Relasi Leksikal dalam Peristilahan Kehewanan: Sebuah Kajian Ekolinguistik Made Sri Satyawati Universitas Udayana
[email protected]
1.1 Pendahuluan Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan. Sebagai salah satu unsur kebudayaan, pertumbuhan dan perkembangan bahasa dipengaruhi oleh kebudayaan yang berlaku di daerah tempat bahasa itu digunakan. Kebudayaan yang hidup umumnya sesuai dengan sistem mata pencaharian yang dilakoni oleh penduduk di daerah setempat sehingga bahasa yang hidup pun diwarnai oleh kosa kata yang berkaitan dengan sistem mata pencahariannya. Misalnya dalam suatu daerah, sistem mata pencahariannya adalah bertani, maka bahasa yang hidup didominasi oleh kosa-kata yang berkaitan dengan pertanian. Selain sistem mata pencaharian, agama yang dianut oleh penduduk dalam suatu daerah juga akan mempengaruhi bahasa yang digunakan sehari-hari. Hal itu menyiratkan bahwa kehidupan berbahasa tidak bisa terlepas dari lingkungan tempat hidupnya sehingga tidak bisa diragukan lagi bahwa bahasa dan lingkungan memiliki hubungan yang erat. Keduanya memiliki hubungan yang timbal balik, yaitu bahasa mencerminkan lingkungan dan lingkungan mencerminkan bahasa (Tangkas, 2013:384). Dengan begitu, ciri umum bahasa yang menyatakan bahwa tiap bahasa akan berubah sangat tepat jika dikatakan bahwa perubahan lingkungan mengakibatkan bahasa berubah, terutama dari segi kosa kata yang dipakai. Dengan terkikisnya lingkungan yang menggunakan kata-kata tersebut, maka semakin jarang kata-kata tersebut dipakai dan terdengar sehingga lama kelamaan kata-kata tersebut jarang digunakan, bahkan lambat laun menghilang. Pengikisan bahasa terjadi pula di daerah Bali sehingga beberapa kata-
kata yang berkaitan dengan sistem pencaharian yang pernah dilakukan oleh penduduk sudah tidak digunakan lagi, bahkan generasi baru sudah tidak mengenal. Misalnya tempat bertelur ayam. Generasi muda tidak pernah melihat ayam bertelur di dalam bengbengan, mereka hanya pernah melihat ayam bertelur di dalam kardus sehingga ketika pertanyaan tersebut muncul, mereka tidak menyebut bengbengan, tetapi kardus. Namun, tidak semua siswa dapat menjawab, mereka tidak tahu tempat ayam biasanya bertelur karena sekali pun mereka tidak pernah melihat ayam bertelur sehingga kata yang berkaitan dengan ayam bertelur tidak diketahuinya. Tulisan ini bertujuan untuk membantu meminimalisasi proses kehilangan kata-kata karena adanya pergeseran lingkungan. Kata-kata yang akan dikaji adalah kata-kata yang berkaitan dengan kehewanan dalam guyub tutur bahasa Bali. Kajiannya akan dititikberatkan pada pengungkapan relasi-relasi leksikal kata-kata sehingga hasil yang akan diperoleh adalah relasi-relasi leksikon berdasarkan berbagai aspek tinjauan, seperti dewasa dan muda (Saeed, 2000:69).
1.2 Metodologi Pengumpulan data dalam tulisan ini dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara. Karena tulisan ini merupakan hasil penelitian yang masih bertaraf pemula, pengumpulan dengan wawancara belum dilakukan secara maksimal hanya untuk memastikan istilah yang ada dalam buku merupakan istilah yang pernah terpakai. Dalam studi pustaka dan wawancara, dilakukan juga pencatatan dari hasil yang diperoleh dalam pustaka dan wawancara. Teknik perekaman tidak dilakukan dengan maksimal karena belum melakukan wawancara yang kompleks yang berkaitan dengan hal-hal yang detail dari setiap kata.
1.3 Pembahasan Kajian terhadap relasi leksikon dalam guyub tutur bahasa Bali merupakan kajian ekolinguistik yang dilihat dari relasi leksikal sehingga teori yang digunakan adalah teori ekolinguistik yang dipadukan dengan teori semantik tentang relasi leksikal.
1.3.1 Ekolinguistik Ekolinguistik merupakan sebuah teori yang memayungi penelitian bahasa yang ditautkan dengan ekologi (Fill and Mühlhäusler. 2001:126). Pada prinsipnya ekolinguistik merupakan paduan antara linguistik (ilmu bahasa) dan teori ekologi. Mbete (2009: 2) mengungkapkan bahwa bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan bersama organisme-organisme lainnya. Ruang kaji ekolinguistik menurut Haugen (1970) berkaitan dengan sepuluh bidang kaji, yaitu (1) linguistik historis komparatif; (2) linguistik demografi; (3) sosiolinguistik; (4) dialinguistik; (5) dialektologi; (6) filologi; (7) linguistik preskriptif; (8) glotopolitik; (9) etnolinguistik, linguistika antropologi, atau linguistik kultural; dan (10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan. Uraian ruang kaji di atas menempatkan tulisan ini sebagai kajian sosiolinguistik yang juga menempatkan bahwa penyebutan sebuah fitur-fitur linguistik yang terwujud dalam sebuah kata yang digunakan apakah benar atau salah. Lebih lanjut, kelahiran dan pemahaman teori linguistik dipengaruhi oleh tiga dimensi (Linda dan Bundegaard, 2000:1011), yaitu dimensi ideologis, dimensi sosiologis, dan dimensi bilogis. Dimensi Ideologis dipahami bahwa adanya ideologi dalam suatu masyarakat, seperti ideologi kapitalis sehingga kehidupan masyarakat akan terkukung dalam budaya kapitalis sehingga kata-kata yang terpakai lebih banyak berkaitan dengan budaya kapitalis tersebut. Selanjutnya dalam dimensi sosiologis
disebutkan bahwa bahasa merupakan wujud praktis sosial yang bermakna. Dalam dimensi sosiologis ini disebutkan bahwa adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Terakhir adalah dimensi bilogis. Dimensi bilogis berhubungan erat dengan diversivitas (keanekaragaman) biota danau, laut, atau darat secara berimbang dalam ekosistem. Diumpamakan seperti hukum alam, yaitu siapa yang kuat, maka akan tetap hidup dan menguasai, sedangkan yang lemah akan terpinggirkan. Demikian juga bahasa. Bahasa dari dimensi bilogis juga akan mengalami perubahan. Hanya kuantitas penggunaannya akan menjawab apakah bahasa yang hidup akan bertahan atau terpinggirkan. Apabila ada kekhawatiran seperti itu, maka semestinya bahasa direkam secara leksikon sehingga fitur-fitur itu tertandakan dan dipahami. Pemahaman tersebut menggambarkan bahwa peta kaji ekolinguistik adalah sebagai berikut. 1.
Leksikon-leksikon yang bermakna dan berfungsi referensial, yaitu leksikon-leksikon yang memiliki referensi yang nyata sehingga dapat dilacak dan dapat dibuktikan secara empirik dan kasad mata.
2.
Leksikon-leksikon yang diamati adalah leksikon-leksikon yang berkaitan dengan lingkungan.
3.
Leksikon-leksikon yang dipakai topik kajian adalah leksikon-leksikon yang dapat dipertanyakan keberadaan dan jumlahnya. Mengapa sejumlah hewan, tumbuhan atau hal lain yang berkaitan dengan lingkungan sudah tidak ada lagi?
4.
Leksikon-leksikon yang berupa ungkapan-ungkapan, metafora, peribahasa, cerita rakyat, fabel, dogeng merupakan tanda adanya relasi mental manusia dengan lingkungan hidupnya yang sudah turun-temurun yang dibaliknya tersurat makna tentang khazanah lingkungan.
Penggunaan teori ekolinguistik ini tetap berlandaskan teori sosiolinguistik yang mengungkapkan bahwa adanya pergeseran dan pemertahanan bahasa yang disebabkan oleh faktor sosiolinguistis, psikologis, demografis, dan ekonomis (Gunarwan, 2006:102). Asumsi tersebut menjadi landasan kajian dalam menggali data.
1.3.2 Relasi Leksikal Ada sejumlah tipe relasi leksikal. Seperti yang diketahui bahwa sebuah leksem khusus kemungkinan akan memiliki sejumlah relasi leksikal sehingga hal tersebut lebih tepat disebut sebagai leksikon sebagai network, bukan daftar kata-kata seperti dalam kamus. Tipe-tipe relasi leksikal adalah homonimi, polisemi, sinonim, antonim, hiponim, meronimi, dan koleksi keanggotaan. Dalam tulisan ini, kajian ditekankan pada kajian hiponim. Hiponim adalah relasi (hubungan) inklusi. Sebuah hiponim mencakup makna kata yang lebih umum, seperti (1) dog ‘anjing’ dan cat ‘kucing’ adalah hiponim dari binatang dan (2) sister ‘adik perempuan’ dan mother ‘ibu’ adalah hiponim dari woman. Istilah yang lebih umum disebut dengan superordinate atau hipernim. Sebagian besar kosa kata terkait dengan sistem inklusi dan taksonomi yang dihasilkan membentuk jaringan semantik hirarki seperti yang tergambar di bawah ini.
Bird crow
hawk
kestrel
sparrowhawk
duck
etc etc
Selain itu, adapula relasi leksikal tipe berbeda. Relasi leksikal ini tampak seperti subkasus khusus taksonomi relasi adult-young, seperti yang terlihat pada contoh berikut. No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama Binatang Dewasa (adult) dog cat cow pig duck swan
Arti
Nama Anak Binatang (young) puppy kitten calf piglet duckling ‘cygnet’
‘anjing’ ‘kucing’ ‘sapi’ ‘babi’ ‘bebek’ ‘angsa’
Arti ‘anak anjing’ ‘anak kucing’ ‘anak sapi’ ‘anak babi’ ‘anak bebek’ ‘anak angsa’
Relasi yang sama berlaku pada pasangan male-female, seperti berikut ini. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama Binatang Jantan dog tom bull hog drake cob
Arti
Nama Binatang Betina bitch ?queen cow sow duck pen
‘anjing jantan’ ‘kucing jantan’ ‘sapi jantan’ ‘babi jantan’ ‘bebek jantan’ ‘ikan tongkol jantan’
Arti ‘anjing betina’ ‘kucing betina’ ‘sapi betina’ ‘babi betina’ ‘bebek betina’ ‘ikan tongkol betina’
Dengan uraian teori di atas, maka berikut ini akan dikaji relasi leksikal kehewanan dalam guyub tutur bahasa Bali.
1.3.3 Relasi Leksikal dalam Bahasa Bali Uraian
tentang
teori
ekolinguistik,
relasi
leksikal
dan
teori
sosiolinguistik
mengungkapkan bahwa bahasa dapat berubah apabila lingkungan tempat hidupnya berubah. Namun, setiap kata yang berubah berada dalam relasi taksonomi sehingga dapat ditelusuri keberadaan kata-kata tersebut dengan mudah. Relasi taksonomi yang termudah adalah relasi
leksikal yang menghubungkan dua kutub atau dapat pula membuat superordinatnya atau hipernimnya. Berdasarkan analisis data diketahui bahwa dalam bahasa Bali ditemukan khazanah kosa kata kehewanan yang memiliki dua tipe hubungan tersebut, yaitu taksonomi relasi dua kutub dan taksonomi relasi hipernim. Kedua tipe tersebut akan dijelaskan dibawah ini.
1.3.3.1 Taksonomi Relasi Dua kutub Beberapa khazanah kosa kata kehewanan bahasa Bali terkikis dalam perjalanan waktunya. Lingkungan yang berubah mengakibatkan petani tidak lagi memelihara binatang seperti umumnya petani dahulu sehingga ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh binatang tidak tampak oleh mata atau bahkan hilang. Hal itu menyebabkan generasi muda saat ini sangat sedikit mengetahui khazanah kosa kata yang berkaitan dengan taksonomi relasi dewasa dan muda; jantan dan betina. Tabel 1 Taksonomi Relasi Jantan-Betina No. 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Binatang Jantan celeng cicing manuk cula bengkiwe
Arti ‘babi jantan’ ‘anjing jantan’ ‘ayam jantan’ ‘sapi jantan’ ‘bebek jantan’
Nama Binatang Betina bangkung kuluk pegina sampi bebek
Arti ‘babi betina’ ‘anjing betina’ ‘ayam betina’ ‘sapi betina’ ‘bebek betina’
Taksonomi relasi jantan dan betina dalam khazanah kosa kata kehewanan dalam tulisan ini tidak banyak ditemukan. Namun, besar dugaan masih banyak taksonomi relasi jantan dan betina dalam bahasa Bali, tetapi kemungkinan lebih dari dua. Hanya saja karena adanya perubahan lingkungan menyebabkan peneliti kesulitan untuk mencari data. Dalam studi pustaka, ditemukan
babi jantan disebut dengan celeng muani. Padahal untuk babi yang jantan sudah ada kosa kata yang khusus, yaitu celeng ‘babi jantan’. Dalam taksonomi relasi dewasa dan muda ditemukan lebih dari dua, yaitu No.
1. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Nama Binatang Dewasa (adult) cicing sampi celeng/bangkung bebek siap bojog bikul jaran kambing katak lelipan meong penyu kakua
Arti ‘anjing’ ‘sapi’ ‘babi’ ‘bebek’ ‘ayam’ ‘monyet’ ‘tikus’ ‘anak kuda’ ‘kambing; ‘katak’ ‘lelipan; ‘kucing’ ‘penyu’ ‘kura-kura’
Nama Anak Binatang (young) konyong godel kucit memeri pitik apa nyingnying bebedag wiwi becing kalimayah tai tukik boko
Arti ‘anak anjing’ ‘anak sapi’ ‘anak babi’ ‘anak bebek’ ‘anak ayam’ ‘anak monyet’ ‘anak tikus’ ‘anak kuda’ ‘panak kambing ;panak kata’ ‘anak lelipan’ ‘anak kucing' ‘panak penyu’ ‘panak kura-kura’
Taksonomi relasi dewasa dan muda masih banyak bisa ditemukan walaupun tidak semua khazanah kosa kata tersebut masih dipakai dalam berkomunikasi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya anak-anak menyebutkan anak binatang sesuai dengan nama binatang dewasa, seperti panak sampi, panak celek, dan panak bojog. Pergeseran ini banyak ditemukan di kalangan generasi muda sehingga banyak anak muda yang tidak tahu nama anak seekor binatang. Hal ini membuktikan bahwa lingkungan sangat menentukan kebertahan dan pergeseran suatu bahasa.
1.3.3.2 Taksonomi Relasi Hipernimi Relasi hipernimi ditemukan pula dalam bahasa Bali walaupun beberapa khazanah kosa kata tersebut tidak dikenal oleh generasi muda dan bahkan terlupakan oleh generasi tua. Hal itu terjadi karena aktivitas tersebut sudah tidak menjadi aktivitas yang sering ditemukan karena
kebiasaan memelihara binatang sudah sangat jarang ditemukan. Selain karena pekerjaan sudah tidak menjadi petani, berkurangnya lahan pertanian juga menjadi penyebab hilangnya kebiasaan memelihara binatang. Apalagi sekarang, rumah-rumah tidak lagi dibangun di atas tanah yang luas, tetapi dibangun di atas lahan yang sempit sehingga tidak dapat dengan leluasa memelihara berbagai jenis binatang. Taksonomi relasi yang ditemukan dalam bahasa Bali adalah sebagai berikut. badan buron ‘kadang hewan’ bengbengan
badan celeng badan sampi sebun babi ‘babi’
kucit ‘anak babi’
babi ‘babi muda’
celeng ‘babi dewasa’ kaung’ babi jantan’ bangkung ‘babi betina’
siap ‘ayam’
Siap brumbun siap wangkas siap biik siap biing siap sangkur siap olagan siap grungsang siap sandeh ‘ayam warna ‘ayam putih’ ‘ayam ‘ayam ‘ayam tidak ‘ayam yang ‘ayam yang ‘ayam yang warni’ bintikmerah’ berbulu lehernya tidak bulunya bulunya bintik ekor’ berbulu’ keriting’ berdiri di leher’
Taksonimi relasi hipernim untuk hewan, terutama hewan yang dipakai untuk sarana persembahyangan memiliki taksonomi yang cukup beragam seperti babi dan ayam. Taksonomi ayam dibagi berdasarkan warna bulu dan jenis bulu ayam, sedangkan taksonomi babi dibagi berdasarkan umum dan fungsi babi. Dalam taksonomi babi terdapat jenis babi yang disebut kucit ‘anak babi’. Kucit ‘anak babi’ merupakan babi yang baru lahir sampai berumur 3 bulan. Setelah tiga bulan, babi disebut babi. Ketika babi berumur lebih dari 6 bulan disebut celeng, kaung, dan bangkung. Celeng adalah babi jantan atau betina yang berfungsi sebagai hewan potong, kaung
adalah babi jantan yang berfungsi sebagai hewan yang mengawini babi betina, sedangkan bangkung adalah babi betina yang berfungsi untuk dikawini dan memiliki keturunan. Penamaan terhadap babi seperti ini sudah mulai tidak dikenal oleh generasi muda karena kegiatan beternak babi tidak lagi dilakukan secara tradisional, tetapi sudah dilakukan oleh pengusaha sehingga dilaksanakan dengan lebih modern. Hal itu menyebabkan anak-anak tidak pernah melihat jenisjenis babi seperti itu. Relasi hipernim kadang hewan merupakan salah satu relasi yang mengandung khazanah kosa kata yang tidak umum bagi para generasi muda sehingga ketika dalam pelajaran sekolah ada pertanyaan tentang tempat ayam bertelur, mereka tidak bisa menjawab. Seperti diungkapkan di atas, pertanyaan itu dijawab dengan sederhana, yaitu kardus karena yang mereka lihat ayam bertelur dan tidur di dalam kardus.
1.3.4 Dimensi Ideologis, Sosiologis, dan Biologis Relasi-relasi leksikal yang diperlihatkan oleh data bahasa adalah relasi leksikal yang mengandung makna ideologis diversiti fungsional, yaitu keberagaman fungsional. Keberagaman fungsional dapat dilihat dari segi sosiolinguistik memperlihatkan bahwa relasi leksikal yang muncul sebagai akibat kebutuhan sosial yang sudah dimaknai secara tersendiri, yaitu ayam dan babi dari segi sosial merupakan sarana persembahyang. Kedua dimensi itu akan tetap dapat dipertahankan apabila lingkungan biologis tetap bertahan. Agar lebih jelas, uraian yang lebih lengkap dapat dilihat sebagai berikut. Warna bulu ayam membedakan fungsinya dalam penyelenggaraan upacara di Bali. Kebutuhan ayam dengan berbagai jenis tersebut masih tetap dilakukan. Namun kondisinya hampir sama dengan babi, ayam tidak lagi diperlihara secara tradisional oleh penduduk, tetapi sudah dipelihara oleh para peternak ayam sehingga para
generasi muda tidak mengetahui bahwa terdapat berbagai jenis ayam. Penyebutan ayam bagi generasi muda tidak lagi berdasarkan warna, tetapi secara umum saja, yaitu ayam sehingga ketika melihat ayam yang sedikit aneh , misalnya tidak memiliki bulu di leher, mereka tidak akan menyebut siap olagan, tetapi ayam aneh.
1.3.5 Tipe dan Fungsi konstituen yang Membangun Khazanah Kosa Kata Kehewanan dalam Sintaksis Taksonomi relasi hipernim merupakan relasi yang terdiri atas konstituen yang berkategori nomina, baik berupa kata maupun frasa. Konstituen yang berupa kata adalah sebagai berikut. Contoh: (1) siap ‘ayam’ (2) babi ‘babi’ (3) bengbengan ‘kandangan ayam’ (4) bengkiwe ‘bebek jantan’ (5) bikul ‘tikus’ (6) jaran ‘kuda’ (7) meong ‘kucing’ (8) bojog ‘monyet’ (9) tai ‘anak kucing’ (10) becing ‘anak katak’ Contoh (1) sampai dengan (10) merupakan konstituen yang berupa kata. Kesepuluh contoh tersebut dalam tataran fungsi sintaksis dapat menduduki fungsi Subjek, Objek, Pelengkap, Predikat, Keterangan, dan Oblik. Hal tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
(11) Siap-e ma-taluh di bengbengan-ne. ayam-def pref-telur prep kadang ayam-def ‘Ayam bertelur di kandangnya’ (12) Dokar-e paid-e teken jaran. ‘Dokar-def tarik-suf obl kuda ‘Dokarnya ditarik oleh kuda.’ (13) Panak bojog madan tai. Anak monyet pref-nama tai ‘Anak monyet bernama tai.’ (14) Ia n-ampah celeng. Dia pref-potong babi ‘Dia memotong babi.’ (15) Ento jaran. Dem kuda ‘Itu adalah kuda.’ Selain berupa kata, taksonomi jenis ini dapat pula berupa frasa, yaitu berupa frasa nomina. (16) siap selem ‘ayam hitam’ (17) badan celeng
‘kandang babi’
(18) siap brumbun
‘ayam berbulu warna-warni’
(19) siap grungsang
‘ayam berbulu keriting’
(20) siap olagan
‘ayam tanpa bulu di leher’
Konstituen-konstituen dari (16) sampai dengan (20) merupakan konstituen yang berupa frasa. Masing-masing frasa
memiliki
inti
berupa nomina,
yaitu
siap
‘ayam’ dan
bada
‘kandang/tempat’, sedangkan konstituen yang lain merupakan modifikator sehingga konstruksi ini disebut frasa nomina endosentrik, yaitu frasa yang memiliki inti. Frasa nomina-frasa nomina ini dapat mengisi tataran-tataran sintaksis, seperti Subjek dan Objek, Pelengkap, Keterangan, dan Oblik, sedangkan sebagai pengisi Predikat belum bisa dipastikan keberadaan sehingga perlu
pengetesan yang lebih detail dan mendalam. Fungsi dalam tataran sintaksis dapat dilihat dalam contoh berikut. (1) Siap olagan-ne tusing bisa me-keber. ayam olagan-def tidak bisa pref-terbang ‘Ayam yang tidak berbulu dileher itu tidak bisa terbang.’ (2) I Bapa m-ersih- ang badan celeng-e. Art ayah pref-bersih-suf kandang babi-def ‘Bapak membersihkan kandang babi.’ (3) Ento madan siap grungsang. dem pref-adan ayam grungsang ‘Itu namanya ayam grungsang.’ (4) Jijih-e amah-a teken i siap selem. Biji padi-def makan-suf obl art ayam hitam ‘Biji padinya dimakan oleh ayam hitam.’
Contoh-contoh tersebut memperlihatkan frasa-frasa nomina menduduki fungsi dalam tataran sintaksis, yanitu Subjek dalam (1), Objek dalam (2), Pelengkap dalam (3), dan Oblik/keterangan dalam (4).
1.4 Simpulan Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Bali terdapat berbagai taksonomi mengenai hewan, baik berupa kandang maupun jenis-jenis binatang. Dari taksonomi relasi dua kutub dan relasi hipernim diketahui bahwa banyak khazanah kosa kata kehewanan yang dimiliki oleh bahasa Bali. Kosa kata tersebut sudah mulai kurang/tidak dikenal oleh generasi mudah. Dari relasi dua kutub diketahui adanya relasi jantan dan betina sehingga ada yang bernama manuk ‘ayam jantan’ dan pegina ‘ayam betina, sedangkan dari relasi hipernim terdapat berbagai nama untuk ayam, seperti siap selem, siap brumbun, dan siap olagan. Dalam konstruksi sintaksis, diketahui bahwa konstituen tersebut berbentuk kata dan frasa nomina yang
dapat menduduki berbagai fungsi tataran sintaksis, seperti Subjek, Objek, Pelengkap, Keterangan, Oblik, dan Predikat.
DAFTAR PUSTAKA
Fill, Alvin and Peter Mühlhäusler (eds). 2001. The Ecolinguistics Reader. Language Ecology and Evironmental. London and New York: Continuum. Haugen, E. (1972a). “The Ecology of Language”. dalam Dil, A.S. (ed) The Ecology of Language: Essays by Einar Haugen. Stanford: Stanford University Press. Haugen, E. (1972b). “The Ecology of Language”. Dalam Fill, A. dan Muhlhausler, P. The Ecolinguistics Reader: Language, Ecology, and Environment. London: Continuum. Koetjaraningrat, 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mbete, Aron Meko. 2009. Refleksi Ringan tentang Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif Ekolinguistik. Denpasar: Universitas Udayana. Saeed, John I. 2000. Semantics. Oxford: Blackwell Publisher Ltd. Tangkas, Putu Reland dafincy. “Metafora Kepadian Guyub Tutur Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya”. Prosiding Seminar Internasional Austronesia dan Non-Austronesia ke-6. Denpasar: Udayana University Press.