REHABILITASI SOSIAL UNTUK PENYALAHGUNA NAPZA DI YAYASAN KARYA PEDULI KITA TANGERANG SELATAN
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: ROUDHOTUL FIRDHA NIM: 1112054100036
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016
ABSTRAK Roudhotul Firdha. 1112054100036. Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan Karya Peduli Kita Tangerang Selatan. Dibawah bimbingan Ismet Firdaus, M.Si Permasalahan narkoba saat ini tidak mudah untuk ditangani karena antara produsen, pengedar, dan pengguna sulit untuk terdektesi. Anak-anak mulai dari usia 14 sampai 18 tahun yang merupakan usia rawan ingin mencoba narkoba. Sehingga peran rehabilitasi dalam pemulihan ketergantungan bagi penyalahguna narkotika sangat penting, baik rehabilitasi sosial ataupun medis karena semakin bertambahnya pecandu narkotika di Indonesia. Efektifitas rehabilitasi untuk memulihkan korban dari narkotika sangat diperlukan, mengingat sulitnya korban atau pengguna narkotika untuk dapat terlepas dari ketergantungan narkotika secara individu. Yayasan Karya Peduli Kita adalah tempat rehabilitasi sosial yang menyediakan program khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu, seperti program ganggguan penggunaan zat untuk remaja, wanita, eksekutif muda, orang dengan gangguan pesikologis,dll. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses rehabilitasi sosial dan bagaimana hasil rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan Kapeta bagi klien penyalahguna NAPZA. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan kualitatif jenis deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini merupakan kumpulan data dari wawancara, observasi dan studi dokumentasi yang diperoleh dari informan yang berjumlah 6 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses rehabilitasi sosial Yayasan Kapeta melalui beberapa fase, mulai dari fase rawat inap sampai dengan fase rawat jalan. Dalam rawat inap, diawal bulan klien dilakukan Asesmen kemudian diberikan rencana rawatan, pemahaman adiksi, kesehatan diri, di bulan kedua klien mulai mengembangkan rencana rawatan, lalu diberikan edukasi pemahaman tentang pemulihan, pendidikan kesehatan diri, diberikan keterampilan hidup dan pencegahan kekambuhan, kemudian di fase bulan ketiga ini adalah akhir dari rawat inap dimana klien sudah pada tahap pemantapan rencana rawatan, dengan diberikan terapi pencegahan kekambuhan, lalu ditambahkan dengan kelompok bantu diri, dan dialog untuk keluarga bersama YKPI (Yayasan Keluarga Pengasih Indonesia) kemudian dilanjutkan rencana rawat jalan, rawat jalan dilakukan selama 3 bulan sesuai dengan kebutuhan klien. Dalam tahap ini klien sudah boleh pulang ke rumah, dan hanya beberapa hari berada di tempat rehabilitasi. Kegiatan yang dilakukan selama rawat jalan tidak jauh berbeda dengan saat klien melakukan rawat inap, klien tetap mendapatkan konseling individu, terapi kelompok, mendapatkan kelompok dukungan, dan kelompok bantu diri, juga mendapatkan kegiatan vokasional setelah itu dilakukan asesmen kembali untuk mengetahui perkembangan yang didapat setelah menyelesaikan rawatan. Dan hasil dari rehabilitasi bisa dilihat dari niat klien itu sendiri apakah dirinya mau untuk berubah atau ada support system seperti keluarga tetapi tujuan Yayasan Kapeta ialah melakukan kondisi abstinen yaitu berpantang dari segala bentuk pemakaian dan penyalahgunaan zat serta alkohol. Kata Kunci : Rehabilitasi Sosial, Penyalahgunaan NAPZA, Yayasan Karya Peduli Kita.
i
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu Alhamdulillahirrabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan dan melimpahkan bentuk nikmat kepada penulis, nikmat jasmani, rohani, nikmat lahir dan batin, sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa pula penulis ucapkan kepada Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah menjadi suri tauladan bagi kita semua. Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menyadari masih banyak kekurangankekurangan ataupun kesalahan baik pada teknis penulisannya ataupun materinya, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu, kritik serta saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi menyempurnakan pembuatan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dari mulai proses penyusunan sampai dengan skripsi ini selesai. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA Selaku Dewan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Suparto, M. Ed, Ph. D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr. Roudhonah, MA selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum. Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan. 2. Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial, Hj. Nunung Khairiyah, MA selaku Sekretaris program Studi Kesejahteraan Sosial. Terima kasih atas bimbingannya. 3. Bapak Ismet Firdaus, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah membantu membimbing dan memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan waktu dan tenaganya dalam mendidik dan memberikan wawasan selama mengikuti perkulihahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Orang tuaku tercinta dan adikku, Bapak Hambali dan Ibu Yulianti dan Muhamad Farizi. Terimakasih tak terhingga untuk kasi sayang yang diberikan kepada penulis. Perhatian, do’a, motivasi, nasehat-nasehat berharga yang penulis dapat selama ini. Terimakasih, semoga Allah memberikan kesehatan, kebahagiaan dan berkah kepada keluarga kita. 6. Kepada seluruh pegawai dan petugas serta klien Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, terimakasih atas waktu dan izinnya sehingga penulis bisa melaksanakan penelitian ini. 7. Sahabatku Novita Amalia dan Pamela Nurul Khairani.S.E , Salwa Hayati. S.H, yang telah kurang lebih tujuh tahun ini menemani perjalanan hidup penulis dengan senyum, tawa dan motivasinya kepada penulis. 8. Dan sahabatku semasa sekolah di MAN 7 Jakarta, Rahmi Shidqiyah, Rica Fahmia. S,Pd. Dan Nurul Pratiwi yang telah memberikan semangat, do’a serta dukungan kepada penulis.
ii
9. 10.
11.
12. 13.
14.
Keluarga besar SAROJA dan keluarga besar dari Bapak yang selalu memberikan semangat, dukungan baik moril maupun materil selama ini. Ratna Wati dan Miftah Mawadah, S.Pd. Teman yang sudah menjadi keluarga, terimakasih telah memberikan semangat, keceriaan dan dukungan kepada penulis. Teman-teman seperjuangan skripsi Syarifah Malahayati, Nuni Nuraini, Dwi Hardianti, Rahmawati Agustini, Heni Purwati, Nurfauziah Safitri, Fahmi Islam yang telah berjuang bersama dan saling memotivasi selama mengerjakan skripsi. Teman-teman Kesejahteraan Sosial kelas B angkatan 2012 yang telah memberikan canda, tawa serta kebersamaan selama masa perkuliahan. Dan teman-teman angkatan 2012 Kesejahteraan Sosial yang telah memberikan warna baru selama perkuliahan, Terutama kepada Aisyah Rahma Utami.S.Sos dan Ira Rahmawati.S.Sos yang telah memberikan bantuan kepada penulis mulai dari mencari judul sampai selesai. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi dan perkuliahan.
Penulis juga berharap bahwa skripsi ini memberikan pengetahuan baru dan bermanfaat bagi penulis, mahasiswa Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, 10 Oktober 2016
Roudhotul Firdha
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………..…………………………………………………… i KATA PENGANTAR……...…………………………………………………... ii DAFTAR ISI……………….………………………………………………....... iv DAFTAR TABEL………….…………………………………………………... vi DAFTAR BAGAN………..……………………………………………………. vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………… 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………….. 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………….... 9 D. Metodologi Penelitian……………………………………………... 10 E. Sistematika Penulisan……………………………………………... 22 BAB II LANDASAN TEORI A. Rehabilitasi Sosial…………………………………………………. 24 1. Pengertian Rehabilitasi sosial………………………………… 24 2. Sarana dan Prasarana Rehabilitasi…………………………... 25 3. Rehabilitasi Korban Penyalahguna NAPZA………………… 28 4. Tahapan Rehabilitasi Sosial…………………………………... 30 5. Teori Kognitif-Perilaku……………………………………….. 31 6. Peran Pekerja Sosial…………………………………………... 32 7. Terapi Kelompok……………………………………………… 35 8. Instrument Yang Digunakan…………………………………. 36 9. Sumber-sumber Self-help……………………………………... 39 10. Ukuran Hasil…………………………………………………... 40 11. Teori Sistem Ekologi………………………………………….. 40 B. Penyalahguna NAPZA……………………………………………. 42 1. Pengertian Penyalahguna…………………………………….. 42 2. Akibat Penyalahguna…………………………………………. 43 3. Dampak dari Penyalahgunaan NAPZA……………………... 44 C. NAPZA……………………………………………………….......... 45 1. Pengertian NAPZA……………………………………………. 45 2. Jenis-jenis NAPZA…………………………………………….. 47 BAB III PROFIL LEMBAGA A. Latar Belakang Lembaga…………………………………………. 54 1. Sejarah Yayasan Kapeta……………………………………… 54 2. Visi dan Misi…………………………………………………… 55 3. Prosedur Penerimaan Klien…………………………………... 56 4. Alur Layanan………………………………………………….. 58 5. Struktur Organisasi…………………………………………… 59 6. Sarana dan Prasarana………………………………………… 60 7. Landasan Hukum……………………………………………... 60 8. Program Rehabilitasi………………………………………….. 61 iv
9. Kerjasama Lembaga…………………………………………... 62 BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS A. Proses Rehabilitasi Sosial…………………………………………. 63 B. Hasil Rehabilitasi Sosial…………………………………………... 89 C. Peran Pekerja Sosial………………………………………………. 93 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………………………………………………………… 96 B. Saran……………………………………………………………….. 98 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 99
v
DAFTAR TABEL DAN DAFTAR BAGAN Tabel 1. Subjek dan Informan............................................................................... 12 Bagan 1. Alur Layanan......................................................................................... 58 Bagan 2. Stuktur Organisasi.................................................................................. 59
vi
1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Saat ini tidak hanya kalangan menengah keatas atau artis saja yang menjadi
korban narkoba melainkan semua kalangan masyarakat sudah banyak yang menjadi korban dari obat terlarang ini, mulai dari kalangan pelajar/mahasiswa, sampai pekerja. Sekarang ini masyarakat menyebut obat terlarang itu dengan sebutan narkotika namun yang dimaksud narkotika itu sendiri adalah penggunaan narkoba dan psikotropika atau NAPZA (Narkotika,Psikotropika,dan Zat Adiktif). Narkotika adalah zat-zat (obat) baik dari alam atau sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Efek narkotika disamping membius dan menurunkan kesadaran adalah mengakibatkan daya khayal/halusinasi (ganja), serta menimbulkan daya rangsang/stimulant (cocaine). Narkotika tersebut dapat menimbulkan ketergantungan (depence). Narkotika yang dibuat dari alam yang kita kenal adalah candu (opium),ganja dan cocaine.1 Sebagian dari narkoba itu menimbulkan gairah, semangat dan keberanian, sebagian lagi menimbulkan perasaan mengantuk, yang lain bisa menyebabkan rasa tenang dan nimat sehingga bisa melupakan segala kesulitan. Oleh karena efek-efek itulah beberapa remaja menyalahgunakan narkoba dan alkohol.2
1
Sasangka Hari, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Manjur, 2003), Cetakan I, h. 35. 2 Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja , (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2007), h. 217218.
2
Begitu juga dengan penggunaan narkoba ini member efek rasa percaya diri yang berlebihan, sehingga pemakaiannya dapat nekat dalam melakukan hal-hal yang berbahaya. Beberapa tindakan tawuran pelajar dan tindakan pidana lainnya juga dirangsang dengan narkoba ini.3 Penyalahgunaan NAPZA itu sendiri dilakukan seseorang tanpa dengan adanya resep dari dokter dan dipakai secara berulang kali sampai akhirnya menjadi pecandu, yang juga melanggar hukum dan merusak fisik serta kehidupan sosialnya. Dalam
al-Qur’an
surat
Al-Maidah
ayat
90
sudah
dijelaskan
tentang
penyalahunaan narkotika ini:
Artinya: “wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”4 Sesuai dengan firman Allah.SWT, di atas dijelaskan bahwa segala zat yang dapat memabukkan seseorang sampai hilang kesadaran itu adalah haram, dan tidak boleh digunakan sembarangan tanpa adanya resep dari dokter.
3
Topo Santoso dan Anita Silalahi, Penyalahgunaan Narkoba Di Kalangan Remaja: Suatu Perspektif, Jurnal Kriminolog Indonesia, Vol. 1, No. 1 (September 2000): h.37 4 Al-Qur’an Tajwid 12 warna dan Terjemah, Al-Maidah ayat 90, (Jakarta: PT. Suara Agung, 2009), cetakan ke-2, h. 221.
3
Berdasarkan data statistik sepanjang tahun 2015 BNN telah mengungkap sebanyak 102 kasus Narkotika dan TPPU yang merupakan sindikat jaringan nasional dan internasional, dimana sebanyak 82 kasus telah P21. Kasus-kasus yang telah diungkap tersebut melibatkan 202 tersangka yang terdiri dari 174 WNI dan 28 WNA. Berdasarkan seluruh kasus Narkotika yang telah diungkap, BNN telah menyita barang bukti sejumlah 1.780.272,364 gram sabukristal; 1.200 mililiter sabu cair; 1.100.141,57 gram ganja; 26 biji ganja; 95,86 canna chocolate; 303,2 gram happy cookies; 14,94 gram hashish; 606.132 butir ekstasi; serta cairan prekursor sebanyak 32.253 mililiter dan 14,8 gram. Sedangkan dalam kasus TPPU total asset yang berhasil disita oleh BNN senilai Rp 85.109.308.33.5 Untuk persoalan penyalahgunaan NAPZA ini memang harus ditindaklanjuti, baik secara hukum ataupun memberikan rehabilitasi kepada penyalahguna NAPZA. Karena penyalahguna zat ini tidak cukup untuk diberi hukuman saja, melainkan harus di rehabilitasi agar mereka tidak kembali memakai NAPZA tersebut. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bagian kedua mengenai rehabilitasi pasal 55: 1) Orang tua atau wali dari pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
5
Humas BNN, “Executive Summary Press Release Akhir Tahun 2015-BNN”, Diakses pada tanggal 16 April 2016 dari www.bnn.co.id.
4
2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat,rumah sakit,dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.6 Menurut peraturan kepala Badan Narkotika Nasional tentang rehabillitasi narkotika komponen masyarakat nomor 14 tahun 2011, Pasal 3 yang berbunyi, “Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar mantan pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat.”7 Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di sekolah/kampus dan ditempat kerja. Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry program). Oleh karena itu mereka perlu dibekali dengan pendidikan dan keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila mereka telah selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.8 Kemudian hal ini dibahas salah satunya oleh Journal of Substance Abuse Treatment ditulis oleh Steven L. Proctor, Ph.D, dkk dengan judul “A Naturalistic Evaluation of the Effectiveness of a Protracted Telephone-Based Recovery Assistance 6
M. Wresniwiro, Selamatkan Anak Bangsa dari Bahaya Narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas, 2010), Cetakan Pertama, h. 122-123 7 Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 14 tahun 2011, Rehabilitasi Narkotika Komponen Masyarakat. 8 Dadang Hawari, Penyalahguna & Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, & Zat Adiktif), (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000), h. 138.
5
Program on Continuing Care Outcomes” yang membahas mengenai treatmen atau cara rehabilitasi sosial pada penyalahgunaan narkoba. Pada jurnal ini di jelaskan bahwa para mantan pengguna narkoba memiliki banyak permasalahan sosial dan hal tersebut membuat mereka sulit mengelola permasalahannya diri sendiri. namun, pada jurnal ini memberikan beberapa cara yang membantu agar klien mampu memanajemen diri sendiri. seperti bergabung dalam kelompok intervensi berbasis telfon.
Disini
para
klien
akan
memiliki
anggota
kelompok
yaitu
perawat/dokter/pekerja sosial, keluarga dan sesama mantan pengguna narkoba. Mereka dapat menceritakan masalah masalah yang dialami kepada anggota kelompok lainnya hal ini bertujuan agar klien tidak merasa mengalami masalah sendirian dan mampu untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya. Kegiatan ini berlangsung selama 6 bulan. Intervensi berbasis telepon dianggapp cukup praktis karena klien dapat melakukannya dimana saja tanpa harus mendatangi pada suatu tempat. Tidak hanya itu pada jurnal ini juga membahas mengenai metode 12 langkah yang dianggap dapat berkontribusi sangat baik untuk pemulihan mantan pecandu narkoba. Hasil penelitian pada jurnal ini menemukan bahwa mereka yang menggunakan metode 12 langkah dapat membantu dalam menangani permasalahanpermasalahan pada dirinya dan dapat membantu anggota kelompok lain apa bila memiliki permasalahan serta para klien mau berjanji untuk berhenti menggunakan narkoba dan mau mengatasi masalah kecanduan yang ada pada dirinya. Yayasan Karya Peduli Kita (KAPETA) adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang didirikan melalui kepedulian sebuah komunitas yang terdiri dari psikolog, praktisi pendidikan dan para orangtua yang memiliki pengalaman dengan
6
masalah Gangguan Penggunaan Zat di antara keluarga dan lingkungannya. KAPETA memulai kegiatan sejak Juni 2002 melalui pertemuan dukungan untuk orang tua (Family Support Group) dan program terapi Gangguan Penggunaan Zat rawat jalan (daycare), hinggaa kemudian resmi didirikan dengan berbadan hukum Yayasan pada tanggal 24 Februari 2004. Melalui berbagai program terkait penanggulangan masalah Gangguan Penggunaan Zat (NAPZA) dan HIV / AIDS, Yayasan KAPETA berusaha untuk dapat membantu pemulihan orang-orang dengan masalah Gangguan Penggunaan Zat untuk dapat kembali ke fungsi sosialnya di masyarakat dan memberikan dukungan sosio-psikologis bagi para ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) dalam menapaki kehidupannya. Masih terbatasnya penyebaran informasi dan edukasi terkait masalah Gangguan Penggunaan Zat dan HIV / AIDS di Indonesia, menyebabkan keanekaragaman pemahaman dan sudut pandang masyarakat akan masalah tersebut. Yayasan Kapeta dalam memberikan program membaginya menjadi 2 bagian, program untuk rawat inap dan rawat jalan. Untuk rawat inap dibagi lagi menjadi rawat inap jangka pendek dan menengah, untuk mengakomodir rawatan Gangguan Penggunaan zat, khususnya heroin (putaw), ATS – Amphetamine Type of Stimulants, dan zat lain dengan tingkat yang lebih kompleks, yayasan Kapeta membuka layanan program rawat inap (residensial) jangka pendek dan menengah. Kemudian ada Rawat jalan, yaitu program terapi dan pemulihan ini ditujukan khususnya kepada mereka yang memiliki Gangguan Penggunaan Zat yang masih dalam tahap awal atau menengah (light to moderate).
7
Dipilihnya durasi jangka pendek dan menengah adalah untuk memenuhi kebutuhan, khususnya para pengguna zat yang telah menjalani program pemulihan jangka
panjang
sebelumnya,
menjalani
program
perawatan
yang
tidak
mengharuskannya meninggalkan keluarga dalam waktu yang cukup lama. Selain itu program ini diinisiasi untuk mengisi lubang dari rangkaian rentang rawatan (Continuum of Care) Gangguan Penggunaan Zat, yang umumnya diisi di Indonesia oleh program terapi dan rehabilitasi rawat inap dengan durasi lebih lama (6 bulan hingga 2 tahun), tanpa pilihan lain yang secara signifikan berbeda. Alasan penulis memilih Yayasan Kapeta sebagai tempat penelitian
karena
Yayasan Kapeta telah terakreditasi sebagai pusat terapi rehabilitasi NAPZA komponen masyarakat peringkat A (terbaik) nasional dan berada di peringkat program di wilayah jabodetabek berdasarkan penilaian Badan Narkotika Nasional tahun 2014. Kemudian para konselor adiksi Yayasan Kapeta telah tersertifikasi sebagai Internasional Certified Addiction professionals (ICAP) oleh ICCE (Internasional Centre for Certification and Education of Addiction Professionals) dan sebagai Certified Substance Abuse Therapies oleh APBC (Asia Pasific Certification Board) sehingga dapat memberikan pelayanan terbaik. Dan penulis juga ingin mengisi kekurangan dari penelitian sebelumnya yang membahas tentang rehabilitasi sosial untuk penyalahgunaan NAPZA. Rehabilitasi terhadap penyalahguna NAPZA juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar tidak lagi melakukan penyalahgunaan NAPZA. Sudah seharusnya mereka yang menyalahgunakan narkotika dibawa ke tempat rehabilitasi, baik itu rehabilitasi medis
8
ataupun sosial. Sudah banyak tempat rehabilitasi penyalahguna narkoba, baik yang didirikan oleh pemerintah ataupun swasta. Berdasarkan penjelasan diatas diperlukannya rehabilitasi sosial untuk memulihkan kondisi dari penyalahguna zat, agar mereka dapat kembali fungsi sosialnya. Penyalahguna zat tidak hanya memerlukan obat saja untuk pulih namun membutuhkan terapi-terapi yang lain yang dapat membantu penyalahguna zat ini kembali baik secara fungsi sosialnya, oleh karena itu peneliti melakukan penelitian mengenai “Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan KAPETA, Tangerang Selatan”. B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk memfokuskan pembahasan dalam penelitian ini, sehingga sampai pada tujuannya, maka penulis membatasi penelitian ini pada: 1) Rehabilitasi sosial dalam penelitian ini yaitu suatu proses kegiatan pemulihan baik secara fisik, mental ataupun sosial untuk penyalahguna NAPZA agar dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Dalam penelitian ini yang diukur adalah bagaimana proses rehabilitasi sosial yang diberikan untuk penyalahguna NAPZA. 2) Terapi dalam rehabilitasi sosial dalam penelitian ini yaitu terapi medis untuk memulihkan kondisi fisik yang lemah seperti memberikan kegiatan olahraga, selanjutnya terapi psikiatrik diberikan dalam bentuk psikoterapi baik secara individu atau kelompok tujuannya untuk menghilangkan sikap anti sosial dan juga untuk keluarga agar memahami permasalahan
9
mengenai narkoba. Terapi psikososial juga diberikan agar penyalahguna NAPZA dapat kembali dalam lingkungan sosialnya dan terapi psikoreligius yaitu agar memulihkan penyalahguna dalam menjalankan ibadahnya. 2. Rumusan Masalah Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini: a) Bagaimana proses rehabilitasi sosial yang diberikan di Yayasan Kapeta? b) Bagaimana terapi rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan Kapeta? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah: a) Mendeskripsikan proses rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta. b) Mendeskripsikan terapi yang ada saat rehabilitasi sosial yang diberikan oleh Yayasan Kapeta. 2. Manfaat penelitian a) Manfaat Akademis Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi dan meningkatkan wawasan akademi dalam bidang kesejahteraan sosial khususnya yang terkait dengan rehabilitasi sosial untuk para penyalahguna narkoba. b) Manfaat Praktis 1) Menginformasikan hasil yang dicapai dari rehabilitasi sosial bagi penyalahgunaan NAPZA di Yayasan Kapeta Indonesia.
10
2) Memberikan pemahaman dan masukan untuk penelitian-penelitian lebih lanjut dan juga praktisi di lembaga. D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif menekankan analisis proses dari proses berpikir secara induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan antarafenomena yang diamati, dan senantiasa menggunakan logika ilmiah. Penelitian kualitatif menurut Bodgan & Taylor (1990) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan berperilaku yang dapat diamati yang diarahkan pada latar dan individu secara holistic (utuh). Metode penelitian merupakan strategi umum yang dipakai dalam pengumpulan
dan
analisis
data
yang
diperlukan,
guna
menjawab
permasalahan yang dihadapi. Menurut Denzin dan Lincoln, penelitian kualitatif lebih ditunjukan untuk mencapai pemahaman mendalam mengenai organisasi atau peristiwa khusus daripada mendeskripsikan bagian permukaan dari sampel besar dari sebuah populasi.9 Penggunaan pendekatan kualitatif ini mempunyai beberapa alasan yakni salah satunya adalah bersifat luwes dan fleksibel, menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara penulis dengan penelitian.
9
Koentjoro, Humanika, 2012).
Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial,
(Jakarta:Salemba
11
2. Sumber Data Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi mengenai data. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. a. Data Primer Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian. Data primer dari penelitian ini adalah staff klinis dan klien dari Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan. b. Data Sekunder Data Sekunder yaitu data yang diperoleh sumber-sumber infomasi baik secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa dokumen, arsip-arsip, memo atau catatan tertulis lainnya maupun gambar atau benda yang berkaitan dengan penelitian. Data sekunder ini peneliti dapatkan dari Yayasan Kapeta, website Yayasan Kapeta, media masa, dan lain-lain. 3. Teknik Pemilihan Informan Menurut Sugiyono, purposive sampling adalah teknik untuk menentukan sampel penelitian dengan beberapa pertimbangan tertentu bertujuan agar data yang diperoleh nantinya bisa lebih representatif. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah klien, konselor dan pekerja sosial yang ada di Yayasan Kapeta. Sedangkan objek penelitian ini adalah rehabilitasi sosial untuk penyalahguna NAPZA di yayasan Kapeta, Tangerang Selatan. Dalam memilih subjek penelitian ini, penulis menggunakan pengambilan informan menggunakan purposive sampling yaitu peneliti sudah mempunyai informan yang dituju untuk
12
membantu melakukan penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik purposive sampling yang diberikan keleluasaan kepada peneliti dalam menyeleksi informan yang sesuai dengan tujuan penelitian, yang terpenting disini bukanlah jumlah informan, melainkan potensi diri tiap kasus untuk memberikan pemahaman teoritis yang lebih baik mengenai aspek yang dipelajari.10 Purposive sampling juga merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Jadi sebelumnya peneliti sudah melakukan perencanaan yang menjadi informan dalam penelitian yang sesuai dengan penelitian ini. Berikut ini jumlah informan yang terpilih dalam pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian. Tabel 1 Subjek dan Informan Penelitian No. 1.
Informan Klien AR, P, AR
Informasi yang dicari
Jumlah
Mengetahui apa saja yang
3 orang
didapatkan
selama
proses
rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta. 2.
Bapak Gidien dan Mengetahui Bapak (Konselor)
Irfan rehabilitasi
sosial,
2 orang
terapi-
terapi yang diberikan, serta kegiatan
10
proses
yang
dilakukan
Nanang Martono, Metode Penelitian Kualitatif Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.79.
13
selama
proses
rehabilitasi
sosial. Dan hasil yang didapat setelah
menjalankan
rehabilitasi sosial. 3.
Siti
Jumartina Mengetahui
(Pekerja Sosial)
gambaran
1 Orang
tentang profil lembaga, dan tugas pokok pekerja sosial dalam
proses
rehabilitasi
sosial di Yayasan Kapeta. Jumlah Informan
6 orang
Sumber : Penentuan Informan Penulis 4. Teknik Pengumpulan Data Adapun untuk pelaksanaan penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara:11 a. Wawancara Wawancara mendalam (in-dept, intensive interview). dalam hal ini seharusnya peneliti mempelajari teknik wawancara agar bisa dilakukan wawancara secara mendalam. Teknik ini menuntut peneliti untuk mampu bertanya sebanyak-banyaknya dengan perolehan jenis data terntentu sehhingga diperoleh data atau informasi yang rinci.
11
Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian, (Malang: Umm Press, 2010), Cetakan kedua, h. 56.
14
Melakukan wawancara mendalam berarti menggali informasi atau data sebanyak-banyaknya dari responden atau informan. Agar informasi yang detail diperoleh, peneliti hendaknya berusaha mengetahui, menguasai sebelumnya tentang topik penelitiannya. Sebelum wawancara peneliti menyiapkan pedoman wawancara yang berhubungan dengan keterangan yang ingin digali. Adapun hal yang diwawancarai adalah seputar proses rehabilitasi sosial untuk penyalahguna NAPZA di Yayasan Kapeta dan Hasil yang didapat setelah melakukan rehabilitasi sosial. Dalam hal ini peneliti menggunakan bahasa Indonesia dalam mewawancarai responden, yaitu para klien, staff klinis, dan pekerja sosial Yayasan Kapeta. b. Observasi Dengan teknik ini (termasuk wawancara) peneliti harus berusaha dapat diterima sebagai warga atau orang dalam para responden, karena teknik ini memerlukan hilangnya kecurigaan para subjek penelitian terhadap kehadiran peneliti. Observasi, berarti peneliti melihat dan mendengarkan (termasuk menggunakan tiga indera yang lain, jika terjadi) apa yang dilakukan dan dikatakan atau diperbincangkan para responden dalam aktivitas kehidupan sehari-hari baik sebelum, menjelang, ketika dan sesudahnya. Aktivitas yang diamati terutama yang berkaitan dengan konsep-kunci penelitian, tanpa melakukan intervensi atau member stimuli pada aktivitas subjek penelitian.
15
Observasi
dilakukan
untuk
memperoleh
data
tentang
proses
rehabilitasi sosial untuk penyalahguna NAPZA dan hasil rehabilitasi sosial di yayasan Kapeta. c. Dokumentasi Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang. Studi dokumen merupakan perlengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara.12 Teknik dokumentasi yang berupa informasi yang berasal dari catatan penting baik dari lembaga atau organisasi maupun perorangan. Peneliti berusaha mengumpulkan, membaca, dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis yang ada dilapangan serta data-data lain yang didapat dari buku, majalah, surat kabar, artikel, kliping, dan lain-lain. 5. Tempat dan Waktu Penelitian a) Tempat Penelitian Tempat penelitian yang diambil oleh penulis yaitu Yayasan Kapeta. Disana penulis melakukan penelitian untuk mendapatkan informasi dari staff yang memberikan rehabilitasi dan penerima pelayanan dengan melakukan wawancara langsung serta observasi terhadap proses rehabilitasi sosial dan hasil rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan
12
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013), Cetakan Pertama, h. 176.
16
Kapeta tersebut untuk mendapatkan data tertulis seperti dokumentasi dan data-data lain yang mendukung penelitian ini. b) Waktu Penelitian Waktu penelitian yang dilakukan penulis berlangsung selama enam bulan dimulai dari bulan Juni 2016 sampai bulan November 2016. 6. Analisa Data Analisis data adalah pencarian atau pelacakan pola-pola. Analisis data kualitatif adalah pengujian sistematik dari sesuatu untuk menetapkan bagianbagiannya, hubungan antar kajian dan hubungannya terhadap keseluruhan. Artinya, semua analisis kualitatif akan mencakup penelusuran data, melalui catatan-catatan (pengamatan lapangan) untuk menemukan pola-pola budaya yang dikaji oleh peneliti.13 Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kualitatif, data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan tersebut dideskripsikan dalam bentuk uraian. Setelah data terkumpul dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan penelitian, maka selanjutnya peneliti melaksanakan analisis terhadap data dan informasi tersebut. Dalam menulis data tersebut, peneliti menggunakan analisis deskriptif, yaitu mendeskrpsikan hasil temuan penelitian secara sistematik, faktual dan akurat yang disertai dengan petikan wawancara yang akan dipaparkan oleh peneliti.
13
Ibid, h. 210.
17
7. Teknik Keabsahan Data Teknik pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini memiliki kriteria, yaitu, Dilakukan dengan membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan cara yang berbeda dalam metode kualitatif yang dilakukan dengan membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Hasil dari perbandingan yang diharapkan adalah berupa kesamaan atau alasan-alasan terjadinya perbedaan.14 8. Teknik Penulisan Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini maka penulis mengacu pada pedoman penulisan karya ilmuan (skripsi, tesis, dan disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008. 9. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap beberapa hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Adapun penelitian tersebut diantaranya: a. Journal of Substance Abuse Treatment ditulis oleh Steven L. Proctor, Ph.D, dkk dengan judul “A Naturalistic Evaluation of the Effectiveness of a Protracted Telephone-Based Recovery Assistance Program on Continuing Care Outcomes” yang membahas mengenai treatmen atau cara
14
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2011), Edisi kedua, Cetakan ke-5, h. 264-265.
18
rehabilitasi sosial pada penyalahgunaan narkoba. Pada jurnal ini di jelaskan bahwa para mantan pengguna narkoba memiliki banyak permasalahan sosial dan hal tersebut membuat mereka sulit mengelola permasalahannya diri sendiri. namun, pada jurnal ini memberikan beberapa cara yang membantu agar klien mampu memanajemen diri sendiri. seperti bergabung dalam kelompok intervensi berbasis telfon. Disini
para
klien
akan
memiliki
anggota
kelompok
yaitu
perawat/dokter/pekerja sosial, keluarga dan sesama mantan pengguna narkoba. Mereka dapat menceritakan masalah masalah yang dialami kepada anggota kelompok lainnya hal ini bertujuan agar klien tidak merasa mengalami masalah sendirian dan mampu untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya. Kegiatan ini berlangsung selama 6 bulan. Intervensi berbasis
telepon
dianggapp
cukup
praktis
karena
klien
dapat
melakukannya dimana saja tanpa harus mendatangi pada suatu tempat. Tidak hanya itu pada jurnal ini juga membahas mengenai metode 12 langkah yang dianggap dapat berkontribusi sangat baik untuk pemulihan mantan pecandu narkoba. Hasil penelitian pada jurnal ini menemukan bahwa mereka yang menggunakan metode 12 langkah dapat membantu dalam menangani permasalahan-permasalahan pada dirinya dan dapat membantu anggota kelompok lain apa bila memiliki permasalahan serta para klien mau berjanji untuk berhenti menggunakan narkoba dan mau mengatasi masalah kecanduan yang ada pada dirinya.
19
b. Program
Rehabilitasi
Sosial
Bagi
Narapidana
Di
Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta: Perspektif Pekerjaan Sosial Koreksional. Disusun Oleh Ilmawati Hasanah, jurusan Kesejahteraan Sosial/Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, tahun 2015. Isi skripsi ini meneliti tentang Program rehabilitasi sosial bagi narapidana di lembaga Pemasyarakatan klas I Cipinang Jakarta: Perspektif pekerjaan sosial koreksional, skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola rehabilitasi sosial melalui pembinaan berdasarkan perspektif pekerjaan sosial koreksional, bagaimana metode pembimbingan narapidana yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta, dan bagaimana pendampingan bagi narapidana selama mengikuti pembinaan. Dalam hal ini, penulis dengan peneliti terdahulu sama-sama mengambil metode group work, yang jadi pembeda antara penelitian terdahulu tersebut dengan skripsi penulis ialah subjek yang diteliti. c. Peran peer counselor dalam rehabilitasi korban napza di Panti Sosial Pamardi Putra Galih Pakuan Bogor. Disusun oleh Nurjanah, jurusan Bimbingan
Penyuluhan
Islam/Fakultas
Ilmu
Dakwah
dan
Ilmu
Komunikasi, tahun 2014. Isi dari skripsi ini menjelaskan mengenai Proses rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA merupakan upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non-medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Dalam mencapai
20
tujuan dari proses tersebut dibutuhkan suatu layanan bantuan berupa peran peer counselor. Hal ini didasari bahwa tidak semua klien yang mengikuti program rehabilitasi memiliki masalah yang sama (walaupun samasama pengguna). Adanya peer counseling tersebut tentunya memiliki beberapa tujuan yang hendak dicapai, dasar komunikasi dalam peran peer counselor, dan keberhasilan yang dicapai dalam peer counselor. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang penulis teliti yaitu terletak pada pembahasan, pada penelitian yang penulis lakukan ialah membahas keseluruhan proses rehabilitasi sosial dengan berbagai macam terapi yang diberikan. Persamaannya terdapat pada salah satu pembahasan mengenai terapi konseling, dimana terapi konseling ini perlu diberikan kepada klien baik secara individu ataupun kelompok agar terciptanya komunikasi yang saling terbuka dan terjadinya pemberdayaan konseling agar mampu mengambil keputusan untuk permasalahan klien. Perbedaannya terdapat pada lembaga penelitian yang diambil oleh penulis. d. Rehabilitasi Mental Remaja Korban Penyalahgunaan Narkoba Di Yayasan Madani Mental Health Care Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur. Disusun oleh Jovendra Aliansyah, jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam/Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Isi skripsi ini adalah Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
mengenai
proses
rehabilitasi
yang
dilakukan
dalam
penyembuhan korban penyalagunaan narkoba di Yayasan Madani Mental
21
Health Care Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur. Yang membedakan dengan skripsi peneliti adalah subjek penelitiannya adalah klien dari Yayasan Kapeta Tangerang Selatan. Sedangkan objek penelitian adalah mengetahui proses rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan Kapeta untuk penyalahguna NAPZA. Dan persamaanya adalah membahas mengenai Penyalahguna NAPZA. e. Peran Pekerja Sosial Dalam Rehabilitasi Sosial Penyalahguna Narkoba di Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) “Galih Pakuan” Bogor. Disusun oleh Risdiyanto, jurusan kesejahteraan sosial/Fakultas ilmu dakwah dan ilmu komunikasi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini membahas Peran Pekerja Sosial dalam rehabilitasi sosial memiliki beberapa peran yaitu, peran sebagai perantara, peran sebagai pendorong, peran sebagai penghubung, peran sebagai advokasi, peran sebagai perunding, peran sebagai pelindung, peran sebagai fasilitator, peran sebagai negosiator. Peran yang paling menonjol dari peran tersebut adalah peran sebagai pendorong dan peran sebagai fasilitator, dan yang menonjol dari PSPP “Galih Pakuan” Bogor adalah rehabilitasi sosialnya yang menerapkan penuh pembinaan mental, sosial, dan fisik tanpa menggunakan obat-obatan pemulihan kecanduan narkoba. Perbedaan dalam skripsi ini adanya objek yang diteliti dalam penelitian, dan persamaannya adalah peran pekerja sosial yang menonjol yaitu sebagai pendorong dan peran sebagai fasilitator serta dalam
22
rehabilitasi sosial ini tidak menggunakan obat-obatan seperti metadon dalam pemulihan kecanduan narkoba. E. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, masingmasing bab terdiri dari beberapa sub bab secara sistematis sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Mengemukakan: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II: LANDASAN TEORI Dalam bab ini, dikemukakan teori-teori yang melandasi dan mendukung penelitian. Yang meliputi pengertian rehabilitasi sosial, sarana dan prasarana rehabilitasi, rehabilitasi bagi korban narkoba, tahapan rehabilitasi sosial, teori kognitif-perilaku, teori sistem ekologi, terapi kelompok, peran pekerja sosial dengan kelompok, pendekatan penanganan penyalahgunaan obat, asesmen, skrining, hasil rehabilitasi, pengertian penyalahguna narkoba, akibat penyalahgunaan narkoba dan cara mengatasinya, Dampak penyalahgunaan NAPZA, serta pengertian napza, jenis-jenis dan tahapan penyalahgunaan napza. BAB III: PROFIL LEMBAGA Menjelaskan tentang profil lembaga, pertama penulis menguraikan latar belakang berdirinya Yayasan Kapeta Indonesia, Visi dan Misi, Landasan
23
Hukum, Struktur Organisasi, Sarana dan Prasarana, Prosedur Penerimaan klien, Kerja sama lintas sektoran, Program Yayasan Kapeta. BAB IV: ANALISIS DAN TEMUAN LAPANGAN Bab ini membahas tentang Proses rehabilitasi sosial yang diberikan Yayasan Kapeta kepada penyalahguna NAPZA dan terapi-terapi yang diberikan Yayasan Kapeta. BAB V: PENUTUP Bab terakhir ini, memberikan kesimpulan terhadap hasil penelitian yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, guna menghasilkan masukan ataupun saran terhadap program lembaga.
24
BAB II LANDASAN TEORI A. REHABILITASI SOSIAL 1.
Pengertian Rehabilitasi Sosial Rehabilitasi menurut Dadang Hawari yaitu upaya memulihkan dan mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna/ketergantungan zat kembali sehat secara fisik, psikologik, sosial dan spiritual/ agama (keimanan). Dimana dalam keadaan sehat tersebut diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, sekolah/kampus, di tempat kerja dan lingkungan sosialnya.15 Menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009, pasal 1 poin 17 menyatakan, rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.16 Kemudian rehabilitasi itu dibagi lagi berdasarkan objeknya rehabilitasi dibagi menjadi 2 yaitu: a. Rehabilitasi cacat yaitu rehabilitasi bagi orang-orang yang memiliki cacat fisik seperti tuna netra, tuna rungu dll
15
Ferlinda Cristianingrum, Penerapan Pendekaran Therapeutic Community Pada Program Rehabilitasi Remaja Korban Penyalahgunaan NAPZA, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2002), h.32. 16 Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas, 2010), Cetakan Pertama, h.105.
25
b. Rehabilitasi sosial yaitu rehabilitasi bagi orang yang tunasosial atau memiliki kelainan atau penyimpangan sosial seperti tuna susila, korban narkotika, anak nakal dll.17 Rehabilitasi sosial sendiri bertujuan untuk para mantan penyalahguna napza agar mereka dapat pulih kembali dan sehat baik secara mental dan fisik, serta melaksanakan fungsi sosialnya. Program rehabilitasi sosial ini merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry program). Oleh karena itu mereka perlu dibekali dengan pendidikan dan keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun balai latihan kerja dapat diadakan di pusat rehabilitasi. 2. Sarana dan Prasarana Rehabilitasi Setiap korban narkoba berhak memperoleh kesehatah dan kesembuhan yang didambakannya. Maka harus tersedia dukungan dan pertolongan bagi harapannya itu, dengan perlengkapan-perlengkapan teknis lainnya. Selain tempat, diperlukan juga berbagai perlengkapan fisik, baik langsung ataupun tidak langsung, baik pokok maupun tambahan, baik kebutuhan pribadi ataupun bersama, yang mendukung dan memberi nuansa kondusif bagi semua yang berkepentingan. Staf maupun pecandu narkoba (pasien) harus bekerja sama untuk mencapai hasil yang maksimal. Sarana dan prasarana rehabilitasi yang merupakan alat untuk mengatasi masalah-masalah ketidakmampuan atau cacat (disability), dapat dibagi ke dalam
17
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba, (Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005), h.13.
26
empat kategori, yaitu program, pelayanan (service), sumber daya manusia (personnel), dan fasilitas serta peralatan. Berikut adalah penjelasan mengenai halhal diatas:18 a. Program Rehabilitasi Program rehabilitasi digambarkan sebagai suatu rencana prosedur yang bersifat luas yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh kelompok-kelompok orang. Program rehabilitasi berbeda dalam hal jangkauan (scope), organisasi, tujuan, dan praktek operasionalnya. Jangkauan program dapat meliputi lingkup nasional, regional atau lokal. Organisasi suatu program dapat dikategorikan ke dalam organisasi pemerintah (public) atau swasta (private). Tujuan suatu program dapat dihubungkan dengan salah satu tipe masalah sosial, dan dapat juga dihubungkan dengan kategori kecacatan atau masalah sosial yang lebih umum atau luas. Seringkali tujuan program berkaitan dengan suatu bagian khusus dari proses rehabilitasi. Praktek operasional suatu program rehabilitasi dapat dilaksanakan melalui berbagai kegiatan, diantaranya pengadaan pelayanan, informasi dan publikasi, koordinasi kegiatan-kegiatan, pertukaran ide atau pemikiran antara profesi atau disiplin ilmu, pengumpulan dana, penelitian dan pendidikan. b. Pelayanan Rehabilitasi Penyandang rehabilitasi diorganisasikan untuk kepentingan langsung para penyandang masalah sosial. Pelayanan rehabilitasi merupakan penerapan
18
Edi Suhato, Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi, (Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI, 2004), h.187
27
kombinasi talenta dan metode yang pada umumnya bersifat professional atau teknis dan membuahkan hasil berupa pengurangan atau peringaqnan dari konsekuensi masalah yang dihadapi. c. Sumber Daya Manusia yang Melakukan Pelayanan Rehabilitasi Sumber daya manusia atau personel yang melakukan pelayanan rehabilitasi disesuaikan dengan persyaratan keterampilan pada masing-masing bidang pelayanan. Dengan demikian sumber daya manusia terdiri dari orang-orang dari berbagai profesi yang memiliki keterampilan-keterampilan khusus seperti dokter, perawat, psikolog, pekerja sosial, pekerja sosial medis, konselor, vokasional, ahli terapi bicara dan mendengar, ahli terapi phisik dsb. Selain personel tersebut, terdapat bagian dari masyarakat yang memberikan kontribusi pada seluruh prosedur rehabilitasi, diantaranya adalah volunteer atau sukarelawan, pencari dana, pekerja sosial dan kesehatan masyarakat, dsb. d. Fasilitas sarana dan prasarana Fasilitas sarana dan prasarana rehabilitasi merupakan sesuatu yang memperlancar setiap tindakan, pelaksanaan atau kegiatanan rehabilitasi. Perlu adanya sarana atau lokasi khusus bagi pekerja medis, psikolog, dan pekerja rehabilitasi vokasional. Fasilitas tersebut dapat berupa, rumah sakit, lembaga atau pusat rehabilitasi dll. e. Peralatan Peralatan yang dipergunakan merupakan bagian penting dari kelengkapan kegiatan rehabilitasi untuk kelancaran proses rehabilitasi. Sifat dari peralatan
28
dapat manual atau menggunakan teknologi tinggi. Jenis dan jumlahnya tergantung pada banyaknya profesi yang terlibat dalam proses rehabilitasi. 3.
Rehabilitasi Korban Penyalahguna NAPZA Rehabilitasi korban narkoba adalah suatu proses yang berkelanjutan dan
menyeluruh. Rehabilitasi korban narkoba, harus meliputi usaha-usaha untuk mendukung para korban, hari demi hari, dalam membuat pengembangan dan pengisian hidup secara bermakna serta berkualitas dibidang fisik, mental, spiritual dan sosial.19 Seseorang yang menjadi korban penyalahguna zat memang harus diberikan perawatan guna memulihkan kondisinya agar baik seperti kondisi awal sebelum menggunakan NAPZA, menurut Peter jenis perawatan terhadap korban penyalahguna zat meliputi: a.
Getting People Off Drugs, yaitu upaya perawatan untuk menghentikan pemakaian obat atau zat melalui detoksifikasi.
b.
Keeping Them Off, yaitu upaya perawatan untuk mempertahankan penghentian pemakaian obat atau zat melalui rehabilitasi.20
Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi sosial
19
Lambertus Somar, Rehabilitasi Pecandu Narkoba, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 20. Ferlinda Cristianingrum, Penerapan Pendekaran Therapeutic Community Pada Program Rehabilitasi Remaja Korban Penyalahgunaan NAPZA, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2002), h. 32. 20
29
dilakukan pada panti rehabilitasi atau diterapkan pada beberapa fasilitas pendidikan yang berorientasi keagamaan.21 Bentuk-bentuk terapi dalam rehabilitasi sosial adalah: a. Terapi medis, ditunjukan agat para pengguna narkoba sehat secara fisik. Kegiatan dalam terapi ini yaitu memulihkan kondisi fisik yang lemah, dengan pemberian makanan yang bergizi dan kegiatan olahraga. b. Terapi psikiatrik, dimaksudkan agar peserta rehabilitasi dapat menghilangkan sikap antisosial. Kegiatan utamanya adalah psikoterapi baik secara individu maupun kelompok. Selain itu terapi ini juga ditunjukan untuk keluarganya agar dapat memahami permasalahan seputar narkoba dan persiapan atau sikap yang harus diambil bila anggota keluarganya kambuh kembali. c. Terapi psikososial ditunjukan agar peserta rehabilitasi dapat bergabung kembali ke dalam lingkungan sosialnya. Kegiatan utamanya adalah pembekalan dengan pendidikan dan latihan keterampilan. d. Terapi
psikoreligius
untuk
memulihkan
peserta
rehabilitasi
dalam
menjalankan ibadahnya. Hal ini untuk memperkuat keimanan mereka sehingga tidak kembali pada narkoba.22
21
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas, 2010), Cetakan Pertama, hal. 105. 22 Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba, (Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005), h. 14-15.
30
4.
Tahapan Rehabilitasi Sosial Terdapat 7 (tujuh) tahapan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial, yaitu:23 a. Pendekatan awal. Merupakan rangkaian yang mengawali keseluruhan proses rehabilitasi sosial, terdiri atas kegiatan sosialisasi dan konsultasi, identifikasi, motivasi, seleksi penerimaan. b. Pengungkapan
dan
pemahaman
masalah.
Merupakan
kegiatan
mengumpulkan, menganalisis dan merumuskan masalah, kebutuhan, potensi dan sumber yang meliputi aspek fisik, psikis, sosial, spiritual dan budaya. c. Penyusunan rencana pemecahan masalah. Merupakan kegiatan penyusunan rencana pemecahan masalah berdasarkan hasil pengungkapan dan pemahaman masalah meliputi penentuan tujuan, sasaran, kegiatan, metoda, strategi, dan teknik, tim pelaksana, waktu pelaksanaan dan indikator keberhasilan. d. Pemecahan masalah. Merupakan pelaksanaan kegiatan dari rencana masalah yang telah disusun. e. Resosialisasi. Merupakan kegiatan menyiapkan lingkungan sosial, lingkungan pendidikan dan lingkungan kerja. f. Terminasi. Merupakan kegiatan pengakhiran rehabilitasi sosial kepada korban penyalahgunaan NAPZA. g. Bimbingan lanjut. Merupakan bagian dari penyelenggaraan rehabilitasi sosial sebagai upaya yang diarahkan kepada klien yang telah selesai mengikuti proses rehabilitasi sosial, baik di dalam maupun di luar lembaga.
23
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya.
31
5.
Teori Kognitif-Perilaku Seperti yang dikutip oleh Siti Napsiyah dan Lisma Diawati Fuaida, Scott dan
Dryden mengklarifikasi terapi Kognitif-Perilaku dalam empat kategori: a) Keterampilan menyelesaikan (coping skills) terdiri dari dua elemen, yaitu “verbalisasi diri” (suatu intruksi terhadap diri sendiri) dan tingkah laku yang dihasilkannya. Kesulitan dalam menghadapi situasi dapat berasal dari ketidakmampuan untuk mengucapkan secara verbal maupun melakukannya dalam bentuk aksi sesuai. Pelatihan inokulasi stress (stress inoculation training) yang dilakukan oleh Meichenbaum bertujuan untuk mengurangi dan mencegah stress dengan cara mengajari klien apa yang harus dikatakan atau dilakukan dalam situasi yang sulit. b) Penyelesaian masalah (problem solving) berbeda dari teori psikodinamik sosial. Ini fokus melihat kehidupan manusia sebagai proses untuk menyelesaikan permasalahan hidup. Disini penyelesaian masalah lebih mirip dengan kerja yang berfokus pada tugas: klien didorong untuk “mengunci” dan mendefinisikan masalah, menemukan solusi,
memilih
yang terbaik,
merencanakan cara untuk penyelesaiannya dan mereview peningkatannya. c) Restrukturasi kognitif (cognitive restructuring) lebih dikenal sebagai bentuk terapi kognitif. Sheldon menekankan untuk memfokuskan kepada kekacauan dalam persepsi dan dampak atribut persepsi, yaitu bagaimana seseorang menyikapi segala sesuatu yang menimpa mereka. Atribusi adalah penilaian mereka terhadap makna dari pengalaman mereka.
32
d) Terapi kognitif stuktural (structural cognitive therapy) fokus terhadap tiga struktur kepercayaan atau keyakinan dalam pemikiran klien; keyakinan utama adalah asumsi terhadap diri sendiri; keyakinan tengah-tengah adalah deskripsi ekplisit yang dibuat oleh manusia terhadap dunia; keyakinan terakhir adalah rencana aksi dan strategi penyelesaian masalah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.24 Pada prinsipnya terapi kognitif perilaku adalah mengidentifikasikan kandungan pemikiran, yang meliputi asumsi, keyakinan, harapan, pesan kepada diri sendiri (self talk), atau kelengkapan (attributions). Melalui berbagai teknik, pemikiran-pemikiran kemudian dikaji untuk menentukan dampak akhirnya terhadap emosi dan perilaku klien. 6. Peran Pekerja Sosial Menurut Jim Ife, peran pekerja sosial antara lain: a.
Peranan Fasilitatif Peranan praktek yang dikelompokan ke dalam peranan fasilitatif merupakan
peranan yang dicurahkan untuk membangkitkan semangat atau memberi dorongan kepada individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat untuk menggunakan potensi
dan sumber
yang dimiliki
untuk
meningkatkan
produktivitas dan pengelolaan usaha secara efisien. Melakukan mediasi dan negosiasi, yaitu pekerja sosial memerankan diri sebagai mediator dalam pemanfaatan lahan dengan pihak lain untuk memperluas aktivitas kerjasama
24
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 42.
33
dengan
menguntungkan
pihak-pihak
yang
terlibat.
Memberikan
support/dukungan, yaitu memberikan dukungan untuk memperkuat, mengakui dan menghargai nilai yang dimiliki oleh individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat, menghargai kontribusi dan kerja mereka. Dukungan ini dapat bersifat formal dan informal. Membangun consensus dengan sesama pihak untuk melakukan kerjasama dalam rangka pengembangan potensi individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat. Memfasilitasi individu-individu, kelompokkelompok dan masyarakat dalam meningkatkan produktivitas dan pemasaran hasil produksi. b. Peranan Educational Pekerja sosial memainkan peranan dalam penentuan agenda, sehingga tidak hanya membantu pelaksanaan proses peningkatan peningkatan produktivitas akan tetapi lebih berperan aktif dalam memberikan masukan dalam rangka peningkatan pengetahuan, keterampilan serta pengalaman bagi individu-individu, kelompokkelompok dan masyarakat. Peran pendidikan ini dapat dilakukan dengan peningkatan kesadaran, memberikan informasi, mengkonfrontasikan, melakukan pelatihan bagi individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat. c. Peranan-peranan Representasional Pekerja sosial melakukan interaksi dengan badan-badan di masyarakat yang bertujuan
bagi
kepentingan individu-individu,
kelompok-kelompok
dan
masyarakat. Peranan ini dilakukan, antara lain dengan : mendapatkan sumbersumber dari luar tetapi dengan berbagai pertimbangan yang matang, seperti bantuan modal usaha, pelatihan pengembangan potensi dan produktivitas dari
34
berbagai
donator.
Melakukan
kepentingan individu-individu,
advokasi
untuk
membela
kelompok-kelompok
dan
kepentingan-
masyarakat seperti
mendukung upaya implementasi program dan berupaya merealisasikan program tersebut. Memanfaatkan Media Masa untuk memperkenalkan hasil produksi. Selain itu juga bertujuan menerima dukungan dari pihak lain yang lebih luas; membuka jaringan kerja, dengan mengembangkan relasi dengan berbagai pihak, kelompok dan berupaya mendorong mereka untuk turut serta dalam upaya pengembangan potensi, seperti pemerintah, pengusaha, dan masyarakat’ selain itu pula, pekerja sosial berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan stakeholder. d. Peranan Teknis Di sini pekerja sosial melakukan pengumpulan dan analisis data, kemampuan menggunakan komputer, kemampuan melakukan presentasi secara verbal maupun tertulis, manajemen serta melakukan pengendalian finansial, dan melakukan need assessment terhadap
pengembangan
potensi individu-individu,
kelompok-
kelompok dan masyarakat. Peran-peran ini dapat dilakukan pekerja sosial bersama individu-individu,
kelompok-kelompok
dan
masyarakat melakukan
mendapatkan informasi dan data yang dapat digunakan baik untuk mengundang perhatian dari stakeholders untuk mengembangkan potensi tetapi juga membantu mempromosikan. Dengan demikian, pekerjaan sosial memiliki peran yang sangat penting dalam
pengembangan
masyarakat.
potensi individu-individu,
kelompok-kelompok
dan
35
7. Terapi Kelompok Terapi kelompok menurut Albert S. Alissi, terapi kelompok terutama mengkonsentrasikan diri pada pemberian pengalaman-pengalaman kelompok untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan perkembangan secara normal, membantu mencegah perpecahan sosial, memudahkan tujuan-tujuan korektif dan rehabilitatif, serta mendorong keterlibatan dan tanggungjawab penduduk dalam aksi sosial.25 Seperti yang di kutip Edi Suharto, menurut Zastrow dalam kaitannya dengan terapi kelompok, terdapat beberapa jenis kelompok yang sering digunakan sebagai media pertolongan pekerjaan sosial, yaitu:26 a. Kelompok Keterampilan Rekreasi (Recreaction Skill Group) Selain tujuan kelompok ini untuk menyelenggarakan kegiatan kreatif, juga untuk meningkatkan keterampilan tertentu diantara para anggotanya. Berbeda dengan kelompok rekreasi, kelompok ini memiliki penasihat, pelatih atau instruktur serta memiliki orientasi tugas yang lebih jelas. b. Kelompok Pemecahan Masalah dan Pembuatan Keputusan (Problem-Solving and Decision-Making Group) Kelompok ini melibatkan klien/penerima pelayanan dan para petugas pemberi pelayanan di suatu lembaga kesejahteraan sosial. Bagi klien, tujuan bergabungnya dengan kelompok ini adalah untuk menemukan pendekatanpendekatan yang dapat digunaan untuk menemukan sumber-sumber baru dalam memenuhi kebutuhan baru. Sedangkan bagi para pemberi pelayanan, 25
Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social Resposibility), (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 38. 26 Ibid, h. 39.
36
kelompok ini dijadikan sarana untuk mengembangkan rencana penyembuhan bagi
klien
atau
sekelompok
klien,
merumuskan
keputusan
dalam
mengalokasikan sumber-sumber pelayanan yang terbatas, memperbaiki kualitas pelayanan, menyempurnakan kebijakan-kebijakan lembaga, atau memperoleh masukan untuk meningkatkan koordinasi dengan lembagalembaga lain. c. Kelompok Penyembuhan (Therapeutic Group) Kelompok terapi umumnya beranggotakan orang-orang yang mengalami masalah personal dan emosional yang berat atau serius. Pemimpin kelompok dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan yang handal mengenai tingkah laku manusia dan dinamika kelompok, konseling kelompok, penggunaan kelompok sebagai sarana pengubahan tingkah laku. Mirip konseling perseorangan, tujuan kelompok terapi adalah mengupayakan agar para anggota kelompok mampu menggali masalahnya secara mendalam, dan kemudian mengembangkan satu atau lebih strategi pemecahan masalah. Ahli terapis kelompok biasanya menggunakan satu atau lebih pendekatan terapi sebagai pedoman dalam melakukan pengubahan tingkah laku. 7. Instrumen yang digunakan a. Skrining (screening) Ada banyak instrument tersedia bagi pekerja sosial untuk melakukan skrining bterhadap individu yang mengalami masalah alkohol dan obatobatan. Pada umumnya pekerja sosial menggunakan instrumen yang diisi oleh
37
individu sendiri (yaitu klien mengisi sendiri) atau instrument yang digunakan oleh pekerja sosial dengan mengajukan pertanyaan pada klien. Instrument singkat dan cepat yang paling sering digunakan dalam skrining adalah sebagai berikut: -
CAGE (empat topic CAGE adalah instrumen yang paling singkat)
-
Michigan Alcoholism Screening Test (MAST)
-
Drug Abuse Screening Test (DAST)
-
Alcohol Use Disorders Indentification Test (AUDIT)
-
Substance Abuse Subtle Screening Inventory (SASSI) Seleksi alat skrining harus didasarkan sesuai dengan setting (tempat)
digunakannya termasuk tempat pelayanan klien. Menurut Skinner, skrining bermanfaat apabila: -
Klien bebas alkohol dan obat serta mentalnya stabil
-
Individu yang melakukan skrining membangun kedekatan dengan klien
-
Klien memahami bahwa informasi yang mendukung akan digunakan
-
Klien dijamin adanya kerahasiaan. Dibanyak setting kerahasiaan sering tidak mungkin terjamin karena klien
dirujuk oleh pengadilan, petugas kejaksaan atau lembaga pelayanan perlindungan anak yang memberikan informasi untuk menentukan adanya
38
masalah penyalahgunaan atau ketergantungan obat sehingga perlunya dilakukan intervensi.27 b. Assessment Instrumen standar yang paling umum digunakan dalam asesmen orang dewasa yang bermasalah kecanduan alkohol dan obat adalah ASI (Addiction Severity Index). Instrument ini mencakup tujuh bidang, medis, pekerjaan, alkohol, obat, legal, keluarga/sosial, psikiatrik yang memberikan informasi sejarah sosial yang substansial. Pekerja sosial umumnya terampil dalam menyusun sejarah sosial, mengingat kebanyakan
pekerja
sosial
tidak
bekerja
dalam
program
penanganan
ketergantungan obat tetapi menghadapi klien dengan masalah tersebut, McNeece & DiNitto memberikan informasi dan panduan untuk menyusun sejarah sosial klien dalam kasus-kasus ketika informasi tentang masalah kecanduan alkohol dan obat diperlukan. Sejarah sosial membahas 10 bidang: pendidikan, lapangan kerja, sejarah keterlibatan sebagai militer (apabila sesuai), sejarah keluarga, relasi dengan orang penting lain, dan alasan individu mencari bantuan.28 8. Penanganan Penyalahgunaan Obat Salah satu bentuk layanan rawat rumah yang dibutuhkan klien adalah komunitas terapeutik dan rumah singgah, yang mempunyai tingkat supervise dan monitoring serta jangka waktu tinggal di tempat tersebut. Tidak banyak 27
Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, Buku Pintar pekerja Sosial Social Workers’ Desk reference, Penerjemah Juda Damanik dan Cynthia Pattiasina (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009), Cet. 1, h. 302. 28 Ibid, h. 304.
39
kesepakatan tentang pendekatan teori yang terbaik untuk merawat klien dengan masalah ketergantungan alkohol atau obatan lain. Proyek MATCH, yaitu studi tentang penanganan alkoholisme yang disponsori oleh National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism (NIAAA) menggunakan tiga pendekatan waktu terbatas bagi individu, dan penanganan rawat rumah (kadang-kadang lanjutan dari rawat inap): -
Fasilitas dua belas langkah (12 sesi) yang dirancang untuk membantu klien menggunakan Alcoholics Anonymous dan kelompok-kelompok serupa.
-
Terapi peningkatan motivasi (4 sesi) yang dirancang untuk membantu klien menggalang sumber-sumbernya sendiri untuk penyembuhan.
-
Terapi perilaku kognitif (12 sesi) yang di rancang untuk meningkatkan kemampuan
penyelesaian
masalah
klien
untuk
mempertahankan
kesembuhan.29 9. Sumber-sumber Self-Help Sumber pertama program 12 langkah adalah Alcoholic Anonymous (AA). Berbagai kelompok lain juga membantu orang yang bermasalah ketergantungan obat seperti Narcotic Anonymous (NA) dan Cocaine Anonymous (CA). AA, NA, dan kelompok lain telah membuka pertemuannya untuk membantu non-anggota belajar lebih banyak tentang kelompok itu. Mereka berbeda dari apa yang dibayangkan oleh orang yang sering merujuk klien ke kelompok tersebut. Sekalipun beberapa klien merasa bahwa kelompok demikian tidak bermanfaat, 29
Ibid, h. 306.
40
namun demikian kelompok tersebut dapat menjadi sumber penyembuhan utama bagi klien. Apabila digunakan bersama dengan penanganan professional, kelompok demikian merupakan sumber yang baik untuk rawatan lanjutan.30 10. Ukuran Hasil Mengukur hasil klien individu dalam praktik klinis sering dilakukan secara informal, tetapi ada beberapa instrument dalam bidang penyalahgunaan obat dan penanganan ketergantungan. Allen dan Columbus, banyak diantaranya terdapat instrument mengukur hasil pada tingkat lembaga atau program. Misalnya, ASI (Addiction Severity Index) mempunyai versi tindak lanjut yang dapat digunakan untuk mengukur hasil seorang klien pascapenanganan.31 11. Teori Sistem-Ekologi A. Pengertian Sistem Ekologi Menurut David Easton teori sistem adalah suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat, buruh, organisasi pemerintahan.32 Teori sistem memfokuskan pada aspek-aspek relasi antara orang-orang dan lingkungannya, bahwa individu secara konstan berinteraksi dengan individu lainnya. Ketika seseorang bertindak sesuai dengan sistem, maka seseorang tersebut
mempengaruhi
perubahan
dalam
sistem,
sebaliknya
mungkin
mempengaruhi individu.
30
Ibid, h. 309. Ibid, h. 310. 32 Singgih D Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, ( Jakarta, Gunung Mulia:1999), cet. ke-7, h. 6 31
41
B. Jenis-Jenis Sistem Dalam teori yang diungkapkan Urie Bronfenbrenner bahwa terdapat lima sistem lingkungan yakni: a) Mikrosistem Lingkungan dimana individu tinggal, hal ini meliputi keluarga, teman, sekolah, tetangga, tempat kerja. Adanya interaksi maka mempengaruhi seorang individu dalam pembentukan tingkah laku mereka. b) Mesosistem Hubungan antar mikrosistem atau hubungan antar konteks. Contohnya hubungan antar pengalaman dalam keluarga dan pengalaman di sekolah, pengalaman keluarga dengan tempat kerja dan lain-lain. c) Ekosistem Pengalaman individu yang dapat mempengaruhi individu lain secara tidak langsung, melibatkan pengalaman individu yang tidak memiliki peran aktif di dalamnya. Misalnya, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan wanita dengan suami dan anaknya. d) Makrosistem Kebudayaan dimana individu hidup, perkembangan individu dipengaruhi oleh norma, nilai, dan amalan masyarakat. Budaya dimana seseorang tinggal, budaya merupakan pola, perilaku, keyakinan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
42
e) Kronosistem Merujuk pada pola peristiwa dan transisi yang berlaku dalam sekitar individu disepanjang kehidupannya. B. Penyalahguna Narkoba 1. Pengertian Penyalahguna Penyalahguna zat adalah pemakaian zat di luat indikasi medik, tanpa petunjuk/resep dokter, pemakaian sendiri secara teratur atau berkala sekurangkurangnya selama satu bulan. Pemakaian bersifat patologik dan menimbulkan hendaya (impairment) dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan sekolah.33 Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika pasal 1 poin 15 menyatakan: “Penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum”. Mekanisme
terjadinya
penyalahguna
NAZA,
oleh
peneliti
Hawari
dikemukakan sebagai berikut: penyalahguna NAZA terjadi oleh interaksi antara faktor-faktor predisposisi (kepribadian, kecemasan, depresi), faktor kontribusi (kondisi keluarga), dan faktor pencetus (pengaruh teman kelompok sebaya dan zatnya itu sendiri). Dari sudut psikiatri (ilmu kedokteran jiwa) penyalahgunaan NAZA dapat mengakibatkan gangguan mental organik akibat NAZA atau disebut juga Sindrom Otak Organik, yang disebabkan oleh efek langsung dari NAZA tersebut terhadap susunan saraf pusat/otak.
33
Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, (Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 1991), h. 42.
43
2. Akibat Penyalahgunaan NAPZA Akibat-akibat Narkoba Terhadap Individu, Narkoba yang disalahgunakan dapat membawa efek-efek terhadap tubuh si pemakai sebagai berikut:34 a) Euphoria: ialah suatu persaan riang gembira (well being) yang dapat ditimbulkan oleh narkoba yang abnormal dan tidak sepadan atau tidak sesuai dengan keadaan jasmani atau rohani si pemakai yang sebenarnya. b) Delirium: yaitu menurunnya kesadaran mental si pemakai disertai kegelisahan yang agak hebat yang terjadi secara mendadak, yang dapat menyebabkan gangguan coordinator otot-otot gerak motorik (mal coordinator). c) Halusinasi: yaitu suatu kesalahan persepsi panca indera, sehingga apa yang dilihat, apa yang didengar tidak seperti kenyataan sesungguhnya. d) Weakness: yaitu suatu kelemahan jasmani atau rohani atau keduanya yang terjadi akibat ketergantungan dan kecanduan narkoba. e) Drowsiness: yaitu kesadaran yang menurun, atau keadaan antara sadar dan tidak sadar, seperti keadaan setengan tidur disertai fikiran yang sangat kacau dan kusut. f) Collapse: yaitu keadaan pingsan dan jika si pemakai over dosis, dapat mengakibatkan kematian. 3. Dampak dari Penyalahgunaan NAPZA Dampak penyalahgunaan narkotika pada seseorang sangat tergantung pada jenis narkotika yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi
34
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Mandar Maju, 2003), Cetakan I, h.24.
44
pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkotika dapat terlihat pada fisik, psikis maupun sosial seseorang. Dampak Fisik, Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti: kejangkejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi, gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti: infeksi akut otot jantung, gangguan peredaran darah, gangguan pada kulit (dermatologis) seperti: penanahan (abses), alergi, eksim, gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti: penekanan fungsi pernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur. Selanjutnya berdampak terhadap kesehatan reproduksi adalah gangguan padaendokrin, seperti: penurunan fungsi hormon reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan fungsi seksual, juga berdampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe (tidak haid). Bagi pengguna narkotika melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum suntik secara bergantian, risikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya. Penyalahgunaan narkotika bisa berakibat fatal ketika terjadi Over Dosis yaitu konsumsi narkotika melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian. Dampak Psikologi, Dampak psikologi yang ditimbulkan adalah: lamban kerja, ceroboh kerja, sering tegang dan gelisah, hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga, agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal,
45
sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan, cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri, gangguan mental, anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan, merepotkan dan menjadi beban keluarga serta pendidikan menjadi terganggu, masa depan suram. Dampak fisik dan psikis berhubungan erat. Ketergantungan fisik akan mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa (sakaw) bila terjadi putus obat (tidak mengkonsumsi obat pada waktunya) dan dorongan psikologis berupa keinginan sangat kuat untuk mengkonsumsi (biasa disebut sugest). Gejala fisik dan psikologis ini juga berkaitan dengan gejala sosial seperti dorongan untuk membohongi orang tua, mencuri, pemarah, manipulatif, dan lain-lain.35 C. NAPZA (Narkoba, Psikotropika, Zat Adiktif) 1. Pengertian NAPZA a) Narkotika Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Pengertian yang paling umum dari narkotika adalah zat-zat (obat) baik dari alam atau sintetis maupun semi sintetis yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan.36 Smith Kline dan French Clinical staff dalam bukunya “Drug Abuse, Amanual for law enforcement officer” membuat definisi tentang narkotika sebagai berikut:
35
Sumarlin Adam, Dampak Narkotika Pada Psikologi dan Kesehatan Masyarakat, Diakses Pada 20 Oktober 2016, www.portalgaruda.org. 36 Ibid, h.35.
46
“Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due to their depressant effect on the central vervous system. Included in this definition are opium, opium derivatives (morphine, codein, heroin) and synthetic apiates (meperidin, methadone)”. Artinya lebih kurang sebagai berikut: “Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidak sadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine dan lain-lain)”.37 b) Psikotropika Obat psikotropika adalah obat yang bekerja pada susunan syaraf pusat (S.S.P) yang memperlihatkan efek yang sangat luas. Istilah psikotropik mulai banyak dipergunakan pada tahun 1971, sejak dikeluarkan Convention on Psycotropic Substance oleh General Assembly (PBB) yang menempatkan zatzat tersebut dibawah control internasional.38 Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yamg berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.39
37
Dinas Penerangan Polri, Narkotika, Bahaya dan Penanggulangannya, (Jakarta: Karisma Indonesia, 1986), h. 12. 38 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkotika, (Bandung: Mandar Maju,k 2003), Cetakan I, h.63. 39 A. Kadarmanta, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, (Jakarta: PT. Forum Media Utama, 2010), h. 41.
47
Psikotropika merupakan zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintesis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas normal dan perilaku.40 c) Zat Adikitif Zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organism hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakan secara terus menerus yang jika dihentikan dapat member efek lelah luar biasa atau rasa sakit luar biasa, atau zat yang bukan narkotika dan psikotropika tetapi menimbulkan ketagihan.41 Unsur paling penting pada zat adiktif ini adalah karena zat tersebut membuat pemakainya ketergantungan. 2. Jenis-jenis NAPZA a. Narkotika Dalam pasal Undang-undang No.35 tahun 2009, narkotika dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu: 1) Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dalam jumlah terbatas dan dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, serta
40
Joyo Nur Suryanto Gono, Narkoba: Bahaya Penyalahgunaan dan Pencgahannya, h. 81. Nurbani Ulfah, Evaluasi Program Art Therapy Bagi Pasien Dual Diagnosis (NAPZASkizofrenia) Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, (Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), h.63. 41
48
mempunyai
potensi
yang
sangat
tinggi
mengakibatkan
ketergantungan. Contohnya: opium, heroin, kokain, dan lain-lain. 2) Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
tinggu
mengakibatkan
ketergantungan. Contohnya: banzetidin, betametadol, difenoksilat, hidromorfinol, metadon, morfin, petidin dan turunannya, dan lain-lain. 3) Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contohnya: kodein, norkodina, propiran dan lain-lain. Jenis-jenis narkoba diantaranya:42 a) Opium berarti getah, yaitu getah dari kotak biji tumbuhan yang belum matang dari tumbuhan Papaver Somniferum L. bila kotak biji tumbuhan tersebut diiris akan mengeluarkan getah yang berwarna putih seperti air susu, yang bila dikeringkan akan menjadi sejenis bahan seperti karet berwarna kecokelatan. b) Opioida adalah nama sekelompok zat alamiah, semi sintetik atau sintetik yang mempunyaio khasiat farmakologi mengurangi atau memtikan rasa nyeri (analgesic).
42
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas, 2010), Cetakan Pertama, h.28.
49
c) Morfin adalah bahan analgesic yang kuat khasiatnya, tidak berbau, bentuk Kristal, berwarna putih, yang berubah warnanya menjadi kecoklatan. Opium mentah mengandung 4% sampai 21% morfin. Sebagian besar opium diolah menjadi morfin dan codein. d) Codein adalah alkaloida terkandung dalam opium sebesar 0,7% sampai 2,5%. Codein merupakan opioida alamiah yang banyak digunakan untuk keperluan medis. e) Heroin/putaw adalah opioida semi sintetik, berupa serbuk putih dan berasa pahit yang disalahgunakan secara meluas. Di pasar gelap heroin dipasarkan dalam ragam warna karena dicampur dengan bahan lainnya seperti gula, cokelat, tepung susu, dan lain-lain dengan kadar sekitar 24%. f) Metadon adalah opioida sintetik yang mempunyai daya kerja lebih lama serta lebih efektif daripada morfin dengan pemakaian ditelan. g) Ganja, cimeng, marijuana, atau cannabis sativa atau cannabis incida adalah tumbuha perdu liar di daerah beriklim tropis dan sedang seperti Indonesia, India,, Laos, Cambodia.dll h) Hashish adalah getah ganja yang di keringkan dan dipadatkan menjadi lempengan. i) Kokain adalah alkaloida dari tumbuhan Erythroxylon Coca, sejenis tumbuhan di lereng pegunungan Andes di Amerika Selatan.
50
b. Psikotropika Dalam United Nation Conference for Adoption of protocol on Psycotropic Substance disebutkan batasan-batasan zat psikotropik adalah bentuk bahan yang memiliki kapasitas yang menyebabkan: a. Keadaan ketergantungan b. Depresi dan stimulant susunan saraf pusat (SSP) c. Menyebabkan halusinasi d. Menyebabkan gangguan fungsi motorik atau persepsi atau mood.43 Didalam ilmu kejahatan tentang penyalahgunaan obat psikotropika seperti yang telah diuraikan, dibagi menjadi: 1) Stimulansia Yang digolongkan stimulansia adalah obat-obat yang mengandung zat-zat yang merangsang terhadap otak dan syaraf. Obat-obat yang dimasukan dalam golongan stimulansia adalah Amphetamine beserta turunan-turunnya.44 Ada beberapa jenis psikotropika diantaranya: a. Amphetamine dan ATS (Amphetamine Type Stimulant) adalah stimulant susunan syaraf pusat, seperti kokain, kafein, nekotin dan cathine. b. Ekstasi adalah zat sintetik amfetamin yang dibuat dalam bentuk pil. Ekstasi berarti sukacita yang berlimpah-limpah, berlebihan, meluap. Pil ini bekerja merangsang syaraf pusat otonom.
43
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkotika, (Bandung: Mandar Maju,k 2003), Cetakan I, h. 64. 44 Ibid, h. 69.
51
c. Shabu adalah zat metilamfetamin (turunan amfetamin), dimana namanya meminjam nama sebuah masakan dari jepang. Shabu berbentuk Kristal putih mirip vetsin dan cairan mudah larut dalam alkohol dan air.45 2) Depresiva Depresiva adalah obat-obatan yang bekerja mempengaruhi otak dan SSP yang didalam pemakaiannya dapat menyebabkan timbulnya depresi pada si pemakai. Dalam ilmu kejahatan yang menyangkut NAPZA, biasanya yang digolongkan obat-obat depresiva adalah: 1. Barbiturat dan turunan-turunannya 2. Benzodiazepine dan turunan-turunannya 3. Metakualon 4. Alkohol 5. Zat-zat pelarut/solvent. 3) Halusinogen Halusinogen adalah obat-obatan yang dapat menimbulkan daya hayal (halusinasi) yang kuat, yang menyebabkan salah persepsi tentang lingkungan dan dirinya baik yang berkaitan dengan pendengaran, pengelihatan maupun perasaan. Secara umum halusinogen bekerja terhadap sistem neurotransmisi serotonin di otak. Dimasa kini, zat halusinogen tidaklah merupakan zat yang bersifat
45
Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, (Jakarta: Mitra Bintibmas, 2010), Cetakan Pertama, hal 9.
52
menyembuhkan. Bahkan di Amerika Serikat sejak tahun 1965, penggunaan halusinogen dianggap menimbulkan resiko terhadap kesehatan sehingga dilarang pemakaian dan penjualannya. Berikut ini adalah beberapa macam halusinogen: a) LSD LSD merupakan kependekan Lysergic acid diethylamide, yang merupakan obat yang dibutuhkan oleh manusia (sintetis). Di Indonesia LSD dikenal dengan sebutkan Elsid. b) D.M.T D.M.T merupakan singkatan kata dari Dimethly triptamine. Zat ini berasal dari tanaman Cohoha. Tanaman tersebut ditanam oleh penduduk asli India Barat dan Amerika Selatan. c) D.E.T D.E.T merupakan suatu singkatan dari kata Diethly tryptamine. Zat ini tidak didapat dari tumbuhan alam. DET seratus persen dibuat secara kimiawi dilaboraturium. d) D.O.M D.O.M merupakan singkatan dari kata Dimethoxy amphetamine. DOM hanya dibuat secara kimiawi, dan tidak diketemukan dari tumbuhan alam. e) P.C.P Pada saat ini PCP merupakan obat-obatan yang mempunyai resiko yang paling
besar
disalahgunakan.
bagi
pemakaiannya
dibanding
obat-obatan
lain
yang
53
f) MESCALINE Mescaline dibuat dari bahan alamiah dan sintetik. Antara keduanya didalam penyalahgunaan tidak banyak berbeda yakni dipergunakan untuk menimbulkan halusinasi. c. Zat Adiktif Zat adiktif yang lazim digunakan adalah nikotin dalam produk-produk tembakau dan caffeine, zat aktif dalam kopi, teh dan beberapa minuman botol yang dijual disetiap supermarket. Ada beberapa jenis zat adiktif diantaranya: a) Nicotin Nicotin terdapat dalam tembakau (nicotiana tabacum L, berasal dari argentina) dengan kadar sekitar 1%-4. Dalam setiap batang rokok terdapat 1,1 mg nikotin, nikotin merupakan stimulant susunan syaraf pusat. b) Alkohol Alkohol termasuk zat adiktif, artinya zaat tersebut dapat menimbulkan adiksi (addiction) yaitu ketagihan dan dependensi (ketergantungan). Penyalahgunaan/ketergantungan
NAZA
jenis
alkohol
ini
dapat
menimbulkan gangguan mental organik yaitu gangguan dalam fungsi berfikir, berperasaan dan berperilaku.46
46
Dadang Hawari, Penyalahgunaan & Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol & Zat Adiktif), (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000), h.51.
54
BAB III PROFIL LEMBAGA A. Latar Belakang Lembaga 1. Sejarah Yayasan KAPETA Yayasan Karya Peduli Kita (KAPETA) adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang didirikan melalui kepedulian sebuah komunitas yang terdiri dari psikolog, praktisi pendidikan dan para orangtua yang memiliki pengalaman dengan masalah gangguan penggunaan zat di antara keluarga dan lingkungannya. KAPETA memulai kegiatan sejak Juni 2002 melalui pertemuan dukungan untuk orang tua (Family Support Group) dan program terapi Gangguan Penggunaan Zat rawat jalan (daycare), hingga kemudian resmi didirikan dengan berbadan hukum Yayasan pada tanggal 24 Februari 2004. Melalui
berbagai
program
terkait
penanggulangan masalah
gangguan
Penggunaan Zat (NAPZA) dan HIV / AIDS, Yayasan KAPETA berusaha untuk dapat membantu pemulihan orang-orang dengan masalah gangguan penggunaan zat untuk dapat kembali ke fungsi sosialnya di masyarakat dan memberikan dukungan sosio-psikologis bagi para ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) dalam menapaki kehidupannya. Masih terbatasnya penyebaran informasi dan edukasi terkait masalah Gangguan Penggunaan Zat dan HIV / AIDS di Indonesia, menyebabkan keanekaragaman pemahaman dan sudut pandang masyarakat akan masalah tersebut. Hal ini
55
seringkali berdampak dan menjadi beban tersendiri bagi orang-orang atau lingkungan dekat dari para penderita Gangguan Penggunaan Zat dan ODHA. Apabila tidak ditanggulangi dengan baik, hal ini dapat menjadi stigma dan diskriminasi yang justru akan membuat masalah Gangguan Penggunaan Zat dan HIV / AIDS ini menjadi semakin rumit untuk ditanggulangi. Untuk itu, yayasan KAPETA juga mencoba mewujudkan kepeduliannya kepada para orang-orang dan masyarakat umum yang didalam kehidupannya bersinggungan erat dengan penderita Gangguan Penggunaan Zat maupun ODHA, dalam bentuk pemberian informasi, edukasi dan dukungan sosio-psikologis secara berkala. Kegiatan ini dikemas dalam bentuk pertemuan dukungan sebaya dan pertemuan dukungan keluarga, seminar, workshop, outbound maupun pelatihan, yang menjadi bagian dari pelayanan program untuk masyarakat umum (Public Program Services).47 2. Visi dan Misi a. Visi Menciptakan sebuah karya sebagai wujud kepedulian kepada diri, keluarga dan masyarakat secara luas akan penanggulangan masalah Narkoba dan HIV / AIDS. b. Misi -
Mencegah meningkatnya permasalahan terkait dari penggunaan Narkoba dan epidemi HIV/AIDS.
47
Yayasan Kapeta Indonesia, Program Kapeta , artikel diakses pada http://kapeta.org/.
6 maret 2016 dari
56
-
Membantu memberikan perawatan dan dukungan kepada para pengguna Narkoba dan ODHA.
-
Memberikan dukungan kepada keluarga dan lingkungan terkait lain dari para pengguna narkoba dan ODHA dalam pemulihan.
-
Memberikan dukungan orang dengan masalah narkoba dan ODHA di dalam pemulihan untuk dapat hidup mandiri dan berdaya. Membangun lingkungan kondusif untuk mendukung pencegahan dan penanggulangan masalah narkoba dan HIV / AIDS di masyarakat.
-
Menciptakan sebuah karya sebagai wujud kepedulian kepada diri, keluarga dan masyarakat secara luas akan penanggulangan masalah masalah narkoba dan HIV / AIDS di masyarakat.48
3. Prosedur Penerimaan Klien a) Prosedur Kedatangan Klien datang diantar oleh orang tua/ didampingi oleh wali yang ditunjuk orang tua. b) Wawancara Awal Klien datang menjalani wawancara awal terkait beberapa hal berikut:
48
-
Perjanjian masuk
-
Perilaku yang dapat mengakibatkan dikeluarkan dari program
-
Penjelasan program
-
Peryataan keluar
Yayasan Kapeta Indonesia, Tengtang Kami, artikel diakses pada http://kapeta.org/.
6 maret 2016 dari
57
-
Hak klien di dalam program
-
Kewajiban program terhadap klien. Jika klien setuju dengan pernyataaan diatas maka dipersilahkan untuk
membubuhkan tanda tangannya pada kolom yang tersedia atau paraf di bagian kanan bawah pernyataan tersebut. c) Pengisian Formulir dan Pemeriksaan Awal Fisik dan barang bawaan adalah kegiatan pemeriksaan kepada calon klien terhadap barang bawaan dan tubuh yang bertujuan mencegah adanya barang-barang yang dilarang masuk kedalam fasilitas. Hal ini dilakukan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan seluruh klien kami, dengan meminta ijin dan persetujuan klien terlebih dahulu.49
49
Data diperoleh dari Klien Handbook Yayasan Kapeta.
58
ALUR LAYANAN
4. Alur pelayanan yang diberikan Yayasan Kapeta untuk rehabilitasi sosial: 50 Edukasi dasar, Wawancara, Family Support Group Yayasan keluarga pengasih Indonesia
Keluarga 8
Penerimaan Klien Kapeta Head Office (Jl. Abdul Madjid Raya No.9, Cipete Utara, Jakarta Selatan)
Rawat Inap
ATS KOKAIN 2.1
8.1
5
OPIAT
Pluto 8 Treatment Center (Jl. Pluto Dalam 1 no.8, Villa Cinere Mas)
2.2
Skrining Pengenalan Program
Intake 1.1
1.2
Pemerikasa an Kesehatan Dasar
Detoksifi kasi Penangan an Gejala Putus Zat
Half-way House 6
3 BENZO ALKOHO L
4
Konseling, Family Support Group yayasan Keluarga Pengasih Indonesia 8.2
2.3
KANABIS Dan Lainlain 2.4
50
Data Diperoleh dari Dokumentasi Yayasan Kapeta.
Rawat Jalan
After Care
7
9
59
5. Struktur Organisasi51 STRUKTUR ORGANISASI KAPETA DEWAN PEMBINA -
Dra. Psi. Betty Kemal Taruc, a. Psi. Alita Damar, MPH Ir. Adji Sarnanto DEWAN PENGAWAS -
Ir. Paramayudha Ir. Wisdarmanto GS Dra. Ottyawati Adji Drs. Kemal Taruc
KETUA/DIRECTUR Erry Wijoyo, S.Ikom
SEKRETARIS
BENDAHARA
Adinda P. Kusubandio
Gita Kencana Poetri
DIVISI PROGRAM HIV & AIDS
DIVISI PROGRAM GANGGUAN PENGGUNAAN ZAT
DIVISI
DIVISI
KEUANGAN & ADMINISTRASI
PENGEMBANGAN PROGRAM
STAFF
STAFF
STAFF
STAFF
SSR DF R 8
RAWAT INAP
KEUANGAN ADMINISTRASI
DESAIN GRAFIS & PAKAIAN
JAKARTA SELATAN
RAWAT JALAN
51
Yayasan Kapeta Indonesia, Tentang Kami, artikel diakses pada http://kapeta.org/.
6 maret 2016 dari
60
6. Sarana dan Prasarana Untuk menunjang kualitas program, yayasan KAPETA menyediakan layanan dan fasilitas pendukung seperti: a) Konseling gangguan penggunaan zat terstruktur b) Konsultasi psikologi c) Konsultasi dokter umum dan spesialis d) Kamar tidur AC + water heater e) Kolam renang f) TV kabel dan internet g) Wellnes program h) Fasilitas olahraga i) Self-help Group dan family support group j) Vokasional k) Outing l) Dan lain-lain. 7. Landasan Hukum a. Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika. b. Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2011 tentang Institusi Penerima Wajib Lapor. c. Peraturan Menteri Sosial NO/HUK/2009 Standar Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan NAPZA.
61
d. Peraturan Menteri Sosial No.3 Tahun 2012 Standar pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyalahgunaan NAPZA.52 8. Program Rehabilitasi Ada beberapa program rehabilitasi KAPETA, diantaranya: a. Program Rawat Inap Program untuk Gangguan Penggunaan Zat yang didisain berdasarkan kebutuhan klien dengan jangka waktu 1 sampai dengan 6 bulan. Klien akan menjalankan berbagai kegiatan terapi seperti: konseling individu, konseling kelompok, edukasi, relaksasi dan yoga, terapi seni, kegiatan olahraga, kegiatan
rogani,
kegiatan
rekreasi
dan
kegiatan
teraputik
lainnya.
Menggunakan pendekatan elektik yang mengintegrasikan model pembelajaran sosial dengan pendekatan motivasional, terapi kognitif-perilaku, pengenalan 12-langkah dan strategi pengendalian HIV&AIDS. b. Program Rawat Jalan Program yang dirancang khususnya untuk gangguan pennggunaan zat yang masih dalam taraf menengah atau belum mengalami ketergantungan (adiksi). Program ini cocok untuk membantu menyelesaikan masalah gangguan
penggunaan
zat
jenis
stimulant
(shabu,
ekstasu,
dll),
benzodiazepine (Xanax, Dumolid, Happy Five, dll) hingga alcohol dan ganja. Program ini juga dapat menjadi lanjutan dari program rawat inap intensif yang dirancang dengtan tetap mempertimbangkan kebutuhan primer seperti sekolah, bekerja hingga mengurus anak. 52
Studi Dokumentasi Yayasan Kapeta.
62
c. Layanan Keluarga Yayasan Kapeta menyediakan layanan untuk keluarga, pasangan maupun pihak terdekat lainnya untuk dapat mendukung dan terlibat langsung di dalam program. Program ini adalah wadah bagi keluarga yang salah satu anggotanya mengalami masalah dengan Gangguan Penggunaan Zat untuk dapat berbagi, saling menguatkan dan mendapatkan pengetahuan menghadapi masalah tersebut.53 9. Kerjasama Lembaga Yayasan Karya Peduli Kita didukung oleh beberapa lembaga terkait seperti:54
53 54
-
IKAI (Ikatan Konselor Adiksi Indonesia)
-
BNN (Badan Narkotika Nasional)
-
Komisi Penanggulangan AIDS
-
Kementrian Sosial Republik Indonesia
-
YKPI (Yayasan Keluarga Pengasih Indonesia).
Studi Dokumentasi Yayasan Kapeta. Studi Dokumentasi Yayasan Kapeta.
63
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS
Pada bab empat ini mengenai temuan lapangan yang selanjutnya dianalisa sesuai dengan tinjauan pustaka, berdasarkan hasil temuan lapangan yang penulis peroleh mengenai judul Rehabilitasi Sosial untuk Penyalahguna Napza di Yayasan Karya Peduli Kita, maka penulis akan menjelaskan pada bab ini melalui proses rehabilitasi dan hasil rehabilitasi yang diberikan di Yayasan Kapeta. Adapun sub-bab yang akan dibahas: A. Proses Rehabilitasi Sosial Proses rehabilitasi sosial diberikan Yayasan Kapeta untuk klien penyalahgunaan NAPZA melalui beberapa program, baik itu sifatnya individu ataupun kelompok. Dalam program rehabilitasi sosial, klien diberikan beberapa macam rawatan, seperti Rawat Inap dan Rawat Jalan. Program rawat inap merupakan program yang diberikan untuk gangguan penggunaan NAPZA yang didisain berdasarkan kebutuhan klien dengan rentang waktu 1 s.d. 6 bulan. Klien menjalankan berbagai kegiatan terapi seperti: konseling individu, konseling kelompok, edukasi, relaksasi dan yoga, terapi seni, kegiatan olahraga, kegiatan rohani, kegiatan rekreasi dan kegiatan teraputik lainnya.55 Dalam tahap rawat inap, klien diberikan beberapa fase mulai dari fase awal bulan pertama sampai dengan fase bulan ketiga.
55
Studi Dokumen, Brosur Yayasan KAPETA.
64
Dalam program rawat inap terdapat tahapan sebelum klien menjalankan rawatan yaitu Assessment. Assessment adalah proses penilaian dan estimasi atau evaluasi kebutuhan klien yang dilakukan oleh staff, assessment diberikan saat awal bulan pertama. Seperti yang telah disampaikan oleh bapak Gidien selaku konselor di Kapeta, sebagai berikut: “Assesment ada beberapa yang kita lakukan, tujuannya itu untuk mendiagnosa, apapun alatnya yang kita pakai tujuannya ya untuk mendiagnosa. Seperti addiction severity index (ASI) ini adalah standar internasional, untuk mengetahui tingkat keparahan menggunakannya dan permasalahan apa saja yang menyerta, biasanya kan jika menggunakan zat itu ada masalah yang menyerta lainnya seperti dari medis, keluarga dll, untuk menjadi alat ukur kita memberikan terapi. Dan juga ada assessment yang lain, seperti bunuh diri jadi untuk mendeteksi ada riwayat bunuh diri. Jadi disini kita bisa mengantisipasi. Supaya kita punya dasar untuk memberikan terapi, makanya dibutuhkan assessment.”56 Assessment perlu dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang timbul terhadap klien, juga untuk menentukan perencanaan rawatan yang dibutuhkan oleh klien. Serta mengetahui tingkat keparahan klien dalam penggunaan zatnya itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh pekerja sosial Siti Jumartina sebagai berikut: “ assesment yang pertama itu ada ASI (addiction severity index), itu zat yang di pake apa, tingkat keparahannya apa, gak jauh beda sama pengecekannya biopsikososial spiritual”57 Tidak hanya ASI, dalam melakukan assessment perangkat yang digunakan ada WHOQOL yaitu alat untuk mengukur kualitas hidup dari klien dan BBV-Traq yaitu untuk menilai resiko tercapainya virus melalui transmisi darah. Hal ini disampaikan juga oleh pekerja sosial Siti Jumartina yang mengatakan: 56
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016. 57 Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 29 Juli 2016.
65
“Selanjutnya ada WHOQOL itu mengenai 30 hari terakhir sebelum klien ada disini, kaya gitu” “Setelah itu ada BBV traq itu perilaku beresiko saat dia pake, kaya perilaku dia menyuntik, lalu perilaku seksual dan penetrasi kulit itu kaya pake barang-barang pribadi bersamaan dengan orang lain seperti gunting kuku, alat cukur, sisir kaya gitu jadi mereka harus punya barang masing-masing”58 Selanjutnya dari hasil assessment, konselor akan menentukan langkah apa yang tepat untuk diberikan ke klien. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, instrumen yang digunakan untuk assessment ialah ASI (Addiction Severty Index). Instrument tersebut mencakup tujuh bidang: medis, pekerjaan, alkohol, obat, legal, keluarga/sosial, psikiatrik yang memberikan informasi sejarah sosial yang substansial. Assesment diperlukan untuk klien agar klien mendapatkan rawatan yang tepat dalam menjalankan rehabilitasi sosial yang diberikan. Dari data diatas dapat penulis simpulkan untuk melakukan assessment, Yayasan Kapeta menggunakan beberapa perangkat assessment seperti ASI (addiction severity index), WHOQOL, dan BBV-Traq. Assesment dilakukan oleh staff yang bertugas saat itu. Assesment juga berguna untuk mengetahui permasalahan yang lain diluar penggunaan NAPZA. Dari assessment tersebut, konselor dapat menentukan rawatan selanjutnya bagi klien. Setelah melakukan assessment diawal, klien akan menjalani program rawat inap di Yayasan Kapeta. Dalam program rawat inap terdapat beberapa program yang diberikan Yayasan Kapeta kepada klien baik secara individu atau kelompok. Adapun ini program individu yang diberikan Yayasan Kapeta, sebagai berikut:
58
Wawancara Pribadi dengan Pekerja Sosial, Tangerang Selatan, 29 Juli 2016.
66
a. Konseling Individu Konseling individu yaitu merupakan salah satu pemberian bantuan secara perseorangan dan secara langsung. Adapun konseling individu yang dilakukan oleh Yayasan Kapeta kepada penyalahguna NAPZA dijelaskan oleh Bapak Gidien sebagai konselor, sebagai berikut: “Konseling disini dilakukan klien dengan konselornya, konseling individu ini dilakukan berbeda-beda karena setiap klien berbeda bentuk terapinya bisa berbeda-beda makanya topiknya juga berbeda karena setiap orang punya masalah yang gak sama kan.. jadi konseling individu itu kita sesuaikan dengan permasalah klien yang sudah kita ketahui melalui assessment biar berkesinambungan konteknya gak keluar dari permasalahannya biasanya dari permasalahan dari penggunaanya terus mungkin ada permasalahan, faktor pemicu kenapa dia menggunakan, atau pola penggunaannya atau strategi mencegah penggunaan, strategi mencegah kekambuhan atau bisa juga tentang dampak-dampaknya. Lebih banyak itu kita lihat masalah penggunaannya dulu, bisa juga masalah keluarga tapi kita hanya bisa mendengarkan.”59 Hal ini juga dikatakan oleh Bapak Irfan sebagai konselor, sebagai berikut: “Minimal 8 kali pertemuan, balik lagi ke resume assessment tadi biasanya udah ditentuin apa nih yang akan kita kasih ke dia nanti dapet stukturnya nanti kita bahas tuh prioritas-prioritas itu. Misalnya apa aja nih yang mau kita bahas masalah napza, kita konseling itu klien center jadi yang memutuskan klien, tapi kita susun secara terstuktur ini loh yang mau dibahas jadi konseling juga gak ngalor ngidul gitu nah sesuai rencana rawatannya apa yang mau dibahas.”60 Berdasarkan hasil wawancara tersebut, konseling yang dilakukan oleh Yayasan Kapeta merupakan interaksi antara klien dan konselor untuk mengetahui dan mendengarkan permasalahan yang dihadapi klien mulai dari penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan klien menggunakan NAPZA. 59
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016. 60 Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016.
67
Konseling individu di Yayasan Kapeta dilakukan dalam 8 kali pertemuan, hal ini dijelaskan oleh Bapak Irfan sebagai Konselor. Jadi dapat disimpulkan bahwa konseling individu sangat dibutuhkan dalam rehabilitasi, agar setiap apa yang dirasakan oleh klien selama didalam Yayasan bisa disampaikan kepada konselor dan jika ada masalah, konselor sebagai fasilitator bisa mencari jalan keluar bersama klien untuk mencari solusinya. Saat konseling individu, klien lebih ditekankan membahas penggunaan zat itu sendiri baik untuk pemulihan maupun pencegahan kekambuhan, namun jika klien ingin membicarakan hal lain juga diperbolehkan. Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis, ruangan untuk konseling individu saat ini sedang dalam renovasi. Jika ada klien ingin melakukan konseling biasanya mereka mencari tempat yang sepi dan kondusif untuk sharing semua yang dirasakan oleh klien, konseling juga dapat dilakukan di luar Kapeta tapi dengan persetujuan bersama dengan konselor. Berikut pernyataan klien AR mengenai konseling individu yang dilakukan oleh konselornya: “Nah kalo konseling disini kaya cerita, misalkan ( iya nih gara-gara drugs saya jadi lemot, gimana sih caranya biar gak lemot lagi?) dia tuh kaya kasih tahu gitu, atau gak kan kalo make narkoba tuh kaya jadi banyak gitu masalah, duit abis mulu atau gak kalo lagi gak ada barang lu tuh butuh banget sampe jual sepatu baju lah kaya gitu.. konseling tuh sejam cuma kan udah asik cerita kadang lebih dari sejam.”61 Berdasarkan hasil wawancara diatas disimpulkan bahwa kegiatan konseling individu ini yang dilakukan dengan konselor, dilakukan minimal 8 kali pertemuan 61
Wawancara Pribadi dengan Klien, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016.
68
dan setiap pertemuan hal yang dibicarakan klien biasanya mengenai adiksi itu sendiri, atau hal mengenai pencegahan kekambuhan. Namun setiap individu memiliki perpedaan masalah, jadi setiap yang konselor memiliki cara mereka sendiri untuk membantu klien. Program yang diberikan oleh Yayasan Kapeta setelah proses konseling adalah memberikan berbagai terapi. Terapi yang diberikan yaitu: b. Terapi Religius Terapi religi ini adalah suatu proses penyembuhan dan pengobatan suatu penyakit baik mental, spiritual, moral, maupun fisik. Terapi religius yang diberikan oleh Yayasan Kapeta disampaikan oleh Siti Jumartina sebagai Pekerja Sosial, Sebagai berikut: “ada sesi religi juga, setiap hari rabu jam 3 rutin kita ngundang pak ustadz kesini untuk ceramah..”62 Berdasarkan hasil wawancara, bahwa terapi religi yang dilakukan dengan mengundang Bapak Ustadz untuk memberikan ceramah kepada penyalahguna NAPZA pada setiap hari rabu pukul 3 sore. Berdasarkan hasil temuan lapangan tidak hanya dipanggil seorang ustadz, melainkan ada beberapa sesi yang sifatnya mengajarkan klien untuk ingat akan Tuhan dimanapun dia berada. Dan juga kegiatan solat berjam’ah bagi yang muslim dilakukan di Yayasan Kapeta, bagi yang non muslim setiap mereka yang ingin beribadah makan Yayasan akan memberikan izin tapi tetap dengan persetujuan konselor.
62
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 29 Juli 2016.
69
Terapi psikoreligius merupakan terapi untuk memulihkan peserta rehabilitasi dalam menjalankan ibadahnya. Hal ini untuk memperkuat keimanan mereka sehingga tidak kembali pada narkoba.63 Berdasarkan analisis penulis bahwa terapi religi merupakan terapi yang dibutuhkan oleh klien untuk memperkuat keimanan klien sehingga para penyalahguna tidak kembali dalam menggunakan narkoba. Terapi religi ini diharapkan kepada klien agar mereka lebih memikirkan lagi hukum dosa atau tidaknya suatu perbuatan mereka karena agama juga mengajarkan berbuat kebaikan, apabila seseorang tidak mempunyai pengetahuan agama maka potensi mereka berbuat kesalahan akan lebih besar. c. Terapi Olah Raga Yayasan Kapeta sudah memfasilitasi klien untuk kegiatan Olahraga, seperti penyediaan kolam renang, boxing, dan alat fitness. Kegiatan ini juga diberikan dalam bentuk kompetisi seperti, futsal, basket, badminton, jalan pagi, dan tenis meja dengan tujuan untuk membantu menumbuhkan perilaku yang bertanggung jawab diantara mereka. Proses terapi olahraga yang dilakukan oleh penyalahguna NAPZA seperti yang disampaikan oleh Siti Jumartina: “iya jadi anak-anak disini dibebasin kalo mau olah raga, tapi tetap ada waktunya. Mereka bisa pilih sendiri mau olah raga apa, misalnya kan dibelakang ada kolam renang ya mereka boleh berenang dibebasin terus kemarin ada yang mau ikutan boxing nanti kami disini memfasilitasi mereka”64 Berdasarkan hasil wawancara menjelaskan bahwa terapi medis melalui kegiatan olahraga dilakukan tanpa adanya paksaan dari Yayasan Kapeta. Para 63
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba, (Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005), h.14-15. 64 Wawancara Pribadi dengan Pekerja Sosial Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016.
70
klien diberikan kebebasan untuk melakukan kegiatan olahraga yang mereka inginkan. Karena berdasarkan hasil temuan penulis bahwa yayasan Kapeta telah memfasilitasi kegiatan olahraga untuk para klien seperti kolam renang, alat fitness, boxing dan tenis meja yang berada di halaman belakang. Klien melakukan kegiatan olahraga setelah mereka selesai melakukan sesi di pagi hari seperti berenang bersama. Terapi olahraga ini merupakan bagian dari jenis terapi medis, terapi medis ditunjukan agar para pengguna narkoba sehat secara fisik. Kegiatan dalam terapi ini yaitu memulihkan kondisi fisik yang lemah, dengan pemberian makanan yang bergizi dan kegiatan olahraga.65 Jadi dapat disimpulkan bahwa terapi medis melalui kegiatan olahraga bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik para pengguna narkoba sehingga terapi ini bermanfaat untuk klien guna menjaga kesehatan diri klien, karena setiap individu yang memiliki badan yang sehat tidak ingin memakai zat narkoba. Terapi medis ini juga bisa menjauhkan diri klien dari hal-hal bersifat negative dengan melakukan berbagai kegiatan olahraga. d. Terapi Seni Dalam memberikan terapi seni Yayasan Kapeta memberikan kebebasan terhadap klien untuk memilih apa yang diinginkan, yang biasa diberikan seperti bermain gitar, karaoke, art therapy, membuat puisi, melukis, dan membuat gambar atau prakarya. Hal ini disampaikan oleh Bapak Gidien: “Lalu ada terapi seni, ada terapi seni yang memang berkaitan langsung dengan seni yang dijadikan terapi untuk adiksi, ada yang 65
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba, (Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005), h.14-15.
71
sifatnya untuk rekreasional itu kita jalankan dua-duanya, kalo terapi seni itu kita yang mengadakan dan yang rekreasional itu dipilih oleh mereka dan kita didiskusikan.”66 Kemudian kegiatan seni ini juga bersifat terapi agar mengetahui psikologis klien seperti apa, hal ini dijelaskan oleh Bapak Gidien: “Kalo itu ada yang namanya art feeling itu jenis terapi seni yang menggunakan medianya melukis, jadi dari hasil lukisan itu baik dari segi warna gambar itu bisa kita evaluasi jadi bisa lebih tau ada permasalahan apa untuk kedepannya bisa dibantu.”67 Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat dikatakan bahwa kegiatan seni ini diberikan untuk mengatahui psikologis dari masing-masing klien, misalnya klien sedang merasa senang atau sedih. Dan kegiatan ini juga untuk memberikan kegiatan tambahan disaat klien sedang tidak melakukan kegiatan terapi yang lain. Kegiatan ini merupakan bisa diberikan melalui kelompok, seperti yang dijelaskan oleh Zastrow kelompok ini termasuk dalam kelompok keterampilan rekreasi, tujuan dari kelompok ini untuk menyelenggarakan kegiatan kreatif, juga meningkatkan keterampilan tertentu diantara para anggotanya.68 Berdasarkan analisis penulis dapat disimpulkan bahwa kegiatan seni ini sifatnya rekreasi untuk meningkatkan keterampilan dari klien. Selain itu tujuan kelompok ini untuk
menyelenggarakan
kegiatan
kreatif,
juga
untuk
meningkatkan
keterampilan tertentu diantara para anggotanya. Kelompok seni ini berguna
66
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016 67 Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016. 68 Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social Responsibility), (Bandung: Alfabeta, 2009), h.38.
72
untuk membantu klien disini agar klien dapat melakukan kegiatan yang positif dan menghasilkan suatu karya dibandingkan klien harus menggunakan NAPZA. e. Personal Time Personal time adalah waktu yang disediakan Kapeta bagi klien untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka seperti menyelesaikan tugas, mencuci baju, merapihkan kamar, dan lain-lain. Berikut ini adalah wawancara penulis dengan Bapak Gidien sebagai salah satu konselor: “Kalo personal time itu adalah waktu mereka melakukan kewajibankewajiban pribadi mereka, baik dari merapihkan tempat tidur, kamar, baju dan sebagainya.”69 Dari hasil observasi yang dilakukan penulis, klien melakukan hal pribadi mereka seperti mencuci pakaian, mencuci piring yang telah selesai dipakai kemudian membuat makanan atau minuman saat waktu istirahat, ataupun mengobrol dengan klien yang lain. Berdasarkan data diatas penulis menyimpulkan bahwa kegiatan personal time sangat bermanfaat bagi klien, dengan kegiatan tersebut dapat mengajarkan klien tanggung jawab terhadap pekerjaan dan dirinya sendiri. Selain itu juga mengajarkan klien untuk lebih disiplin.
69
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016.
73
Yayasan Kapeta juga memberikan terapi kelompok bagi para klien yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran diri, meningkatkan hubungan interpersonal, membagi emosi atau perasaan yang dimiliki klien dan agar klien mandiri. Terapi kelompok yang diberikan di yayasan Kapeta adalah: a. Morning Meeting Morning meeting adalah kegiatan yang dilakukan setiap pagi hari yang mengawali kegiatan awal hari klien. Beberapa proses Morning Meeting yang dilakukan oleh Yayasan Kapeta disampaikan oleh Bapak Irfan salah satu Konselor, sebagai berikut: “Yaa pertama itu ada just for today biasanya ngebacain tulisan yang ada di buku ini yang dibuat oleh NA (Narcotic Anonymous), nanti dibaca oleh satu orang dan yang lainnya menanggapi. Morning meeting ini biasanya berkumpul mereka semua dan ditemani oleh staff yang bertugas, satu sesi harian tadi ada sesi 12 langkah dan langkah-langkah itu harus mereka jalani dan orang yang mengajari 12 langkah itu harus sudah pernah menjalani tahapan 12 langkah itu. Jadi kalo belum menjalani 12 langkah itu belum bisa mengajari klien itu sendiri.”70 Jadi sebelum melakukan morning meeting klien harus membuar format circle baik itu di ruang kelas ataupun di ruang sesi, kemudian seluruhnya membacakan doa kedamaian atau yang sering disebut serenity prayer satu sama lain berpegangan tangan dan kemudian satu orang diantara mereka membacakan buku just for today dimana di dalam buku tersebut berisikan tulisan 12 langkah. Kemudian setelah selesai dibacakan just for today tersebut kemudian selanjutnya
70
Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016.
74
dilakukan belly check. Belly check ini juga dijelaskan oleh Bapak Irfan salah satu konselor: “Lalu ada belly check disitu mereka mengungkapkan perasaannya di hari itu seperti apa, apakah baik seperti itu.. Dan ada announcement itu disini adalah pengumuman, misalnya hari ini saya mau telepon orang tua, hari ini saya mau cuci baju, yaa mulai kegiatan hari ini. Terus community concerns itu kepedulian komunitas isinya menegur, memberikan informasi, ucapan terimakasih dan ucapan penghargaan tapi dengan cara yang baik dan benar dan berfokus pada masalah tidak merembet ke yang lain dan terjadi pada hari itu juga, dan ada juga yang memberikan motivasi.”71 Untuk belly check ini setiap klien menceritakan perasaannya di hari itu, misalnya tentang kesehatannya apakah baik atau kurang baik. Selanjutnya ada announcements, community concerns, awareness, hause issue dan theme of the day. Sebagaimana yang juga disampaikan oleh Siti Jumartina salah satu pekerja sosial yang mengatakan: “announcement misalnya dia mau ngapain hari ini entah nyuci baju atau telpon ortunya, community concern itu memberi peringatan misalnya selesai mandi handuknya jangan taro sembarangan, terus ada awareness itu pemberitahuan aja kaya cucian piring numpuk siapa yang mau cuci, terus house issue biasanya kita tentuin isu rumah buat hari ini, theme of the day itu membahas yang house issue itu dan yang bertugas itu mayor on duty”72 Morning meeting memiliki durasi waktu sekitar 45 menit sampai satu jam tergantung dari banyaknya klien, diadakannya setiap pagi setelah makan pagi dan dipimpin oleh satu orang staff yang sedang bertugas atau sering disebut mayor on duty. Setelah selesai morning meeting, klien berperan menjadi “chief”
71
Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016. 72 Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 29 Juli 2016.
75
mengingatkan klien untuk mengembalikan kursi dan peralatan lain yang digunakan di dalam pertemuan pagi untuk dikembalikan ke tempat semula, dan kemudian melakukan selanjutnya yang sudah direncanakan.73 Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh penulis, saat melakukan morning meeting semua klien disana aktif dan semua berbicara. Penulis mengikuti semua proses saat morning meeting tersebut, tidak ada pembatas antara penulis dan klien semua sama menjadi satu saat melakukan format circle. Klien semua terbuka menceritakan apa yang sedang dirasakan hari itu ataupun apa yang akan dilakukan dan
melakukan
kepeduliannya
sesama
residen
seperti
memberitahukan mesin cuci yang sedang rusak dan kerja sama mereka kompak seperti membersihkan kamar tidur mereka sendiri ataupun ruangan lain yang masih berantakan. Berdasarkan data diatas penulis menyimpulkan bahwa morning meeting menggunakan kelompok penyembuhan (therapeutic group), kelompok terapi ini umumnya beranggotakan orang-orang yang mengalami masalah personal dan emosional yang berat dan serius.74 Dalam pemberian kegiatan ini Yayasan Kapeta bertujuan untuk mengupayakan agar para anggota kelompok mampu menggali masalahnya secara mendalam, dan kemudian mengembangkan satu atau lebih strategi pemecahan masalah. Penggunaan kelompok ini guna untuk mengubah tingkah laku anggota kelompok.
73
Data didapat dari Klien handbook Yayasan Kapeta. Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social Resposibility), (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 39. 74
76
b. Assertive Group Assertive Group merupakan pembentukan kelompok bertujuan untuk membuat klien dapat menyampaikan apa yang dirasakan dengan menggunakan komunikasi yang baik agar mendapatkan ouput yang baik pula. Salah satu keterampilan menyelesaikan “coping skill” yang perlu dimiliki oleh klien adalah keterampilan mengutarakan pendapat kepada seseorang secara apa adanya dan tidak bersifat agresif terhadap perasaan orang lain, yang disebut dengan komunikasi asertif. Pada kontek pemulihan, faktor relapse pada seseorang sering terjadi salah satunya karena ketidakmampuan untuk berbicara secara asetif.75 Hal ini disampaikan oleh salah satu konselor yaitu Bapak Gidien: “Assertive itu jadi gini, hambatan-hambatan komunikasi yang terjadi tuh biasanya gak nyampe nih pesannya sama orangnya.. jadi misalnya gini saya gak suka nih sama mba tapi gak saya sampein, jadi saya pendem padahal kalo itu saya sampaikan dengan jelas mungkin kekesalan saya akan berkurang walaupun gak ilang sama sekali tapi kalo itu gak saya sampaikan nantinya akan cenderung agresif. Akhirnya di assertive grup ini untuk menyampaikan unekunek perasaan tapi dengan aturan-aturan tertentu, tanpa menyinggung perasaan seseorang dan itu diadakan biasanya saat mereka ada masalah.”76 Dari wawaancara diatas dapat dikatakan bahwa assertive group ini merupakan kelompok yang bertujuan untuk klien agar dapat mengemukakan pendapatnya dengan komunikasi yang baik, tentu saja dalam kelompok ini klien diberikan aturan-aturan agar apa yang disampaikan tidak menyinggung perasaan orang lain.
75
Data didapat dari Klien Handbook Yayasan Kapeta. Wawancara Pribadi dengan Pak Irfan sebagai Konselor, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016. 76
77
Hal ini berkaitan dengan teori yang di sampaikan oleh scott dan Dryden, mengenai Keterampilan menyelesaikan (coping skills). Melalui sesi Assertive Group ini klien dibantu untuk dapat menyampaikan apa yang dirasakan, diajarkan agar bisa menyampaikan dengan cara yang benar serta dapat menghadapi apa yang terjadi ketika mereka dalam kondisi sulit.77 Jadi dapat disimpulkan bahwa assertive group ini berguna untuk mengutarakan pendapat dengan membentuk sebuah kelompok diharapkan klien dapat menjadi lebih komunikatif, asertif, dan dapat menempatkan emosinya dengan cara yang terkontrol, terutama ketika menghadapi masalah dan konflik. c. Static Group Suatu
kelompok
kecil
klien
yang
ditunjukkan
untuk
membahas
perkembangan-perkembangan yang dialami klien dengan konselor.78 Hal ini dijelaskan oleh Bapak Gidien salah satu konselor, yang mengatakan bahwa: “Static group itu lebih pendekatan ke terapi kelompok tetapi memang kelompoknya itu lebih tertutup jadi sesuai dengan konselor yang sama, jadi kelompok ini memiliki konselor yang sama paling banyak anggotanya 4 orang. Di grup ini karena rekan sebaya dan karena memang tujuannya untuk diskusi supaya input dan satu sama lain saling memberikan, rekan sebaya disini adalah karena satu permasalahan dan satu tujuan untuk pulih.”79 Kemudian hal ini juga dikatakan oleh konselor yang lain yaitu Bapak irfan, sebagai berikut: “Jadi yang dibahas itu biasanya tema besarnya datang dari konselor, atau bisa kita lempar ke mereka.. temanya sedikit banyak 77
Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.42. 78 Data didapat dari Klien Handbook, Yayasan Kapeta. 79 Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016.
78
tentang kepulihan, selain kepulihan disini juga bisa tentang yang lain setelah mereka selesai rehabilitasi. Diskusi disini didampingi oleh konselor dan konselor sendiri itu sebagai fasilitator.”80 Berdasarkan wawancara diatas bahwa static group ini dibentuk berdasarkan kelompok sebaya yang mempunyai konselor yang sama, permasalahan yang sama dan kemudian ini adalah terapi kelompok yang bertujuan agar sesama anggota kelompoknya dapat bercerita dan mencari jalan keluar bersama atas permasalahannya. Berdasarkan teori mengenai kelompok pemecahan masalah dan pembuat keputusan, adanya kegiatan static group ini diharapkan bagi klien untuk menemukan pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk menemukan sumber-sumber baru dalam memenuhi kebutuhan baru.81 Jadi dapat disimpulkan bahwa static group merupakan pembentukan kelompok kecil yang dilakukan klien untuk mendiskusikan, membahas suatu permasalahan rencana dank lien ketika tahap rehabilitasi telah selesai dengan konselor. Dengan static group, klien dapat menemukan sumber-sumber dan informasi yang dibutuhkan oleh klien tersebut. Materi dalam kelompok ini membahas tentang kepulihan ataupun mengenai zat itu sendiri, namun anggota kelompok dapat meminta apa yang akan dibahas materinya sesusai dengan permintaan dari anggota kelompok namun agar tidak melenceng tetap ada arahan dari konselor.
80
Wawancara Pribadi dengan Konselor, Tangerang Selatan, 9 September 2016. Edi Suharto, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social Responsibility), (Bandung: Alfabeta, 2009), h.38. 81
79
d. Kelompok Pencegahan Kekambuhan Terapi ini diberikan ada yang sifatnya edukasi ataupun yang memulihkan, terapi ini wajib diikuti oleh semua klien sesuai dengan rencana perawatannya.82 Hal ini juga dijelaskan oleh konselor bapak Gidien, mengatakan: “Kalo pencegahan kekambuhan itu ada yang sifatnya edukatif dan ada yang mengembangkan keterampilan mereka supaya mereka tidak kambuh, misalnya bagaimana caranya menghadapi rasa menagih, bagaimana caranya melakukan strategi penolakan, dan mengidentifikasi rasa nagihnya itu kambuh. Diisi oleh staff kita disini.”83 Menurut wawancara diatas, kelompok pencegahan kekambuhan ini diberikan edukasi dengan cara memberikan informasi kepada klien untuk mengontrol diri mereka agar mampu untuk menahan rasa ingin kembali untuk memakai zat/rasa menagih. Terapi ini merupakan jenis terapi psikiatrik, dimaksudkan agar peserta rehabilitasi dapat menghilangkan sikap anti sosial. Selain itu terapi ini juga ditunjukkan untuk keluarganya agar dapat memahami permasalahan seputar narkoba dan persiapan atau sikap yang harus diambil bila anggota keluarganya kambuh kembali.84 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kelompok pencegahan kekambuhan merupakan terapi yang wajib diikuti oleh semua klien dengan memberikan edukasi informasi mengenai pemulihan baik dari cara menghadapi rasa ingin mencoba kembali dan melakukan penolakan serta cara mengembangkan keterampilan klien agar mereka tidak mengulang kesalahan lagi. 82
Data didapat dari Klien Handbook, Yayasan Kapeta. Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016. 84 Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba, (Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005). h. 14-15. 83
80
e. Terapi Kelompok Psikoedukasi Terapi ini ditunjukan untuk klien agar lebih memahami mengenai adiksi, baik dari segi dampak menggunakan adiksi atau bahaya yang ditimbulkan. Kegiatan ini berupa pembekalan dengan pendidikan. Kegiatan utamanya adalah pembekalan dengan pendidikan dan keterampilan, dalam terapi ini klien diberikan pendidikan mengenai adiksi seperti apa dan juga keterampilan dalam menyiapkan diri klien untuk nantinya kembali ke lingkungan sosialnya. Kemudian hal ini disampaikan oleh Konselor Bapak Gidien di yayasan Kapeta, yang menyatakan sebagai berikut: “Kelompok psikoedukasi, materinya tentang adiksi atau bahaya dari adiksi.”85 Berdasarakan hasil wawancara diatas, kelompok ini berguna untuk para klien dalam memberikan informasi tentang adiksi, karena klien membutuhkan informasi ini agar dapat mengetahui apa itu adiksi dan bagaimana bahaya yang ditimbulkan dari adiksi. Dan juga agar nantinya klien tidak lagi ingin menggunakan NAPZA. Seperti yang disampaikan oleh Pekerja Sosial, Siti Jumartina yang menyatakan: “jadi kalo terapi psikodinamik itu kita bisa kasih mereka semacem informasi tidak hanya adiksi, ataupun tentang kesehatan diri terus sama tentang kejiawaan. Nanti bentuknya tuh kaya seminar gitu kita tampilin pake proyektor”86
85
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016. 86 Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 29 Juli 2016.
81
Terapi ini termasuk dalam terapi psikososial dimana terapi ini bertujuan untuk para klien dapat bergabung kembali ke dalam lingkungannya. 87 Berdasarkan hasil analisa penulis dapat dikatakan bahwa terapi psikoedukasi memberikan informasi tentang kejiwaan ataupun kesehatan diri, terapi ini berguna bagi klien dalam menjaga kesehatan dirinya yang telah menggunakan zat dan mengontrol diri agar bersikap sesuai dan juga agar klien dapat kembali kedalam lingkungannya. f. Terapi Kelompok Kognitif-Perilaku Menurut Scott dan Dryden, pada prinsipnya terapi kognitif perilaku adalah mengidentifikasikan kandungan pemikiran, yang meliputi asumsi, keyakinan, harapan, pesan kepada diri sendiri (self talk), atau kelapangan (attributions). Melalui berbagai teknik, pemikiran-pemikiran kemudian dikaji untuk menentukan dampak akhirnya terhadap emosi dan perilaku klien.88 Bapak Irfan sebagai konselor di Yayasan Kapeta menyatakan bahwa: “terapi kalo disini ada beberapa pokok bahasan, secara garis besar ada pembahasan CBT (cognitive behavioral therapy) terapi pikiran dan perilaku”89 Dari hasil wawancara diatas dapat dikatakan bahwa terapi kognitif perilaku ini adalah untuk mengidentifikasi pikiran yang paling penting, perasaan dan perilaku yang membentuk reaksi dan memutuskan apakah tanggapan tersebut rasional dan bermanfaat. Prinsip dasar dari CBT adalah bahwa cara berpikir dalam situasi 87
Listiyana Kurniawan, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba, (Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005). h. 14-15. 88 Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.42. 89 Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 Semptember 2016.
82
tertentu mempengaruhi bagaimana seseorang merasa emosional dan fisik, dan mengubah perilaku individu. Setiap orang akan memiliki cara berpikir sendiri, respon individu terhadap peristiwa tertentu. Kemudian Pekerja Sosial Siti Jumartina menyatakan mengenai terapi kognitif perilaku ini, yaitu: “iya jadi kali CBT disini tuh, kaya ngasih tau klien buat menolak untuk pake zat lagi kalo nantinya diluar ada yang ngajak memakai zat lagi, terus menggali sugest klien yang ingin pake lagi agar tidak memikirkan zat seperti itu”90 Berdasarkan analisa penulis, terapi kognitif perilaku ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan penyelesaian masalah klien untuk mempertahankan kesembuhan dan terapi kognitif perilaku ini adalah terapi yang membantu dan menanggulangi gejala putus zat klien dengan memberikan informasi kepada klien. Terapi yang memberikan keterampilan mengenai perilaku dan jalan pikirannya, seperti mengendalikan pikiran tentang NAPZA dan penggunaannya. g. Terapi Kelompok Life Skill Terapi life skill ini berupa pendidikan yang memberikan keterampilan non formal, life skill ini dibutuhkan setiap klien penyalahgunaan NAPZA sebagai keterampilan untuk dapat berprilaku positif dan beradaptasi dengan lingkungan, yang memungkinkan klien mampu menghadapi berbagai tuntuan, dan tantangan dalam hidupnya sehari-hari dan termasuk dalam menyelesaikan masalah adiksi. Seperti yang dikatakan oleh konselor di Yayasan Kapeta yaitu Bapak Gidien, sebagai berikut:
90
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 29 Juli 2016.
83
“Kelompok terapi life skill, meningkatkan keterampilan mereka kaya manajemen waktu, rasa marah, stress, bagaimana melakukan perencanaan, berkomunikasi dengan baik”91 Berdasarkan hasil wawancara diatas terapi life skill diberikan kepada klien dengan tujuan agar klien dapat mengontrol diri mereka sendiri dari rasa marah, stress dan dapat mengatur waktu agar dapat berkomunikasi dengan baik. Berdasarkan teori kognitif-perilaku yang salah satu kategorinya ialah keterampilan menyelesaikan, disini klien diajarkan bagaimana klien dapat mengelola self control kemudian klien diajarkan cara menyampaikan apa yang harus dikatakan dalam situasi yang sulit, dan klien juga dapat mengetahui masalah yang ada dalam dirinya dan bisa merencanakan apa yang harus dilakukan.92 Jadi dapat disimpulkan bahwa terapi kognitif perilaku ini bertujuan agar klien dapat melakukan self control mereka dan klien juga dapat menemukan apa yang menjadi penyebab dalam permasalahan dirinya dan bisa menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah mereka, dalam terapi ini klien juga diajarkan untuk menyampaikan apa yang dirasakan disaat kondisi yang sulit. h. Family Support Group Dalam memberikan terapi peran keluarga juga sangat membantu proses pemulihan klien yang sedang menjalankan rehabilitasi sosial, dalam hal ini Yayasan Kapeta memfasilitasi keluarga klien dengan memberikan program khusus seperti memberikan informasi dan pengetahuan menghadapi masalah adiksi. 91
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016. 92 Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma Diawati Fuaida, Belajar Teori Pekerjaan Sosial, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.42.
84
Hal ini seperti yang disampaikan oleh Bapak Gidien berikut: “Kalo family support group ini yang kita ketahui masalah adiksi ini harus ditangani secara komperhensif, jadi pendekatannya bukan hanya dari kita aja nih pemberi layanan tapi perlu adanya dukungan keluarga, dukungan sosial yang baik juga berperan juga. Jadi ini adalah kelompok dukungan keluarga, jadi bukan hanya masalah dari klien saja makanya keluarga itu terpengaruh akibat adanya anggota keluarga ada yang menggunakan baik secara psikologis, emosional bahkan sampe peran dikeluarga bisa jadi berantakan menjadi malfunction. Selain mereka lebih paham masalah adiksi, tentunya mereka perlu dukungan sesame keluarga dengan keluarga sesama untuk membantu mereka, kalo klien punya kelompok dukungan juga maka keluarga juga perlu kelompok dukungannya. Biasanya dilakukan di kantor pusat, setiap hari selasa atau rabu kita bekerja sama dengan yayasan keluarga pengasih Indonesia, jadi yang dilakukan tidak hanya sharing dan menggunakan praktisi juga untuk jadi pembicara.”93 Hal ini juga senada yang diucapkan oleh Bapak Rahardianto: “iya jadi kita disini ada pertemuan keluarga mba, yang rutin dilakukan biasanya di tempat kita yang di Senayan.. karena peran keluarga sendiri sangat berpengaruh untuk mensuport keluarga yang memakai zat, kegiatannya disana itu diberikan edukasi mengenai adiksi”94 Berdasarkan hasil wawancara, penulis menyimpulkan bahwa family Suport group bertujuan agar keluarga klien dapat memahami permasalahan mengenai adiksi, dan dapat memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang sedang dalam pemulihan. Kegiatan ini bekerja sama dengan Yayasan Keluarga Pengasih Indonesia. Family support group adalah kelompok dukungan yang ditujukan untuk keluarga agar keluarga dapat menerima anggota keluarga yang memakai zat.
93
Wawancara Pribadi dengan Konselor Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016. 94 Wawancara Pribadi dengan Manajer Program Bapak Rahardianto, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 18 April 2016.
85
Kegiatan dalam kelompok ini edukasi mengenai adiksi.95 Menurut analisa penulis dukungan keluarga dalam proses rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba memiliki andil yang sangat penting karena klien sangat membutuhkan dukungan untuk terbebas dari narkoba sehingga tercipta hubungan yang harmonis dan komunikasi yang baik antar anggota keluarga. Kemudian Yayasan Kapeta memiliki program rawat jalan, program rawat jalan dirancang untuk gangguan penggunaan NAPZA yang masih taraf menengah atau belum mengalami ketergantungan (adiksi). Program ini juga dapat menjadi lanjutan dari program rawat inap intensif yang dirancang dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan primer seperti sekolah, bekerja hingga mengurus anak.96 Dalam tahap rawat jalan ini klien sudah boleh pulang kerumah tetapi 1 sampai dengan 5 hari permingggu klien menginap di Yayasan Kapeta dan sesuai kebutuhan. Adapun program-program yang didapat tidak jauh berbeda dengan saat rawat inap, tetapi dalam rawat jalan ini klien ditambahkan terapi kelompok bantu diri dan kegiatan vokasional. Berikut penjelasan mengenai program kelompok bantu diri dan vokasional: a. Self Help Group Kelompok yang terdiri dari beberapa klien dan berfungsi sebagai ruang berbagi tiap klien dalam menghadapi masalahnya. Hal ini disampaikan oleh Bapak Gidien berikut:
95 96
Dokumentasi Yayasan Kapeta. Studi Dokumen, Brosur Yayasan Kapeta.
86
“Nah itu kelompok bantu diri atau kelompok dukungan yang ditujukan untuk klien, jadi orang-orang yang sudah pulih untuk menjaga tetap pulih mereka perlu kelompok dukungan untuk bantu diri dari situlah mereka ada untuk membantu satu sama lain nah jadi untuk masalah adiksi ini maka perlu dirawat supaya gak kambuh maka perlu adanya kelompok dukungan namanya kelompok bantu diri itu fungsinya untuk mengingatkan, berbagi pengalaman bagaimana mengatasi masalah-masalah setelah selesai dari rehab nah sudah diluar tantangannya banyak misalnya gak gampak cari kerja bosenlah, makanya butuh kelompok ini. Salah satunya adalah kelompok Narcotic Anonymous.”97 Berdasarkan hasil wawancara diatas, kelompok dukungan klien ini dibutuhkan untuk klien agar klien dapat sharing kepada orang-orang yang sudah mengalami permasalahan yang sama sebelumnya seperti klien, klien juga mendapatkan pengetahuan lebih tentang pencegahan kekambuhan itu sendiri ataupun saat fase pemulihan. Di kelompok ini klien juga dapat menambah teman agar wawasan klien bertambah. Menurut analisa penulis, kelompok dukungan untuk diri klien ini bermanfaat dan bisa menjadi sumber penyembuhan utama bagi klien, apabila digunakan bersama dengan penanganan professional, kelompok dukungan ini merupakan sumber yang baik untuk rawatan lanjutan.98 Jadi dapat disimpulkan bahwa kelompok dukungan yang diberikan Yayasan Kapeta kepada penyalahguna NAPZA dapat membantu klien dalam proses pemulihan, karena dengan bergabungnya klien dengan kelompok ini klien dapat berbagi
97
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016. 98 Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, Buku Pintar Pekerja Sosial Social Workers’ Desk Reference, Penerjemah Juda Damanik dan Cyntia Pattiasina, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009), Cet. 1, h. 309,
87
pengalaman dengan anggota lainnya dan juga mendapatkan informasi baru menganai adiksi dan lainnya. b. Kegiatan Resosialisasi Yayasan Kapeta memberikan Kegiatan Resosialisasi dengan memberikan program kerja sosial, kegiatan ini bertujuan agar klien dapat mengadapi lingkungan mereka yang sesungguhnya dan mampu berkomunikasi dengan baik serta bekerja dengan masyarakat. Adapun proses kegiatan resosialisasi di Yayasan Kapeta seperti yang dikatakan oleh Siti Jumartina salah satu Pekerja Sosial yang ada di Yayasan Kapeta: “Nah kita disini kaya kasih business pass sama home leave, jadi biar mereka tuh terbiasa di luar, gimana ngejalin komunikasi di luar biar gak kaku. Soalnya kan kalo disini kegiatan mereka rutin dari pagi sampe malem setiap hari kaya gitu, berbeda saat mereka diluar. Nanti pas mereka udah balik kesini kita review, apa aja yang dilakuin selama diluar itu.. melatih mereka juga agar mereka mandiri”99 Jadi berdasarkan wawancara, proses resosialisasi yang digunakan oleh pihak Yayasan Kapeta kepada klien dengan memberikan kegiatan business pass dan home leave dengan tujuan untuk melatih klien ketika mereka berada di masyarakat. Dalam kerja sosial klien sendiri harus mendapatkan imbalan sebagai bentuk implementasi dari filosofi “lakukan yang terbaik, maka segala hal yang baik akan mengikuti” dan “kompensasi itu sebuah hal yang valid”100 Ada bermacam-macam kerja sosial yang disediakan oleh Yayasan Kapeta seperti, mencuci motor dan 99
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016. 100 Dokumentasi Yayasan Kapeta.
88
mobil warga, merawat dan membersihkan halaman rumah tetangga, dan membantu program panti asuhan/panti jompo. Tahap resosialisasi merupakan kegiatan menyiapkan lingkungan sosial, lingkungan pendidikan, dan lingkungan kerja.101 Berdasarkan analisa penulis pada tahap resosialisasi, kegiatan ini baik untuk klien dalam menyiapkan diri klien agar dapat menyiapkan dirinya kembali ke dalam lingkungan, baik keluarga ataupun masyarakat. Dengan mengikuti berbagai kegiatan di masyarakat, mengajarkan klien untuk lebih aktif dan bersosialisasi dengan baik kepada masyarakat sehingga bisa menghilangkan stigma negatif yang timbul di masyarakat mengenai penyalahguna NAPZA itu sendiri. c. Kegiatan Vokasional Kegiatan vokasional mendukung produktifitas dan menumbuhkan nilai kewirausaan dalam diri klien, maka perlu dilakukan kegiatan vokasional di sela kegiatan program lainnya.102 Hal ini disampaikan oleh Bapak Rahardianto sebagai Program Manajer yang menyatakan bahwa: “iya kita disini ada kegiatan vokasional yang diberikan kepada klien seperti memberikan pelatihan menyablon, jadi waktu itu kita bawa mereka ke tempat penyablonan gitu mba jadi mereka diberikan pelatihan disana. Untuk saat ini sih kita masih mencari kegiatan yang lain selain menyablon”103 Kemudian hal ini juga diperkuat oleh Pekerja Sosial, Siti Jumartina yang menyatakan, sebagai berikut:
101
Ibid, h. 309. Dokumentasi Yayasan Kapeta. 103 Wawancara Pribadi dengan Bapak Rahardianto, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 18 April 2016. 102
89
“oh kalo kegiatan vokasional kita disini waktu itu sih kita bawa klien ke tempat penyablonan yang dari kemensos kalo gak salah, abis itu kita panggil tukang sama bawa alat penyablonanya kesini itu sih buat sablon yang mudah dulu belum yang sulitnya”104 Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan kegiatan vokasional ini diberikan disela-sela program yang tujuannya untuk membuat keterampilan baru terhadap klien, dan juga menumbuhkan kewirausahaan bagi klien. Kegiatan voksional ini bagus untuk diberikan agar klien setelah menyelesaikan rehabilitasi bisa membuka usaha diluar untuk pekerjaan baru. B. Hasil Rehabilitasi Tujuan setelah selesai melakukan rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta membuat klien yaitu untuk tetap abstinen. Maksud dari abstinen itu sendiri adalah kondisi yang berpantang dari segala bentuk pemakaian dan penyalahgunaan zat serta alkohol. Hal ini seperti yang telah dikatakan oleh Bapak irfan: “Secara garis besar sih yang dibilang berhasil mereka sudah tidak menggunakan zat kembali, terus yang kedua meskipun nantinya mereka akan jatoh kembali tapi itu tadi mereka tahu harus ngapain.. kalo toh mereka menggunakan kembali, mereka sudah tahu menggunakan yang tidak terpapar penyakit yang menular. Tapi kalo tujuan utama itu sih memang abstinen, sudah tidak lagi menggunakan.”105 Hasil dari rehabilitasi disini dimaksudkan kepada klien mereka sudah pulih dan berkurangnuya keinginan untuk memakai zat, serta klien juga sudah berubah secara perilaku. Dari hasil temuan lapangan yang penulis lakukan klien sendiri sudah bisa lebih teratur kehidupannya, mulai dari melakukan kegiatan dengan positif dan 104
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 29 Juli 2016. 105 Wawancara Pribadi dengan Bapak Irfan, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016.
90
tepat waktu seperti mencuci baju sendiri, mencuci peralatan makanan yang telah dipakai, kemudian melakukan kegiatan seperti olah raga ataupun kegiatan seni yang meningkatkan keterampilan mereka. Seperti yang telah dikatakan oleh Konselor Bapak Gidien, sebagai berikut: “Kalo yang bisa kita lakukan, kita melakukan assessment lanjutan dan itu menjadi bahan evaluasi.. dan memakai assessment ASI, nah dilanjutan ini dibulan ke 6 seperti apa, Apakah sudah meningkat atau belom, walaupun udah pulih tapi masih ada yang harus diperbaikin kita kasih tau ke klien. Karena kalo udah diluar ya itu jadi tanggung jawab pribadi dan sudah tidak difasilitasi lagi.”106 Di dalam Yayasan Kapeta ini juga mengizinkan klien untuk tetap melakukan kegiatan di luar rumah yang dinamakan Business Pass misalnya mereka adalah mahasiswa diluar mereka tetap kuliah, jika yang bekerja mereka tetap melakukan pekerjaan. Dengan rehabilitasi ini mereka diharapkan untuk tetap abstinen dan bisa untuk menolak jika diajak untuk menggunakan zat kembali. Ukuran hasil individu bisa dilihat dari asesmen ASI yang mempunyai versi saat tindak lanjut, di Yayasan Kapeta melakukan asesmen ASI tindak lanjut tepatnya setelah 6 bulan perawatan dan yang diperiksa kembali adalah medis, sosial seperti hubungan dengan keluarga, pendidikan, psikologis, dan hukum. Seperti yang telah dikatakan oleh Program Manajer Bapak Rahardianto, sebagai berikut: “iya benar, setelah 6 bulan bisa diberlakukan asi lagi.. hasilnya akan bisa menjadi tolak ukur perkembangan klien khususnya dalam program, contoh mengenai status sosial di asi awal misalnya dia menyatakan bahwa dalam 30 hari terakhir ada maslah dengan keluarga dan lingkungan sekitar, nah setelah program berjalan dan
106
Wawancara Pribadi dengan Bapak Gidien, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 9 September 2016.
91
asi kembali dilihat apakah mengalami perkembangan atau tidak seperti itu kira-kira..”107 Dan untuk mengetahui hasil dari rehabilitasi setiap individu dilihat perkembangannya setelah melakukan rawatan selama 6 bulan, jika dilihat klien mengalami perkembangan dari aspek-aspek yang dilakukan ASI saat asesmen diawal nantinya klien akan dibuatkan resume rawatan yang menjadi hasil evaluasi rawatan yang telah dijalankan, juga diperkuat dengan pernyataan berikut: “lebih tepat setelah 6 bulan sejak asi 1 dilakukan mba, indikator lainnya dengan melihat rencana rawatan apa saja yang sudah berjalan dan mengalami perkembangan.. jadi setiap klien yang selesai program akan dibuatkan resume rawatan sebagai evaluasi rawatan yang sudah dijalankan”108 Kemudian klien AR juga mengatakan perkembangan yang dirasakan setelah mengikuti rawatan selama berada di Yayasan Kapeta, sebagai berikut: “Fisik sih membaik, dari sisi psikologi juga membaik, hubungan dengan keluarga juga membaik.”109 Klien AR adalah klien yang paling lama mengikuti rawatan diantara klien yang sebagai informan, klien AR merasakan bahwa dirinya semakin baik setelah mengikuti
rawatan
di
Kapeta.
Berdasarkan
dari
data
diatas
penulis
menyimpulkan bahwa program rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta sudah berjalan dengan baik dan berdampak positif terhadap diri klien.
107
Wawancara Pribadi dengan Bapak Rahardianto, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 22 Oktober 2016. 108 Wawancara Pribadi dengan Bapak Rahardianto, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 22 Oktober 2016. 109 Wawancara Pribadi dengan Klien AR, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 20 September 2016.
92
Kemudian juga ada klien P yang memberikan pernyataan mengenai perkembangnnya selama mengikuti rehabilitasi, sebagai berikut: “mungkin gua berkurang keinginan butuh zat gua, udah gak mikirin zat lagi, waktu awalnya masih mikirin shabu gua pengenlah ibaratnya nagih. Sekarang udah ilang sedikit demi sedikit, sama fisik gue lebih baik kesehatan lebih baik”110 Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil dari rehabilitasi ini dilihat dari asesmen menggunakan ASI setelah mereka selesai melakukan rawatan, dan aspek-aspek dalam ASI itu seperti kesehatan, psikologis, relasi dengan keluarga ataupun orang lain. Dari situ dapat disimpulkan hasil, apakah dari fisik yang semula klien sakit setalah mengikuti rawatan menjadi membaik, kemudian jika sebelumnya klien addict untuk menggunakan zat setelah mengikuti rehabilitasi klien sudah berkurang untuk memikirkan zat itu lagi dan sudah tidak lagi menggunakan zat, dan juga hubungan dengan keluarga yang kurang baik akibat menggunakan NAPZA sekarang klien sudah berhubungan membaik karena perubahan yang dialami oleh klien yang tidak lagi memakai zat. Dan keluarga juga sudah diberikan pengetahuan mengenai adiksi, dan bagaimana cara menghadapi anggota keluarga yang penyalahguna NAPZA.111
110
Wawancara Pribadi dengan Klien P, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016. 111 Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, Buku Pintar Pekerja Sosial Social Workers’ Desk Reference, Penerjemah Juda Damanik dan Cyntia Pattiasina, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009), h. 304.
93
C. Peran Pekerja Sosial Pekerja Sosial di Yayasan Kapeta menjalankan berbagai peranan, Salah satunya sebagai fasilitator. Pekerja sosial Siti Jumartina menjelaskan sebagai berikut: “kita disini tugasnya membantu konselor saat melakukan asesmen, contohnya kita ngebuat ecomap, genogram kaya gitu karena konselor sendiri kurang paham untuk ngebuat itu makanya kita bantu. Terus juga kita isi sesi-sesi yang ada disini..”112 Seperti yang terlihat saat peneliti melakukan observasi, pekerja sosial mengisi sesi. Saat itu pekerja sosial memberikan materi psikoedukasi, dan dalam sesi tersebut pekerja sosial mendorong anggota untuk berpartisipasi aktif hal tersebut terlihat saat pekerja sosial menanyakan jika ada yang tidak mengerti sebaiknya bertanya. Kemudian dalam sesi yang lain ada dynamic group,sesi ini dibuat oleh pekerja sosial, seperti yang dikatakan oleh klien AR sebagai berikut: “kalo setiap hari jum’at disini kita ada dynamic group, biasanya sih kita main games aja sama klien yang lain didampingin sama peksos.. gamesnya sih macem-macem kalo setiap minggu..”113 Kemudian hal tersebut dipekuat oleh penyataan pekerja sosial Siti Jumartina, yang menyatakan bahwa: “iya peksos disini biasanya setiap hari jumat bikin dynamic group, tujuannya itu gak cuma sekedar kasih games gitu aja tapi kita juga bikin biar kelompok itu tuh saling mensuport satu sama lain biar kompak..”114
112
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016. 113 Wawancara Pribadi dengan klien AR, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016. 114 Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016.
94
Dan dalam sesi yang lain pekerja sosial juga membantu klien untuk membantu dalam isu permasalahan, seperti yang terlihat saat peneliti mengikuti sesi morning meeting. Terlihat pekerja sosial menanyakan apa yang sedang dirasakan saat itu, kemudian apakah ada masalah atau tidak, jika ada maka pekerja sosial akan berdiskusi dengan kelompok untuk menemukan jalan keluar bersama dengan klien. Kemudian pekerja sosial Siti Jumartina menjelaskan kembali tentang peranan yang dijalankan oleh pekerja sosial dalam proses rehabilitasi di Yayasan Kapeta, sebagai berikut: “jadi kalo disini tuh biasanya klien kalo ada apa-apa biasanya ngomong ke kita dulu, misalkan uang mereka udah abis tapi mau beli sesuatu nanti kita nyampein ke konselornya baru dipenjemin uang dulu kaya gitu, terus kalo mereka lagi ada masalah juga mereka ceritanya ke kita dulu”115 Menurut analisa penulis bahwa peran pekerja sosial di Yayasan Kapeta menjalankan peranan sebagai fasilitator yaitu pekerja sosial membantu konselor untuk membuat instrument untuk melakukan assessment dengan menggunakan ecomap dan genogram. Instrument tersebut bisa mengetahui hubungan yang terjalin oleh klien seperti hubungan negatif klien dengan teman diluar yang mempengaruhi
penyalahgunaan
NAPZA
setelah
itu
pekerja
sosial
memberitahukan hal tersebut kepada konselor untuk ditindaklanjuti.116
115
Wawancara Pribadi dengan Siti Jumartina, Ruang Tamu Yayasan Kapeta, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016. 116
95
Kemudian sebagai mediator seperti yang telah dibahas oleh pekerja sosial, mediator disini pekerja sosial membantu klien untuk menyampaikan apa yang dirasakan selama menjalankan rehabilitasi dengan konselor mereka, agar nantinya berdiskusi untuk menemukan solusi yang tepat untuk penyelesaian masalah.
96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang diperoleh penulis di Yayasan Karya Peduli Kita untuk melihat proses rehabilitasi dan hasil rehabilitasi melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi maka dapat disimpulkan: 1. Proses Rehabilitasi Sosial Proses Rehabilitasi sosial yang dilakukan diawal yaitu melakukan assessment yang bertujuan untuk mengetahui masalah yang timbul, kemudian untuk mencari tahu kebutuhan klien. Setelah itu klien ditentukan rawatan apakah rawat inap atau rawat jalan dan diberikan program-program rehabilitasi. Rawat inap diberikan selama 3 bulan, dan rawat jalan juga diberikan selama 3 bulan namun saat melakukan rawat jalan klien sudah diperbolehkan untuk business pass untuk bekerja ataupun kuliah. Dan diberikan kegiatan vokasional agar klien dapat meningkatkan keterampilannya. Setelah rawat jalan akan dilakukan assessment akhir untuk mengetahui pekembangan klien, dan dilakukan proses terminasi. Proses terminasi dilakukan jika klien sudah menyelesaikan program, klien meminta untuk tidak meneruskan, ataupun keterbatasan lembaga dan diperlukan sistem rujukan, dan tahap terakhir adalah pembinaan lanjut yang bertujuan untuk pemeliharaan rehabilitasi klien di masyarakat, ataupun melihat kondisi
97
lingkungan keluarga, sosial atau kerja yang kondusif dan mengembalikan keberfungsian sosialnya. 2. Terapi yang diberikan Yayasan Kapeta Dalam memberikan terapi, yayasan Kapeta memberikan terapi baik secara individu ataupun kelompok. Bentuk terapi dalam rehabilitasi sosial ini antara lain: Terapi kelompok pencegahan kekambuhan, Terapi kelompok kognitif-perilaku, Terapi kelompok psikoedukasi, Terapi kelompok life skill, Terapi kelompok dukungan keluarga, Terapi psikoreligius, Terapi psikososial. Pemberian terapi ini bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik ataupun mental penyalahguna NAPZA, seperti pemberian kegiatan olahraga ataupun memberikan pembekalan dengan pendidikan dan latihan keterampilan agar klien dapat kembali berfungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Hasil dari rehabilitasi sosial Yayasan Kapeta adalah membuat klien tetap abstinen artinya klien sudah tidak lagi menggunakan zat dan bisa untuk menolak untuk tidak menggunakan kembali jika ada yang mengajak, serta klien tahu apa yang harus dilakukan saat mereka dalam keadaan terpuruk. Untuk mengetahui hasil dari rehabilitasi sosial di Yayasan Kapeta ini, Kapeta melakukan Asesment akhir yaitu dengan menggunakan ASI, aspek-aspek yang diperiksa antara lain mengenai perkembangan kesehatan, psikologis, dan hubungan dengan keluarga ataupun lingkungan.
98
B.
Saran Dari hasil kesimpulan yang tertera diatas penulis akan memberikan saran yang
terkait dengan rehabilitasi sosial dan hasil rehabilitasi yang diberikan Yayasan Kapeta kepada penyalahaguna NAPZA, sebagai berikut: 1. Yayasan Kapeta sebaiknya menambahkan kegiatan vokasional untuk klien untuk mengurangi kebosanan. Seperti pemberian keterampilan tata boga atau wirausaha yang nantinya setelah klien selesai menjalankan rehabilitasi bisa membuka usaha sendiri agar lebih mandiri atau kegiatan vokasional seni musik yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan bermusik, selain itu juga sebagai sarana hiburan bagi klien setelah seharian menjalani rehabilitasi. 2. Yayasan Kapeta menggunakan kembali ruang konseling saat klien melakukan konseling bersama konselor, agar kerahasiaan klien bisa tetap terjaga. 3. Pekerja sosial juga dapat mengerjakan tugas seorang konselor, seperti melakukan tahapan assessment sampai pada tahapan terminasi.
99
DAFTAR PUSTAKA
A. SUMBER BUKU Al-Qur’an Tajwid 12 warna dan Terjemah, Al-Maidah ayat 90, Jakarta: PT. Suara Agung, 2009. Ariefuzzaman, Siti Napsiyah dan Fuaida, Lisma Diawati, Belajar Teori Pekerjaan Sosial, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana, 2011. Dinas Penerangan Polri, Narkotika, Bahaya dan Penanggulangannya, Jakarta: Karisma Indonesia, 1986. Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013. Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian, Malang: Umm Press, 2010. Hawari, Dadang, Lima Besar Penyakit Mental Masyarakat ,Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2008. Hawari, Dadang, Penyalahguna & Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, & Zat Adiktif), Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000. Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013), Cetakan Pertama, h. 176. Kadarmanta, Narkoba Pembunuh Karakter Bangsa, Jakarta: PT. Forum Media Utama, 2010. Koentjoro, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta:Salemba Humanika, 2012. Rukminto, Isbandi, Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan), Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013. Sarwono, Wirawan Sarlito, Psikologi Remaja ,Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2007. Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Manjur, 2003. Somar, Lambertus, Rehabilitasi Pecandu Narkoba, Jakarta: Grasindo, 2001. Suharto, Edi, Pekerjaan Sosial di Dunia Industri Memperkuat CSR (Corporate Social Resposibility), Bandung: Alfabeta, 2009. Suhato, Edi, Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi, Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI, 2004. Wresniwiro, dkk., Selamatkan anak bangsa dari bahaya narkoba, Jakarta: Mitra Bintibmas, 2010.
100
B. SUMBER SKRIPSI Cahyani Putri, Perbandingan Parental Attachment Antara Remaja Pria Penyalahguna Narkoba Dengan Remaja Pria Bukan Penyalahguna Narkoba, Skripsi S1 Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, 2004. Cristianingrum, Ferlinda, Penerapan Pendekaran Therapeutic Community Pada Program Rehabilitasi Remaja Korban Penyalahgunaan NAPZA, Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2002. Kurniawan, Listiyana, Pengaruh Konsep Pemulihan Terhadap Pusat Rehabilitasi Narkoba, Skripsi S1 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok, 2005. Ulfah, Nurbani, Evaluasi Program Art Therapy Bagi Pasien Dual Diagnosis (NAPZA-Skizofrenia) Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. C. SUMBER UNDANG-UNDANG Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 14 tahun 2011, Rehabilitasi Narkotika Komponen Masyarakat. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya. D. SUMBER WEBSITE Humas BNN, “Executive Summary Press Release Akhir Tahun 2015-BNN”, Diakses pada tanggal 16 April 2016 dari www.bnn.co.id. Yayasan Kapeta Indonesia, Program Kapeta , artikel diakses pada 6 maret 2016 dari http://kapeta.org/. E. SUMBER JURNAL Gono, Joyo Nur Suryanto, Narkoba: Bahaya Penyalahgunaan dan Pencegahannya. Proctor, L, Steven, dkk, A Naturalistic Evaluation of The Effectiveness of a Protracted Telephone-Based Recovery Assistance Program on Continuing Care Outcomes, Journal of Substance Abuse Treatment, Vol. 73. Santoso, Topo dan Silalahi, Anita, Penyalahgunaan Narkoba Di Kalangan Remaja: Suatu Perspektif, Jurnal Kriminolog Indonesia, Vol. 1, No. 1 September 2000. F. Hasil Wawancara Wawancara Pribadi dengan klien AR, Tangerang Selatan, 20 September 2016. Wawancara Pribadi dengan klien AR, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016. Wawancara Pribadi dengan klien P, Tangerang Selatan, 26 Agustus 2016.
101
Wawancara Pribadi dengan Konselor Gidien Ryaan, Tangerang Selatan, 9 September 2016. Wawancara Pribadi dengan Konselor Irfan Seiff, Tangerang Selatan, 9 September 2016. Wawancara Pribadi dengan Pekerja Sosial Siti Jumartina, Tangerang Selatan, 29 Juli 2016 dan 26 Agustus 2016. Wawancara Pribadi dengan program manajer Yayasan Kapeta Rahardianto Purnomo, Tangerang Selatan, 18 April 2016.
HASIL OBSERVASI
Waktu
: Pukul 09.00.WIB
Hari/Tanggal
: 16 September 2016
Observasi Sesi Morning Meeting
Observasi yang penulis lakukan pada hari ini adalah Sesi Morning meeting. Kegiatan ini dilakukan di ruang kelas yang berada di dekat halaman belakang Yayasan Kapeta. Kegiatan ini dipimpin oleh staff yang bertugas saat itu atau biasa yang disebut dengan mayor on duty. Sesi ini adalah kegiatan yang mengawali pagi hari klien sebelum melakukan sesi-sesi di hari ini, sesi dimulai pukul 09.00 pagi, semua klien wajib mengikuti sesi morning meeting ini. Morning meeting dilakukan dalam format circle, sebelum sesi dimulai semua yang hadir dalam morning meeting membacakan doa perdamaian dengan berpegangan tangan, doa perdamaian dibacakan oleh satu orang kemudian orang yang lain mengikuti. Setelah doa perdamaian selesai selanjutnya membacakan just for today, just for today adalah sebuah buku yang berisikan tulisan-tulisan penyemangat untuk para klien. Just for today juga dibacakan oleh satu orang yang memimpin dan yang lain mengikuti, tujuan dari just for today itu sendiri adalah untuk memberikan motivasi dan hanya memikirkan untuk hari ini saja jangan memikirkan untuk hari-hari kedepan seperti apa yang telah disampaikan oleh salah satu konselor.
Setelah itu dilakukan belly check, yaitu setiap klien menyampaikan perasaannya di hari itu seperti kesehatan ataupun perasaannya hari ini, hari ini semua klien sehat tapi ada satu orang yang merasa kurang enak badan. Dan kemudian announcement yaitu memberitahukan apa yang akan dilakukan pada hari ini, seperti salah satu klien yang mengatakan bahwa hari ini akan menghubungi orang tuanya dan ada juga yang akan solat jumat. Lalu community concern dimana bagian ini lebih menunjukkan perhatiannya terhadap anggota lainnya, seperti memberitahukan apakah yang merasa kesal dengan klien yang lain tapi saat itu tidak ada yang merasa kesal atau punya
permasalahan
dengan
yang
lain.
Selanjutnya
awareness
yaitu
pemberitahuan untuk anggota kelompok lainnya, hari ini ada seorang klien yang memberitahukan bahwa filter mesin cuci sudah rusak dan jika selesai mencuci harus membersihkan filter tersebut. Kemudian ada house issue yaitu isu apa yang diangkat oleh klien, hari ini isu yang diangkat nuansa weekend, sepi dan selanjutnya adalah theme of the day yaitu kerja bakti untuk membersihkan kamar masing-masing dan membersihkan kamar
mandi
serta
dapur.
Setelah
mengembalikan kursi ke tempat awal.
selesai
setiap
anggota
kelompok
Tanggal/Hari
:26 Agustus 2016/ Jum’at
Waktu
: 13.30 WIB.
Mengikuti Sesi yang diberikan oleh Pekerja Sosial dan wawancara dengan 2 orang klien. Hari ini adalah hari pertama penulis mengikuti sesi yang dibawakan oleh Pekerja Sosial, sesi diberikan pukul 13.00 siang dan sesi dilakukan diruang kelas. Saat penulis mengikuti sesi, sebelumnya penulis meminta izin kepada seluruh klien untuk bisa mengikuti sesi. Sesi ini membahas mengenai life skill, pekerja sosial yang bertugas memberikan materi layaknya guru memberikan pelajaran kepada muridnya begitupun saat pekerja sosial memberikan materi semua klien mendengarkan dengan baik dan mencatat hal-hal yang penting dalam materi tersebut. Kemudian penulis melihat bahwa klien disana benar-benar fokus mendengarkan apa yang diberikan pekerja sosial, dan jika ada yang tidak dimengerti oleh klien maka mereka akan bertanya dan akan diberikan penjelasan oleh pekerja sosial. Sesi berjalan kurang lebih 30 menit, setelah sesi selesai klien mengisi buku kehadiran sesi yang harus ditanda tangani oleh pengisi sesi saat itu. Setelah mengikuti sesi bersama klien, kemudian penulis menunggu untuk wawancara dengan klien A dan P. Saat itu semua klien sedang tidak ada kegiatan, dan mereka hanya melakukan kegiatan pribadi mereka yang ingin dilakukan seperti bermain gitar, mengobrol, makan siang, ataupun tidur siang. Pertama penulis melakukan wawancara dengan klien A yang berumur 18 tahun, klien sangat ramah dengan penulis dan saat penulis menanyakan beberapa pertanyaan
klienpun menjawab dengan apa adanya dan seperti curhat karena setiap satu pertanyaan yang diberikan klien selalu menjawab dengan panjang dan menjelaskan secara lengkap, walaupun umur klien lebih muda dari penulis tapi klien A menjelaskan secara dewasa tetapi masih terlihat jelas klien A adalah ABG karena suaranya masih sangat ABG. Dan penulispun melihat bahwa klien sudah mulai menerima kondisinya sekarang yang dimasukan oleh orang tuanya ke tempat rehabilitasi, menurut klien A jika seseorang sudah masuk ke tempat rehabilitasi orang tersebut sudah sangat nakal dan menurutnya dia tidak seharusnya dia dmasukkan ke tempat rehabilitasi karena kondisinya belum parah. Dan klien juga merasa jika dia bukan anak yang senakal seperti yang dibayangkan orang tuanya itu, menurut pengamatan penulis klien A sudah banyak belajar didalam Kapeta dan sudah bisa mengendalikan dirinya. Selanjutnya penulis wawancara dengan klien P, berbeda dengan klien A saat wawancara klien P terlihat lebih pendiam dan tidak terlalu banyak bicara. Klien P saat itu adalah klien baru yang sudah 3 minggu berada di Kapeta, saat penulis menanyakan kenapa bisa masuk ke Kapeta terlihat ada emosi didalam diri klien saat menceritakan proses kenapa klien bisa masuk ke dalam rehabilitasi ini, walaupun klien baru merasakan 3 minggu tapi klien sudah berinteraksi dengan baik terhadap orang-orang yang berada di Kapeta. Klien juga mengatakan bahwa dirinya sudah mulai bisa untuk tidak memikirkan zat kembali, tidak seperti diluar yang kemungkinan untuk memikirkan zat masih sangat bisa menggunakannya lagi.
Hari/Tanggal
: Jum’at/ 19 Agustus 2016
Waktu
: 11.00 WIB
Melihat Sarana dan Prasarana untuk Rehabilitasi Hari ini penulis ditemani oleh Pekerja Sosial untuk melihat sarana dan prasarana di Kapeta. Di Kapeta sendiri terdapat 2 kamar tidur AC untuk klien dan kamar mandi yang ada didalam setiap kamar, kemudian terdapa kolam renang dan fasilitas olahraga seperi tenis meja, alat boxing, fitness dll. Kemudian ada ruang kelas untuk sesi, dan ruang konseling untuk melakukan konseling individu dengan konselor tapi saat penulis melihat ruang konseling sedang tidak bisa digunakan karena sedang dilakukan renovasi. Terdapat ruang tamu untuk klien yang digunakan bertemu dengan kerabat ataupun keluarga yang berkunjung, dan ada ruang tengah yang biasa digunakan untuk menonton tv bersama atau sekedar mengobrol. Di Kapeta juga menyediakan TV kabel dan internet, dan ada dapur, tempat mencuci pakaian yang juga digunakan setiap klien. Untuk staff sendiri ada ruang kerja dan satu kamar yang disediakan untuk staff yang berjaga malam.
PEDOMAN WAWANCARA Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan Karya Peduli Kita Tanggerang Selatan
Informan Klien A. Waktu
:
Hari dan Tanggal
:
Tempat
:
B. Identitas Informan
:
Nama
:
Jenis Kelamin
:
Usia
:
Agama
:
Pendidikan
:
C. Pertanyaan :
1. Apa yang melatarbelakangi anda memakai zat? 2. Sudah berapa lama anda menggunakan NAPZA? 3. Jenis NAPZA apa yang digunakan pertama kali dan yang pernah digunakan? 4. Apa yang dirasakan setelah menggunakan zat?
5. Apakah ada dampak negatif yang dirasakan? 6. Bagaimana kamu mengetahui adanya rehabilitasi sosial di Kapeta? 7. Kegiatan rutin apa yang dilakukan dari bangun tidur sampai tidur lagi? 8. Program rehabilitasi sosial apa saja yang diberikan Kapeta? 9. Apa kegiatan yang dilakukan di luar kapeta? 10. Berapa lama bertemu dengan konselor dalam seminggu? 11. Apa yang dilakukan saat bertemu pekerja sosial/konselor? 12. Apa manfaat yang didapat setelah mengikuti program rehabilitasi sosial? 13. Apakah ada perubahan yang didapat setelah mengikuti rehabilitasi sosial di Kapeta? 14. Apa harapan anda setelah menjalankan rehabilitasi sosial di Kapeta?
Jakarta, 26 Agustus 2016 Klien
(
)
PEDOMAN WAWANCARA Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan Karya Peduli Kita Tanggerang Selatan
Informan Pekerja Sosial A. Waktu
:
Hari dan Tanggal
:
Tempat
:
B. Identitas Informan : Nama
:
Jenis Kelamin
:
Usia
:
Agama
:
Pendidikan
:
C. Pertanyaan :
1. Bagaimana pendekatan awal rehabilitasi? 2. Bagaimana respon awal klien terhadap pendekatan awal rehabilitasi? 3. Bagaimana proses rehabilitasi untuk mengetahui masalah yang ada pada klien?
4. Bagaimana cara peksos menggali masalah yang ada pada klien? 5. Rencana apa yang dibuat untuk pemecahan masalah klien? 6. Apa tanggapan klien mengenai rencana yang dibuat? 7. Kegiatan apa saja yang diberikan untuk menyelesaikan masalah klien? 8. Apakah ada kendala dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi? 9. Kegiatan apa saja yang diberikan kepada klien agar klien mampu kembali ke lingkungan mereka? 10. Apakah ada surat pernyataan atau sejenisnya saat terminasi? 11. Saat melakukan
bimbingan lanjut bagi klien, bagaimana peksos
mengetahui bahwa klien sudah tidak memakai zat lagi?
Jakarta, 29 Juli 2016 Pekerja Sosial
(
)
PEDOMAN WAWANCARA Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna NAPZA di Yayasan Karya Peduli Kita Tanggerang Selatan
Informan Konselor A. Waktu
:
Hari dan Tanggal
:
Tempat
:
B. Identitas Informan
:
Nama
:
Jenis Kelamin
:
Usia
:
Agama
:
Pendidikan
:
C. Pertanyaan : 1. Apa tugas pokok dan fungsi anda sebagai konselor dalam melakukan rehabilitasi kepada klien? 2. Bagaimana proses rehabilitasi yang dijalankan klien di Kapeta? 3. Program serta pelayanan apa saja yang di berikan Kapeta? 4. Berapa lama klien di rehabilitasi di Kapeta?
5. Kendala atau hambatan apa yang dihadapi dalam menjalankan tugas sebagai seorang konselor di Kapeta? 6. Tujuan apa yang ingin dicapai pada program rehabilitasi di Kapeta? 7. Apa harapan anda kepada klien setelah menjalankan rehabilitasi sosial di Kapeta ini?
Jakarta, 9 September 2016 Konselor
(
)
PEDOMAN OBSERVASI 1. Untuk melihat bagaimana emosi klien ketika membicarakan masalahnya 2. Untuk melihat bagaimana interasksi klien dengan orang lain saat di dalam Kapeta 3. Berbagi informasi mengenai program rehabilitasi di Kapeta 4. Untuk melihat kegiatan sesi yang diberikan peksos 5. Untuk melihat sarana dan prasarana yang menunjang rehabilitasi yang ada di Kapeta
TRANSKIP WAWANCARA
Nama
: AR
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 18 Tahun
Agama
: Islam
Pendidikan
: Mahasiswa
Wawancara ini dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 2016 di ruang tamu Kapeta Tanggerang Selatan. Waktu pelaksanaan wawancara ini pada pukul 14.00.WIB. Informan yang diwawancarai adalah klien yang dipilih langsung oleh staff Kapeta untuk diwawancarai. Informan ini adalah klien yang sudah berada di Kapeta kurang lebih 3 bulan rawat inap.
Jakarta, 26 Agustus 2016 Klien
(
)
NO. 1.
2.
3. 4.
5.
6.
PERTANYAAN
JAWABAN
Saya mahasiswa dari UIN yang mau melakukan penelitian skripsi disini.. nah izin nih sebelumnya kalo boleh nanya-nanya.. Awalnya apasih yang melatarbelakangi pake zat?
Oiya UIN ciputat, oke oke boleh.. skripsi emang? Heem skripsi agak ribet ya? Iya gapapa..
Oh gitu, emang yang dipake dari awal itu ganja? Nah itu berapa lama pake ganja? Nah terus efeknya apasih dari pake ganja itu, kalo secara fisik? Kalo dampak negative yang dirasin apa nih?
Temen sih, lingkungan.. jadi pertama kali tuh lagi nongkrongan kan di pondok indah nah ketemu tementemen SMP, jadi SMP gue tuh emang kaya gitu kan negeri kan SMP *** nah nongkrongnya emang di belakang pondok indah, nah awalnya kaya Cuma minum-minum doing kaya jamu kaya intisari.. nah pertama tuh nyobain ganja lagi hallowen party di daerah cinere di rumah temen terus kaget rasanya kok kaya gini ternyata terus pas udah ke dua tiga kali masih gak suka.. tapi temen tuh suka namarin, nah belom ada penderian gitu (oh yaudah lah yantai yantai), terus pas kelas 3 SMP (ah minum ngapain ribet kan muntah muntah) pakelah gue ganja abis itu masuk SMA kirain kan bener niatnya gue mau ngambil basket tuh nah gak taunya kaka kelasnya tuh pada kaya gitu juga, nah kerjaannya tuh ngeganja ngeganja yaudah akhirnya bablas deh tuh.. terus akhirnya ketauan nyokap. Pertama kali sih minum terus abis itu baru ganja.. Make ganjanya? Kalo bener-bener addictnya sih 3 tahun dari kelas 3 SMP.. Lebih enjoy, seneng, ketawa pokonya nyantai gitu jadinya pengen makan terus nafsu makan. Dampak negatifnya banyak sih, mikir jadi males.. jadi kaya belajar kalo di kelas tuh Cuma numpang tidur doang gitu, kalo guru ngomong masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Jadi
7.
8.
Oh jadi makenya disekolah? Emang dibolehin? Gak ketauan apa itu? Terus bisa masuk kesini tau dari siapa?
9.
Baru banget dong? Terus disini udah berapa lama?
10.
Nah terus adaptasi pertama disini ada kesulitan gak?
10.
Terus kegiatan yang udah dilakuin disini apa aja?
11.
Nah kalo misalkan program rehabilitasi yang diberikan Kapeta apa aja?
12.
Disini kan ada konselor ya? Itu ketemunya berapa lama?
sekolah tujuannya ya ngeganja gitu. Makenya di kantin, gak haha ketauannya ya ngerokok paling gitu.. gak boleh tapi gimana sih SMA ya paling ngumpet-ngumpet. Tau dari om, om dulu pernah disini.. terus tiba-tiba dibawa nyokap kesini selesai SBM kan. Iya baru banget, disini ini mau menjelang 3 bulan udah 2 bulan 2 minggu.. Banget, awalnya sih gak terima kayanya kesannya gue udah parah bangat.. gila lu udah masuk rehab kayanya udah nakal banget sih gue mikirnya.. tapi pas 2 minggu 3 minggu disini, gue masih gak ngerti sih sebenernya apasih rehab gak penting, pelajaran gue udah tau semua. Tapi lebih mikir aja sih, susah sih jelasinnya. Banyak sih, kalo disini ada yang namanya sesi.. kaya kita tuh belajar yang namanya narkoba belajar buat gimana cara ngindarinnya? Apa dampak positif negatifnya? Terus kalo lu lagi suges, jadi lu tuh lebih mikir lah kalo sugest.. kaya contohnya nih lagi ujan-ujan sugest lu tuh pengen makan bakso Cuma tuh gimana caranya kita ngindarin dulu mungkin kaya (ah gue beli es krim aja deh). Main gitar, tidur, ketawa ngobrolngobrol gitu sih.. Banyak, cara perilaku.. terus gimana sih kenapa menggunakan gitu? Pokonya banyak deh tentang adiksi gitu, jadi lebih banyak belajar gitu.. Nah kalo konseling disini kaya cerita, misalkan (gue iya nih gara-gara drugs gue jadi lemot, gimana sih caranya biar gak lemot lagi?) dia tuh kaya ngasih tau gitu, atau gak kan kalo make narkoba tuh kaya jadi banyak gitu masalah, duit abis mulu atau gak kalo lagi gak ada barang lu tuh butuh banget sampe jual sepatu baju lah kaya gitu.. konseling tuh sejam cuma
kan udah asik cerita kadang lebih dari sejam. Lebih mikir mikir banget, dan walaupun kita gak berenti tapi kita tuh lebih mikir gitu gak kaya dulu addict tiap hari tuh harus kaya gitu.. dan kalo misalkan kita berenti juga udah diajarin banget sih tinggal ngikutin yang udah diajarin aja sih. Kalo perubahan negatifnya sih kurang aktifitas aja sih.. tapi kalo positifnya banyak banget sih, kepercayaan orang tua mungkin terus lu tuh lebih mikir kaya masa sih lu mau gitu-gitu aja. Terus banyak aktifitas jadinya olahraga kek, kuliah kek, les apa kek gitu. Oh iya gue tanggal 14 besok udah mulai kuliah..
13.
Terus kalo manfaat yang didapet setelah melakukan program ini apa?
14.
Perubahan yang udah didapet setalah 3 bulan setengah disini apa?
15.
Terus kegiatan yang dilakuin selain di Kapeta apa? Kalo harapan setelah Banyak banget, kuliah, magang, selesai rehab apa? pengen buka usaha sih, usaha sepatu terus hidup sewajarnya aja normal gitu kaya orang-orang.
16.
TRANSKIP WAWANCARA
Nama
: PPS
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 23 Tahun
Agama
: Islam
Pendidikan
: SMA/Wiraswasta
Wawancara ini dilaksanakan pada tanggal 26 Agustus 2016 di ruang tamu Kapeta Tanggerang Selatan. Waktu pelaksanaan wawancara ini pada pukul 14.00.WIB. Informan yang diwawancarai adalah klien yang dipilih langsung oleh staff Kapeta untuk diwawancarai. Informan ini adalah klien yang sudah berada di Kapeta baru 3 minggu.
Jakarta, 26 Agustus 2016 Klien
(
)
NO. 1.
2. 3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
PERTANYAAN
JAWABAN
Yang melatarbelakangi P Waktu itu sih, karena faktor tongkrongan menggunakan zat apa sih temen-temen deket itu sih.. awalnya sih cobasaat itu? coba, terus berapa saat kemudian butuh zat nagih. Berapa lama tuh make Terakhir gua sebulan full setiap hari, awalnya zat diawal? gua make kelas 2 SMP.. Kalo boleh tau jenis apa Gua pake shabu sama ganja, yang rutin dipake tuh yang dipake? pas rutin sebulan itu shabu dan ganjanya udah gak. Yang dirasakan fisik Mungkin lebih kerja semangat, kesehatan juga setelah memakai zat tuh kaya kebal gak ngerasain rasa sakit.. sama apa sih? perasaan seneng. Efek dari ganja sama Beda, kalo ganja tuh laper bawaannya shabu tuh beda atau pengennya ketawa seneng aja sih lupa sama sama? semua masalah. Kalo shabu lebih kaya buat kerja aja sih waktu itu gua buat doping. Terus awalnya bisa Gua ditangkep sama polres, gara-gara masuk disini tuh gimana? dirembetin temen.. jadi gua gak ada sangkut pautnya sama temen gue tiba-tiba bilang dapet barang dari gua padahal gak, dari polres ke BNNK abis itu baru dirujuk kesini. Gua disini baru 3 minggu. Adaptasi awal sama Kalo awal biasa aja sih, gua karena sakit orang-orang di Kapeta diawal vertigo selama satu minggu sempet gimana? dirawat.. setelah bangun ya sok kenal sok deket aja. Kegiatan rutinnya selama Ikutin sesi,gua tuh biasanya bangun pagi, disini apa? olahraga berenang, sarapan minum obat. Minum obat tuh rutin setiap pagi. Terus kegiatan selain di Kalo gua masih belom boleh karena gua masih Kapeta apa? baru 3 minggu disini, kalopun mau keluar ya didampingin sama staff. Diliat perkembangannya juga. Kalo program rehabilitasi Gua baru sedikit sih program gua, kaya pengen yang diberikan kapeta ketemu orangtua gua. Nanti bilang ke konselor apa aja? gua. Nah kalo ketemu Baru sekali konseling, kalo durasinya sih konselor berapa lama waktunya satu jam minimal.. gua sih 8 bulan waktunya? pertemuan ya sekitar 3 bulan, ditentuin konselor itu 2 minggu setelah masuk. Biasanya kalo ketemu Ngobrol biasa, sharing.. terbuka juga, ceritain konselor ngapain aja sih? masalah.
13.
14.
15.
Manfaat yang setelah Mungkin gua berkurang keinginan butuh zat didapet selama 3 minggu gua, udah gak mikirin zat lagi, waktu awalnya ini apa? masih mikirin shabu gua pengenlah ibaratnya nagih. Sekerang udah ilang sedikit demi sedikit. Terus kalo perubahan Fisik gua lebih baik, kesehatan lebih baik. yang dirasain sekarang apa? Kira-kira harapanya apa Gua lepas dari narkoba itu aja, sama jadi orang nih setelah selesai lebih baiklah.. program di Kapeta?
TRANSKIP WAWANCARA Nama
: AR
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 29 Tahun
Agama
: Islam
Pendidikan
: Wiraswasta
Wawancara dilakukan di Yayasan Kapeta tanggal 20 September 2016 pukul 13.00, saat itu klien sedang tidak melakukan aktifitas hanya mengobrol dengan klien lainnya. Klien sudah 2 kali berada di Yayasan Kapeta untuk menjalankan rehabilitasi.
Jakarta, 20 September 2016 Klien
(
)
NO. 1.
2. 3. 4.
5. 6.
7.
8.
9.
10. 11.
12.
PERTANYAAN
JAWABAN
Awalnya gimana tuh bang Awalnya sih dari temen nyobakenapa bisa ngegunain zat? nyoba, pake itu juga karena untuk pelampiasan dari masalah aja. Dan awalnya juga gak pake yang langsung kecanduan gitu secara bertahap. Terus kalo pakenya itu udah Pemakaian on off, gak secara terusberapa lama? menerus. Awal pake umur berapa tuh Heeem umur 17 tahun. bang? Nah kalo pemakaian yang Waktu itu heem tahun 2010 hampir sampe terus menerus itu satu tahun makenya berapa lama jangka waktunya? Jenisnya sendiri yang Eeehm ganja, ekstasi, baru nyobain dipake apa? shabu. Efeknya dari masing-masing Kalo ganja tuh bikin ngelayang tuh kaya gimana bang? karena jenisnya halusinogen jadi bikin halusinasi, tapi saya gak suka udah tau rasanya yaudah nah kalo ekstasi sama dia bikin halusinasi juga. Kalo shabu itu kan stimulant gak terlalu banyak halusinasi, jadi masih bisa aktifitas kalo ngapangapain juga enak. Dampak negatif yang Males-malesan, males kerja, males dirasain apa? mikir ya maonya yang enak-enak mulu. Kalo dari secara fisik apa Kalo dampak fisik mah biasanya pas yang dirasain? udah berenti pake, macem-macem dah timbul asam lambung, asma tapi kalo lagi maboknya mah gak ada. Awal dateng ke Kapeta itu Saya awal dateng tahun 2014, dan kapan? Tahu dari mana ini yang kedua. Saya tau Kapeta dari datang kesini salah satu staff yang emang temen saya, saya dateng sendiri kesini Kegiatan rutin yang dilakuin Banyak, bangun, mandi, sarapan, selama disini apa aja? olahraga, nonton tv, denger musik. Kalo program Sesi? Banyak sih, sesi pencegahan, rehabilitasinya yang dikasih sesi psikoedukasi, manajemen itu apa aja? kesehatan, CBT, 12 langkah, macem-macem. Terus kalo adaptasinya itu Kalo saya karena pernah ditempat kaya gimana pas awal lain jadi cepet aja, terus kalo sesama
kesini?
13.
14.
15. 16.
17.
18.
19.
20.
residen dari tempat ke tempat lain pasti masih ada yang kenal, jadi udah gak kaku. Dan dari pihak keluarga Semua sih menerima keadaan ini, ya sendiri tanggepannya sejauh ini semuanya baik. gimana? Kalo dari segi agama islam Dosa sih pasti ada, jadi kalo lagi gini nih bang, menurut abang ya belom kapok sampe nanti, kalo yang abang lakuin gimana belom sampe puncak ya belom nih? berenti belom mao juga dateng ke tempat rehabilitasi. Masalah kesehatan udah Ngecek sih belom, tapi Cuma asem pernah di cek belom bang? lambung aja yang dirasa. Kalo ketemu, konselor tuh Waktu intesifnya sih seminggu berapa lama terus ngapain sekali, ketemu ya cuma konseling aja? aja sih. Disini kan ada peksos ya Kalo peksos kan gak punya bang, dia ngapain kalo pengalaman adiksi ya, jadi dia gak disini? bisa konseling paling disini dia kaya ngebantuin bawain sesi. Kalo masalah klinis mereka gak bisa, kan emang bukan jurusannya. Manfaat yang udah dirasain Banyak sih menunjang pemulihan. apa bang setelah udah ikut program? Perubahan yang dirasain apa Fisik sih membaik, dari sisi bang? psikologi juga membaik, hubungan dengan keluarga juga membaik. Harapan abang setelah Yaa berguna bagi keluarga, selesai program apa nih masyarakat dan agama serta nusa bang? dan bangsa haha bener kan tuh..
TRANSKIP WAWANCARA KONSELOR
Nama
: Irfan Seiff
Jabatan Konselor
: Konselor
Waktu
: 14.00 WIB
Hari/Tanggal
: Jum’at/9-September-2016
Tempat
: Ruang Tamu Yayasan Kapeta
NO. 1.
2.
3.
4. 5.
PERTANYAAN
JAWABAN
Prosedur penerimaan klien Jadi gini klien tuh dateng ada beberapa cara, disini dilakakukan oleh ada yang dateng sendiri, ada yang dateng staff atau konselor pak? diantar keluarga dan ada yang rujukan dengan bnnk atau lembaga lain misalnya puskesmas terus ada juga dari penjangkau, jadi selain disini kita punya tempat juga yang di Abdul Majid divisi disana tentang HIV biasanya mereka mengunjungi tempat-tempat yang pecandu ketika mereka membutuhkan rehabilitasi mereka mengantarkan kesini.. Setelah datang kesini apa Diawal itu ada yang namanya skrining secara yang dilakukan? kasat mata aja dulu, terus ada wawancara juga terus kemudian ada penjelasan program dan inform concern.. disitu klien mengisi biodata, termasuk disitu ada data orang tua, zat yang digunakan apa nanti keliatan kirakira secara fisik bisa gak dia ikutin kegiatan disini kalo emang bisa diterima.. Disini ada kriterianya gak kriteria utama disini umur 18 tahun, pak untuk masuk kesini? mempunyai wali atau orang tua dan bersedia mengikuti kegiatan disini.. Kalo peraturan disini ada Sebenernya peraturan disini banyak, seperti apa aja pak? no drugs, no alkohol, no sex, . Lalu sesi yang dijalankan Sesi kalo disini ada beberapa pokok bahasan, disini ada apa aja pak? secara garis besar ada pembahasan CBT (cognitive-behavioral therapy) terapi pikiran dan prilaku, sesi pencegahan kekambuhan, sesi art class, dan ada juga sesi manajemen kesehatan.. manajemen kesehatan disitu yang
6.
Kalo kesehatan fisik dan psikis klien disini diawal pemeriksaan seperti apa?
7.
Proses detoksifikasi disini seperti apa kalo boleh tau pak?
8.
Lalu kemudian setelah melawati tahapan awal untuk masuk kesini, apakah yang dilakukan selanjutnya pak?
dibahas masih berhubungan dengan napza yaa jadi apa dampak buruk terhadap kesehatan terus bisa kena sakit apa aja, resikonya tuh apa, terus perilaku apa aja yang menyebabkan penularan penyakit seperti hiv, jarum suntik, tato, gunting kuku, sisir, sikat gigi, terus ada juga pembahasan kewaspadaan universal. Jadi disini gak boleh tukeran barang-barang pribadi itu diawal kita kasih penjelasan. Kalo fisik yaa mungkin secara kasat mata kira-kira bisa atau gak ikutin kegiatan seharihari, kalo jiwa kita lihat diajak ngobrol nyambung apa gak terus kira-kira apa yang kita sampaikan bisa ditangkep apa gak. Makanya saat wawancara kita sangat memperhatikan, dan setiap orang yang menggunakan zat yang berbeda juga penangannya berbeda, kalo heroin efeknya kebalikan waktu dia menggunakan jadi gini kalo heroin digunakan jarum suntik atau diatas timah yang dibakar terus dihirup asapnya, kalo sabu pake bong yang biasa didenger.. nah efek dari heroin itu orang jadi santai, agak ngantuk nah kalo udah tidak menggunakan tuh kebalikannya gak bisa tidur, gelisah, badan sakit. Tapi kalo pake sabu kebalikannya nih, kalo abis pake sabu itu gak tidur, tahan sampe berhari-hari ketika gak make bisa tidur dan jadi doyan makan. Yaa pada prinsipnya proses detoksifikasi itu kan mengeluarkan sisah zat yang ada didalam tubuh, tapi ada juga untuk menangani gejala putus zat tadi itu.. jadi istilahnya orang sakau, orang sakau bisa seminggu, sepuluh hari bisa juga dua minggu, kalo heroin itu bisa dibantu dengan obat namanya codein itu emang untuk membantu ngelewatin masa putus zatnya itu. Tapi kalo shabu laen lagi, shabu lebih ke psikologisnya emosi, sensi, sedih, moodnya naek turun, lebih baper. Assessment biasanya kita dilakukan oleh staff yang saat itu bertugas, assessment biasanya ada ASI (addiction severity index) indeks keparahan adiksi, jadi setelah dilakukan assessment keluar resumenya kita adain case conference kita bahas si klien setelah dibahas keluar rencana rawatan seperti apa baru kita
9.
Setelah proses assessment itu apakah langsung dilakukan intervensinya seperti apa?
10.
Kalo rawat inap tadi lamanya berapa lama?
11.
Lalu kesepakatan program dilakukan seperti apa?
12
Terus konseling apa aja yang dilakukan?
13.
Kalo program rehabilitasi mulai dari morning meeting itu apa aja yang dibahas?
tentuin konselornya, assessment dilakukan setelah melakukan putus zatnya. Iyaa betul, jadi nanti intervensinya disarankan apakah dilakukan rawat inap atau rawat jalan, kalo rawat inap itu dikasihnya apa aja.. biasanya saat assessment itu ada masalah yang dimenjadi prioritas, biasanya sih ada tiga masalah. Masalah napzanya, masalah medis sama masalah keluarga nanti dari hasil itu baru nentui intervensinya apa. Rawat inap sendiri tergantung kondisinya sendiri, biasanya sih 3 bulan dan dilanjutkan rawat jalan bergantung sama kondisi perkembangan dan kebutuhannya kalo kebutuhannya dilihat lebih lama bisa jadi lebih lama. Setelah resume jadi dan sudah ditentukan konselornya, awalnya bertemu dengan klien itu dijelasin perawatannya seperti apa, prioritas utamanya apa terus kemudian rawatannya seperti apa. Minimal 8 kali pertemuan, balik lagi ke resume assessment tadi biasanya udah ditentuin apa nih yang akan kita kasih ke dia nanti dapet stukturnya nanti kita bahas tuh prioritas-prioritas itu. Misalnya apa aja nih yang mau kita bahas masalah napza, kita konseling itu klien center jadi yang memutuskan klien, tapi kita susun secara terstuktur ini loh yang mau dibahas jadi konseling juga gak ngalor ngidul gitu nah sesuai rencana rawatannya apa yang mau dibahas. Yaa pertama itu ada just for today biasanya ngebacain tulisan yang ada di buku ini yang dibuat oleh NA (Narcotic Anonymous), nanti dibaca oleh satu orang dan yang lainnya menanggapi. Morning meeting ini biasanya berkumpul mereka semua dan ditemani oleh staff yang bertugas, satu sesi harian tadi ada sesi 12 langkah dan langkah-langkah itu harus mereka jalani dan orang yang mengajari 12 langkah itu harus sudah pernah menjalani tahapan 12 langkah itu. Jadi kalo belum menjalani 12 langkah itu belum bisa mengajari klien itu sendiri. Lalu ada bellu check disitu mereka
14.
mengungkapkan perasaannya di hari itu seperti apa, apakah baik seperti itu.. Dan ada announcement itu disini adalah pengumuman, misalnya hari ini saya mau telepon orang tua, hari ini saya mau cuci baju, yaa mulai kegiatan hari ini. Terus community concerns itu kepedulian komunitas isinya menegur, memberikan informasi, ucapan terimakasih dan ucapan penghargaan tapi dengan cara yang baik dan benar dan berfokus pada masalah tidak merembet ke yang lain dan terjadi pada hari itu juga, dan ada juga yang memberikan motivasi. Lalu ada awareness itu lebih kewaspadaan, misalnya gini hati-hati ya lagi musim dbd tolong bersihin kamar mandi dan tempat tidur, jangan buang sampah sembarangan. Kalo house issue itu biasanya berkaitan dengan isu negative yang ada di rumah secara keseluruhan. Ini dibangung agar mereka bisa melihat isu-isu negative yang ada dilingkungan mereka. Kalo theme of the day itu kebalikan dari house issue, misalnya gini hari ini lagi gak pada semangat nih jadi TOTDnya tetap semangat ya, tema harian yang akan dilakukan hari ini. Dan remarks itu yaa hanya catetan tambahan aja. Dilakukan rutin senin sampe jumat, kalo malem biasanya namanya wrap up itu dilakukan belly check sama announcement jadi apa yang dilakukan hari ini saat wrap up ditarik kesimpulan dari kegiatan yang seharian udah dilakuin sama klien. Disini kan ada Assertive Assertive itu jadi gini, hambatan-hambatan grup, itu apa aja sih yang komunikasi yang terjadi tuh biasanya gak dilakukan klien pak? nyampe nih pesannya sama orangnya.. jadi misalnya gini saya gak suka nih sama mba tapi gak saya sampein, jadi saya pendem padahal kalo itu saya sampaikan dengan jelas mungkin kekesalan saya akan berkurang walaupun gak ilang sama sekali tapi kalo itu gak saya sampaikan nantinya akan cenderung agresif. Akhirnya di assertive grup ini untuk menyampaikan unek-unek perasaan tapi dengan aturan-aturan tertentu, tanpa
menyinggung perasaan seseorang dan itu diadakan biasanya saat mereka ada masalah. Karena disini setiap orang berbeda, unik jadi kita disini dituntut kreatif nih disini dengan latar belakang berbeda, pendidikan yang berbeda, dan dari keluarga yang berbeda kita disini saat memfasilitasi mereka itu beragam banget caranya. Kalo dari dalam sendiri, kadang-kadang kita sendiri ada masalah diluar tapi saat disini kita harus fokus nih gak boleh membawa masalah luar kesini, jadi makanya kita dituntut mengesampingkan masalah yang lain. Apapun yang terjadi, meskipun keluar disini ada jatuh bangun paling tidak dia tahu harus berbuat apa.. saya tidak pernah menggantungkan harapan kepada dia, yang penting dia tahu harus berbuat apa. Secara garis besar sih yang dibilang berhasil mereka sudah tidak menggunakan zat kembali, terus yang kedua meskipun nantinya mereka akan jatoh kembali tapi itu tadi mereka tahu harus ngapain.. kalo toh mereka menggunakan kembali, mereka sudah tahu menggunakan yang tidak terpapar penyakit yang menular. Tapi kalo tujuan utama itu sih memang abstinen, sudah tidak lagi menggunakan. Yaa kita tetap menghubungi mereka, itu ada di after care dan kapan-kapan kita bisa menghubungi mereka.
15.
Ada gak sih pak kendala dan hambatannya dalam menjalankan tugas sebagai konselor?
16.
Harapan bapak terhadap klien saat selesai program inginya kaya gimana nih pak?
17.
Kalo hasil dari rehabilitasi mereka ini seperti apa?
18.
Terus kapeta sendiri untuk mengetahui mereka sudah tidak lagi menggunakan gimana caranya pak? Lalu saat after care itu Biasanya sih mereka tetep mengikuti kegiatan sendiri dilakukannya kaya yang sudah dijadwalkan, dan tetap ada gimana pak? kontak.
19.
TRANSKIP WAWANCARA KONSELOR
Nama
: Gidien Ryaan
Jabatan Konselor
: Konselor/Staff klinis
Waktu
: 15.40 WIB
Hari/Tanggal
: Jum’at/9-September-2016
Tempat
: Ruang Tamu Yayasan Kapeta
NO 1.
2.
3.
4.
PERTANYAAN
JAWABAN
Static group disini dilakukan Static group itu lebih pendekatan ke terapi seperti apa ya pak? kelompok tetapi memang kelompoknya itu lebih tertutup jadi sesuai dengan konselor yang sama, jadi kelompok ini memiliki konselor yang sama paling banyak anggotanya 4 orang. Di grup ini karena rekan sebaya dan karena memang tujuannya untuk diskusi supaya input dan satu sama lain saling memberikan, rekan sebaya disini adalah karena satu permasalahan dan satu tujuan untuk pulih. Lalu yang dibahas saat statik Jadi yang dibahas itu biasanya tema group itu apa sih biasanya besarnya datang dari konselor, atau bisa kita pak? lempar ke mereka.. temanya sedikit banyak tentang kepulihan, selain kepulihan disini juga bisa tentang yang lain setelah mereka selesai rehabilitasi. Diskusi disini didampingi oleh konselor dan konselor sendiri itu sebagai fasilitator. Selanjutnya ada program Kalo personal time itu adalah waktu mereka personal time, apa sih yang melakukan kewajiban-kewajiban pribadi dimaksud personal time ini mereka, baik dari merapihkan tempat tidur, pak? kamar, baju dan sebagainya. Bagaimana dengan program Kalo family day ini berbeda dengan jenguk, family day? kalo jenguk itu visit.. jadi kalo family ini, berbentuk kegiatan kita tunjukan untuk
5.
Lalu kemudian ada proses assessment, apa saja yang dilakukan saat melakukan assessment?
6.
Konseling individu ini dilakukan dengan siapa yak pak? Lalu saat konseling itu apa saja yang dilakukan?
keluarga, klien, juga kita sebagai pemberi pelayan tujuannya untuk mempererat kita satu sama lain sebagai kelompok dukungan jadi peran keluarga juga penting, saat berkumpul ada materi yang kita berikan sebagai edukasi, apa itu adiksi, bagaimana cara mengatasinya.. waktunya itu sendiri biasanya setelah lebaran atau sebelum puasa yang sudah pasti. Assessment ada beberapa yang kita lakukan, tujuannya itu juga untuk mendiaknosa, apapun alatnya yang kita pakai tujuannya ya untuk mendiaknosa. Seperti adiksi seferity index (ASI) ini adalah standar internasional, untuk mengetahui tingkat keparahan menggunakannya dan permasalahan apa saja yang menyerta, biasanya kan jika menggunakan zat itu ada masalah yang menyerta lainnya seperti dari medis, keluarga dll, untuk menjadi alat ukur kita memberikan terapi. Dan juga ada assessment yang lain, seperti bunuh diri jadi untuk mendeteksi ada riwayat bunuh diri jadi disini kita bisa mengantisipasi disini. Supaya kita punya dasar untuk memberikan terapi, makanya dibutuhkan assessment. Konseling disini dilakukan klien dengan konselornya, konseling individu ini dilakukan berbeda-beda karena setiap klien berbeda bentuk terapinya bisa berbeda-beda makanya topiknya juga berbeda karena setiap orang punya masalah yang gak sama kan.. jadi konseling individu itu kita sesuaikan dengan permasalah klien yang sudah kita ketahui melalui assessment biar berkesinambungan konteknya gak keluar dari permasalahannya biasanya dari permasalahan dari penggunaanya terus mungkin ada permasalahan, faktor pemicu kenapa dia menggunakan, atau pola penggunaannya atau strategi mencegah penggunaan, strategi mencegah kekambuhan atau bisa juga tentang dampakdampaknya. Lebih banyak itu kita lihat masalah penggunaannya dulu, bisa juga masalah keluarga tapi kita hanya bisa mendengarkan.
7.
8.
9.
Kemudian setalah assessment, intervensi seperti apa yang diberikan? Apakah klien diikut sertakan?
Iya sudah pasti klien ikut serta, kita merancang intervensi bersama klien karena klien harus tau mengapa intervensi tersebut diberikan sama dia dan setelah mengetahui masalahnya dari assessment kita merekomendasikan intervensinya klien juga lebih tau kenapa dapet bantuannya seperti ini, karena memang permasalahannya seperti ini. Yang dimaksud family Kalo family support group ini yang kita support group itu apa ya ketahui masalah adiksi ini harus ditangani pak? secara komperhensif, jadi pendekatannya bukan hanya dari kita aja nih pemberi layanan tapi perlu adanya dukungan keluarga, dukungan sosial yang baik juga berperan juga. Jadi ini adalah kelompok dukungan keluarga, jadi bukan hanya masalah dari klien saja makanya keluarga itu terpengaruh akibat adanya anggota keluarga ada yang menggunakan baik secara psikologis, emosional bahkan sampe peran dikeluarga bisa jadi berantakan menjadi malfunction. Selain mereka lebih paham masalah adiksi, tentunya mereka perlu dukungan sesame keluarga dengan keluarga sesama untuk membantu mereka, kalo klien punya kelompok dukungan juga maka keluarga juga perlu kelompok dukungannya. Biasanya dilakukan di kantor pusat, setiap hari selasa atau rabu kita bekerja sama dengan yayasan keluarga pengasih Indonesia, jadi yang dilakukan tidak hanya sharing dan menggunakan praktisi juga untuk jadi pembicara. Selanjutnya program self helf Nah itu kelompok bantu diri atau kelompok group itu bagaimana pak? dukungan yang ditujukan untuk klien, jadi orang-orang yang sudah pulih untuk menjaga tetap pulih mereka perlu kelompok dukungan untuk bantu diri dari situlah mereka ada untuk membantu satu sama lain nah jadi untuk masalah adiksi ini maka perlu dirawat supaya gak kambuh maka perlu adanya kelompok dukungan namanya kelompok bantu diri itu fungsinya untuk mengingatkan, berbagi pengalaman bagaimana mengatasi masalah-masalah setelah selesai dari rehab nah sudah diluar tantangannya banyak misalnya gak gampak
10.
Apakah materi-materi yang ada dalam program harus semua diikuti oleh klien?
11.
Lalu terapi-terapi yang ada disini diberikannya seperti apa?
12.
Terapi seni itu kegiatannya apa pak?
13.
Untuk mengetahui itu bagaimana cara melihatnya?
14.
Apakah ada kendala dan hambatan selama menjadi konselor? Lalu apa sih tujuan dari kapeta sendiri dalam rehabilitasi?
15.
cari kerja bosenlah, makanya butuh kelompok ini. Salah satunya adalah kelompok Narcotic Anonymous. Itu semua tergantung, jadi kita liat dulu dia klien rawat jalan atau rawat inap. Jadi terapi-terapi itu terjadwal dan diharapkan memang klien untuk mengikuti terapi kelompok ini seperti 12 langkah, cbt, pencegahan kekambuhan, art therapy dll. Kalo pencegahan kekambuhan itu ada yang sifatnya edukatif dan ada yang mengembangkan keterampilan mereka supaya mereka tidak kambuh, misalnya bagaimana caranya menghadapi rasa menagih, bagaimana caranya melakukan strategi penolakan, dan mengidentifikasi rasa nagihnya itu kambuh. Diisi oleh staff kita disini. Kelompok psikoedukasi, materinya tentang adiksi atau bahaya dari adiksi. Kelompok terapi life skill, meningkatkan keterampilan mereka kaya manajemen waktu, rasa marah, stress, bagaimana melakukan perencanaan, berkomunikasi dengan baik. Lalu ada terapi seni, ada terapi seni yang memang berkaitan langsung dengan seni yang dijadikan terapi untuk adiksi, ada yang sifatnya untuk rekreasional itu kita jalankan dua-duanya, kalo terapi seni itu kita yang mengadakan dan yang rekreasional itu dipilih oleh mereka dan kita didiskusikan. Kalo itu ada yang namanya art feeling itu jenis terapi seni yang menggunakan medianya melukis, jadi dari hasil lukisan itu baik dari segi warna gambar itu bisa kita evaluasi jadi bisa lebih tau ada permasalahan apa untuk kedepannya bisa dibantu. Kita panggil ahli yang mengerti tentang itu, yang jelas dari pemilihan warna, bentuk, dan tebal tipisnya arsiran gambar. Yaa gimana ya, kalo kendala dan hambatan ya pasti ada tapi ya memang harus dihadepin. Ya tujuannya pasti mereka sudah tidak menggunakan lagi, total abstinens.. tidak menggunakan zat dan alkohol apapun itu.
16.
17.
Dan apa harapan bapak Ya saya gak menuntut dia apa-apa, yang sebagai konselor terhadap penting bisa pulih aja. Kalo udah pulih kan klien? terserah deh tuh dia bisa ngapain aja, bisa ngembangin bakat dia jalanin hobi dia. Kemudian hasil yang Kalo yang bisa kita lakukan, kita melakukan diperoleh setelah rehabilitasi assessment lanjutan dan itu menjadi bahan apa pak? evaluasi.. dan memakai assessment ASI, nah dilanjutan ini dibulan ke 6 seperti apa, Apakah sudah meningkat atau belom, walaupun udah pulih tapi masih ada yang harus diperbaikin kita kasih tau ke klien. Karena kalo udah diluar ya itu jadi tanggung jawab pribadi dan sudah tidak difasilitasi lagi.
TRANSKIP WAWANCARA PEKERJA SOSIAL
Nama
: Siti Jumartina
Jabatan Konselor
: Pekerja Sosial
Waktu
: 15.00 WIB
Hari/Tanggal
:26 Agustus 2016
Tempat
: Ruang Tamu Yayasan Kapeta
1. Bagaimana pendekatan awal rehabilitasi? 2. Bagaimana respon awal klien terhadap pendekatan awal rehabilitasi? 3. Proses apakah yang dilakukan peksos untuk mengetahui permasalahan klien memakai adiksi? 4. Bagaimana cara peksos menggali masalah yang ada pada klien? 5. Rencana apa yang dibuat untuk pemecahan masalah klien? 6. Apa tanggapan klien mengenai rencana yang dibuat? 7. Kegiatan apa saja yang diberikan untuk menyelesaikan masalah klien? 8. Apakah ada kendala dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi? 9. Kegiatan apa saja yang diberikan kepada klien agar klien mampu kembali ke lingkungan mereka? 10. Apakah ada surat pernyataan atau sejenisnya saat terminasi? 11. Saat melakukan
bimbingan lanjut bagi klien, bagaimana peksos
mengetahui bahwa klien sudah tidak memakai zat lagi?
NO. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
PERTANYAAN
JAWABAN
Pendekatan awal yang Biasanya sih kita ya small talk, ngobrol dilakukan dengan klien kaya biasa aja, terus penjalinan relasinya itu gimana? sharing aja dulu.. mereka sih kadang cerita sendiri aja. Terus untuk pendekatan awal Yaa kita kan di awal ada assessment rehabilitasi seperti apa? sama skrining nanti mereka dikasih tau apa aja program rehabilitasi, nanti mereka langsung ke konselor yang sudah ditentukan tapi di awal sih mereka ketemu sama staff yang bertugas dulu sebelum konselornya ditentuin. Bagaimana sih cara peksos Kita disini bikin kaya genogram, ecomap mengetahui permasalahan kaya gitu nah nanti kalo ada masalah klien? yang kita ketemuin dari saat assessment itu ya setelah kita tau kita langsung lapor ke konselornya masing-masing. Bagaimana rencana awal Biasanya udah direncanain sama program dibuat? konselornya, jadi peksos disini membantu untuk pelayanan program. Bentuknya itu kaya menjadi mediator, membuat ecomap sama genogram tadi, jadi masalahnya bisa lebih keliatan mungkin bisa jadi permasalahannya tidak hanya dari satu sumber aja bisa jadi ada sumber penyebab yang lain. Lalu cara pemecahan Ya itu dilakukan klien dengan konselor masalahnya itu bagaimana? juga, tapi biasanya setelah kita kasih kaya ecomap sama genogram tadi ke konselor, terus kita diskusiin aja gimana ya baiknya jalan keluarnya apa, karena kan aku disini peksos baru jadi kalo untuk memutuskan sendiri masih ragu. Apa klien diikut sertakan iya klien ikut ambil keputusan, jadi dalam perencanaan pemutusan dibikin kesepakatan.. misalkan klien masalah itu? maunya kaya gini, dirancang barengbareng tapi hasilnya harus begini jangan sampe melenceng dari yang udah dibikin. Jika ada hambatan dalam Peksos disini sih gak terlalu banyak ikut perencanaan program, apa campur ya, jadi disini yang lebih tau yang dilakukan oleh peksos? memang konselor. Disini kita ya memang membantu aja. Terus kegiatan yang dibuat Nah kita disini kaya kasih business pass untuk klien agar mampu sama home leave, jadi biar mereka tuh kembali ke masyrakat terbiasa di luar, gimana ngejalin
bentuknya kaya gimana?
9.
Lalu apakah disini diberikan pelatihan-pelatihan untuk klien?
10.
Nanti setelah mereka selesai, saat terminasi itu apakah ada surat atau apa yang didapat?
11.
Terus after care disini seperti apa?
komunikasi di luar biar gak kaku. Soalnya kan kalo disini kegiatan mereka rutin dari pagi sampe malem setiap hari kaya gitu, berbeda saat mereka diluar. Nanti pas mereka udah balik kesini kita review, apa aja yang dilakuin selama diluar itu.. melatih mereka juga agar mereka mandiri Kalo disini sendiri, berbeda dengan panti atau lembaga yang memang biasanya pelatihan sudah disediakan kaya las, salon dll, disini balik lagi ke klien masing-masing minat mereka dimana kalo mereka pengen muaytai ya kita coba untuk memfasilitasi mereka. Contohnya kaya kemaren, ada yang bakat melukis jadi kita memfasilitasi panggil guru lukis dan ada juga kegiatan kemarin menyablon. Jadi kalo disini itu tidak terpaku dengan program pelatihan yang seperti di panti yang memang sudah disediakan, kalo disini sesuai kebutuhan mereka aja tapi dengan kesepakatan yang mereka buat dengan konselor. Setelah mereka selesai dari program rawat inap dan rawat jalan serta after care, nanti mereka mendapatkan sertifikat telah selesai melakukan rehabilitasi. Jadi after care disini, ya paling komunikasi lagi sama konselor.. misalnya mereka ada keinginan untuk pake lagi atau mereka lagi galau, nanti mereka cerita ke konselornya.
DOKUMENTASI
Sesi yang dibawakan oleh Pekerja Sosial
Terapi Psikoedukasi yang dibawakan oleh Staff
mengenai Pencegahan Kekambuhan
Terapi Pencegahan kekambuhan
Ruang Tamu atau Ruang Kunjungan
Saturday Night Activity
Ruang Makan
Yoga dan Relaksasi
Dapur Bersih
Tempat klien mencuci pakaian
Musholah
Ruang Sesi
Dapur Kotor untuk memasak
Kolam Renang dihalaman belakang
Kamar Klien
Ruang tengah untuk berkumpul dan juga bisa digunakan untuk sesi.
Kamar Staff
Kantor