REKLAMASI HUTAN BEKAS PERTAMBANGAN TIMAH DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ilmu Lingkungan Dosen Dr.Tien Aminatun
Ricky Romadhoni NIM: 11312241005
PRODI PENDIDIKAN IPA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013
BAB I PENDAHULUAN
Pembangunan memerlukan sumber daya alam (SDA), antara lain mineral, batubara dan panas bumi. Indonesia relatif kaya dengan berbagai SDA yang harus dioptimalkan pemanfaatannya. Salah satu sumber daya mineral yang dimiliki Indonesia adalah biji timah dengan kandungan stannum (Sn). Menurut Noer dalam Ismed (2010), kasiterit (SnO) adalah mineral utama pembentuk timah dengan batuan pembawanya adalah granit. Endapan timah di Indonesia merupakan salah satu rangkaian jalur timah terkaya di dunia yang membujur dari Cina Selatan, Myanmar, Thailand, Malaysia, hingga Indonesia. Di Indonesia jalur timah tersebut meliputi pulau-pulau Karimun, Kundur, Singkep, Bangka, Belitung, Beling, dan daerah Bangkinang serta Kepulauan Anambas, Natuna dan Karimata. Penambangan timah terbesar berada di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT. Timah Tbk dalam Ismed.2010). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Sampai dengan tahun 2009, luas total kuasa penambangan (KP) timah di Pulau Bangka 374.057,59 ha atau sekitar 35% dari luas daratan Pulau Bangka. Dari luas izin penambangan tersebut, 330.664,09 ha dimiliki PT. Tambang Timah dan 41.680,30 ha PT. Koba Tin (www. babelprov.go. id) dan sisanya dimiliki perusahaan swasta lain dan tambang rakyat. Sampai dengan pertengahan tahun 2007, jumlah KP timah mencapai 101 izin dengan luas pencadangan 320.219 ha, dan yang telah ditambang 6.084 ha (Dinas Pertambangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dalam Ismed.2010). Kawasan hutan sering dijadikan lahan pertambangan yang tentu saja memiliki dampak positif dan negatif. Lahan pertambangan akan berdampak positif apabila perusahaan yang melakukan penambangan mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah setempat. Selain itu, pertambangan akan berdampak negatif apabila tidak mengikuti aturan-aturan yang telah ada dan melibatkan kepentingan pihak-pihak tertentu. Bahkan, yang paling mengkhawatirkan jika terjadinya penambangan ilegal dan kasus ini dari waktu ke waktu mulai banyak terjadi.
BAB II PEMBAHASAN
A. Hutan yang menjadi Sasaran Para Penambang Kebijakan pemerintah mengizinkan kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung dan konservasi, mempercepat “kiamat” Indonesia. Industri ini akan mengubah hamparan hutan Indonesia menjadi padang pasir dengan lubang-lubang beracun. Kondisi seperti ini mengancam umat manusia secara global. Meski luas daratan wilayah Indonesia hanya 1,3 persen dari luas daratan dunia, namun memiliki 10% keanekaragaman hayati flora dunia, 12% jumlah mamalia, 17% reptil dan binatang amphibi serta 17% spesies burung dunia sebagai keanekaragaman hayati fauna dunia. Kekayaan dan keanekaragaman hayati itu kini telah banyak menghilang, bahkan dengan laju yang kian cepat seiring hancurnya ekosistem hutan. Setidaknya 72% hutan asli Indonesia telah musnah. Studi Bank Dunia terbaru menyebutkan bahwa tingkat laju penurunan hutan (deforestasi) di Indonesia mencapai luas 2 juta hektar per tahun sejak tahun 1996. Laju hilangnya hutan di Indonesia cukup mencemaskan. Selama tahun 1985-1997, sekitar 30% dari lahan kehutanan yang ada di Sumatera telah hilang. Di Kalimantan 21% hutan yang ada juga hilang dalam kurun waktu yang sama. Pada tahun 1997, hanya sekitar 35% pulau Sumatera dan 60% Kalimantan masih ditutupi hutan masing-masing seluas 16,6 dan 35,1 juta ha. B. Dampak Penambangan Timah di Pulau Bangka Kerusakan akibat penambangan timah di Pulau Bangka semakin meningkat terutama sejak berkembangnya penambangan inkonvensional. Sebelum tahun 1998, penggalian tanah untuk menambang timah dan menjualnya adalah suatu kejahatan karena komoditi timah termasuk komoditi strategis yang perdagangannya terbatas. Kondisi semacam itu berlangsung terus-menerus sampai terjadinya krisis ekonomi tahun 1998. Bupati Bangka meminta PT Timah Tbk mengizinkan masyarakat menambang disebagian wilayah kuasa penambangan (KP) yang sudah ditinggalkan. Sebagai timbal baliknya dan untuk memenuhi ketentuan mengenai barang tambang strategis, masyarakat harus menjual pasir timahnya hanya kepada PT Timah. Semenjak saat itu dikenal istilah tambang inkonvensional. Disebut sebagai tambang inkonvensional karena metode penambangannya tidak seperti penambangan terbuka (open mining), tetapi hanya dengan mesin penyedot tanah dan air. Penambangan skala kecil seperti itu dapat dibuka hanya dengan modal sekitar Rp 15 juta. Kegiatan TI tersebut menjadi semakin marak sejak dikeluarkannya SK Menperindag Nomor. 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal
22 April 1999 bahwa Timah dikategorikan sebagai barang bebas (tidak diawasi) dan pencabutan status timah sebagai komoditas strategis, sehingga tidak dimonopoli lagi oleh satu BUMN dan dapat dieskpor secara bebas (www.bangka.go.id). Dampak kegiatan penambangan timah baik tambang konvensional maupun inkonvensional terhadap lingkungan fisik berupa bertambahnya lahan kritis akibat berkurangnya hutan, rusaknya lahan pertanian dan kebun. Menurut hasil penelitian Bapedalda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2005), luas hutan di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung ± 690.092 Ha, seluas ± 97.159,10 Ha (14%) telah mengalami kerusakan. Sementara diperkirakan pada tahun 2010 sekitar 65 persen dari 657,510 hektar hutan di Babel sudah masuk kategori kritis, rusak dan sudah sangat memprihatinkan (antaranews.com, tanggal 23 Maret 2010). Lahan kritis yang terbentuk juga semakin meningkat, sampai tahun 2005 di Pulau Bangka seluas 464.673,71 Ha. Selain itu, dilaporkan juga bahwa semua sungai besar yang ada umumnya sudah tercemar terutama kekeruhan akibat partikel tanah dari pencucian pasir timah yang mengalir ke sungai-sungai. Terbentuknya kolong (lubang bekas penggalian timah) menyebabkan perubahan topografi daratan yang semula kering menjadi tergenang. Jumlah kolong yang terdapat di Pulau Bangka dan Belitung sampai dengan tahun 2006 adalah 991 buah dengan luas total 4.637,85 ha (Bapedalda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2007). Berikut ini adalah tabel konsisi lahan bekas pertambanga timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung:
C. Kasus Pertambangan Timah Ilegal 1. Bangkapos.com, Belitung Para penambang di Dusun Aik Rembikang, Desa Air Seruk, Kecamatan Sijuk, kocarkacir. Operasional mesin-mesin ti ilegal, tidak sempat dimatikan lantaran penambang kabur saat tim penertiban Satpol PP Kabupaten Belitung, Selasa (16/4/2013) merazia tempat tersebut. Dalam razia tersebut dua set mesin TI disita tim sebagai barang bukti. Kepala Satpol PP Kabupaten Belitung Alkar mengatakan, pihaknya sudah sering mendapatkan informasi mengenai penambangan tersebut. Padahal sebelumnya, para penambang
itu
sebenarnya
sudah
pernah
ditertibkan
jajaran
Polsek
Sijuk.
"Sudah pernah ditertibkan Polsek Sijuk. Tapi kita tertibkan lagi, karena laporan masyarakat banyak yang masuk ke kita," kata Alkar kepada bangkapos.com (Pos Belitung), Selasa (16/4/2013). Sebelum penertiban Alkar menyebutkan sudah dilakukan pengintaian. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan kebenaran informasi yang masuk. "Setelah kita cek, ternyata memang ada aktivitas itu. Makanya kita tertibkan sesuai aturan yang berlaku," ungkapnya. Dijelaskannya, aktivitas penambangan di hutan desa ini sudah meresahkan masyarakat. Pasalnya, penambangan berada tidak jauh dari jalan raya Sijuk. 2. Bangkapos.com, Belitung Jajaran Polres Belitung sempat menetapkan enam tersangka yang merupakan pejabat PT Timah dalam kasus perambahan Hutan Produksi (HP) di Dusun Ulim, Desa Lasar, Membalong beberapa waktu lalu. Namun saat ini polisi hanya menetapkan empat tersangka saja. Diantarannya Kepala Wilayah Produksi (Kawilasi) PT Timah Belitung Muhammad Rizki, Pengawas Produksi (Wasprod) Syahroni, Pengawas Pertambangan (Wastam) Iwan Sari, General Manager (GM) Fujie Samekto serta dua mantan Kepala Kantor Kawilasi PT Timah Belitung, Setiawan Raharjo dan Fadina.
Namun saat ini kepolisian hanya menetapkan empat tersangka saja. Dua orang mantan Kawilasi PT Timah Setiawan Raharjo dan Fadina masih belum mempunyai status jelas dalam perkara ini. Polisi terus mengembangkan kasus ini termasuk untuk mengetahui keterlibatan dua mantan kawilasi ini."Sementara ini tersangka yang ditetap 4 orang, yang dua orang mantan Kawilasi masih abu-abu. Karena masih terkait dengan jabatan tertentu, apakah kita ajukan sebagai tersangka atau tidak," jelas Kapolres Belitung AKBP Dian Harianto kepada bangkapos.com, Senin (25/2/2013).
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa timah merupakan bahan tambang yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi sehingga banyak masyarakat yang menyukai profesi sebagai penambang. Hal ini berdampak positif seperti meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi, lebih banyak berdampak negatif seperti, penyusutan kawasan hutan untuk lahan penambangan, berkurangnya spesies-spesies makhluk hidup yang mempunyai habitat alami di hutan.
B. Solusi Berikut ini beberapa solusi yang dapat diberikan yaitu: 1. Reklamasi lahan bekas pertambangan dengan vegetasi yang mampu memulihkan kembali lahan tersebut. 2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan teknis karyawan atau penambang dalam menjaga kualitas lingkungan. 3. Menjadikan etika dan ketentuan mengenai kepedulian pelestarian lingkungan sebagai materi pokok dalam buku pedoman tata kelola perusahaan yang baik. 4. Mewajibkan mitra usaha tambang untuk mematuhi ketentuan praktek penambangan yang baik dan menjaga keselamatan saat bekerja.
DAFTAR PUSTAKA Ismed Inonu.2010. Pengelolaan Lahan Pascatambang Timah di Pulau Bangka: Sekarang dan Yang Akan Datang. Muntok. Diunduh dari: http://ismedinonu.ubb.ac.id. IPG. Ardhana.2009. Sinkronisasi Kegiatan Pertambangan Pada Kawasan Hutan. FMIPA UNUD. Diunduh dari: scholargoogle.com Bapedalda Provinsi Kepulauan BangkaBelitung, 2007 www. babelprov.go. id www.bangka.go.id www.bangkapos.com www.antaranews.com
LAMPIRAN