REFORMASI BIROKRASI SEBUAH EVALUASI Slamet Riyadi Abstract Bureaucratic reform since 1998 has been discussed in various circles both DPR,.Minister of Internal Affairs even by the President in his speech has been voiced out loud in front of the Indonesian nation, because the speech was covered by a variety of electronic and print media. However, the reform only lived a mere utterance and could not yet be realized well. However the implementation has still been constrained by various political interests. UU No. 43/1999 has clearly as the foundation of the state / government in conditioning apparatus, it has been hindered to implementation because of the low ethical, moral and cultural values of individuals in each system within the government bureaucracy. Keywords: Bureaucratic Reform, UU No. 43/1999, Ethics Abstrak Reformasi birokrasi sejak tahun 1998 telah dibicarakan diberbagai kalangan baik itu DPR.Menteri Dalam Negeri bahkan oleh Presiden dalam Pidatonya telah disuarakan dengan lantang didepan bangsa indonesia,karena pidato tersebut diliput oleh berbagai media elektronik dan cetak. Akan tetapi reformasi hanya tinggal sekedar ucapan belaka dan belum dapat direalisasikan dengan baik. Namum perlaksanaanya masih terkendala oleh berbagai kepentingan politik. UU Nomor 43 tahun 1999 telah jelas sebagai landasan oleh negara/pemerintah dalam mengkondisikan aparaturnya, hal ini masih terkendala akan pelaksanaannya karena masih rendahnya etika, moral dan budaya individu dalam setiap sistem dalam birokrasi pemerintahan. Kata kunci: Reformasi Birokrasi, UU No. 43/1999, Etika
Latar Belakang Birokrasi sudah ada sejak terbentuknya sistem pemerintahan disuatu negara didunia, namun perkembangan birokrasi sangat ditentukan oleh perkembangan negara yang bersangkutan akan sistem pemerintahan yang dibentuknya. Birokrasi indonesia misalnya sudak sejah orde baru telah dilakukan penataan untuk menuju kepada birokrasi yang “ legal – rasional “ sebagimana yang dicitacitakan oleh Max Weber. Birokrasi seb agaimana dikemukakan oleh ( Moelyarto Tjokrowinoto 1995 hal 2) dimana ditandai oleh 1. Tingkat spe-
sialisasi yang tinggi, 2. Struktur kewenangan hirarkis dengan batas-batas kewenangan yang jelas, 3. Hubungan antar anggota organisasi yang tidak bersifat pribadi, 4. Rekruitmen yang didasarkan pada kemampuan tehnis, 5.Deferensiasi diantara pendapatan resmi dan pribadi. Kualitas ini yang ingin dicapai dengan melalui pengaturan structural seperti hirarki; kewenangan, pembagian kerja, profesionalisme, tata kerja, dan sistem pengupahan yang kesemuanya berlandaskan pada peraturan peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Selama orde baru birokrasi yang legal-rasional seperti yang diedialkan oleh Max Weber, semakin tidak terwujud karena birokrasi pada waktu itu tidak hanya sebagai instrumen tehnis penyelenggaraan roda administrasi pemerintahan yang terkait pada konstitusi dan aturan hukum,obyektif, netral dan politik kepentingan. Sebaliknya birokrasi justru memperlihatkan kecenderungan berperan yang meliputi fungsi-fungsi konvensionalnya dalam mengatur berbagai sektor kehidupan masyarakat dan negara. Khususnya dalam mekanisme pengambilan keputusan dan penyelenggaraan kekuasaan (politik) dari instrument tehnis yang apolitis menjadi mesin politik yang efek- tif dalam berbagai upaya rekayasa dalam masyarakat. Perkembangan birokrasi di Indonesia telah mengalami perubahan setelah orde baru tumbang digantikan dengan orde reformasi pada bulan mei 1998, ternyata cita-cita tersebut belum berhasil dicapai, namun telah dilakukan perubahan system pemerintahan misalnya keberanian Presiden Abdulrahman Wahid dengan membubarkan dua Depatemen pada waktu itu, lahirnya UU no 22 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU no 32 tahun 2004. Kenyataan ini belum dapat dijadikan acuan bahwa telah dilakukan reformasi bahkan banyak faktor antara lain adanya sisa-sisa peninggalan budaya tradisional masa lampau yang tetap hidup. Sebagai contoh ciri dominasi tradisional yang tetap ada dan mewarnai birokrasi Indonesia dengan berbagai manifestasinya. Misalnya world view birokrasi sebagai warisan budaya aristokratis, loyalitas ritual yang seringkali bersifat pribadi, pengadaan upacara untuk mengu kuhkan kembali kesetiaan, corak hubungan patroclient yang mewarnai hubungan atasan bawahan, kesadaran prestis, kelompok serta status yang masih kuat sehingga itu semuanya dapat membayangi konsep partisipasi modern dalam pengambilan keputusan.
Dominasi tradisional bersumber pada budaya jawa pada masa kerajaan namun hingga masa kini masih mewarnai dalam birokrasi di Indonesia, misalnya kesultanan yogya yang pada masa itu raja menempatkan pada pusat kosmos dengan melalui aparat birokrasinya yang bernama abdi dalem yang memerintah rakyatnya dengan menekankan kepatuhan pada rajanya. Birokrasi hasil rekayasa pemerintah Belanda dengan menempatkan struktur apolitis yang dipimpin oleh elite tradisional, yaitu priyayi, dimana struktur birokrasi tradisional tetap dipertahankan oleh pemerintah belanda karena dinilai sanga menguntungkan untuk mengukuhkan otoritasnya terhadap rakyat pribumi. Dengan dilandasi oleh kepercayaan pada kekuasaan priyayi dan berkeyakinan bahwa rakyat yang setia kepada pangreh praja ( golongan terhor- mat ) yang setia pada pemerintah yang berkuasa pada masa itu adalah Belanda . Sistem birokrasi demikian disebut den- gan birokrasi ambternaar Harny J Benda d a l a m D o n a l d E m m e r s o n 1976 .Karenanya apa yang telah dilaku- kan sejak reformasi tahun 1998 hanya melaksanakan sistem administrasi pemerintahan yang menerapkan prinsisp prinsip tata pemerintahan yang baik (good Govenance) dalam tugas untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik belum juga dapat menunjukan hasil yang memuaskan bagi masyarakat. Reformasi berjalan sangan lambat Kebijakan desentralisasi yang telah dilaksanakan sejak 1 Januari 2001 telah berdampak pada perubahan sistem birokrasi secara besar-besaran. Hal ini dapat dilihat dengan bertambahnya pemerintahan daerah yang telah mencapai sekitar 374 pada ahkir 2010 dan lebih dari 2,5 juta PNS serta 20.000 harta kekayaan milik negara telah dipisahkan dan dialihkan pada pemerintah daerah. Akan tetapi perubahan sistem tersebut tidak membuat unsur adminiatrasi pemerintah
atau aparatur negara mampu mempraktekan good gavernance yang dapat meningkatkan kinerja unsur-unsur utama aparatur negara seperti lembaga LAN, KepPAN. Dan BKN atau BKD sebagai unsur dalam penentuan kinerja aparatur pemerintahan, bahkan sebaliknya dengan birokrasi yang tidak lebih efisien. Laporan UNDP, ADB, dan Bank Dunia serta laporan para peneliti pengguna jasa birokrasi (investor) menyimpulkan bahwa reformasi birokrasi yang ditempuh Indonesia tidak berjalan seperti yang diharapkan. ADB dalam publikasi nya yang berjudul “ Governance Assessmen Report-Indonesia Manila 2004, merekomendasikan untuk diadakan radikal reform of the public administration and civil service espesially in organization desigs, manpower and staffing, incentive structures, human reousce management, training systems, and budgenting. Hal ini disebabkan oleh kesimpulan yang menyatakan bahwa terdapat sejumlah kelemahan dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia yang antara lain : 1. Manajemen perencanaan dan pemerintahan. Dalam hal ini menajeman perencanaan oprasional, SDM dan pembangunan serta perencanaan anggaran belum diselenggarakan secara terpadu dan terintegrasi sehingga menyebabkan rendahnya efisiensi dan produktifitas administrasi negara. 2. Peranan Lembaga pusat administrasi negra, Lembaga pusat dalam hal ini adalah Kantor Menpan, LAN da BKN, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga pusat lebih mengutamakan tata aturan dari pada kinerja yang lebih baik. 3. Kinerja Pegawai negari, bahwa sistem pengembangan karir PNS kurang menghargai profesionalime dan kinerja. 4. Klasifikasi Jabatan, bahwa kinerja pegawai belum maksimal, karena sistem pelayanan belum menerapkan sistem klasifikasi jabatan yang diperlukan untuk jabatan yang disusun secara
profesional. Seorang pemegang jabatan tidak diharuskan memiliki ketrampilan yang diperlukan untuk jabatan tersebut. Penempatan seseorang pada suatu jabatan lebih didasarkan pada sistem karir, bukan sistem jabatan sebagaimana diatur dalam daftar urutan kepangkatan (DUK). 5. Gender mainstreaming, perempuan kurang terwakili dalam jabatan pimpinan pada semua lini dan sektor, kecuali pendidikan dan kesehatan. Hal ini akan mempengaruhi semangat kerja perempuan dimana perempuan dalam budaya jawa sebagai orang nomor dua. 6. Asosiasi Profesional PNS masih terbatas, sehingga PNS terbelenggu dalam sistem aturan yang ada, PNS harus patuh dan taat pada atasan. 7. Desentralisasi, bahwa pelaksanaan desentralisasi memberikan daerah untuk lebih otonom yang lebih luas akan tetapi pilihan terbatas hanya pada suatu model ekonomi. Hal ini daerah dituntut untuk dapat berkreasi dalam pembangunan daerah yang bersangkutan. Kondisi ini dapat mendorong daerah untuk berlomba akan lebih baik dengan daerah lainnya, sehingga akan terbentuk raja-raja kecil didaerah. 8. Mobilitas PNS daerah, mobilitas PNS antar daerah sangat terbatas karena tidak adanya mekanisme pemindahan pegawai antar daerah. 9. Sistem tata kepegawaian. belum tersentralisirnya dalam sistem kepegawaian sehingga apabila terjadi mutasi pegawai banyak dijumpai adanya kejanggalan. 10. Program diklat pegawai, masih kurangnya mengutamakan pelatihan tehnis fungional, sehingga untuk menenpatkan jabatan fungsional mengalami kendala ketiadaan orang yang memenuhi klasifikan jabatan tersebut. 11.Sistem Penggajian, sistem pengajian sangat rumit sehingga tidak memotivasi profesionalisme dan tanggungjawab serta kurangnya transparan.
12.Praktek KKN, dalam penerimaan PNS, penempatan dan promosi jabatan merupakan peluang untuk KKN karena sistem yang tidak transparan, hal ini sudah menyebar disemua instansi dan disemua sektor di birokrasi. Untuk mengatasi masalah mendasar ADB merekomendasikan Pemerintah Indonesia agar melakukan langkahlangkah peningkatan kinerja dan praktek tata pemerintahan yang baik ( good gavernance) dengan mengintegrasikan empat proses perencanaan yaitu 1. Perencanaan oprasional. 2.Perencanaan SDM. 3.Perencanaan pembangunan dan 4.Perencanaan anggaran,agar menjadi proses manajemen terpadu. Sofyan Effendi,2010 hal 54. Kinerja birokrasi masih rendah karena manajemen SDM aparatur negara belum sepenuhnya menerapkan best praktices yang merupakan prinsip-prinsip birokrasi, birokrasi masih menerapkan sistem karier yang kurang mampu mendinamisasi perubahan dalam birokrasi di semua cabang pemerintahan, merebahnya politisasi PNS, dan semangat kerja merosot disebabkan adanya disparitas penggajian antar in- stansi. Saat ini kepercayaan publik pada aparatur negara semakin merosot dikarna kan kinerja rendah dan merebahnya prak- tek KKN. Sementara itu kwalitas pelayan publik yang menjadi tujuan kebijakan pemerintah dengan melalui desentralisasi dan otonomi daerah belum menun- juhkan kemajuan yang signifikan dan memuaskan. Memang sudah banyak usaha yang telah dilakukan misalnya dibidang pendidikan, kesehatan dasar, penyediaan sarana dan prasarana transfortasi dan air bersih. Namun kesenjangan akses dan kwalitas pelayan publik antar daerah dan praktek KKN masih menggejala. Diakui bahwa selama sepuluh tahun reformasi indonesia yang telah berhasil membangun pilar demokrasi secara damai dan aman, ekonomi nasional sudah semakin membaik yang ditunjuhkan dengan pertumbunan PDB 5-6 persen per
tahun sejak 2002. Akan tetapi prestasi tersebut tidak diikuti oleh solosi pemecahan masalah di bidang kemiskinan, pengangguran, pelayanan publik dan tata pemerintahan yang baik. Reformasi Peraturan Perundangundangan Guna melaksanakan reformasi di bidang politik dan birokrasi MPR sejak era reformasi telah melaksankan empat kali amandemen Undang-undang dasar 1945, yaitu tahun 1999 sampai tahun 2002. Amandemen Undang-undang tersebut mengakibatkan adanya perubahan sistem pemerintahan terutama reformasi pemilu dan kelembagaan negara, adanya mahkamah konstitusi, komisi yusdisial dan berbagai lembaga lainnya. Selain itu pemerintah juga telah melaksankan reformasi sistem birokrasi. Sisten ini terdiri dari tiga komponen yairu 1.Peraturan dasar tentang sistem birokrasi, 2.Sistem kepegawaian dan 3.Akuntabilitas serta transparasi. Untuk itu pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam melakukan reformasi birokrasi misalnya : 1. UU Nomor 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih,Bebas dari Korupsi,kolosi dan Nepotisme, 2. UU Nomor 31 tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. 3. UU Nomor 43 tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Pepegawaian sebagai Pengganti UU Nomor 8 tahun 1974. 4. UU Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. 5. UU Nomor 1 tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. 6. UU Nomor 5 tahun 2004 Tentang Perubahan atas UU Nomor 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. 7. UU Nomor 25 tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, 8. UU Nomor 25 tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
9. UU Nomor 32 tahun 2004 Tantang Pemerintah Daerah. 10.UU. no 7 tahun 2006 tentang bpengesahan united nations Convention against Corruption 2003 ( konvensi Perserikatan bangsa-bangsa terhadap korupsi 2003 ). 11.UU no 17 tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang Nasional tahun 2005-2025. 12.UU no 25 tahun 2009 tantang pelayanan publik dan masih banyak lagi. Semua peraturan perundangundangan tersebut dijadikan landasan hukum reformasi birokrasi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah indonesia. Reformasi Manajemen Kepegawaian Reformasi manajemen kepegawaian dipusatkan pada tiga aspek yaitu 1. Penataan sistem penggajian dan jaminan sosial PNS, penatana gaji dan jaminan sosial merupak fokus utama dalam reformasi birokrasi karena sistem penggajian PNS yang diterapkan menyimpang dari acuan teori penggajian yang berlaku. Literatur manajemen SDM yang banyak dianut banyak negara, skala penggajian yang baik dan mampu memacu prestasi kerja adalah yang memiliki rasio 1:20 antata gaji terendah dan gaji tertinggi. Skala penggajian yang dilaksanakan saat ini dikenal dengan peraturan gaji pegawai negeri sipil yang menyimpang dari sistem pengggajian pegawai negeri . Dalam PGPS gaji pokok terendah adalah sebesar Rp.700,000 dan gaji pokok tertinggi adalah 1.700.000 sehingga ret terlalu tipis dan tidak proposional. Disamping itu ada tunjangan fungsional dan struktural untuk para pejabat eselon IV hingga eselon I. Sistem ini disebut dengan sistem yang menggabungkan kedua sistem tersbut. Sistem penggajian demikian belum menjamin tingkat kesejahteraan yang mampu mendukung kinerja PNS, karena gaji PNS masih dibawah gaji yang diterima pegawai BUMN dan anggota legislatif, Sofyan Effendi 2010.Oleh karena itu sistem penggajian PNS harus diarahkan kepada
sistem kepegawaian meritokratik. 2. Pendistribusian mutu PNS yang lebih merata antar daerah perkotaan dan pedesaan, sehingga setiap daerah memiliki kwalitas pegawai yang merata sejalan dengan keinginan pemerintah dan publik. dan 3. Mengatasi ketimpangan dalam kopentensi perumusan kebijakan. Setiap pegawai diberbagai daerah memiliki problim solving yang sama sehingga tidak sulit bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang menyangkut tata aturan pegawai negeri. Sistem Renumerasi Pemerintah mengharapkan setiap aparatur harus bercirikan profesional, kopenten dan akuntabel yang dapat mendukung kondisi pemerintahan yang transparan, demokratis, berkeadilan, efektif dan efisien dengan menghormati hukum yang mendorong terciptanya partisipasi dan pemberdayaan. Untuk meningkatkan mutu aparatur pemerintah sebagai modal dasar pembangunan nasional, maka kinerja aparatur pemerintah harus senantiasa ditingkatkan dan diarahkan agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Peningkatan mutu SDM dengan pendidikan karir yang berjenjang sangat strategis terhadap ketrampilan, motivasi, pengembangan dan managemen pengorganisasian merupakan syarat utama untuk mewujudkan kemampuan bersaing dan kemandirian. Sejalan dengan itu semuanya visi dalam konteks pembangunan bidang kepegawaian dimasa yang akan datang adalah untuk mempersiapkan PNS yang profesional, mampu bersaing dan mampu mengantisipasi perkembangan dunia yang pesat diberbagai aspek kehidupan sehingga pagawai negeri dapat mampu meningkatkan mutu pelayanan dan kinerja yang tinggi sejalan dengan tuntutan zaman dan perkembangan tehnologi. Banyak pakar mengemukakan bahwa salah satu penyebab keterpurukan dan ketidakmampuan bangsa Indonesian dalam perkembangan ekonomi selama ini adalah rendahnya komintmen dan kinerja
penyelenggara negara. Yang salah satunya adalah kinerja pegawai yang merujuk pada tingkat keberhasilan seseo rang dalam melaksanakan tugas serta upaya yang dilakukan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja seseorang akan optimal jika didukung oleh kemampuan yang baik dan motivasi yang tinggi oleh setiap pegawai. Kinerja pegawai dalam sebuah organisasi dipengaruhi pula oleh faktorfaktor yang antara lain adalah tingkat gaji yang masih rendah. Kurangnya data dan informasi, suber daya, peralatan dan lingkungan, konsekuensi hasil kerja, keahlian dan pengetahuan serta kemampuan dan mitivasi. Komitmen pegawai yang masih rendah sebagai penyelenggara negara hal ini disebabbkan tidak transparasi dalam penerimaan pegawai. Pegawai yang diterima didasarkan pada kolosi,korupsi dan nepotisme, sehingga berakibat pada rendahnya mutu kenerja pegawai. Bagi pemerintah dan organisasi apapun bentuknya, gaji merupakan salah satu pengeluaran yang digunakan untuk penggunaan tenaga kerja. Oleh karena iru, sistem balas jasa dapat dilihat sebagai suatu sistem yangberada pada hubungan timbal balik antara pemerintah atau organisasi dengan pegawai. Organisasi selalu mengkaitkan antara balas jasa dengan kuantitas, kualitas dan pemanfaatan balas jasa yang dipersembahkan pegawai kepada pemerintah dan organisasi akan berpengaruh pada pencapaian tujuan yang pada ahkirnya berpengaruh pada kelangsungan organisasinya. Dari sisi pegawai, balas jasa sebagai sarana pemenuhan dari berbagai kebutuhan hidupnya terutama dalan hidup sesama keluarganya dalam seharian. Sistem penggajian adalah merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari sisten remunerasi yang merupakan implementasi atau penerapan hasil dari menagemen kinerja. Remunerasi memiliki pengertian sebagai bentuk imbalan ( reward) yang diterima pegawai sebagai akibat dari kinerja dalam pemerintahan
atau organisasi. Imbalan yang meliputi hadiah, penghargaan dan promosi jabatan. Kinerja tidak dapat dicapai secara maksimal apabila remunerasi diberikan secara propesinal ( Ivancevich,hal 286287). Pendekatan dengan melalui remunerasi dilakukan sebagai cara yang efektif untuk mengurangi biaya dan meningkatkan produktifitas pegawai, karena pegawai merasa dihargai. Kenaikan gaji akan efektif apabila dilaksankansecara bersama-sama dengan diterapkan system managemen kepegawai yang berorientasi pada kinerja, sehingga ada kejelasan tentang apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab dari masingmasing pegawai, serta ukuran target kinerja ba- gaimana yang harus dilakukan dan hen- dak dicapai. Dengan demikian setiap pegawai memahami bahwa untuk menda- patkan imbalan tertentu harus mencapai kinerja tertentu pula. Dengan dasar seperti itu, maka remunerasi yang diter- ima oleh pegawai akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara adil dan layak. Ref ormasi bir ok rasi s e r i n g disamakan dengan remunerasi, tahapan proses dan sistem yang ada dalam reformasi birokrasi hanya diarahkan pada terbentuhnya sistem remunerasi yang diharapkan. Ini wajar mengingat minimnya pengetahuan remunerasi yang saat ini didapatkan oleh pegawai pemerintah, namun ini harus dipahami bahwa remunerasi hanya salah satu agenda yang besar dalam upaya reformasi dalam bidang birokrasi. Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara telah membuat kajian dan menemukan beberapa permasalahan dalam sistem remunerasi yang akan dan sedang berlaku yaitu 1, Besarnya gaji kurang memenuhi kebutuhan untuk hidup layak yaitu terendah Rp.760,500 dan tertinggi Rp.2.405.400. 2, Gaji PNS kurang kopentitif bila dibandingkan dengan sektor swasta khususnya untuk tingkat manager dan pimpinan. 3.Besarnya gaji tidak memenuhi prinsip “ equity “, karena gaji tidak dikaitkan dengan kopentensi dan
prestasi, akan tetapi didasarkan pada pangkat dan masa kerja. 4.Struktur gaji kurang mendorong motivasi kerja karena jarah antara gaji terendak dan teringgi rationya 1:3,3 dan kenaikan pangkat hanya diikuti dengan kenaikan penghasilan dalam jumlah yang kecil. 5. Tunjangan jabatan struktural yang besar menimbulkan kompetisi yang tidak sehat. 6. Kurangnya transparansi, karena disamping gaji masih menerima sejumlah honorarium diluar pos gaji, sehingga terjadi distorsi dalam sistem penggajian dan jumlah anggran untuk belanja pegawai sulit diketahui secara pasti dan sulit dipertanggungjawabkan pada publik. Sistem remunerasi secara normatif telah diatur dalam undang-undang Nomor. 43 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang no 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian yang memuat bahwa struktur pegawai sipil yang hasus dipenuhi adalah struktur gaji yang adil dan layak sebagaimana disebukan pada Pasal 7 Undang-undang tersebut adalah : (1). Setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggungjawab. (2). Gaji yang diterima oleh pegawai negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejhateraannya. (3). Gaji pegawai negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Sebagaimana termatup dalam pasal tersebut diatas dengan memperoleh penghasilan yang adil dan layak maka pegawai negeri akan dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, dengan demikian pegawai yang bersangkutan dapat memusatkan perhatian, pikiran dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan.
Ukuran Keberhasilan Menurut KemenPan Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara menyatakan bahwa untuk mewujudkan keberhasilan reformasi birokrasi, ada empat hal yang menjadi kuncinya yakni : 1. National Commitment to reform, yang dimaksudkan Komitmen untuk melakukan reformasi birokrasi tidak hanya dari kalangan birokrasi tetapi juga harus dari luar birokrasi. Selain komitmen dari jajaran birokrasi, masyarakat harus terus menerus memberikan kritik membangun untuk menyampaikan aspirasinya dan berpartisipasi dalam upaya medorong peningkatan kwalitas pelayanan publik. 2. Engine of reform, bahwa reformasi birokrasi memerlukan mesin penggerak yang memeliki kemampuan untuk memacu proses berjalanya reformasi birokrasi secara nasional. 3. Content of reform, bahwa reformasi birokrasi dilakkukan secara hati-hati dengan prioritas pada hal-hal yang harus diperbaiki dibuat secara jelas, karena reformasi birokrasi memerlukan grand design dan road map 4. Process excelelence, yaitu untuk menjaga agar proses dapat berlangsung dengan baik, maka akan disusun berbagai panduan yang akan menjadi acuan dalam melaksanakan reformasi birokrasi. Untuk mengukur keberhasilan dalam reformasi birokrasi ditentukan 9 indikator sebagai acuan yaitu : a.Tidak ada korupsi. b.Tidak ada pelanggaran. c. APBD bagus, yang ditunjuhkan dari peningkatan dan penyerapan anggaran tiap triwulan. d. Semua program selesai dengan baik (presentasi penyelesaian program triwulan). e. Semua perizinan cepat (peringkat doing business). f. Komunikasi dengan publik baik ( indek kepuasan masyarakat). g. Pemanfaatan
waktu yang efektif dan produktip. h. Jumlah reword dan panishment dan I. Hasil pembangunan nyata (growth,job,food,energy,health,educat ion) dll. Sejak awal reformasi digulirkan pada tahun 1998, pemerintah telah berupaya membangun tata pemerintahan yang baik (good governance) yang merupakan salah satu program utamanya dengan membangun aparatur negara dengan melalui reformasi birokrasi yang dilakukan secara bertahap. Sejak tahun 2007, lima lembaga telah dijadikan proyek percontohan dalam upaya reformasi birokrasi, lembaga tersebut yaitu Lembaga Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan serta Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara. Dalam upaya tersebut beberapa Direktorat yang merupakan sumber korupsi telah dilakukan perubahan besar-besaran seperti pajak, bea cukai dan kemudian pada tahun 2009 dilakukan perombahan dilembaga Seskab/Sesneg yang didalamnya termasuk Polri dan TNI, kemudian diperluas hingga 11 instansi. Akaibat dari semuanya ini terjadi perubahan ribuan pegawai dimutasikan. Perubahan ini cukup radikal dalam perubahan birokrasi di Indonesia dan yang paling penting dari itu semuanya adalah masyarakat telah memperoleh perubahan dalam bidang pelayanan dan negara memperoleh tambahan pendapatan yang bersumber dari reformasi tersebut misalnya pajak menjadi meningkat. Sejak pemerintah melakukan proyek percontohan di 5 instansi tersebut, sistem remunerasi pegawai merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi dan harus dilakukan untuk membenahi birokrasi kepegawaian secara menyelu ruh meskipun banyak kecaman dari berbagai pihak. Namun yang perlu dipertanyakan adalah benarkah dengan menaikan gaji PNS, profesionalisme dan disiplin
pegawai sebagai abdi negara akan membaik kinerjanya. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah masyarakat harus mendesak wakil rakyat atau Pemeritah untuk membatalkan pilot proyek sistem remunerasi di instansi pemerintah karena dapat menimbulkan diskriminasi bagi lembaga lainnya yang diduga melanggar UU Nomor 43 tahun 1999 yang menimbulkan diskriminasi. Pasal 7 UU ini menyebutkan, setiap pegawai negeri sispil wajib memperoleh gaji yang layak dan adil sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya. Gaji yang diterima oleh pegawai harus mampu memacu produktifitas dan menjamin kesejahteraan. Gaji yang layak dan adil harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan harus ditentukan sistem penggajian dan tunjangan PNS. Dikatakan apabila hal ini akan diterapkan maka harus diterapkan secara adil dan merata di seluruh pegawai pemerintah baik pusat dan daerah. Kritikan lain muncul dari matan Menpan Faisal Tamin pada era Kabinet Gotong Royong yang menyatakan bahwa tidak ada jaminan dengan gaji sangat besar pelayanan akan lebih baik,bersih dan bebas dari mafia yang bernuasa kolusi. korupsi dan nepotesme (KKN) seperti yang terjadi diberbagai Departemen, Wakil Rakyat dan berbagai Partai politik. Hal demikian justru menimbulkan berbagai pertanyaan mengapa program remunerasi diberlakukan secara diskriminatif dan hanya pada instansi tertentu dan instansi lain yang juga merupakan sarang KKN tidak diberlakukan. Netralitas Birokrasi Landasan hukum yang bertujuan agar birokrasi pemerintahan bersih dari intervensi politik adalah UU Nomor 43/1999 tentang pokok-pokok kepegawaian negara pasal 3 UU ini menyatakan bahwa : 1. Pegawai negerai berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pe-
masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah dan pembangunan. 2. Dalam kedudukandan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, pegawai negeri ha rus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik secara tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. 3. Untuk menjamin netralitas pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. (Faisal Tamin,http:// bataviase.id/node/159768.) Politisasi birokrasi dalam era demokrasi menjadi permasalahan penting,karena menyangkut hak asasi manusia dan berkaitan dengan reformasi birokrasi dengan pemilu nasional. Situasi ini, birokrasi menjadi rentan untuk diintervensi dan disalahgunakan, karenanya semua fihak harus dapat mengawal kemungkinan penyalahgunaan kedudukan PNS dalam politik praktis. Untuk itu pemerintah dan DPR harus tegas dan legowo untuk melepaskan jabatan publik manakala memperoleh jabatan politik, hal ini yang juga perlu direformasi secepatnya. Kesimpulan Reformasi birokrasi perlu dikawal dan dimonitor oleh berbagai fihak terutama masyarakat yang akan memperoleh pelayanan dan ini menjadi permasalahan yang penting. Salah satunya adalah yang berkaitan antara reformasi birokrasi karena berbagai kepentingan birokrasi, terutama aspek pelayanan, dan kepentingan yang lebih dominan yang tidak mencerminkan perubahan. Remunerasi dengan best practice yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai dasar dalam sistem remunerasi
dengan memberikan keadilan yang layak dengan didasari oleh kinerja pegawai. Dengan pengembangan sistem remunerasi pegawai, pegawai dapat bekerja didasarkan beban keja dan tanggungjawabnya, sehingga dapat mengeliminir terjadinya penyalah gunaan tindakan berupa korupsi,kolusi dan nepotisme dilingkungan kerja. Karena good governance berkaitan erat dengan etika, moral dan budaya individunya. Sistem remunerasi sebaiknya dikalukan dengan adil dan layak dengan beban kerja dan tanggungjawab sebagaimana dalam UU Nomor 43 tahun 1999,hal ini untuk menghindari terjadinya ketidakadilan dan diskriminatif. Demokrasi yang terus digalakan di era reformasi, netralitas pegawai terus dijaga, karena UU Nomor 43 tahun 1999 pasal 3, ayat 2 dan 3 tetap dijadikan dasar dalam memberikan sanksi bagi pegawai yang menyimpang dalam penyelenggaraan demokrasi baik ditingkat nasional dan daerah. Banyak pegawai diberbagai daerah yang terlibat sebagai tim sukses dari calon kepala daerah, (Gubernur,bupati dan walikota). Akan tetapi hal ini terus berlangsung dan tidak adanya tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang diatas. DAFTAR PUSTAKA Moelyarto Tjokrowinoto, Sosok birokrasi Indonesia Dalam Era Tinggal landas,1989 hal 2. Priyo Budi Santoso, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Raja Grafindo Persada 1995 hal 2. ........., dalam Donald Emmerson, Indonesia Elite : Political Culture and Cultural Politics, New York Cornell University 1976. Sobyan Effendi, Reformasi Tata Kepemerintahan,menyiapkan aparatur Negara Untuk mendudkung Demokrasi Politik dan Ekonomi
Terbuka. Gajah Mada University Press 2010 hal 54. Faisal Tamin. Asat Keadilan Dalam Sis- tem Remunerasi PNS,http:// bataviase.co/node/159768. April 2010. David Asborne, Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi.PT Puasaka Binaman Presindi,1997. David Osborne dan Petter Plastrik, Memangkas Birokrasi,Victory Jaya Abadi,2000. Guy Benvenisle, Birokrasi, PT Raja Grafindo Persada 1997. Martin Albrow, Birokrasi, Pt Tiara Wacana Yogya 1996. Undang-undang No.43 tahun 1999.tentang pokok-pokok kepega- waian.