Tubuh Perempuan : Tubuh Sosial yang Sarat Makna
TUBUH PEREMPUAN: TUBUH SOSIAL YANG SARAT MAKNA Oleh:
Refti H. Listyani Dosen Prodi Sosiologi Unesa
[email protected]
ABSTRACT Discourse of sexuality can not be released from the discourse of power and knowledge, which includes how culture is constructed to perpetuate the patriarchal power structure. Women are conditioned to rely on the judgment of others when trying to measure or assess their experiences concerning the issue of the body. Placed in the socio-cultural current, which helped shape the structure of women's experience of his body is a high social demand for concerned with aspects of physical appearance as a source of value and meaning of the body. This paper attempts to examine the female body as a social body with sociological analysis. In the world of patriarchy, women's bodies are not the private property of the women themselves, but become public because the body is set according to how the body is constructed. This paper is a review of several studies related to women and body with a literature study method Keywords: Body, Women, Construction, Culture
Pendahuluan Tubuh selalu menarik untuk dikaji secara sosiologis. Perdebatan tentang makna, peran dan fungsi tubuh senantiasa mewarnai sejarah peradaban umat manusia. Kajian sosiologis tentang tubuh sendiri sebenarnya baru muncul pada kurun waktu tahun 1980-an (Falk, 1994). Sebelumnya, kajian secara serius mengenai tubuh lebih banyak dilakukan oleh para antropolog. Sosiologi klasik maupun modern hanya membicarakan persoalan tubuh sebagai sebagian kecil dari sejumlah aspek kehidupan sosial. Baru pada abad keduapuluh tema tubuh menjadi titik pusat perhatian secara serius dalam diskursus sosiologi.
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 1
Refti H. Listyani
Merujuk Bryan S. Turner, lahirnya kajian sosiologis tentang tubuh setidaknya didorong oleh sejumlah faktor.1 Pertama, adanya pengaruh sosial dan politik gerakan feminisme di dunia akademik maupun masyarakat secara umum. Perdebatan seputar gender, seksualitas, dan eksploitasi tubuh perempuan dalam media misalnya telah melahirkan keprihatinan yang mendalam terhadap perlunya kajian tentang tubuh. Kedua, maraknya perdebatan etik diseputar persoalan penerapan teknologi medis bayi tabung, perkembangan virtual reality, serta penggunaancyborg untuk kepentingan militer maupun industri. Perkembangan teknologi biomedis dan informatika ini mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah sebenarnya tubuh, bagaimanakah proses pembentukannya dan dimanakah batas-batas etika tubuh manusia. Ketiga, munculnya perkembangan paham estetika tubuh dalam realitas kebudayaan konsumer. Budaya konsumer, yang didorong oleh logika kapitalisme, telah memposisikan tubuh sebagai semata komoditi dan objek produk industri kosmetik. Estetika tubuh kini menjadi tujuan aktivitas individu modern misalnya dengan teknologi bedah plastik, silicon breast, senam body language, body building dan fitness center sebagai lokomotif utamanya. Dalam kerangka inilah tubuh mendapat perhatian secara serius, terutama mengenai persoalan apakah makna estetikasi bagi tubuh tersebut. Sementara itu, ranah kajian sosiologi tubuh berkembang dalam tiga wilayah utama.2 Pertama, kajian tentang makna simbolik tubuh sebagai metafor dalam hubungan sosial. Persoalan kesucian dan profanitas tubuh sebagai representasi struktur sosial, konstruksi citra tubuh laki-laki dan perempuan dalam hubungan sosial, serta makna simbolik bagian-bagian tubuh dalam masyarakat merupakan sejumlah topik yang dibicarakan dalam ranah ini. Kedua, kajian tentang tubuh dalam hubungannya dengan persoalan gender dan seksualitas. Karya-karya Julia Kristeva dan Donna Haraway yang banyak mendapat inspirasi dari tulisantulisan Michel Foucault tentang kekuasaan dan seksualitas, misalnya, mencoba melacak proses pembentukan konstruksi tubuh perempuan melalui fashion, media dan mitos. Ketiga, kajian biomedis, yang membahas persoalan tubuh dalam kaitannya dengan isu-isu medis. Dalam ranah ini, sosiologi tubuh berperan memberikan batasan dan analisis mengenai fenomena-fenomena medis seperti
1
Turner, 1992. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber terj. G. A. Ticoalu. Jakarta: Rajawali 2 Turner, 1992. Sosiologi Islam
2 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Tubuh Perempuan : Tubuh Sosial yang Sarat Makna
penyakit, kegilaan dan obat-obatan dalam kerangka konstruksi sosial yang membentuknya. Konstruksi Seksualitas Selama berabad-abad, seks dan seksualitas secara moralitas selalu distigmakan sebagai suatu yang buruk dan gelap. Semua aktifitas seksual yang bukan bertujuan untuk penciptaan, terutama semua penyimpangan seksual, secara moral dianggap tabu dan jahat. Asumsi ini dilatarbelakangi oleh satu pandangan bahwa tubuh manusia adalah sumber keburukan dan, hanya dengan menekankan tuntutan-tuntutan naluriah, kebaikan bisa diatasi.3 Raho setiap manusia memiliki imajinasi kreasi dan tindakan seksual yang secara tidak sadar dikonstruksikan berdasarkan pengalaman seksualnya sejak dan saat masih anakanak.4 Di sisi lain, seks dan seksualitas adalah kreasi repro-duksi insting akan alam bawah sadar. Di barat sendiri, wacana seks baru mulai menjadi kajian keilmuan pada awal abad ke-20, M. Foucault mengajukan wacana seksualitas modern de-ngan pengakuan ilmiah baru, yaitu psikoanalisis. Dalam bukunya ia me-maparkan bahwa seksualitas lebih merupakan produk positif kekuasaan daripada kekuasaan yang menindas seksualitas.Menurutnya, seksualitas tidak hanya berhubungan dengan tubuh, namun juga dengan pikiran. Ia me-ngubah wacana seksualitas menjadi lebih intensif dari perhatian pada tindakan dan tubuh ke perhatian pada pikiran dan tujuannya. Foucault bahkan menunjukkan bahwa wacana seksualitas tidak mungkin dilepaskan dari wacana kekuasaan dan pengetahuan, yang di-dalamnya termasuk bagaimana budaya dikonstruksi untuk melanggengkan tatanan kekuasaan yang patriarkal.5 Pertanyaan yang diajukannya mengapa seksualitas dibicarakan secara luas dijawabnya sendiri bahwa, tujuannya, secara ringkas, adalah untuk mendefinisi rezim kekuasaan-pengetahuan-kenikmatan yang melanggengkan wacana seksualitas manusia di dalam masyarakat kita. Isu utamanya adalah untuk menjelaskan fakta bahwa seksualitas itu diperbincangkan, untuk menemukan siapa yang melakukan pembicaraan, dari posisi dan sudut pandang apa seksualitas itu dibicarakan, institusi apa yang mendorong orang
3
Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra Bernard Raho, 2008. Sosiologi. Sebuah Pengantar. Maumere: Ledalero.113. 5 Foucault, 1990. History of sexuality, vol.1 An introduction Vintage Books, New York 4
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 3
Refti H. Listyani
membicarakan seksualitas serta institusi apa yang menyimpan dan menyebarkan hal-hal yang dibicarakan itu. Menurut Thornham tidak bisa dipungkiri bahwa seksualitas manusia lebih banyak dipengaruhi oleh aspek sosial dan psikologis daripada peran atau faktor biologisnya.6 Manusia hidup di tengah masyarakat dan masyarakat dapat memengaruhi sikap seksual, perilaku seksual dan fungsi atau peran seksual manusia. Seksualitas bukan hanya menyangkut perihal biologis, tetapi merupakan konstruksi yang meliputi masalah etika, moral, lingkungan sosial, bu-daya yang tercipta dari mitos seksual, nilai dan norma seksual dalam masya-rakat. Mengutip Millet, Tong,menjelaskan bahwa seks dan seksualitas adalah suatu konstruksi, maka seks dan seksualitas bukanlah wacana mengenai tu-buh dan keinginan atau kebutuhan biologis semata, melainkan juga merupa-kan wacana mengenai kekuasaan.7 Melalui slogan feminis yang dikembang-kannya, Kate Millett berargumentasi bahwa bahkan hal yang sangat pribadi sesungguhnya tidak sungguh-sungguh pribadi. Lebih dari itu, bahkan wacana seksual adalah wacana politis, “sexual is political.” Menurutnya, seksual po-litik mencakup sosialisasi baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki ke dalam kategori yang berhubungan dengan temperamen, peran dan status. Priyatna mengungkapkan bahwa dalam pelbagai ajaran budaya yang kita dapat selama ini, perempuan diajari bahwa seksualitasnya adalah milik laki-laki, yang ketika semua daya diarahkan untuk memuaskan laki-laki, ia akan memperoleh ganjaran berupa perlindungan dan “kasih sayang” sebagai ucapan terimakasih.8 Seksualitas perempuan dan laki-laki tidak dibangun atas dasar yang sama. “Kepuasan” perempuan dikonstruksi bergantung pada seberapa banyak kepuasaan yang dapat dihasilkannya untuk lakilaki. Hanya laki -laki yang harus dibersihkan dari segala cairan seksual, tetapi perempuan lah yang bertanggung jawab atas cairan itu dan kemudian “ikut puas” atas kepuasaan yang dialami laki-laki, ikut bahagia dalam konspirasi melawan dirinya sendiri. Konstruksi seksualitas, terutama seksualitas perempuan adalah perilaku yang kompleks. Dorongan seksual seseorang diberi bentuk oleh faktor-faktor budaya. Maka, kebutuhan akan "kepuasan" adalah perpaduan antara dorongan seksual dan pengaruh sosial yang dipelajari. Secara umum, pengungkapan 6
Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra Tong. 2010. Feminist Thought . Yogyakarta: Jalasutra 8 Priyatna. 2004. Seks dan Seksualitas Perempuan dalam Kebudayaan Kontemporer (Bagian dari buku Seks, Teks, Konteks dalam Wacana Lokal dan Global). Jurusan Sastra Inggris UNPAD dan Kelompok Belajar Nalar) 7
4 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Tubuh Perempuan : Tubuh Sosial yang Sarat Makna
dorongan seksual tergantung dari norma-norma sosial yang berlaku. Setiap lingkungan budaya menentukan beberapa batasan tentang bagaimana dan di mana dorongan seksual dapat dinyatakan. Sadli menjelaskan, faktor emosional seperti ketegangan dan konflik interpretasi, cukup menentukan pada perilaku seseorang, terutama pada dorongan seksual perempuan dibandingkan dengan laki-laki.9 Ini karena sosialisasi perempuan yang berarti berlangsungnya internalisasi pelbagai norma yang berlaku menyebabkan perempuan lebih mudah merasa malu atau berdosa.Interpretasi ajaran agama merupakan faktor budaya lain yang juga berpengaruh pada perilaku seksual seseorang. Studi-studi dalam tahun 60-an telah menginformasikan bahwa perempuan yang kuat kepercayaan agamanya lebih konservatif secara seksual dan memulai kegiatan seksualnya pada usia yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan mereka yang tidak “religius”. Konstruksi Tubuh Perempuan Mengutip pendapat Melliana tubuh menjadi salah satu faktor penentu kondisi psikologis seseorang. Secara tidak langsung pengaruh ini melalui proses mental yang dilekatkan seseorang terhadap tubuhnya. Salah satunya, bagaimana individu mengevaluasi tubuhnya.10 Fredrickson dan Roberts me-ngembangkan kerangka teori objektivasi diri melalui konstruk psikologis. Suatu konstruk yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi psiko-logis seseorang, khususnya perempuan, terkait dengan cara dan sudut pan-dang yang mereka gunakan untuk mengevaluasi tubuhnya. Kerangka teori ini dibangun dari proses analisis atas tubuh perempuan yang diletakkan da-lam konteks sosio kultural. Thornham mengungkapkan bahwa tubuh dikaji bukan sebagai struktur biologis, melainkan sebagai struktur pengalaman.11 Sebagai struktur pengalaman, makna, fungsi dan idealisasi seseorang atas tubuhnya menjadi rumu-san konsep yang sifatnya tidak tetap, dapat berubah-ubah antar ruang dan waktu, ditentukan bukan saja secara individual melainkan juga secara sosial. Kri-teria yang secara sosial dikondisikan sebagai tolok ukur idealisasi atas tubuh, akan turut memengaruhi bagaimana individu di dalamnya melakukan pe-nilaian dan pemaknaan terhadap tubuhnya, di mana perempuan dikondisikan untuk berada
9
Sadli. 2010. Berbeda tapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Kompas Melliana, 2006. Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta:LKis 11 Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra 10
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 5
Refti H. Listyani
pada posisi pasif. Pihak di luar perempuanlah yang justru akan me-nentukan bagaimana perempuan seharusnya memaknai dan memperlakukan tubuhnya. Perempuan dikondisikan untuk menggantungkan diri pada penilaian orang lain ketika hendak mengukur atau menilai pengalamannya seputar per-soalan tubuh. Diletakkan dalam sosio-kultural saat ini, yang turut mem-bentuk struktur pengalaman perempuan atas tubuhnya adalah tuntutan sosial yang tinggi untuk mementingkan aspek penampilan fisik sebagai sumber nilai dan makna tubuh. Tuntutan sosial untuk memprioritaskan aspek penampilan fisik ini disertai dengan proses penyeragaman terhadap kriteria yang menjadi tolok ukur penampilan fisik ideal.12 Lebih lanjut Melliana menjelaskan bahwa konstruksi sosial di masyarakat mengenai idealisasi pencitraan tubuh dan seksualitas yang memposisikan perempuan sebagai objek seksualitas bagi laki-laki.13 Konstruksi sosial merupakan stimulus lingkungan yang mempengaruhi perempuan yang kemudian diiterpretasi dan dipersepsi oleh perempuan dan akhirnya menghasilkan respon-respon dalam memperlakukan diri terhadap laki-laki. Pola atau proses konstruksi sosial tersebut, yang kemudian terinternalisasi dalam masyarakat, semakin menekan dan mempersulit perempuan untuk menyukai tubuhnya. Hal ini sangat sulit diubah, karena konstruksi tersebut telah berlangsung lama dan telah menjadi pola dalam masyarakat dunia. Konstruksi ini juga sudah tertanam dalam diri perempuan sehingga menyamarkan antara citra tubuh dengan diri perempuan itu sendiri. Parahnya lagi perempuan yang terlepas dari konstruksi tersebut dikatakan sebagai perempuan palsu, bukan perempuan sejati.Konstruksi ini mengharuskan perempuan untuk me-maksa dirinya menjadi cantik. Cantik sendiri dalam mayoritas masyarakat di-pandang secara objektif dan universal. Mitos kecantikan mendorong perempuan untuk melihat dirinya sebagai objek yang jelas-jelas cantik secara seksual. Pengaruh kultural yang kuat ini memposisikan perempuan untuk melihat diri mereka sebagai objek seksual. Thornham menjelaskan bahwa dewasa ini, keindahan tubuh perempuan telah banyak diekspos di media-media massa.14 Hal ini menjelaskan bahwa makna keindahan tubuh perempuan telah direduksi menjadi objek seksual lakilaki. Mayoritas laki-laki memandangi perempuan di bagian-bagian tubuhnya yang sensual. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa bentuk tubuh perempuan 12
Melliana, 2006. Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta:LKis Melliana, 2006. Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta:LKis 14 Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra 13
6 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Tubuh Perempuan : Tubuh Sosial yang Sarat Makna
selalu saja dikaitkan dengan seks, terlebih sebagai barang yang bisa diperjuabelikan. Lebih parah lagi, ditemukan dalam analisis Barthes tentang “system fesyen” atas tubuh perempuan. Menurut Barthes, retorika fesyen bekerja dengan mengganti tubuh perempuan yang sebenarnya dengan penanda perempuan lewat sosok model atau “gadis sampul” yang “tubuhnya bukan milik siapapun, hal tersebut merupakan bentuk yang murni, yang tidak memiliki atribut”. 15 Kemudian, dalam proses substitusi kedua, garmen fesyen itu sendiri “menggantikan” tubuh sang model sebagai tanda murni dalam suatu system simbolik. Dengan demikian, maka tubuh perempuan, dalam kata-kata Irigaray, “menghasilkan kondisi yang membuat kehidupan sosial dan budaya menjadi mungkin” sambil sekaligus tubuh perempuan itu sendiri dihapus. Bahwa perempuan diasumsikan menyetujui tanpa bantahan penghapusan spesifisitas bermasalah dalam tubuh mereka. “Identitas perempuan dibentuk melayani lakilaki…, seni, pikiran” tulis Barthes. Sulaeman menulis dalam buku “The Female Body in Western Culture” tentang perempuan: “Yang selama berabad-abad telah menjadi objek teoresasi laki-laki, hasrat laki-laki, ketakutan laki-laki dan representasi laki-laki, harus mengungkapkan dan menggunakan ulang diri mereka sendiri sebagai subjek.16 Tempat yang jelas untuk memulai adalah tempat sunyi yang telah ditetapkan bagi mereka berkali-kali, benua gelap yang pernah membangkit-kan serangan dan kebingungan. Seruan untuk menemukan puitika dan politik baru, berdasarkan pengklaiman ulang atas apa yang selalu merupakan milik mereka tetapi telah direnggut dari mereka: kendali atas tubuh mereka dan suara untuk berbicara tentang hal tersebut.” Terkait dengan hubungan antara wacana tubuh dan kekuasaan, para feminis kontemporer kritiknya. Mereka melihat wacana atas tubuh tidak berada pada kepentingan ilmu tetapi pada tendensi-tendensi politik yang muncul dalam relasi antar seks. Perubahan sosial seringkali menekan dan mendorong ilmu untuk memproduksi bukti-bukti empiris dan genetis untuk mendukung kebijakan politik. Studi-studi atas tubuh terutama tubuh perempuan, menjadi penting karena muatan dan kepentingan politik yang ada di sana. Lebih jauh lagi
15 16
Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 7
Refti H. Listyani
hal ini melibatkan sentimen-sentimen ideologi yang sebagian besar tidak selalu bersifat rasional.17 Status sosial dapat juga kita lihat dalam studi-studi sejumlah feminis yang memanfaatkan teori-teori Foucault tentang mekanisme kuasa. Dasar tesis Foucault tentang kuasa menyebutkan bahwa praktik pelaksanaan kuasa telah bergeser dari kekuasaan absolute dan top downkepada pendisiplinan, pengawasan dan teknik-teknik normalisasi. Model kekuasaan ini disebut model panoptikon. Pusat strategi kuasa ini adalah "disiplin". Tubuh ke-kuasaan adalah sasaran utama sehingga tubuh manusia modern adalah tubuh yang tunduk dan tubuh yang dibentuk. Salah satu perhatiannya adalah bagaimana tubuh dan seksualitas perempuan ditundukkan, diatur dan diorganisasikan lewat mekanisme kuasa tersebut. Tubuh pun lantas menjadi lahan politik.18 Berdasarkan teori ini, sejumlah feminis melihat bahwa tubuh perempuan modern menjadi objek tak henti-hentinya dari mekanisme kuasa. Dalam kuasa itu aparatus kekuasaan menyebarkan dan mencekoki masyarakat dengan normanorma, wacana, ukuran-ukuran, sekaligus program-program dan ideologi. Dalam kondisi ini perempuan seperti terus menerus diawasi sehingga tanpa henti ia berperilaku secara tertentu yang sesuai dengan pola pendisiplinan tubuhnya. Ini bisa menyangkut fungsi reproduksi, seksualitas, peran-peran dan bahkan fashion. Konsep Tubuh Ideal Faktor-faktor sosial, ekonomi, ekologi, dan budaya memang sangat berpengaruh terhadap konsep tubuh ideal yang dianut oleh masyarakat. Setiap kelompok masyarakat memiliki standar nilai yang berbeda untuk menentukan apa yang disebut menarik/tidak menarik, gemuk/kurus, tinggi/pendek, kuat/lemah, cantik/jelek. Konsep tubuh ideal berkaitan juga dengan mitos-mitos kecantikan yang berlaku dalam masyarakat tersebut.19 Orang yang merasa dirinya gemuk atau yang dianggap gemuk oleh masyarakat di sekitarnya, bisa jadi akan dianggap normal atau bahkan terlalu kurus bagi kelompok masyarakat yang lain. Masing-masing individu, baik secara sadar maupun tidak, berkeinginan untuk memenuhi standar-standar tubuh ideal
17
Hidayat. 2004. Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin. Yogyakarta: Jendela 18 Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra 19 Wolf, 2002. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta: Niagara
8 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Tubuh Perempuan : Tubuh Sosial yang Sarat Makna
yang berlaku dalam lingkungan sosial dan budayanya. Tubuh menjadi simbol utama diri, sekaligus masyarakat. Grogan menyatakan bahwa orang-orang yang gemuk dan obesitas di beberapa kelompok masyarakat cenderung mengalami kerugian secara sosial yang lebih besar daripada secara fisik/kesehatan. 20 Bentuk kerugian tersebut antara lain, pelecehan, stigmatisasi, marginalisasi, dan diskriminasi. Sebagian besar korbannya adalah kaum wanita karena stigmatisasi kegemukan dinilai sebagai bukti dominasi budaya patriarki yang ingin menekan kebebasan wanita dengan cara memanipulasi tubuh wanita itu sendiri.21 Menurut Wolf, mitos kecantikan ini sengaja dibangun oleh para penguasa industri untuk menciptakan manipulasi pasar. Industri yang berkaitan dengan diet, operasi plastik, kosmetik, dan pornografi membidik perempuan sabagai mangsa empuk untuk meraup keuntungan materi yang sangat besar. Media massa adalah senjata yang mereka gunakan untuk membidik mangsa.22 Bestiana menyebutkan bahwa setelah berhasil menciptakan mitos kecantikan sekaligus produk-produk yang laris digunakan oleh para wanita untuk memiliki tubuh yang ideal, para penguasa industri pun masih tidak mau rugi.23 Mereka tidak ingin para wanita menggunakan produknya sebanyak satu-dua kali kemudian berhenti setelah berhasil mendapatkan bentuk tubuh yang diingainkan. Para produsen membuat produk-produknya tetap laku dengan cara memberikan efek ketergantugan (addictive) dan memberikan “tantangan” lain kepada para wanita. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen Tubuh perempuan merupakan salah satu sumber kekuasaan. Di dalam tubuh seorang perempuan terkandung daya tarik seksualitas yang bisa mengendalikan tingkah laku manusia, terutama libido laki-laki. Banyak sekali kepentingan yang bermain dalam tubuh seorang perempuan. Keluarga dan masyarakat merasa memiliki otoritasatau berhak mengatur perempuan. Lembaga agama dan negara juga merasa berkewajiban mengatur bagaimana 20
Grogan. 2008. Body Image: Understanding Body Dissatisfaction in Men, Women, and Children. New York: Routledge 21 Wolf, 2002. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta: Niagara 22 Wolf, 2002. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta: Niagara 23 Bestiana, 2012. Citra Tubuh dan Konsep Tubuh Ideal Mahasiswi FISIP Universitas Airlangga Surabaya. AntroUnairDotNet. Vol.1/No.1/Juli-Desember 2012) 9
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 9
Refti H. Listyani
perempuan memperlakukan tubuhnya. Ini semua karena tubuh perempuan menjadi simbol martabat dan harga diri laki -laki dan masyarakat. Tubuh perempuan juga menjadi media bagi simbol-simbol identitas moral dan agama melalui pengaturan cara berpakaian dan tanda-tanda di tubuhnya.24 Pada penelitian-penelitian awal, perempuan diposisikan hanya sebagai obyek dari konsumerisme karena mereka dianggap sebagai konsumen pasif yang menerima apa saja yang didektekan oleh pasar. Penelitian-penelitian mutakhir memposisikan perempuan sebagai subyek dan memperlihatkan bahwa perempuan menggunakan apa yang dikonsumsinya untuk membentuk subyektifitas mereka. Dalam bukunya yang berjudul Tubuh Sosial, Anthony Synnott menjabarkan bagaimana sejarah memaknai tubuh melalui serangkaian nilai-nilai agama, sosial dan budaya, sehingga muncul berbagai cara pandang terhadap tubuh. Tiap bidang kehidupan dan jaman, memiliki ideologi-ideologinya sendiri yang bisa saling mengukuhkan atau meruntuhkan sesuai dengan kepentingan-kepentingan kelompok dominan yang muncul saat itu. Sejalan dengan hal tersebut, tubuhpun dimaknai sesuai dengan kacamata ideologi dominan yang berlaku pada setiap jaman yang sifatnya sangat kontekstual. Cara berpikir mengenai tubuh pun mengalami pergeseran-pergeseran mengikuti pola pikir masyarakat dan konteks yang muncul sehingga makna mengenai tubuh tidak pernah stabil. Pemaknaan mengenai tubuh yang bergeser memperlihatkan bahwa tubuh diperlakukan lebih dari sekedar tubuh biologis yang terisolasi karena tubuh selalu ada dalam ruang publik, sehingga pemaknaan terhadap tubuh menjadi terbuka untuk berbagai intepretasi. Sebagai konsekuensinya, ruang publik yang terbuka tersebut meletakkan tubuh pada serangkaian nilai-nilai, norma-norma dan batasanbatasan yang berlaku pada konteks sosial dan budaya dalam waktu tertentu.25 Jika Synnott mengkaitkan pergeseran pemaknaan tubuh melalui penelusuran sejarah, maka Jane Crisp mengaitkan tubuh yang sudah dimaknai yang disebutnya sebagai “tubuh yang dibayangkan” (imaginary body) dengan budaya konsumen.26 Tubuh dimaknai dengan nilai-nilai budaya seperti yang dibayangkan dan yang dimengerti oleh masyarakat. Tubuh menjadi tubuh seperti apa yang telah dikonstruksi oleh sebuah budaya dan pemaknaan atas tubuh dapat berbeda tergantung dari budaya yang berbeda. Oleh sebab itu, tubuh tidak 24
Yuliani. 2010. Tubuh Perempuan: Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia. ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 25 Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI 26 Crisp. 2000. Problematic pleasures. London: Routledge
10 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Tubuh Perempuan : Tubuh Sosial yang Sarat Makna
mungkin dapat terlepas dari makna dan nilai yang dikaitkan padanya oleh sebuah budaya tempat tubuh tersebut hadir. Tubuh bukan hanya sekedar tubuh biologis yang nol nilai, tetapi adalah tubuh sosial yang sarat makna yang dapat dikonstruksi oleh berbagai ideologi. Hal tersebut terutama berlaku dalam budaya konsumen yang dengan sengaja memamerkan tubuh di ruang publik untuk dinilai berdasarkan nilai-nilai yang diyakini bersama. Dalam konteks tersebut tubuh menjadi penyandang praktek-praktek budaya sehingga tubuh menjadi arena kontestasi berbagai ideologi, dan Bordo menyebut hal tersebut sebagai politik tubuh (politics of the body).27 Menurut Bordo, tubuh selalu ada dalam genggaman budaya yang termanifestasikan dalam praktek-praktek budaya dan kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari. Tubuh yang ada dalam genggaman budaya, sepenuhnya berpartisipasi dalam semua praktek-praktek budaya yang mengatur dan membatasi tubuh dengan serangkaian aturan yang memperbolehkan dan melarang. Karena itu, tubuh dapat dijadikan sebagai arena kontestasi berbagai ideologi untuk menjadi yang dominan. Ketika tubuh dimaknai dalam konteks budaya konsumen, maka tubuhpun menjadi arena kontestasi berbagai ideologi, seperti gender, konsumerisme, kapitalisme atau patriaki dan ideologi lainya yang dapat saling meruntuhkan, mengukuhkan atau bernegosiasi. Mochtar menjelaskan bahwa dalam konteks budaya konsumen, tubuh digambarkan sebagai tubuh yang mengkonsumsi segala bentuk komoditas yang ditawarkan oleh industri kapitalis dan secara bersamaan, tubuh juga menjadi salah satu komoditas yang dapat diperjual-belikan.28 Pemaknaan tubuh sebagai komoditas, tidak dapat lepas dari kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam budaya konsumen. Featherstone menjelaskan bahwa dalam budaya konsumen, penampilan adalah faktor utama dalam menentukan “nilai jual”, karena tubuh diyakini sebagai sarana untuk menikmati kesenangan dan ekspresi diri sehingga ia mencerminkan jati diri seseorang.29
[The body is] “proclaimed as a vehicle of pleasure and self expression. Images of the body beautiful, openly sexual and associated with hedonism, leisure and display, emphasizes the importance of appearance and the ‘look’. . . . [for] more marketable self” [that] “the closer the actual body approximates to the images of 27
Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI 29 Featherston. 1982. “The body in consumer culture” dalam M. Featherstone, M. Hepworth, and B.S. Turner (eds.). 1991. The body: social process and cultural theory. London: Sage. 28
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 11
Refti H. Listyani
youth, health, fitness and beauty the higher its exchange-value”(hal. 170-7). Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar, seseorang dinilai dari penampilannya, yaitu kemampuannya dalam memberikan citra cantik dan muda, agar ia memiliki nilai jual/tukar tinggi di dalam masyarakat konsumen.30 Dalam pengertian itu, tubuh tidak dapat lepas dari pencitraan yang diberikan padanya dan pencitraan tersebut tidak bebas nilai, karena setiap pencitraan memiliki konsekuensi-konsekuensi yang merugikan atau menguntungkan si pemilik tubuh. Pencitraan dapat menaikkan atau menurunkan nilai jual/tukar seseorang seiring dengan dimiliki atau tidaknya citra-citra tertentu yang dianggap bernilai. Jika tubuh memiliki aspek-aspek yang mempunyai nilai tinggi dalam budaya konsumen seperti menampilkan citra muda, sehat, dan cantik, maka dengan sendirinya ia memiliki nilai jual/tukar tinggi. Sejalan dengan pemikiran tersebut adalah konsep Bourdieu tentang “body capital” (modal tubuh), yaitu bahwa aset-aset fisik tertentu dapat berfungsi sebagai modal yang dapat ditukar untuk mendapatkan keuntungan. Karena itu, banyak usaha yang dilakukan untuk memperbaiki penampilan agar dapat mencapai citra tubuh yang ideal. Usaha-usaha tersebut dianggap sebagai investasi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dan berlaku pada kelas sosial tertentu. Bourdieu berpendapat bahwa wanita kelas menengah dianggap mempunyai kesadaran yang lebih tinggi dalam memperbaiki penampilan mereka dibandingkan dengan wanita dari kalangan proletar.31 Konsep Bourdieu mengenai modal, menyatakan bahwa aneka jenis modal dapat ditukarkan dengan jenis-jenis modal yang lain, sehingga pada dasarnya modal dapat dikonversikan. Schilling menjelaskan lebih jauh dengan memberikan perumpamaan bahwa tubuh yang merupakan modal fisik dapat dikonversikan menjadi modal ekonomi, budaya dan sosial.32 Jika Bourdieu mengkaitkan konsumsi pada kelas sosial tertentu, yang ia sebut sebagai habituskelompok (class habitus), maka dalam pandangan postmodern, kelas sosial bukanlah faktor penentu atas status seseorang di dalam budaya konsumen. Turner memberikan argumennya bahwa dalam budaya konsumen, status seseorang lebih tergantung pada kemampuannya mendandani 30
Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI; 181 Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI :182 32 Shilling. 1997.“The body and difference” dalam K. Woodward (ed.). 1997. Identity and difference. London: Sage. 31
12 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Tubuh Perempuan : Tubuh Sosial yang Sarat Makna
diri daripada kelas sosialnya.33 Menurut Mochtar, argumen di atas menafikan peran kelas dan keturunan, dan menekankan peran penampilan dalam menentukan status seseorang.34 Shields mengutarakan bahwa ruang-ruang yang ada di kota-kota besar menjadi arena persaingan dan ajang pamer di mana setiap orang bisa melihat dan dilihat untuk dinilai sama seperti komoditas-komoditas lain yang memiliki nilai jual/tukar.35 Hal tersebut memperlihatkan bahwa seseorang bisa memilih menjadi siapa saja dan dapat dengan sengaja mengkonstruksi identitasnya berdasarkan apa yang dikonsumsi. Jagger mengukuhkan pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa “anyone can be anyone-as long as they have the meansto participate in consumption”.36 Setiap orang dapat menjadi apapun seperti yang ia inginkan asalkan memiliki modal untuk membayar segala yang dikonsumsinya.37 Tubuh perempuan dalam budaya konsumen dilihat sebagai tubuh sosial yang sarat makna. Sebagai tubuh sosial, ia ada dalam ruang publik di mana pemaknaan terhadap tubuh bersifat terbuka, tetapi pada saatyang bersamaan juga bersifat terbatas karena dibatasi oleh ideologi jender yang beroperasi. Tidak ada makna tanpa adanya ideologi karena pemaknaan hanya menjadi mungkin jika dilakukan dalam bingkai ideologi tertentu, “there is no practiceexcept by and in an ideology”.38 Secara spesifik, Joan W. Scott menyatakan bahwa ideologi gender menjadi dasar dari norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dalam mengatur hubungan antara perempuan dan laki-laki.39 Norma-norma tersebut menjadi dasar bagi tatanan masyarakat, misalnya: masyarakat secara umum, membedakan peran dan fungsi sosial perempuan dan laki-laki dalam sebuah oposisi biner yang kaku untuk mengukuhkan tatanan masyarakat yang dibangun berdasarkan ideologi patriarki. Relasi kekuasaan dalam ideologi gender dapat ditemukan dalam praktek-praktek budaya dan masih relevan hingga kini. Salah satu dari praktek-praktek budaya yang telah diterima sebagai sebuah kebenaran adalah dalam konstruksi peran gender adalah pada eksistensi perempuan 33
Turner, 1992. Sosiologi Islam: Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI :182 35 Synnott. 2003. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Bandung: Jalasutra. 36 Jagger, Elizabeth. 2000. “Consumer bodies” dalam The body, culture and society: an introduction. Buckingham, Philadelphia: Open University Press. 37 Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI 38 Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra 39 Wolf, 2002. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta: Niagara 34
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 13
Refti H. Listyani
dikaitkan pada tubuhnya yang lebih lemah dari laki-laki dan kemampuanya melahirkan sebagai pembenaran untuk menempatkannya di dalam ranah domestik untuk melakukan perannya sebagai istri dan ibu yang “merawat” suami dan anak-anak.40 Mengutip Weitz mengungkapkan bahwa laki-laki juga dikaitkan pada kekuatan tubuhnya dan ditempatkan di ranah publik untuk melakukan perannya sebagai suami dan ayah yang melindungi, menjaga dan memenuhi kebutuhan keluarganya.41 Pembagian peran tersebut telah menjadi sebuah pandangan yang diterima sebagai kebenaran yang alamiah, sehingga sebagian besar perempuan dan laki-laki menuntut dirinya untuk memenuhi perantersebut karena adanya berbagai bentuk sanksi sosial bagi mereka yang tidak mampu atau tidak mau memenuhi perannya. Oleh karena pembagian peran yang berbeda, maka diberlakukan juga berbagai nilai-nilai dan batasan-batasan yang berbeda untuk perempuan dan laki-laki sejak mereka lahir agar masing-masing mampu mengisi perannya. Walaupun demikian, norma-norma dalam masyarakat kadang-kadang tidak dipatuhi secara total oleh individu-individu yang memilih identitas subyek di luar norma-norma dominan yang berlaku. Mochtar (2009) menjelaskan bahwa makna atas tubuh perempuan dalam budaya konsumen tidak pernah terlepas dari regulasi ideologi patriaki, ideologi konsumerisme dan ideologi gender, ketika terlihat adanya tuntutan terhadap perempuan dalam memperlakukan tubuhnya dengan serangkaian konvensi yang berbedadari konvensi yang mengatur laki-laki.42 Dalam budaya konsumen, tubuh perempuan dikontruksi lewat serangkaian norma-norma sehingga terjadi sebuah hegemoni terhadap konsep tubuh cantik. Menurut Mochtar, tubuh perempuan selalu ada dalam tarikan regulasi beberapa ideologi. Tubuh perempuan dalam konteks budaya konsumen adalah tubuh yang memiliki otoritas dalam memilih bagaimana tubuh ingin ditampilkan, tetapi otoritas itu tidak bebas nilai, karena tubuh tetap berada dalam genggaman budaya. Dalam budaya konsumen, penanda-penanda feminitas makin ditekankan pada tubuh perempuan sehingga feminitas identik dengan tubuh yang bersolek. Tubuh bersolek berjaya dalam ruang publik karena di sinilah tubuh dipamerkan untuk dipandang dan memandang tubuh lain dalam sebuah arena kontestasi. Tubuh yang berada di ruang domestik termarjinal 40
Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI :182 42 Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI :182 41
14 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Tubuh Perempuan : Tubuh Sosial yang Sarat Makna
karena kegiatan pamer-memamerkan dan pandang-memandang tidak dimungkinkan. Secara tradisional tubuh perempuan memang selalu diatur dengan banyak aturan yang merepresi, maka peralihan dari budaya tradisional ke budaya konsumen juga menempatkan perempuan dalam sebuah transisi di mana mereka bernegosiasi untuk menempatkan diri mereka dalam posisi yang tidak terlalu menimbulkan gejolak dan secara perlahan-lahan mengambil makin banyak kebebasan untuk diri mereka. Tubuh dan Eksistensi Perempuan Mengutip tulisan Saptandari fenomena merawat dan memperindah tubuh mungkin sudah ada sejak zaman dahulu.43 Hal ini dibuktikan dengan penemuanpenemuan arkeologis tentang kosmetika yang terbuat dari bahan-bahan alami yang digunakan pada peradaban masa lampau. Namun, di era ini, tuntutan untuk memiliki tubuh sesuai‘selera pasar’ terasa semakin nyata dan mendesak. Wolf menyatakan, jika dibandingkan pada masa-masa silam, saat ini ada lebih banyak perempuan kaya, berkuasa, dan mendapatkan pengakuan penuh dalam hukum di masyarakat kita.44 International Society of Aesthetic Plastic Surgerymenyebutkan bahwa di Korea Selatan, sekitar satu dari lima perempuan di Seoul telah mengalami beberapa jenis operasi plastik. Data tersebut didapatkan berdasarkan survei pada tahun 2009. Sedangkan pada tahun 2010, lebih dari 360.000 prosedur operasi plastik dilakukan dengan jenis operasi seperti sedot lemak, operasi hidung dan blepharoplasty atau operasi kelopak mata ganda. Korea Selatan sendiri merupakan negara dengan jumlah klien operasi plastik terbesar, menyusul kemudian Yunani dan Italia. Bahkan, menurut beberapa media, di kalangan masyarakat Korea Selatan tengah berkembang suatu anekdot, yakni “lebih baik miskin daripada jelek” atau “kecantikan itu diciptakan, bukan diturunkan”. Di Indonesia sendiri, khususnya di kota-kota besar, trendkecantikan ini pun semakin diminati masyarakat. Klinik-klinik kecantikan dengan berbagai nama pun semakin menjamur dan memiliki banyak pelanggan dari berbagaikalangan masyarakat yang menginginkan penampilan yang lebih “sempurna” ketimbang sebelumnya. Tangguhnya pencitraan-pencitraan estetis ini terbukti dengan
43
Saptandari. 2013. Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi. BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013. 44 Wolf, 2002. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta: Niagara
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 15
Refti H. Listyani
adanya argumentasi dari para perempuan sendiri mengenai korelasi antara kecantikan dengan kepercayaan diri mereka. Banyak perempuan yang melakukan koreksi wajah, penyedotan lemak, implan payudara, dan sebagainya, melakukan hal tersebut karena mereka merasa sangat rendah diri. Dengan penampilan mereka yang sudah ‘diperbaiki’, kepercayaan diri pun meningkat dan mereka merasa jauh lebih bahagia.Berbagai aturan yang tercipta dalam rangka pencitraan tubuh pada akhirnya semakin menggeser tubuh ke dalam sektorpublik. Di dalam diri banyak orang ditumbuhkan semacam “kesadaran” bahwa bentuk tubuh menjadi syarat atau faktor dominan bagi ajang pertukaran sosial di dalam masyarakat. Tubuh dan hal-hal yang dilekatkan padanya harus benar-benar dibentuk dan disesuaikan dengan “norma-norma ideal” agar memikat pandangan publik. Tubuhtampil menjadi objek selera umum dan kategori-kategori terhadapnya mulai turut mendefinisikan arti kebahagiaan individu dalam masyarakat. Fenomena-fenomena yang telah diungkapkan di atas menunjukkan bahwa tubuh masyarakat modern kian tercelup dalam wilayah yang tidak luput dari intervensi logika ekonomi pasar global. Tubuh menjadi sasaran utama konsumsi, dan dengan demikian semakin dekat dengan bahaya eksploitasi. Tubuh dikultuskan dan dipuja dalam fungsinya sebagai komoditi dalam transaksi sosial, dan seringkali diperlakukan sebagai ‘objek’ begitu saja. Ia dapat dirubah dengan berbagai cara jika dirasa tidak memuaskan dan menerima berbagai penghinaan jika dirasatidak indah. Tubuh mungkin dibicarakan dan dipertontonkan dalam berbagai ruang privatdan publik, namun penghargaan lahiriah yang diberikan terhadapnya seringkali tidak dilandasi oleh suatu pemaknaan luhur akan kebertubuhan manusia itu sendiri. Saptandari mengungkapkan beberapa hasil penelitian dan pemikiran tentang tubuh dan kesehatan reproduksi, serta eksistensi perempuan.45 a) Christiane Northrup, seorang perempuan dokter di Amerika Serikat. Northrup menuliskan pengalaman pribadi dan hasil penelitiannya dalam buku “Women`s Bodies, Women`s Wisdom”. Northrup menjelaskan suatu proses munculnya kekuatan pada dirinya selaku dokter untuk menjelaskan kejujuran secara personal yang ternyata membuatnya merasa menjadi lebih kuat dan bebas dari cengkeraman diskursus tubuh yang membelenggu sebelumnya. Kesadaran tersebut membuat Northrup dan kawan-kawan kemudian berinisiatif membuka 45
Saptandari. 2013. Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi. BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013. 56
16 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Tubuh Perempuan : Tubuh Sosial yang Sarat Makna
pusat layanan kesehatan bagi perempuan dengan menggunakan nilai atau filosofi apa arti penting menjadi seorang perempuan, yang sangat memperhatikan dan memperhitungkan eksistensi perempuan. Layanan kesehatan yang diberi nama “Women to Women” pada bulan Desember 1985 di sebuah kota kecil di Maine Amerika Serikat, dilaksanakan tidak sekedar mengobati simptom, namun – lebih dari itu - membantu perempuan untuk mengubah kondisi dasar dalam kehidupan yang mempengaruhi kondisi kesehatan perempuan. Northrup juga menunjukkan bahwa kaum perempuan telah mengalami proses internalisasi tentang definisi tubuh perempuan yang mengarah kepada ”denigration of the female body”, yang membuat perempuan takut, malu atau merasa jijik terhadap bagian-bagian tertentu dari tubuhnya dalam proses yangsebenarnya sangat alamiah seperti menstruasi, melahirkan dan menopause, dan menempatkan sebagai bagian dari kondisi kesehatan yang membutuhkan treatment medis.46 Tidak mengherankan apabila sebagian besar dari kita termasuk para praktisi kesehatan mempercayai, dan bahkan mengesahkan proses medikalisasi terhadap tubuh perempuan, bahkan sejak sebelum lahir. Emily Martin melakukan penelitian tentang tubuh perempuan diungkapkan dalam bukunya yang berjudul The Woman in the Body. 47 Martin telah mewawancarai 165 perempuan di Baltimore tentang pengalaman mereka ketika mengalami menstruasi, melahirkan anak, membesarkan anak dan menopause. Martin juga menunjukkan bahwa cara perempuan memikirkan dan merasakan tubuhnya sangat aneh jika dibandingkan dengan berbagai asumsi yang dibuat tentang perempuan seperti terdapat dalam teks medis ilmu kedokteran. Asumsiasumsi seperti ini sering kali negatif; dan ilmu kedokteran sering kali tidak ilmiah, tidak bebas nilai atau obyektif, melainkan ideologis dan menindas perempuan dengan jangkauan konsekuensi sosial yang luas. Martin juga menyatakan kurangnya dukungan institusional bagi tubuhtubuh perempuan yang membuat perempuan sangat sukar untuk menjadi manusia seutuhnya produktif dan reproduktif.48 Jika tubuh perempuan dipengaruhi oleh patriarki, maka baik tubuh perempuan maupun tubuh laki-laki dipengaruhi oleh kapitalisme. Martin secara rinci dalam bukunya menjelaskan tentang metafora medis atas tubuh perempuan: dari menstruasi, kelahiran hingga 46
Synnott. 2003. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Bandung: Jalasutra. Martin. 1989. The Women in The Body: A Cultural Analysis of Repro-duction, Stony Stratford: Open Uni-versity Press. 48 Martin. 1989. The Women in The Body 47
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 17
Refti H. Listyani
menopause.49 Metafora medis atas tubuh perempuan dihubungkan dengan kondisi haid hingga proses kelahiran menunjukkan bahwa selama usia produktifnya, kaum perempuan harus berurusan dan menyerahkan segala urusan berkaitan dengan tubuh dan kesehatannya kepada layanan medis. Martin mengajak untuk memahami kondisi tubuh fisik perempuan dari sisi ilmu pengetahuan kedokteran, dari sisi budaya dan sekaligus dari sisi pandangan dan pengalaman perempuan. Martin menyampaikan, bahwa perempuan, karena ketakutan, ketidaktahuan, juga karena konstruksi sosial budaya yang mengkondisikan, telah menyerahkan kontrol atas tubuhnya kepada profesional medis. Yayasan Rahima menghimpun tulisan berupa bunga rampai pemikiran ulama muda, yang terangkum dalam buku ”Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan”. Dalam buku ini dijelaskan adanya anggapan bahwa perempuan sebagai sumber fitnah, sumber kekacauan dan kerusakan moral, serta sumber kegalauan hati atau “kebringasan” nafsu laki-laki. Merupakan bentuk stereotipe terhadap perempuan yang mendapat pembenaran dari teks-teks keagamaan, terutama fiqih. Buku tersebut ditulis dengan tujuan agar setiap pembacanya dapat memahami secara utuh pandangan Islam tentang seksualitas dan hak reproduksi perempuan. Dengan membaca buku ini diharapkan kaum perempuan dapat lebih menghargai dirinya sendiri, terbebas dari ketakutan, tekanan, serta tindak kekerasan serta dapat menggunakan haknya untuk menikmati kemajuan teknologi kesehatan reproduksi. Ferderika Tadu Hungu melakukan kajian tentang praktik Sifon di Nusa Tenggara Timur sebagai peneguh identitas seksual laki-laki, yang dibukukan dengan judul ”Sifon sebagai Pedang Bermata Dua bagi Perempuan”.50 Praktik budaya yang masih ditemukan pada orang Antoni, kelompok etnis yang mendiami sebagian besar Timor bagian barat sampai sekarang masih mengenal dan mempraktikkan sebuah tradisi sunat yang disebut dengan futus. Tradisi sunat yang dilakukan pada laki-laki usia ideal menurut kepercayaan mereka yakni 3040 tahun, dilanjutkan dengan menjalani tradisi yang disebut sifon. Yang dimaksud dengan sifon adalah ialah hubungan seksual beberapa hari setelah sunat dengan 2-3 perempuan, dilakukan dalam waktu yang berbeda secara bertahap, yang masing-masing tahap mempunyai tujuan tersendiri. Praktik sifon berhubungan dengan mitos tentang keperkasaan, kejantanan dan keharmonisan 49
Martin. 1989. The Women in The Body Featherstone. 1982. “The body in consumer culture” dalam M. Featherstone, M. Hepworth, and B.S. Turner (eds.). 1991. The body: socialprocess and cultural theory. London: Sage. 50
18 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Tubuh Perempuan : Tubuh Sosial yang Sarat Makna
keluarga. Laki-laki yang tidak menjalani sifon diolok-olok atau disindir dalam pertemuan-pertemuan komunal. Dalam praktik sifon, ditemukan bahwa perempuan rentan mengalami Penyakit Menular Seksual (PMS), diskriminasi dan tindak kekerasan. Saskia Wieringa, Nursyahbani Katjasungkana & Irwan M. Hidayana, mengumpulkan tulisan pengalaman perempuan Asia (Indonesia dan India) tentang seksualitas mereka yang selama ini tidak pernah diungkapkan.51 Kajian dilakukan dengan mempelajari kehidupan dan perilaku perempuan janda, lesbian dan pekerja seks. Dalam buku yang berjudul ”Hegemoni HeteroNormativitas: Membongkar Seksualitas Perempuan yang Terbungkam” tersebut, diuraikan tentang hasil kajian yang bertolak dari sebuah premis bahwa hegemoni heteronormatif yang membentuk gagasan-gagasan tentang seksualitas yang selama ini dianggap normal perlu dipertanyakan dan diguncang. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa pembongkaran ini perlu dilakukan karena sesungguhnya seksualitas normatif maupun seksualitas non-normatif adalah hasil sebuah konstruksi sosial. Syarifah melakukan kajian tentang perempuan dan pornografi dari pendekatan humanistis dan filosofis dalam buku yang berjudul ”Kebertubuhan Perempuan dalam Pornografi”. Dalam buku ini dijelaskan pemikiran-pemikiran filosofis tentang tubuh dan kebertubuhan perempuan tidak mendapat tempat dalam filsafat mainstream dan malestream yang dihasilkan oleh filsuf sejagat. Yang sibuk mereka bicarakan adalah tubuh polos, tubuh umum, tubuh universal dengan oposisi binernya dengan jiwa. Esensi tubuh dan seksualitas perempuan dipendam rapat-rapat dibalik pengetahuan phallosentris. Terjadi proses objektifikasi dan komoditifikasi tubuh perempuan. Saparinah Sadli, Ninuk Widyantoro & Rita Serena Kolibonso, Ringkasan Studi Pemantauan Status Kesehatan Seksual dan Kesehatan Reproduksi di 6 Daerah di Indonesia.52 Berisi tentang data dan gagasan dari berbagai daerah yang menggambarkan peluang dan tantangan kesehatan reproduksi di Indonesia. Ada kajian yang menjelaskan tentang tantangan mengatasi kematian ibu di Madura, dalam hal pengambilan keputusan melahirkan dimana dan siapa yang akan menolong kelahiran sebagian besar ditentukan oleh suami dan keluarga. Hanya 10% pengambilan keputusan ditentukan oleh ibu hamil.
51 52
Nursyahbani Katjasungkana & Irwan M. Hidayana (2007), Sadli. 2010. Berbeda tapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Kompas
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 19
Refti H. Listyani
Adanya mitos bila ibu meninggal saat hamil atau melahirkan akan langsungmasuk surga. Disebutkan bahwa sebab-sebab dari tingginya kematian ibu tidak hanya dapat dipandang dari segi medis tetapi juga berkaitan dengan sistem manajemen kesehatan perempuan, nilai-nilai budaya yang berlaku, kemauan politik negara untuk menempatkan kesehatan perempuan sebagai isu nasional. Saptandari menyimpulkan dari beberapa temuan di atas menunjukkan bahwa (a) tubuh dan eksistensi perempuan dipengaruhi secara kuat oleh pandangan, pemahaman serta kepercayaan masyarakat tentang tubuh, seksualitas dan kesehatan perempuan, yang berkontribusi terhadap kerentanan tubuh dan kesehatan reproduksi perempuan. Bahwa cara pandang, pemaknaan, kepercayaan serta perilaku yang berhubungan dengan tubuh, seksualitas dan kesehatan perempuan tersebutdipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi dan politik yang bekerja dalam kekuatan simbolik. b) Eksistensi perempuan dikaitkan dengan “kodrat perempuan”. Urusan kodrat perempuan berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan dan menopause,menimbulkan pemaknaan yang khas tentang tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan. c) Adanya paradoks dan ironi terkait tubuh, kesehatan dan eksistensi perempuan. Di satu sisi, muncul pemikiran bahwa permasalahan tubuh, seksualitas hingga kesehatan reproduksi dianggap sebagai urusan atau tanggung jawab perempuan dan bukan permasalahan yang berhubungan dengan laki-laki. Sebaliknya, dapat kita jumpai begitu banyak aturan yang dibuat berdasarkan dominasi budaya patriarki yang dikenakan kepada perempuan dalam menjalani peran haid, hamil dan melahirkan. d) dominasi atau kuatnya mitos & tabu tentang tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan tak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi, serta eksistensi perempuan dalam struktur keluarga dan masyarakat, serta relasi gender yang berlaku. Mitos dan tabu tentang tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan yang tak dapat dilepaskan dari kuasa simbolik, yang secara langsung maupun tidak mempengaruhi kebijakan, praktik-praktik perawatan dan pemeliharaan kesehatan perempuan. e) Terdapat relasi dan distribusi kuasa yang tidak seimbang, dimana perempuan tidak memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan, termasuk tidak adanya kekuasaan untuk menentukan sesuatu yang berhubungan dengan tubuh, seksualitas dan kesehatannya. Misalnya, untuk menentukan kapan hamil/tidak, memilih alat kontrasepsi dalam Keluarga Berencana, memilih layanan persalinan, menentukan bagaimana merawat bayi. f) Tingginya nilai anak laki-laki dibandingkan dengan nilai anak
20 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Tubuh Perempuan : Tubuh Sosial yang Sarat Makna
perempuan dalam konteks budaya patriarki menyebabkan adanya semacam keharusan atau kewajiban bagi perempuan untuk melahirkan anak laki-laki; relasi kuasa yang tidak seimbang, dominasi nilai-nilai patriarki, aturan yang dibuat oleh laki-laki, serta eksistensi perempuan yang dipertanyakan oleh lakilaki maupun diragukan oleh para perempuan sendiri. g) Tubuh, seksualitas dan kesehatan menjadi hambatan bagi perempuan untuk dapat bertransedensi untuk dapat diakui eksistensinya. Tubuh menjadikan perempuan sebagai sosok Liyan, yang keLiyanan tersebut dipertahankan terusmenerus melalui berbagai cara. Tidak hanya melalui konstruksi budaya yang mereproduksi tabu, mitos dan stereotipe. Namun, juga melalui pengaturan hukum positif seperti kebijakan kesehatan reproduksi yang tertuang pada Undang-Undang Kesehatan dan produk kebijakan kesehatan lainnya. h) Pengaturan tentang kesehatan reproduksi seperti pengaturan tentang aborsi dan sunat perempuan merupakan gambaran dominasi wacana politik patriarki yang mengarahkan pada wacana tubuh perempuan sebagai tubuh medis, yang mendorong terjadinya kekerasan simbolik dalam hubungan gender yang tidak setara. i) Terjadi proses objektifikasi dan komoditifikasi tubuh perempuan karena perempuan ditempatkan sebagai modal biologis dan simbolik, yang dapat dijumpai dalam berbagai kebijakan maupun dalam praktek-praktek seharihari. j) Dirasakan kurangnya dukungan institusional bagi tubuh perempuan, sebagaimana dinyatakan oleh Emily Martin. Jika tubuh perempuan dipengaruhi oleh patriarki, maka baik tubuh perempuan maupun tubuh laki-laki dipengaruhi oleh kapitalisme. Dalam konteks inilah dapat dirasakan betapa berat beban perempuan yang harus mengalami objektifikasi dan komoditifikasi atas nama patriarki dan kapitalisme global.53 Dalam bahasa legislasi, Andrea Dworkin dan Catherine MacKinnon mengajukan delapan kondisi di mana telah terjadi diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan, yaitu (i) perempuan dipresentasikan sebagai obyek seksual, benda, atau komoditi, (ii) perempuan dipresentasikan sebagai obyek seksual yang menikmati penghinaan dan penyiksaan, (iii) perempuan dipresentasikan sebagai obyek seksual yang mengalami kenikmatan seksual di dalam pemerkosaan, incest, atau pemaksaan seksual dalam bentuk lain, (iv) perempuan dipresentasikan sebagai obyek seksual yang diikat, dipotong atau dimutilasi atau memar atau luka secara fisik, (v) perempuan dipresentasikan dalam postur atau posisi kepatuhan seksual, budak, atau mempertontonkan, (vi) bagian tubuh perempuan 53
Saptandari. 2013. Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi. BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013. 68
An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 21
Refti H. Listyani
–termasuk tetapi tidak terbatas pada vagina, buah dada, atau pantat— dipertontonkan sehingga perempuan direduksi menjadi sekedar bagian ini, (vii) perempuan dipresentasikan sebagai sesuatu yang dikenai penetrasi oleh obyekobyek dan hewan, dan (viii) perempuan dipresentasikan dalam skenario yang menurunkan martabat, penghinaan, penyiksaan, ditunjukkan sebagai kotor atau inferior, mengeluarkan darah, luka, di dalam konteks yang menjadikan kondisi seksual.54 Penutup Cara berpikir mengenai tubuhpun mengalami pergeseran-pergeseran mengikuti pola pikir masyarakat dan konteks yang muncul sehingga makna mengenai tubuh tidak pernah stabil. Pemaknaan mengenai tubuh yang bergeser memperlihatkan bahwa tubuh diperlakukan lebih dari sekedar tubuh biologis yang terisolasi karena tubuh selalu ada dalam ruang publik, sehingga pemaknaan terhadap tubuh menjadi terbuka untuk berbagai intepretasi. Tubuh menjadi sasaran utama konsumsi, dan dengan demikian semakin dekat dengan bahaya eksploitasi. Tubuh dikultuskan dan dipuja dalam fungsinya sebagai komoditi dalam transaksi sosial, dan seringkali diperlakukan sebagai ‘objek’ begitu saja. Ia dapat dirubah dengan berbagai cara jika dirasa tidak memuaskan dan menerima berbagai penghinaan jika dirasatidak indah. Tubuh mungkin dibicarakan dan dipertontonkan dalam berbagai ruang privat dan publik, namun penghargaan lahiriah yang diberikan terhadapnya seringkali tidak dilandasi oleh suatu pemaknaan luhur akan kebertubuhan manusia itu sendiri. Tubuh bersolek berjaya dalam ruang publik karena di sinilah tubuh dipamerkan untuk dipandang dan memandang tubuh lain dalam sebuah arena kontestasi. Tubuh yang berada di ruang domestik termarjinal karena kegiatan pamer-memamerkan dan pandang-memandang tidak dimungkinkan. Tubuh tidak dapat lepas dari pencitraan yang diberikan padanya dan pencitraan tersebut tidak bebas nilai, karena setiap pencitraan memiliki konsekuensi-konsekuensi yang merugikan atau menguntungkan si pemilik tubuh. Jika tubuh perempuan dipengaruhi oleh patriarki, maka baik tubuh perempuan maupun tubuh laki-laki dipengaruhi oleh kapitalisme.
54
Saptandari. 2013. Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi. BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013.
22 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016
Tubuh Perempuan : Tubuh Sosial yang Sarat Makna
DAFTAR PUSTAKA Bakhshi, Savita, “Women’s Body Image and the Role of Culture: A Review of the Literature”, Europe’s Journal of Psychology, 2008. Bestiana, Desi, “Citra Tubuh dan Konsep Tubuh Ideal Mahasiswi FISIP Universitas Airlangga Surabaya”, Antro Unair DotNet, Vol.1/No.1/JuliDesember 2012. Featherstone, Mike, The Body in Consumer Culture The Body: Social Processes and Cultural Theory (London: Sage Publication, 1982). Foucault, 1990. History of sexuality, vol.1 An introduction Vintage Books, New York Grogan, Sarah, Body Image: Understanding Body Dissatisfaction in Men, Women, and Children (New York: Routledge, 2008). Hidayat, Rahmad, Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin (Yogyakarta: Jendela, 2004). Martin, Emily (1989), The Women in The Body: A Cultural Analysis of Reproduction, Stony Stratford: Open Uni-versity Press. Melliana S., Annastasia, Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan (Yogyakarta: LkiS, 2006). Mochtar, Jenny, Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen (Jakarta: FIB UI, 2009). Priyatna, Aquarini, Seks dan Seksualitas Perempuan dalam Kebudayaan
Kontemporer (Bagian dari buku Seks, Teks, Konteks dalam Wacana Lokal dan Global) (Jurusan Sastra Inggris UNPAD dan Kelompok Belajar Nalar, 2004). Sadli, Saparinah, Berbeda tapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan (Jakarta: Kompas, 2010). Saptandari, Pinky, “Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi”, BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013. Sarup, Madan, Postrukturalisme dan Posmodernisme (Yogyakarta: Jalasutra, 2011). Syarifah (2006), Kebertubuhan Perempu-an dalam Pornografi, Jakarta: Pen-erbit Yayasan Kota Kita Synnott, Anthony, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat (Bandung: Jalasutra, 2003). Thornham, Sue, Teori Feminis dan Cultur Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2010). An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016 | 23
Refti H. Listyani
Tong, Rosemarie Putnam, Feminist Thought (Yogyakarta: Jalasutra, 2010). Turner. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber terj. G. A. Ticoalu. (Jakarta: Rajawali, 1992) Wolf, Naomi, Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan (Yogyakarta: Niagara, 2002). Yuliani, Sri, Tubuh Perempuan: Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia. ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010.
24 | An-Nisa', Vol. 9 No. 1 April 2016