INKONSISTENSI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Masalah, Solusi dan Re-orientasi) Oleh : Muhammad Isnaini email:
[email protected] http//www.muhammadisnain.blogsopt.com
A. Pengantar Problematika pendidikan agama secara umum di Indonesia adalah lambannya upaya-upaya re-orientasi pendidikan agama secara mendasar sehingga diharapkan mampu menghasilkan out put yang disamping memiliki kompetensi juga berkarakter (berkepribadian) yang baik. Reorientasi yang dimaksud adalah bertujuan untuk menjawab berbagai kritik mengenai gagalnya pendidikan agama di Indonesia selama ini. Dalam kaitan ini, pendidikan agama harus diarahkan menjadi bentuk pendidikan yang berkeadaban. Yakni, pendidikan agama yang mampu menumbuhkan kesadaran keberagamaan siswa didik yang berisi berbagai hal mendasar seperti kesadaran akan Tuhan, komitmen moral, rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial. Oleh karena itu, pendidikan agama seyogyanya tidak hanya mengedepankan
pengkayaan
aspek
kognitif
semata,
tetapi
juga
pembentukan karakter dengan pembenahan segi afektif serta pemberian ruang kebebasan untuk mengembangkan kreativitas dengan rangsangan pada
aspek
psiko-motorik
merupakan
hal
yang
penting
untuk
dilaksanakan secara seimbang. B. Masalah Mendasar : Sekularisme Sebagai Paradigma Pendidikan Jarang ada orang mau mengakui dengan jujur, sistem pendidikan kita adalah sistem yang sekular-materialistik. Biasanya yang dijadikan argumentasi, adalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, ―Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang.
berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.‖ Tapi perlu diingat, sekularisme itu tidak otomatis selalu anti agama. Tidak selalu anti ―iman‖ dan anti ―taqwa‖. Sekularisme itu hanya menolak peran agama untuk mengatur kehidupan publik, termasuk aspek pendidikan. Jadi, selama agama hanya menjadi masalah privat dan tidak dijadikan asas untuk menata kehidupan publik seperti sebuah sistem pendidikan, maka sistem pendidikan itu tetap sistem pendidikan sekular, walaupun para individu pelaksana sistem itu beriman dan bertaqwa (sebagai perilaku individu). Sesungguhnya diakui atau tidak, sistem pendidikan kita adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini dapat dibuktikan antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus. Dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara
kelembagaan,
sekularisasi
pendidikan
tampak
pada
pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama
1
ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan dari seluruh aspek kehidupan. Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya. Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan tsaqâfah Islam dan pembentukan kepribadian Islam. Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang pandai yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqâfah Islam. Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap saja ‗buta agama‘ dan
rapuh
kepribadiannya?
Sebaliknya,
mereka
yang
belajar
di
lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqâfah Islam dan secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan teknologi. Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag), tidak mampu terjun di sektor modern. Jadi, pendidikan sekular memang bisa membikin orang pandai,
2
tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular itu akan melahirkan insan pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moral. Ini adalah out put umum dari sistem pendidikan sekular. Mari kita lihat contoh negara Amerika atau negara Barat lainnya. Ekonomi mereka memang maju, kehidupan publiknya nyaman, sistim sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap peraturan publik tinggi. Tapi, perlu ingat bahwa agama ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungi secara hukum tapi agama tidak boleh bersifat publik. Hari raya Idul Adha tidak boleh dirayakan di lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon. Pelajaran agama tidak saja absen di sekolah, tapi muridmurid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan sholat 5 waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama. Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. C. Masalah Cabang : Rendahnya Kualitas dan Kuantitas Masalah-masalah cabang yang dimaksud di sini, adalah segala masalah selain masalah paradigma pendidikan, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Masalah-masalah cabang ini tentu banyak sekali macamnya, di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut : 1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media
3
belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya. Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama. 2. Rendahnya Kualitas Guru Keadaan
guru
di
Indonesia
juga
amat
memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai
hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat. Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta). Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan
guru
itu
sendiri.
Data
Balitbang
Depdiknas
(1998)
menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang
4
berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pembelajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru. 3. Rendahnya Kesejahteraan Guru Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005). Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
5
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas. Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006). 4. Rendahnya Prestasi Siswa Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat. Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Dalam
skala
internasional,
menurut
Laporan
Bank
Dunia
(Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
6
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75. 5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan.
Oleh
karena
pemerataan
pendidikan
itu
yang
diperlukan tepat
kebijakan
untuk
dan
mengatasi
strategi masalah
ketidakmerataan tersebut 6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan Hal
tersebut
dapat
dilihat
dari
banyaknya
lulusan
yang
menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan
7
kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah
ketenagakerjaan
tersendiri.
Adanya
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan
kurikulum
yang
materinya
kurang
funsional
terhadap
keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. 7. Mahalnya Biaya Pendidikan Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, ―sesuai keputusan Komite Sekolah‖. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari
8
pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya
BHMN dan
pendidikan
yang
MBS adalah beberapa
kontroversial.
BHMN
sendiri
contoh
kebijakan
berdampak
pada
melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit. Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 3540 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005). Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja
dalam
APBN
(www.kau.or.id).
Rencana
Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
9
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005)
menilai
Pemerintah
telah
bahwa
dengan
melegitimasi
privatisasi
komersialisasi
pendidikan pendidikan
berarti dengan
menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok
biaya
setinggi-tingginya
untuk
meningkatkan
dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin. Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi. Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya?
Pemerintahlah
sebenarnya
yang
10
berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‗cuci tangan‘. D. Solusi Masalah Mendasar dan Masalah Cabang Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan utama. Ibarat mobil yang salah jalan, maka yang harus dilakukan adalah : (1) langkah awal adalah mengubah haluan atau arah mobil itu terlebih dulu, menuju jalan yang benar agar bisa sampai ke tempat tujuan yang diharapkan. Tak ada artinya mobil itu diperbaiki kerusakannya yang macam-macam selama mobil itu tetap berada di jalan yang salah. (2) Setelah membetulkan arah mobil ke jalan yang benar, barulah mobil itu diperbaiki kerusakannya yang bermacam-macam. Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan, baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru, kesejahteraan gutu, prestasi siswa, kesempatan pemerataan pendidikan,
relevansi pendidikan dengan
kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan. Solusi masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme diubah menjadi asas Islam, bukan asas yang lain. Bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
11
Berikut beberapa solusi lain tetapi mendasr untuk perubahan pendidikan agama Islam di antaranya adalah : 1. Belajar Agama Secara Tuntas, Bukan Sekedar Hafalan Membicarakan pendidikan agama adalah membicarakan tentang keyakinan, pandangan dan cita-cita hidup dan kehidupan umat manusia dari generasi ke generasi. Pendidikan agama tidak dapat dipahami sebatas 'pembelajaran agama'. Karena itu, parameter keberhasilan pendidikan agama tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang ajaran agama atau ritus-ritus keagamaan semata. Lebih-lebih penilaian yang diberikan melalui 'angka-angka' yang didasarkan pada seberapa siswa didik menguasai materi sesuai dengan buku ajar. Justru penekanan yang lebih penting adalah seberapa dalam tertanamnya nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa dan seberapa dalam pula nilai-nilai tersebut terwujud dalam tingkah laku dan budi pekerti siswa didik sehari-hari. Wujud nyata nilai-nilai tersebut dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari akan melahirkan budi luhur (akhlakul karimah). Karena itu pendidikan agama adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang manusia. Seorang
tokoh
filsafat
perennial,
Seyyed
Hossein
Nasr,
menegaskan bahwa pendidikan agama (Islam) musti berkepedulian dengan seluruh manusia untuk dididik. Tujuannya bukan hanya melatih pikiran, melainkan juga melatih seluruh wujud pribadi. Itulah yang menyebabkan
mengapa
pendidikan
agama
(Islam)
bukan
hanya
menyampaikan pengetahuan (al-Ta'lim), tetapi juga melatih seluruh diri siswa (al-Tarbiyah). Fungsi guru bukan sekedar seorang muallim, penyampai pengetahuan, tetapi juga seorang murabbi, pelatih jiwa dan kepribadian. Sementara
itu,
model
pendidikan
agama
hendaknya
tidak
menekankan pada metode hafalan. Alasannya, metode hafalan hanya memperkaya wilayah kognitif semata, sehingga mengesankan pendidikan agama hanya bersifat 'formalitas' semata. Siswa didik kurang diajak untuk
12
memasuki wilayah pemahaman, penghayatan serta pengamalan ajaran agama. Namun pada kenyataannya saat ini, parameter keberhasilan pendidikan agama selama ini masih diukur dari penguasaan aspek kognitif tentang agama yang ada di buku, bukan pada aspek afektif yang menuju pada pembentukan perilaku siswa didik. Dengan demikian perlu adanya upaya re-oirentasi, yaitu perubahan proses yang diawali dengan merubah metodologi, dari hafalan menjadi penciptaan kompetensi berbasiskan agama. Dengan berbasis kompetensi semacam ini, pendidikan agama diorientasikan untuk menciptakan perilaku siswa didik yang sesuai dengan ajaran
agama.
Penekanan
kompetensi berbasis agama
ini
juga
mengandaikan pendidikan agama dilaksanakan dengan menyeimbangkan tiga aspek sekaligus, yakni; aspek Iman, aspek Ilmu, dan aspek Amal. Sungguhpun demikian, di antara tiga hal tersebut yang dapat dijadikan tolok ukur adalah sejauhmana pengamalan ajaran agama yang telah diajarkan di sekolah, sebab meskipun siswa didik mampu menguasai materi pelajaran agama yang didapat disekolah, dus juga dianggap memiliki iman yang kuat, tetapi prilakunya buruk, maka pendidikan agama dapat dianggap belum berhasil. 2. Menggagas Pendidikan Agama "Rahmatan Lil Alamin" Salah satu fungsi pendidikan agama adalah mejadikannya 'rahmatan lil alamin'. Cita-cita semacam ini senafas dengan kandungan nilai-nilainya yang universal serta berpihak kepada kemanusiaan. Kedua, semangat ini memuat pemahaman bahwa agama tidaklah diperuntukkan bagi segolongan manusia semata, tetapi agama diwahyukan untuk seluruh makhluk. Agama merupakan solusi bagi terciptanya perdamaian, kebahagiaan bagi seluruh makhluk terutama umat manusia sebagai khalifatullah fi al-ardl. Semangat yang demikian itulah yang semestinya menjadi spirit pendidikan agama di semua institusi pendidikan, dan bukan sebaliknya, agama hanya diajarkan sebatas ritual semata. Nilai-nilai ajaran agama yang menjunjung tinggi pluralisme, toleransi, menerima perbedaan, setiakawanan sosial, saling menghormati, menjunjung tinggi
13
kebenaran, keadilan, dan menghargai hak asasi orang lain seharusnya menjadi topik-topik pokok dalam pembelajaran agama. Lebih dalam dari itu, pembelajaran nilai-nilai luhur itu tidak hanya sebatas mendorong agar siswa didik menghafal dan mengetahui, tetapi juga perlu ditekankan agar siswa didik mampu memahami dan menghayati secara mendalam (menginternalisasikan) serta mampu memperaktekkannya (mengaktualisasikan) dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga apa yang telah diketahui, difahami, dan dihayati tersebut dapat berbanding lurus dengan perilaku keseharian dalam hidup bermasyarakat. Pendidikan agama yang ber fungsi sebagai media penyadaran umat, pada kenyataannya saat ini dihadapakan pada problem bagaimana ia dapat dijadikan sebagai institusi yang dapat mengembangkan sebuah teologi inklusif dan pluralis. Dengan begitu, dalam masyarakat akan tumbuh pemahaman yang inklusif. Sehingga harmonisasi agama-agama ditengah kehidupan masyarakat dapat terwujud. Tertanamnya kesadaran pluralitas yang demikian itu, niscaya akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanif dan toleran. Oleh sebab itu, perlu adanya upayaupaya untuk merubah paradigma pendidikan yang eksklusif menuju paradigma pendidikan agama yang toleran dan inklusif. Model pembelajaran agama yang hanya menekankan kebenaran agamanya
sendiri
dan
ketidak-benaran
agama
lain,
seharusnya
direorientasi. Konsepsi pemahaman yang biner seperti iman-kafir, muslimnon muslim dan baik-benar, yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat terhadap agama lain misalnya, mau tidak mau harus 'dibongkar
ulang'
agar
sekelompok
penganut
agama
tidak
lagi
memandang agama lain sebagai agama yang 'salah' dan tidak ada jalan keselamatan kecuali dalam agama yang diyakininya. Sebab cara pandang atau pemahaman teologis yang ekslusif dan intoleran yang demikian pada gilirannya
akan
dapat
merusak
harmonisasi
agama-agama
dan
menghilangkan sikap untuk saling menghargai kebenaran dari agama lain.
14
Dari hasil penelitian yang sebagaimana diungkapkan oleh Amin Abdullah bahwa guru-guru agama di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan agama dari tingkat yang paling bawah hingga yang paling tinggi atau dari TK sampai perguan tinggi, nyaris kurang (untuk tidak mengatakan sama sekali) tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama. Padahal, guru-guru inilah yang menjadi mediator pertama untuk menterjemahkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme kepada siswa, yang pada tahap selanjutnya juga ikut berperan aktif dalam mentransfomasikan kesadaran toleransi secara lebih intensif dan massif. Karena itulah, meminjam filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh Paulo Freire, bahwa fungsi pendidkan adalah untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Tujuan pendidikan adalah untuk menggarap realitas manusia, dan karena itu, secara metodologis bertumpu pada prinsipprinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terusmenerus menjumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas. Dengan cara pandang seperti ini, maka sekarang kita mesti melakukan 'pembebasan' terhadap pendidikan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat dengan memberikan warna yang lebih inklusif. Yang perlu untuk kita lakukan adalah mendekonstruksi visi pendidikan agama yang ekslusif ke arah penguatan visi inklusif. Hal ini dianggap penting karena kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme dalam pendidikan agama pada akhirnya akan menyuburkan gerakan
radikalisme
(yang
mengatasnamakan)
agama.
Namun
sebaliknya, keberhasilan dalam menumbuhkan sikap toleran dalam pendidikan agama, akan semakin menciptakan cita-cita perdamaian antar
15
agama. Inilah yang mesti kita renungkan bersama agar pendidikan agama kita tidak menyumbangkan benih-benih konflik antar agama. Karena itulah, kebijakan pendidikan yang mengabaikan arti penting keanekaragaman dan kemajemukan tidak akan menciptakan kehidupan yang toleran dan pluralis dalam pergaulan sosial. Bahkan cenderung kepada kegagalan yang dapat menimbulkan tragedi kemanusiaan. Inilah yang mesti diantisipasi bahwa merancang sistem pendidikan nasional tidak hanya dapat dicapai dengan mengandalkan penguasaan materi (kognisi), tetapi juga bagaimana membentuk kesadaran beragama dalam tata pergaulan bermasyarakat yang damai tanpa konflik. Merancang sistem pendidikan agama justru menampung nilai-nilai luhur yang mendasari
kehidupan
masyarakat
yang
lebih
substansial,
yakni
pencerdasan kehidupan sosial secar lebih luas. Dengan logika pendidikan agama yang seperti ini, maka diharapkan akan tercipta sebuah sistem pendidikan nasional yang sangat menghargai pluralitas, bersikap toleran, dan mengupayakan kehidupan damai di tengah-tengah masyarakat. Kemudian untuk memberikan solusi pada masalah-masalah cabang dalam pendidikan agama Islam seperti rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, dan mahalnya biaya pendidikan. Untuk mengatasi masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu: Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistemsistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
16
Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan gutu, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara. Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alatalat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya. Tetapi yang paling mendasar untuk memecahkan masalah pendidikan agama Islam di Indonesia saat ini adalah berasawal dari sistemnya itu sendiri, berikut penulis uraikan tentang hal itu : 1. Tujuan Pendidikan Islam Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan
sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang
berkarakter, yakni: Pertama, berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (‘aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
17
Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu: 1. Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‗aqîdah ‗aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam. 2. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya. 3. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguhsungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT. Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu: 1. Ilmu yang termasuk fardhu ‗ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll. 2. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapanketerampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll. Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll. Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmuilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian
18
merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya. 2. Pendidikan Islam Adalah Pendidikan Terpadu Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul. Dalam hal ini, minimal ada 3 macam yang harus menjadi perhatian, yaitu : Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut. Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya. Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat
19
TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing. Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya. Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, ―Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.‖ Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman alKalb, guru anaknya, ―Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian hapalkan kepadanya al-Quran…‖ Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialismekomunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran
ideologi
selain
Islam
dan
konsepsi-konsepsi
lainnya
disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia. Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan. 3. Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan
20
Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim). Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ihkâm, menjelaskan bahwa kepala
negara
(khalifah)
berkewajiban
untuk
memenuhi
sarana
pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha‘ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab
21
memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas). Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‗far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya. 4. Strategi dan Pengembangan Pendidikan Agama Inklusif Realitas keberagamaan dalam kehidupan masyarakat seringkali nampak tidak sinkron dengan fungsi serta tujuan agama itu sendiri. Hal demikian tergambar dalam beberapa fase 'sejarah buram' agama, dimana agama dianggap tidak mampu untuk menyuarakan kekuatan spiritualnya atau dengan bahasa lain, agama telah kehilangan elan vitalnya dalam menghadapi tantangan zaman. Sebaliknya, agama menjadi pengabsah berbagai bentuk kekerasan. Dalam rentang sejarah pergumulan agamaagama tercatat banyak sekali 'adegan pertikaian' yang bersimbah darah antar umat beragama dengan dalih atas nama penegakan kebenaran. Misalnya, perang antar umat Katolik dengan Protestan pada abad 16, pembantaian kalangan Yahudi oleh NAZI di Jerman, peristiwa perang salib antara umat Islam dengan umat Kristiani hingga berbagai macam
22
bentuk kekerasan dan permusuhan di bawah kibaran bendera agama yang banyak terjadi akhir dekade ini di Indonesia seperti peristiwa Poso, Ambon, Maluku dan lain-lain. Mengapa hal itu terjadi? Ada salah apa dengan agama? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang seringkali dilontarkan oleh banyak kalangan. Jika kehadiran agama di muka bumi ini adalah membawa misi perdamaian, mengapa fenomena kekerasan bernuansa agama masih juga sering terjadi. Kesimpulan sementara dikatakan bahwa yang menjadi penyebab utamanya bukanlah ajaran-ajaran yang dibawah oleh setiap agama, melainkan pemahaman umat yang kadang dangkal sehingga
tidak
mampu
menangkap
pesan
asasi
Tuhan
seperti
bertoleransi, berbuat adil dan menegakkan keadilan, serta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai universal kemanusiaan lainnya. Bilamana pesan-pesan asasi Tuhan tersebut dapat dipahami dengan seksama serta dapat diimplementasikan dalam tindak laku, maka niscaya agama akan selalu dalam 'rel utamanya', yakni sebagai pembawa berita kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia secara menyeluruh.
E. Penutup Untuk mencapai tujuan diatas, maka ada suatu kebutuhan yang mendasar yang harus dipenuhi oleh para pemeluk agama masing-masing yaitu sebuah kesadaran penuh dalam rangka melestarikan pesan-pesan agama dan integritas agama. Untuk mewujudkan hal itu, tentunya haruslah ada sebuah gagasan dalam menyelenggarakan pendidikan agama yaitu sebuah kerja-kerja yang konkrit dari semua pemeluk agama. Pesan-pesan dan integritas agama dalam hal ini sangatlah berperan penting dalam dunia pendidikan, karena apa yang ada pada ajaran masing-masing agama tersebut akan menjadi barometer sejauh mana mentalitas anak didik terbentuk serta mereka dapat berperilaku sesuai dengan pemahaman yang didapatnya dari sekolah.
23
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, kita perlu menyusun suatu rumusan konsepsional strategi pengembangan pendidikan agama yang inklusif. Peran tersebut dapat berjalan kalau kemudian kita dapat membuat rancangan-rancangan yang terkonsepsi dan dapat dituangkan dalam metode pendidikan agama dan kurikulum pendidikan yang kemudian harus kita terapkan menurut kebutuhan-kebutuhan yang ada. Wahai kaum Intelektual Muslim, guru agama, dan para Guru besar yang peduli dengan pendidikan agama Islam, apakah sistem pendidikan sekuler yang rusak dan bobrok saat ini akan terus kita pertahankan? Apakah sistem pendidikan yang buruk lagi gagal ini akan terus kita lestarikan?. Marilah kita bergegas membangun sistem pendidikan Islam, dalam negara Indonesia tercinta ini, yang akan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam. Generasi inilah yang akan mampu mewujudkan kemakmuran dan kemuliaan peradaban manusia di seluruh dunia. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
24
BIBLIOGRAFI
Abdurrahman An-Nahlawi, 1996, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Pers, Cet. II. Arifin, M, 1991, Kapita Selekta Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta. Azra, Azyumardi.,1999, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, Logo Macana Ilmu, Jakarta. Craib, Ian 1992 Modern Social Theory: From Parsons to Habermas. New York: St. Martin‘s Press. Dewantoro, Hajar., 1997, ―Urgensi Inovasi Pendidikan dalam Pemberdayaan Umat”, dalam : Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ [Penyunting], Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrialisasi, Aditiya Media, Yogyakarta. Dhofier, Zamakhsyari, 1982, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai Jakarta: LP3ES. Fadjar, A. Malik., 1999, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia. Fadjar, A. Malik, 1996, "Sintesa antara Perguruan Tinggi dan Pesantren Upaya Menghadirkan Wacana Pendidikan Alternatif", rnakalah pada Diskusi Panel "Pola Keterkaitan Pesantren, Perguruan Tinggi dan LSM dalam Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat" (Bandung: Lembaga Kemahasiswaan Salman ITB, t.t., 1996). Hing, Lee Kam, 1995, Education and Politics in lndonesia 19451965 (Kuala Lumpur: University of Malaya Press. Indra Djati Sidi, Ph.D., 2001, Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina dan Logos Kuntowijoyo, 1991, "Peranan Pesantren dalam Pembangunan Desa: Potret sebuah Dinamika", dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan. Maarif, A.Syafii., 1996, ―Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Sebagai Wahana Pendidikan Muhammadiyah”, makalah disampaikan pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah, di Pondok Gede, Jakarta.
25
Muhaimin, Yahya [Menteri Pendidikan Nasional], 2000, ―Reformasi Pendidikan Nasional Munuju Indonesia”, Majalah Dwiwutan BPK Penabur Jakarta, Midyawarta, No. 69/Thn.XII, From: http://www.bpk. Penabur. or.id/ KPS. Jkt/ widya/69/69.pdt. Mastuhu 1994 Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. Muchtar Buchori, 2001, Transformasi Pendidikan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cet. II. Muhammad Tholhah Hasan, 2000, Diskursus Islam dan Pendidikan (Sebuah Wacana Kritis), Jakarta: PT. Bina Wiraswasta Insan Indonesia. Munzier S. Dan Hery Noer Ali, 2000, Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani. Nasr, Seyyed Hossein, 1987, Traditional Islam in the Modern World, London: KPI. Noer, Deliar, 1973, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 19001942 Kuala Lumpur: Oxford University Press. Saqib, Ghulam Nabi, 1977, Modernization of Muslim Education, Lahore: Islamic Book Service. Steenbrink, Karel A., 1974, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, Jakarta: LP3ES. Suroyo, 1991, Perbagai Persoalan Pendidikan; Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, Kajian tentang Konsepo Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volem 1 Tahun 1991, Fakultas Tarbiyah IAIN, Yogyakarta. --------,1992, ‖Pendidikan Islam di Indonesia Merancang Masa Depan”, UNISIA,No.12 Th. XIII,1992,UII,Yogyakarta. Syafii
Maarif, Ahmad., 1997, ―Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Bangsa, dalam: Muslih Usa [Penyun.], Pendidikan Islam dalam peradaban Industrialisasi, Aditya Media bekerja sama dengan Fakultas Tarbiyah UII, Yogyakarta.
Undang-Undang Dasar 1945
26
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 Rahman, Fazlur, 1982, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: University of Chicago Press. Zuhri, Saifuddin 1981 Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. 3rd edition. Bandung: Al-Ma‘arif.
27