145
REFORMASI BIROKRASI DI PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN: ”Akankah Hanya SYAHWAT SESAAT ?“ Ismail DP1 Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ambon
[email protected] ABSTRAK Reformasi birokrasi adalah bagian dari sebuah perubahan terencana dengan strategi khusus yang penuh liku-liku politik dan administrasi itu sendiri. Karena itu, reformasi harus dipahami sebagai sebuah perubahan menuju tatanan yang lebih baik. Tidak semua perubahan adalah reformasi, kecuali perubahan sistematis dan terencana yang di arahkan untuk melakukan transformasi secara mendasar dengan outcomes yang lebih baiklah yang dapat disebut sebagai reformasi. Untuk konteks perguruan tinggi keagamaan, reformasi birokrasi nampaknya tidak lebih dari sekedar ‘a passing fad’. Namun reformasi tetap harus dilakukan mengingat bobroknya sistem dan struktur pelayanan publik. Reformasi birokrasi di perguruan tinggi keagamaan perlu dipersiapkan dan djalankan secara hati-hati. Reformasi juga hanya bisa dijalankan dengan menginkorporasi sejumlah strategi yang intinya harus melibatkan semua stakeholders, mulai dari birokrasi hingga masyarakat awwam. Karenanya, kolegialitas hendaknya ditempatkan pada pusat lingkaran konsentrik reformasi. Sangat disadari bahwa upaya melakukan reformasi birokrasi di perguruan tinggi keagamaan sangat dilematis, dan kompleks. Namun tetap optimisme untuk menjadikan reformasi birokrasi sebagai agenda utama yang dirumuskan secara demokratis dan dijalankan secara partisipatif. Biaya yang harus ditanggung akibat kegagalan reformasi jauh melampaui biaya akibat absennya reformasi...! Karenanya dibutuhkan perencanaan strategis yang matang, dengan sumber daya yang lengkap, dan strategi implementasinya yang ampuh. Keyword:Reformasi, Birokrasi, Perguruan Tinggi ABSTRACT Bureaucratic reform was part of a planned change with specific strategies tortuous politics and the administration itself. Therefore, the reform must be understood as a change towards a better order. Not all the changes are reforms, systematic and planned unless changes are directed to undertake a fundamental transformation with more Let outcomes may be called reform. For the context of religious colleges, reform of the bureaucracy seems nothing more than 'a passing fad'. However, reform remains to be done given the decaying system and structure of the public service. Bureaucratic reform at religious colleges need to be prepared and be executed carefully. Reform also only be run with essentially incorporate a number of strategies should involve all stakeholders, ranging from bureaucracy to society marginal. Therefore, collegiality should be placed at the center of concentric circles of reform. It is well known that efforts to reform the bureaucracy in a real dilemma religious colleges, and complex. But still optimism to make reform of the bureaucracy as the main agenda democratically formulated and implemented in a participatory manner. Costs to be borne as a result of the failure of reforms far outweigh the costs due to the absence of reform ...! Therefore required careful strategic planning, with a complete resource and powerful implementation strategy. Keyword; Reform , Bureaucracy , Universities
1
Penulis adalah tenaga pegajar pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Ambon Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
146
PENDAHULUAN enulis merasa tergelitik untuk menulis tema ini mengingat hampir semua orang, para pejabat, organisasi, para elit-politik, media masa, para-pemerharti/pengamat dari berbagai bidang, bahkan para pengojek dan penarik becak-pun ”semakin tergiur” membicarakannya. Bung Amien Rais dalam Harian Suara Pembaruan (Jumat, 21/04/05) menyebutkan ”Pada Hari Kebangkitan Nasional Ini, Marilah Bersama Kita Bulatkan Tekad Untuk: meluruskan tujuan teformasi, melanjutkan agenda reformasi, menuntaskan cita-cita reformasi”. Teriakan-teriakan para mahasiswa dimana-mana dengan lantang berteriak : Hidup Reformasi- Hidup reformasi- Hidup reformasi. Budiman, 1998 menyebutnya sebagai Inflasi Reformasi, sebagai konsekuensi dari luasnya penggunaan kata tersebut untuk menjustifikasi berbagai ”tindakan dan kebijakan publik”. Dengan kemampuan dan pengalaman yang sangat terbatas, tulisan singkat ini mencoba mengangkat kembali beberapa tema pokok yang berhubungan dengan reformasi khususnya ”reformasi birokrasi di perguruan tinggi keagamaan”. Harapannya, hipotestis: ”pesimisme yang beranggapan bahwa upaya reformasi yang lahir dari pikiran ilmuan dan petinggi serta pemangku kepentingan, tidak lebih
P
dari sekedar gejala, trend. atau hanya syahwat sesaat yang akan segera berlalu”. Desakan untuk segera dilakukannya Reformasi telah memaksa semua negara baik negara maju maupun negara terbelakang/berkembang seiring dengan lontaran gagasan Reinventing Government yang dilontarkan David Osborne dan Ted Gaebler (1992). Jika dilakukan komparasi, maka faktor pemicu reformasi di kedua kelompok negara tersebut cukup berbeda. Untuk negara terbelakang, desakan tersebut memiliki spektrum tuntutan yang jauh lebih luas, termasuk untuk menegakkan akuntabilitas publik, keadilan, transparansi, dan penghargaan HAM. Untuk kelompok negara maju, reformasi lebih diartikan sebagai deregulasi, privatisasi dan marketisasi 2 . Sejak abad tersebut upayaupaya “inheren” telah dilakukan khususnya dalam peningkatan efisiensi, optimalisasi peningkaan kinjerja pelayanan publik, upaya-upaya eliminasi korupsi, peningkatan produktivitas kerja, kepemerintahan yang baik dan sebagainya. Pertanyaan mendasar, kontekstual dan memiliki tingkat urgensi tinggi adalah, masihkah relevan reformasi birokrasi dilakukan di lembaga/institusi perguruan tinggi keagamaan….?. Berangkat dari 2
Lane, Jan-Erik, 1995. The Public Sector: Concepts. Models and Approaches, London: Sage Publications; h. 6
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
147
semangat optimisme, tentu saja amat sangat relevan dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut. Pertama, birokrasi dapat diandaikan seperti 2 sisi mata uang atau sering disebut a necessary evil, yang walaupun dalam banyak hal sering menimbulkan masalah (a part of problem), akan tetapi menjadi institusi modern yang sulit ditolak keberadaannya, karena tidak sedikit contoh yang memperlihatkan bahwa birokrasi adalah juga solusi (a part of solution). Walaupun sulit mempertahankan sosok birokrasi seperti itu di jaman sekarang ini, namun jauh lebih sulit lagi meninggalkan masyarakat modern tanpa birokrasi. Gerald Caiden bahkan secara tegas menyatakan bahwa birokrasi publik harus tetap dipertahankan keberadaannya 3. Karenanya pilihan yang nampak lebih satisfice adalah Pertama, bagaimana memberdayakan lembaga tersebut dengan melakukan intervensi kebijakan yang lebih bernuansa reformasi. Kedua, birokrasi bukanlah sekedar perangkat instrumental tetapi merupakan bangunan institusional yang melekat dalam masyarakat modern. Karenanya, adalah sangat sulit untuk membubarkan lembaga tersebut (Bappenas) yang dalam perjalanannya telah mampu mengakumulasi sejumlah 3 Caiden, Gerald E., 1992. “Administrative Reform Comes of Age,” Public Administration Vol.70, No.2 (Spring), h. 137
sumberdaya, mengembangkan esprit de corps sendiri, memiliki etika profesi yang khas serta menempati peran dan posisi strategis dalam masyarakat. Telah banyak inisiatif yang dilakukan untuk mengeliminasi perannya, namun yang kita saksikan adalah sosok birokrasi yang kian besar dengan jangkauan pengaruh yang juga semakin eksesif. Dengan karakter seperti itu, birokrasi menjadi institusi otonom yang tidak tergantung pada lingkungannya, tetapi mampu menciptakan lingkungan yang menggantungkan diri kepadanya 4. Ketiga, perubahan-perubahan lingkungan tersebut (baik pada tingkat lokal, regional maupun global) mengedepankan tantangan yang tidak sedikit, di samping beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan birokrasi. Karenanya, wacana yang semakin aktual adalah bagaimana memperjuangkan globalisasi birokrasi, di samping indigenisasi sektor publik. Formalisasi institusi-institusi multilateral yang semakin besar dan luas sedikit banyak akan berpengaruh pada merosotnya otonomi pembuatan keputusan birokrasi. Birokrasi hanya bisa survive jika mampu memanfaatkan lingkungan tersebut sebagai action-environment yang mendukung realisasi tugas dan tanggung jawabnya. Sebaliknya, kegagalan untuk merespons perkembangan lingkungan akan berakibat pada lunturnya legitimasi 4
Ibid, h. 90
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
148
pimpinan, dan selanjutnya, membahayakan masa depan institusi. Dengan kata lain, lingkungan menciptakan ruang bagi birokrasi untuk bersaing, mempertahankan diri, melakukan adaptasi atau bahkan harus mencari ekosistem politik baru. Lingkungan tersebut, atau populer dengan istilah celah ekologis - serangkaian batasan dalam lingkup abstrak yang cukup untuk mempertahankan suatu spesies merupakan konteks spesifik tempat suatu keadaan “aman” tercipta. Walaupun ke tiga argumen proposisi di atas sekaligus menyadarkan kita akan pentingnya birokrasi dalam konteks pelayanan publik perguruan tinggi keagamaan, justru yang menjadi ”critical point” adalah, apakah persoalan tersebut merupakan masalah bad management atau masalah yang bersifat inheren. Jika masalahnya adalah sekedar bad management, maka yang perlu dilakukan adalah perombakan, perbaikan, revitalisasi dan usaha-usaha semacamnya. Sedangkan jika masalahnya sudah bersifat inheren, maka diperlukan serangkaian upaya sistematis yang jauh lebih kompleks daripada sekedar mengupayakan transformasi. Patologi birokrasi sebagaimana umum dijumpai selama ini lebih merupakan masalah mismanajemen daripada masalah yang melekat dalam tubuh birokrasi.
Untuk konteks Perguruan Tinggi Keagamaan, ada beberapa langkah strategis yang pernah diupayakan dalam kerangka reformasi. Sayangnya, hingga saat ini belum ada transformasi yang cukup substansial untuk mengatakan bahwa telah ada reformasi dalam tubuh birokrasi Perguruan tinggi keagamaan. Lebih ironis lagi, insiatif-inisiatif untuk melakukan reformasi baru dilakukan manakala terjadi krisis, sebagaimana terjadi pada beberapa tahun terakhir ini. Reformasi birokrasi Perguruan tinggi keagamaan juga belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Memasuki tahun 2015 ini, sejak reformasi digulirkan, perbaikan birokrasi pemerintah pada umumnya dan perguruan tinggi keagamaan khususnya, belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Ini tercermin dari masih tingginya penyalahgunaan wewenang dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tidak efisiennya organisasi pemerintah baik di pusat dan daerah, rendahnya kualitas pelayanan publik, dan lemahnya fungsi lembaga pengawasan. Landasan Teoritis : Konsep Reformasi Didalam teori administrasi publik manapun, reformasi birokrasi tidak bisa berjalan secara alamiah 5 . Dia adalah
5
Agus Heruanto Hadna dalam Pramusinto Agus dan Purwanto Erwan Agus, Reformasi Birokrasi, Pelayanan Publik, Kajian tentang Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
149
bagian dari sebuah perubahan terencana dengan strategi khusus yang penuh likuliku politik dan administrasi itu sendiri. Karena itu secara sederhana reformasi dapat dipahami sebagai perubahan menuju tatanan yang lebih baik. Jadi bukan sekedar perubahan. Dengan sendirinya, tidak semua perubahan dapat dikategorikan sebagai reformasi. Hanya perubahan sistematis dan terencana (systematic and planned change) yang di arahkan untuk melakukan transformasi secara mendasar dengan outcomes yang lebih baiklah yang dapat disebut sebagai reformasi. Reformasi juga dapat dipahami sebagai upaya untuk menjadikan sistem administratif sebagai instrumen yang lebih efektif bagi perubahan sosial, instrumen yang lebih baik untuk menghasilkan kesederajatan politik, keadilan sosial, dan pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks yang lebih spesifik, konsep reformasi sering diidentikkan administrative improvement, administrative change, administrative evolution dan administrative modernization. Juga dapat dipahami sabagai perubahan sistemik dan berskala besar dalam suatu mekanisme yang terencana dan bertahap. 6 Konsepsi Pelaksanaan Otonomi Daerah, Yogyakarta: Gava Media, Jian UGM; h. 89 6
Guzman, Raul P. De, Mila A. Reforma, 1994. “Administrative Reform in the Asia Pacific Region: Issues and Prospects,” in Charles
seperti itu menambahkan satu dimensi krusial lain yang selama ini kurang diperhatikan, yaitu perubahan gradual. Reformasi merupakan transformasi yang terencana dan berlangsung secara gradual. Lebih lanjut, Guzman dan Reforma juga menyatakan bahwa setidak-tidaknya ada 3 tahap penting yang berhubungan dengan reformasi birokrasi. Tahap pertama, disebutnya sebagai tahap lawful state dengan konsep ”Birokrasi Weberian”. Pada tahap ini, reformasi cenderung dilakukan untuk memperkuat kerangka kerja lama dan bersifat ruleoriented sehingga perubahan struktural yang dijanjikan tidak lebih dari sebuah retorika politik. Justru yang terjadi adalah kuatnya orientasi pada status-quo dengan sejumlah ortodoksi sebagai landasannya. Tahap kedua adalah tahap demokratis. Pada tahap ini, perimbanganpertimbangan politik semakin dominan dengan kesadaran bahwa efisiensi birokrasi tidak akan bisa ditegakkan dalam sistem regulasi yang ketat dan ortodoks. Hukum benar-benar ditegakkan untuk memacu reformasi dan norma regulatif esensial bagi aktivitas birokrasi adalah public goods. Pada tahap ini terjadi kontraksi anggaran belanja negara, ekspansi aktivitas publik, serta semakin Heckscher and Anne Donnellon (eds.), The PostBureaucratic Organization: New Perspectives on Organizational Change, California: Sage Publication, h. 1-14.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
150
eksesifnya pengaruh pemerintah. Tahap ini dikenal juga dengan demokratisasi sektor publik. Pada tahap akhir, administrasi publik dilaksanakan dengan terutama memperhatikan mekanisme dan dinamika pasar (market-oriented public administration). Pada tahap ini, reformasi dijalankan untuk menginkorporasi sektor swasta dan masyarakat dalam pembangunan sehingga tema-tema yang dominan pada tahap ini adalah privatisasi, kompetisi, inovasi, partisipasi serta minimalisasi peran dan fungsi negara. Argumen di atas merupakan jawaban terhadap luasnya fokus dan lokus reformasi. Dapat disebut di sini antara lain reformasi institusional dan personil; sistem dan prosedur; sistem administratif yang mendukung perencanaan, monitoring dan kontrol; partisipasi masyarakat dalam pembangunan; riset dan pengembangan; serta peraturan civil service dan penegakan hukum. Kata kuncinya adalah deregulasi, reregulasi, debirokratisasi dan 7 desentralisasi . Penekanan pada 4 dimensi terakhir ini paralel dengan berbagai pendapat yang telah disajikan sebelumnya. Luasnya lokus dan fokus reformasi sebagaimana dipaparkan di atas dengan sendirinya melibatkan banyak kepentingan 7 Kristiadi, J.B., 1994. “Administrative Reform in Indonesia: Streamlining and Professionalizing the Bureaucracy,” in Charles Heckscher and Anne Donnellon, h. 97-109.
dan aktor. Kepentingan-kepentingan tersebut akan melakukan bargaining agar tidak dikorbankan. Di sana ada dukungan sekaligus resistensi, dua kubu kepentingan yang senantiasa membawa kliennya masing-masing. Adanya proses perubahan yang bersifat inkremental diharapkan mampu mewadahi proses tarik menarik itu sehingga apa yang diperjuangkan dapat diwujudkan dengan biaya yang seminimal mungkin. Kalkulasi biaya juga perlu dilakukan karena proses pergeseran sekecil apapun tidak pernah luput dari biaya yang harus ditanggung8. Idealisme yang coba dimunculkan dan diperjuangkan akhirnya harus berhadapan dengan resistensi dari kalangan yang merasa terancam kepentingannya. Karenanya, reformasi harus bersifat imparsial dan all-inclusive dalam representasi kepentingan. Tipe perubahan seperti ini menuntut adanya perombakan yang cukup radikal atau apa yang dikenal sebagai ‘big bang’9.
8 Grindle, Merilee S., and John W. Thomas, 1991. Public Choices and Policy Changes: The Political Economy of Reform in Developing Countries, London: John Hopkins University Press; h. 101 9 Basri, Muhammad Chatib, 1999. “Indonesia: The Political Economy of Policy Reform,” in Arief Budiman, Barbara Hatley and Damien Kingsbury (eds.), Reformasi: Crisis and Change in Indonesia, Clayton: Monash Asia Institute, h. 36
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
151
Reformasi Birokrasi di Perguruan Tinggi Keagamaan: Isu dan Strategi Persoalan-persoalan kronis yang berkembang di sekitar lembaga birokrasi di atas termasuk Perguaruan Tinggi Keagamaan adalah generalisasi atas beberapa fenomena yang mencuat ke permukaan. Deretannya akan semakin panjang jika semua masalah bisa didata. Langkah-langkah reformasi sektor publik yang diupayakan selama ini adalah upaya untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Beberapa tema diidentifikasi sebagai akar kelemahan administrasi publik selama ini. Ada yang memusatkan perhatiannya pada bagaimana meningkatkan efektivitas pelayanan publik..?; bagaimana menjalankan peran pelayan publik secara profesional dan inovatif dengan mengadopsi mekanisme kerja sektor swasta 10 , dan bagaimana meningkatkan akuntabilitas dan 11 responsivitas terhadap publik . Kuatnya dorongan untuk melakukan reformasi pada sektor publik bidang pendidikan juga dipengaruhi oleh beberapa temuan empiris bahwa reformasi yang dijalankan secara serius senantiasa
mendatangkan manfaat serta meningkatkan kinerja administrasi publik. Dengan demikian, reformasi telah menjadi semacam kredo universal yang nuansanya tidak kalah dari gaung globalisasi 12 . Pendapat lain bahkan melihat bahwa reformasi birokrasi merupakan salah satu kultur politik yang dianut sejak lama. Kaum progresif misalnya menganut reformasi sebagai salah satu spiritualitas ortodoksnya, yaitu ortodoxy of reform yang melahirkan gerakan penyadaran dalam tubuh administrasi publik secara berkesinambungan13 . Dalam kaitan dengan itu, reformasi sering dikaitkan dengan krisis, baik krisis sosial-ekonomi maupun krisis politik sebagaimana kita alami selama ini. Hipotesis krisis sebagaimana dikemukakan Robert Bates dan Anne Krueger reformasi merupakan respons terhadap krisis yang dihadapi suatu masyarakat ini cukup populer di kalangan pengamat
10
Osborne, David and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneural Spirit Is Transforming the Public Sector, Reading, MA: Addison-Wesley, h. 61 11
Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B., 2004. The New Public Service: Serving, Not Steering. New York: M.E. Sharpe, h 74.
12
Caiden, Gerald E., 1992. “Administrative Reform Comes of Age,” Public Administration Vol.70, No.2 (Spring), h. 137 13 Terry, Larry D., 1995. Leadership of Public Bureaucracies: The Administrator as Conservator, California: Sage Publications; h. 6
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
152 Dunia Ketiga14, Krisis terkadang menjadi semacam blessing in disguise15. ). Dalam kondisi yang ditandai krisis, desakan bagi dilakukannya perubahan secara mendasar mendapatkan momentumnya. Karena dalam kondisi semacam itu, terdapat banyak hal yang dipertaruhkan. Di antaranya adalah legitimasi dan eksistensi rezim yang sedang berkuasa serta kontrol dan stabilitas politik. Dalam kondisi itu, pemerintah mendapatkan tekanan yang sangat luas, baik dari publik domestik maupun opini internasional. Dengan sendirinya, reformasi menjadi agenda dengan prioritas utama (high politics) yang juga ditandai oleh sense of urgency yang tinggi pula16. Namun tetap harus diingat bahwa karena reformasi lebih merupakan persoalan politik ketimbang persoalan teknis, maka minimal ada 3 kondisionalitas yang harus dipenuhi. 14
Basri, Muhammad Chatib, 1999. “Indonesia: The Political Economy of Policy Reform,” in Arief Budiman, Barbara Hatley and Damien Kingsbury (eds.), Reformasi: Crisis and Change in Indonesia, Clayton: Monash Asia Institute, h. 31 15
Linden, Russel M., 1994. Seamless Governmet: A Practical Guide to Re-engineering in Public Sector, San Fransisco: Jossey-Bass Publishersh, 123
Reformasi hanya akan berhasil jika (1) politically desirable; (2) politically feasible; dan (3) politically credible 17 . Aspek pertama berhubungan dengan penerimaan oleh para elit dan semua konstituensnya, aspek kedua mempersoalkan ketersediaan dan kesediaan pelaku kebijakan terutama aktor-aktor kunci yang akan mengimplementasikannya, dan aspek terakhir berkaitan dengan kredibilitas dan akseptibilitas para stakeholders. Tiga kondisionalitas di atas harus diperhatikan dan dipenuhi mengingat luasnya spektrum reformasi birokrasi. Dalam hubungan dengan itu, ada beberapa aspek yang biasanya diperjuangkan dalam reformasi sistem administratif. Aspekaspek tersebut antara lain meliputi (1) transformasi dan penyesuaian kembali fungsi-fungsi administrasi; (2) reformasi dan readaptasi struktur kekuasaan administratif; (3) reformasi dan readaptasi struktur organisasi administrasi publik; (4) reformasi administrasi personalia; (5) reformasi proses dan mekanisme operasional administrasi publik; (6) adopsi metode-metode saintifik modern serta perangkat teknologi maju dalam
16
Grindle, Merilee S., and John W. Thomas, 1991. Public Choices and Policy Changes: The Political Economy of Reform in Developing Countries, London: John Hopkins University Press; h, 134
17 (World Bank, 1995, dalam (Turner, Mark and David Hulme, 1997. Governance, Administration and Development: Making The State Work, London: MacMillan Press Ltd, h. 194
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
153
administrasi publik; dan (7) reformasi berbagai sub-sistem administrasi publik18 . Seringkali idealisme semacam itu harus dibenturkan pada adanya resistensi dari kalangan yang menghendaki statusquo. Selain itu masih ada beberapa hambatan teknis-politis lainnya19. Hambatan reformasi juga bisa datang dari kesulitan menjalin aksi kolektif untuk mendesakkan tuntutan serta mengimplementasikannya. Kecenderungan menjadi free-rider dapat dengan mudah ditemui. Kecenderungan semacam itu erat kaitannya dengan konflik distributif, yaitu siapa yang akan diuntungkan dan siapa
Chang, Liu Yi, 1992., “Reform: The Theme of the Development of Chinese Administrative Science,” in Zhang Zhijan, Raul P. De Guzman, and Mila A. Reforma (eds.), Administrative Reform Towards Promoting Productivity in Bureaucratic Performance, Manila: European Secretariat General; h. 140 18
19 Gerald E.Caiden (1982) berhasil mengidentifikasi beberapa di antaranya seperti adanya vested interest, kompleksnya masalah yang harus ditangani sehingga hanya sebagian kecil saja yang bisa dirombak, kurangnya perhatian dan prioritas pada masalah implementasi daripada masalah formulasi, absennya kompetitor terhadap sektor publik yang telah berhasil mengembangkan yurisdiksi dan otonomi sendiri, baik sumberdaya, bakat, pengalaman, keahlian dan pengetahuan, informasi maupun kekuasaan itu sendiri. Hambatan terakhir ini berimplikasi pada semakin tergantungnya masyarakat pada birokrasi, termasuk untuk melakukan perubahan, sehingga birokrasi menjadi masalah sekaligus solusi sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya. Faktor penghambat lain yang dilihat Caiden adalah bahwa subyek dan obyek reformasi adalah birokrasi, sebuah institusi besar yang cenderung rigid, konservatif, lamban dan terikat pada ortodoksi.
yang harus menanggung resiko akibat proses reformasi 20. Penulis lain melihat bahwa hambatan utama upaya reformasi birokrasi adalah pada keterbatasan birokrasi itu sendiri, yaitu ketidakmampuannya untuk memahami dam mengakomodasi kompleksitas lingkungan dan mal-adaptasi terhadap perubahan akibat keterbatasan pengetahuan serta cognitive style para aparatnya. Wujudnya adalah respons behavioral yang keliru seperti superfisialitas dan oversimplifikasi masalah, segmentasi, disosiasi dan anomi. Banyaknya hambatan di atas jelas membutuhkan adanya strategi yang baik. Strategi dimaksud sudah sekilas disinggung di atas, terutama bagaimana mempertimbangkan aspek politik dari perubahan itu sendiri, yaitu siapa yang akan dilibatkan, apa saja kepentingan yang akan dipertaruhkan, berapa biaya yang harus ditanggung, bagaimana konstalasi lingkungan eksternal pada tingkat regional maupun global, dan sebagainya. Untuk singkatnya, faktor-faktor tersebut disebut sebagai konteks dan muatan reformasi (reform context and content). Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, beberapa kiat strategis berikut ini perlu diperhatikan. 20 Haggard, Stephan, and Robert R. Kaufman, 1995. The Political Economy of Democratic Transitions, New Jersey: Princeton University Press; h. 156
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
154
Mengutip uraian Ellen Doree Rosen (1993), reformasi Birokrasi di bidang apapun, harus dijalankan berdasarkan prinsip kesederhanaan. Simplisitas yang dimaksud adalah bahwa reformasi sebaiknya hanya dimulai dengan perubahan-perubahan yang relevan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, reformasi harus dimulai dari felt-needs. Pertimbangan utamanya adalah pada mahalnya biaya serta munculnya oposisi jika reformasi diarahkan pada perombakan besar-besaran atau revolusi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pentingnya partisipasi. Partisipasi dapat dibangkitkan dengan menjalin komunikasi yang terbuka dengan segenap kalangan masyarakat. Adanya partisipasi yang luas akan mendatangkan dukungan publik, tanggung jawab bersama serta komitmen kolektif untuk melakukan perubahan21. Partisipasi juga dapat merombak sistem dan berbagai aturan secara fundamental serta menghindari terjadinya bias kepentingan dalam kebijakan publik . Namun harus tetap diingat bahwa keputusan untuk berpartisipasi akan sangat tergantung pada kalkulasi rasional, yaitu bahwa perubahan akan mendatangkan lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan pengorbanan yang diberikan. 21 Turner, Mark and David Hulme, 1997. Governance, Administration and Development: Making The State Work, London: MacMillan Press Ltd., h. 114-116
Keyakinan akan pentingnya partisipasi dalam konteks reformasi sering berlebihan. Sebagian pengamat melihat beberapa kemungkinan negatif yang muncul akibat luasnya partisipasi. Dalam pandangan mereka partisipasi sering mendatangkan paradoks. Luasnya partisipasi berimplikasi langsung pada luasnya tuntutan dan input kebijakan. Kondisi semacam itu membutuhkan penyediaan sumberdaya dalam jumlah besar yang terkadang tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah. Aspek ketiga yang juga penting adalah bagaimana mengantisipasi resistensi. Hal itu bisa diatasi dengan introduksi kerangka kerja yang partisipatif dengan melibatkan semua stakeholders). Perangkap popularitas kebijakan yang mengeliminasi masukan atau kritik eksternal harus sejauh mungkin dihindari. Sebaliknya, perlu dilakukan evaluasi 22 secara terus menerus dan teratur untuk mengantisipasi perubahan atau penyimpangan sekecil apapun. Evaluasi seperti itu sangat penting untuk mengukur konsistensi rencana dengan sasaran yang telah ditetapkan. Strategi operasional bisa 22
Evaluasi yang diidealkan di sini adalah model evaluasi formal maupun informal. Secara informal, evaluasi merupakan suatu proses penilaian atas self-critical capacity suatu organisasi yang dilakukan secara internal, berkala dan dengan frekuensi yang lebih banyak. Sedangkan secara formal, evaluasi merupakan upaya penilaian yang dilakukan pihak luar berdasarkan terms of reference yang telah disepakati sebelumnya.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
155
saja berubah sesuai perubahan lingkungan, tetapi sasarannya harus tetap dipertahankan. namun tetap harus diingat bahwa hubungan antara tujuan reformasi dengan outcomes yang telah dicapai terkadang sulit diukur, terutama jika upaya reformasi yang dijalankan bersifat komprehensif dan sedang berjalan. Aspek yang terakhir yang harus diperhatikan adalah masalah biaya. Dengan memperhatikan hal itu, maka reformasi sebaiknya dijalankan dengan biaya yang rasional, yaitu biaya yang dapat ditanggung oleh suatu masyarakat. Biaya tersebut tidak saja menyangkut biaya finansial, tetapi juga biaya sosial, ekonomi dan politik yang mungkin diperlukan dan timbul bersamaan proses tersebut. Jadi pada intinya, reformasi hendaknya dimulai dengan sumberdaya yang dimiliki 23 . Aspek lain yang juga harus diperhatikan adalah penentuan fokus yang jelas. Fokus inilah yang nantinya berfungsi sebagai guiding principle sekaligus basis evaluasi. Jika fokus reformasi sektor publik pada umumnya adalah perbaikan dan peningkatan produktivitas, maka yang dijadikan indikator reformasi di perguruan tinggi keagamaan nantinya adalah adanya 23
Grindle, Merilee S., and John W. Thomas, 1991. Public Choices and Policy Changes: The Political Economy of Reform in Developing Countries, London: John Hopkins University Press; h. 192-193.
peningkatan kualitas dan kuantitas output untuk sejumlah input tertentu, atau bila perlu pengurangan input secara teratur di saat terjadi peningkatan output. Untuk konteks birokrasi di perguruan tinggi keagamaan, penetapan fokus reformasi menjadi kebutuhan yang semakin mendesak sifatnya. Upaya-upaya reformasi yang dijalankan selama ini nampaknya belum memiliki arah dan tujuan yang jelas sehingga pengukuran kinerja birokrasi di perguruan tinggi-pun agak sulit dilakukan. Sebaliknya, ada kecenderungan yang sangat kuat dalam tubuh birokrasi di perguruan tinggi keagamaan untuk mempertahankan statusquo dengan biaya apapun. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari cara pandang khas birokrasi kita yang selalu melihat upaya perbaikan dari kacamata zero-sum. Sebenarnya upaya penentapan fokus perubahan untuk menuntun arah reformasi sudah dilakukan. Kemen. PAN dan RB misalnya menetapkan bahwa sesuai dengan tantangan yang dihadapi serta kondisi riil administrasi publik di tanah air, maka upaya reformasi harus difokuskan pada bidang-bidang berikut24: Pertama, tugas dan fungsi: pola intervensi diganti dengan kemitraan dengan masyarakat dan sektor swasta.
24 Rohdewohld, Rainer, 1995. Public Administration in Indonesia, Melbourne: Montech Pty Ltd; 130-133
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
156
Tugas dan fungsi birokrasi harus lebih difokuskan pada penetapan policy direction, formulasi guidelines, melakukan pengawasan atau monitoring, serta memfasilitasi inisiatif-inisiatif masyarakat lokal. Tantangan aktual yang harus dihadapi, oleh karenanya, adalah bagaimana memperbaiki enabling and empowering capacity dalam tubuh birokrasi dan meneruskannya kepada masyarakat. Kedua, institutional set-up: meninjau kembali fungsi pemerintah secara sistematis serta redistribusi tugas dan otoritas yang jelas. Di negara lain, upaya tersebut populer dengan model institutional building, yaitu suatu perspektif perubahan sosial terencana dan terarah yang ditujukan untuk merencanakan, membentuk dan mengarahkan suatu organisasi (birokrasi) yang (a) mengandung perubahan nilai, fungsi, bentuk dan atau tekonologi sosial, (b) mengembangkan, memelihara dan melindungi hubungan normatif dan polapola tindakan baru, dan (c) mendapatkan dukungan dan komplementaritas dengan lingkungannya (Esman, 1972). Sasaran upaya tersebut adalah membentuk lingkungan organisasi yang kondusif bagi pembangunan dan pelayanan publik. Misi tersebut terus dikembangkan pada dekadedekade setelahnya yang diarahkan bagi terwujudnya learning organization, yaitu suatu organisasi atau institusi yang mampu
mengembangkan proses belajar bagi para anggota dan lingkungannya. Melalui pendekatan ini dilakukan reorientasi nilainilai baru terutama kepada aparat-aparat kunci dalam suatu organisasi dengan sasaran utama untuk mengubah mindset, sikap dan wawasan mereka. Ketiga, proses dan prosedur: komunikasi dua arah, customer-oriented, akuntabilitas publik delegasi diskresi dan otoritas yang semakin besar kepada bawahan, konsentrasi pada target dan tujuan, serta penerapan sistem informasi manajemen. Dalam kaitan dengan poinpoin tersebut, perlu penyediaan point of contact, pembenahan sistem informasi secara paralel untuk menghindari kegagalan informasi akibat jalur yang terputus-putus (falling-through-crack), pemutusan mata rantai pelayanan melalui pendekatan one fits all serta just in time. Keempat, human resources: reorientasi perilaku, peningkatan skill, serta pembenahan orientasi mental melalui pelatihan-pelatihan. Pelatihan yang dimaksud adalah model pelatihan yang partisipatif yang didasarkan pada permintaan dan kebutuhan langsung para pesertanya. Dikenal juga dengan model pelatihan yang terdesentralisasi. Juklak dan juknis dikurangi. Sebaliknya perlu diciptakan sebuah lingkungan di mana aparat birokrasi dapat langsung mempraktekkan materi pelatihan yang
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
157
telah diperolehnya. Dalam kaitan dengan itu, model Capacity Building suatu pendekatan strategis yang sengaja didesain untuk meningkatkan kemampuan individu dan lembaga pemerintah dalam rangka mewujudkan good governance 25 yang dijalankan di beberapa negara selama ini bisa diadaptasi. Penetapan fokus refromasi sebagaimana dipaparkan di atas, kendati penting, namun belum mampu menjamin fisibilitas reformasi. Penulis lain melihat bahwa hal terpenting yang harus diperhatikan dalam mengupayakan reformasi adalah peran leadership. Maksudnya adalah ketersedian aparataparat kunci dalam birokrasi yang bersentuhan langsung dengan tahap-tahap perumusan kebijakan. Dalam kondisi apapun, mereka inilah yang sebenarnya paling berkepentingan dengan upaya perubahan. Seringkali kegagalan reformasi tidak terletak pada kurangnya visi dan kerangka kerja, tetapi lebih disebabkan oleh kurangnya komitmen dan kredibilitas para elit birokrasi. Dengan petimbangan 25
Good Governance merupakan suatu tatanan pemerintahan yang ditandai oleh (1) adanya kapasitas untuk menjalankan kebijakan dan fungsifungsi pemerintah yang lain; (2) akuntabel dan transparan dalam proses decision-making; (3) adanya partisipasi dalam proses demokrasi; (4) adanya kepedulian terhadap kemiskinan dan pemerataan; dan (5) memiliki komitmen terhadap kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar (Wold Bank, 1995).
ini pula beberapa penulis merekomondasikan suatu model reformasi dari dalam tubuh birokrasi itu sendiri. Ada yang menyebutnya self-reform atau selfrenewal, yaitu suatu proses internal untuk menginisiasi, menciptakan dan menghadapi perubahan yang diperlukan sehingga memungkinkan suatu organisasi untuk tetap bertahan, melakukan adaptasi terhadap kondisi-kondisi baru, menyelesaikan berbagai masalah, belajar dari pengalaman masa lalunya, dan bergerak ke arah kedewasaan organisasional yang semakin besar. Melalui pendekatan ini, birokrasi secara sadar meninjau kembali tujuan, fungsi dan tugas serta strukturnya, memperbaiki hubungannya, dan menemukan kembali tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Upaya-upaya tersebut dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa bantuan eksternal26. Upaya semacam ini, bagaimanapun, menyimpan sejumlah kelemahan. Strategi semacam ini dinilai kurang idealis, kurang perfeksionis, terlalu praktis dan kompromis, kurang visioner dan kurang inklusif. Strategi seperti itu sangat bergantung pada kepentingan, talenta dan kemampuan aparat internal sehingga tidak mampu bergerak lebih jauh dari perspektif-perspektif tradisional,
26 Caiden, Gerald E., 1992. “Administrative Reform Comes of Age,” Public Administration Vol.70, No.2 (Spring), h. 90
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
158
membatasi partisipasi dan kritik eksternal, dan ujungnya adalah tidak adanya inovasi. Karakter semacam ini tentu saja akan menghalangi big-bang reformasi sebagaimana disebutkan di depan. Jika strategi semacam itu dijadikan pilihan, maka dituntut beberapa kondisionalitas lain terutama adanya fleksibilitas dalam struktur birokrasi di perguruan tinggi keagamaan. Adanya struktur birokrasi di perguruan tinggi keagamaan yang fleksibel memungkinkan institusi tersebut merespons tuntutan dan perubahan eksternal maupun internal secara lebih cepat dan optimal. Birokrasi di perguruan tinggi keagamaan harus terbuka dan transparan, mampu memfasilitasi koordinasi antar komponen atau unit kerja serta antar unti-unit tersebut dengan lingkungan eksternal, mereduksi konflik, meningkatkan mutual understanding antara birokrat dengan kelompok kepentingan, kelompok penekan, atau elemen-elemen masyarakat kampus lainnya, serta membuka jalur integrasi dengan publik. Kondisi seperti itu selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan dedikasi, responsibilitas, akuntabilitas, dan responsivitas birokrasi27 .
27 Mutahaba, Gelase, Rweikiza Baguma & Mohamed Halfani, 1993. Vitalizing African Public Administration for Recovery and Development, Connecticut: Kumarian Press; h 121
Selain strategi self-reform, masih ada strategi lain yang disebut sebagai strategi kebudayaan. Fokus utama strategi tersebut adalah perubahan mindset yang terlanjur dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya setempat. Nilai-nilai tersebut pada awalnya sejalan dengan nilai-nilai birokrasi modern sehingga sangat kondusif bagi pembangunan dan pelayanan publik. Namun dalam perjalanannya, nilai-nilai tersebut semakin kehilangan daya tarik dan kontribusinya. Sebaliknya nilai-nilai tersebut malah bersifat menghambat jalannya pembangunan dan optimalisasi pelayanan publik. Dengan memperhatikan beberapa strategi yang ditawarkan di atas, strategi reformasi birokrasi apakah yang seharusnya ditempuh...? Upaya mencari jawaban atas pertanyaan tersebut telah banyak dilakukan. namun jawaban yang memuaskan semua pihak, sampai saat ini belum ditemukan. Walaupun terdapat kesamaan komitmen untuk mereformasi birokrasi di perguruan tinggi keagamaan kita, namun belum ada kesamaan langkah dalam upaya mewujudkan harapan tersebut. Tidak ada satu strategi pun yang dapat mengklaim diri lebih dari strategi lain. Sebaliknya, strategi-strategi tersebut perlu digunakan secara terpadu. Keterpaduan semacam itu dapat ditemukan dalam gagasan-gagasan yang dilontarkan Osborne dan Plastrik (1997)
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
159
misalnya. Kedua analis ini, sadar akan kompleksitas persoalan yang harus dihadapi, akhirnya mengintegrasikan berbagai stategi yang dikenal sebagai Five Cs yaitu Core Strategy (reorientasi fungsi, tujuan, peran dan kewenangan pemerintah), Consequences Strategy (sistem insentif berdasarkan kinerja), Customer Strategy (akuntabilitas publik), Control Strategy (kemitraan dengan swasta dan masyarakat), serta Culture Strategy (pendekatan kultural untuk menumbuhkan kimitmen emosional). Jika diperhatikan, kelima poin tersebut sudah merangkum beberapa poin yang telah dipaparkan sebelumnya. Osborne dan Plastrik hanya mengelaborasi gagasan-gagasan tersebut secara lebih sistematis. Inti dari kelima strategi tersebut adalah bagaimana menegakkan akuntabilitas publik. Core Strategy menjawab permasalahan apa yang harus dipertanggungjawabkan, strategi kedua menetapkan bagaimana hal itu dipertanggungjawabkan, strategi kontrol menentukan siapa yang akan bertanggung jawab, sedangkan strategi budaya membantu proses internalisasi tanggung jawab oleh seluruh lapisan masyarakat. Kompleksitas strategi yang harus diterapkan serta peliknya persoalan yang dihadapi perguruan tinggi keagamaan, sering bermuara pada munculnya pragmatisme elit. Mereka cenderung
menerapkan strategi yang tidak membahayakan kepentingan dan kedudukannya. Pilihan semacam ini, bersembunyi di balik logika inkrementalisme, sering berakibat pada semakin menumpuknya persoalan birokrasi di perguruan tinggi. Hanya persoalan-persoalan kecil dengan gaung yang besarlah yang coba diselesaikan, sementara masalah-masalah yang sebenarnya lebih fundamental sengaja dibiarkan. Di sinilah pentingnya tekanan publik, dan itu paling nyata saat suatu masyarakat menghadapi krisis. Setelah tekanan krisis selesai dan kepentingan masayarakat berhasil diakomodasi, nasib reformasi pun kembali terkatung-katung seolah-olah tidak ada masalah dalam tubuh birokrasi. Sinyalemen ini paralel dengan apa yang sedang kita hadapi saat ini. Saat krisis menghimpit, tekanan bagi reformasi benar-benar sangat dirasakan. Berbagai upaya strategis pun berhasil dirintis. Tetapi kini, setelah keadaan agak membaik, tekanan semacam itu mulai mengendur dan akhirnya hilang secara perlahan. Kekeliruan manajemen momentum reformasi akibat krisis telah berakibat pada gagalnya reformasi di semua bidang, termasuk Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK). Tidak ada lagi reformasi! Yang ada hanya euphoria! Yang ada hanya
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
160
gejala! Dan Syahwat!
yang
ada
haya
gelora
PENUTUP Walaupun sudah banyak inisiatif yang diarahkan untuk melakukan reformasi di semua bidang termasuk bidang perguruan tinggi keagamaan, fakta empiris menunjukkan hasilnya tidak selamanya menggembirakan. Untuk konteks pendidikan tinggi keagamaan di Indonesia, reformasi birokrasi dan administrasi nampaknya tidak lebih dari sekedar ‘a passing fad’. Tema tersebut pernah menjadi begitu sentral, dikonsumsi oleh hampir semua kalangan, disuarakan di berbagai fora, dijadikan lahan mobilisasi dukungan massa dan agenda politik, dan akhirnya hilang tak berbekas. Mengapa hal itu terjadi..? Persoalannnya terletak pada kesalahan manajemen momentum reformasi. Jauh dari upaya yang sistematis dan terencana, reformasi di semua bidang utamanya reformasi birokrasi di perguruan tinggi keagamaan lebih masih merupakan desakan sesaat. Reformasi juga lebih merupakan kreasi elitis yang tidak memiliki basis dukungan massa dalam arti yang sesungguhnya. Selain itu, sebagaimana dialami perguruan tinggi di negara lain, reformasi adalah persoalan kompleks dengan sejumlah hambatan yang harus dihadapinya. Hambatan tersebut
terutama disebabkan oleh keengganan untuk melakukan perubahan. Terlepas dari sindrom tersebut, reformasi tetap harus dilakukan mengingat bobroknya sistem dan struktur administrasi dan pelayanan publik. Dengan lokus dan fokus yang begitu luas, reformasi birokrasi di perguruan tinggi keagamaan perlu dipersiapkan dan djalankan secara hatihati. Reformasi juga hanya bisa dijalankan dengan menginkorporasi sejumlah strategi yang pada intinya harus melibatkan semua stakeholders, mulai dari birokrasi hingga masyarakat secara umum. Karenanya, kolegialitas hendaknya ditempatkan pada pusat lingkaran konsentrik reformasi. Sangat disadari bahwa upaya melakukan reformasi birokrasi di perguruan tinggi keagamaan sangat dilematis, kompleks, mahal, dan sulit. Namun tetap ada optimisme untuk menjadikan reformasi birokrasi sebagai agenda utama yang dirumuskan secara demokratis dan dijalankan secara partisipatif. Harap dicatat bahwa biaya yang harus ditanggung akibat kegagalan reformasi seringkali jauh melampaui biaya akibat absennya reformasi...! Karenanya dibutuhkan perencanaan strategis yang matang, lengkap dengan sumber daya dan strategi implementasinya yang ampuh. DAFTAR PUSTAKA Pramusinto Agus dan Purwanto Erwan Agus, 2009. Reformasi Birokrasi, Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
161
Pelayanan Publik, Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah, Yogyakarta: Gava Media, Jian UGM; Basri,
Muhammad Chatib, 1999. “Indonesia: The Political Economy of Policy Reform,” in Arief Budiman, Barbara Hatley and Damien Kingsbury (eds.), Reformasi: Crisis and Change in Indonesia, Clayton: Monash Asia Institute.
Caiden, Gerald E., 1992. “Administrative Reform Comes of Age,” Public Administration Vol.70, No.2 (Spring). Chang, Liu Yi, 1992., “Reform: The Theme of the Development of Chinese Administrative Science,” in Zhang Zhijan, Raul P. De Guzman, and Mila A. Reforma (eds.), Administrative Reform Towards Promoting Productivity in Bureaucratic Performance, Manila: European Secretariat General. Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B., 2004. The New Public Service: Serving, Not Steering. New York: M.E. Sharpe Grindle, Merilee S., 1997. “The Good Government Imperative: Human Resources. Organizations and Institutions,” in Merilee S. Grindle (ed.), Getting Good Governance: Capacity Building in The Public Sectors of Developing Countries, Boston, MA: Harvard University Press Grindle, Merilee S., and John W. Thomas, 1991. Public Choices and Policy Changes: The Political Economy
of Reform in Developing Countries, London: John Hopkins University Press Guzman, Raul P. De, Mila A. Reforma, 1994. “Administrative Reform in the Asia Pacific Region: Issues and Prospects,” in Charles Heckscher and Anne Donnellon (eds.), The Post-Bureaucratic Organization: New Perspectives on Organizational Change, California: Sage Publication, Haggard, Stephan, and Robert R. Kaufman, 1995. The Political Economy of Democratic Transitions, New Jersey: Princeton University Press Kristiadi, J.B., 1994. “Administrative Reform in Indonesia: Streamlining and Professionalizing the Bureaucracy,” in Charles Heckscher and Anne Donnellon, Lane, Jan-Erik, 1995. The Public Sector: Concepts. Models and Approaches, London: Sage Publications. Linden, Russel M., 1994. Seamless Governmet: A Practical Guide to Re-engineering in Public Sector, San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. Mutahaba, Gelase, Rweikiza Baguma & Mohamed Halfani, 1993. Vitalizing African Public Administration for Recovery and Development, Connecticut: Kumarian Press. Osborne, David and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneural Spirit Is Transforming the Public Sector, Reading, MA: Addison-Wesley.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015
162
Osborne, David, and Plastrik P., 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, Reading, MA: Addison-Wesley Rohdewohld, Rainer, 1995. Public Administration in Indonesia, Melbourne: Montech Pty Ltd. Savas, Emanuel S., 1982. How to Shrink Government: Privatizing the Public Sector, New Jersey: Chatham House Publishers Terry, Larry D., 1995. Leadership of Public Bureaucracies: The Administrator as Conservator, California: Sage Publications. Turner, Mark and David Hulme, 1997. Governance, Administration and Development: Making The State Work, London: MacMillan Press Ltd.
Jurnal Studi Islam Pascasarjana IAIN Ambon
2015