Indita et al./ Effect of Biopsychosocial Factors and Environmental Sanitation
Effect of Biopsychosocial Factors and Environmental Sanitation on Nutritional Status of Children Under Five Years Old in Nganjuk District Wiwen Indita1), Harsono Salimo2), Endang Sutisna Sulaeman3) 1) Masters
Program in Public Health, Sebelas Maret University, Surakarta of Pediatrics, Dr. Moewardi Hospital, Surakarta 3) Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta
2) Department
ABSTRAK Background: One of the important public health issues in Indonesia is nutritional status, particularly in children under five years old. Lack of maternal awareness of dietary intake for their children may affect growth and development. This study aimed to investigate the effect of biopsychosocial factors and environmental sanitation on nutritional status of childrens in Nganjuk District. Subject dan Method: This was an analytic observational study using cross-sectional design. The study was conducted at Loceret Community Health Center, Nganjuk District, East Java, from March to Aprl 2017. A sample 136 children under five years old were selected for this study by fixed exposure sampling. The variable dependent was nutrition status measured in weight for age. The independent variables were dietary intake, history of infection disease, maternal stress, maternal education, family income, and environmental sanitation. The data were collected by anthropometry, medical record, and questionnaire. The data were analyzed by path analysis. Results: Weight for age of children under five was affected by dietary intake (b= 0.23, SE<0.001, p= 0.003), maternal education (b= 0.72, S.E= 0.28, p= 0.012), and history of infectious disease (b=0.80; SE= 0.29; p= 0.007). History of infectious disease was affected by environmental sanitation (b=0.31; SE<0.001; p<0.001), and family income (b= 0.25, SE= 0.05, p<0.001). Dietary intake was affected by family income (b= 0.58, SE= 0.21, p= 0.007), history of infectious disease (b= 12.31; SE= 3.20; p<0.001), and maternal education (b=7.39; SE=3.09, p=0.017). Maternal stress was affected by family income (b=-0.16; SE= 0.06; p= 0.008). Conclusion: Weight for age of children under five was directly affected by dietary intake, maternal education, and history of infectious disease. Weight for age of children under five was indirectly affected by environmental sanitation, family income, history of infectious disease, and maternal education. Keywords: biopsychosocial, path analysis, environmental sanitation, nutrition status Correspondence: Wiwen Indita. Masters Program in Public Heath, Sebelas Maret University, Surakarta. Email:
[email protected]. Mobile: +6282244970118.
LATAR BELAKANG Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan investasi yang besar di masa mendatang. Salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah status gizi, terutama pada kelompok usia rawan gizi yaitu anak bawah lima tahun (balita). Anak balita yang menderita kurang gizi kronis yang berlangsung lama akan mengalami
e-ISSN: 2549-0273 (online)
gangguan pada pertumbuhan, imunitas dan penurunan pada kecerdasan (Lamid, 2012). Selain itu, meningkatkan risiko kesakitan sampai kematian (Ogunrinade, 2014). Jika hal itu terjadi dalam 20 tahun ke depan, maka Indonesia akan mengalami generasi hilang (lost generation) (Hapsari, 2014). Kurang gizi adalah salah satu istilah dari penyakit malnutrisi energi protein
33
Journal of Epidemiology and Public Health (2017), 2(1): 33-45
(MEP), yaitu penyakit yang diakibatkan kekurangan energi dan protein. Seorang balita termasuk kategori mengalami kurang gizi jika nilai Z-score menurut BB/U berada pada rentang 3 sampai <2 SD (Kemenkes RI, 2011). Infeksi adalah penyakit yang sering diderita oleh anak usia 1-3 tahun, dimana salah satu penyebab infeksi adalah kondisi status gizi kurang pada anak batita (Putri et al., 2015). Penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak balita adalah diare, radang tenggorokan dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) (Hidayat, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Baculu et al. (2016) menyimpulkan bahwa balita yang memiliki riwayat penyakit infeksi memiliki risiko 2.83 kali lebih besar menderita gizi buruk. Anak yang mudah terkena penyakit infeksi cenderung lebih mudah kurang gizi (Supraptini, 2011). Studi yang dilakukan oleh Rasyid et al., (2015) di Kota Ternate menyimpulkan bahwa penyakit infeksi seperti pneumonia merupakan salah satu penyebab masalah gizi dan kematian balita. Berdasarkan data di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2014 tercatat 63.430 anak balita yang ditimbang diketahui prevalensi pneumonia sebesar 3.46%. Studi yang dilakukan oleh Alamsyah et al., (2015) menyimpulkan bahwa balita dengan sanitasi lingkungan yang buruk mempunyai risiko 5,03 kali lebih besar menderita gizi kurang dan buruk. Hal ini sesuai dengan penelitian Hidayat (2011) yang menyimpulkan bahwa air yang tidak sehat akan mengakibatkan penyakit diare dan menurunkan berat badan sehingga mempengaruhi status gizi anak. Kategori lingkungan sehat jika konsumsi air minum selalu direbus sampai mendidih dan tidak memelihara hewan ternak di sekitar rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Putri et al., (2015) menyimpulkan bahwa balita dengan status gizi kurang lebih banyak 34
berasal dari kelompok ibu berpendidikan rendah. Pendidikan rendah mempengaruhi tingkat pemahaman seorang ibu terhadap perawatan, bimbingan dan pemberian makanan sehari-hari pada balita. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Saputra (2012) di Sumatera Barat yang menyimpulkan bahwa seorang anak balita yang mempunyai orang tua dengan tingkat pendidikan rendah (SD/tidak tamat SD) berisiko 5,699 kali lebih besar menderita gizi buruk. Tingkat pendapatan turut menentukan mampu tidaknya seseorang membeli kebutuhan pangan dalam jumlah yang diperlukan. Penelitian Persulessy et al., (2013) di Jayapura bahwa balita yang mempunyai orangtua dengan tingkat pendapatan kurang akan memiliki risiko 4 kali lebih besar menderita status gizi kurang. Penelitian yang dilakukan oleh Ejaz et al., (2012) menyimpulkan bahwa kesehatan mental ibu dapat mempengaruhi status gizi anak. Kecemasan dan penyakit kejiwaan ibu dikaitkan dengan pendapatan keluarga yang rendah sehingga memengaruhi sikap ibu dalam memilih menu makanan seharihari. Tingkat pendapatan rendah akan mempengaruhi makanan yang dikonsumsi karena tidak mempertimbangkan nilai gizi tetapi lebih pada nilai materinya (Pratama, 2011). Berdasarkan hasil sensus WHO tahun 2009 tercatat 49% dari 10.4 juta kematian balita di negara berkembang berkaitan dengan gizi buruk (Hapsari, 2014). Mengawali program Sustainable Development Goals (SDG's) 2016-2030, pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 telah bertekad untuk menurunkan jumlah balita gizi kurang dan gizi buruk hingga 17%. Di Indonesia prevalensi anak balita gizi kurang dan buruk terjadi peningkatan dari 17.9% pada tahun 2010 menjadi 19.6% pada tahun 2013. Prevalensi gizi buruk e-ISSN: 2549-0273 (online)
Indita et al./ Effect of Biopsychosocial Factors and Environmental Sanitation
mengalami peningkatan dari 4.9% menjadi 5.7% (Balitbang Kemenkes RI, 2013). Kasus gizi buruk pada anak balita di Provinsi Jawa Timur tahun 2014 sebanyak 6,724 kasus (0.3%). Berdasarkan survei kasus balita gizi buruk di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 pada Kabupaten Nganjuk menduduki peringkat ke-7 terbanyak (Depkes RI, 2014). Hasil data terbaru pada tahun 2015 prevalensi kasus balita gizi buruk mencapai 0.11%. SUBJEK DAN METODE 1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional, dengan pendekatan kohort retrospektif dimana paparan dan penyakit sudah terjadi di masa yang lampau sebelum dimulainya penelitian, sehingga variabel-variabel tersebut diukur melalui catatan historis (Murti, 2016). Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Loceret dan Puskesmas Tanjunganom. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April 2017. 2. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu dan anak balita yang berada di wilayah kerja Puskesmas Tanjunganom dan Puskesmas Loceret. Subjek penelitian sebanyak 136 orang. Teknik sampling yang digunakan yaitu fixed exposure sampling. Menurut Murti (2013) tehnik fixed exposure sampling berguna untuk memperoleh jumlah subjek penelitian yang cukup dalam kelompok terpapar dan tak terpapar. 3. Variabel Penelitian Variabel endogen penelitian ini adalah status gizi menurut BB/U, asupan gizi, riwayat penyakit infeksi, stres psikologis ibu, dan sanitasi lingkungan. Variabel eksogen dalam penelitian yaitu pendidikan ibu dan pendapatan orangtua. 4. Definisi Operasional Variabel
e-ISSN: 2549-0273 (online)
Definisi operasional status gizi adalah keadaan gizi anak usia 12-60 bulan yang dinilai berdasarkan indek BB/U menggunakan tabel Z-score. Riwayat penyakit infeksi adalah seorang anak balita yang menderita penyakit infeksi (diare dan pneumonia). Stres psikologis ibu adalah gangguan psikologis ibu yang disebabkan oleh adanya tuntutan yang dianggap berat atau melebihi kemampuan memenuhi tuntutan tersebut. Pendidikan ibu adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang telah ditempuh ibu. Pendapatan orangtua adalah pendapatan total yang didapatkan oleh orangtua. Sanitasi lingkungan adalah status kondisi tempat tinggal yang dinilai dari sarana air bersih, kepemilikan jamban, saluran pembuangan air limbah rumah, sarana pembuangan sampah. Asupan gizi merupakan sejumlah zat gizi yang telah dikonsumsi anak balita terdiri dari asupan karbohidrat, protein, lemak yang diukur berdasarkan Angka Kebutuhan Gizi (AKG) dan dinyatakan dalam presentase. 5. Analisis Data Pengumpulan data kuantitatif menggunakan kuesioner, formulir penilaian, dan rekam medis. Analisis data menggunakan analisis jalur (path analysis) dengan bantuan IBM SPSS AMOS 20.Menurut Murti (2015) langkah-langkah dalam melakukan analisis data dengan menggunakan analisis jalur, yaitu sebagai berikut: a. Spesifikasi model spesifikasi model menggambarkan hubungan antara variabel-variabel yang akan diteliti. Variabel yang diteliti dibedakan menurut variabel eksogen dan endogen. Variabel eksogen adalah variabel yang didalam model tidak dipengaruhi variabel lain. b. Identifikasi model Identifikasi dilakukan pada jumlah variabel yang terukur, jumlah variabel endogen, 35
Journal of Epidemiology and Public Health (2017), 2(1): 33-45
variabel eksogen, dan parameter yang akan diestimasi. Pada tahap ini dihitung degree of freedom (df) yang menunjukan analisis jalur bisa dilakukan. Analisis jalur bisa dilakukan apabila df ≥ 0, jika df= 0 maka model analisis jalur disebut identified. Sedangkan apabila df> 0 maka model analisis jalur disebut over identified, jika df< 0 maka dikatakan model analisis jalur tersebut under identified. c. Kesesuaian model Model analisis jalur yang dibuat oleh peneliti berdasarkan teori dicek/ dites kesesuaianya dengan model hubungan variabel yang terbaik menurut program komputer (SPSS Versi 22) disebut model saturasi, yang dibuat berdasarkan data sampel yang dikumpulkan peneliti. Jika tidak ada perbedaan yang secara statistik signifikan antara kedua model tersebut maka model yang dibuat oleh peneliti merupakan model yang sesuai dengan data yang mencerminkan realitas hubungan antara variabel. Indikator yang menunjukan kesesuaian model analisis jalur yang dibuat peneliti dan model saturasi sebagai berikut chi kuadrat (CMIN) bernilai kecil, dengan p ≥0.05, GFI, NFI, CFI masing-masing bernilai ≥ 0.90, RMSEA bernilai ≤ 0.05 d. Estimasi parameter Hubungan sebab akibat variabel ditunjukan oleh koefisien regresi (b), baik yang belum terstandarisasi (unstandardized) maupun yang sudah distandarisasi (standardized). Koefisien regresi yang belum terstandarisasi menunjukan hubungan variabel independen dan dependen dalam unit Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian Karakteristik Jenis Kelamin Anak Usia Anak Pendidikan Ibu Pendapatan Orangtua
36
Kriteria Perempuan Laki-laki < 37 bulan ≥ 37 bulan < SMA ≥ SMA < Rp. 1,411,000 ≥ Rp. 1,411,000
pengukuran yang asli. Koefisien regresi dengan standarisasi telah memperhitungkan standard error masing-masing sehingga besarnya estimasi koefisien regresi antara satu variabel independen dengan variabel yang lain bisa dibandingkan kepentingan relatifnya. e. Respesifikasi model Jika model yang dibuat peneliti tidak sesuai dengan data sampel sebagai mana ditunjukan oleh model saturasi dan juga terdapat koefisien regresi yang bernilai sangat kecil mendekati nol serta secara statistik tidak signifikan, maka perlu dibuat ulang model analisis jalur sehingga diperoleh model yang sesuai dengan data sampel. HASIL Dimensi karakteristik subjek penelitian dilihat menurut jenis kelamin anak, usia anak, pendidikan ibu, pendapatan orangtua. Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 136 subjek penelitian didapatkan 50.7% perempuan, 62.5% usia anak kurang dari 37 bulan, 74.3% lebih dari SMA (SMA-S1) dan 41.9% pendapatan orangtua kurang dari UMK 58.1% ≥UMK (Upah Minimum Kerja). Hasil statistik deskriptif data kontinu yang berupa stres psikologis, asupan gizi, sanitasi lingkungan, pendapatan orangtua, berat badan menurut umur, tinggi badan menurut umur, berat badan menurut tinggi badan dapat dilihat pada Tabel 2.
n 69 67 85 51 35 101 57 79
% 50.7 49.3 62.5 37.5 25.7 74.3 41.9 58.1
e-ISSN: 2549-0273 (online)
Indita et al./ Effect of Biopsychosocial Factors and Environmental Sanitation
Tabel 2. Analisis univariat variabel penelitian Variabel n Mean Stres psikologis 136 14 Asupan gizi 136 89 Sanitasi lingkungan 136 1036 Pendapatan Orangtua 136 16 Berat badan menurut umur 136 -1.7 Tinggi badan menurut umur 136 -1.2 Berat badan menurut tinggi badan 136 -1.5
SD 5.01 18.16 154.42 6.71 1.62 1.77 1.30
Min. 2
48 629 5 -3.9 -3.8 -3.8
Maks. 21 121 1261 35 1.9 4.4 2.7
Tabel 3. Analisis bivariat pengaruh asupan gizi, riwayat penyakit infeksi, pendidikan ibu, pendapatan orangtua, dan sanitasi lingkungan terhadap status gizi anak balita menurut BB/U Variabel Independen r p Asupan Gizi 0.39 <0.001 Riwayat Penyakit Infeksi 0.35 <0.001 Pendidikan Ibu 0.28 0.001 Pendapatan Orangtua 0.18 0.040 Sanitasi Lingkungan 0.25 0.003
Tabel 3 menunjukkan bahwa asupan gizi (r=0.39, p<0.001), riwayat penyakit infeksi (r=0.35, p<0.001), pendidikan ibu (r=0.28, p=0.001), pendapatan (r=0.18, p=0.040),
dan sanitasi lingkungan (r=0.25, p=0.003) memiliki pengaruh positif terhadap status gizi menurut BB/U dan secara statistik signifikan.
Gambar 1. Model Struktural Analisis Jalur dengan Estimasi
Gambar 1 menunjukkan model struktural analisis jalur (path analysis) dengan variabel dependen status gizi anak balita menurut Berat Badan menurut Umur setelah dilakukan estimasi menggunakan IBM e-ISSN: 2549-0273 (online)
SPSS AMOS 20, sehingga didapatkan nilai seperti pada gambar tersebut. Indikator yang menunjukan kesesuaian model analisis jalur yaitu seperti pada Tabel 4 juga menunjukkan adanya goodness of fit measure 37
Journal of Epidemiology and Public Health (2017), 2(1): 33-45
(pengukuran kecocokan model) bahwa didaSEA= 0.02 ≤ 0.08 yang berarti model empatkan hasil fit index (indeks kecocokan) pirik tersebut memenuhi kriteria yang ditenCMIN sebesar 11.93 dengan p= 0.36 > 0.05; tukan dan dinyatakan sesuai dengan data NFI= 0.92 ≥ 0.90; CFI 0.99 ≥ 0.95; RMempirik. Tabel 4. Hasil analisis jalur (path analysis) Variabel Endogen Variabel Eksogen b* SE p β** Pengaruh Langsung Asupan gizi cukup BB/U 0.23 0.00 0.003 0.25 Pendidikan ibu ≥ SMA BB/U 0.72 0.28 0.012 0.19 Tidak riwayat penyakit BB/U 0.29 0.80 0.007 0.22 infeksi Pengaruh Tidak Langsung Sanitasi lingkungan baik Riwayat penyakit infeksi 0.31 0.07 <0.001 0.40 Pendapatan orangtua (x Rp Riwayat penyakit infeksi 0.25 0.05 <0.001 0.37 100,000) Pendapatan orangtua (x Rp Asupan gizi 0.58 0.21 0.007 0.22 100,000) Tidak riwayat penyakit Asupan gizi 12.31 3.20 <0.001 0.31 infeksi Pendidikan ibu ≥ SMA Asupan gizi 7.39 3.09 0.017 0.18 Pendapatan orangtua (x Rp. Stres psikologis -0.16 0.06 0.008 -0.22 100,000) Model Fit CMIN = 2.57 p = 0.463 ( > 0.05 ) NFI = 0.98 (≥ 0.90) CFI = 1.00 (≥ 0.95) RMSEA = 0.00 (≤ 0.08) *: koefisien jalur tidak terstandarisasi **: koefisien jalur terstandarisasi Melalui Tabel 4 dapat diketahui bahwa status gizi menurut BB/U dipengaruhi oleh asupan gizi, riwayat penyakit infeksi, dan pendidikan ibu. Setiap peningkatan satu unit asupan gizi cukup akan meningkatkan status gizi menurut BB/U sebesar 0.23 unit (b=0.23; SE<0.001; p=0.003). Setiap peningkatan satu unit pendidikan ibu ≥SMA akan meningkatkan status gizi menurut BB/U sebesar 0.72 unit (b= 0.72; SE= 0.28;p=0.012). Riwayat penyakit dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan dan pendapatan orangtua. Asupan gizi dipengaruhi oleh pendapatan orangtua, riwayat penyakit infeksi, dan pendidikan ibu. Stres psikologis ibu dipengaruhi oleh pendapatan orangtua.
38
Setiap peningkatan satu unit sanitasi lingkungan yang baik akan meningkatkan kesehatan sebesar 0.001 unit (b=0.31; SE <0.001; p <0.001). Setiap peningkatan satu unit pendapatan orangtua akan meningkatkan kesehatan sebesar 0.025 unit (b= 0.025; SE <0.001; p<0.001). Setiap peningkatan satu unit pendapatan orangtua akan meningkatkan asupan gizi sebesar 0.58 unit (b=0.58; SE= 0.21; p= 0.007). Setiap peningkatan satu unit kesehatan akan meningkatkan asupan gizi sebesar 12.31 unit (b=12.31; SE=3.20; p< 0.001). Setiap peningkatan satu unit pendidikan ibu ≥SMA akan meningkatkan asupan
e-ISSN: 2549-0273 (online)
Indita et al./ Effect of Biopsychosocial Factors and Environmental Sanitation
gizi sebesar 7.39 unit (b= 7.39; SE= 3.09; p= 0.017). Setiap peningkatan satu unit pendapatan orangtua akan menurunkan stres psikologis ibu sebesar 0.16 unit (b= -0.16; SE= 0.06; p=0.008). PEMBAHASAN 1. Pengaruh asupan gizi terhadap status gizi anak balita menurut BB/U Terdapat pengaruh positif antara asupan gizi dengan status gizi anak balita menurut BB/ U dan secara statistik signifikan. Asupan gizi merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap status gizi anak balita. Hal ini sesuai dengan penelitian Terati et al., (2011) yang menyimpulkan bahwa asupan gizi (energi dan protein) berhubungan langsung dengan status gizi balita usia 6-60 bulan. Penelitian yang dilakukan oleh Purwaningrum (2012) menyimpulkan bahwa balita yang mendapatkan asupan makanan yang kurang, mempunyai peluang mengalami status gizi tidak normal sebesar 2,872 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mendapatkan asupan makanan cukup. Jenis makanan yang sama, yang dibeli pada waktu bersamaan, di pedagang yang sama akan memberikan asupan gizi yang sama pada nilai energi dan protein dari makanan tersebut sehingga dapat diimplikasikan bahwa semakin baik asupan gizi seseorang, maka semakin naik status gizinya. Sebaliknya semakin buruk asupan gizi, maka semakin turun status gizinya. Penelitian yang dilakukan oleh Baculu et al. (2015) menyimpulkan bahwa balita yang memiliki asupan energi kurang memiliki risiko 9,86 kali lebih besar menderita gizi buruk dibandingkan dengan balita yang memiliki tingkat asupan energi yang cukup. Hal ini disebabkan oleh jumlah glukosa dari diet tidak tersedia dan cadangan glikogen juga habis, sehingga sumber energi nonkarboe-ISSN: 2549-0273 (online)
hidrat yaitu lipid dan protein harus digunakan. Lipid dan protein diubah menjadi glukosa baru yang selanjutnya mengalami katabolisme untuk menghasilkan energi. Lipid dan protein digunakan untuk membentuk energi sehingga tidak dapat melakukan fungsi utamanya akibatnya metabolisme di dalam tubuh terganggu, yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan. Pendapat tersebut sejalan dengan hasil penelitian Soumokil (2013) di Maluku Tengah yang menyatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara asupan energi dan asupan protein dengan status gizi indeks BB/U dan BB/TB. Pola makan masyarakat pulau Nusalaut sebagaian besar mengkonsumsi makanan lokal (umbi-umbian dan sagu) sehingga pola dan kebiasaan makan yang tidak baik akan mengakibatkan timbulnya masalah kesehatan dan gizi kurang maupun buruk. Pengukuran asupan gizi dengan metode food recall 24 jam dapat menunjukkan asupan gizi rata-rata per anak karena variabilitas pengukuran di setiap hari yang berbeda. Analisis food recall 24 jam terdiri atas energi, protein, lemak serta karbohidrat. 2. Pengaruh pendidikan ibu terhadap status gizi anak balita menurut BB/U Terdapat pengaruh positit antara pendidikan ibu dengan status gizi anak balita menurut BB/U dan secara statistik signifikan. Ibu dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan pintar dalam memilih makanan yang bergizi untuk anak balitanya. Pada penelitian ini jumlah ibu yang berpendidikan rendah dibawah SMA sebanyak 35 orang. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka semakin mudah ibu untuk memahami informasi gizi yang didapatkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Saputra (2012) yang menyimpulkan bahwa orangtua dengan tingkat pendidikan rendah (SD/tidak tamat SD memiliki risiko gizi buruk 5,699 kali lebih besar dibandingkan de39
Journal of Epidemiology and Public Health (2017), 2(1): 33-45
ngan orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi. Ketika pendidikan orangtua rendah, maka pengetahuan mereka terhadap kesehatan dan gizi menjadi rendah sehingga pola konsumsi gizi untuk anak menjadi tidak baik. Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga karena ibu berperan dalam penyusunan makanan keluarga, pengasuhan dan perawatan anak. pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian Jannah (2014) yang menyimpulkan bahwa seorang ibu mempunyai peran yang penting dalam kesehatan dan pertumbuhan anak. Hal ini dapat ditunjukkan oleh kenyataan antara lain anak-anak dari ibu yang memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi akan mendapatkan kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik dan mudah menerima wawasan lebih luas mengenai gizi. Anak dengan ibu berpendidikan rendah memiliki angka mortalitas yang lebih tinggi dari pada anak dengan ibu berpendidikan tinggi. Peran orang tua sangat berpengaruh terutama pada ibu, karena seorang ibu berperan dalam pengelolaan rumah tangga. Teori Grossman (1972) mengemukakan bahwa pendidikan akan mempengaruhi produktivitas dan efektivitas pemanfaatan input kesehatan, sehingga orang berpendidikan tinggi akan lebih sehat daripada pendidikan rendah. Pendapat tersebut sejalan dengan penelitian Terati et al., (2011) yang menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan status gizi balita. Sebanyak 37,7% ibu balita dengan pendidikan rendah memiliki balita dengan status gizi kurang. Penelitian Putri et al., (2015) menyatakan bahwa pendidikan yang rendah mempengaruhi tingkat pemahaman terhadap pengasuhan anak termasuk dalam perawatan, pemberian makanan dan bimbingan pada anak yang akan berdampak pada kesehatan dan status gizi yang semakin menurun. 40
Tingkat pendidikan dapat menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya. Peran orang tua sangat berpengaruh terutama pada ibu. 3. Pengaruh riwayat penyakit infeksi terhadap status gizi balita menurut BB/U Terdapat pengaruh positif antara riwayat penyakit infeksi dengan status gizi anak balita menurut BB/U dan secara statistik signifikan. Riwayat penyakit merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap status gizi anak balita. Jenis penyakit infeksi adalah diare dan pneumonia Hal ini sesuai penelitian Baculu et al., (2015) bahwa ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian gizi buruk pada balita (p<0,05). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa balita yang memiliki riwayat penyakit infeksi memiliki risiko 2,83 kali lebih besar menderita gizi buruk dibandingkan dengan balita yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi. Penyakit infeksi yang berulang atau tidak ditangani dengan segera dapat menyebabkan balita kehilangan nafsu makannya, malabsorbsi gizi, dan perubahan metabolisme tubuh yang menyebabkan berkurangnya asupan makanan. Menurut kerangka UNICEF (1998) status gizi dipengaruhi langsung oleh penyakit infeksi. Pendapat tersebut sejalan dengan hasil penelitian Khayati (2011) yang menyimpulkan bahwa penyakit infeksi berhubungan dengan status gizi balita pada keluarga buruh tani di Banjarnegara. Penyakit infeksi seperti diare dan ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian, akan tetapi anak balita yang meninggal karena penyakit infeksi biasanya didahului oleh keadaan gizi yang tidak memuaskan. Semakin sering e-ISSN: 2549-0273 (online)
Indita et al./ Effect of Biopsychosocial Factors and Environmental Sanitation
anak menderita penyakit infeksi, maka semakin tinggi angka kejadian gizi kurang maupun buruk pada anak balita. Menurut penelitian Jayani (2014) penyakit infeksi sangat erat hubungannya dengan status gizi kurang. Mekanisme pertahanan tubuh pada balita yang kekurangan konsumsi makanan akan mengurangi kemampuan tubuh untuk membentuk energi baru. Hal ini menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh terganggu, sehingga tubuh rawan terkena serangan infeksi. Isnaini (2016) menyimpulkan bahwa balita yang menderita penyakit infeksi berisiko sebesar 10 kali lebih besar untuk mengalami gizi buruk dibandingkan dengan balita yang tidak menderita penyakit infeksi. Gizi buruk dan penyakit infeksi terdapat hubungan timbal balik yang erat, dimana infeksi memperburuk masalah gizi dan gangguan gizi memperburuk kemampuan anak untuk mengatasi penyakit infeksi. Reaksi penyakit infeksi adalah menurunnya nafsu makan anak sehingga berdampak pada status gizinya. Menurut penelitian Helmi (2013) bahwa balita dengan status gizi kurang menurut BB/U mempunyai risiko 8.15 kali lebih besar menderita penyakit infeksi dibandingkan dengan balita yang tidak terkena penyakit infeksi. Dampak lain dari penyakit infeksi adalah penggunaan energi yang berlebih dari tubuh untuk mengatasi penyakit bukan untuk pertumbuhan dan perkembangan sehingga dapat mengganggu masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh anak. Jenis penyakit infeksi yang banyak diderita balita adalah diare, flu dan batuk. Hal tersebut dapat terjadi karena lingkungan yang tidak sehat. 4. Pengaruh sanitasi lingkungan terhadap status gizi balita menurut BB/U Terdapat pengaruh tidak langsung antara sanitasi lingkungan dengan status gizi anak balita menurut indeks BB/U melalui varie-ISSN: 2549-0273 (online)
abel antara riwayat penyakit infeksi. Pengaruh bersifat positif dan secara statistik signifikan. Pada penelitian ini 32% rumah tidak sehat memiliki balita dengan status gizi kurang dan buruk. Menurut hasil penelitian Hidayat (2011) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan yang sehat dengan status gizi anak balita menurut BB/U secara signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian Kusumanti (2014) yang menyimpulkan bahwa lingkungan dengan sanitasi yang buruk akan berdampak pada kesehatan seseorang. Berbagai jenis penyakit infeksi dapat muncul karena lingkungan yang bersanitasi buruk akan menjadi sumber berbagai jenis penyakit. Menurut penelitian Abang (2012) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sanitasi lingkungan dengan penyakit infeksi (ISPA, diare) pada balita (p <0.05). Selanjutnya, penyakit infeksi terdapat hubungan yang signifikan dengan status gizi balita (p<0.05) di Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara. Menurut penelitian Ningsih (2013) menyimpulkan bahwa penyebab lingkungan yang masih rendah (kotor, bau) dan sedang (kotor) adalah pembuangan sampah organik, anorganik dan selokan yang berada di depan, samping dan belakang rumah sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap. Pendapat tersebut sejalan dengan penelitian Lidiawati (2016) yang menyimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penyediaan air bersih, penggunaan jamban, dan pembuangan sampah dengan angka kejadian penyakit infeksi (diare) pada balita (p <0.005). Kesimpulan penelitian ini adalah penyakit infeksi berpengaruh langsung secara signifikan dengan status gizi anak balita menurut BB/U. Sedangkan sanitasi lingkungan berpengaruh positif dengan riwayat penyakit infeksi pada anak balita, sehingga sanitasi lingkungan merupakan pengaruh tidak lang-
41
Journal of Epidemiology and Public Health (2017), 2(1): 33-45
sung terhadap status gizi anak balita menurut BB/U. 5. Pengaruh pendapatan orangtua terhadap status gizi anak balita menurut BB/U Terdapat pengaruh tidak langsung antara pendapatan orangtua dengan status gizi anak balita menurut indeks BB/U melalui variabel antara riwayat penyakit infeksi dan asupan gizi. Pengaruh positif antara pendapatan orangtua dengan riwayat penyakit infeksi; kemudian pengaruh positif antara pendapatan orangtua dengan asupan gizi. Pengaruh antar variabel secara statistik signifikan. Jumlah subjek penelitian yang memiliki gaji dibawah UMK sebanyak 57 orang, sehingga cukup banyak orangtua yang berpenghasilan rendah. Orangtua dengan penghasilan yang tinggi akan mampu membeli kebutuhan makanan yang memadai. Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian Saputra (2012) yang menyimpulkan bahwa masyarakat miskin memiliki risiko yang lebih besar menderita gizi buruk pada balita dengan probabilitas sebesar 0,495. Terdapat implikasi bahwa tingkat kemiskinan yang tinggi dan pendidikan yang rendah merupakan risiko terbesar dalam kasus gizi buruk. Hasil penelitian dari Pratama (2011) menyimpulkan bahwa semakin rendah pendapatan keluarga, maka kondisi balita semakin buruk dan semakin tinggi pendapatan semakin baik kondisi balita. Keluarga yang memiliki tingkat pendidikan dibawah ratarata mempunyai kemungkinan status gizi balitanya kurang sebesar 2.82 kali dibandingkan dengan keluarga yang memiliki tingkat pendapatan diatas rata-rata. Pendapatan keluarga mempengaruhi tingkat kecukupan konsumsi makan seharihari. Apabila keluarga dengan pendapatan rendah, makanan yang dikonsumsi tidak akan mempertimbangkan nilai gizi, tetapi 42
lebih pada nilai materinya saja yang dipertimbangkan. Tingkat pendapatan juga menentukan pola makanan apa yang akan dibeli dan dikonsumsi oleh sebuah keluarga. Sependapat dengan Afriyani (2016) yang menyimpulkan bahwa faktor yang berhubungan dengan asupan nutrisi pada anak balita di Palembang adalah tingkat pendapatan keluarga (p=0.017). Mayoritas masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah kurang mampu dalam memenuhi asupan nutrisi balitanya karena hanya memanfaatkan hasil tani untuk pemenuhan asupan nutrisi sehari-hari. Menurut penelitian Sari (2012) bahwa pendapatan keluarga yang rendah menyebabkan seseorang lebih memfokuskan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga apabila ada anggota keluarga yang sakit, maka tidak akan sesegera mungkin memeriksakan penyakitnya ke tenaga kesehatan, baru saat penyakitnya dirasa tidak sembuh-sembuh akan memeriksakan diri ke petugas pelayanan kesehatan. Penyebaran riwayat penyakit infeksi yang tidak segera ditangani akan memberikan dampak pada status gizi anak balita menurut berat badan menurut umur secara tidak langsung karena faktor dari pendapatan keluarga yang rendah. 6. Pengaruh pendapatan orangtua terhadap stres psikologis ibu Terdapat pengaruh tidak langsung antara pendapatan orang tua terhadap stres psikologis ibu. Pengaruh bersifat negatif dan secara statistik signifikan. Pendapatan keluarga yang rendah akan mempertinggi tingkat stres psikologis ibu sehingga berpengaruh terhadap asupan gizi pada anak selanjutnya menyebabkan anak mengalami gizi kurang dan buruk. Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian Ejaz et al., (2012) yang menyimpulkan bahwa kecemasan dan depresi ibu berhubungan dengan tingkat pendapatan keluarga yang rendah sehingga memengaruhi perilaku
e-ISSN: 2549-0273 (online)
Indita et al./ Effect of Biopsychosocial Factors and Environmental Sanitation
ibu dalam memilih makanan untuk anakanaknya. Depresi pada wanita di negaranegara berkembang disebabkan oleh tekanan sosial ekonomi yang tinggi. Perilaku dan sikap ibu yang tepat merupakan peran penting dalam menjaga gizi anak-anak yang sehat. Menurut penelitian Diba et al., (2013) menyimpulkan bahwa gejala depresi yang dialami ibu berupa gangguan mood meliputi perasaan sensitif, sedih, tidak bersemangat, kelelahan, serta bonding yang buruk antara ibu dan anak. Gejala depresi yang diderita ibu dapat menyebabkan ibu mengalami kesulitan atau gangguan dalam menjalankan perannya untuk mengasuh anak. Gangguan depresi menyebabkan perhatian ibu tidak adekuat dan optimal dalam menjamin ketersediaan pangan untuk menyediakan kebutuhan nutrisi anak. Gangguan gejala depresi pada ibu akan menyebabkan pola asuh, sikap, dan kasih sayang ibu tidak optimal dalam mendukung pertumbuhan anak. Anak dapat mengalami stres psikologis. Keadaan stres pada anak akan meningkatkan produksi amin. Produksi amin yang meningkat akan menekan ekspresi neuropeptida Y (NPY) yang berhubungan dengan nafsu makan anak. Kesimpulan dari penelitian ini adalah status gizi menurut BB/U dipengaruhi oleh asupan gizi, riwayat penyakit infeksi, dan pendidikan ibu. Riwayat penyakit dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan dan pendapatan orangtua. Asupan gizi dipengaruhi oleh pendapatan orangtua, riwayat penyakit infeksi, dan pendidikan ibu. Stres psikologis ibu dipengaruhi oleh pendapatan orangtua.
REFERENCE Abang AT (2012). Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Penyakit Infeksi dengan Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. e-ISSN: 2549-0273 (online)
Afriyani R, Malahayati N, Hartati (2016). Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Wastin Pada Balita Usia 1-5 Tahun di Puskesmas Talang Betutu Kota Palembang. Jurnal Kesehatan. VII (1): 66-72 Alamsyah D, Mexitalia M, Margawati A (2015). Beberapa Faktor Risiko Gizi Kurang dan Gizi Buruk Pada Balita 1259 Bulan. Jurnal Vokasi Kesehatan. 1 (5). Baculu EPH, Juffrie M, Helmyati S (2015). Faktor Risiko Gizi Buruk Pada Balita di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Gizi dan Dietik Indonesia. 3 (1). Balitbang Kemenkes RI (2013). Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI. Depkes RI (2014). Profil Kesehatan Kabupaten Nganjuk 2014. http:// www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 11 Desember 2016. Ejaz MS, Sarwat A, Aisha T (2012). Maternal psychiatric morbidity and childhood malnutrition. Pak J Med Sci, 28 (5): 874-878. Grossman M (1972). The Demand for Health: a Theoritical and Empirical Investigation. New York: National Bureau of Economic Research and Columbia University Press. Hapsari D (2014). Waspadai Gizi Buruk Pada Balita. Jakarta: Tugu Publisher. Helmi R (2013). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Margototo Kecamatan Metro Kibang Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Kesehatan, IV (1): 233-242. Hidayat TS, Fuada N (2011). Hubungan Sanitasi Lingkungan, Morbiditas dan Status Gizi Balita di Indonesia (Relationship Between Environmental Sanitation, Morbidity and Nutritional 43
Journal of Epidemiology and Public Health (2017), 2(1): 33-45
Status of Under-Five Children in Indonesia), Penel Gizi Makan, 34(2): 104-113. Isnaini N (2016). Hubungan Pola Asuh, Pola Makan dan Penyakit Infeksi Dengan Kejadian Gizi Buruk Pada Balita Di Kabupaten Magetan Tahun 2016. Surakarta: Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jannah M, Maesaroh S (2014). Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Status Gizi Balita Di Posyandu Bangunsari Semin Gunung Kidul Tahun 2014. Jayani I (2014). Hubungan Antara Penyakit Infeksi dengan Status Gizi pada Balita di Puskesmas Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Tahun 2014. Universitas Kadiri. Kemenkes RI (2011). Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI. Kusumanti PD (2014). Hubungan Perilaku Personal Hygiene Ibu Dan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Desa Karangsambung Kebumen Tahun 2014. Surakarta: Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret. Khayati S (2010). Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita pada Keluarga Buruh Tani di Desa Situwangi Kecamatan Rakit Kabupaten Banjarnegara Tahun 2010. Semarang: UNNES. Lamid A, Irawati A, Amelia (2012). Penanganan Balita Gizi Buruk Secara Rawat Jalan di Puskesmas dengan Pemberian Makanan Terapi: Formula-100 dan Ready to Use Therapeutic Food. Penel Gizi Makan, 35(2): 168-181.
44
Lidiawati M (2016). Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Angka Kejadian Diare Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Meuraxa Tahun 2016. Serambi Saintia, IV(2). Murti B (2013). Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Murti B (2016). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Surakarta: Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret. Ningsih ID (2013). Hubungan Kesehatan Lingkungan Terhadap Status Gizi Anak Prasekolah di Kelurahan Semanggi dan Sangkrah. Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta. Surakarta: Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ogunrinade SA (2014). The Incidence of Malnutrition in Children (Age 0–5 Yrs). Journal of Agriculture and Life Sciences, Vol. 1, No. 2. Persulessy V, Mursyid A, Wijanarka A (2013). Tingkat pendapatan dan pola makan berhubungan dengan status gizi balita di Daerah Nelayan Distrik Jayapura Utara Kota Jayapura. Jurnal Gizi dan Dietik Indonesia, Vol. 1, No. 3, 143-150. Pratama AR (2011). Pengaruh Tingkat Pendidikan, Tingkat Pendapatan, Pengetahuan Ibu, Sikap Ibu dan Perilaku Ibu Terhadap Status Gizi Balita di Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang. http://ejournal.unesa.ac. id. Diakses pada tanggal 11 Desember 2016. Putri RF, Sulastri D, Lestari Y (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1). e-ISSN: 2549-0273 (online)
Indita et al./ Effect of Biopsychosocial Factors and Environmental Sanitation
Purwaningrum S, Wardani Y (2016). Hubungan antara Asupan Makanan dan Status Kesadaran Gizi Keluarga dengan Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sewon I, Bantul. Jurnal Kesmas UAD, 6 (3). Rasyid R, Mayulu N, Kandou GD (2015). Hubungan Karakteristik Balita, Penyakit Infeksi dengan Status Gizi pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gambesi Kota Ternate. Universitas Sam Ratulangi. Saputra M (2012). Hubungan Antara Riwayat Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dengan Status Gizi Pada Anak Balita di Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta. Surakarta: Universitas Muhammadiyah.
e-ISSN: 2549-0273 (online)
Soumokil O (2013). Hubungan Pola Makan dan Asupan Zat Gizi dengan Status Gizi Anak Balita di Pulau Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Supraptini, Hapsari D (2011). Status Gizi Balita Berdasarkan Kondisi Lingkungan dan Status Ekonomi (Data Riskesdas 2007). Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol. 10, No. 2, 103-113. Terati, Nilawati NS, Fatonah RS (2011). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita Usia 06-60 Bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur Ii Kota Palembang Tahun 2011. http://jurnal.poltekkespalembang.ac.id. Diakses pada tanggal 11 Desember 2016. UNICEF (1998). The State of The World's Children. Oxford University press.
45