IS SN 19 78 — 30 00
Jurnal Sain Peternakan Indonesia (Indonesia Animal Science Journal) VOLUME 6, NO. 2
JULI—DESEMBER 2011
Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer (Diding Latipudin dan Andi Mushawwir) 077 – 082 Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over Feed and Chick Cost (Kususiyah) 083 – 088 Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan Vitamin E terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler (Basyaruddin Zain) 089 – 096 Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan (Meisji L. Sari, Ronny R. Noor, Peni S. Hardjosworo Chairun Nisa) 097 – 102 Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk Serta Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo (Heri D. Putranto) 103 – 114 Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi dengan Kebun Kopi (Rustama Saepudin, Asnath M. Fuah, Luki Abdullah) 115 – 124 Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Organoleptik Daging Sapi (Yenni Okfrianti, Kamsiah,Yessy Fitryani)
Sifat
Fisik dan 125 – 136
Peforma Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas sebagai Pengganti Sebagian Bungkil Kedelai dalam Ransum (Eli Sahara, Sofia Sandi, dan Muhakka) 137 – 142 Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap Kualitas Karkas Ayam Broiler (Yosi Fenita, Warnoto dan A. Nopis) 143 – 150
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu
ISSN 1978 - 3000
JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA (Indonesia Animal Science Journal) Dewan Redaksi Ketua
Suharyanto, S.Pt., M.Si.
Anggota
Drh. Tatik Suteky, M.Sc. Ir. Warnoto, M.P. Ir. Desia Kaharuddin, M.P. Ir. Hidayat, M.Sc. Ir. Kususiyah, M.S. Nurmeiliasari, S.Pt., M.Agr.Sc.
Penyunting
Prof. Ir. Urip Santoso, M.Sc, Ph.D. Ir. Dwatmadji, M.Sc., Ph.D. Heri Dwi Putranto, S.Pt., M.Sc., Ph.D. Ir. Endang Sulistyowati, M.Sc. Ir. Siwitri Kadarsih, M.S. Dr. Ir. Yosi Fenita, M.P.
Administrasi dan Distribusi
Olfa Mega, S.Pt., M.Si. Gema Pertiwi, S.E.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia adalah majalah ilmiah resmi yang dikeluarkan Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, sebagai sumbangannya kepada pengembangan ilmu Peternakan yang diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris yang memuat hasil-hasil penelitian, telaah/tinjauan pustaka, kasus lapang atau gagasan dalam bidang peternakan. Jurnal Sain Peternakan Indonesia (ISSN 1978 – 3000) dalam satu tahun terbit dua kali (Januari-Juni dan Juli -Desember). Edisi khusus dalam Bahasa Inggris dapat diterbitkan apabila perlu. Redaksi menerima tulisan di bidang peternakan yang belum pernah dipublikasikan. Indonesia Animal Science Journal (ISSN 1978 - 3000) is published 2 x per year (January-June and July - December). We receive original papers in Animal Husbandry which are not published in other journals. Alamat Redaksi
: Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian UNIB. Jalan W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371A. Telp (0736) 21170 pst 219. e-mail :
[email protected] dan
[email protected] Terbit Pertama Kali : Juni 2006 Harga langganan Rp. 200.000,- per tahun belum termasuk ongkos kirim
EDITORIAL Salam Redaksi Jurnal Sain Peternakan Indonesia (JSPI) telah berusia 6 tahun dan tercermin dari volume edisi ini, yaitu volume 6 no 2. Usia 6 tahun adalah relatif untuk dikatakan
sudah mapan atau belum, tetapi JSPI senantiasa berusaha untuk tampil dengan sebaik-baiknya. Pada volume ini, kembali JSPI menampilkan berbagai artikel ilmiah bidang peternakan, mulai dari aspek fisiologis, produksi, nutrisi, pemuliaan, teknologi hasil, dan aneka hewan potensial, termasuk kajian pada aspek sosial ekonominya. Artikel yang ada telah melewati proses telaah dan editing, namun demikian masukan
dari pembaca masih sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Akhirnya, semoga artikel yang disajikan ini semakin memberikan wahana baru dalam
pengembangan
keilmuan
bidang
peternakan
dan
bermafaat
pengembangan bidang peternakan itu sendiri. Selamat membaca
Redaksi
bagi
Jurnal Sain Peternakan Indonesia (Indonesia Animal Science Journal)
Volume 6 No 2. Juli – Desember 2011
ISSN 1978 - 3000
DAFTAR ISI
Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer (Diding Latipudin dan Andi Mushawwir) 77 – 82 Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over Feed and Chick Cost (Kususiyah) 83 – 88 Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan Vitamin E terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler (Basyaruddin Zain) 89 –96 Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan (Meisji L. Sari, Ronny R. Noor, Peni S. Hardjosworo Chairun Nisa) 97 – 102 Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk Serta Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo (Heri D. Putranto) 103 – 114 Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi dengan Kebun Kopi (Rustama Saepudin, Asnath M. Fuah, Luki Abdullah) 115 – 124 Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Daging Sapi (Yenni Okfrianti, Kamsiah,Yessy Fitryani) 125 – 136 Peforma Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas sebagai Pengganti Sebagian Bungkil Kedelai dalam Ransum (Eli Sahara, Sofia Sandi, dan Muhakka) 137 – 142 Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap Kualitas Karkas Ayam Broiler (Yosi Fenita, Warnoto dan A. Nopis) 143 – 150
ISSN 1978 - 3000 Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer Regulation of Body Heat of Laying and Growing Hen Diding Latipudin dan Andi Mushawwir Laboratorium Fisiologi Ternak dan Biokimia, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Bandung 45363, Indonesia. Email:
[email protected]
ABSTRACT Sixty Isa Brown hens (each thirty growing and laying hens) housed indoors in battery individual cage were used to explore the heat body regulation of laying and growing hens. This study was conducted in Kuningan, West Java, for 3 months during June-August, 2011. Results of this study indicated that there were comb of growing and laying hens were the organ that was greater heat evaporated than crest, feathers and shank. But there was an increase heat evaporated at the shank in the laying hens, significantly. Responses of respiration (respiration rate and heart rate) were higher in the laying hens, significantly. This study results can be concluded that an increase in the responses of laying hen in heat evaporated mainly on shank, as well as changes in respiration responses as an indication of heat stress. Keywords: Layer, Heat, Regulation
ABSTRAK Enam puluh ekor ayam ras petelur strain Isa Brown masing-masing 30 ekor fase grower dan fase layer, telah digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui regulasi panas tubuh terhadap kedua fase tersebut. Ayam percobaan ditempatkan dalam kandang “battery individual cage” selama 2 bulan pada musim kemarau (JuniAgustus 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jengger ayam fase grower dan layer merupakan organ yang lebih besar mengevaporasikan panas dibandingkan pial, bulu dan shank. Namun pada fase layer terjadi peningkatan evaporasi panas pada shank yang signifikant. Respon respirasi (laju respirasi dan denyut jantung) nyata lebih tinggi pada fase layer. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan respon ayam fase layer dalam mengevaporasikan panas terutama pada shank, serta terjadi perubahan respon respirasi sebagai indikasi stres panas. Kata kunci: ayam petelur, panas, regulasi
PENDAHULUAN Ayam petelur termasuk hewan homoioterm dengan tingkat metabolisme yang tinggi, termasuk hewan yang dapat menjaga dan mengatur suhu tubuhnya agar tetap normal melalui proses yang disebut homeostasis, temperatur tubuh akan konstan meskipun hidup pada temperatur lebih rendah atau lebih tinggi dari pada temperatur tubuhnya, hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam otaknya, yaitu hipotalamus untuk mengatur suhu tubuh. Ayam petelur dapat melakukan aktifitas pada suhu
lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan mengatur suhu tubuhnya. Ayam petelur mempunyai variasi temperatur normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam dan faktor makanan yang dikonsumsi (Frandson, 1992; Yahav, et al., 2004). Kemampuan mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran yang normal merupakan kegiatan yang sangat mempengaruhi reaksi biokimiawi dan proses fisiologis dalam kaitannya dengan metabolisme tubuh ayam, kegiatan ini
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
77
ISSN 1978 - 3000 akan mempengaruhi perubahan yang terjadi pada temperatur tubuh ayam petelur. Pada masing-masing periode pertumbuhan, temperatur tubuh ayam petelur berbeda-beda, karena temperatur tubuh tidak mungkin menunjukkan suatu derajat panas yang tetap, Tetapi kisaran di atas batas tertentu, karena proses metabolisme di dalam tubuh tidak selalu tetap dan faktor di sekitar tubuh (yang diterima tubuh secara radiasi, konveksi, dan konduksi). Umumnya unggas, khususnya ayam petelur tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga jalur utama untuk menjaga keseimbangan suhu adalah pelepasan panas melalui penguapan air (evaporasi) pada kulit dan saluran pernafasan dengan cara panting (Hoffman dan Walsberg 1999; Ophir et a.l., 2002). Indikator yang sangat sederhana untuk mengetahui fenomena ini adalah dengan mengukur permukaan bagian-bagian tubuh ayam dan beberapa parameter fisiologik. Perbedaan aktivitas metabolisme akan menunjukkan respon yang berbeda dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui regulasi panas tubuh ayam petelur fase grower dan layer dalam mempertahankan suhu tubuhnya. MATERI DAN METODE Penelitian selama 3 bulan pada musim kemarau (Juni-Agustus 2011), telah dilakukan dengan menggunakan ayam ras petelur strain ISA Brown sebanyak 30 ekor fase grower umur 14 minggu dan 30 ekor fase layer umur 32 minggu. Rataan berat badan masingmasing fase sekitar 500±10 g dan 1150±25 g. Ayam percobaan ditempatkan dalam kandang battery individual. Tiap petak
kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Peubah yang diukur adalah suhu permukaan tubuh meliputi suhu jengger, pial, bulu dan shank dengan menggunakan thermometer infrared (Codenoll digital infrared laser thermometer) pada pagi, siang, dan sore hari pada setiap hari Senin, Kamis, Minggu selama tiga bulan. Infrared ditembakkan pada bagian tubuh yang ditetapkan sebagai titik pengukuran dari jarak kurang lebih 50 cm. Rekaman temperatur selanjutnya dicatat pada saat nilai penunjukan temperatur pada display thermometer tidak lagi berubah. Laju respirasi dan denyut jantung permenit diukur sekali seminggu selama tiga bulan dengan menggunakan stetoscope. Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan uji Tstudent dengan populasi tidak berpasangan (Steel dan Torrie, 1993), dengan ketentuan dan langkah pengujian berikut: − Populasi 1 = ayam petelur fase grower. − Populasi 2 = ayam petelur fase layer. 1. Rata-rata hitung = 2. Simpangan Baku
S 3. Koefisien Variasi (KV) KV = x 100% KV =
x 100%
4. Menghitung varians dari masingmasing variabel
78 | Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer
ISSN 1978 - 3000
Keterangan : Sx² = Varians sampel petelur fase grower Sy² = Varians sampel petelur fase layer
= Varians sampel ayam petelur fase layer. = Rata-rata parameter sampel ayam petelur fase grower. = Rata-rata parameter sampel ayam petelur fase layer. ayam ayam
5. Menguji keseragaman
Jika : F hitung > F table = Varians sama F hitung < F table = Varians tidak sama Keterangan : F = Keseragaman populasi n1 = Jumlah sampel ayam petelur fase grower = Jumlah sampel ayam petelur fase layer 6. Untuk varians yang sama S Dimana :
Keterangan :x S = Varians. = Varians gabungan ayam petelur fase grower dan ayam petelur fase layer. = Varians sampel ayam petelur fase grower.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perbandingan Respon Permukaan Tubuh dalam Evaporasi Panas Metabolit Rata-rata suhu permukaan tubuh ayam ras petelur fase grower dan layer, ditampilkan pada Tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon permukaan tubuh ayam petelur dalam mengevaporasikan panas tubuh berbeda nyata (p<0,05) baik pada fase grower maupun pada fase layer. Jengger merupakan bagian tubuh yang mengevaporasikan panas lebih tinggi dibanding organ yang lain, baik pada fase grower maupun fase layer yaitu masingmasing 30,10C dan 30,70C, dan bulu contour merupakan bagian permukaan tubuh yang paling tidak efektif mengevaporasikan panas yaitu 25,70C dan 24,70C masing-masing pada fase grower dan layer (Tabel 1). Darah merupakan cairan tubuh yang berfungsi menjaga temperatur tubuh (Dawson dan Whittow, 2000). Rahardja (2010) mengemukakan bahwa pada umumnya, pembuluh darah yang menjadi tempat cadangan sejumlah darah diinervasi oleh serabut syaraf symphatetik yang perangsangannya menyebabkan vasokontriksi, dan mengalihkan pengaliran darah ke bagian lain. Perubahan proporsi darah yang mengalir menuju pembuluh darah kapiler antara lain dipengaruhi oleh suhu sebagai mekanisme ransangan syaraf symphatetik untuk mengeluarkan panas tubuh dalam rangka mempertahankan suhu tubuh
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
79
ISSN 1978 - 3000 Tabel 1. Rata-rata Temperatur Permukaan Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer Permukaan Tubuh Pial Bulu Countour (B) (P)
Fase
Jengger (J)
Grower
30.1a
26.0b
25.7c
27.6d
Layer
30.7e
25.9b
24.7g
28.7h
Shank (S)
Keterangan: Angka dengan super skrip berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (P < 0,05)
ternak (Yanagi, et al., 2002, Mutaf, et al., 2008 dan Yahaf, et al., 2008). Terkait dengan fungsi organ sebagai alat dalam mangevaporasikan panas maka organorgan yang memiliki pembuluh darah kapiler yang banyak akan efektif sebagai organ yang mengevaporasikan panas lebih tinggi, dengan meningkatkan laju alir dan proporsi darah ke organ-organ tersebut (Havenstein, et al., 2007; Shinder, 2007). Respon Fisiologi Pernafasan Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa kondisi fisiologi pernafasan tampak mengalami perubahan dari fase Grower ke fase layer. Perubahan ini merupakan konsekuensi dari aktivitas themoregulasi guna mempertahanan suhu tubuh. Aengwanich (2007) dan Rahardrja (2010) melaporkan bahwa penelitian pada unggas (ayam petelur), yang mengalami hipertermia, memberikan petunjuk bahwa pengaliran darah ke pembuluh kapiler di kulit (termasuk kaki), jaringan rongga hidung dan mulut (nasobuccal) serta otot-otot pernafasan meningkat sampai 4 kali. Perubahan pengaliran darah ke jaringan perifer tersebut, terutama berkaitan dengan peranan Arteri-Vena Anastomosa (AVA) yang memiliki volume besar dan resistensi rendah untuk mengalirkan darah yang diperlukan dalam pengeluaran panas. Peran AVA ini telah ditunjukkan pada penelitian-penelitian yang menggunakan anjing, kelinci maupun
Tabel 2. Beberapa Respon Fisiologi Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer (ratarata temperatur lingkungan = 290C) Respon Fisiologis Laju Respirasi ( per menit) Denyut Jantung (per menit)
Fase Grower Layer 35a 41b a 233 256b
Keterangan: Angka dengan super skrip berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P < 0,05)
domba. Penelitian yang menggunakan kaki belakang domba memberikan petunjuk bahwa pemanasan kulit atau hypothalamus atau sumsum tulang belakang berpengaruh mendilatasikan AVA, dan meningkatkan pengaliran darah melalui arteri femoralis. Panas juga dapat mendilatasikan AVA pada kaki unggas, dan tampaknya peningkatan aliran darah ke lidah unggas adalah juga melalui AVA (Yahav, 2000; Mutah dan Seber, 2005; Cangar, et al., 2008; Tan, et al., 2010 dan Rahardja, 2010). Fenomena inilah yang menyebakan peningkat laju pernfasan dan denyut jantung sebagai konsekuensi mempertahankan suhu tubuhnya. Berbagai penelitian pada ternak unggas khususnya ayam petelur, yang mengalami hipertermia, memberikan petunjuk bahwa pengaliran darah ke pembuluh kapiler di kulit (termasuk kaki), jaringan rongga hidung dan mulut (nasobuccal) serta otot-otot pernafasan mengalami peningkatan yang signifikan. Sebaliknya pengaliran darah ke tulang, saluran pencernaan dan reproduksi menurun 46–80% dari keadaan normal (Rahardja, 2010). Furlan et al. (1999) mengemukakan bahwa pada keadaan volume curah jantung tidak menunjukkan perubahan, peningkatan pengaliran darah ke kulit dan jaringan nasobuccal adalah untuk meningkatkan pengeluaran panas, sementara peningkatan aliran darah ke otot-otot pernafasan adalah untuk
80 | Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer
ISSN 1978 - 3000 memenuhi kebutuhan oksigen – energi mendukung terjadinya panting. Pada kondisi cekaman panas, hasil penelitian Chinrasri et al. (2007) menunjukkan bahwa pengaliran darah ke organ-organ vital, seperti otak, dipertahankan dengan mereduksi pengaliran darah ke organ-jaringan yang kurang vital, seperti organ jeroan dan perototan non-respirasi. Akan tetapi, pada hewan yang gemuk tidak selalu terjadi penurunan pengaliran darah ke perototan non-respirasi. Depot-depot lemak dapat menjadi gudang cadangan darah ketika hewan menghadapi cekaman panas. Perubahan distribusi curah jantung tersebut di atas terjadi tanpa perubahan volume curah jantung. Peningkatan pengaliran darah tersebut dapat mencapai 5 kali dari keadaan normal. Penelitian dengan teknik microsphere dan electromagnetik mengungkapkan adanya hubungan positip antara jumlah darah yang mengalir ke lidah dengan frekuensi pernafasan selama pemanasan hypothalamus, sementara total darah yang mengalir ke hidung meningkat terus sekalipun aktivitas p a n t i n g b e l u m d i t u n j u k k a n . Peningkatan pengeluaran panas melalui lidah merupakan mekanisme pengeluaran kelebihan panas yang poten pada unggas. Pada ruminansia, sekalipun terdapat peningkatan pengaliran darah ke lidah, akan tetapi tidak ada pengeluaran panas melalui lidah (Aengwanich et al., 2003 dan Rahardja, 2010). SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan respon ayam fase layer dalam mengevaporasikan panas terutama pada
jengger dan shank, serta terjadi perubahan respon hematology dan respirasi sebagai indikasi stres panas. DAFTAR PUSTAKA Aengwanich, W., U. Chuachan, Y. Phasuk, T. Vongpralab, P. Pakdee, S. Katavetin and S. Simaraks, 2003. Effect of ascorbic acid on respiratory rate, body temperature, heterophil:lymphocyte ratio and microscopic lesion score in lung, liver, kidney, cardiac muscle and spleen in broilers under chronic heat stress. Thai J. Agri. Sci., 36: 207218. Aengwanich, W. 2007. Effects of High Environmental Temperature on Blood Indices of Thai Indigenous Chickens, Thai Indigenous Chickens Crossbred and Broilers. International Journal of Poultry Science. 6: 427-430. Cangar, O., J.M. Aerts, J. Buyse, and D. Berckmans. 2008. Quantification of the spatial distribution of surface temperatures of broilers. Poultry Science .87:2493–2499. Chinrasri, O. and W. Aengwanich, 2007. Blood cell characteristics, hematological values and average daily gained weight of Thai indigenous, Thai indigenous crossbred and broiler chickens. Pak. J. Biol. Sci., 10: 302-309. Dawson, W. R., and G. C. Whittow. 2000. Regulation of body temperature. Pages 343–379 in Sturkie’s Avian Physiology. G. C. Whittow, ed. Academic Press, New York, NY. Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi 4. Gajah Mada Press. Yogyakarta. Furlan, R.L., M. Macari, V.M.B. de Moraes, R.D. Malheiros, E.B.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
81
ISSN 1978 - 3000 Malheiros and E.R. Secato, 1999. Hematological and gasometric response of different broiler chickens strains under acute heat stress. Revista-Brasileira-de-Ciencia Avicola, 1: 77-84. Havenstein, G. B., P. R. Ferket, J. L. Grimes, M. A. Qureshi, and K. E. Nestor. 2007. Comparison of the performance of 1966-versus 2003type turkeys when fed representative 1966 and 2003 turkey diet: Growth rate, livability, and feed conversion. Poult. Sci. 86:232– 240. Hoffman TY CM, Walsberg GE. 1999. Inhibiting ventilator Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi 4. Gajah Mada Press. Yogyakarta. Mutaf, S., and N. Seber. 2005. The effect of insulation level of the construction elements and evaporative cooling systems in the poultry houses on laying hen performance in hot climate. Pages 347–353 in Proc. 31st Commission International de l’Organisation Scientifique du Travail en Agriculture-International Commission of Agricultural Engineering (CIOSTA-CIGR) V. F. und T. Mullerbader GmbH, Filderstadt, Germany. Mutaf, S., N. Şeber Kahraman, and M. Z. Fırat. 2008. Surface wetting and its effect on body and surface temperatures of domestic laying hens at different thermal conditions. Poultry Science 87:2441–2450. Ophir, E, Y Arieli, J Mrder, and M Horowitz. 2002. Coetaneous blood flow in pigeon Columba livia: its possible relevance to coetaneous water evaporation. J Exp Biol 205:2627-2636.
Rahardja, D.P. 2010. Fisiologi Lingkungan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Shinder, D., M. Rusal, J. Tanny, S. Druyan, and S. Yahav. 2007. Thermoregulatory responses of chicks (gallus domesticus) to low ambient temperatures at an early age. Poultry Science. 86: 2200–2209. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, suatu pendekatan biometric. Gramedia Pustakan Utama, Jakarta. Tan, G.Y., L. Yang , Y.-Q. Fu , J.H. Feng, and M.H. Zhang. 2010. Effects of different acute high ambient temperatures on function of hepatic mitochondrial respiration, antioxidative enzymes, and oxidative injury in broiler chickens. Poultry Science. 89: 115–122. Yahav, S. 2000. Domestic fowl—Strategies to confront environmental conditions. Poult. Avian Biol. Rev. 11:81–95. Yahav, S., A. Straschnow, D. Luger, D. Shinder, J. Tanny, and S. Cohen. 2004. Ventilation, sensible heat loss, broiler energy, and water balance under harsh environmental conditions. Poult. Sci. 83:253–258. Yahav, S., M. Rusal, and D. Shinder. 2008. The effect of ventilation on performance body and surface temperature of young turkeys. Poultry Science. 87:133–137. Yanagi, T. Jr., H. Xin, and R. S. Gates. 2002. Optimization of partial surface wetting to cool caged laying hens. Appl. Eng. Agric. 45:1091– 1100.
82 | Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer
ISSN 1978 - 3000
Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat serta Nilai Income Over Feed and Chick Cost Peraskok Chicken Growth Performance as Meat Source and The Value of Income over Feed and Chick Cost Kususiyah Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jalan Raya W.R. Supratman, Bengkulu e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Peraskok chicken is a cross between Bangkok native chicken having good meat production and taste and commercial egg layer having good egg production. An experiment was conducted to evaluate growth performance of Peraskok chicken as a native chicken to provide four-cut chicken and its income over feed and chick cost. The experiment used 45 day old chicken (DOC) which were reared in 3 cages, as replications. As a comparison, 20 DOC of Kampung native chicken were reared in 2 cages, as replications. The rearing was up to chicken body weight reaching 700 g, eligible for four-cut chick. Variables observed included weight growth, day number to reach 700 g, feed consumption, feed conversion, and its income over feed and chick cost. Data were tabulated and discussed descriptively. The results showed that four-cut chick of Peraskok was reached at 10 weeks with the total consumption of 2,699 g per chick, with feed conversion of 3.95, and income over feed and chick cost of Rp. 8,320 per chick. Where as for Kampung chicken, four-cut chick was reached at 12 weeks with the total consumption of 3.392 g per chick, with feed conversion of 4.63, and income over feed and chick cost of Rp. 6,245 per chick. For these results, we conclude that the growth performance of Peraskok is better than thus Kampung chicken, and hence more profitable to culture. Key words: Growth performance Peraskok Chicken, income over feed and chick cost
ABSTRAK Ayam Peraskok adalah ayam hasil persilangan antara ayam ras petelur betina dengan ayam buras jantan jenis Ayam Bangkok. Produksi telur ayam ras petelur yang tinggi dan performans perdagingan Ayam Bangkok yang relatif baik disinyalir dapat menyediakan permintaan konsumen akan ayam buras dengan lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performans pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai ayam buras potong belah empat serta nilai income over feed and chick cost. Sebanyak 45 ekor anak ayam (DOC) Peraskok dipelihara kedalam 3 petak kandang, masing-masing petak kandang berisi 15 ekor sebagai ulangan. Sebagai pembanding digunakan 20 ekor DOC ayam buras jenis Ayam Kampung dan dipelihara ke dalam 2 petak kandang, sehingga masing-masing petak kandang berisi 10 ekor sebagai ulangan. DOC dipelihara sampai umur potong belah empat yaitu ketika berat badan mencapai 700 g. Peubah yang diukur meliputi: pertambahan berat badan, umur potong belah empat, konsumsi ransum, konversi ransum, dan income over feed and chick cost. Data yang diperoleh ditabulasi dan dibahas secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur potong belah empat Ayam Peraskok dicapai pada umur 10 minggu dengan total konsumsi ransum 2.699,20 g per ekor, konversi ransum 3,95, dan income over feed and chick cost sebesar Rp. 8.319,98 per ekor. Umur potong belah empat pada Ayam Kampung dicapai pada umur 12 minggu dengan konsumsi ransum sebesar 3.392 g per ekor, konversi ransum 4,63, dan income over feed and chick cost Rp. 6.245,08 per ekor. Disimpulkan bahwa performans pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai ayam buras potong belah empat lebih baik dan lebih menguntungkan dibanding ayam buras jenis Ayam Kampung. Kata kunci : Performans Peraskok, Income Over Feed and Chick Cost
PENDAHULUAN Permintaan konsumen terhadap ayam buras (bukan ras) potong belah empat dirasakan terus meningkat. Hal ini
nampak dari banyaknya restaurant atau rumah makan penyedia olahan ayam buras potong belah empat ini. Namun sangat disayangkan, potensi genetik pertumbuhan ayam buras yang rendah
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
83
ISSN 1978 - 3000 (Rasyaf, 1995 dan Kingston, 1979) membuat pertumbuhan ayam buras lambat sehingga untuk mencapai umur potong belah empat diperlukan waktu yang cukup lama. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa untuk mencapai umur potong belah empat pada ayam buras membutuhkan waktu 12 minggu atau tiga bulan, sedangkan pada ayam ras pedaging (ayam broiler) hanya memerlukan waktu empat minggu. Sampai saat ini diketahui masyarakat Indonesia masih menempatkan daging ayam buras pada posisi lebih tinggi dibanding daging ayam ras pedaging, terutama disebabkan oleh cita rasa ayam buras yang khas dan lebih enak dibandingkan dengan ayam ras pedaging (Fujimura et al., 1995). Kondisi ini terlihat dari kerelaan konsumen untuk menerima harga daging dan telur ayam buras yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga daging dan telur ayam ras. Selain hal tersebut, pada kondisi tertentu diantara masyarakat masih ada yang membatasi konsumsi daging dan telur ayam ras. Sebagai contoh, ada keyakinan yang melekat di kalangan masyarakat tertentu bahwa, bila seseorang menderita suatu penyakit atau sedang luka sebaiknya daging ayam yang dikonsumsi adalah daging ayam buras, bukan daging ayam ras seperti broiler. Selain hal tersebut juga dijumpai orang yang alergi terhadap daging ayam ras pedaging (broiler) atau telur ayam ras akan tetapi tidak alergi terhadap daging maupun telur ayam buras. Melihat penghargaan konsumen terhadap ayam buras di atas, rendahnya potensi genetik ayam buras ini perlu usaha perbaikan melalui persilangan. Menurut Sheridan (1986) dan Warwick et al. (1990 ) persilangan adalah salah satu alternatif untuk membentuk keturunan yang diharapkan akan memunculkan efek komplementer yang dapat
meningkatkan produktivitas ternak. Ayam Peraskok adalah ayam hasil persilangan antara ayam ras petelur betina dengan ayam buras Bangkok jantan. Lebih banyaknya jumlah produksi telur dan besarnya ukuran telur ayam ras petelur (Amrullah, 2003, Sudaryani dan Santoso 2000) serta besarnya ukuran tubuh ayam buras Bangkok diharapkan dapat mewujudkan perkembangan dan pertumbuhan keturunannya menjadi lebih baik tanpa mengurangi ciri-ciri yang menjadi kesukaan konsumen terhadap ayam buras itu sendiri. Pengamatan sementara menunjukkan bahwa postur tubuh ayam persilangan antara ayam ras petelur betina dengan ayam buras Bangkok jantan mirip postur tubuh ayam buras. Bagaimana performans pertumbuhan serta nilai keuntungannya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performans pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai ayam buras potong belah empat serta nilai income over feed and chick cost. MATERI DAN METODE Sebanyak 45 ekor DOC Peraskok dipelihara kedalam 3 petak kandang, masing-masing petak kandang berisi 15 ekor sebagai ulangan. Sebagai pembanding digunakan 20 ekor DOC ayam buras jenis Ayam Kampung dan dipelihara kedalam 2 petak kandang, masing-masing petak kandang berisi 10 ekor sebagai ulangan. DOC dipelihara sampai berat badannya mencapai berat sekitar 700 g. Untuk mencegah terjadinya penyakit ND dilakukan vaksinasi ND saat anak ayam berumur 4 hari. Selama 2 minggu pertama anak ayam diberi ransum konsentrat BR1, selanjutnya memasuki umur 3 minggu sampai
84 | Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat
ISSN 1978 - 3000 Tabel 1. Rataan berat DOC, berat badan Ayam Peraskok dan Ayam Kampung sampai umur potong belah empat
Berat telur tetas (g) Berat DOC (g) Berat badan umur 1minggu (g) Berat badan umur 2 minggu (g) Berat badan umur 3 minggu (g) Berat badan umur 4 minggu (g) Berat badan umur 5 minggu (g) Berat badan umur 6 minggu (g) Berat badan umur 7 minggu (g) Berat badan umur 8 minggu (g) Berat badan umur 9 minggu (g) Berat badan umur 10 minggu (g) Berat badan umur 11 minggu (g) Berat badan umur 12 minggu (g)
mencapai berat potong belah empat, ayam diberi ransum oplosan, yaitu ransum yang terdiri dari konsentrat, jagung giling, dan dedak halus dengan perbandingan 1:2:1 dengan kandungan protein sekitar 17 %. Data yang diperoleh ditabulasi dan dibahas secara deskriptif. Peubah yang diukur pada penelitian ini adalah: berat DOC, berat badan mingguan, pertambahan berat badan, konsumsi ransum, konversi ransum. Umur potong belah empat, diketahui dengan mencatat umur dalam satuan minggu, saat ayam mencapai berat sekitar 700 g. Income Over Feed And Chick Cost, dihitung berdasarkan hasil penjualan ayam saat mencapai umur potong belah empat dikurangi biaya pakan dan harga DOC. HASIL DAN PEMBAHASAN Berat DOC, Berat Badan Ayam Peraskok dan Ayam Kampung Sampai Umur Potong Belah Empat Rataan berat DOC, berat badan Ayam Peraskok, dan Ayam Kampung sampai umur potong belah empat disajikan pada Tabel 1. Terlihat pada Tabel 1. bahwa berat DOC Ayam
Ayam Peraskok 63,53 43,97 72,75 108,96 161,10 199,11 285,07 372,30 438,55 528,70 623,30 728,15 -
Ayam Buras Kampung 38,22 25,75 49,79 64,47 86,11 125,00 169,17 233,80 287,50 363,00 449,60 547,00 663,00 728,00
Peraskok (43,97 g) lebih tinggi dibanding berat DOC Ayam Kampung (25,75 g). Lebih tingginya berat DOC Ayam Peraskok ini dapat dimengerti karena ukuran telur tetas Ayam Peraskok (63 g/butir) lebih tinggi dibanding ukuran telur tetas Ayam Kampung ( 38,22 g/butir). Kususiyah (1995) dan Kaharuddin (1989) melaporkan bahwa, berat telur tetas berpengaruh terhadap berat tetas. Selanjutnya pada Tabel 1. juga ditunjukkan bahwa berat badan yang dicapai Ayam Peraskok setiap minggu lebih tinggi dibandingkan Ayam Kampung. Kondisi ini menyebabkan capaian umur potong belah empat pada Ayam Peraskok lebih singkat dibanding Ayam Kampung. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa umur potong ayam buras belah empat adalah umur pada saat berat badan mencapai sekitar 700 g. Terlihat dari Tabel 1. bahwa capaian berat badan 700 g pada Ayam Peraskok terjadi saat umur 10 minggu, sedangkan pada Ayam Kampung baru dicapai saat umur 12 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa umur potong Ayam Peraskok lebih singkat 2 minggu dibanding Ayam Kampung.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
85
ISSN 1978 - 3000 Pertambahan Berat Badan, Konsumsi Ransum, dan Konversi Ransum Ayam Peraskok dan Ayam Kampung sejak DOC sampai Umur Potong Belah Empat Rataan pertambahan berat badan, konsumsi ransum, serta konversi ransum sejak DOC sampai umur potong belah empat Ayam Peraskok dan Ayam Kampung disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 1. dan Tabel 2. dapat dilihat bahwa untuk mencapai berat potong belah empat yaitu selama 10 minggu pemeliharaan, pertambahan berat badan Ayam Peraskok adalah 684,14 g, sedangkan pertambahan berat badan Ayam Kampung selama 12 minggu pemeliharaan adalah 702,25 g. Lebih tingginya pertambahan berat badan Ayam Kampung untuk mencapai berat potong belah empat ini disebabkan oleh lebih rendahnya berat tetas pada ayam kampung tersebut, sehingga membutuhkan ransum yang lebih banyak juga dibanding Ayam Peraskok. Terlihat pada Tabel 2. konsumsi ransum yang
dibutuhkan untuk mencapai pertambahan berat badan pada umur potong belah empat pada Ayam Peraskok jauh lebih rendah (2699,20 g) dibanding Ayam Kampung yang mencapai 3392,00 g. Lebih rendahnya ransum yang diperlukan Ayam Peraskok dibanding Ayam Kampung ini disebabkan karena waktu yang diperlukan Ayam Peraskok untuk mencapai umur potong belah empat yaitu 700 g lebih singkat dua minggu dibanding Ayam Kampung. Selanjutnya bila dilihat konversi ransumnya, menunjukkan juga bahwa konversi ransum Ayam Peraskok lebih rendah dibandingkan Ayam Kampung. Hal ini menunjukkan bahwa, Ayam Peraskok lebih efisien dalam menggunakan ransum dibanding Ayam Kampung. Income over Feed and Chick Cost Perhitungan nilai Income over Feed and Chick Cost ditampilkan pada Tabel 3. Nilai income over feed and chick cost Ayam
Tabel 2. Rataan pertambahan berat badan, konsumsi ransum, konversi ransum Ayam Peraskok dan Ayam Kampung sejak DOC sampai umur potong belah empat
Ayam Peraskok Ayam Kampung
Pertambahan Berat Badan (Umur) 684,14 g (10 minggu) 702,25 g (12 minggu)
Konsumsi Ransum
Konversi Ransum
2699,20 g 3392,00 g
3,95 4,63
Tabel 3. Perhitungan nilai Income over Feed and Chick Cost Ayam Peraskok dan Ayam Kampung pada umur potong belah empat Konsumsi ransum umur 1-2 minggu (g/ekor) Ayam Peraskok Ayam Kampung Keterangan :
Biaya ransum (Rp/ekor)
Harga DOC (Rp/ekor)
Harga jual ayam belah empat (Rp/ekor)
IOFCC (Rp/ekor)
115,74
Konsumsi ransum setelah umur 2 minggu (g/ekor) 2.583,46
8.680,02
5.000,00
22.000,00
8.319,98
88,78
3.303,22
10.754,92
5.000,00
22.000,00
6.245,08
IOFCC = Income Over Feed and Chick Cost IOFCC = harga jual – (harga DOC + biaya ransum ) per ekor ayam Harga ransum BR 1 per kg Rp 5.800,00 (diberikan pada umur 1-2 minggu) Harga ransum oplosan per kg Rp 3.100,00 (diberikan setelah ayam umur 2 minggu)
86 | Performans Pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai Ayam Potong Belah Empat
ISSN 1978 - 3000 Peraskok (Rp 8.319,98 per ekor) lebih tinggi dibanding Ayam Kampung (Rp 6.245,08 per ekor). Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan memelihara Ayam Peraskok sebagai ayam buras potong belah empat lebih tinggi dibanding ayam buras potong jenis Ayam Kampung. Lebih tingginya nilai keuntungan pada pemeliharaan Ayam Peraskok ini disebabkan oleh lebih cepatnya umur potong belah empat dengan efisiensi penggunaan ransum yang lebih baik dibandingkan dengan ayam buras jenis Ayam Kampung. SIMPULAN Performans pertumbuhan Ayam Peraskok sebagai ayam buras potong belah empat lebih baik dan lebih menguntungkan dengan capaian umur potong belah empat lebih singkat dan efisiensi penggunaan ransum lebih baik dibanding ayam buras jenis Ayam Kampung. DAFTAR PUSTAKA Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu Gunungbudi. Bogor. Fujimura, S., S. Kawano, H. Koga, H. Takeda, M. Kadowiki, and T.
Ishibashi. 1995. Animal Science Technology. 66 (43-51). Kaharuddin, D. 1989. Pengaruh bobot telur tetas terhadap berat tetas, daya tunas, pertambahan bobot badan dan angka kematian sampai umur 4 minggu pada burung puyuh. Laporan Penelitian Universitas Bengkulu. Bengkulu. Kingston, D.J. 1979. Peranan ayam berkeliaran di Indonesia. Laporan Seminar Industri Perunggasan II. Balai Penelitian Ternak, CiawiBogor. Kususiyah. 1995. Hubungan berat telur dengan berat tetas dan mortalitas puyuh petelur pada minggu pertama. Laporan Penelitian Universitas Bengkulu. Bengkulu.. Rasyaf, M. 1995. Beternak Ayam Petelur. Penebar Swadaya. Sheridan, A. K. 1986. Selection for heterosis from reciprocal cross population : Estimation of the F1 heterosis and its mode of inheritance. British Poultry Sci. (27) 541-550 Sudaryani, T. dan H. Santoso. 2000. Pemeliharaan Ayam Ras Petelur di Kandang Baterai. Penebar Swadaya. Jakarta. Warwick, E. J., J. M. Astuti, dan W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
87
ISSN 1978 - 3000
Pengaruh Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru dan Vitamin E terhadap Performans Dan Kualitas Daging Ayam Broiler The Effect of Katuk (Sauropus androgynus) Leaf Extract – Lemuru Fish and Vitamin E on Broiler Performance and Meat Quality Basyaruddin Zain Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jalan Raya W.R. Supratman, Bengkulu
ABSTRACT This research was conducted to determine the effect of leaf extract katuk, lemuru oil and vitamin E as a substitute for a commercial feed supplement on performance and meat quality of broilers. One hundred and ninety-five broiler chickens distributed into 13 treatment groups as follows: P0: Feed supplement containing a commercial feed (feed dick). P1: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil. P2: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil + 60 mg vit E. P3: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil . P4: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil + 60 mg vit E. P5: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil . P6: 9 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil + 60 mg vit E. P7: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil. P8: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 1% lemuru oil + 60 mg vit E. P9: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil. P10: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 2% lemuru oil + 60 mg vit E. P11: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil. P12: 18 g / kg leaf extract katuk (EDK) + 3% lemuru oil + 60 mg vit E. Design research used Completely Randomized Design (CRD) with 13 treatments and 3 replications. Each test consisted of five broiler chickens, the number of chickens in the study as many as 195 birds. The data obtained were analyzed according to the design used (Completely Randomized Design) and Test DMRT (Duncan Multiple Range Test) to examine differences in treatment effect. The results showed that the use katuk leaf extract, lemuru oil and vitamin E not differ significantly (P> 0.05) to ration consumption, weight gain and conversion ration of broiler chickens are very real and different (P <0.01) on levels of cholesterol, triglycerides, LDL-cholesterol and HDL-cholesterol in blood serum and different broiler highly significant (P <0.01) on levels of cholesterol, fat and protein content of broiler meat. Key words: Extract, Lemuru, meat, performance, Sauropus androgynus, vitamin E
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E sebagai pengganti feed suplement komersial terhadap performans dan kualitas daging ayam broiler. Seratus sembilan puluh lima ekor ayam broiler didistribusikan menjadi 13 kelompok perlakuan yaitu: P0: Pakan mengandung feed suplement komersial (pakan kontol). P1: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru. P2: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P3: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru. P4: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P5: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru. P6: 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P7: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru. P8: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P9: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru. P10: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P11: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru. P12: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. Rancangan penelitian yang digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 13 perlakuan dan 3 ulangan. Setiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam broiler, jumlah ayam dalam penelitian sebanyak 195 ekor. Data yang diperoleh dianalisis sesuai rancangan yang digunakan (Rancangan Acak Lengkap) dan Uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) untuk menguji perbedaan pengaruh perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi ransum ayam broiler serta berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar kolesterol, trigliserida, LDL-kolesterol dan HDL-kolesterol dalam serum darah broiler dan berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar kolesterol, lemak dan kadar protein daging broiler. Kata Kunci: Daging, ekstrak, Katuk, Lemuru, performans, vitamin E
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
89
ISSN 1978 - 3000 PENDAHULUAN Latar Belakang Peluang untuk memperbaiki performans ayam di daerah tropika basah seperti Indonesia menurut Abbas (1999), yang utama adalah melalui pendekatan manipulasi biolingkungan yakni : 1) Manipulasi iklim mikro melalui rasionalisasi perkandangan, 2) Manipulasi biofisiologi melalui pengaturan a) feed water balance, b) suplementasi vit C, vit E, vitamin K, biotin, vitamin B2 (riboflavin), 3) perbaikan manajemen terutama pada saat terjadi lonjakan suhu lingkungan dan 4) perbaikan sosial ekonomi lingkungan usaha. Biasanya peternak dalam pemeliharaan ayam broiler memberikan ransum komersil yang telah memenuhi standar kebutuhan zat–zat makanan yang telah ditetapkan dan juga di dalamnya sudah terkandung bahan pakan tambahan (feed supelment). Pemakaian feed supplement bertujuan untuk memperbaiki pakan dan memacu pertumbuhan ternak untuk meningkatkan produksi. Meskipun feed suplement mampu meningkatkan produksi namun kualitas daging yang dihasilkan belum dapat memenuhi tuntutan konsumen karena daging yang dihasilkan masih berkadar lemak tinggi. Oleh karena itu penggunaan feed suplement alami merupakan alternatif yang dapat dipakai sebagai pengganti feed suplement komersial dalam ransum. Salah satu feed suplement alami yang dapat digunakan adalah daun katuk (Sauropus androgynus). Daun katuk (Sauropus androgynus) selain sebagai tanaman obat juga memiliki kandungan gizi yang tinggi karena mengandung protein, vitamin, serta mengandung zat anti bakterial sehingga menjadikan katuk sebagai tanaman yang sangat bermanfaat (Malik,
1997). Daun katuk (Sauropus androgynus) dapat meningkatkan efesiensi metabolisme zat-zat gizi karena kaya akan mineral dan mengandung 6 senyawa sekunder utama yaitu, monometyl succinate, cis-2-metyl cyclopentonal asetat, asam benzoat, asam fenil malonat, 2-pyrolidion dan metyl pyroglutamate, β-karotin (Agustal et al, 1997) Penggunaan ekstrak daun katuk dalam ransum dapat meningkatkan efisiensi produksi dan kualitas telur (Santoso et al, 2002) dan (Subekti, 2003). Penyusunan ransum pada dasarnya hanya ditekankan kepada terpenuhinya kebutuhan energi, protein, vitamin dan mineral. Asam lemak tak jenuh ganda : Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) jarang menjadi perhatian dalam penyusunan ransum. Padahal PUFA dapat menurunkan kolesterol dan merupakan prekursor dari beberapa zat yang mempengaruhi sistem imun. Salah satu bahan pakan yang kaya akan PUFA dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia adalah minyak ikan lemuru. Fenita (2002) menemukan bahwa pemberian minyak ikan lemuru mampu meningkatkan kadar PUFA dalam daging broiler. Minyak ikan lemuru berpotensi sebagai sumber PUFA seperti asam lemak omega-3 dan mengandung asam lemak linoleat yang dibutuhkan ayam untuk mengoptimalkan daya tahan tubuhnya. Namun kelemahan minyak ikan lemuru dapat meningkatkan bau amis dan asam lemak di dalamnya mudah teroksidasi dan juga menurunkan kadar vitamin E yang pada gilirannya akan menyebabkan defisiensi vitamin E yang mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh. Untuk mengatasi defisiensi vitamin E perlu suplementasi vitamin E. Menurut Chen et al. (1998) Suplementasi Vitamin E sebanyak 60 mg/kg ransum sangat efektif mencegah oksidasi PUFA.
90 | Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru
ISSN 1978 - 3000 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan ekstrak daun katuk minyak ikan lemuru dan vitamin E sebagai pengganti feed suplement komersial dalam ransum terhadap performans dan kualitas daging ayam broiler MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan bulan Februari sampai akhir Juli 2009 bertempat di Kandang dan Laboratorium Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bahan yang digunakan adalah 195 ekor ayam broiler, ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru, vitamin E, dan bahan penyusun ransum yang terdiri dari jagung kuning, minyak sawit, bungkil kedelai, tepung ikan, kalsium karbonat, mineral mix, garam, dan top mix (sebagai feed suplement komersial), serta vaksin ND, vitachick dan desinfektan Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 13 perlakuan dan 3 ulangan. Ransum penelitian sebanyak 13 perlakuan sebagai berikut : P0 : Pakan mengandung feed suplement komersial. P1 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru. P2 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P3 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru. P4 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P5 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru. P6 : 9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P7 : 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru.
P8 : 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P9 : 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru. P10: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. P11: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru. P12: 18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E. Peubah yang diamati yaitu: konsumsi ransum, pertambahan berat badan, konversi ransum, kadar kolesterol, trigliserida, LDL-kolesterol dan HDLkolesterol dalam serum darah broiler serta kadar kolesterol, lemak dan kadar protein daging broiler. HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan konsumsi, pertambahan berat badan dan konversi ransum selama penelitian terlihat seperti pada Tabel 1. Penggunaan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum ayam broiler dengan berbagai perlakuan berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap konsumsi, pertambahan berat badan dan konversi ransum dibandingkan ransum kontrol. Berbeda tidak nyatanya konsumsi ransum, hal ini disebabkan karena ransum perlakuann yang menggunakan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E mempunyai palatabilitas yang sama dengan ransum kontrol yang menggunakan feed suplement komersial. Palatabilitas ransum mempengaruhi konsumsi sehingga antara ransum perlakuan yang menggunakan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E dengan ransum kontrol yang memakai feed suplement komersial tidak mempengaruhi konsumsi ransum ayam broiler. Selain palatabilitas jika kita lihat faktor lain yang mempengaruhi konsumsi
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
91
ISSN 1978 - 3000 Tabel 1. Rataan konsumsi, pertambahan berat badan dan konversi ransum selama penelitian Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12
Konsumsi (gram/ekor) 1754,44a 1716,11a 1877,78a 1830,00a 1760,00a 1780,00a 1747,78a 2023,89a 1628,89a 2036,11a 1760,00a 1693,89a 1782,22a
Pertambahan Berat Badan (gram/ekor) 626,67a 651,67a 706,67a 687,78a 731,67a 668,33a 636,11a 757,78a 593,33a 697,78a 677,78a 630,00a 671,11a
Konversi 2,79a 2,63a 2,65a 2,66a 2,41a 2,66a 2,74a 2,67a 2,74a 2,91a 2,60a 2,68a 2,65a
Keterangan: ns (non signifikan)
ransum seperti kandungan nutrisi terutama energi dan protein ransum, bentuk ransum, faktor lingkungan, genetik, kondisi ternak adalah sama. Menurut Anggorodi (1995) bahwa konsumsi dipengaruhi oleh faktor genetik, jenis kelamin, lingkungan, dan palatabilitas ransum. Murtidjo (1987) bahwa selera makan ternak dipengaruhi oleh bentuk, rasa, aroma, serta kondisi ternak tersebut. Berbeda tidak nyatanya pertambahan berat badan ayam broiler karena ransum yang dikonsumsi juga berbeda tidak nyata sebab pertambahan berat badan dipengaruhi oleh konsumsi ransum yang digunakan untuk pertumbuhan. Jadi antara ransum perlakuan yang menggunakan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E dengan ransum kontrol yang memakai feed suplement komersial, konsumsi ransumnya juga berbeda tidak nyata. Sebagaimana yang dinyatakan Anggorodi (1995), bahwa pertambahan berat badan dipengaruhi oleh konsumsi ransum. Rasyaf (2002) menyatakan bahwa bobot badan unggas dipengaruhi antara lain oleh kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan. Blakely dan
Blade (1998) menjelaskan bahwa tingkat konsumsi ransum akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan bobot akhir karena pembentukan bobot, bentuk dan komposisi tubuh pada hakekatnya adalah akumulasi pakan yang dikonsumsi ke dalam tubuh ternak. Berbeda tidak nyatanya konversi ransum ayam broiler disebabkan karena antara ransum perlakuan yang menggunakan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E dengan ransum kontrol yang memakai feed suplement komersial, karena konsumsi ransum dan pertambahan berat badan ayam broiler juga berbeda tidak nyata. Konversi ransum merupakan perbandingan antara konsumsi ransum dengan pertambahan berat badan. Kadar Fraksi Lipid Dalam Serum Darah pada Tabel 2. Penggunaan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum ayam broiler dengan berbagai perlakuan berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap kadar kolesterol, trigliserida, LDL-kolesterol dan HDL-kolesterol dalam serum darah broiler. Ransum perlakuan dapat menurunkan antara 14,08% sampai
92 | Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru
ISSN 1978 - 3000 Tabel 2. Kadar Fraksi Lipid Dalam Serum Darah Perlakuan
Kolesterol Trigiliserida LDL-k HDL-k (mg/100 ml) (mg/100ml) (mg/100 ml) (mg/100 ml) P0 208,37g 139,47f 137,14e 35,90ab fg f e P1 195,41 137,40 131,84 36,83abc P2 179,02f 131,23ef 118,18d 37,44abcd e de cd P3 146,89 125,40 113,19 34,69a P4 143,45de 114,05bc 100,00ab 40,16d bcde abc abc P5 131,46 111,62 102,00 37,18abcd P6 134,77cde 109,92ab 100,75ab 40,16d bcd ab d P7 125,10 106,14 119,40 38,45bcd P8 139,43de 116,67bcd 109,70bcd 38,22bcd abc cde abc P9 117,47 122,14 104,69 38,48bcd P10 114,23ab 106,71ab 95,57a 38,95bcd a ab a P11 105,43 106,73 95,72 40,29d P12 101,46a 100,92a 95,91a 39,61cd Keterangan: Angka-angka dengan superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan berbeda tidak nyata dan angka-angka dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)
51,30% kolesterol dalam serum darah broiler jika dibandingkan dengan ransum kontrol. Penurunan kadar kolesterol dalam serum darah broiler yang terendah 14,08% terdapat pada ransum perlakuan P2 (9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E) dan yang tertinggi 51,30% terdapat pada ransum perlakuan P12 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E). Ransum perlakuan dapat menurunkan antara 10,88% sampai 27,64% trigliserida dalam serum darah broiler jika dibandingkan dengan ransum kontrol. Penurunan kadar trigliserida dalam serum darah broiler yang terendah 10,88% terdapat pada ransum perlakuan P3 (9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru) dan yang tertinggi 27,64% terdapat pada ransum perlakuan P12 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E). Ransum perlakuan dapat menurunkan antara 13,82% sampai 30,31% LDL-kolesterol dalam serum darah broiler jika dibandingkan dengan
ransum kontrol. Penurunan kadar LDLkolesterol dalam serum darah broiler yang terendah 13,82% terdapat pada ransum perlakuan P2 (9 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E) dan yang tertinggi 30,31% terdapat pada ransum perlakuan P10 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 2% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E). Ransum perlakuan dapat meningkatkan antara 6,46% sampai 12,22% HDL-kolesterol dalam serum darah broiler jika dibandingkan dengan ransum kontrol. Peningkatan kadar HDLkolesterol dalam serum darah broiler yang terendah 6,46% terdapat pada ransum perlakuan P8 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 1% minyak ikan lemuru + 60 mg vit E) dan yang tertinggi 12,22% terdapat pada ransum perlakuan P11 (18 g/kg ekstrak daun katuk (EDK) + 3% minyak ikan lemuru). Penurunan kolesterol, trigliserida dan LDL-kolesterol dalam serum darah broiler disebabkan karena zat aktif flavonoid dalam daun katuk sementara senyawa yang berperan dalam minyak
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
93
ISSN 1978 - 3000 lemuru adalah asam lemak tak jenuh rantai panjang omega-3 (PUFA). Flavonoid berfungsi menghambat oksidasi kolesterol LDL. Flavonoid meningkatkan kadar prostasiklin. Prostasiklin adalah substansi yang diproduksi oleh endothelium pembuluh darah dan menyebabkan vasodilatasi, menghambat pembentukan platelet darah (kepingan sel-sel darah) dan gumpalan darah serta menghambat masuknya kolesterol LDL (kolesterol jahat) ke dalam dinding pembuluh darah. Sebagaimana pendapat Santoso et al. (2004) bahwa ekstrak daun katuk dapat menurunkan konsentrasi kolesterol dan LDL-kolesterol pada ayam pedaging tapi tidak dapat menaikkan HDL-kolesterol. Pada penelitian ini ternyata pemberian ekstrak daun katuk, minyak lemuru dan vitamin E mampu meningkatkan kadar HDL kolesterol. Peningkatan HDL-kolesterol ini disebabkan karena adanya pemberian minyak ikan lemuru dalam ransum. Minyak ikan lemuru mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan trigliserida dan meningkatkan HDL-
kolesterol dalam plasma darah. Sebagaimana hasil penelitian Fenita (2002) bahwa minyak ikan lemuru mengandung asam lemak omega 3 berupa EPA dan DHA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa EDK, minyak ikan lemuru dan vitamin E berpotensi untuk menekan resiko terkena penyakit penyempitan pembuluh darah (atherosclerosis). Penggunaan EDK, minyak lemuru dan vitamin E ternyata cukup efektif untuk menurunkan konsentrasi kolesterol, LDL-kolesterol dan trigliserida serta meningkatkan HDLkolesterol. Kadar kolesterol, protein dan lemak daging dada broiler pada Tabel 3. Penggunaan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum ayam broiler dengan berbagai perlakuan berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap berbeda kadar kolesterol, lemak dan protein daging broiler dibandingkan ransum kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi EDK dan minyak lemuru menurunkan kadar kolesterol dan lemak daging broiler (P<0,01) dan
Tabel 3. Kadar kolesterol, protein dan lemak daging dada broiler Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12
Kolesterol (mg/100ml) 2,21e 2,10ge 2,04ef 1,88de 1,79d 1,62c 1,51bc 1,30a 1,37f 1,42ab 1,31a 1,37ab 1,31a
Protein (%) 18,07a 18,70abc 18,64abc 18,922abc 18,507ab 19,53abc 19,66bc 19,47abc 19,56abc 19,72bc 20,18cd 21,19d 23,22e
Lemak (%) 4,77i 4,55f 4,34g 4,23fg 4,07ef 4,00e 3,86de 3,33a 3,66cd 3,61bc 3,64bcd 3,43ab 3,28a
Keterangan: Angka-angka dengan superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan berbeda tidak nyata dan angka-angka dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda sangat nyata (P < 0,01) 94 | Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Minyak Ikan Lemuru
ISSN 1978 - 3000 meningkatkan kadar protein daging broiler. Kecendrungan turunnya kadar total lipid dan turunnya kadar kolesterol dalam daging broiler dikarenakan EDK mengandung metilpiroglutamat sementara minyak lemuru kaya akan PUFA terutama omega-3. Kedua senyawa ini diketahui mempunyai kemampuan menurunkan deposisi lemak (Fenita, 2005, Santoso, et. al. 2004.). Selain itu daun katuk juga mengandung flavonoid, tanin dan alkaloid lainnya dimana senyawa tersebut bersifat antilipida. Suprayogi (2000) menemukan bahwa ekstrak etanol mengandung senyawa tanin, gula, garam alkoloid dan antrasenoid, steroid glycoside/triterpenoid, flavonoid, kumarin, isoquinoline alkoloid dan anthocyanin. Sementara pada ekstrak air panas mengandung senyawa tanin, kumarin, garam alkaloid, glukoside dan saponin. SIMPULAN Penggunaan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi ransum ayam broiler. Penggunaan ekstrak daun katuk, minyak ikan lemuru dan vitamin E dalam ransum dapat menurunkan kadar kolesterol, trigliserida, LDL-kolesterol dan menaikkan HDL-kolesterol dalam serum darah broiler dan juga dapat menurunkan kadar kolesterol, lemak, dan menaikkan kadar protein daging broiler. DAFTAR PUSTAKA Abbas, M.H. 1999. Pengelolaan Ternak Unggas. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas Padang. Agustal, A., M. Haripini dan Chairul. 1997. Analisis kandungan kimia
ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr dengan GCMS. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3 (3) ; 31-33. Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Universitas Indonesia Press, Jakarta Chen, Y. J., K. S. Son, B. J. Min, J. H. Cho, O. S. Kwon and I. H. Kim. 1998. Effects of dietary probiotic on growth performance, nutrients digestibility, blood characteristics and fecal noxious gas content in growing pigs. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18:1464-1468 Fenita, Y. 2002. Suplementasi lisin dan metionin serta minyak lemuru ke dalam ransum berbasis hidrolisis bulu ayam terhadap perlemakan dan pertumbuhan ayam ras pedaging. Program Pasca SarjanaIPB, Bogor. Malik, A. 1997. Tinjauan fitokimia, indikasi penggunaan dan bioaktivitas daun katuk dan buah trengguli. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. 3 (3): 39-40. Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius, Yogyakarta. Santoso, U., J. Setianto dan T. Suteky. 2002. Pengguanaan Ekstrak Daun Katuk untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan Kualitas Telur yang Ramah Lingkungan pada Ayam Petelur. Laporan Hibah Bersaing Tahun 1, Jakarta. Santoso, U., Y. Fenita dan W. Piliang. 2004. Penggunaan ekstrak daun katuk sebagai feed additive untuk memproduksi meat designer. Laporan Penelitian Hibah Pekerti. Universitas Bengkulu, Bengkulu. Subekti, S. 2003. Kualitas telur dan karkas ayam lokal yang diberi tepung daun katuk dalam ransum. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
95
ISSN 1978 - 3000
Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan Hatching Egg Performance of Pegagan Duck Meisji L. Sari2), Ronny R. Noor2), Peni S. Hardjosworo2), Chairun Nisa3), Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Ternak Sekolah Pasca Sarjana IPB 2)Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor 3)Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Email:
[email protected]
1)
ABSTRACT Pegagan duck as native south sumatera duck were one of specific genetic resource that needs to be preserved and explored. Scientific information on Pegagan as animal genetic resources is less than other native ducks. This study was done in order to identified and explored the performance of hatching egg of Pegagan duck. Five-hundreds hatching eggs were collected from 3 sub district; Tanjung Raja, Inderalaya and Pemulutan of Ogan Ilir Regency, South Sumatera. They were weighed and measured to generated egg index. The eggs were hatched using hatching machine that already desinfected using lisol 2.5%. Along the hatching, all eggs were rotated from day-3 to day-25. Egg candling was done in day-5, day-13 and day-25. The results shows that average egg weight were 65 g. Bluish-green egg shell and average of egg index were 75±0,03%. Pegagan duck egg fertility were low (60%) and its hatchability were 53% with hatching weight 36.37 ± 3,39 g. Key words: hatching eggs, hatchery, Pegagan Duck, fertility
ABSTRAK Itik Pegagan sebagai itik lokal Sumatera Selatan merupakan salah satu sumber genetik ternak atau kekayaan hayati lokal Indonesia, yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Sejauh ini data ilmiah mengenai itik Pegagan sebagai sumber plasma nutfah relatif masih sedikit dibandingkan ternak itik lokal lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengidentifikasi keragaan telur tetas itik Pegagan. Penelitian inidiawali dengan mengumpulkan telur tetas itik Pegagan sebanyak 500 butir yang didapat dari tiga kecamatan yaitu kecamatan Tanjung Raja, Inderalaya dan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Telur itik yang dikumpulkan kemudian ditimbang dengan timbangan telur untuk mengetahui bobot telur (g), kemudian diukur panjang (mm) dan lebar telur (mm) untuk mengetahui indeks telur. Selanjutnya telur ditetaskan dengan mesin tetas yang sebelumnya dibersihkan dengan lisol 2.5%. Selama proses penetasan dilakukan pemutaran telur mulai hari ketiga sampai hari ke-25. Pemeriksaan telur (candling) dilakukan tiga kali yaitu pada hari kelima, ke-13 dan ke-25. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot telur tetas yang digunakan 65 g, warna kerabang telur itik Pegagan adalah hijau kebiruan, rataan indeks telur itik Pegagan 75±0,03%. Fertilitas telur itik Pegagan yang dikumpulkan dari peternak itik rendah yaitu sebesar 60%, dengan daya tetas 53% dan bobot tetas sebesar 36,37 ± 3,39 g. Kata Kunci: telur tetas, penetasan, Itik Pegagan, fertilitas
PENDAHULUAN Potensi ternak itik di Indonesia sangat besar terutama sebagi penghasil daging dan telur. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Salah satu dari kekayaan itu adalah keanekaragaman hewan ternak, termasuk
itik. Populasi itik di Indonesia sebagian besar dijumpai di pulau Jawa dan kepulauan Indonesia bagian Barat. Indonesia memiliki berbagai jenis itik lokal seperti itik Cirebon, itik Mojosari, itik Alabio, itik Tegal dan itik Magelang Usaha pemerintah dalam menunjang program sub sektor peternakan yaitu peningkatan produksi
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
97
ISSN 1978 - 3000 ternak dapat dicapai dengan dua cara yaitu dengan peningkatan populasi ternak dan peningkatan mutu genetik ternak. Dalam rangka melestarikan ternak lokal maka telah banyak dilakukan bermacam-macam usaha antara lain dengan inseminasi buatan dan persilangan-persilangan. Itik Pegagan sebagai itik lokal Sumatera Selatan merupakan salah satu sumber daya genetik ternak atau kekayaan hayati lokal Indonesia, yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Sejauh ini data ilmiah mengenai itik Pegagan sebagai sumber plasma nutfah relatif masih sedikit dibandingkan ternak itik lokal lainnya. Sehingga perlu diupayakan pelestarian. Itik Pegagan berasal dari desa Kotodaro, Kecamatan Tanjung Raja, Kabupaten Ogan Ilir (OI), Propinsi Sumatera Selatan. Populasinya dari waktu ke waktu relatif semakin menurun, sehingga sekarang ini populasi itik tersebut hanya sekitar 10% dari populasi itik di Sumatera Selatan. Padahal itik Pegagan sebagai sumber plasma nutfah belum banyak diungkap sebagaimana ternak itik lokal lain. Potensi itik Pegagan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan itik lokal lainnya. Keunggulan tersebut adalah berat badan rata-rata itik dewasanya yang dapat mencapai > 2 kg, serta berat telur rata-ratanya dapat mencapai > 70 g. Pengembangan itik Pegagan tersebut perlu dilakukan melalui program pemuliaan dengan memperhatikan karakteristiknya. Program pemuliaan secara nyata dapat membantu dalam menghasilkan jenis itik tertentu dengan sifat-sifat dan tujuan produksi yang diharapkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan mengidentifikasi keragaan telur tetas dan hasil penetasan telur itik Pegagan yang pada akhirnya untuk mempopulerkan
98 | Keragaan Telus Tetas Itik Pegagan
dan meningkatkan manfaat itik Pegagan serta dapat dijadikan sebagai pedoman dalam upaya pembudidayaannya. MATERI DAN METODE Penelitian ini akan diawali dengan mengumpulkan telur tetas itik Pegagan sebanyak 500 butir yang didapat dari tiga kecamatan yaitu kecamatan Tanjung Raja, Inderalaya dan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Telur itik yang dikumpulkan kemudian ditimbang dengan timbangan telur untuk mengetahui bobot telur (g), kemudian diukur panjang (mm) dan lebar telur (mm) untuk mengetahui indeks telur. Telur kemudian difumigasi dengan larutan kalium permanganat-formalin. Larutan terdiri dari 4 g kalium permanganat dan 5 cc formalin untuk luasan satu meter kubik selama 15 menit. Selanjutnya telur ditetaskan dengan mesin tetas yang sebelumnya dibersihkan dengan lisol 2.5%. Selama proses penetasan dilakukan pemutaran telur mulai hari ketiga sampai hari ke-25. Pemeriksaan telur (candling) dilakukan tiga kali yaitu pada hari kelima, ke-13 dan ke-25. Pemeriksaan pertama dilakukan untuk mengetahui fertilitas telur. Pemeriksaan kedua dan ketiga dilakukan untuk mengeluarkan telur-telur dengan embrio mati. Mulai hari ke-25 sampai menetas (umumnya hari ke-28) telur-telur tidak diputar lagi, sehingga diketahui dari telur yang mana itik tersebut berasal. Daya tetas telur ditentukan berdasarkan perbandingan jumlah telur yang menetas dan tidak. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan Keragaan telur tetas itik Pegagan hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
ISSN 1978 - 3000 Tabel 1 menunjukkan bahwa rataan bobot telur tetas yang digunakan 65,32 ±3,81 g. Rataan bobot telur penelitian ini lebih tinggi dibandingkan bobot telur itik Alabio, seperti yang dilaporkan Prasetyo dan Susanti (2000) yakni 60,21 ± 5,64 g, dan hampir sama dengan bobot telur tetas itik Alabio pada penelitian Suryana (2011) dimana bobot telur tetas yang digunakan 67,87 ± 3,15 g. Bobot telur merupakan sifat yang banyak dipengaruhi oleh factor genetik, umur induk, posisi telur dalam cluth, musim dan pakan (Solihat et al. 2003). Perbedaan ini diduga disebabkan oleh asal telur tetas yang digunakan sumbernya tidak sama dan dihasilkan oleh induk yang mempunyai bobot badan bervariasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Applegate et al. (1998) bahwa bobot telur yang dihasilkan berkorelasi positif dengan bobot induk. Bobot telur dipengaruhi oleh faktor-faktor dewasa kelamin, umur itik, bangsa, tingkat protein dalam pakan, cara pemeliharaan, dan temperature lingkungan (Solihat et al. 2003). Ditinjau dari aspek pakan, Wahyu (1997) mengemukakan bahwa penurunan besar telur dapat disebabkan oleh defisiensi asam linoleat maupun kandungan zat anti nutrisi tertentu dalam pakan seperti nicarbasin dan gossypol. Defisiensi asam linoleat dalam pakan dapat mengakibatkan bobot telur yang dihasilkan rendah sehingga berat embrio juga rendah (Komarudin et al. 2008). Karakteristik warna kerabang telur itik Pegagan adalah hijau kebiruan yang merupakan ciri khas warna kerabang telur itik Pegagan. Hasil penelitian sama dengan warna kerabang telur itik Alabio
dan Mojosari (Suparyanto, 2005). Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian unggas air termasuk itik memiliki warna kerabang hijau kebiruan. Hal ini disebabkan adanya pengaruh gen yaitu pigmen yang bertanggung jawab terhadap warna kerabang menjadi hiijau kebiruan adalah pigmen biliverdin, sementara zick chelate dan protoporpirin IX umumnya ditemukan pada telur yang berkerabang coklat (Wasburn 1993). Warna kerabang telur hijau kebiruan merupakan warna dominan otosomal yaitu gen G+ dan masih memiliki sifat liar (Lancaster 1993). Pada itik-itik yang sudah didomestikasi, warna kerabang telur dengan itik Bali putih, itik Pekin, dan itik putih Ukrania memiliki warna kerabang telur putih yang sepenuhnya dikontrol oleh gen g (Romanov et al. 1995). Indeks telur merupakan perbandingan antara panjang telur dibagi lebar dikali 100%. Rataan indeks telur itik Pegagan (75%) termasuk normal. Nilai indeks telur yang normal adalah 79%, sehingga nilai indeks yang lebih kecil dari 79% akan memberikan penampilan lebih panjang dan lebih dari 79% penampilannnya lebih bulat (Romanoff dan Romanoff 1963). Indeks telur itik Pegagan tersebut hampir mirip dengan indeks telur itik Cihateup asal Tasikmalaya (80,19%) hasil penelitian Wulandari (2005). Indeks telur yang mencerminkan bentuk telur sangat dipengaruhi oleh genetik dan bangsa (Romanov et al. 1995), juga proses-proses yang terjadi selama pembentukan telur (Larbier & Leclercq 1994).
Tabel 1. Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan Peubah yang diamati Jumlah Telur Bobot Telur (g) Warna telur Indeks Telur (%)
500 65,32 ±3,81 Hijau kebiruan 75 ± 0,03 Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
99
ISSN 1978 - 3000 Tabel 2. Fertilitas, Daya Tetas dan Bobot Tetas Itik Pegagan Peubah yang diamati Fertilitas (%) Daya Tetas (%) Bobot Tetas (g)
Keragaan Telur Tetas Itik Pegagan Hasil penetasan yang meliputi fertilitas, daya tetas dan bobot tetas itik Pegagan didapat nilai-nilai seperti Tabel 2. Fertilitas telur adalah perbandingan antara telur yang fertil dengan jumlah total telur yang ditetaskan. Fertilitas telur itik Pegagan yang dikumpulkan dari petenak rendah yaitu sebesar 60%. Rendahnya fertilitas telur karena pada saat pemeliharaan rasio jantan dan betina tidak tepat. Berdasarkan informasi dari peternak pejantan yang dipelihara terlalu sedikit. Fertilitas telur dalam penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian yang dilaporkan Setioko dan Istiana (1999) yaitu penetasan itik Alabio kontrol dan terseleksi di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Propinsi Kalimantan Selatan masing-masing sebesar 73,33% dan 77,4%, sementara Suryana (2011) pada itik Alabio fertilitas sebesar 97,3%. Purba et al. (2005) dan Wobowo et al. (2005) menyatakan bahwa rataan fertilitas telur itik di daerah sentra produksi dan penetasan di Kabupaten Blitar, Jawa Timur berkisar antara 86,46-90,49%, sementara Yuwono et al. (2005) melaporkan bahwa fertilitas telur itik lainnya selama lima periode penetasan sebesar 89,31%. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas telur adalah rasio jantan dan betina, pakan induk, umur pejantan yang digunakan dan umur telur (Srigandono 1997), jumlah induk yang dikawini oleh satu pejantan dan umur induk (Solihat et al. 2003). Daya tetas telur itik Pegagan sebesar 53%. Daya tetas telur itik Pegagan
100 | Keragaan Telus Tetas Itik Pegagan
60 53±0,17 36,37±3,89
masih cukup baik dibandingkan daya tetas itik Alabio (48,98%) dan itik Mojosari (40,87%) hasil penelitian Brahmantiyo et al. (2001). Tinggi rendahnya daya tetas bergantung pada kualitas telur tetas, sarana penetas, ketrampilan pelaksana dan kualitas mesin tetas (Martojo et al. 1979 dalam Lasmini et al.1992). Daya tetas juga sangat dipengaruhi oleh status nutrisi induk. Menurut Wilson (1997) status nutrisi induk sangat penting dalam pembentukan telur, ketersediaan gizi yang seimbang dibutuhkan bagi perkembangan embrio yang normal. Embrio dapat mati jika telur kekurangan, kelebihan atau ketidakseimbangan nutrisi yang mempengaruhi daya tetas. Bobot tetas yang diperoleh pada penelitian ini adalah 36,37±3,89 g. Bobot tetas yang dihasilkan dalam penelitian ini relatif sama dengan hasil yang diperoleh Suryana dan Tiro (2007) yakni 39,85 ± 0,66 g akan tetapi lebih kecil jika dibandingkan dengan hasi penelitian Lasmini et al.(1992) sebesar 42,22 g. SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bobot telur itik Pegagan sebesar 65 gram. 2. Karakteristik warna kerabang telur itik Pegagan adalah hijau kebiruan 3. Indeks telur itik Pegagan 75±0,03. 4. Fertilitas telur itik Pegagan 60% . 5. Daya tetas telur itik Pegagan 53 %. 6. Bobot tetas itik Pegagan 36,37±3,39.
ISSN 1978 - 3000 DAFTAR PUSTAKA Applegate, T.J., D. Harper, L. Lilburn. 1998. Effect of hen age composition and embryo development in commercial Pekin ducks. Poult Sci 77:16008-1612. Brahmantiyo, B., L.H. Prsetyo. 2001. Pengaruh bangsa itik Alabio dan Mojosari terhadap performan reproduksi. Prosiding Lokakarya Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru; Bogor, 6-7 Agustus 2001. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 32-34. Komarudin, Rukmiasih, P.S. Hardjosworo. 2008. Performa produksi itik berdasarkan kelompok bobot tetas kecil, besar dan campuran. Didalam: Inovasi teknologi mendukung pengembangan agribisnis peternakan ramah lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1112 Nopember 2008. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 604-610 Lancester, F.M. 1993. Mutations and major variants in domestic duck. In: Crawford R.D. 1990. Poultry Breeding and Genetics;Depaartement of Animal and Poultry Science University of Saskatchewan, Saskatoon, Canada.pp 381-388 Larbier, M., B. Leclercq. 1994. Nutrition and Feeding of Poultry. Notthingham Unniversity Press. INRA. Perancis.
Lasmini, A., R. Abelsami, N.M. Parwati. 1992. Pengaruh cara penetasan terhadap daya tetas telur itik Twegal dan Alabio. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. hlm. 31-34. Martojo, H. 1979. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Prasetyo, L.H., T. Susanti. 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari: Periode awal bertelur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 5(4): 210-214. Purba, M., L.H. Prasetyo, T. Susanti. 2005. Produksi dan penetasan telur itik di daerah sentra produksi kabupaten Blitar, Jawa Timur. Prosiding Seminar nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Buku II. Bogor, 12-13 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 823-829. Romanov, M.N., R.P. Veremenyenko, Y.Y. Bondarenko. 1995. Conservation of waterfowl germplasm in Ukraine. In: World’s Poultry Science Association. Proceeding 10th European Symposium on Waterfpowl, March, 26-31 1995. Halle (Saale) Germany. pp. 401-414. Srigandono, B. 1997. Ilmu Unggas Air. Jogjakarta; Gadjah Mada University Press. Romanoff, A.L. and A.J. Roamnoff. 1963. The Avian Egg. New York: John Wiley and Sons.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
101
ISSN 1978 - 3000 Setioko, A.R., Istiana. 1999. Pembibitan itik Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I; Bogor,1-2 Desember 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. hlm. 382-387. Suparyanto, A. 2005. Peningkatan produktivitas daging itik mandalung melalui pembentukan galur induk.[disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Suryana. 2011. Karakterisasi Fenotipik dan Genetik Itik Alabio (Anas platyrhynchos Borneo) di Kalimantan Selatan Dalam Rangka Pemanfaatan dan Pelestarian Secara Berkelanjutan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suryana, B.W. Tiro. 2007. Keragaan penetasan telur itik Alabio dengan sistem gabah di Kalimantan Selatan. Didalam; Percepatan Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Kemandirian Masyarakat Kampung di Papua. Prosiding Seminar Nasional dan Ekspose. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua; Jayapura, 5-6 Juli 2007. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.hlm 269-277. Solihat, S., I. Suswoyo, Ismoyowati. 2003. Kemampuan performan produksi telur dari berbagai itik lokal. J Peternakan Tropik 3 (1):27-32.
102 | Keragaan Telus Tetas Itik Pegagan
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Jogjakarta; Gadjah Mada University Press. Washburn, K.W. 1993. Genetics variation in egg composition In: Poultry breeding and genetics. Crawford RD (eds). Departement of Animal and Poultry Science. University of Saskatchewan, Saskatoon. Canada. pp. 781-804. Wilson, H.R. 1997. Effecs of maternal nutrient on hatchability. J Poult Sci 76:143-146. Wulandari, W.A. 2005. Kajian karakteristik biologis itik Cihateup [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wibowo, B., E. Juarini, Sunarto. 2005. Analisa ekonomi usaha penetasan telur itik di Sentra produksi. Didalam: Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan menegah unggas air. Prosiding Lokakarya Unggas Air II. Ciawi 16-17 Nopember 2005. Kerjasama balai Penelitian Ternak, Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Yuwono, D.M., Subiharta, A. Hermawan. 2006. Kajian inovasi kelembagaan pembibitan itik Tegal Unggul model inti-plasma. Prosiding Seminar nasional Inovasi Teknologi dalam mendukung usaha ternak unggas berdaya saing. Semarang, 4 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasana dengan Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang. hlm. 176-184.
ISSN 1978 - 3000
Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk Serta Tampilan Produksi Telur Ayam Burgo Effect of Katuk Leaves Supplementation on Burgo’s Ovarium and Oviduct Size and Egg Production Performance Heri D. Putranto1,2) Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian Unib Jalan Raya W.R. Supratman, Kandang Limun, Bengkulu 38371A Telp. +62 -736 - 21170 ext. 219 Faks. +62 -736 - 21290 e-mail:
[email protected] 1)
2)
ABSTRACT Burgo chicken is one of potential natural fauna resources of Bengkulu Province, Indonesia. The reproductive physiology status of this endemic species is still remain unclear. The cock well knowns for its beautiful color and classified as a crowler type fowl. The hen has a potency as an egg producer. Female burgos in this study were supplemented by 4 levels of katuk leaves extract (non-supplemented, 9, 18 and 27g/chick/day) during 8 weeks. The purpose of this study was to explore the effect of katuk leaves extract supplementation diluted into drinking water on female burgo’s ovarium and oviduct size, and egg production. The results showed that the treatment did not significantly affected all parameters (P>0.05). However, the supplemented of katuk leaves extract hen groups had a higher egg production and ovarium and oviduct size than non-supplemented group. The reason was katuk leaves contains precursor which has a main role in eicosanoids biosynthesis and involved in reproduction and physiological process. Katuk leaves also contains estradiol-17β benzoate which is functioned to improve the reproduction and to stimulate follicle growth and finally caused a higher egg production. Key words: Female burgo, egg production, ovarium, oviduct.
ABSTRAK
Ayam Burgo merupakan salah satu plasma nutfah Provinsi Bengkulu dan juga Indonesia yang hingga saat ini belum banyak diketahui tentang informasi fisiologi reproduksinya. Selain dikenal karena keindahan bulu dan suara ayam jantannya, ayam Burgo betina juga memiliki potensi sebagai penghasil telur. Pada studi ini, ayam Burgo betina mendapatkan suplementasi ekstrak daun katuk yang dibagi dalam 4 aras yaitu nonsuplementasi, 9, 18 dan 27 gr/ekor/hari selama 8 minggu. Studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi ekstrak daun katuk yang diberikan melalui air minum terhadap ukuran ovarium, oviduk dan tampilan produksi telur ayam Burgo betina sebagai salah satu upaya mendapatkan informasi dasar fisiologi reproduksinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi ekstrak daun katuk tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh parameter yang diamati (P>0,05). Tetapi dengan adanya suplementasi ekstrak daun katuk, ayam Burgo betina memiliki kecenderungan untuk bisa menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi serta ukuran ovarium dan oviduk yang lebih baik dibanding ayam nonsuplementasi. Hal ini disebabkan karena daun katuk memiliki kandungan prekursor yang berperan dalam biosintesa eicosanoids dan terlibat dalam proses reproduksi dan fisiologi serta kandungan senyawa aktif seperti estradiol-17β benzoat yang dapat meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuhan folikel sehingga ayam dapat menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi. Kata kunci: Ayam Burgo betina, ovarium, oviduk, produksi telur.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
103
ISSN 1978 - 3000 PENDAHULUAN Satwa unggas dalam hal ini ayam telah menjadi sesuatu kebutuhan sebagai salah satu sumber kebutuhan protein hewani masyarakat dan biasa ditemui sebagai satwa peliharaan oleh masyarakat di Indonesia. Ayam tersebut terdiri atas jenis ayam kampung atau buras, ayam ras broiler (petelur dan pedaging) ataupun ayam hias yang dapat menjadi salah satu simbol strata sosial pemeliharanya. Salah satu ayam hias yang endemik di Provinsi Bengkulu adalah ayam Burgo atau juga dikenal dengan nama ayam Rejang (Putranto et al., 2009; 2010a, b, Setianto, 2009; Setianto et al., 2009; Warnoto dan Setianto, 2009). Ayam Burgo merupakan ayam lokal yang dapat dijumpai di wilayah Provinsi Bengkulu dan hampir tersebar di seluruh wilayah pedesaan dengan populasi yang berbeda (Gibson, 2011). Unggas endemik Bengkulu ini dapat ditemui pada hampir setiap kabupaten di Provinsi Bengkulu, dan hasil penelitian memperlihatkan bahwa Kabupaten Rejang Lebong memiliki populasi ayam Burgo domestikasi terbanyak (Putranto, 2011b; Putranto et al., 2010b, Nurmeliasari, 2003). Akan tetapi, pada saat ini eksistensi ayam Burgo tersebut dapat dikatakan belum begitu dikenal secara luas ditataran regional ataupun nasional sebagai salah satu plasma nutfah Indonesia dengan karakteristik dan keunikan yang khusus. Hal ini dikarenakan masyarakat baik masyarakat Bengkulu dan masyarakat di Indonesia belum banyak mengetahui tentang ayam Burgo. Secara umum, pemeliharaan ayam dilakukan dengan tujuan ekonomi maupun hanya sekedar bagian dari hobi atau kesenangan (pleasure). Diketahui bahwa atas dasar tujuan pemeliharaan, maka ayam yang dipelihara dapat dibagi atas beberapa tipe yaitu tipe ayam
pedaging, tipe ayam petelur, tipe ayam dwiguna dan diantaranya tipe ayam hias dan aduan. Berdasarkan hasil penelitian Putranto (2011b) dan Putranto et al. (2009; 2010a, b), ayam Burgo jantan lebih menjadi preferensi pilihan pemelihara dibanding ayam Burgo betina. Pengembangan ayam Burgo jantan lebih difokuskan sebagai ayam hias karena keindahan bulu, bentuk dan ukuran tubuh yang unik. Padahal ayam Burgo betina juga memiliki potensi dijadikan sebagai ayam petelur karena disinyalir memiliki kemampuan yang cukup bagus berupa produksi telur yang relatif tinggi. Dalam upaya domestikasi ayam Burgo (pemeliharaan intensif ataupun semi intensif) sangat tergantung pada keputusan petani untuk melakukan domestikasinya. Nataamijaya (2010) menjelaskan bahwa pengembangan ayam lokal di Indonesia saat ini diarahkan pada peningkatan skala kepemilikan dan perbaikan teknik budidaya dengan mengubah pola pemeliharaan dari pola ekstensif tradisional (sistem umbaran) ke usaha intensif komersial. Menurut National Research Council (1993), ayam peliharaan dari daerah tropis merupakan sumber pangan paling penting di dunia. Namun, usaha peternakan ayam lokal belum berkembang antara lain belum tersedianya bibit unggul serta cara budidaya yang tidak efisien. Di negara berkembang, usaha ternak ayam lokal berperan penting dalam meningkatkan pendapatan masyarakat karena usaha tersebut melibatkan sebagian besar penduduk miskin (Sonaiya, 2007). Berdasarkan uraian diatas, maka upaya pemeliharaan ayam Burgo secara intensif dapat menjadi salah satu solusi untuk mendukung usaha pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat sekaligus untuk mengambil peran sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan.
104 | Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium
ISSN 1978 - 3000 Dalam studi ini, ayam Burgo betina dipelihara dalam kandang individu ukuran 1,0 x 0,8 m2 sebagai bentuk uji coba sistem pemeliharaan intensif dan diberikan suplementasi daun katuk melalui air minum sebagai salah satu bentuk aplikasi teknologi nutrisi pakan. Daun katuk (Sauropus androgynus) terutama bagian yang muda, telah lama dikenal sebagai salah satu jenis sayur yang lazim dikonsumsi masyarakat (Gibson, 2011; Zueni, 2011). Tanaman ini juga dikenal sebagai sebagai tanaman herbal dan antiseptik (anti kuman dan anti protozoa) karena bisa menyembuhkan borok, bisul, koreng, demam, darah kotor dan frambusia (Irawan, 2003). Selanjutnya daun katuk juga berfungsi untuk melancarkan air susu ibu, sehingga daun katuk banyak diberikan pada ternak perah setelah melahirkan. Daun katuk juga memiliki fungsi sebagai sebagai anti lemak, anti oksidan dan mempengaruhi metabolisme lemak (Santoso et al., 1999). Selanjutnya Santoso et al. (2003, 2005) menyebutkan bahwa pada ayam petelur Leghorn, suplementasi ekstrak daun katuk berpengaruh sangat positif terhadap produksi telur baik dalam persen, butir maupun gram dan juga bahkan dapat meningkatkan jumlah produksi telur. Lebih lanjut dijelaskan bahwa asam benzoat yang terkandung dalam daun katuk, akan dikonversikan menjadi estradiol-17β benzoat di dalam tubuh. Estradiol-17β benzoat berperan untuk meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuhan folikel sehingga ayam dapat menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi dan lebih efisien. Beberapa pustaka lainnya menjelaskan bahwa daun katuk memiliki lima substansi dasar yang berasal dari kelompok asam lemak polyunsaturated dan berfungsi sebagai prekursor yang berperan dalam biosintesa eicosanoids
(prostaglandin, prostacycline, thromboxane, lipoxins dan leukotrienes) dan terlibat dalam proses reproduksi dan fisiologi (Ganong, 1993; Suprayogi, 2000), serta kandungan 17-ketosteroid, androstan-17one, 3-ethyl-3-hydroxy-5-alpha berperan penting pada biosintesa hormon steroid betina (progesteron dan estradiol-17β) (Despopoulos dan Silbernagi, 1991). Menurut Putranto (2010, 2011a) dan Putranto et al. (2007a, b, c; 2010b, c), fakta fisiologi reproduksi berbagai jenis satwa di Indonesia masih banyak yang belum diketahui. Dalam hal ini termasuk fakta fisiologi reproduksi ayam Burgo (Putranto et al., 2010a, b). Padahal diketahui bahwa informasi fisiologi reproduksi jenis unggas endemik Bengkulu ini merupakan data fundamental yang sangat penting untuk dikuasai sebelum dilanjutkan dengan teknologi reproduksi lanjut. Studi tampilan organ reproduksi ayam Burgo betina ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi ekstrak daun katuk yang diberikan melalui air minum terhadap tampilan organ reproduksi dan produksi telur ayam Burgo betina sebagai salah satu upaya mendapatkan informasi dasar fisiologi reproduksinya. Sebagai hipotesa, diperkirakan ekstrak daun katuk yang mengandung prekursor yang berperan dalam biosintesa eicosanoids (prostaglandin, prostacycline, thromboxane, lipoxins dan leukotrienes) dan terlibat dalam proses reproduksi dan fisiologi akan juga mempengaruhi tampilan organ reproduksi dan produksi telur ayam Burgo betina dalam studi ini. MATERI DAN METODE Ayam Burgo Sebanyak 16 ekor ayam Burgo betina yang berumur 10–12 bulan didapat dengan cara membeli dari beberapa
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
105
ISSN 1978 - 3000 petani pemelihara ayam Burgo di Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara dan Kota Bengkulu. Pemilihan ayam sampel telah dipastikan adalah ayam yang merupakan F1 ayam Burgo dengan cara: (1) konfirmasi dan wawancara dengan petani pemelihara ayam Burgo tersebut, (2) pengujian dan pengamatan tanda-tanda fenotip ayam Burgo secara visual. Seluruh ayam Burgo dalam keadaan sehat dan tidak cacat sewaktu dibeli dan selama masa studi. Ayam-ayam tersebut telah dewasa kelamin ditilik dari status ayam yang telah memproduksi telur sebelum dibeli. Menurut Warnoto (2001), ayam Burgo mencapai dewasa kelaminnya pada umur 4,5 bulan dan ditambahkan oleh Setianto (2009) bahwa ayam Burgo dapat mencapai status dewasa kelaminnya lebih cepat dibanding jenis ayam lokal Indonesia lainnya.
endapan padat berbentuk pasta pada dasar wadah. Sebelumnya, telah dilakukan masa adaptasi ayam Burgo terhadap perlakuan suplementasi ekstrak daun katuk selama 10 hari sebelum masa studi dimulai, termasuk adaptasi terhadap pakan, kandang/sistem pemeliharaan dan peralatan kandang. Ekstrak daun katuk dilarutkan dengan cara diaduk-aduk perlahan hingga tercampur merata dalam 100 ml air minum yang diberikan pada pukul 07.00 pagi setiap hari. Berdasarkan hasil pengamatan selama masa adaptasi, air minum tersebut telah habis dikonsumsi pada pukul 15.00 siang dan selanjutnya air minum dapat ditambahkan hingga menjadi ad libitum. Selama masa studi, metode suplementasi tersebut diaplikasikan kepada seluruh ayam Burgo betina dan jumlah konsumsi air minum dicatat setiap harinya.
Prosedur Ekstraksi dan Suplementasi Daun Katuk Daun katuk segar didapatkan dengan cara membeli dari beberapa petani sayur di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah. Dengan menggunakan metode yang dipergunakan oleh Santoso et al. (2003, 2005), sebanyak 1,0 kg daun katuk segar direndam dalam 6,0 l air menggunakan wadah yang terbuat dari tanah liat dan direbus selama 30 menit pada suhu sekitar 60°C. Air rebusan disaring dan sisa daun katuk kemudian dicampur kembali dengan 6,0 l air dan kembali direbus. Proses perebusan dan penyaringan diulang hingga 3 kali. Air rebusan kemudian dipanaskan selama 48 jam pada suhu sekitar 50°C menggunakan wadah yang juga terbuat dari tanah liat hingga tersisa semacam
Rancangan Percobaan Studi ini dilakukan dari bulan Mei hingga Juli 2010 bertempat di kandang ayam milik Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu yang berlokasi di Commercial Zone and Animal Laboratory. Ke-16 ayam Burgo betina ditempatkan dalam kandang individu ukuran 1,0 x 0,8 m2 dengan dilengkapi tempat pakan dan tempat minum. Rancangan Acak Lengkap (RAL) diaplikasikan yang terdiri atas 4 macam perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan tersebut adalah: H1: suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuplementasi/kontrol). H2: suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari. H3: suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari.
106 | Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium
ISSN 1978 - 3000 H4: suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari. Masa perlakuan suplementasi dilakukan selama 8 minggu. Aras suplementasi ekstrak daun katuk dijustifikasi berdasarkan hasil penelitian Santoso et al. (2003). Selanjutnya Santoso et al. (2003, 2005) melaporkan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk sebanyak 27 gr/kg ransum telah berhasil meningkatkan produksi telur pada ayam broiler. Ayam diberikan pakan campuran yang mengandung 16% protein kasar (PK) dan 2.750 kcal/kg energi metabolis (ME) tanpa suplementasi antibiotik (Santoso et al., 2003). Pada Tabel 1 dapat dilihat komposisi formulasi pakan basal yang diberikan. Sebagaimana air minum, pakan juga diberikan ad libitum. Analisis Statistik Parameter yang diukur dalam studi ini adalah berat ovarium, berat dan panjang oviduk serta tampilan produksi telur ayam Burgo betina. Berat ovarium dan oviduk serta panjang oviduk dilakukan dengan menggunakan 2 sampel ayam betina per perlakuan. Penimbangan dilakukan dengan cara memotong ovarium dan oviduk dari jaringan pengikatnya, kemudian segera ditimbang menggunakan timbangan analitik pada akhir minggu ke-8 (unit pengukuran gr/ekor). Lalu oviduk diukur panjangnya mulai dari bagian pangkal hingga ke bagian ujung (unit pengukuran cm/ekor). Produksi telur didapat berdasarkan jumlah telur yang dihasilkan dalam satu periode bertelur yang dikoleksi selama 8 minggu (unit pengukuran jumlah butir telur/8 minggu). Data hasil studi dianalisa dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan jika berbeda nyata diuji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT).
Tabel 1. Formulasi ransum basal (kg/100 kg) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komposisi Bahan Jagung halus Konsentrat Tepung kacang hijau Tepung kacang kedelai Tepung kacang Tepung ikan Minyak kelapa Tepung tulang Kalsium karbonat Premix Komposisi PK (%) ME (kcal/kg)
Volume (kg/100 kg) 50.0 24.0 4.0 4.0 6.0 7.0 1.0 2.2 1.0 0.5 16.5 2752.0
Dimodifikasi dari Santoso et al. (2003).
HASIL DAN PEMBAHASAN Ayam Burgo merupakan salah satu plasma nutfah Indonesia yang perlu mendapat perhatian dari banyak pihak yang berkepentingan. Sebagai ayam buras lokal, selain karena menyimpan potensi sebagai ayam hias (fancy fowl) (Putranto et al., 2010a, b), unggas ini juga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai penghasil telur (Putranto, 2011b). Tetapi sayang sekali, hingga saat ini sistem budidaya dan upaya pembibitan belum diketahui secara pasti apalagi ditunjang oleh fakta bahwa pemeliharaan ayam Burgo masih menggunakan sistem backyard farming. Diharapkan dengan semakin banyaknya publikasi ilmiah dan studi tentang ayam Burgo yang telah dilakukan oleh berbagai pihak akan dapat semakin menempatkan eksistensi ayam Burgo sebagai salah satu plasma nutfah penting Indonesia bahkan di dunia. Ayam Burgo adalah ayam crossbreed antara ayam hutan merah jantan (Gallus gallus) dan ayam buras betina (Setianto, 2009; Warnoto ,2001). Memiliki ciri spesifik pada jantan dan betinanya yaitu pada bagian cuping telinga memiliki ukuran yang lebar dan berwarna putih. Ditambahkan oleh Setianto (2009), warna putih pada cuping telinga biasanya dijadikan sebagai salah satu kriteria
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
107
ISSN 1978 - 3000 terhadap keaslian genetiknya. Bentuk tubuh ayam Burgo relatif kecil dibandingkan ayam buras lain pada umumnya, tetapi relatif lebih besar dari ayam hutan merah dan mempunyai warna kaki abu–abu (Warnoto, 2001). Ayam Burgo betina dalam studi ini mendapatkan perlakuan suplementasi ekstrak daun katuk dalam 4 aras yaitu nonsuplementasi, 9, 18 dan 27 gr/ekor/hari yang diprediksi dapat mempengaruhi ukuran organ reproduksi betina dan tampilan produksi telurnya. Organ reproduksi betina berupa ovarium dan oviduk memiliki peranan penting dalam proses reproduksi dan produksi telur. Ovarium merupakan bagian utama organ reproduksi yang berfungsi sebagai penghasil folikel atau ovum. Telah diketahui pula bahwa ovarium merupakan tempat sintesis hormon steroid seksual, gametosis dan perkembangan serta pemasakan kuning telur (folikel) (Yuwanta, 2010). Dijelaskan lebih lanjut bahwa ovarium berbentuk seperti buah anggur terletak pada rongga perut berdekatan dengan ginjal sebelah kiri dan bergantung pada ligamentum meso-ovarium. Ovarium terbagi dalam dua bagian, yaitu cortex pada bagian luar dan medulla pada bagian dalam. Cortex mengandung folikel dan pada folikel terdapat sel–sel telur. Pada Tabel 2 dapat dilihat hasil studi berupa hasil penimbangan berat ovarium sebelah kanan dan kiri dari ayam Burgo betina. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk berpengaruh tidak nyata terhadap rerata berat ovarium ayam Burgo betina baik ovarium sebelah kanan maupun kiri (P> 0,05).
Secara umum berat ovarium unggas pada saat DOC mencapai 0,3 gr dan pada ayam betina umur 12 minggu mencapai 60 gr (Yuwanta, 2010). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa berat ovarium ayam Burgo betina dalam studi ini tergolong rendah. Tercatat berat ovarium ayam Burgo betina bervariasi mulai dari 0,0427gr hingga 0,5128 gr yang keduanya merupakan ovarium sebelah kiri. Rendahnya berat ovarium ayam Burgo betina dalam studi ini diperkirakan akibat konsumsi pakan yang tidak optimal selama studi berlangsung (Gibson, 2011). Selanjutnya ditambahkan oleh Gibson (2011) bahwa perlakuan pemeliharaan intensif dalam kandang individual diperkirakan telah memunculkan gejala cekaman yang mengakibatkan rendahnya konsumsi pakan ayam Burgo tersebut. Hal ini sesuai dengan laporan Braw-Tal et al. (2004) yang menyatakan bahwa pada saat konsumsi pakan berkurang akan mengakibatkan penurunan berat ovarium, jumlah folikel serta disfungsi dari ovarium. Walaupun berpengaruh tidak nyata, ternyata suplementasi ekstrak daun katuk telah mengakibatkan ayam Burgo betina memiliki kecenderungan berat ovarium yang lebih tinggi dibanding ayam nonsuplementasi (kontrol). Diduga kandungan senyawa aktif utama dalam daun katuk yaitu estradiol-17β benzoat mempunyai kemampuan untuk meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuhan folikel sehingga ayam dapat menghasilkan ovum yang lebih banyak (Santoso et al., 2003; 2005). Dengan ovum/folikel yang lebih banyak berarti ovarium menjadi lebih aktif dan menjadi bertambah ukurannya untuk mengakomodir aktifitas tersebut.
108 | Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium
ISSN 1978 - 3000 Tabel 2. Berat ovarium ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan (butir/ekor) Ovarium Kiri Ovarium Kanan Rerata Rerata Probabilitas Replikasi Replikasi Replikasi Replikasi Kiri Kanan 1 2 1 2 H1 0,5128 0,3003 0,4065 0,0994 0,2326 0,166 ns H2 0,0454 0,0578 0,0516 0,1891 0,1819 0,185 ns H3 0,3278 0,0427 0,1852 0,1827 0,2053 0,194 ns H4 0,0656 0,0559 0,0607 0,2348 0,1051 0,169 ns Keterangan: H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuplementasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05). Perlakuan
Selanjutnya Tabel 2 memperlihatkan bahwa secara umum ovarium ayam Burgo betina sebelah kanan cenderung lebih berat dibandingkan ovarium sebelah kiri. Salisbury (1985) menyatakan bahwa ovarium unggas sebelah kanan cenderung lebih aktif daripada ovarium sebelah kiri sehingga ovarium unggas sebelah kanan akan lebih besar ukurannya dan lebih berat bobotnya dibanding ovarium unggas sebelah kiri. Profil dan perbandingan ukuran ovarium kanan dan kiri pada ayam Burgo betina B dalam studi ini dapat dilihat pada Gambar 1. Parameter yang diamati selanjutnya adalah berat dan panjang oviduk pada ayam Burgo betina. Oviduk merupakan alat reproduksi sekunder pada unggas betina yang merupakan tempat menerima kuning telur masak, sekresi putih telur dan pembentukan kerabang telur (Yuwanta, 2010). Terdapat sepasang oviduk dan merupakan saluran penghubung antara ovarium dan uterus. Bentuknya panjang dan berkelok-kelok yang merupakan bagian dari ductus muller. Ujungnya melebar membentuk corong dengan tepi yang berjumbai (Nalbandov, 1990). Oviduk terdiri dari lima bagian yaitu infundibulum atau funnel, magnum, ithmus, uterus atau shell gland dan vagina (Nesheim et al., 1979). Tabel 3 memperlihatkan hasil studi berupa hasil penimbangan berat dan pengukuran panjang oviduk ayam Burgo
A B
Gambar 1. Profil ovarium ayam Burgo betina yang telah dipisahkan dari jaringan ikat. Keterangan: A= ovarium sebelah kiri, B= ovarium sebelah kanan.
betina. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk berpengaruh tidak nyata terhadap rerata berat dan rerata panjang oviduk ayam Burgo betina (P> 0,05). Rerata berat oviduk ayam Burgo betina bervariasi antara 0,6423 gr hingga 9,8178 gr dan rerata panjang oviduk bervariasi mulai dari 3,6 cm hingga 8,2 cm. Tidak berpengaruhnya ekstrak daun katuk terhadap berat dan panjang oviduk ayam Burgo betina diduga karena umur ayam Burgo yang digunakan pada penelitian ini telah melewati batas awal dewasa kelamin. Ayam burgo betina mencapai dewasa kelamin pada umur 4 – 4,5 bulan (Warnoto, 2001). Yuwanta (2010) menyatakan bahwa ayam yang telah mencapai dewasa kelamin, oviduk telah berkembang sempurna menurut bagian–bagiannya dan masing–masing fungsinya. Tetapi apabila diamati lebih seksama, rerata berat dan panjang oviduk ayam Burgo betina yang mendapat
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
109
ISSN 1978 - 3000 Tabel 3. Berat oviduk (gr/ekor) dan panjang oviduk (cm/ekor) ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan Berat Oviduk Panjang Oviduk Rerata Rerata Probabilitas Replikasi Replikasi Replikasi Replikasi Berat Panjang 1 2 1 2 H1 4,3432 5,0293 4,6862 6,6 5,2 5,90 ns H2 0,6423 9,7793 5,2108 4,9 7,7 6,30 ns H3 9,4680 9,8178 9,6429 7,2 8,2 7,70 ns H4 6,1856 5,3797 5,7826 3,6 5,7 4,65 ns Keterangan: H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuplementasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05). Perlakuan
perlakuan suplementasi ekstrak daun katuk cenderung lebih berat dan lebih panjang dibanding ayam Burgo betina nonsuplementasi (kontrol). Menurut Budiasa (2008), ekstrak daun katuk mengandung FSH dan LH yang dapat meningkatkan steroidogenesis yang sebagian besar adalah estrogen, androgen dan progesteron. Hormonhormon reproduksi tersebut mempunyai peran penting untuk pertumbuhan dan pemeliharaan saluran reproduksi betina. Dengan adanya suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum ayam Burgo betina dalam studi ini, diperkirakan telah menyebabkan bertambah banyaknya produksi hormon reproduksi sehingga ukuran (berat dan panjang) oviduk pada ayam Burgo betina suplementasi menjadi lebih tinggi dibandingkan ayam Burgo betina nonsuplementasi. Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa perlakuan suplementasi ekstrak daun katuk berpengaruh tidak nyata terhadap rerata produksi telur ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan (P> 0,05).
Rerata produksi telur ayam Burgo betina dalam studi ini berkisar antara 15 butir hingga mencapai 26 butir/ekor/8 minggu. Hasil ini studi ini masih sejalan dengan pendapat Warnoto dan Setianto (2009) yang menyatakan bahwa ayam Burgo betina dapat memproduksi telur sebanyak 10–15 butir per periode bertelur atau total sekitar 60 butir per tahun. Lebih lanjut disebutkan bahwa berat telur ayam Burgo relatif lebih ringan daripada ayam kampung, yaitu 26.50 – 35.50 gr untuk ayam Burgo (Warnoto, 2001) dan mencapai 41 gr untuk ayam kampung (Diwyanto and Iskandar, 1999). Ukuran telur yang lebih kecil ini disebabkan oleh karakteristik tubuh ayam Burgo betina yang lebih ringan daripada ayam kampung (Gibson, 2011; Putranto, 2011b). Jika diamati lebih lanjut, rerata produksi telur ayam Burgo yang mendapat suplementasi ekstrak daun katuk aras 27 gr/ekor/hari cenderung menghasilkan rerata produksi telur yang lebih banyak dibandingkan perlakuan lainnya. Salah satu senyawa yang diduga dapat berperan dalam peningkatan produksi telur adalah asam benzoat
Tabel 4. Produksi telur ayam Burgo betina selama 8 minggu perlakuan (butir/ekor) Perlakuan Replikasi 1 Replikasi 2 Rerata Probabilitas H1 11,0 19,0 15,0 ns H2 28,0 21,0 24,5 ns H3 29,0 19,0 24,0 ns H4 28,0 24,0 26,0 ns Keterangan: H1= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 0 gr/ekor/hari (nonsuplementasi/kontrol), H2= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 9 gr/ekor/hari, H3= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 18 gr/ekor/hari, H4= suplementasi ekstrak daun katuk dalam air minum aras 27 gr/ekor/hari, ns= tidak berbeda nyata (P>0,05).
110 | Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium
ISSN 1978 - 3000 (Gibson, 2011). Asam benzoat dalam tubuh dapat dikonversikan menjadi estradiol-17β benzoat. Estradiol-17β benzoat berperan untuk meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuhan folikel (Santoso et al., 2003). Selanjutnya ditambahkan oleh Anonimous (2009), vitamin C dan E yang terkandung dalam pakan terbukti dapat meningkatkan produksi telur. Secara umum diketahui bahwa daun katuk kaya akan zat besi, provitamin A dalam bentuk βcarotene, vitamin C, minyak sayur, protein dan mineral lainnya. Dalam 100 gram daun katuk mengandung 72 kalori, 70 gram air, 4,8 gram protein, 2 gram lemak, 11 gram karbohidrat, 2,2 gram mineral, 24 mg kalsium, 83 mg fosfor, 2,7 mg besi, 31,11 µg vitamin D, 0,10 mg vitamin B6 dan 200 mg vitamin C (Anonimous, 2009). Walaupun analisis secara statistik memperlihatkan pengaruh yang tidak nyata, hasil studi berupa perlakuan ekstraksi daun katuk ini selaras dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Santoso et al. (2003, 2005) yang menyebutkan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk pada ayam petelur berpengaruh sangat positif terhadap produksi telur baik dalam persen, butir maupun gram dan juga bahkan dapat meningkatkan jumlah produksi telur. Asam benzoat yang terkandung dalam daun katuk dikonversikan menjadi estradiol-17β benzoat yang berperan untuk meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuhan folikel sehingga ayam dapat menghasilkan produksi telur yang lebih tinggi dan lebih efisien. Ditambahkan oleh Agustal et al. (1997), daun katuk mengandung beberapa senyawa–senyawa aktif seperti asam benzoat, asam fenil malonat, 2pyrolidinon dan methyl pyroglutamate yang semuanya dapat berperan dalam peningkatan produksi dan reproduksi.
SIMPULAN Walaupun data menunjukkan bahwa suplementasi ekstrak daun katuk belum mempengaruhi secara optimal terhadap seluruh paramater yang diamati dalam studi ini tetapi terdapat kecenderungan bahwa ekstrak daun katuk dengan kandungan berbagai prekursor dan senyawa aktif didalamnya mampu memberikan pengaruh yang positif terhadap ukuran ovarium dan oviduk serta tampilan produksi telur ayam Burgo betina. DAFTAR PUSTAKA Agustal, A., M. Harapini, dan Chairul. 1997. Katuk leaves extract (Sauropus androgynus (L) Merr) chemical analysis by using GCMS. Warta Tumbuhan Obat 3 (3): 31-33. Anonimous. 2009. Manfaat Daun Katuk. http://www.departemenkesehatanrepubl ik indonesia.go.id. 11 November 2010. Budiasa, M.K., W. Bebas. 2008. Pregnant mares serum gonadotrophin meningkatkan dan mempercepat produksi telur itik Bali yang lambat bertelur. Jurnal Veteriner 9 (1): 20-24. Braw-Tal, R., S. Yossefi, S. Pen, D. Schider dan A. Bar. 2004. Hormonal changes associated with aging and induced moulting of domestic hens. British Poultry Science 45 (6): 204-211. Despopoulos, A., L. Silbernagi. 1991. Color Atlas of Physiology 4rd Ed. Stuttgart, New York: Georg Thieme Verlag. Diwyanto, K., S. Iskandar. 1999. Kampung Chickens: A Key Part of Indonesia’s Livestock Sector. Livestock Industries of Indonesia Prior to the Asian Financial Crisis, Regional Office for Asia and the
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
111
ISSN 1978 - 3000 Pacific, FAO Corporate Document Repository. Ganong, W.F. 1993. Review of Medical Physiology 6th Ed. Prentice-Hall International Inc. San Fransisco. Gibson, B. 2011. Studi Penggunaan Ekstrak Daun KatukTerhadap Tampilan Organ Reproduksi Ayam Burgo Betina Untuk Perbaikan Kualitas Populasi. Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Bengkulu. Bengkulu. Tesis. Irawan, N. 2003. Pengaruh Pemberian Daun Katuk (Sauropus androginus Merr) dengan Berbagai Metode Ekstraksi Terhadap Kualitas Telur Ayam Petelur. Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Bengkulu. Skripsi. Nalbandov, A.V. 1990. Reproductive Physiology of Mammals and Birds. UI Press, Jakarta, Indonesia. Nataamijaya, A.G. 2006. Egg production and quality of kampung chicken fed rice bran diluted commercial diet and forages supplement. Journal of Animal Production (8): 206-210. National Reseach Council. 1993. Managing Global Livestock Resources. Committe on Managing Global Genetic Resources. Agricultural Imperatif. National Academic Press. Washington DC, USA. Nesheim, M.C., R.E. Austic dan L.E. Card.1979. Poultry Production. 12th ed. Lea and Febiger, Philadelphia, USA. Nurmeiliasari. 2003. Burgo chicken population, distribution and the interaction with various ecological factor. Jurnal Raflesia UMB V (2): 52-55. Putranto, H.D. 2010. The description of intensively captived sambar deer’s
reproductive behavior. Jurnal Sain Peternakan Indonesia 5 (2): 129-134. Putranto, H.D. 2011a. A non-invasive identification of hormone metabolites, gonadal event and reproductive status of captive female tigers. Biodiversitas Journal of Biological Diversity 12 (3): 131135. Putranto, H.D. 2011b. Introduction of indigenous Bengkulu chicken, population, female production and reproductive organs description. Proc.of the 19th J-AREA Annual Meeting, Himeji City, Japan, p: 9. Putranto, H.D., S. Kusuda, K. Inagaki, G. Kumagai, R. Ishii-Tamura, Y. Uziie, dan O. Doi. 2007a. Ovarian activity and pregnancy in the Siberian tiger, Panthera tigris altaica, assessed by fecal gonadal steroid hormones analyses. Journal of Veterinary Medicine Science 69 (5): 569-571. Putranto, H.D., S. Kusuda, H. Hashikawa, K. Kimura, H. Naito, dan O. Doi. 2007b. Fecal progestins and estrogens for endocrine monitoring of ovarian cycle and pregnancy in Sumatran orangutan (Pongo abelii). Jpn Journal of Zoo and Wildlife Medicine 12 (2): 97-103. Putranto, H.D., S. Kusuda, T. Ito, M. Terada, K. Inagaki, dan O. Doi. 2007c. Reproductive cyclicity based on fecal steroid hormones and behaviors in Sumatran tigers, Panthera tigris sumatrae. Jpn Journal of Zoo and Wildlife Medicine 12 (2): 111-115. Putranto, H.D., U. Santoso, Y. Fenita, dan Nurmeliasari. 2009. Kajian Konservasi: Populasi, Tampilan Reproduksi dan Potensi Domestikasi Ayam Burgo Plasma Nutfah Endemik Bengkulu. Laporan Hibah Kompetitif Penelitian Strategis Nasional Batch
112 | Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium
ISSN 1978 - 3000 2. Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu, Bengkulu. Putranto, H.D., U. Santoso, Warnoto, dan Nurmeliasari. 2010a. Kajian Konservasi: Populasi, Tampilan Reproduksi dan Potensi Domestikasi Ayam Burgo Plasma Nutfah Endemik Bengkulu. Laporan Hibah Kompetitif Penelitian Strategis Nasional Lanjutan Tahun ke-2. Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu, Bengkulu. Putranto, H.D., U. Santoso, Warnoto, Y. Fenita, dan Nurmeiliasari. 2010b. A study on population density and distribution pattern of domesticated Bengkulu native burgo chicken. Media Kedokteran Hewan 26 (2): 198-204. Putranto, H.D., E. Soetrisno, Nurmeliasari, A. Zueni, dan B. Gibson. 2010c. Recognition of seasonal effect on captive Sumatran sambar deer reproductive cyclicity and sexual behavior. Biodiversitas Journal of Biological Diversity 11 (4): 200-203. Salisbury, G.M. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Santoso, U., J. Setianto, dan H. Prakoso. 1999. Peningkatan Efisiensi Pertumbuhan dan Penurunan Jumlah Salmonella sp. Daging Serta Akumulasi Lemak Broiler Oleh Ekstrak Daun Katuk. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu, Bengkulu. Santoso, U., J. Setianto, T. Suteky, dan Y. Fenita. 2003. The Utilization of Katuk Leaves Extract to Improve Environmental Friendly Egg Quality and Production Efficiency. Laporan Penelitian Hibah Pekerti.
Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu, Bengkulu. Santoso, U., J. Setianto, dan T. Suteki. 2005. Effect of Sauropus androgynus extract on egg production and lipid metabolism in layers. AsianAustralian Journal of Animal Science 18 (3): 364-370. Suprayogi, A. 2000. Studies on the Biological Effects of Sauropus androgynus (L) Merr.: Effects on Milk Production and the Possibilities of Induced Pulmonary Disorder in Lactating Sheep. University Gottingen, Germany. Dissertation. Setianto, J. 2009. Ayam Burgo; Ayam Buras Bengkulu. Kampus IPB Taman Kencana. IPB Press. Bogor. Setianto, J., Warnoto, dan Nurmeiliasari. 2009. The phenotypic characteristic, population and the ecological factors of Bengkulu’s burgo chicken. Proc. of International Seminar the Role and Application on Livestock Reproduction and Products; Bukittinggi, Indonesia, hal: 13-14. Sonaiya, E.B. 2007. Family poultry, food security and the impact of HPAI. Journal of World's Poultry Science 63: 132-138. Warnoto, 2001. Identifikasi, Fenotif, Populasi, Habitat Penyebaran dan Potensi Pengembangan Ayam. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu, Bengkulu. Warnoto, dan J. Setianto. 2009. The characteristic of egg production and reproduction of various crossbreeding offspring between Burgo chicken with nature chicken. Proc.of International Seminar the Role and Application on Livestock Reproduction and Products; Bukittinggi, Indonesia, hal: 15-16.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
113
ISSN 1978 - 3000 Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Zueni, A. 2011. The Effect of Katuk Leaves Extract Supplementation on Bengkulu Burgo Chicken Sexual
Hormone and Follicles. Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Bengkulu. Bengkulu. Tesis.
114 | Pengaruh Suplementasi Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium
ISSN 1978 - 3000
Peningkatan Produktivitas Lebah Madu Melalui Penerapan Sistem Integrasi dengan Kebun Kopi The Effect of Honeybee-Coffee Plantation Integration on Improving the Honey Productivity of Apis cerana Rustama Saepudin1, Asnath M. Fuah2, Luki Abdullah2 1
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu . Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB. 2 Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB.
2
ABSTRACT The study of relationship between the honey productivity and honey bee-coffee plantation integration was conducted in Kepahiang, the Province of Bengkulu. The objective of this study was to evaluate the application of Apis cerana-coffee plant integration system on honey production and coffee bean as well.. The experiment was arranged in a completely randomized design with two treatments and ten replications. The result showed that honey production was higher by 114% than that outside the plantation. Similar to the honey productionn, coffee been production at honeybee-coffee plantation integration was significantly higher by 10.55 % than that was unpollinated by Apis cerana. Key words: cerana, coffee, integration, production
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan di Kepahiang, Provinsi Bengkulu dengan tujuan untuk mengevaluasi penerapan sistem integrasi perkebunan kopi dengan lebah madu Apis cerana terhadap produksi madu dan produksi kopi. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua perlakuan dan 10 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi madu lebih tinggi 114% daripada madu yang dihasilkan di luar perkebunan kopi. Sejalan dengan produksi madu, produksi kopi juga lebih tinggi 10,55% dari pada produksi kopi pada kebun yang penyerbukannya tidak dengan Apis cerana. Key words: Apis cerana, kopi, integrasi, produksi.
PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan lebah di Indonesia, khususnya di Kabupaten Kepahiang Bengkulu, masih dihadapkan pada kendala utama yaitu rendahnya produksi madu, hanya sekitar 1-3 kg per koloni per tahun. Kondisi ini jauh lebih rendah dari produksi optimal sekitar 5-10 kg/koloni/tahun. Disamping produktivitasnya, kualitas madu juga rendah, ditunjukan dengan banyaknya kotoran dan tingginya kadar air (>24 %). Penyebab utama rendahnya produksi dan kualitas madu adalah kurang
memadainya ketersediaan pakan dan rendahnya tingkat pengusaan teknologi budidaya lebah. Berdasarkan hal tersebut di atas, untuk menjaga kesinambungan usaha perlebahan perlu dicari tanaman sumber pakan yang potensial dan memiliki hubungan mutualisme dengan lebah madu. Tanaman yang punya potensi di Kepahiang adalah kopi dengan luasan 29 ribu ha dari 35 ribu ha perkebunan (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kepahiang, 2009). Tanaman kopi menyediakan nektar dan polen sebagai pakan lebah Apis cerana yang dapat menghasilkan madu yang rasanya manis. Department of
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
115
ISSN 1978 - 3000 Agriculture and Food Western Australia (2009) melaporkan bahwa madu yang dihasilkan dari lebah yang diberi pakan nektar kopi memiliki frukrosa tinggi (38%), berwarna amber dan aroma yang khas. Oleh karena itu salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan lebah madu dengan tanaman kopi yang sudah berkembang (yang selanjutnya disebut sinkolema) dan memiliki hubungan mutualism. Lebah madu mampu menghasilkan madu pada saat kopi belum dipanen dan membantu penyerbukan untuk meningkatkan produksi kopi Disisi lain kopi mampu menyediakan nektar dan pollen sebagai pakan dari lebah madu. Disampaing untuk mengatasi permasalahan produktivitas madu, sinkolema juga diharapkan mampu mengatasi permasalahan rendahnya produktivitas kopi yang relatif rendah (0,970 ton/ha) (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kepahiang, 2009) dibandingkan dengan produksi ideal sebesar 1,540 ton/ha Penelitian integrasi lebah dengan tanaman telah dilakukan oleh Kazuhiro (2004) dan Biesmeijer dan Slaa (2004) yang mengintegrasikan Stingless bee dengan tanaman kacang-kacangan. Penelitian yang serupa telah dilaksanakan oleh Klein et al. (2003) pada kopi, Kremen et al. (2002) pada pada daerah pertanian hortikultura, Kakutani et al. (1993), Maeta et al. (1992) dan Katayama (1987) pada tanaman strowberry. Namun demikian penelitian masih difokuskan pada jasa stingless bee dan A. millifera sebagai polinator, sedangkan A. cerana dan peranan tanaman sebagai sumber penghasil pakan lebah masih sangat sulit didapatkan. Di Indonesia Sinkolema belum banyak diterapkan padahal disamping potensinya sangat tinggi terutama di luar
116 | Peningkatan Produktivitas Lebah Madu
Jawa, peran masing-masing produk sangat penting, diantaranya adalah; 1. Lebah sebagai penyerbuk pada tanaman kopi, sehingga diharapkan produksi kopi semakin tinggi dan kopi sebagai penghasil pakan yang diharapkan mampu meningkatkan produksi madu yang berkualitas sehingga produktivitas dan efisiensi lahan meningkat, pada gilirannya kesejahteraan petani juga meningkat. 2. Madu sebagai sumber pendapatan tambahan petani sehingga pada saat usaha pertanian tidak berproduksi, lebah madu mampu memberikan penghasilan, sehingga biaya hidup sehari-hari dan biaya untuk usaha pertanian saat kopi tidak berproduksi tetap terjamin. Adanya hubungan saling menguntungkan antara lebah madu dan kopi maka diharapkan akan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus melestarikan lebah madu asli Indonesia. Untuk keperluan itu diperlukan kajian budidaya, desain Sinkolema berbasis wawasan dengan tidak mengabaikan karakteristik morfometri lebah madu itu sendiri. Kajian karakterisasi morfometri lebah madu Apis cerana yang diintegrasikan dengan perkebunan perlu dilakukan untuk melengkapi data ilmiah sinkolema sehinga pengembangan lebah madu dapat dilakukan tanpa harus mengorbankan ciri-ciri genetiknya. Demikian pula dengan pengukuran tingkat keberlanjutan budidaya lebah madu perlu didasari kajian yang holistik melibatkan atribut-atribut keberlanjutan masih perlu dilakukan untuk menjaga kesenimabungan kekayaan sumberdaya alam hayati yang dimiliki. Langkah-langkah yang harus dirumuskan dalam pelaksanaan
ISSN 1978 - 3000 Sinkolema untuk meningkatkan perekonomian petani dibutuhkan kajian keberlanjutan sehingga kebijakan dalam mengatasi permasalahan yang diambil akan lebih tepat dan efektif. Upaya mengatasi permasalahan budidaya lebah madu dan perkebunan kopi tersebut di atas yang belum pernah dilakukan adalah mengitegrasikan pembangunan peternakan lebah dengan tanaman kopi dalam suatu konsep kawasan. Diharapkan dengan memperhatikan hal tersebut permasalahan utama yaitu rendahnya pendapatan peternak/petani dapat teratasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produktivitas lebah madu melalui penerapan pola integrasi dengan kebun kopi (Sinkolema) berbasis potensi dan sumberdaya lokal untuk peningkatan ekonomi peternak lebah. MATERI DAN METODE Tempat Peneliian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu. Identifikasi Daya Dukung, Produktivitas Madu dan Kopi Penelitian daya dukung dilaksanakan untuk menganalisis kemampuan wilayah dalam menyokong pengembangan budidaya lebah. Hasil yang akan diperoleh dari tahapan ini : 1. Karakteristik pembungaan (flowering characteristic) kopi. 2. Produktivitas nektar dan daya dukung kebun kopi 3. Populasi lebah 4. Produksi madu madu (berdasarkan sistem pemeliharaan dan berdasarkan lata letak kotak). 5. Menghitung produksi kopi per ha per tahun
Prosedur 1. Karakteristik pembungaan (flowering characteristic) kopi diperoleh melalui pengamatan satu tahun penuh yaitu kapan kopi mulai berbunga, kapan puncak produksi, dan kapan mulai terjadi penurunan. Dari data yang dikumpulkan diperoleh siklus pembungaan kopi di lokasi penelitian. 2. Produksi nektar kopi dan daya dukung kopi diperoleh dengan cara sbb: a) Memilih secara acak 10 pohon kopi sebagai contoh (sampel) b) Dua puluh lima mahkota bunga dari masing-masing pohon terpilih dikumpulkan dan diukur nektarnya .Pengamatan dilakukan 3 kali, pagi hari (jam 05.00 s/d 07.00), siang hari. (jam 11.0013.00) dan sore hari (jam 16.0018.00) satu hari setiap bulan. Nektar bunga dikumpulkan dengan cara menarik mahkota bunga secara hati-hati sehingga nampak cairan bening dan disedot pakai microspuit atau micropipet. Dari tahapan ini diperoleh ratarata produksi nektar per 25 kuntum bungan digunakan untuk memprediksi produksi nektar per satu kuntum bunga kopi. c) Selanjutnya dihitung jumlah mahkota bunga per satu tangkai dan jumlah tangkai per pohon bunga. Data tersebut digunakan untuk memprediksi jumlah mahkota bungan per pohon kopi. d) Produksi nektar per pohon kopi diperoleh dari jumlah bunga per pohon dan rata-rata produksi nektar per bunga. e) Produksi nektar per hektar kopi diprediksi melalui pengalian produksi nektar per pohon dengan jumlah pohon per hektar kopi.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
117
ISSN 1978 - 3000 f) Daya dukung kebun kopi diartikan sebagai seberapa banyak koloni yang mampu didukung oleh satu hektar kebun kopi, Oleh karena itu daya dukung kebun kopi dihitung berdasarkan total produksi nektar kopi per hektar per hari dibagi kebutuhan ratarata koloni lebah A. cerana per koloni per hari. Karena kesulitan tehnis pengukuran, kebutuhan koloni per hari digunakan hasil penelitian Husaeni (1986) yaitu 145 ml/koloni. 3. Populasi lebah diduga melalui pendekatan bobot koloni dibagi bobot rata-rata lebah pekerja (Bs = Bobot koloni lebah didapatkan dengan cara menimbang seluruh stup berisi lebah dicatat sebagai bobot stup, lalu lebah dipindahkan ke kotak lain dan ditimbang sebagai bobot tanpa lebah atau bobot kosong. Kemudian selisih antara Bs dan Bk adalah bobot total lebah (Bt). Bobot rata-rata lebah per ekor didapatkan dari penimbangan 200 ekor lebah dan hasilnya dibagi 200. 4. Data mengenai produksi madu yang dicari adalah produksi total per koloni per tahun. Data produksi tersebut dibedakan antara lebah yang dibudidayakan dengan dan tanpa Sinkolema. Disamping itu dibedakan pula berdasarkan tata letak kotak terpusat dan tersebar. Tahapan untuk mendapatkan data produksi adalah sbb: a) Produksi madu dihitung berdasarkan kali panen dan dikonversikan ke produksi per stup per tahun, dan akan dibandingkan antara produksi madu pada sistem integrasi dan di luar integrasi. Sebagai sampel
118 | Peningkatan Produktivitas Lebah Madu
akan dipilih secara acak sebanyak masing-masing 10 stup lebah yang dibudidayakan padan sistem integrasi dan 10 stup lainnya dari lebah yang dibudidayakan di luar sistem integrasi b) Produksi madu tiap koloni diukur dengan ukuran botol, selanjutnya dikonversi ke ukuran volume dan ukuran bobot c) Menentukan tata letak stup didasarkan pada faktor lokasi, pengelolaan, keamanan dan pemanenan. Penempatan kotak terpusat di halaman pondok jaga dengan jarak antar kotak 10 s/d 20 m. Sedangkan yang tersebar, kotak ditempatkan di tengan kebun kopi dengan jarak antar kotak di atas 200 m. d) Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap dengan dua perlakuan dan tiga ulangan dengan masingmasing 10 stup. Perlakuan kesatu adalah produksi madu pada sistem integrasi dan perlakuan kedua di luar integrasi. Demikian pula dengan pengaruh tata letak terhadap produktivitas madu dianalisis berdasarkan Rancangan Acak Lengkap dengan dua perlakuan dan lima ulangan. 5. Produksi kopi per ha per tahun dihitung berdasarkan hasil bobot kering per tahun per ha dan akan dibandingkan produksi kopi madu dengan sistem integrasi dan tanpa integrasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik pembungaan (flowering characteristic) kopi.
ISSN 1978 - 3000 Selama satu tahun penelitian didapatkan hasil bahwa kopi di Kaupaten Kepahiang berbunga pada Bulan Januari sampai Desember kecuali Maret, April, pertengahan September, Oktober dan pertengahan Nopember (Gambar 1). Jadi kopi selalu berbunga selama 8 bulan. Karakteristik pembungaan kopi ini berbeda dengan kopi-kopi yang di laporan sebelumnya, dimana kopi hanya berbunga pada Bulan Mei sampai dengan Agustus (Perum Perhutani dalam Pusbahnas, 2008). Kopi yang dibudidayakan di lokasi penelitian adalah Coffee arabica LINN yang diremajakan dengan jalan menempelkan tunas pada batang pohon kopi yang sudah lama dipelihara. Ada kemungkinan cara peremajaan iniah yang meyebabkan pembungaan kopi menjadi lebih panjang. Dengan demikian kopi di Kepahiang
Jan
Tumbuhan Kopi
1
Juni 1
2
3
Feb
2
3
4
1
Juli 4
1
2
3
1
2
2
Produktivitas Nektar dan Daya Dukung Kebun Kopi Data jumlah kuntum bunga per tangkai dan jumlah tangkai bunga per pohon selama delapan bulan, diolah untuk mendapatan data produksi kuntum bunga per pohon per hari. Hasil pengumpulan dan pengolahan data disajikan pada Tabel 1. Selanjutnya data produksi kuntum bunga tersebut digunakan untuk menprediksi produksi nektar per pohon per hari (Gambar 2). Produksi nektar diperoleh data 0.64 ml per 25 kuntum per hari, berarti
Maret 3
4
1
Agust 4
mendukung teredianya nektar kopi dalam waktu yang lebih panjang. Selama terjadi pembungaan produksi nektar yang paling sedikit adalah pada Bulan Januari dan Februari dan puncaknya terjadi pada Bulan.
3
2
April
3
4
1
Sept 4
1
2
3
2
Mei 3
4
Okt 4
1
2
3
1
2
Nop 4
1
2
3
3
4
Des 4
1
2
3
4
Gambar 1. Karakteristik pembungaan kopi(Coffee arabica LINN)
Gambar 2. Grafik rata-rata produksi nektar kopi Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
119
ISSN 1978 - 3000 produksi nektar kebun kopi adalah 18,14 ml/pohon/hari. Selama petani menanam kopi dengan kepadatan 2000 batang/ha maka produksi nektar pada saat kopi berbungan adalah 36,27 l/ha/hari. Tabel 1 menunjukan perkembangan produksi nektar kopi yang berfluktuasi dan ratarata tertinggi terjadi pada Bulan Juli. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Perhutani (1994) bahwa puncak pembungaan kopi di Indonesia terjadi pada bulan Juli. Produksi nektar kebun kopi ratarata per hari adalah 18.14 ml/pohon/hari, berarti dengan kepadatan pohon kopi 2000 bohon/ha, rata-rata produksi per hektar kopi adalah 36,286.08 ml/ha/hari. Bila kebutuhan nektar lebah madu 145 ml/stup/hari (Husaini, 1986) maka daya dukung kebun kopi adalah 250 koloni. Ini artinya kalau tidak ada predator lainnya (grazers), maka kebun kopi di Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu mampu mencukupi peternakan lebah dengan skala usaha 250 koloni. Untuk mengantisipasi adanya predator lain pengisap nektar kopi dan cuaca yang buruk yang menyebabkan bunga kopi menurun, yang dijadikan patokan dalam menentukan jumlah koloni adalah produksi nektar terendah yaitu sekitar 9,49 liter/ha/hari, bila 50% nektar diperkirakan dikonsumsi serangga lain, berarti pada saat produksi nektar minimal, kebun kopi diperkirakan
mampu mencukupi maka disarankan untuk menyebarkan lebah sebanyak sembilah puluh delapan ztzu dibulatkan keatas menjadi 66 stup/koloni per satu hektar kebun kopi. Produksi nektar kaliandra di lokasi penelitian belum bisa diidentifikasi berkaitan dengan keadaan kalianra yang belum berbunga sampai akhir penelitian. Namun demikian di sekitar lokasi terdapat beberapa pohon kaliandra yang sudah berbunga lebat, Jadi pada satu tahun ke depan diperkirakan bahwa nektar yang dibutuhkan lebah pada saat kopi tidak berbunga dapat dipenuhi oleh nektar kaliandra. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Husaini (1986) bahwa rata-rata produksi nektar kaliandra adalah 119 liter/ha/hari atau 0.042 liter/pohon/hari atau 42 ml/pohon/hari. Bila koloni yang dibudidayakan 100 kotak/ha kopi maka untuk mengatasi kekurangan nektar pada saat kopi sedang tidak berbunga dapat dilakukan penanaman kaliandra minimal sebanyak (100 x 145)/42=346 batang. Pengaruh Integrasi Terhadap Populasi Lebah Koloni lebah sebelum dibudidayakan baik di areal maupun di luar Sinkolema dihitung ukuran populasinya, sehinga populasi awal relatif seragam yaitu rata-rata tiga belas ribuan ekor per koloni. Dalam
Tabel 1. Produksi Nektar Kopi di Kabupaten Kepahiang No
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agst
1
17,22
2
21,80
14,31
-
-
18,48
26,60
35,89
25,20
-
-
16,84
25,38
25,90
-
-
23,60
32,40
38,60
35,70
-
-
28,50
33,90
3
375,40 370,60
-
436,10 861,90 1.385,50
899,80
-
-
480,00
860,40
4
9,61
-
11,16
23,03
-
-
12,29
22,03
5
9,49
-
22,06
35,47
Rata-rata Produksi Nektar kopi per pohon per hari
Keterangan 1. Rata-rata kuntum buna per tangkai 2. Rata-rata tangkai bunga per pohon 3. Produksi kuntum bunga per pohon 4. Produksi nektar per pohon (ml) 120 | Peningkatan Produktivitas Lebah Madu
Sep Okt
Nop
Des
18,14 ml/pohon/hari
ISSN 1978 - 3000 perkembangannya mengalami perbedaan yang sangat drastis dimana populasi lebah di kebun kopi meningkat sedangkan di luar kebun kopi menurun (Gambar 3). Kenaikan dan penurunan ukuran populasi terus berjalan sehingga tampak bahwa populasi yang relatif konstan sebesar delapan belas ribuan ekor untuk lebah di Sinkolema dan sembilan ribuan ekor untuk lebah cerana di luar Sinkolema. Perkembangan populasi lebah berkaitan erat dengan produksi nektar lebah. Kondisi ini menunjukan bahwa keberadaan populasi lebah dipengaruhi oleh ketersediaan nektar sebagai pakannya. Lebah yang dibudidayakan di luar Sinkolema hanya berupa rumput-
rumputan, bunga hias yang ada di pekarangan, beberapa pohon buahbuahan dan tanaman lainnya yang jumlahnya terbatas dan produksi nektarnya yang sulit diprediksi. Pengaruh Integrasi Terhadap Produksi Madu dan Kopi Produksi madu selama satu tahun yang dipelihara dengan dan tanpa integrasi dengan kebun kopi dapat dilihat pada Gambar 4. Produksi madu dari lebah yang dipelihara dengan system integrasi mencapai 3.335 kg/koloni/tahun. Produksi ini secara signifikan lebih tinggi dari produksi madu dari lebah yang dipelihara di luar kawasan integrasi yang hanya mencapai rata-rata 1.560
Gambar 3. Grafik perkembangan populasi lebah
Gambar 4 : Grafik produksi madu yang di pelihara dengan dan tanpa integrasi Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
121
ISSN 1978 - 3000 kg/koloni/tahun, artinya bahwa produktivitas lebah madu dapat ditingkatkan sekitar 114% melalui sistem integrasi dengan kebun kopi. Produksi madu dari peternakan lebah dengan integrasi lebih tinggi sejalan dengan perkembangan populasi lebah dan ketersediaan nektar. Hasil ini menunjukan bahwa produksi madu sangat erat kaitannya dengan ketersediaan nektar. Hasil penelitian ini sesuai dengan penemuan Hidayat (1986) yang melakukan penelitian tentang hubungan kegiatan mencari makan lebah madu (Apis cerana Fabr.) dengan volume nektar dan perkembangan jumlah bunga kaliandra (Calliandra callothyrsus Meissn.) di desa Pager Wangi, Bandung pada bulan Januari hingga Maret, 1986 dengan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara kegiatan lebah dengan ketersediaan nektar di sekitar koloni. Gambar 1 s/d 4 menunjukan bahwa ada kaitan antara karakteristik pembungaan, jumlah nektar yang dihasilkan dan produksi madu. Produksi madu tertinggi terjadi pada panen bulan Juli ini berkaitan dengan produksi nektar yang tertinggi terjadi pada bulan Juli, sedangkan produksi terendah terjadi pada panen bulan Maret dan September dimana produksi nektar kopi sudah mulai mau berhenti. Dilihat dari frekuensi panen, lebah madu di kebun kopi mampu dipanen 5 kali dalam setahun atau dua kali panen lebih banyak dibandingkan dengan koloni lebah yang dipelihara di luar kebun kopi yang hanya mampu panen tiga kali setahun. Ini terjadi karena madu yang diproduksi koloni lebah yang dipelihara di luar kebun kopi dikonsumsi kembali untuk mempertahankan hidupnya. Ada kondisi yang sangat menarik adalah pada saat kopi tidak berbunga pada bulan Maret, April, September dan
122 | Peningkatan Produktivitas Lebah Madu
Oktober, produksi madu dan populasi lebah menunjukan angka yang masih tinggi di daerah Sinkolema, Hal ini kemungkinan besar kebutuhan nektar dan polen untuk keperluan tersebut masih mampu disediakan pohon pelindung (lamtoro), pohon lain seperti kayu masis (pada Bulan Mei didapatkan madu yang beraroma kayu manis), semak-semak dan remput-rumputan yang menutupi lahan di luar kebun kopi. Rendahnya produksi madu dari lebah di luar kebun kopi sebagai akibat dari hijrahnya koloni lebah sebanyak 4 koloni atau 40%, sedangkan lebah di di daerah kopi yang hijrah lebih sedikit yaitu 2 koloni atau 20%. Teidentifikasi ada dua penyebab utama hijrahnya koloni lebah yaitu, 1. Kurang pakan terlihat tidak ada madu pada sarangnya dan 2. Kondisi stup/kotak yang kotor karena tidak sempat dibersihkan peternak. Keberhasilan peternakan lebah sangat ditentukan dengan ketersedian sumber protein (pollen) dan nektar pada suatu lokasi yang erat kaitannya dengan tata letak koloni. Dalam menentukan tata letak perlu dilakukan pendataan untuk mengetahui jenis-jenis tanaman penghasil nektar dan pollen, umur tanaman kepadatan tanaman serta kesuburannya. Dalam penelitian yang telah dilakukan tampak bahwa cara penempatan koloni lebah (terpusat atau tersebar) secara signifikan mepengaruhi produksi madu. Dari hasil perhitungan, produksi madu dari koloni lebah yang ditempatkan secara menyebar di dalam kebun kopi (4.08 kg/koloni/tahun) secara nyata lebih tinggi dari koloni lebah yang ditempatkan terpusat di tengah-tengah kebun kopi (2,60 kg/koloni/tahun). Hal ini terjadi akibat dari kompetisi (intraspesific competition) berat terutama pakan. Kompetisi yang terjadi menybabkan 2 koloni yang ditempatkan
ISSN 1978 - 3000 terpusat hijrah. Hidayat (1986) menyatakan bahwa lebah memanfaatkan nektar yang berda paling dekat dengan koloninya, artinya semakin padat pupulasi lebah pada suatu tempat maka akan terjadi persaingan yang semakin berat. Hal ini tentunya akan menyebabkan turunnya produksi atau terganggunya keseimbangan populasi lebah dan akibat yang paling tinggi akan terjadinya hijrah (absconding). Gambar 5 menunjukan perkembangan produksi lebah berdasarkan tata letak. Rataan produksi kopi di perkebunan yang diintegrasikan dengan lebah sebesar 1.31 ton/ha, sedangkan rataan produksi kopi di luar wilayah integrasi 1.18 ton/ha. Hal ini menujukan bahwa sinkolema mampu meningkatkan produksi kopi di Kabupaten Kepahiang setinggi 10.55%. Lebah dalam melakukan polinasi lebih efektif karena probostisnya yang panjang lancip dilengkapi dengan rambut tempat menempel tepungsari dan pindah ke kepala putik kopi. SIMPULAN Perkebunan kopi di Kepahiang mampu mendukung sampai 250 koloni per hektar dari Apis cerana dengan tata letak tersebar, tetapi untuk beberapa alasan sangat dianjurkan untuk menempatkan 66 koloni per hektar. Integrasi lebah madu perkebunan kopi meningkatkan baik produktivitas madu sampai dengan 114% maupun produksi biji kopi hingga 10,55%. Produksi lebah madu di perkebunan kopi jauh lebih tinggi karena kelimpahan pakan dan jumlah populasi tinggi. Produktivitas lebah sangat tergantung dari perkembangan populasinya dan kondisi populasi sangat dipengaruhi oleh ketersedian nektar dan polen secara alami maka pengelolaan
lebah perlu didisain dalam kawasan yang lebih komprehensif. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2005. Aspek teknis dalam strategi pemuliaan bibit lebah madu A. cerana. Dept. Kehutanan Biesmeijer J.C., Slaa E.J. (2004) Information flow and organization of stingless bee foraging, Apidologie 35, 143–157. BPS. 2007. Kepahiang Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Kabupaten Kepahiang, Bengkulu. Crane E. 1990. Bees and Beekeping. Science, Practice and World Resources. Comstock Publishing Associates a division of Cornell University Press. Ithaca, New York. Pp 364 Department of Agriculture and Food Western Australia. 2009. Bee pollination benefits for other crops. http://wwwtest.agric.wa.gov.au/PC _91812. html?s=0 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang. 2009. Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang. Bengkulu Gozmerac, W. L. 1983. Bees, Beekeeping, Honey and Pollination. AVI Publishing Company, Inc. WestPort, Connecticut. Husaeni, E. A. 1986. Potensi Produksi Nektar dari Tegakan Kaliandra Bunga Merah (Calliandra calothyrsus Meissn). Prosiding Lokakarya Pembudidayaan Lebah Madu untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Perum Perhutani, Jakarta Kakutani T., Inoue T., Tezuka T., Maeta Y. (1993) Pollination of strawberry by
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
123
ISSN 1978 - 3000 the stingless bee, Trigona minangkabau, and the honey bee, Apis mellifera: an experimental study of fertilization efficiency, Res. Popul. Ecol. 35, 95–111. Katayama E. (1987) Utilization of honeybees as pollinators for strawberries in plastic greenhouses, Honeybee Sci. 8, 147–150 (in Japanese). Kazuhiro, A. 2004. Attempts to Introduce Stingless Bees for the Pollination of Crops under Greenhouse Conditions in Japan. Laboratory of ApicultureNational Institute of Livestock and Grassland Science Tsukuba, Ibaraki 305-0901 Klein A.M., Steffan-Dewenter I., Tscharntke T. (2003) Fruit set of highland coffee increases with the diversity of pollinating bees, Proc. R. Soc. Lond. B 270, 955–961. Kremen C., Williams N.M., Thorp R.W. (2002) Crop pollination from native bees at risk from agricultural
124 | Peningkatan Produktivitas Lebah Madu
intensification, Proc. Natl Acad. Sci. (USA) 99, 16812–16816. Maeta Y., Tezuka T., Nadano H., Suzuki K.(1992) Utilization of the Brazilian stingless bee, Nannotrigona testaceicornis, as a pollinator of strawberries, Honeybee Sci. 13, 71– 78 Raffiudin, R., S. Hadisoesilo dan T. Atmowidi. 2004. Studi keragaman Genetik dan Morfologi Lebah A. koschevnicovi di Kalimantan Selatan. Laporan Hibah Bersaing XII. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sihombing, D.T.H. 2005. Ilmu Ternak Lebah Madu. Cetakan ke 2. Gajah Maja Univercity Press. Jogjakarta. Tilde, A. C., S. Fuchs, N. Koeniger and C. R. Cervancia. 2000. Morphometric diversity of A. carana Fabr. Within the Philippines. Apidologie 31: 249263. Winston, M. L. 1991. The Biology of the Honey Bee. 3rd Ed. Harvard University Press. Cambridge.
ISSN 1978 - 3000
Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Daging Sapi The Effect of Using Protease Enzyme-Plant on Physics and Organoleptic Properties of Meat Cattle Yenni Okfrianti, Kamsiah,Yessy Fitryani Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Bengkulu Jalan Indragiri No 3 Padang Harapan, Bengkulu, Telp (0736) 341212
ABSTRACT This research aims to determine the effect of addition of the protease enzyme of plant against physical and organoleptic properties (taste, texture, and color) of beef. This research used randomized block design with ten treatments. The results showed no effect of addition of plant protease enzyme (enzyme papain from papaya fruit, bromelain from pineapple fruit, and the thiol protease from ginger rhizome) against shrinkage and color of cooked beef (p> 0.05). And the effect of adding a protease enzyme plant to taste and texture of beef (p <0.05). Kaywords: Protease, physics, organoleptics, meat.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan enzim protease tanaman terhadap sifat fisik dan organoleptik (rasa, tekstur, dan warna) daging sapi. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan sepuluh perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh penambahan enzim protease tanaman (enzim papain dari buah pepaya, bromelin dari buah nanas, dan protease thiol dari rimpang jahe) terhadap susut masak dan warna daging sapi ( p > 0,05). Serta adanya pengaruh penambahan enzim protease tanaman terhadap rasa dan tekstur daging sapi ( p < 0,05). Kata kunci: Protease, fisik, organoleptik, daging.
PENDAHULUAN Daging merupakan hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai salah satu sumber pangan hewani. Manusia mengkonsumsi daging sejak dimulainya sejarah peradaban manusia itu sendiri. Semua tingkat umur dapat mengkonsumsi daging (Soeparno, 2005). Daging dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi. Daging mempunyai kandungan mutu protein yang tinggi karena terdapat asam amino yang lengkap dan seimbang. Selain itu, protein daging lebih mudah dicerna
daripada protein yang berasal dari nabati (Astawan, 2004). Di Indonesia, daging yang banyak dikonsumsi dan diolah menjadi aneka makanan adalah daging kerbau, daging sapi, daging domba, daging babi, dan daging kambing yang disebut daging merah (Soeparno, 2005). Namun, daging yang paling banyak diperjual belikan adalah daging sapi (Astawan, 2004). Daging sapi berkualitas terbaik berasal dari ternak berumur 4-6 tahun sampai 8 tahun untuk sapi bukan perah. Sementara itu, sapi tua dan penghasil susu yang berumur 10-12 tahun akan menghasilkan daging dengan kualitas rendah. Daging
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
125
ISSN 1978 - 3000 sapi yang biasa dikonsumsi masyarakat, kebanyakan konsistensinya liat karena berasal dari ternak kerja yang sudah tua (Murtini dan Qomarudin, 2003). Selain itu, daging sapi yang belum dilayukan sebelum dikonsumsi karena masih mengalami rigor mortis juga menyebabkan konsistensinya liat (Dyah, 1986 dalam Istika, 2009). Kualitas utama daging ditentukan oleh keempukan, citarasa, dan warna. Diantara ketiga hal tersebut, keempukan memegang peranan terpenting (Sarashwati, 1995). Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek yaitu kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging, mudahnya daging dikunyah menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan (Bartzler,1971 dalam Soeparno, 2005). Salah satu cara untuk meningkatkan keempukan daging sapi adalah dengan penambahan suatu enzim (Tarwotjo, 1998). Enzim adalah suatu katalisator biologis yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan dapat membantu mempercepat bermacam-macam reaksi biokimia. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja enzim yaitu suhu, pH, inhibitor, konsentrasi enzim dan substrat (Indah, 2004). Enzim yang dapat digunakan untuk mengempukan daging adalah jenis enzim protease (Tabrany,2001). Enzim protease adalah enzim yang menghidrolisis ikatan peptida protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti dipeptida dan asam amino (Deman, 1997). Jenis enzim protease untuk pengempukan daging yaitu enzim papain dari getah daun dan buah pepaya muda, enzim bromelin dari buah nanas dan fisin pada getah pohon ficus (Esti, 2002). Selain itu, rimpang jahe juga mengandung enzim protease yang
bernama proteinase thiol yang dapat digunakan untuk mengempukan daging sebelum dimasak (lee, dkk dalam Komariah dkk, 2004). Penggunaan buah pepaya muda, buah nanas dan rimpang jahe sebagai sumber enzim protease pengempuk daging karena bahan-bahan tersebut mudah diperoleh di wilayah Bengkulu dan aman untuk dikonsumsi. Penambahan jenis enzim protease ini akan menghasilkan keempukan awal pada serabu-serabut jaringan ikat (Soeparno, 2005). Menurut Lawrie (2003), enzim protease mula-mula akan merusak mukopolisakrida dari matriks substansi dasar, kemudian secara cepat menurun serat-serat tenunan pengikat menjadi masa amorf. Selama proses amorf, kolagen dan miofibril terhidrolisis. Hal ini menyebabkan hilangnya ikatan atar serat daging dan pemecahan serat fragmen yang lebih pendek, sehingga meningkatkan keempukan daging. Enzim proteoase yang telah ditambahkann ke dalam daging mentah baru akan aktif pada suhu 800 C, maka dari pada itu diperlukan proses pemasakan daging (Winarno, 1993). Pemasakan daging yang telah ditambahkan enzim protease akan membuat tekstur daging matang menjadi empuk dan mudah cerna. Selain itu diharapkan dapat memperpendek waktu pemasakan. Pemasakan dengan menggunakan suhu yang tinggi dan waktu yang lama dapat menyebabkan reaksi perubahan pada daging. Reaksireaksi tersebut diantaranya yaitu denaturasi, kehilangan zat gizi, kehilangan aktivitas enzim, desulfurisasi dan beberapa reaksi yang dapat menghasilkan senyawa toksik (Sugiran, 2007). Keempukan dapat ditentukan secara subjektif dan objektif. Penentuan keempukan dan kealotan daging dengan metode subjektif dapat dilakukan dengan
126 | Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik
ISSN 1978 - 3000 uji panel cita rasa atau uji organoleptik. Pengujian keempukan secara objektif dapat dilakukan dengan pengujian kompresi (indikasi kealotan jaringan ikat), daya putus Warner-Bratzler (indikasi kealotan miofibrilar), adhesi (indikasi kekuatan jaringan ikat) dan susut masak (indikasi kehilangan nutrisi selama pemasakan) (Soeparno, 2005). Tujuan penelitian ini adalah pengaruh penambahan enzim protease terhadap sifat fisik dan organoleptik daging sapi. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kimia dan Ilmu Teknologi Pangan Poltekkes Kemenkes Bengkulu, pada bulan April sampai Juni 2011. Penelitian ini meliputi dua tahap yaitu tahap satu pencampuran daging sapi dengan enzim papain dari buah pepaya, enzim bromelin dari buah nanas, dan enzim proteinase thiol dari rimpang jahe dengan variasi konstrasi (0%, 10%, 15%,20%), tahap kedua dilaksanakan uji susut masak dan uji sensoris terhadap tekstur daging sapi matang. Tahap 1 Pencampuran enzim protease tanaman dengan daging sapi. Campurkan pepaya, nanas, dan jahe yang telah dihaluskan ke dalam masing-masing 100 gram daging sapi dengan perbandingan penambahan 0%, 10%, 15%, dan 20% dari berat bersih daging sapi (0%=0 gram, 10%=10 gram, 15%=15 gram, 20%=20 gram) lalu masing-masing diaduk hingga tercampur rata dan masukkan ke dalam plastik lalu beri label. Lakukan pemeraman selama 30 menit pada suhu ruang yaitu 280-300C. Setelah itu cuci daging dan lakukan perebusan pada suhu 800C selama 30 menit. Kemudian timbang berat masaknya.
Tahap 2 Penelitian tahap 2 merupakan pengujian sifat fisik dengan uji susut masak dan uji mutu organoleptik.. Uji susut masak dilakukan dengan menimbang berat daging sebelum dan sesudah perebusan kemudian dihitung % susut masak dengan menggunakan rumus. Sedangkan uji organoleptik dilakuakan untuk menilai tekstur, warna dan rasa daging sapi matang dengan menggukan panelis. Penilaian dilakukan oleh panelis agak terlatih, yaitu mahasiswa Jurusan Gizi Poltekkes Bengkulu tingkat III yang berjumlah 30 orang. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang dipilih karena bahan percobaan yang akan dipakai sebagai unit percobaan tidak homogen, maka perlu dilakukan pengelompokan dengan cara tertentu sehingga satuan percobaan dalam satu kelompok menjadi relatif homogen (kristianto, 2005). Layout percobaan yakni : P1 : Daging sapi tanpa penambahan enzim protease tanaman P2 : Daging sapi dengan penambahan 10% buah pepaya P3 : Daging sapi dengan penambahan 15% buah pepaya P4 : Daging sapi dengan penambahan 20% buah pepaya P5 : Daging sapi dengan penambahan 10% buah nanas P6 : Daging sapi dengan penambahan 15% buah nanas P7 : Daging sapi dengan penambahan 20% buah nanas P8 : Daging sapi dengan penambahan 10% rimpang jahe P9 : Daging sapi dengan penambahan 15% rimpang jahe
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
127
ISSN 1978 - 3000 P10 : Daging sapi dengan penambahan 20% rimpang jahe
maka jaringan ikat yang terhidrolisis semakin banyak, persen susut masak semakin besar dan daging lebih empuk.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Organoleptik
Susut Masak Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan enzim protease tanaman dari buah pepaya, buah nanas, dan rimpang jahe tidak berpengaruh secara signifikan terhadap susut masak daging sapi, yang ditunjukkan dengan nilai p=0,13 (p>0,05). Daging sapi dengan penambahan buah nanas 20% memiliki skor rata-rata susut masak paling tinggi yaitu 55,33% (Tabel 1) Enzim pengempukan daging ini aktif pada temperatur antara 50-800C. Menurut Lee. Y, dkk., (1994), menyatakan enzim protease berfungsi mengempukkan daging, karena protein pada jaringan ikat dan fragmentasi miofibril dengan degradasi pada filamenfilamen akan terhidrolisis. Istika (2009) menyatakan protein (kolagen dan miofibril) terhidrolisis menyebabkan hilangnya ikatan antar serat dan pemecahan serat menjadi fragmen yang lebih pendek, menjadikan serat otot lebih mudah terpisah sehingga daging lebih empuk. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Dhiah (2010), menyatakan
Rasa Berdasarkan Gambar 1 respon panelis yang berjumlah 30 orang terhadap rasa daging dengan penambahan enzim protease tanaman yang berasal dari buah pepaya, buah nanas, dan rimpang jahe (10%, 15%,dan 20%), didapatkan bahwa sebagian besar panelis memberikan penilaian tidak suka (skor 2) pada rasa daging dengan penambahan pepaya 10% sebanyak 18 orang (60%). Berdasarkan Gambar 2 diketahui sebagian besar panelis memberikan penilaian tidak suka (skor 2) pada rasa daging dengan penambahan nanas 20% sebanyak 12 orang (40%). Berdasarkan Gambar 3 diketahui sebagian besar panelis memberikan penilaian tidak suka (skor 2) pada daging sapi dengan penambahan rimpang jahe 20% sebanyak 16 orang (53,3%). Berdasarkan Uji Friedman penambahan enzim protease tanaman dari buah pepaya, buah nanas, dan rimpang jahe (10%, 15%, dan 20%) berpengaruh signifikan terhadap daya terima organoleptik (rasa) daging sapi,
Tabel 1. Susut Masak Daging Sapi Dengan Penambahan Enzim Protease Tanaman (%) Konsentrasi Penambahan 0% 10% 15% 20%
Pepaya 41.14 41.62 42.15 45.30
bahwa adanya perbedaan tingkat susut masak itik afkir dengan penambahan ekstra buah nanas 0% dengan 5%, 10% dan 15 %, semakin besar konsentrasi eksktrak buah nanas yang diberikan,
Variasi Tanaman Nanas 41.14 48.75 53.14 55.33
Jahe 41.14 37.55 41.59 44.35
yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Data yang signifikan dilanjutkan dengan Uji Multiple Comparison (Uji Wilcoxon). Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan bahwa perbandingan
128 | Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik
ISSN 1978 - 3000 Tabel 2. Tingkat Kesukaan “Rasa” Daging Dengan Penambahan Enzim Protease Tanaman Konsentrasi Variasi Tanaman Penambahan Pepaya Nanas Jahe 10% 5.12ac 6.02b 4.45a 15% 5.27ad 5.77bd 4.12a bc b 20% 5.65 5.08 3.53a a,b,c,d Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata ( P<0,05) berdasarkan uji Wilcoxon.
perbedaan rasa daging sapi yang dihasilkan, diketahui bahwa panelis memberikan penilaian berbeda pada rasa daging dengan penambahan buah nanas 10% karena nilai p <0,05 dengan rata-rata tingkat kesukaan 6,02. Adapun ranking kelompok untuk setiap variasi penambahan enzim protease tanaman berdasarkan hasil Uji Wilcoxon dapat dilihat pada Tabel 2. Konsentrasi penambahan nanas 10% telah membuat daging cukup manis khas nanas, karena nanas mengandung glukosa yang tinggi yaitu 9,26 gram dalam 100 gram nanas. Sedangkan penambahan jahe 20% paling tidak disukai karena dalam jahe terdapat kandungan asirinya tinggi, sehingga rasanya lebih pedas khas jahe. Sedangkan untuk rasa daging dengan penambahan buah pepaya cukup disukai panelis, karena pepaya yang digunakan adalah buah pepaya mentah, yaitu buah pepaya yang sudah tua, dagingnya putih sehingga kandungan glukosa dalam pepaya mentah ini lebih sedikit dari pada pepaya matang yaitu hanya 6,2 gram dalam 100 gr pepaya. Namun penggunaan buah pepaya mentah tidak mengubah rasa daging sapi menjadi pahit seperti bila menggunakan daun pepaya. Menurut Wijayandi (2003), rasa adalah karakteristik dari suatu zat yang disebabakan oleh adanya bagian zat tersebut yang larut dalam air atau lemak dan bersentuhan dengan indra pencicipan (lidah dan rongga mulut), sehingga memberikan kesan tertentu.
Gambar 1 Hasil Uji Organoleptik Rasa Daging Sapi Dengan Penambahan Buah Pepaya
Gambar 2. Hasil Uji Organoleptik Rasa Daging Sapi dengan Penambahan Buah Nanas
Gambar 3. Hasil Uji Organoleptik Rasa Daging Sapi dengan Penambahan Rimpang Jahe
Rasa dipengaruhi olehn beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa lain. Pengaruh antara satu macam rasa dengan rasa yang lain
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
129
ISSN 1978 - 3000 tergantung pada konsentrasinya. Bila salah satu komponen mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi pada komponen yang lain maka komponen tersebut akan lebih dominan. Bila perbedaan konsentrasi tidak terlalu besar maka ada kemungkinan timbul rasa gabungan atau komponen tersebut dapat dirasakan kesemuanya secara berurutan (Kartika, 1988). Warna Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa respon panelis yang berjumlah 30 orang terhadap warna daging dengan penambahan enzim protease tanaman yang berasal dari buah pepaya, buah nanas, dan rimpang jahe (10%, 15%,dan 20%), didapatkan bahwa sebagian besar panelis memberikan penilaian agak suka (skor 3) pada warna daging dengan penambahan pepaya 20% sebanyak 16 orang (53,3%). Berdasarkan Gambar 5 diketahui sebagian besar panelis memberikan penilaian tidak suka (skor 2) pada warna daging dengan penambahan nanas 20% sebanyak 18 orang (60%), dan berdasarkan Gambar 6 diketahui sebagian besar panelis memberikan penilaian agak suka (skor 3) pada warna daging sapi dengan penambahan rimpang jahe 20% sebanyak 14 orang (46,7%). Berdasarkan Uji Friedman penambahan enzim protease tanaman dari buah pepaya, buah nanas, dan rimpang jahe (10%, 15%, dan 20%) tidak berpengaruh signifikan terhadap daya terima organoleptik (warna) daging sapi, yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,266 (p>0,05). Sehingga tidak dilanjutkan dengan Uji Multiple Comparisson (Uji Wilcoxon). Rata-rata tingkat kesukaan panelis dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Setiawan (1988), nilai warna yang objektif dipengaruhi oleh komposisi bahan baku yaitu warna awal
Gambar 4. Hasil Uji Organoleptik Warna Daging Sapi dengan Penambahan Buah Pepaya
Gambar 5. Hasil Uji Organoleptik Warna Daging Sapi dengan Penambahan Buah Nanas
Gambar 6. Hasil Uji Organoleptik Warna Daging Sapi dengan Penambahan Rimpang Jahe
penyusunan. Menurut Wijayandi (2003) warna adalah kesan yang dihasilkan oleh indera mata terhadap cahaya yang dipantulkan oleh benda tersebut. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Grace (1995) penambahan enzim protease yaitu enzim papain pada daging kambing tua jantan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan warna dengan kisaran nilai rata-rata tingkat kesukaan yaitu 3,1-3,5. Jika dilihat dari uji statistik maka semakin empuk daging yang dihasilkan akibat penambahan enzim protease
130 | Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik
ISSN 1978 - 3000 Tabel 3. Tingkat Kesukaan “Warna” Daging Dengan Penambahan Enzim Protease Tanaman Penambahan Konsentrasi 10% 15% 20%
Pepaya 4,97a 4,98a 5,57a
Variasi Tanaman Nanas 5,30a 5,02a 4,03a
Jahe 5,47a 4,53a 5,13a
Keterangan : a Superskrip yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata ( P>0,05) berdasarkan uji Wilcoxon.
tanaman, maka warna daging akan semakin coklat pucat (Fellow, 2000 dalam Aberle dkk., 2001). Selain itu,buah pepaya yang banyak mengandung karotenoid jenis likopen dapat membuat warna daging lebih menarik (Cahyani, 2010). Pada suhu 800 C telah terjadi denaturasi protein sehingga terjadi konversi warna daging dalam bentuk oxymyoglobin menjadi warna coklat dalam bentuk metmyoglobin. Tekstur Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa respon panelis yang berjumlah 30 orang terhadap tekstur daging dengan penambahan enzim protease tanaman yang berasal dari buah pepaya, buah nanas, dan rimpang jahe (10%, 15%,dan 20%), didapatkan bahwa sebagian besar panelis memberikan penilaian tidak suka (skor 2) pada tekstur daging dengan penambahan pepaya 10% sebanyak 16 orang (53,3%). Berdasarkan Gambar 8 diketahui sebagian besar panelis memberikan penilaian tidak suka (skor 2) pada tekstur daging dengan penambahan nanas 20% sebanyak 14 orang (46,7%). Dan berdasarkan Gambar 9 diketahui sebagian besar panelis memberikan penilaian tidak suka (skor 2) pada daging sapi dengan penambahan rimpang jahe 10% sebanyak 17 orang (56,7%). Berdasarkan Uji Friedman penambahan enzim protease tanaman dari buah pepaya, buah nanas, dan rimpang jahe (10%, 15%, dan 20%) berpengaruh signifikan terhadap daya
Gambar 7. Hasil Uji Organoleptik Tekstur Daging Sapi dengan Penambahan Buah Pepaya
Gambar 8. Hasil Uji Organoleptik Tekstur Daging Sapi dengan Penambahan Buah Nanas
Gambar 9 Hasil Uji Organoleptik Tekstur Daging Sapi Dengan Penambahan Rimpang Jahe
terima organoleptik (tekstur) daging sapi, yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,009 (p<0,05). Data yang signifikan dilanjutkan dengan Uji Wilcoxon. Hasil Uji Wilcoxon menunjukkan
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
Keterangan :
131
ISSN 1978 - 3000 Tabel 4. Tingkat Kesukaan “Tekstur” Daging Dengan Penambahan Enzim Protease Tanaman Penambahan Konsentrasi 10% 15% 20%
Pepaya 4.28b 4.32ab 5.23b
Variasi Tanaman Nanas 5.82b 5.42b 5.58b
Jahe 3.83a 4.83a 5.68a
Keterangan : a,b,c,d Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata ( P<0,05) berdasarkan uji Wilcoxon.
perbandingan perbedaan tekstur antar daging sapi yang dihasilkan, diketahui bahwa panelis memberikan penilaian berbeda pada tekstur daging sapi dengan penambahan buah nanas 10%karena nilai p <0,05 dan tingkat rata-rata kesukaan sebesar 5,82. Adapun ranking kelompok untuk setiap variasi penambahan enzim protease tanaman berdasarkan hasil Uji Wilcoxon dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Murtini dan Qomarudin (2003) perendaman daging pada larutan enzim protease tanaman biduri berpengaruh nyata pada tekstur daging sapi. Tekstur daging berkaitan dengan tingkat keempukan. Keempukan adalah salah satu yang paling penting dari tekstur daging dan merupakan atribut yang mempengaruhi persepsi daging sapi oleh konsumen (Aurelia dkk, 2006). Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek yaitu kemudahan awal penetrasi gigi ke dalam daging, mudahnya daging dikunyah menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan (Soeparno, 2005). Variasi keempukan dipengaruhi oleh pemasakan yaitu tergantung waktu dan temperatur pemasakan. Lama pemasakan akan mempengaruhi kelunakan kolagen, sedangkan temperatur pemasakan lebih mempengaruhi kealotan miofibril. Dengan adanya penambahan enzim protease tanaman menghidrolisis kolagen daging sehingga bentuknya menjadi kendur dan daging akan lebih cepat
empuk (Soeparno, 2005). Tingkat aktivitas enzim mempengaruhi kerja enzim. Enzim bromelin memiliki tingkat kereaktifan lebih tinggi dari pada enzim papain dan enzim proteae thiol yaitu 80 unit/gram sedangkan papain 50 unit/gram dan protease thiol 45 unit/gram (Lawrie, 2003). Sehingga berdasarkan percobaan yang telah dilakukan daging dengan penambahan nanas lebih empuk dari pada daging dengan penambahan buah pepaya dan rimpang jahe. SIMPULAN 1. Susut masak tertinggi yaitu daging sapi dengan penambahan buah nanas 20% 2. Atribut mutu rasa yang banyak di sukai yaitu rasa daging dengan penambahan buah nanas 10%. 3. Atribut mutu tekstur yang banyak disukai yaitu tekstur daging dengan penambahan buah nanas 10%. 4. Atribut mutu warna yang banyak disukai yaitu warna daging dengan penambahan buah pepaya 20%. DAFTAR PUSTAKA Aberle, E.D., et al.,. 2001. Principle of Meat Science. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. Volume 1. 39 - 44. Astawan Made. 2004. Mengapa Kita Perlu Makan Daging. Web-site:
Http://www.gizi.net/cgi-
132 | Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik
ISSN 1978 - 3000
bin/berita/fullnews.com.
Diakses
Tanggal 2 Oktober 2010. Aurelia, I., I. Aprodu, G. Pascaru. 2008. Effect Of Papain And Bromelin On Muscle And Collagen Protein In Beef Meat. 6 : 9-16. Anonim. 2005. Penggunaan Enzim Untuk Pengempukan Daging. Web-site : http://www.poultryindonesia.com. Diakses Tanggal 2 Oktober 2010 Badan Standarisasi Nasional. 2008. Standar Nasinal Indonesia Mutu Karkas dan Daging Sapi. 3932. Jakarta Budiman, A dan S. Styawan. 2009. Pengaruh Konsentrasi Substrat, Lama Inkubasi dan pH dalam Proses Isolasi Enzim Xylanase dengan Menggunakan Media Jerami Padi. Laporan Penelitian. Universitas Diponegoro. Semarang. Cahyani. 2010. Manfaat Pepaya. Web-site http://www.medicalera.com. Diakses tanggal 5 Agustus 2011. Daftar Komposisi Bahan Makanan Widiya Pangan dan Gizi. 2004 deMan, J. 1997. Kimia Makanan Penerjemah: Kosasih P. Intitut Teknologi Bandung. Terjemahan dai Princiles of Food Chemistry. Dhiah, P. 2010. Pengaruh Penambahan Buah Nanas dan Lama Pemasakan yang Berbeda Terhadap Kualitas Daging Itik Afkir. Fakultas Pertanian. Uversitas Sebelas Maret. Surakarta Esti. 2002. Pengawetan dan Bahan Kimia. Web-site: http://www.warintek. ristek.go.id. Diakses tanggal 1 November 2010. Grace. 1995. Mempelajari Pengaruh Penambahan Enzim Papain secara Ante-Mortem Terhadap Sifat Fisik Kimia Daging Kambing Tua Jantan. Intitut Pertanian Bogor. Bogor. Hanum, Y. S. 1998. Penilaian Indrawi. Universitas Sriwijaya Indralaya.
Hasanah, E. 2005. Pengaruh Penambahan Antioksidan Terhadap Aktivitas Proteolitik Enzim Papain. Intitut Pertanian Bogor. Bogor. Indah, M. 2004. Enzim. Universitas Sumatra Utara. Medan. Istika D.. 2009. Pemanfaatan Enzim Brolin Pada Limbah Kulit Nanas Dalam Pengempukan Daging. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Lingkungan Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Kartika, 1988. Penambahan Ekstrak Ampas Nanas Sebagai Medium Campuran Pada Pembuatan Nata De Cashew. Balai Penelitian Tanaman Obat Dan Aromatik. NTT Komariah, I. Arief, Y. Wiguna. 2004. Kualitas Fisik dan Mikroba Daging Sapi yang Ditambah Jahe Pada Konsetrasi dan Lama Penyimpanan yang Berbeda. Media Perternakan Agustus 2004. Vol.27 (2) :46-54. Komariah dan Sirajudin. 2006. Aneka olahan Daging Sapi. Agromedia Pustaka. Jakarta. Koswara dan Sutrisno. 2003. Tepung Getah Pepaya Pengempuk Daging, diakses dari Ebokkpangan.com, Oktober 2010. Kristianto, Y. 2005. Panduan Penelitian Pangan dan Gizi. Politeknik Kesehatan Malang. Malang. Kusmiadi. 2007. Petunjuk Pengujian Oraganoleptik. Web-site : http://smsrtsains.blogspot.com. Diakses Tanggal 20 Oktober 2010. Lawrie, R.A. 2003. Meat Science. Edisi Ke5. Penerjemah : A. Perakasi. UI press. Jakarta. Lee, Y. B., D.J. Sehnert and C. R. Ashmore. 1994. Tenderization of Meat With Ginger Rhizome. J. Food Sci. 51 (16): 1558-1559.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
133
ISSN 1978 - 3000 Mgmc. 2009. Nanas. Web-site: http://miskal-mgmc.blogspot.com/. Diakses: Tanggal 07 April 2011. Moehd. 2008. Pengolahan Pepaya. Agromedia Pustaka. Jakarta. Muchtadi, T.R dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Murhamanto. 2008. Budi Daya, Pengolahan, Perdagangan Jahe. Swadaya. Jakarta. Murniarti, E. 2006. Sang Nanas Bersisik Manis di Lidah. Surabaya Intellectual Club. Surabaya. Murtini dan Qomarudin. 2003. Pengempukan Daging Dengan Enzim Protease Tanaman Biduri. Jurnal Teknol dan Industri Pangan. XIV (3) : 226-268 Pudjirahaju, dkk. 2004. Paket Modul Dan Penuntun Praktek ITP. Poltekkes Malang. Malang Pudjirahaju, A. 2001. Diklat ITP, Penilaian Kualitas Makanan Secara Organoleptik. Malang. Purwantoro. 2007. Pepaya.Web-site: http: www//ristek.go.id. Diakses tanggal 10 November 2010. Puspa, C. 2007. Pemanfaatan Enzim Papain Dalam Proses Pengempukan Daging. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor Rahayu, S. 2004. Karakteristik Biokimiawi Enzim Termostabil Penghidrolisis Kitin. Makalah. Pengantar Falsafah Sains (PPS 702). Sekolah Pasca Sarjana Program Doktor. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Renald. 2010. Kecepatan Reaksi Hidrolisis Amilum oleh Enzim Amilase. Website: http://www.scribd.com. Diakses: Tanggal 28 Juli 2011.
Rukmana. 1995. Budidaya Nanas. Dinamika Media. Jakarta. Sabariyyah, P.N. 2005. Pengaruh Teknik Penambahan Enzim Papain Terhadap Kecemaran Protein. Intitut Pertanian Bogor. Bogor. Sarashwati, G T. 1995. Mempelajari Pengaruh Enzim Papain Secara Ante-Mortem Terhadap Sifat Fisiko Kimia Daging Kambing Tua Jantan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Bogor. Sembiring dan Sudino. 2006. Biologi Untuk Kelas XII. Sunda Kelapa Pustaka. Jakarta. Shiddieqy, M. I. 2005. Daun Pepaya Pelarut Protein Pengempuk Daging. Web-site: http ://www.pikiranrakyat.com/cakrawa la.htm. Tanggal akses 5 Oktober 2010. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke-4. Gajah Mada University press. Yogyakarta. Soewarno dan Soekanto. 1981. Penilaian Organoleptik, untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. PUSBANGTEPA / Food Technology Development Center, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sugiran, G. 2007. Efek Pengolahan Terhadap Zat Gizi Pangan. Website: http://www.blogger.com/feeds. Diakses Tanggal 6 Oktober 2010. Sugiyono. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta . Bandung. Sullivan, C. 2007. Adding Enzymes to Improve Beef Tenderness. Web-site: http://www.beefresearch.org. Diakses Tanggal 1 November 2010. Suwarno. 2006. Panduan Pembelajaran Biologi Untuk SMA Dan MA. Website: http://www.kiva.orgwww.kiva.org. Diakses Tanggal 1 November 2010. Tabrany, H. 2006. Getah Pepaya Dalam Bentuk Crude Papain. Web-site :
134 | Pengaruh Penambahan Enzim Protease Tanaman Terhadap Sifat Fisik
ISSN 1978 - 3000
http://tumoutou.net/3_se 1/herman_t.htm. Tanggal Akses 10 November 2010. Tarwatjo, S. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. PT Gasindo. Jakarta. Velonso, S.A. 2010. Pengaruh Enzim Papain Pada Level dan Lama Pemeraman yang Berbeda Terhadap pH dan Cooking Loss Daging Bicep Femoris Sapi Bali Jantan. Skripsi.Universitas Indinesia. Jakarta. Wales. 2010. Enzim. Web-site: http://id.wikipedia.org/wiki/enzim. Diakses Tanggal 5 November 2010. Wales. 2010. Bromelin. Web-site: http://id.wikipedia.org/wiki/enzim. Diakses Tanggal 5 November 2010. Wales. 2010. Nanas. Web-site: http://id.wikipedia.org/wiki/enzim. Diakses Tanggal 5 November 2010.
Wales. 2010. Daging Sapi. Web-site: http://id.wikipedia.org/wiki/enzim. Diakses Tanggal 5 November 2010. Wijayandi. 2003. Penguji Kesukaan Secara Organoleptik. Diakses dari http//125.17.21/speedyarari/view.ph p.februari 2010 Winarno, F.G. 1986. Enzim Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. M-Brio Press. Bogor. Yudistra. 2005. Mengenali Daging Sehat. Web-site: http://www.balispot.co.id. Diakses Tanggal 20 Oktober 2010. Yunaida.1998. Uji Organoleptik. Web-site
http://www.scribd.com/doc/5826456 2/Jenis-Uji-Organoleptik. Diakses Tanggal
15
Oktober
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
2010.
135
ISSN 1978 - 3000
Peforman Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas sebagai Pengganti Sebagian Bungkil Kedelai dalam Ransum Meat Chicken Production Performance by Using Cotton Seed Cake as Substitution of Part of Soybean Cake in Ration Eli Sahara, Sofia Sandi, dan Muhakka Staf Pengajar Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Palembang-Prabumulih Km. 32 Indralaya, Ogan Ilir Kode Pos 30662. Email
[email protected]
ABSTRACT The aim of this research was to know the effect of using cottonseed cake as a substitution part of soybean cake on boriler growth performance. The study used 2 week-old broiler. The treatments of the research were using cottonseed cake 0% (R0), 6% (R1), 12% (R2), and 18%(R3) with Completely Randomized Design (CRD) and each treatment was replicated 4 times. Each treatment contained 6 broilers. The result of the research showed that cottonseed cake was significantly different effect on ration consumption, body weight gain, and rantion convertion. The best result was indicated by R2. It could be concluded that using cottonseed cake as substitution of soybean cake was 12%. Kata Kunci: Cotton seed cake, soybean cake, ration, broiler
ABSTRAK Meningkatnya harga ransum, mengharuskan kita mencari bahan alternatif lain yang harganya lebih murah, salah satunya adalah penggunaan bungkil biji kapas (BBK). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan BBK sebagai pengganti sebagian bungkil kedelai terhadap pertumbuhan ayam broiler. Penelitian ini menggunakan ayam broiler umur dua minggu. Ransum perlakuan yang digunakan terdiri dari 4 tingkat penggunaan BBK sebagai pengganti bungkil kedelai yakni R0 (0%), R1(6%), R2 (12%) dan R3 (18%). Rancangan yang digunakan adalah RAL (Rancangan Acak Kelompok) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 4 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 6 ekor ayam dengan menggunakan kandang koloni. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada berbagai perlakuan penggunaan BBK berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan (PBB) dan konvesi ransum terbaik diperoleh pada perlakuan R2. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan BBK sebagai pengganti bungkil kedelai terbaik diperoleh pada tingkat 12%. Kata Kunci: bungkil biji kapas, bungkil kedelai , ransum, ayam broiler
PENDAHULUAN Perkembangan penduduk di Indonesia saat ini tidak dapat diimbangi oleh kenaikan produksi ternak, khususnya ternak besar. Perkembangan ternak sapid an kerbau sangat kecil. Dengan alas an tersebut sector perunggasan terutama ayam broiler mendapat prioritas utama untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Dalam hubungan ini ayam broiler
merupakan pilihan yang tepat mengingat sifat-sifat keunggulannya, yaitu tidak memerlukan tempat yang luas dalam pemeliharaannya, bergizi tinggi, pertumbuhan yang cepat dan cepat mencapai berat jual dengan bobot badan yang tinggi, yaitu bobot hidup rata-rata antara 1,5 - 2,0 kg pada umur 6-7 minggu (Murtidjo, 1994) Peningkatan produksi ternak ditentukan pada sistim pemeliharaan terutama dalam mutu pakan. Biaya pakan menyerap hamper 60-70% dari
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
137
ISSN 1978 - 3000 seluruh biaya produksi. Belum lagi ditambahn dengan adanya lonjakan harga pakan yang sering meningkat. Lonjakan harga pakan tentunya disebabkan oleh semakin tingginya harga bahan baku pakan ayam yangh sering digunakan selama ini banyak bersaing dengan kebutuhan pangan manusia. Oleh karena itu banyak para ahli nutrisi yang berusaha mencari alternative bahan baku pakan yang mempunyai nilai gizi yang relative sama tetapi harganya murah dan yang tidak bersaing dengan kebutuhan pangan manusia. Salah satunya adalah bungkil biji kapas (BBK). Bungkil biji kapas adalah bahan ikutan penggilingan minyak kapas yang mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi, tidak bersaing dengan kebutuhan pangan manusia dan harganya relative murah sebagai bahan campuran pakan. Tanaman kapas di Indonesia banyak ditanam terutama di daerah Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan prospek tanaman kapas di Indonesia masih cerah karena permintaan akan sandang terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan dan peningkatan pendapatan rakyat. Tanaman kapas ditanam terutama untuk mendapatkan kapas yang akan diolah menjadi tekstil, haasil ikutannya berupa biji kapas. Sebagai hasil sampingan biji kapas setelah diambil minyaknya untuk keperluan industry makanan dan komestika adalah berupa bungkil biji kapas. Sangat disayangkan selama ini bungkil biji kapas belum banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak, hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan tentang bungkil biji kapas sebagai pakan Mternak. Sebagai pakan ternak bungkil biji kapas mempunyai nutrisi yang cukup tinggi, terutama kandungan proteinnya. Kandungj gizi darai biji kapas adalah
Protein 19,4%, lemak 19,5%, asam lemak linoleat47,8%, asam lemak palmitat 23,4% dan asam lemak oleat 22,9%. (warrintekmentri Negara Riset dan Teknologi, 2012). Sehingga memungkinkan digunakan sebagai pengganti tepung kedelai dan kacang tanah dalam pakan ternak. Faktor yang menjadi kendala dalam penggunaan bungkil biji kappa sebagai campuran pakan adalah serat kasarnya tinggi, palatabilitas rendah dan adanya zat anti nutrisi (gossypol). Gosipol adalah senyawa pigmen poliphenolat kuning yang ditemukan dalam bagian berminyak biji kapas (Fapet IPB, 2012). Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan beberapa cara antara lain dengan penambahan FeSO4 dalam ransum atau diberikan perlakuan pemanasan. Penambahan besi dengan perbandingan 1:1 dengan gosipol bebas, dapat meningkatkan taraf penggunaan bungkil biji kapas dalam ransum broiler atau layer (Amrullah, 2004) Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bungkil biji kapas dapat dimanfaatkan dalam ransum ayam broiler periode finisher sampai 15%. Akan tetapi sampai saat ini belum ada laporan tentang kemampuan dari bungkil biji kapas untuk dapat menggantikan bungkil kedelai dalam ransum ayam broiler. Tanaman kapas merupakan tanaman yang akan dimanfaatkan kapasnya yang akan diolah menjadi tekstil, sehingga tanaman ini setiap tahunnya akan meningkat. Sejalan dengan peningkatan produksi tanaman kapas, produksi bungkil biji kapas turut meningkat pula, hal ini dapat dilihat dari produksi kapas menghasilkan biji kapas 2/3 dari beratnya, sedang serabut hanya 1/3 nya. Bungkil ini merupakan bahan pakan ternak yang dapat menyumbangkan protein dan energy yang dibutuhkan oleh ternak.
138 | Peforman Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas
ISSN 1978 - 3000 Berdasarkan bahan keringnya, bungkil biji kapas mempunyai kandungan protein kasar 40-41% dan energy metabolis 18202100 kkal/kg. Berdasarkan hal dikemukakan diatas maka dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh penggunaan bungkil biji kapas sebagai pengganti sebagian bungkil kedelai dalam ransum terhadap pertumbuhan ayam broiler. METODE PENELITIAN Sebanyak 96 ekor ayam broiler galur hubbard yang berumur 2 minggu ditempatkan secara acak dalam kandang koloni. Tiao unit kandang ditempati 6 ekor ayam. Ransum perlakuan yang diberikan selama penelitian terdiri dari 4 tingkat penggunaan bungkil biji kapas sebagai pengganti kedelai dalam ransum yakni R-0(0%R-1(6%), R-2 (12%) dan R3(18%). Bahan makanan penyusun ransum terdiri dari jagung, bungkil biji kapas (BBK), dedak halus, bungkil kelapa, bungkil kedelai, tepung ikan, minyak kelapa dan premix A. Susunan bahan penyusun ransum dan kandungan nutrisi setiap perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 1. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) menggunakan 4 tingkat penggunaan bungkil biji kapas dalam ransum sebagai perlakuan yakni R-0(0%R-1(6%), R-2 (12%) dan R-3(18%), 4 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 6 ekor ayam broiler. Awal penelitian dimulai dengan penimbangan 96 ekor ayam broiler umur 2 minggu untuk mengetahui bobot badan awal, kemudian diletakkan ke dalam kandang secara acak. Konsumsi ransum dihitung sekali seminggu, demikian juga penimbangan bobot badan dan jumlah konsumsi bahan kering Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan mutlak, pertambahan bobot badan relative dan konversi ran sum. Pertambahan bobot badan mutlak diperoleh dengan cara mencari selisih bobot badan akhir dengan bobot badan awal pada periode yang sama dan pertambahan bobot badan relative diperoleh perbandingan antara pertambahan bobot badan mutlak dengan bobot badan awal pa da periode waktu yang sama. Sedangkan konversi ransum adalah perbandingan banyaknya
Tabel 1. Susunan ransum dan kandungan zat nutrisi masing-masaing perlakuan Bahan Ransum Jagung giling Dedak halus Bungkil kelapa Bungkil kedelai Bungkil biji kapas Tepung ikan Minyak kelapa Premix A Total Kandungan Nutrisi ransum Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak (%) Kalsium (Ca) Phospor (P) ME kkal/kg
Perlakuan R-0 40,00 6,00 7,00 25,00 0 20,00 1,50 0,50 100
R-1 40,00 6,00 7,00 19,00 6,00 20,00 1,50 0,50 100
R-2 40,00 6,00 7,00 13,00 12,00 20,00 1,50 0,50 100
R-3 40,00 6,00 7,00 7,00 18,00 20,00 1,50 0,50 100
23,77 6,11 5,78 1,20 0,80 2874,28
23,98 6,48 5,65 1,18 0,79 2849,08
24,19 6,85 5,25 1,16 0,78 2823,88
24,40 7,22 5,39 1,14 0,77 2798,68
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
139
ISSN 1978 - 3000 makanan yang dikonsumsi dengan kenaikan bobot badan ternak. Data penelitian dianalisis ragam dan diuji lebih lanjut dengan uji jarak berganda Duncan (Steel and Torrie, 1991)
lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi ransum pada tigkat penggantian 0% (R-0), 6% (R-1) dan 12% (R-2), sedangkan tingkat pemberian 0% (R-0), 6% (R-1) dan 12% (R-2) tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum. Dari hasil tersebut berarti bahwa penggunaan bungkil biji kapas nyata menurunkan konsumsi ransum, semakin tinggi penggunaan bungkil biji kapas, menunjukkan konsumsi ransum nyata semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan BBK dapat menurunkan selera makan pada ayam, sehingga konsumsi ransum juga akan menurun. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi penggunaan BBK di dalam ransum, maka serat kasarnya semakin tinggi sehingga akan mempengaruhi konsumsi ransum. Hal ini sesuai pendapat Anggorodi (1985) bahwa serat kasar untuk ayam broiler masa pertumbuhan sebesar 4-6%. Antara perlakuan R-0, R-1 dan R-2 tidakj berbeda nyata (P>0,05), hal ini berarti bahwa penggunaan BBK pada tingkat 6-12% jumlah ransum yang dikonsumsi relative sama. Hal ini disebabkan kandungan protein dan energy tidak jauh berbeda sehingga keadaan seperti ini tidak mempengaruhi konsumsi ransum.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rata-rata konsumsi ransum, pertambahan bobot badan mutlak, pertambahan bobot badan relative dan konversi ransum dapat dilihat pada tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa level pemberian bungkil biji kapas dalam ransum sebagai pengganti sebagian bungkil kedelai memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum, bobot badan mutlak, bobot badan relative dan konversi ransum. Rataan konsumsi ransum per ekor per hari pada tingkat penggantian bungkil kedelai dengan tepung bungkil biji kapas 0% (R-0), 6% (R-1), 12% (R-2) dan 18% (R-3) masing-masing sebesar 85,06 g, 85,39, 84,45 dan 81,65 g. Hasil analisis statistic menunjukkan bahwa konsumsi ransum pada tingkat pemberian 18% (R3) sangat nyata (P<0,01)
Tabel 2. Rata-rata konsumsi ransum, pertambahan bobot badan mutlak, pertambahan bobot badan relative dan konversi ransum Perlakuan
R0
Konsumsi Ransum
PBB Mutlak
PBB Relatif
(gram/ekor/hari)
(gram/ekor/hari))
(%/ekor/hari)
85,06A
51,23A
21,08A
85,39A
52,10
21,44A
84,45A
53,45B
21,98A
81,65B
41,19C
16,96B
Konversi Ransum
1,66aA R1 1,63a R2 1,57bB R3 1,97C Keterangan: * nilai yang diikuti dengan huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda sangat nyata (P<0,01) *nilai yang diikuti dengan huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (0,05)
140 | Peforman Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas
ISSN 1978 - 3000 Jumlah ransum yang dikonsumsi serta nilai gizi ransum akan mempengaruhi pertambahan bobot badan . Hasil analiis ragam menunjukkan bahwa pada berbagai perlakuan penggunaan BBK memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap PBB mutlak dan relative. Hasil uji jarak berganda Duncan diketahui bahwa pertambahan bobot badan mutlak tidak berbeda nyata (P>0,05) antara perlakuan R1 dan R2, berbeda nyata (P<0,01) R0 lebih kecil dari R2 dan berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih kecil R3 dari R0, R1 dan R2. Sedangkan pertambahan bobot badan relative tidak berbeda nyata (P>0,05) antara perlakuan R0, R1 dan R2 dan berbeda sangat nyata (P<0,05) lebih kecil R3 dari R0, R1 dan R2. Hal ini berarti penggunaan BBK sampai dengan tingkat 12% tidak menurunkan pertambahan bobot badan, pertambahan bobot badan yang terbaik diperoleh pada penggunaan BBK pada tingkat 12%. Pertambahan bobot badan nyata (P<0,05) menurun bila poenggantian bungkil kedelai dengan BBK sampai 18%. Hal ini disebabkan karena perlakuan R3 konsumsi ransum yang paling rendah sehingga zat-zat makanan yang masuk kedalam tubuh juga akan menurun dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Kecuali itu imbangan protein dan energy pada perlakuan R3 menurun mencapai 1 : 114,7. Menurut Murtidjo (1994), bahwa imbangan protein dan energy untuk ayam broiler fase awal sebesar 1 : 132 dan fase akhir sebesar 1: 160. Kecilnya imbangan ini diesebabkan oleh kandungan protein pada perlakuan R3 adalah yang paling tinggi, sementara kandungan energy paling rendah dan serat kasarnya paling tinggi, sehingga pemanfaatan zat-zat makanan lebih sedikit. Hal ini sesuai pendapat Ensminger at al (1990) bahwa
pertumbuhan unggas ditentukan oleh kandungan protein, energy dan imbangan zat-zat makanan lainnya dari ransum yang dikonsumsi. Menurut Leeson and Summer (2001) pertumbuhan berat badan broiler mencapai 397 gram/ekor/mg dengan kebutuhan konsumsi 728 gram/ekor/mg selama umur 1-7 minggu. Kecuali itu hal yang mempengaruhi pertumbuhan broiler menurut Amrullah (2004) adalah kepadatan ransum broiler dimana ayam yang diberi ransum dengan pakan yang berkepadatan lebih rendah akan tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan ransum dengan kepadatan yang lebih tinggi. Hasil analisis ragam konversi ransum menunjukkan bahwa pada berbagai perlakuan penggunaan BBK berpengaruh sangat nyata (P<0,01). Hasil uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa konversi ransum pada perlakuan R2 nyata (P<0,05) lebih kecil dibandingkan dengan konversi ransum pada perlakuan R1; konversi ransum pada perlakuan R0, R1 dan R2 sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibandingkan perlakuan R3, sedangkan antara perlakuan R0 dan R1 konversi ransum tidak berbeda nyata (P>0,05). Dari hasil tersebut berarti bahwa penggunaan BBK yang terbaik adalah perlakuan R2 yaitu sebesar 12%. Hal ini berarti tingkat penggunaan BBK di dalam ransum senmakin efisisien, sehingga konversi ransum semakin kecil. Hal ini disebabkan kualitas ransum pada perlakuan R2 semakin baik. Kanisius (2000) menyatakan bahwa konversi ransum dipengaruhi oleh kualitas ransum, semakin baik kualitas ransum maka konversi eansum yang diperoleh semakin kecil atau efisien. Semakin kecil angka konversi ransum semakin efisien ternak tersebut menggunakan ransum yang diberikan
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
141
ISSN 1978 - 3000 SIMPULAN Dari hasil penelitian dpt disimpulkan bahwa penggunaan Bungkil Biji Kapas (BBK) sebagai pengganti bungkil kedelai akan menghasilkan Pertambahan Bobot Badan (PBB), konversi ransum yang paling baik dicapai pada tingkat penggantian sebesar 12% DAFTAR PUSTAKA Amrullah IK. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi KPP IPB Baranangsiang Bogor Anggorodi,R.1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. University Indonesia Press, Jakarta apet IPB. 2012. Mengenal Beberapa Antinutrisi Pada Bahan Pakan.
http://WWW:Fapet
IPB.
(20
Pebruari 2012) Kanisius.A.A (2000).Bertanam Kapas. Kanisius. Yogyakarta Lesson S dan JD Summer. 2001. Nutrition of the chicken Fourth Ed. University Book. Gaelph. Ontario. Canada Murtidjo,BA. 1994. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius, Yogyakarta Steel RGD dan Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika.NSuatu Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa Bambang Sumantri. Jakarta: PT Gramedia Wahju,J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah mada University Press. Yogyakarta Warintek-Mentri Negara Riset dan Teknologi. 2012. Teknologi Tepat Guna. Http://WWW: IPTEKNET.id (12 Pebruari 2012)
142 | Peforman Produksi Ayam Pedaging dengan Pemanfaatan Bungkil Biji Kapas
ISSN 1978 - 3000
Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) terhadap Kualitas Karkas Ayam Broiler The Effect of Mengkudu Juice (Morinda citrifolia, L) on The Quality of Broiler Carcass Yosi Fenita, Warnoto dan A. Nopis Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Jalan WR. Supratman Kandang Limun Bengkulu email:
[email protected]
ABSTRACT The objective of this research was to evaluate the broiler carcass quality given different level of mengkudu juice. The research was conducted in The Farm Laboratory of Animal Science Department Agriculture Faculty, University Bengkulu. The treatments were P0 (as control without mengkudu juice mixed into 1 liter water), PI (25 ml mengkudu juice mixed into 1 liter water), P2 (50 ml mengkudu juice mixed into 1 liter water), P3 (75 ml mengkudu juice mixed into l liter water). The research design used was Completely Randomized Design. DMRT will be conducted in case of any significant differences among treatments. There was no significant effect of mengkudu juice diluted in water on broiler carcasss percentage and carcass portion, abdominal fat percentage, cooking loss and meat juice percentage. However the significant effect (P<0.05) appeared on meat fat and meat protein. The results showed that the effect of mengkudu juice up to 75 ml in water wasn't positive influentially yet on carcass weight percentage and carcass portion, abdominal fat percentage, cooking loss, and meat juice percentage. The positive effect wa s that meat fat decrease up to 66.52% and meat protein could decrease up to 14,86%. Key words, morinda citrifolia, quality carcass, broiler
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kualitas karkas ayam broiler yang diberi air buah mengkudu dengan berbagai level pemberian di dalam air minum. Penelitian dilaksanakan di kandang unggas Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Perlakuan air mengkudu adalah P0 (kontrol tanpa pemberian air buah mengkudu), PI (25 ml air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum), P2 (50 ml air buah mengkudu di dalam 1liter air minum), dan P3 (75 ml air buah mengkudu di dalam1 liter air minum).cPenelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) kalau berbeda diuji lanjut Duncan's Multiple Range Test (DMRT). Perlakuan pemberian air buah mengkudu berpengaruh tidak nyata (P > 0,05) terhadap terhadap persentase berat karkas dan bagian karkas, persentase lemak abdomen, susut masak, dan kadar air daging, namun berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap kadar lemak daging dan kadar protein daging. Penelitian ini menunjukkan pemberian air buah mengkudu sampai level 75 ml di dalam air minum belum memberikan pengaruh positif terhadap persentase berat karkas dan bagian karkas, persentase lemak abdomen, susut masak, dan kadar air daging, namun berpengaruh positif terhadap variabel kadar lemak daging yang mampu menurunkan kadar lemak daging sampai 66,52% terhadap kontrol, demikian juga terhadap kadar protein daging yang mampu meningkatkan kadar protein daging sampai 14,86% terhadap kontrol. Kata kunci : morinda citrifolia, kualitas karkas, broiler
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
143
ISSN 1978 - 3000 PENDAHULUAN Produsen ayam broiler dewasa ini dituntut untuk menghasilkan ayam broiler dengan kualitas karkas yang baik. Hal ini berhubungan dengan selera konsumen yang cenderung mengkonsumsi daging dengan kadar lemak rendah, untuk menghindari pengaruh negatif lemak seperti timbulnya bermacam penyakit diantaranya kegemukan, diabetes, hiperlipida, jantung koroner dan lain-lain (Wijayakusuma et al., 1996). Hal senada diungkapkan Fenita (2011) bahwa kandungan lemak yang tinggi dapat mendorong timbulnya kegemukan (obesitas) dan gangguan penyakit jantung (arthery schlerosis). Laporan lain menyatakan kandungan lemak yang tinggi pada daging bila dikonsumsi dapat berdampak negatif terhadap kesehatan, terutama penyakit jantung koroner dan penyempitan pembuluh darah (Santoso, 1998). Buah mengkudu (Morinda citrifolia L) merupakan salah satu tanaman obat yang berkhasiat dapat mengobati berbagai penyakit seperti darah tinggi, jantung, obesitas, dan lain-lain. Penggunaan mengkudu pada manusia sudah sangat populer untuk mengobati berbagai penyakit dalam bentuk jus mengkudu. Buah mengkudu mengandung alkaloid triterpenoid yang berfungsi mengatasi darah tinggi dan kegemukan (Fenita et al 2008). Berdasarkan hal tersebut, maka kemungkinan buah mengkudu dapat menurunkan kadar lemak pada ternak. Khasiat jus akan tampak bila diminum rutin dengan dosis 100 ml satu jam sebelum makan, supaya dapat secara cepat melewati lambung dan masuk ke usus halus untuk menghasilkan xeronine yang berguna memperbaiki sel yang rusak (Posman, 2001). Dengan demikian buah mengkudu dapat meningkatkan efisiensi metabolisme. 144 | Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu
Berdasarkan pengalaman pada manusia tersebut diharapkan uji coba pada ayam broiler nantinya akan berpengaruh positif pada ayam broiler dengan kandungan lemak yang lebih rendah. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian air buah mengkudu terhadap persentase berat karkas, lemak abdomen, susut masak, kadar air daging, kadar lemak daging, dan kadar protein daging ayam broiler. MATERI DAN METODE Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang sistem postal yang diberi sekat, dengan setiap petak disediakan tempat pakan dan tempat minum. Petak-petak kandang tersebut berukuran 50 x 80 x 60 cm sebanyak 16 petak kandang. Untuk air mengkudu didapatkan dari buah mengkudu yang telah matang dicuci lalu dihancurkan dengan blender, kemudian diperas untuk diambil airnya atau sarinya dengan cara disaring menggunakan kain kasa. Anak ayam yang digunakan adalah ayam broiler strain platinum. Ayam dipisahkan secara acak ke dalam petak kandang litter dan setiap petak diisi 4 ekor ayam. Ayam umur 3 hari dan 21 hari divaksin ND (Newcastle Disease). Pada umur 4 hari sampai 42 hari ayam dipelihara dengan ransum yang disusun sendiri berdasarkan imbangan energi dan protein NRC (1994) yaitu pada masa starter (1 sampai 3 minggu) terlihat pada tabel 2 dengan protein 23% dan energi 3200 kkal dan pada masa grower (4 sampai 6 minggu) seperti yang terlihat pada tabel 3, dengan protein 20% dan energi 3200 kkal. Ransum dan air minum diberikan ad libitum Bahan pakan penyusun ransum yang digunakan sebagai berikut (Tabel 1).
ISSN 1978 - 3000 Tabel 1. Komposisi zat-zat makanan bahan penyusun ransum (%). Bahan Makanan Jagung Kuning Dedak Halus Bungkil Kedelai Tepung Ikan Tepung Tulang Mineral Suplemen Minyak Bimoli
Protein
Lemak
Serat Kasar
Kalsium
Phospor
9,27a 13,81a 45,28a 58,75a -
3,77a 9,85a 1,33a 4,81a 99d
3,77a 9,85a 1,33a 4,81a 99d
0,06a 0,1a 0,9a 5,55a 24b 32,5°
0,29a 1,94a 0,89a 3,38a 6b 10c
ME (kkal/kg) 3.370b 1.630b 2.240b 2.830b
9000d
Keterangan: (a) Fenita (2008) (b) Anggorodi (1985). (c) Medion, (2002) Jakarta. (d) Intiboga sejahtera, (2002) Jakarta.
Tabel 2. Formulasi ransum penelitian fase starter yaitu : 0 - 3 minggu (%). Bahan Makanan Jagung kuning Dedak Halus Bungkil Kedelai Tepung Ikan Tepung Tulang Mineral Suplemen Minyak Bimoli Total
Jumlah
Protein
Lemak
SK
Ca
P
ME (kkal/kg)
55.5 5.0 20,0 14,0 0,5 0,5 4,5
5,14 0,69 9,06 8,23 -
2,09 0,49 0,27 0,67 4,46
1,57 0,27 0,62 0,15 -
0,03 0,01 0,08 0,78 0,12 0,16 -
0,16 0,10 0,18 0,47 0,03 0,05 -
1.870,35 81,50 448,00 396,20 405,00
100
23,12
7,98
2,61
1,18
0,99
3.000,05
Tabel 3. Formulasi ransum penelitian fase grower yaitu : 3 - 6 minggu (%). Bahan Makanan Jagung kuning Dedak Halus Bungkil Kedelai Tepung Ikan Tepung Tulang Mineral Suplemen Minyak Bimoli Total
Jumlah
Protein
60.0 7.0 19,5 8.0 0,5 0,5 4,5 100
5,56 0,97 8,83 4,70
Lemak
SK
Ca
P
ME (kkal/kg)
2,26 0,69 0,26 0,38
1,69 0,38 0,61 0,09
0,04 0,01 0,08 0,44 0,12 0,16
0,17 0,14 0,17 0,27 0,03 0,05
2.022,00 114,10 436,80 226,40
20,06
Penelitian ini bersifat eksploratif dari penelitian yang dilakukan pada manusia dengan dosis 300 ml/hari, dengan asumsi berat badan manusia 50 kg dikonversikan dengan asumsi berat broiler 1,5 kg diperoleh dosis 9 ml/ hari untuk ayam broiler atau 6% dan konsumsi air minum ayam broiler pada umur 6 minggu yaitu 160 ml/ hari . Berdasarkan perhitungan diatas maka perlakuan yang diberikan sebagai berikut:
4.46 8,05
2,77
0,85
0,83
405.00 3,204,30
P0 : 0 ml air buah mengkudu dalam 1 liter air. P 1: 25 ml air buah mengkudu dalam 1 liter air. P2: 50 ml air buah menkudu dalam 1 liter air. P3: 75 ml air buah mengkudu dalam 1 liter air. Data yang diperoleh, dianalisis dengan menggunakan sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan dilakukan uji lanjut
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
145
ISSN 1978 - 3000 dengan DMRT (Duncan's Multiple Range Test) (Yitnosumarto, 1991). Variabel Yang Diamati 1. Persentase Berat Karkas. Berat karkas adalah berat broiler setelah dipotong, dibului, dikurangi dengan kepala, leher, kaki dan seluruh bagian organ dalam. Persentase berat karkas merupakan perbandingan berat karkas dengan berat hidup dikali seratus persen. 2. Persentase Lemak Abdominal. Pengukuran lemak abdomen diperoleh dengan menimbang lemak di rongga perut dari dasar kloaka hingga bagian yang melekat pada gizzard, kemudian lemak ditimbang dan dipersentase dengan berat hidup. 3. Susut Masak (CookingLoss). Cooking loss diperoleh dari daging bagian dada yang dipanaskan selama 20 menit pada suhu 800C, kemudian dihitung dengan mengurangkan berat sebelum dikukus dengan berat setelah dikukus dibagi berat sebelum dikukus dikalikan seratus persen. 4 Kadar Air Daging. Kadar air diperoleh dari sampel dengan cara menimbang sampel lalu dipanaskan dalam oven pada temperatur 105°C. Pemanasan berjalan hingga sampel tidak lagi turun beratnya. Setelah pemanasan sampel daging disebut sampel bahan kering dan pengurangannya dengan sampel daging disebut persen air atau kadar airnya. 5. Kadar Lemak Daging. Kadar lemak daging diperoleh dari analisis Proksimat di laboratorium dengan mengambil bagian dada sebagai sampel untuk memperoleh kadar lemak daging dari karkas ayam broiler hasil penelitian. Kadar lemak daging diperoleh dari sampel daging bebas air diekstrasi dengan dietil eter selama beberapa jam, maka bahan yang didapat adalah lemak, dan eter akan menguap.
146 | Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu
6. Kadar Protein Daging. Analisis proksimat untuk memperoleh kadar protein dengan cara menganalisis sampel bebas lemak dengan alat Kjeldahl. Analisis ini menggunakan asam sulfat dengan suatu katalisator dan pemanasan. Zat organik dari sampel lalu dioksidasi oleh asam sulfat tadi dan nitrogen dirubah ke dalam amonium sulfat. Sedangkan kelebihan asam sulfat akan dinetralisir oleh NaOH dan sampai larutan menjadi basa. Dari amonium sulfat tadi lalu didestilasi dalam medium asam untuk mendapatkan nitrogen secara kuantitatip. Karena protein rata-rata mengandung 16% Nitrogen, maka faktor 100%/16% = 6,25 harus dipakai untuk mendapatkan nilai protein kasar (protein kasar = N% x 6,25). HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Persentase Berat karkas dan Bagian Karkas Pengaruh pemberian air buah mengkudu terhadap persentase berat karkas dan bagian karkas dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian air buah mengkudu berpengaruh tidak nyata terhadap persentase berat karkas (P>0,05). Hal ini menunjukkan pemberian air buah mengkudu sampai taraf 75 ml di dalam 1 liter air minum belum memperbaiki persentase berat karkas ayam broiler. Persentase karkas pada penilitian ini berkisar 58,04%– 60,08%, kisaran ini jauh dari pendapat yang dikemukakan oleh Winarno (1993), bahwa persentase berat karkas berkisar antara 65% - 75% dari berat hidup. Hal ini diduga karena pengaruh pakan yang belum dapat memenuhi kebutuhan nutrisi ayam broiler secara lengkap, dugaan ini dikarena penggunaan tepung ikan yang
ISSN 1978 - 3000 Tabel 4. Rataan persentase berat karkas dan bagian karkas Perlakuan P0 P1 P2 P3 SD P
Persentase Karkas (%) 60,08 58,32 58,04 60,36 1,99 0,28ns
Dada 29,65 27,10 28,24 28,42 2,06 0,41ns
Persentase Bagian Karkas (%) Paha Sayap Punggung 31,31 13,87 25,33 32,80 13,06 25,94 33,84 13,48 24,42 31,58 13,39 26,29 2,46 0,71 3,54 0,47ns 0,50ns 0,90ns
Keterangan ns : tidak berbeda nyata (P>0,05); SD = Sandar Dviasi ; P = Probabilitas P0 : Kontrol perlakuan P1 : 25 ml air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum P2 : 50 ml air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum P3 : 75 ml air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum
terlalu rendah yaitu tidak mencapai tingkat 10% bahan pakan, yang dibandingkan dengan penggunaan pada penelitian sebelumnya Fenita et al (2008) mencapai tingkat 13% dari campuran bahan pakan. Tepung ikan merupakan sumber asam amino esensial bagi ayam broiler. Hasil penelitian ini juga rendah jika dibandingkan dengan penelitian penggunaan tepung buah mengkudu di dalam ransum ayam broiler. Namun demikian rendahnya persentase berat karkas hasil penilitian ini tidak menunjukkan perbedaan antara perlakuan pemberian air buah mengkudu dengan kontrol perlakuan yaitu tanpa pemberian air buah mengkudu. Jika dibandingkan penggunaan tepung buah mengkudu di dalam pakan juga belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase berat karkas (Fenita, 2010). Air buah mengkudu mengandung zat-zat aktif yang bermanfaat bagi tubuh dan bekerja seperti halnya suplemen bagi ternak. Air buah mengkudu mengadung proxeronine proxexoniase yang bekerja menyediakan xeronine (Sjahbana dan Bahalwan, 2002). Xeronine berfungsi memperbaiki sel yang rusak dan bekerja pada tingkat molekuler yang diharapkan dapat memperbaiki persentase berat karkas. Namun dari percobaan yang dilakukan pemberian air buah mengkudu
sampai taraf 75 ml liter air buah mengkudu di dalam 1 liter air minum belum memberikan pengaruh yang positif terhadap persentase berat karkas. Hal ini menunjukkan dosis yang diberikan belum dapat memperbaiki persentase berat karkas ayam broiler. Persentase berat dada, paha, dan sayap antar perlakuan dan kontrol menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Menurut Soeparno (1998) genetic dan lingkungan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan komponenkomponen karkas tubuh. 2. Persentase Lemak Abdomen, Persentase Susut Masak (Cooking Loss), Kadar Air Daging, Kadar Lemak Daging dan Kadar Protein Daging Perhitungkan sidik ragam memperlihatkan perbedaan yang tidak nyata antar perlakuan terhadap persentase lemak abdomen (P>0,05), namun demikian pada perlakuan P3 menunjukkan penurunan lemak abdomen dibandingkan dengan perlakukan P0, P1, dan P2. kenyataan ini menunjukkan perlakuan pemberian air buah mengkudu menunjukkan mulai terlihat berpengaruh terhadap pesentase lemak abdomen ayam broiler pada perlakuan P3 ( 75% ml air buah mengkudu dalam 1 liter air minum).
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
147
ISSN 1978 - 3000 Penelitian sebelumnya yang menggunakan tepung buah mengkudu menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata dari kontrol dengan perlakuan terhadap penurunan lemak abdomen ayam broiler (Fenita, 2010). Penurunan persentase lemak abdomen tersebut sesuai dengan pendapat Solomon (2004) bahwa jus mengkudu sangat efektif untuk menyembuhkan kegemukan (obesitas). Di dalam air buah mengkudu mengandung zat aktif yang berperan menurunkan kadar lemak, yang bekerja memblok penyerapan kolesterol sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Zat tersebut adalah senyawa steroid yang di sebut â sitosterol. Steroid ini dalam kerjanya akan menurunkan kadar lemak abdomen. Penurunan kadar lemak abdomen ayam broiler pada peniltian ini juga dipengaruhi oleh alkaloidtriterpenoid yang terkandung di dalam air buah mengkudu. Wijayakusuma et al. (1996) menyatakan bahwa buah mengkudu mengandung alkaloidtriterpenoid yang berperan mengatasai kegemukan (obesitas). Dalam hal ini kegemukan dapat diartikan juga salah satu bentuk penumpukan lemak pada ayam broiler. Pengaruh pemberian air buah mengkudu terhadap rataan persentase susut masak terlihat pada Tabel 5. Hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara perlakuan terhadap susut masak (P>0,05), hail ini terlihat dari selisih yang sangat kecil dari setiap perlakuan mulai dari P0, P1, P2, dan P3. Secara umum pemberian air buah mengkudu belum memperlihatkan pengaruh yang baik terhadap persentase susut masak, hal ini dapat dilihat dari persentase susut masak yang belum menunjukkan penurunan dari perlakuan terhadap kontrol, namun masih dalam kisaran normal. Hasil penelitian ini masih relevan dengan
148 | Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu
pendapat Soeparno (1998) persentase susut masak bervariasi antara 1,5% sampai dengan 54% dengan kisaran 15% 40 %. Hal ini menujukkan kehilangan zat nutrisi akibat pemasakan relatif kecil. Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan pemberian air buah mengkudu pada ayam broiler tidak berpengaruh nyata (P>0,005) terhadap kadar air daging. Namun demikian hasil penilitian menunjukkan penurunan dari P0 dibandingkan perlakuan P1, P2, dan P3 masing-masing 2,5%, 2,7%, dan 4%. Semakin rendahnya kadar air daging semakin rendah pula kehilangan berat daging akibat penguapan. Penurunan kadar air daging berkorelasi positif dengan penurunan kadar lemak daging, dimana lemak tidak dapat mengikat air, maka semakin tinggi kadar lemak maka kadar air semakin rendah. Demikian juga terhadap kadar protein berkorelasi positif dengan kadar air, karena kemapuan protein mengikat air, tetapi kenyataan pada penelitian ini peningkatan kadar protein tidak diikuti dengan peningkaan kadar air, hal ini diduga yang terdapat di dalam daging adalah air bebas yang tidak terikat oleh protein. Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan pemberian air buah mengkudu berpengaruh nyata terhadap kadar lemak daging ( P<0,01). Perbedaan ini jelas sekali ditunjukkan pada setiap perlakuan, dimana dari setiap perlakuan mengalami kadar lemak daging dimulai dari P0 dengan P1 mengalami penurunan kadar lemak sebesar 32,64%, P0 dengan P2 sebesar 64,04%, dn P0 dengan P3 sebesar 66,52%. Hasil ini membuktikan pemberian air buah mengkudu mulai dari P1 sampai P3 efektif menurunkan kadar lemak daging ayam broiler. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Wijayakusuma et al. (1996) bahwa air buah mengkudu mengandung alkaloidtriterpenoid yang berfungsi mengatasi darah tinggi dan
ISSN 1978 - 3000
Tabel 5. Rataan persentase susut masak Perlakuan
P0 P1 P2 P3 SD P
Persentase Susut Masak (%) 15,45 17,09 15,78 15,78 1,61 0,52ns
Persentase Lemak Adbomen (%)
Kadar Air (%)
Kadar Lemak Daging (%)
Kadar Protein
1,26 1,51 1,26 1,03 0,16 0,23ns
72,39 70,52 70,41 69,44 1,93 0,17ns
2,42a 1,63b 0,87c 0,81c 0,74 0,0001**
20,27a 23,49b 23,16b 23,81b 1,49 0,01*
Keterangan ns = tidek berbeda nyata (P>0,05); SD = Standar Deviasi; P = Probabilitas
kegemukan. Hal ini juga telah diteliti oleh Solomon (2004), dari peniltian yang dilakukan air buah mengkudu mampu mengobati kegemukan pada manusia dengan tingkat keberhasilan 71%. Dalam hal ini zat aktif yang berperan dalam menurunkan kadar lemak daging adalah senyawa steroid yang disebut â sitosterol. Senyawa ini bekerja memblok penyerapan kolesterol sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan akhirnya menurunkan kadar lemak dalam daging. Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan pemberian air buah mengkudu pada ayam broiler berpengaruh sangat nyata terhadap kadar protein daging (P<0,01). Hal ini terlihat dari peningkatan kadar protein dan asam amino yang terkandung di dalam air buah mengkudu. Buah mengkudu mengandung asam amino seperti L-arginine, alanine, dan mengandung 19,24% protein (Sjabana dan Bahalwan, 2002). Ayam broiler membutuhkan protein untuk hidup pokok, pertumbuhan jaringan, dan pertumbuhan bulu (Wahyu, 1992). Protein diperoleh dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak dan kelebihan protein akan disimpan di dalam otot sebagai cadangan energi (Wahyu, 1992).
SIMPULAN Pemberian air buah mengkudu terhadap kualitas karkas ayam broiler sampai taraf pemberian 75 ml dalam satu liter air minum belum memperbaiki persentase berat karkas, dan susut masak, namun berpengaruh positif menurunkan persentase lemak abdomen maupun kadar lemak daging. Demikian juga terhadap kadar protein daging menunjukkan peningkatan yang signifikan. DAFTAR PUSTAKA Anggorodi. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia, Jakarta. Fenita, Y., Hidayat dan M. Sukma. 2008. Pengaruh pemberian air buah mengkudu (Morinda citrifilia) terhadap performans dan berat organ dalam ayam broiler. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. Vol 3 no 2 Juli-Desember 2008. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Fenita Y. 2010. Pengaruh pemberian tepung buah mengkudu (Morinda citrifolia) dalam ransum terhadap bobot karkas, bobot organ dalam, dan kadar kolesterol dalam darah
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No 2. Juli – Desember 2011 |
149
ISSN 1978 - 3000 ayam broiler. Seminar Nasional Rapat Dekan BKS Barat. Fakultas pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu NRC. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. National Academy of Sciences. Washington, D. C. Posman, S. 2000 Sari buah mengkudu mampu redam berbagai penyakit. Majalah Nova. No 705/XIV: 28-29. Santoso, U. 1998. Pengaruh pemberian ekstrak daun keji beling (Strohilanthes crispus BL) terhadap performans dan akumulasi lemak pada broiler. Jurnal Peternakan dan Lingkungan. V (6): 10-14. Soeparno, 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,. Yogyakarta.
150 | Pengaruh Pemberian Air Buah Mengkudu
Sjabana,D, dan Bahalwan, R.R. 2002. Pesona Tradisional dan Ilmiah Mengkudu. Seri Referensi Herbal. Salemba Medika. Edisi I, Jakarta. Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Ternak Unggas. Gajah Mada University Press, Yokyakarta. Wijayakusuma, H.S. Darlimata dan A.S Wirian, 1996. Tanaman Berkhasiat di Indonesia. Pustaka Kartini, Jakarta. Winarno, F. G., 1993. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yitnosumarto, S., 1991. Percobaan, Analisis dan Interprestasinya. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta .
INDEKS PENULIS
VOLUME 6 NO 2, JULI – DESEMBER 2011
Asnath M. Fuah, 115 A. Nopis, 143 Andi Mushawwir, 77 Basyaruddin Zain, 89 Chairun Nisa, 97 Diding Latipudin, 77 Eli Sahara, 137 Heri D. Putranto, 103 Kamsiah, 125 Kususiyah, 83 Luki Abdullah, 115 Meisji L. Sari, 97 Muhakka, 137 Peni S. Hardjosworo, 97 Rustama Saepudin, 115 Ronny R. Noor, 97 Sofia Sandi, 137 Warnoto, 143 Yenni Okfrianti, 125 Yessy Fitryani, 125 Yosi Fenita, 143
INDEKS SUBJEK
VOLUME 6 NO 2, JULI – DESEMBER 2011
Apis cerana, 115 Ayam Burgo betina, 103 ayam petelur, 77 broiler, 143 bungkil biji kapas, 137 bungkil kedelai, 137 daging, 125 Daging, 89 ekstrak, 89 fertilitas, 97 Income Over Feed and Chick Cost, 83 integrasi, 115 Itik Pegagan, 97 Katuk, 89 kopi, 115 kualitas karkas, 143 Lemuru, 89 morinda citrifolia, 143 organoleptik, 125 ovarium, 103 oviduk, 103 panas, 77 penetasan, 97 performans, 89 Performans Peraskok, 83 produksi, 115 produksi telur, 103 Protease, fisik, 125 ransum, ayam broiler, 137 regulasi, 77 telur tetas, 97 vitamin E, 89
JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA (Indonesia Animal Science Journal) ISSN 1978 – 3000
Yang Bertanda Tangan dibawah ini: Nama Lembaga/Perguruan Tinggi Alamat Kabupaten/Kodia
: ……………………………………………………..... : ……………………………………………………..... :……………………………………………………...... : ……………………………………………………..... : …………………………………………………….....
Propinsi Kode Pos e- mail Telepon/HP Fax
: ……………………………………………………..... : ……………………………………………………..... : ……………………………………………………..... : ………………………………………………………. : ……………………………………………………….
Menyatakan untuk membeli/memesan/ berlangganan Jurnal Sain Peternakan Indonesia: Volume
: ………………………………………………………
Nomor
: ………………………………………………………
Sebanyak
: ………………………………………………………
Biaya Pembelian/pemesanan (ditambah ongkos kirim) sebesar …………………………… Dibayar secara (a) Langsung (b) Transfer ke BNI 46 Cabang Bengkulu No Rek. 0121959902 a.n. Gema Pertiwi, S.E.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kirimkan formulir ini ke Redaksi Jurnal Sain Peternakan Indonesia, Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu 38371 A Telp. (0736) 21170 psw. 219. Atau melalui Email:
[email protected] atau
[email protected].
PETUNJUK PENULISAN NASKAH/ARTIKEL JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA (Indonesia Animal Science Journal) 1.
2.
3.
4.
5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia, memuat tulisan/karya ilmiah dalam bidang Ilmu Peternakan. Manuskrip dapat berupa hasil penelitian, telaah/tinjauan pustaka, kasus lapang dan gagasan. Naskah harus asli (belum pernah diterbitkan) menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jurnal ini terbit 2 kali dalam setahun yaitu Januari – Juni dan Juli – Desember. Naskah atau artikel dikirim bersama soft copy dan cetakan lengkap sebanyak 3 (tiga) eksemplar atau melalui E-mail dengan menggunakan pengolah kata Microsoft Word, ataupun Open Office diketik menggunakan kertas A4, fonta Times New Roman berukuran 11 kecuali abstrak dan tabel dengan ukuran fonta 9, margin kiri dan kanan 2,5 cm, margin atas dan bawah 2,5 cm. Ditulis dalam spasi 2 dan jumlah halaman seluruhnya tidak lebih dari 15 halaman. Naskah Asli/Artikel asli harus diselaraskan dalam judul (dalam bahasa Indonesia dan Inggris, pendahuluan, materi dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar pustaka) JUDUL ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (jika artikel berbahasa Indonesia, jika naskah dalam bahasa Inggris maka tidak perlu judul bahasa Indonesia), jumlah kata tidak melebihi dari 15 (lima belas) kata. Nama penulis dan alamat, termasuk email penulis ditulis dibawah judul. ABSTRACT, ditulis dalam bahasa Inggris, singkat dan padat serta dibawahnya dituliskan Key words atau Kata kunci tidak lebih dari 5 9lima0 kata. Jumlah kata dalam Abstract tidak lebih dari 200 kata. ABSTRAK, ditulis dalam bahasa Indonesia, singkat dan padat serta di bawahnya ditulis kata kunci. Jumlah kata dalam Abstract tidak lebih dari 200 kata. PENDAHULUAN, memuat latar belakang penelitian berdasarkan bahan pustaka yang relevan, tujuan dan hipotesis penelitian (hipotesis tidak diperlukan dalam telaah/ tinjauan pustaka). MATERI DAN METODE, memuat materi dan metode yang digunakan dalam kajian secara rinci dan singkat serta analisis statistik yang digunakan. HASIL DAN PEMBAHASAN, memuat hasil penelitian yang berupa ulasan, tabel atau grafik. Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian yang dirujuk dengan bahan pustaka yang relevan dan telah termuat dalam pendahuluan. SIMPULAN, memuat kesimpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat dan padat dan tidak boleh lebih dari satu alenia. SARAN, memuat saran - saran atau masukan yang perlu disampaikan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. DAFTAR PUSTAKA, disusun dengan memuat nama berdasarkan abjad, tahun, judul, Penerbit, Kota, halaman tanpa nomor urut. Memuat minimal 7 (tujuh) buah jurnal ilmiah. Contoh penulisaan daftar pustaka: Antalikova, J., M. Baranovska, I. Mravcova, V. Sabo dan P. Skrobanek. 2001. Different Influence of Hypodynamy on Calcium and Phosphorus Levels in Bones of Male and Female Japanese Quails. http://www.biomed.cas.cz/physiolres. 20 April 2001. Fenita, Y., I. Badarina, dan E. Tamsar. 2005. Uji kerusakan lemak ransum ayam petelur yang menggunakan minyak ikan lemuru (Sardinella longiceps) dengan penambahan bawang putih sebagai antioksidan alami selama penyimpanan. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan, 8 (4) :45-48.
CATATAN: Tabel, Gambar, Grafik dan sejenisnya diletakkan di lembar terpisah (tidak masuk di dalam teks), yaitu setelah Daftar Pustaka.
INFORMASI TAMBAHAN: Jurnal ini terbit dua kali dalam setahun (periode januari-Juni dan Juli – Desember). Naskah dapat dikirim melalui email:
[email protected] dan
[email protected].