RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 138-156 Available Online at http://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret DOI: 10.22225/jr.2.1.241.138-156
LEKSIKON FAUNA MASYARAKATSUNDA: KAJIAN EKOLINGUISTIK WiyaSuktiningsih STIBABumigora
[email protected] Abstrak Hubungan timbal balik antara manusia dan manusia, manusia dan alam disekitarnya yang menghasilkan ragam bahasa termasuk dalam kajian ekolinguistik. Penggunaan leksikon fauna oleh masyarakat Sunda menunjukkan kedekatan hubungan alam dengan masyarakat sunda. Hubungan penutur antar penutur dan hubungannya dengan lingkungan alam dan lingkungan social dapat dilihat dengan menggunakan Metode dialog (Bang & Doors,1993) dengan menganalisa bentuk bakunya dari makna dan fungsi penggunaan leksion fauna dalam suatu metafora. Penelitian ini bersifat deskritifkualitatif. Teknik pengumpulan data penelitian ini terdiri atas teknik wawancara dan teknik observasi. Teknik wawancara digunakan untuk mendapatkan data makna dan fungsi fauna dalam budaya masyarakat Sunda . Teknik observasi digunakan untuk mendapatkan data bentuk fauna dalam budaya masyarakat Sunda. Hasil analisis menunjukkan bahwa generasi tua sebagai pembuat teks(S1) sedangkan orang yang lebih muda sebagai mitra tutur(S2) dalam suatu subjek atau kategori anonim yang merupakan konstituen sosiokultural(S3). Pemberian nasehat dan petuah terjadi dalam lingkungan TOPOS ideologis, sosiologis dan biologis yang merujuk pada suatu keadaan(O). Dari analisa ditemukan banyak penggunaan leksikon fauna dalam petuah atau nasehat masyarakat sunda yang masih berpotensi untuk dikaji lebih dalam. . Kata Kunci: lek sikon, m etafora, fauna dan bahasa Sunda Abstract Relationship between human and human, human and environment produce variety of language include in eco linguistic applied. Lexicon off fauna isused by sundanese ethnic and present sundanese ethnic close with the environment. The relationship between the speaker and the speaker's relationship with the natural environment and social environment can be viewed using a dialogue model (Bang & Doors,1993) was used to analyze the raw form from the meaning and function lexicon of fauna in metaphor. This a descriptive qualitative research technique, the data were collected by the methods of observation and note-taking techniques. The Result of note-taking techniques find out the meaning and the function lexicon of fauna Sundanese ethnic. Observation technique collected data in the form of fauna in sundanese ethnic. The result of the research shows that the older generation sasa maker of text(S1), where as a younger person as hearer(S2) in a subject or which category of anonymous constituent of sociocultural(S3). Counsel and advice occurs in the environment TOPOS ideological, sociological and biological referring to situation(O). From the analysis seem that’s sundanese ethnic have so many lexicon of fauna in the advice or counsel. Keywords: lexicon, metaphor, fauna dan Sundanese
ini, Haugen menggunakan konsep ling-
1. PENDAHULUAN Bahasa
berfungsi
apabila
kungan bahasa secara metaforis, yakni ling-
digunakan untuk menghubungkan antarpe-
kungan
nutur, dan menghubungkan penutur dengan
pengguna bahasa, sebagai salah satu kode
lingkungannya, baik lingkungan sosial
bahasa.
ataupun lingkungan alam. Dalam konteks
dipahami
sebagai
masyarakat
Kota Sumedang merupakan salah
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 139
satu kabupaten di Jawa Barat yang berbata-
perangkat kata dan wacana yang berkaitan
san langsung dengan ibu kota provinsi,
dengan lingkungannya, baik lingkungan
Bandung. Sumedang memiliki luas wilayah
sosial maupun lingkungan alam. Dalam
153.124ha dan jumlah penduduk kurang
prespektif
lebih 1juta jiwa, yang menyimpan cukup
seperangkat
banyak
merupakan obyek peristiwa dan tanda ak-
potensi
sumber
daya
alam.
antropologi leksikon
yang
kognitif, digunakan
Sumedang memiliki curah hujan yang
tivitas yang penting di lingkungannya.
cukup tinggi dan kaya akan sumber air
Dinamika keberadaan leksikon dipengaruhi
menjadikan banyak penduduknya bermata
oleh perubahan lingkungan tempat suatu
pencaharian sebagai petani. Kondisi geo-
bahasa dipakai. Sebagai bukti adanya dina-
grafis ini juga membuat jenis flora dan fau-
mika leksikon yang disebabkan oleh adan-
na yang hidup dan tumbuh diwilayah terse-
ya perubahan lingkungan suatu kelompok
but sangat beragam sehingga membuat ba-
masyarakat petani di pedesaan masih ban-
hasa Sunda sangat kaya dengan leksikon-
yak mengenal leksikon-leksikon bahasa
leksikon lingkungan alam yang mengacu
daerah dari pada kelompok masyarakat
pada entitas-entitas flora dan fauna.
petani diperkotaan yang lebih mengenal
Hubungan manusia dan alam di
istilah-istilah seperti traktor, pupuk, pestis-
sekitarnya menghasilkan ragam bahasa.
ida dan lainnya yang merupakan leksikon
Secara khusus lingkungan kultural dapat
baru yang dibentuk melalui proses pemin-
dikaitkan juga dengan mutu dan kondisis
jaman (borrowing), inovasi penutur melalui
lingkungan hidup kebahasaan. Dalam hal
pemajemukan (compounding), maupun me-
ini kajian ekolinguistik dibutuhkan, untuk
lalui pencampuran bagian unsur sebuah
mengkaji hubungan timbal balik antara ala-
leksikon
m/lingkungan sekitar dengan bahasa atau
leksikon yang lain (Halliday dalam Fill dan
menyandingkan ekologi dan linguistik. Se-
Muhlhausler, ed., 2001).
dengan
unsur/bagian
dari
bagai disiplin ilmu, ekologi menjelasakan hubungan timbal balik antara makluk hidup
2. KONSEP DAN KERANGKA TEORI
dengan alam disekitarnya. Di sisi lain, lin-
KONSEP
guistik adalah studi ilmiah atas fenomena
KONSEP LEKSIKON
bahasa baik secara mikro maupun makro (kridalaksana,
1985).
Dalam
suatu
Ada beberapa ahli bahasa yang mengemukakan
konsepnya
tentang
masyarakat tutur bahasa apapun pasti
leksikon dengan berbagai penekanan. Sa-
mengenal, menguasai, dan menggunakan
lah satunya adalah Spencer (1993: 47),
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 140
yang menyatakan:
taktis, dan fonologis. Dalam Kamus Besar
“T he term lexicon means simply
Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:805)
tionary is a list of words together
tercantum bahwa leksikon merupakan
with their meaning and other useful
kosakata; komponen bahasa yang memuat
bits of linguistic information…”
semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan
Pernyataan di atas mengisyaratkan
kata yang dimiliki suatu bahasa.
bahwa leksikon adalah daftar kata yang
Berdasarkan konsep-konsep leksikon yang
mengandung makna yang sedikit disertai
telah dipaparkan di atas, maka dalam kajian
dengan
ini
keterangan-keterangan
yang
diterapkan
konsep
leksikon
yang
berkaitan dengan informasi linguistik. El-
dikemukakan oleh Kridalaksana (1982)
son dan Pickett (1987: 1) mendefinisikan
karena leksikon yang dimaksud dalam
leksikon sebagai kosakata suatu bahasa
kajian ini adalah sejumlah daftar kata-kata
atau kosakata yang dimiliki oleh seorang
tentang lingkungan alam yang disertai
penutur bahasa, atau seluruh jumlah
dengan penjelasannya dan juga mengacu
morfem atau kata-kata sebuah bahasa. Ka-
pada
ta-kata yang dimaksudkan oleh Elson dan
seseorang,
Picket (1987) bukanlah kata-kata yang
penelitian.
kekayaan
kata
dalam
yang
hal
ini
dimiliki responden
hanya mengandung makna secara terpisah, melainkan makna yang dipengaruhi oleh
KERANGKA TEORI
konteks situasi, kata-kata yang menyer-
EKOLINGUISTIK
tainya, posisinya dalam pola gramatikal,
Perubahan bahasa, terutama pada
serta cara penggunaannya secara sosial.
tataran leksikon, tidak dapat dipisahkan
Sementara
Haspelmath
dari perubahan lingkungan alam karena
(2002:39) menjelaskan leksikon sebagai
bahasa dan lingkungannya merupakan dua
sebuah istilah yang mengacu pada kamus
hal yang saling memengaruhi. Fenomena
mental dan aturan-aturan gramatikal ten-
ini merupakan bidang kajian ekolinguistik,
tang bahasanya yang harus dimiliki oleh
yaitu suatu disiplin ilmu yang mengkaji
penutur suatu bahasa. Selain itu, Crystal
bahasa
(1985:78) mengatakan bahwa leksikon
menyandingkan ekologi dengan linguistik
merupakan komponen yang mengandung
(Mbete, 2008:1). Gagasan tentang ekologi
informasi tentang ciri-ciri kata dalam sua-
bahasa
tu bahasa, seperti perilaku semantis, sin-
sesungguhnya
itu,
Martin
dan
dalam
lingkungannya
kajian telah
dan
sosiolinguistik
disinggung
oleh
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 141
Gumperz (1962). Gumperz (1962:137)
ment… The ecology of a language is de-
berpendapat bahwa sosiolinguistik adalah
termined primely by those who learn it,
studi mengenai tingkah laku verbal yang
use it, and transmit it to others.
berhubungan dengan karakteristik sosial
Pernyataan Haugen di atas menyiratkan
penutur, latar belakang budaya mereka,
bahwa lingkungan suatu bahasa adalah pa-
dan sifat ekologis lingkungan tempat
nutur bahasa yang berbentuk latar sosial
mereka berinteraksi. Dengan demikian,
dan latar kultural, bukan latar fisik semata
ekolinguistik diartikan sebagai interaksi
karena tidak mungkin memahami suatu
antara bahasa dan lingkungannya lewat
bahasa tanpa penuturnya. Perubahan atau
penutur bahasa tersebut.
pergeseran dan kebertahanan sebuah baha-
Pada tahun 1970, Haugen untuk
sa (khususnya dalam tataran leksikon) di-
pertama kalinya memperkenalkan istilah
pengaruhi
ecology of language (1972: 325, dalam
alam, sosial, dan budaya yang melanda
Fill dan Mühlhäusler, 2001: 57). Haugen
lingkungan bahasa tersebut. Demikian hal-
memaparkan “ecology of language may be
nya dengan bahasa yang hidup di tengah-
defined as the study of interactions be-
tengah masyarakat pendukungnya, tidak
tween any given language and its envi-
luput dari perubahan, di antaranya karena
ronment” . Ekologi bahasa dalam petikan
modernisasi dan globalisasi. Perubahan
di atas dapat bahasa tertentu dan ling-
yang melanda aspek-aspek sosial dan bu-
kungannya. Haugen menegaskan bahwa
daya pendukungnya juga berpengaruh ter-
bahasa berada dalam pikiran penggunanya
hadap Penggunaan Bahasa, khususnya da-
dan bahasa berfungsi dalam hubungan an-
lam tataran leksikon.
tar penggunanya
oleh
perubahan
lingkungan
satu sama lain dan
lingkungan, yaitu lingkungan sosial dan
MODEL DIALOG
lingkungan alam. Menurut Haugen (dalam
Kajian terhadap hubungan dialektika antara
Dil,
bahasa dan lingkungannya telah me-
1972:
325--329), mendefinisikan
lingkungan bahasa sebagai berikut:
lahirkan topik-topik penelitian dibawah
“The true environment of a lan-
payung ekolinguistik, dan sejak saat itu
guage is the society that uses it as one of
pula cakupan aplikasi konsep ekologi da-
its codes. Language exists only in the
lam linguistik berkembang dengan pesat,
minds of its speaker, and it only func-
baik di bidang pragmatik, analisis wacana,
tions in relating the users to one another
linguistik antropologi, linguistik teoretis,
to nature, i.e. their social natural environ-
pengajaran bahasa, dan berbagai cabang
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 142
linguistik lainnya (Fill dan Muhlhau-
masuk didalamnya aktivitas penggunaan
sler,2001:1). Menurut Bang dan Door
bahasa maupun aktivitas linguistik. Dalam
(1993:2), bahasa dan ekolinguistik merupa-
konteks ini, hubungan dialogis melibatkan
kan bagian dari budaya, formasi sosial serta
empat konstituen, yakni penutur, mitra tu-
praksis. Konsep praksis social dalam aliran
tur, objek yang diacu atau masalah yang
Odense mengacu kepada aktivitas social
dibicarakan, dan satu konstituen lain yang
manusia yang di anggap merupakan proses
bisa saja tidak berada dalam situasi dialogis
yang memiliki makna dan didasarkan pada
tetapi turut menentukan jalannya komu-
niali-nilai dalam konsep ini bahasa diang-
nikasi. Model dialog dalam linguistik di-
gap sebagai bagian dari aktivitas social
alektal dapat digambarkan pada bagan di
yang sekaligus berfungsi menginformasi
bawah ini, dapat dilihat bahwa ada
atau mengritik praktis social. Oleh karena
hubungan bahasa dan praksis sosial yang
itu, setiap perubahan yang terjadi di dalam
dihasilkan dari semua tindakan, aktifitas
penggunaan bahasa sekaligus mengindenti-
dan perilaku masyarakat antar sesama dan
fikasi adaya perubahan praksis sosial.
lingkungan sekitar.
Praksis sosial ini terdiri atas kontradiksikontradiksi inti yang membatasi sekaligus mengkondisikan setiap aktivitas sosial, ter-
(Bang dan Door, 1993) Dalam bagan di atas, S1 adalah pembuat
juk dalam komunikasi. Dialog dari keem-
teks, yakni penutur atau penulis, S2 adalah
pat konstituen, yang dinyatakan dengan
konsumen teks, yaitu mitra tutur atau pem-
tanda “↔”, terjadi dalam TOPOS (ruang,
baca, S3 adalah subjek atau kategori
tempat, dan waktu), dengan latar belakang
anonim yang merupakan konstituen so-
tiga dimensi praksis sosial, yakni dimensi
siokultural, dan O adalah objek yang diru-
ideologis, sosiologis, dan biologis. Ketiga
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 143
dimensi praksis sosial ini merupakan
dasar dan atau bentuk turunan dari suatu
ekologi atau lingkungan dari bahasa yang
kata/leksikon. Menurut chaer(2012 : 159)
mengacu pada perilaku masyarakat dengan
bentuk dasar (base) merupakan sebuah
lingkungannya.
bentuk yang menjadi dasardalam suatu proses morfologis. Dengan kata lain dapat
3. PEMBAHASAN
diberikan afiks-afiks tertentu dalam proses
IDENTIFIKASI LEKSIKON YANG
afiksasi, bisa di ulang dalam proses
TERDAPAT PADA METAFORA
reduplikasi, atau bisa digabung dengan
MASYARAKAT SUNDA
morferm
Identifikasi leksikon yang dimaksud dalam
pemajemukan.
artikel ini adalah identifikasi yang bersifat
dengan
gramatikal
Kridalaksana (1996) bahasa-bahasa yang
bentuk,
yang
kategori
meliputi dan
identifikasi
fungsi.
lain
dalam
suatu
proses
itu,
terkait
Semestara
bentuk
turunan,
menurut
Bentuk
termasuk rumpun Austonesia memiliki
gramatikal adalah makna yang sesuai
bentuk turunan berafiks, bentuk turunan
dengan tata bahasa, kategori gramatikal
kata ulang dan bentuk turunan yang berupa
adalah
kata majemuk. Hasil analisis menunjukan
golongan satuan bahasa
yang
dibedakan atas bentuk, fungsi, dan makna,
bahwa
leksikon
misal kelas kata atau jenis kata adapun
berkategori
fungsi yang di maksud adalah unsur
diindetifikasi dan diklarifikasi menjadi 2
struktur yang ada dalam kalimat. Hasil
(dua) bagian yaitu leksikon bentuk dasar
pengumpulan data menghimpun beberapa
dan leksikon bentuk turunan, dasar dan
leksikon yang dijabarkan sebagai berikut :
leksikon bentuk turunan beserta dengan
Gaang, tutut, leuntah, munding, bangkong,
kategori klasikasihnya (nomina, verba,
beurit, keyeup, oray, hileud dan bueuk.
Adjectiva. Untuk lebih jelasnya, dapat
biotik
fauna, dan
baik abitotik.
yang Data
dilihat pada data awal di bawah ini. BENTUK GRAMATIKAL Bentuk gramatikal mengacu pada bentuk Tabel 1. Bentuk Gramatikal dan Lingkungan Hidup Leksikon Fauna
N o
Bentuk Gramatikal
Leksikon Fauna Nama Sunda
1
Gaang
Nama Indonesia Anjing tanah
2
Tutut
Keong sawah
Nama Latin
Bentuk Dasar
Gryllotalpidae
˅
Pila ampullacea
˅
Bentuk Turunan
Kategori Lingkungan Bioti Abioti k k ˅ ˅
Kategori N
V
Ad j
˅ ˅
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 144 3
Lindung
Belut
Synbranchidae
˅
˅
˅
4
Leuntah
Lintah
Hirudinea
˅
˅
˅
5
Munding
Kerbau
Bubalus bubalis
˅
˅
˅
6
Bangkon g
Kodok
Anura
˅
˅
˅
7
Beurit
Tikus
Muridae
˅
˅
˅
8
Keyeup
Kepiting
Brachyura
˅
˅
˅
9
Oray
Ular
Serpentes
˅
˅
˅
10
Buek
Burung Hantu
Strigiformes
˅
˅
˅
Dalam metapora masyarakat sunda. Semua leksikon tersebut termasuk kategori nomina, yaitu : gaang “anjing tanah” (nomina), tutut “ keong sawah” (nomina), lindung
Gambar 1. Gaang/Anjing Tanah (Gryllotalpidae)
“belut”
(nomina),
leuntah
“lintah”
(nomina),
munding
“kerbau”
(nomina),
bangkong
Gaang disebut juga Anjing tanah
“kodok” (nomina), beurit “tikus” (nomina),
(Gryllotalpidae) adalah hewan yang agak
keuyeup
jarang
“ular”
“ kepiting” (nomina),
(nomina),
dan
Buek
oray
“Burung
hantu” (nomina).
terlihat
karena
lebih
suka
bersembunyi dalam lubang dan aktif pada malam hari mencari makan. Habitat yang disukai adalah di sawah kering dan dapat
MODEL DIALOG METAFORA
ditemukan di semua tempat, kecuali daerah
GUYUP TUTUR SUNDA
dekat kutub bumi.
Macam jenis hewan (fauna) yang hidup di
Pada malam hari gaang mengeluar-
daerah Jawa barat sangat beragam dan
kan bunyi suara yang tidak ada putusnya
memiliki
kedekatan
hubungan
dengan
tetapi ketika kita berjalan mendekati sum-
sunda,
sehingga
dalam
ber suara gaang tiba-tiba suasana menjadi
kehidupan masyarakat sunda menggunakan
sunyi hal tersebut menjadi ungkapan
leksikon
yang
masyarakat sunda dalam suatu metafora
tersendiri.
yang menggambarkan suasana hening/
Berikut adalah makna-makna metaforis
sunyi/ diam. Berikut contoh penggunaan
yang ada di masyarakat sunda.
leksikon gaang dalam suatu metafora:
masyarakat
memiliki
fauna dalam makna
metafora
metaforis
Bahasa
Sunda:
“Loba
ari
pio-
mongeun téa mah, ngan beurat rék kedal téh. Jep jempé lir gaang katCopyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 145
incak” (Rahmat Cijulang, Payung
konstituen yang muncul, yaitu penutur
Butut, 36)
(S1), konsumen teks (S2), mitra tutur/
Bahasa Indonesia: banyak hal yang
pembaca (S3), objek yang diacu/dirujuk
harus
berat
atau masalah yang dibicarakan (O). Dalam
rasanya untuk diungkapkan, lebih
dialog metafora di atas, konstituen penutur
baik diam seperti gaang.
(S1) diduduki oleh orang tua (generasi tua)
dibicarakan,
tetapi
Data di atas merupakan suatu
kepada konsumen teks (S2) orang yang
dengan
lebih muda. Dengan demikian dapat disim-
(anjing
pulkan bahwa metafora di atas merupakan
tanah). Leksikon dimaksud menjadi simbol
tuturan yang diujarkan oleh orang tua
untuk mengungkapkan metafora Loba ari
kepada mitra tutur yang bisa terdiri dari
piomongeun téa mah, ngan beurat rék ked-
orang yang lebih muda atau setara dengan
al téh. Jep jempé lir gaang katincak.
penutur. Biasanya tuturan ini diujarkan
ungkapan
berwujud
menggunakan
Loba Banyak
metafora
leksikon
Ari Kalau
Piomongeun dibicarakan
Téa mah Ngan Penegas Hanya rék untuk lir seperti
gaang
oleh seseorang yang dengan terpaksa memilih
untuk
tidak
membicarakan
kejelekan seseorang kepada orang lain.
Beurat Susah
Dengan mengetahui jabaran di atas dapat
Kedal téh Dikeluarkan dari hati
Jep jempe Tertahan diam
Gaang Anjing tanah
Katincak Terinjak
ditarik kesimpulan bahwa metafora Loba ari piomongeun téa mah, ngan beurat rék kedal téh. Jep jempé lir gaang katincak bisa muncul pada 3 (tiga) lingkungan TOPOS ( ruang, tempat dan waktu), yaitu (1) waktu dimana seseorang yang lebih tua
Artinya “ banyak kalau mau di bicarakan,
mengetahui
hanya susah untuk dikeluarkan dari hati,
seumuran atau lebih muda dari penutur ;
tertahan
tanah
(2) tempat dimana penutur berada dalam
terinjak”. Menyiratkan makna bahwa lebih
satu lingkungan bersama dengan orang tua/
baik diam seperti gaang daripada harus
seumur dengan penutur dan (3) waktu
membicarakan sesuatu yang tidak berkenan
dimana penutur merasa kecewa kepada
di hati. Dalam analisis model dialog ter-
objek pembicaraan. Ungkapan kekecewaan
hadap metafora Loba ari piomongeun téa
atas perilaku seseorang.
diam
seperti
anjing
kejelekan
seseorang
yang
mah, ngan beurat rék kedal téh. Jep jempé lir gaang katincak, ditemukan 4 (empat)
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 146
Bahasa Sunda: “Pan aya paribasa jalma eta lungguh jiga tutut ” (Kiblat Buku Utama, 2001, Dina kalangkang Panjara, 150).
Gambar 2. Tutut/ Keong Sawah/ Pila ampullacea Hewan bercangkang ini dikenal pu-
la sebagai keong sawah/tutut. Bentuk keong
sawah
agak
menyerupai
siput
Pan Kan (penega s)
aya ada
Paribasa peribahasa
Jalma Orang
eta itu
Lungguh pendiam
Jiga Seperti
Tutut Keong sawah
murbai, masih berkerabat, tetapi keong sawah memiliki warna cangkang hijau pekat sampai hitam. Tutut termasuk dalam kelompok Operculata yang hidup di perairan dangkal yang berdasar lumpur serta ditumbuhi rerumputan air, dengan aliran air yang lamban, misalnya sawah, rawa-rawa, pinggir danau dan pinggir sungai kecil. Tutut bagi masyarakat sunda adalah hama untuk tanaman padi tetapi disisi lain tutut adalah bahan pangan yang digemari oleh masyarakat sunda. Dalam budaya masyarakat
sunda
tutut
di
ibaratkan
seseorang yang terlihat pendiam tetapi kenyataanya prilakunya bertolak belakang karena
dalam
kenyataan
walau
tutut
berjalannya sangat lambat tetapi satu petak sawah akan dapat dikelilinginya. Leksikon tutut ini termasuk dalam kelompok nomina dan ketika digunakan dalam metafora menjadi kelompok adjektiva. Berikut con-
toh penggunaan leksikon tutut dalam suatu metafora:
Artinya “ Ada peribahasa orang itu pendiam seperti keong sawah”
Bahasa Indonesia: ada peribahasa orang itu sifatnya pendiam seperti tutut. Data di atas merupakan suatu
ungkapan
berwujud
menggunakan
metafora
leksikon
tutut
dengan (keong
sawah). Leksikon dimaksud menjadi sim-
bol untuk mengungkapkan metafora Pan aya paribasa lungguh jiga tutut yang menyiratkan
makna
bahwa
orang
yang
menjadi objek pembicaraan seseorang yang terlihat
pendiam
tapi
sebenarnya
kebalikannya. Dalam analisis model dialog terhadap metafora Pan aya paribasa lungguh jiga tutut, ditemukan 4 (empat) konstituen yang muncul, yaitu penutur (S1), konsumen teks (S2), mitra tutur/ pembaca (S3), objek yang diacu/dirujuk
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 147
atau masalah yang dibicarakan (O). Dalam
Gambar 3. Belut/ Lindung/ Monopterus
dialog metafora di atas, konstituen penutur
albus
(S1) diduduki oleh orang tua (generasi tua)
Belut sawah/ lindung (Monopterus
kepada konsumen teks (S2) orang yang
albus) adalah sejenis ikan anggota suku
lebih muda. Ungkapan ini dituturkan
Synbranchidae (belut), ordo Synbranchii-
seseorang yang kesal melihat orang muda
formes, Secara ekologi, belut bisa dijadikan
yang tidak punya inisiatif sendiri hanya
indikator pencemaran lingkungan karena
menunggu perintah dari orang lain. Dengan
hewan ini mudah beradaptasi. Lenyapnya
demikian dapat disimpulkan bahwa meta-
belut menandakan kerusakan lingkungan
fora di atas merupakan tuturan yang
yang sangat parah. Belut adalah predator
diujarkan oleh orang tua kepada mitra tutur
ganas
yang bisa terdiri dari orang yang lebih
tubuhnya menyerupai tabung yang licin,
muda atau setara dengan penutur. Tuturan
tanpa sisik
ini diujarkan biasanya oleh seseorang yang
Belut bagi masyarakat sunda adalah bahan
tidak menyukai orang lain karena dia
pangan yang digemari oleh masyarakat
mengetahui sifat sebenarnya orang yang
sunda selain itu juga belut digunakan
dijadikan objek pembicaraan . Dengan
dalam upacara adat 7(tujuh) bulanan
mengetahui jabaran di atas dapat ditarik
diharapkan proses kelahiran bayi mereka
kesimpulan bahwa metafora Pan aya
lancar seperti belut yang memiliki kulit
paribasa lungguh jiga tutut bisa muncul
yang licin. Leksikon belut ini termasuk da-
pada 3 (tiga) lingkungan TOPOS (ruang,
lam
tempat dan waktu), yaitu (1) waktu dimana
digunakan
dalam
seseorang yang lebih tua mengetahui
kelompok
adjektiva.
kejelekan seseorang yang seumuran atau
penggunaan leksikon belut dalam suatu
lebih muda dari penutur; (2) tempat tinggal
metafora
dilingkungan
kelompok
sawah.
nomina
dan
metafora Berikut
Bentuk
ketika menjadi contoh
penutur berada dalam satu lingkungan bersama dengan orang tua/seumur dengan
Bahasa Sunda: “Nepi ka belut buluan
penutur dan (3) waktu dimana penutur
oge moal kagantian ” (ahmad bakri,
tidak menyukai sikap orang kepada objek
1988, Asmaramurka, 128)
pembicaraan.
Nepi Sampai buluan berbulu kagantian tergantika n
ka saat Oge Juga
Belut Lindung moal Tidak
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 148
Bahasa
Indonesia:
sampai
belut
berbulu tidak akan tergantikan. Data di atas merupakan suatu ungkapan
berwujud
metafora
dengan
kagantian bisa muncul pada 3 (tiga) lingkungan TOPOS ( ruang, tempat dan waktu), yaitu (1)waktu dimana seseorang mengungkapkan
kepercayaanya
kepada
menggunakan leksikon belut (lindung).
seseorang ; (2) tempat dimana penutur
Leksikon dimaksud menjadi simbol untuk
dihadapkan dalam pilihan dan (3) waktu
mengungkapkan metafora Nepi ka belut
dimana penutur sangat menyukai dan
buluan oge moal kagantian yang menyirat-
mempercayai orang yang menjadi objek
kan makna bahwa sampai belut berbulu
pembicaraan.
berarti sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Dalam analisis model dialog terhadap metafora Nepi ka belut buluan oge moal kagantian, ditemukan 4 (empat) konstituen yang muncul, yaitu penutur (S1), kon-
Gambar 4. Lentah/ Lintah/ Hirudinea
sumen teks (S2), mitra tutur/pembaca (S3),
Lintah dan pacet
objek yang diacu/dirujuk atau masalah yang dibicarakan (O). Dalam dialog metafora di atas, konstituen penutur (S1) diduduki oleh orang dewasa kepada konsumen teks (S2) orang yang seumuran. Ungkapan ini dituturkan untuk meyakinkan orang lain bahwa dia tidak akan berubah pikiran
sampai
kapan
pun.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa metafora di atas merupakan tuturan yang diujarkan oleh seseorang kepada mitra tutur bahwa
dia
tidak
akan
merubah
pendiriannya sampai kapanpun. Tuturan ini diujarkan biasanya oleh seseorang yang menyukai orang lain yang menjadi objek pembicaraan . Dengan mengetahui jabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa metafora Nepi ka belut buluan oge moal
adalah hewan yang tergabung dalam filum Annelida subkelas Hirudinea. Terdapat jenis lintah yang dapat hidup di daratan, air tawar, dan laut. Seperti halnya kerabatnya Oligochaeta, mereka memiliki klitelum untuk menyimpan telur-telur pada segmensegmen tertentu. Lintah hidup di air, se-
dangkan pacet melekat pada daun atau batang pohon (di luar air) . Léntah digunakan
bagi sebagai
masyarakat pengobatan
sunda bagi
beberapa penyakit. Leksikon léntah ini termasuk dalam kelompok nomina dan ketika digunakan dalam metafora menjadi léntah (eun) ditambahan suffix – eun menjadi
bentuk
adjektiva.
Berikut
contoh
penggunaan leksikon léntah dalam suatu metafora.
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 149
Bahasa Sunda : “ngadadak ceuli
dialog metafora di atas, konstituen penutur
léntaheun
kuping
(S1) diduduki oleh orang dewasa kepada
caritana
konsumen teks (S2) orang yang seumuran.
” (Proyek penerbitan buku sastera
Dengan demikian dapat disimpulkan bah-
indonesia dan daerah, Depdikbud
wa metafora di atas merupakan tuturan
1983, Babu Kajajadén, 25).
yang diujarkan oleh seseorang kepada
nandean
kuring
pasang
cécérétan
Ngadadak
ceuli
mendadak
telinga
Kuring saya
pasang pasang
léntaheu n Seperti lintah kuping Telinga
mitra
tutur
bahwa
dia
sangat
ingin
mengetahui cerita seseorang. Tuturan ini diujarkan biasanya oleh seseorang yang mau tau urusan orang lain yang menjadi objek pembicaraan . Dengan mengetahui jabaran di atas dapat ditarik kesimpulan
nandean menampung
Cécéréta n Percikan
caritana ceritanya
Bahasa Indonesia: mendadak pasang telinga (ingin tau) mendengarkan celotehan ceritanya.
Data di atas merupakan suatu ungkapan berwujud metafora dengan menggunakan leksikon léntah (lintah). Leksikon dimaksud menjadi simbol untuk mengungkapkan metafora ngadadak ceuli léntaheun kuring
pasang kuping nandean cécérétan caritana yang menyiratkan makna bahwa ingin menyerap atau mengetahui alur cerita
bahwa metafora ngadadak ceuli léntaheun kuring pasang kuping nandean cécérétan caritana bisa muncul pada 3 (tiga) ling-
kungan TOPOS ( ruang, tempat dan waktu), yaitu (1) waktu dimana seseorang mengungkapkan yang sangat ingin tau cerita
seseorang;
(2)
tempat
dimana
penutur tertarik kepada cerita dari orang yang menjadi objek pembicaraan dan (3) waktu dimana penutur bersama orang lain membicarakan
seseorang.
Objek
pembicaraan biasanya bercerita tentang kejelekan orang lain.
seseorang. Dalam analisis model dialog terhadap
metafora
ngadadak
ceuli
léntaheun kuring pasang kuping nandean cécérétan caritana, ditemukan 4 (empat) konstituen yang muncul, yaitu penutur
Gambar 5. Munding/ Kerbau/ Bubalus bubalis
(S1), konsumen teks (S2), mitra tutur/
Kerbau adalah binatang memamah biak
pembaca (S3), objek yang diacu/dirujuk
yang menjadi ternak bagi banyak negara
atau masalah yang dibicarakan (O). Dalam
terutama di Asia. Kerbau dapat hidup
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 150
dengan efisien dalam masa kekurangan pa-
Leksikon dimaksud menjadi simbol untuk
kan, yang menyebabkan hewan ini tahan
mengungkapkan metafora munding dicekel
hidup. Kerbau biasa digunakan untuk
dadungna jalma dicekel omongana yang
membajak sawah, karena mereka dapat
menyiratkan makna bahwa Orang di
bergerak di atas lumpur jauh lebih baik da-
pegang janjinya jadi tidak boleh melupakan
ripada sapi.
janjinya. Dalam analisis model dialog ter-
Munding
bagi
sunda
hadap metafora munding dicekel dadungna
digunakan sebagai penarik alat untuk
jalma dicekel omongana, ditemukan 4
membajak sawah juga digunakan sebagai
(empat) konstituen yang muncul, yaitu
alat
Leksikon
penutur (S1), konsumen teks (S2), mitra
Munding ini termasuk dalam kelompok
tutur/pembaca (S3), objek yang diacu/
nomina
dalam
dirujuk atau masalah yang dibicarakan (O).
metafora menjadi bentuk adjektiva. Berikut
Dalam dialog metafora di atas, konstituen
contoh penggunaan leksikon léntah dalam
penutur (S1) diduduki oleh orang tua kepa-
suatu metafora:
da konsumen teks (S2) orang yang lebih
transpotasi dan
masyarakat
tradisional.
ketika
digunakan
muda. Dengan demikian dapat disimpulkan
Bahasa Sunda: “munding dicekel
bahwa metafora di atas merupakan tuturan
dadungna jalma dicekel omonganna
yang diujarkan oleh orang tua bahwa kita
” (ahmad bakri, 1988, Asmaramurka,
sebagai manusia harus bisa menepati janji
40).
tidak boleh ingkat. Tuturan ini diujarkan
Munding Kerbau
dicekel dipegang
dadungna tanduknya
biasanya nasehat kepada orang yang lebih muda. Dengan mengetahui jabaran di atas dapat
jalma
dicekel
orang
dipegang
omongann a Omongann ya
bahwa
metafora
munding dicekel dadungna jalma dicekel omongana bisa muncul pada 3 (tiga) lingkungan TOPOS ( ruang, tempat dan
Bahasa Indonesia: kerbau di pegang
waktu), yaitu (1) waktu dimana seseorang
dadungna (tali yang di ikatkan di
mendapatkan nasehat dari orang yang lebih
lubang hidungnya) kalau orang di
tua; (2) tempat dimana penutur mengetahui
pegang janjinya.
bahwa mitra tutur pernah ingkar janji dan
Data di atas merupakan suatu ungkapan
disimpulkan
berwujud
metafora
dengan
(3)
waktu
dimana
penutur
memiliki
kedekatan dengan mitra tutur.
menggunakan leksikon munding (kerbau).
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 151
Bahasa
Indonesia:
kalau
ingin
selamat kita harus seperti kodok ketika mengucapkan sesuatu tidak Gambar 6. Bangkong/ Kodok/ Fejervarya cancrivora
menarik kembali ucapan kita sendiri. Data di atas merupakan suatu ungkapan berwujud metafora dengan menggunakan
Kodok sawah ialah sejenis katak
leksikon bangkong (kodok). Leksikon di-
yang banyak hidup di sawah, rawa, parit,
maksud
selokan, sampai ke rawa bakau.
Nama
mengungkapkan metafora Pangsalametna
ilmiahnya Fejervarya cancrivora, dalam
lamun urang milu ngabuntut bangkong
bahasa Inggris dikenal sebagai marsh frog,
yang menyiratkan makna bahwa Orang di
rice-field frog atau crab eating frog; nama
pegang ucapannya jadi tidak boleh menarik
yang terakhir diberikan karena kegemaran
kembali apa yang sudah diucapkan. Dalam
kodok ini memangsa ketam sawah.
analisis model dialog terhadap metafora
Bangkong adalah hewan yang dikenal
menjadi
Pangsalametna
simbol
lamun
untuk
urang
milu
oleh masyarakat sunda banyak terdapat di
ngabuntut bangkong , ditemukan 4 (empat)
daerah persawahan. Leksikon bangkong ini
konstituen yang muncul, yaitu penutur
termasuk dalam kelompok nomina dan
(S1), konsumen teks (S2), mitra tutur/
ketika digunakan dalam metafora menjadi
pembaca (S3), objek yang diacu/dirujuk
bentuk
contoh
atau masalah yang dibicarakan (O). Dalam
penggunaan leksikon bangkong dalam sua-
dialog metafora di atas, konstituen penutur
tu metafora
(S1) diduduki oleh orang tua kepada kon-
adjektiva.
Bahasa
lamun
Berikut
Sunda:
urang
“Pangsalametna
milu
sumen teks (S2) orang yang lebih muda.
ngabuntut
Dengan demikian dapat disimpulkan bah-
bangkong ” (Ajip Rosidi, 1996,
wa metafora di atas merupakan tuturan
Pancakaki, 202).
yang diujarkan oleh orang tua bahwa kita
Pangsalam etna Paling selamat
lamun
Urang
kalau
kita
milu
ngabuntu t seperti
ikut
sebagai manusia harus bisa bertanggung jawab atas apa yang telah di ucapkan. Tuturan ini diujarkan biasanya nasehat kepada orang yang lebih muda. Dengan
Bangkong Kodok
mengetahui jabaran di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa
Pangsalametna
lamun
metafora urang
milu
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 152
pula. Dalam analisis model dialog terhadap metafora angeun sapariuk karagragan tai beurit hiji , ditemukan 4 (empat) konstituen Gambar 7. Beurit/ Tikus/ Rattus argen-
yang muncul, yaitu penutur (S1), kon-
tiventer
sumen teks (S2), mitra tutur/pembaca (S3),
Rattus argentiventer adalah tikus
objek yang diacu/dirujuk atau masalah
yang mudah dijumpai di pedesaan dan
yang dibicarakan (O). Dalam dialog meta-
perkotaan dipenjuru Asia. Tikus menyukai
fora di atas, konstituen penutur (S1)
persawahan, ladang, dan padang rumput,
diduduki oleh orang tua kepada konsumen
tempat
makanan
teks (S2) orang yang lebih muda. Dengan
kesukaannya yaitu bulir padi, jagung atau
demikian dapat disimpulkan bahwa meta-
rumput. Ia membuat sarang di tanah, di
fora di atas merupakan tuturan yang
bawah batu, atau di dalam sisa-sisa kayu.
diujarkan oleh orang tua bahwa kita
Hewan ini termasuk musuh bagi petani
sebagai manusia harus bisa menjaga nama
Beurit terkenal sebagai salah satu hama
baik
disawah, masyarakat sunda menjadikan
biasanya nasehat kepada orang yang lebih
Beurit sebagai sesuatu yang bermakna
muda. Dengan mengetahui jabaran di atas
negatif.
dapat ditarik kesimpulan bahwa metafora
ia
Salah
memperoleh
satu
metafora
yang
keluarga.
Tuturan
ini
diujarkan
menggunakan leksikon beurit adalah:
angeun sapariuk karagragan tai beurit hiji
Bahasa Sunda : “angeun sapariuk
bisa muncul pada 3 (tiga) lingkungan TOP-
karagragan tai beurit hiji ” (Anonim)
OS (ruang, tempat dan waktu), yaitu (1)
angeung
sapariuk
Sayur
Sepanci
Karagrag an kejatuhan
tai kotoran
beurit tikus
hiji Satu
Bahasa Indonesia : sayur satu panci
waktu dimana seseorang mendapatkan nasehat dari orang yang lebih tua; (2) tempat dimana penutur mengenal mitra tutur suka dengan baik dan (3) waktu dimana
penutur
memiliki
kedekatan
dengan mitra tutur.
kejatuhan satu kotoran tikus Leksikon dimaksud menjadi simbol untuk mengungkapkan metafora angeun sapariuk
karagragan tai beurit hiji yang menyiratkan makna bahwa kejelekan dari satu orang
Gambar 8. Keyeup/ Kepiting/ Brachyura
berakibat seluruh keluarga di pandang jelek Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 153
Kepiting adalah binatang anggota krustasea
diacu/dirujuk
berkaki sepuluh dari bangsa (infraordo)
dibicarakan (O). Dalam dialog metafora di
Brachyura, yang dikenal mempunyai "ekor"
atas, konstituen penutur (S1) diduduki oleh
yang sangat pendek. Tubuh kepiting dilin-
orang tua kepada konsumen teks (S2)
dungi oleh cangkang yang sangat keras,
orang yang lebih muda. Dengan demikian
tersusun
dipersenjatai
dapat disimpulkan bahwa metafora di atas
dengan sepasang capit. Ketam adalah nama
merupakan tuturan yang diujarkan oleh
lain bagi kepiting penghuni perairan tawar.
orang tua bahwa kita semua adalah
Keuyeup dijadikan masyarakat sunda
manusia biasa tidak dibedakan oleh jabatan
sebagai salah bahan pangan yang disukai.
atau apapun itu. Tuturan ini diujarkan
Salah satu metafora yang menggunakan
biasanya nasehat kepada orang yang lebih
leksikon keuyeup adalah :
muda. Dengan mengetahui jabaran di atas
Bahasa Sunda : “Nya di hurang nya
dapat ditarik kesimpulan bahwa metafora
di keuyeup ” (Anonim) .
Nya di hurang nya di keuyeup bisa muncul
dari
kitin,
Nya Ada
dan
Di hurang Pada udang
nya ada
masalah
yang
pada 3 (tiga) lingkungan TOPOS (ruang,
tempat dan waktu), yaitu (1) waktu dimana seseorang mendapatkan nasehat dari orang
Di keyeup Pada kepiting
atau
yang lebih tua; (2) tempat dimana penutur memiliki dengan mitra tutur dan (3) waktu
Bahasa Indonesia : ada pada udang,
dimana penutur berharap untuk merubah
ada
pola pikir mitra tutur.
pada
kepiting
(sama-sama
binatang) Leksikon dimaksud menjadi simbol untuk mengungkapkan metafora Nya di hurang nya di keuyeup yang menyiratkan
Gambar 9. Orai/ Ular/ Pythonidae
makna bahwa Dalam hal perasaan senang maupun tidak senang, baik rakyat ataupun
Oray/ular sawah adalah salah satu
pejabat sama saja hanya manusia biasa. Da-
hewan dalam kelas Pythonidae yang hidup
lam analisis model dialog terhadap meta-
di lingkungan sawah. Ular sawah me-
fora Nya di hurang nya di keuyeup ,
mangsa tikus, kadal, kodok bahkan anak
ditemukan 4 (empat) konstituen yang mun-
kodok/buruy. Ular sawah tidak mempunyai
cul, yaitu penutur (S1), konsumen teks
racun
(S2), mitra tutur/pembaca (S3), objek yang
bahkan mengkonsumsinya sebagai obat ku-
dalam
bisanya
beberapa
orang
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 154
lit.
diujarkan oleh orang tua bahwa kita harus Oray adalah salah satu pembasmi
hama
tikus
di
dan
dalam
berperilaku
dan
sebagian
bertindak. Tuturan ini diujarkan biasanya
masyarakat sunda mengkonsumsi oray
nasehat kepada orang yang lebih muda.
sebagai bahan pangan yang disukai. Salah
Dengan mengetahui jabaran di atas dapat
satu metafora yang menggunakan leksikon
ditarik kesimpulan bahwa metafora oray
oray adalah.
nyamperkeun paneungeul bisa muncul pa-
Bahasa Sunda : “oray nyamperkeun
da 3 (tiga) lingkungan TOPOS ( ruang,
paneungeul ” (Anonim)
tempat dan waktu), yaitu (1) waktu dimana
Oray
sawah
berhati-hati
seseorang mendapatkan nasehat dari orang
nyampeurkeun
yang lebih tua; (2) tempat dimana penutur mengetahui mitra tutur sangat ceroboh
Mendekati
Ular
dalam bertindak dan (3) waktu dimana
paneungeul
penutur memiliki hubungan dengan dengan
Pemukulnya
mitra tutur.
Leksikon dimaksud menjadi simbol untuk
mengungkapkan
metafora
oray
nyamperkeun paneungeul yang menyiratkan makna bahwa kita harus hati-hati jangan sampai mendekati sesuatu yang membahayakan. Dalam analisis model dia-
Gambar 10. Bueuk/ Burung hantu/ Strigiformes
log terhadap metafora oray nyamperkeun
Burung hantu adalah kelompok
paneungeul, ditemukan 4 (empat) konstituen yang muncul, yaitu penutur (S1), konsumen teks (S2), mitra tutur/pembaca (S3), objek yang diacu/dirujuk atau masalah yang dibicarakan (O). Dalam dialog metafora di atas, konstituen penutur (S1) diduduki oleh orang tua kepada konsumen teks (S2) orang yang lebih muda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metafora di atas merupakan tuturan yang
burung yang merupakan anggota ordo Strigiformes. Burung ini termasuk golongan burung buas (karnivora, pemakan daging)
dan
merupakan
hewan
malam
(nokturnal). Burung hantu berburu aneka binatang seperti serangga, kodok, tikus, dan lain-lain yang berada di daerah pertanian
seperti sawah. Bueuk sama seperti Oray adalah salah satu pembasmi hama tikus di sawa. Salah satu
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 155
metafora
yang
menggunakan
leksikon
Dengan mengetahui jabaran di atas dapat
bueuk adalah:
ditarik kesimpulan bahwa metafora ngeluk
Bahasa Sunda : “ngeluk baé kawas
baé kawas bueuk beunang mabuk bisa
bueuk beunang mabuk ” (Ahmad
muncul pada 3 (tiga) lingkungan TOPOS
Bakri, 2002, Dukun Lepus, 396 )
( ruang, tempat dan waktu), yaitu (1) waktu
ngeluk menundu k bueuk Burung hatu
bae saja
kawas seperti
beunang seperti
mabuq Kena pukul
dimana seseorang mendapatkan nasehat dari orang yang lebih tua; (2) tempat
dimana penutur mengetahui kesalahan dari mitra tutur dan (3) waktu dimana penutur memiliki hubungan dengan dengan mitra
Bahasa Indonesia : menunduk saja
tutur.
seperti burung terkena pukul Leksikon dimaksud menjadi simbol untuk
DIMENSI PRAKSIS SOSIAL
mengungkapkan
baé
Dilihat dari analisi model dialog diatas
kawas bueuk beunang mabuk yang me-
dapat dianalisa bahwa pembentukan meta-
nyiratkan makna bahwa seseorang tidak
fora yang terdapat dalam bahasa sunda, ter-
bisa mengelak dari perbuatannya yang
jadi oleh adanya proses pemetaan silang
memang salah . Dalam analisis model dia-
melalui parameter ekolinguistik. Proses
log terhadap metafora ngeluk baé kawas
pemetaan silang disebabkan oleh adanya
bueuk beunang mabuk , ditemukan 4
kedekatan ciri atau karakter biologis yang
(empat) konstituen yang muncul, yaitu
dimiliki oleh ranah sumber dan ranah tar-
penutur (S1), konsumen teks (S2), mitra
get, khususnya antara masyarakat Sunda
tutur/pembaca (S3), objek yang diacu/
dengan
dirujuk atau masalah yang dibicarakan (O).
memiliki fauna yang beranekaragam,yang
Dalam dialog metafora di atas, konstituen
kemudian terekam secara verbal yang se-
penutur (S1) diduduki oleh orang tua kepa-
terusnya terpola dalam tataran dimensi
da konsumen teks (S2) orang yang lebih
praksis sosial (ideologis, biologis, dan so-
muda. Dengan demikian dapat disimpulkan
siologis) dalam pandangan penutur mau-
bahwa metafora di atas merupakan tuturan
pun mitra tutur dan hubungan antara
yang diujarkan oleh orang tua yang marah
keduanya.
metafora
ngeluk
lingkungan
persawahan
yang
kepada orang muda yang melakukan kesalahan dan tidak bisa membela diri
4. SIMPULAN
karena
Dari pembahasan diatas bias ditarik kes-
sudah
diketahui
kesalahannya.
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No.1 April 2016, 156
impulan bahwa dalam guyub tutur sunda sangat dekat dengan alam khususnya fauna, hal ini bisa dilihat dari kemunculan leksikon-leksikon fauna dalam metafora yang digunakan dalam pepatah ataupun pemberian nasehat orang tua kepada orang yang lebih muda. Metafora yang diungkap-
Mbete, Aron Meko. 2009. “Refleksi Ringan Tentang Problemantika Keetnikan dan Kebahasaan dalamPerspektif Ekolingistik”. Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III, USU Medan, 25 April 2009 Umiyati, Mirsa. 2011, International seminar “Language maintenance and shift”, Juli 02, 2011,Ketahanan khazanah lingual pertanian guyub tutur bahasa bima dalam perspektif ekolinguistik kritis.
kan dapat dianalisa oleh dimensi praksis sosial, dimana dari hasil analisa tersebut kita bisa mengetahui karakter penutur, karakter mitra tutur dan hubungan antara penutur dan mitra tutur dengan lingkungan alam sekitarnya khususnya dalam tulisan ini hubungannya dengan fauna.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis sampaikan kepada Mitra Bebestari atas masukan-masukan untuk perbaikan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA Agus Subiyanto, 2013, Ekolinguistik: model analisis dan penerapannya, [online] Dapat diakses lewat situs : www. portalgaruda.org Ajip Rosidi, 2004, Babasan & Paribasa Kabeungharan Basa Sunda 1, Kiblat Buku Utama, Bandung Ajip Rosidi, 2009, Babasan & Paribasa Kabeungharan Basa Sunda 2, Kiblat Buku Utama, Bandung Bang, J.Chr. dan Door, J. (1993). Eco- Linguistics: A Framework. [online] Dapat Di akses lewat situs: www.jcbang.dk/main/ ecolinguistics/ Ecoling_AFramework1993.pdf Haugen, E. (1972). “The Ecology of Language”. dalam Dil, A.S. (ed) The Ecology of Language: Essays by Einar Haugen. Stanford: Stanford University Press
Copyright © 2016, RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, P-ISSN: 2406-9019, E-ISSN: 2443-0668