 – 47 bulan 48 – 59 bulan Total
Jumlah f 396 236 202 177 1011
% 39,2 23,3 20,0 17,5 100
Tabel 3 menunjukkan bahwa balita yang berkunjung ke Poli MTBS terbanyak pada umur 12-23 tahun (39, 2%) dan dapat disimpulkan bahwa semakin bertambah usia balita semakin menurun terjadinya kesakitan. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Jumlah F 530 481 1011
% 52,4 47,6 100
Tabel 4 menunjukkan bahwa balita yang berkunjung ke Poli MTBS terbanyak dengan jenis kelamin laki-laki (52,4%)
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian berdasarkan Kejadian ISPA Kejadian ISPA Terjadi Tidak terjadi Total
Jumlah f 509 502 1011
% 50,3 49,7 100
Dari 1011 balita yang berkunjung ke Poli MTBS yang mengalami ISPA sebanyak 509 orang (50,3%) dan dari 509 balita ISPA terbanyak terjadi pada umur 12-23 tahun sebanyak 192 (37,72%). Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA berdasarkan Umur Umur 12 – 23 bulan 24 – 35 bulan 36 – 47 bulan 48 – 59 bulan Total
Jumlah f 192 112 105 100 509
% 37,7 22,0 20,6 19,7 100
Tabel 6 menunjukkan bahwa kejadian ISPA terbanyak pada umur 12-23 bulan dan dapat disimpulkan bahwa semakin bertambahnya umur balita maka semakin menurun kejadian ISPA. Tabel 7. Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian berdasarkan Status Gizi Status Gizi Buruk Kurang Baik Lebih Total
Jumlah f 104 373 521 13 1011
% 10,3 36,9 51,5 1,3 100
Berdasarkan tabel 7. bahwa balita yang berkunjung ke Poli MTBS dengan status gizi buruk sebanyak 104 balita (10,3%) dan gizi kurang sebanyak 373 balita (36,9%).
Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2014
155
Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015
Tabel 8 Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian berdasarkan Status Imunisasi Status Imunisasi Tidak Lengkap Lengkap Total
f 156 855 1011
lengkap memiliki risiko 4 kali lebih besar mengalami ISPA dibandingkan balita dengan status imunisasi lengkap.
Jumlah % 15,4 84,6 100
PEMBAHASAN a. Kejadian ISPA
Berdasarkan tabel 8 status imunisasi subyek lengkap sebnyak 855 orng (84,6%). Tabel 9. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka Kota Banjarbaru Kejadian ISPA Terjadi Tidak Terjadi f % f % Buruk 61 6,0 43 4,3 Kurang 241 23,8 132 13,1 Baik 201 19,8 320 31,7 Lebih 6 0,6 7 0,7 Total 509 50,3 502 49,7 Hasil uji chi-square p = 0,000 (<α 0,05) Status Gizi
n 104 373 521 13 1011
Hasil uji chi-square tentang hubungan status gizi dengan kejadian ISPA tabel 3.41 diperoleh nilai p = 0,000 (<α 0,05) yang berarti ada hubungan bermakna antara status gizi balita dengan kejadian ISPA. Tabel 10. Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA Status Imunisasi Tidak lengkap Lengkap
Kejadian ISPA Tidak Terjadi Terjadi f % f % 120 11,8 36 3,6
156
389
855
38,5 466 46,1
n
Total 509 50,3 502 49,7 1011 Hasil uji chi-square p = 0,000 (<α 0,05) OR 3,99 (CI95%=2,69-5,93)
Hasil uji chi-square tentang hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA diperoleh nilai p = 0,000 (<α 0,05) yang berarti ada hubungan bermakna antara status imunisasi balita dengan kejadian ISPA dengan Odds Ratio 3,99 yang berarti balita dengan status imunisasi tidak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kunjungan balita ke Poli MTBS dengan kejadian ISPA sebanyak 509 balita (50,3%). Prevalensi Nasional ISPA adalah 25,50%. Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai prevalensi ISPA diatas Prevalensi Nasional (Riskesdas, 2007). Menurut Depkes RI (2012), ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (4060%) dan rumah sakit (15-30%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka melebihi angka Prevalensi Nasional dan sebagian besar kunjungan balita ke poli MTBS Puskesmas Cempaka disertai dengan keluhan ISPA serta menempati urutan pertama kunjungan balita ke poli MTBS Puskesmas Cempaka. Menurut Depkes (2005) Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan istilah yang diadaptasi dari istilah Bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur penting yaitu: Infeksi, Saluran pernafasan dan Akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembangbiak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian
Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2014
156
Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015
atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini maka jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract). Penyakit ISPA sering terjadi pada anakanak. Episode penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 – 6 kali per tahun (rata-rata 4 kali per tahun), artinya seorang balita rata-rata mendapatkan serangan batuk pilek sebanyak 3 – 6 kali setahun (Kunoli, 2012). Hasil pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa angka kesakitan ISPA di kota cenderung lebih besar dari pada di desa. Hal ini disebabkan oleh didukungnya tingkat kepadatan tempat tinggal (penduduk) dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi dari pada di desa Kunoli (2012). Pada penelitian ini Puskesmas Cempaka berada di wilayah yang tidak jauh dari pusat perkotaan dan merupakan arus lalu lintas menuju Kabupaten Tanah Laut juga sering dilalui oleh angkutan seperti mobil truk sehingga debu dan asap dapat memudahkan balita terpapar ISPA. Di wilayah kerja Puskesmas Cempaka, jarak antar rumah penduduk ±<5 meter sehingga dengan tingkat kepadatan tempat tinggal/penduduk akan mempermudah terjadinya penularan ISPA pada balita, hal ini searah dengan teori menurut Kunoli (2012). Penelitian ini juga didukung dengan kunjungan balita sakit dengan kejadian ISPA terbanyak pada umur 12-23 bulan. Hal ini sesuai dengan teori Maryunani (2010) yang mengatakan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-
anak dan menurun sesuai pertambahan usia anak. Adapun menurut Depkes RI (2001) mencegah ISPA bisa dilakukan dengan cara memberikan makanan yang bergizi: memberikan imunisasi yang lengkap pada bayi; ciptakan udara yang segar dan bersih dirumah; jagalah kebersihan tubuh dan lingkungan sera jauhkan anak yang sehat dari penderita batuk pilek b. Status Gizi Sebagian besar balita di Puskesmas Cempaka memiliki status gizi baik, tetapi masih terdapat balita dengan status gizi kurang dan buruk. Menurut Almaster (2001) dalam Marmi dan Kukuh (2012), status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi didalam tubuh. Pedoman untuk mengetahui anak kurang gizi/ gizi buruk adalah dengan melihat berat dan tinggi badan yang kurang dari normal. Apabila kekurangan gizi, anak akan mudah sekali terkena berbagai macam penyakit. Apabila terkena penyakit, anak yang kurang gizi/ gizi buruk akan sembuh dalam waktu yang lama (Maryunani, 2010). Prevalensi nasional gizi buruk pada balita adalah 5,4% dan gizi kurang pada balita adalah 13,0% (Riskesdas, 2007). Menurut Marmi dan Kukuh, 2012 faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yaitu faktor langsung, faktor tidak langsung dan akar masalah. Faktor penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi adalah
Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2014
157
Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015
konsumsi makanan dan penyakit infeksi. Anak yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga mudah terserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi kurang. Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Penyebab tidak langsung yang mempengaruhi status gizi adalah ketahanan pangan keluarga, pola pengasuh anak, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai merupakan tiga faktor yang saling berhubungan. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang kesehatan, makin kecil risiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi. Adapun akar masalah status gizi adalah krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang mempengaruhi ketidak-seimbangan antara asupan makanan dan adanya penyakit infeksi, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita. Gizi kurang dan buruk secara langsung disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Marmi dan Kukuh, 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat balita dengan status gizi buruk dan kurang. Hal ini karena di wilayah kerja Puskesmas Cempaka
sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai buruh, jasa, petani dan pengangkutan dengan penghasilan sebagian besar tidak menentu setiap harinya sehingga menyebabkan ketahanan pangan dan kebutuhan gizi keluarga khususnya anak-anak mereka menurun ataupun belum dapat tercukupi dengan baik. Rendahnya pendapatan (sosial ekonomi) menyebabkan keluarga tidak dapat selalu membeli makanan dengan gizi yang baik atau memenuhi kebutuhan nutrisinya, hal ini sesuai dengan teori Marmi dan Kukuh (2012). c. Status Imunisasi Hasil penelitian menunjukkan dari 1011 balita yang berkunjung ke poli MTBS sebanyak 154 balita (15,4%) tidak mendapatkan imunisasi lengkap dan sebanyak 855 balita (84,6%) mendapatkan imunisasi lengkap. Imunisasi mempunyai pengertian sebagai tindakan untuk memberikan perlindungan (kekebalan) didalam tubuh bayi dan anak, agar terlindung dan terhindar dari penyakit-penyakit menular dan berbahaya (Rukiyah dan Lia, 2010). Indonesia telah melaksanakan Pengembangan Program Imunisasi (PPI) sejak tahun 1977 (Maryunani, 2010). Lima jenis imunisasi dasar yang diwajibkan pemerintah adalah imunisasi terhadap tujuh penyakit, yaitu TBC, difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), poliomielitis, campak dan hepatitis B. Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Tujuan dari pemberian imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi tertentu, apabila terjadi penyakit tidak akan
Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2014
158
Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015
terlalu parah dan dapat mencegah gejala yang dapat menimbulkan cacat dan kematian (Rukiyah dan Lia, 2010). Dalam mengoptimalkan pelayanan dan mencapai keberhasilan program imunisasi telah tersedia tempat pemberian imunisasi diantaranya posyandu, puskesmas, rumah sakit, polindes, praktek dokter dan bidan. Fasilitas pelayanan untuk imunisasi telah tersedia di masyarakat, akan tetapi tidak semua bayi telah dibawa untuk mendapatkan imunisasi lengkap serta banyak terdapat mitos-mitos yang tidak benar berkembang di masyarakat tentang imunisasi (Mulyani dan Mega, 2013). Hasil penelitian ini menunjukkan masih terdapat sebagian kecil balita tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Hal ini disebabkan oleh sikap orangtua yang percaya dengan budaya terdahulu (anak sehat dan aktif tidak perlu diimunisasi) dan mitos yang ada di masyarakat (percaya bahwa vaksin imunisasi mengandung bahan dari tubuh babi) serta tidak ingin anaknya sakit (panas) atau rewel jadi dapat menggangu pekerjaan orangtua. Hal ini searah dengan teori Mulyani dan Mega (2013) bahwa tidak semua bayi telah dibawa untuk mendapatkan imunisasi lengkap serta banyak terdapat mitos-mitos yang tidak benar berkembang di masyarakat tentang imunisasi. Mitos-mitos yang berkembang di masyarakat tentang imunisasi yaitu terlalu banyak memberikan sistem imun; tidak boleh memberikan ASI sesudah vaksin polio; anak sakit flu tidak boleh diimunisasi; anak tidak perlu imunisasi asal sehat, aktif, dan makan cukup bergizi; percaya jika semua anak lain bisa menerima imunisasi, berarti anakku terlindung
dari risiko tertular; anak akan menderita reaksi terhadap imunisasi yang menyakiti. d. Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Cempaka tahun 2014. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi. Selain itu, balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama (Maryunani, 2010). Hasil penelitian Sukmawati dan Ayu (2010) juga menyebutkan bahwa balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi, sehingga terjadi hubungan timbal balik antara status gizi dan penyakit infeksi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama. Pada penelitian telah membuktikan hal tersebut dan menggambarkan kejadian ISPA berulang yang lebih banyak pada balita dengan status gizi kurang. Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan bahwa dari jumlah balita yang mengalami ISPA dengan status
Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2014
159
Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015
gizi kurang sebesar 23,8% sedangkan dengan status gizi baik sebesar 19,8%. Balita yang mengalami ISPA dengan status gizi kurang memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang mengalami ISPA dengan status gizi baik. Balita dengan status gizi buruk dan kurang memiliki faktor daya tahan tubuh yang kurang sehingga mudah untuk terserang penyakit infeksi salah satunya yaitu ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal. i.
Hubungan Status Imunisasi Dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Cempaka tahun 2014. Bayi yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapatkan kekebalan alami terhadap pneumonia/ISPA sebagai komplikasi campak. Guna mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat dicegah (Maryunani, 2010). Menurut Rahajoe NN dkk (2013) campak, pertusis dapat meningkatkan risiko terkena ISPA dan memperberat IRA itu sendiri, tetapi sebelumnya hal ini dapat dicegah dengan imunisasi. Pada penelitian ini didapatkan ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Balita dengan status imunisasi
tidak lengkap yang terjadi ISPA sebesar 11,8%, sedangkan yang tidak terjadi ISPA sebesar 3,6%, berarti balita dengan status imunisasi tidak lengkap memiliki persentase lebih tinggi kejadian ISPA, hal ini membuktikan bahwa imunisasi tidak lengkap merupakan salah satu faktor risiko mempermudah terjadinya ISPA pada balita. Hasil odds ratio sebesar 3,993 yang berarti balita dengan status imunisasi tidak lengkap memiliki risiko 4 kali lebih besar mengalami ISPA dibandingkan balita dengan status imunisasi lengkap. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Cempaka Banjarbaru tahun 2014 dari 1011 balita yang berkunjung ke poli MTBS, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a. Balita yang mengalami ISPA sebanyak 509 balita (50,3%). b. Status gizi balita dengan kategori buruk sebanyak 104 balita (10,3%) dan kurang sebanyak 373 balita (36,9%). c. Status imunisasi tidak lengkap pada balita sakit yaitu sebanyak 156 balita (15,4%). d. Ada hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai ρ=0,000 (α<0,05). e. Ada hubungan bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai ρ=0,000 (α<0,05) dan OR 3,99 (CI95%=2,69-5,93). DAFTAR RUJUKAN Alsagaf. H. (2009). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press BAPPENAS, 2010. Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia, Jakarta, tersedia dalam
Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2014
160
Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015
(http://www.bappenas.go.id) diakses Mei 2013 Departemen Kesehatan RI, 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut, Jakarta, Tersedia di website http://pppl.depkes.go.id/ Diakses April 2014 Depkes. RI. (2005). Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta: Depkes. Departemen Kesehatan RI, 2001. Buku Ajar ISPA Program DIII Kebidanan, DITJEN PPM dan PL – Pusat DIKNAKES Dinkes Kalsel, 2012. Profil Kesehatan Kalimantan Selatan, Dinkes Provinsi Kalsel, Banjarmasin Kemenkes. RI. 2013. Surveilans ISPA Berat Indonesia. Sub Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tersedia di website http://ispa.pppl.depkes.go.id diakses Mei 2014 Kemenkes RI, 2012. Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012, Jakarta Kemenkes RI, 2010. Buletin Jendela Epidemiologi, Jakarta, Tersedia di website http://www.datastatistikIndonesia.com- diakses Mei 2014 Kunoli FJ, 2012. Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis, Trans Info Media. Jakarta Marhamah dkk, 2012. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita Di Desa Bontongan Kabupaten Enrekang.
Skripsi. Universitas Hasanudin Makasar. Tersedia di website http://jurnalmediagizipangan.files.wo rdpress.com- diakses Mei 2014 Marmi dan Kukuh R, 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Prasekolah, Pustaka Belajar. Yogyakarta Maryunani A, 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan, Trans Info Media. Jakarta Mulyani NS dan Mega R, 2013. Imunisasi untuk Anak, Nuha Medika. Yogyakarta Muttaqin. A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem. Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Pediatri S. 2012. Karakteristik Klinik Penyakit Saluran Nafas pada Anak. Tersedia dalam http://saripediatri.idai.or.id diakses Mei 2014 Sukmawati dan Sri Dara Ayu, 2010. Hubungan Status Gizi, Berat Badan Lahir (BBL), Imunisasi Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros. KTI. Poltekkes Makasar. Tersedia di website http://jurnalmediagizipangan.files.wo rdpress.com- diakses Mei 2014 Sulistyoningsih H, 2012. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak, Graha Ilmu, Yoyakarta WHO, 2007. Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan kesehatan, WHO, Indonesia.
Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2014
161
Caring, Vol.1, No.2, Maret 2015
Tersedia di website http://apps.who.int- di akses Mei 2014
Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjarbaru Tahun 2014
162